Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Matematika 1 Tatag Yuli Eko Siswono FMIPA UNESA Surabaya Keprihatinan dan tanggung jawab terhadap tantangan generasi masa depan telah mengubah orientasi pendidikan saat ini. Pendidikan tidak hanya membekali pengetahuan dan keterampilan yang bersifat akademik saja tetapi lebih menekankan untuk membentuk karakter yang bermartabat. Pendidikan Matematika melalui aktivitas-aktivitas pembelajaran di kelas memiliki peran tidak hanya membekali nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga nilai edukasi yang membantu membentuk karakter siswa. Tujuan untuk membangun karakter siswa itu tidaklah mudah, apalagi dalam waktu yang singkat. Untuk itu diperlukan suatu upaya terencana, kontinu, dan sistematis dalam pembelajaran matematika. Perencanaan pembelajaran yang memuat tujuan membentuk karakter siswa harus dengan disengaja (by design) bukan sekedar sebagai dampak pengiring saja (by chance). Pendahuluan Membangun karakter bagi generasi dewasa ini memang sangat mendesak. Hal tersebut melihat fenomena-fenomena yang terjadi dan tantangan masa depan yang dihadapi semakin kompleks. Karakter-karakter umum seperti jujur, disiplin, taat aturan, atau bertanggung jawab sudah semakin hilang. Sebagai bukti adalah maraknya upaya-upaya mencontek ataupun plagiasi di lingkungan pendidikan menunjukkan kurangnya kesadaran untuk berlaku jujur. Belum lagi peningkatan kasus-kasus korupsi yang santer diberitakan oleh media massa memberikan pertanda semakin pudarnya sikap jujur. Fenomena lain seperti budaya antre, tertib berlalu lintas, dilarang merokok, maupun membuang sampah pada tempatnya masih sulit dilakukan secara sadar dan bertanggungjawab. Kita masih sering melanggar aturanaturan tersebut. Kedisiplinan dan tanggungjawab kita kadangkala hanya muncul ketika diawasi dan diancam dengan hukuman saja bukan melekat sebagai bagian karakter kita. Tantangan generasi mendatang seperti kemudahan akses teknologi (misalkan internet), penggunaan narkoba, perdagangan bebas, maupun dominasi media menjadi hal yang tak terelakkan. Perkembangan tersebut dapat memberi manfaat sekaligus memberi efek negatif tergantung sikap dan karakter pemakainya. Penggunaan internet sebagai sarana sumber belajar dan informasi, menjalin komunikasi, serta pengembangan bisnis merupakan hal yang positif. Tetapi, bila digunakan untuk plagiasi, pornografi atau penipuan-penipuan akan memberi dampak yang tercela. Peningkatan pemakaian narkoba dan kemudahan untuk mendapatkan berbagai jenis narkoba menjadi tantangan orang tua untuk mendidik putraputrinya memiliki sikap dan karakter memilah mana yang baik dan buruk. Demikian juga 1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika “Pengembangan Desain Pembelajaran Matematika Berkarakter”, Sabtu, 24 NOPEMBER 2012 di Auditorium Prof. Dr. Harun Nasution, UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1 perdagangan bebas yang memunculkan produk-produk luar negeri yang dijual bebas memerlukan kecerdasan memilih produk yang tidak sekedar kualitas saja, tetapi aspek menghargai dan cinta tanah air. Tantangan lain yang kian mendominasi adalah media. Banyak pilihan media dan channel televisi yang tayang selama 24 jam menjadi pesaing tersendiri bagi orang tua maupun guru dalam mendidik dan membangun karakter putraputrinya. Tayangan-tayangan tersebut dapat mempengaruhi karakter dan perilaku baik yang sudah ditanamkan di rumah maupun sekolah. Untuk itu perlu upaya terus menerus dan kontinu di rumah maupun di sekolah untuk membangun karakter generasi mendatang. Masa depan yang lebih menantang memerlukan generasi handal yang dibekali kebiasaan-kebiasaan positif. McElmeel (2002) memberikan alasan pengembangan pendidikan karakter di sekolah karena kebutuhan dunia kerja yang memerlukan nilai-nilai karakter seperti (1) proaktif, yaitu memiliki inisiatif dalam menghadapi tantangan dan mencapai tujuan-tujuan, (2) membangun konsensus dalam penentuan suatu tujuan, (3) memiliki prioritas yang didasarkan melalui pemikiran-pemikiran mendalam, (4) berpikir dengan kreatif, mencari solusi dan prosedur yang saling menguntungkan, (5) mencari pemahaman terhadap masalah-masalah agar mendapatkan keberhasilan dalam pemecahan masalah, (6) sinergi, yaitu melakukan kerjasama dengan berbagai kelompok, dan (7) ketajaman penglihatan untuk mendorong perbaikan terus menerus. Pendidikan matematika sebagai bagian dari pendidikan memiliki tanggungjawab yang sama dengan mata pelajaran lain untuk mengembangkan karakter siswa sebagai calon generasi masa depan. Cara yang utama adalah melalui pembelajaran di kelas yang secara konsisten menanamkan kebiasaan-kebiasaan dan perilaku yang berkarakter. Pengertian Karakter Karakter dapat dipandang sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas dari setiap individu untuk hidup, bergaul, dan bekerjasama di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara (Samani & Hariyanto, 2011). Karakter yang baik ditunjukkan dengan akhlak, budi pekerti, dan perilaku yang terpuji dan menjadi teladan di tengah keluarga, masyarakat, maupun bangsa. Samani & Hariyanto (2011) mengartikan karakter sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan yang membedakan dengan orang lain serta diwujudkan dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Simpulan ini menekankan bahwa karakter adalah suatu nilai-nilai yang mendasar yang terdapat pada diri individu. Arthur (2003) membedakan pengertian karakter dalam beberapa hal. Pertama, karakter dipandang sebagai suatu jalinan nilai-nilai kepribadian yang mengarah pada sesuatu yang normal. Karakter itu tentang siapa kita dan menjadi apa kita, hal baik dan buruk. Kedua, karakter bukan sesuatu yang tetap dan dengan mudah diukur atau dimodifikasi. Ketiga, karakter merupakan pilihan-pilihan tentang pengarahan tindakan dan pemikiran yang benar atau salah. Arthur meyakini bahwa seseorang dapat aktif dalam membentuk karakter dirinya sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter dipandang sebagai suatu pendekatan khusus dari pendidikan moral. Pendidikan karakter bukan penyederhanaan dari pencapaian 2 keterampilan-keterampilan sosial tetapi tentang bagaimana seseorang siswa akan tumbuh. Dengan demikian karakter yang dikembangkan melalui pendidikan sifatnya bukan hanya dikaitkan dengan keterampilan sosial tetapi integratif diarahkan untuk perkembangan siswa. Berkowitz (2002) menjelaskan bahwa karakter dapat dipandang sebagai suatu ukuran atau sarana mengukur kebaikan atau keeksentrikan seorang individu yang berkaitan moralitas. Selain itu, juga dapat berkaitan non moralitas (seperti fungsi-fungsi kognitif). Berkowitz mendefinisikan karakter sebagai “an individual’s set of physchological characteristics that affect that person’s ability and inclination to function morally”. Artinya karakter adalah suatu kumpulan karakteristik psikologis individu yang memberi dampak terhadap kemampuan seseorang dan peningkatan fungsi-fungsi moralitas. Dengan demikian makna karakter dapat diartikan sebagai tabiat, watak, atau aspek-aspek psikologi lain yang melekat pada seorang individu. Karakter membimbing dan mengarahkan seseorang untuk menilai sesuatu yang dilakukan baik atau buruk. Fungsi-fungsi moral menurut Berkowitz (2002) tersebut dinamakan moral anatomy yang meliputi (1) moral behaviour (perilaku moral), (2) moral values (nilai-nilai moral), (3) moral personality (personalitas moral), (4) moral emotion (emosi moral), (5) moral reasoning (penalaran moral), (6) moral identity (identitas moral), dan (7) foundational characteristics (karakteristik-karakteristik dasar). Fungsi-fungsi tersebut memberi gambaran bahwa karakter merupakan suatu konsep psikologi yang kompleks. Karakter meliputi kemampuan berpikir membedakan yang baik dan benar, mengalami emosi-emosi moral (bersalah, empati, sadar diri), melibatkan diri dalam tindakan-tindakan (berbagi, berderma, berbuat jujur), meyakini moralitas yang beradab dan bermartabat, dan menunjukkan kejujuran, kebaikan hati, dan tanggung jawab. McElmeel (2002) dalam bukunya memfokuskan nilai-nilai karakter terdiri dari peduli, percaya diri, tertantang, ingin tahu, fleksibel, kebersamaan (friendship), terencana (goalsetting), hormat (humility), ceria (humor), inisiatif, integritas, sabar, tekun, sikap positif, pemecah masalah, disiplin, dan kerjasama (teamwork). Nilai-nilai tersebut diperlukan dalam menghadapi dunia kerja dan saling terkait dengan nilai-nilai yang lain. Tim Pengembang, Depdiknas (2010) menuliskan bahwa karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Orang yang perilakunya sesuai dengan norma-norma disebut insan berkarakter mulia. Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, dan nilainilai lainnya. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Kementrian Pendidikan Nasional dalam “Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa” (2010) menyebutkan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang terpateri dalam diri dan 3 terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olahpikir, olahhati, olahrasa dan olahkarsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Pengertian ini secara lengkap menggabungkan karakter sebagai nilai-nilai, kemampuan, kapasitas moral, keyakinan, dan tindakan. Berdasar pembahasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa karakter merupakan suatu kumpulan karakteristik individu yang khas dalam berpikir, berperilaku, dan bertindak dalam hidup, bergaul, bekerjasama, maupun memecahkan masalah di lingkungannya. Karakteristik tersebut dapat berkaitan dengan aspek psikologis (seperti bawaan, emosi, kepribadian, budi pekerti, sifat, tabiat, temperamen, atau watak), aspek moral (berupa nilai-nilai yang disadari dan diyakini), dan aspek kognitif (gaya berpikir, penalaran, ataupun berbahasan). Dengan demikian, karakter sebenarnya tidak hanya berupa nilai-nilai, tetapi juga kemampuan, keyakinan, moralitas, pengendalian emosi dan pengarahannya, serta perwujudan perilaku yang sebenarnya. Untuk menanamkan karakter tersebut dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan yang mengarahkan dan menanamkan karakter tersebut dinamakan pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Kemendiknas, 2010). Samani & Hariyanto (2011) merumuskan pengertian bahwa pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia yang seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir, mengambil keputusan baik-buruk, memelihara dan menjaga yang baik, serta mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter dalam lingkup pembelajaran di kelas dapat diartikan sebagai upaya merancang dan melaksanakan suatu strategi atau model-model pembelajaran yang bertujuan mengembangkan kemampuan akademik dan membangun karakter. Tujuan membangun karakter harus didesain dengan sengaja (by design) bukan sebagai akibat samping (dampak pengiring). Karakter-karakter itu harus tergambar secara eksplisit pada langkah-langkah pembelajaran yang dirancang. Karakter tersebut berupa nilai-nilai, kemampuan, keyakinan, moralitas, pengendalian emosi, dan perilaku yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan karakteristik dan sifat alami dari mata pelajaran tersebut. Ketika belajar Bahasa Indonesia mungkin saja ditekankan nilai-nilai dan etika berbahasa yang baik, sedang ketika belajar matematika diajarkan nilai-nilai yang berkaitan dengan penalaran. Dengan demikian, seorang guru perlu mengetahui karakteristik dari ilmu 4 yang akan diajarkan dan mengaitkan dengan tujuan-tujuan pengembangan karakter peserta didik. Matematika dan Karakter Matematika sebagai ilmu memiliki ciri, yaitu (1) memiliki objek abstrak, (2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola pikir deduktif, (4) memiliki simbol-simbol yang kosong arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, dan (6) konsisten dalam sistemnya (Soedjadi, 2000). Objek abstrak langsung dari matematika meliputi fakta, konsep, operasi, dan prinsip. Objekobjek tersebut didasarkan pada kesepakatan yang mengacu pola pikir deduktif, yaitu dimulai dari sesuatu yang umum menuju ke khusus. Matematika berkecimpung dengan simbolsimbol kosong arti yang tidak tergantung pada satu objek tertentu. Kondisi ini memungkinkan matematika diterapkan pada berbagai bidang ilmu yang relevan. Struktur matematika memperhatikan semesta pembicaraan dalam suatu sistem yang konsisten. Berdasarkan sifat matematika itu sendiri sebenarnya melekat nilai-nilai yang dapat membangun karakter siswa. Karena objeknya yang abstrak, matematika melatih seseorang untuk menggunakan daya pikirnya secara cerdas merepresentasikan hal-hal yang abstrak tersebut. Kesepakatan dalam matematika memberikan arah kesadaran tentang berbagai kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kesepakatan tersebut seseorang dilatih bertanggung jawab dan menerima konskuensi-konskuensi yang terjadi. Pola pikir yang deduktif mendorong seseorang untuk mencari suatu keputusankeputusan yang dapat diterima secara umum. Sedang matematika memiliki simbol yang kosong arti memberi arah pada pemikiran yang terbuka, kreatif, inovatif, dan produktif. Matematika memperhatikan semesta pembicaraan juga mendorong munculnya nilai tentang sifat kesemestaan seperti baik-buruk tatanan nilai kadang kala berlaku setempat dan bergantung tata nilai yang berlaku pada budaya seseorang. Selanjutnya, matematika konsisten dalam sistemnya melahirkan sikap konsisten dan taat aturan, serta bertanggungjawab. Karakteristik dalam matematika secara tidak langsung mengajarkan cara berpikir dan bertindak yang cerdas, bertanggungjawab, terbuka, kreatif, inovatif, produktif, berpikir keumuman, dan konsisten (taat aturan). Matematika kaitannya dengan sifat sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah (matematika sekolah) juga memiliki nilai-nilai yang melekat. Nilai-nilai itu dengan kesadaran penuh seorang guru akan muncul ketika siswa belajar matematika di sekolahnya. Karakteristik matematika sekolah didasarkan pada penyajiannya yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Berikutnya matematika sekolah menggunakan pola pikir induktif maupun deduktif, serta memiliki keterbatasan semesta. Tingkat keabstrakan materi tersebut berbeda untuk tiap tingkat satuan pendidikan. Nilai-nilai yang muncul terkait dengan matematika sekolah adalah empati, adaptasi disesuaikan dengan kondisi siswa sebenarnya, bertanggungjawab, gigih, dan tangguh. Dalam situasi pembelajaran di kelas, karakter yang baik juga dapat muncul karena strategi pembelajaran yang dipilih, seperti kooperatif yang menekankan kerjasama, pembelajaran langsung yang menekankan pada teladan-teladan dalam mengajar 5 pengetahuan deklaratif dan prosedural setahap demi setahap. Pemilihan strategi atau model pembelajaran yang tepat dapat memadukan tujuan pengembangan pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran Matematika yang Membangun Karakter Pembelajaran matematika selama ini masih didominasi oleh pengenalan rumus-rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa ada perhatian yang cukup terhadap pemahaman siswa. Selain itu, proses belajar mengajar hampir selalu berlangsung dengan metode ceramah yang mekanistik, dengan guru menjadi pusat dari seluruh kegiatan di kelas. Siswa mendengarkan, meniru atau mencontoh dengan persis sama cara yang diberikan guru tanpa inisiatif. Siswa tidak dibiarkan atau didorong mengoptimalkan potensi dirinya, mengembangkan penalaran maupun kreativitasnya. Pembelajaran matematika juga seolaholah dianggap lepas untuk mengembangkan kepribadian siswa. Pembelajaran matematika dianggap hanya menekankan faktor kognitif saja, padahal pengembangan kepribadian sebagai bagian dari kecakapan hidup merupakan tugas semua mata pelajaran di sekolah. Pembelajaran yang demikian menjauhkan siswa dari sifat kemanusiaannya. Siswa seolaholah dipandang sebagai robot atau benda/alat yang dipersiapkan untuk mengerjakan atau menghasilkan sesuatu. Guru melakukan demikian karena beberapa alasan, seperti diungkapkan Haglund (tanpa tahun), antara lain guru matematika tersebut tidak menyukai matematika dan sulit mengadaptasi strategi-strategi baru, guru memandang matematika sebagai hierarkhis yang harus diajarkan sesuai urutan kurikulum dan tidak perlu menambahkan tujuan lain, dan waktu yang digunakan dapat lebih cepat. Menghadapi kondisi itu, pembelajaran matematika harus mengubah citra dari pembelajaran yang mekanistis menjadi humanistik yang berkarakter. Pembelajaran yang dulunya memasung kreativitas siswa menjadi yang membuka kran kreativitas. Pembelajaran yang dulu berkutat pada aspek kognitif menjadi yang berkubang pada semua aspek termasuk kepribadian dan sosial. Pembelajaran matematika harus mengubah pandangan dari “as tool” menjadi “as human activity”. Matematika humanistik bukanlah hal baru dalam matematika, sebab para matematikawan terdahulu seperti Plato, Euclid, atau Mandelbrot telah mengaitkan matematika dengan keindahan, kreativitas, atau imajinasi dalam matematika. Pada dasarnya matematika humanistik melibatkan pengajaran yang isinya humanistik (humanistic content) dengan menggunakan pendidikan humanistik (humanistic pedagogy) dalam keyakinan bahwa kekurangan motivasi siswa merupakan akar penyebab dari masalah-masalah sikap dan literasi dalam pendidikan matematika. Gerakannya adalah mencari kembali prosesproses pendidikan yang menyenangkan (excitement) dan menantang (wonderment) dengan kegiatan-kegiatan penemuan (discovery) dan kreasi/karyacipta (Haglund, tanpa tahun). Dengan demikian matematika humanistik mengarahkan pada pembelajaran yang memberikan keleluasaan siswa untuk belajar secara aktif yang menyenangkan dan 6 memberikan kebebasan siswa untuk tertantang melakukan kreasi-kreasi sehingga mendorong kreativitasnya. White (dalam Susilo, 2004) menjelaskan bahwa matematika humanistik mencakup dua aspek pembelajaran, yaitu pembelajaran matematika secara manusiawi dan pembelajaran matematika yang manusiawi. Aspek pertama berkaitan dengan proses pembelajaran matematika yang menempatkan siswa sebagai subjek untuk membangun pengetahuannya dengan memahami kondisi-kondisi, baik dalam diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Pengetahuan matematika tidak terbentuk dengan menerima atau menghafal rumus-rumus dan prosedur-prosedur, tetapi dengan membangun makna dari apa yang sedang dipelajari. Siswa aktif mencari, menyelidiki, merumuskan, membuktikan, mengaplikasikan apa yang dipelajari. Siswa juga mungkin melakukan kesalahan dan dapat belajar dari kesalahan tanpa takut untuk berbuat salah dengan melakukan ujicoba atau eksperimen. Guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Guru menumbuhkan motivasi dalam diri siswa untuk mempelajari dan memahami matematika secara bermakna serta memberikan dorongan dan fasilitas untuk belajar mandiri maupun kelompok. Proses pembelajaran tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga intuisi dan kreativitas siswa. Pembelajaran matematika secara manusiawi akan membentuk nilai-nilai kemanusiaan dalam diri siswa. Selain memahami dan menguasai konsep matematika, siswa akan terlatih bekerja mandiri maupun bekerjasama dalam kelompok, bersikap kritis, kreatif, konsisten, berpikir logis, sistematis, menghargai pendapat, jujur, percaya diri, dan bertanggung jawab. Pada aspek ini kreativitas guru untuk memfasilitasi kegiatan belajar siswa dengan berbagai metode dan kreativitas siswa untuk menemukan atau membangun pengetahuannya sendiri saling terpadu dan menunjang bagi keberhasilan tujuan belajar siswa. Pembelajaran matematika yang manusiawi berkaitan dengan usaha merekonstruksi kurikulum matematika sekolah, sehingga matematika dapat dipelajari dan dialami sebagai bagian kehidupan manusia. Kaitan matematika dan dunia nyata atau mata pelajaran lain perlu dijabarkan secara konkrit. Brown (2002) menyebutkan beberapa topik yang dapat dikaitkan dengan dunia nyata atau mata pelajaran lainnya, misalkan seni (simetri, perspektif, representasi spasial, dan pola (termasuk fraktal) untuk menciptakan karya-karya artistik), biologi (penggunaan skala untuk mengidentifikasi faktor pertumbuhan bermacam organisme), bisnis (optimasasi dari suatu jaringan komunikasi), industri (penggunaan matematika untuk mendesain objek-objek tiga dimensi seperti bangunan), pengobatan (pemodelan suntikan untuk mengeliminasi infeksi penyakit), fisika (penggunaan vektor untuk memodelkan gaya). Siswono & Lastiningsih (2007) juga menunjukkan keterkaitan topik-topik matematika untuk siswa kelas VII yang sesuai dengan Kurikulum 2007 (KTSP) dengan dunia nyata atau mata pelajaran lain, seperti bilangan bulat (suhu planet, suhu kota), bilangan pecahan (kemasan obat, kandungan bahan, dosis minum, resep, laporan survei di koran, iklan), aljabar (masalah perdagangan, untung-rugi, pajak, sejarah), persamaan dan pertidaksamaan (dosis minum obat, lalu lintas, fisika), perbandingan (skala, denah, arsitektur, resep, frekuensi radio), himpunan (polling atau survei), garis dan sudut (seni, arsitektur), segitiga dan segiempat (seni, arsitektur, parkir, geografi). 7 Berdasar pandangan di atas, maka dapat dijabarkan beberapa ciri umum dari pembelajaran matematika humanistik, seperti disebutkan oleh Haglund (tanpa tahun) yaitu: 1. Menempatkan siswa sebagai penemu (inquirer) bukan hanya penerima fakta-fakta dan prosedur-prosedur; 2. Memberi kesempatan siswa untuk saling membantu dalam memahami masalah dan pemecahannya yang lebih mendalam; 3. Belajar berbagai macam cara untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya dengan pendekatan aljabar; 4. Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa matematika sebagai suatu penemuan atau usaha keras (endeavor) dari seorang manusia; 5. Menggunakan masalah-masalah yang menarik dan pertanyaan terbuka (open-ended) tidak hanya latihan-latihan; 6. Menggunakan berbagai teknik penilaian tidak hanya menilai siswa berdasar pada kemampuan mengingat prosedur-prosedur saja; 7. Mengembangkan suatu pemahaman dan apresiasi terhadap ide-ide besar matematika yang membentuk sejarah dan budaya; 8. Membantu siswa melihat matematika sebagai studi terhadap pola-pola, termasuk aspek keindahan dan kreativitas; 9. Membantu siswa mengembangkan sikap-sikap percaya diri, mandiri, dan penasaran (curiosity); 10. Mengajarkan materi-materi yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam sains, bisnis, ekonomi, atau teknik. Beberapa ciri yang diungkapkan Haglund tersebut sebenarnya mengarah pada ciri-ciri pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai karakter. Nilai tersebut seperti ingin tahu, suka menolong, pemecah masalah, kerja keras, tertantang, apresiatif, kreativitas, percaya diri, dan mandiri. Beberapa Contoh Pembelajaran Matematika yang Bertujuan Membangun Karakter Pembelajaran matematika yang konvensional bersifat mekanistik dapat saja membangun karakter. Hal tersebut karena sifat alami dari matematika memberi pengaruh terhadap seseorang yang mempelajari atau bergelut dengan matematika. Tetapi, karakter yang muncul belum optimal dan kadang kala menjauhi sifat alamiah manusia, sehingga akan lebih bernilai dan optimal jika membangun karakter melalui keterpaduan dari sifat matematika, matematika sekolah, dan pembelajaran yang dipilih. Integrasi nilai-nilai tersebut perlu dituangkan dalam silabus maupun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu mata pelajaran yang mencakup komponen: standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Silabus yang memuat nilai karakter perlu ditambahkan kolom untuk nilai karakter. Di samping itu, nilai karakter tersebut dituangkan secara eksplisit dalam rumusan kegiatan pembelajaran, indikator, dan penilaian. Sedangkan, RPP disusun untuk setiap KD yang dapat 8 dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan. RPP terdiri atas beberapa komponen, yaitu satuan pendidikan, kelas/semester, mata pelajaran, alokasi waktu, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian, tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, alat dan sumber, serta penilaian hasil belajar. Nilai karakter perlu dicantumkan tersurat pada indikator, tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, termasuk penilaian. Pada kegiatan inti nilai-nilai itu muncul pada langkah-langkah skenario pembelajaran. Nilai-nilai tersebut perlu dinilai untuk melihat tanggung jawab siswa dan sejauhmana pembelajaran efektif menunjang tujuan mengembangkan karakter. Berikut beberapa contoh indikator dan garis besar kegiatan pembelajaran yang membangun karakter. Contoh 1:karakter jujur Tujuan: Siswa dapat menemukan nilai melalui percobaan yang dilakukan dengan jujur dan cermat. Kegiatan belajar: Siswa diberikan berbagai benda berbentuk lingkaran (salah satu permukaannya berbentuk lingkaran, seperti kaleng-kaleng). Guru memberikan lembar isian yang memuat keliling lingkaran yang diukur dan diameternya, serta perbandingan keliling dan diameternya. Siswa melakukan percobaan mengukur keliling dan diameter benda-benda tersebut dan menuliskan hasilnya. Siswa diamati kejujurannya karena umumnya siswa sudah tahu nilai = 3,14, sedang dalam pengukuran seringkali terjadi kesalahan dan kekurangcermatan sehingga hasilnya jauh dari nilai 3,14, seperti mungkin 3,2 atau 3,4. Siswa cenderung tidak jujur dengan mengubah nilai mendekati 3,14 tersebut agar mencapai ketelitian yang sempurna. Contoh lain yang setara adalah percobaan menemukan volume kerucut, luas permukaan bola, atau volume bola. Contoh 2: karakter ketaatasasan (konsisten) Tujuan: Siswa dapat menemukan hubungan sifat bangun datar secara konsisten Kegiatan belajar: Siswa diberikan contoh-contoh jajargenjang dan diminta untuk mendefinisikan jajargenjang tersebut. Salah satu definisi yang mungkin dibuat siswa adalah “jajargenjang adalah segiempat yang memiliki dua pasang sisi sejajar”. Kemudian siswa diberikan contoh-contoh trapesium dan diminta untuk mendefinisikan pengertiannya. Salah satu definisi yang mungkin adalah “trapesium adalah segiempat yang memiliki sepasang sisi sejajar”. Siswa ditanya bagaimana akibat yang terjadi dari definisi itu? Apakah jajargenjang merupakan trapesium? Siswa yang konsisten akan menjawab “ya”, dan diminta membuat diagram hubungan dengan segiempat lain seperti persegi, layang-layan, belah ketupat, dan persegi. Setelah dibuat siswa ditanya kembali, apakah mungkin dibuat definisi yang baru sehingga trapesium bukan merupakan jajargenjang. 9 Contoh 3: karakter peduli Tujuan: Siswa dapat menemukan mean suatu data dengan dilakukan saling peduli terhadap siswa lain. Kegiatan belajar: Siswa dalam suatu kelompok besar (misalkan 10 anggota) diberikan manikmanik yang banyaknya tertentu. Kemudian ditugaskan untuk berbagi sehingga semua anggota itu mendapatkan hasil yang sama atau mendekati sama. Siswa dalam suatu kelompok didesain untuk bertanya dan mengetahui banyaknya manik-manik siswa lain dan dipaksakan peduli untuk membagi manik-maniknya. Siswa ditanya tentang cara yang dilakukan bagaimana agar lebih mudah dan cepat mendapatkan hasil yang sama? Diskusi ini akan mengarahkan siswa untuk menemukan rumus mencari mean suatu data. Contoh 4: karakter berpikir kreatif Tujuan: Siswa dapat menentukan persamaan garis yang sejajar dengan garis lain secara kreatif. Kegiatan belajar: Siswa diberikan suatu persamaan persamaan garis misalkan 2x + 3y = 6. Guru menentukan suatu titik tertentu misalkan A(2,3), tentukan garis sejajar yang melalui titik itu. Jika siswa sudah mengerti, siswa diminta menentukan titik lain sesuai keinginannya. Kalau tugas tersebut bisa dilakukan dilanjutkan siswa diminta membuat persamaan garis baru dan teman lain sebangku menentukan titik tertentu dan menentukan persamaan garis yang sejajar. Siswa disini mengembangkan kemampuan kelancaran (fasih), fleksibel, dan menghasilkan ide-ide yang baru. Contoh 5: karakter berpikir kritis Tujuan: Siswa dapat menilai suatu ukuran pemusatan yang tepat untuk menginformasikan kumpulan data dengan kritis. Kegiatan belajar: Kemampuan berpikir kritis ditunjukkan dengan kemampuan: (1) mengintepretasi informasi, (2) menilai bukti, (3) mengidentifikasi asumsi-asumsi dan kesalahan-kesalahan dalam bernalar, (4) menyajikan informasi, dan (5) menarik simpulan-simpulan. Guru memberikan kumpulan berbagai data, misalkan tinggi badan, ukuran sepatu, dan kegemaran siswa. Dimodelkan ada seorang pengawas akan mencari data untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: (1) Saya akan mencari siswa yang akan dilatih untuk bermain bola basket. Berapa tinggi rata-rata siswa di sekolah ini? (2) Berapa rata-rata ukuran sepatu siswa di sini? Ada bantuan sepatu gratis dari perusahaan tambang minyak. (3) Siswa di sini rata-rata menggemari sepak bola. Apakah tidak ada yang menyukai bola volley? Siswa diminta untuk menilai apakah pernyataan/pertanyaan pengawas itu sesuai dengan kebutuhan informasi yang diperlukan? Menurut kalian, apakah yang ditanyakan pengawas itu sesuai dengan informasi yang dibutuhkan? Ukuran pemusatan apakah yang sesuai? Jelaskan dan buatlah simpulan. 10 Contoh 6: karakter demokratis, teliti, tanggung jawab, patuh pada aturan sosial. Tujuan: Siswa dapat melukis segitiga dalam situasi yang demokratis secara teliti, tanggung jawab, dan patuh pada aturan sosial. Kegiatan belajar: Kegiatan diawali dengan penjelasan langkah melukis segitiga. Caranya bisa dilakukan langsung dijelaskan guru melalui contoh-contoh segitiga di papan, guru mendemonstrasikan keterampilannya atau bantuan media presentasi (powerpoint) atau siswa diminta membaca langkah-langkah melukis dalam buku sumber tertentu atau mencari sendiri. Alternatif lain cara menyampaikan informasi ini bervariasi, bisa juga mengkombinasikan satu dengan yang lain. Kemudian diterapkan pengajuan masalah (problem posing), siswa diminta menentukan ukuran-ukuran ruas garis dan diminta melukis sesuai yang sudah diajarkan. Siswa dapat dibayangkan akan memilih ruas-ruas sembarang yang mungkin ruas garis itu tidak membentuk segitiga. Siswa memungkinkan membangun pemahaman ada syarat tertentu tiga ruas garis menjadi sebuah segitiga. Cara ini tidak hanya belajar bagaimana nilai demokrasi dalam matematika tetapi karakter-karakter lain. Karakter yang berkaitan dengan aspek matematis seperti kecermatan, teliti, tanggung jawab atau berpikir logis sudah jelas tergambarkan, nilai lain sebenarnya juga muncul seperti patuh pada aturan sosial. Ketika siswa menggunakan prosedur melukis segitiga, hal itu merupakan kepatuhan yang logis terhadap aturan sosial atau aturan matematika yang ketat itu. Jika siswa sampai mengembangkan suatu pemahaman bahwa segitiga itu akan dapat dilukis jika jumlah panjang dua ruas garis tertentu lebih dari satu panjang ruas garis lain, maka nilai kreatif siswa juga muncul. Penutup Penerapan pembelajaran matematika yang membangun karakter siswa dapat dilakukan guru dengan memperhatikan dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan siswa. Dalam penerapannya harus dilakukan secara bertahap dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Penerapan tersebut jika bertujuan untuk menghasilkan siswa dengan kemampuan komprehensif yang manusiawi, mensyarat perubahan budaya guru yang selama ini sudah mendarah daging. Guru dituntut kreativitasnya, bersikap terbuka, kerja keras, tekun, sabar dan iklas untuk memberi manfaat kepada siswa yang sebesar-besarnya. Sebaiknya kita ingat, sebaik apapun alat atau kendaraan yang kita pakai, tetap tergantung pada pelaku atau sopir yang memakai ataupun mengarahkannya. Semoga tulisan ini dapat menjadi wacana guru untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Arthur, James. 2003. Education with Character: The Moral Economy of Schooling. London & New York: Routledge Falmer Berkowitz, Marin W. 2002. The Science of Character Education. In Damon, William (Ed). Bringing in a New Era in Character Education. Stanford, CA: Hoover Institution Press, Stanford University 11 Brown, Stephen I. 2002. Humanistic Mathematics: Personal Evolution and Excavations. http://www2.hmc.edu/www_common/hmjn/brown.pdf Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Desain Induk Pembanguna Karakter Bangsa 20102025. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Haglund, Roger. tanpa tahun. Using Humanistic Content and Teaching Methods to Motivate Students and Counteract Negative Perceptions of Mathematics. http://www2.hmc.edu/ www_common/hmjn/haglund.doc McElmeel, Sharron L. 2002. Character Education: A Book Guide for Teachers, Librarians, dan Parents. Greenwood Village, Colorado: Libraries Unlimited, Teacher Idea Press Samani, Muchlas., Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Rosdakarya Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Siswono, Tatag Y.E. & Lastiningsih, Netti. 2007. Matematika 1. SMP dan MTs untuk Kelas VII. Jakarta: Esis Imprint Erlangga Susilo, Frans. 2004. Matematika Humanistik. Yogyakarta: Basis Tim Pengembang. 2010. Pendidikan Karakter Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 12