1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aktivitas manusia sehari-hari tidak terlepas dari lingkungan udara,
makanan, sentuhan yang secara tidak langsung menghadapkan kita pada
mikroorganisme yang bisa menyerang tubuh, mikroorganisme ini dicegah agar
tidak menyebabkan penyakit dengan adanya 3 jenis pertahanan tubuh yaitu
eksternal barriers berupa kulit dan membran mukosa, nonspesifik internal
barriers berupa respon inflamasi, fagositosis, dan pertahanan tubuh yang spesifik
(sistem imun spesifik) .
Perkembangan sistem imunologik sebagai suatu penyesuaian diri respon
seluler pada lingkungan yang berubah-ubah dan bermacam-macam untuk setiap
tingkatan spesies, individu, bahkan sel. Proses adaptasi diperlukan suatu spesies
agar dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Proses adaptasi ini membentuk
dasar-dasar filogeni respon imun, baik respon imun spesifik dan nonspesifik.
Dalam kehidupan primitif elemen nonspesifik yang paling penting ialah
fagositosis dan respons inflamatoris. Dengan adanya evolusi, mekanisme
pertahanan ini tetap dan diperkuat oleh penambahan komponen-komponen baru
yaitu sistem imun spesifik dan sistem amplifikasi biologi dengan respon-respon
yang baru telah berkembang (Bellanti, 1985).
Pada saat sistem imun melemah, pemberian produk imunostimulator bagi
penderita penyakit infeksi menjadi sangat penting karena secara klinis
imunostimulator dapat dimanfaatkan dalam pengobatan maupun pencegahan
1
2
suatu penyakit (Sherwood, 1996 cit Sriningsih & Wibowo, 2009).
Keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi menyediakan berbagai
jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai agen imunostimulator. Tanaman
yang telah banyak diteliti sebagai imunomodulator adalah herba meniran
(Phyllantus niruri Linn.), umbi keladi tikus (Thyphonium flagelliforme (Lodd.)
Blume, dan daun sirih merah (Piper crocatum).
Ekstrak etanolik meniran, umbi keladi tikus, dan daun sirih merah
mengandung flavonoid dan alkaloid yang kemungkinan menyebabkan tanaman ini
berkhasiat sebagai imunomodulator. Flavonoid bisa meningkatkan aktivitas IL-2
dan proliferasi limfosit. Proliferasi limfosit mempengaruhi sel CD4+ dan
menyebabkan sel Th1 teraktivasi yang mempengaruhi molekul IFNγ yang dapat
mengaktifkan makrofag sehingga mengalami peningkatan metabolik, motilitas
dan aktivitas fagositosis secara cepat dan lebih efisien dalam membunuh bakteri
atau mikroorganisme patogen sedangkan alkaloid yang mempunyai aktivitas
antibakteri dengan menghambat perlekatan protein mikroba ke reseptor
polisakarida inang (Ukhrowi, 2011).
Berdasarkan penelitian Daulay (2012)
ekstrak etanol keladi tikus
terbukti memiliki efek imunomodulator dengan parameter kadar IL-10 dan TNF-α
yang meningkat pada dosis tertentu yaitu 250 mg/kg dengan harga IC50 sebesar
632 µg/ml memiliki efek sitotoksik terhadap sel T47D. Senyawa fenolik pada
ekstrak tersebut dapat meningkatkan aktivitas sel makrofag karena dapat
menstimulasi pelepasan sitokin IL-12 dan IFN-γ (Shen dan Louie, 1999).
3
Penelitian Ibnul (2012) ekstrak meniran hijau meningkatkan aktivitas
fagositosis makrofag dan produksi nitrit oksida yang meningkat pada mencit
Balb/c dan hal ini sesuai dengan penelitian yang terdahulu dilakukan oleh Maat
(1996) efeknya pada mencit dapat meningkatkan fagositosis dan kemotaksis
makrofag, kemotaksis neutrofil, sitotoksisitas sel NK dan aktivitas hemolisis
komplemen. Penelitian dengan ekstrak etanol daun sirih merah tidak mempunyai
efek pada respon imun spesifik, yaitu pada proliferasi limfosit dan titer antibodi
tetapi dapat meningkatkan respon imun non spesifik, yaitu menaikkan indeks
fagositosis makrofag (Wiweko, 2010; Apriyanto, 2011). Penelitian Yuristiyani
(2012) melaporkan fraksi tak larut n-heksana ekstrak etanol daun sirih merah
pada konsentrasi 0,1 mg/ml, 0,5 mg/ml, dan 1 mg/ml tidak mampu meningkatkan
fagositosis makrofag dan menurunkan proliferasi limfosit. Hasil penelitian
Werdyani (2012) pada dosis 10 mg/KgBB, 50 mg/KgBB, dan 100 mg/KgBB
fraksi n-heksana ekstrak etanolik daun sirih merah mampu meningkatkan
fagsitosis makrofag tetapi memiliki kecenderungan menekan jumlah sel TCD4+
dan TCD8+ .
Adanya efek imunomodulator masing-masing ekstrak sirih merah, umbi
keladi tikus, dan daun sirih merah telah diteliti apabila dipejankan tunggal dan
selama ini kajian efek imunomodulator kombinasi ekstrak
meniran, umbi keladi tikus, dan daun sirih merah
etanolik herba
belum pernah dilakukan,
sehingga penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui efek
imunomodulator kombinasi ketiga ekstrak tersebut. Parameter yang akan diamati
adalah kemampuan fagositosis makrofag.
4
B. Rumusan Masalah
Apakah kombinasi ekstrak etanolik herba meniran, umbi keladi tikus, dan
daun sirih merah mampu meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag mencit
jantan Balb/c dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan secara in vitro?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data ilmiah yang dapat
digunakan
sebagai
dasar
pengembangan
produk
obat
herbal
sebagai
imunomodulator yang terdiri dari kombinasi ekstrak etanolik herba meniran, umbi
keladi tikus, dan daun sirih merah.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek
immunomodulator kombinasi ekstrak etanolik herba meniran, umbi keladi tikus,
dan daun sirih merah secara in vitro, dengan mengevaluasi efek kombinasi ekstrak
tersebut terhadap peningkatan aktivitas fagositosis makrofag dibandingkan
dengan kontrol tanpa perlakuan.
D. Tinjauan Pustaka
1. Sistem Imun
Kata imun berasal dari bahasa latin imunitas yang berarti pembebasan
(kekebalan) yang
kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah
menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi terhadap penyakit
menular. Sel dan molekul yang bertanggungjawab dalam imunitas adalah sistem
imun, dan keseluruhan sistem yang mengatur respon terhadap pengenalan
substansi asing disebut dengan respon imun (Abbas & Lichtman, 2005). Sistem
imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk melindungi dan
5
mempertahankan
keutuhan
tubuh
dari
bahaya
yang
menyerang
tubuh
(Tjandrawinata et al., 2005). Menurut Baratawidjaya (1994) sistem imun itu
terdiri dari komponen genetik, molekuler, dan seluler yang berinteraksi secara
luas dalam merespon antigen endogenus dan eksogenus.
Tugas dasar sistem imunitas tersebut antara lain adalah membedakan
„dirinya sendiri‟ (seluruh sel di dalam tubuh) dengan „agen asing‟ (bakteri, virus,
toksik, jamur, serta jaringan asing). Menghadapi agen asing tadi, sistem imunitas
harus membentuk sel khusus melalui sel darah putih, untuk mengeliminasi
pendatang asing tersebut. Karena manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar,
sistem imunitas mampu beradaptasi dengan kondisi sehari-hari. Sistem imun
terdiri dari sistem imun spesifik dan sistem imun nonspesifik, keduanya berperan
terutama dalam proses fagositosis.
a. Sistem imun non spesifik.
Sistem ini merupakan pertahanan pertama melawan infeksi. Mekanisme
sistem imun non spesifik tetap ada meskipun tidak ada induksi mikroba ke dalam
tubuh dan secara cepat diaktifkan oleh mikroba sebelum perkembangan lebih
lanjut ke respon imun yang spesifik. Komponen sistem imun nonspesifik (Innate
Immunity) yaitu :
1)
Hambatan fisika dan kimia yang terdiri dari kulit, lapisan mukosa, dan
enzim.
2)
Protein darah seperti komplemen
3)
Sel fagositosis (makrofag, neutrofil) dan natural killer cells (Abbas &
Lichtmann, 2005).
6
Komponen-komponen sistem imun bawaan selalu berada dalam keadaan
siaga, siap melaksanakan tindakan-tindakan pertahanan yang terbatas dan relatif
“kasar” terhadap semua dan semua penyerang. Dalam sistem imun nonspesifik
dikenal sel fagositosis yaitu neutrofil dan makrofag yang memiliki protein
membran plasma toll-like receptors (TLR) untuk memicu fagositosis. Apabila
karbohidrat yang biasanya terdapat pada dinding sel bakteri dan materi lain yang
dianggap sebagai substansi asing masuk ke dalam tubuh maka akan mengaktifkan
sistem imun nonspesifik. Toll-like receptors tersebut sebagai sensor yang
mengenali dan mengikat penanda-penanda di bakteri sehingga sistem imun
nonspesifik mengetahui substansi asing yang masuk ke dalam tubuh merupakan
musuh yang harus dimusnahkan. Reseptor ini berfungsi sebagai pemicu fagosit
untuk
menelan,
menghancurkan
mikroorganisme
dan
memicu
fagosit
mengeluarkan mediator peradangan ( Takeda & Akira, 2004).
Toll-like receptors menghubungkan sistem imun spesifik dan non
spesifik karena sitokin dan mediator lain yang dikeluarkan oleh fagosit penting
untuk memicu sistem imun spesifik. Antibodi melalui reseptor Fc dan komplemen
melalui reseptornya akan membantu makrofag dalam menelan dan mencerna
benda asing dan bahan yang sudah dirusak.
b. Sistem imun spesifik (adaptif)
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda
asing yang dianggap asing bagi dirinya. Agen asing yang pertama kali muncul
dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi
sel-sel sistem imum tersebut. Agen asing yang sama bila terpapar ulang akan
7
dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya
dapat menyingkirkan agen asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini
disebut spesifik (Baratawidjaja, 2006).
Sistem imun spesifik (adaptif) ini terdapat dua tipe, yaitu cell mediated
immunity dan humoral mediated immunity. Sistem imun spesifik dapat bekerja
tanpa bantuan sistem imun non spesifik, tetapi pada umumnya terjadi kerjasama
yang baik antara antibodi, komplemen dan fagosit dengan sel-T makrofag.
Antibodi akan muncul apabila ada antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sistem
imun spesifik hanya dapat menghancurkan antigen yang telah dikenalnya (Kresno
2001).
2. Makrofag
Mekanisme pertahanan host terdiri dari imunitas alami dan imunitas
adaptif. Imunitas alami merupakan pertahanan yang paling pertama. Komponen
imunitas alami atau innate imunnity terdiri dari barier epitel, fagosit, sel NK,
sistem komplemen, dan lain-lain. Selain imunitas alami, juga terdapat sistem
imunitas adaptif. Sistem imunitas adaptif ini terdapat dua tipe, yaitu cell mediated
immunity dan humoral mediated immunity. Sistem imunitas alami yang berperan
melawan mikroba yang masuk menembus epitel ialah sistem fagosit. Sistem
fagosit yang bersirkulasi dalam darah terdapat dua tipe, yaitu neutrofil dan
monosit. Kedua sel tersebut bekerja pada tempat yang terinfeksi, dimana mereka
mengenal
dan
mencerna
mikroba.
Neutrofil
(juga
disebut
leukosit
polimorfonuklear) yang berjumlah 4000 – 10.000 per mm3 ialah jenis leukosit
yang terbanyak di dalam darah. Dalam respon terhadap infeksi, produksi neutrofil
8
dari sumsum tulang meningkat cepat sampai melewati angka 20.000 per mm3.
Produksi dari neutrofil dirangsang oleh sitokin, yaitu mediator yang
diproduksi oleh berbagai macam tipe sel sebagai respon terhadap infeksi.
Neutrofil ialah tipe sel pertama yang merespon infeksi, baik infeksi bakteri
maupun fungi. Sel neutrofil mencerna mikroba dalam sirkulasi, dan sel neutrofil
dengan cepat masuk ke dalam jaringan ekstravaskuler pada sisi infeksi, dimana sel
ini juga mencerna mikroba dan mati setelah beberapa jam.
Tipe sel kedua dalam sistem fagosit ialah sel monosit. Sel tersebut
berjumlah 500 – 1000 per mm3 darah, lebih sedikit dibandingkan jumlah sel
neutrofil. Sel monosit mencerna mikroba dalam darah dan jaringan. Tidak seperti
neutrofil, monosit dapat masuk ke dalam jaringan ekstravaskuler dan bertahan di
sana dalam waktu yang relatif lebih lama. Sel monosit akan berdiferensiasi
menjadi sel makrofag di dalam jaringan. Sel monosit darah dan sel makrofag ialah
dua sel yang sejenis, dimana kedua sel tersebut dinamakan sistem fagosit
mononuklear.
Makrofag adalah monosit yang meninggalkan sirkulasi darah dan
berubah agar menetap di jaringan dengan fungsi memfagositosis mikroorganisme
dan komplek molekul asing lainnya. Makrofag yang berpindah mengalami
diferensisasi sesuai dengan bentuk histologi jaringan yang dituju contohnya
kuppfer cells pada hati, alveolar macrophages di paru-paru, splenic macrophages
di white pulp, peritoneal macrophages di cairan peritoneal, microglial cells di
jaringan saraf ( Coico et al., 2003).
9
Makrofag sebagai sel fagosit mampu membunuh mikroorganisme
melalui dua mekanisme:
a. Proses Oksidatif (oxygen dependent mechanisms)
Proses ini terjadi karena penggunaan oksigen yang meningkat akan
diubah menjadi reactive oxygen intermediates (ROIs) untuk membunuh
mikroorganisme, hal ini diinisisasi oleh ikatan mikroba terhadap reseptor
fagositos dan terjadi fusi phagosomes (phagocytic vacuoles) dengan lisosom yang
membentuk phagolysosomes sebagai tempat pembunuhan mikroorganisme.
Peningkatan produksi hydrogen peroxide (H2O2) dan produksi beberapa senyawa
seperti superoxide anion, hydroxyl radicals, single oxygen, myeloperoxidase yang
dapat saling bereaksi dengan : enzymatic generation of superoxide anion,
spontaneous generation of single oxygen and hydroxyl radicals dan enzymatic
generation of halogening compound; reaksi fusi inilah yang menghasilkan
metabolit oksigen yang toksik sehingga bisa digunakan untuk membunuh
mikroba( Abbas & Lichtmann, 2005).
b. Proses non oksidatif (oxygen independent mechanism)
Sejalan dengan peningkatan reactive oxygen intermediste (ROIs),
makrofag menghasilkan reactive nitrogen intermediates dengan bantuan enzyme
seperti hydrolitic enzyme, defensins (cationic protein), lysozyme, lactoferrin dan
nitric oxide synthase (iNOS). Nitric oxide synthase merupakan enzim sitosolik
yang diaktifkan oleh TLRs yang dikombinasi dengan IFNγ dan hal ini terjadi saat
mikroba menginvasi tubuh. Nitric oxide synthase menjadi aktif dan dikatalisis
oleh arginin untuk memproduksi nitrit oksid bebas. Phagolysosome tempat
10
memungkinkan untuk terjadinya reaksi fagosit oksidase antara nitrit oksid dengan
hidrogen peroksida atau superoksida yang menghasilkan radikal peroxynitrit
sangat reaktif dan bisa membunuh mikroba (Gambar 1) (Abbas & Lichtmann,
2005)
Gambar 1. Fagositosis mikroba di dalam sel. (A) Mikroba berikatan dengan reseptor
fagositosis. (B) Membran sel fagosit membentuk fagosom. (C) Mikroba di dalam fagosom
dan berfusi dengan lisosom. (D) Mikroba dihancurkan oleh enzim lisosom , ROS, dan NO di
dalam fagolisosom (Abbas et al., 2007)
Oleh
karena
itu,
ketika
makrofag
teraktivasi
oleh
masuknya
mikroorganisme ke dalam tubuh terjadi peningkatan produksi ROIs, nitric oxide,
dan enzim lisosom. Selain itu, reaksi inflamasi dengan peningkatan TNF dan IL-1
memicu terjadinya kemotaksis dengan mengundang chemokines IL-12 untuk
menstimulasi makrofag ke lokasi inflamasi, mengaktifkan sitokin IFNγ, tipe I
IFNs sitokin antivirus dan IL-10 sebagai penghambat makrofag (pengontrol reaksi
sistem imun spesifik), sehingga peningkatan aktivitas makrofag sejalan dengan
11
peningkatan sitokin tersebut. Makrofag yang aktif juga ikut andil memperbaiki
jaringan yang luka dan terinfeksi dengan menghasilkan growth factors untuk sel
endotel dan sel fibroblasts.
3. Fagositosis
Fagositosis merupakan proses penelanan yang dilanjutkan dengan
pencernaan seluler terhadap bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh
dengan maksud mengganggu sistem homeostasis tubuh. Proses fagositosis secara
garis besar dapat dibedakan dalam 3 tahap :
a. Pengenalan dan pengikatan bahan asing.
b. Penelanan ( ingestion)
c. Pencernaan (Bellanti, 1985)
Fagositosis sebagian besar diperankan oleh makrofag sebab kemampuan
fagositosisnya jauh lebih kuat dibandingkan dengan sel fagosit yang lain. Segera
setelah menelan bahan asing tersebut, membran makrofag akan menutup. Partikel
tersebut digerakkan ke dalam sitoplasma sel dan terbentuk vakuol fagosit.
Lisosom adalah kantung-kantung dengan enzim, bersatu dengan fagosom
membentuk fagolisosom. Pada keadaan ini dimulailah proses pencernaan
intraseluler dan pembentukan zat bakterisidal jika lisosom gagal menerima bahanbahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Makrofag jaringan mempunyai
kemampuan serupa makrofag aktif yang mampu mengembara ke seluruh jaringan,
yaitu memfagosit bahan-bahan asing.
12
4. Imunomodulator
Imunomodulator adalah bahan atau senyawa yang dapat merangsang
sistem imun atau menekan aspek spesifik dari respon imun. Bahan atau senyawa
yang
bersifat
imunomodulator
dapat
bekerja
dengan
immunorestorasi,
immunostimulasi, dan immunosupresi. Imunostimulasi atau imunopotensiasi
adalah
cara
memperbaiki
fungsi
sistem
imun
dengan
menggunakan
imunostimulan, yaitu bahan yang dapat merangsang sistem imun. Menurut
(Bellanti, 1993) imunostimulator dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu
imunostimulasi spesifik dengan senyawa yang mempunyai spesifisitas antigenik
dalam respon imun seperti vaksin dan imunostimulasi nonspesifik dengan
senyawa yang tidak bersifat antigenik dan imunogenik, tetapi dapat meningkatkan
respon imun misalnya adjuvan atau senyawa imunostimulator non spesifik.
Imunorestorasi adalah cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang
terganggu dan imunosupresi merupakan tindakan untuk menekan respon imun
(Baratawidjaja, 2000).
5. Meniran (Phyllanthus niruri L.)
Gambar 2. Herba meniran
13
a. Sistematika Tumbuhan Meniran
Herba meniran (Phyllanthus niruri L.) memiliki sistematika sebagai
berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Phyllanthus
Spesies
: Phyllanthus niruri Linn
(Backer & van Den Brink, 1965)
b. Mofologi
Meniran merupakan terna, semusim, tumbuh tegak, tinggi 30-50 cm,
bercabang–cabang. Batang berwarna hijau pucat. Daun tunggal, letak berseling.
Helaian daun bundar memanjang, ujung tumpul, pangkal membulat, permukaan
bawah berbintik kelenjar, tepi rata, panjang sekitar 1,5 cm, lebar sekitar 7 mm,
berwarna hijau. Dalam satu tanaman ada bunga betina dan bunga jantan. Bunga
jantan keluar di bawah ketiak daun, sedangkan bunga betina keluar di atas ketiak
daun. Buahnya kotak, bulat pipih, licin, bergaris tengah 2-2,5 mm. Bijinya kecil,
keras, berbentuk ginjal, berwarna coklat (Hutapea dan Syamsyuhidayat, 1991).
c. Daerah Distribusi dan Habitat
Herba meniran tumbuh liar di tempat yang lembab dan berbatu, seperti di
sepanjang saluran air, semak-semak, dan tanah diantara rerumputan. Meniran juga
14
bisa ditemukan di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dari
permukaan laut. Tumbuhan ini tumbuh liar di tempat terbuka pada tanah gembur,
berpasir di ladang, tepi sungai dan di pantai, bahkan tumbuh liar di sekitar
pekarangan rumah. Tanaman ini menyebar luas hampir ke setiap daerah tropis
ataupun subtropis seperti India, Cina, Malaysia, Filipina, dan Australia
(Dalimarta, 2000).
d. Kandungan Kimia
Herba meniran banyak mengandung beberapa zat kimia yaitu: flavonoid
seperti kuersetin, kuersitrin, isokuersitrin, astragalin, rutin, serta kaempferol-4ramnopiranosid,
eridiktol-7-ramnopiranosid,
nirurin,
nirurisid,
filantin,
hipofilantin, triterpen, dan alkaloid sekurinin (ASEAN, 2004); Lignan; Tanin;
Alkaloid; Saponin (Bagalkotkar et al., 2006).
e. Khasiat Tanaman
Meniran adalah salah satu tumbuhan obat Indonesia yang telah lama
digunakan secara turun-temurun untuk pengobatan berbagai penyakit seperti
diuretik, ekspektoran dan pelancar haid. Selain itu herba meniran juga digunakan
untuk pengobatan sembab (bengkak), infeksi dan batu saluran kencing, kencing
nanah, menambah nafsu makan, diare, radang usus, konjungtivitas, hepatitis, sakit
kuning, rabun senja, sariawan, digigit anjing gila, rabun senja, dan rematik gout
(Hutapea dan Syamsuhidayat, 1991). Herba meniran telah terbukti mempunyai
berbagai efek farmakologis, antara lain sebagai hepatoprotektif (Munjrekar et al.,
2008), antidiabetes (Nwanjo, 2007) dan antioksidan (Ahmeda et al. 2005).
Berdasarkan penelitan Maat (1996) menunjukkan bahwa meniran mempunyai
15
efek terhadap respon imun nonspesifik maupun spesifik. Efeknya terhadap respon
imun nonspesifik yaitu meningkatkan fagositosis dan kemotaksis makrofag,
kemotaksis neutrofil, sitotoksisitas sel NK dan aktivitas hemolisis komplemen,
sedangkan terhadap respon imun spesifik, pemberian ekstrak meniran
meningkatkan proliferasi sel limfosit T, meningkatkan sekresi TNF-α dan IL-4
serta menurunkan aktivitas sekresi IL-2 dan IL-10. Uji klinis terhadap manusia
juga telah dilakukan dan menunjukkan bahwa ekstrak meniran meningkatkan
kadar IFNγ, kadar CD4 dan rasio CD4/CD8.
6. Sirih merah (Piper crocatum)
Gambar 3. Daun sirih merah
a. Sistematika sirih merah
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Sub Kingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan Berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas
: Magnoliidae
Ordo
: Piperales
16
Famili
: Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus
: Piper
Spesies
: Piper crocatum
Nama daerah
:
(Backer & van Den Brink, 1963)
Sirih; Suruh (Jawa), seureuh (Sunda); base (Bali); leko, kowak, malo,
malu (Nusa Tenggara); dontile, parigi, gamnjeng (Sulawesi); gies, bido (Maluku);
sirih, ranub, sereh, sirieh (Melayu) (Moeljanto, 2003).
b. Morfologi
Perdu, merambat, batang berkayu, berbuku-buku, bersalur, berwarna
hijau keabu-abuan. Daunnya bertangkai membentuk jantung hati dan bagian ujung
daun meruncing herbaceous atau berair dan jarang terdapat rambut atau bulu serta
bertangkai, yang tumbuh berselang-seling di batangnya. Permukaan daun
berwarna merah keperakan dan mengkilap saat terkena cahaya serta tidak merata.
Perbedaan sirih merah dengan sirih hijau adalah selain daunnya berwarna merah
keperakan, bila daunnya disobek maka akan berlendir serta aromanya lebih wangi.
Ranting- ranting cenderung kurus. Perilous 1-5 cm; pedunculus 1-2,5 cm; bractea
memanjang ±3 mm bunga pada bagian pertama ditutupi oleh daun pelindung
tetapi tidak semua bagian ditutupi, bractea biasanya berdiri jauh dari ranting atau
cabang dan tidak terbuka. Bunga bulir jantan panjangnya 5-20 cm; stamen 2-4,
biasanya 3; terdapat benang-benang halus yang pendek dan tebal;bulir dalam
bentuk buah yang panjangnya 15-20 cm; benang sari 3-4 kecil; buah bini/ellipsoid
atau hampir membentuk bola, dengan panjang 4-5 mm (Backer & van Den Brink,
1965)
17
Pertumbuhannya tergantung pada kesuburan media tanam dan rendahnya
media untuk merambat. Batang berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat,
berkerut, dan beruas yang merupakan tempat keluarnya akar. Daun berbentuk
jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, teksturnya agak
kasar jika diraba, dan mengeluarkan bau yang sedap (aromatis) jika diremas
(Moeljanto, 2003). Bagian tanaman yang digunakan adalah daun.
c. Kandungan Senyawa
Kandungan utama dari sirih merah adalah flavonoid, alkaloid, tanin dan
minyak atsiri (Sudewo, 2005). Parmar et al. (1997) melaporkan bahwa sirih merah
memiliki kandungan seperti alkaloid, lignin, terpen, dan steroid. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Juliantina et al. (2008) sirih merah diketahui
mengandung flavonoid, alkaloid, tanin dan minyak atsiri. Hasil penapisan
fitokimia ekstrak etanolik daun sirih merah menunjukkan adanya golongan
saponin, monoterpen, seskuiterpen, polifenol, dan kuinon (Subarnas et al., 2008).
Senyawa fenol yang terkandung pada tanaman ini yaitu metabolit
sekunder berupa flavonoid dikatakan oleh Nijveldt et al. (2001) bahwa flavonoid
yang terdapat pada tanaman memiliki aktivitas biologis yang dapat mempengaruhi
aktivitas makrofag melalui pengaruhnya terhadap produksi nitric oxide (NO),
selain itu senyawa ini dapat mempengaruhi mobilisasi leukosit dan produksi asam
arakidonat (pada respon inflamasi). Menurut Comalada et al., 2006 ;cit
Yuristiyani, 2012 flavonoid juga dapat mempengaruhi ekspresi IL-10.
18
d. Khasiat
Sirih merah dimanfaatkan untuk penyakit infeksi seperti radang pada
gigi, sariawan, radang pada mata, radang prostat, dan lain sebagainya (Sudewo,
2008). Khasiat sirih merah juga untuk beberapa penyakit antara lain diabetes,
hipertensi, kanker payudara, hepatitis, peradangan, ambeien, asam urat, maag,
luka dan lain-lain (Juliantina et al., 2008).
Berdasarkan penelitian, ekstrak etanol sirih merah memiliki aktivitas
antiinflamasi, antihiperglikemik (Subarnas et al., 2008 ; Robianto, 2009).
Senyawa
kimia
flavonoid
yang
berfungsi
sebagai
antioksidan,
antidiabetik, antikanker, antiseptik, dan antiinflamasi, sedangkan senyawa
alkaloid yang terkandung berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan sel-sel
kanker (Ryan dan Enny, 2006; Sudewo, 2005 cit Yuristiyani, 2012).
7. Keladi tikus (Typhonium flagelliforme)
Gambar 4. Keladi tikus
a. Sistematika keladi tikus
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
19
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Arales
Famili
: Araceae
Subfamili
: Aroideae
Genus
: Typhonium
Spesies
: Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume
(Backer and van Den Brink, 1968)
b. Morfologi
Tanaman herba perenial dengan tinggi mencapai 35 cm dan panjang
tangkai 7-30 cm (Backer and van Den Brink, 1968). Keladi tikus berdaun tunggal,
berwarna hijau dan tersusun di roset, panjang daun 6-16 cm, berbentuk lonjong
dengan ujung meruncing seperti tombak. Pangkal daun berbentuk jantung dan
bertepi rata serta permukaan daun mengkilap. Ciri khas dari tanaman ini adalah
memiliki bunga unik yang bentuknya menyerupai keladi tikus (ekor tikus). Bunga
dengan panjang 4-8 cm dan berkelopak bunga bulat lonjong berwarna kekuningkuningan. Bagian atas kelopak memanjang 5-21 cm dan ujungnya meruncing
menyerupai ekor tikus (Sudewo, 2004). Bagian tanaman yng digunakan adalah
umbi.
c. Kandungan senyawa
Kandungan kimia pada keladi tikus di antaranya adalah alkaloid, saponin,
steroid, glikosida flavonoid dan triterpenoid (Syahid, 2007). Dari hasil penelitian
Nobakht et al. (2010), senyawa utama yang terkandung dalam Typhonium
20
flagelliforme adalah alkaloid dan flavonoid. Studi etnofarmakologi yang
dilakukan pada tikus juga mengindikasikan bahwa ekstrak keladi tikus mampu
mencegah terjadinya hepatokarsinogenesis (Choon, 2008). Keladi tikus telah
digunakan secara empirik untuk mengobati kanker, gangguan jantung, flu, batuk
dan hipertensi (Anonim, 2011).
Penelitian Nurrochmad et al. (2011) menunjukkan bahwa ekstrak
etanolik keladi tikus memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D
dengan harga IC50 sebesar 632 µg/ml. Semua ekstrak air, alkohol, dan ekstrak
ester keladi tikus berefek meredakan batuk, dahak, antiasmatik, analgesik, anti
peradangan, dan sedatif (Zhong et al., 2001).
8. Ekstraksi
Proses ekstraksi bertujuan untuk memperoleh ekstrak zat aktif dari
serbuk daun sirih merah, meniran, dan keladi tikus yang diperoleh dari Gama
Herbal. Bahan yang akan diekstrak haruslah dalam keadaan kering karena
keberadaan air dalam jaringan bahan bisa melindungi komponen penting dalam
bahan dari masuknya penyari untuk mengikat senyawa organik dalam bahan
(Harbourne, 1987), kadar air pada bahan juga dapat menurunkan efisiensi proses
ekstraksi karena titik didihnya yang lebih tinggi dibandingkan pelarut organik
memperlama proses pemekatan (Yudiastuti et al., 2007).
Proses ekstraksi yang digunakan dengan metode maserasi merupakan
teknik perendaman dengan pelarut tertentu untuk bahan yang tidak tahan panas.
Mekanisme pelarutan zat aktif dengan menembusnya penyari melalui dinding sel
21
tanaman dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat
aktif akan larut. Selama proses maserasi, rendaman disimpan di tempat yang jauh
dari sinar cahaya langsung untuk mencegah perubahan warna dan reaksi yang
tidak diinginkan (Voight 1994; Indraswari, 2008).
Pelarut yang diperbolehkan dalam pembuatan ekstrak adalah air, etanol
atau campuran air dan etanol (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Pelarut yang digunakan dalam maserasi ini adalah etanol. Etanol sebagai pelarut
polar yang dapat melarutkan senyawa yang bersifar polar seperti flavonoid dengan
mekanisme like dissolve like dan didukung oleh pernyataan Badan Pengawas Obat
dan Makanan (2004) dan Faraouq (2003) dalam Nurcholis (2008) bahwa etanol
merupakan pelarut terbaik untuk ekstraksi simplisia tanaman yang akan dijadikan
obat herbal.
9. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi dilakukan untuk memisahkan komponen yang terkandung
dalam ekstrak di mana komponen tersebut terdistribusi di antara dua fase, yaitu
fase diam dan fase gerak. Karakterisasi ekstrak yang dilakukan salah satunya
dengan melihat pola kromatogram yang diperoleh dari penelitian ini. Ekstrak daun
sirih merah, meniran, dan keladi tikus dielusi pada pelarut yang sesuai dengan
metode kromatografi lapis tipis. Metode ini mudah, cepat, tidak mahal, dan
memiliki kelebihan dibanding kromatografi kertas yang terbatas penggunaan fase
geraknya (Striegel & Hill, 1996).
Fase diam yang banyak digunakan adalah silika gel karena dapat
menghasilkan resolusi yang baik dan memiliki kemampuan untuk memisahkan
22
semua golongan senyawa (Wall, 2005). Fase diam agar dapat memadamkan
flouresensi semua senyawa di bawah sinar UV254 haruslah mengandung indikator
flouresensi (Harbourne, 1987).
Fase gerak sebagai media transport komponen yang akan dipisahkan.
Komponen tersebut akan memisah dengan prinsip kapilaritas dan hasil gaya tarik
dari fase gerak dan gaya hambat dari penyerap (Sherma & Fried, 1999). Pelarut
yang digunakan tidak boleh sangat polar atau nonpolar. Pelarut yang terlalu polar
bisa menyebabkan bercak berekor sedangkan jika terlalu non polar, sampel akan
sulit terelusi.
E. Landasan Teori
Pengobatan penyakit pada saat ini mulai mengeksplorasi obat-obat dari
alam yang bisa digunakan untuk meningkatkan sistem imun. Tubuh membutuhkan
pertahanan yang baik untuk menghadapi serangan penyakit. Pertahanan tubuh
yang baik bisa diperoleh dari alam yang diinisiasi oleh senyawa yang bersifat
imunomodulator. Daun sirih merah, herba meniran, dan umbi keladi tikus
merupakan tanaman asli Indonesia yang dimanfaatkan secara luas untuk
pengobatan berbagai penyakit oleh masyarakat dan telah terbukti memiliki sifat
imunomodulator.
Penelitian Apriyanto (2011) menyebutkan bahwa pemberian ekstrak
etanol daun sirih merah pada tikus dapat menaikkan indeks fagositosis makrofag,
tetapi tidak mempengaruhi proliferasi limfosit. Penelitian terdahulu juga telah
meneliti umbi keladi tikus yang memberikan efek imunomodulator. Menurut
23
Nobakht (2010), senyawa utama yang terkandung dalam Typhonium flagelliforme
adalah alkaloid dan flavonoid, sebagaimana dilaporkan Karamina (2011) bahwa
senyawa flavonoid berperan dalam meningkatkan presentase sel T CD8+ pada
tikus yang dipejani doxorubicin. Penelitian Daulay (2012) ekstrak etanol keladi
tikus (Thyphonium flagelliforme) terbukti memiliki efek imunomodulator dengan
parameter kadar IL-10 dan TNF-α yang meningkat pada dosis tertentu yaitu 250
mg/kg dengan harga IC50 sebesar 632 µg/ml memiliki efek sitotoksik terhadap sel
T47D dan senyawa fenolik pada ekstrak tersebut dapat meningkatkan aktivitas sel
makrofag karena dapat menstimulasi pelepasan sitokin IL-12 dan IFN- γ (Shen
dan Louie, 1999).
Meniran dilaporkan mengandung golongan metabolit sekunder flavonoid,
terpenoid, alkaloid, dan steroid (Kardinan & Kusuma, 2004) yang diduga
berperan dalam aktvitas antibakteri. Penelitian Ibnul (2012) ekstrak meniran hijau
(Phyllanthus niruri ) meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag dan produksi
nitrit oksida yang meningkat pada mencit Balb/c. Penelitian
mengenai uji
imunomodulator pada tiap ekstrak telah dilakukan, tetapi pengaruh kombinasi
ketiga ekstrak etanolik tersebut terhadap peningkatan sistem pertahanan tubuh
belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini diperlukan untuk
mengetahui pengaruh aktivitas kombinasi ketiga ekstrak tersebut terhadap
peningkatan sistem pertahanan tubuh yang dibandingkan dengan kontrol tanpa
perlakuan.
24
F. Hipotesis
Pemberian kombinasi ekstrak etanolik herba meniran, umbi keladi tikus,
dan daun sirih merah mempengaruhi efek imunomodulator dengan parameter
peningkatan aktivitas fagositosis makrofag.
Download