Usaha Tani di Lahan Berlereng Curam, Suatu Dilema Penyebab meluasnya usaha tani di lahan berlereng curam saling mengait, sehingga pemecahannya harus terintegrasi dengan melibatkan berbagai sektor terkait. Tanpa usaha tersebut, ancaman terhadap kelestarian sumber daya alam akan meningkat dan usaha tani yang berkelanjutan sulit terwujud. M enurut arahan tata ruang nasional dan propinsi, kawasan budi daya pertanian diisyaratkan berada pada lahan dengan kemiringan lereng kurang dari 40%. Namun kenyataannya, tidak sedikit lahan berlereng curam dengan 14 kemiringan lebih dari 40% dibuka dan dimanfaatkan untuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan tanpa menerapkan teknik konservasi tanah, sehingga dapat menimbulkan erosi tanah serta kerusakan/degradasi lahan. Usaha tani tanaman semusim di lahan berlereng curam dijumpai hampir di seluruh propinsi di Indonesia, terutama pada daerah bergunung atau dataran tinggi (>700 m dpl). Wilayah tersebut umumnya merupakan sentra produksi komoditas pangan dan hortikultura, seperti Dieng (Jawa Tengah) dan Pangalengan (Jawa Barat) untuk sayuran terutama kentang, serta pegunungan Tengger (Jawa Timur), dan dataran tinggi Tondano (Sulawesi Utara) untuk sayuran. Usaha tani tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa ada usaha konservasi tanah, sehingga dalam jangka panjang, lahan yang terdegradasi makin meluas dan kerusakan lingkungan meningkat. Hal serupa dijumpai pula di Kabupaten Temanggung dan Blora (Jawa Tengah), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), Ende (Nusa Tenggara Timur), dan Donggala (Sulawesi Tengah), yang termasuk wilayah miskin. Kelima kabupaten tersebut menjadi lokasi penelitian dan pengkajian unit kerja lingkup Badan Litbang Pertanian pada tahun 2003 melalui Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P). Tujuan utama proyek tersebut adalah meningkatkan pendapatan petani miskin melalui inovasi pertanian mulai dari tahap produksi sampai pemasaran hasil. Karakteristik dan potensi wilayah, serta permasalahan usaha tani tanaman semusim di lahan kering terutama di lahan berlereng curam disajikan berikut ini. Karakteristik dan Potensi Wilayah Kabupaten Temanggung, Blora, Lombok Timur, Ende, dan Donggala mempunyai sumber daya lahan (tanah, iklim, topografi) yang sangat beragam, termasuk usaha tani dan jenis komoditas yang diusahakan. Keragaman sumber daya lahan ini berhubungan dengan potensinya untuk pengembangan berbagai komoditas, seperti bawang merah (bawang goreng) di Donggala, tembakau di Temanggung, jati di Blora, bawang putih di Sembalun (di kaki Gunung Rinjani) Lombok Timur, dan mete di Ende. Namun, komoditas unggulan tersebut belum dapat meningkatkan pendapatan petani secara keseluruhan. Hal ini karena wilayah yang sesuai untuk pengembangan komoditas tersebut sangat terbatas, baik dari segi kesesuaian lahan (tanah, iklim) maupun ketersediaan sarana pertanian (air/irigasi), serta keterampilan petani relatif rendah. Bawang merah misalnya, hanya berkembang di dua kecamatan di Kabupaten Donggala, atau di Lombok Timur, bawang putih hanya dominan diusahakan di Kecamatan Sembalun. Pembukaan lahan untuk pengembangan tembakau di Gunung Sindoro dan Sumbing di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Usaha tani jagung pada puncak bukit/gunung dengan lereng >40% di Temanggung (kiri) dan Donggala (kanan). Usaha Tani di Lahan Berlereng Curam Selain tingkat kesuburan tanah yang beragam, bentuk wilayah (topografi) masing-masing kabupaten beragam pula. Wilayah berbukit dan bergunung dengan lereng lebih dari 40% menempati areal terluas di masing-masing kabupaten, kecuali di Kabupaten Blora yang lebih didominasi lahan datarbergelombang. Hal ini menyebabkan usaha tani di lahan berlereng curam makin meluas, yang secara keruangan tidak sesuai untuk budi daya pertanian khususnya tanaman semusim. Sebagai ilustrasi, pengembangan tembakau di Kabupaten Temanggung makin meluas ke arah puncak Gunung Sindoro-Sumbing, dengan lereng sangat curam (>40%). Tanaman ini telah diusahakan selama berpuluh tahun silam secara turun-temurun. Di satu sisi, pengembangan tembakau perlu terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor. Di sisi lain, dengan makin bertambahnya penduduk dan makin terfragmentasinya kepemilikan lahan akibat sistem bagi waris, otomatis dibutuhkan lahan yang lebih luas untuk perluasan areal tanam. Salah satu caranya adalah dengan membuka lahan mengarah ke puncak gunung. Lahan tersebut milik negara berupa hutan produksi dan sebagian termasuk hutan lindung. Lahan berlereng curam ini tidak hanya ditanami tembakau, tetapi juga jagung tanpa disertai penerapan teknologi konservasi tanah, sehingga kemungkinan terjadinya erosi cukup tinggi. Hal serupa juga terjadi di Donggala pada usaha tani tanaman pangan lahan kering, terutama jagung. Lahan yang digunakan adalah tanah negara berupa kawasan hutan pinus. Kabupaten Donggala mempunyai kerapatan penduduk relatif rendah (41 jiwa/km2), sehingga perambahan kawasan hutan dan pemanfaatan lahan berlereng curam tidak terjadi. Namun sebagian besar wilayah Kabupaten Donggala berupa perbukitan/pegu- 15 nungan berlereng curam, sehingga wilayah datar atau landai yang sesuai untuk usaha tani sangat terbatas. Di Blora, tidak sedikit kawasan hutan jati yang berada pada lahan datar sampai bergelombang yang sangat subur. Dari 182.800 ha luas wilayah, 90.400 ha (50%) berupa hutan termasuk hutan jati, sawah 46.175 ha, dan ladang/tegalan 26.300 ha. Rata-rata kepemilikan lahan (sawah dan tegalan) sekitar 0,09 ha/jiwa atau 0,36 ha/KK dengan asumsi 1 KK terdiri atas 4 jiwa. Kasus seperti tersebut di atas juga terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Pengembangan karet dan kelapa sawit banyak dilakukan pada lahan datar dengan aksesibilitas tinggi, yang secara keruangan nasional ataupun propinsi diarahkan untuk tanaman pangan. Ini juga menunjukkan bahwa Rencana Tata Ruang Nasional/Propinsi, khususnya untuk kawasan budi daya pertanian masih harus dibenahi. Masalah dan Pemecahannya Akar permasalahan meluasnya usaha tani tanaman semusim pada lahan kering berlereng curam antara lain adalah: (1) penguasaan/ 16 pemilikan lahan yang sempit, (2) ketersediaan lahan pertanian terbatas, (3) makin meningkatnya biaya dan kebutuhan hidup, (4) penyebaran penduduk yang terpencar-pencar, termasuk yang berada di pegunungan dan kawasan hutan (produksi atau lindung), (5) meningkatnya perambahan hutan, (6) persaingan pemanfaatan lahan datar-bergelombang untuk berbagai sektor, (7) kurangnya penegakan hukum, dan (8) meningkatanya jumlah penduduk. Kasus perluasan pertanaman tembakau di Temanggung yang makin mengarah ke puncak gunung tidak mudah dipecahkan, karena persyaratan lingkungan tumbuh tembakau yang sesuai dari segi tanah dan iklim memang terdapat di wilayah pegunungan, sehingga tidak ada pilihan lain selama kawasan hutan tersebut dapat dikonversi. Lain halnya dengan tanaman jagung, yang dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi; penggunaan lahan bergunung dan curam seharusnya dihindari. Kembali, masalahnya adalah desakan kebutuhan dan ketersediaan lahan yang terbatas. Beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya degradasi lahan dan kerusakan lingkungan adalah: 1. Memadukan sistem pertanian dan pelestarian sumber daya alam, dengan memilih tanaman semusim dan tanaman tahunan yang saling menguntungkan. 2. Melibatkan petani dan penyuluh dalam identifikasi masalah di lapangan, perencanaan, serta pemilihan dan penerapan teknik konservasi tanah dan air. 3. Meningkatkan peran Departemen Pertanian dalam konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, karena konservasi tanah memerlukan penanganan yang terintegrasi antarsektor. Departemen Pertanian memang belum diberi mandat secara formal dalam penanganan konservasi untuk mengembangkan sistem usaha tani konservasi (Anny Mulyani) . Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Jln. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor 16123 Telepon : (0251) 323012 Faksimile : (0251) 311256 E-mail : [email protected]