II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Imunisasi Hepatitis B
1. Definisi Imunisasi Hepatitis B
Kata imun berasal dari bahasa latin imunitas yang berarti pembebasan
(kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan
mereka terhadap kewajiban terhadap warga biasa dan terhadap dakwaan.
Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya
berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi
terhadap penyakit menular. Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh
yang terdiri dari sel – sel serta produk zat – zat yang dihasikannya, yang
bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing
seperti kuman – kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh
(Badan Litbangkes, 2008).
Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen ke dalam
tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut
antibodi. Pada umumnya reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibodi
tidak terlalu kuat karena tubuh belum mempunyai pengalaman terhadap
antigen yang masuk, tetapi pada reaksi yang kedua, ketiga dan seterusnya,
tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga
pembentukan antibody terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam
jumlah yang lebih banyak, itulah sebabnya pada beberapa jenis penyakit yang
dianggap berbahaya dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini
dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit
9
10
penyakit tersebut atau seandainya terkenapun tidak akan menimbulkan akibat
yang fatal (Badan Litbangkes, 2008).
Imunisasi
adalah pemberian vaksin kepada seseorang untuk
melindunginya dari beberapa penyakit tertentu. Imunisasi merupakan upaya
untuk mencegah penyakit lewat peningkatan kekebalan tubuh seseorang
(Badan Litbangkes, 2008).
Imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif
untuk mencegah penularan penyakit hepatitis B. Word Health Organization
(WHO) melalui program The Expanded Program on Immunisation (EPI)
merekomendasikan pemberian vaksinasi terhadap 7 jenis antigen penyakit
sebagai imunisasi rutin di Negara berkembang, yaitu BCG, DPT, Polio,
Campak dan Hepatitis B.
Imunisasi ada dua macam yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.
Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun yang sudah dilemahkan
atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi
sendiri contohnya imunisasi hepatitis B, sedangkan imunisasi pasif adalah
penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh
meningkat contohnya peningkatan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang
yang mengalami luka kecelakaan, contoh lain adalah yang terdapat pada bayi
baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari Ibunya
terhadap campak (Depkes RI, 2004).
Data statistik menunjukkan makin banyak penyakit menular
bermunculan dan senantiasa mengancam kesehatan. Setiap tahun di seluruh
11
dunia ratusan ibu, anak – anak dan dewasa meninggal karena penyakit yang
sebenarnya masih dapat dicegah, hal ini dikarenakan kurangnya informasi
tentang pentingnya imunisasi. Bayi – bayi yang baru lahir, anak – anak usia
muda yang bersekolah dan orang dewasa sama – sama memiliki resiko
terserang penyakit – penyakit menular yang mematikan seperti, hepatitis B,
dipteri, tetanus, thypus, radang selaput otak dan masih banyak penyakit
lainnya yang sewaktu – waktu muncul dan mematikan, untuk itu salah
satunya pencegahan yang terbaik dan sangat vital agar bayi –bayi tersebut
terlindungi hanya dengan melakukan imunisasi (Khalidatnnur & Masriati,
2007).
Imunisasi merupakan salah satu cara yang efektif dan efisien dalam
mencegah penyakit dan merupakan upaya preventif yang mendapatkan
prioritas. Sampai saat ini ada tujuh penyakit infeksi pada anak yang dapat
menyebabkan kematian dan cacat, walaupun sebagian anak dapat bertahan
dan kebal. Ketujuh penyakit tersebut dimasukkan dalam program imunisasi
yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, polio, campak dan hepatitis B
(Mirzal, 2008).
Imunisasi hepatitis B pada bayi adalah upaya memberikan stimulan
kepada tubuh agar secara efektif membentuk antibody terhadap virus hepatitis
B (anti–HBs). Program imunisasi hepatitis B dapat berkontribusi menurunkan
angka kesakitan dan kematian sebesar 80 -90% (Idwar, 2000).
12
2. Program imunisasi Hepatitis B di Indonesia
Imunisasi hepatitis B pada individu dimaksudkan agar individu
membetuk antibodi yang ditunjukan untuk mencegah infeksi oleh virus
hepatitis B. Tujuan utama pemberian imunisasi hepatitis B yaitu untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi
hepatitis B dan manifestasinya, secara tidak langsung menurunkan angka
kesakitan dan kematian karena kanker hati dan pengerasan hati (Depkes RI
2000).
Pemberian imunisasi hepatitis B sesuai dengan jadwal imunisasi
rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2000 berdasarkan
status HBsAg pada saat ibu melahirkan. Bayi yang dilahirkan dari Ibu dengan
status HBsAg yang tidak diketahui, diberikan vaksin rekombinan (HB Vax-II
5μg atau engerix B 10 μg) atau vaksin plasma derived 10 mg secara intra
muscular dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosisi kedua diberikan pada
umur 1-2 bulan dosisi ketiga diberikan pada umur 6 bulan. Apabila pada
pemeriksaan selanjutnya diketahui HBsAg ibu positif diberikan segera 0,5
HBIF sebelum usia anak satu minggu. Bayi baru lahir dari Ibu HBsAg positif
dalam waktu 12 jam setelah lahir dberikan 0,5 ml BIG dan vaksin
rekombinan (HB Vax-II 5 mg atau engerix B 10 mg) intra muscular disisi
tubuh yang berlalinan. Dosisi kedua di berika 1-2 bulan sesudahnya dan
dosisi ketiga pada usia 6 bulan. Bayi yang lahir dengan HBsAg negatif
diberikan vaksin rekombinan (HB Vax-II dengan dosisi minimal 2,5 μg atau
13
engerix B 10μg, vaksin plasma derived dengan dosisi 10μg intar muscular
saat lahir sampai 2 bulan. Dosis kedua diberikan 1-2 bulan dan dosisi ketiga
diberikan 6 bulan setelah dosis pertama. Adapun jadwal pelaksanaan program
imunisasi nasiaonal adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Program Imunisasi Nasional
Umur
Vaksin
Tempat
0 Bulan (0-7 hari)
HB1
Dirumah
1 Bulan
BCG
Posyandu
2 Bulan
HB2
Posyandu
3 Bulan
HB2, DPT1, Polio1
Posyandu
4 Bulan
HB3, DPT2. Polio2
Posyandu
9 Bulan
Campak dan Polio 4
Posyandu
0 Bulan (0-7hari)
HB1, Polio1, BCG
RS/Bidan Praktek
2 Bulan
HB2, DPT1, Polio 2
Posyandu
3 Bulan
HB3, DPT2, Polio 3
Posyandu
4 Bulan
DPT3, Polio 4
Posyandu
9 Bulan
Campak
Posyandu
Bayi lahir dirumah
Bayi lahir di RS/Bidan
praktek
Sumber : Depkes RI
14
B. Tinjauan Tentang Penyakit Hepatitis B
1. Definisi Penyakit Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang
disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut
atau kronis dan dapat pula menyebabkan radang, gagal ginjal, sirosis
hati, dan kematian (Laila Kusumawati, 2006).
Penyakit hepatitis adalah peradangan hati yang akut karena
suatu infeksi atau keracunan. Hepatitis B merupakan penyakit yang
banyak ditemukan di dunia dan dianggap sebagai persoalan kesehatan
masyarakat yang harus diselesaikan. Hal ini karena selain prevelensinya
tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut
bahkan dapat terjadi cirrhosis hepatitis dan carcinoma hepatocelluler
primer (Aguslina, 1997).
Hepatitis merupakan peradangan hati yang bersifat sistemik,
akan tetapi hepatitis bisa bersifat asimtomatik. Hepatitis ini umumnya
lebih ringan dan lebih asimtomatik pada yang lebih muda dari pada
yang tua. Lebih dari 80% anak – anak menularkan hepatitis pada
anggota keluarga adalah asimtomatik, sedangkan lebih dari tiga
15
perempat orang dewasa yang terkena hepatitis A adalah simtomatik
(Tjokronegoro, 1999).
Sepuluh persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi
kronik dan 20% penderita hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun
sejak tertular akan mengalami cirrhosis hepatic dan carcinoma
hepatoculler primer (hepatoma). Kemungkinan akan menjadi kronik
lebih tinggi bila infeksi terjadi pada usia balita dimana respon imun
belum berkembang secara sempurna. Pada saat ini diperkirakan terdapat
kira – kira 350 juta orang pengidap (carrier) HBsAg dan 220 juta
(78%) terdapat di Asia termasuk Indonesia (Sulaiman, 1994, dalam
Aguslina, 1997).
2. Etiologi Hepatitis
Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Virus ini
pertama kali ditemukan oleh Blumberg tahun 1965 dan dikenal dengan
nama antigen Australia yang termasuk DNA virus.
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm
yang disebut dengan “Partikel Dane”. Lapisan luar terdiri atas antigen
HBsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada partikel inti
terdapat hepatitis B core antigen (HBcAg) dan hepatitis B antigen
(HBeAg). Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipoprotein dan
menurut sifat imunologiknya protein virus hepatitis B dibagi menjadi 4
subtipe yaitu adw, adr, ayw, dan ayr. Subtype ini secara epidemiologis
16
penting karena menyebabkan perbedaan geografik dan rasial dalam
penyebaranya (Aguslina, 1997).
3.
Patogenesis
Berbagai mekanisme bagaimana virus hepatotropik merusak
sel hati masih belum jelas, bagaimana peran yang sesungguhnya dari
hal – hal tersebut. Informasi dari kenyataanya ini meningkatkan
kemungkinan adanya perbedaan patogenetik. Ada dua kemungkinan :
(1) Efek simptomatik langsung dan (2) adanya induksi dan reaksi
imunitas melawan antigen virus atau antigen hepatosit yang diubah oleh
virus, yang menyebabkan kerusakan hepatosit yang di infeksi virus.
Organ hati pada tubuh manusia.
Pada hepatitis kronik terjadi peradangan sel hati yang berlanjut
hingga timbul kerusakan sel hati. Dalam proses ini dibutuhkan pencetus
target dan mekanisme persistensi. Pencetusnya adalah antigen virus,
autogenetic atau obat. Targetnya dapat berupa komponen struktur sel,
ultrastruktur atau jalur enzimatik. Sedangkan persistensinya dapat
akibat mekanisme virus menghindar dari sistem imun tubuh,
ketidakefektifan respon imun atau pemberian obat yang terus - menerus
(Stanley, 1995).
4. Patofisiologi
Pada hati manusia merupakan target organ bagi virus hepatitis
B. Virus Hepatitis B (VHB) mula – mula melekat pada reseptor spesifik
di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam
17
sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma virus Hepatitis B (VHB)
melepaskan
mantelnya,
sehingga
melepaskan
nukleokapsid.
Selanjuntnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam
asam nukleat virus Hepatitis B (VHB) akan keluar dari nukleokapsid
dan akan menempel pada DNA hopses dan berintegrasi pada DNA
tersebut. Selanjutnya DNA virus hepatitis B (VHB) memerintahkan sel
hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus ini dilepaskan ke
peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik
disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi.
Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B, Non A dan Non B adalah
sama yaitu adanya peradangan akut di seluruh bagian hati dengan
nekrosis sel hati disertai infiltrasi sel – sel hati dengan histosit
(Aguslina, 1997).
Perubahan morfologi hati pada hepatitis A, B dan non A dan B
adalah identik pada proses pembuatan billiburin dan urobulin.
Penghancuran eritrosit dihancurkan dan melepaskan Fe + Globulin +
billiburin. Pengahancuran eritrosit terjadi di limpa, hati, sum – sum
tulang belakang dan jaringan limpoid.
a. Billiburin I
Hasil penelitian eritrosit di lien adalah billiburin I atau billiburin
indirect. Billiburin I masih terkait dengan protein. Di hati billiburin
I dipisahkan protein dan atas pengaruh enzim hati, billiburin I
menjadi billiburin II atau hepatobilliburin.
18
b. Billiburin II
Billiburin dikumpulkan didalam vesica falea (kandung empedu) dan
dialirkan ke usus melalui ductus choleducutus. Billiburin yang
keluar dari vesica falea masuk ke usus diubah menjadi stercobilin,
kemudian keluar bersama feces lalu sebagian masuk ke ginjal,
sehingga disebut urobillinogen. Bila billiburin terlalu banyak dalam
darah akan terjadi perubahan pada kulit dan selaput lendir kemudian
kelihatan menguning sehingga disebut ikterus (Tjokronegoro,
1999).
5. Manefestasi Klinis Hepatitis B
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis manefestasi
klinis hepatitis B dibagi dua, yaitu :
a. Hepatitis B akut
Hepatitis B akut yaitu manefestasi infeksi virus hepatitis B terhadap
individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan
hilangnya virus hepatitis B dari tubuh hopses. Hepatitis B akut terdiri
atas 3, yaitu:
1) Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95% penderita dengan gambaran
ikterus yang jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu, fase
praikterik (prodromal), gejala non spesifik, permulaan penyakit
tidak jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri di daerah hati
19
disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan
laboratorium mulai tampak kelainan hati, fase ikterik, gejala
demam dan gastrointestinal mulai tambah hebat, disertai
hepatomegali dan spinomegali. Timbulnya ikterus makin hebat
dengan puncak pada minggu ke dua. Setelah timbul ikterus, gejala
menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal
dan fase penyembuhan, ditandai dengan menurunya kadar enzim
aminotransferase, pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa
nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.
2) Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1% dengan gambaran sakit berat dan sebagian
besar mempunyai prognosa buruk dalam 7 – 10 hari, 50% akan
berakhir dengan kematian.
b. Hepatitis B kronik
Hepatitis B kronik yaitu kira – kira 5 -10% penderita hepatitis B akut
akan mengalami hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6
bulan tidak menunjukan perbaikan yang mantap (Aguslina, 1997)
6. Sumber dan Cara Penularan
a.
Sumber Penularan Virus Hepatitis B
Sumber penularan berupa darah, saliva, kontak dengan mukosa
penderita virus, feses, dan urine, pisau cukur, selimut, alat makan, alat
kedokteran yang terkontaminasi virus hepatitis B.
b. Cara penularan Virus Hepatitis B
20
Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu parenternal
dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk
jarum atau benda yang susah tercemar virus Hepatitis B dan
pembuatan tattoo, kemudian secara non parenteral yaitu karena
persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B.
secara epidemiologi penularan infeksi virus hepatitis B dari Ibu yang
HBsAg positif kepada anak dilahirkan yang terjadi selama masa
perinatal, dan secara horizontal yaitu penularan infeksi virus Hepatitis
B dari seseorang pengidap virus kepada orang lain disekitarnya,
misalnya melalui hubungan seksual (Aguslina, 1997)
7.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Hepatitis B
Faktor – faktor yang mempengaruhi penyakit Hepatitis B menurut
Aguslina (1997) dapat dibagi menjadi :
a.
Faktor Host (Pejamu)
Faktor host adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang
dapat mempengaruhi timbul serta perjalanan penyakit Hepatitis B
yang meliputi:
1) Umur, dimana penyakit Hepatitis B dapat menyerang semua
golongan umur. Paling sering bayi dan anak (25,45%). Resiko
untuk menjadi kronis menurun dengan bertambahnya umur,
dimana bayi pada 90% menjadi kronis, pada anak usia sekolah 23
– 46% dan pada orang dewasa 3 – 10% (Aguslina, 1997).
21
2) Jenis Kelamin, wanita tiga kali lebih sering terinfeksi Hepatitis B
dibanding pria.
3) Mekanisme pertahanan tubuh, bayi baru lahir atau bayi dua bulan
pertama setelah lahir sering terinfeksi Hepatitis B, terutama pada
bayi yang belum mendapat imunisasi Hepatitis B. Hal ini karena
sistem imun belum berkembang sempurna.
4) Kebiasaan hidup, dimana sebagian besar penularan pada masa
remaja disebabkan karena aktivitas seksual dan gaya hidup seperti
homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian tattoo,
dan pemakaian akupuntur.
5) Pekerjaan, kelompok resiko tinggi untuk mendapatkan infeksi
Hepatitis B adalah dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat,
bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium dimana
pekerjaan mereka
sehari – hari kontak dengan penderita dan
material manusia (darah, tinja, air kemih).
b.
Faktor Agent
Penyebab Hepatitis B adalah Virus Hepatitis B (VHB). Berdasarkan
sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi menjadi 4 subtipe
yaitu adw, adr, ayw dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi
dalam penyebaranya. Subtype adw terjadi di Eropa, Amerika dan
Australia. Subtipe ayw terjadi di Afrika Utara dan Selatan. Subtipe
ayw dan adr terjadi di Malaysia, Thailand, Indonesia. Sedangkan
subtipe adr terjadi di jepang dan China.
22
c.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar
yang mempengaruhi perkembangan hepatitis B, yang termasuk faktor
lingkungan adalah lingkungan dengan sanitasi jelek daerah dengan
prevelensi virus hepatitis B (VHB) tinggi, daerah unit pembedahan,
daerah unit laboratorium, daerah bank darah, daerah tempat
pembersihan, daerah dialias dan transplantasi, daerah unit penyakit
dalam.
8. Epidemilologi Hepatitis B
Prevelensi penyakit Hepatitis B di dunia terendah berada di benua
Amerika dan sebelah Eropa dimana sebesar kurang dari 2% populasi
yang terinfeksi kronik melalui peyalahgunaan obat – obatan injeksi,
seksual tanpa pengaman dan faktor – faktor penting yang lainnya.
Prevelensi sedang berada di Eropa Timur, Rusia, dan Jepang sebesar 2 -7
% yang umumnya menyerang anak – anak. Prevelensi tinggi berada di
wilayah China, Asia tenggara dan Afrika, dimana penularan terjadi
umumnya pada baru lahir dengan endemisitas > 8%.
9. Komplikasi
Komplikasi hepatitis virus yang paling sering dijumpai adalah
perjalanan penyakit yang panjang hingga 4 sampai 8 bulan, keadaan ini
dikenal sebagai hepatitis kronik persisten, dan terjadi pada 5% hingga
10% pasien. Akan tetapi meskipun kronik persisten dan terjadi pada 5 %
23
hingga 10% pasien. Akan tetapi meskipun terlambat, pasien – pasien
hepatitis kronik persisten akan sembuh kembali.
Pasien hepatitis virus sekitar 5% akan mengalami kekambuhan
setelah serangan awal. Kekambuahan biasanya dihubungkan dengan
kebiasaan minum alkohol dan aktivitas fisik yang berlebihan. Ikterus
biasanya tidak terlalu nyata dan tes fungsi hati tidak memperlihatkan
kelainan dalalm derajat yang sama. Tirah baring biasanya akan segera di
ikuti penyembuhan yang tidak sempurna.
Akhirnya suatu komplikasi lanjut dari hepatitis yang cukup
bermakna adalah perkembangan carcinoma hepatoselular, kendatipun
tidak sering ditemukan, selain itu juga adanya kanker hati yang primer.
Dua faktor penyebab utama yang berkaitan dengan patogenesisnya
adalah infeksi virus hepatitis B kronik dan sirosis terakit dengan virus
hepatitis C dan infeksi kronik telah dikaitkan pula dengan kanker hati
(Sylvia, 1995).
10. Prognosis
Dengan penanggulangan yang cepat dan tepat, prognosisnya baik
dan tidak perlu menyebabkan kematian. Pada sebagian kasus penyakit
berjalan ringan dengan perbaikan biokimiawi terjadi secara spontan
dalam 1 – 3 tahun. Pada sebagian kasus lainnya,
hepatitis kronik
persisten dan kronk aktif berubah menjadi keadaan yang lebih serius,
bahkan berlanjut menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat
24
kelainan biokimiawi, pasien tetap asimtomatik dan jarang terjadi
kegagalan hati (Tjokronegoro, 1999).
Infeksi Hepatitis B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi. Pada
suatu survey dari 1.675 kasus dalam satu kelompok, tertnyata satu dari
delapan pasien yang menderita hepatitis karena tranfusi (B dan C)
meninggal sedangkan hanya satu diantara dua ratus pasien dengan
hepatitis A meninggal dunia (Tjokronegoro, 1999). Di seluruh dunia ada
satu diantara tiga yang menderita penyakit hepatitis B meninggal dunia
(WHO, 2005).
11. Penatalaksanaan Hepatitis B
Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus, akan tetapi
secara umum penatalaksanaan pengobatan hepatitis adalah sebagai
berikut :
a.
Istirahat
Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat.
Istirahat mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan.
Kecuali mereka dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk.
b.
Diet
Jika pasien mual, tidak ada nafsu makan atau muntah – muntah,
sebaiknya diberikan infus. Jika tidak mual lagi, diberikan makanan
cukup kalori (30-35 kalori/kg BB) dengan protein cukup (1 gr/kg
BB), yang diberikan secara berangsur – angsur disesuaikan dengan
25
nafsu makan klien yang mudah dicerna dan tidak merangsang serta
rendah garam (bila ada resistensi garam/air).
c.
Medikamentosa
Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan
billiburin darah. Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestatis
yang berkepanjangan, dimana transaiminase serumsudah kembali
normal tetapi billburin masih tinggal. Pada keadaan ini dapat
dberikan prednisone 3 x 10 mg selama 7 hari, jangan diberikan
antimetik, jika perlu sekali dapat diberikan fenotiazin. Vitamin K
diberikan pada kasus dengan kecenderungan perdarahan. Bila
pasien dalam keadaan perkoma atau koma, penanganan seperti
pada koma hepatik (Arif, 2000).
d. Pencegahan Penularan Hepatitis B
Menurut Park ada lima pokok tingkatan pencegahan yaitu :
1) Health promotion
Helath promotion yaitu dengan usaha penigkatan mutu
kesehatan. Helath promotion terhadap host berupa pendidikan
kesehatan, peningkatan higiene perorangan, perbaikan gizi,
perbaikan system tranfusi darah dan mengurangi kontak erat
dengan bahan hepatitis B (VHB).
2) Specific protection
bahan yang berpotensi menularkan virus
26
Specific protection yaitu perlindungan khusus terhadap
penularan hepatitis B dapat dilakukan melalui sterilisasi
benda–benda yang tercemar dengan pemanasan dan tindakan
khusus seperti penggunaan yang langsung bersinggungan
dengan darah, serum, cairan tubuh dari penderita hepatitis,
juga pada petugas kebersihan, penggunaan pakaian khusus
sewaktu kontak dengan darah dan cairan tubuh, cuci tangan
sebelum dan sesudah kontak dengan penderita pada tempat
khusus selain itu perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg petugas
kesehatan (unit onkologi dan dialisa) untuk menghindarkan
kontak antara petugas kesehatan dengan penderita dan juga
imunisasi pada bayi baru lahir.
3) Early diagnosis and prompt treatment
Menurut Noor (2006), diagnosis dan pengobatan dini
merupakan upaya pencegahan penyakit tahap II. Sasaran pada
tahap ini yaitu bagi mereka yang menderita penyakit atau
terancam akan menderita suatu penyakit. Tujuan pada
pencegahan tahap II adalah :
a) Pencarian
penderita
secara
dini
dan
aktif
melalui
pemeriksaan berkala pada sarana pelayanan kesehatan
untuk mematiskan bahwa seseorang tidak menderita
penyakit hepatitis B, bahkan gangguan kesehatan lainnya.
27
b) Melakukan screening hepatitis B (pencarian penderita
penyakit Hepatitis) melalui suatu tes atau uji tertentu pada
orang yang belum mempunyai atau menunjukan gejala
dari suatu penyakit dengan tujuan untuk mendeteksi secara
dini adanya suatu penyakit hepatitis B.
c) Melakukan pengobatan dan pearwatan penderita hepatitis B
sehingga cepat mengalami pemulihan atau sembuh dari
penyakitnya.
4) Disability limitation
Disability limitation merupakan upaya pencegahan
tahap III dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kecacatan
dan kematian karena suatu penyakit.
Upaya mencegah kecacatan akibat penyakit hepatitis B
dapat dilakukan dengan upaya mencegah proses berlanjut yaitu
dengan
pengobatan
dan
perawatan
secara
khusus
berkisanambungan dan teratur sehingga proses pemulihan dapat
berjalan dengan baik dan cepat. Pada dasarnya penyakit hepatitis
B tidak membuat penderita menjadi cacat pada bagian tubuh
tertentu. Akan tetapi sekali vitus hepatitis B masuk ke dalam
28
tubuh maka seumur hidup akan menjadi carrier dan menjadi
sumber penularan bagi orang lainnya.
5) Rehabilitation
Rehabilitasi
merupakan
serangkaian
dari
tahap
pemberantasan kecacatan (disability limitation) dengan tujuan
untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik, psikologis dan
sosial. (Noor, 2006).
Rehabilitation yang dapat dilakukan dalam menanggulangi
penyakit hepatitis B yaitu sebagai berikut :
a) Rehabilitasi fisik, jika penderita mengalami gangguan fisik
akibat penyakit hepatitis B
b) Rehabilitasi mental dari penderita hepatitis B, sehingga
penderita tidak merasa minder dengan orangtua masyarakat
sekitarnya karena pernah menderita penyakit hepatits B.
c) Rehabilitasi sosial bagi penderita penyakit hepatitis B
sehingga tetap dapat melakukan kegiatan di lingkungan
sekitar bersama orang lainnya.
29
C. Tinjauan Tentang Wilayah Pesisir
1. Batasan dan sifat-sifat Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut,
dengan batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin
laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi
yang khas. Wialayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan
antara daratan dan lautan (Henny, 2003).
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah
pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi
sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin,
sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Wiyana,
2004).
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah
pesisir memeliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis
pantai (longshore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai
(crossshore). Batas wilayah pesisir kearah laut mencakup bagian atau
batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf) dimana
30
ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di
darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran (Henny, 2003).
Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena
merupakan tempat percampuran pengaruh antara darat, laut dan udara
(iklim). Pada umumnya wilayah pesisir dan khusunya perairan estuaria
mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara dan
menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan di laut.
Namun demikian, perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara
darat dan laut, wilayah pesisir ditandai oleh adanya gradient perubahan
sifat ekologi yang tajam, dan karenanya merupakan wilayah yang peka
terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi
di luar normal. Dari segi fungsinya, wilayah pesisir merupakan zone
penyangga (buffer zone) bagi hewan-hewan migrasi (Henny, 2003).
Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati adalah
ekosistem litoral (pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang, dan
pantai lumpur), hutan payau, vegetasi terna rawa payau, hutan rawa air
tawar dan hutan rawa gambut (Henny, 2003)s. Sementara itu (Dahuri,
dkk 2001), penentuan batas-batas wilayah pesisir di dunia pada
umumnya berdasarkan pada tiga kriteria berikut:
a. Garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis pantai (coastline
atau shoreline). Republik Rakyat Cina mendefinisikan wilayah
31
pesisirnya sebagai suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan
lautan, ke arah darat mencakup lahan darat sejauh 15 km dari garis
pantai, dan ke arah laut meliputi perairan laut sejauh 15 km dari garis
pantai.
b. Batas-batas adiministrasi dan hukum. Negara bagian Washington,
Amerika Serikat; Australia Selatan; dan Queensland, batas ke arah laut
dari wilayah pesisirnya adalah sejauh 3 mil laut dari garis dasar
(coastal baseline).
c. Karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik), yakni atas dasar
sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau
kesatuan proses-proses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi
biota, dan pasang surut). Contoh batas satuan pengelolaan wilayah
pesisir menurut kriteria ketiga ini adalah: batasan menurut Daerah
Aliran Sungai (DAS)(catchment area atau watershed).
2. Ciri-ciri Wilayah Pesisir
a. Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis,
kimiawi dan geologis yang sangat cepat.
b. Tempat dimana terdapat ekosistem yang produktif dan beragam dan
merupakan tempat bertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagai
jenis spesies organisme perairan.
c. Ekosistemnya yang terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai
dan pasir, muara sungai, lamun dan sebagainya yang merupakan
32
pelindung alam yang penting dari erosi, banjir dan badai serta dapat
berperan dalam mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut.
d. Sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi, dan tempat
berlibur atau rekreasi.
3. Klasifikasi Wilayah Pesisir
Bila diperhatikan batasan wilayah pesisir terbagi menjadi dua
subsistem, yaitu daratan pesisir (shoreland), dan perairan pesisir (coastal
water), keduanya berbeda tetapi saling berinteraksi. Secara ekologis
daratan pesisir sangat kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya yang
tinggi. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah sistem perairan
pesisir dan pengaruhnya terhadap daya dukung (carrying capacity)
ekosistem wilayah pesisir. Pengaruh daratan pesisir terhadap perairan
pesisir terutama terjadi melalui aliran air (runoff) (Henny, 2003).
Perairan pesisir secara fungsional terdiri dari perairan estuaria
(estuaria regime), perairan pantai (nearshore regime), dan perairan
samudera (oceanic regime). Perairan estuaria adalah suatu perairan
pesisir yang semi tertutup, yang berhubungan bebas dengan laut,
sehingga dengan demikian estuaria dipengaruhi oleh pasang surut, dan
terjadi pula percampuran yang masih dapat diukur antara air laut dengan
air tawar yang bersal dari drainase daratan. Perairan pantai meliputi laut
mulai dari batas estuaria kearah laut sampai batas paparan benua atau
batas teritorial. Sedangkan perairan samudera, semua perairan ke arah
33
laut terbuka dari batas paparan benua atau batas territorial (Henny,
2003).
Pendapat Scura et al (1998) dalam Satria (2009) mengenai wilayah
pesisir adalah daerah yang mewakili antara pertemuan daratan dan laut, tetapi
kepedulian dan minat diarahkan pada wilayah dimana aktifitas manusia saling
keterkaitan dengan daratan dan lingkungan laut. Dan wilayah pesisir
mempunyai karakteristik, yaitu:
1. Memiliki habitat dan ekosisitem (seperti estuaria, terumbu karang, padang
lamun), yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi,
mineral) dan jasa (seperti bentuk perlindungan alam dari badai, arus
pasang surut, rekreasi) untuk masyarakat pesisir.
2. Dicirikan persaingan untuk sumber daya daratan, lautan dan ruang oleh
berbagai stakeholder, seringkali menimbulkan konflik besar dan
menurunkan fungsi terpadu dari sistem sumber daya.
3. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana
dapat mengalihkan GNP (gross National Product) terhadap kegiatan
seperti pembangunan perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata pesisir
dan lain-lain;
4. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan tempat yang baik
untuk urbanisasi.
Secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai empat fungsi pokok bagi
kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima
34
limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa
kenyamanan (Bengen, 2001)
Wilayah pesisir merupakan lokasi dari beberapa ekosisitem yang unik
dan saling terkait, dinamis dan produktif. Beberapa ekosistem utama di
Wilayah pesisir adalah (1) estuaria, (2) hutan mangrove, (3) padang lamun,
(4) terumbu karang, (5) pantai (berbatu, berpasir, dan berlumpur), dan (6)
pulau kecil (Saru, 2004).
Menurut Boelars (1984) masyarakat pesisir adalah suatu kelompok
manusia yang bertempat tinggal di pesisir pantai dengan kegiatan utamanya
menangkap ikan di lautan dan di dalam teluk yang kegiatannya banyak
melibatkan anggota keluarga lainnya.
Menurut Hume dalam Dodi (1987) menyatakan bahwa masyarakat
pesisir adalah kehidupan masyarakat yang menghimpun dan mencakup
seluruh individu-individu yang saling berinteraksi dengan menjadikan
perairan laut sebagai sumber dalam menyatukan mereka secara teritorial, adat
istiadat, sosial dan ekonomi.
Sejalan dengan hal tersebut Dodi (1989) masyarakat pesisir adalah
masyarakat atau mereka yang pekerjaannya mencari ikan di sungai dan di laut
dengan model dan alat-alat penangkapan ikan dan bukan model berupa bibit
ikan.
Menurut Mansyur (1987) masyarakat pesisir adalah persekutuan hidup
yang merupakan perkataan manusia dengan perasaan persatuan dan kesadaran
35
bersama dengan wilayah laut sebagai alam yang memperteguh eksistensi
kehidupan mereka.
Konsep mengenai masyarakat pantai dapat didekati melalui upaya
pemanfaatan sumber daya alam oleh penduduknya dan kompleksitas
perwujudan budaya masyarakat. beberapa tipe desa-desa pantai melalui
pendekatan pemanfaatan sumber daya alam, yaitu sebagai berikut :
1. Desa pantai tipe bahan makanan, yaitu desa-desa pantai yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani
sawah khususnya sawah padi.
2. Desa pantai tipe tanaman industri, yaitu desa-desa pantai yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai
petani tanaman industry terutama kelapa.
3. Desa pantai tipe nelayan/empang, yaitu desa-desa pantai yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai
penangkap ikan laut/pemeliharaan ikan darat.
4. Desa pantai niaga dan transportasi, yaitu desa-desa pantai yang sepanjang
lahan dapat ditempati oleh perahu-perahu layar.
Sedangkan pendekatan kompleksitas perwujudan budaya masyarakat
pantai sangat berkaitan dengan kultur laut yang mendapat pengaruh dari
maritime great tradition. Adapun konsep pengertian masyarakat pesisir yang
digunakan dalam studi ini adalah konsep masyarakat pesisir di perkotaan tipe
nelayan dan petambak dimana sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian pokok sebagai petambak dan nelayan (Razak, 2000).
36
Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang
tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya
bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir
(Bengen, 2001).
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup
bersama-sama
mendiami
wilayah
pesisir
membentuk
dan
memiliki
kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada
pemanfaatan sumber daya pesisir (Sastria, 2009).
37
D. Tinjauan Tentang Variabel yang Diteliti
1. Tinjauan Tentang Penolong Persalinan
Persalinan adalah proses alami yang akan berlangsung untuk
melahirkan bayi melalui jalur lahir (vagina). Persalinan pada manusia
dibagi menjadi empat tahap penting dan kemungkinan resiko persalinan
dapat terjadi pada setiap tahap tersebut. Persalinan dapat terjadi karena
adanya kekuatan yang mendorong janin (Manuaba, 1999).
Setiap tahunnya di Indonesia terjadi lebih dari 5 juta kehamilan dan
sekitar 20.000 dari kematian tersebut dengan kematian ibu yang
diakibatkan oleh komplikasi obstertik yaitu perdarahan, infeksi, eklampsia
dan komplikasi aborsi. Sekitar 95% bayi yang ibunya meninggal dalam 6
minggu pasca persalinan akan meninggal sebelum umur satu tahun dan
anak – anak yang telah dilahirkan sebelumnya juga akan mengalami
trauma dan sterss yang sangat hebat yang akan yang akan berpengaruh
terhadap kualitas kehidupan mereka selanjutnya. (Sandra, dkk, 2004).
Tingginya angka kematian ibu di Indonesia dipengaruhi oleh belum
memadainya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan rendahnya
penanganan kasus obsterti. Data SKDI 1994 menunjukan bahwa di
Indonesia 72,4% ibu yang melahirkan di desa dan 25,2% ibu yang
melahirkan di kota ditolong oleh dukun, sementara SKDI 1997
menunujukan bahwa belum banyak perubahan yaitu 65,3% pertolongan
38
persalinan di desa dan 23,1 di kota masih ditolong oleh dukun (Sandra
dkk, 2004).
Menurut data Susenas tahun 2004, presentase penolong persalinan
pertama oleh tenaga kesehatan adalah 64,4%. Penolong terakhir oleh
tenaga kesehatan 71,3%. Tahun 2006 cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan di Indonesia masih sekitar 76%, artinya masih banyak
pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi dengan cara
tradisional yang dapat membahayakan keselamatan ibu dan bayinya
(Suardika, 2008).
Dukun bayi merupakan tokoh kunci di dalam masyarakat yang
berpotensi untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayinya. Akan tetapi,
perlu disadari bahwa peran dan dipengaruhi dukun bayi itu sangat
bervariasi sesuai dengan kultur yang berlaku di suatu tempat. Pada
beberapa kultur, mungkin seorang wanita yang memiliki pengaruh besar di
masyarakat. Peran utama dukun bayi adalah menerima bayi dan
menangani yang berkaitan dengan proses persalinan (Sutomo, 2003).
Sebagian besar ibu hamil di daerah terpencil yang sulit dijangkau
melahirkan bayinya di rumah yang ditolong oleh bidan atau dukun. Bayi
yang lahir di rumah, pada umumnya baru dibawa ke posyandu setelah
vertikal dari ibu yang menderita penyakit hepatitis B, maka bayi harus
dimimunisasi pada usia sedini mungkin umur 0 -7 hari. Untuk itu
diperlukan petugas kesehatan yang mempunyai pengabdian yang sangat
39
tinggi agar tujuan untuk mengimunisasi seluruh bayi lahir dapat tercapai
(Depkes RI, 2002).
Pemberian imunisasi hepatitis B kepada bayi sedini mungkin (usia
0-7hari) menjadi prioritas program imunisasi hepatitis B, karena hal ini
akan memberikan perlindungan segera bagi bayi tersebut dari infeksi virus
hepatitis B dan dapat mencegah infeksi yang sudah terjadi (melalui
penularan perinatal) berkembang menjadi kronis. Menurut hasil penelitian
Asep (2001) menunujukan bahwa penolong persalinan berpengaruh
terhadap kontak pertama imunisasi hepatitis B pada bayi persalinanya
ditolong oleh tenaga kesehatan.
Untuk meningkatkan jumlah bayi yang mendapatkan imunisasi
hepatitis B pada usia dini, perlu ditingkatkan kerjasama dengan tenaga
kesehatan yang menolong persalinan untuk dapat memberikan penyuluhan
mengenai imunisasi hepatitis B dan pentingnya imunisasi tersebut
diberikan sedini mungkin kepada ibu – ibu hamil saat memeriksakan
kehamilanya dan memanfaatkan kesempatan kontak dengan bayi untuk
memberikan pelayanan imunisasi hepatitis B ( Asep, 2001).
2.
Tinjauan Dukungan Suami
Keputusan dalam menggunakan pelayanan kesehatan diduga
berhubungan dengan beberapa faktor misalnya dalam pengambilan
keputusan ditentukan oleh orang yang paling dominan berpengaruh dalam
keluarga dalam hal ini suami sehingga sifat kepatuhan selalu diutamakan
(Fijung 2000).
40
Suami sebagai kepala rumah tangga memegang peranan dalam
memutuskan suatu tindakan istri dalam penggunan imunisasi hepattis B
(0-7 hari). Jika suami melarang istrinya dalam penggunan imunisasi
hepatitis B (0-7 hari) maka istri tidak boleh menentang keputusan
suaminya (Sugeng 1991).
Penggunaan imunisasi hepatitis B (0-7 hari) pada bayi harus
sepengetahuan suami. Dimana suami harus sadar bahwa penggunann
iminisasi hepatitis B (0-7 hari) dapat membantu terhindarnya dari suatu
penyakit hepatitis B maka dari itu dianjurkan untuk bayi baru lahir agar
segera mendapatkan imunisasi hepatitis B sedini mungkin supaya tidak
tertularkan dengan penderita hepatitis (Gunawan 2009).
Berdasarkan atas batasan demikian maka dukungan keluarga
dalam hal ini suami sangat menentukan pengambilan keputusan dalam
pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari).
3. Tinjauan Tentang Penyuluhan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sebagai bagian atau cabang ilmu kesehatan,
juga mempunyai dua sisi, yakni sisi ilmu dan seni, dari sisi seni yakni
praktisi dan aplikasi. Pendidikan kesehatan merupakan penunjang bagi
program – program kesehatan lain artinya setiap program kesehatan
misalnya pemberantasan penyakit, perbaikan gizi masyarakat, sanitasi
lingkungan, kesehatan ibu dan anak, program pelayanan kesehatan (di
Indonesia sering disebut penyuluhan keseahtan). Hal ini penting karena
masing – masing program kesehatan tersebut mempunyai efek prilaku
41
masyarakat yang perlu dikondisikan dengan pendidikan kesehatan
(Notoatmodjo, 2003)
Pengalaman bertahun – tahun pelaksanaan pendidikan di negara
maju maupun di negara berkembang mengalami berbagai hambatan dalam
rangka pencapaian, tujuanya yaitu mewujudkan perilaku hidup sehat bagi
masyarakatnya. Hambatan yang paling besar dirasakan adalah faktor
pendukungnya (enabling factor), dari penelitian - penelitian yang ada
terungkap meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat sudah tinggi
tentang kesehatan namun praktek tentang kesehatan atau prilaku hidup
sehat masih sangat rendah.
Hasil pengkajian oleh Word Health Organization (WHO) terutama
di negara – negara berkembang ternyata faktor pendukung atau sarana dan
prasarana tidak mendukung masyarakat untuk berprilaku hidup sehat,
misalnya: meskipun kesadaran dan pengetahuan orang atau masyarakat
tentang kesehatan (misalnya sanitasi lingkungan, gizi, imunisasi,
pelayanan kesehatan dan sebagainya) sudah tinggi, tetapi apabila tidak di
dukung oleh fasilitas yaitu ketersediaan jamban sehat, air bersih, makanan
yang bergizi, fasilitas imunisasi, pelayanan kesehatan dan sebagainya,
maka
mereka
sulit
untuk
mewujudkan
prilaku
tersebut.
(Notoatmodjo,2003)
WHO pada awal 1980-an menyimpulkan
bahwa pendidikan
kesehatan tidak mampu mencapai tujuanya, apabila hanya menfokuskan
42
pada upaya – upaya perubahan prilaku saja. Pendidikan kesehatan harus
mencakup pula upaya perubahan lingkungan (fisik dan sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan sebagainya) sebagai wujud penunjang atau
pendukung perubahan prilaku tersebut.
Sebagai perwujudan dari perubahan konsep pendidikan kesehatan
ini secara oraganisasi struktural, maka pada tahun1984, divisi promosi dan
pendidikan (Health Education) di dalam WHO diubah menjadi divisi
promosi dan pendidikan kesehatan (Division on health promotion and
education). Sekitar 16 tahun kemudian yakni awal tahun 2000 Departemen
kesehatan RI baru dapat menyesuaikan konsep WHO ini dengan
mengubah pusat penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) menjadi di
rektorat promosi kesehatan dan sekarang menjadi pusat promosi kesehatan
(Notoatmodjo, 2003).
a. Visi pendidikan kesehatan
Pendidikan atau promosi kesehatan harus memepunyai visi yang jelas
yang dimaksud dengan “visi” dalam konteks ini adalah apa yang
diinginkan oleh pendidikan atau promosi keseahtan sebgai penunjang
program – program kesehatan yang lain, visi umum dari pendidikan
kesehatan tidak lepas dari undang – undang kesehatan no 23/1992
maupun, Word Helath Organization (WHO) yakni : meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan baik fisik, mental, dan sosialnya sehingga produktif secara
43
ekonomi dan sosial. Pendidikan kesehatan disemua program kesehatan,
baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi
masyarakat, pelayanan kesehatan maupun program kesehatan lainya
bermuara pada kemampuan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan,
baik kesehatan individu, kelompok maupun masyarakat (Notoatmodjo
2003).
b. Misi pendidikan kesehatan
Misi pendidikan kesehatan adalah upaya yang harus dilakukan untuk
mencapai visi tersebut, misi pendidikan atau promosi kesehatan secara
umum dapat dirumuskan 3 butir :
1) Advokat (advocate)
2) Menjembatanio (mediate)
3) Memampukan (enable) (Notoadmojo, 2003)
Yang dimaksud dengan memapukan adalah memberi kemampuan atau
keterampilan kepada masyarakat agar mampu memelihara dan
meningkatkan kesehatan sendiri secara mandiri, hal ini berarti
masyarakat diberi kemampuan – kemampuan atau keterampilan agar
mandiri dibidang kesehatan, termasuk memelihara dan meningkatkan
keterampilan seperti bertani, beternak, bertanam obat – obatan
tradisioanl, koperasi, dan sebagainya dalam rangka meningkatkan
pendapatan keluarga (income generation). Selanjutnya dengan ekonomi
44
keluarga yang meningkat maka kemampuan dalam pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan juga meningkat ( Notoatdmojo 2003).
E. Kerangka Konsep
Dalam pelaksanaan program imunisasi, salah satu tujuan program
adalah tercapainya indikator SPM (Standar Pelayanan Minimal) yang berarti
bahwa pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi baru lahir (0–7 hari) harus
mencapai 70%.
Pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari)
adalah tingkat pencapaian jumlah bayi yang diimunisasi Hepatitis B pada
bayi baru lahir (0 -7 hari) dengan hasil yang dicapai setiap periode atau
jangka waktu tertentu. Banyak faktor yang berhubungan dengan pemberian
imunisasi Hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari). Variabel yang diteliti
dalam penelitian ini adalah penolong persalinan, dukungan suami dan
penyuluhan kesehatan.
45
Untuk lebih jelasnya Kerangka Konsep Penelitian dapat dilihat pada
gambar1.
Penolong
persalinan
Dukungan
suami
Penyuluhan
kesehatan
Pengetahuan
ibu
Pemberian imunisasi
Hepatitis B pada baru
bayi lahir (0-7 hari)
46
Sikap petugas
Keterangan
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1. Bagan kerangka konseptual
F. Hipotesis Penelitian
1. H0 : Tidak ada hubungan antara penolong persalinan dengan pemberian
imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010.
H1 : Ada hubugnan antara penolong persalinan dengan pemberian
imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010.
2. H0 : Tidak ada hubungan dukungan suami dengan pemberian imunisasi
hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010.
H1
: Ada hubungan dukungan suami dengan pemberian imunisasi
hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010.
3. H0 : Tidak ada hubungan penyuluhan kesehatan dengan pemberian
imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010.
H1 : Ada hubungan penyuluhan kesehatan dengan pemberian imunisasi
hepatitis B pada bayi baru lahir (0-7 hari) tahun 2010.
Download