perilaku peran sakit penderita tb paru dalam

advertisement
PERILAKU PERAN SAKIT PENDERITA TB PARU
DALAM KEPATUHAN PENGOBATAN
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JAYAPURA UTARA
SICK ROLE BEHAVIOR OF PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENT
IN TREATMENT OBEDIENCE
IN CENTER HEALTH OF NORTH JAYAPURA
Laili Nur Hidayati, H.Muh Syafar, Buraerah H.Abd. Hakim
Bagian Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin,
Makassar
Alamat Korespondensi:
Laili Nur Hidayati
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin Makassar, 90425
HP : 081225829852
Email : [email protected]
Abstrak
Perilaku peran sakit merupakan segala tindakan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh
kesadaran, tanggungjawab terhadap kesehatannya dan a pabila tidak dilakukan dengan optimal akan berdampak
menjadi lebih parahnya penyakit yang berpotensi menimbulkan komplikasi lebih lanjut, ketidaksembuhan
sehingga dapat menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) perilaku peran sakit
penderita TB Paru terhadap upaya kesembuhan (2) perilaku peran sakit penderita TB Paru terhadap pencarian
pengobatan (3) perilaku peran sakit penderita TB terhadap hak dan kewajiban penderita dalam kepatuhan
pengobatan di wilayah kerja Puskesmas Jayapura Utara. Jenis penelitian adalah observasional yang
menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan fenomenologi yang dilakukan dengan wawancara
mendalam (dept-interview). Hasil penelitian ini menunjukkan perilaku peran sakit penderita TB terhadap upaya
kesembuhan belum secara komprehensif dilakukan yaitu dengan mencari obat sendiri dan memiliki persepsi
yang salah tentang TB. Terdapat faktor usia, stigma dan ketidaktahuan. Untuk pencarian pengobatan dengan
pengobatan medis yaitu mengobati sendiri dan mencari pengobatan diluar. Terdapat faktor motivasi dan
keterlambatan mendiagnosa. Penderita membutuhkan dukungan sosial dari anggota keluarga mereka dan
penyedia layanan kesehatan terhadap kesejahteraan psikososial dan memotivasi mereka untuk patuh terhadap
pengobatan sesuai dengan hak dan kewajiban penderita. Kesimpulan: pada umumnya penderita TB paru
berperilaku untuk mencari pengobatan belum optimal karena adanya beberapa kendala yang mempengaruhi.
Kata Kunci: Perilaku, Peran Sakit, Penderita TB, Kepatuhan Pengobatan
Abstract
Sick role behavior is the whole actions which done by the individual illness to get consciousness, responsibility
toward its health and if it is not to be done optimally, it will be make the illness worst which potentially cause a
further damage, lack of recovery, and death. The aims of the research were to analyze (1) sick role behavior of
pulmonary TB patients on recovery efforts, (2) sick role behavior of pulmonary TB patients on treatment
seeking, (3) sick role behavior of pulmonary TB patients toon patients right and obligation in treatment
obedience in the work area of North Jayapura health center. The research was an observational study using
qualitative approach with phenomenological design. The data were obtained by in-depth interview. The results
of the research indicate that sick role behavior of pulmonary TB patients on recovery efforts has not been done
comprehensively, i.e, the seek the drugs themselves and have a wrong perception on pulmonary TB. There are
age factor, stigma and ignorance. To search for medical treatment is to treat one self and to seek treatment
outside. There are also motivation factor and delay to diagnose. The patients need of social support from the
members of their family and health service providers towards psychosocial prosperity and their motivation to
obey the treatment in accordance with their right and obligate. In conclusion, pulmonary TB patients is behavior
is not generally optimum since there are several constraints influencing it.
Key words: Behavior, sick-role, pulmonary TB Patients, treatment obedience
PENDAHULUAN
Pada prinsipnya perilaku peran sakit adalah suatu tindakan atau upaya-upaya yang
dilakukan penderita (orang sakit) untuk memperoleh pengobatan sampai dengan kesembuhan.
Menurut Kasl dan Cobb dalam Niven ( 2002), mengemukakan perilaku peran sakit (sick role
behavior) adalah aktivitas untuk mendapatkan kesejahteraan oleh individu yang sakit,
sedangkan menurut Becker (1979) dalam Kholid (2014), perilaku peran sakit merupakan
salah satu klasifikasi perilaku kesehatan yang mana orang sakit (pasien) mempunyai peran,
mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation) serta
hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun oranglain (terutama
keluarganya). Sedangkan menurut Muzaham (1998) dalam Syafar (2011), perilaku peran sakit
(sick role behavior) yaitu merupakan perilaku yang berhubungan dengan penderita berobat
sesuai dengan aturan yang sesuai dengan penyakit yang dideritanya.
Pentingnya perilaku peran sakit pada penderita (orang sakit) membawa dampak yang
positif bila dilakukan dengan baik, apabila perilaku tersebut tidak dilakukan dengan baik
maka akan membawa dampak negatif berupa tidak dipatuhinya semua ketentuan-ketentuan
pengobatan sesuai dengan aturan pengobatan berdasarkan penyakitnya sehingga obat tidak
dimakan sebagaimana mestinya yang berujung pada menjadi lebih parahnya penyakit yang
berpotensi menimbulkan komplikasi lebih lanjut, ketidaksembuhan sehingga menyebabkan
kematian. Penelitian Pasek dkk (2013), menemukan bahwa pada penderita TB dengan
persepsi positif memiliki kemungkinan patuh dalam pengobatan sebesar 21,41 kali lebih
besar daripada yang memiliki persepsi negatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepatuhan
penderita TB berkaitan dengan perilaku peran sakit yang mana peran tersebut
menggambarkan perilaku yang seharusnya diperlihatkan oleh penderita untuk mendapat
kesembuhan.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India
dan Cina. Dalam Riskesdas (2013), memperoleh data prevalensi penduduk Indonesia yang
terdiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2007 dan 2013 tidak berbeda (0,4 %). Lima
provinsi TB tertinggi adalah Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta, Gorontalo. Banten dan Papua
Barat. Prevalensi tertinggi di Kabupaten Boven Digoel (559,3) dan terendah di Kabupaten
Asmat (22,22). Bila dilihat berdasarkan target renstra tahun 2011 yaitu prevalensi TB/100.000
penduduk adalah <231, maka sebagian besar kabupaten/kota di provinsi Papua sudah
mencapai target. Namun ada tiga kabupaten/kota yang tidak mencapai target renstra 2011,
yaitu kabupaten Boven Digoel (559,3), kabupaten Jayapura (287,88) dan kabupaten Yapen
(285,71). Hasil pencatatan dan pelaporan yang diperoleh bahwa Puskesmas Jayapura Utara
pada tahun 2012 terdapat 48 penderita dengan TB Paru kategori I berjumlah 47 penderita, dan
TB paru kategori II berjumlah 1 penderita. Pada tahun 2013 meningkat menjadi 89 penderita
dengan TB paru kategori I 83 penderita dan kategori II 6 penderita.
Uraian tentang penyebab meningkatnya kasus TB sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Abbas (2013), di Maluku menunjukkan bahwa lamanya kontak merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB Paru dibandingkan dengan luas ventilasi
rumah, kamarisasi, tingkat kepadatan hunian, pendidikan keluarga, status gizi, perilaku
merokok, dan kontak serumah. Menambahkan menurut Notoatmojo (2007), bahwa perilaku
dan gaya hidup mempengaruhi terjadinya penyakit. Perilaku peran sakit yang merupakan
segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk
memperoleh kesadaran dan tanggung jawab terhadap kesehatannya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis perilaku peran sakit penderita TB paru terhadap upaya
kesembuhan dalam kepatuhan pengobatan.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Jayapura Utara Kabupaten
Jayapura. Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan informasi yang
diperoleh dengan wawancara mendalam (dept-interview).
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan data pada penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas
Jayapura Utara Kabupaten Jayapura. Pengumpulan data pada penelitian ini selama ± 25 hari
dari pengumpulan data yang dilakukan mulai tanggal 12 September – 4 Oktober 2014.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam
(indepth interview) dan observasi yang tidak terstruktur pada informan penderita TB kategori
I, kategori II, keluarga dan petugas kesehatan.
Analisa Data
Hasil penelitian ini dianalisis melalui tiga alur yang bertahap dengan reduksi data yaitu
dengan menggolongkan data sesuai dimensi penelitian kemudian penyajian data yang telah
dianalisis disajikan dalam bentuk uraian singkat. Dan tahap akhir dengan verifikasi yaitu
dengan mencari makna benda dan peristiwa, pola-pola dan alur sebab akibat untuk
membangun preposisi.
HASIL
Dari hasil wawancara secara mendalam dengan informan dan catatan observasi yang
mengacu pada tujuan khusus peneliti menemukan adanya informan atau penderita yang
memutuskan untuk berobat dikarenakan takut akan terjadi kekebalan jika tidak patuh dalam
pengobatan, semangat berobat demi keluarga tercinta, tidak ingin penyakit ini kambuh lagi
dan berupaya menikmati dan menyelesaikan program pengobatan hingga tuntas, serta
semangat berobat agar tetap bisa lanjut dan menyelesaikan pendidikan.
Perilaku peran sakit terhadap upaya kesembuhan
Upaya penyembuhan yang dilakukan oleh penderita yang sedang sakit adalah usaha
atau tindakan yang diambil oleh penderita untuk memperoleh kesembuhan. Upaya yang
dilakukan adalah dengan cara mencari pengobatan sendiri. Seperti penuturan informan
keluarga Tn.Dk yang memiliki istri seorang penderita yaitu Ny.Dk:
“… Begitu itu ada 3 ka 4 minggu begitu baru sa bawa dia berobat betul. Sudah kasih obat sendiri,
obat batuk to ibu, tapi tidak ada perkembangan…” (Tn.Dk, 31 tahun)
Dalam upaya mencari pengobatan sendiri baik secara medis maupun non medis
terkait dengan kepercayaan yang menganggap bahwa sakit ini karena faktor ketidaksukaan
orang lain terhadap keluarganya. Adanya kepercayaan terhadap mitos sehingga terjadi
perbedaan persepsi tentang penyakitnya Sebagaimana diungkapkan oleh informan keluarga
Tn.Dk:
“…Sudah lama ada mungkin satu bulan. sa liat maitua ini kasihan ibu, yang dia batuk-batuk
pernah sampe keluar darah. Baru malam itu meriang begitu. Kita pikir juga sudah sakit parah,
baru orang mungkin tidak suka dengan kita. Karna kan juga masyarakat begitu to ibu su tau
sendiri. Begitu itu ada 3 ka 4 minggu begitu baru sa bawa dia berobat betul... [sudah lama sakit
ini, mungkin satu bulan, lihat istri saya kasihan, batuk-batuk sampai keluar darah. Malam hari
juga demam. Kita piker sudah sakit parah, lalu mungkin orang tidak suka dengan kita. Yaa
mungkin masyarakat kita (suku). Seperti itu kurang lebih 3 atau 4 minggu barulah benar-benar
diobati … ] (Tn.Dk, 31 tahun)
Selain Informan penderita dan keluarga memutuskan untuk melakukan upaya
penyembuhan
didasari oleh pemahaman akan penyakitnya. Diperoleh masing-masing
informan penderita memiliki pemahaman yang beragam dalam mengidentifikasi penyakit
yang dirasakan. Ada informan yang dapat mengidentifikasi bagaimana penyakit TB paru
secara komprehensif, menjelaskan gejala penyakit TB paru sampai harus dirawat di Rumah
Sakit, namun ada pula yang tidak dapat menyebutkan penyebab dari TB paru. Seperti yang
diutarakan oleh informan Sdr.Ys berikut ini:
“Su lumayan lama juga. Sa sakit paru-paru. Tidak tau karna apa. Yang suruh berobat kesini
Aahhh…sa su pernah apa sakit jadi langsung bawa ke Rumah Sakit sebelum September kemarin
itu. Ahhh batuk saja. Batuk-batuk terus Hampir 1 minggu.. Batuk panas demam panas demam
[Sudah lumayan lama saya sakit paru-paru. Tidak tau penyebabnya apa, dan disuruh berobat
kesini. Saya sudah pernah sakit juga dan langsung dibawa ke RS sebelum bulan September
kemarin. Batuk-batuk hampir 1 minggu dan panas demam terus] (Sdr.Ys, 17 tahun)
Perilaku peran sakit terhadap health seeking behavior
Pencarian pengobatan yang dilakukan oleh informan saat terjadi keluhan adalah
memeriksakan diri ke Poliklinik Rumah Sakit yang kemudian dianjurkan untuk rawat jalan,
tetapi setelah beberapa hari karena kondisi melemah sehingga dilakukan perawatan intensif
dengan pemberian cairan parenteral. Berikut penuturannya:
“Ada waktu itu mama dia bawa sa ke RS, karena ada benjolan ini. Itu yang mama da bawa
ke RS, ke ruangan apa itu baru, iyo ke Poli baru suster ka dokter dia kasih obat. Minum
macam tra ini jadi diulang makin membesar jadi. Itu yang tinggal sa sakit-sakit terus itu
baru sa dirumah. Itu yang langsung sa dibawa opnam kesana. [waktu itu mama bawa ke
RS, karena ada benjolan. Dibawa ke Poli kemudian diberi obat. Minum obat tetapi tidak
sembuh, dan benjolan makin membesar sehingga saya sakit-sakit terus di rumah. Dan
akhirnya saya langsung dirawat di opname di RS] (Sdr.Ys, 17 tahun)
Saya periksa, pertama periksa tanggal 8, terus dokter bilang harus periksa lendir sama
foto. Setelah di foto sama periksa lendir ternyata positif TB. Setelah positif TB dokter
bilang tidak bisa pulang karena harus opname selama 1 minggu.(Sdr.Ar, 28 tahun)
Perilaku pencarian pengobatan ditunjukkan oleh informai lain yaitu memeriksakan
diri ke dokter tempat kerja. Namun kenyataannya karena tidak ada perubahan sehingga
meminta rujukan ke Rumah Sakit. Proses tersebut terkendala karena sang dokter mengulurulur waktu. Padahal pasien sangat cemas dengan kondisi kesehatannya:
“Batuk terus selama 3 bulan, saya berobat ke dokter kata dokter kalo tidak sembuh selama
3 hari balik lagi berobat. Ke dokter kasih obat, tidak ada perubahan. Kemudian saya minta
pengantar buat ke Rumah Sakit. Tapi tidak dikasih rujukan. Dokter bilangnya ya saya
kasih obat lain lagi. Dokter masih bilang, Ya sudah tunggu saya kasih obat lain lagi nanti
kalo masih begini kesini lagi. Saya tinggikan dosisnya. Kita jdi pasien pengen berobat,
Saya ini jadi pasienkan kecewa, jadinya bertanya-tanya mbk, kenapa kok diulur-ulur
pengobatanku, tidak ada perubahan masih batuk-batuk terus. (Tn.P, 38 tahun)
Penentuan diagnosa yang tepat saat memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan juga
akan mempengaruhi pengobatan pada penderita TB paru. Penderita TB Paru tidak hanya
sekali melakukan pemeriksaan ke dokter ataupun Puskesmas kemudian dinyatakan TB paru.
Awal itu sa batuk periksa ke puskesmas. Tapi tidak ada perubahan, jadi su 4 kali ke
puskesmas. Batuk…batuk saja tapi da pu lendir kan banyak. Baru kan dahak. Jadi waktu
sa begitu, langsung sa pergi naik. Di atas baru sa sa disarankan foto sama periksa dahak.
Setelah di foto sama periksa lendir ternyata positif TB. Setelah positif TB dokter bilang
tidak bisa pulang karena harus opname selama 1 minggu. [awalnya saya batuk lalu periksa
ke Puskesmas, tapi tidak ada perubahan. Jadi sudah 4 kali ke Puskesmas. Batuk dan lendir
banyak, berdahak. Jadi karena saya seperti itu, langsung saya ke RS.Dok 2 kemudian
disarankan foto dan periksa dahak. Setelah itu ternyata saya positif TB dan dokter bilang
harus di opname selama 1 minggu] (Sdr.AR, 28 tahun)
Perilaku Peran Sakit Terhadap Hak dan Kewajiban Penderita
Hak dan kewajiban penderita yang dimaksudkan disini adalah penderita
mendapatkan pengakuan dan dukungan dari keluarga dan anggota masyarakat serta
berkewajiban untuk sembuh dari penyakitnya.
“iya sudah tidak mau berobat, alasannya, karena sudah 2 minggu coba bayangin…. Makanya
saya bilang, ini kalo kita parah keburu matii ini, saya sudah marah-marah sama dia. Dia bilang
sabar,, sabarrrr (nunjuk ke istri), akhirnya kebetulan tetangga sebelah rumah itu kerja di ruang
paru. dia bilang itu sudah ada hasil, pas saya kerja sudah langsung naik aja. Nah itu akhirnya dia
sendiri yang ambil, saya gak ikut karena kita sendirikan kerja, ya udah langsung kesana hasilnya,
dikasih pemahaman sama dokter ini gak boleh putus, kalo putus lagi nanti bapak seperti pasien
kita yang dibelakang, itu resistensi obat itu. Istri saya yang selalu siapkan dan ingatkan buat
minum obat” (Tn.P, 38 tahun)
“saya juga kena, kurang lebih empat tahun yang lalu.Tapi alhamdulilah sembuh. Anak-anak
dekat dengan bapaknya, sampai yang paling kecil bilang ihhhh bapak ini tra mau sembuh kaaa?
Sampai bilang bgtu. Yaa ini kadang dia si kecil yang marah”(Ny.Dk,35 tahun)
Cara pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik dapat membantu penderita
untuk mendapat pengobatan yang tepat dan sembuh dari penyakitnya. Berdasarkan informasi
yang diperoleh semua Informan menuju tempat pelayanan kesehatan baik Dokter keluarga,
Puskesmas sampai Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan maupun pengobatan yang
tepat. Berikut penuturan informan:
“…aku Sa langsung berobat ke bawah (Puskesmas), Trus kasih obat tapi tidak ada
perubahan. Saya Tanya dokter, dokter yang disitu periksa juga tidak ada perubahan. Jumat
langsung naik. Di atas itukan langsung diminta disuruh foto sekalian sama periksa lendir.
Terus dokter bilang kondisi sudah mulai menurun, sudah ko opneme dulu. Sudah saya
opname dari sabtu sampe hari senin ka, selasa baru pulang. Ya ini kan waktu di sana dikasih
tau semuanya, jadi karna ko sudah tau penyakit. Jadi ko harus ikut, ini program semuanya.
Ini ada suntiknya selama 2 bulan. Jadi paket biar cepat. Dari pada sa minum obat banyak.
Jadi sa suntik juga” (Sdr.AR, 28 tahun)
Setelah penderita dibawa ke Rumah Sakit, selanjutnya dilakukan pengalihan
perawatan di Puskesmas terdekat atau di lingkup daerah dari masing-masing penderita.
Puskesmas memonitor dan memberi tindakan preventif sampai kuratif sesuai dengan program
penanggulanagan TB Paru. Namun menurut penuturan petugas yang bertanggung jawab
dalam hal penyakit menular perilaku pasien TB kategori kambuh disebabkan lingkungan atau
sanitasi yang buruk serta pindah tempat tinggal. Berikut penuturan petugas:
“ Pasien TB yang membuat dia kambuh kembali itu karena lingkungan. Mereka yang
tinggal di Belakang BRI, tebing, lembab, dingin. Dengan yang mereka sudah berobat disini
awal baik, mereka pindah, kerja ke Sarmi tidak lanjut ambil obat yah putus begitu saja.
Rata-rata mereka begitu” (Ibu Sm, 42 tahun)
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku peran sakit penderita TB terhadap upaya
kesembuhan yaitu tindakan yang diambil seseorang yang sedang sakit untuk memperoleh
kesembuhan. Tindakan tersebut berupa mencari obat sendiri kemudian setelah merasa kondisi
penyakitnya parah barulah memeriksakan diri dan mencari pengobatan ke Rumah Sakit.
Informan penderita dan keluarga memutuskan untuk melakukan upaya penyembuhan didasari
oleh pemahaman akan penyakitnya. Diperoleh masing-masing informan penderita memiliki
pemahaman yang beragam dalam mengidentifikasi penyakit yang dirasakan. Ada informan
yang dapat mengidentifikasi bagaimana penyakit TB paru secara komprehensif, menjelaskan
gejala penyakit TB paru sampai harus dirawat di Rumah Sakit, namun ada pula yang tidak
dapat menyebutkan penyebab dari TB paru.
Penderita TB
Paru dikatakan sembuh dari penyakit setelah mengikuti program
pengobatan yang sesuai dengan kondisi penyakit. Perilaku penyembuhan atau pengobatan
terdiri dari dua bagian yaitu mengobati sendiri dan mencari pengobatan atau penyembuhan
keluar. Dari penelitian ini diperoleh informan keluarga Tn.Dk yang memiliki istri yaitu
informan Ny.Dk memutuskan untuk berobat ke Rumah Sakit setelah melihat kondisi istri
parah. Tn.Dk menuturkan bahwa awal keluhan ia mengobatinya dengan obat yang ia beli di
warung dan beranggapan bahwa sakit istrinya karena ketidaksukaan keluarga atau
masyarakatnya. Sehingga selama 3 sampai 4 minggu baru mengambil tindakan untuk periksa
ke Rumah Sakit. Hal ini menjadi mitos yang mengacu pada kesalahpahaman seseorang
tentang penyakit. Seperti dalam penelitian Theng et al (2014), menyebutkan bahwa mitosmitos pada akhirnya berkontribusi dengan stigmatisasi pasien TB. Sehingga dengan adanya
mitos, stigma TB, kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait dengan kurangnya
pendidikan dikalangan masyarakat umum. Ditambahkan dalam studi kualitatif oleh Gerrish
dkk (2013), penderita TB yang pendiam atau tidak menceritakan kondisi penyakitnya kepada
orang lain akibat stigma yang dirasakan yang ada pada masyarakat. Dibutuhkan dukungan
psikologis yang besar dari keluarga dan perawat.
Pencarian pengobatan yang dilakukan oleh informan saat terjadi keluhan adalah
memeriksakan diri ke Poliklinik Rumah Sakit yang kemudian dianjurkan untuk rawat jalan,
tetapi setelah beberapa hari karena kondisi melemah sehingga dilakukan perawatan intensif
dengan pemberian cairan parenteral. Seperti yang dikemukakan oleh informan Sdr.Ys dan
Sdr.AR, bahwa mereka harus rawat inap karena kondisi sudah melemah. Berbeda dengan
penuturan Tn.P yang mana saat mengalami keluhan langsung memeriksakan diri ke dokter
tempat kerja. Namun tidak ada perubahan sehingga makin cemas dengan kondisinya lalu
meminta rujukan ke Rumah Sakit. Jadi dapat disimpulkan perilaku pencarian pengobatan
penderita TB secara keseluruhan baik dengan pencarian pengobatan keluar atau tidak diobati
sendiri.
Menurut Notoatmodjo (2010), membagi pelayanan kesehatan sebagai tempat pencarian
penyembuhan dengan urutan pelayanan kesehatan primer yaitu puskesmas, dokter praktek,
dan bidan.apabila tidak berhasil pada pelayanan primer, maka mencari pelayanan sekunder
yaitu Rumah Sakit tipe C atau D sebagai rujukan tingkat pertama. Apabila rujukan tingkat
pertama tidak berhasil menanganinya, barulah menuju ke pelayanan rujukan tingkat dua yaitu
Rumah Sakit tipe B atau A. Rumah Sakit yang memiliki sarana prasarana yang lebih lengkap,
memiliki tenaga medis maupun paramedik yang lebih ahli.
Pada perilaku perilaku pencarian pengobatan diperoleh temuan bahwa motivasi
mempengaruhi penderita mencari pengobatan untuk memperoleh kesembuhan. Motivasi
ditampakkan oleh informan keluarga Tn.Dk yang selalu memberi dukungan kepada istri untuk
mengikuti pengobatan dan tidak ingin istrinya sakit seperti ini lagi, takut bila tidak bisa
tertangani dan kasihan jika sakit seperti saat pertama keluhan yaitu batuk sampai muntah
darah. Didukung oleh penelitian Soldan et al (2013), mengenai hubungan dengan pasangan
yaitu hampir semua pasien dewasa dengan TB dinyatakan menerima dukungan secara
konsisten positif dari pasangan mereka dengan secara signifikan lebih banyak perempuan
dibandingkan laki-laki dan mencatat pentingnya dukungan psikososial yang mereka terima
dari pasangan mereka untuk keberhasilan pengobatan.
Faktor lain yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan, yang mana
pengobatan dilakukan di pelayanan kesehatan primer sampai sekunder yaitu keterlambatan
dalam mendiagnosa. Diperoleh dari informan bahwa saat memeriksakan diri ke dokter
sebagai tempat pelayanan primer, akan tetapi tidak langsung didiagnosa menderita TB paru
dan kondisinya tidak membaik sehingga meminta rujukan ke Rumah Sakit sampai di Rumah
Sakit dilakukan test dahak dan hasilnya positif TB. Menurut Lusignani et al (2013), dalam
penelitiannya mengemukakan pada sistem delay adalah bahwa hal itu mungkin harus lebih
inklusif dalam definisi "tersangka TB". Biasanya, program TB nasional merekomendasikan
bahwa orang dengan batuk kronis (> 2-3 minggu) harus diuji untuk TB, tetapi bisa tidak
menutup kemungkinan adalah penyakit lain. Penelitian lain Buregyeya et al (2014),
menyebutkan pedoman Uganda National TBIC, pasien dengan batuk selama 2 minggu atau
lebih harus diselidiki untuk TB. Dalam penelitian kami hanya 15% dari pasien tersebut
menjalani pemeriksaan dahak dilakukan pada kunjungan pertama mereka ke penyedia layanan
kesehatan. Hal ini mungkin karena minimnya pengetahuan tenaga kesehatan tentang TB,
sehingga menjadi indeks rendah dalam mendiagnosa TB atau kurangnya staf, infrastruktur
untuk mendiagnosa dan mengobati TB. Keterlambatan diagnosis TB dapat memperburuk
penyakit, menghasilkan lebih banyak komplikasi dan menyebabkan angka kematian lebih
tinggi.
Perilaku peran sakit penderita TB paru terhadap hak dan kewajiban dalam kepatuhan
pengobatan ditunjukkan oleh informan adalah informan memiliki Pengawas Minum Obat
(PMO) yang selalu mengingatkan atau mengontrol program pengobatan. Menurut penuturan
informan penderita Tn.P yang memiliki PMO sang istri dimana pada saat Tn.P bekerja dan
tidak dapat meninggalkan pekerjaan, PMO bertugas membantu proses pengobatan dan hal ini
sangat berkontribusi terhadap kesembuhan penderita.
Menurut Theng dkk (2014), kebutuhan untuk dukungan yang berasal dari keluarga,
teman, dokter dan penderita TB paru yang telah sembuh bertujuan untuk perawatan dan
pemulihan pasien. Dukungan sosial muncul merupakan faktor penting untuk mengontrol
masalah TB dengan hampir 25% tingkat keberhasilan penyembuhan. Hal ini menunjukkan
bahwa social dukungan penting untuk menangani gejolak emosi pasien TB yang menjalani
pengobatan. Seperti ungkapan salah satu informan mengatakan: dukungan dari keluarga saya
dan pacar memotivasi saya untuk melanjutkan pengobatan. Menambahkan dalam penelitian
Gerrish dkk (2013), perawat memiliki peran dalam mempromosikan gejala awal, diagnosis
tepat waktu, dan kepatuhan pengobatan. Secara keseluruhan, penderita melaporkan bahwa
dukungan sosial dari anggota keluarga mereka dan penyedia layanan kesehatan sangat penting
terhadap kesejahteraan psikososial dan memotivasi mereka untuk patuh terhadap pengobatan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan perilaku peran sakit penderita TB
paru terhadap upaya kesembuhan yang menyangkut pemahaman tentang penyakit dan upaya
untuk mengobati penyakitnya hanya sebagian diperlihatkan oleh informan dipengaruhi oleh
faktor usia, persepsi yang salah, dan ketidaktahuan. Penderita mencari pengobatan medis
dengan mengobati sendiri dan mencari pengobatan di luar. Penderita memiliki persepsi
(stigma) yang berbeda tentang TB kemudian merasa kondisi penyakitnya parah barulah
memeriksakan diri serta mencari pengobatan ke Rumah Sakit. dalam pencarian pengobatan
diperoleh faktor motivasi dan keterlambatan mendiagnosa. Keterlambatan diagnosis ini
penting untuk prognosis penyakit. Keterlambatan diagnosis TB dapat memperburuk penyakit,
menghasilkan lebih banyak komplikasi dan semakin meningkat angka penularan TB.
Demikian halnya dukungan sosial keluarga dan petugas kesehatan dalam pemberian informasi
menjadi utama untuk kepatuhan pengobatan dan kesembuhan sesuai dengan hak dan
kewajiban penderita. Dukungan sosial dari anggota keluarga mereka dan penyedia layanan
kesehatan sangat penting terhadap kesejahteraan psikososial dan memotivasi mereka untuk
patuh terhadap pengobatan. Disarankan kepada penderita dan keluarga serta masyarakat untuk
dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dalam pencegahan, penularan pengobatan
TB sehingga tidak berorientasi pada stigma maupun kepercayaan yang salah mengenai
penyakit TB, kesadaran akan bahaya penyakit TB dan segera berobat ke pelayanan kesehatan
yang tepat bila ada anggota keluarga
yang menunjukkan gejala TB serta mendukung
penyedia layanan kesehatan dan dapat membuat keputusan tentang perawatan penyakit yang
tepat dan memadai. Bagi petugas kesehatan untuk memperluas sasaran promosi kesehatan
sampai menjangkau ke segala umur, dari dewasa sampai lansia, dari jenis kelamin perempuan
sampai laki-laki, menjadikan sarana pelayanan kesehatan alternatif sebagai mitra dalam
penjaringan suspek TB di komunitas, memastikan ketersediaan sumber daya berupa
pengetahuan klinis dan tugas standarisasi serta keterampilan di semua fasilitas kesehatan
selain pusat DOTS dan meningkatkan manajemen informasi berbasis teknologi informasi dan
komunikasi sebagai upaya untuk mengatasi persoalan TB paru.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A. (2013). Faktor resiko Tuberculosis paru di wilayah kerja Puskesmas Namlea
Kabupaten Buru Provinsi Maluku tahun 2007-2009, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Epidemiologi Indonesia vol.1, no. 3, Januari-Juni 2013
Buregyeya, E., Criel, B., Nuwaha, F., & Colebunders, R. (2014). Delays in Diagnosis and
Treatment of Pulmonary Tuberculosis in Wakiso and Mukono Districts, Uganda.
BMC public health, 14(1), 586
Gerrish, K., Naisby, A., & Ismail, M. (2013). Experiences Of The Diagnosis And
Management Of Tuberculosis: A Focused Ethnography Of Somali Patients And
Healthcare Professionals In The Uk. Journal of advanced nursing, 69(10), 2285-2294.
Kholid, A. (2014). Promosi Kesehatan: Dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media, dan
Aplikasinya untuk Mahasiswa dan Praktisi Kesehatan , Rajawali Pers: Jakarta
Lusignani Luigi Segagni, Gianluca Quaglio, Andrea Atzori, Joseph Nsuka, Ross Grainger,
et al. (2013). Factors Associated with Patient and Health Care System Delay in
Diagnosis for Tuberculosis in the Province of Luanda, Angola. Clinical Institute of
Hospital Hygiene, Vienna General Hospital, Medical University of Vienna, BMC
Infectious Diseases 2013, 13 http://www.biomedcentral.com/1471-2334/13/168
Niven, Neil. (2002). Psikologi Kesehatan: Pengantar untuk Perawat dan Profesional
Kesehatan Lain,E/2. EGC: Jakarta
Notoatmojo,S. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka cipta
Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Riset Kesehatan Dasar. (2013). Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementrian Kesehatan
Pasek, Made.S, Suryani.N, Murdani,P. (2013). Jurnal Magister Kedokteran Keluarga Vol.
No.1 2013 (hal 14-23). Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Pascasarjana
UNS: Surakarta
Soldan, Valerie A Paz., Rebecca E Alban, Christy D Jones and Richard A Oberhelman.
(2013). The Provision of and Need for Social Support among Adult and Pediatric
Patients with Tuberculosis in Lima, Peru: a Qualitative Study. BMC Health Services
Research 2013, 13:290
Syafar, M. (2011). Tuberculosis Sebuah Kajian Sosial Budaya. Nala Cipta Litera, Makassar
Theng, Y. L., Chandra, S., Goh, L. Y. Q., Lwin, M. O., & Foo, S. (2014). Exploratory
Qualitative Study for Community Management and Control of Tuberculosis in India.
Acta tropica, 132, 98-105
Download