II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Imunisasi Hepatitis B 1. Definisi Imunisasi Hepatitis B Kata imun berasal dari bahasa latin imunitas yang berarti pembebasan (kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban terhadap warga biasa dan terhadap dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi terhadap penyakit menular. Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel – sel serta produk zat – zat yang dihasikannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman – kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh (Badan Litbangkes, 2008). Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen ke dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut antibodi. Pada umumnya reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibodi tidak terlalu kuat karena tubuh belum mempunyai pengalaman terhadap antigen yang masuk, tetapi pada reaksi yang kedua, ketiga dan seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibody terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak, itulah sebabnya pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit 9 10 penyakit tersebut atau seandainya terkenapun tidak akan menimbulkan akibat yang fatal (Badan Litbangkes, 2008). Imunisasi adalah pemberian vaksin kepada seseorang untuk melindunginya dari beberapa penyakit tertentu. Imunisasi merupakan upaya untuk mencegah penyakit lewat peningkatan kekebalan tubuh seseorang (Badan Litbangkes, 2008). Imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit hepatitis B. Word Health Organization (WHO) melalui program The Expanded Program on Immunisation (EPI) merekomendasikan pemberian vaksinasi terhadap 7 jenis antigen penyakit sebagai imunisasi rutin di Negara berkembang, yaitu BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B. Imunisasi ada dua macam yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri contohnya imunisasi hepatitis B, sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat contohnya peningkatan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan, contoh lain adalah yang terdapat pada bayi baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari Ibunya terhadap campak (Depkes RI, 2004). Data statistik menunjukkan makin banyak penyakit menular bermunculan dan senantiasa mengancam kesehatan. Setiap tahun di seluruh 11 dunia ratusan ibu, anak – anak dan dewasa meninggal karena penyakit yang sebenarnya masih dapat dicegah, hal ini dikarenakan kurangnya informasi tentang pentingnya imunisasi. Bayi – bayi yang baru lahir, anak – anak usia muda yang bersekolah dan orang dewasa sama – sama memiliki resiko terserang penyakit – penyakit menular yang mematikan seperti, hepatitis B, dipteri, tetanus, thypus, radang selaput otak dan masih banyak penyakit lainnya yang sewaktu – waktu muncul dan mematikan, untuk itu salah satunya pencegahan yang terbaik dan sangat vital agar bayi –bayi tersebut terlindungi hanya dengan melakukan imunisasi (Khalidatnnur & Masriati, 2007). Imunisasi merupakan salah satu cara yang efektif dan efisien dalam mencegah penyakit dan merupakan upaya preventif yang mendapatkan prioritas. Sampai saat ini ada tujuh penyakit infeksi pada anak yang dapat menyebabkan kematian dan cacat, walaupun sebagian anak dapat bertahan dan kebal. Ketujuh penyakit tersebut dimasukkan dalam program imunisasi yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, polio, campak dan hepatitis B (Mirzal, 2008). Imunisasi hepatitis B pada bayi adalah upaya memberikan stimulan kepada tubuh agar secara efektif membentuk antibody terhadap virus hepatitis B (anti–HBs). Program imunisasi hepatitis B dapat berkontribusi menurunkan angka kesakitan dan kematian sebesar 80 -90% (Idwar, 2000). 12 2. Program imunisasi Hepatitis B di Indonesia Imunisasi hepatitis B pada individu dimaksudkan agar individu membetuk antibodi yang ditunjukan untuk mencegah infeksi oleh virus hepatitis B. Tujuan utama pemberian imunisasi hepatitis B yaitu untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi hepatitis B dan manifestasinya, secara tidak langsung menurunkan angka kesakitan dan kematian karena kanker hati dan pengerasan hati (Depkes RI 2000). Pemberian imunisasi hepatitis B sesuai dengan jadwal imunisasi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2000 berdasarkan status HBsAg pada saat ibu melahirkan. Bayi yang dilahirkan dari Ibu dengan status HBsAg yang tidak diketahui, diberikan vaksin rekombinan (HB Vax-II 5μg atau engerix B 10 μg) atau vaksin plasma derived 10 mg secara intra muscular dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosisi kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dosisi ketiga diberikan pada umur 6 bulan. Apabila pada pemeriksaan selanjutnya diketahui HBsAg ibu positif diberikan segera 0,5 HBIF sebelum usia anak satu minggu. Bayi baru lahir dari Ibu HBsAg positif dalam waktu 12 jam setelah lahir dberikan 0,5 ml BIG dan vaksin rekombinan (HB Vax-II 5 mg atau engerix B 10 mg) intra muscular disisi tubuh yang berlalinan. Dosisi kedua di berika 1-2 bulan sesudahnya dan dosisi ketiga pada usia 6 bulan. Bayi yang lahir dengan HBsAg negatif diberikan vaksin rekombinan (HB Vax-II dengan dosisi minimal 2,5 μg atau 13 engerix B 10μg, vaksin plasma derived dengan dosisi 10μg intar muscular saat lahir sampai 2 bulan. Dosis kedua diberikan 1-2 bulan dan dosisi ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis pertama. Adapun jadwal pelaksanaan program imunisasi nasiaonal adalah sebagai berikut. Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Program Imunisasi Nasional Umur Vaksin Tempat 0 Bulan (0-7 hari) HB1 Dirumah 1 Bulan BCG Posyandu 2 Bulan HB2 Posyandu 3 Bulan HB2, DPT1, Polio1 Posyandu 4 Bulan HB3, DPT2. Polio2 Posyandu 9 Bulan Campak dan Polio 4 Posyandu 0 Bulan (0-7hari) HB1, Polio1, BCG RS/Bidan Praktek 2 Bulan HB2, DPT1, Polio 2 Posyandu 3 Bulan HB3, DPT2, Polio 3 Posyandu 4 Bulan DPT3, Polio 4 Posyandu 9 Bulan Campak Posyandu Bayi lahir dirumah Bayi lahir di RS/Bidan praktek Sumber : Depkes RI 14 B. Tinjauan Tentang Penyakit Hepatitis B 1. Definisi Penyakit Hepatitis B Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula menyebabkan radang, gagal ginjal, sirosis hati, dan kematian (Laila Kusumawati, 2006). Penyakit hepatitis adalah peradangan hati yang akut karena suatu infeksi atau keracunan. Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan di dunia dan dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan. Hal ini karena selain prevelensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan dapat terjadi cirrhosis hepatitis dan carcinoma hepatocelluler primer (Aguslina, 1997). Hepatitis merupakan peradangan hati yang bersifat sistemik, akan tetapi hepatitis bisa bersifat asimtomatik. Hepatitis ini umumnya lebih ringan dan lebih asimtomatik pada yang lebih muda dari pada yang tua. Lebih dari 80% anak – anak menularkan hepatitis pada anggota keluarga adalah asimtomatik, sedangkan lebih dari tiga 15 perempat orang dewasa yang terkena hepatitis A adalah simtomatik (Tjokronegoro, 1999). Sepuluh persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20% penderita hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami cirrhosis hepatic dan carcinoma hepatoculler primer (hepatoma). Kemungkinan akan menjadi kronik lebih tinggi bila infeksi terjadi pada usia balita dimana respon imun belum berkembang secara sempurna. Pada saat ini diperkirakan terdapat kira – kira 350 juta orang pengidap (carrier) HBsAg dan 220 juta (78%) terdapat di Asia termasuk Indonesia (Sulaiman, 1994, dalam Aguslina, 1997). 2. Etiologi Hepatitis Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali ditemukan oleh Blumberg tahun 1965 dan dikenal dengan nama antigen Australia yang termasuk DNA virus. Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut dengan “Partikel Dane”. Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada partikel inti terdapat hepatitis B core antigen (HBcAg) dan hepatitis B antigen (HBeAg). Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipoprotein dan menurut sifat imunologiknya protein virus hepatitis B dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw, dan ayr. Subtype ini secara epidemiologis 16 penting karena menyebabkan perbedaan geografik dan rasial dalam penyebaranya (Aguslina, 1997). 3. Patogenesis Berbagai mekanisme bagaimana virus hepatotropik merusak sel hati masih belum jelas, bagaimana peran yang sesungguhnya dari hal – hal tersebut. Informasi dari kenyataanya ini meningkatkan kemungkinan adanya perbedaan patogenetik. Ada dua kemungkinan : (1) Efek simptomatik langsung dan (2) adanya induksi dan reaksi imunitas melawan antigen virus atau antigen hepatosit yang diubah oleh virus, yang menyebabkan kerusakan hepatosit yang di infeksi virus. Organ hati pada tubuh manusia. Pada hepatitis kronik terjadi peradangan sel hati yang berlanjut hingga timbul kerusakan sel hati. Dalam proses ini dibutuhkan pencetus target dan mekanisme persistensi. Pencetusnya adalah antigen virus, autogenetic atau obat. Targetnya dapat berupa komponen struktur sel, ultrastruktur atau jalur enzimatik. Sedangkan persistensinya dapat akibat mekanisme virus menghindar dari sistem imun tubuh, ketidakefektifan respon imun atau pemberian obat yang terus - menerus (Stanley, 1995). 4. Patofisiologi Pada hati manusia merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus Hepatitis B (VHB) mula – mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam 17 sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma virus Hepatitis B (VHB) melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjuntnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam asam nukleat virus Hepatitis B (VHB) akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hopses dan berintegrasi pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA virus hepatitis B (VHB) memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi. Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B, Non A dan Non B adalah sama yaitu adanya peradangan akut di seluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati disertai infiltrasi sel – sel hati dengan histosit (Aguslina, 1997). Perubahan morfologi hati pada hepatitis A, B dan non A dan B adalah identik pada proses pembuatan billiburin dan urobulin. Penghancuran eritrosit dihancurkan dan melepaskan Fe + Globulin + billiburin. Pengahancuran eritrosit terjadi di limpa, hati, sum – sum tulang belakang dan jaringan limpoid. a. Billiburin I Hasil penelitian eritrosit di lien adalah billiburin I atau billiburin indirect. Billiburin I masih terkait dengan protein. Di hati billiburin I dipisahkan protein dan atas pengaruh enzim hati, billiburin I menjadi billiburin II atau hepatobilliburin. 18 b. Billiburin II Billiburin dikumpulkan didalam vesica falea (kandung empedu) dan dialirkan ke usus melalui ductus choleducutus. Billiburin yang keluar dari vesica falea masuk ke usus diubah menjadi stercobilin, kemudian keluar bersama feces lalu sebagian masuk ke ginjal, sehingga disebut urobillinogen. Bila billiburin terlalu banyak dalam darah akan terjadi perubahan pada kulit dan selaput lendir kemudian kelihatan menguning sehingga disebut ikterus (Tjokronegoro, 1999). 5. Manefestasi Klinis Hepatitis B Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis manefestasi klinis hepatitis B dibagi dua, yaitu : a. Hepatitis B akut Hepatitis B akut yaitu manefestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis B dari tubuh hopses. Hepatitis B akut terdiri atas 3, yaitu: 1) Hepatitis B akut yang khas Bentuk hepatitis ini meliputi 95% penderita dengan gambaran ikterus yang jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu, fase praikterik (prodromal), gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri di daerah hati 19 disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati, fase ikterik, gejala demam dan gastrointestinal mulai tambah hebat, disertai hepatomegali dan spinomegali. Timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu ke dua. Setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal dan fase penyembuhan, ditandai dengan menurunya kadar enzim aminotransferase, pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal. 2) Hepatitis Fulminan Bentuk ini sekitar 1% dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai prognosa buruk dalam 7 – 10 hari, 50% akan berakhir dengan kematian. b. Hepatitis B kronik Hepatitis B kronik yaitu kira – kira 5 -10% penderita hepatitis B akut akan mengalami hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukan perbaikan yang mantap (Aguslina, 1997) 6. Sumber dan Cara Penularan a. Sumber Penularan Virus Hepatitis B Sumber penularan berupa darah, saliva, kontak dengan mukosa penderita virus, feses, dan urine, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang terkontaminasi virus hepatitis B. b. Cara penularan Virus Hepatitis B 20 Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu parenternal dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang susah tercemar virus Hepatitis B dan pembuatan tattoo, kemudian secara non parenteral yaitu karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B. secara epidemiologi penularan infeksi virus hepatitis B dari Ibu yang HBsAg positif kepada anak dilahirkan yang terjadi selama masa perinatal, dan secara horizontal yaitu penularan infeksi virus Hepatitis B dari seseorang pengidap virus kepada orang lain disekitarnya, misalnya melalui hubungan seksual (Aguslina, 1997) 7. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Hepatitis B Faktor – faktor yang mempengaruhi penyakit Hepatitis B menurut Aguslina (1997) dapat dibagi menjadi : a. Faktor Host (Pejamu) Faktor host adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbul serta perjalanan penyakit Hepatitis B yang meliputi: 1) Umur, dimana penyakit Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering bayi dan anak (25,45%). Resiko untuk menjadi kronis menurun dengan bertambahnya umur, dimana bayi pada 90% menjadi kronis, pada anak usia sekolah 23 – 46% dan pada orang dewasa 3 – 10% (Aguslina, 1997). 21 2) Jenis Kelamin, wanita tiga kali lebih sering terinfeksi Hepatitis B dibanding pria. 3) Mekanisme pertahanan tubuh, bayi baru lahir atau bayi dua bulan pertama setelah lahir sering terinfeksi Hepatitis B, terutama pada bayi yang belum mendapat imunisasi Hepatitis B. Hal ini karena sistem imun belum berkembang sempurna. 4) Kebiasaan hidup, dimana sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas seksual dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian tattoo, dan pemakaian akupuntur. 5) Pekerjaan, kelompok resiko tinggi untuk mendapatkan infeksi Hepatitis B adalah dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium dimana pekerjaan mereka sehari – hari kontak dengan penderita dan material manusia (darah, tinja, air kemih). b. Faktor Agent Penyebab Hepatitis B adalah Virus Hepatitis B (VHB). Berdasarkan sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi dalam penyebaranya. Subtype adw terjadi di Eropa, Amerika dan Australia. Subtipe ayw terjadi di Afrika Utara dan Selatan. Subtipe ayw dan adr terjadi di Malaysia, Thailand, Indonesia. Sedangkan subtipe adr terjadi di jepang dan China. 22 c. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi perkembangan hepatitis B, yang termasuk faktor lingkungan adalah lingkungan dengan sanitasi jelek daerah dengan prevelensi virus hepatitis B (VHB) tinggi, daerah unit pembedahan, daerah unit laboratorium, daerah bank darah, daerah tempat pembersihan, daerah dialias dan transplantasi, daerah unit penyakit dalam. 8. Epidemilologi Hepatitis B Prevelensi penyakit Hepatitis B di dunia terendah berada di benua Amerika dan sebelah Eropa dimana sebesar kurang dari 2% populasi yang terinfeksi kronik melalui peyalahgunaan obat – obatan injeksi, seksual tanpa pengaman dan faktor – faktor penting yang lainnya. Prevelensi sedang berada di Eropa Timur, Rusia, dan Jepang sebesar 2 -7 % yang umumnya menyerang anak – anak. Prevelensi tinggi berada di wilayah China, Asia tenggara dan Afrika, dimana penularan terjadi umumnya pada baru lahir dengan endemisitas > 8%. 9. Komplikasi Komplikasi hepatitis virus yang paling sering dijumpai adalah perjalanan penyakit yang panjang hingga 4 sampai 8 bulan, keadaan ini dikenal sebagai hepatitis kronik persisten, dan terjadi pada 5% hingga 10% pasien. Akan tetapi meskipun kronik persisten dan terjadi pada 5 % 23 hingga 10% pasien. Akan tetapi meskipun terlambat, pasien – pasien hepatitis kronik persisten akan sembuh kembali. Pasien hepatitis virus sekitar 5% akan mengalami kekambuhan setelah serangan awal. Kekambuahan biasanya dihubungkan dengan kebiasaan minum alkohol dan aktivitas fisik yang berlebihan. Ikterus biasanya tidak terlalu nyata dan tes fungsi hati tidak memperlihatkan kelainan dalalm derajat yang sama. Tirah baring biasanya akan segera di ikuti penyembuhan yang tidak sempurna. Akhirnya suatu komplikasi lanjut dari hepatitis yang cukup bermakna adalah perkembangan carcinoma hepatoselular, kendatipun tidak sering ditemukan, selain itu juga adanya kanker hati yang primer. Dua faktor penyebab utama yang berkaitan dengan patogenesisnya adalah infeksi virus hepatitis B kronik dan sirosis terakit dengan virus hepatitis C dan infeksi kronik telah dikaitkan pula dengan kanker hati (Sylvia, 1995). 10. Prognosis Dengan penanggulangan yang cepat dan tepat, prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Pada sebagian kasus penyakit berjalan ringan dengan perbaikan biokimiawi terjadi secara spontan dalam 1 – 3 tahun. Pada sebagian kasus lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronk aktif berubah menjadi keadaan yang lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat 24 kelainan biokimiawi, pasien tetap asimtomatik dan jarang terjadi kegagalan hati (Tjokronegoro, 1999). Infeksi Hepatitis B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi. Pada suatu survey dari 1.675 kasus dalam satu kelompok, tertnyata satu dari delapan pasien yang menderita hepatitis karena tranfusi (B dan C) meninggal sedangkan hanya satu diantara dua ratus pasien dengan hepatitis A meninggal dunia (Tjokronegoro, 1999). Di seluruh dunia ada satu diantara tiga yang menderita penyakit hepatitis B meninggal dunia (WHO, 2005). 11. Penatalaksanaan Hepatitis B Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus, akan tetapi secara umum penatalaksanaan pengobatan hepatitis adalah sebagai berikut : a. Istirahat Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat. Istirahat mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kecuali mereka dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk. b. Diet Jika pasien mual, tidak ada nafsu makan atau muntah – muntah, sebaiknya diberikan infus. Jika tidak mual lagi, diberikan makanan cukup kalori (30-35 kalori/kg BB) dengan protein cukup (1 gr/kg BB), yang diberikan secara berangsur – angsur disesuaikan dengan 25 nafsu makan klien yang mudah dicerna dan tidak merangsang serta rendah garam (bila ada resistensi garam/air). c. Medikamentosa Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan billiburin darah. Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestatis yang berkepanjangan, dimana transaiminase serumsudah kembali normal tetapi billburin masih tinggal. Pada keadaan ini dapat dberikan prednisone 3 x 10 mg selama 7 hari, jangan diberikan antimetik, jika perlu sekali dapat diberikan fenotiazin. Vitamin K diberikan pada kasus dengan kecenderungan perdarahan. Bila pasien dalam keadaan perkoma atau koma, penanganan seperti pada koma hepatik (Arif, 2000). d. Pencegahan Penularan Hepatitis B Menurut Park ada lima pokok tingkatan pencegahan yaitu : 1) Health promotion Helath promotion yaitu dengan usaha penigkatan mutu kesehatan. Helath promotion terhadap host berupa pendidikan kesehatan, peningkatan higiene perorangan, perbaikan gizi, perbaikan system tranfusi darah dan mengurangi kontak erat dengan bahan hepatitis B (VHB). 2) Specific protection bahan yang berpotensi menularkan virus 26 Specific protection yaitu perlindungan khusus terhadap penularan hepatitis B dapat dilakukan melalui sterilisasi benda–benda yang tercemar dengan pemanasan dan tindakan khusus seperti penggunaan yang langsung bersinggungan dengan darah, serum, cairan tubuh dari penderita hepatitis, juga pada petugas kebersihan, penggunaan pakaian khusus sewaktu kontak dengan darah dan cairan tubuh, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita pada tempat khusus selain itu perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg petugas kesehatan (unit onkologi dan dialisa) untuk menghindarkan kontak antara petugas kesehatan dengan penderita dan juga imunisasi pada bayi baru lahir. 3) Early diagnosis and prompt treatment Menurut Noor (2006), diagnosis dan pengobatan dini merupakan upaya pencegahan penyakit tahap II. Sasaran pada tahap ini yaitu bagi mereka yang menderita penyakit atau terancam akan menderita suatu penyakit. Tujuan pada pencegahan tahap II adalah : a) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui pemeriksaan berkala pada sarana pelayanan kesehatan untuk mematiskan bahwa seseorang tidak menderita penyakit hepatitis B, bahkan gangguan kesehatan lainnya. 27 b) Melakukan screening hepatitis B (pencarian penderita penyakit Hepatitis) melalui suatu tes atau uji tertentu pada orang yang belum mempunyai atau menunjukan gejala dari suatu penyakit dengan tujuan untuk mendeteksi secara dini adanya suatu penyakit hepatitis B. c) Melakukan pengobatan dan pearwatan penderita hepatitis B sehingga cepat mengalami pemulihan atau sembuh dari penyakitnya. 4) Disability limitation Disability limitation merupakan upaya pencegahan tahap III dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kecacatan dan kematian karena suatu penyakit. Upaya mencegah kecacatan akibat penyakit hepatitis B dapat dilakukan dengan upaya mencegah proses berlanjut yaitu dengan pengobatan dan perawatan secara khusus berkisanambungan dan teratur sehingga proses pemulihan dapat berjalan dengan baik dan cepat. Pada dasarnya penyakit hepatitis B tidak membuat penderita menjadi cacat pada bagian tubuh tertentu. Akan tetapi sekali vitus hepatitis B masuk ke dalam 28 tubuh maka seumur hidup akan menjadi carrier dan menjadi sumber penularan bagi orang lainnya. 5) Rehabilitation Rehabilitasi merupakan serangkaian dari tahap pemberantasan kecacatan (disability limitation) dengan tujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik, psikologis dan sosial. (Noor, 2006). Rehabilitation yang dapat dilakukan dalam menanggulangi penyakit hepatitis B yaitu sebagai berikut : a) Rehabilitasi fisik, jika penderita mengalami gangguan fisik akibat penyakit hepatitis B b) Rehabilitasi mental dari penderita hepatitis B, sehingga penderita tidak merasa minder dengan orangtua masyarakat sekitarnya karena pernah menderita penyakit hepatits B. c) Rehabilitasi sosial bagi penderita penyakit hepatitis B sehingga tetap dapat melakukan kegiatan di lingkungan sekitar bersama orang lainnya. 29 C. Tinjauan Tentang Wilayah Pesisir 1. Batasan dan sifat-sifat Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wialayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Henny, 2003). Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Wiyana, 2004). Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memeliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore). Batas wilayah pesisir kearah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf) dimana 30 ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Henny, 2003). Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran pengaruh antara darat, laut dan udara (iklim). Pada umumnya wilayah pesisir dan khusunya perairan estuaria mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan di laut. Namun demikian, perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir ditandai oleh adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, dan karenanya merupakan wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di luar normal. Dari segi fungsinya, wilayah pesisir merupakan zone penyangga (buffer zone) bagi hewan-hewan migrasi (Henny, 2003). Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati adalah ekosistem litoral (pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang, dan pantai lumpur), hutan payau, vegetasi terna rawa payau, hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut (Henny, 2003)s. Sementara itu (Dahuri, dkk 2001), penentuan batas-batas wilayah pesisir di dunia pada umumnya berdasarkan pada tiga kriteria berikut: a. Garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau shoreline). Republik Rakyat Cina mendefinisikan wilayah 31 pesisirnya sebagai suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan lautan, ke arah darat mencakup lahan darat sejauh 15 km dari garis pantai, dan ke arah laut meliputi perairan laut sejauh 15 km dari garis pantai. b. Batas-batas adiministrasi dan hukum. Negara bagian Washington, Amerika Serikat; Australia Selatan; dan Queensland, batas ke arah laut dari wilayah pesisirnya adalah sejauh 3 mil laut dari garis dasar (coastal baseline). c. Karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik), yakni atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau kesatuan proses-proses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi biota, dan pasang surut). Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria ketiga ini adalah: batasan menurut Daerah Aliran Sungai (DAS)(catchment area atau watershed). 2. Ciri-ciri Wilayah Pesisir a. Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat. b. Tempat dimana terdapat ekosistem yang produktif dan beragam dan merupakan tempat bertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagai jenis spesies organisme perairan. c. Ekosistemnya yang terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir, muara sungai, lamun dan sebagainya yang merupakan 32 pelindung alam yang penting dari erosi, banjir dan badai serta dapat berperan dalam mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut. d. Sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi, dan tempat berlibur atau rekreasi. 3. Klasifikasi Wilayah Pesisir Bila diperhatikan batasan wilayah pesisir terbagi menjadi dua subsistem, yaitu daratan pesisir (shoreland), dan perairan pesisir (coastal water), keduanya berbeda tetapi saling berinteraksi. Secara ekologis daratan pesisir sangat kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya yang tinggi. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah sistem perairan pesisir dan pengaruhnya terhadap daya dukung (carrying capacity) ekosistem wilayah pesisir. Pengaruh daratan pesisir terhadap perairan pesisir terutama terjadi melalui aliran air (runoff) (Henny, 2003). Perairan pesisir secara fungsional terdiri dari perairan estuaria (estuaria regime), perairan pantai (nearshore regime), dan perairan samudera (oceanic regime). Perairan estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup, yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga dengan demikian estuaria dipengaruhi oleh pasang surut, dan terjadi pula percampuran yang masih dapat diukur antara air laut dengan air tawar yang bersal dari drainase daratan. Perairan pantai meliputi laut mulai dari batas estuaria kearah laut sampai batas paparan benua atau batas teritorial. Sedangkan perairan samudera, semua perairan ke arah 33 laut terbuka dari batas paparan benua atau batas territorial (Henny, 2003). Pendapat Scura et al (1998) dalam Satria (2009) mengenai wilayah pesisir adalah daerah yang mewakili antara pertemuan daratan dan laut, tetapi kepedulian dan minat diarahkan pada wilayah dimana aktifitas manusia saling keterkaitan dengan daratan dan lingkungan laut. Dan wilayah pesisir mempunyai karakteristik, yaitu: 1. Memiliki habitat dan ekosisitem (seperti estuaria, terumbu karang, padang lamun), yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, mineral) dan jasa (seperti bentuk perlindungan alam dari badai, arus pasang surut, rekreasi) untuk masyarakat pesisir. 2. Dicirikan persaingan untuk sumber daya daratan, lautan dan ruang oleh berbagai stakeholder, seringkali menimbulkan konflik besar dan menurunkan fungsi terpadu dari sistem sumber daya. 3. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat mengalihkan GNP (gross National Product) terhadap kegiatan seperti pembangunan perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata pesisir dan lain-lain; 4. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan tempat yang baik untuk urbanisasi. Secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima 34 limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Bengen, 2001) Wilayah pesisir merupakan lokasi dari beberapa ekosisitem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif. Beberapa ekosistem utama di Wilayah pesisir adalah (1) estuaria, (2) hutan mangrove, (3) padang lamun, (4) terumbu karang, (5) pantai (berbatu, berpasir, dan berlumpur), dan (6) pulau kecil (Saru, 2004). Menurut Boelars (1984) masyarakat pesisir adalah suatu kelompok manusia yang bertempat tinggal di pesisir pantai dengan kegiatan utamanya menangkap ikan di lautan dan di dalam teluk yang kegiatannya banyak melibatkan anggota keluarga lainnya. Menurut Hume dalam Dodi (1987) menyatakan bahwa masyarakat pesisir adalah kehidupan masyarakat yang menghimpun dan mencakup seluruh individu-individu yang saling berinteraksi dengan menjadikan perairan laut sebagai sumber dalam menyatukan mereka secara teritorial, adat istiadat, sosial dan ekonomi. Sejalan dengan hal tersebut Dodi (1989) masyarakat pesisir adalah masyarakat atau mereka yang pekerjaannya mencari ikan di sungai dan di laut dengan model dan alat-alat penangkapan ikan dan bukan model berupa bibit ikan. Menurut Mansyur (1987) masyarakat pesisir adalah persekutuan hidup yang merupakan perkataan manusia dengan perasaan persatuan dan kesadaran 35 bersama dengan wilayah laut sebagai alam yang memperteguh eksistensi kehidupan mereka. Konsep mengenai masyarakat pantai dapat didekati melalui upaya pemanfaatan sumber daya alam oleh penduduknya dan kompleksitas perwujudan budaya masyarakat. beberapa tipe desa-desa pantai melalui pendekatan pemanfaatan sumber daya alam, yaitu sebagai berikut : 1. Desa pantai tipe bahan makanan, yaitu desa-desa pantai yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani sawah khususnya sawah padi. 2. Desa pantai tipe tanaman industri, yaitu desa-desa pantai yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani tanaman industry terutama kelapa. 3. Desa pantai tipe nelayan/empang, yaitu desa-desa pantai yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai penangkap ikan laut/pemeliharaan ikan darat. 4. Desa pantai niaga dan transportasi, yaitu desa-desa pantai yang sepanjang lahan dapat ditempati oleh perahu-perahu layar. Sedangkan pendekatan kompleksitas perwujudan budaya masyarakat pantai sangat berkaitan dengan kultur laut yang mendapat pengaruh dari maritime great tradition. Adapun konsep pengertian masyarakat pesisir yang digunakan dalam studi ini adalah konsep masyarakat pesisir di perkotaan tipe nelayan dan petambak dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petambak dan nelayan (Razak, 2000). 36 Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir (Bengen, 2001). Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Sastria, 2009). 37 D. Tinjauan Tentang Variabel yang Diteliti 1. Tinjauan Tentang Penolong Persalinan Persalinan adalah proses alami yang akan berlangsung untuk melahirkan bayi melalui jalur lahir (vagina). Persalinan pada manusia dibagi menjadi empat tahap penting dan kemungkinan resiko persalinan dapat terjadi pada setiap tahap tersebut. Persalinan dapat terjadi karena adanya kekuatan yang mendorong janin (Manuaba, 1999). Setiap tahunnya di Indonesia terjadi lebih dari 5 juta kehamilan dan sekitar 20.000 dari kematian tersebut dengan kematian ibu yang diakibatkan oleh komplikasi obstertik yaitu perdarahan, infeksi, eklampsia dan komplikasi aborsi. Sekitar 95% bayi yang ibunya meninggal dalam 6 minggu pasca persalinan akan meninggal sebelum umur satu tahun dan anak – anak yang telah dilahirkan sebelumnya juga akan mengalami trauma dan sterss yang sangat hebat yang akan yang akan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan mereka selanjutnya. (Sandra, dkk, 2004). Tingginya angka kematian ibu di Indonesia dipengaruhi oleh belum memadainya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan rendahnya penanganan kasus obsterti. Data SKDI 1994 menunjukan bahwa di Indonesia 72,4% ibu yang melahirkan di desa dan 25,2% ibu yang melahirkan di kota ditolong oleh dukun, sementara SKDI 1997 menunujukan bahwa belum banyak perubahan yaitu 65,3% pertolongan 38 persalinan di desa dan 23,1 di kota masih ditolong oleh dukun (Sandra dkk, 2004). Menurut data Susenas tahun 2004, presentase penolong persalinan pertama oleh tenaga kesehatan adalah 64,4%. Penolong terakhir oleh tenaga kesehatan 71,3%. Tahun 2006 cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih sekitar 76%, artinya masih banyak pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi dengan cara tradisional yang dapat membahayakan keselamatan ibu dan bayinya (Suardika, 2008). Dukun bayi merupakan tokoh kunci di dalam masyarakat yang berpotensi untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayinya. Akan tetapi, perlu disadari bahwa peran dan dipengaruhi dukun bayi itu sangat bervariasi sesuai dengan kultur yang berlaku di suatu tempat. Pada beberapa kultur, mungkin seorang wanita yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Peran utama dukun bayi adalah menerima bayi dan menangani yang berkaitan dengan proses persalinan (Sutomo, 2003). Sebagian besar ibu hamil di daerah terpencil yang sulit dijangkau melahirkan bayinya di rumah yang ditolong oleh bidan atau dukun. Bayi yang lahir di rumah, pada umumnya baru dibawa ke posyandu setelah vertikal dari ibu yang menderita penyakit hepatitis B, maka bayi harus dimimunisasi pada usia sedini mungkin umur 0 -7 hari. Untuk itu diperlukan petugas kesehatan yang mempunyai pengabdian yang sangat 39 tinggi agar tujuan untuk mengimunisasi seluruh bayi lahir dapat tercapai (Depkes RI, 2002). Pemberian imunisasi hepatitis B kepada bayi sedini mungkin (usia 0-7hari) menjadi prioritas program imunisasi hepatitis B, karena hal ini akan memberikan perlindungan segera bagi bayi tersebut dari infeksi virus hepatitis B dan dapat mencegah infeksi yang sudah terjadi (melalui penularan perinatal) berkembang menjadi kronis. Menurut hasil penelitian Asep (2001) menunujukan bahwa penolong persalinan berpengaruh terhadap kontak pertama imunisasi hepatitis B pada bayi persalinanya ditolong oleh tenaga kesehatan. Untuk meningkatkan jumlah bayi yang mendapatkan imunisasi hepatitis B pada usia dini, perlu ditingkatkan kerjasama dengan tenaga kesehatan yang menolong persalinan untuk dapat memberikan penyuluhan mengenai imunisasi hepatitis B dan pentingnya imunisasi tersebut diberikan sedini mungkin kepada ibu – ibu hamil saat memeriksakan kehamilanya dan memanfaatkan kesempatan kontak dengan bayi untuk memberikan pelayanan imunisasi hepatitis B ( Asep, 2001). 2. Tinjauan Dukungan Suami Keputusan dalam menggunakan pelayanan kesehatan diduga berhubungan dengan beberapa faktor misalnya dalam pengambilan keputusan ditentukan oleh orang yang paling dominan berpengaruh dalam keluarga dalam hal ini suami sehingga sifat kepatuhan selalu diutamakan (Fijung 2000). 40 Suami sebagai kepala rumah tangga memegang peranan dalam memutuskan suatu tindakan istri dalam penggunan imunisasi hepattis B (0-7 hari). Jika suami melarang istrinya dalam penggunan imunisasi hepatitis B (0-7 hari) maka istri tidak boleh menentang keputusan suaminya (Sugeng 1991). Penggunaan imunisasi hepatitis B (0-7 hari) pada bayi harus sepengetahuan suami. Dimana suami harus sadar bahwa penggunann iminisasi hepatitis B (0-7 hari) dapat membantu terhindarnya dari suatu penyakit hepatitis B maka dari itu dianjurkan untuk bayi baru lahir agar segera mendapatkan imunisasi hepatitis B sedini mungkin supaya tidak tertularkan dengan penderita hepatitis (Gunawan 2009). Berdasarkan atas batasan demikian maka dukungan keluarga dalam hal ini suami sangat menentukan pengambilan keputusan dalam pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari). 3. Tinjauan Tentang Penyuluhan Kesehatan Pendidikan kesehatan sebagai bagian atau cabang ilmu kesehatan, juga mempunyai dua sisi, yakni sisi ilmu dan seni, dari sisi seni yakni praktisi dan aplikasi. Pendidikan kesehatan merupakan penunjang bagi program – program kesehatan lain artinya setiap program kesehatan misalnya pemberantasan penyakit, perbaikan gizi masyarakat, sanitasi lingkungan, kesehatan ibu dan anak, program pelayanan kesehatan (di Indonesia sering disebut penyuluhan keseahtan). Hal ini penting karena masing – masing program kesehatan tersebut mempunyai efek prilaku 41 masyarakat yang perlu dikondisikan dengan pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2003) Pengalaman bertahun – tahun pelaksanaan pendidikan di negara maju maupun di negara berkembang mengalami berbagai hambatan dalam rangka pencapaian, tujuanya yaitu mewujudkan perilaku hidup sehat bagi masyarakatnya. Hambatan yang paling besar dirasakan adalah faktor pendukungnya (enabling factor), dari penelitian - penelitian yang ada terungkap meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat sudah tinggi tentang kesehatan namun praktek tentang kesehatan atau prilaku hidup sehat masih sangat rendah. Hasil pengkajian oleh Word Health Organization (WHO) terutama di negara – negara berkembang ternyata faktor pendukung atau sarana dan prasarana tidak mendukung masyarakat untuk berprilaku hidup sehat, misalnya: meskipun kesadaran dan pengetahuan orang atau masyarakat tentang kesehatan (misalnya sanitasi lingkungan, gizi, imunisasi, pelayanan kesehatan dan sebagainya) sudah tinggi, tetapi apabila tidak di dukung oleh fasilitas yaitu ketersediaan jamban sehat, air bersih, makanan yang bergizi, fasilitas imunisasi, pelayanan kesehatan dan sebagainya, maka mereka sulit untuk mewujudkan prilaku tersebut. (Notoatmodjo,2003) WHO pada awal 1980-an menyimpulkan bahwa pendidikan kesehatan tidak mampu mencapai tujuanya, apabila hanya menfokuskan 42 pada upaya – upaya perubahan prilaku saja. Pendidikan kesehatan harus mencakup pula upaya perubahan lingkungan (fisik dan sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya) sebagai wujud penunjang atau pendukung perubahan prilaku tersebut. Sebagai perwujudan dari perubahan konsep pendidikan kesehatan ini secara oraganisasi struktural, maka pada tahun1984, divisi promosi dan pendidikan (Health Education) di dalam WHO diubah menjadi divisi promosi dan pendidikan kesehatan (Division on health promotion and education). Sekitar 16 tahun kemudian yakni awal tahun 2000 Departemen kesehatan RI baru dapat menyesuaikan konsep WHO ini dengan mengubah pusat penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) menjadi di rektorat promosi kesehatan dan sekarang menjadi pusat promosi kesehatan (Notoatmodjo, 2003). a. Visi pendidikan kesehatan Pendidikan atau promosi kesehatan harus memepunyai visi yang jelas yang dimaksud dengan “visi” dalam konteks ini adalah apa yang diinginkan oleh pendidikan atau promosi keseahtan sebgai penunjang program – program kesehatan yang lain, visi umum dari pendidikan kesehatan tidak lepas dari undang – undang kesehatan no 23/1992 maupun, Word Helath Organization (WHO) yakni : meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik fisik, mental, dan sosialnya sehingga produktif secara 43 ekonomi dan sosial. Pendidikan kesehatan disemua program kesehatan, baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan maupun program kesehatan lainya bermuara pada kemampuan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, baik kesehatan individu, kelompok maupun masyarakat (Notoatmodjo 2003). b. Misi pendidikan kesehatan Misi pendidikan kesehatan adalah upaya yang harus dilakukan untuk mencapai visi tersebut, misi pendidikan atau promosi kesehatan secara umum dapat dirumuskan 3 butir : 1) Advokat (advocate) 2) Menjembatanio (mediate) 3) Memampukan (enable) (Notoadmojo, 2003) Yang dimaksud dengan memapukan adalah memberi kemampuan atau keterampilan kepada masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan sendiri secara mandiri, hal ini berarti masyarakat diberi kemampuan – kemampuan atau keterampilan agar mandiri dibidang kesehatan, termasuk memelihara dan meningkatkan keterampilan seperti bertani, beternak, bertanam obat – obatan tradisioanl, koperasi, dan sebagainya dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga (income generation). Selanjutnya dengan ekonomi 44 keluarga yang meningkat maka kemampuan dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan juga meningkat ( Notoatdmojo 2003). E. Kerangka Konsep Dalam pelaksanaan program imunisasi, salah satu tujuan program adalah tercapainya indikator SPM (Standar Pelayanan Minimal) yang berarti bahwa pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi baru lahir (0–7 hari) harus mencapai 70%. Pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) adalah tingkat pencapaian jumlah bayi yang diimunisasi Hepatitis B pada bayi baru lahir (0 -7 hari) dengan hasil yang dicapai setiap periode atau jangka waktu tertentu. Banyak faktor yang berhubungan dengan pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari). Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah penolong persalinan, dukungan suami dan penyuluhan kesehatan. 45 Untuk lebih jelasnya Kerangka Konsep Penelitian dapat dilihat pada gambar1. Penolong persalinan Dukungan suami Penyuluhan kesehatan Pengetahuan ibu Pemberian imunisasi Hepatitis B pada baru bayi lahir (0-7 hari) 46 Sikap petugas Keterangan : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti Gambar 1. Bagan kerangka konseptual F. Hipotesis Penelitian 1. H0 : Tidak ada hubungan antara penolong persalinan dengan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010. H1 : Ada hubugnan antara penolong persalinan dengan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010. 2. H0 : Tidak ada hubungan dukungan suami dengan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010. H1 : Ada hubungan dukungan suami dengan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010. 3. H0 : Tidak ada hubungan penyuluhan kesehatan dengan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010. H1 : Ada hubungan penyuluhan kesehatan dengan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010.