Laporan Kegiatan Seminar Pendidikan Seks dan Kesehatan Reproduksi Remaja Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan. Rabu, 18 Desember 2013 Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan reproduksi untuk remaja Women Research Institute (WRI) mengadakan Seminar dan Diskusi Publik dengan tema “Hak Pendidikan Seks dan Kesehatan Reproduksi Remaja”. Dalam seminar ini WRI menghadirkan 4 orang pembicara yang berasal dari berbagai elemen yang terlibat dalam pemenuhan hak pendidikan seks dan kesehatan reproduksi remaja, yaitu: 1. 2. 3. 4. Bapak Roy Tjiong, Sekjen Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bapak Taufik Rahman, Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta Ibu Maria Ulfa, Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Faiqoh, Ketua Aliansi Remaja Independen (ARI) Acara dibuka dengan pemutaran film WRI tentang hak kesehatan reproduksi bagi remaja melalui studi kasus kondisi kesehatan reproduksi remaja di Gunung Kidul. Faiqoh - Aliansi Remaja Independen Data BPS tahun 2010, lebih dari 128.000 anak berusia 10-14 pernah menikah. SDKI tahun 2012 menyebutkan, Tiga dari 10 remaja perempuan dan 18% pria mengaku mengetahui seseorang yang mereka kenal secara pribadi yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. SDKI tahun 2012 disebutkan 53% responden perempuan membicarakan menstruasi (sebelum mendapatkan menstruasi untuk pertama kalinya) dengan teman dan 41% dengan ibunya. Selain itu, responden pria utamanya membicarakan mimpi basah sebelum mendapatkan mimpi basah pertama kali kepada teman (40 %) dan kepada guru (18 %), hal ini juga cukup baik. Sebab hal ini dapat menjadi pengalaman pertama remaja dalam berbagi pengetahuan seksual. Terkait masalah penanggulangan masalah kesehatan reproduksi melalui kontrasepsi dan VCT HIV Survai, SDKI tahun 2012 menyebutkan, 95% perempuan dan 93% pria (usia 15-24) pernah mendengar satu metode kontrasepsi, sejauh ini pengetahuan responden mengenai alat kontrasepsi hanya sebatas pil KB dan kondom, namun saya pun tidak yakin mereka mengetahui bagaimana menggunakan kontrasepsi tersebut. Sedangkan pengetahuan responden mengenai layanan VCT untuk HIV hanya diketahui oleh 11% responden perempuan dan 6% responen laki-laki. Secara global, terdapat suatu pedoman yang disebut sebagai International Technical Guidance on Sexuality Education (ITGSE) yang diinisiasi oleh UNESCO dan melibatkan empat lembaga lain yakni UNICEF, WHO, UNFPA dan UNAIDS. sebagai sebuah panduan ITGSE mencakup panduan teknis mengenai pembelajaran pendidikan kesehatan seksualitas yang komprehensif berdasarkan jenjang usia. 1 ARI juga mengembagkan website bersama dengan jaringan remaja lain yakni www.guetau.com pada website tersebut kami ingin remaja dapat mengakses informasi secara komprehensif mengenai kesehatan reproduksi remaja. Bpk. Taufik Rahman – Kepala Seksi Kerjasama antar Lembaga, Dinas Pendidikan DKI Jakarta Definisi kesehatan reproduksi semaja sendiri adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut seistem reproduksi (fungsi, komponen dan proses) yang dimiliki remaja baik secara fisik, mental, dan sosial. Dasar hukum terkait dengan kegiatan kesehatan reproduksi remaja, yang menjadi dasar kami adalah Kesehatan reproduksi remaja adalah Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2013 Dinas Pendidikan yang melingkupi bidang formal dan informal bertanggung jawab di bidang kesehatan reproduksi di sekolah adalah: 1. Guru BK, dianggap sebagai guru yang dianggap yang paling berperan selain bidang kesiswaan, kepala sekolah, selain guru bidang studi, juga ada guru yang menjadi ujung tombak melayani bidang masyarakat adalah guru BK atau konselor. 2. Komite sekolah; komite sekolah dianggap dapat dan diberi otonomi khusus mengundang narasumber berkaitan kesehatan reproduksi pada remaja. 3. Kader Kesehatan Remaja; kader kesehatan remaja dalam hal ini adalah pengurus OSIS. Dalam kegiatan OSIS terdapat pula kegiatan yang membahas beta pentingnya menjaga kesehatan reproduksi bagi remaja. 4. Siswa peserta didik Beberapa strategi sosialisasi program KRR di ranah pendidikan diantaranya melalui integrasi materi KRR ke dalam mata pelajaran yang relevan misalnya pada jenjang SD ada mata pelajaran IPA Biologi, sedangkan pada jenjang SMA menjadi lebih spesifik lagi yakni terintegrasi dalam mata pelajaran Biologi yang di dalamnya mempelajari mengenai reproduksi. Selain itu. mengembangkan kegiatan ekstrakulikuler misalnya dalam kegiatan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan maupun PKK atau pada ekstrakurikuler lain yakni Palang Merah Remaja (PMR) yang didalamnya juga mencakup materi mengenai KRR. Pembinaan KRR dilakukan melalui pola intervensi di sekolah dengan memakai pendekatan pendidikan sebaya. Jadi pada pihak guru ada peer teaching sebaya dengan materi pembelajaran yang sama. Sebagai penutup Kami, Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyakini informasi mengenai masalah kesehatan reproduksi, selain penting diketahui oleh para pemberi pelayanan kesehatan, pembuat keputusan, juga penting untuk para pendidik atau guru pada khususnya dan penyelenggara program bagi remaja, agar dapat membantu menurunkan masalah kesehatan reproduksi remaja. 2 Ibu Marria Ulfa – Komisioner KPAI K Anak seb bagai sosok k yang rentaan seharusnyya dilindunggi oleh oranng dewasa di sekitarnyya namun faaktanya mennunjukan bahhwa kekerassan atau kejaahatan seksuual yang terjaadi pada anaak terjadi deengan melibaatkan lingkuungan yag terrdekat dengaan mereka. Sesuai deengan penellitian yang dilakukan d K KPAI pada taahun 2012 m mengenai keekerasan padda anak yanng terjadi di sekolah s (SD, SMP, dan SMA), deng gan hasil sebagai berikutt: 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 91% 87 7.6% 9% 80.2% 17.9% 12% 0.4% 78.3% 20.6% % 1.9 9% 1.2% Ya tidak missing Anakk sebagai korban keke erasan di linggkungan KELLUARGA An nak sebagai korban keekerasan di liingkungan SEKOLAH Anak sebagai korban kekerasan di lingkungan MASYARAKAT Anak sebagaii Pelaku Kekerasan Survai inni dilakukan n di lima proovinsi masinng-masing liima kabupatten melibatkkan 1026 ataau 1028 resp ponden. Jum mlah dari penngakuan anaak mengenai anak yang menjadi ko orban maupuun pelaku keekerasan, terrmasuk di daalamnya adaalah kekerasaan seksual. Pernah ada a kasus annak mengadu u kepad KPAI pada tahhun 2011 sebbanyak 2275 kasus yanng masuk kee setiap harii ke KPAI diantaranya d tterdiri dari 758 7 kasus A ABH, termassuk dalam haal ini anak yang menjadi pelaku keekerasan, annak yang memperkosa annak, dll. Paada tahun lallu d kakaknyya berusia ennam tahun ddiperkosa oleeh anak-anaak ada kasuus anak beruusia empat dan juga, pelaakunya tiga orang dengaan usia masinng-masing 10 tahun, 11 tahun dan 13 tahun. Sedangkaan pada tahuun 2013, datta ini baru ddiolah hinggaa bulan Septtember, sudaah ditemukaan sebanyak k 2052 kasuus , komponennya samaa yakni kasu us ABH, traffficking, dann eksploitassi, serta kassus pornograafi dan nap pza, tiga item m tersebut berdekatan dengan kassus kejahataan seksual pada p anak. Berikutnyya,berdasark kan pemantaauan media K KPAI rata-rata terjadi 445 kasus perbbulan dengaan pelaku haamper seluruuhnya adalaah orang terddekat dengann korban. Keemudian kassus kekerasaan seksual yang y berhasiil dipantau KPAI K dari taahun 2010 hingga h tahunn 2013 men ningkat tajam m, yakni deengan pening gkatan 20% hingga 40% % per tahun n, khusus deengan yang terkait kasuus kekerasann seksual. Tahun 20013, KPAI menyebutnyya sebagai tahun daruraat penanggullangan kejahhatan seksuaal pada anaak. Pada tahu un 2013 anaak Sembilan tahun meniinggal karenna penyakit kelamin k yanng ditularkaan oleh ayah h kandungnyya. Kemudiaan kasus lainn, di Aceh juga di tahun 2013, anaak yang diperkosa dan dimutilasi d hiidup-hidup ooleh pamannnya. Kasus lain, Di Prabbumulih, anaak usia 15 th h diperkosa angota DPR RD dan adiknnya. 3 Data berikutnya adalah temuan LBH Jakarta pada tahun 2012, menemukan bahwa 35% ABH mengalami kekerasan seksual yang terjadi dari mulai saat penangkapan, dan 18% saat pemerikasaan verbal/BAP dan penahanan. Jadi dari mulai proses penangkapan hingga mereka di tahan di Rumah Tahanan tidak lepas dari kekerasan seksual. Lalu, ECPAT melaporkan, terjadi kenaikan 450 % kejahatan seksual online selama 4 tahun . Pada 2008, kasus yang tercatat sebanyak 400,000, kemudian pada tahun 2013 sebanyak 18.000. Kemudian, KPAI juga menemukan fakta bahwa anak pelaku kekerasan seksual melakukan tindakannya karena terpengaruh oleh pornografi. Kemampuan anak-anak untuk mengakses konten-konten pornografi menjadi sangat memungkinkan melalui telepon selular (HP). Laporan YKBH tahun 2012, 76 % anak kelas 4-6 SD di Jabodetabek sudah pernah melihat konten pornografi. BKKBN melakukan survai pada tahun 2007 mengenai perilaku berpacaran remaja, mulai dari yang paling ringan, berpegangan tanga, berciuman, petting, hingga akhirnya berhubungan seks. Jumlah ini cukup mengejutkan, dengan jumlah responden 19.311 anak diantara responden tersebut, yang pola berpacarannya sudah mencapai tahap berhubungan seksual adalah 4,3% dari jumlah responden anak perempuan, dan 8,3% dari jumlah responden anak laki-laki. Penelitian di Papua tahun 2011, dengan melibatkan 1082 responden. Penelitian ini mengenai pengalaman seksual pelajar di Papua, dari data tersebut yang menonjol adalah 38% dari responden (414 pelajar) pernah memiliki pengalaman sexual intercourse, dan 26,5% dari responden (287 pelajar) sudah pernah memiliki pengalaman seksual meskipun tidak sampai pada tahap intercourse. Dan 33,5% atau 362 pelajar belum pernah memiliki pengalaman seksual. Pendidikan seks perlu diberikan pada usia sedini mungkin. KPAI mensosialisasikan agar pendidikan seks dilakukan mulai dari usia 3-5 tahun, sebab sejak usia 3 tahun biasaya anak sudah mulai bisa berbicara. Anak-anak sejak usia dini perlu diberikan pengertian mengenai hal yang tidak seharusnya terjadi kepada mereka, mereka bisa berteriak, mereka bisa berlari, dll. Selain itu, Pendidikan kesehatan reproduksi perlu disampaikan menyesuaikan dengan usia anak, sesuai dengan bahasa yang dimengerti oleh anak. Terkait dengan pendidikan seksualitas pabila KPAI berbicara dengan stakeholder, dan saya berbicara pendidikan seks dimasukan ke dalam kurikulum masih banyak Kepala Dinas Pendidikan yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan pendidikan seks adalah mengajari anak untuk berhubungan seks, MUI pun masih beranggapan sama yang ada dipikiran mereka mengenai pendidikan seks adalah mengajari anak untuk berhubungan seks. Mengenai siklus perkembangan anak, khususnya pada anak perempuan biasanya orang tua anak melakukan tradisi khitan pada anak perempuan ketika usia mereka tiga sampai tujuh hari. Selama ini kita sudah melakukan advokasi untuk melarang pelaksanaan sunat perempuan. Dalam hal ini ada tahapan-tahapan yang memungkinkan anak dipeluk, dicium, dimandikan, melalui kemungkinan-kemungkinan tersebut, anak rentan mengalami pelecehan seksual, bahkan hingga sodomi. 4 Terkait dengan pendidikan seksualitas dalam perspektif agama Islam, saya ingin mengaitkan bahwa Agama Islam sangat ramah kepada perempuan, termasuk dianjurkan bahwa pendidikan seksualitas bukan hanya perlu diberikan kepada remaja melainkan juga dapat dilakukan sejak usia dini. Bpk. Roi Tjiong – Sekjen Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Pertanyaan pertama, sebenarnya ada apa dengan remaja? Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010, terdapat 63 juta remaja di Indonesia. Menurut Bappenas Kehamilan pada remaja terjadi karena terbatasnya akses informasi yang benar, lemahnya pendidikan seks (di sekolah dan keluarga), dan layanan kesehatan reproduksi (2010). Berdasarkan data SDKI 2012: ASFR 15-19 tahun adalah 48 per 1000. Jadi 48 dari 1000 remaja sudah menikah (terendah di NAD & Sumbar 7/1000 dan tertinggi Kalbar 104/1000) Æ remaja menyumbang 30% pada Kehamilan Tidak Diinginkan dan aborsi tidak aman. Selanjutnya berdasarkan penelitian Riskesdas pada tahun 2010, usia haid pertama sudah ditemukan pada anak perempuan berusia 9 tahun. Padahal angka ASFR terletak pada rentang 15-19 tahun, dibawah usia 15 tahun kita tidak mengatahuinya, padahal mereka sudah terancam. Usia kawin di sini kita lihat bahwa laki-laki pada usia 10-14 tahun adalah 0,1% baik do kota maupun di desa. Namun bagi perempuan pada usia yang sama, di kota 7,2% dan di desa 17,5%. Jadi risiko sudah menikah di desa lebih tinggi tiga kali dibandingkan dengan di kota. Riskesdas tahun 2010 memperlihatkan bahwa cukup banyak anak remaja Indonesia mulai dari 10 tahun bahkan 8 tahun pada anak perempuan, mengaku sudah pernah memiliki pengalaman hubugan seksual. Pada usia delapan hingga 14 tahun menunjukkan anak perempuan lebih banyak yang pernah mengalami hubungan seksual pra-nikah, namun setelah usia 15 tahun pengalaman hubungan seksual pra-nikah lebih didominasi oleh anak laki-laki. Selanjutnya penelitian Riskesdas pada tahun 2010 mengenai persentase Perkawinan Pertama berdasarkan Usia Perempuan menunjukkan bahwa pada usia 10-14 tahun ada sekitar 4,8% perempuan yang sudah menikah, tidak aneh sebab Syeh Ouji sudah mengawini anak berusia 12 tahun. Selanjutnya, ini adalah gambaran Angka Kematian Ibu (AKI) dari tahun 1991 – 2012 5 MMR/100.000 LH 500 400 390 AKI: SDKI 1991 ‐ 2012 334 359 307 300 228 200 100 0 1989‐1994 1993‐1997 1998‐2002 2003‐2007 2008‐2012 Reference Period Data tersebut menunjukkan angka kematian ibu yang tidak naik dan tidak juga turun karena sebenarnya dibali angka-angka tersebut ada confidence interval . Confidence intervalnya selalu sekitar 100, +100 atau -100 jadi angka kematian ibu tidak naik dan tidak turun alias mandek. Sementara itu Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia dari waktu ke waktu menurun tajam. Di Kota mengalami penurunan yang lebih tajam, dari 3,7 menjadi 2,4 sempat juga berada pada titik 2,3 . Sedangkan di pedesaan angka TFR turun dari 4,5 menjadi 2,8. Sedangkan anga CPR atau cakupan layanan KB di Indonesia dari tahun 1991 – 2012, naik 0,5% dari tahun 2007, sedangkan tahun 2002 ke tahun 2007 cakupan layanan KB di Indoensia nhanya naik 0,1%. Sedangkan angka unmet need kita kalau berdasarkan kelompok umur yang tertinggi yakni pada usia 45 hingga 49 tahun. Usia tersebut sebenarnya sudah bukan usia produktif lagi. Di bawah itu, semakin muda, semakin rendah unmet need nya. Terkait dengan kesehatan reproduksi remaja, Kesehatan reproduksi di luar urusan kependudukan masih belum menjadi prioritas. Angka kematian ibu yang tinggi – bukti paling menyolok dari rendahnya posisi tawar perempuan; di samping tingginya angka aborsi tidak aman (sekitar 30% disumbang oleh ABG-angka ini hanya merupakan estimasi), sementara itu UU 52/2009 tentang Kependudukan membatasi layanan kontrasepsi hanya pada pasangan suami isteri termasuk nikah siri tidak diperbolehkan. Pendidikan seks masih belum mendapat tempat dalam kurikulum baku – yang selama ini ada adalah mata pelajaran biologi bukan pendidikan seks. padahal cukup banyak remaja sudah aktif secara seksual (bahkan perkawinan remaja semakin merebak dengan dukungan kultural), sementara itu terjadi pergeseran gaya hidup dan semakin meningkatnya tantangan pada era informasi dan menuju globalisasi membuat remaja semakin terpapar bahkan pada napza dan HIV/AIDS. Masalahnya, remaja juga ingin eksis. Kehamilan remaja baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan sebenarnya menyumbang pada angka kematian, masalahnya kita tidak memiliki data Age Spesific Fertility Rate (ASFR) untuk di bawah usia 15 tahun yakni antar rentang 10 hingga 14 tahun. Berdasarakan SDKI Tahun 2012, ASFR 15-19 tahun 48/1000 kelahiran hidup; perkotaan vs perdesaan: 32 vs 69 , jadi angka kelahiran menurut kelompok umur di desa lebih tinggi dua kali lipat jika dibandingkan dengan di kota. Memang usia remaja adalah periode badai atau 6 dalam bahasa Jerman disebut Sturm und Drank karena memang remaja mengalami transisi, dari anak-anak menjadi dewasa. Periode ini merupakan periode kritis baik secara biologis maupun psikologis. Karena pendidikan seks masih kurang memadai sebab orang tua dan guru masih terperangkap bahwa Imtaq bisa menyelesaikan masalah ini, maka seperti ini adalah dampaknya. Selanjutnya, 12,8% remaja (15-19 tahun) sudah menikah menurut SDKI (2012) sedangkan median usia perkawinan pertama adalah 20,1 tahun dan median usia melahirkan anak pertama adalah 22 tahun (perkotaan 23 tahun vs. perdesaan lebih muda yakni 21 tahun. Median usia hubungan seksual pertama adalah 20 tahun, di perkotaan 21,8 tahun sedangkan di pedesaan adalah 19,4 tahun. Data KPAI tadi memperlihatkan bahwa kekerasan seksual mengancam remaja bahkan anakanak hal ini menjadi semakin marak dengan adanya jejaring sosial yang mengarah pada traficking idan drugs abuse. Ketika remaja putri di bawah 20 tahun) hamil maka ia menghadapi risiko kematian karena proses reproduksi 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan usia yang lebih dewasa, dan anak yang dikandungnya juga rentan terhadap risiko kesehatan. Undang-undangan Kesehatan No.36 tahun 2009 belum secara tegas melindungi kesehatan reproduksi remaja, walaupun Menkes pada acara Women Deliver menegaskan bahwa hak informasi & layanan kespro bagi semua. Selain itu, UU No 52/2009 tentang Kependudukan: membatasi pelayanan alat kontrasepsi hanya pada pasutri. Jadi kalau bukan pasutri cukup diatasai dengan KIE dan berdoa. Kebanyakan petugas kesehatan (reproduksi) masih “pekak-gender” dan cenderung terperangkap pada pendekatan moral dan melakukan stigmatisasi pada remaja dan yang selalu digadang-gadang adalah konsep keluarga sakinah mawadah dan warahmah. Kesehatan reproduksi remaja masih belum dijadikan faktor dalam “Human Development Reports” seolah-olah bukan menjadi hak asasi manusia, dimana letak keadilan sosial? Selanjutnya, ada upaya sistematik untuk mereduksi problem seksualitas dan kesehatan reproduksi pada masalah moralitas seksualitas (semakin meningkatnya fundamentalisme agama) – problem kultural/agama dan pranata sosial kita. Bahkan yang terkena penyakit ini justru rumit sekali karena tidak tersedia sarana kesehatan, meskipun saat ini telah ada Kartu Jakarta Sehat (KJS) saya kira itu sangat menarik. Cukup banyak remaja Indonesia telah aktif secara seksual sebelum usia 15 tahun Æ pendidikan kesehatan reproduksi remaja belum efektif? alokasi anggaran KRR – apakah sudah cukup dan tepat sasaran? Dan cenderung urban bias kesan saya program KRR memang masih urban bias, selama ini program KRR hanya berjalan pada jenjang SMA di kota, paling rendah hanya menyentuh sampai ke tingkat kecamatan. Pendidikan seks di keluarga terkendala budaya (Padahal WPF Indonesia telah mengembangkan modul interaktif berbasis komputer). Selanjutnya, Di perkotaan remaja telah aktif secara seksual pra-nikah (apakah dengan kelompok sebaya maupun di luar kelompok sebaya), di pedesaan pernikahan remaja dan siri 7 semakin marak, jadi memang kita membutuhkan angka ASFR < 15 tahun (10-14 tahun). ASFR 15-19 tahun: perdesaan 2x lipat perkotaan. 9 dari100 remaja putri telah menggendong anak padahal kehamilan remaja meningkatkan risiko kesehatan dan kematian ibu dan anak maka hal ini ikut menyumbang kegagalan kita dalam pencapaian target MDG’s. Selanjutnya adalah Agenda Aksi, saya kira ini adalah agenda untuk WRI dan kita semua Sasaran dari agenda aksi adalah remaja yang aktif dan sehat (tidak anemis), mampu mengembangkan bakat dan kemampuan secara penuh, terbebas dari stereotipe diskriminatif (secara seksual dan reproduktif), mampu menentukan pilihannya sendiri secara matang dan bertanggung-jawab – termasuk orientasi seks. Selain itu, Hentikan pernikahan remaja sebab lebih banyak mudharat ketimbang manfaat (Berdasarkan angka terkahir median usia perkawinan pertama adalah < 21 tahun). Tingkatkan alokasi KRR – edukasi KRR berbasis sekolah dan kelompok sebaya harus diberi muatan pemberdayaan gender namun pertanyaannya pelaksanaan program KRR pedesaan seperti apa? Akses pada kontrasepsi Wanita Usia Subur (WUS) dan ramah remaja (akses universal seperti yang diamanatkan UU 39/2009 tentang kesehatan dan terakhir, sediakan data ASFR 10-14 tahun Penutupan Semoga seminar ini bukan akhir dari langkah kami namun justru menjadi langkah awal bagi kami WRI khususnya memperjuangkan hak pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja khususnya di Jakarta. 8