gambus sebagai subkultur musikal religius

advertisement
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR
MUSIKAL RELIGIUS
STUDI KASUS PRAKSIS GAMBUS KELOMPOK “AL-ASYIK”
AMBULU, JEMBER - JAWA TIMUR
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora
(M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Nur Imroatus Sholikhah
NIM: 036322001
MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR
MUSIKAL RELIGIUS
STUDI KASUS PRAKSIS GAMBUS KELOMPOK “AL-ASYIK”
AMBULU, JEMBER - JAWA TIMUR
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora
(M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Nur Imroatus Sholikhah
NIM: 036322001
MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Gambus Sebagai Subkultur
Musikal Religius: Studi Kasus Praksis Gambus Kelompok Al-Asyik Ambulu,
Jember-Jawa Timur” merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Di
dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya
sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah
sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MOTTO
Karena sesungguhnya beserta kesulitan ada
kemudahan.
Sungguh, beserta kesulitan ada kemudahan.
(Q.S. Alam Nasyrah: 5-6)
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERSEMBAHAN
Untuk
Mas
Kiki,
Zeta
dan
Nashwa.
Terimakasih
untuk
kebaikan
kalian menciptakan banyak energi
yang membuatku tidak berhenti
berusaha
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Saya sempat merasa menulis tesis merupakan “kutukan” dalam hidup
saya. Tidak ada kata lain yang melingkupi proses tersebut selain susah dan susah
banget. Kalau banyak teman berseloroh saya mencari hiburan dengan “membuat
anak”, itu ada benarnya juga. Meskipun banyak teman yang juga memaklumi
lamanya saya bikin tesis, ya salah satunya karena urusan anak. Akan tetapi, saya
juga perlu meyakinkan bahwa “hiburan dan anak” berbeda urusan denga n
kesusahan saya mengurusi “kutukan” menulis tesis.
Kesusahan pertama jelas pada kemampuan menulis dan membaca teks.
Saya baru yakin kalau S-1 saya betul-betul “gagal” ketika dihadapkan dengan
kenyataan kalau saya tidak bisa menulis sesuai dengan kaidah dan membaca
sesuai maksud. Kesusahan kedua pada kepercayaan diri saya untuk yakin
memakai pendekatan-pendekatan yang ditawarkan IRB. Saya sudah terlanjur
percaya bahwa membuat tulisan itu intinya setuju atau menolak, mendukung atau
mengkritik, deskriptif analisis atau eksplorasi deskriptif. Hingga IRB “memberi
tahu” bahwa tidak perlu setuju atau menolak kalau yang diperlukan cuma
merasakan; merasakan hidup itu memang hidup (kaya iklan, he) dan dapat
dihidupi, bukan sekadar mekanisme dalam sistem.
Untungnya Pak Nardi meyakinkan bahwa meskipun suasana membuat
tesis di IRB terlihat “mengerikan”, tapi stafnya seperti flower in the desert, yang
membuat saya betah. Terutama ketika Pak Nardi sudi menjadi guru belajar tata
bahasa hingga menjadi tempat curhat masalah rumah tangga; Romo Banar yang
selalu siap menjadi “DPR”. Pak Budiawan yang pasti sudi mengingatkan berbagai
keteledoran. Mbak Hengki yang selalu siap ditanya-tanya soal kemungkinan
dimaafkan dari berbagai kelalaian prosedur. Yang lebih menguntungkan lagi, IRB
membuat saya berjodoh dengan Pak Johan yang selalu meng-update dunia
musiknya. Di dalam bimbingan Pak Nardi dan Pak Johan, saya yakin kalau tema
gambus lebih masuk akal bagi saya dari pada tema-tema yang membuat saya
pura-pura mengalaminya.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berkah lain saya dapatkan dari teman-teman IRB dan keluarga.
Perempuan-perempuan IRB yang “tahan banting”: mbak Ntis dengan segala
kebaikan dan waktunya menemani proses berburu demi memenuhi berbagai
keperluan tesis dan juga yang tidak terkait dengannya; Mbak Melati dan Mas
Woody, kalau gak ada kalian, saya jamin gak akan ada bunyi musik dalam tesis
saya; Izzah yang selalu rela berlama- lama mendengarkan teori-teori sok tahu saya.
Teman-teman kelas: Pak Toto yang selalu percaya saya bisa nulis; Yus yang
dengan caranya meyakinkan saya kalau musik bukan hal yang rumit; Ferdi yang
memberikan suasana hidup baru bagi “kekuperanku”. Juga adik dan kakak kelas:
Mbak Devi, Linda, Yustina, Wahyudi, Mbak Yeni, dan teman-teman lain yang
tidak dapat saya sebut di sini. Di samping itu, keluarga Jember yang selalu
percaya saya sedang melakukan hal baik dan mendukung dengan ikut- ikutan
membantu mengumpulkan data.
Dengan semua itu, saya yakin bahwa saya sedang menjalani tantangan,
bukan “kutukan”. Tantangan yang hasilnya saya dedikasikan sepenuhnya untuk
kelompok Al-Asyik Ambulu. Terima kasih telah mengajarkan saya arti
“negosiasi” dan asyiknya menjadi orang biasa.
Nur Imroatus S
Januari 2008
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Memahami Al-Asyik sebagai subkultur musikal religius membutuhkan
tiga hal: pertama, memahami Al-Asyik sebagai bagian dari pembentuk musik;
kedua, memahami musik gambus sebagai cara pemain menghidupi bentuk
musiknya; ketiga, memahami bahwa dalam praktiknya, bentuk gambus yang
dihidupi pemain tidak pernah benar-benar otonom. Ketiga pemahaman tersebut
dapat dipakai untuk memahami, mengapa bentuk pertunjukan gambus Al- Asyik
disebut religius di Ambulu? Dan, apa pentingnya hal itu bagi kelangsungan hidup
bermasyarakat pemainnya?
Gambus disebut religius di Ambulu melalui penilaian dalam mekanisme
budaya musikal religius. Dalam medan gambus, penilaian berasal dari ruang
religius dan ruang musikal. Ruang religius merupakan arena perebutan legitimasi
religius dan ruang musikal merupakan arena perebutan legitimasi musikal.
Legitimasi religius di Ambulu didistorsi melalui pemaknaan simbol-simbol
religius, antara lain: masjid, pengajian dan musholla. Simbol-simbol tersebut
secara dinamis membentuk stuktur bahasa religius yang dipakai sebagai media
komunikasi bagi “suara-suara” religius. Sedangkan, legitimasi musikal
dipengaruhi oleh persaingan antara bentuk-bentuk musik ruang religius dengan
bentuk-bentuk musik yang disediakan oleh industri musik religius tradisi. Untuk
dapat mengakses bahasa ruang, pemain harus “peka” dengan bentuk-bentuk yang
disediakan setiap ruang.
Bentuk yang diapropriasi pemain dari ruang religius adalah ja’fin.
Sedangkan, bentuk yang diapropriasi dari ruang musikal, secara khusus, berasal
dari kelompok gambus Balassyik, dalam bentuk sarah dan baladian. Hanya
dengan menghidupi ja’fin, bentuk gambus pemain telah dinilai religius. Akan
tetapi, habitus dan modal pemain sebagai pemain hadrah dan pemain band,
membuat mereka merasa perlu bersaing dengan Balassyik. Persaingan tersebut
menghasilkan empat bentuk gambus: pop ja’fin, sarah, baladian, dan dhaifah.
Akan tetapi, bentuk tersebut justru memposisikan “suara” Al- Asyik
sebagai suara “bising”; suara yang tidak dapat dipakai untuk berkomunikasi
dengan medan gambus religius. Suara yang bahkan diragukan legitimasi
religiusnya. Di sisi lain, “suara” tersebut dihidupi sebagai artikulasi kombinasi
habitus dengan modal pemain. “suara” tersebut adalah identitas Al-Asyik. Pada
posisi ini, identitas Al-Asyik direposisi agar dikenali oleh legitimasi lainnya.
Identitas tersebut juga membawa mereka melakukan reposisi dalam ruang religius
dan ruang musikal. Lebih jauh, mereka juga mereposisi statusnya. Artinya, AlAsyik secara sadar tidak sedang ingin bersuara melalui bahasa medan gambus
mainstream. Mereka bahkan mengusahakan medannya sendiri.
Key words: gambus, subkultur, budaya musikal religius.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERNYATAAN
MOTTO
PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI
Hal
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Signifikansi Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
1. Kajian Musik Gambus
2. Berbagai Kajian Musik
1
4
5
5
6
10
BAB II
SOSIOLOGI BUDAYA MUSIKAL
A. Musik Sebagai Mentalitas (Music as Mentality)
B. Budaya Musikal
1. Budaya dan Subkulturnya
2. Subkultur Musikal
C. Kesimpulan
D. Metode Penelitian
a. Observasi Awal
b. Pengumpulan Data
c. Analisis Data
17
18
21
22
30
33
35
35
36
38
BAB III
MEDAN GAMBUS AL-ASYIK
A. Ruang Religius
1. Masjid Besar Sebagai Ruang Distorsif
2. Jamaah Pengajian Sebagai Ruang Intensional
3. Musholla Sebagai Ruang “Bahasa”
B. Ruang Musikal
C. Kesimpulan
40
42
42
48
52
54
68
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
GAMBUS SEBAGAI BUDAYA MUSIKAL RELIGIUS
A. Ja’fin: Awal perjumpaan
B. Sarah dan Baladian: Musik Religius, Selera Komersil
C. Dhaifah: Akhir Perjalanan?
D. Kesimpulan
70
70
75
83
90
BAB V
IDENTITAS GAMBUS AL-ASYIK
A. Identitas Religius Sebagai Konsistensi
B. Identitas Musikal Sebagai Cara Bersaing
C. Subkultur Sebagai Reposisi Identitas
1. Reposisi Religiusitas
2. Reposisi Musikal
3. Reposisi Status
92
92
98
106
108
112
114
BAB VI
KESIMPULAN
117
Daftar Pustaka
Lampiran
1. Data Diri Pemain
2. Kuesioner
3. Daftar Peta
121
123
131
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Musik merupakan salah satu cara mengenali masyarakat1 . Model interaksi yang
sedang dihidupi oleh seseorang atau kelompok tertentu dapat dilihat dari cara
menghidupi musiknya. Salah satu contoh menghidupi musik di Indonesia adalah
kasus “perebutan dangdut” antara Inul dengan Rhoma Irama. “Perebutan” yang
ditekankan justru bukan berasal dari musikalitas, melainkan bentuk ekspresi.
Rhoma mengklaim dangdut yang “benar” adalah dangdut yang diusahakannya 2 .
Sedangkan, Inul (yang didukung oleh media) merasa bahwa dangdut adalah seni,
siapa saja boleh berkreasi atasnya.
Musik pada posisi ini merupakan arena perebutan makna. Pada akhirnya,
suatu jenis musik “harus siap” dimaknai oleh pendukungnya. Hampir tidak ada
satu jenis musik pun yang bebas dari jaring pemaknaan. Apa yang disebut sebagai
musik perjuangan, musik rohani, musik tradisi, musik religius, musik setan, dan
sebagainya, merupakan beberapa contoh musik yang dimaknai. Melalui
pemaknaan inilah orang dapat mengenali perbedaan satu jenis musik dengan
musik lainnya.
1
Dikutip dari pernyataan Dasilva, dkk: “... we understand something social about a group or
society by the way that music is lived, by the way it supports and influence lives within that
society”. Lihat, Fabio Dasilva, dkk, The Sociology of Music, halm: 1
2
Dalam wawancara dengan Tabloid Nova, Rhoma memposisikan dirinya sebagai “representasi
dangdut yang sebenarnya”. Ia mengatakan, “Saya sejak dulu susah payah membangun dangdut
dari yang tadinya tingkatan becek, sampai sekarang ini bisa di tengah, dan sekarang jadi
primadona. Tiba-tiba, kok, ada pendatang baru yang mencemarkan”. Lihat, www.tabloidnova.com.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada prosesnya, pemaknaan yang ada pada suatu jenis musik tidak hanya
dipakai sebagai pembeda dengan jenis musik lainnya, tapi juga menjadi pembeda
dengan pemaknaan lain yang ada pada jenis musik yang sama. Dangdut Inul
Daratista dan dangdut Rhoma Irama “berkonflik” kurang lebih pada makna
dangdut sebagai musik khas Indonesia. Apa yang khas menurut Inul berbeda
makna dengan Rhoma. Dengan kata lain, pembedaan yang melingkupi wilayah
musik merupakan cara orang mengekspresikan pengalamannya memaknai musik.
Pada kasus musik yang dimaknai sebagai musik religius, orang tidak
banyak memiliki pengalaman mempersoalkan musik jenis apa yang dapat
dimaknai religius. Secara khusus, pengalaman pemaknaan musik religius
diperoleh dari “perdebatan” mengenai sejauh mana jenis musik tertentu
menunjukkan makna religius. Misalnya saja, kelompok band Gigi yang “tiba-tiba”
dipercaya sebagai salah satu kelompok band religius dan mengeluarkan album
religius. Hal yang sama juga terjadi pada band Ungu dan juga Inul dengan album
“Inul Religius”. Padahal, sekitar 15 tahun lalu sebagian besar orang masih
meyakini Nasida Ria dan Bimbo sebagai “biang” artis musik religius.
Contoh fenomena musik religius di atas banyak terjadi pada ragam musik
industri. Dalam ragam musik tradisi, terutama tradisi Islam, sebutan musik
religius hampir selalu melekat pada jenis musik tertentu, misalnya: hadrah,
samroh (qasidah), diba’ (barjanji), saman, gambus, dan sebagainya. Makna dan
pertunjukannya pun memiliki pola dan bentuk yang relatif mapan. Pada kasus
musik gambus, umumnya orang memiliki pemaknaan yang hampir sama tentang
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
religiusitas gambus; musik ala padang pasir, dimainkan oleh orang-orang
keturunan Arab dengan kostum jubah putih (gamis) dan syair bahasa Arab.
Akan tetapi, penilaian seperti itu pudar kalau orang menyaksikan salah
satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok
musik gambus pada umumnya yang dimainkan oleh keturunan Arab, seluruh
pemain Al- Asyik adalah remaja keturunan Jawa. Beberapa dari pemain terlihat
menggunakan kemeja dan celana panjang seperti hendak nongkrong di
poskamling. Sebagian dari mereka terlihat ada juga yang menggunakan peci. Alat
musik yang dipakai pun tidak hanya berupa marwas dan gitar gambus, tapi juga
keyboard, bass, biola, gitar rythm, drum dan juga tamborin. Tariannya tidak
banyak berbeda dengan tarian dangdut. Bagi orang yang belum mengenal gambus,
kemungkinan besar tidak akan menduga kalau pertunjukan tersebut adalah
pertunjukan musik religius. Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa Arab
(pop Timur Tengah).
Fenomena Al- Asyik bisa saja memunculkan pertanyaan; Apakah musik
gambus semacam ini masih bisa disebut musik religius? 3 Atau, benarkah generasi
muda Islam tidak mampu lagi menampilkan musik religius dengan cara yang
Islami? Akan tetapi, keprihatinan semacam ini umumnya didasari pada pencarian
“doktrin” mengenai apa yang disebut musik religius 4 . Jika hal tersebut dilakukan
3
Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan seorang musikus yang telah mapan (menurut tulisan
tersebut) kepada Gus Dur, ketika melihat fenomena musik-musik religius di televisi, yang
menurutnya bermutu rendah. Ia mengatakan, “Benarkah yang dituju adalah seni ‘musik agama
yang akan membawa kepada kesadaran orang dan menyentuh getaran rasa kebesaran Tuhan’?
Kalau benar itu yang dituju, dengan kualitas seperti itu, apa bukan sebaliknya yang terjadi?”.
Lihat, Abdurrahman Wahid, Qasidah dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela, halm: 30.
4
Yusuf Al-Qardlawi melakukan rumusan teologis (doktrin) mengenai fiqh musik dan lagu. Dalam
rumusan tersebut Ia menunjukkan ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi yang membolehkan dan
melarang “bentuk” seni musik. Secara umum kajiannya merujuk pada fungsi musik dan lagu
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk memaknai bentuk musik Al-Asyik, tentu akan sangat menyederhanakan.
Lebih jauh, penilaian semacam itu tidak dapat dipakai memahami bahwa setiap
jenis musik memiliki peluang disebut sebagai musik religius dan masyarakat
memiliki kemungkinan untuk memilih bentuk musik religiusnya.
Tesis ini meneliti kelompok gambus Al- Asyik terutama karena mereka
menunjukkan peluang untuk memberi “bentuk” lain pada pertunjukan musik
gambus. Peluang-peluang inilah yang akan mengantarkan penelitian ini pada
pemahaman konteks yang menciptakan peluang tersebut. Lebih jauh, memahami
masyarakat yang mengusahakan peluang tersebut.
B. Rumusan Masalah
Ketertarikan tesis ini pada kelompok Al- Asyik didasari oleh cara orang atau
kelompok memiliki keputusan membentuk pengalaman kereligiusannya sendiri
melalui bentuk musik gambus yang dimainkannya. Sekaligus, tertarik dengan
musik gambus yang menyediakan ruang bagi kelompok Al-Asyik memutuskan
bentuk pertunjukannya sendiri. Akan tetapi, kedua ketertarikan tersebut hanya
dapat ditunjukkan melalui bentuk gambus yang dihidupi oleh Al-Asyik. Oleh
sebab itu, tesis ini perlu merumuskan hal- hal apa saja yang memungkinkan AlAsyik dapat menghidupi bentuk gambus tertentu. Rumusan tersebut adalah:
sebagai alat untuk meningkatkan ketaqwaan, lebih pada deskripsi lirik. Secara khusus, dalam akhir
pemaparan, Ia menentukan bentuk-bentuk musik yang dihidupi sebagai musik “religius” dalam
realitas kaum muslimin (muslim?), antara lain: Pembacaan Al-Quran dengan tartil (dengan lagu)
yang dilantunkan oleh sebagus-bagus suara (qari’); Adzan yang dikumandangkan dengan suara
yang membuat pendengarnya suka; ibtihalat ad-diniyah (syair-syair permohonan); puji-pujian
terhadap Nabi dalan bentuk sholawat; dan Nasyid yang berisi nyanyian natural yang tumbuh dari
lingkungan masyarakat yang jauh dari unsur-unsur negatif. Lihat, Fiqh Musik dan Lagu:
Prespektif Al-Quran dan As-sunnah, halm: 196-197. Khusus mengenai Nasyid, Ia membahas
secara khusus daam buku lain yang berjudul Nasyid Vs Musik Jahiiyyah.
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Mengapa pertunjukan gambus Al-Asyik masih disebut pertunjukan musik
religius? Proses pemaknaan seperti apa yang terjadi di dalamnya?
2. Bentuk-bentuk gambus apa saja yang disedikan oleh kultur musikal religius
yang ada? Bagaimana bentuk tertentu dihidupi oleh Al- Asyik?
3. Bagaimana
Al-Asyik diposisikan dalam kultur musikal religius melalui
bentuk yang dihidupinya?
C. Signifikansi Penelitian
1. Pada umumnya penilaian terhadap musik cenderung stereotip. Dengan
penelitian ini, kita dapat menilai musik sebagai cara masyarakat memaknai
“hidupnya”. Artinya, alasan orang memilih musik tertentu tidak semata- mata
berdasarkan stereotip yang menempel pada suatu jenis musik.
2. Penelitian ini membantu memberikan cara pandang lain dalam menilai
masyarakat berdasarkan musik yang dihidupinya, atau sebaliknya.
3. Mengajak untuk lebih memperhatikan musik-musik yang kurang dikenal
seperti musik gambus, agar lebih banyak jenis musik yang dapat didengarkan.
D. Tinjauan Pustaka
Kegiatan meneliti pada dasarnya merupakan kegiatan yang akan menunjukkan
kekhasan “obyek” yang sedang diteliti. Menunjukkan kekhasan berarti juga
menunjukkan cara menunjukkan kekhasannya, cara mendekatinya. Orang dapat
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membedakan penelitian satu dengan penelitian lainnya, meskipun mungkin
obyeknya sama, salah satunya dari cara peneliti mendekati “obyeknya”.
Tinjauan pustaka, dalam tesis ini berguna untuk mengetahui sejauh mana
obyek yang sama didekati oleh para peneliti. Selain itu, tinjauan pustaka juga
berguna untuk melihat kemungkinan sebuah obyek dapat didekati dengan
pendekatan yang belum dipakai oleh peneliti lain. Oleh sebab itu, tinjauan pustaka
dalam tesis ini akan melihat penelitian tentang gambus yang pernah dilakukan
oleh peneliti lain dan melihat berbagai pendekatan yang dapat dipakai untuk
mendekati “obyek” musik.
1. Kajian Musik Gambus
Salah satu penelitian mengenai gambus di Indonesia dilakukan oleh Helene
Bouvier5 . Dalam salah satu subjudulnya, ia membuat kategori seni pertunjukan
masyarakat Madura yang disebut sebagai “Musik Religius”. Secara tegas, Bouvier
menyebut penelitiannya sebagai penelitian antropologis deskriptif analitis 6 . Ia
memfokuskan penelitiannya pada deskripsi bentuk pertunjukan yang secara umum
dapat dikenali, seperti: penggunaan alat musik, struktur panggung, kegunaan
pertunjukan dalam masyarakat, dan sebagainya. Analisis dibutuhkan untuk
memposikan pertunjukan tersebut dalam konteks masyarakat Madura.
Gambus merupakan salah satu dari berbagai jenis seni pertunjukan
musik religius yang hidup di Madura. Bouvier mendeskripsikan gambus mirip
5
6
Helene Bouvier, Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, 2002.
Ibid, halm: 2.
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan samman7 . Perbedaannya, pertunjukan gambus cenderung lebih ‘meriah’
daripada samman. Biasanya, selain mengandalkan gitar gambus dan marwas,
pertunjukan musik gambus juga disertai keyboard dan biola. Qasidah 8 yang
dinyanyikan tidak selalu berbahasa arab, tapi bisa juga bahasa Indonesia atau
bahasa Madura. Tariannya pun lebih dinamis dari pada samman. Jika samman
cenderung khusus untuk laki- laki dewasa, gambus dapat menyertakan anak-anak
usia tujuh tahun keatas.
Bouvier mengamati, tidak banyak kelompok musik gambus maupun
samman di Madura dibandingkan kelompok hadrah 9 . Selain membutuhkan
peralatan musik yang lebih banyak, alat musik gambus juga tidak banyak yang
dapat memainkannya. Bouvier tidak menyebutkan apakah hal itu terkait dengan
dominasi gambus dan samman yang dimainkan oleh ras keturunan Arab. Akan
tetapi, melalui data deskriptifnya, Bouvier mengamati bahwa seluruh kesenian
yang dikategorikan sebagai musik religius kecuali dangdut, intinya adalah
qasidah. Pembedaan tersebut berdasarkan pada pembedaan fungsi musikal;
apakah qasidah tersebut diiringi musik atau tidak, apakah ditarikan atau tidak,
7
Bouvier mendeskripsikan samman sebagai nyanyian yang berisikan ayat Al-Quran dan qasidah.
Dalam pelaksanaannya, samman kadang diiringi musik dan disertai tarian sederhana membentuk
lingkaran. Lirik yang digunakan berbahasa Arab dan sesekali diselingi bahasa Madura. Samman
lebih sering dipentaskan oleh masyarakat madura keturunan Arab dari kalangan kota. Ibid, halm:
210.
8
Bouvier mendefinisikan qasidah sebagai nyanyian pujian, kadangkala berbentuk do’a, atas
kebesaran Allah dan Nabi-nya dalam bahasa Arab. Ibid, halm: 208
9
Hadrah merupakan qasidah dengan iringan musik tabuh, dilakukan secara berkelompok dan
kadang disertai dengan gerakan tertentu. Alat musik yang populer digunakan dalam suatu
pertunjukan hadrah adalah rebana atau terbhang (sejenis tambur datar). Sekurang-kurangnya ada
lima rebana yang dibutuhkan oleh suatu kelompok hadrah dan masing-masing dipukul dengan
cara yang berbeda. Hadrah adalah kesenian khas laki-laki dan liriknya berbahasa Arab. Sehingga,
hadrah seringkali ditampilkan dalam acara-acara keagamaan karena nyaris tidak menimbulkan
perdebatan mengenai hubungan seni dan agama. Beberapa orang menjadikan hadrah sebagai salah
satu pekerjaan sampingan (semi-profesional). Ibid, halm: 210
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tercampur lagu- lagu ‘profan’ dalam bahasa Indonesia, Madura atau yang lainnya.
Dari kategori musikal dan kegunaan pertunjukan tersebut, Bouvier membuat
urutan musik religius yang ada di Madura. Urutan tersebut, yaitu: Diba’
10
,
Saman, Hadrah, Qasidah (samroh) 11 , gambus dan dangdut 12 .
Melalui deskripsi tersebut, Bouvier berhasil membuat identifikasi
musikalitas sekaligus fungsi musik religius dalam ritus kehidupan masyarakat
Madura. Akan tetapi, ia tidak menunjukkan (karena ia juga menghindari)
mengapa jenis-jenis musik tersebut diakui sebagai musik religius. Meskipun,
secara pribadi ia masih penasaran, karena baginya, musik- musik tersebut tidak
terasa religius sama sekali 13 .
Apa yang menjadi kegelisahan Bouvier, dilengkapi oleh Musmal dalam
tesisnya mengenai perkembanga n gambus di Sumatera Utara. Musmal berusaha
menunjukkan latar belakang (sejarah?) yang membuat gambus dikenal sebagai
musik religius di Sumatera Utara. Musmal menceritakan tentang ‘perjalanan’
musik gambus hingga diterima sebagai salah satu genre musik masyarakat Melayu
dimulai dengan mencari titik tengah dari berbagai argumentasi mengenai
10
Diba’ merupakan doa dan ayat Al-Quran yang dibacakan atau diucapkan secara lisan bergantian
dengan qasidah yang dinyanyikan tanpa tarian dan musik. Pembacaanya dilakukan oleh
perempuan secara berkelompok. Dalam praktiknya, diba’ bukanlah seni pertunjukan, sehingga
tidak mementingkan adanya penonton. Bouvier lebih menyebut diba’ sebagai ikrar keimanan
daripada sebagai kesenian. Oleh karena itu, kehadirannya seringkali dikaitkan dengan acara
keagamaan yang lebih privat sifatnya, seperti : pengajian mingguan atau arisan. Ibid, halm: 210.
11
Samroh atau yang pada umumnya dikenal sebagai qasidah (sebagai jenis musik) merupakan
kesenian yang paling populer dari beberapa jenis kesenian religius lainnya. Selain selalu diiringi
dengan alat musik, samroh juga menampilkan lagu ‘profan’ bertema moral dan jarang
menggunakan bahasa Arab. Kalau hadrah khas laki-laki, samroh khas perempuan. Oleh karena
itu, pertunjukan samroh seringkali dilakukan pada acara-acara pengajian atau arisan. Acara
keagamaan seperti Maulud Nabi atau Isra’ Mi’rad jarang menampilkan samroh karena masalah
hubungan “seni, perempuan dan agama” (salah satunya ‘aurat’ suara perempuan). Ibid, halm: 211
12
Ibid, halm : 210-211.
13
Ibid, halm: 230
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
‘pembawa’ musik gambus di Indonesia. Dari sana, Musmal sampai pada
kesimpulan bahwa gambus adalah manifestasi evolusi budaya 14 . Kesimpulan
tersebut menegaskan kontinuitas genre musik gambus di Sumatera Utara.
Berbagai kemungkinan seperti dinamika dan perkembangan masyarakat,
perkembangan seni pertunjukan di Medan, musisi dan komponis yang terkenal di
Medan sekaligus kebudayaan lokal dalam konteks nasional, dibahas dalam
tulisannya.
Selanjutnya, Musmal memaparkan urutan ‘bentuk’ 15 musik gambus yang
berkembang dalam tradisi musik Melayu. Penelitian Musmal, secara sederhana
memaparkan gambaran mengenai “seperti apa musik gambus itu?”. Secara
ringkas penelitian Musmal dapat dikatakan demikian: Musik gambus adalah
musik yang diiringi instrumen gitar gambus 16 dan gendang kecil dengan dua
permukaan (marwas), umumnya dimainkan oleh laki- laki dan pementasannya
dilakukan pada acara-acara keagamaan serta liriknya kebanyakan berbahasa Arab.
Akan tetapi, Musmal tidak banyak membicarakan posisi gambus sebagai
musik religius. Bahkan, cara Musmal mendeskripsikan gambus, seolah tidak ada
yang “hidup”. Semua sekuen kejadian dan data mengenai gambus seolah
berasumsi pertunjukan gambus adalah ragam hiburan yang menjadi salah satu
“kekayaan budaya” Nusantara.
14
Musmal, Gambus Sebagai Salah Satu Ekspresi Musik Rakyat Melayu di Sumatera Utara:
Kajian Perubahan dan Kontinuitas (tidak dipubikasikan), halm : 24.
15
‘Bentuk’ musik gambus dalam pemaparan Musmal me liputi, alat musik, pemain, momen
pelaksanaan, dan lirik. Lihat ibid, halm : 25-37
16
Dalam bahasa Inggris gitar gambus disamakan dengan lute dan dalam bahasa Arab dikenal
sebagai ‘Ud. Lihat ibid, halm : 25.
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Yang dilakukan Musmal tidak banyak membantu untuk menjawab
persoalan klarifikatif: Kapan suatu jenis musik “impor” seperti gambus dapat
dimaknai sebagai musik “kekayaan budaya” Indonesia?; Bagaimana dengan
musik RnB yang diimpor dari tradisi musik kulit hitam Amerika dan ternyata
hidup subur di Indonesia? Mengapa kita tidak mengenalnya sebagai musik
religius (Kristen) juga?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut lahir dari asumsi bahwa musik yang
berkembang sebagai bentuk ekspresi tidak lagi dapat dikategorisasi berdasarkan
reproduksi informasi lokasi kemunculannya. Musik mencakup banyak wilayah
dalam kehidupan manusia. Tidak mengherankan apabila kajian tentang musik
tidak terbatas dengan satu pendekatan saja.
2. Berbagai Kajian Musik
Pada latar belakang penelitian telah dijelaskan bahwa ketertarikan penulis pada
tema musik tidak semata- mata karena persoalan musikalitas gambus. Lebih jauh,
musik menjadi semacam “magnet” yang dapat membuat seseorang atau kelompok
masyarakat tertentu bersedia mendukungnya. Musik pada konteks ini dipakai
untuk menjelaskan masyarakat yang membuatnya memiliki pesona untuk dipilih.
Ada banyak pendekatan yang dapat melingkupi konteks tersebut. Salah
satunya pendekatan estestis atau estetika musik. Pendekatan ini membantu
memahami musik sampai pada tataran filosofis, yakni musik sebagai bentuk
pengetahuan. Dengan demikian, estetika musik bukanlah cara untuk menikmati
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keindahan musik, melainkan usaha untuk memahami persoalan keindahan dalam
musik.
Suka Harjana dalam buku Estetika Musik memaparkan berbagai
kemungkinan musik dan manusia ‘menghadirkan’ keindahan. Suka Harjana
menekankan bahwa keindahan musik bukanlah suatu kebutuhan manusia.
Keindahan musik adalah proses di mana manusia menyadari keindahan secara
rasional. Keindahan dalam musik mutlak hasil kerja manusia. 17 Yang dapat
dilakukan estetika adalah membawa persoalan musik pada rangkaian eksplorasi
filosofis tentang fakta keindahan musik. Fungsinya, untuk memuaskan kesadaran
manusia tentang esensi keindahan musik.
Cukup di situ yang dapat dilakukan estetika. Karena itulah, Suka Hardjana
berkali-kali mengatakan estetika musik hanya terlihat betul gunanya bagi
kehidupan manusia jika dilengkapi dengan pendekatan lain, seperti psikologi
musik, sosiologi musik, dan sebagainya. Karena, pemahaman tentang keindahan
musik pada akhirnya dipakai orang dalam komunikasi. Bagaimana komunikasi
tersebut berlangsung, tidak dapat dijelaskan secara estetis.
Pendekatan lain yang dapat dijadikan referensi kemungkinan besar adalah
psikologi. Psikologi musik pada umumnya berusaha untuk menjawab pertanyaan
mengenai musik kaitannya dengan emosi, terutama tentang bagaimana kerja
musik mempengaruhi perilaku manusia. Psikologi musik umumnya dipakai untuk
menghasilkan pengetahuan tentang musik yang dapat digunakan sebagai stimulan
(perangsang). Kaidah-kaidah dalam psikologi berguna dalam menganalisa
17
Suka Hardjana, Estetika Musik , halm: 40
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kecenderungan emosi manusia merespon bunyi. Dengan kata lain, perilaku
musikal dapat dijelaskan menggunakan pengetahuan tentang psikologi bunyi.
Akan tetapi, berbagai hasil penelitian dalam kajian psikologi terapan18
menemukan hal lain yang menentukan perilaku musikal seseorang selain
musikalitas. Perilaku musikal juga ditentukan oleh jenis kelamin, perangkat emosi
individu, gaya mendengarkan musik, perkembangan budaya, rasa musik, hingga
pendidikan19 . Oleh karena itu, David J. Hargreaves dan Adrian C. North
mengusulkan untuk mencermati praktik psikologi musik melalui buku yang
disuntingnya, The Social Psychology of Music.
Semua tulisan dalam buku
tersebut menjadi semacam “ensiklopedi” kondisi yang memungkinkan orang
memiliki sikap tertentu terhadap musik. Pemahaman tentang hal itu, diharapkan
dapat membuat kajian seputar psikologi musik dapat lebih terbuka pada berbagai
kemungkinan reaksi individu atas musik yang didengarnya. Singkatnya, psikologi
musik hanya mampu menunjukkan asumsi subyektif keterkaitan musik dengan
pendukungnya. Kaitannya dengan tesis ini, memahami masyarakat melalui musik
yang didukungnya memerlukan pendekatan yang dapat menjembatani psikologi
dengan konteks sosialnya.
Senada dengan David J. Hargreaves dan Adrian C. North, Fabio Dasilva dkk
mencoba menerangkan subyektivitas perilaku musikal melalui pendekatan
sosiologi. Dasilva mengawali bukunya, The Sociology of Music, dengan judul
Music as Mentality. Ia menekankan bahwa musik merupakan hal yang sangat
18
lihat Djohan, Psikologi Musik, halm: 4. Dalam buku ini Djohan memberikan deskripsi mengenai
tumbuh kembangnya psikologi musik sekaligus memberikan pemetaan mengenai kesejarahan
wacana psikologi musik sampai dengan aplikasinya.
19
Hargreaves, David J, The Social Psychology of Music, halm: 25-243
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
subyektif. Bahkan, definisi tentang musik sangat tergantung pada pengetahuan
yang mendefinisikan20 . Meskipun demikian, Dasilva menyadari bahwa penelitian
dalam sosiologi selama ini hanya dapat menjelaskan suatu obyek penelitian yang
dapat dibedakan dengan subyeknya.
Sosiologi dapat memahami “obyek” seperti musik hanya dengan meletakkan
musik sebagai bentuk sosialitas. Dasilva menyebutnya Music as Social.
Konsekuensinya, pendekatan sosiologi tidak banyak memberikan kontribusi pada
musikalitas, karena lebih menekankan pada masyarakat pendukung musik. Musik
diumpamakan sebagai cermin yang dapat memantulkan perilaku sosial
masyarakat21 . Musik merupakan salah satu cara bagaimana masyarakat membuat
pembedaan dengan masyarakat lainnya. Realitas sosial menurutnya dapat didekati
antara lain dari perilaku individu dalam masyarakat, perilaku musikal dan
sebagainya.
Apa kaitan antara musik sebagai mentalitas dengan musik sebagai sosialitas?
Pertanyaan tersebut dapat dicarikan jawabannya melalui sosiologi yang menyadari
bahwa hubungan sosial terjadi karena komunikasi terus menerus antara perilaku
individu dengan sistem sosialnya. Individu memiliki peluang membentuk sistem
sosial, demikian juga sebaliknya. Musik sebagai “selera” memang sangat
subyektif, tapi selera musik seseorang bukanlah selera yang muncul begitu saja. Ia
disediakan oleh masyarakatnya untuk dipilih. Individu sebagai anggota
masyarakat menent ukan pilihan berdasarkan pengalamannya bersosialisasi dalam
20
Fabio Dasilva, et al, The Sosiology of Music, University of Notre Dame press, Indiana : 1984,
halm: 1
21
Ibid, halm: 1
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbagai kondisi. Artinya, Music as Mentality merupakan ekspresi hubungan
sosial dalam musik.
Sederhananya, perilaku musikal syarat dengan asumsi keindahan bagi
pelakunya (subyektif). Akan tetapi, asumsi tentang keindahan musik sangat
tergantung siapa yang sedang dibicarakan22 dan sosialitasnya. Pada posisi ini,
perilaku musikal menjadi sangat obyektif. Mementaskan sebuah perilaku
musikal23 berarti mementaskan suatu ‘drama sosial’ 24 . Dengan demikian,
pendekatan yang dibutuhkan dalam tesis ini adalah pendekatan yang dapat
mewadahi asumsi-asumsi keindahan, pengalaman subyektif sekaligus sistem
sosial pembentuknya 25 .
22
Adorno membagi delapan tipikal pendengar musik. Pertama, pendengar ahli (the expert), yaitu
pendengar yang telah memiliki kemampuan memahami “bahasa” musik, termasuk orang yang
mempelajari musik. Kedua, pendengar yang baik (good listeners), yaitu orang yang mampu
mendengarkan musik lebih dari sekadar detil musikalnya, tapi juga mampu menentukan implikasi
struktur dan teknis musikal pada suatu kondisi tertentu secara rasional. Ketiga, pendengar yang
dekat dengan budaya konsumerisme (culture consumers) yang lebih memperhatikan performansi
pemain dari pada elemen musikalnya. Keempat, pendengar emosional (emotional listeners) yang
merujuk pada orang yang memiliki kecenderungan mendengarkan musik atas dasar emosi yang
dimunculkan oleh musik (mulai dari syair sampai dengan video clip). Kelima, pendengar yang
menilai musik pada implikasi buruknya saja (ressentiment listeners), terutama membenci berbagai
kejadian yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan musik atau tren musik tertentu. Keenam, pendengar
yang kurang lebih sama seperti ressentiment listeners, tapi lebih pada aliran musik kontemporer
seperti jazz. Ketujuh, pendengar yang menekankan musik pada sisi hiburan semata (entertainment
listeners) dan musik harus selalu mudah didengar dan bisa dijadikan teman bersantai. Kedelapan,
pendengar yang anti musik (unmusical dan antimusical, yakni pendengar yang memahami mu sik
secara berbeda. Ibid, halm: 67-68
23
Sehari-hari cukup dikenal dengan pentas musik.
24
Frase tersebut saya sarikan dari penjelasan Dasilva, dkk, “Meaning in music” (pemaknaan
wilayah musik). Akan tetapi, istilah tersebut hadir setelah Dasilva menyebut musik sebagai
ekspresi kenyataan sosial itu sendiri (music is social). Dengan kata lain, pemaknaan yang ada
dalam pementasan musik mengasumsikan kesadaran posisi pendukung musik akan perannya
masing-masing, seperti pada sebuah pementasan drama.
25
Grams ci memaknai hal ini sebagai dialektika. Hal ini diperlukan untuk tidak terjebak pada
bahaya formalisme, psikologisme, sosiologisme atau bentuk dogmatisme dan determininisme
lainnya. Karena praksis kemanusiaan bersifat dialektik, seni perlu merefleksikan kontradiksinya
dan pada saat yang sama merebut apa yang permanen dalam proses sejarah. Lihat, Mikhail
Liftschitz dan Leonardo salamini, Praksis Seni : Marx dan Gramsci, halm: 177-178
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Musik pada tesis ini tidak lagi dilihat sebagai ragam hiburan. Musik sarat
dengan tarik menarik kepentingan dan kontestasi pemaknaan. Musik dapat dipakai
sebagai cara melihat masyarakat mengekspresikan apa yang dipahaminya tentang
sistem sosialnya. Pada posisi ini, gambus sebagai musik religius dapat didekati
sebagai cara masyarakat Ambulu memaknai sistem religiusitasnya.
Dari sinilah, penelitian mengenai musik dapat menunjukkan bagaimana
pengetahuan mengenai pemaknaan suatu ekspresi musikal dapat dimiliki oleh
individu atau kelompok masyarakat. Konsekuensinya, suatu pertunjukan musik
adalah hasil dari “komunikasi” pengetahuan para pendukungnya. Dalam musik
gambus,
sekurangnya
ada
tiga
kelompok
pendukung
yang
akan
mengkomunikasikan pengetahuannya, yaitu: pengetahuan pemain, pengetahuan
penonton, dan pengetahuan penanggap. Setiap pengetahuan memiliki proses
pembentukan (proses budaya) masing- masing. Dengan kata lain, suatu
pertunjukan musik gambus adalah hasil dari persaingan budaya pemain, penonton
dan penanggap.
Lantas, pendekatan macam apa yang akan dipakai menjawab pertanyaan
penelitian? Pemaparan di atas sedikit banyak membantu dalam melihat posisi
gambus sebagai jenis musik sekaligus sebagai “aksi sosial”. Secara sederhana,
pendekatan
yang
memungkinkan
menjawab
pertanyaan
penelitian
ini
kemungkinan besar adalah Sosiologi Musik. Akan tetapi, sejauh mana Sosiologi
Musik dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian hanya dapat dilihat dari
kategori-kategori yang ditawarkan Sosiologi Musik kaitannya dengan konteks
gambus Al-Asyik. Bab selanjutnya akan melihat kemungkinan tersebut, sekaligus
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mencari bentuk metodologi yang tepat dalam memperoleh data dan menganalisa
data.
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
SOSIOLOGI BUDAYA MUSIKAL
Judul di atas dipakai sebagai salah satu kemungkinan membicarakan musik
melalui berbagai pendekatan, sekaligus memfokuskan tesis ini pada wacana yang
erat kaitannya dengan musik sebagai bagian dari cara hidup masyarakat. Dengan
kata lain, bab ini tidak bermaksud membatasi jenis pendekatan yang akan dipakai,
tapi lebih pada usaha merumuskan wacana tentang musik dalam sebuah
metodologi guna membantu menjawab rumusan masalah.
Sosiologi “diyakini” sebagai pendekatan yang memfokuskan kajiannya
pada pembentukan masyarakat. Sosiologi budaya musikal meletakkan musik
sebagai bagian dari cara masyarakat menunjukkan “bentuknya”. Hubungan musik
dan manusia dalam penelitian ini dipahami sebagai musik yang dihidupi oleh
masyarakatnya; praksis
musikal1 . Istilah budaya musikal dipakai untuk
“mengantisipasi” kemungkinan praksis musikal hadir sebagai entitas yang
memiliki mekanisme tertentu. Pada banyak kasus, praksis musikal erat kaitannya
dengan “politik representasi” 2 . Untuk itulah sosiologi dipilih sebagai salah satu
pendekatan (teoritis) yang dapat membuka peluang bagi munculnya berbagai
wacana sosial yang terlibat dalam mekanisme praksis musikal. Sederhananya,
1
Istilah praksis yang dipahami Bourdieu dianggap mewakili istilah musik yang dihidupi. Karena
praksis bukan sekadar praktik dari aktivitas sosial tertentu, tapi juga praktik cara hidup tertentu.
Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, halm: 5.
2
Pada pidato hari kemerdekaan tahun 1959, Sukarno menyatakan strategi politiknya dengan
mengusung jargon anti imperialisme, termasuk imperialisme budaya: ”... kenapa dikalangan
engkau najak jang tidak menentang imeperialisme kebudajaan? Kenapa dikalangan engkau banjak
yang masih rock-’n-roll –rock-’n-rollan, dansa-dansian a la cha-cha- cha, musik-musikan a la
ngak-ngik-ngek gila -gilaan, dan lain sebagainja lagi? ... tetapi engkau pemuda-pemudipun harus
aktif ikut menentang imperialisme kebudajaan, dan melindungi serta mengembangkan kebudajaan
Nasional!”. Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid III, halm: 379-380.
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bab ini menempatkan sosiologi budaya musikal sebagai salah satu perspektif
untuk mengenal masyarakat dari musik yang didukungnya.
Konsekuensinya, ada tiga hal yang diperlukan dalam bab ini. Pertama,
menunjukkan kaitan musik dengan masyarakat. Kedua, menunjukkan musik
sebagai budaya. Ketiga, menunjukkan praksis budaya musikal. Uraian berikut ini
adalah usaha yang dilakukan untuk merumuskan ketiganya.
A. Musik Sebagai Mentalitas (Music as Mentality)
Sub judul di atas merupakan subjudul buku The Sociology of Music karya Fabio
Dasilva, Anthony Blasi dan David Dees. Subjudul tersebut dipakai begitu saja
dalam bab ini dengan alasan judul tersebut persis mewakili asumsi bahwa
kecenderungan bermusik pada diri manusia sangatlah subyektif. Dasilva, dkk,
bahkan sejak awal mengatakan bahwa: music is located inside the very
consciousness which would do the defining3 . Pendefinisian musik akan selalu
terbentur pada persoalan “musik yang mana dan musik siapa”. Bukan karena
banyaknya pilihan jenis musik, melainkan istilah musik merupakan istilah yang
sepenuhnya menunjukkan intervensi manusia pada wilayah bunyi.
Musik hampir selalu berupa suatu fenomena akustik (bunyi) yang
diwakilkan pada intrumen tertentu dan didengarkan oleh manusia 4 . Sejarah musik
menunjukkan wilayah musik yang dikenal saat ini merupakan hasil dari proses
pemaknaan budaya tertentu5 . Setiap “generasi” memiliki ciri musikalitas, baik
3
Fabio Dasilva, dkk, The Sosiology of Music, halm: 1
Guerino Mazzola, Semiotic Aspect of Musicology : Semiotics of Music, halm: 2
5
Dalam The Music of Asean, Ramon P. Santos (ed) membuat kategori kebudayaan yang
mempengaruhi bentuk musikal tertentu di Indonesia, antara lain: ”shamanism of North and Central
4
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
direproduksi oleh kelompok tertentu maupun industri . Hal inilah yang membuat
musik dapat dibedakan dan dikelompokkan.
Bab ini tidak akan banyak membicarakan dinamika pertumbuhan musik.
Bab ini justru berfokus pada dinamika orang menikmati musik dan dinamika
keberartian musik bagi hidup seseorang. Menikmati musik pada tahap tertentu
hampir sama dengan orang melakukan praktik keberagamaan6 . Praktik semacam
ini, meskipun dihidupi oleh wilayah yang sangat privat, dapat dipahami secara
publik. Praktik orang menikmati dangdut Inul, misalnya, dapat dipahami melalui
pro-kontra yang terjadi dalam wilayah di luar urusan menikmati musik.
Pada
tahap
ini,
wilayah
privat
atau
subyektif
dikenali
dari
kecenderungannya menunjuk bentuk tertentu, demikian halnya dengan “pilihan”
bentuk musik. Sebagai pilihan, kecenderungan bermusik sangat subyektif. Akan
tetapi sebagai bentuk, musik tidak dapat begitu saja diakui sebagai “bentuk musik
saya”. Orang (seolah) bebas memilih dangdut, akan tetapi dangdut tidak mungkin
dapat diakui sebagai musik personal. Ada banyak orang yang dapat memiliki
kecenderungan memilih dangdut. Dalam waktu yang sama, orang yang sama juga
memiliki kemungkinan untuk memilih selain dangdut.
Artinya, musik memiliki “ruang” yang dapat menjangkau dan dijangkau
subyektivitas. Bukan sembarang subyektivitas, melainkan subyektivitas yang
dapat menjangkau musik sebagai wilayah estetis (seni). Lantas, apakah mungkin
subyektivitas menyatakan diri dalam ruang yang sangat tergantung pada
subyektivitas yang mendefinisikannya? Mungkin, jika masyarakat “menyediakan”
Asia origin, Hinduism, Hinayana and Mahayana Buddhism, Iberian folk musical tradition and
that of Islamic countries in the Middle-East, and with western influence. Lihat, halm: 33.
6
Fabio Dasilva, dkk, halm: 80-82.
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bentuk-bentuk yang didefinisikan oleh subyektivitas tertentu. Dengan kata lain,
subyektivitas yang bersifat personal hadir sebagai bentuk subyektivitas komunal.
Dasilva menyebut bentuk subyektivitas komunal tersebut sebagai
mentalitas; Bourdieu menyebutnya sebagai taste7 . Secara umum orang sering
menyebutnya sebagai selera. Baik Dasilva maupun Bourdieu meyakini bahwa
selera memiliki kecenderungan untuk menunjuk pada “obyek estestis” tertentu
yang telah disediakan oleh masyarakatnya. Selera yang subyektif justru dikenali
dan dinilai dari kemampuannya memposisikan diri dalam mekanisme penilaian
suatu obyek estetis 8 . Ketika kemampuan tersebut dimiliki oleh sekelompok orang,
selera tersebut akan diakui sebagai selera kelompok. Artinya, musik sebagai selera
kelompok memiliki mekanisme yang dapat menjangkau “kesepakatan” setiap
subyektivitas pendukungnya.
Apa yang dilakukan musik agar dapat menjangkau kesepakatan setiap
subyektivitas pendukungnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditelusuri
dari pernyataan “musik sebagai bentuk yang didefinisikan oleh subyektivitas
tertentu”. Subyektivitas tersebut pastilah subyektivitas yang terseleksi dari proses
sosial tertentu. Untuk itulah, Dasilva dkk membuat rumusan lanjutan: Music as
Social. Musik sebagai sosialitas adalah subyektivitas yang dihasilkan dari
berbagai tarik menarik kepentingan sosial, mulai dari media yang menyiarkan
acara musik hingga “standar” musikalitas ya ng diberlakukan dalam suatu
7
Istilah taste diletakkan Bourdieu kaitannya dengan “… regard taste in legitimate culture as a gift
of nature”. Lihat, Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Jugdement of taste, halm: 1.
8
Bourdieu menyebutnya habitus estetis, Aesthetic disposition “... the capacity to consider in and
for themselves, as a form rather than function”. Ibid, halm: 3.
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kelompok musik 9 . Dengan kata lain, mendekati musik sebagai bentuk mentalitas
terkait erat dengan pemahaman proses pembentukannya.
Memahami proses pembentukan sosialitas musik berarti menunjukkan
bentuk interaksi yang terjadi dalam masyarakat; proses sosial10 . Dalam hal ini,
musik merupakan bagian dari proses sosial. Lebih jauh, musik telah menjadi
bentuk dari proses sosial tertentu. Musik adalah budaya.
B. Budaya Musikal
Sub bab sebelumnya ditutup dengan pernyataan: musik adalah budaya. Apa
bedanya musik sebagai budaya dengan budaya musikal? Dengan memakai
“kerangka” sosiologi musik yang diusulkan Dasilva, keduanya tidak banyak
berbeda. Apapun definisinya, keduanya sama-sama hanya bisa ditunjukkan
melalui gejala musikal. Mengapa? Karena sosiologi tidak pernah betul-betul
bermaksud memahami esensi musik (musikalitas). Sosiologi musik hanya akan
melihat gejala musikal yang dapat dipakai sebagai penanda interaksi sosial.
Lantas, apa perlunya memakai istilah budaya musikal? Istilah budaya
musikal dipakai untuk menegaskan bahwa musik sebagai budaya akan mengalami
penilaian. Asumsi penilaian merupakan asumsi budaya bukan asumsi musikal.
Musik akan selalu dipahami dengan menggunakan pemaknaan yang disediakan
oleh budaya pendukungnya. Denga n memahami pemaknaan yang terlibat dalam
proses budaya, kita akan lebih mudah memahami mekanisme pemaknaan budaya
9
Fabio Dasilva, dkk, The Sociology of Music, halm: 4-5
“Music will thus be approached as a mentality, whose forms established interconnections
among humans, i.e., social processes. Ibid, halm: 5
10
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
musikal. Oleh sebab itu, penjelasan mengenai bagaimana pemaknaan budaya
mengintervensi wilayah musikal dapat dimulai dengan melihat sejauh apa masalah
nilai dan pemakaan dihidupi sebagai bentuk interaksi oleh masyarakat.
1. Budaya dan Subkulturnya
Ada banyak proses pemaknaan yang terlibat dalam pembentukan budaya. Satu
proses
pemaknaan
mengisyaratkan
interaksi
berbagai
pemaknaan.
Satu
pemaknaan melibatkan banyak kepentingan. Akan tetapi, satu kepentingan,
dengan prosesnya, memiliki mekanisme pembentukan pemaknaan dan budayanya
sendiri. Artinya, budaya bukan proses yang linier. Sistem budaya tidak selalu
menggantungkan bentuknya pada satu “kesepakatan” yang dihasilkan oleh
interaksi banyak kepentingan. Bahkan, suatu kepentingan dapat memutuskan
bentuk budayanya dari interaksinya dengan “kesepakatan” yang telah ada.
Subkultur dipakai dalam bab ini untuk menegaskan bahwa budaya tidak
selalu terkait dengan kesepakatan banyak proses pemaknaan dan banyak
kepentingan. Satu kepentingan pun dapat memutuskan budayanya. Subkultur pada
dasarnya mewakili asumsi budaya semacam ini; bahwa di dalam budaya
memungkinkan budaya lainnya. Artinya, subkultur juga budaya. Lantas, untuk
apa istilah subkultur tetap dipakai dalam bab ini? Karena, dalam prakteknya
subkultur dipakai untuk menunjuk budaya yang tidak dapat begitu saja disebut
budaya. Subkultur bukan budaya biasa.
Kata subkultur merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Inggris
subculture. Definisi umum subkultur, salah satunya dapat ditemukan dalam
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kamus atau ensiklopedi. Dalam kamus bahasa Inggris kata subculture
didefinisikan sebagai:
The behaviour and beliefs of a particular groups of people in society that
are different from those of most people. Example : The criminal/ drug/
youth subculture11 .
The ideas, art, way of life of a group of people within a society, which are
different from the ideas, art, way of life of the rest of the society12 .
Kedua definisi tersebut saya terjemahkan sebagai berikut, subkultur adalah:
Perilaku dan keyakinan sekelompok orang dalam suatu masyarakat yang
berbeda dengan orang kebanyakan. Contohnya: subkultur kriminal,
pengguna narkoba atau pemuda.
Ide, seni, dan cara hidup sekelompok orang dalam suatu masyarakat yang
berbeda dengan ide, seni dan cara hidup pada umumnya dalam suatu
masyarakat.
Secara etimologis, penggunaan awalan ‘sub’ 13 pada kata kultur
mengisyaratkan arti sebagai bagian (berada di dalam) dari kultur. Seperti halnya
subbab yang berarti bagian dari suatu bab, subkultur berarti bagian dari kultur.
Akan tetapi, dari terjemahan di atas dapat ditafsirkan arti subkultur tidak sematamata ingin menekankan bahwa subkultur merupakan bagian dari kultur, tapi juga
11
Oxford. Advanced Leaner’s Dictionary, halm : 1295
Collins Cobuilds, English Dictionary for Advanced Leaners. (third ed), halm : 1553
13
Awalan ‘sub’ dalam kamus bahasa Inggris jika dilekatkan pada kata lain dapat membentuk kata
baru yang memiliki arti baru. Pertama, awalan ‘sub’ digunakan sebagai penunjuk sesuatu yang
berada ‘dibawah’ tapi masih dalam satu rangkaian dengan kata aslinya. Misalnya, subway yang
berarti jalan yang berada di bawah jalan. Kedua, awalan ‘sub’ pada kata benda akan me mbentuk
kata benda baru yang berarti bagian dari kata bendanya atau bagian dari sesuatu yang lebih besar,
misalnya: subsistem, subbab dan sebagainya. Ketiga, awalan ‘sub’ pada kata sifat akan
membentuk kata sifat baru yang menunjuk pada inferioritas. Misalnya, subnormal yang berarti
sifat kurang dari normal. Lihat, Collins Cobuilds, English Dictionary for Advanced Leaners. (third
ed). HarperCollins Publisher. 2001. halm : 1552
12
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbeda dari
kultur.
Padahal,
umumnya
‘pembedaan’
dilakukan
untuk
membandingkan antar bagian, bukan dengan kesatuannya, misalnya, subbab satu
dengan subbab lainnya bukannya subbab dengan babnya. Kalau hal itu terjadi, ada
dua kemungkinan, subbab tidak menjelaskan bab atau bab yang tidak sesuai
dengan subbab. Dengan kata lain, keduanya selalu saling menegasikan.
Lantas, apa alasannya subkultur harus dibedakan dengan kultur? Kultur
dalam terjemahan di atas secara implisit didefinisikan sebagai sesuatu yang
dominan dan banyak dipakai orang, baik berupa perilaku, keyakinan, ide, seni dan
cara hidup. Dalam penggunaannya, kata subkultur seringkali digunakan sebagai
istilah (terutama dalam sosiologi) untuk memberi nama pada suatu hal yang tidak
dominan atau dianggap kurang baik. Dengan kata lain, kultur sebagai sesuatu
yang dominan dan baik.
Hebdige dalam tulisannya Subculture : The Meaning of Style14 memulai
menjelaskan gagasan subkultur dengan terlebih dahulu menjelaskan asumsi kultur
atau budaya. Hebdige juga memulai melihat definisi kultur dari kamus dan
menyimpulkan bahwa budaya adalah konsep yang sangat tidak jelas karena
pemaknaannya yang berbeda-beda15 . Pada akhirnya, Hebdige menjelaskan definisi
dasar budaya pada alur yang cenderung sosialis. Definisi yang ada berasal dari
definisi tradisional dalam tradisi seni dan definisi yang lebih antropologis16 .
14
St. Sunardi pada pendahuluan bukunya menjadikan tulisan Hebdige ini sebagai salah satu
contoh tulisan yang menggunakan semiotika Roland Barthes yang berusaha untuk memposisikan
subkultur sama saja dengan kultur. Lihat, Semiotika Negativa, halm:xi-xxvii.
15
Hebdige mengambil definisi kultur dari Oxford English Dictionary yang menyebutkan kultur
sebagai kata benda yang seolah merangkum keseluruhan aktivitas manusia mulai dari kegiatan
keberagamaan sampai dengan bercocok tanam. Lihat, Subculture : The Meaning of Style, halm: 5
16
Pembedaan keduanya juga dilakukan oleh Stuart Hall, Representation: Cultural Representation
and Signifying Practice, halm: 2
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Definisi pertama mengacu pada segala sesuatu yang dapat dikatakan “terbaik”,
seperti: opera, balet, drama, dan sebagainya. Definisi kedua, yang kemudian
dianut oleh Hebdige, dipinjam dari definisi Raymond Williams mengenai budaya
sebagai cara hidup tertentu yang mengekspresikan makna dan nilai tertentu. Cara
hidup yang dimaksud Williams adalah cara hidup yang dilakukan setiap hari oleh
masyarakat dan tidak terbatas di dalam seni dan pembelajaran17 . Dengan kata lain,
objek kajian budaya, pada definisi kedua, dapat juga berupa hal-hal yang biasanya
dianggap sepele seperti final sepak bola, kuliner, musik, permainan tradisional,
dan sebagainya.
Definisi kedua bagi Hebdige lebih memberikan keleluasaan ruang gerak
untuk memformulasikan hubungan antara budaya dan masyarakat. Definisi
semacam ini memungkinkan menganalisa persoalan mengenai “makna dan nilai”
yang seolah tertutupi dalam tampilan ekspresi kehidupan sehari- hari. Persoala n
“makna dan nilai” inilah yang menjadi konsep pokok Hebdige dalam menganalisa
gaya subkultur 18 yang dalam keseharian diidentikkan dengan kesan “murahan”
dan “kurang berbudaya”.
Pada praktiknya Hebdige tidak serta merta melepas definisi pertama.
Mulanya, Hebdige memposisikan gaya subkultur dalam definisi pertama. Artinya,
Hebdige tertarik untuk meneliti subkultur, terutama punk, karena masih sering
dimaknai sebagai ‘anak haram’ budaya oleh orang kebanyakan. Pemaknaan
seperti itu diberikan kepada penganut subkultur lebih pada segala sesuatu yang
17
Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm:10-11
Secara spesifik Hebdige hendak menjelaskan terbentuknya gaya subkultur Punk Inggris yang
secara tidak langsung menjelaskan hampir seluruh gaya kelompok-kelompok subkultur Inggris,
seperti Teddy Boy dan Skin head.
18
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menempel padanya (mulai dari pakaian, musik, sampai gaya rambut). Dari sini
Hebdige berkesimpulan bahwa segala sesuatu yang menempel hingga menjadi
gaya, selalu melibatkan proses pemaknaan dan penilaian19 . Punk denga n gayanya
telah melalui proses pemaknaan dan penilaian hingga menjadi sebuah subkultur
yang wajar saja jika dipinggirkan.
Selanjutnya, Hebdige membawa punk untuk dianalisa menggunakan
definisi kedua. Hebdige membawa persoalan “makna dan nilai” dalam tradisi
semiotika Roland Barthes 20 . Barthes mencoba memperlihatkan sifat-sifat
fenomena kultural dan membongkar makna laten kehidupan sehari- hari yang
tampak “wajar”. Barthes, seperti juga diinginkan Hebdige, tidak bermaksud
membuat kategorisasi tentang yang baik dan buruk atau yang benar dan yang
salah. Akan tetapi, Hebdige hendak membawa persoalan budaya pada pelacakan
historis mengenai pembentukan apa yang dikatakan “wajar” oleh kebanyakan
orang. Melalui Mythologies yang diusulkan Barthes, Hebdige ingin menguji
rangkaian aturan, kode, konvensi yang menjadikan pemaknaan dalam suatu
kelompok sosial tertentu “diterima” dan digunakan oleh hampir keseluruhan
masyarakat21 .
Oleh sebab itu, budaya dalam definisi Williams sebagai “keseluruhan cara
hidup”, bagi Hebdige perlu mendapatkan dimensi praktis dalam pemahamannya.
Hebdige memakai usulan EP Thomson untuk mengganti pengertian budaya versi
Williams, yang terkesan “pasrah”, menjadi “teori hubungan antar unsur yang
19
Ibid, halm : 8
Semiotika sering disebut sebagai disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan Kajian Budaya,
khususnya semiotika Barthes. Lihat, St. Sunardi, Semiotika Negativa, halm :x-xi
21
Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm : 9
20
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terdapat dalam keseluruhan cara hidup”22 . Hal ini untuk memunculkan kepekaan
bahwa “cara hidup”, seperti apapun, merupakan hasil “konflik” berikut caracaranya dari kepentingan semua unsur yang ada dalam suatu kelompok
masyarakat. Kata “ideologi” selanjutnya diperkenalkan Hebdige guna membuat
kerangka analitis yang dapat menyebutkan “bingkai” dari hubungan sosial seperti
ini.
Melaui Althusser, Hebdige membuat ilustrasi apa yang dimaksudnya
sebagai tindakan “ideologis”. Hebdige merumuskan istilah ideologi bukan sebagai
konsep tindakan, melainkan tindakan itu sendiri. Artinya, tidak satupun aktivitas
manusia lepas dari jaring ideologi, mulai dari cara menggosok gigi sampai dengan
kebutuhan untuk menyampaikan pendapat. Ideologi memadati wacana sehari- hari
tanpa membuat pelakunya sadar karena posisinya memang bukan dalam
kesadaran, tapi justru dalam alam bawah sadar 23 .
Ideologi juga erat kaitannya dengan kecenderungan untuk memposisikan
diri dalam “konflik” antar unsur masyarakat. Posisi ideologi tepat berada pada
“kesadaran” individu untuk melakukan peran sosialnya sesuai dengan status sosial
yang ada padanya (the role of a subject )24 . Seorang guru bukan hanya “sadar”
22
Ibid, halm : 10
Hal ini berbeda dengan Marx yang meyakini bahwa ideologi merupakan suatu bentuk kesadaran
yang diciptakan oleh penguasa, meskipun berupa “kesadaran palsu”, lihat, Hebdige halm: 12.
24
Althusser membedakan State Apparatuses (SA) menjadi dua: Repressive State Apparatuses
(RSA) dan Ideological State Apparatusses (ISA). RSA merujuk pada SA dalam teori negara Marx.
Seperti ditegaskan Althusser dalam Essays On Ideology yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia menjadi “Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies “,
gagasan Marx mengenai SA adalah aparatus negara (pemerintahan, polisi, penjara, dan
sebagainya) yang dijalankan melaui ke kerasan dan berada dalam kewenangan “publik”. ISA
berada dalam berbagai institusi yang ada dalam masyarakat, berupa “wewenang pengaturan” yang
bersifat “privat” dan berfungsi melalui ideologi, seperti ISA Agama, ISA budaya (kesusasteraan,
seni, olah raga dan sebagainya), ISA pendidikan, dan sebagainya. Lihat, halm: 23.
23
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengenai tugasnya sebagai “guru”, tetapi ia juga harus “sadar” betul siapa yang
diajarnya, di sekolah mana ia mengajar, mengajar apa, dan sebagainya.
Dengan kata lain, fenomena kultural merupakan kerja dari ideologi yang
diterima begitu saja oleh masyarakat melaui peran sosialnya. Di sinilah semiotika
hendak membaca fenomena kultural. Nilai semiotika dari aspek budaya adalah
diperlakukannya fenomena kultural sebagai tanda, yakni sebagai unsur dalam
sistem komunikasi yang dikendalikan dengan aturan dan kode semantik,
meskipun sebenarnya secara kasat mata tidak dapat secara langsung dapat
tertangkap pengalaman25 .
Untuk membongkar dimensi ideologis tanda, pertama-tama harus
diuraikan kode-kode yang dipakai untuk menyusun makna. Hal ini akan
membantu untuk menyusun bentuk dari sebuah “peta makna” yang akan terlihat
sebagai makna yang potensial, menyingkirkan banyak makna lainnya. Mengingat
bentuk-bentuk kekuasaan ada dimana- mana, maka makna potensial adalah makna
yang dimenangkan dari sebuah “konflik sosial” dan menjadi makna yang
berkuasa. Dengan kata lain, dengan memenangkan persaiangan makna berarti
makna yang dipresentasikan selalu tunggal. Penunggalan pemaknaan ini, ketika
dapat merangkul segala bentuk kepentingan politik, kelas dan momen yang tepat
akan menjadi ideologi dominan. Ideologi tersebut disebut juga ideologi orang
kebanyakan, yakni ideologi yang dimenangkan. Di dalamnya meliputi gagasan
yang mampu menjadi ekspresi ideal atas hubungan material dan diterima sebagai
25
Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm : 14
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
gagasan, meskipun itu adalah gagasan tentang kedominanan26 . Hal inilah yang
dapat menjawab pertanyaan kritis, seperti: bagaimana segala bentuk klasifikasi
atau penggolongan (mulai dari ekonomi sampai pendidikan) dapat terjadi?
Kelompok dan kelas sosial mana yang menentukan pengaturan tersebut? Dan
sejauh mana mereka mengatur penggolongan tersebut?27 .
Kenyataan inilah yang membawa Hebdige pada teori hegemoninya
Gramsci28 . Istilah hegemoni mengacu pada situasi yang di dalamnya terdapat
persekutuan sementara antar beberapa kelompok. Persekutuan tersebut mampu
mengerahkan “otoritas sosial total” atas kelompok lain yang tersubordinasi, bukan
hanya dengan koersi atau memaksakan gagasan kekuasaan, tapi dengan
memenangkan dan membangun persetujuan hingga mengalamiahkan dan
mengabsahkan kekuasaan kelas-kelas dominan29 . Hegemoni hanya dapat
dipertahankan sejauh kelas dominan berhasil membingkai seluruh definisi para
pesaingnya ke dalam jangkauan mereka. Kalaupun terdapat beberapa kelompok
subordinat yang tidak dapat dikontrol, setidaknya masih dalam identifikasi ruang
ideologis kelompok pemenang. Paling tidak, mereka dapat disebut sebagai
subkultur.
26
Ibid, halm : 15
Ibid, halm : 13
28
Sebenarnya Gramsci juga menyadari bahwa negara tidak semata-mata State Apparatuses, tapi
termasuk juga institusi ‘masyarakat sipil’, seperti: gereja, sekolah, serikat buruh, dan sebagainya.
Althusser sendiri sering disebut sebagai “penerjemah” teori Gramci karena hampir seluruh
pembahasanya mengenai ideologi dimulai dari gagasan Gramsci. Kaitan yang paling mendasar
antara “Ideologi” Althusser dan teori Hegemoni Gramsci adalah pada pembedaan RSA dan ISA.
Baik Gramsci maupun Althusser keduanya meyakini bahwa wewenang institusi apapun yang ada
dalam masyarakat merupakan bentuk dari usaha pengaturan oleh pihak yang berkuasa. “publik”
dan “privat” dibedakan untuk melanggengkan “otoritas” kaum bosjuis atas wewenang negara.
Lihat, Althusser , “Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies “,
halm : 21. bdk dengan, Gramsci “Catatan-catatan Politik ”, halm : 194.
29
Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm : 16
27
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari rumusan tersebut, Hebdige sebenarnya sedang membuat definisi
(bahkan teori!) subkultur. Subkultur, dalam praktiknya, mengisyaratkan usaha
merumuskan strategi hidup yang tidak disediakan bentuk dan maknanya dalam
sebuah kutur. Jika definisi sebelumnya merujuk pada kelompok, kali ini lebih
pada tindakannya. Suatu praktik sosial disebut subkultur apabila tindakan yang
sama memakai praktik pemaknaan lainnya dalam sebuah sistem sosial tertentu.
Atau, praktik signifikansi yang sama dilakukan untuk tindakan yang berbeda.
2. Subkultur Musikal
Menambah istilah “musikal” di belakang istilah subkultur, sedikit banyak akan
memunculkan keraguan; benarkah subyektivitas selera musik dapat mengontrol
subyektivitas lainnya? Bukankah selera musik merupakan disposisi musikal
(estetis)? Ketika selera musik “berjumpa” dengan proses sosial, ia juga akan
“berjumpa” dengan ketersediaan posisi dalam interaksi sosial. Berarti atau
tidaknya “perjumpaan” tersebut akan diketahui dari kecenderungan selera musik
seseorang memposisikan diri dalam interaksi sosial. Pada posisi ini, selera musik
“bersaing” dengan selera musik lainnya dalam menentukan status posisi; status
distingsi30 . Oleh karena itu, selera musik dalam kajian sosiologi hanya dapat
ditunjukkan bentuk dan posisinya saat dipakai dalam suatu praksis musikal.
Suatu praksis musikal mengindikasikan suatu tindakan musikal. Budaya
pada prinsipnya dihidupi oleh berbagai tindakan sosial. Ketika penelitian ini
mengaitkan musik dengan pendukungnya, suatu tindakan musikal dapat diartikan
30
John Frow, Cultural Studies and Cultural Value, halm: 5.
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai tindakan sosial. Budaya musikal dihidupi oleh berbagai tindakan musikal.
Sebagai sebuah tindakan, musik mengalami mekanisme proses yang nyaris tidak
banyak berbeda dengan tindakan sosial lainnya.
Praksis musikal, pada praktiknya, akan selalu terkait dengan kemungkinan
hadirnya selera musik sebagai bentuk musikal yang telah disediakan. Suatu
praksis musikal disebut sebagai bagian dari subkultur musikal ketika tindakan
musikal yang dihidupi oleh kelompok tertentu mengalami “miskomunikasi”
dengan bentuk-bentuk musikal yang telah disediakan (dan diatur) dalam suatu
budaya musikal. Praksis musikal ternyata tidak saja mereproduksi bentuk-bentuk
yang sudah ada, tapi juga “berambisi” memproduksi bentuk lainnya.
Pada posisi ini, praksis dihidupi oleh semangat mengekspresikan sesuatu.
Ekspresi ini dipicu oleh selera musik yang hendak merepresentasikan diri dalam
ruang sosial. Pada saat itulah, selera musik berjumpa dengan istilah “pemaknaan”,
“ideologi” dan “hegemoni”. Representasi selera musik dalam ruang sosial tidak
dapat membebaskan diri dari praktik pemaknaan dan “dicurigai” sebagai
representasi ideologis, atau bahkan representasi ideologi dominan (hegemoni).
Ketika representasi tersebut dipahami sebagai bentuk, maka sosiologi musik
merupakan sosiologi bentuk simbolik musik.
Teori praksis yang dirintis Bourdieu, menempatkan selera (disposisi
estetis) sebagai a cultural theory of action31 . Budaya musikal merupakan
mainstream
31
yang
dipakai
seseorang
atau
kelompok
David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, halm: 95
31
masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengkonsultasikan seleranya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu praksis
musikal. Bo urdieu merumuskan praksis sebagai kombinasi disposisi (habitus)
dengan modal terhadap medan (praksis = habitus (modal) + medan) 32 . Rumusan
tersebut didasari oleh pemikiran Bourdieu mencari kemungkinan suatu tindakan
dilakukan bukan semata-mata mengikuti pola tindakan yang ada atau menjadi
produk dari aturan tertentu33 .
Medan merupakan arena perebutan legitimasi (kekuasaan). Di dalamnya
meliputi ruang-ruang terstruktur yang diisi oleh berbagai jenis modal. Medan juga
menyediakan bentuk-bentuk khusus bagi pelaku untuk bertindak dan memiliki
mekanisme internalnya sendiri yang otonom dan relatif 34 . Dengan kata lain,
medan merupakan ruang obyektif yang merepresentasikan aturan yang legitimate.
Medan musikal, dalam hal ini, menunjukkan ruang obyektif musik yang dijadikan
arena perebutan kekuasaan. Representasi musik dalam medan musikal berupa
bentuk-bentuk simbolik musik yang telah atau akan siap dimaknai. Bentuk-bentuk
tersebut berasal dari materi musik yang memicu interpretasi pemaknaan. Dasilva
menyebut materi tersebut antara lain: harmoni, ritme, dan melodi35 . Akan tetapi,
interpretasi pemaknaan hanya mungkin terjadi dalam budaya musikal. Karena,
pemaknaan yang akan menginterpretasi materi musik merupakan pemaknaan di
32
Richard Harker, dkk, (HabitusxModal)+Ranah=Praktik
David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, halm: 95
34
St. Sunardi, dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm: 5
35
Fabio Dasilva,dkk, The Sociology of Music, halm: 14. Bdk dengan Roger Kamien, Music: An
Appreciation, halm: 2-86. Kamien meyakini ada sebelas elemen musik yang hadir bersama-sama
ketika musik ditampilkan. Kesebelas elemen tersebut antara lain: suara (pitch, dinamika, warna
nada), suara penyanyi dan alat musik pengiringnya, ritme, notasi musik, melodi, harmoni, kunci,
tekstur musikal, bentuk musikal, performansi, dan gaya musikal.
33
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
luar musik (extramusical meaning) 36 . Pemaknaan tersebut diperoleh dari budaya
pendukung musik 37 (penonton, pemain, dan penanggap). Dengan kata lain, medan
musikal merupakan bentuk-bentuk musikal yang memakai kaidah bahasa budaya
musikal.
Kombinasi disposisi estetis (selera) dengan modal mengakses medan
pertama-tama dipengaruhi oleh kesadaran pada aturan main dalam medan.
Bagaimana kombinasi tersebut “berkomunikasi” dengan medan akan terlihat
dalam praksis musikal. Praksis musikal pada akhirnya menunjukkan bagaimana
suatu tindakan musikal dibentuk, mengikuti dan menginterpretasikan aturan yang
diinformasikan dalam medan musik. Lebih jauh, kita dapat memahami masyarakat
melalui musik yang didukungnya dengan cara memahami praksis musikalnya.
C. Kesimpulan
Budaya musikal religius merupakan budaya musikal yang “disepakati” oleh
budaya pemain, penonton dan penanggap. Dalam konteks Al-Asyik, tesis ini akan
melihat budaya musikal religius yang dihidupi oleh budaya pemain. Jika budaya
musikal religius terdiri dari beberapa praksis musikal religius, praksis gambus
36
Dasilva, dkk, memaparkan empat makna ekstra musikal yang biasanya hadir dalam suatu
pertunjukan musik, antara lain: makna afektif (affective meanings), makna deskriptif (descriptive
meanings), makna yang berkaitan dengan nilai (value meanings), makna teknis (technical
meanings). Makna afektif meliputi bentuk-bentuk emosi yang dihadirkan dalam suatu pertunjukan
musik, seperti: senang, sedih, takut, marah dan sebagainya. Makna deskriptif biasanya mengaitkan
musik dengan deskripsi tertentu, seperti: upacara, perang, hajatan, dan sebainya. Makna yang
berkaitan dengan nilai biasanya hadir dalam pertunjukan musik dalam bentuk penilaian, seperti;
baik, buruk, sopan, religius, urakan, seronok dan sebagainya. Sedangkan, pemaknaan teknik
biasanya mengaitkan musik dengan kemasannya atau dengan standar teknis pelaksanaannya,
seperti: profesional, rapi, jago, mahir dan sebagainya. lihat, ibid, halm: 11
37
Pendukung musik dalam tradisi musik industri berbeda dengan pendukung musik tradisi;
“Traditional folk music, ... , is the work of nonspecialist ... what is not handed down from one
generation to another in folk music is the work of improvisation. Lihat, ibid, halm:35
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
merupakan salah satu praksis musikal religius. Dengan kata lain, praksis Al- Asyik
merupakan salah satu praksis gambus sekaligus salah satu praksis musikal religius
dalam budaya musikal religius.
Dalam rumusan Bourdieu, praksis merupakan kombinasi habitus dengan
modal ditambah medan (habitus (modal) + medan). Dalam praksis musikal
gambus Al-Asyik, medan gambus yang akan dilalui merupakan medan yang
berkoordinasi dengan medan musik religius lain dalam suatu budaya musikal.
Medan
merupakan
bahasa
yang
dipakai oleh
budaya
musikal
untuk
“mengundang” berbagai jenis pembicaraan; berbagai suara (speech). Setiap
praksis musikal merupakan suara yang dipahami oleh bahasa medannya. Ketika
suatu praksis musikal memakai suara yang tidak terlalu dipahami maksudnya oleh
bahasa medan, praksis tersebut akan disebut sebagai praksis subkultur musikal.
Artinya, yang menjadi “penentu” status praksis adalah kombinasi habitus dengan
modal, dalam hal ini, suara pemain.
Dengan kata lain, ada dua hal yang dibutuhkan untuk mengetahui status
praksis gambus Al-Asyik: medan gambus dan praksis gambus Al- Asyik. Dari
sana, akan diketahui suara apa yang hendak diusahakan oleh Al-Asyik. Sekaligus,
akan diketahui bagaimana “suara” tersebut dikenali oleh bahasa medan. Oleh
sebab itu, penulis membutuhkan metode penelitian yang dapat membantu
mengetahui hal tersebut.
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Metode Penelitian
Secara khusus, penelitian ini tertarik untuk memahami “suara” Al-Asyik dalam
praksis gambus. Suara Al- Asyik yang akan dipahami dalam penelitian ini akan
dibatasi dalam praksis gambus Al- Asyik di Ambulu sejak pembentukan kelompok
Al-Asyik (tahun 2000) hingga saat penelitian dilakukan (2006). Secara tehnis,
penelitian ini akan dibagi dalam tiga tahap: Observasi awal, pengumpulan data,
dan Analisis data.
a. Observasi Awal
Observasi awal dibutuhkan untuk melihat berbagai kemungkinan praksis gambus
Al-Asyik dapat dijelaskan. Dalam sebuah praksis gambus terdapat dua kenyataan:
praksis gambus Al- Asyik sebagai kondisi obyektif “suara” Al-Asyik dan medan
gambus sebagai kondisi obyektif aturan main dalam gambus. Untuk itulah,
Praksis Al-Asyik akan dipilih sebagai kasus yang akan dipahami melalui
mekanisme studi kasus 38 . Artinya, sebelum menunjukkan praksis Al-Asyik, kita
perlu menunjukkan medan gambus yang dilaluinya agar kajian kasus praksis AlAsyik akan sampai pada menunjukkan data mengenai kekhasan39 praksis AlAsyik dibandingkan dengan praksis gambus lainnya.
b. Pengumpulan Data
38
Robert E. Stake, dalam Case Study, menegaskan bahwa studi kasus bukanlah metodologi. Studi
kasus merupakan pilihan obyek yang akan dipelajari. Lihat, halm: 236.
39
Lihat, ibid, halm: 238.
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bagaimana data mengenai medan gambus dikumpulkan? Dalam latar belakang
penelitian dimulai dengan meletakkan gambus sebagai musik religius. Asumsi
tersebut secara tegas menunjukkan legitimasi yang sedang diperebutkan dalam
praksis gambus adalah legitimasi religius dan legitimasi musikal. Kedua jenis
legitimasi tersebut akan diperebutkan oleh berbaga i kepentingan dalam ruang
sosial. Artinya, ada bentuk-bentuk khusus yang disediakan oleh struktur ruang
sosial dalam mengakomodasi proses perebutan legitimasi. Pada posisi ini, setiap
legitimasi akan memiliki bentuk dan struktur ruang sosialnya sendiri. Ruang
sosial tersebut memiliki aturan main sendiri. Ruang tersebut bersifat otonomi
relatif terhadap ekonomi; tidak semata- mata dikendalikan oleh mekanisme
ekonomis.
Dengan kata lain, penelitian ini akan melihat medan gambus dalam dua
ruang sosial yang dipakai sebagai ruang perebutan legitimasi religius dan
legitimasi musikal. Ruang tersebut diberi nama Ruang Religius dan Ruang
Musikal. Sederhananya, kita akan melihat proses pemaknaan religius gambus dan
proses pemaknaan musikal gambus. Artinya, penelitian ini membutuhkan data
yang dapat menunjukkan terjadinya proses pemaknaan; sejarah pemaknaan
gambus sebagai bagian dari kultur musikal religius di Ambulu.
Dalam kajian semiotika, kebutuhan data tersebut dapat diperoleh dengan
cara menguji rangkaian aturan, kode, konvensi yang menjadikan gambus dapat
dimaknai dalam ruang religius dan ruang musikal. Hal itu dapat dimulai dari
menentukan
bentuk-bentuk
yang
disediakan
oleh
ruang
sosial
untuk
“memproduksi dan mereproduksi” makna religius dan makna musikal gambus.
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data tersebut adalah observasi
langsung di lapangan.
Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk tersebut dimaknai dapat
dilakukan dengan cara mengobservasi langsung bagaimana bentuk-bentuk
tersebut dipakai dalam interaksi sosial. Untuk lebih menguatkan data observasi,
data penelitian perlu dilengkapi dengan cara mengumpulkan dokumen atau
mewawancarai sumber informasi mengenai pemakaian bentuk-bentuk tersebut
selama ini. Metode ini berlaku untuk memenuhi kebutuhan data dalam memahami
ruang religius dan juga ruang musikal.
Selanjutnya, penelitian ini perlu melihat praksis gambus Al-Asyik yang
dapat ditunjukkan melalui bentuk-bentuk musikal yang dihidupi Al-Asyik. Data
mengenai hal itu dapat diperoleh dengan cara menanyakan langsung kepada
pemain, mengobservasi langsung di lapangan, atau melihatnya dalam video
rekaman pentas Al-Asyik.
Akan tetapi, bentuk-bentuk tersebut tidak akan sampai pada praksis
gambus khas Al-Asyik, ketika tidak melibatkan pemaknaan pemain Al- Asyik.
Penelitian ini perlu mengetahui “suara” Al-Asyik dalam menghidupi bentukbentuk musikal gambus. Hal itu dapat dilakukan dengan cara mewawancarai
setiap pemain. Apa saja yang akan ditanyakan untuk mengetahui suara Al- Asyik?
Ketika Bourdieu meneliti “taste” masyarakat Paris, ia menanyakan kecenderungan
seseorang (yang digolongkan berdasarkan pendidikan dan kelas) memilih bentukbentuk estetis dari produk budaya, seperti musik, pakaian, furniture, hingga
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lukisan40 . Dengan maksud yang sama, data mengenai “suara” Al- Asyik akan
dilihat dari kecenderungannya memilih produk musikal. Akan tetapi, karena
kebutuhan penelitian ini ingin memahami secara khusus “suara” Al- Asyik, maka
produk musikal akan diganti sebagai produk yang membuat gambus Al- Asyik
dapat diselenggarakan (the condition of existence). Dari pengamatan awal,
penyelenggaraan gambus bagi pemain Al- Asyik sangat tergantung pada: alat
musik berikut kemampuan pemain memainkan alat musik, text musik (termasuk
setting pertunjukan dan pakaian), dan pendukung musik (penanggap dan
penonton). Agar dapat dilihat kecenderungannya, draf pertanyaan dibuat berupa
kuesioner terbuka 41 .
Untuk mengecek validitas dan reliabilitas kecenderungan pemain,
penulis perlu membandingkannya dengan kecenderungannya memilih bentuk
tertentu dalam medan lain, misalnya: gaya rambut, jenis-jenis pajangan dinding
rumah, dan sebagainya 42 . Selanjutnya, data mengenai medan dan praksis gambus
Al-Asyik akan dipakai untuk mengetahui dan menganalisa kombinasi habitus
dengan modal pemain.
c. Analisis Data
Analisis data pada prinsipnya menyusun dan membaca data agar dapat dipakai
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertanyaan pertama dalam penelitian ini
mengenai proses pemaknaan yang menghasilkan gambus dinilai sebagai musik
religius. Pertanyaan ini dapat dijawab oleh data mengenai medan gambus.
40
Bourdieu, Distinction: A Social Critique of The Jugdement of Taste, halm: 13
Kuesioner dapat dilihat dalam lampiran 2, halm: 130-133.
42
Data kroscek dapat dilihat dalam lampiran
41
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pertanyaan kedua mengenai bentuk-bentuk yang disediakan oleh kultur
musikal religius yang ada dan bagaimana kelompok Al-Asyik memilih bentuknya.
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang memiliki struktur “praksis gambus”.
Pertanyaan ini untuk menunjukkan apa yang khas dari Al-Asyik. Oleh sebab itu,
pertanyaan tersebut akan dijawab dengan “mengkomunikasikan” data mengenai
medan gambus dan data mengenai kecenderungan pemain Al-Asyik memilih
bentuk-bentuk tertentu.
Pertanyaan terakhir merupakan pertanyaan sosiologis. Pertanyaan
tersebut akan mengembalikan praksis Al-Asyik untuk direspon oleh masyarakat
Ambulu, terutama oleh medan gambus. Oleh sebab itu, pertanyaan tersebut akan
didekati dari jawaban dua pertanyaan sebelumnya. Ketika medan gambus dan
praksis gambus Al-Asyik dikenali bentuknya, dari sana akan terlihat apa yang
sedang disuarakan oleh kelompok Al-Asyik ketika berkomunikasi dengan ruangruang sosialnya.
Dengan demikian, penyusunan data akan dimulai denga n membaca
medan gambus, praksis gambus Al-Asyik dan diakhiri dengan mengetahui suara
Al-Asyik.
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
MEDAN GAMBUS AL-ASYIK
Bab ini akan menunjukkan medan gambus Al-Asyik sebagai upaya untuk melihat
sejarah gambus, terutama sejarah gambus Al- Asyik di Ambulu. Dengan memakai
istilah medan, penulis berharap sejarah gambus yang akan ditunjukkan dapat
menjangkau dinamika “internal” gambus. Medan gambus sekurang-kurangnya
akan menunjukkan situasi sosial macam apa yang dapat mengakomodasi gambus,
bagaimana bentuk-bentuk gambus diproduksi dan apa saja yang dibutuhkan untuk
terlibat dalam medan gambus. Lebih jauh, medan gambus juga akan menunjukkan
“bentuk gambus” mana yang legitimate.
Seperti telah dirumuskan dalam metode penelitian, gambus yang akan
dibahas dalam tesis ini adalah gambus yang dihidupi sebagai musik religius oleh
masyarakat Ambulu. Artinya, ketika merumuskan medan gambus, tesis ini tidak
akan dapat melepaskan diri dari penjelasan mengenai religiusitas gambus di
samping musikalitas gambus. Oleh karena itu, penjelasan mengenai medan
gambus akan dilihat dari dua ruang tersebut; ruang religius dan ruang musikal.
Akan tetapi, sebelum melangkah pada penjelasan masing- masing ruang,
penulis perlu terlebih dahulu menjelaskan batasan “wilayah” Ambulu. Secara
administratif orang Ambulu mengenal dua istilah pemakaian kata “Ambulu”;
Kecamatan Ambulu dan Desa Ambulu. Ada banyak desa yang berada dalam
wilayah administratif Kecamatan Ambulu, salah satunya Desa Ambulu. Karena
semua kegiatan administratif Kecamatan berada di Desa Ambulu, maka secara
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kultural Desa Ambulu dikenal juga sebagai “ibukota” dari Kecamatan Ambulu.
Akan tetapi, Desa Ambulu sebagai wilayah administratif sendiri juga memiliki
pembagian wilayah secara kultural: Desa Ambulu dan Ambulu Kota. Dengan
demikian, Ambulu Kota merupakan kota dari ibukota Kecamatan Ambulu.
Deskripsi di atas dikemukakan sebagai catatan penting untuk
menekankan “status” Ambulu sebagai wilayah kultural. Karena, sejarah Al- Asyik
yang akan dibahas dalam bab ini adalah sejarah Al- Asyik dari Desa Ambulu yang
memiliki kultur Ambulu Kota. Sekurang-kurangnya, karena para pemain AlAsyik tinggal di wilayah kultural Ambulu Kota (akan dijelaskan kemudian).
Lebih jauh, deskripsi tersebut diperlukan untuk menegaskan bahwa sejarah yang
akan dipakai untuk memahami Al- Asyik adalah sejarah masyarakat Ambulu Kota.
Gambar 1. Peta Desa Ambulu
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A. Ruang Religius
Apakah relevan membicarakan religiusitas di Ambulu? Pasti relevan. Karena,
wacana religiusitas pada dasarnya mengasumsikan adanya praktik keagamaan
dalam suatu kelompok masyarakat yang meyakini suatu agama. Di Indonesia,
praktik semacam ini sudah bisa dipastikan terjadi di semua tempat. Akan tetapi,
seberapa relevan pembicaraan tersebut di Ambulu? Inilah yang perlu ditunjukkan
saat ini.
Data yang dapat dengan mudah disebut sebagai penunjuk relevansi
tersebut adalah data agama penduduk Ambulu. Dari 14.787 jiwa (Laki- laki: 7200
jiwa dan Perempuan: 7587 jiwa), 14.643 beragama Islam dan sebagian besar
berafiliasi dengan NU (Nahdatul Ulama). Akan tetapi, data tersebut tidak banyak
dipakai dalam penelitian. Kemungkinan data yang dibutuhkan dalam penelitian
berasal dari data bentuk-bentuk religius; simbol yang berkonotasi dengan
religiusitas. Ada empat simbol demikian di Ambulu, yaitu: Masjid Besar, jamaah
pengajian, dan musholla.
1. Masjid Besar sebagai ruang distorsif
Masjid merupakan tempat ibadah orang Islam. Konsekuensinya, setiap orang
Islam dapat memakainya sebagai sarana beribadah. Akan tetapi, pada
perkembangannya, setiap masjid memiliki konsep tertentu dalam mepraktikkan
makna tempat ibadah. Misalnya; masjid sebagai rumah Allah, masjid merupakan
tempat suci, dan sebagainya. Akibatnya, produksi pemaknaan Masjid tidak hanya
berasal dari kata “ibadah” tapi juga dari istilah “rumah Allah” dan “suci”. Praktik
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memakai masjid sebagai tempat aman dari gangguan mahluk halus dan tempat
pengungsian yang aman atau larangan tidur di dalam masjid adalah contoh praktik
pemaknaan masjid bukan sebagai tempat ibadah.
Masjid Besar merupakan salah satu bentuk pemaknaan masjid di luar
makna masjid sebagai tempat ibadah. Istilah “Besar” yang mengikuti istilah
“Masjid” jelas bukan istilah “religius”. Akan tetapi, ketika istilah tersebut dipakai
bersama-sama dengan istilah “Masjid” yang pasti bermakna “religius”, maka
Masjid Besar dapat dimaknai sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar religius,
lebih dari sekadar tempat ibadah.
Salah satu masjid di Kecamatan Ambulu, mendapat “status” sebagai
Masjid Besar dari negara. Dari 7 masjid di tiga dusun yang ada di desa Ambulu (1
masjid di dusun Krajan, 2 masjid di dusun Sumberan dan 4 masjid di dusun
Langon), hanya satu yang ditetapkan sebagai Masjid Besar, yakni masjid yang ada
di dusun Krajan. Artinya, Masjid Besar merupakan satu-satunya masjid yang
berada di Ambulu Kota. Dengan kata lain, seperti telah disebutkan di atas, Masjid
Besar bukan hanya masjid dusun Krajan dan Desa Ambulu, tapi juga Masjid
Kecamatan Ambulu.
Status
kultural
yang
dimiliki
masjid
Ambulu
Kota,
memiliki
konsekuensi “kemudahan” administratif. Saat Depag (Departemen Agama)
memerlukan legitimasi kekuasaannya pada wilayah ideologis (salah satunya
agama), ia memakai masjid sebagai sarana mengkomunikasikan gagasan
kekuasaannya. Misalnya saja status Masjid Istiqlal Jakarta yang diklaim sebagai
Masjid Negara. Konsekuensinya, Masjid Istiqlal nyaris tidak memiliki identitas
43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“bangunan kultural”, melainkan bangunan yang melanggengkan pendapat negara.
Saat terjadi perbedaan pendapat mengenai hari raya Idul Fitri, Masjid Istiqlal
sudah bisa dipastikan melaksanakan Sholat Idul Fitri sesuai keputusan Menteri
Agama.
Proses yang melatarbelakangi berdirinya Masjid Istiqlal berbeda dengan
Masjid Besar. Akan tetapi, pengakuan negara atas Masjid Besar sama dengan
Masjid Istiqlal. Masjid yang didirikan dan dikelola oleh swadaya masyarakat
Ambulu Kota semula hanya dikenal sebagai Masjid Baitul Muttaqien. Pada awal
tahun 1985, Masjid Baitul Muttaqien berganti sebagai Masjid Jami’. Selanjutnya,
ia berubah menjadi Masjid Besar pada sekitar tahun 1994 dan diakui sebagai
masjid pemerintah. Perubahan tersebut dengan alasan nama Masjid Jami’ adalah
nama untuk masjid pemerintah tingkat Kabupaten. Sejak saat itu Masjid Besar
selalu mengapropiasi pendapat negara, terutama berkaitan dengan penentuan hari
raya Idul Fitri. Bahkan, saat jatuhnya hari raya Idul Fitri pemerintah berbeda
dengan keputusan PB NU, takmir Masjid Besar tetap menyelenggarakan sholat
Idul Fitri sesuai dengan keputusan pemerintah.
Lebih jauh, takmir Masjid Besar adalah orang yang diharapkan memiliki
status ganda: alim secara kultural dan alim secara kenegaraan. Status tersebut,
dalam faktanya, sangat mudah beradaptasi dengan situasi politik yang
memproduksi makna “kekacauan” untuk mendeskriditkan makna damai yang
dihidupi oleh aparatur negara. Sebagai masjid negara, takmir pun dituntut untuk
menyosialisasikan makna damai. Damai yang dimaksud di sini adalah konsisi
yang dapat menjembatani segala perbedaan yang ada, termasuk perbedaan afiliasi
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
NU dan Muhammadiyah, Partai Politik, sentimen Kyai, dan sebagainya. Masjid
Baitul Muttaqin tidak banyak bersuara mengenai “damai” dalam prespektif NU,
tapi damai dalam prespektif Negara. Terbukti, tema-tema ceramah-ceramah sholat
Jumat maupun sholat hari raya, cenderung mengapropriasi tema-tema kenegaraan,
seperti: himbauan saling menghormati antar pendukung partai, ceramah ahlak
dengan pengambilan contoh pejabat korupsi, dan sebagainya.
Masjid, pada posisi ini, tidak lagi bermakna tempat ibadah, tempat suci,
maupun rumah Allah. Makna masjid mengalami reproduksi (konsep) menjadi
tempat yang damai. Hal inilah yang menjadikan kepengurusan Masjid memiliki
kedekatan psikologis dengan Polsek (Kepolisian Sektor). Konsep “damai” yang
diyakini oleh pihak Masjid Besar (Ketua takmir dan sebagian besar pengurus)
sesuai dengan konsep menjaga keamanan yang dilakukan Polsek. Sudah menjadi
hal yang wajar setiap pergantian Kapolsek, ada “ritual” menyambangi Ketua
takmir.
Ketua takmir memiliki otoritas kultural dalam mempengaruhi kebijakan
Kapolsek yang berkaitan dengan “pengkondisian” masyarakat Ambulu. Bahkan,
dalam radius tertentu (sekitar 20 m) dari Masjid, segala aktifitas harus melalui ijin
pihak Masjid. Padahal, tepat di hadapan Masjid Besar terdapat alun-alun yang
paling representatif untuk mengadakan acara yang bersifat publikasi. Sebelum
otoritas masjid sekuat sekarang, pihak penyelenggara cukup meminta ijin
pemerintah desa atau kecamatan dengan pemberitahuan pada pihak polsek.
Karena relatif mudah, hampir semua kegiatan pernah diadakan di alun-alun, mulai
dari THR setiap tahun sampai dengan acara misbar (layar tancap). Saat ini, hanya
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
acara-acara tertentu yang dapat memakai alun-alun, terutama acara-acara
“religius” menurut pihak Masjid. Kalaupun pernah ada konser musik band lokal
kabupaten, hal itu disebabkan promotornya adalah Djarum Super, yang pasti
memiliki modal untuk didahulukan.
Gambar 2. Masjid Besar Baitul Muttaqien Ambulu dan Alun-Alun Ambulu
Praktik konsep yang dipakai oleh pihak Masjid, sangat mempengaruhi
praktik religiusitas yang dilakukan di Masjid Besar. Hampir tidak ada ruang bagi
kyai NU lokal untuk menyampaikan ajaran ke-NU-an seperti fiqh sholat dan
ajaran sunnah dalam tradisi NU. Satu-satunya ruang tersebut hanya pada kajian
setiap Kamis Legi sore dan diisi oleh Kyai Baihaqi. Padahal, sebelumnya hampir
setiap hari ada pengajian tematik semacam itu. Misalnya, setiap hari Senin kajian
tauhid; Selasa kajian fiqh; Rabu kajian ahlak; Kamis kajian tafsir; dan Jumat
kajian hadis. Pemadatan tersebut lebih karena apa yang disampaikan para
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penceramah seringkali menonjolkan sisi ke-NU-an, bukan ke-Islam-an. Hal itu
dianggap dapat membuat jarak ya ng lebih lebar (tidak damai) antara pihak Masjid
dan kelompok lain, terutama Muhammadiyah.
Pemeliharaan konsep damai tersebut dilakukan hingga pemilihan
anggota takmir. Pada posisi ini, pihak Masjid sangat percaya bahwa masjid
merupakan intitusi dengan misi. Karena itulah kebutuhan pada pengadaan struktur
kepengurusan termasuk tugas kerjanya merasa sangat diperlukan. Yang dapat
dilihat dari struktur tersebut adalah sebagian besar pengurusnya adalah orangorang memiliki modal yang cukup kuat; pedagang kaya, santri ponpes ternama
(modern), anggota DPRD, Kepala Sekolah, berpendidikan tinggi, kepala desa, dan
kyai moderat.
Konsekuensinya, cara takmir menghidupi masjid hampir selalu
mencerminkan habitus mereka. Salah satunya, menjadikan Masjid Besar sebagai
“pusat perhatian”(seperti kebanyakan pengurusnya). Mulai dari bangunan yang
dibuat sebagus mungkin (hampir setiap tahun ada pembangunan), mengadakan
Sema’an Al-Quran se-Kabupaten Jember, menghadirkan Penceramah dari luar
Kabupaten. Bahkan, mengundang kelompok gambus (ja’fin) dari Situbondo, yang
juga kelompok gambus pertama yang pernah tampil di Ambulu (1995).
Hal inilah yang menjadikan Masjid Besar sebagai salah satu simbol
religius yang dominan dalam ruang religius. Akan tetapi, produksi makna religius
dalam ruang religius yang ada di Ambulu tidak hanya dihasilkan oleh simbol
fisik, tapi juga oleh simbol kegiatan religius, salah satunya jamaah pengajian.
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 3. Kelompok ja’fin dari Situbondo
2. Jamaah pengajian sebagai ruang intensional
Ruang ini berkebalikan dengan ruang Masjid. Jika ruang Masjid mendistorsi
pemaknaan tempat ibadah dengan konsep baru yang berlipat- lipat seperti konsep
“damai” dan “pusat perhatian”, ruang pengajian justru membuat suatu pemaknaan
“turun ke jalan” dan “dialami” oleh setiap muslim Ambulu. Jika ruang Masjid
membuat mekanisme seleksi, ruang pengajian membuat mekanisme sosialisasi.
Ruang pengajian membuat pemaknaan pengajian sebagai ruang mecari ilmu
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
agama sebagai ruang yang wajib didatangi, bahkan bagi orang yang tidak merasa
perlu mencari ilmu agama.
Makna yang diproduksi bukanlah makna pengajian, melainkan pengajian
itu sendiri. Pengajian pada posisi ini meyakinkan orang Islam di Ambulu Kota
untuk mempercayai pengajian sebagai ruang yang baik; ruang yang religius.
Untuk itulah, hanya lembaga atau orang yang memiliki modal religiuslah yang
dapat membentuk jamaah pengajian. Di Ambulu, modal religius yang dimiliki NU
sebagai organisasi hanya berhasil “berkomunikasi” dengan jamaah pengajian
perempuan. Karena, jangkauan NU sebagai organisasi di Ambulu meliputi tingkat
dusun (Cabang, Anak Cabang, dan Ranting) ada lebih dari 10 kelompok pengajian
yang ada di Ambulu Kota. Mulai dari pengajian Muslimat NU Ambulu kota,
pengajian Fatayat Ambulu Kota, pengajian kubro Fatayat tingkat kecamatan,
hingga pengajian-pengajian Muslimat tingkat dusun. Padatnya jadwal pengajian
perempuan yang dilaksanakan di tingkat Ambulu Kota, mengakibatkan jamaah
pengajian yang diprakarsai masyarakat sangat terbatas. Hanya tersisa satu jamaah
yang diprakarsai oleh masyarakat, yaitu jamaah diba’ tingkat Ambulu Kota yang
dilaksanakan seminggu sekali.
Pengajian yang diprakarsai masyarakat justru lebih bisa bertahan di
kalangan laki- laki. Dari sekian banyak jamaah pengajian laki- laki, hanya satu
jenis pengajian yang diprakarsai oleh organisai NU tingkat ranting Ambulu Kota
(setiap malam Sabtu, 2 minggu sekali). Selain itu adalah pengajian dzikrul
ghofilin (sebulan sekali); pengajian Sholawat Nariyah (sebulan sekali); pengajian
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tahlil malam Jum’at yang dilaksanakan hampir semua kampung; dan pengajian
malam Selasa.
Khusus pengajian malam Selasa, reproduksi pemaknaan tidak hanya
berasal dari pengajian, tapi juga dari ketuanya (sekaligus penceramah tetap) Ustad
Abdullah Aslam. Sebagai salah satu murid pesantren Darul Hikmah Jember yang
direkomendasikan langsung oleh Ustad Agil (Kyai Pesantren), ia dapat menjadi
“representasi religius” kelompok etnis keturunan Arab (Wong Pakistan). Dengan
pakaian khasnya, jubah putih (gamis), ia “berhasil” menjadikan gamis sebagai
salah satu mode pakaian muslim yang dikenal dan dapat juga dipakai orang
Ambulu.
Dari sekian banyak jamaah pengajian yang ada di Ambulu, orang
memiliki kriteria menilai orang baik, salah satunya dinilai dari frekuensi datang ke
pengajian. Posisi pengajian jauh lebih efektif mengakumulasi bentuk-bentuk
komunikasi masyarakat muslim Ambulu. Tidak mengherankan, jika dalam
pengajian orang lebih leluasa “berbicara” karena merasa nyambung. Pengajian
membuat orang mengenal banyak bentuk “percakapan” hingga memiliki
mekanisme seleksi sendiri. Pengajian malam Selasa misalnya, lebih sering
didatangi oleh jamaah yang membutuhkan perbincangan Islam “kontemporer”.
Pengajian ini memiliki mekanisme mirip pengajian televisi, di mana ada
penceramah tetap yang memberikan “siraman rohani”. Pola komunikasi yang
dikembangkan adalah komunikasi searah.
Berbeda dengan jamaah malam Selasa, jamaah tahlil atau pengajian
malam Jumat memiliki konsep pengajian yang relatif interaktif di setiap kampung.
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Setiap orang “dibuat” memiliki peran; mulai dari pembacaan Al-Quran hingga
pembacaan tahlil, mulai dari pengiring srakalan, hingga pembaca sholawat. Akan
tetapi, mekanisme komunikasi yang diterapkan dalam pengajian malam Jumat
tidak sangat tergantung pada penceramah. Karena itulah, kebutuhan kelompok
pengajian malam Jumat dengan pengajian malam Selasa sangat berbeda.
Termasuk kebutuhan musik. Justru dari jamaah pengajian malam Jumat kelompok
hadrah muncul karena kebutuhan musikalisasi sholawat.
Singkatnya, model pengajian semacam pengajian malam Jumat memiliki
kemampuan mengapropriasi bentuk-bentuk bidang lain yang sejenis. Hadrah,
selain merupakan musikalisasi sholawat nabi, juga mengindikasikan bentuk
pertunjukan yang dihidupi dari pembagian peran yang seragam. Tidak ada alat
musik yang dominan atau pemain yang dominan. Semua pemain sekaligus
vokalis. Model tersebut tidak dimiliki oleh pengajian malam Selasa. Sampai
sekarang, tidak ada bentuk lain yang berkembang dalam ruang komunikasi
pengajian malam Selasa. Kalaupun ada usulan mengembangkan musik religius
dalam ruang pengajian malam Selasa, usulan tersebut tidak berhasil melahirkan
satu kelompok musik pun dari ruang ini.
Bagaimana dengan pengajian perempuan? NU sebagai motor penggerak
pengajian cukup membuat citra pengajian perempuan up to date, terkesan “maju”.
Bukan soal trend pengajian, melainkan terlihat religius pada zamannya. Untuk
itulah, bentuk-bentuk budaya pop (modern?) cepat menjadi model artikulasi
pengajian. Misalnya saja: model seragam jamaah yang setiap tahun berbeda,
mengik uti trend artis religius tertentu, atau melodi pelantunan diba’ yang
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengikuti lagu pop. Bahkan, kebutuhan jamaah perempuan pada musik religius
yang sedang populer terlihat betul hampir dalam segala hal. Karena, satu-satunya
musik religius perempuan yang populer adalah qasidah (Nasida Ria), sudah bisa
dipastikan seluruh kelompok yang terbentuk dari jamaah pengajian perempuan
adalah qasidah (samroh). Sebut saja kelompok Al-Inaroh, Al-Mar’atussholihah,
dan sebagainya.
3. Musholla sebagai ruang “bahasa”
Masjid dan Pengajian menjadikan makna yang ada padanya diseleksi atau di
distribusikan. Akan tetapi, musholla sebagai ruang religius justru mengalami
proses kehilangan makna dan hadir merepresentasikan format baru yang juga siap
dimaknai kembali. Hal ini terjadi pada musholla Najjatul Khoir dan Miftahul
Khoir. Eksistensi musholla yang terlanjur dimaknai sebagai alternatif tempat
sholat selain masjid, diganti dengan eksistensi tempat mengaji. Sekitar 30 tahun
nama musholla Najjatul Khoir diganti menjadi pesantren Najjatul Khoir.
Sementara, mengikuti “popularitas” Najjatul Khoir (termasuk mengikuti nama),
musholla Miftahul Khoir yang sebelumnya dikenal sebagai langgar Kauman
Kidul diubah menjadi Pesantren Miftahul Khoir.
Mekanisme pesantren pada dirinya sendiri merupakan ruang intensional
seperti pengajian. Jika makna pengajian “turun ke jalan” dengan cara “dialami”
oleh setiap muslim, makna pesantren justru “dialami” oleh orang yang merasa
mapan ilmu agamanya. Akan tetapi, pada perkembangannya ruang pesantren
menjadi ruang distorsif yang seringkali berakhir dengan dimaknai sebagai areal
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
luas dimana santri menginap. Pada kasus pesantren Ambulu, tidak ada pemilik
modal yang memiliki areal luas dan menyediakan kamar untuk santri menginap.
Hanya ada kelompok orang yang “t erpanggil” untuk memberikan ilmunya. Sekitar
30 tahun lalu, setiap orang memiliki kelompok mengaji di rumah masing- masing.
Tradisi ini paling banyak dilakukan oleh Keluarga Marhaban. Akan tetapi, dalam
perjalanannya “privatisasi” rumah tinggal sering menjadi alasan untuk tidak lagi
memakai rumah sebagai tempat mengaji. Selain, karena pada praktiknya
mekanisme semacam ini telah diwakili oleh jamaah pengajian.
Jika pengajian telah mencukupi, kenapa muncul pesantren? Karena ada
kelompok muslim yang belum terpanggil dalam pengajian, yaitu kelompok remaja
dan anak-anak. Karena remaja dan anak-anak dinilai sebagai figur yang “labil”,
maka fungsi pesantren menjadi relevan untuk kelompok tersebut. Pesantren yang
dimaksud bukan “pesantren mainstream”, tapi pesantren musholla. Hasilnya, dua
simbol ruang religius terpaksa berada dalam satu ruang. Konsekuensinya, ada
produksi simbol dan pemaknaan baru yang diambil dari keduanya.
Simbol baru tersebut bukan saja merupakan simbol akumulasi
pemaknaan makna religius, tapi juga mengganti makna ruang religius yang
disaingi. Dalam hal ini, musholla adalah ruang yang disaingi oleh ruang
pesantren. Makna musholla hanya dipakai untuk menunjukkan status kepemilikan
ruang adalah masyarakat sekitar. Akan tetapi, pemaknaan selanjutnya dilakukan
oleh pesantren. Singkatnya, pesantren musholla dapat menghasilkan pemaknaan
pengelolanya adalah orang yang “dipercaya” oleh masyarakat sekitar. Sekaligus,
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menghasilkan pemaknaan dimana semua segmen (remaja SMP-SMA dan anakanak) pesantren di sekitar musholla memiliki kewajiban mengikuti pesantren.
Para pemain Al-Asyik “berjumpa” dengan ruang religius dalam
pesantren musholla Miftahul Khoir Kauman Selatan. Dari sana, mereka mengenal
“koneksi religius”. Dalam kehidupan sehari- hari takmir maupun pengurus
pengajian adalah tetangga mereka. Ketika berada dalam mekanisme ruang
religius, status tetangga akan tergeser oleh status religius. Untuk “menyapa”
tetangga dengan status religius, para pemain perlu memakai simbol-simbol
religius. Para pemain dapat “berkomunikasi” dengan tetangga religius saat
menjadi pemain hadrah pesantren Miftahul Khoir. Pada saat itulah pemain
memiliki modal kultural untuk mengakses medan religius, terutama medan musik
religius.
B. Ruang Musikal
Gambus sebagai musik religius tidak juga dapat melepaskan diri dari penilaian
ruang musikal. Ruang musikal, dalam hal ini, akan berhubungan secara
paradigmatik dengan ruang religius dalam membentuk medan gambus. Jika dalam
ruang religius, produksi makna religius gambus datang dan dihidupi dari simbolsimbol yang berkonotasi dengan religiusitas, dalam ruang musikal akan dilihat
bagaimana simbol-simbol tersebut ditegaskan maknanya oleh simbol-simbol
musikal. Dengan kata lain, ruang musikal akan dilihat sebagai ruang perebutan
legitimasi musikal.
54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Legitimasi macam apa yang sedang diperebutkan dalam gambus religius,
dapat dilacak dari ruang musik religius industri dan ruang musik religius tradisi.
Pembagian ruang tersebut bukan semata- mata untuk membedakan musik religius
yang dihidupi oleh industri dengan tradisi, tapi juga untuk menegaskan bahwa
interaksi keduanya dengan budaya masyarakat Ambulu telah menghasilkan
bentuk-bentuk musik religius. Dengan alasan yang sama, penjelasan mengenai
industri musik religius dan musik religius tradisi akan dilihat ketika berinteraksi
bersama-sama. Kalaupun penjelasan berikut dimulai dengan penjelasan mengenai
bisnis musik religius, hal itu lebih karena alasan tehnis; dari mekanisme bisnis
musik yang lebih jelas dan relatif mapan, akan dilihat apa yang dapat “diperbuat”
oleh musik religius tradisi yang memiliki mekanisme relatif lebih rumit.
Penjelasan tentang hal itu akan dimulai dengan pertanyaan: “musik
religius mana yang paling laku di Ambulu? Pertanyaan tersebut tidak mudah
dijawab kecuali dengan memberikan keterangan waktu; sekarang, sepuluh tahun
lalu, atau beberapa tahun yang akan datang? Pada umumnya, laku tidaknya suatu
jenis musik sangat tergantung pada waktu; dulu laris manis, sekarang bisa jadi
disebut kuno dan kurang laku. Dua puluh tahun lalu 1 , toko kaset di Ambulu laris
menjual album qasidah kelompok Nasida Ria. Bahkan, kelompok-kelompok
qasidah yang megikuti gaya Nasida Ria juga ikut laris. Beberapa tahun lalu, duet
sholawat Hadad Alwi dan Sulis menjadi ikon musik religius. Akhir-akhir ini,
kaset show kelompok gambus Balassyik di berbagai tempat juga banyak dimiliki
oleh masyarakat Ambulu, terutama masyarakat Ambulu kota. Berbarengan
1
Dilihat dari ijin industri Puspita Record untuk kaset Nasida Ria Vol. 21 tertulis tahun 1986.
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan beberapa jenis musik tersebut, musik- musik pop religius seperti album
Bimbo, Rhoma Irama, Ungu, Oppick, dan sebagainya juga tetap laris.
Pada posisi ini, medan musik religius sedang didekati dari legitimasi
ekonomis. Legitimasi ekonomis menyediakan bentuk-bentuk yang secara
keselurahan dapat meningkatkan akumulasi modal ekonomis; yaitu bisnis. Nasida
Ria, Bimbo, Balassyik, dan sebagainya disebut sebagai kelompok musik religius
“kelas atas” karena paling banyak mendatangkan keuntungan ekonomis.
Mengikuti kerangka Bourdieu, musik religius, dalam hal ini jelas merupakan
bagian dari bisnis kapitalis lanjut; produksi dan ukuran keberhasilan musik
religius ditentukan oleh jangkauan pembelinya 2 .
Untuk itulah, bisnis musik religius perlu melakukan “sosialisasi” untuk
menarik minat beli masyarakat. Sosialisasi tersebut tidak hanya berfungsi untuk
menjual lagu tapi juga me njual musik, kemasan musik, dan pendukung musik.
Musik (pop) secara tegas dikenalkan oleh bisnis industri rekaman melalui bunyibunyian yang dihasilkan. Dari sana, musik dikemas dan dinilai. Teknologi
rekaman suara yang dikerahkan untuk memanipulasi suara turut mempengaruhi
“kelayakan” suatu album untuk dibeli. Program radio, program televisi, dan toko
kaset, merupakan media sosialisasi yang menunjukkan kelompok “pengkonsumsi”
musik. Nasida Ria, Bimbo, Balassyik, dan sebagainya kenalkan oleh media
tersebut sebagai artis dan pengkonsumsinya disebut penggemar artis.
Di Ambulu, ternyata, reaksi pasar pada Bimbo tidak selaris Nasida Ria.
Ketika Nasida Ria dikenalkan sebagai grup qasidah, jamaah pengajian perempuan
2
St. Sunardi dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm:7
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan kelompok-kelompok samroh menjadi segmennya. Nasida Ria mengemas
qasidahnya identik dengan penyanyi dan semua pemain musiknya perempuan
berkerudung dan berseragam. Lebih jauh, qasidah Nasida Ria membuat
pendukung samroh merasa memiliki kedekatan dengannya. Padahal, di Ambulu
hampir semua perempuan muslim ikut pengajian. Hingga, sah-sah saja jika para
pemain samroh perlu mengubah penampilan dengan memakai seragam ala Nasida
Ria.
Gambar 4. Kelompok Nasida Ria
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 5. Grup Samroh Santri Najjatul Khoir
Akan tetapi, Nasida Ria tidak hanya sedang membidik segmen “aktivis”
pengajian atau pemain samroh di daerah, tapi juga membidik segmen perempuan
muslim pada umumnya. Segmen tersebut diperluas dengan menunjukkan
kekuatan alat musik. Alat musik Nasida Ria dibuat berbeda dengan samroh. Alat
musik yang dipakai Nasida Ria digolongkan (oleh bisnis musik) sebagai alat-alat
musik modern, seperti keyboard, gitar elektrik, dan biola.
Agar Nasida Ria tidak cepat turun harga jual dan pamornya, industri
rekaman yang sama (Puspita Record) mengeluarkan kelompok tandingan, antara
lain “Puspita Ria”, “Nida Ria”, “Ampel’s Group” dan “El-Hawa”. Kelompok
tandingan juga dibentuk untuk menyaingi musikalitas Nasida Ria. Puspita Record
memproduksi kelompok “Rebana Modern” untuk menggaet konsumen yang tidak
terlalu setuju dengan pemakaian alat-alat musik modern dalam qasidah.
Kelompok-kelompok tersebut antara lain “Rebana Ria” dan “Al-Akhyar”.
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kesuksesan genre qasidah 3 di pasar musik dilengkapi oleh gambus.
Kalau dua jenis sebelumnya mengambil segmen perempuan, gambus ditujukan
untuk laki- laki. Puspita Record memproduksi Gambus El Balassyik Muhdar al
Atas (1989) dan El Muhajirin Abdullah Hinduan (1992). Tanama Record
memproduksi gambus Al Fata Wahid Dinar (1990). Pembedaan bentuk kelompok
gambus
dengan
kelompok
genre
qasidah
lainnya
adalah
pada
cara
memperkenalkan musik. Gambus justru dikenalkan bukan melalui musik,
melainkan melalui lirik dan penyanyinya; lirik berbahasa Arab dan penyanyi lakilaki dengan cengkok Arab. Hal itu juga yang menjadikan pemberian nama
penyanyi bersama-sama dengan nama grup dalam cover kaset menjadi hal yang
hampir pasti.
Lantas, bagaimana orang mengenali musik gambus? Orang memang
tidak dibuat mengenal gambus secara musikal. Pemahaman orang terhadap
gambus sejak awal sudah dihentikan oleh cover kaset. Hampir semua cover kaset
gambus menunjukkan wajah penyanyi yang sedang membawa gitar gambus. Jika
bukan itu, biasanya cover menunjukkan foto penyanyi yang berpakaian dengan
model Timur Tengah. Hal itu menunjukkan bahwa musik gambus adalah musik
yang diadopsi dari musik Timur Tengah.
3
Lihat pengklasifikasian Helene Bouvier dalam Bab I. Bdk dengan, William P Malm, dalam
Musical Culture of The pasific, the Near East, and Asia. Juga, Henry George Farmer, A History of
Arabian Music to The XIIIth Century.
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 6. Contoh cover kaset gambus
Lebih jauh, cover kaset bahkan telah menjadi sumber informasi
mengenai gambus. Akan tetapi, informasi tersebut bukan dipakai untuk
“diinternalisasi” (seperti kasus samroh menginternalisasi qasidah), melainkan
untuk menegaskan gambus memang tidak bisa diinternalisasi oleh masyarakat
Ambulu. Tidak ada habitus musikal gambus dalam masyarakat Ambulu.
Mengapa laku? Karena cover dan tentunya lirik sangat akrab dengan
habitus religius masyarakat Ambulu. Musik gambus merupakan musik yang asing
didengar, tapi dapat diterima. Penerimaan tersebut tidak hanya berwujud
pembelian kaset, tapi juga dipakainya lagu- lagu gambus tersebut sebagai lagu
pengiring gerak dan tari dalam acara religius. Bahkan, lagu SalaminBa’it
(Abdullah Hinduan) dan Magadirr (El Fata) menjadi hits gambus “sepanjang
masa”.
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Musik gambus, pada posisi ini, tidak mudah untuk dibaca oleh modal
kultural lokal. Gambus menjadi musik yang hanya bisa didengar tapi tidak bisa
dipakai (sebagai budaya musikal religius). Gambus pada posisi ini, secara musikal
tidak banyak mendapat dukungan modal kultural. Mengetahui “kelemahan”
gambus semacam ini, industri rekaman gambus buru-buru memproduksi gambus
lain, yaitu gambus berbahasa Indonesia 4 . Di tempat lain, seperti di Surabaya dan
Jakarta, gambus semacam ini menjadi penyelesaian “masalah” pasar gambus.
Sebaliknya, di Ambulu, gambus semacam ini justru tidak laku karena dianggap
tidak mengakses habitus apapun, religius maupun musikal.
Penyelesaian “masalah” justru datang dari gambus yang dipopulerkan
oleh Al-Qolam Record. Jika kelompok-kelompok gambus sebelumnya disiapkan
untuk dimaknai sebagai musik religius asing, dengan kelompok gambus La Tansa
Mustafa Abdullah (1994) keasingan tersebut “diakrabkan”. Bukan dengan
mengubah lirik Arab menjadi lirik Indonesia, tapi dengan musiknya. Musik
gambus La Tansa, meskipun tidak banyak berbeda dengan gambus lainnya,
menghadirkan kesan akrab dari kemampuannya membiarkan orang mengenal
unsur-unsur pembentuk musik gambus. Sejak dari cover kaset, mereka tidak
menunjukkan “keberartian” gitar gambus. Yang menjadi ikon dalam cover justru
Mustafa yang berwajah keturunan Arab. Dengan cara itu, orang dibuat menebak
gambus seperti apa yang sedang ditawarkan La Tansa. Ketika mendengarkan
suara Mustafa melantunkan lagu- lagu berlirik Arab dalam iringan musik gambus,
4
Gambus semacam ini sempat meramaikan industri gambus, seperti gambus yang dimainkan
kelompok Gambus Modern Assalam dengan lagu “Gadis Pujaan”. Yang paling aktual adalah
gambus yang dibawakan oleh kelompok Debu.
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ternyata, secara psikologis orang merasa sedang mendengar musik pop; easy
listening. 5
Gambar 7. Cover kaset Kelompok Gambus La Tansa
La Tansa, pada posis i ini, sedang mengalami apa yang dialami Nasida
Ria, yaitu memakai alat musik modern (gitar elektrik, bass elektrik, keyboard,
biola, dan drum set) untuk memproduksi citra modern. Konsekuensinya, untuk
menjangkau kelompok masyarakat yang tidak sepakat dengan pemakaian alat-alat
musik tersebut, industri rekaman juga perlu menyediakan musik gambus
tandingan. Kelompok gambus El Mira merupakan kelompok gambus yang
5
“Easy listening music is a style of popular music and radio format that emerged in the mid-20th
century, evolving out of swing and big band music, and related to Beautiful music and Light
music. Easy listening music features simple, catchy melodies, soft, laid-back songs and
occasionally rhythms suitable for couples dancing”, lihat www.wikipedia.com. Bdk dengan “Easy
listening is mostly instrumental pop music marked by light or nonexistent rhythms, designed to be
as unobtrusive as possible. Though it's generally thought of as quiet background stuff (a.k.a.
'elevator music'), easy listening also embraces unusual genres like space-age pop and the 'exotica'
sounds of Martin Denny and Juan Garcia Esquivel”, lihat www.cnet.com.
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dikenalkan oleh industri rekaman sebagai kelompok yang berbeda rasa musik
dengan La Tansa. El Mira adalah kelompok gambus ja’fin.
El
Mira,
bahkan,
menegaskan
perbedaan
bentuknya
dengan
mengenalkan visualisasi gambus ja’fin. Hampir seluruh kelompok gambus hadir
di Ambulu menyapa pendengaran, bukan pengelihatan. Hanya Radio yang mereka
pakai sebagai media sosialisasi. Saat itu, kelompok-kelompok musik pop religius
nyaris tidak dapat memakai Televisi untuk menyosialisasikan diri (sebagai artis).
Biaya produksi untuk membuat video klip dan menayangkannya di Televisi
sangatlah mahal. Hanya Nasida Ria dan Nida Ria yang mampu membiayai
pengeluaran tersebut. Ketika Masjid Besar mementaskan gambus, hal itu menjadi
pengalaman pertama melihat musik gambus. El Mira justru hadir sebagai penegas
bentuk gambus yang ditanggap oleh Masjid. El Mira “diuntungkan” dengan
maraknya pembajakan kaset yang diproduksi oleh industri kaset rekaman berizin
(major label) dan teknologi audio visual (camcorder). Dengan biaya produksi
lebih kecil (karena bisa dilakukan sendiri), kaset bisa cepat disebarkan melalui
jaringan kaset bajakan.
Pengalaman tersebut bukan saja pengalaman pertama masyarakat
Ambulu menyaksikan bentuk pertunjukan gambus, tapi juga pengalaman pertama
masyarakat merasakan habitus gambus. Ternyata, gambus dekat dengan hadrah.
Dengan cepat, bentuk-bentuk ja’fin dibaca oleh (modal kultural) masyarakat,
terutama para pemain hadrah. Bentuk-bentuk hadrah, yang sebelumnya sangat
mapan dengan pola lima tepukan untuk sholawat dan tiga pola tepukan untuk
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
srakalan, menjadi sedikit goyah ketika muncul dua pola tepukan yang ditawarkan
alat musik marwas yang mengiringi gitar gambus dalam ja’fin.
Agar tidak “terjebak” dalam ja’fin, kelompok hadrah yang ada di
Ambulu
membuat
pembedaan
tegas
peran
musikal
mereka.
Mereka
memperkenalkan secara publik bahwa mereka adalah kelompok hadrah, tapi bisa
jiduri (dari srakalan), sekaligus ja’fin. Kelompok-kelompok tersebut antara lain
kelompok hadrah Timur Pasar, Utara Pasar, dan Kauman. Hal itu bisa dilakukan
karena setiap jenis musik dipakai dalam acara berbeda. Hadrah dipakai untuk
acara tahlil dan jiduri untuk srakalan. Sedangkan, ja’fin dipakai untuk mengisi
acara-acara religius selain yang memakai lirik sholawat. Pada posisi ini, gambus
ja’fin memiliki segmen yang mirip dengan qasidah. Bedanya, pemain dan
pendukung gambus ja’fin sebagian besar laki- laki.
Dalam praktiknya, ketiga kelompok hadrah yang berperan ganda
tersebut mengikuti mekanisme pengelolaan yang ditawarkan industri rekaman.
Kelompok gambus La Tansa, misalnya, dikelola (baca: diarahkan) oleh Alwi Al
Hadaad. Alwi Al Hadaad, belakangan dikenal oleh publik dengan nama Hadad
Alwi sebagai teman duet Sulis dalam berbagai album sholawat “Cinta Rosul” (IV). Baik kelompok Timur Pasar, Utara Pasar dan Kauman, memakai “jasa”
pengarah atau pengelola yang memiliki modal ekonomi dan modal religius relatif
mapan. Hampir semua operasional kelompok ditangggung oleh pengelola
(pemilik modal). Bahkan, “hidup matinya” kelompok tersebut sangat tergantung
oleh pengelolanya.
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pengelola, relatif konsekuen dengan tindakannya karena tidak sedang
menggandakan modal ekonomi. Secara ekonomis, mengelola kelompok tersebut
tidak menghasilkan keuntungan. Akan tetapi, pengelola sedang menggandakan
modal kultural (modal religius). Modal ini sangat penting di Ambulu. Hampir
setiap medan yang dihidupi masyarakat Ambulu, mengisyaratkan kekuasaan
legitimasi religius. Oleh karena itu, pengelola memiliki banyak peran dalam
menentukan bentuk-bentuk musikal yang dihidupi setiap kelompok.
Konsekuensinya, perlunya seorang pengelola kelompok musik religius,
menjadi bentuk mitos yang mapan. Bentuk tersebut dapat terus direproduksi
ketika industri rekaman masih tidak banyak menggunakan compact disc (CD).
Ketika CD semakin murah dan mudah diisi, konsumen musik mulai dibiasakan
dengan pengalaman menonton musik religius. Pengalaman tersebut hampir pasti
menonjolkan pengalaman menonton pertunjukan pemain dan bukannya mencaricari siapa yang mengarahkannya. Mitos tentang pengelola dipudarkan dengan
mitos tentang pemain.
“Kesuksesan” bentuk mitos tentang pemain mengalami puncaknya saat
Balassyik (1997-sekarang) mulai mendominasi pasar gambus ja’fin. Balassyik
mengemas visualisasi apa yang dikenal sebagai gambus oleh masyarakat selama
ini. Balassyik mengembalikan bentuk yang dulu dihidupi oleh La Tansa, Abdullah
Hinduan dan sebagainya, yang disebut Balassyik sebagai gambus sarah dan
baladian. Hal itu ditegaskan oleh para penyanyi Balassyik yang sebagian besar
adalah penyanyi kelompok gambus tersebut, seperti: Mustafa, Nizar Ali, Haidar
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ali, dan sebagainya. Artinya, Balassyik diproduksi untuk membentuk pasar yang
berbeda dengan gambus ja’fin.
Fenomena Balassyik dibaca oleh masyarakat Ambulu melalui modal
kultural kemampuan memainkan alat musik Balassyik. Lebih jauh, Balassyik
memberikan informasi kemungkinan pemain mengusahakan modal kult uralnya
sendiri. Pemain gitar gambus, ternyata tidak dapat melepaskan diri dari pemain
tam-tam, pemain keyboard, dan pemain gitar elektrik. Memainkan gambus,
ternyata, tidak banyak berbeda dengan memainkan band. Oleh sebab itu,
Balassyik juga dibaca oleh modal kultural memainkan alat musik band, termasuk
para pemain band.
Keyakinan tersebut ditegaskan oleh industri rekaman musik pop. Ungu,
Repvblik, Gigi, dan sebagainya merupakan contoh kelompok band yang mampu
menembus pasar dengan dikenali sebagai musik religius. Bahkan, beberapa lagu
qasidah (Nasida Ria) juga dipakai dalam Album Gigi, seperti lagu Kota Santri dan
Perdamaian. Artinya, industri musik religius tidak hanya dicarikan bentuknya dari
berbagai bentuk-bentuk musik religius tradisi, tapi juga dari bentuk-bentuk musik
pop.
Di sisi lain, Balassyik juga menginformasikan bahwa memainkan
gambus, ternyata, berbeda dengan memainkan band. Balassyik mumunculkan
bunyi-bunyian yang tidak banyak diproduksi oleh musik pop. Melodi Balassyik
dikenali oleh modal kultural masyarakat melalui habitus yang berbeda dengan
habitus band. Habitus gambus di Ambulu diperoleh dari genre qasidah, ruang
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
religius, dan modal mengakses bahasa Arab. Singkatnya, habitus gambus
diperoleh dari musik religius tradisi dan industri musik religius tradisi.
Paradoks tersebut justru dibaca oleh kelompok hadrah Kauman sebagai
peluang mengeluarkan modalnya. Para pemain merasa dapat memadukan
paradoks kerena mereka pemain hadrah sekaligus, sebagian besar pemain, pernah
menjadi pemain band (Faruk, Eko, Aris, Fredi, Totok, Hayung). Sejak saat itu
(2000), pemain hadrah Kauman mulai mengusahakan status barunya sebagai
pemain gambus. Oleh sebab itu, mereka pun merasa perlu membuat nama
kelompok agar dikenali saat kapan mereka dikenal sebagai kelompok hadrah atau
sebagai
kelompok
gambus.
Melalui
beberapa
pertimbangan,
termasuk
pertimbangan daya ingat penonton, nama Al- Asyiq dipilih. Nama tersebut
menegaskan bahwa mereka bisa sama dan sekaligus berbeda dengan Balassyik.
Sama-sama gambus, tapi gambus dari tradisi hadrah.
Akan tetapi, dalam praktiknya, nama Al-Asyiq tidak banyak diingat oleh
masyarakat Ambulu. Masyarakat lebih sering mengenali mereka sebagai
kelompok gambus “arek-arek Kauman”. Mengapa? Karena pada saat yang sama
kelompok hadrah Utara Pasar dan Timur Pasar juga mengumumkan sebagai
kelompok hadrah yang juga bisa main gambus. Artinya, Al- Asyiq sedang
disaingkan dengan kelompok lainnya.
Meskipun demikian, Al-Asyiq sadar betul kalau gambus yang
dihidupinya berbeda dengan kedua kelompok tersebut. Gambus Utara Pasar dan
gambus Timur Pasar hanya mampu memainkan ja’fin dan tidak memiliki modal
kultural memainkan alat musik modern untuk menyaingi Balassyik. Hal inilah
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang menjadikan Al-Asyiq perlu mengambil langkah berani agar orang tidak lagi
membandingkannya dengan kedua kelompok tersebut. Langkah yang dipilih
adalah berhenti menyebut dirinya sebagai kelompok hadrah. Secara publik,
mereka hanya mengenalkan satu status, yaitu sebagai pemain gambus.
Konsekuensinya, para pemain juga merasa perlu mengubah gambaran orang
mengenai kelompoknya. Al- Asyiq, akhirnya, mengubah nama menjadi Al- Asyik.
Dengan nama “barunya”, Al-Asyik mulai merumuskan gambusnya dari awal.
C. Kesimpulan
Medan gambus merupakan medan yang dihidupi dari ruang religius dan ruang
musikal. Keduanya berhubungan secara paradigmatik. Akan tetapi, keduanya
memiliki mekanisme ruang yang berbeda. Ruang musikal lebih adaptif dengan
mekanisme dalam ketegori Bourdieu mengenai medan seni (artistic field). Medan
seni berada dalam medan kekuasaan (field of power) yang tidak lain adalah
kekuasaan ekonomi 6 . Sedangkan, ruang religius mempertahankan mekanisme
yang cenderung distorsif untuk menjaga kualitas modal kultural, terutama
berkaitan dengan menjaga kekuasaan legitimasi religiusitas.
Medan gambus, dalam hal ini, merupakan medan yang menampung tarik
ulur, interaksi, konflik, sekaligus pengabaian, antara ruang religius dan ruang
musikal; antara legitimasi religius dan legitimasi ekonomis. Aturan main yang
diberlakukan di dalamnya ditujukan untuk adaptif dengan kedua legitimasi ruang.
Akan tetapi, ketika pembacaan masyarakat Ambulu terhadap musik- musik religius
6
St. Sunardi, dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm: 9
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan legitimasi ekonomis memakai modal kultural, mau tidak mau bentukbentuk
pembacaan
yang
dilakukan
pun
pertama-tama
ditujukan
untuk
meningkatkan akumulasi modal kulturalnya.
Kehadiran Al-Asyik dalam kultur budaya musikal religius masyarakat
Ambulu, berawal dari kebutuhan semacam itu. Akan tetapi, ketika medan gambus
yang dihidupi adalah medan gambus Balassyik, Al-Asyik perlu mengeluarkan
modal kultural dari habitus musik pop selain dari habitus musik religius tradisi.
Konsekuensinya, praksis gambus Al- Asyik akan mengalami perpaduan antara
berbagai bentuk musik yang ada.
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS
Bab sebelumnya telah menjelaskan medan gambus yang harus dilalui Al- Asyik.
Pada bab ini akan ditunjukkan apa yang dilakukan Al-Asyik dalam
pertunjukannya
mengarahkan
(praksisnya).
pemahaman
Penjelasan
bahwa
bentuk
Bourdieu
praksis
mengenai
adalah
bentuk
praksis,
untuk
berkomunikasi dengan medan. Bentuk tersebut dapat berupa ekspresi pemain
terhadap ideologi medan, atau juga bentuk impresi ideologi pemain terhadap
kelompok lain1 . Praksis yang akan ditunjukkan dalam bab ini juga akan membuka
kemungkinan bentuk-bentuk yang “gagal” diideologisasi. Dengan demikian, kita
dapat menempatkan praksis Al-Asyik dari pilihan-pilihan bentuk gambus yang
dihidupinya. Dalam wawancara, pemain menyebut empat bentuk gambus yang
sering mereka mainkan: ja’fin, sarah, baladian, dan dhaifah. Uraian berikut
merupakan upaya untuk menunjukkan keberartian setiap bentuk praksis.
A. Ja’fin: Awal perjumpaan
Ja’fin adalah bentuk gambus yang pertama kali diterima oleh masyarakat Ambulu,
khususnya kelompok Al-Asyik. Ja’fin sejak awal diterima masyarakat sebagai
musik religius. Dalam genre musik religius yang ada di Ambulu,
ja’fin
menempati ruang religius yang sama dengan hadrah, rodat, dan jiduri. Hal itu
disebabkan karena alat musik dan lirik ja’fin memiliki kedekatan musikal dengan
1
Guerino Mazzolla, Semiotic Aspect of Musicology: Semiotic of Music, halm: 77.
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
musik- musik tersebut. Baik hadrah, rodat, jiduri maupun ja’fin, seluruhnya
mengandalkan alat musik tepuk. Hadrah dan rodat lebih banyak menggunakan
hadrah (alat musik). Sedangkan, jiduri dan ja’fin dominan memakai marwas.
Produksi nada yang dihasilkan oleh warna suara gambus justru
memberikan efek rileks pada “ketegangan” bunyi marwas. Hal inilah yang
membedakan ja’fin dengan jenis musik lainnya. Kalau permainan hadrah dan
lain- lain diawali oleh vokal, ja’fin diawali oleh solo gitar gambus yang relatif
panjang. Secara psikologis, orang yang mendengar ja’fin seolah sedang diminta
perhatiannya, tapi tidak serta merta membuat orang menghentikan aktivitas
sebelumnya. Dalam ja’fin, pendengar diberi kesempatan untuk berpendapat
mengenai kemungkinan yang terjadi selanjutnya.
Akan tetapi, kesempatan berpendapat yang diberikan ja’fin hanya
terbatas dalam medan musik religius. Kesempatan berpendapat dibatasi dengan
“kemasan” ja’fin, yaitu kemasan dengan pemaknaan religius par exellence. Ja’fin
hanya ditampilkan dalam acara religius, dengan cara religius, kelompok orang
religius, lirik religius dan dengan pakaian religius 2 . Acara religius ditandai dengan
acara-acara HBK (Hari Besar Keagamaan) Islam, seperti: Maulid Nabi, Isra’
Mi’raj, Tahun baru Islam, dan sebagainya. Kelompok religius ditandai dengan
kelompok pendukung ruang religius, terutama takmir dan pengurus pengajian.
Cara religius ditandai dengan formasi pemain yang tidak memungkinkan orang
“banyak gaya”, seperti formasi duduk setengah lingkaran dan berhadapan sejajar
dengan penonton. Lirik religius ditandai dengan tema-tema keagamaan, misalnya
2
Lihat hasil kuesioner mengenai gambus religius dalam lampiran 3 halm: 136
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seperti lagu Rabby Faj’al. Sedangkan, pakaian religius dalam ja’fin hanya gamis.
Dengan kata lain, pendapat yang mungkin dimunculkan adalah pendapat tentang
kereligiusan ja’fin.
Kesempatan berpendapat yang diberikan oleh ja’fin juga diterima oleh
pemain. Melalui kaset gambus yang ada di Ambulu, Al- Asyik dikenalkan dengan
“cara” memperlakukan irama ja’fin. Misalnya, gambus ja’fin yang dipopulerkan
El-Mira. Irama tetap yang dimiliki ja’fin ternyata dapat diperpadat dengan cara
menambah alat musik. Alat musik yang dikenalkan adalah keyboard.
Gambar 8. Kelompok gambus Al-Asyik
Mengapa keyboard? Karena keyboard dapat memberikan sensasi bunyi
sesuai kebutuhan. Ja’fin dinilai perlu menambah sensasi religius. Sensasi religius
terutama dapat dimunculkan dengan alat musik yang dapat menghasilkan efek
drone (bunyi nada rendah yang ditahan) seperti sitar India. Hasil petikan gitar
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
gambus justru hanya menghasilkan bunyi yang amplitudonya pendek sehingga
tidak dapat menghasilkan efek drone. Efek drone tersebut dapat dimunculkan oleh
keyboard.
Dalam perkembangannya, keyboard nyaris tidak pernah absen dari
pertunjukan kelompok gambus manapun. Termasuk dalam pertunjukan AlAsyik 3 . Penanggap lebih cenderung menanggap kelompok gambus yang memakai
keyboard. Keyboard telah menjadi penanda “komersial”. Mengaitkan musik
religius dengan nilai komersial dalam sejarah musik di Indonesia hampir selalu
melibatkan keyboard.
Al-Asyik ternyata memerlukan ja’fin yang komersil. “Keperluan” AlAsyik terhadap keyboard bukan pada nilai komersil itu sendiri, melainkan pada
nilai yang sedang disaingi oleh nilai komersil, yaitu nilai religius. Pada saat itu,
Al-Asyik harus menunjukkan identitas yang dapat membedakannya dengan
kelompok gambus lokal seperti kelompok gambus Timur Pasar dan Utara Pasar.
Satu-satunya cara (karena sangat miskin informasi bentuk) yang mungkin
ditempuh adalah dengan membuat perbedaan bentuk. Keyboard dinilai sebagai
penanda perubahan bentuk. Dengan keyboard Al-Asyik tidak hanya menunjukkan
identitasnya, tapi juga menunjukkan status posisinya melebihi kelompok gambus
lainnya yang tidak mampu memainkan keyboard. Tak heran, pada awal karirnya,
Al-Asyik menargetkan kepemilikan keyboard. Proposal pada beberapa donatur
pun disebarkan. Dengan mengatasnamakan kelompok gambus binaan pesantren
Miftahul Khoir, mereka mampu meyakinkan para donatur yang sebagaian besar
3
Lihat hasil kuesioner pada lampiran 3, halm: 134
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pendukung ruang religius untuk menyumbang. Akhirnya mereka mampu membeli
keyboard.
Bagaimana dengan pemainnya? Meskipun keyboard merupakan alat
musik “populer”, tapi tidak banyak orang Ambulu yang menguasainya. Keyboard
adalah alat musik yang diadopsi dari organ dan melalui proses yang lain alat
musik tersebut dinilai dekat dengan tradisi Kristen. Pada saat Aris bersedia untuk
belajar bermain keyboard secara otodidak dari kaset gambus. Seperti telah disebut
sebelumnya, kebutuhan menghadirkan keyboard dalam gambus adalah mengiringi
bunyi gitar gambus. Artinya, Aris memfokuskan keterampilannya bermain
keyboard untuk mengiringi gitar gambus.
Akan tetapi, pemaknaan “penanda” komersil yang dihasilkan oleh
keyboard jauh lebih banyak daripada kepentingan produksi nadanya dalam ja’fin.
Keyboard, pada praktiknya, bukan hanya menghasilkan sensasi komersil tapi juga
sensasi “ruang musikal”. Keyboard secara psikologis dapat memicu pemainnya
meningkatkan kemampuan musikalnya. Ketika Aris memperoleh informasi
pemakaian keyboard tidak hanya dari gambus, ia pun mulai mencoba memakai
keyboard untuk mengiringi ketipung (dangdut) dan gitar elektrik (pop dan rock).
Terbukti, saat ini Aris tidak hanya dikenal sebagai pemain gambus, tapi juga
menerima job.
Ketika ja’fin sangat tergantung pada sensasi komersil yang ditawarkan
keyboard, Aris pun menjadi “primadona”. Tanpa keyboard, Al- Asyik bisa tidak
jadi pentas. Artinya, Aris memiliki status (modal) yang lebih “baik” dibanding
pemain lainnnya. Tidak menutup kemungkinan, Aris memakai modalnya untuk
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melipatgandakan porsi keyboard dalam ja’fin. Untuk itulah, Al- Asyik mencari
kemungkinan lain untuk mengurangi dominasi sensasi keyboard.
Kemungkinan tersebut dicarikan dari cara memperpadat marwas.
Bagaimana mungkin? Dengan bentuk yang lebih kecil dari hadrah dan dengan
struktur nada terbatas, marwas pada dirinya sendiri sudah “padat”. Bahkan,
marwas tidak memberi kesempatan pada alat musik lain untuk mengaksesnya.
Kalaupun mungkin, kemungkinan itu sangat kecil.
Pertanyaan tersebut dijawab oleh fenomena Balassyik. Melalui
Balassyik, Al-Asyik mendapatkan bukan hanya informasi cara memadatkan
marwas, tapi juga meniadakan bunyi marwas. Cara tersebut diusulkan Balassyik
dengan menyebutnya sebagai gambus sarah dan baladian.
B. Sarah dan Baladian: Musik Religius, Selera Komersil
Musikalitas sarah dan baladian secara tegas berbeda dengan ja’fin. Perbedaaan
sarah dan baladian juga datang dari porsi alat musik pengganti marwas dalam
pertunjukan gambus. Semakin banyak porsi alat-alat musik tersebut, semakin
rapat jarak antar bunyi yang dihasilkan. Al- Asyik menyebutnya sarah bertempo
rapat. Sebaliknya, baladian lebih mudah dikenali dari tidak dominannya alat
musik tepuk (perkusi). Oleh sebab itu, Al-Asyik dapat mengidentifikasikan tempo
baladian secara lebih tegas; ¾-jeda.
Hadirnya sarah dan baladian sebagai bagian dari jenis gambus,
membuat orang lebih sulit mengidentifikasi apa sebenarnya musik gambus.
Kebingungan tersebut cepat diselesaikan oleh industri musik “Timur Tengah”
75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang diterima oleh masyarakat Ambulu dengan label musik gambus, seperti:
Kelompok gambus Abdullah Hinduan, gambus Haidar Ali, dan sebagainya.
Dengan lagu-lagu hits mereka seperti Magadiir, Salamim ‘Bait dan Narwatil
Ayyami, orang dibuat semakin tidak peduli mengenai “esensi” gambus. Dengan
cepat pula, sarah dan baladian dinilai setara dengan ja’fin; sama-sama gambus,
sama-sama religius dan sama-sama menggunakan bahasa Arab.
Konsekuensinya, sumber informasi bentuk pertunjukan gambus tidak
hanya datang dari ja’fin. Al-Asyik yang sedang “gelisah” dengan ja’finnya mulai
melirik tawaran bentuk yang disediakan sarah dan baladian. Mereka memilih
tawaran bentuk sarah dan baladian dari Balassyik. Sarah versi Balassyik dipakai
terutama pada bentuk “pengganti” marwas. Bentuk pengganti marwas bertugas
memberikan sensasi “tempo tetap”. Mengapa hanya sensasi? Karena warna suara
tumbuk,
kendang
dan
tam- tam
diakumulasikan
oleh
Balassyik
untuk
mengartikulasikan warna suara marwas dengan hasil yang sudah pasti berbeda
dengan marwas. Akan tetapi, justru perbedaan itulah yang sedang ditunjukkan.
Karena alat-alat musik tersebut bukan sedang ditawarkan, tapi sedang memastikan
kemampuannya menggantikan marwas. Perbedaannya dengan marwas diakui
sebagai kelebihan; kelebihan memperluas ruang musikal gambus.
Hasilnya, penanda tempo dalam sarah tidak lagi berupa bunyi yang
terkesan menggantung, melainkan berupa bunyi yang terkesan mengakhiri. Dalam
ragam musik indutri, bunyi yang berkesan mengakhiri biasanya berasal dari bass
drum dan ketipung (dangdut). Atau, dalam gamelan, bunyi tersebut dapat
disetarakan dengan suara gong. Tidak mengherankan jika di kemudian hari, Al-
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Asyik merasa sah-sah saja memasukkan drum set dalam pertunjukannya. Fungsi
bass drum mempertegas bunyi ndut ketipung, sekaligus “menyelamatkan” gambus
dari dugaan memakai bentuk dangdut. Dalam pertunjukan Balassyik, hal itu
cukup diatasi oleh keyboard yang distel dengan warna suara drum.
Kehadiran keyboard, drum, tumbuk, kendang, dan tam-tam dalam sarah
versi Balassyik dipakai oleh Al-Asyik untuk “memadatkan” ja’fin. De facto hal
itu tidak mengganggu irama, tapi justru “mengganggu” penilaian (mitos) ja’fin.
Ja’fin yang sebelumnya hanya ditempatkan dalam ruang eksklusif (ruang
religius), ditarik oleh alat-alat musik modern pada ruang publik (ruang musikal).
Pada pertunjukan lagu Ja’fin Katabna terlihat bagaimana ja’fin berkompromi
dengan rasa pop. Pada bagian interlude, produksi irama yang biasanya diisi oleh
gitar gambus atau marwas, diisi penuh oleh drum set dan keyboard.
Konsekuensinya, Al-Asyik berada dalam status “tidak jelas”; sepertinya
ja’fin, tapi bisa memunculkan egolan dalam gerak ja’fin yang dikenal hanya
memainkan tangan dan kaki; sepertinya religius, tapi kok dinikmati seperti musik
profan. Ketidakjelasan tersebut dicarikan penegasannya dalam sarah. Dengan
mengapropriasi
bentuk
sarah
Balassyik,
Al- Asyik
menegaskan
“ketidaksanggupannya” memenuhi prasyarat ja’fin. Akan tetapi, dengan sarah,
Al-Asyik hendak menambahi bahwa ketidaksanggupannya akan diganti dengan
prestasi, yaitu kemampuannya menyaingi sarah Balassyik. Jika berhasil, prestasi
ini akan mengantarkan gambus Al-Asyik sebagai kelompok dengan status religius
baru.
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 8. Goyang Ja’fin
Sarah dianggap lebih dekat dengan ja’fin daripada baladian. Dalam
sarah, irama tetap yang dimiliki ja’fin memiliki tempo yang lebih rapat. Tempo
rapat, dalam praksis musikal, hampir selalu dimaknai sebagai musik dengan bit
cepat dan suasana ceria, serta goyang4 , misalnya saja musik ska, disko, dan
sebagainya. Perbedaan sarah dengan musik dengan tempo rapat lainnya adalah
pada irama ja’fin. Sarah memungkinkan mengapropiasi bentuk ja’fin jauh lebih
sering daripada baladian. Dengan mempertimbangkan kemungkinan tersebut,
pemain Al-Asyik dapat tetap berkomunikasi dengan ja’fin sekaligus merumuskan
sarah menurutnya.
Perbedaan yang paling menonjol antara sarah Balassyik dengan sarah
Al-Asyik terletak pada “kemandirian” alat musik modern. Al-Asyik tidak “yakin”
kalau alat-alat musik seperti keyboard, tumbuk, kendang, dan tam-tam adalah alat
4
“A song can mean happyness, it can mean dance!”. Lihat, Guerino Mazzola, Semiotic Aspect of
Musicology: Semiotic of Music, halm: 75
78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
musik “tambahan”5 . Karena jika alat-alat tersebut dihilangkan, mereka tidak
mungkin seyakin saat ini dalam menghidupi gambus 6 . Bahkan, sebagian besar
pemain merasa alat-alat musik tersebut perlu “dimandirikan” dengan cara
mendatangkan alat musik lain dalam genre yang sama dengan masing- masing
alat-alat. Genre musik yang dapat diakses oleh habitus modal Al-Asyik adalah
pop dan rock 7 . Kehadiran gitar elektrik, bass elektrik, dan drum set dipakai untuk
melengkapi alat musik yang sudah ada.
Hasilnya, sarah versi Al-Asyik terasa lebih “akrab” daripada sarah
Balassyik. Nilai “akrab” tersebut tidak hanya diproduksi oleh alat musik atau
melodi yang mengartikulasikan irama ja’fin, melainkan dari kemampuan
musiknya “berkomunikasi” dengan penontonnya. Sarah Al-Asyik jauh lebih
landai, lebih familiar dan lebih umum. Ja’fin hanya menjangkau ruang religius
mainstream yang identik dengan acara, lirik dan pakaian religius, serta reduktif
sebagai musik religius laki- laki. Sebaliknya, sarah Al- Asyik menjangkau
kemungkinan musikal untuk mengakses penonton perempuan dan penyanyi
perempuan8 .
Pada posisi ini, Al-Asyik terlihat berbeda dengan Balassyik, meskipun
lagu dan aransemen musiknya sama. Akan tetapi, perbedaan tersebut pada saat
yang sama juga menjadikan status modal Al- Asyik disaingkan dengan Balassyik.
Persaingan dalam sarah dinilai menguntungkan Al- Asyik dalam wilayah yang
justru tidak sedang diusahakan para pemain, yaitu dalam wilayah hiburan. Al-
5
Hasil kuesioner menegenai alat musik yang harus ada dalam gambus, lampiran 3, halm: 135.
Hasil kuesioner mengenai reaksi terhadap keberadaan alat musik gambus, ibid, halm: 135.
7
Data kaset yang dikoleksi dan kelompok musik favorit, lampiran 1, halm: 123-128.
8
Hasil kuesioner tentang penonton dan penanggap, lampiran 3, halm;131.
6
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Asyik tidak menolak wilayah tersebut, tapi mereka harus meyakinkan bahwa
hiburan yang sedang ditawarkan adalah hiburan religius, komersil dan bisa
menyaingi Balassyik. Untuk meyakinkan hal itu, Al- Asyik perlu totalitas usaha
dalam menyaingi Balassyik.
Menyaingi Balassyik tidak hanya dalam sarah, tapi juga dalam baladian.
Baladian versi Balassyik menunjukkan kemungkinan lain “memperpadat” gitar
gambus dan mengurangi porsi bunyi alat musik tepuk selain melalui keyboard.
Bentuk yang ditawarkan dengan cara menggunakan alat musik pengganti marwas
hanya dalam jeda. Dengan demikian, kereligiusan baladian justru diantisipasi
sejak awal irama ole h gitar gambus dan dalam jeda oleh alat musik tepuk.
Masuknya drum set, tumbuk, tam-tam, kendang, dan keyboard dalam
gambus secara tegas telah “mengakhiri” bentuk ja’fin. Terutama setelah Balassyik
mampu merebut perhatian ruang religius dan ruang birokrasi. Tiba-tiba ja’fin
terasa sangat kuno, sedangkan sarah dan baladian menjadi sangat modern.
Melalui bentuk pertunjukan Balassyik, informasi bentuk gambus modern telah
menjangkau “kemasan” gambus. Balassyik menunjukkan bahwa musik religius
tidak perlu dimainkan dengan cara bersimpuh di atas karpet dan sejajar penonton.
Musik religius modern berarti modern pula setting panggungnya. Kaset-kaset
Balassyik yang beredar di Ambulu menunjukkan contoh-contoh pertunjukan
Balassyik saat pentas di Planet Hollywood Jakarta atau di Hotel Bandung Permai
Jember sebagai contoh pertunjukan modern.
Singkatnya, penilaian modern yang diperlihatkan oleh Balassyik telah
mampu menghasilkan perubahan bentuk. Mulai dari setting panggung hingga
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pakaian. Dalam foto berikut digambarkan setting panggung yang diilhami dari
Balassyik.
Gambar 10. Al-Asyik dengan seragam kemeja
Akan tetapi, perubahan bentuk yang disediakan Balassyik tidak hanya
mengisi bentuk yang sudah ada, tapi juga menambah kebutuhan stok bentuk, salah
satunya kebutuhan terhadap sound system. Dalam ja’fin pengeras suara hanya
diperlukan untuk memunculkan suara penyanyi agar tidak teredam oleh suara alat
musik pengiring. Dalam sarah dan baladian yang ditunjukkan oleh Balassyik,
sound system juga merupakan
kebutuhan musik pengiring; kebutuhan musik
pengiring mengeraskan “suara”nya.
Pada posisi ini, musik gambus modern diyakini dapat berfungsi sebagai
suara Islam. Lebih jauh, gambus dapat dipakai sebagai sarana menyuarakan esensi
keagamaan; dakwah. Medan sound system dalam praksis keagamaan erat
kaitannya dengan produksi makna dakwah. Melalui pemaknaan yang melekat
pada sound system, produksi makna gambus justru mengalami dualisme: religius
81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan komersil. Di tangan Balassyik, dualisme tersebut dapat diselesaikan dengan
membuat hits. Hits tertentu dapat mengalihkan tuntutan religius maupun tuntutan
komersil. Hits Balassyik bahkan dengan sendirinya disebut religius komersil,
misalnya; lagu Ghonnili dan Wannashabiyya.
Bagaimana dengan Al- Asyik? Menyaingi Balassyik, menurut para
pemain Al- Asyik, dimulai dari menunjukkan kemampuan mereka “mengatasi”
pertunjukan Balassyik. Mereka perlu menegaskan apa yang dilakukan Balassyik
bisa juga mereka lakukan. Tidak hanya cukup di situ, Al- Asyik perlu menawarkan
perbedaan, sehingga orang bisa membandingkan. Lebih jauh, Al-Asyik perlu
membuat status modal Balassyik tidak banyak berarti di Ambulu.
Untuk itulah, Al-Asyik mulai merumuskan sarah dan baladian menurut
versinya. Hiburan yang religius dan komersil dapat dirumuskan dari tiga hal: alat
musik, pakaian dan lagu. Dari alat musik, Al-Asyik membuat pembedaan dengan
cara memperbanyak porsi gitar elektrik dan drum set. Hampir dalam semua jenis
gambus yang ditampilkan Al- Asyik, suara gitar elektrik dan drum memadati
melodi gambus. Alat tersebut, disengaja atau tidak, membuat gambus seolah tidak
sepenuhnya rela untuk dikenali sebagai musik religius. Karena dari sanalah,
makna hiburan dielaborasi oleh Al-Asyik. Al-Asyik justru menghadirkan simbol
religius dari pakaian. Al-Asyik menegaskan seragamnya adalah gamis.
Sedangkan, penilaian komersil didatangkan dari lagu hits berbagai kelompok
gambus yang dikenali Al-Asyik lewat kaset, termasuk hits Balassyik.
Dengan cara ini, Al-Asyik sedang mengusahakan hitsnya sendiri.
Dengan hitsnya Al-Asyik juga me ngalami mekanisme diperlakukan sebagaimana
82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kelompok musik yang dilahirkan oleh industri musik seperti; menerima request
lagu dan ditanggap di luar Ambulu. Mekanisme ini pula yang membuat Al- Asyik
semakin yakin untuk memasuki industri musik religius 9 . Oleh karena itu,
kebutuhan menghadirkan musik religius komersil yang menghibur dicarikan
bentuknya dengan menghadirkan kebutuhan baru; kebutuhan menghadirkan musik
hiburan yang komersil dan religius. Al-Asyik menyebutnya sebagai dhaifah.
C. Dhaifah: Akhir Perjalanan?
Dhaifah merupakan bentuk gambus yang “rencananya” dipakai Al- Asyik untuk
berkomunikasi dengan industri musik religius. Sarah dan baladian, dalam
penilaian Al-Asyik, ternyata telah menjadi ikon musik Balassyik. Meskipun
dalam praktiknya Al-Asyik mamp u menawarkan alternatif bentuk sarah dan
baladian, hal itu tidak cukup untuk bersaing dengan Balassyik dalam konteks
industri musik religius. Al-Asyik beranggapan bahwa industri musik religius
dapat mengubah status suatu kelompok musik, dari biasa menjadi terkenal; dari
tidak diperhatikan menjadi pusat perhatian.
Hal tersebut ditegaskan oleh para pemain dalam kuesioner. Dalam
kuesioner mengenai alat musik, para pemain ternyata merasa perlu memakai alatalat musik yang dipakai Balassyik 10 . Ketika alat musik yang mereka miliki
selengkap Balassyik, sebagian besar pemain yakin dapat menawarkan bentuk
gambusnya pada industri rekaman. Keinginan Al- Asyik berurusan dengan indutri
9
Hasil kuesioner dalam lampiran 3, halm: 137.
Ibid, halm: 135.
10
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
rekaman juga dinyatakannya ketika ditanya mengenai penanggap yang paling
mereka inginkan11 .
Alat musik dan penanggap, dalam hal ini, dipahami Al-Asyik sebagai
unsur pembentuk budaya musikal yang sangat kuat. Dari alat musik, orang dapat
segera tahu modern dan tidaknya musik yang akan dipakai nanti. Sedangkan, dari
penanggap, orang dapat memaklumi bentuk apapun yang diusahakan pemain
merupakan bentuk yang “disepakati” bersama dengan penanggap. Melalui
dhaifah, Al-Asyik sedang mengusahakan standar modern dan bentuk gambus
yang mungkin disepakati industri rekaman.
Padahal, kesepakatan industri rekaman dengan suatu kelompok atau
jenis musik tertentu merupakan bentuk kesepakatan ekonomis. Artinya, dengan
cara tersebut, Al-Asyik sedang berusaha mencari legitimasi ekonomis. Benarkah
Al-Asyik sedang mencari legitimasi ekonomis? Atau, benarkah Balassyik dapat
disaingi dengan cara memapankan diri dalam medan gambus yang dilegitimasi
oleh kepentingan ekonomis? Bukankah ketika mereka “ikut- ikutan” mengejar
legitimasi ekonomis, mereka tidak sedang bersaing dengan Balassyik tapi justru
melengkapi Balassyik ? Bentuk dhaifah yang diperlihatkan Al-Asyik memang
terlihat memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak dipakainya gitar gambus, marwas,
bahkan tumbuk, dan tam-tam merupakan indikator yang sangat jelas kalau AlAsyik sedang “mengejar” legitimasi ekonomis ruang musikal. Indikasi lain, irama
dhaifah sama sekali tidak menyisakan jejak irama baladian, sarah, apalagi ja’fin.
11
Lihat lampiran 3, halm: 140
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Irama
dhaifah sepenuhnya memakai gaya musik pop, misalnya dalam lagu
Saaltinaar dan Aisyah.
Pada posisi ini, Al-Asyik secara tegas memisahkan rua ng religius dan
ruang musikal. Dhaifah menunjukkan bahwa urusan ruang religius dalam wilayah
kemasan (performansi) dan urusan ruang musikal dalam wilayah “isi”
(musikalitas). Penilaian religius direduksi menjadi pakaian dan acara. Oleh sebab
itulah mereka berani memainkan sholawat versi Ungu dalam acara Maulid Nabi
yang diselenggarakan Masjid Besar.
Dalam praktiknya, Al- Asyik tidak pernah betul-bentul memakai dhaifah
sebagai identitas pertunjukannya. Dhaifah biasanya hanya dipakai sebagai lagu
pembuka dan lagu penutup. Lagu selanjutnya bisa berupa lagu ja’fin, baladian
maupun sarah. Bagi orang yang baru melihat pertunjukan Al-Asyik akan dibuat
“terkaget-kaget”; tiba-tiba membuat orang goyang semaunya, tiba-tiba pula
membuat orang bergoyang dengan aturan goya ng tertentu. Akan tetapi,
pertunjukan Al-Asyik tidak pernah membiarkan musiknya untuk “tidak direspon”
oleh penonton. Bahkan, ja’fin pun “direkayasa” untuk dapat membuat orang
goyang.
Gambus di tangan Al- Asyik semacam gambus yang dipenuhi paradoks.
Karena itulah, pada awal pembahasan mengenai dhaifah, saya mengatakan kalau
dhaifah hanya “rencana” Al- Asyik untuk berkomunikasi dengan industri musik
religius, karena dalam pratiknya, dhaifah yang dimaksudnya tidak betul-betul
dipakai sebagai “suara”. Kecenderungan paradoksal tersebut juga dapat dilihat
dalam tabel ringkasan hasil kuesioner mengenai alat musik berikut ini:
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nama
pemain
Faruk
(melodi)
Fredy
(tam-tam,
marwas)
Hadi
(tumbuk,
marwas)
Zaenal
(rhythm,
tam-tam)
Eko
(drum)
Aries
(keyboard)
Hayung
(gitar
gambus,
tumbuk)
Totok
(tam-tam,
marwas)
Alat
Minimal alat musik
musik
untuk bermain gambus
terpenting
Tam-tam
Gitar gambus, marwas,
tumbuk, tam- tam
Keyboard Keyboard, gitar bass,
melodi, tumbuk, tamtam, marwas
Keyboard Gitar gambus, marwas,
tumbuk, tam- tam
Keyboard
Apa jadinya kalau alat
tersebut tidak ada
Kurang religius
Tidak jadi pentas
Kurang religius
Gitar gambus, marwas, Tidak jadi pentas
tumbuk, tam- tam
Keyboard
Keyboard, melodi, biola, Gambus kelihatan kuno
drum
Gitar
Gitar gambus, keyboard, Gambus kelihatan kuno
gambus
melodi, drum, marwas
Semua alat Semua
alat
musik Tidak disukai penonton
musik
ditambah suling
gambus
Keyboard
Gitar gambus, keyboard,
melodi, drum, marwas
Tidak jadi pentas
Dari hasil di atas, sebagian besar pemain menga nggap keyboard sebagai
alat musik yang paling penting dalam sebuah pertunjukan gambus. Akan tetapi,
ketika diminta menjawab alat musik yang sebenarnya dibutuhkan memainkan
gambus, jawaban mereka relatif beragam. Pertama, gambus dapat dimainkan
cukup dengan alat musik gitar gambus, marwas, tumbuk, dan tam- tam. Gambus
inilah yang dikenal sebagai ja’fin. Kedua, gambus dapat dimainkan dengan alat
musik perpaduan “modern dan tradisi” seperti, gitar gambus, keyboard, gitar
elektrik, dan marwas. Gambus dengan perpaduan semacam ini biasanya ditujukan
untuk mengakui bentuk ja’fin dan sarah modern. Ketiga, gambus bisa dimainkan
dengan memakai keyboard, bass elektrik, gitar elektrik, tumbuk, tam- tam, dan
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
marwas. Alat-alat tersebut merupakan alat yang dipakai dalam sarah dan
baladian. Keempat, gambus perlu memakai seluruh alat musik yang ada dan juga
ditambah seruling. Gambus semacam ini berusaha mengarikulasikan pop sarah
dan pop baladian. Kelima, gambus tidak perlu memakai alat musik “tradisi” sama
sekali, cukup dengan keyboard, gitar elektrik, biola, dan drum set. Sudah bisa
dipastikan pemain sangat mendukung kemerdekaan dhaifah.
Kelima tipe jawaban tersebut mengacu pada bentuk-bentuk musik yang
dihidupi Al-Asyik. Pada kolom selanjutnya, bentuk-bentuk tersebut diberi makna
oleh pemain. Pemaknaan yang diberikan berdasarkan arti pentingnya alat-alat
musik tertentu pada pemaknaan gambus. Data di atas menunjukkan variasi pemain
memaknai arti pentingnya alat. Jawaban “kurang religius” merupakan jawaban
yang diperuntukkan untuk memperoleh legitimasi ruang religius. Jawaban
“gambus kelihatan kuno” merupakan jawaban yang menunjukkan keterlibatan
ruang penilaian musikal, terutama industri musik religius. Jawaban “tidak disukai
penonton” jelas menandai ekspresi Al- Asyik sedang diimpresi oleh budaya
penonton. Sedangkan, jawaban “tidak jadi pentas” sebenarnya merupakan
jawaban yang mengindikasikan ketergantungan pemain terhadap pemaknaan
sebuah alat.
Secara sederhana, data di atas dapat disimpulkan sebagai data
pemaknaan ekstramusikal pemain pada alat-alat musik gambus. Lantas, apa
kaitannya
dengan
“kecenderungan
paradoksal”?
Ternyata,
pemaknaan
ekstramusikal Al-Asyik berasal dari habitus pop. Mereka menyatakan diri sebagai
pemain gambus dan siap ditempatkan dalam medan gambus, tapi tidak
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sepenuhnya memakai habitus gambus. Artinya, modal mereka sebagai pemain
hadrah hanya dipakai untuk membaca ja’fin. Ketika membaca sarah, baladian
dan dhaifah, mereka sepenuhnya memakai modal kultural sebagai pemain band.
Konsekuensinya, unsur-unsur pop yang terlihat dimunculkan Al-Asyik dalam
berbagai bentuk gambus merupakan bentuk imposisi12 pop. Ketika imposisi yang
diberikan mendominasi, seperti dalam dhaifah, para pemain terlibat “perang
internal”; “apa sebenarnya gambus itu? 13 Apakah gambus religius boleh tidak
kuno? 14 Atau, pemaknaan apa saja yang bisa dipakai dalam gambus? 15 .
Pertanyaan tersebut justru menegaskan ketidakpahaman mereka memahami
bahasa medan gambus.
Apakah mengeluarkan “suara” perlu memahami “bahasa”? jawaban
pertanyaan tersebut sangat tergantung kepada siapa suara tersebut hendak
diperdengarkan. Dalam praksis Al-Asyik, hal itu dapat diketahui dari pendukung
suatu kultur gambus Al- Asyik, yaitu penonton dan penanggapnya.
12
Habitus sebagai sistem disposisi (durrable disposition) berfungsi untuk memp erantai posisi
(position) dan mengambil posisi (position-taking). Kekuatan habitus inilah yang meneyediakan
energi untuk melakukan tawar menawar (salah satunya dalam bentuk pembelaan) dengan imposisi
dari medan. Lihat, St. Sunardi dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm: 16.
13
Ditunjukkan dari kecenderungan pemain berbeda pendapat atas bentukbentuk gambus yang
disediakan medan gambus, bahkan mereka juga tidak bersepakat dalam hal paling mendasar,
seperti alat musik dan kriteria religius gamb us. Lihat lampiran 3, halm: 134-141.
14
Ibid, halm: 137.
15
Jawaban tersebut sekaligus menandai “kemandirian” pemain untuk menentukan maknanya dan
tidak peduli dengan negosiasi pemaknaan yang mungkin dapat dicari sebagai gantinya.
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nama
pemain
Alasan Al-Asyik Alasan orang Penanggap
disukai penonton menanggap
paling
disukai
Faruk
(melodi,
gitar
gambus)
Fredy
(tam-tam,
marwas)
Hadi
(tumbuk,
marwas)
Zaenal
(rythm,
tam-tam)
Gaya pertunjukan Islami
bervariasi
modern
tapi Bank
Gaya pertunjukan Penggemar
bervariasi
gambus
Masyarakat
umum
Penanggap
paling
tidak
disukai
Parpol
Papol
Gaya pertunjukan Dari daerah Pak Camat
bervariasi
sendiri
Parpol
Musiknya
asyik Harga
buat goyang
tanggapan
terjangkau
Orang
Kristen,
Pakistan dan
Cina
Parpol
Eko
(drum)
Gaya pertunjukan Harga
bervariasi
tanggapan
terjangkau
Aries
Musiknya
asyik Dari daerah
(keyboard) buat goyang
sendiri
Hayung
Pemainnya
anak Harga
(gitar
muda semua
tanggapan
gambus,
terjangkau
tumbuk)
Totok
Musiknya
asyik Islami
tapi
(tam-tam, buat goyang
modern
marwas)
Pak Camat
Pak Camat
Pak Camat
Takmir
masjid
Bank
Orang
Pakistan
Parpol
Orang
Kristen
Dari tabel di atas, terlihat betul suara Al-Asyik memang tidak sedang
ditujukan untuk memahami bahasa medan gambus. Bahasa medan gambus hanya
dipahami seperlunya. Legitimasi religius dan legitimasi musikal (ekonomis) yang
menguasai medan gambus, “dikejar” sebatas tidak menghegemoni. Bahasa medan
gambus ternyata bahasa elit masyarakat religius 16 . Pada kolom alasan Al-Asyik
disukai penonton, terlihat jawaban Al-Asyik sangat kompak, yakni menunjukkan
16
Kategori kelas ekonomis dipakai Bourdieu untuk menunjukkan status distingsi dari bidang seni.
Bourdieu, Distinction: The Social Critique of The Judgement of Taste, halm: 35-38.
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kepercayaan diri pemain bukan pada wilayah “religius”, tapi wilayah “hiburan”.
Hal yang sama juga ditunjukkan ketika mereka menentukan penanggap yang
mereka sukai, sebagian besar menunjuk Pak Camat. Padahal Pak Camat, bahkan
bank, tidak banyak terlibat dalam “konflik” legitimasi medan gambus. Demikian
halnya ketika mereka ditanya mengenai penanggap yang paling tidak disukai,
sebagian besar menjawab parpol. Meskipun harga tanggapan parpol lebih besar
dari pada penanggap lainnya, parpol memiliki “peluang” untuk mendikte,
merepresi dan menghegemoni bentuk-bentuk yang dipakai Al- Asyik. Oleh sebab
itu, bentuk-bentuk praksis Al-Asyik dipenuhi dengan “perjuangan” menghadapi
bentuk-bentuk hegemonik semacam itu.
D. Kesimpulan
Ja’fin, sarah, dan baladian disediakan medan gambus sebagai suara yang dapat
dipakai berkomunikasi dalam bahasa medan gambus, lebih jauh, dalam budaya
musikal religius. Dalam praktiknya, Al-Asyik selalu bersaing dengan kelompok
lain untuk menunjukkan statusnya. Al-Asyik merasa bahwa bentuk-bentuk yang
disediakan oleh medan gambus tidak menyuarakan suara mereka. Dengan cara ini,
Al-Asyik juga ingin menunjukkan bahwa mereka juga mampu menciptakan
bentuk lain yang bisa dipahami medan gambus.
Mereka mengusulkan bentuk-bentuk gambusnya sendiri ya ng dipakai
untuk memenuhi persaingan legitimasi religius maupun musikal berdasarkan
modal kulturalnya sebagai pemain hadrah dan pemain band. Ja’fin, dalam medan
gambus sepenuhnya dipakai sebagai “penanda” kekuasaan legitimasi religius.
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sedangkan, sarah dan baladian dipakai untuk memenuhi legitimasi musikal.
Ja’fin, sarah dan baladian semacam itu masih dihidupi dengan baik oleh pemain
Al-Asyik. Pada posisi ini, ketiga jenis gambus tersebut dibaca dengan memakai
modal kultural pemain hadrah.
Akan tetapi, persaingan “hebatnya” dengan Balassyik membuat pemain
perlu (harus) mengeluarkan modal kultural pemain band. Sehingga, pembacaan
para pemain terhadap ja’fin, sarah, dan baladian menghasilkan bentuk-bentuk
yang bukan hanya berbeda dengan mainstream, tapi juga menentang mainstream.
Perbedaan dan penentangan tersebut ditegaskan dengan merumuskan bentuk
gambus dhaifah. Dhaifah, lebih jauh, membuat momen yang membawa Al- Asyik
pada suasana miskomunikasi dengan medan gambus, sekaligus membuat AlAsyik terjebak pada wilayah esensi gambus; apa perlunya menghidupi gambus
kalau ternyata bertentangan dengan dakwah musik religius? Oleh sebab itu, setiap
bentuk yang diusahakan oleh pembacaan Al- Asyik masih saja disajikan bersamasama dengan bentuk-bentuk mainstream. Hal ini dipahami pemain Al- Asyik
sebagai “bisikan” suara
mereka yang masih mungkin diselamatkan diantara
berbagai suara yang “berteriak”. Tabel berikut merupakan rumusan sederhana
bentuk-bentuk gambus dalam praksis Al- Asyik:
Habitus (modal)
+ Medan
Ruang religius
Ruang Musikal Religius Industri
Pemain hadrah
Ja’fin
Sarah
Pemain band
Pop ja’fin
Sarah
Baladian
Dhaifah
Sarah
Musik Tradisi
Baladian
91
Musik Pop
Pop religius
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
IDENTITAS GAMBUS Al-ASYIK
Bab ini akan menganalisa praksis Al-Asyik antara lain kaitannya dengan “suara”
yang ingin ditunjukkan Al-Asyik sebagai identitasnya. Dalam bab III telah
dijelaskan bahwa medan gambus di Ambulu dibentuk oleh dua ruang: ruang
religius dan ruang musikal. Pada bab ini, akan ditunjukkan bagaimana identitas
Al-Asyik menjangkau identitas yang disediakan dalam dua ruang tersebut. Jika
berhasil, hal itu juga akan menunjukkan identitas Al-Asyik dalam ruang religius
dan ruang musikal.
A. Identitas Religius sebagai Konsistensi
Kebutuhan
Al- Asyik
menjangkau
ruang
religius
merupakan
kebutuhan
memperoleh status religius. Status religius di Ambulu hanya dapat diberikan oleh
ruang religius. Ruang religius, sebagaimana disebutkan dalam bab III, mendistorsi
makna religius dengan cara memproduksi simbol-simbol religius. Simbol tersebut
diproduksi bukan untuk menyosialisasikan ruang religius, tapi untuk menegaskan
perbedaan ruang religius dengan ruang lainnya. Penegasan tersebut perlu
dilakukan agar penilaian religius dapat dimiliki oleh ruang tertentu. Oleh karena
itu, setiap simbol yang diproduksi harus meyakinkan masyarakat bahwa simbol
tersebut adalah simbol terpilih, simbol religius terpilih.
Mempresentasikan simbol terpilih dalam musik religius salah satunya
diwakili oleh gambus. Mengapa gambus? Karena, pertunjukan gambus dikenalkan
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
di Ambulu pertama kali oleh Masjid Besar. Sebagai pelaksana pertama, Masjid
Besar memiliki otoritas memilih bentuk, sekaligus menjadikan bentuk tersebut
religius par ecxellence. Kelompok gambus dari Situbondo dipilih sebagai acara
hiburan selepas acara Semaan Al-Quran Akbar se-Kabupaten Jember (1995).
Pertunjukan tersebut bukan semata- mata pertunjukan hiburan pasca acara besar,
tapi juga untuk mengakumulasi mekanisme eksklusif ruang ibadah. Kelompok
gambus Situbondo dipakai sebagai simbol musik religius khusus; simbol musik
yang tidak bisa dimainkan oleh kelompok musik religius manapun di Ambulu.
Setidaknya hal itu ditegaskan dengan dua alat musik gambus: gitar
gambus dan marwas. Bentuk dua alat tersebut dikenali mirip gitar dan hadrah.
Jika gitar tersedia hampir di seluruh toko alat musik di Kabupaten Jember, tidak
demikian halnya dengan gitar gambus. Ia berada dalam genre yang sama dengan
alat musik petik yang berkonotasi profan, tapi seringkali dipakai dalam jenis
musik eksotis, seperti musik padang pasir atau musik Spanyol. Sesuatu yang
eksotis, dalam distorsi ruang religius dapat direduksi sebagai sesuatu yang
eksklusif, sehingga wajar jika tidak banyak orang yang dapat memainkannya.
Di sisi lain, marwas dikenal sebagai alat musik tepuk (perkusi). Alat
musik tepuk disosialisasikan di Ambulu sebagai alat musik religius. Melalui
hadrah, rodat, dan samroh, orang Ambulu nyaris tidak dapat meninggalkan alat
musik tepuk dalam setiap jenis musik religius. Jika gitar gambus dipakai sebagai
simbol eksklusif, marwas dipakai sebagai simbol yang akrab di telinga
masyarakat, simbol kepastian makna religius. Gitar gambus yang eksklusif, tampil
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bersama dengan marwas yang pasti religius menghasilkan sensasi religius baru
dan eksklusif.
Kolaborasi marwas dan gitar gambus menghasilkan melodi yang tidak
akrab, tapi bisa diterima (melalui habitus). Interval pendek yang dihasilkannya
memiliki melisma dan hiasan melodis 1 yang dapat membuat “ketegangan”
produksi bunyi marwas dilonggarkan dengan produksi bunyi gitar gambus.
Meskipun sangat terbatas, kedua alat musik tersebut dapat menghasilkan gerak.
Ketika ditanggap oleh takmir masjid, yang tidak akrab dan menghasilkan gerak
terbatas tersebut mengalami penambahan status, yaitu bisa diterima sebagai
hiburan Islami. Artinya, gerakan yang dihasilkan kedua alat musik tersebut pun
turut diakui sebagai tarian Islami. Oleh karena itu, pada musik ini takmir masjid
pun bisa bergoyang.
Gambus semakin eksklusif (dan distorsif?) ketika liriknya memakai
bahasa Arab. Bukan soal arti, tapi habitus masyarakat Ambulu memakai bahasa
Arab adalah habitus ruang religius. Akses orang Ambulu pada bahasa Arab
hanyalah di Pondok Pesantren, kuliah jurusan keisla man (IAIN), dan dalam
pengajian. Ketika musik yang membingkainya cukup religius, orang tidak terlalu
memperdulikan arti lirik. Akan tetapi, ketika lirik Arab dipadukan dengan musik
yang merangsang gerakan tertentu, orang harus diyakinkan bahwa musik gambus
masih tetap religius. Salah satunya dengan ditanggap oleh ruang religius. Gambus
yang pasti religius semacam inilah yang dikenal sebagai ja’fin.
1
Helene Bouvier, Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, halm : 75.
94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gagasan tentang ja’fin yang diproduksi oleh ruang religius (terutama
masjid), pada konteks Ambulu, menjadi tidak mudah digagalkan. Kalaupun bisa,
pastilah melalui mekanisme persaingan modal (ekonomi maupun kultural) dan
mampu mengakses habitus ruang religius. Kelompok Al- Asyik bisa bertahan
sebagai kelompok gambus bukan dalam rangka menggagalkan gagasan ruang
religius. Justru mereka menjadi “kepanjangan tangan” ruang religius. Sekurangkurangnya dari proses pembentukan Al- Asyik yang tidak bisa dilepaskan dari
campur tangan ruang religius dan pendukungnya 2 .
Lantas, bagaimana cara Al-Asyik memainkan ja’fin? Bukankah ja’fin
telah mengalami distorsi dan menjadi eksklusif? Apakah Al-Asyik kelompok
eksklusif juga? Ketika menamakan dirinya sebagai kelompok musik gambus, AlAsyik segera diposisikan sebagai kelompok musik religius eksklusif. Al- Asyik
pada diri pemainnya tidak banyak memiliki kebutuhan (modal) untuk mengakses
ruang religius. Akan tetapi, status pemain sebelumnya, sebagai pemain hadrah,
membuatnya memiliki modal kultural untuk mengakses marwas.
Akan tetapi, modal kultural mereka untuk mengakses gitar gambus
justru bukan berasal dari ruang religius, melainkan dari ruang profan. Pasar hanya
menyediakan gitar elektrik dan sebagian besar pemain juga pernah tergabung
dalam kelompok band. Selain habitus gambus, pemain juga memiliki habitus pop.
Penyelesaian makna eksklusif ruang religius justru berasal dari modal ekonomi
untuk mengakses gitar gambus. Gitar gambus dan kaset-kaset yang dipakai untuk
mempelajari musik gambus berasal dari ruang religius. Gitar gambus diperoleh
2
Lihat penjelasan dalam Bab III.
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari donatur pengurus takmir dan pengurus NU dan kaset-kaset dipinjam dari
Ustad Nuryadin. Dengan kata lain, “suara” gambus Al-Asyik tidak banyak
berbeda dengan “suara” ruang religius.
Pada posisi ini, pemain mengalami dilema. Di satu sisi, gambus
diproduksi sebagai musik religius untuk mengeksklusifkan bentuk musik religius,
di sisi lain, gambus juga mengalami pemaknaan sebagai musik religius yang
dibebani dengan status sebagai alat dakwah Islam. Dilema tersebut dijawab oleh
fenomena Balassyik. Melalui Balassyik pemain menyadari adanya kesediaan
ruang religius membuka ruang yang tidak bisa dijangkauanya, yaitu ruang
musikal. Eksklusifitas bentuk ja’fin dilengkapi dengan sarah dan baladian dari
Balassyik. Jika dalam ja’fin pemain hanya mengeluarkan modalnya sebagai
pemain hadrah, dalam sarah dan baladian mereka mulai menemukan cara
mengeluarkan modal pemain bandnya. Suara tersebut, dipakai pemain untuk
mengeksplorasi muatan dakwah yang bisa dilakukan oleh gambus. Al- Asyik
sedang mengusahakan bentuk musik yang bisa dipakai untuk berdakwah.
Mengapa mereka tidak langsung memakai bentuk yang disediakan
Balassyik? Mereka menganggap Balassyik tidak sedang mengusahakan musik
dakwah. Bentuk-bentuk yang disediakan Balassyik tidak “peka” pada eksklusifitas
ruang religius di Ambulu. Untuk itulah, Al-Asyik tetap menghidupi bentuk ja’fin,
pop ja’fin. Ja’fin ditangan Al-Asyik telah mengalami hibridisasi dengan musik
pop.
Akan tetapi, kehadiran alat-alat musik modern membuat Al- Asyik
dicurigai. Untuk meyakinkan bahwa mereka tidak sedang menghianati ja’fin,
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mereka memakai semua konsep dari bentuk pertunjukan ja’fin: mulai dari cara
penyajian, hingga pakaian. Demi memenuhi konsep ja’fin, pemain gitar pop pun
dibuat duduk mengikuti skema duduk ala pemain ja’fin. Para pemain “rela”
memakai gamis, meskipun jelas itu bukan pakaian mereka sehari- hari, bahkan
pada hari paling religius, seperti Idul Fitri.
Hal itu dilakukan sebagai bagian dari pengorbanan sebuah konsistensi;
konsisten menjadi kepanjangan tangan ruang religius, sekaligus konsisten dengan
habitusnya. Ketika dua konsistensi berlawan berada dalam satu bentuk,
memungkinkan bentuk yang sedang diusahakan rawan dengan kekacauan.
Kekacauan tersebut berasal dari kecenderungan salah satu konsistensi untuk
mendominasi. Pada konsteks Al-Asyik konsistensi yang cenderung meminta
untuk diutamakan adalah konsistensi ruang religius. Karena, konsistensi ruang
religius lebih memiliki “suara” dalam praksis Al-Asyik.
Pada kondisi normal, hal itu tidak banyak menimbulkan tuntutan.
Bagaimanapun, Al-Asyik menyadari posisinya dalam ruang religius. Akan tetapi,
ruang religius juga menjadikan gambus Balassyik sebagai simbol musik religius
eksklusif. Kali ini bukan hanya bentuknya, tapi juga konsernya. Balassyik mampu
meyakinkan ruang religius bahwa musiknya sama religius dengan ja’fin.
Balassyik bahkan mampu meyakinkan bahwa tanpa harus melalui mekanisme
ruang religius, mereka juga bisa sangat religius. Konser Balassyik yang diadakan
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
di lapangan Glori3 dihadiri oleh hampir sebagian pendukung ruang religius,
termasuk ketua takmir.
Belum pernah ada konser semacam itu di Ambulu. Fenomena ini cepatcepat dijadikan momen eksklusif oleh ruang religius, untuk mengaburkan kesan
kalau ruang religius telah “dimasuki” oleh ruang industri kapital. Balassyik pun
masuk sebagai bentuk baru dalam jajaran simbol eksklusifitas ruang religius.
Kondisi ini membuat posisi Al- Asyik semakin tidak “dilirik” oleh ruang religius.
Lebih jauh, hal itu semakin membuat pemain lebih sulit menunjukkan konsistensi
habitusnya; menunjukkan identitasnya. Untuk menunjukkannya, Al-Asyik perlu
bersaing dengan Balassyik.
B. Identitas Musik sebagai Cara Bersaing
Bersaing dengan Balassyik jauh lebih mudah daripada bersaing dengan ruang
religius, karena persaingan tersebut berada dalam ruang musikal. Ruang musikal
adalah ruang yang paling memungkinkan pemain mengeluarkan modal kultural
sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, dalam konteks gambus ruang musikal
merupakan ruang yang berhubungan secara paradigmatik dengan ruang religius.
Dengan kata lain, musik religius harus dapat meningkatkan kualitas simbolik
ruang religius, demikian juga sebaliknya. Apa yang terjadi dalam mekanisme
3
Di Ambulu terdapat dua tempat yang biasa dipakai sebagai arena publik, yaitu alun-alun yang
berada di depan masjid besar dan lapangan Glori yang berada di sebelah timur kampung Timur
Pasar. Jika penggunaan alun-alun sering terkait dengan izin dari pihak takmir masjid, pengguaan
Glori hanya memerlukan ijin dari Kecamatan dan Polsek. Oleh sebab itu, penyelenggaraan acara
yang dilakukan di Glori tidak dapat dikontrol oleh pihak masjid dan seringkali acara yang
diselenggarakan berkonotasi negatif.
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ruang musikal menjadi referensi ruang religius untuk “mengklaim” suatu jenis
musik bermakna religius atau tidak.
Melalui fenomena Balassyik, produksi bentuk musik religius di Ambulu
diperoleh dari dua macam sumber yang berbeda dengan sumber bentuk ja’fin,
yaitu ruang religius dan industri musik religius. Konsekuensinya, Gambus sebagai
musik religius bukan dihasilkan dari mekanisme intensional maupun distorsi
ruang religus semata, tapi juga melalui mekanisme menciptakan “bahasa religius”.
Ketika “bahasa” tersebut diperoleh dari bahasa religius musik industri, Al- Asyik
pun mengalami penilaian industri. Melalui sumber ruang religius, Al-Asyik hanya
perlu menunjukkan dirinya sebagai kelompok musik baru dengan tradisi lama.
Melalui sumber industri musik religius, Al-Asyik perlu menunjukkan bahwa
selain menghidupi tradisi lama, mereka juga adaptif dengan musik kontemporer
(baca:pop). Sebagai kelompok musik yang telah diakui sebagai kelompok musik
religius oleh ruang religius, usaha “adaptasi” semacam itu jelas tidak dibutuhkan.
Tanpa bersaing dengan Balassyik, Al- Asyik sudah religius.
Lantas, mengapa Al-Asyik perlu bersaing dengan Balassyik? Karena,
status kelompok religius yang “diberikan” oleh ruang religius adalah status
kelompok, bukan status medan. Semua kelompok gambus yang dilahirkan dari
kebutuhan distorsif ruang religius sudah pasti religius. Al-Asyik menyaingi
Balassyik untuk menghindarkan ruang religius dari kemungkinan menilai
berdasarkan hegemoni bentuk yang disajikan Balassyik (legitimasi Balassyik).
Jika hal itu terjadi, status religius medan gambus akan menyaratkan apropiasi
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bentuk musik Balassyik. Artinya, posisi Al-Asyik semakin terhimpit oleh
kepentingan lain dalam medan gambus.
Oleh sebab itu, Al- Asyik tidak memerlukan persaingan dalam ruang
religius, karena mereka tidak sedang menyaingi religiusitasnya, melainkan sedang
menyaingi statusnya (modal sosial) dalam medan gambus. Karena Balassyik
bukan kelompok yang dihasilkan dari ruang religius Ambulu, persaingan yang ada
justru meliputi hal- hal yang tidak disediakan oleh ruang religius. Status Balassyik
diasumsikan dapat disaingi dari nama kelompok dan alat musik: mulai dari
mengganti nama “Al-Asyiq” menjadi Al- Asyik, hingga memakai semua alat
musik yang ada dalam pertunjukan Balassyik.
Pemain Al-Asyik merasa posisi status Balassyik hanya berada satu
tingkat di atasnya. Al-Asyik bahkan telah menjadi “imitasi” Balassyik.
Penghalang penyeteraan status tersebut adalah industri musik gambus 4 . Untuk
itulah, mereka selalu menyediakan pertunjukannya untuk dinilai secara musikal
oleh industri musik. Hal yang paling mungkin dilakukan Al- Asyik adalah
menunjukkan kemampuan mereka memainkan gambus Balassyik. Hampir semua
pertunjukan Al-Asyik menampilkan beberapa lagu Balassyik, terutama yang
sedang trend, seperti Ghonnili dan Narwatil Ayyami. Cara itu dilakukan Al- Asyik
agar orang mulai sadar bahwa mereka sedang bersaing dengan Balassyik, bukan
dengan kelompok gambus lokal atau kelompok ja’fin.
Pada posisi ini, Al-Asyik sedang menghindari ja’fin. Ja’fin dianggap
sebagai bentuk lama yang ditunjuk oleh ruang religius. Ruang religius telah
4
Lihat hasil kuesioner, lampiran 3, halm: 135
100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menambah dua bentuk baru dari fenomena Balasssyik, yakni sarah dan baladian.
Al-Asyik “ikut- ikutan” menghidupi sarah dan baladian untuk dipakai dalam dua
momen sekaligus; meneruskan distorsi ruang religius, sekaligus menyaingi
musikalitas Balassyik.
Sarah dikerahkan seluruhnya untuk berkomunikasi dalam acara yang
dilegitimasi sebagai acara religius. Komunikasi tersebut menegaskan bahwa AlAsyik sanggup mengartikulasikan konsep Balassyik dalam mekanisme ruang
religius. Dengan “imitasi” yang dilakukan Al- Asyik, ruang religius tidak perlu
lagi repot-repot “mendatangkan” Balassyik sebagai sumber bentuk gambus yang
baru. Al-Asyik telah menyediakan bentuk baru tersebut langsung dalam
mekanisme ruang religius. Sarah dalam praksis Al- Asyik berbentuk “perpaduan”
ja’fin dengan sarah Balassyik.
Perpaduan antara ja’fin dan sarah secara musikal justru “merugikan”
ja’fin. Perpaduan tersebut mengakibatkan ja’fin berada dalam kendali sarah,
karena sarah hadir memang untuk memperpadat musikalitas ja’fin. Lebih jauh,
sarah akan menunjukkan pada pendukungnya bahwa secara de facto, ja’fin dapat
digantikan dengan sarah. Buktinya, konser Balassyik ditegaskan oleh ruang
religius sebagai konser religius, pertama-tama karena kemampuan sarah
mengemas irama ja’fin, bahkan gambaran religius ja’fin. Oleh sebab itulah, AlAsyik mengusulkan pop ja’fin.
Pop ja’fin dipakai Al-Asyik untuk menunjukkan bahwa ja’fin berbeda
dengan sarah, sekaligus tidak mudah digantikan oleh sarah. Dalam penilaian AlAsyik, kepercayaan diri sarah dapat menggantikan ja’fin berasal dari musikalitas.
101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sarah dinilai oleh pendukungnya memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi
dibandingkan ja’fin yang hanya mengandalkan gitar gambus, keyboard, dan
marwas. Pop ja’fin yang diusulkan Al- Asyik justru ingin membuktikan
kemampuan irama ja’fin mengadaptasi alat musik lain, terutama alat musik
modern seperti gitar elektrik, bass elektrik, dan drum set.
Persaingan Al- Asyik dengan Balassyik melalui sarah mengesankan
kalau Al- Asyik sedang membela bentuk musikal ruang religius dari imposisi
bentuk musikal Balassyik. Pada posisi ini, Al- Asyik juga merasa sedang mengejar
modal sosial yang dulu diperolehnya dari legitimasi religius. Sarah, dan secara
umum gambus balassyik, dianggap telah menurunkan kualitas modal sosial
pemain Al-Asyik. Untuk mendapatkan kembali kualitas modalnya, Al- Asyik
merasa perlu “memperlancar” hubungan dengan ruang religius dengan cara
memakai ja’fin sebagai bentuk yang dipakai menyaingi bentuk Balassyik.
Inti persaingan justru berada dalam gambus baladian. Jika sarah dipakai
untuk “memperlancar” hubungan dengan ruang religius, baladian justru dipakai
untuk menunda komunikasi dengan ruang religius. Jika penundaan tersebut tidak
dilakukan, Al-Asyik tidak akan pernah betul-betul menyaingi Balassyik. Karena
dalam baladian, medan gambus sepenuhnya dimenangkan Balassyik. Kalau ruang
religius mengklaim baladian sebagai musik religius, hal itu disebabkan
ketidakmampuan ruang religius menyaingi modal Balassyik. Oleh sebab itu,
dalam baladian Al-Asyik tidak membutuhkan persetujuan ruang religius.
Pada praktiknya, baladian dalam konsep Balassyik identik dengan
pengurangan dominasi alat tepuk dalam gambus. Balassyik bahkan tidak memakai
102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
marwas, tapi tam-tam (ditabuh). Warna suara tam-tam jauh lebih “lembut”
daripada marwas, sehingga adaptif dengan alat musik pukul (perkusi) lainnya
seperti tumbuk dan kendang. Baladian mengakses habitus gambus melalui irama
tetap, tapi dengan tempo yang jauh lebih longgar.
Dalam pandangan Al-Asyik, pesona baladian Balassyik berasal dari
kedekatan baladian dengan gaya musik pop. Untuk itulah, Al- Asyik merasa
percaya diri untuk mengeluarkan modal yang didukung oleh habitus pop mereka.
Ketika alat musik modern seperti gitar elektrik (dengan penambahan efek
distorsi), bass elektrik, drum set, keyboard, dan kendang dipakai dalam
pertunjukan Al- Asyik, hal itu dihadirkan untuk membunyikan “suara” baladian
Al-Asyik.
Akan tetapi, Balassyik telah menunjukkan bahwa baladian dalam
dirinya sendiri memang pop, pop gambus. Ketika Al- Asyik berusaha menyaingi
baladian, Balassyik melalui mekanisme yang sama dengan sarah, yaitu
mengusulkan pop baladian, usaha tersebut gagal total. Dalam baladian, Al- Asyik
jelas-jelas kalah modal dengan Balassyik. Apalagi, hampir semua hits Balassyik
adalah baladian, seperti lagu Ghannili.
Kekalahan tersebut tidak mungkin dibebankan pada ruang religius,
karena sejak awal Al-Asyik “mengesampingkan” ruang religius. Untuk itulah AlAsyik mengusahakan imposisi bentuk lain yang didapatkannya dari qasidah; kalau
tidak bisa menyaingi musiknya, ya menyaingi penyanyinya. Kehadiran Zulaikha,
Farida, dan beberapa penyanyi qasidah yang terkenal di Ambulu dipakai untuk
menunjukkan bentuk baladian ala Al-Asyik.
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Baladian semacam ini pastilah bukan bentuk yang diinginkan Al- Asyik.
Kalau terus menerus dilakukan, modal Al-Asyik akan disaingkan dengan qasidah;
Al-Asyik akan dikenal sebagai kelompok yang menghadirkan penyanyi bagus,
bukan musik yang bagus. Oleh karena itu, Al- Asyik merasa perlu melakukan
strategi lain, yaitu dengan mengadopsi bentuk ruang musik lain yang tidak banyak
berbeda bentuk dengan gambus. Bentuk tersebut berasal dari musik pop Arab
(Timur Tengah). Al- Asyik menyebut bentuk tersebut sebagai dhaifah.
Perbedaan yang paling mencolok antara dhaifah dengan jenis gambus
lain pada penggunaan alat musik modern. Jika dalam jenis gambus lain alat musik
modern dipakai untuk menarik-ulur alat musik “gambus” (baca: ja’fin), dalam
dhaifah alat musik tradisi gambus tidak dipakai sama sekali. Alat musik dan
melodi dhaifah seluruhnya pop. Lebih jauh, Al-Asyik sedang menunjukkan jenis
gambus yang tidak dipakai oleh Balassyik dan tidak diusulkan ruang religius, tapi
tetap disebut gambus.
Hasilnya, gambus terasa sangat pop. Bahkan, gambus lebih mudah
membuat orang bergoyang. Goyangan inilah yang hampir memutus komunikasi
dengan ruang religius. Tapi, lagu Timur Tengah, lirik Arab, musik gambus,
pakaian gamis, dan Al- Asyik, cukup meyakinkan ruang religius bahwa musik
gambus dhaifah masih dalam “zona aman”, meskipun tidak melakukan “kontak”
langsung dengan ruang religius.
Putus kontak atau menunda komunikasi dengan ruang religius dan tidak
dinilai sebagai dosa, merupakan hal yang sangat menggembirakan. Inilah yang
dimaksud hiburan religius ala Al-Asyik. Inilah konsep yang sedang dicarikan
104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bentuknya oleh Al-Asyik. Mengapa masih dicari? Bukankah mereka telah mampu
menyaingi Balassyik dengan dhaifah? Ternyata, Al- Asyik tidak betul-betul
sedang mengusahakan dhaifah. Dhaifah hanya dipakai untuk “menyadarkan”
ruang religius bahwa Balassyik sedang mengimposisi bentuk-bentuk gambusnya.
Kalau ruang religius tidak segera menyadarinya, maka legitimasinya akan mudah
dikalahkan oleh ruang musik industri.
Akan tetapi, ruang religius justru menganggap dhaifah sebagai gambus
yang sangat serius diusahakan Al-Asyik. Kecenderungan tersebut terlihat sejak
Al-Asyik mengusahakan pop ja’fin. Dalam penilaian ruang religius, Al- Asyik
selalu mengusahakan bentuk-bentuk yang diadopsi dari ruang profan. Hal itu
dibuktikan dari selalu dipakainya alat-alat musik modern dalam pertunjukan AlAsyik. Al-Asyik dinilai tidak mampu melepaskan diri dari jerat habitus pop nya.
Konsekuensinya, kolaborasi setiap alat musik menjadikan gambus terkesan
“terbuka” pada setiap genre musik, terutama musik pop. Kebaruan yang
disuarakan Al-Asyik, berbatas sangat tipis dengan musik pop.
Alih-alih menunjukkan kelemahan ruang religius, Al-Asyik justru dinilai
sedang menunjukkan kelemahannya, yaitu mudah dipengaruhi oleh musik
industri. Hal itu menyebabkan kebaruan yang hendak disampaikan Al- Asyik
berbeda perlakuan dengan kebaruan yang disampaikan Balassyik. Kombinasi
habitus gambus dengan modal Balassyik jauh lebih mudah dipakai sebagai suara
bentuk musik religius baru, dibanding kombinasi Al- Asyik. Melalui dhaifah,
ruang religius juga telah menganggap Al-Asyik sebagai kelompok musik religius,
tapi bukan untuk ruang religius. Terbukti, ketika Al-Asyik tampil dalam acara
105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Maulid Nabi yang diselenggarakan masjid tahun 2006, bukan karena diundang,
tapi karena mereka menawarkan diri. Oleh karena itu, pihak takmir perlu
menampilkan kelompok musik lain yang dinilai lebih religius, yakni kelompok
Miftahul Khoir. Kelompok yang mengemas sholawat dalam konsep musik Kyai
Kanjeng (kelompok musik Emha Ainun Najib).
Pertanyaan yang mungkin diajukan atas kondisi tersebut adalah: “Apa lagi yang
bisa dilakukan Al- Asyik?” Pertanyaan tersebut berdasarkan asumsi bahwa AlAsyik sedang mengalami penurunan kualitas posisi dalam ruang religius. Proses
memposisikan diri (taking position) yang sedang diusahakan Al- Asyik justru
memposisikannya dalam ruang lain. Al-Asyik diakui sebagai musik religius tapi
tidak diakui ruang religius. Al-Asyik diakui sebagai kultur musikal religius, tapi
berbeda dengan kultur musikal religius yang ada dalam ruang religius. Al- Asyik
sedang diposisikan sebagai subkultur dalam kultur musikal religius. Bentukbentuk gambus yang diusahakan Al- Asyik terasa memunculkan “kebisingan” bagi
bentuk-bentuk yang telah mapan.
C. Subkultur sebagai Reposisi Identitas
Apakah gambus Al-Asyik masih bisa dikategorikan sebagai musik religius? Ya,
menurut Al-Asyik. Karena sejak awak pemain Al-Asyik memang sedang
mengusahakan musik religius. Jika sejak awal pemain hendak mengusahakan
musik bukan religius, mereka tidak perlu repot-repot mengurusi gambus.
Mengapa gambus? Karena melalui gambus mereka dapat mengeluarkan
ekspresinya.
Bukan
sembarang
ekspresi,
106
tapi
ekspresi yang
memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kecenderungan untuk berkomunikasi. Ekspresi tersebut merupakan suara
kelompok Al-Asyik. Suara yang membedakannya dengan kelompok musik lain.
Suara yang bagi ruang religius terasa “bising”.
Bentuk identitas musikal macam apa yang ingin ditunjukkan pemain?
Jawaban atas pertanyaan tersebut merujuk pada konsep identitas itu sendiri.
Dalam paparan di atas telah dijelaskan dua ruang yang dipakai pemain Al- Asyik
untuk mencari padanan bentuk dari konsep yang dimilikinya mengenai religiusitas
dan musikalitas. Gambus bahkan dipakai pemain untuk mengumumkan bentuk
identitas religiusitas dan musikalitasnya dalam kultur musikal religius di Ambulu.
Akan tetapi, bentuk identitas yang hendak diumumkan bukanlah bentuk
identitas yang diperolehnya begitu saja. Ia lahir melalui mekanisme penilaian.
Bentuk identitasnya akan dinilai oleh ruang religius dan ruang musikal. Nilai
itulah yang menentukan posisi Al- Asyik dalam kultur musikal religius di Ambulu.
Ketika Al-Asyik diposisikan sebagai subkultur, bukan berarti Al-Asyik tidak
eksis. Dalam teori subkultur Hebdige diketahui bahwa posisi tidak diusahakan
semata- mata untuk posisi itu sendiri. Subkultur dihidupi bukan untuk subkultur itu
sendiri, melainkan untuk melanggengkan sistem tertentu; habitus. Habitus sebaga i
durrable disposision memungkinkan pemain untuk tetap berada di suatu posisi
sekaligus mengusahakan posisi lain (reposisi). Posisi lain yang sedang diusahakan
bukanlah posisi yang berbeda dengan posisi sebelumnya, melainkan posisi lama
yang diperbaharui bentuknya. Untuk itulah para pemain memakai bentuk (form)
yang ada untuk dideformasi. Al-Asyik sedang melakukan deformasi. Setidaknya
dari gambus dhaifah representasi deformasi jelas terlihat. Reposisi macam apa
107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang sedang diusahakan dengan deformasi? Hal itu dapat dilacak dari dua ruang
yang dilaluinya, ruang religiusitas dan ruang musikalitas.
1. Reposisi Religiusitas
Reposisi religiusitas mengasumsikan adanya ketidakpuasan Al-Asyik dengan
pemaknaan religius yang diterima posisi lamanya dalam ruang religius. Melalui
gambus, terutama pop ja’fin dan dhaifah, pemain hendak menunjukkan kualitas
baru dari status lamanya dalam ruang religius sebagai pendakwah. Penjelasan
sebelumnya menunjukkan bagaimana kelompok Al- Asyik dapat memaknai
dakwah sebagai salah satu kriteria ruang religius. Akan tetapi, status pendakwah
tidak serta merta diberikan pada orang yang memiliki kesadaran dakwah. Di sana
juga disebutkan bagaimana kontestasi modal terjadi, hingga pemain dapat
berkomunikasi soal “dakwah” dalam medan musik religius. Status baru pemain
sebagai pendakwah adalah bagian dari aksi dakwah, modal dakwah.
Konsekuensinya, posisi sosial Al-Asyik dalam kulktur musikal religius
tidak lagi meneruskan distorsi ruang religius. Saat ini, mereka memiliki ruang
religiusnya sendiri untuk berdakwah. Dakwah yang sedang dilakukan bukanlah
dakwah mengenai esensi agama melainkan dakwah ekspresi keberagamaan
(religiusitas). Melalui gambus, pemain hendak berdakwah mengenai “cara
menikmati hidup” orang-orang beragama. Gambus sebagai hiburan religius.
Pada praktiknya, hiburan religius mendistorsi praksis musik religius
pada penilaian lirik. Jika lirik dapat mengajak orang pada tingkat keimanan
tertentu, maka hiburan tersebut dapat disebut religius. Nasyid sebagai genre musik
108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
religius nyaris tidak memiliki ruang untuk “dipertanyakan” religiusitasnya karena
selalu dapat menyelamatkan musiknya dengan lirik- lirik bertema ajaran Islam.
Konsekuensinya, musik religius seolah memiliki “beban” untuk membuat lirik
sesuai standar lirik religius. Karena lirik dipahami, pemain juga memiliki “beban”
mengamalkan apa yang disampaikannya dalam lirik. Pada posisi inilah pemain
dinilai sebagai pendakwah dalam mainstream budaya musikal religius.
Konteks Al-Asyik tidak memerlukan lirik untuk meyakinkan publik
tentang religiusitas musiknya, bahkan lirik sebagai esensi dakwah musikal. Pada
posisi ini, Al-Asyik justru telah menyelamatkan liriknya dari pertanyaan tentang
religiusitas dengan menghidupi musik gambus. Lirik gambus yang semula
diadopsi dari qasidah (kitab) hingga dikenal sebagai qasidah gambus, direduksi
sebagai lirik bertema umum dan memakai bahasa Arab.
Dengan gambus, pemain Al- Asyik juga menyelamatkan habitus
musiknya dari dikotomi musik profan atau religius. Lirik dan habitus musik
pemain (pop) dalam gambus seolah “dinaungi” oleh makna gambus. Padahal,
seringkali pertunjukan gambus Al-Asyik menjadikan gambus sebagai simbol
imposisi yang telah ditaklukkan. Misalnya, pada lagu Aisyah atau Saaltinaar,
terlihat betul bagaimana gitar gambus dan marwas sama sekali tidak dimainkan
meskipun ada dalam pertunjukan.
Bahkan, dengan gambus, Al-Asyik juga telah menyelamatkan diri dari
“beban” perilaku religius. Cukup dengan memakai gamis, musik yang ada dapat
melonggarkan standar joget ala ja’fin. Gambus pun dapat dibuat goyang seperti
dangdut. Meskipun memiliki perbedaan dengan goyang dangdut, setidaknya
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
goyang gambus Al-Asyik telah mampu menjadi tempat menuangkan ragam
pengalaman masyarakat mengenai goyang yang “wajar” dan tidak melanggar
norma. Mereka hanya berjoget. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari
kesenangan itu. Apalagi, jika goyangan dilakukan pada acara religius dan oleh
orang-orang dengan citra religius.
Lantas,
bagaimana
dengan
“tuntutan”
dakwah
meningkatkan
keimanan? Sebagaimana disinggung sebelumnya, mereka tidak sedang berdakwah
mengenai “doktrin” agama. Mereka sedang mendakwahkan praktik doktrin
agama; praksis religiusitas. Melalui gambus mereka berdakwah mengenai tidak
sampainya doktrin. “Doktrin” musik religius dipahami oleh pemain hanya sebagai
musik berbahasa Arab, memakai gamis dan ditampilkan pada acara religius.
Doktrin agama di Ambulu dapat diwakili dengan menghadirkan simbol religius:
Pakistan, pakaian dan perhelatan. Doktrin agama yang demikian dianggap tidak
“bersuara” dalam dakwah medan musik. Oleh karena itu, memberikan “suara”
pada doktrin agama adalah bentuk dakwah. “Suara” tersebut dapat membuat orang
memutuskan apakah setuju atau tidak dengan esensi agama dalam medan musik
religius.
Pada praktiknya, suara yang diberikan justru berasal dari ruang profan,
musik pop. Bukankah “suara” itu justru bertentangan dengan doktrin agama?
Tidak, jika memakai aturan main dalam ruang musik pop, terutama aturan main
kapitalisme industri musik. Melalui industri musik pop, masyarakat telah lama
(di)akrab(kan) dengan istilah musik religius. Sebut saja Bimbo sebagai kelompok
musik yang identik dengan musik dan lagu religius. Yang terbaru adalah
110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kelompok Gigi, Ungu, Radja dan Repvblik. Bahkan, musik pop mampu
mengadaptasi bentuk-bentuk musik tradisi (industri). Lagu “Perdamaian” yang
dibawakan oleh Gigi dan lagu “Kota Santri” yang dinyanyikan oleh Krisdayanti
dan Anang, merupakan dua lagu hits kelompok qasidah Nasida Ria. Artinya,
pemahaman sebagian besar masyarakat tentang gambus sebagai musik religius
juga berasal dari pemahaman istilah musik religius yang dipopulerkan musik
industri. Dimulai dari qasidah Nasida Ria hingga sholawat Kyai Kanjeng, musik
dengan label “tradisi” ikut serta dalam industri musik religius Industri.
Pemahaman inilah yang dipakai oleh pemain Al- Asyik sebagai status
“suara”, bukan “suara” itu sendiri. “Suara” yang diberikan Al- Asyik justru berasal
dari ruang profan dalam industri musik pop. Dengan konsep musik religius
industri, pemain mencari bentuknya dalam ruang musik pop industri. Mengapa?
Karena, habitus mereka tidak banyak menunjukkan kemungkinan modal dapat
mengakses ruang musik religius industri. Agak sulit bagi anak SMA Bima atau
Pancasila yang sebagian anak pedagang dan bukan santri mengoleksi atau
membiasakan diri dengan musik religius. Koleksi musik mereka dan kelompok
musik favorit mereka menunjukkan kecenderungan pada wilayah profan. Wilayah
itu, dalam industri media, dipenuhi dengan citra (mitos!) mengenai globalitas dan
modernitas.
Dengan kata lain, pemain ingin menjadikan bentuk gambus sebagai
suara musik religius modern. Ketika musik bersanding bersama dengan istilah
religius dan modern, hal itu bukan saja menunjukkan ekstra musikal, tapi juga
ekstra religius, yakni religiusitas. Pada posisi ini Al- Asyik berusaha meyakinkan
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ruang religius mengenai kemampuan religiusitas memaknai doktrin. Untuk itulah,
Al-Asyik membutuhkan reposisi ruang musikal untuk menunjukkan bentuk yang
dihasilkan dari pemaknaannya tersebut.
2. Reposisi Musikal
Persaingan Al-Asyik dengan Balassyik menyisakan “kekacauan” bagi posisi AlAsyik. Bukan kekacauan dalam ruang musikal, tapi kekacauan dalam ruang
religius. Kekacauan tersebut berasal dari “ketidakmampuan” Al-Asyik membuat
ruang musikal berhubungan secara paradigmatik dengan ruang religius.
Kekacauan tersebut dimulai dari pop ja’fin dan ditegaskan oleh dhaifah.
Apakah mereka berniat menghidupi bentuk lama? Tidak. Dengan
status sosial pemain sebagai “masyarakat biasa” dan sebagian besar berprofesi
sebagai pedagang, ngoyo (berusaha keras) mengejar legitimasi religius bukan
bagian dari habitus mereka. Akan tetapi, melalui reposisi religiusitas, pemain AlAsyik sadar bahwa menjadi masyarakat Ambulu berarti tidak dapat melepaskan
diri dari penilaian religius. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mereka
memilih (dan dipilihkan) menghidupi gambus.
Lantas, bagaimana mereka mereposisi musikalitas yang terlanjur tidak
diakui oleh ruang religius? Cara yang mereka lakukan adalah dengan tidak banyak
peduli dengan legitimasi ruang musikal maupun ruang religius. Bagaimana
mungkin? Bukankah sebagai kelompok gambus mereka telah diposisikan sebagai
kelompok musik religius oleh ruang religius dan dinilai secara musikal oleh ruang
musikal? Tepat di situlah Al- Asyik mereposisi musikalitasnya. Kalau sudah jelas
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diakui sebagai kelompok religius, kenapa harus “panik” ketika bentuk-bentuk
yang ditawarkan kelompok lain mengimposisi bentuk sebelumnya?
Pemain Al-Asyik mungkin baru menyadari kalau sirkulasi bentukbentuk gambus tidak akan pernah berhenti sejalan dengan bentuk-bentuk musik
sebagai barang produksi. Yang perlu mereka lakukan justru menangkap bentuk
gambus yang telah mapan dan tidak mudah diimposisi bentuk lain. Gambus
semacam ini telah menjadi bentuk mitos yang tidak hanya diakui oleh ruang
religius, tapi juga ruang lain, seperti ruang kesenian masyarakat. Ia juga menjadi
sumber bentuk dari bentuk-bentuk gambus lain.
Adakah gambus semacam itu dalam habitus masyarakat Ambulu? Ada,
tapi tidak berbentuk pengalaman visual, hanya didengar. Gambus tersebut
terkesan easy listening dan sangat populer, karena dikenal sebagai “gambus
tradisi” dan direproduksi dalam berbagai acara religius. Bentuk dan pemakaiannya
seperti lagu- lagu yang hanya dikenali sebagai lagu sehari- hari5 , seperti lagu
“Soleram” atau lagu “Bungon Jumpa” (Aceh). Gambus semacam ini, pada dirinya
sendiri tidak mudah dianulir, karena ia tidak bekerja dalam mekanisme musik
sebagai medan perebutan legitimasi, melainkan bekerja sebagai mitos yang
menghasilkan hiburan religius, pleasure.
Mitos semacam ini berguna sebagai metabahasa 6 . Gambus, pada posisi
ini tidak ditangkap maksudnya sebagai gambus yang siap dibentuk dan dimaknai
(gambus sebagai bahasa legitimasi). Sebagai metabahasa, gambus semacam ini
biasanya telah disiapkan oleh pengalaman masyarakat untuk tidak mudah diganti5
Ketika dipakai dalam industri musik, lagu semacam ini biasanya dituliskan dengan nama
pencipta NN (No Name).
6
St. Sunardi, Semiotika Negativa, halm: 106
113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ganti bentuknya karena ia menyimpan berbagai kode potensial yang ditunjuk oleh
meta bahasa, bahasa masyarakat. Kalau bentuknya diganti, ia memiliki
mekanisme defensif yang ditandai dengan “tidak nyaman ditelinga”. Contoh
gambus tersebut dapat ditemukan dalam lagu Towileh.
3. Reposisi Status
Status dalam struktur budaya musikal memiliki kekuatan dalam medan ketika
berfungsi sebagai modal sosial. Artinya, dalam kondisi yang tepat status dapat
dipakai mengakumulasi modal ekonomis dan kultural yang ada dalam masyarakat.
Status Al-Asyik dalam ruang religius, dari penjelasan di atas, hanya mampu
mendistribusikan modal. Persaingannya dengan Balassyik dalam ruang religius
justru mempertegas perbedaan kualitas modal dan kualitas status Al- Asyik.
Dengan “gambus tradisi” (folk gambus) medan gambus tidak mudah
dikontrol oleh ruang religius dan ruang industri musik gambus. Kalaupun hendak
mengontrol, ruang religius dan indutri musik harus sampai pada legitimasi religius
dan legitimasi musikal masyarakat kolektif, legitimasi masyarakat popular 7 .
Legitimasi tersebut, seringkali, dikondisikan oleh media. Apa yang disebut
legitimasi kelompok, seringkali jatuh pada definisi legitimasi kelompok ala
media. Media pada posisi ini, telah mampu menyatukan masyarakat pada
7
Dalam makalah kuliah Seni Pop yang berjudul munculnya kategori Pop, St. Sunardi merumuskan
tiga macam kolektivitas, yaitu volk (folk ) atau rakyat, popular atau kerakyatan, dan pop. Volk
terkauit dengan masyarakat tradisional tertentu yang hidup dalam batas-batas ideologis tertentu,
dan kadang-kadang dalam suku tertentu. Kerakyatan erat kaitannya dengan rakyat (volk) yang bisa
dimaknai bangsa; rakyat yang bergerak secara politis. Sedangkan, pop merupakan pengalaman
yang lahir dari budaya konsumsi dan didukung oleh tehnologi informasi baru (media). Maksud
legitimasi masyarakat popular, kurang lebih, merumuskan bentukbentuk pengalaman yang dimulai
dari pengalaman masyarakay (sebagai the popular) dengan realitas media. Halm: 1-5
114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keseragaman kebutuhan religius, dan juga membiarkannya meledak kedalam:
batas-batas tradisi, ideologi, kelas, cair dan membuat “kepanikan” dengan
kumpulan massa yang “memperebutkan” ketidakpastian atas nama “legitimasi” 8 .
Gambus “tradisi” seolah menjadi jawaban atas “kepanikan” tersebut;
apa yang telah meledak ke dalam, dipastikan juga bisa diselesaikan di dalam.
Setidaknya, dengan cara ini, masyarakat tidak perlu kembali “panik” dengan
kebutuhan bentuk religius baru. Lantas, status macam apa yang mungkin diterima
Al-Asyik dengan mengejar legitimasi popular? Tentu saja, status sebagai
kelompok musik religius rakyat.
Status sebagai kelompok musik religius rakyat kali ini berbeda dengan
status yang sama dalam ruang religius. Kali ini status tersebut dimaknai sebagai
status ruang religius rakyat (medan religius rakyat). Status tersebut meletakkan
kontrol legitimasinya pada pemahaman masyarakat terhadap doktrin agama.
Status tersebut, dipakai sebagai modal untuk memprotes ruang religius
mainstream.
Al-Asyik memprotes hegemoni ruang religius, sebagai bagian dari
pendukung ketidakadilan sistem sosial yang ada (social inequality) 9 , terutama
dalam wilayah ekspresi budaya. Praktek pemaknaan dalam wilayah ekspresi
budaya hampir selalu diarahkan ruang religius, khususnya masjid, untuk
“menyenangkan” politik kebijakan publik pemerintah. Dengan dalih menjadi
patner pemerintah dalam mewujudkan stabilitas nasional, berbagai ekspresi
budaya “terpaksa” dilarang, mulai dari karnaval 17-an hingga gerak jalan Watu
8
9
Baudrillard, dalam ibid halm: 5-7
Fabio Dasilva, dkk, The Sociology of Music, halm: 88-92
115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ulo-Ambulu. Bahkan masjid dipakai sebagai alat politis. Masjid yang berada pada
lingkungan NU harus rela membiarkan sebagian besar jamaahnya mengadakan
sholat Idul Fitri di tempat lain hanya karena alasan berbeda dengan pemerintah.
Masjid menjadi sangat rentan dipolitisasi.
Oleh sebab itu, dengan status “barunya”, protes Al-Asyik ditujukan
untuk “perbaikan” mekanisme ruang religius. Melalui status itu pula, Al- Asyik
hendak merumuskan aturan main bergambus di Ambulu; aturan main dalam
medan gambus rakyat.
116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB VI
KESIMPULAN
Sejak awal, tesis ini mengarahkan seluruh pembahasan pada “deformasi” makna
religius pertunjukan Al-Asyik. Sejak awal pula, tesis ini membahas pertunjukan
Al-Asyik dalam konteks gambus sebagai musik religius. Lebih jauh, gambus
sebagai kultur musikal religius dimaknai sebagai gambus sebagai cara masyarakat
membentuk dan menghidupi musik religius.
Melalui sosiologi musik, proses tersebut dapat dilihat dengan cara
melihat bentuk-bentuk praksis musikal Al-Asyik yang juga merupakan bagian
dari budaya musikal religius di Ambulu. Bentuk-bentuk tersebut menandai
“suara” yang dipakai Al-Asyik menunjukkan identitasnya.
Data di atas menunjukkan bahwa identitas Al- Asyik dalam medan
gambus tidak disuarakan dengan bentuk yang sama. Al- Asyik memulai
“perjalanan” gambusnya dengan menghidupi ja’fin yang diusulkan oleh ruang
religius (yang didistorsi oleh takmir masjid) sebagai pengalaman pertama melihat
gambus. Selanjutnya, fenomena Balassyik melahirkan bentuk gambus religius
sarah dan baladian yang menjadi kepanjangan tangan medan gambus industri
mengimposisi bentuk gambus ruang religius di Ambulu.
Dengan modal kultural sebagai pemain hadrah dan sebagian besar
pemain band, Al- Asyik kembali harus “melayani” usulan bentuk tersebut. Habitus
Al-Asyik tampaknya tidak banyak setuju dengan bentuk yang diusulkan
Balassyik. Akan tetapi, karena habitus ruang religius terlanjur terimposisi dengan
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bentuk tersebut, mau tidak mau Al-Asyik sebagai bagian dari mekanisme ruang
musikal, menerima bentuk tersebut. Penerimaan tersebut tidak bersifat
menyeluruh. Sarah dan Baladian dicarikan bentuknya dalam ja’fin melalui cara
“tambal-sulam” bagian-bagiannya 1 hingga berwujud pop ja’fin dan dhaifah.
Bentuk tersebut diarahkan Al-Asyik agar dapat dikenali dalam dua
ruang: ruang religius dan ruang musikal. Ternyata, ruang religius dan ruang
musikal justru tidak menerima ja’fin pop dan dhaifah sebagai bentuk dalam
medan gambus. Ja’fin pop dan dhaifah dianggap salah tempat dan salah makna 2 .
Lebih jauh, bentuk tersebut telah “mengelua rkan” Al- Asyik dalam medan
gambus. Sejak saat itulah Al-Asyik memainkan praksisnya sebagai praksis
subkultur musikal religius.
Melalui subkultur, Al-Asyik dapat menambahkan konsep ruang lain.
Misalnya, pada kasus bentuk “gambus tradisi” Al-Asyik menghadirkan konsep
ruang penonton, budaya penonton gambus. Hal itu berfungsi untuk menambah
mitos gambus yang dihidupi di Ambulu. Sekurang-kurangnya, identitas mereka
juga dapat dikenali dalam mitos lain. Jika berhasil, Al-Asyik dapat menjauhkan
identitas dari “kekuasaan” mitos medan gambus. Dengan cara ini, Al- Asyik dapat
memulai untuk merumuskan bentuk identitasnya; identitas kebebasannya.
Identitas macam ini dapat menimbulkan dorongan kuat untuk sampai pada zona
nir tekanan (pleasure). Identitas inilah yang sedang dicarikan bentuknya, agar
1
Hebdige menyebutnya Brikolage dalam konteks style as brikolage. Dala m Subculture: The
Meaning of Style, halm: 113-118
2
Hebdige menyebutnya “The Unnuturak Break ” (Putus tak Alami), sebagai cara untuk
merumuskan koherensi dalam kontradiksi. Ibid, halm: 90-99.
118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dapat berkomunikasi dengan pleasure penonton. Pop ja’fin, dhaifah dan gambus
“tradisi”, kemungkinan besar merupakan bentuk yang selama ini diusahakannya.
Melalui subkultur yang sengaja dihidupi oleh Al-Asyik, kita dapat
melihat adanya kemungkinan Al-Asyik bertahan lama. Al-Asyik dengan
modalnya seolah dapat mengadaptasi berbagai bentuk-bentuk yang berdatangan.
Subkultur justru menunjukkan identitasnya melalui kemampuannya menciptakan
ruang kosong untuk diisi dengan bentuknya sendiri. Bentuk-bentuk tersebut
diusahakan oleh Al- Asyik
dengan cara selalu mengkomunikasikan habitus
dengan modalnya. Habitus musik religius di Ambulu berkombinasi dengan modal
pemain hadrah dan pemain band, dipakai Al- Asyik untuk merumuskan identitas
musik religiusnya.
Sekilas identitasnya terlihat mandiri dan tidak terlihat diimposisi oleh
musik gambus industri. Sebenarnya, Al-Asyik justru diimposisi makna oleh
qasidah. Usaha- usaha yang dilakukannya tidak lain adalah bentuk-bentuk qasidah.
Hal ini dimakna i Al- Asyik sebagai cara mitos melawan mitos. Dengan memakai
mitos qasidah dan megakui sebagai kelompok gambus, Al- Asyik hendak
menyaingi mitos gambus yang mudah menghegemoni saat ini. Inilah unnatural
break yang dipakai sebagai identitas.
Dalam arti yang sangat luas, identitas semacam ini akan menunjukkan
berbagai “pembedaan” dengan kelompok lain, ideologi lain, kelas sosial lain,
bahkan status lain. Identitas semacam inilah yang menjadikan Al-Asyik memiliki
status distingsi. Status tersebut dapat diperlakukan sebagai modal dalam sistem
pembentukan dan proses dalam medan yang berhomologi dengan medan gambus.
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Artinya, apa yang dilakukan tesis ini hanya merumuskan mekanisme
praksis; mekanisme kombinasi habitus gambus dengan modal Al- Asyik
berkomunikasi
dengan
medan
gambus.
Bagaimana
praksis
tersebut
“berkomunikasi” dengan praksis pendukung lainnya (penonton dan penanggap)
maupun homologinya dengan medan lain, seperti pakaian dan setting panggung,
belum banyak disebutkan dalam tesis ini. Oleh sebab itu, saya menyebut
penelitian ini sebagai penelitian pembuka bagi penelitian lain yang hendak
memahami masyarakat berikut pola komunikasinya melalui praksis estetika,
terutama musik.
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Althusser, Louiss. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies. Jalasutra : Yogyakarta.
Bourdieu, Pierre. (1984). Distinction: A Social Critique of The Judgment of Taste.
Harvard University Press, Massachusetts.
-------------------. (1977). Outline of a Theory Practice. Cambridge University
Press, Cambridge.
Bouvier, Helene. (2002). Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat
Madura. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Hoffer, R. Charles. (1989). The Undertanding of Music (ed). Wadsworth
Publishing Company, Belmont California
Cobuilds, Collins. (2001). English Dictionary for Advanced Leaners (third ed).
HarperCollins Publisher.
Dasilva, Fabio dkk. (1984). The Sosiology of Music. University of Notre Dame
Press, Indiana.
Djohan. (2002). Psikologi Musik. Buku baik, Yogyakarta.
Farmer, George Henry. (1929). A History og Arabian Music To The XIII th
Century. luzac and CO, London.
Frow, John. (1995). Cultural Studies and Cultural Value. Clarendon Press,
Oxford.
Gramsci, Antonio (1987) “Catatan-catatan Politik”. Pustaka Promethea,
Surabaya.
Hall, Stuart. Cultural Representation and Signifying Practice
Hardjana, Suka. (1983). Estetika Musik. Depdikbud, Jakarta.
Hargreaves, J. David. (1997). The Social Psychology of Music. Oxford University
Press, New York.
Harker, Richard, dkk. (2005). (HabitusxModal)+Ranah=Praktik, Jalasutra,
Yogyakarta.
Hebdige, Dick. (2002). Subculture : The Meaning of Style. Rouledge, London
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kamien, Roger. (1976). Music an Appreciation (ed). McGraw-Hill Book
Company.
Liftschitz, Mikhail and Salamini, Leonardo. (2003). Praksis Seni : Marx dan
Gramsci. Alinea, Yogyakarta.
Malm, P. William. (1967). Musical Culture of The Pasific, The Near East and
Asia. Prentice-Hall, New Jersey.
Mazzola, Guerino. Semiotic Aspect of Musicology : Semiotics of Music
Musmal. (2003). Tesis dengan Judul Gambus Sebagai Salah Sautu Ekspresi
Musik Rakyat Melayu di Sumatera Utara. Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Oxford Advanced Leaner’s Dictionary. (2000). Oxford University Press.
Qardhawi, Al- Yusuf. (2003). Fiqh Musik dan Lagu: Prespektif Al-Quran dan AsSunnah. Mujahid Press, Bandung.
------------------------, (2000). Nasyid Vs Musik Jahilliyah. Mujahid Press,
Bandung.
Santos, P. Ramon. (1995). The Music of Asean. Asean Committee on Cultural and
Information, Philipina.
Swartz, David. (1997). Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu.
The University of Chicago Press, Chicago.
Sunardi, St. (2004). Semiotika Negativa. Buku baik, Yogyakarta.
-------------, (2007). Makalah-Makalah Kuliah Seni Pop, tidak dipublikasikan.
Wahid, Abdurrahman. (1999). Tuhan Tidak Perlu Dibela (ed). Lkis, Yogyakarta.
www. tabloidnova.com
www.wikipedia.com
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 1 : Data Diri Pemain
Nama
: Faruk
Usia
: 28 Th
Alat Musik yang dimainkan
: Gitar Melodi
Alamat
: Jl. Diponegoro I/22 Ambulu
Tinggal bersama
: Orang Tua
Lama tinggal di Ambulu
: 28 Th
Pekerjaan
: Pedagang sandal dan sepatu
Pendidikan terakhir
: SMA Bima
Pekerjaan orang tua
: Pedagang sandal dan sepatu
Hobi
: berpetualang dan main musik
•
Keadaan rumah
1. Usia rumah
: sekitar 20 th
2. Imej rumah
: Agak mewah
3. Jenis furnitur
: umum
4. Pilihan dekorasi
:
5. Pengamatan lain
: Rumahnya lumayan besar dan berpagar
besi
•
Pakaian
: Kaos dan celana jeans
•
Rambut
: sedang (di bawah di atas bahu)
•
Gaya bicara
1. Aksen
: Jawa
2. Cara bicara : Tertata dan diplomatis
•
•
Koleksi Kaset: rock, klasik, dangdut, gambus
Grup musik favorit: YNGwei Malsteen (kelompok bandnya dulu)
123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nama
: Fredy Oktavian
Usia
: 19 Th
Alat Musik yang dimainkan
: Tam- tam, marwas
Alamat
: Kauman-Ambulu
Tinggal bersama
: Kakak
Lama tinggal di Ambulu
: 19 Th
Pekerjaan
: (kadang tukang parkir)
Pendidikan terakhir
: SMA Bima
Pekerjaan orang tua
: Wiraswasta
Hobi
: Musik
•
Keadaan rumah
1. Usia rumah
: Kira-kira 35 tahun
2. Imej rumah
: agak mewah tapi berantakan
3. Jenis furnitur
: umum
4. Pilihan dekorasi
:
5. Pengamatan lain
: rumah berpagar besi
•
Pakaian
: kaos dan celana jeans
•
Rambut
: Pendek dan rapi
•
Gaya bicara
3. Aksen
: Jawa
4. Cara bicara
: standar
•
•
Koleksi kaset
Grup musik favorit
: tidak punya
: Balassyik dan Slank
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nama
: Hadi
Usia
: 26 th
Alat Musik yang dimainkan
: Tumbuk, marwas
Alamat
: Kauman - Ambulu
Tinggal bersama
: Orang tua dan Istri
Lama tinggal di Ambulu
: 26 Th
Pekerjaan
: Pedagang Hewan (Blantik Sapi dan
Kambing)
Pendidikan terakhir
: SMA Bima
Pekerjaan orang tua
: Pedagang
Hobi
: Main Musik
•
Keadaan rumah
1. Usia rumah
: sekitar 45 th
2. Imej rumah
: Tua
3. Jenis furnitur
: Didominasi oleh furnitur dari kayu dan
berusia lama.
4. Pilihan dekorasi
:
5. Pengamatan lain
: Ada kandang kambing di sebelah rumah
•
Pakaian
: kaos dan celana 3/4
•
Rambut
: pendek rapi
•
Gaya bicara
5. Aksen
: Jawa
6. Cara bicara : Tertata dan diplomatis
•
Koleksi kaset
•
Grup musik Favorit:Balassyik
: Rock, klasik, dangdut, dan gambus
125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nama
: Zaenal
Usia
: 25 Th
Alat Musik yang dimainkan
: Rythm, tam-tam, marwas
Alamat
: Kauman - Ambulu
Tinggal bersama
: Keluarga
Lama tinggal di Ambulu
: 25 Th
Pekerjaan
: pedagang
Pendidikan terakhir
: SMK Pancasila
Pekerjaan orang tua
: Wiraswasta
Hobi
: Sepak Bola, main musik
•
Keadaan rumah
1. Usia rumah
: sekitar 30 Th.
2. Imej rumah
: sederhana cenderung tua
3. Jenis furnitur
: sederhana
4. Pilihan dekorasi
Wapres.
: foto keluarga dan foto Presiden serta
5. Pengamatan lain
:
•
Pakaian
: kaos dan celana 3/4
•
Rambut
: pendek dan lurus
•
Gaya bicara
7. Aksen
: Jawa
8. Cara bicara : standar
•
Koleksi Kaset
•
Grup musik favorit: Slank
: Rock, klasik, dan gambus
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nama
: Eko
Usia
: 18 Th
Alat Musik yang dimainkan
: Drum
Alamat
: Kauman - Ambulu
Tinggal bersama
: Orang Tua
Lama tinggal di Ambulu
: 18 Th
Pekerjaan
: Pelajar
Pendidikan terakhir
: SMA Bima
Pekerjaan orang tua
: Pedagang
Hobi
: Main Musik
•
Keadaan rumah
1. Usia rumah
: sekitar 30 Th
2. Imej rumah
: sederhana tapi rapi
3. Jenis furnitur
: umum (tidak pesifik)
4. Pilihan dekorasi
: Foto keluarga
5. Pengamatan lain
: di depan rumah terdapat warung makanan
kecil
•
Pakaian
: Kaos dipadu dengan celana 3/4
•
Rambut
: Pendek tanpa mengikuti tren tertentu
•
Gaya bicara
9. Aksen
: Jawa
10. Cara bicara
: standar
•
Koleksi Kaset
: Rock, klasik, dan gambus
•
Grup musik favorit
: Peter Pan
127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nama
: Aries
Usia
: 21 Th
Alat Musik yang dimainkan
: Keyboard
Alamat
: Kauman-Ambulu
Tinggal bersama
: Orang tua
Lama tinggal di Ambulu
: 21 Th
Pekerjaan
:
Pendidikan terakhir
: SMP Kartika
Pekerjaan orang tua
: Wiraswasta
Hobi
: Main musik
•
Keadaan rumah
1. Usia rumah
: Sekitar 5 th (baru direnovasi)
2. Imej rumah
: Rapi dan bersih
3. Jenis furnitur
: umum
4. Pilihan dekorasi
keluarga.
: Gambar Ka’bah, Kaligrafi dan foto
5. Pengamatan lain
:
•
Pakaian
: Kaos Oblong dan Sarung
•
Rambut
: Pendek seperti model rambut polisi
•
Gaya bicara
11. Aksen
: Jawa
12. Cara bicara : Standar
•
Koleksi Kaset
: dangdut dan gambus
•
Grup musik favorit
: Balassyik
128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nama
: Hayung
Usia
: 21 Th
Alat Musik yang dimainkan
: Tumbuk dan gitar gambus
Alamat
: Kauman-Ambulu
Tinggal bersama
: Orang Tua
Lama tinggal di Ambulu
: 19 Th
Pekerjaan
: Mahasiswa (Poltek)
Pendidikan terakhir
: SMK
Pekerjaan orang tua
: Wiraswasta
Hobi
: Semua yang positif
•
Keadaan rumah
1. Usia rumah
: Sekitar 30 Th
2. Imej rumah
: Sederhana tapi rapi
3. Jenis furnitur
: umum
4. Pilihan dekorasi
: Foto Keluarga, Foto Presiden dan Wapres
5. Pengamatan lain
:
•
Pakaian
: Hem dan celana panjang
•
Rambut
: Pendek dan rapi
•
Gaya bicara
13. Aksen : Jawa
14. Cara bicara : Tertata dan diplomatis
•
Koleksi Kaset
: Rock, klasik, dangdut, gambus, qasidah,
campursari
•
Grup musik favorit
: Slank
129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nama
: Totok Hartoyo
Usia
: 18 Th
Alat Musik yang dimainkan
: Tam- tam, marwas
Alamat
: Kauman-Ambulu
Tinggal bersama
: Orang Tua
Lama tinggal di Ambulu
: 18 Th
Pekerjaan
: Pelajar
Pendidikan terakhir
: SMA Bima
Pekerjaan orang tua
: Wiraswasta
Hobi
: Musik
•
Keadaan rumah
1. Usia rumah
: 35 Th
2. Imej rumah
: sederhana cenderung kumuh
3. Jenis furnitur
: umum
4. Pilihan dekorasi
:
5. Pengamatan lain
: kondisi tembok rumah penuh dengan
bercak-bercak hitam akibat resapan air atau lembab.
•
Pakaian
: Kaos dan celana panjang
•
Rambut
: model acak (segi) pendek dan panjang di bagian depan
•
Gaya bicara
15. Aksen
: Jawa
16. Cara bicara : standar
•
Koleksi kaset
: Rock
•
Grup musik favorit
: Nindji, Samson dan Ungu
130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 2: Kuesioner
1. Dari mana Anda mendapatkan alat musik tersebut :
a.
b.
c.
d.
e.
Pinjam
Beli sendiri
Sewa
Dapat sumbangan
Pemain bawa sendiri
2. Alat musik apa saja yang minimal harus dimiliki oleh sebuah grup musik
gambus ?
a. Gitar gambus, tam-tam, marawis
b. Gitar gambus, tam-tam, marawis, tumbuk
c. Gitar gambus, tam-tam, marawis, keyboard
d. Gitar gambus, keyboard, gitar bass, drum, marawis
e. Keyboard, gitar rhythm, gitar bass, biola, drum
f. Lainnya: ……….
3.Kalau anda punya alat musik selengkap Balassyik, apa yang anda lakukan?
a.
b.
c.
d.
e.
Menggelar konser gratis
Menawarkan diri pada industri rekaman
Menaikkan tarif tanggapan
Berkonsentrasi pada ja’fin
Lainnya.....
4.Alat musik apa yang harus ada dalam pertunjukan gambus Al-Asyik?
a. Gitar gambus
b. Tam-tam
c. Marawis
d. Gitar Rhythm
e. Drum
f. Keyboard
g. Lainnya: ………
5.Apa jadinya kalau alat musik tersebut tidak ada ?
a. Kurang religius
b. Tidak disukai penonton
c. Tidak jadi pentas
d. Tidak dibayar
e. Gambus jadi kelihatan kuno
6. Apa alasan yang membuat sebuah lagu disebut religuis? (pilihan boleh lebih
dari satu dan maksimal tiga pilihan)
a. Kalau liriknya berbahasa Arab
b. Kalau musiknya dekat dengan timur tengah
c. Kalau lagunya dipakai pada acara keagamaan
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
d. Kalau penyanyinya ahli qiroah, adzan atau penyanyi qasidah
e. Kalau pakaian pemain menggunakan kerudung atau gamis
f. Lainnya……….
7.Apa rasanya kalau pentas tanpa Sound System
a. Biasa saja, yang penting penonton suka
b. Tidak jadi masalah karena yang penting misi dakwahnya
c. Kurang percaya diri karena terkesan kampungan
d. Membuat memainkan musik jadi kurang bersemangat
e. Mendingan tidak usah pentas saja.
8.Ada berapa orang yang bisa main alat yang anda mainkan?
a. Dua orang
b. Tiga orang
c. Semua bisa
d. Rata-rata bisa
e. Tidak ada yang bisa kecuali Anda
9.Bagaimana cara anda memainkan suatu karya baru?
a. Dengar sekali langsung bisa main
b. Dengar dua kali langsung bisa main
c. Dengar lebih dari dua kali baru bisa main
d. Latihan intensif dengan teman-teman lainnya, baru bisa main total
1.
2.
3.
4.
Aisyah
Katabna
Magadir
Ghonnili
5.
6.
7.
8.
Saaltinar
Rabby Faj’al
Ana Habbataik
Wanashabiya
Perhatikan daftar lagu diatas!
10.
Kalau semua lagu diatas disukai penonton dan penanggap, sebutkan tiga
lagu yang paling anda sukai!
11. Lagu mana yang paling religius menurut anda?
a. Katabna
b. Ghannili
c. Wanashabiya
d. Magadir
e. Lainnya ……………
12. Lagu mana yang paling tidak religius?
a. Saaltinar
b. Magadir
c. Ana Habbaitak
d. Wanashabiya
e. Lainnya ……………..
132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13. Kalau Al-Asyik memiliki kesempatan rekaman, gambus jenis apa yang ingin
dimainkan?
a. Ja’fin
b. Balladian
c. Sarah
d. Da’ifah
e. Lainnya …………….
14. Menurut anda, apa yang paling disukai penonton dari penampilan Al-Asyik?
a. Musiknya yang asyik buat goyang
b. Pemainnya yang sudah dikenal
c. Kostumnya yang santai
d. Gaya pertunjukannya yang penuh variasi
e. Lagu- lagunya yang islami tapi gaul
f. Penyanyinya yang keren suaranya
g. Lainnya ………….
15. Kalau yang menonton Al- Asyik hanya ibu-ibu dan remaja putri, apa yang
anda lakukan?
a. Terus pentas
b. Mengganti lagu sesuai dengan penonton
c. Mencari tahu, mengapa musik gambus hanya diterima ibu- ibu dan remaja
putri
d. Mencari pemain perempuan
e. Lainnya ………………
16. Acara apa yang paling mahal harga tanggapannya?
a. Pernikahan
b. Kampanye
c. Peresmian Dealer
d. Undangan Kecamatan
e. Lainnya………….
17. Menurut anda apa alasan orang menanggap gambus?
a. Islami tapi modern
b. Harga tanggapan yang terjangkau
c. Berasal dari daerah sendiri
d. Lainnya …………………
18. Kalau sama-sama dibayar, lebih suka ditanggap siapa?
a. Takmir Masjid
b. Pak Camat
c. Masyarakat biasa
d. Partai Politik
e. Bank
f. Lainnya ……………….
133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19. Ditanggap siapa yang paling tidak anda inginkan, meskipun dibayar?
a. Orang Kristen
b. Orang Cina
c. Orang Pakistan
d. Parpol
e. Polisi
f. Kyai Pesantren
g. Lainnya ………….
20. Siapa penanggap yang paling anda inginkan, tapi belum pernah menanggap
Al-Asyik?
a. Bupati
b. Pemilik Rekaman
c. Kyai Terkenal
d. Lainnya ………..
134
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 3: Hasil Kuesioner
1. Dari mana Anda mendapatkan alat musik tersebut :
Nama
Pemain
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
Pinjam
Kelompok
beli sendiri
Sewa
Sumbangan
Bawa
sendiri
*
*
*
*
*
*
*
*
2. Alat musik apa saja yang minimal harus dimiliki oleh sebuah grup musik
gambus?
Nama Pemain
A
B
C
D
E
F
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
*
*
*
*
*
*
*
*
3. Kalau anda punya alat musik selengkap Balassyik, apa yang anda lakukan?
Nama
Pemain
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
Menggelar
konser
gratis
Menawarkan Menaikkan
diri
pada tarif
industri
tanggapan
rekaman
*
*
*
*
*
*
*
*
135
Berkonsen
trasi pada Lainnya
gambus
ja’fin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Alat musik apa yang harus ada dalam pertunjukan gambus Al-Asyik?
Nama
Gitar
Tam- Marawis Gitar
Drum Keyboard Lainnya
Pemain
gambus tam
Rhythm
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
5. Apa jadinya kalau alat musik tersebut tidak ada ?
Nama
Kurang Kurang
Tidak Tidak
Gambus Lainnya
Pemain
religius disukai
jadi
dibayar kelihatan
penonton pentas
kuno
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
*
*
*
*
*
*
*
*
6. Apa alasan yang membuat sebuah lagu disebut religuis? (pilihan boleh lebih
dari satu dan maksimal tiga pilihan)
Nama
Liriknya
Musiknya Dipakai
Penyanyin Pakaian
Lainnya
Pemain berbahasa dekat
pada acara ya
ahli kerudung
Arab
dengan
keagamaan
qiroah,
atau gamis
Timur
atau
Tengah
penyanyi
qasidah
Faruk
*
*
*
Fredy
*
*
*
Hadi
*
*
*
Zaenal
*
*
*
Eko
*
*
*
Aries
*
*
*
Hayung
*
*
*
Totok
*
*
*
136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7. Apa rasanya kalau pentas tanpa Sound System
a. Biasa saja, yang penting penonton suka
b. Tidak jadi masalah karena yang penting misi dakwahnya
c. Kurang percaya diri karena terkesan kampungan
d. Kurang bersemangat memainkan musik
e. Mendingan tidak usah pentas saja.
Nama
A
B
C
D
E
Pemain
Faruk
*
Fredy
*
Hadi
*
Zaenal
*
Eko
*
Aries
*
Hayung
*
Totok
*
8. Ada berapa orang yang bisa main alat yang anda mainkan?
Nama Pemain
Dua
Tiga
Semua
Rata-rata
orang
orang
bisa
bisa
Faruk
*
Fredy
*
Hadi
*
Zaenal
*
Eko
*
Aries
Hayung
*
Totok
*
9. Bagaimana cara anda memainkan suatu karya baru?
Nama Pemain
Dengar
Dengar
Lebih
Latihan
sekali
dua kali
dari dua
intensif
kali
baru bisa
Faruk
*
Fredy
*
Hadi
*
Zaenal
*
Eko
*
Aries
*
Hayung
*
Totok
*
137
F
Hanya
anda
*
Lainnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.
2.
3.
4.
Aisyah
Katabna
Magadir
Ghonnili
5.
6.
7.
8.
Saaltinar
Rabby Faj’al
Ana Habbataik
Wanashabiya
Perhatikan daftar lagu diatas!
10. Kalau semua lagu diatas disukai penonton dan penanggap, sebutkan tiga lagu
yang paling anda sukai!
Nama Pemain
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
1
2
3
*
4
5
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
11. Lagu mana yang paling religius menurut anda?
Nama Pemain
Katabna Ghannili Wanashabiya
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
7
8
*
*
*
Magadir
Rabby Faj’al
*
*
*
*
*
*
*
*
12. Lagu mana yang paling tidak religius?
Nama Pemain
Saaltinar Magadiir
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
6
*
*
*
*
*
*
*
*
138
Ana Habbaitak
Wanashabiya
Lainnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13. Kalau Al- Asyik memiliki kesempatan rekaman, gambus jenis apa yang ingin
dimainkan?
Nama Pemain
Ja’fin
Baladian
Sarah
Dhaifah
Lainnya
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
14. Menurut anda, apa yang paling disukai penonton dari penampilan Al-Asyik?
Nama Pemain
A
B
C
D
E
F
Faruk
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
*
*
*
*
*
*
*
*
15. Kalau yang menonton Al-Asyik hanya ibu-ibu dan remaja putri, apa yang
anda lakukan?
Nama
Terus pentas Mengganti Cari tahu
Mencari
Lainn
Pemain
lagu
alasannya
pemain
ya
perempuan
Faruk
*
Fredy
*
Hadi
*
Zaenal
*
Eko
*
Aries
*
Hayung
*
Totok
*
139
G
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16. Acara apa yang paling mahal harga tanggapannya?
Nama
Pernikahan Kampanye Peresmian
Pemain
dealer
Faruk
*
Fredy
*
Hadi
*
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Kecamatan
Tergantung
lokasi dan
acara
*
Sunnatan
Tergantung
permintaan
dan tempat
Tergantung
pengurus
Totok
17. Menurut anda apa alasan orang menanggap gambus?
Nama Pemain
Islami
Harga
Dari daerah
tapi
terjangkau
sendiri
modern
Faruk
*
Fredy
Hadi
Zaenal
Eko
Aries
Hayung
Totok
Lainnya
Lainnya
Penngemar
gambus
*
*
*
*
*
*
18. Kalau sama-sama dibayar, lebih suka ditanggap siapa?
Nama Pemain
Takmir
Camat
Masyara
Parpol
kat biasa
Faruk
Fredy
*
Hadi
*
Zaenal
*
Eko
*
Aries
*
Hayung
*
Totok
140
Bank
*
*
Lainnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19. Ditanggap siapa yang paling tidak anda inginkan, meskipun dibayar?
Nama
Orang
Orang
Orang
Parpol
Polisi kyai
Pemain
Kristen
Cina
Pakistan
Faruk
*
Fredy
*
Hadi
*
Zaenal
*
*
*
Eko
*
Aries
*
Hayung
*
Totok
*
Lainnya
20. Siapa penanggap yang paling anda inginkan, tapi belum pernah menanggap
Al-Asyik?
Nama Pemain Bupati
Pemilik
Kyai
Lainnya
Rekaman terkenal
Faruk
*
Fredy
*
Hadi
*
Zaenal
*
Eko
*
Aries
*
Hanung
*
Totok
*
141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
Download