HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RS PKU MUHAMMADIYAH SUKOHARJO SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan Oleh : FADILAH ANIK ARBANI NIM. ST 13033 PROGRAM STUDI TRASNFER S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015 SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Fadilah Anik Arbani NIM : ST 13033 Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gela rakademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada Surakarta maupun di perguruan tinggi lain. 2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim Penguji. 3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini. Surakarta, Agustus 2015 Yang membuat pernyataan, Fadilah Anik Arbani NIM. ST 13033 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobil’alamin Segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan taufik, hidayah – Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RS PKU MUHAMMADIYAH SUKOHARJO “. Dalam menjalani proses penyusunan skripsi ini tidak sedikit halangan dan rintangan yang penulis hadapi. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi perbaikan skripsi ini. Atas bantuan, arahan dan motivasi yang senantiasa diberikan selama penyusunan skripsi ini, dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada. 2. Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku ketua program studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada. 3. Ibu Wahyuningsih Safitri, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dan begitu bijaksana dalam memberikan arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Anissa Cindy Nurul Afni, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan begitu bijaksana dalam memberikan arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini. 5. Direktur RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian. 6. Semua responden yang telah banyak membantu peneliti dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak dan ibu yang tak henti – hentinya mendoakan penulis dan selalu memberikan motivasi serta dukungan terbesar kepada penulis. 8. Kakak – kakakku tercinta atas doa dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. 9. Teman – teman seperjuangan prodi Transfer S-1 Keperawatan angkatan 2013. Surakarta, Agustus 2015 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ ii SURAT PERNYATAAN................................................................................... iii KATA PENGANTAR........................................................................................ iv DAFTAR ISI....................................................................................................... vi DAFTAR TABEL.............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR......................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xi ABSTRAK.......................................................................................................... xii ABSTRACT........................................................................................................ xiii BAB I BAB II PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah............................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian............................................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian........................................................... 5 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori.................................................................. 6 2.1.1 Komunikasi Terapeutik........................................ 6 2.1.2 Kecemasan........................................................... 18 2.1.3 Konsep Jenis Operasi........................................... 27 BAB III BAB IV 2.2 Keaslian Penelitian........................................................... 30 2.3 Kerangka Teori................................................................. 33 2.4 Kerangka Konsep............................................................. 33 2.5 Hipotesis........................................................................... 34 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian........................................ 35 3.2 Populasi dan Sampel........................................................ 35 3.3 Tempat dan Waktu Penelitian.......................................... 37 3.4 Variabel, Definisi Opetasional, dan Skala Pengukuran.... 37 3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data................... 38 3.6 Uji Validasi dan Reabilitas............................................... 40 3.7 Teknik Pengolahan dan Analisa Data............................... 43 3.8 Etika Penelitian................................................................. 45 HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Penelitian................................................................ 47 4.1.1 Analisa Univariat................................................. 47 4.1.2 Analisa Bivariat................................................... 50 BAB V PEMBAHASAN 5.1 Komunikasi Terapeutik Perawat...................................... 51 5.2 Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi........................... 52 5.3 Hubungan Antara Komunikasi Terapeutik dengan Tingkat Kecemasan pasien Pre Operasi........................................ 54 PENUTUP 6.1 Simpulan.......................................................................... 56 6.2 Saran................................................................................. 56 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL Nomor Tabel Judul Tabel Halaman 2.1 Jenis Operasi 28 2.2 Keaslian Penelitian 30 3.1 Definisi Operasional 37 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia 44 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 44 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan 45 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan 45 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Komunikasi Terapeutik 4.6 4.7 46 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan 46 Hasil Uji Chi – Square 47 DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar Judul Gambar Halaman 2.1 Kerangka Teori 33 2.2 Kerangka Konsep 33 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran Keterangan 1 Surat Permohonan Studi Pendahuluan Penelitian 2 Surat Balasan Studi Pendahuluan Penelitian 3 Surat Permohonan Uji Validitas dan Reabilitas 4 Surat Balasan Uji Validitas dan Reabilitas 5 Surat Permohonan ijin Penelitian 6 Surat Balasan Ijin Penelitian 7 Lembar Permohona Menjadi Responden 8 Lembar Persetujuan Menjadi Responden 9 Kuesioner Penelitian 10 Hasil Validasi dan Reabilitas Kuesioner 11 Hasil Olah Data Penelitian SPSS 12 Lembar Konsultasi 13 Jadwal Penelitian PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015 Fadilah Anik Arbani Hubungan Komunikasi Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo ABSTRAK Pasien dalam menghadapi pembedahan dapat mengalami kecemasan. Hal tersebut dapat terjadi karena takut nyeri dan operasi yang gagal. Komunikasi terapeutik memberikan pengertian antara perawat dan klien dengan tujuan membantu klien memperjelas dan mengurangi beban pikiran serta diharapkan dapat menghilangkan kecemasan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. Penelitian ini merupakan penelitian studi korelasi, dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian ini sebanyak 30 orang yang diambil secara insidental sampling. Hasil uji chi-square didapatkan p value 0,009 < 0,05. Ada hubungan yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. Diharapkan lebih meningkatkan lagi komunikasi terapeutik dalam pemberian informasi tentang pra bedah dan peneliti selanjutnya dapat meneliti tentang faktor – faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan. Kata Kunci : Komunikasi Terapeutik, Kecemasan, Pre Operasi. Daftar pustaka : 30 (2001 – 2014) BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA 2015 Fadilah Anik Arbani Correlation between Therapeutic Communication and Anxiety Level of PreOperative Patients at PKU Muhammadiyah Hospital of Sukoharjo ABSTRACT Operative patients may experience anxiety. This can occur because of fear of pain and failed operation. Therapeutic communication gives understanding between the nurses and the clients with the goal to help clients to clarify and reduce the burden of mind and is expected to relieve anxiety. The objective of this research is to investigate the correlation between the therapeutic communication and the anxiety level of pre-operative patients at PKU Muhammadiyah Hospital of Sukoharjo. This research used the correlational method with the cross sectional approach. The samples of research were 30 respondents and were taken by using the incidental sampling technique. The result of Chi-square shows that the p-value was 0.009 which was less than 0.05. Thus, there was a correlation between the therapeutic communication and the anxiety level of pre-operative patients at PKU Muhammadiyah Hospital of Sukoharjo. It is expected that therapeutic communication in providing pre-operative information is expected to be improve, and the further researcher can examine the other factors that can affect the level of anxiety. Keywords : Therapeutic Communication, anxiety, pre-operative References : 30 (2001 – 2014) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perawatan pre operasi dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir saat pasien dikirim ke meja operasi. Perawatan pre operasi yang efektif dapat mengurangi resiko post operasi, salah satu prioritas keperawatan pada periode ini adalah mengurangi kecemasan pasien (Smeltzer & Bare, 2002). Alasan yang dapat menyebabkan ketakutan atau kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain adalah takut nyeri setelah pembedahan, takut terjadi perubahan fisik, dan takut operasi akan gagal (Potter & Perry, 2005). Kecemasan tersebut dimanifestasikan secara langsung melalui perubahan fisiologis seperti (gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, nyeri abdomen, sesak nafas) dan perubahan perilaku seperti (gelisah, bicara cepat, reaksi terkejut) dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala sebagai upaya untuk melawan kecemasan (Stuart & Laraia, 2005). Salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah pandangan interpersonal yang beranggapan adanya ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Stuart, 2007). Berdasarkan pendahuluan yang dilakukan oleh Mulyani tahun 2008 menunjukkan yang mengalami kecemasan ringan (52,5%) dan kecemasan sedang (47,5%) dari 40 pasien klien rawat inap di ruang penyakit bedah dan non bedah. Penelitian lain menunjukkan sebelum dilakukan pemberian informasi pra bedah yang mengalami kecemasan ringan (22,4%), kecemasan sedang (37,9%), kecemasan berat (13,8%) dan kecemasan berat sekali (3,5%). Setelah diberikan informasi pra bedah yang mengalami kecemasan ringan (39,7%) dan kecemasan sedang (25,8%) (Endang & Agus, 2008). Berdasarkan hasil penelitian tersebut seseorang yang akan dilakukan tindakan pembedahan perlu diberikan informasi tentang operasi yang akan dilakukan, mempersiapkan mental pasien dalam menghadapi operasi, sebagai upaya mengurangi kecemasan. Kemampuan perawat untuk mendengarkan secara aktif untuk pesan baik verbal dan non verbal sangat penting untuk membangun hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga, perawat kemudian dapat merencanakan intervensi keperawatan dan perawatan suportif untuk mengurangi tingkat kecemasan pasien dan membantu pasien untuk berhasil menghadapi stres yang dihadapi selama periode perioperatif (Burke & Lemone, 2000). Agar asuhan keperawatan yang diberikan dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama klien, perawat harus membina hubungan saling percaya dengan pasien, yang berhubungan tersebut disebut hubungan terapeutik (Arwani, 2002). Hubungan terapeutik adalah hubungan kerja sama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran, dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien (Anas, 2005). Pentingnya komunikasi terapeutik adalah pada tahap awal proses keperawatan digunakan untuk mengumpulkan informasi pasien, mengidentifikasi kebutuhan kesehatan pasien, pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan, pasien dapat menunjukkan penerimaan terhadap pendidikan kesehatan yang dilakukan, menimbulkan kepuasan pada pasien (Arwani, 2002). Komunikasi terapeutik memberikan pengertian antara perawat dan klien dengan tujuan membantu klien memperjelas dan mengurangi beban pikiran serta diharapkan dapat menghilangkan kecemasan (Mulyani, 2008). Perawat sebagai komponen penting dalam proses keperawatan dan orang yang terdekat dengan klien diharapkan mampu berkomunikasi terapeutik, melalui perkataan, perbuatan, atau ekspresi yang memfasilitasi penyembuhan klien (Wahyu, 2006). Hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo menunjukkan angka operasi sebanyak 55 pasien pada bulan Juli – September 2014 . Rata-rata setiap bulannya sebanyak 17 pasien. Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan dengan 5 pasien pre operasi, 3 pasien mengatakan cemas berat dengan tanda gelisah, bicara cepat, gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat. Berdasarkan teori tersebut diatas dan hasil wawancara penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. 1.2 Rumusan Masalah Kecemasan pasien pre operasi merupakan masalah yang cukup kompleks bagi pasien. Pasien akan menghadapi dan mengalami tindakan yang dapat menimbulkan rasa sakit. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo ?. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi komunikasi terapeutik perawat pada pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. 2. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. 3. Menganalisis hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Rumah Sakit Sebagai bahan masukan dan evaluasi dalam meningkatkan pelayanan keperawatan mengenai penggunaan komunikasi terapeutik bagi pasien yang akan menghadapi tindakan pre operasi. 1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan Sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang keperawatan, tentang komunikasi terapeutik dan kecemasan pasien pre operasi. 1.4.3 Bagi Peneliti lain Sebagai referensi dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut terkait kecemasan dengan metode kualitatif. 1.4.4 Bagi Peneliti Sebagai sarana untuk menerapkan teori dan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah serta menambah wawasan dan pengalaman dalam mengadakan sebuah penelitian tentang pentingnya komunikasi terapeutik sebelum melakukan tindakan keperawatan pre operasi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Komunikasi Terapeutik 1. Definisi Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan secara sadar, tujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan klien (Ina & Wahyu, 2010). Komunikasi terapeutik memberikan pengertian antara perawat dan klien dengan tujuan membantu klien memperjelas dan mengurangi beban pikiran serta diharapkan dapat menghilangkan kecemasan (Mulyani, 2008). 2. Manfaat Komunikasi Terapeutik Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien, mengidentifikasi dan mengungkap perasaan serta mengkaji masalah dan juga mengevaluasi tindakan yang dilakukan perawat, memberikan pengertian tingkah laku pasien dan membantu pasien mengatasi masalah yang dihadapi, dan mencegah tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri pasien (Indrawati, 2003). 3. Tujuan Komunikasi Terapeutik Tujuan komunikasi terapeutik adalah untuk membantu pasien yaitu mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri (Indrawati, 2003). Tujuan komunikasi terapeutik adalah untuk perkembangan klien (Stuart & Sundeen) : a. Kesadaran diri, penerimaan diri, penghargaan diri yang meningkat b. Identitas diri jelas, peningkatan integritas diri c. Membina hubungan interpersonal yang intim, interdependen, memberi dan menerima dengan kasih sayang d. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang realistic. 4. Jenis Komunikasi Terapeutik Jenis komunikasi terdiri dari verbal dan non verbal yang dimanifestasikan secara terapeutik (Mubarak, 2009) : a. Komunikasi verbal Komunikasi yang menggunakan kata-kata mencakup komunikasi bahasa terbanyak dan terpenting yang digunakan dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan karena bahasa dapat mewakili kenyataan kongkrit. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung. Komunikasi verbal yang efektif harus: 1) Jelas dan ringkas Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana. 2) Perbendaharaan kata (mudah dipahami) Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. 3) Arti denotatif dan konotatif Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. 4) Selaan dan kesempatan berbicara Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan. Perawat juga bisa menanyakan kepada pendengar jika ia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan apakah perlu untuk diulang ?. 5) Waktu dan relevansi Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi. Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, perawat harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu pula komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien. 6) Humor Sullivandan melaporkan Deane bahwa (1988) humor dalam Mubarak merangsang (2009) produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernafasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan klien. b. Komunikasi non verbal Komunikasi non verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non verbal yang disampaikan klien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendeteksi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan keperawatan. Komunikasi non verbal teramati pada: 1) Metakomunikasi Komunikasi tidak hanya tergantung pada pesan tetapi juga pada hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Metakomunikasi adalah suatu komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang berbicara, yaitu pesan di dalam pesan yang menyampaikan sikap dan perasaan pengirim terhadap pendengar. 2) Penampilan personal Penampilan seseorang merupakan salah satu hal pertama yang diperhatikan selama komunikasi interpersonal. Kesan pertama timbul dalam 20 detik sampai 4 menit pertama . Delapan puluh empat persen dari kesan terhadap seseorang berdasarkan penampilannya. Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan kepribadian, status sosial, pekerjaan, agama, budaya dan konsep diri. Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan perawat, tetapi mungkin akan lebih sulit bagi perawat untuk membina rasa percaya terhadap klien jika perawat tidak memenuhi citra klien. 3) Intonasi (nada suara) Nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar terhadaparti pesan yang dikirimkan, karena emosi seseorang dapat secara langsung mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari emosinya ketika sedang berinteraksi dengan klien, karena maksud untuk menyamakan rasa tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh nada suara perawat. 4) Ekspresi wajah Hasil suatu penelitian menunjukkan enam keadaan emosi utama yang tampak melalui ekspresi wajah: terkejut, takut, marah, jijik, bahagia dan sedih. Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam menentukan pendapat interpesonal. Kontak mata sangat penting dalam komunikasi interpersonal. Orang yang mempertahankan kontak mata selama pembicaraan diekspresikan sebagai orang yang dapat dipercaya, dan memungkinkan untuk menjadi pengamat yang baik. Perawat sebaiknya tidak memandang ke bawah ketika sedang berbicara dengan klien, oleh karena itu ketika berbicara sebaiknya duduk sehingga perawat tidak tanpak dominan jika kontak mata dengan klien dilakukan dalam keadaan sejajar. 5) Sikap tubuh dan langkah Sikap tubuh dan langkah menggambarkan sikap, emosi, konsep diri dan keadaan fisik. Perawat dapat mengumpulkan informasi yang bermanfaat dengan mengamati sikap tubuh dan langkah klien. Langkah dapat dipengaruhi oleh faktor fisik seperti rasa sakit. 6) Sentuhan Kasih sayang, dukungan emosional, dan perhatian disampaikan melalui sentuhan. Sentuhan merupakan bagian yang penting dalam hubungan perawat dan klien, namun harus memperhatikan norma sosial. Perlu disadari bahwa keadaan sakit membuat klien tergantung kepada perawat untuk melakukan kontak interpersonal sehingga sulit untuk menghindarkan sentuhan. 5. Ciri Komunikasi Terapeutik Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik (Arwani, 2003) : a. Keikhlasan (genuiness) Perawat harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan klien. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai terhadap pasien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikan secara tepat. b. Empati (emphaty) Empati merupakan perasaan pemahaman dan penerimaan perawat terhadap perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan dunia pribadi pada klien. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif dan tidak dibuat-buat (objektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati cenderung bergantung pada kesamaan pengalaman di antara orang yang terlibat komunikasi. c. Kehangatan (warmth) Dengan kehangatan, perawat akan mendorong klien untuk mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, permisif, dan tanpa adanya ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien. Sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam. 6. Prinsip komunikasi terapeutik Prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers : a. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut. b. Komunikasi harus ditandai dengan sikap menerima, saling percaya dan saling menghargai. c. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien. d. Perawat harus menyadari pentingnyakebutuhan pasien baik fisik maupun mental. e. Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut. f. Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap maupun tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. g. Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan maupun frustasi. h. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya. i. Memahami betul arti simpati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik. j. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik. k. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain tentang kesehatan. Oleh karena itu, perawat perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual dan gaya hidup. l. Disarankan untuk mengekspresikan perasaan yang dianggap mengganggu. m. Mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi. n. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berasarkan prinsip kesejahteraan manusia. o. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atau tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain. 7. Tahapan komunikasi terapeutik Tahapan dalam komunikasi terapeutik adalah (Damayanti, 2008) : a. Fase preinteraksi Pre interaksi dimulai sebelum kontrak pertama dengan klien.Perawat mengumpulkan data tentang klien, mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan diri dan membuat rencana pertemuan dengan klien. 1) Fase orientasi Pada tahap orientasi, perawat dapat mengucapkan salam saat menemui pasien, memperkenalkan dirinya, membuat kontrak awal dengan pasien, menanyakan kabar pasien sebelum operasi, menunjukan sikap siap membantu dan tidak memaksa pasien untuk bercerita keadaannya pada perawat. 2) Kerja Pada fase kerja perawat menggunakan komunikasi dua arah, menanggapi keluhan pasien dengan serius, bersikap jujur kepada pasien, menepati janji yang telah diberikan, menciptakan suasana lingkungan yang nyaman sehingga mendukung terjadinya komunikasi yang efektif, mengulang pertanyaan dengan lebih jelas jika pasien belum mengerti tentang pertanyaan yang disampaikan perawat, jangan mendesak pasien untuk segera menjawab pertanyaan yang diajukan, jangan memotong di tengah-tengah pembicaraan pasien, dan jangan membandingkan dengan pasien lain. 3) Fase terminasi Perawat dapat mengucapkan salam perpisahan, membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, memberikan pendidikan kesehatan post operasi, mengevaluasi respon pasien terhadap komunikasi yang telah disampaikan dan meninggalkan petunjuk cara menghubungi perawat. b. Komunikasi pada masa operatif 1) Pre operatif a) Mempertahankan hubungan terapeutik untuk memungkinkan klien mengungkapkan rasa takut, rasa cemas, dan khawatir tentang operasi yang akan dijalani. b) Menggunakan sentuhan seperlunya untuk menunjukkan empati dan kepedulian. c) Menggunakan kemampuan mendengar aktif untuk mengidentifikasi dan memvalidasi respon verbal dan nonverbal yang mengindikasikan ketakutan dan kecemasan. d) Mempersiapakan diri menjawab pertanyaan umum yang sering disampaikan klien, misalnya “berapa lama operasi akan berlangsung?” 2) Operatif Komunikasi dilakukan sebagai upaya melakukan pengecekan terhadap persiapan klien. Komunikasi ini juga dilakukan dengan memberi dukungan pada klien guna mengurangi kecemasan. 3) Pasca operatif Komunikasi pada fase ini dapat dilakukan segera setelah klien berada diruang pemulihan. Komunikasi verbal mulai dilakukan perawat meski klien belum sadar sepenuhnya. 2.1.2 Kecemasan 1. Definisi kecemasan Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai kenyataan, kepribadian masih tetap utuh atau tidak mengalami keretakan kepribaadian normal (Hawari, 2008). Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivasi sistem saraf autonom dalam merespon ancaman yang tidak jelas. Kecemasan akibat terpejan pada peristiwa traumatik yang dialami individu yang mengalami, menyaksikan atau menghadapi satu atau beberapa peristiwa yang melibatkan kematian aktual atau ancaman kematian atau cidera serius atau ancaman fisik diri sendiri (Doenges, 2006). 2. Tahapan Kecemasan Kecemasan diidentifikasikan menjadi 4 tingkat yaitu, ringan, sedang, berat dan panik. Semakin tinggi tingkat kecemasan individu maka akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya. Kecemasan merupakan masalah psikiatri yang paling sering terjadi, tahapan tingkat kecemasan akan dijelaskan sebagai berikut (Stuart, 2007) : a. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan persepsi. b. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. c. Kecemasan berat sangat mengurangi persepsi seseorang yang cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. d. Tingkat panik (sangat berat) berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. 3. Manifestasi kecemasan National Health Committee (1998) dalam Wangmuba (2009), menyebutkan beberapa manifestasi kecemasan secara umum yang dapat muncul berupa : a. Respons fisik seperti sulit tidur, dada berdebar-debar, tubuh berkeringat meskipun tidak gerah, tubuh panas atau dingin, sakit kepala, otot tegang atau kaku, sakit perut atau sembelit, terengahengah atau sesak nafas. b. Respons perasaan seperti merasa diri berada dalam khayalan, derealization, merasa tidak berdaya dan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi. c. Respons pikiran seperti mengira hal yang paling buruk akan terjadi dan sering memikirkan bahaya. d. Respons tingkah laku seperti menjauhi situasi yang menakutkan, mudah terkejut, hyperventilation dan mengurangi rutinitas. 4. Faktor- faktor yang mempengaruhi respon kecemasan. a. Faktor Prepitasi Ada dua faktor presipitasi yangmempengaruhi kecemasan menurut Stuart (2007) dan Tomb (2004), yaitu : 1) Faktor eksternal a) Ancaman integritas fisik, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik, pembedahan yang akan dilakukan). b) Ancaman sistem diri antara lain : ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan hubungan interpersonal, kehilangan serta perubahan status atau peran. 2) Faktor internal a) Potensi stressor Stressor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi. b) Maturitas Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu yang matur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan. c) Pendidikan dan status ekonomi Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru. d) Keadaan fisik Seorang yang akan mengalami gangguan fisik seperti cidera, operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih mudah mengalami kecemasan, di samping itu orang yang mengalami kelelahan fisik mudah mengalami kecemasan. e) Tipe kepribadian Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan kepribadian B. Adapun ciri- ciri orang dengan kepribadian A adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa diburu waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah tersinggung, otot- otot mudah tegang. Sedang orang dengan tipe kepribadian B mempunyai ciriciri berlawanan dengan tipe kepribadian A. Karena tipe keribadian B adalah orang yang penyabar, teliti, dan rutinitas. f) Lingkungan dan situasi Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih mudah mengalami kecemasan dibanding bila dia berada di lingkungan yang bisa dia tempati. g) Umur Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih tua, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya. h) Jenis kelamin Gangguan panik merupakan suatu gangguan cemas yang ditandai oleh kecemasan yang spontan dan episodik. Gangguan ini lebih sering dialami ole wanita daripada pria. b. Faktor prediposisi 1) Teori psikoanalisis Pandangan teori psikoanalisis memaparkan bahwa cemas merupakan konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut dan fungsi kecemasan untuk mengingatkan ego bahwa ada bahaya. 2) Teori interpersonal Teori interpersonal menyatakan bahwa cemas timbul dari perasaan takut terhadap ketidak setujuan dan penolakan interpersonal. Cemas juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri rendah rentan mengalami kecemasan yang berat. 3) Teori perilaku Teori perilaku menyatakan bahwa cemas merupakan produk frustasi. Frustasi merupakan segala sesuatu yang menggangu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan dikarakteristikkan sebagai suatu dorongan yang dipelajari untuk menghindari kepedihan. Teori pembelajaran meyakini individu yang terbiasa sejak kecil dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya. Teori konflik memandang cemas sebagai pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan. Kecemasan terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan : konflik menimbulkan kecemasan, dan cemas menimbulkan perasaan tak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan. 4) Teori kajian keluarga Kajian keluaraga menunjukkan bahwa gangguan cemas terjadi didalam keluarga.Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan kecemasan dan depresi. 5. Penatalaksanaan kecemasan Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan kecemasan umum mengkombinasikan adalah kemungkinan psikoterapi, farmakoterapi pengobatan dan yang pendekatan suportif (Smeltzer and Bare, 2000). a. Psikoterapi Teknik utama yang digunakan adalah pendekatan perilaku misalnya relaksasi dan bio feed back (proses penyediaan suatu informasi pada keadaan satu atau beberapa variabel fisiologi seperti denyut nadi, tekanan darah dan temperatur kulit). b. Farmakoterapi Dua obat utama yang dipertimbangkan dalam pengobatan kecemasan umum adalah buspirone dan benzodiazepin. Obat lain yang mungkin berguna adalah obat trisiklik sebagai contonya imipramine (tofranil) – antihistamin dan antagonis adrenergik beta sebagai contonya propanolol (inderal). c. Pendekatan suportif Dukungan emosi dari keluarga dan orang terdekat akan memberi kita cinta dan perasaan berbagai beban. Kemampuan berbicara kepada seseorang dan mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat membantu dalam menguasai keadaan. 6. Pengukur kecemasan Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat dan berat sekali. Menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS – A ) dikutip Hawari (2013). Alat ukur ini terdiri 14 kelompok gejala, meliputi gejala perasaan cemas, gejala ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik, gejala somatik fisik / somatik, gejala kardiovaskuler dan pembuluh darah, gejala respiratori, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom, sikap dan tingkah laku. Masing- masing kelompok gejala diberi panilaian angka (skor) antara 0 – 4, yang artinya adalah tidak ada gejala diberi skor 0, gejala ringan diberi skor 1, gejala sedang diberi skor 2, gejala berat diberi skor 3, gejala berat sekali diberi skor 4. Masing- masing nilai angka (skor) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu: tidak ada kecemasan kurang dari 14, kecemasan ringan 14 – 20, kecemasan sedang 21 – 27, kecemasan berat 28 – 41, kecemasan berat sekali / panik 42 – 56 (Hawari, 2013). 2.1.3 Konsep Jenis Operasi 1. Pengertian Operasi Operasi (elektif atau kedaruratan) adalah merupakan peristiwa kompleks yang menegangkan (Brunner & Suddarth, 2002). Jenis operasi adalah pembagian tindakan pembedahan diantaranya operasi kecil, sedang, besar dan khusus (Handoko, 2000). 2. Klasifikasi Bedah Bedah dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara diantaranya (Ermawati, 2009) : a. Menurut lokasi Tindakan bedah dapat dilaksanakan eksternal atau internal. Pada bedah eksternal kulit atau jaringan yang dibawahnya dapat dijangkau oleh ahli bedah. Bedah eksternal mendatangkan kerugian - kerugian; dapat menimbulkan parut atau disfigurisasi/ perubahan penampilan yang langsung bisa dilihat, yang meenimbulkan banyak pengkhayalan dan kegelisahan bagi pasien. Pembedahan plastik merupakan bedah contoh eksternal, ditunjukkan langsung kepada rekonstruksi dan perbaikan dari jaringan yang terganggu bentuknya. Tindakan bedah internal disertai penetrasi ke dalam tubuh. Parut dari bedah internal tidak terlihat, tapi bisa menjadi komplikasi, diantaranya adhesi/ perlengketan. Operasi organ besar internal dapat mengurangi fungsi bila cukup banyak jaringan terangkat.Tindakan bedah bisa juga diklasifikasikan menurut lokasi atau sistem dari tubuh, seperti bedah kardiovaskuler, bedah thorax, bedah neurologi dan seterusnya. b. Menurut jenis operasi (luas jangkauan) Tabel 2.1 Jenis Operasi Jenis Operasi Waktu Peralatan Anestesi Resiko Operasi kecil Kurang dari 1 jam Alat standar Lokal Kecil Operasi sedang 1 -2 jam Alat standar + Sedang Operasi besar Operasi khusus 3 jam Alat standar ++ Lokal, regional, dan general General 4 jam Alat standar +++ General Tinggi Besar Sumber : Ermawati (2009) c. Menurut tujuan Banyak tujuan dari tindakan-tindakan bedah. Ahli bedah menjelaskan metoda dan tujuan bedah kepada pasien dan keluarganya. Periode sebelum operasi merupakan saat peningkatan cemas bagi pasien dan keluarganya, mungkin mereka tidak mengerti alasan mengapa harus dioperasi dan memerlukan penjelasan yang lebih lanjut yang bisa dilaksanakan oleh perawat (Ermawati, 2009). d. Prosedur bedah Kebanyakan prosedur bedah diberi nama menurut lokasi, menurut tipe pembedahan yang dilakukan. Umpamanya histerektomi adalah pengangkatan (ektomi) uterus (hiter). 3. Pengaruh bedah terhadap pasien a. Respon Fisiologis Operasi merupakan stressor kepada tubuh dan memicu respon neuroendocrine. Respon terdiri dari sistem saraf simpatis dan respon hormonal yang bertugas melindungi tubuh dari ancaman cedera. Stres terhadap sistem cukup gawat atau kehilangan darah cukup banyak mekanisme kompensasi dari tubuh terlalu banyak beban dan shock akan menjadi akibat dari itu semua. Anesthesi tertentu yang dipakai dapat membantu terjadinya shock (Ermawati, 2009). Respon metabolisme juga terjadi. Karbohidrat dan lemak di metabolisme untuk memproduksi energi. Protein tubuh dipecah untuk menyajikan suplai asam amino yang dipakai untuk membangun jaringan baru. Asam amino yang tidak dipakai menjadi nitrogen sebagai produk akhir seperti urea dan diekskresi. Ini berakibat menjadi keseimbangan nitrogen yang negatif, itu berarti kehilangan nitrogen melampaui intake nitrogen. Semua faktor ini menjurus kepada kehilangan berat badan setelah pembedahan besar. Intake protein yang tinggi diperlukan guna mengisi kebutuhan protein untuk keperluan penyembuhan dan mengisi kebutuhan dan fungsi yang optimal (Ermawati. D, 2009). b. Respon Psikologis Respon psikologis seseorang dalam menanggapi pembedahan bervariasi misalnya merasa takut karena tidak tahu tentang tindakan yang dilakukan. Ketakutan umum meliputi takut oleh yang tidak diketahui, hilang kendali, hilang kasih sayang dari orang penting, ancaman seksualitas, sedagkan ketakutan spesifik meliputi diagnosa keganasan anestesi, sakaratul maut, perubahan penampilan, keterbatasan permanaen (Ermawati, 2009). 2.2 Keaslian Penelitian Tabel 2.2 Keaslian Penelitian Nama peneliti Edy Soesanto, Nurkholis (2008) Judul Penelitian Hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pasien gangguan kardiovaskuler yang pertama kali dirawat di intensive coronary care unit RSU Tugurejo Semarang. Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah correlation study, dengan rancangan penelitian cross sectional. Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (76,9%) pasien gangguan kardiovaskuler yang pertama kali dirawat di ICCU mengalami kecemasan, hanya saja tingkat kecemasan yang dialami bervariasi. Bila dirinci lagi Sri Mulyani, Ira Paramastri, Much. Agus Priyanto (2008) Komunikasi dan hubungan terapeutik perawat – klien terhadap kecemasan pra bedah mayor. sebagian besar (41,0%) mengalami kecemasan ringan, sebagian besar perawat (82,1%) melaksanakan komunikasi terapeutik. Desain Ada perbedaan penelitian yang yang signifikan digunakan sebelum dan adalah kuasi sesudah dilakukan eksperimen, dengan komunikasi terapeutik rancangan penelitian pretest (pemberian and postest with informasi pra bedah) terhadap control group tingkat design. kecemasan pada pasien pra bedah mayor. Perbedaan hasil tersebut ditandai dengan adanya penurunan tingkat kecemasan setelah dilakukan komunikasi terapeutik (pemberian informasi) pada pasien pra bedah mayor fraktur femur di RSUI Kustati Surakarta. Endang sawitri, Agus Sudaryanto (2008) Pengaruh pemberian informasi pra bedah terhadap tingkat kecemasan pada pasien pra bedah mayor di bangsal orthopedi RSUI Kustati Surakarta Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi eksperimen, dengan rancangan penelitian one group pre testpost test design. Ada perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik (pemberian informasi pra bedah) terhadap tingkat kecemasan pada pasien pra bedah mayor. Perbedaan hasil tersebut ditandai dengan adanya penurunan tingkat kecemasan setelah dilakukan komunikasi terapeutik (pemberian informasi) pada pasien pra bedah mayor fraktur femur di RSUI Kustati Surakarta. 2.3 Kerangka Teori 1. Faktor Predisposisi 2. Faktor Prepitasi a. Teori psikoanalisis a. Faktor eksterna b.Teori interpersonal b. Faktor internal c.Teori perilaku Komunikasi Kecemasan Terapeutik Gambar 2.1 Sumber : Stuart (2007) & Tomb (2004) 2.4 Kerangka Konsep Variable independen Variabel dependen Komunikasi Tingkat kecemasan terapeutik pre operasi Gambar 2.2 Kerangka Konsep 2.5 Hipotesis Hipotesis merupakan sebuah pernyataan tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris (Hidayat 2007). Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang sudah dipaparkan, maka hipotesis penelitian ini adalah : H0 : Tidak ada hubungan antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada pasien pre operasi. Ha : Ada hubungan antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada pasien pre operasi. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi korelasi dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari hubungan antara dua variabel. Dengan studi ini akan diperoleh prevalensi atau efek suatu fenomena (variabel dependen) dihubungkan dengan penyebab (variabel independen) (Nursalam, 2008). 3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian (Saryono, 2011), yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah pasien pre operasi di ruang rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. Jumlah populasi ± 30 pasien, jumlah rata – rata pada bulan Desember ± 17 pasien. 3.2.2 Sampel Sampel adalah sebagian populasi yang mewakili suatu populasi tersebut (Saryono, 2011). Pengambilan sampel menggunakan non probability sampling dengan cara sampling incidental yaitu metode pengambilan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan dijumpai dianggap cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2007). Berdasarkan hasil studi pendahuluan data bulan Oktober – Desember jumlah pasien 53, rata-rata 17 pasien per bulan. Peneliti mengambil sampel pasien yang akan menjalani operasi pada bulan April – Juni 2015, sampai jumlahnya mencapai 30 pasien. Dalam penelitian keperawatan, kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi : 1. Kriteria inklusi adalah kriteria di mana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Hidayat, 2007). Adapun kriterian inklusi dalam penelitian adalah : a. Pasien yang dirawat di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo b. Pasien dalam kondisi sadar sebelum pre operasi c. Pasien yang berumur 25 tahun – 60 tahun d. Pasien yang dirawat 2 – 7 hari e. Pasien yang pendidikan minimal tamat SD f. Pasien yang bersedia menjadi responden 2. Kriteria eksklusi adalah kriteria di mana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel (Hidayat, 2007). Adapun kriterian eksklusi dalam penelitian adalah : a. Pasien yang mengalami gangguan bicara dan penglihatan b. Pasien yang mengalami gangguan jiwa c. Pasien dengan komplikasi berat 3.3 Tempat dan Waktu Penelitian 3.3.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. 3.3.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Juni 2015. 3.4 Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Variabel Independen : Komunikai terapeutik Definisi Operasional Yang dimaksud komunikasi terapeutik dalam penelitian ini adalah komunikasi antara perawat dan klien untuk kenyamanan pasien dalam menjalani proses pelayanan keperawatan. Alat Ukur Menggunakan kuesioner komunikasi terapeutik yang terdiri dari 19 item pertanyaan dengan skala likert, dikategori untuk jawaban : 1.Selalu : 3 2.Kadang – kadang : 2 3.Tidak pernah : 1 Hasil Ukur Skala Ukur Komunikasi Ordinal terapeutik dikategorikan menjadi: 1.Kurang : 0 – 19 2.Cukup : 20 – 38 3. Baik : 39 – 57 Variabel Dependen : Tingkat kecemasan Yang dimaksud dengan kecemasan adalah perasaan tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala denyut jantung bertambah cepat, nafas yang cepat, keringat dingin, gemetar, lemas dan lelah. Menggunakan Kuesioner HRS – A (Hamilton Rating Scale for Anxiety), yang terdiri dari 11 item pertanyaan. Penilaian skor antara 0 – 4, yang artinya: 0: tidak ada gejala (tidak ada gejala sama sekali) 1: gejala ringan (satu pilihan dari gejala yang ada) 2: gejala sedang (separuh dari gejala yang ada) 3: gejala berat (lebih dari se paruh gejala yang ada) 4: gejala berat sekali (semua gejala ada) Tingkat Ordinal kecemasan dikategorikan : 1.Tidak ada kecemasan: < 11 2.Kecemasan ringan: 11 – 21 3.Kecemasan sedang: 22 – 32 4.Kecemasan berat: 33 – 43 5.Kecemasan berat sekali: > 43 3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data 3.5.1 Alat Penelitian Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket atau kuesioner. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pernyataan atau pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan jenis kuesioner tertutup, yaitu kuesioner yang jawaban atau isinya sudah ditentukan, sehingga subjek tidak memberikan respon – respon atau jawaban yang lain (Sugiyono, 2007). 3.5.2 Cara Pengumpulan Data Alat Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian, yaitu: a. Kuesioner A untuk mengetahui data demografi responden yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan. b. Kuesioner B terkait dengan komunikasi terapeutik yang terdiri 19 item pertanyaan dengan skala likert. Jawaban selalu nilainya 3 dimana perawat selalu memberikan komunikasi terapeutik, kadang – kadang nilainya 2 dimana perawat kadang - kadang memberikan komunikasi terapeutik, tidak pernah nilainya 1 dimana perawat tidak pernah memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien pre operasi. Komunikasi terapeutik kurang apabila skor 0 – 19, komunikasi terapeutik cukup apabila skor 20 – 38, komunikasi terapeutik baik apabila skor 39 – 57 . c. Kuesioner C terkait dengan tingkat kecemasan pada pasien pre operasi yang terdiri dari 11 item pertanyaan. Menggunakan kuesioner HRS – A, dipilih karena kuesioner yang sudah baku. Dengan penilaian skor antara 0 – 4, diberi nilai 0 apabila tidak ada gejala, diberi nilai 1 apabila gejala ringan, diberi nilai 2 apabila gejala sedang, diberi nilai 3 apabila gejala berat, diberi nilai 4 apabila gejala berat sekali. Tidak ada kecemasan apabila skor < 11, kecemasan ringan apabila skor 11 – 21, kecemasan sedang apabila skor 22 – 32, kecemasan berat apabila skor 33 – 43, kecemasan berat sekali apabila skor > 43. 3.6 Uji Validitas dan Reabilitas Sebelum instrument digunakan ujicoba terlebih dahulu yaitu dengan pengujian validitas dan realibilitas. 3.6.1 Uji Validitas Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya, validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu butir pertanyaan (Danang, 2012). Untuk mengetahui kuesioner yang kita susun tersebut mampu mengukur yang hendak diukur maka akan dilakukan uji validitas. Instrumen dinyatakan valid jika nilai r hitung lebih besar dari r tabel dengan taraf signifikansi 5% (0,05) (Sugiyono, 2013). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Korelasi Product Moment. Rumus Korelasi Product Moment : r xy = N ∑ XY – ( ∑ X )( ∑ Y ) √ N ∑ X 2 – ( ∑ X ) 2 √ N ∑ Y2– ( ∑ Y ) 2 r : Indeks korelasi yang dicari X : Skor tiap item pertanyaan Y : Skor total N : Jumlah responden 3.6.2 Uji Reliabilitas Reliabilitas menunjukkan tingkat konsistensi dan stabilitas dari data berupa skor hasil persepsi suatu variabel, dengan demikian reabilitas meliputi stabilisasi ukuran dan konsistensi internal ukuran. Stabilisasi ukuran menunjukkan kemampuan sebuah ukuran untuk teteap stabil atau tidak retan terhadap perubahan situasi apapun, kestabilan ukuran dapat membuktikan kebaikan sebuah ukuran dalam mengukur sebuah konsep (Danang, 2012). Pengujian reliabilitas pada penelitian ini menggunakan rumus Alpha Cronbach. Instrumen dinyatakan reliabel jika r alpha > r tabel (Arikunto, 2002). Rumus Alpha Cronbach: r= k 1– k–1 ∑ ab 2 ab 2 r : reliabilitas instrumen k : banyaknya butir pertanyaan ∑ ab 2 : jumlah butir varians ab 2 : varians total Uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner komunikasi terapeutik dilaksanakan di RSU Rizki Amalia Kulon Progo Yogyakarta dengan jumlah responden 30 pasien pre operasi sesuai dengan kriteria inklusi. Setelah dilakukan analisis validitas dengan menggunakan bantuan komputer untuk variabel komunikasi terapeutik diperoleh hasil bahwa dari 22 item pertanyaan terdapat 3 item pertanyaan yang dinyatakan tidak valid. Hal ini dikarenakan ketiga item tersebut mempunyai nilai r hitung < r tabel (0,361). Ketiga item tersebut yaitu item nomor 8 dengan r hitung sebesar 0,328 < r tabel (0,361); item nomor 10 dengan nilai r hitung sebesar 0,224 < r tabel (0,361); dan item nomor 13 dengan nilai r hitung sebesar 0, 355 < r tabel (0,361). Sehingga dari 22 item pertanyaan yang diujikan hanya terdapat 19 item pertanyaan yang dinyatakan valid, dimana masing – masing r hitung (0,365 – 0,752) > r tabel (0,361). Uji reliabilitas dilakukan setelah pengujian validitas, dimana uji reliabilitas menggunakan rumus cronbach alpha. Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai alpha sebesar 0,820 > r tabel (0,361), sehingga dapat disimpulkan bahwa ke 19 item pertanyaan dinyatakan valid dan reliabel, dan dapat digunakan sebagai instrumen penelitian. Pada kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS – A) terdapat 14 symptoms yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 (nol present) sampai dengan 4 (severe). Pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala HRS – A merupakan kuesioner yang sudah baku dan banyak di gunakan dalam penelitian pengukuran tingkat kecemasan. Dalam penelitian ini kuesioner yang dipakai hanya 11 symptoms dalam mengukur tingkat kecemasan, dipilih berdasarkan tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien pre operasi. 3.7 Teknik Pengolahan dan Analisa Data 3.7.1 Teknik Pengolahan Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan data dengan tahap sebagai berikut: a. Editing Pada tahap ini peneliti melakukan koreksi data untuk melihat kebenaran pengisian dan kelengkapan jawaban kuesioner dari responden. Hal ini dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga bila ada kekurangan segera dapat dilengkapi. Selama proses penelitian ada beberapa data yang tidak terisi sehingga peneliti meminta responden untuk melengkapinya sehingga didapatkan data yang lengkap. b. Coding Peneliti melakukan pemberian kode pada data untuk mempermudah mengolah data, semua variabel diberi kode. Pada komunikasi terapeutik peneliti menggunakan kode berupa angka. Selalu diberi kode 3, kadang – kadang diberi kode 2, dan tidak pernah diberi kode 1. Pada tingkat kecemasan yang menjawab nilai 0 artinya tidak ada gejala, menjawab nilai 1 artinya gejala ringan, menjawab nilai 2 artinya gejala sedang, menjawab nilai 3 artinya gejala berat, menjawab nilai 4 artinya gejala berat sekali. c. Entry Entry adalah suatu proses pemasukan data kedalam komputer untuk selanjutnya dilakukan analisa data dengan menggunakan program komputer. d. Tabulating Kegiatan memasukkan data hasil penelitian kedalam tabel kemudian diolah dengan bantuan komputer. 3.7.2 Analisa Data a. Analisis Univariat Untuk menjelaskan karakteristik responden dengan gambaran distribusi frekuensi atau besarnya faktor independen dan dependen sehingga diketahui varian dari masing – masing variabel (Saryono, 2011). Analisa univariat dalam penelitian ini adalah komunikasi terapeutik dan tingkat kecemasan pada pasien pre operasi yang dikumpulkan dengan kuesioner kemudian ditabulasi, dikelompokkan, dan diberi skor. Untuk penelitian ini variable komunikasi terapeutik dan tingkat kecemasan pada pasien pre operasi merupakan jenis data kategorik. Data demografi pasien pre operasi meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dalam bentuk distribusi frekuensi dan prosentase dengan bantuan komputer. b. Analisis Bivariat Analisa bivariat untuk mengetahui interaksi dua variabel, baik berupa komparatif, asosiatif maupun korelatif. Analisa bivariat yang digunakan adalah uji statistik chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Dalam penelitian ini menggunakan uji statistik chi-square karena skala pengukuran variabel berupa data orginal dengan uji hipotesis komparatif / assosiatif 2 kelompok tidak berpasangan, hanya menggambil 1 kali data yaitu data pre operasi dan tidak mengambil data post operasi. Rumus chi-square adalah sebagai berikut (Sutrisno, 2004) : X2 = ∑ (f0 – fe ) 2 fe X2 : Nilai chi-kuadrat fe : Frekuensi yang diharapkan f0 : Frekuensi yang diperoleh/diamati Jika diperoleh p value ≤ 0,05 H0 ditolak dan Ha diterima Jika diperoleh p value > 0,05 H0 diterima dan Ha ditolak 3.8 Etika Penelitian Ada beberapa etika yang dilakukan untuk mendukung kelancaran penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Informed consent (lembar persetujuan) Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan calon responden dengan memberikan lembar persetujuan. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian kepada calon responden. Calon responden bersedia menjadi responden maka dipersilahkan menandatangani lembar persetujuan. 2. Anonimity (kerahasiaan identitas) Anonimity merupakan etika penelitian dimana peneliti tidak mencantumkan nama responden dan tanda tangan pada lembar alat ukur, tetapi hanya menuliskan nomor responden pada lembar pengumpulan data. 3. Confidentiality (kerahasiaan informasi) Peneliti menjamin kerahasiaan hasil penelitian baik informasi atau masalah lain yang menyangkut privacy klien. Hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, komunikasi terapeutik dan tingkat kecemasan pasien. BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Analisa Univariat Hasil analisa univariat dalam penelitian ini terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, komunikasi terapeutik, dan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. 1. Usia Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Tahun 2015 (n =30) Usia (Tahun) Jumlah (n) Persentase (%) > 45 10 33,3% 31 – 45 14 46,7% 21 – 30 6 20,0% Jumlah 30 100% Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa usia responden paling banyak adalah 31 – 45 tahun sejumlah 14 orang (46,7%) dan usia paling sedikit adalah 21 – 30 tahun sejumlah 6 orang (20,0%). 2. Jenis Kelamin Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Tahun 2015 (n =30) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Jumlah (n) 11 Persentase (%) 36,7% 19 63,3% 30 100,0% Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa jenis kelamin paling banyak adalah perempuan sejumlah 19 orang (63,3%). 3. Pendidikan Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Tahun 2015 (n =30) Pendidikan Perguruan Tinggi Jumlah (n) 4 Persentase (%) 13,4% SMA 9 30,0% SMP 7 23,3% SD 10 33,3% Jumlah 30 100,0% Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa pendidikan paling banyak adalah SD sejumlah 10 orang (33,3%) dan paling sedikit perguruan tinggi sejumlah 4 orang (13,4%). 4. Pekerjaan Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan Di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Tahun 2015 (n =30) Pekerjaan PNS Jumlah (n) 6 Persentase (%) 20,0% Swasta 10 33,3% Wiraswasta 14 46,7% Jumlah 30 100,0% Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa pekerjaa paling banyak adalah wiraswasta sejumlah 14 orang (46,7%) dan paling sedikit adalah PNS sejumlah 6 orang (20,0%). 5. Komunikasi Terapeutik Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Komunikasi Terapeutik Di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Tahun 2015 (n=30) Komunikasi Terapeutik Baik Jumlah (n) 20 Persentase (%) 66,7% Cukup 10 33,3% Kurang 0 0% Jumlah 30 100,0% Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa kumunikasi terapeutik perawat baik yaitu sebanyak 20 orang (66,7%). 6. Tingkat Kecemasan Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan Di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Tahun 2015 (n =30) Tingkat Kecemasan Tidak Ada Kecemasan Jumlah (n) 13 Persentase (%) 43,3% Kecemasan Ringan 17 56,7% Kecemasan Sedang 0 0% Kecemasan Berat 0 0% Jumlah 30 100,0% Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa tingkat kecemasan pasien paling banyak adalah tingkat kecemasan ringan sejumlah 17 orang (56,7%). 4.1.2 Analisis Bivariat Tabel 4.7 Hubungan Antara Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Tahun 2015 (n=30) Tingkat Kecemasan Komunikasi Jumlah X2 p-value Tidak Terapeutik Ringan Sedang Berat Ada 0 0 0 0 0 (0%) (0%) (0%) (0%) (0%) 1 9 0 0 10 (3,3%) (30,0%) (0%) (0%) (33,3%) 12 8 0 0 20 (40,0%) (26,7%) (0%) (0%) (66,7%) 13 17 0 0 30 (43,3%) (56,7%) (0%) (0%) (100%) Kurang Cukup 6,787 Baik Jumlah Hasil perhitungan pada Tabel 4.7 diketahui bahwa komunikasi terapeutik perawat pada pasien pre operasi kategori baik dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo kategori tidak ada gejala sebanyak 1 orang (3,3%) sedangkan kategori ringan sebanyak 9 orang (30,0%) dan komunikasi terapeutik perawat pada pasien pre operasi kategori cukup dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo kategori tidak ada gejala sebanyak 12 orang (40,0%) sedangkan kategori ringan sebanyak 8 orang (26,7%). 0,009 Hasil analisis chi-square (χ2) dapat diketahui p value 0,009 < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima artinya ada hubungan yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. BAB V PEMBAHASAN 5.1 Komunikasi Terapeutik Perawat pada Pasien Pre Operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Hasil penelitian tentang komunikasi terapeutik perawat pada pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo dominan kategori baik yaitu sebesar 66,7%. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan secara sadar, tujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan klien (Ina & Wahyu, 2010). Komunikasi terapeutik dikatakan baik bila perawat bekerja sama dengan pasien mendiskusikan tentang masalah yang sedang dihadapi untuk pencapaian tujuan tindakan keperawatan, perawat memberi informasi tentang tindakan keperawatan yang akan dilakukan dan melakukan evaluasi hasil tindakan keperawatan terhadap pasien (Setiowati, 2012). Hasil penelitian yang mendukung dilakukan oleh Khotimah (2010) menyatakan bahwa dari 96 responden mengatakan komunikasi terapeutik baik sebanyak 70 orang (72,9%). Komunikasi sangat penting khususnya komunikasi antara perawat – klien dimana dalam komunikasi ini perawat dapat menemukan beberapa solusi dari permasalahan yang sedang dialami klien (Suryani, 2005). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat mengucap salam dan tersenyum saat menemui pasien sebanyak 22 orang (73,3%), perawat menyampaikan pesan dengan jelas dan mudah dipahami sebanyak 20 orang (66,6%) dan pada tahap terminasi perawat mengucap salam perpisahan sebanyak 21 orang (70%). Pernyataan ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tahapan komunikasi terapeutik berdasarkan fase preinteraksi meliputi tahap orientasi perawat mengucap salam, memperkenalkan diri, menanyakan kabar, menunjukkan sikap siap membantu. Tahap kerja perawat menanyakan keluhan, mendengarkan dan menanggapi keluhan pasien, menyampaikan pesan dengan jelas dan mudah dipahami, menggunakan nada suara lembut. Tahap terminasi perawat mengucap salam perpisahan, membuat kontrak waktu, mengevaluasi respon pasien (Damayanti, 2008). Penelitian ini sejalan dengan penelitiannya Priscylia (2014) menunjukkan bahwa pada fase kerja adalah baik sebanyak 60 orang (89,6%). Hal ini terjadi karena pada fase kerja perawat – pasien memiliki waktu bertatap muka lebih lama dan perawat mendengarkan secara aktif dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu pasien untuk Pasien Pre mendefinisikan masalah kesehatannya. 5.2 Tingkat Kecemasan pada Operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Hasil penelitian tentang tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo dominan kategori ringan yaitu sebesar 56,7%. Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam (Hawari, 2008). Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kecemasan seperti bunyi peralatan yang bervariasi, kondisi pasien yang harus ditinggal sendiri tanpa ditemani keluarga. Gejala yang sering muncul pada respon kecemasan adalah munculnya perasaan cemas yang diiringi gejala gangguan tidur (Edy & Nurkholis, 2008). Kecemasan terjadi karena cemas di jadikan sebagai stressor yang merupakaan perasaan takut seseorang terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang secara subjektif di alami dan di komunikasikan secara interpersonal (Agustin, 2009). Manifestasi kecemasan yang dapat muncul seperti sulit tidur, dada berdebar – debar, tubuh berkeringat meskipun tidak gerah, tubuh panas atau dingin, sakit kepala, otot tegang atau kaku, sakit perut, terengah – engah atau sesak nafas (Smeltzer & Bare, 2000). Berdasarkan hasil penelitian Arifah (2012) menunjukkan bahwa kecemasan ringan sebanyak 21 orang (46,7%) sebelum pemberian informasi tentang persiapan operasi. Operasi mengakibatkan rasa cemas dengan penyebab yang berbeda – beda yaitu khawatir tidak tahan nyeri, bingung akan perawatan luka, khawatir luka tidak sembuh, takut bagaimana nanti di kamar operasi. Pernyataan ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa operasi akan mengakibatkan rasa cemas karena kaitan dengan takut akan sesuatu yang belum diketahui, nyeri, perubahan citra tubuh, perubahan fungsi tubuh, kehilangan kendali, dan kematian (Baradero, 2008). 5.3 Hubungan Antara Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Soesanto (2008) bahwa komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam proses pemberian asuhan keperawatan. Komunikasi yang terjalin baik akan menimbulkan rasa kepercayaan sehingga terjadi hubungan yang hangat dan mendalam. Tujuan komunikasi terapeutik adalah membantu pasien untuk memperjelas, mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan (Nurjanah, 2001). Untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien perlu ditekankan bahwa kesan lahiriah perawat mampu berbicara banyak, baik mulai profil tubuh atau wajah terutama senyum yang tulus dari perawat, kerapian berbusana, sikap yang familiar dan yang paling penting adalah cara berbicara ( Dewi, 2007). Berdasarkan penelitian Mulyani (2008) bahwa penurunan kecemasan saat pretest ke posttest pada kelompok perlakuan membuktikan bahwa komunikasi dan hubungan terapeutik perawat – klien mampu menurunkan kecemasan klien. Komunikasi dan hubungan terapeutik yang terbina antara perawat dan klien dapat membantu menurunkan kecemasan klien karena klien dapat mengeksplorasikan perasaannya, menceritakan ketakutan, kekhawatirannya menghadapi situasi tersebut dan mendapatkan solusi serta pengetahuan yang diperlukan. Hasil penelitian lain yang mendukung dilakukan oleh Arifah (2012) dengan jumlah sampel 40 orang. Menyatakan ada pengaruh yang kuat dan signifikan mengenai pemberian informasi tentang persiapan operasi dengan pendekatan komunikasi terapeutik terhadap tingkatt kecemasan pasien pre operasi di ruang Bougenville RSUD Sleman. Komunikasi terapeutik dapat menurunkan kecemasan pasien, karena pasien merasa bahwa interaksinya dengan perawat merupakan kesempatan untuk berbagi pengetahuan, perasaan dan informasi dalam rangka mencapai tujuan keperawatan yang optimal, sehingga proses pelaksanaan operasi dapat berjalan lancar tanpa adanya kendala (Siti & Ida, 2012). Melalui komunikasi dan hubungan terapeutik klien biasa memahami dan menerima kondisinya sehingga kecemasan klien menurun dan mampu membuat klien menerima sakitnya (Ira, 2008). BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah : 1. Komunikasi terapeutik perawat pada pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo paling banyak kategori baik yaitu sebanyak 20 orang (66,7%). 2. Tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo paling banyak kategori ringan yaitu sebanyak 17 orang (56,7%). 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo dengan p value 0,009. 6.2 Saran Adanya berbagai keterbatasan dan kekurangan dari penelitian ini, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Perawat perlu meningkatkan lagi komunikasi terapeutik terutama dalam pemberian informasi tentang pra bedah pada pasien yang menghadapi operasi. 2 Diharapkan perawat selalu menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik seperti menayakan keluhan yang dialami pasien, bahasa dalam menyampaikan pesan perawat mudah dipahami, dan perawat memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan permasalahan yang dirasakan supaya tidak ada kecemasan pasien sebelum dilakukan tindakan keperawatan terutama tindakan operasi. 3. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian tentang faktor pendidikan, umur, dan jenis kelamin yang mempengaruhi kecemasan serta dengan metode lain atau metode kualitatif agar dapat menggali lebih dalam tentang kecemasan yang di alami pasien pre operasi. DAFTAR PUSTAKA Agustin, I. M. (2009). Hubungan Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Rawat Inap di BP RSUD Kebumen. Ilmiah Kesehatan Keperawatan. 5, 143 – 152 . Anas, Tamsuri. (2005). Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta: EGC. Arifah, S & Nuriala, I. (2012). Pengaruh Pemberian Informasi Tentang Persiapan Operasi Dengan Pendekatan Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di Ruang Bougenville RSUD Sleman. Jurnal Kebidanan. IV, 140 – 219. Arwani. (2003). Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta: EGC. Baradero,M., Dayrit, M.W., Siswadi, Y., Ariani, F., Ester, M. (2008). Keperawatan Perioperatif : Prinsip dan Praktik. Jakarta : EGC. Behavior modification. (2010). Diakses 14 Desember 2014, http://dhanwaode.wordpress.com/2010/10/09/komunikasi-dalam-prosespembangunan-dalam-proses-keperawatan. Behavior modification. (2013). Diakses 16 Desember 2014, http://abangsahar.blogspot.com/2013/01/makalah-komunikasi-terapeutik.html Christianawati, D. (2007). Hubungan Komunikasi Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Dalam Menghadapi Tindakan Keperawatan di Ruang Inap RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Universitas Diponegoro Semarang. Damayanti, M.N. (2008). Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Dongoes. (2006). Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri. Jakarta: EGC. Ernawati, D. (2009). Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media. Hawari. (2008). Manajemen Stress Cemas dan Depresi. Jakarta: FKUI. Hidayat, A.A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Ina, Wahyu. (2010). Asuhan Keperawatan Jiwa.Jogjakarta: Nuha Medika. Indrawati, T.,Sujianto, U., Uripni, C.L. (2003). Komunikasi Kebidanan. Jakarta: EGC. Khotimah, N., Marsito., Iswati, N. (2010). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Kepuasan Pelayanan Keperawatan di Ruang Inayah RS PKU Muhammadiyah Gombong. Ilmiah Kesehatan Keperawatan. 8, 73 – 77. Mubarak, W.I, Sajidin , M., Muhith, A., Nasir, A. (2009). Komunikasi Dalam Keperawatan dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika. Mulyani, S., Paramastri, I., Priyanto, M.A. (2008). Komunikasi dan Hubungan Terapeutik Perawat-Klien Terhadap kecemasan Pra Bedah Mayor. Berita Kedokteran Masyarakat. 24, 151-155. Nurjanah. (2001). Komunikasi Keperawatan : Dasar – Dasar Komunukasi Bagi Perawat. Cetakan : 1. Yogyakarta : Moco Medika. Nursalam. (2008). Konsep dan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika. Priscylia, A.C.R., Linnie, P., Rivelino, S.H. (2014). Hubungan Komunkasi Terapeutik Perawat Dengan Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap Iriani A RSUP PROF.DR.R.D.KANDOU MANADO. Universitas Sam Ratulangi Manado. Saryono. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia. Setiowati, S., Aida, R., Zulfa, Atabaki. (2012). Gambaran Tahapan Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap Pasien RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan. Smeltzer, S.C., Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Terjemahan). Jakarta: EGC. Soesanto, E., Nurkholis. (2008). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Kecemasan Pasien Gangguan Kardiovaskuler Yang Pertama Kali di Rawat di Intensive Coronary Care Unit RSU Tugurejo Semarang. Jurna Keperawatan . 1 – 11. Stuart, W.G. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Sugiyono. (2007). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suryani. (2005). Komunikasi Terapeutik : Teori dan Praktik. Cetakan : 1. Jakarta : EGC Tomb, D.A. (2004). Buku Saku Psikiatri. Jakarta: EGC. Wahyu. (2006). Hubungan Pengetahuan Komunikasi Terapeutik Terfadap Kemampuan Komunikasi Perawat Dalam Melaksanakan Asuhan Kepeerawatan di RS Elisabrth Purwokerto. Jurnal Keperawatan Soedirman. 01, 53-60.