1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem imun

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem
imun
merupakan
mekanisme
pertahanan
tubuh
sebagai
perlindungan dari bahaya berbagai bahan dalam lingkungan yang dianggap asing
bagi tubuh seperti bakteri, virus, jamur, parasit dan protozoa (Abbas et al., 2015;
Baratawidjaja & Rengganis, 2009; Benjamini et al., 2000). Ketika daya tahan
tubuh lemah maka agen infektif akan dengan mudah menembus pertahanan tubuh
dan menyebabkan penyakit. Oleh karena itu, upaya meningkatkan sistem imun
menjadi penting untuk dilakukan, salah satunya adalah dengan menggunakan
imunomodulator khususnya yang bersifat imunostimulan.
Imunomodulator merupakan bahan atau agen yang dapat berinteraksi
dengan sistem imun dan meyebabkan peningkatan atau penurunan aspek spesifik
respon imun. Beberapa tanaman yang berpotensi sebagai imunomodulator antara
lain meniran (Phyllanthus niruri L.), sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.)
dan keladi tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume). Penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak tunggal herba meniran (Ash, 2012;
Nworu et al., 2010; Lestarini, 2008; Eze et al., 2014), daun sirih merah (Hartini,
2014; Apriyanto, 2011) dan umbi keladi tikus (Handayani, 2012; Titania, 2012;
Daulay, 2012; Sriyanti, 2012) telah terbukti mampu meningkatkan respon imun.
Untuk meningkatkan efek terapetik dan meminimalisasi timbulnya efek samping
1
2
maka kombinasi obat atau herbal biasanya dilakukan dengan menggabungkan
beberapa obat atau herbal dengan dosis yang lebih kecil daripada dosis
optimumnya.
Penelitian sebelumnya menggunakan kombinasi ekstrak etanolik herba
meniran, daun sirih merah dan umbi keladi tikus oleh Vania (2014) dan Diarini
(2014) dengan perbandingan 50mg EMN : 25mg ESM : 100mg EKT
menunjukkan bahwa kombinasi ketiganya pada dosis 10mg/kgBB, 50mg/kgBB
dan 100mg/kgBB tidak mempengaruhi aktivitas fagositosis makrofag dan
proliferasi sel limfosit mencit. Pemberian fraksi n-heksana ekstrak etil asetat dan
ekstrak metanol meniran pada dosis 100mg/kgBB mencit dapat meningkatkan
repson imun nonspesifik (aktivitas fagositosis makrofag) dan respon imun spesifik
(meningkatkan prolifersi limfosit dan titer antibodi primer dan sekunder) (Aldi et
al., 2013; Eze et al., 2014). Ekstrak etanolik daun sirih merah pada dosis
100mg/kgBB dapat meningkatkan indeks fagsitosis tetapi tidak mempengaruhi
kapasitas fagositosis dan tidak meningkatkan proliferasi limfosit tikus (Apriyanto,
2011) dan berdasarkan penelitian Nurrochmad et al. (2015) pemberian ekstrak
etanolik umbi keladi tikus dosis 250mg/kgBB pada tikus yang diinduksi CPA
dapat meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag, sel T CD8+ dan
mengurangi efek imunosupresi pada proliferasi limfosit.
Berbeda dengan penelitian Vania (2014) dan Diarini (2014), dalam
penelitian ini dosis kombinasi ekstrak yang digunakan adalah 25%, 50% dan 75%
dari dosis optimum masing-masing ekstrak tunggal sehingga dosis kombinasinya
3
menjadi 12,5mg/kgBB EMN + 25mg/kgBB ESM + 62,5mg/kgBB EKT,
25mg/kgBB EMN + 50mg/kgBB ESM + 125mg/kgBB EKT dan 37,5mg/kgBB
EMN + 75mg/kgBB ESM + 187,5mg/kgBB EKT. Pemilihan dosis optimum
tersebut mengacu pada penelitian Aldi et al. (2013), Eze et al. (2014), Apriyanto
(2011) dan Nurrochmad et al. (2015) setelah terlebih dahulu dilakukan konversi
dosis ke tikus.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengaruh pemberian kombinasi ekstrak etanolik herba meniran
(Phyllanthus niruri L.), daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) dan
umbi keladi tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume) terhadap
aktivitas fagositosis makrofag sebagai parameter respon imun nonspesifik
pada tikus galur Sprague Dawley yang diinduksi vaksin Hepatitis B?
2.
Bagaimana pengaruh pemberian kombinasi ekstrak etanolik herba meniran
(Phyllanthus niruri L.), daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) dan
umbi keladi tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume) terhadap
proliferasi sel limfosit sebagai parameter repson imun spesifik pada tikus
galur Sprague Dawley yang diinduksi vaksin Hepatitis B?
3.
Bagaimana pengaruh pemberian kombinasi ekstrak etanolik herba meniran
(Phyllanthus niruri L.), daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) dan
umbi keladi tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume) terhadap titer
imunoglobulin G (IgG) sebagai parameter respon imun spesifik pada tikus
galur Sprague Dawley yang diinduksi vaksin Hepatitis B?
4
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pengaruh kombinasi ekstrak etanolik herba meniran (Phyllanthus
niruri L.), daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) dan umbi keladi
tikus
(Typhonium flagelliformae
(Lodd.)
Blume)
terhadap
aktivitas
fagositosis makrofag sebagai parameter respon imun nonspesifik pada tikus
galur Sprague Dawley yang diinduksi vaksin Hepatitis B.
2.
Mengetahui pengaruh kombinasi ekstrak etanolik herba meniran (Phyllanthus
niruri L.), daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) dan umbi keladi
tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume) terhadap proliferasi sel
limfosit sebagai parameter respon imun spesifik pada tikus galur Sprague
Dawley yang diinduksi vaksin Hepatitis B.
3.
Mengetahui pengaruh kombinasi ekstrak etanolik herba meniran (Phyllanthus
niruri L.), daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) dan umbi keladi
tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume) terhadap titer imunoglobulin
G (IgG) sebagai parameter respon imun spesifik pada tikus galur Sprague
Dawley yang diinduksi vaksin Hepatitis B.
D. Arti Penting Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki potensi kombinasi ekstrak
etanolik herba meniran (Phyllanthus niruri L.), daun sirih merah (Piper crocatum
Ruiz & Pav.) dan umbi keladi tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume)
sebagai agen imunomodulator dalam upaya pengatasan berbagai kondisi
5
kesehatan yang berkaitan dengan penekanan sistem imun. Hasil penelitian ini
akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah mengenai potensi kombinasi
ekstrak etanolik herba meniran, daun sirih merah dan umbi keladi tikus sebagai
agen imunomodulator sehingga dapat menjadi sumber data yang bermanfaat bagi
pengembangan penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Sistem Imun
Kata imun berasal dari bahasa Latin immunis yang berarti bebas dari beban
(Benjamini et al., 2000). Dahulu imunitas diartikan sebagai daya tahan realtif
hospes terhadap mikroba tertentu (Bellanti, 1985). Sistem imun adalah semua
mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya sebagai
perlindungan terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai bahan dalam
lingkungan hidup yang dianggap asing bagi tubuh (Baratawidjaja, 2000;
Benjamini et al., 2000). Mekanisme tersebut melibatkan gabungan sel, molekul,
dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi yang disebabkan
oleh berbagai unsur patogen yang terdapat di lingkungan sekitar kita seperti virus,
bakteri, fungus, protozoa dan parasit (Kresno, 1996; Baratawidjaja & Rengganis,
2009). Sedangkan reaksi yang dikoordiansi oleh sel-sel, molekul-molekul dan
bahan lainnya terhadap mikroba disebut dengan respon imun (Baratawidjaja &
Rengganis, 2009).
6
Sistem imun memiliki tiga fungsi yaitu fungsi pertahanan (melawan
patogen, fungsi homeostasis (mempertahankan keseimbangan kondisi tubuh
dengan cara memusnahkan sel-sel yang sudah tidak berguna) dan pengawasan
(surveillance). Pada fungsi pengawasan dini (surveillance) sistem imun akan
mengenali sel-sel abnormal yang timbul di dalam tubuh dikarenakan virus
maupun zat kimia. Sistem imun akan mengenali sel abnormal tersebut dan
memusnahkannya. Fungsi fisiologis sistem imun yang terpenting adalah
mencegah infeksi dan melakukan eradikasi terhadap infeksi yang sudah ada
(Abbas et al., 2014).
Respon imun ada dua yaitu imunitas alamiah atau nonspesifik/
natural/innate/native/nonadaptif dan imunitas dapatan atau spesifik/adaptif/
acquired.
Gambar 1. Mekanisme imunitas bawaan dan imunitas adaptif (Abbas et al., 2014).
Mekanisme imunitas bawaan merupakan pertahanan awal melawan infeksi.
Sedangkan respon imun adaptif timbul setelahnya dan dimediasi oleh limfosit dan
produknya. Antibodi mengeblok infeksi dan mengeliminasi mikroba, eradikasi
mikroba ekstrasel dilakukan oleh sel T. Kinetika respon imun bawaan dan adaptif
berbeda tergantung dari jenis infeksinya.
7
a. Respon imun nonspesifik
Respon imun nonspesifik merupakan imunitas bawaan (innate imunity)
dimana respon imun terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh
sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut (Kresno, 1996). Imunitas
nonspesifik berperan paling awal dalam pertahanan tubuh melawan mikroba
patogen yaitu dengan menghalangi masuknya mikroba dan dengan segera
mengeliminasi mikroba yang masuk ke jaringan tubuh (Abbas et al., 2014).
Respon imun jenis ini akan selalu memberikan respon yang sama terhadap
semua jenis agen infektif dan tidak memiliki kemampuan untuk mengenali
agen infektif meskipun sudah pernah terpapar sebelumnya. Yang termasuk
dalam respon imun nonspesifik adalah pertahanan fisik, biokimia, humoral dan
seluler (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
b. Respon imun spesifik
Respon imun spesifik merupakan respon yang didapat dari stimulasi oleh
agen infektif (antigen/imunogen) dan dapat meningkat pada paparan
berikutnya. Target dari respon imun spesifik adalah antigen, yaitu suatu
substansi yang asing (bagi hospes) yang dapat menginduksi respon imun
spesifik (Benjamini et al., 2000). Antigen bereaksi dengan T-cell Receptor
(TCR) dan antibodi. Antigen dapat berupa molekul yang berada di permukaan
unsur patogen maupun toksin yang diproduksi oleh antigen yang bersangkutan.
Ada tiga tipe sel yang terlibat dalam respon imun spesifik yaitu sel T, sel B
dan APC (makrofag dan sel dendritik) (Benjamini et al., 2000). Respon imun
8
spesifik meliputi aktivasi dan maturasi sel T, sel mediator dan sel B untuk
memproduksi antibodi yang cukup untuk melawan antigen (Kresno, 1996).
Pada hakekatnya respon imun spesifik merupakan interaksi antara bebagai
komponen dalam sistem imun secara bersama-sama.
Respon imun spesifik terdiri dari respon imun seluler (cell-mediated
immunity) dan respon imun humoral. Perbedaan kedua respon imun tersebut
terletak pada molekul yang berperan dalam melawan agen infektif, namun
tujuan utamanya sama yaitu untuk menghilangkan antigen (Benjamini et al.,
2000). Respon imun seluler diperlukan untuk melawan mikroba yang berada di
dalam sel (intraseluler) seperti virus dan bakteri. Respon ini dimediasi oleh
limfosit T (sel T) dan berperan mendukung penghancuran mikroba yang berada
di dalam fagosit dan membunuh sel yang terinfeksi. Beberapa sel T juga
berkontribusi dalam eradikasi mikroba ekstraseluler dengan merekrut leukosit
yang menghancurkan patogen dan membantu sel B membuat antibodi yang
efektif (Abbas et al., 2015).
Agen infektif yang berada di luar sel dapat dilawan dengan respon imun
humoral. Respon ini dimediasi oleh serum antibodi, suatu protein yang
disekresikan oleh sel B (Benjamini et al., 2000). Sel B berdiferensiasi menjadi
satu klon sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke
dalam darah serta membentuk klon sel B memori (Kresno,1996). Sel B
menghasilkan antibodi yang spesifik untuk antigen tertentu. Antibodi ini
berikatan dengan antigen membentuk suatu kompleks antigen-antibodi yang
9
dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut
(Kresno, 1996).
Respon imun humoral ada dalam darah dan cairan sekresi seperti mukosa,
saliva, air mata dan ASI. Elemen lain yang berperan penting dalam respon
imun humoral adalah sistem komplemen. Sistem komplemen diaktivasi oleh
reaksi antara antigen dan antibodi. Ketika aktif sistem komplemen akan
melisiskan sel target atau meningkatkan kemampuan fagositosis sel fagosit
(Benjamini et al., 2000).
Interaksi respon imun seluler dengan humoral disebut antibody dependent
cell mediated cytotoxicity (ADCC) karena sitolisis baru terjadi bila dibantu
antibodi. Dalam hal ini antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran sehingga
sel NK dapat melekat pada sel atau antigen sasaran dan menghancurkannya
(Kresno,1996).
2.
Imunomodulator
Imunomodulator adalah berbagai macam bahan baik rekombinan, sintetik
maupun alamiah yang merupakan obat-obatan yang digunakan dalam imunoterapi
yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya
terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan (Baratawidjaja, 2000).
Pengaruh senyawa tersebut terhadap respon imun dapat tergantung pada dosis,
rute pemberian dan waktu pemberian. Imunoterapi merupakan suatu pendekatan
pengobatan dengan cara merestorasi, meningkatkan atau mensupresi respon imun.
10
Ada dua cara mekanisme kerja dari obat imunomodulator yaitu up
regulation (menguatkan sistem imun tubuh/imunostimulasi dan imunorestorasi)
dan
down regulation (menekan reaksi sistem imun yang berlebihan atau
imunosupresi) (Baratawidjaja, 2000). Imunostimulasi adalah cara memperbaiki
fungsi sistem imun menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Bahan
yang dapat menginduksi atau meningkatkan sistem imun disebut dengan
imunomostimulan,
yang
diperlukan
pada
pengobatan
penyakit
infeksi,
imunodefisiensi dan keganasan (kanker). Imunorestorasi adalah suatu cara
mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai
komponen sistem imun, seperti immunoglobulin dalam bentuk immune serum
globulin (ISG), hyperimmune serum globulin (HSG), plasma, transplantasi
sumsum
tulang,
jaringan
hati,
timus,
plasmaferesis,
dan
leukoferesis
(Baratawidjaja, 2000). Imunosupresi merupakan tindakan menekan respon imun.
Senyawa yang dapat menekan respon imun disebut dengan imunosupresan.
Penekanan sistem imun diperlukan pada beberapa kondisi misalnya transplantasi
organ dan penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik
seperti autoimun atau auto inflamasi (Baratawidjaja, 2000).
3.
Makrofag
Sel fagosit mononuklear adalah sel efektor yang berperan penting dalam
imunitas nonspesifik maupun imunitas spesifik. Sel fagosit mononuklear yang
paling dominan adalah makrofag. Makrofag berperan penting dalam pertahanan
hospes karena memproduksi sitokin yang menginisiasi dan meregulasi inflamasi.
11
Makrofag akan memakan dan menghancurkan mikroba, serta membersihkan
jaringan yang mati dan menginisiasi proses perbaikan jaringan (Abbas et al.,
2014). Makrofag berperan dalam imunitas nonspesifik melalui aksi fagositosis
mikroba dan produksi sitokin yang selanjutnya akan mengaktifkan mediatormediator inflamasi. Sedangkan dalam imunitas spesifik makrofag berperan
sebagai efektor yang mengekspresikan protein mikroba yang telah difagosit
kepada sel T. Selanjutnya sel T akan menstimulasi makrofag untuk
menghancurkan mikroba tersebut. Pada permukaan makrofag terdapat reseptor
untuk antibodi yang apabila diduduki oleh antibodi akan memicu fagositosis
makrofag (Abbas et al., 2015).
Sel ini berasal dari sel induk pluripoten yang mengalami diferensiasi
menjadi sel pre-monosit yang meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam
sirkuasi untuk selanjutnya berdiferensiasi menjadi monosit matang (Baratawidjaja
& Rengganis, 2009). Monosit adalah fagosit yang didistribusikan secara luas di
organ limfoid dan organ lainnya, berperan sebagai APC yang akan mengenal dan
menyerang mikroba dan sel kanker, memproduksi sitokin, mengarahkan
pertahanan sebagai respon terhadap infeksi, remodeling dan perbaikan jaringan
(Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sel monosit yang matang akan bermigrasi ke
berbagai jaringan untuk berdiferensiasi menjadi makrofag jaringan spesifik
dengan berbagai fungsi. Makrofag yang hidup dalam jaringan sebagai makrofag
residen (fixed macrophage) berbentuk khusus tergantung jaringan yang ditempati,
misalnya di usus (makrofag intestinal), kulit (sel dendritik atau sel Langerhans),
12
paru (makrofag alveolar, sel Langerhans), hati (sel Kuppfer), otak (sel mikroglia),
ginjal (sel mesangial), jaringan ikat (histosit), tulang (osteoklas) dan cairan
peritoneum (makrofag peritoneal) (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
Makrofag memiliki dua fungsi utama yaitu menelan dan menghancurkan
agen infektif yang masuk ke dalam tubuh serta mengambil antigen dan
memprosesnya untuk kemudian menyajikan antigen tersebut pada permukaannya
kepada sel T. Fungsi makrofag yang kedua disebut dengan Antigen Presenting
Cell (APC). Makrofag dan monosit dapat hidup lama, mempunyai beberapa
granul dan melepas berbagai bahan di antaranya lisozim, komplemen, interferon
dan sitokin yang semuanya berkontribusi dalam pertahanan nonspesifik maupun
spesifik.
Gambar 2. Tahapan fagositosis mikroba oleh sel fagosit (Abbas et al., 2014). Mikroba yang
masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan reseptor sel fagosit kemudian membran
sel fagosit akan mengelilingi mikroba yang terikat tadi dan pada akhirnya mikroba
akan dicerna di dalam fagosom. Di dalam sel fagosit terjadi fusi antara fagosom dan
lisosom membentuk fagolisosom. Sel fagosit menghasilkan ROS, NO dan enzim
lisosomal dalam fagolisosom sehingga menyebabkan mikroba mati.
13
Makrofag yang teraktivasi adalah makrofag yang memiliki kemampuan
membunuh mikroba yang lebih berkembang dibanding makrofag yang tidak aktif
(Coligan et al., 2010). Makrofag diaktivasi oleh berbagai rangsangan misalnya
LPS (Lipopolisakarida) yang dihasilkan bakteri, IFN-γ yang diproduksi oleh sel
NK dan aktivasi TLR (Toll-like Receptor) oleh ligan PAMPs (Pathogen
Associated Molecular Patterns) (Baratawidjaja & Rengganis, 2009; Coligan et al.,
2010). Makrofag yang aktif dapat menangkap, memakan dan mencerna antigen
eksogen, seluruh mikroba, partikel tidak larut dan bahan endogen seperti sel
pejamu yang cedera atau mati karena makrofag akan menghasilkan NO, TNF dan
IL-12 (Coligan et al., 2010). Penghancuran mikroorganisme atau antigen terjadi
dalam beberapa tingkat yaitu kemotaksis, menangkap, memakan, fagositosis,
memusnahkan dan mencerna (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Fagositosis
merupakan proses ingesti partikel yang dilakukan oleh sel fagosit. MAF
(Macrophage Activating Factor) adalah kemoatraktan untuk makrofag (Bellanti,
1985). Fagositosis yang efektif pada invasi dini antigen dapat mencegah
terjadinya infeksi. Sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem
imun spesifik. Aktivitas fagositosis makrofag dapat ditentukan dengan
menghitung indeks dan kapasitas fagositosisnya.
4.
Limfosit
Limfosit merupakan turunan dari sel darah putih (leukosit) yang berperan
penting dalam sistem kekebalan tubuh dalam melawan berbagai penyakit infeksi.
Limfosit berasal dari sel induk ploripoten yang berdiferensiasi melalui jalur
14
limfoid di dalam hati, sumsum tulang, dan timus sehingga menjadi beberapa kelas
utama (Kresno, 1996). Limfosit terdiri atas sel T (TH, TC, TR), sel B dan sel NK
(Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sel T berdiferensiasi di dalam timus,
sedangkan sel B berdiferensiasi di dalam sumsum tulang belakang dan organ
limfoid perifer. Pada burung sel B berdiferensiasi dalam bursa Fabricius
(Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sel B mengalami maturasi menjadi sel
plasma, atau sel B memori di bawah pengaruh makrofag. Sel T dibedakan menjadi
sel TH (CD4+) yang dapat mengenali antigen, sel T supresor yang mengatur dan
sel TC (CD8+) yang langsung memusnahkan zat asing. Beberapa sel CD4+
termasuk dalam subset sel T spesial karena berfungsi mencegah atau membatasi
respon imun, yaitu limfosit T regulatori (TR) (Abbas et al., 2014). Sel NK
termasuk dalam kelompok limfosit granuler besar yang memiliki banyak
sitoplasma, granul plasma azurofilik, pseudopodia dan nukleus eksentris
(Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
Limfosit mampu mengenali antigen secara spesifik karena mempunyai
reseptor pada permukaannya yang mampu mengenal antigen tertentu. Reseptor
tersebut pada sel T disebut dengan TCR dan surface immunoglobulin (sIg) pada
sel B (Kresno, 1996).
Limfosit
B memiliki protein marker surface
immunoglobulin M (sIgM), sedangkan marker protein pada limfosit T adalah
limfosit TC berupa CD8+ dan limfosit TH berupa CD4+ (Shen & Louie, 2005). Sel
T CD4+ memiliki peran yang sangat penting dalam imunitas spesifik yaitu
membantu APC dan T CD8+ memulai respon imun spesifik. Secara umum,
15
limfosit
yang
teraktivasi
akan
segera
membelah/berproliferasi
dan
mengekspresikan serta memproduksi sitokin yang dapat mengaktivasi proliferasi
limfosit dalam organ limfoid (Baratawidjaja, 2000; Delves et al., 2011). Respon
proliferasi limfosit terhadap antigen hanya terjadi jika pasien sudah diimunisasi
dengan antigen, sudah sembuh dari infeksi mikroorganisme yang mengandung
antigen, atau sudah divaksinasi.
Selain aktivitas fagositosis makrofag, perubahan respon imun dapat diukur
dari jumlah proliferasi limfosit. Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan dengan
mengukur kemampuan limfosit yang ditempatkan pada short-term tissue culture
untuk membentuk suatu koloni proliferasi ketika distimulasi oleh molekul asing,
antigen atau mitogen secara in vitro (Anonim, 2000). Salah satu metode yang
dapat digunakan dalam uji proliferasi limfosit adalah MTT reduction. Penentuan
sel dengan metode MTT biasanya digunakan untuk mengukur pertumbuhan sel
sebagai respon terhadap adanya mitogen, stimulasi antigenik, growth factor dan
reagen lain yang memicu pertumbuhan sel, untuk studi sitotoksisitas dan dalam
derivasi kurva pertumbuhan sel (Anonim, 2007).
Di dalam mitokondria sel hidup terdapat enzim mitokondria dehidrogenase
yang dapat memotong cincin tetrazolium pada MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)2,5-diphenyltetra-zolium bromide) dan membentuk kristal ungu formazan.
Absorbansi dari larutan berwarna ungu tersebut dapat dikuantifikasi dengan
pengukuran panjang gelombang 500-600 nm. Peningkatan jumlah sel ditunjukkan
16
dengan peningkatan jumlah formazan MTT yang terbentuk dan peningkatan
absorbansi.
5.
Antibodi
Antibodi atau yang disebut juga imunoglobulin merupakan molekul
glikoprotein yang terdiri atas komponen polipeptida sebanyak 82-96% dan
selebihnya karbohidrat (Kresno, 1996). Antibodi dibentuk oleh sel B sebagai
respon atas adanya antigen yang bersifat imunologik masuk ke dalam tubuh dan
berperan dalam respon imun humoral. Antibodi yang terbentuk bersifat spesifik
terhadap antigen. Interaksi antara antigen dengan membran antibodi pada sel B
naive, menyebabkan terjadinya respon imun humoral. Setelah disekresikan ke
dalam sirkulasi darah dan cairan mukosal, antibodi akan menetralkan dan
mengeliminasi mikroba dan toksin mikroba yang berada di luar sel inang (Abbas
et al., 2014).
Antibodi memiliki dua fungsi yaitu fungsi netralisasi (mengikat antigen)
dan fungsi efektor yang diperantarai antibodi (Kresno, 1996). Fungsi efektor
terdiri atas netralisasi mikroba atau produknya yang toksik, aktivasi sistem
komplemen, opsonisasi antigen, lisis sel target dan hipersensitivitas tipe segera.
Molekul antibodi dibentuk sel B dalam dua bentuk yaitu sebagai reseptor
permukaan antigen dan sebagai antibodi yang disekresikan ke dalam cairan
ekstraseluler. Pengikatan antigen harus disertai dengan fungsi efektor sekunder
agar antigen terikat kuat dengan imunoglobulin. Fungsi efektor sekunder yaitu
memacu aktivasi komplemen dan merangsang pelepasan hitamin oleh basofil atau
17
sel mast. Opsonisasi antigen oleh imunoglobulin memudahkan APC memproses
dan menyajikan antigen kepada sel T.
Gambar 3. Respon imun primer dan sekunder sel B (Abbas et al., 2014). Antigen X dan Y
akan menginduksi produksi antibodi yang berbeda, yang merefleksikan spesifisitas
antibodi tersebut. Respon sekunder terhadap antigen X lebih cepat dan besar
dibandingkan dengan respon primer dan berbeda dengan respon primer terhadap
antigen Y. Level produksi antibodi dinyatakan sebagai nilai arbitrari dan bervariasi
tergantung tipe antigen yang memapar. Setelah imunisasi, repon imun primer akan
muncul 1-3 minggu sedangkan respon imun sekunder muncul akan muncul 2-7 hari
tetapi kecepatannya sangat dipengaruhi oleh antigen dan sifat imunisasi.
Antibodi/imunoglobulin dapat ditemukan dalam berbagai cairan tubuh
seperti darah, air mata, saliva dan ASI. Imunoglobulin memiliki 5 kelas utama
yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan
perbedaan struktur kimia yang mengakibatkan perbedaan sifat biologis maupun
fisik. Imunoglobulin memiliki dua bentuk yaitu sIg dan Ig. Perbedaannya adalah
pada domain terminal-C, di mana sIg memiliki bagian transmembran dan bagian
intrasitoplasmik yang lebih pendek (Kresno, 1996).
Kadar antibodi dalam darah dapat meningkat karena adanya respon primer
dan respon sekunder terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh. Salah satu cara
18
yang digunakan untuk mendeteksi antibodi atau antigen dalam sampel ialah
dengan Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode ELISA dapat
dikelompokkan menjadi ELISA langsung, ELISA tidak langsung, ELISA
antibody-sandwich, ELISA double antobody-sandwich, ELISA direct cellular dan
ELISA indirect cellular (Coligan et al., 2010). Prinsip dasar ELISA adalah bahwa
suatu antibodi dapat mengenali satu epitop tertentu secara spesifik dan
membentuk kompleks antigen-antibodi yang kemudian divisualisasikan dengan
cara menambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim.
Pemaparan substrat pada kompleks tadi akan menghasilkan warna yang dapat
diukur intensitasnya.
6.
Meniran
Berikut ini adalah klasifikasi tumbuhan meniran (Anonim, 2012a).
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Phyllanthus
Spesies
: Phyllanthus niruri L.
Phyllanthus niruri L. di daerah Jawa disebut dengan meniran dan di Sunda
disebut dengan memeniran. Meniran merupakan tumbuhan terna semusim yang
tumbuh liar, tingginya mencapai satu meter. Batangnya bulat, liat dan masif, tidak
19
berbulu, licin, berwarna hijau keunguan, serta bercabang dengan tangkai dan
cabang-cabang berwarna hijau keunguan. Daunnya berwarna hijau dengan tipe
majemuk berseling, memiliki anak daun sekitar 15-24 helai, berbentuk bulat telur,
tepi rata, pangkal membulat, ujung tumpul dan di bawah ibu tulang daun sering
terdapat butiran kecil-kecil, menggantung. Meniran memiliki bunga tunggal
dengan daun kelopak berbentuk bintang, mahkota berwarna putih dan ukurannya
kecil, serta buah dan biji (Sudarsono et al., 1996). Tumbuhan ini mampu tumbuh
hingga 1000 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 2500-3000
mm/tahun. Selain di Indonesia meniran juga terdapat di India, Cina, Malaysia,
Filipina, Australia, Amerika dan Afrika (Subarnas & Sidik, 1993 cit. Nugroho,
2003).
Gambar 4. Meniran (Phyllanthus niruri L.) (Anonim, 2012a)
Keseluruhan bagian dari meniran dapat dimanfaatkan sebagai obat.
Masyarakat menggunakan meniran untuk mengobati penyakit kuning, infeksi
saluran kencing, diuretik, diare, busung lapar, blennorrhagia, infeksi saluran
pencernaan, penyakit karena gangguan fungsi hati, luka dan scabies, serta untuk
meningkatkan nafsu makan dan antidemam (Sudarsono et al., 1996). Meniran
20
mengandung senyawa golongan flavonoid [quercetin; quercitrin; isoquercitrin;
astragalin;
rutin;
kaempferol-4`-rhamnopyranosida;
eriodictyol-7-
rhamnopyranoside; fiestin-4`-O-glycoside; 5,6,7,4`-tetrehydroxy-8-(-3-methylbut2-enyl)-flavanone-5-O-rutinoside (nirurin)]; lignin; norsecurinine; securinine;
allosecurinine; senyawa alkaloid (entnorsecurinine) dan trans-phytol (Sudarsono
et
al.,
1996) serta polisakarida (arabinogalaktan) (Mellinger et al., 2005).
Senyawa lignan yang ada dalam meniran antara lain mirphyllin (3,3`,5,9,9`pentamethoxy-4-hydroxy,4`,5`-methylendoxylignan),
phyllnirurin
methylendioxy-5`-methoxy-9`hydroxy-4`,7-epoxy-8,3`-neolignan,
hypophyllanthin,
nirtetralin,
niranthin,
phyllanthin,
(3,4-
isolintetralin,
hinikinin,
lintetralin,
phyllantostatin A. Pada akar meniran terdapat 3,5,7-trihydroxyflavanol-4`-O-α-L(-) rhamnopyranoside, salah satu senyawa glikosida flavonoid dengan kaempferol
sebagai aglikon dan rhamnosa sebagai bagian glikon. Senyawa yang berefek
imunostimulan pada meniran berasal dari golongan flavonoid yaitu quercetin dan
rutin karena dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit (Liu et al., 2012).
Arabinogalaktan memiliki efek imunostimulan dengan menstimulasi makrofag di
dalam rongga peritoneum mencit untuk memproduksi anion superoksida (O2-)
(Mellinger et al., 2005).
Berdasarkan penelitian Lestarini (2008), mencit Balb/c yang dipejani
Phyllanthus niruri L. dosis 125 µg, 250 µg dan 500 µg mengalami peningkatan
jumlah limfosit teraktivasi dan kemampuan fagositosis makrofag. Ekstrak air
meniran dapat meningkatkan ekspresi marker aktivasi (CD69), proliferasi limfosit
21
B dan T, produksi IFN-γ dan IL-4 (Nworu et al., 2010). Ash (2012) melaporkan
adanya peningkatan aktivitas fagositosis makrofag dan produksi NO akibat
pemberian ekstrak meniran hijau dan meniran merah pada mencit Balb/c yang
diinfeksi S. thypi.
7.
Sirih Merah
Sirih merah merupakan tanaman yang tumbuh merambat dan tingginya
bisa mencapai 10 m, tergantung pertumbuhan dan tempat merambatnya. Batang
sirih berkayu lunak, beruas-ruas, beralur dan berwarna hijau keabu-abuan. Daun
sirih merah berupa daun tunggal berbentuk seperti jantung hati, permukaan daun
licin, bagian tepi rata dan pertulangannya menyirip. Bunga majemuk tersusun
dalam bulir, merunduk dan panjangnya sekitar 5-15 cm (Backer & van Den
Brink, 1963). Berikut ini adalah klasifikasi sirih merah (Anonim, 2012b).
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Piperales
Famili
: Piperaceae
Genus
: Piper
Spesies
: Piper crocatum Ruiz & Pav.
Sirih merah mengandung senyawa golongan flavonoid, alkaloid, tanin dan
minyak atsiri (Safithri & Fahma, 2008). Piper sp. mengandung flavonoid,
alkaloid, propenilfenol, lignan, neolignan, terpenoid, steroid, kawapyrone,
22
piperolide, chalchone, dihydrochalcone, flavon, flavanon dan komponen
miselaneus (Parmar et al., 1997). Senyawa yang berperan sebagai imunostimulan
pada sirih merah adalah golongan flavonoid dan neolignan. Flavonoid pada
penggunaan dosis tertentu dapat berefek imunostimulan dan imunosupresan
(Middleton et al., 2000). Senyawa neolignan memiliki efek imunomodulator yaitu
antileishmaniasis, menekan produksi IL-6 dan IL-10 (Néris et al., 2013).
Kustiawan (2012) telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi kandungan
senyawa aktif dari daun sirih merah yang termasuk golongan neolignan dan
berefek pada aktivitas fagositosis makrofag secara in vitro, yaitu crocatidin (2allyl-4-(1’-(3”,4”,5”-trimethoxyphenyl)
3,5-dienone)
trimethoxyphenyl)
dan
deasetyl
propan-2’yl)-3,5-dimethoxycyclohexa-
crocatidin
(2-allyl-4-(1’acetyl-1’-(3”,4”,5”-
propan-2’yl)-3,5-dimethoxycyclohexa-3,5-dienone).
Hartini
(2014) melaporkan bahwa dua senyawa neolignan (crocatidin dan deacetyl
crcatidin) yang diisolasi dari ekstrak metanol daun sirih merah terbukti mampu
meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag dan produksi NO, tetapi tidak
meningkatkan proliferasi limfosit.
Gambar 5. Sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) (Anonim, 2012b)
23
Secara empiris sirih merah dapat digunakan untuk menyembuhkan
berbagai jenis penyakit diabetes mellitus, hepatitis, batu ginjal, keputihan,
penyakit jantung, hipertensi, maag, radang liver, kelelahan, masuk angina,
gonorrhoe (Sudewo, 2005 cit. Yuristiyani, 2012). Ekstrak etanolik daun sirih
merah dapat meningkatkan indeks fagositosis makrofag namun tidak dapat
meningkatkan proliferasi limfosit tikus secara signifikan (Apriyanto, 2011) dan
tidak dapat mempengaruhi titer IgG tikus (Wiweko, 2010). Hartini (2014)
melaporkan adanya peningkatan aktivitas fagositosis (dosis 5 dan 10 mg/kgBB)
dan produksi IL-12 (dosis 2,5mg/kgBB, 5mg/kgBB dan 10mg/kgBB) pada mencit
Balb/c yang dipejani senyawa neolignan hasil isolasi (1 dan 2) dari ekstrak
metanol daun sirih merah. Namun pada pemberian dosis 2,5mg/kgBB, 5mg/kgBB
dan 10mg/kgBB tidak berpengaruh terhadap proliferasi limfosit, titer IgG dan
produksi IL-10.
8.
Keladi Tikus
Keladi tikus memiliki nama daerah yaitu bira kecil, daun panta susu,
kalamayong, ileus, ki babi dan trenggiling mentik (Widyaningrum, 2011). Habitat
keladi tikus yakni tempat yang lembab, basah dan teduh di daerah Asia Tenggara,
Australia Utara dan India bagian Selatan (Lai et al., 2008). Keladi tikus memiliki
daun tunggal yang muncul dari umbi, berbentuk bulat dengan ujung meruncing
berbentuk jantung, warnanya hijau segar, tersusun di roset dan panjangnya 6-16
cm. Pangkal daunnya berbentuk jantung dengan tepi rata serta permukaan daun
24
mengkilap. Ciri khas dari tanaman ini adalah memiliki bunga unik yang
bentuknya menyerupai keladi tikus (ekor tikus) (Widyaningrum, 2011). Bunganya
muncul dari roset akar, bertangkai, panjangnya 4-8 cm dan berkelopak bunga
bulat lonjong berwarna kekuning-kuningan. Bagian atas kelopak memanjang 5-21
cm dan ujungnya meruncing menyerupai ekor tikus. Umbi keladi tikus berbentuk
bulat rata sebesar buah pala. Bagian dalam maupun luar umbi berwarna putih.
Mahkota bunganya berbentuk panjang kecil berwarna putih mirip dengan ekor
tikus, dari sinilah nama keladi tikus diberikan.
Berikut ini klasifikasi keladi tikus (Widyaningrum, 2011).
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Arales
Famili
: Araceae
Genus
: Typhonium
Spesies
: Typhonium flagelliforme
Gambar 6. Keladi tikus (Thyphonium flagelliformae (Lodd.) Blume) (Anonim, 2014)
25
Keladi tikus mengandung alkaloid, flavonoid, terpenoid dan steroid
(Mankaran et al., 2013). Komponen utama yang terdapat dalam keladi tikus
adalah alkaloid dan flavonoid (Nobakht et al., 2010). Komponen lain yang ada
dalam keladi tikus yaitu rantai asam lemak jenuh seperti metil ester dari asam
linoleat, asam heksadekanoat, asam oktadekanoat, asam 9-oktadekanoat, dan asam
9,12-oktadekanoat (Choo et al., 2001). Di dalam umbi keladi tikus ditemukan
adanya kandungan karbohidrat (Karuppiah, 2000). Aktivitas imunomodulator
keladi tikus kemungkinan berasal dari karbohidrat. Karbohidrat dalam umbi
keladi tikus diperkirakan berupa amilum yang merupakan suatu polisakarida.
Polisakarida memiliki efek imunomodulator (Ramberg et al., 2010) dengan
menstimulasi proliferasi limfosit, meningkatkan kemampuan membunuh sel NK,
meningkatkan fagositosis makrofag dan produksi NO oleh makrofag, serta
meningkatkan kadar TNF-α dalam serum (Ni et al., 2010; Zhang et al., 2012).
Keladi tikus biasanya digunakan sebagai pengobatan alternatif pada terapi
kanker karena memiliki aktivitas antikanker, sitotoksik dan antioksidan
(Mankaran et al., 2013). Keladi tikus dapat mengatasi efek samping dari
kemoterapi seperti rambut rontok, mual, perasaan tidak nyaman dan berkurangnya
nafsu makan (Widyaningrum, 2011). Nurrochmad et al. (2015) melaporkan
bahwa ekstrak etanolik keladi tikus memiliki efek imunomodulator pada tikus
yang diinduksi cyclophosphamide (CPA) karena dapat mengurangi efek
imunosupresan pada proliferasi limfosit, meningkatkan jumlah dan aktivitas
26
fagositosis makrofag, meningkatkan proliferasi sel T CD8+ dan mengurangi efek
penekanan sitokin seperti TNF-α dan IL-1α.
F. Landasan teori
Kombinasi beberapa herbal dapat menyebabkan timbulnya efek yang rumit
karena terjadi interaksi antara beberapa komponen (Che et al., 2013). Interaksi
yang paling diinginkan adalah ketika menghasilkan peningkatan efek terapetik,
tetapi adanya multikomponen dalam herbal menyebabkan interaksi menjadi tidak
dapat diprediksi dan rumit. Berdasarkan teori dan praktik pengobatan herbal Cina,
penggunaan beberapa bahan yang diformulasi didasarkan pada enam mode dasar
interaksi herbal-herbal, yaitu penguatan (reinforcement), potensiasi (potentiation),
pengendalian
(restraint),
detoksikasi
(detoxification),
menetralkan
(counteraction), dan toksisitas (toxicity) (Che et al., 2013). Prinsip utamanya
yakni untuk meningkatkan keamanan dan efektivitas penggunaan herbal.
Suatu bahan aktif ketika dikombinasikan dengan bahan aktif lainnya dapat
berefek sinergis (aditif dan potensiasi) ataupun antagonis. Meniran pada dosis 100
mg/kgBB mencit dapat meningkatkan aktivitas fagosistosis makrofag (Aldi et al.,
2013), proliferasi limfosit (Aldi et al., 2013; Eze et al., 2014) dan titer antibodi
primer dan sekunder (Eze et al., 2014). Daun sirih merah pada dosis 100
mg/kgBB dapat meningkatkan indeks fagositosis makrofag (Apriyanto, 2011),
sedangkan umbi keladi tikus pada dosis 250 mg/kgBB dapat meningkatkan
aktivitas fagositosis makrofag, meningkatkan jumlah sel T CD8+ dan mengurangi
27
efek imunosupresi pada proliferasi sel limfosit (Nurrochmad et al., 2015). Agar
diperoleh efek sinergis maka dalam mengkombinasi beberapa obat/herbal
biasanya dilakukan dengan menggabungkan beberapa obat/herbal yang dosisnya
diturunkan dari dosis penggunaan masing-masing obat/herbal tersebut.
G. Hipotesis
Kombinasi ekstrak etanolik herba meniran, daun sirih merah dan umbi
keladi tikus menggunakan dosis kombinasi 25%, 50% dan 75% dari dosis
optimum masing-masing ekstrak tunggal mampu meningkatkan aktivitas
fagositosis sel makrofag sebagai parameter respon imun nonspesifik serta
proliferasi limfosit dan titer IgG sebagai parameter respon imun spesifik pada
tikus yang diinduksi vaksin Hepatitis B.
Download