KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN ISOZIM MATOA (POMETIA PINNATA FORST.) HENGKY LUKAS WAMBRAUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Karakterisasi Morfologi dan Isozim Matoa (Pometia pinnata Forst.)” merupakan ide dan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2011 HengkyLukas Wambrauw NRP. G353070041 ABSTRACT HENGKY LUKAS WAMBRAUW. Morphological and Isozyme Characterization of Matoa (Pometia pinnata Forst.). Supervised by RITA MEGIA and TATIK CHIKMAWATI Variability of wild and cultivated matoa has long been the subject of controversy because of its morphological variation. It was also recognized also as several species names of matoa, although it has been revised under one type name and some synonyms at forma category that are seldom used. It is difficult to differentiate between morphological characters of matoa variants, therefore it needs to use other approaches. Nineteen accessions originated from six areas, Papua Forest, Mekarsari Fruit Garden, Germplasm of LIPI Cibinong, Bogor Botanical Garden, Arboretum of Bogor Agricultural University, and Bogor Research and Development Agency of Forestry and Conservation were characterized and examined their diversity of morphological and isozyme characters. Three isozyme analysis systems, esterase (EST), malate dehydrogenase (MDH), and peroxidase (PER) were used. Morphological characters were transformed into binary and multistate character data and then were analyzed to build a phenogram based on UPGMA approach using NTSYs pc. 2.2i software. Matoa has variation on 16 morphological characters: root pattern; stem texture and color; rachis size and colour of leaves; hair of rachis, the number of pinna; pinnae position; auricle shape; pinnae size, the base, apex, margin shapes of pinna, pinnae colour; and young pinna colour. Matoa also varied on the three enzyme systems, but only PER showed clear isozyme banding patterns of matoa at 0.29 to 0.34 migration length (Rf). Phenetic analysis based on 16 morphological characters grouped 19 matoa accessions into three major groups, and the bigest group consisted of two sub-group included four identic accessions of cultivated matoa. All accession studied were identified as one species, Pometia pinnata, with two varieties, var. pinnata and javanica, and one cultivated variety, cv. Kelapa. Pinnata variety consist of three forma which were f. pinnata, f. tomentosa, f. repanda, while var. javanica has one forma, f. glabra. Keywords: Matoa, Pometia pinnata Forst., morphological characteristics, isozyme. RINGKASAN HENGKY LUKAS WAMBRAUW. Karakterisasi Morfologi dan Isozim Matoa (Pometia pinnata Forst.). Dibimbing oleh RITA MEGIA dan TATIK CHIKMAWATI Variabilitas matoa di hutan alam maupun yang dibudidaya telah direvisi di bawah nama jenis tunggal Pometia pinnata Forst., dan subdivisinya diberi sinonim di bawah kategori forma, tetapi jarang digunakan karena terdapat beragam interpretasi terhadap variasi morfologinya yang cukup tinggi pada karakter, pola, bentuk dan ukuran serta warna pada bagian akar, batang dan daun. Varian matoa juga sukar dibedakan, maka dilakukan analisis isozim sistem enzim esterase, malatdehidrogenase dan peroksidse terhadap 19 aksesi matoa yang dipilih secara purposif dari Hutan Wisata Alam Gunung Meja Manokwari-Papua Barat, Kebun Raya Bogor, Taman Buah Mekarsari, Kebun Plasma Nutfah LIPI Cibinong, Arboretum IPB serta Balitbang. Kehutanan dan Konservasi Alam Bogor. Karakter morfologi dan isozim dicirikan dan diidentifikasi berdasarkan spesimen koleksi di Herbarium Manokwariense dan Herbarium Bogoriense. Enambelas karakter morfologi telah dianalisis menggunakan program NTSYSpc 2.02i, SAHN-Clustering untuk mendapatkan fenogram UPGMA. Variabilitas matoa meliputi matoa di hutan alam maupun yang dibudidaya. Umumnya matoa di hutan alam memiliki pola akar berbanir papan dan kurang berbanir. Sedangkan varian-variannya yang umumnya dibudidaya untuk buah konsumsi tidak memiliki pola banir tersebut. Tiga macam pola akar, yaitu berbanir papan; berbanir sedang; tanpa banir. Tekstur kulit luar juga bervariasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu halus-tidak mengelupas; kasar-mengelupas; mengelupas dan menyerpih-berlekah. Lima macam warna tekstur kulit pada batang, yaitu coklat karatan dan ungu dadu dengan bercak putih; hijau kecoklatan dan krem; kehijauan dan ungu dadu dengan bercak putih; ungu dadu dengan bercak putih; kehijauan dan kekuningan jingga. Tiga macam variasi warna pada sumbu daun ditemukan, yaitu ungu-kehitaman; hijau kekuningan; hijau kecoklatan. Permukaan sumbu daun dan pertulangan tengah anak daun matoa ada yang tidak berambut, tetapi terdapat dua macam warna rambut, yaitu rambut putih dan rambut coklat keemasan. Matoa juga memiliki tiga macam variasi panjang sumbu daun, yaitu 15-35 cm pendek; 36-56 cm sedang; 57-100 cm tergolong panjang. Anak daun matoa berhadapan; berhadapan sampai berseling. Jumlah pasangan anak daun terdiri atas tiga kelompok, yaitu 5-7 pasang, 8-10 pasang, lebih dari 10 pasang. Pasangan bawah lebih kecil, menyerupai cuping yang tampak seperti memeluk batang, bentuk semi arit (subfalcate), arit (falcate) maupun pola dua tanduk. Lima macam bentuk anak daun, yaitu membundar telurmelonjong; membundar telur-lonjong atau melonjong; membundar telur, melonjong-membundar telur terbalik (obovate); membundar telur sampai melonjong hingga memanjang (oblongate); lonjong. Berdasarkan panjang anak daun, matoa memiliki tiga macam variasi ukuran anak daun, yaitu < 10 cm pendek; 10-20 cm sedang; > 20 cm panjang. Matoa juga bervariasi dalam sistem isozim esterase, malat dehidrogenase dan peroksidase. Dalam sistem enzim esterase, terbentuk dua pola pita pada jarak migrasi Rfa 0.1 dan Rfb 0.2 untuk aksesi asal hutan alam Papua. Sistem enzim malat dehidrogenase, terbentuk tiga pola pita dengan jarak migrasi Rfa 0.26 pada aksesi matoa yang dibudidaya; Rfb 0.27 dan Rfc 0.29. Sistem enzim peroksidase lebih jelas memperlihatkan dua pola pita pada jarak migrasi Rfa 0.29 meliputi lima aksesi dan Rfb 0.34 meliputi tigabelas aksesi. Empat aksesi memiliki pola pita ganda sebagai wujud dari sifat yang lebih kompleks. Dalam sistem enzim peroksidase, aksesi matoa asal hutan alam Papua maupun yang dibudidaya di daerah Bogor memiliki jarak migrasi sama, tetapi dibedakan oleh pola pita ganda. Sembilanbelas aksesi matoa yang dianalisis tergolong dalam jenis P. pinnata terdiri atas dua varietas, yaitu pinnata dan javanica. Varietas pinnata meliputi tiga forma yaitu f. pinnata, f. tomentosa dan f. repanda. Varietas javanica terdiri atas satu forma glabra dan cv. Kelapa. Karakter penunjuk kategori varietas pada variabilitas matoa cukup adaptif, sehingga penerapan nama dengan tingkat forma lebih konsisten. Kata kunci: Matoa, Pometia pinnata Forst., karakter morfologi, isozim. © Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karaya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN ISOZIM MATOA (POMETIA PINNATA FORST.) HENGKY LUKAS WAMBRAUW Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Biologi Tumbuhan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : DR. Dra. Nunik Sri Aryanti, MSi. Judul : Karakterisasi Morfologi dan Isozim Matoa (Pometia pinnata Forst.) Nama : Hengky Lukas Wambrauw NRP : G353070041 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Rita Megia Dr. Ir. Tatik Chikmawati, MSi Ketua Anggota Diketahui Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Tumbuhan Dr. Ir. Miftahudin, MSi Tanggal Ujian: 13 Mei 2011 Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Lulus: 2011 PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya, sehingga penelitian dan tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan sejak Agustus 2008, yang meliputi kajian spesimen di Herbarium Manokwariense dan Bogoriense dan penelitian lapang serta analisis isozim di Laboratorium Biologi Tumbuhan PPSHB IPB. Bahan tanaman matoa diperoleh dari Hutan Wisata Gunung Meja Manokwari Papua Barat, Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong dan Taman Buah Mekarsari Cileungsi Bogor Jawa Barat. Tesis berjudul Karakterisasi Morfologi dan Isozim Matoa (Pometia pinnata Forst.). Terima kasih penulis ucapkan kepada: Dr. Rita Megia dan Dr. Tatik Chikmawati, MSi selaku Komisi Pembimbing atas arahan dan motivasinya; Prof. Dr. Ir. Alex Hartana atas pemberian ijin pemakaian Laboratorium Biologi Tumbuhan PPSHB IPB; Dr. Eko Baroto dan staf Herbarium Bogoriense LIPI Cibinong; Dr. Siti Roosita Ariyati dan staf di Kebun Raya Bogor; Kepala Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong dan staf; Ir. Edwin dan staf di Taman Buah Mekarsari Cileungsi Bogor, atas pemberian ijin dan akses penelitian; Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Jakarta melalui IPB atas pemberian Beasiswa BPPS Tahun 2007; Rektor UNIPA Manokwari. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada keluarga: ayah, ibu (almh.), istri dan anak atas dukungan doa, moril dan finansial. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada rekan Gunawan, S.Si. MSi; Pak Pras, Pak Yani dan Elisa Wally. Semoga informasi dalam tesis ini dapat bermanfaat. Bogor, Juli 2011 Hengky Lukas Wambrauw RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Namber pada tanggal 15 September 1972 dari Ayah M. Wambrauw dan Ibu A. Mandobar. Penulis merupakan putra keempat dari sepuluh bersaudara. Lulus pendidikan strata satu (S1) pada tahun 2004 di Universitas Cenderawasih Jayapura dan pada tahun yang sama diterima sebagai staf Dosen pada Program Studi Biologi FMIPA Universitas Negeri Papua Manokwari Papua Barat. Tahun 2004-2006 sebagai pengampu mata kuliah Taksonomi Tumbuhan dan Tinjauan Dunia Tumbuhan. Tahun 2007, Penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana Mayor Biologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, didukung oleh beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Jakarta melalui SPs IPB. Penulis pernah tergabung dalam kelompok survey dan monitoring populasi kera ekor panjang (Macaca fascicularis) di Kawasan Hutan Wisata Alam Teluk Youtefa dan Pegunungan Cyclop Jayapura Papua, kerjasama Indo-pacific Conservation Alliance (IPCA) dan FMIPA UNCEN pada tahun 1998. Tahun 2006 Penulis mengikuti Pelatihan Pengenalan Tumbuhan di Kebun Raya Bogor dan Pembuatan Spesimen Herbarium di Herbarium Bogoriense, Bogor-Jawa Barat. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR…...………………………………….............................. xii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………..… xiii PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………...... Perumusan Masalah………………………………………………….. Tujuan Penelitian……..………………………………………………. 1 3 3 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Jenis Matoa (Pometia pinnata Forst.)……………….……... 4 Forma dan Sebaran Matoa……….………….……………………........ 5 Isozim..................................................................................................... 8 Elektorforesis.......................................................................................... 8 Esterase (EST)........................................................................................ 9 Malat Dehidrogenase (MDH)................................................................. 10 Peroksidase (PER).................................................................................. 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat.................................................................................. Bahan dan Alat ....................................................................................... Pendekatan Morfologi............................................................................. Analisis Isozim........................................................................................ 11 11 12 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Morfologi.................................................................... Keanekaragaman Isozim……………………………….…………….... Analisis Kelompok Matoa Berdasarkan Morfologi…….……………... Klasifiksi dan Deskripsi Morfologi Matoa............................................. Varietas pinnata forma pinnata.............................................................. Varietas pinnta forma repanda............................................................... Varietas pinnata forma tomentosa……………..…………………….... Varietas javanica forma glabra..…………..………………………...... Matoa cv. Kelapa……………………………………………………… 18 27 32 37 37 38 38 39 39 SIMPULAN DAN SARAN…………………………....………….………….. 41 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 43 LAMPIRAN....................................................................................................... 40 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pola akar matoa dan skematisnya……...…………………………………... 18 2. Warna kulit pada batang...…………………………………………………. 19 3. Warna sumbu daun…………………………………………………………. 19 4. Rambut pada sumbu daun dan adaksial tulang tengah anak daun………….. 20 5. Kedudukan anak daun…………………………………….……………....... 21 6. Bentuk aurikel pada pasangan basal dan skematisnya…………………….... 21 7. Bentuk anak daun mulai dari pasangan bawah-tengah dan atas……............. 22 8. Bentuk pangkal, tepi dan ujung anak daun…….……………………............ 23 9. Warna pucuk matoa……..……….………………………………………...... 24 10. Bunga matoa dan skematisnya……...………………………………............. 25 11. Buah matoa ……………………………………………………………….... 26 12. Pola pita dan zimogram esterase……………………………………………. 28 13. Pola pita dan zimogram malat dehidrogenase...……………………………. 29 14. Pola pita dan zimogram peroksidase………………….…………………….. 30 15. Fenogram matoa berdasarkan sifat morfologi……………….…………….... 33 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Karakter-karakter morfologi aksesi matoa untuk analisis fenetik………. 47 2. Data matriks karakter morfologi matoa untuk analisis fenentik…........... 48 PENDAHULUAN Latar Belakang Matoa merupakan tumbuhan buah khas Papua. Kayunya tergolong kelompok veneer dan dimanfaatkan sebagai bahan kusen rumah; bagian kulit batang dan daun sebagai obat luka dan eksim. Variabilitas matoa telah direvisi dengan satu tipe P. pinnata Forst., berumah satu dalam suku Sapindaceae; tersebar di seluruh kawasan Malesia hingga Kepulauan Pasifik (Jacobs 1962). Karakter morfologinya masih diperdebatkan karena variasinya cukup tinggi pada pola, bentuk dan ukuran serta warna pada bagian akar, batang dan daun, sehingga di Papua, penebang pohon membedakan pada tingkat jenis, yaitu P. pinnata Forst., P. acuminata Radlk, P. tomentosa Radlk. dan P. coriacea Radlk. Selain itu, keterbatasan material generatif bergantung pada musim dan distribusi geografis yang luas menjadi beberapa kelemahan dalam identifikasi morfologi, sehingga diperlukan pendekatan lain. Varibilitas matoa terdiri atas jenis biologi di hutan alam dan varian-varian atau kultivarnya yang dibudidaya secara luas saat ini. Matoa juga dikonservasi secara ex situ di Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong, Arboretum IPB dan Balitbang dan Konservasi Alam Bogor serta ditanam di Taman Buah Mekarsari Bogor. Umumnya bibit yang ditanam berasal dari Papua dan diperbanyak secara vegetatif, sehingga siklus produktivitasnya lebih pendek, jika dibandingkan dengan jenis liarnya di hutan alam. Matoa tipe liar dan varian-variannya memiliki variasi infraspesies yang sukar dibedakan secara langsung, bahkan record datanya pun masih kurang hingga saat ini. Di lain pihak, perlindungan varietas tanaman di Indonesia telah diatur dalam Lembaran Negara No. 29 tahun 2000. Matoa beragam dalam karakter morfologinya, namun menurut Jacobs (1962) variabilitas matoa tidak stabil, sehingga cukup dikelompokkan dengan nama tunggal P. pinnata Forst. dan sinonim dengan kategori forma. Karakter morfologi terdiri atas perbedaan-perbedaan dan kemiripan-kemiripan di antara tumbuhan yang terjadi secara umum, nilainya dapat diukur dari kestabilannya, semakin banyak karakter yang stabil, maka lebih baik tingkat kepercayaannya atau sebaliknya (Lawrence 1955). Sifat fenotipe yang teramati relatif terhadap 2 perbedaan genetik yang sesungguhnya dipengaruhi oleh lingkungan, namun isozim stabil terhadap lingkungan geografis, sehingga karakterisasi bahan suatu tumbuhan dapat membantu meminimalkan pemahaman yang terbatas terhadap sifat-sifat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan (Horry 1989). Karakterisasi sifat morfologi matoa yang ada merupakan kemampuan untuk menstabilkan pengaruh faktor lingkungan terhadap fenotipenya agar diperoleh gambaran yang jelas tentang tingkat variasinya. Keragaman morfologi matoa di bawah tingkat jenis juga tidak selalu tersedia, maka penggunaan karakter tambahan selain morfologi seperti analisis isozim dapat membantu memperlihatkan pengelompokan sifat keragaman genetiknya. Isozim merupakan produk langsung dari gen, terdiri atas gabungan beberapa molekul enzim berbeda yang aktif di dalam sel organisme, bersifat polimorf dan berbeda sifat fisika dan kimianya, namun dapat mengkatalis reaksi kimia yang sama. Perbedaan molekul-molekul ini disebabkan oleh berbedanya urutan asam amino penyusunnya, sehingga menjadi dasar dilakukannya pemisahan dengan teknik elektroforesis (Markert & Moller 1959). Dalam larutan elektrolit, molekul-molekul biologis bermuatan listrik dengan beda potensial akan bermigrasi ke kutup berlawanan hingga mencapai jarak relatif sebagai pola pita isozimnya. Penanda isozim sangat berguna untuk karakterisasi dan identifikasi kultivar, penentuan asal genetik benih, membedakan keturunan hasil penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri, mendokumentasikan persentase kultivar serta menguji similaritas kultivar (Peirce & Brewbaker 1973). Sebaliknya pendekatan morfologi sudah lama dipakai untuk melakukan identifikasi, tetapi dalam banyak kasus ketersediaan material berupa bunga ataupun buah tidak selalu tersedia karena bergantung musim, ketidak-matangan bahan atau terjadi kerusakan tertentu (Torres 1983). Analisis sistem isozim untuk forma-forma matoa belum dilakukan. Dengan andanya pendekatan isozim ini diharapkan dapat melengkapi data keragaman infraspesies P. pinnata. 3 Perumusan Masalah Variasi morfologi sering dijadikan dasar penamaan matoa ke dalam beberapa jenis. Padahal menurut Jacobs (1962), sifat-sifat variabilitas matoa cukup ditempatkan pada posisi kategori forma. Matoa di hutan alam maupun yang dibudidaya memiliki variasi morfologi cukup tinggi antara lain pada: pola akar, tekstur kulit, bentuk anak daun, tepi, ujung anak daun dan warna. Selain itu, informasi tentang jenis matoa dan varian-variannya masih kurang, jika dibandingkan dengan pemanfaatan kayu dan buahnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: keterbatasan material generatif terkait musim bunga, buah dan distribusi geografis yang luas serta karakteristik varian infraspesies sukar dibedakan secara langsung menjadi beberapa kelemahan dalam identifikasi morfologi, sehingga diperlukan pendekatan isozim. Dalam analisis isozim tumbuhan, tidak semua sistem enzim yang digunakan dapat memperlihatkan pola-pola pita secara jelas, karena enzim tertentu memiliki spesifikasi terhadap molekul-molekul protein suatu tanaman. Molekul bermuatan yang dielektorforesis dengan beda potensial dalam jangka waktu tertentu dapat bermigrasi dengan jarak relatif tertentu merupakan pola pita isozim. Sistem enzim yang cocok dapat memperlihatkan sifat genetik (polimorfis) variabilitas matoa dalam wujud pola-pola pita elektroforesis. Karakterisasi morfologi dan isozim dapat menentukan perbedaan-perbedaan dan kemiripankemiripan agar dapat diukur tingkat perbedaan dan kemiripannya guna menentukan variasi matoa yang ada. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi sifat morfologi dan isozim esterase, malat dehidrogenase dan peroksidase pada aksesi matoa asal hutan Papua, Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong, Arboretum Balitbang Kehutanan dan Konservasi Alam Bogor, Arboretum Institut Pertanian Bogor serta Taman Buah Mekarsari Bogor. Hasilnya diharapkan menjadi salah satu model pendekatan dalam melacak variasi jenis matoa pada kategori infraspesies dan menambah informasi tentang matoa sebagai salah satu potensi plasma nutfah agar dikonservasi secara in situ maupun ex situ. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Jenis Matoa (Pometia pinnata Forst.) Jacobs (1962) mendeskripsikan matoa sebagai tumbuhan berumah satu; pohon berukuran sedang sampai besar, memiliki dinding penunjang, getah merah. Daun majemuk menyirip genap (paripinate), tersusun spiral, anak daun paling bawah pada sumbu daun menyerupai daun penumpu dan sering tereduksi; tangkai daun pulvinate; daun muda berwarna krem dan sangat mencolok; daun pada pangkal perbungaan sering tereduksi menjadi stipula semu. Anak daun berhadapan sampai berseling, pasangan bawah selalu lebih kecil; setiap pertulangan anak daun berakhir atau bermuara pada setiap ujung anak daun atau ujung dari tiap gigi anak daun (hydathoda) dan setiap pertulangan antara menekuk atau melengkung ke arah bagian atas tetapi tidak mencapai tepi anak daun; anak daun menjarum sampai bergigi mencolok; terdapat kelenjar minyak pada bagian permukaan bawah pangkal daun. Tangkai anak daun melebar dan rapat, bagian atas memiliki dua alur lateral atau lekukan tipis. Perbungaan terdapat di ujung ranting, kadang-kadang di bagian ketiak daun. Braktea menyerupai bentuk segitiga sempit sampai benang. Bunga yang paling atas soliter, tanpa brakteole, uniseksual, simetri radial; tangkai bunga terete, ramping, articulate, panjang dan tenggelam di dalam buah, sepal 5, ramping sampai lebih dari separuh bersatu, bagian kuncup mengatub, dua bagian terluar selalu lebih tipis dan lebih kecil; tepi rata, persisten pada buah; petal 5, umumnya pendek sampai panjang dan jelas, jika dibandingkan dengan kelopak, tidak atau berkuku keras, hampir rata, cakram dalam bentuk cincin, pulvinate, tidak bercuping, kurang lebih bergelombang; benang sari 5 (6), pada bunga jantan lebih panjang, menjarum, berambut terutama pada bagian paruh bawah atau licin, kepala sari rapat menyerupai bentuk pola kupu-kupu; ovarium duduk, bentuk jantung, 2 (-3) ruang, tangkai putik sama panjang atau lebih panjang dari ovarium, 1 bakal biji tiap ruang. Buah menempel langsung tanpa ditopang tangkai buah, sering memiliki satu ruang biji yang tidak merekah, halus, licin dan tidak berambut, merah sampai hitam saat ranum; kulit luar kasar, agak tipis; kulit tengah agak tebal dan bersari putih, semi transparan, rasa manis. Buah yang kering memiliki retakan tidak beraturan menjadi dua serabut atau lapisan gabus, 5 salah satunya di dalam pericarp dan yang lainnya menyelimuti biji. Biji bulatmelonjong, coklat kemerahan, tersalut daging tipis arillode secara sempurna, diameter ± 5 mm. Forma dan Sebaran Matoa Selanjutnya Jacobs (1962) mengelompokkan variabilitas matoa ini ke dalam 8 forma, yaitu: 1. Forma pinnata memiliki tulang tengah anak daun yang berambut coklat kekuningan padat, anak daun membundar telur, pertulangan berwarna kemerahan, gundul ataupun memiliki rambut coklat kekuningan pada tulang tengah anak daun; perbungaan kaku dan mencapai panjang 30 cm. 2. Forma glabra memiliki tulang tengah anak daun gundul, perbungaan kaku mencapai panjang 60 cm, bercuping, tekstur anak daun kasar, panjang lebih dari 30 cm, perbungaan tanpa rambut, pasangan basal menyerupai cuping, membundar (tidak menyerupai bentuk sabit) dan memeluk batang seperti halnya daun penumpu semu, baik pada bagian perbungaan maupun daun normalnya. 3. Forma repanda umumnya perbungaan tidak memiliki daun penumpu semu, gundul, panjang mencapai 30 cm, tekstur anak daun lebih kaku. 4. Forma alnifolia, perbungaan menggantung dengan percabangan yang lebih sederhana, anak daun semi rata (subentire), panjang 30 cm, warna hijau pudar saat kering, bagian adaksial hijau mengkilap. 5. Forma cuspidate memiliki anak daun bergigi besar (dentate), mencapai 16 cm, warna kehijauan sampai abu-abu dan berwarna pudar saat kering. 6. Forma macrocarpa, perbungaan tanpa daun penumpu, panjang mencapai 30 cm, tanpa rambut, tepi anak daun semi rata. 7. Forma acuminata, tulang tengah anak daun gundul, perbungaan menggantung, anak daun panjangnya mencapai 25 cm lebih, tanpa daun penumpu, ujung meruncing dengan panjang ujung 2-4 cm (acuminate), bergigi mencolok, dimana jarak antar gigi terpisah jauh. 6 8. Forma tomentosa, pola perbungaan bercabang berulang, berambut coklat padat, seperti karatan besi hingga coklat dan daun berwarna coklat saat kering, panjangnya 30 cm, gigi dapat dibedakan secara jelas. Forma glabra dan tomentosa tersebar di Jawa Barat dan Jawa Timur. Forma cuspidate di Sumbawa, Timor dan Wetar. Forma acuminata paling besar variasinya dan endemik di bagian utara Borneo. Forma glabra, repanda dan pinnata terdapat di daerah Palawa (Filipina). Forma glabra dan f. pinnata ditemukan juga di Celebes dan di Kepulaun Maluku (Moluccas). Forma pinnata, glabra dan repanda terdapat di Talaud, Bacan dan di New Guinea. Ketiga forma ini tersebar pesat di tanah daratan Papua dan Kepulauan Teluk Cenderawasih (Geelvink Baii). Forma repanda dikenal di pulau Aru; tidak ada catatan di Waigeo, tetapi di Misol terdapat bentuk intermediet antara f. pinnata dan f. glabra. Populasi matoa di daerah Pasifik cukup homogen mengacu pada f. pinnata dan masih terdapat beberapa ras lokal yang dikembangkan untuk dibudidaya. Tidak ada variasi yang khas di New Guinea. Menurut Damas (1993), f. tomentosa khas di PNG dan mesti diposisikan pada tingkat jenis, karena memiliki pola akar kurang berbanir dan kurang tinggi, tepi menumpul, permukaan kulit luar mengelupas membentuk flek tipis-pendek yang meninggalkan bekas atau lubang-lubang dangkal, berwarna terang-coklat kemerahan; batang tegak lurus, lebih tinggi, membundar teratur; anak daun membundar telur-melanset; ranting dan anak daun berambut, berwarna hijau terang dan ukurannya lebih sempit. Sedangkan forma pinnata memiliki anak daun yang memanjang sampai jarang yang membundar telur-lonjong, pangkal cordatedangkal; sumbu daun jarang atau tidak overlapping. Tahap awal germinasi keduanya memiliki tampilan yang sama, namun pada fase seedlings lambat-laun berubah pada saat daun keempat dan kelima muncul. P. pinnata memiliki anak daun yang hijau mengkilap, tanpa rambut dan pada tanaman dewasanya berpola akar banir papan, tepi menajam; permukaan kulit batang mengelupas tipis-pendek membentuk permukaan yang halus, berwarna lebih gelap; bagian bawah pangkal batang berpilin; tajuk lebih rendah, membundar tidak teratur. Pometia terdiri atas dua jenis berdasarkan daerah asal dan distribusi di Sri Lanka, Kepulauan Andaman yang tersebar melalui Asia Tenggara sampai Samoa 7 dan Fiji, tetapi jarang ditemukan di Asia Tenggara dan Taiwan. P. pinnata Forst. jarang ditanam di tempat distribusi aslinya. P. ridleyi King., umumnya tersebar di Semenanjung Malaysia pada lembah bukit hutan primer dan sepanjang sungai hingga mencapai 750 m dpl. Pohon besar, tinggi mencapai 50 meter, diameter 100 cm. Daun terdiri atas 4-8 pasang anak daun, tepi rata, semua pertulangan melengkung terhadap tepi anak daun dan tidak berakhir pada bagian tepi. Perbungaan dan kelopak tidak berambut (Soerianegara & Lemmens 1994). Matoa tersebar luas di seluruh hutan dataran rendah Papua. Menurut Soemiasri et al (1996), terdapat 3 kultivar matoa, yaitu Kelapa, Papeda dan Kenari. Tegakan matoa di Jayapura tumbuh dan berasosiasi dengan pohon sagu (Metroxylon sago) pada ketinggian 10-50 mdpl, topografi datar, jenis tanah alluvial dan curah hujan rata-rata 2480 mm/tahun. Menurut Soetisna et al., (1994), di luar habitat aslinya, pertumbuhan pohon matoa yang terbaik pada ketinggian 0120 m dpl; di hutan lindung Cyclop mulai dari ketinggian 50-70 m dpl dan berasosiasi dengan Intsia sp. , Planconella sp. dan Palaqium sp. (jenis-jenis dari suku Meliaceae). P. pinnata Forst. (taun) merupakan jenis yang khas hutan hujan dataran rendah di bawah ketinggian 500 m dpl dan jarang yang mencapai 1000 m dpl, namun ditemukan di Aceh pada ketinggian 1700 m dpl. Tumbuh pada batu kapur, tanah liat, tanah berpasir atau tanah bersifat lempung. Taun tidak dominan di dalam hutan di kawasan Semenanjung Malaysia, tetapi ditemukan sepanjang sungai dan kadang-kadang di hutan berawa di Sumatera, walau umumnya tumbuh di tanah kering. Matoa dominan di dalam hutan di New Guinea, seperti pada areal yang sudah terjamah manusia, P. pinnata f. pinnata dan f. repanda tumbuh pada berbagai tipe tanah dan paling subur pada tanah berbatu kapur yang drainasenya baik, tetapi tidak toleran terhadap iklim musiman. Biji matoa segera berkecambah setelah matang. Periode pembungaan dan musim buah 2-5 bulan, tetapi tidak ada korelasi yang bisa dilihat dari musim dan iklim. Regenerasi biji secara alami melimpah di hutan bekas tebang, seperti di daerah Karavant (PNG), Jayapura dan Manokwari. Pertumbuhan tinggi pesat pada tahun pertama mencapai 3-5 m/tahun. Regenerasi dapat mencapai lebih dari 1000 pohon tiap hektar membentuk kombinasi tegakan murni di lapangan dan bibit yang muncul secara simultan 8 dengan jenis komersial lainnya, seperti Dracontomelum dao Merr. & Rolfe. Bibit yang rusak akibat kebakaran dapat beregenerasi dan di tempat tanpa bibit, tumbuh dari biji yang dibawa oleh burung (Westphal & Jansen 1989). Isozim Konsep isozim pertama kali diperkenalkan oleh Murkert dan Moller (1959) sebagai bentuk-bentuk molekul enzim ganda yang membagi sebuah substrat yang umum secara bersama-sama, tetapi berbeda dalam mobilitas elektroforsis. Isozim juga didefinisikan sebagai bentuk-bentuk molekul enzim berbeda yang mungkin hadir dengan spesifikasi enzimatik yang sama, berarti bahwa varian-varian berbeda pada enzim yang sama atau fungsi-fungsi yang sama muncul pada individu sama. Variasi yang disebabkan oleh mutasi dapat diwariskan dan digunakan sebagai pembeda antara satu varietas dan varietas lainnya karena menunjukkan polimorfisme. Setiap isozim terdiri atas urutan asam amino dan bermuatan listrik yang berbeda, maka bergerak dengan kecepatan yang berbeda pada saat elektroforesis (Buth 1984). Isozim merupakan produk dari suatu gen, dipakai sebagai penanda karena memiliki beberapa keunggulan antara lain: alel yang berbeda biasanya diwariskan secara kodominan dan bebas dari epistasis, sehingga indidvidu homozigot dapat dibedakan dari individu heterozigot; percobaan dapat dilakukan di laboratorium dengan peralatan dan bahan yang lebih murah; jumlah sampel yang banyak dapat dianalisis sekaligus dalam waktu yang singkat; dapat dilakukan pada fase bibit, sehingga bisa menghemat waktu, biaya dan tempat (Brown & Weir 1983). Elektroforesis Elektroforesis adalah suatu cara pemisahan molekul atas dasar proses perpindahan molekul bermuatan karena pengaruh medan listrik. Molekul-molekul biologis yang bermuatan listrik dalam larutan akan bergerak ke arah elektroda yang muatannya berlawanan dengan muatan molekul. Pemisahan molekulmolekul dengan muatan yang berbeda merupakan prinsip yang dipakai dalam elektroforesis (Nur & Juwana 1987). Metode elektroforesis dapat memisahkan ukuran molekul berbeda dari tiap protein (enzim) yang dianalisis ke dalam pola- 9 pola pita yang dapat dilihat setelah dilakukan pewarnaan. Pola pita itu merupakan hasil reaksi enzimatik dari substrat dengan enzim yang diamati. Struktur isozim tersusun atas asam-asam amino yang mengandung gugus karboksil dan gugus amino tertentu. Urutan asam amino yang berbeda pada suatu polipeptida ditentukan oleh susunan nukleotida yang berbeda, maka hasil elektroforesis isozim suatu tanaman dapat digunakan untuk menganalisis gen itu sendiri (Simpson & Withers 1986). Hanya sepertiga dari semua pertukaran asam amino yang dapat terdeteksi melalui teknik elektroforesis. Elektroforesis juga terbatas pada jumlah metode penandaan yang tersedia. Metode yang tersedia hanya untuk protein yang dapat larut dalam air (May 1994). Beberapa isozim dapat terurai lebih baik bila digunakan kombinasi bufer gel dan elektroda tertentu (Weeden 1983). pH bufer elektroforesis dapat dimanipulasi untuk mengoptimalkan resolusi lapisan-lapisan protein yang dielektroforesis. Kerja elektroforesis berdasarkan dua prinsip dasar listrik yang saling berhubungan, yaitu aliran listrik yang sebanding dengan tegangan dan arus. Panas yang dihasilkan selama proses elektroforesis harus dihilangkan karena panas yang berlebihan dapat menurunkan aktivitas enzim. Fakta tersebut di atas digabungkan dengan jangka waktu elektroforesis, konsentrasi protein contoh, kualitas contoh, ukuran contoh dan prinsip penandaan gel dan protokol sangat berpengaruh terhadap hasil (Vallejos 1983). Analisa yang baik dapat memberikan penafsiran pola gel yang diharapkan. Pola-pola pita yang dihasilkan adalah hasil fenotipe elektroforesis yang terdiri atas satu atau lebih pola pita terwarnai untuk setiap individu yang dianalisis (Wendel & Weeden 1989b). Dalam beberapa hal, mungkin saja sederhana dan terdiri atas sebuah pita tunggal tidak bervariasi di dalam seluruh contoh. Di lain pihak, beberapa enzim dapat menampilkan fenotipe kompleks dengan 15 atau lebih banyak pita setiap individunya (Weeden 1983). Esterase (EST) Enzim esterase adalah enzim hidrolase yang memisahkan gugus-gugus ester menjadi sebuah asam dan alkohol di dalam suatu reaksi kimia dengan air yang disebut hidrolisis. Banyak enzim esterase berbeda dalam spesifikasi substrat 10 struktur protein dan fungsi biologinya. Jumlah isozimnya berkisar dari 2-10, distribusinya di dalam sitosol sel. Struktur kwarternernya terdiri atas monomer dan dimer (Tanskley & Rick 1989; Weeden & Wendel 1989a). Malat Dehidrogenase (MDH) Malat dehidrogenase adalah enzim di dalam siklus asam sitrat yang mengkatalisis perombakan malat menjadi oksaloasetat (menggunakan NAD+) dan merupakan reaksi dapat balik. Malat dehidrogenase memiliki jumlah isozim 3, distribusi dalam sitosol sel, mitokondria, mikrobodi dengan stuktur kwarterner dimer. Peroksidase (PER) Enzim Peroksidase tergolong dalam kelompok oksidoreduktase. Distribusi di dalam sitosol dan dinding sel, struktur kwarterner monomer dan dimer, jumlah isozimnya berkisar 2-13 (Weeden & Wendel 1989a). Dalam reaksi pewarnaan enzim peroksidase mengkatalisis reduksi H2O2 menjadi H2O dan O2. Substrat senyawa fenilin diamin seperti 3-amino-9 etil karbazole akan dioksidasi oleh oksigen hasil reduksi peroksida membentuk endapan berwarna merah kecoklatan. Reaksi yang terjadi dalam pewarnaan enzim peroksidase sebagai berikut: 2 H2O2 2H2O + O2 (Vallenjos 1983). PER Enzim peroksidase sangat sensitif terhadap konsentrasi peroksida dan gagal mendeteksi peroksida, jika dilakukan dengan konsentrasi H2O2 yang terlalu tinggi. Beberapa peroksida tidak aktif dengan agen pereduksi yang berkonsentrasi tinggi dalam bufer pengekstrak. Sistem bufer isozim peroksidase telah ditetapkan untuk beragam bufer elektroforesis. Beberapa peroksida pada tanaman dapat bergerak ke arah katoda dengan menggunakan pH5 (Wendel & Weeden 1989b). BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Herbarium Manokwariense (MAN) dan Bogoriense (BO) pada bulan Juni sampai Agustus 2008; Hutan Papua pada bulan Agustus sampai September 2008 dan Januari 2010; Kebun Raya Bogor, Kebun Plasma Nutfah LIPI Cibinong dan Taman Buah Mekarsari Cileungsi, Arboretum IPB dan Balitbang. Kehutanan dan Konservasi Alam Bogor pada tanggal 1-15 Februari 2010. Analisis Isozim dilakukan di Laboratorium Tumbuhan PPSHB IPB pada tanggal 22 Februari sampai 30 Maret 2010. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang dipakai berupa sampel herbarium dan tegakan matoa, anakan dan bagian pucuknya. Total 19 aksesi matoa terdiri atas 4 aksesi asal Papua (P1, P2, P3, P4); 6 aksesi asal Taman Buah Mekarsari (PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6); 5 aksesi asal Kebun Plasma Nutfah LIPI Cibinong (CB1, CB2, CB3, CB4, CB5); 2 aksesi asal Kebun Raya Bogor (KBR1, KBR2) serta satu aksesi asal Arboretum Balitbang Kehutanan & Konservasi Alam Bogor (BLHKA) dan satu aksesi asal Arboretum IPB Dramaga (IPB). Sistem enzim yang diamati terdiri atas: esterase, malat dehidrogenase dan peroksidase; Bahan yang digunakan untuk bufer elektroda, bufer gel pewarnaan dan fiksasi antara lain: asam sitrat monohidrat, tris hidroksimetil aminometan; pati kentang (potato starch); LHistidin Monohidrat, L-asam askorbat, L-sistein, Triton-X-100, PVP-40, Na2HPO4.2H2O; Sodium fosfat, 1-Naftil asetat, 2-Naftil asetat, Fast Blue RR Salt, aseton; Tris-HCl, NAD, Malic acid, NBT, PMS; kristal Natrium asetat CH3COONa.3H2O2, CaCl2; 3-Amino-9-etilkarbasol dan H2O2. Bahan lain yang digunakan antara lain: kertas saring, kertas tissue, plastik penutup gel, selotip. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: altimeter, lupper, sasak, kamera foto, kantong plastik dan botol spesimen, gunting, label gantung, meteran, gunting kertas, penggaris, pisau pemotong; 1 unit elektroforesis tipe horizontal, refrigerator, power supply, pompa vakum, hotplate, pH meter, timbangan analitik, pengaduk magnet, cawan dan mortar, tabung erlenmeyer, 12 gelas ukur, pipet tetes, pipet penghisap, alat pemotong gel, nampan, kamera, meja pemotretan. Pendekatan Morfologi Langkah kerja dalam pendekatan morfologi terdiri atas: eksplorasi, koleksi spesimen, pembuatan spesimen herbarium, karakterisasi dan identifikasi. Eksplorasi, Koleksi dan Pembuatan Spesimen Herbarium Pengambilan sampel secara purposif, dimana terdapat individu matoa yang dapat mewakili perbedaan morfologi dari indikasi 3 jenis atau forma matoa. Selain itu dilakukan dokumentasi dan koleksi spesimen. Teknis pelaksanaan koleksi spesimen di lapang mengacu pada manual taksonomi herbarium, teori dan praktek menurut Vogel (1987). Koleksi di lapangan terdiri atas dua macam, yaitu: pertama, pengambilan sampel herbarium dari induk untuk dicirikan dan koleksi buah, biji serta anakan asal aksesi induk sampel. Kedua, sampel anakan ditanam di dalam polibag untuk keperluan analisis isozim. Selain itu dilakukan pencatatan terhadap karakter yang lainnya berdasarkan tabel lapang yang telah tersedia. Sampel herbarium dibuat dari spesimen kering, basah dan spesimen karpologi. Sampel untuk spesimen kering diambil dari bagian dahan yang lengkap, bunga dan buah. Dahan dipotong dan diberi label gantung lalu dimasukkan ke dalam kantong spesimen, diberi alkohol 70%, dan selanjutnya kantong diikat. Label gantung berisi informasi tentang nomor dan kolektor, waktu, tempat koleksi dan ketinggian tempat. Spesimen basah berupa bagian bunga, diberi label dan diawetkan di dalam botol 600 ml. Spesimen karpologi terdiri atas buah muda dan ranum, biji, yang dimasukkan dalam kantong plastik dan diberi alkohol 70% agar tidak berjamur. Setelah dari lapangan, spesimen untuk herbarium kering dikeluarkan dari kantong spesimen dan diselipkan pada kertas koran, dipres dengan sasak dan dikeringkan dengan oven pada suhu 60 0C selama dua hari. Selanjutnya ditata dan diberi label, diplak dan difumigasi lalu disimpan pada lemari penyimpanan sesuai famili dan daerah persebarannya. 13 Karakterisasi dan Identifikasi Karakterisasi dilakukan di lapang dan laboratorium. Pencirian atau pencocokan karakter mengacu panduan identifikasi struktur dan bunga menurut Bebingthon (1996); ilustrasi terminologi identifikasi tumbuhan menurut Harris & Harris (1994). Tiap sampel aksesi dalam bentuk spesimen kering dicocokkan dengan spesimen matoa di BO dan MAN serta kunci determinasi dan informasi dari pengenal tumbuhan di lapangan. Ciri yang dibandingkan antara lain: bentuk dan susunan anak daun, ada tidaknya rambut, bentuk anak daun basal, warna sumbu daun dan anak daun, warna pertulangan, perbungaan, buah muda dan buah ranum, bentuk buah dan biji (Lampiran 1). Aksesi yang memiliki ciri yang sama atau identik diberi nama yang sama atau sinonimnya. Analisis Isozim Karakter yang diamati meliputi: pola pita dan jarak migrasi pada zimogram hasil uji sistem enzim PER, MDH dan EST setelah dilakukan elektroforesis. Reaksi enzim ini dipengaruhi oleh kadar enzim dan substrat, pH, suhu, aktivator dan inhibitor. Setiap enzim memiliki pH optimum untuk bekerja. Reaksi akan berjalan lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi; jika suhu meningkat, kecepatan reaksi juga meningkat dan mudah terjadi denaturasi; suhu optimum tentatif bergantung pada waktu. Tahapan analisis isozim untuk mendapatkan pola-pola pita sebagai berikut: Pengambilan Contoh Daun Contoh tanaman matoa asal Papua diambil dari anakan yang telah tersedia dalam pot. Bahan tanaman asal Kebun Raya Bogor, Kebun Plasma Nutfa LIPI Cibinong, Arboretum IPB dan Balitbang dan Konservasi Alam Bogor serta Taman Buah Mekarsari Cileungsi, diambil bagian pucuk daun dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang dibasahi dengan air. Contoh pucuk diekstrak sehari setelah pengambilannya dari lapang. 14 Pembuatan Bufer Elektroda dan Bufer Gel Pengekstrak Bufer gel disiapkan terlebih dahulu. Sistem gel berguna untuk mengindikasi jenis enzim yang bergerak, zona pendugaan ataupun mencegah aktivitasnya. Satu macam bufer elektroda yang digunakan untuk ketiga sistem enzim yang dianalisis. Bufer elektroda dibuat dari 10.5507 g asam sitrat monohidrat ditambah 18.1650 g tris hidroksimetil aminometan dan dilarutkan dengan aquadestilata sampai volume 1 l (pH 6.0). Bufer pengekstrak (ekstraktan) membantu menghancurkan sel ekstrak bahan kasar dari daun dalam jumlah minimum tanpa menimbulkan panas terhadap ekstrak maupun perubahan warna daun yang diekstrak. Sistem bufer yang digunakan dimodifikasi berdasarkan Horry (1989). Bufer gel dibuat dari 1.048 g/l L-Histidin Monohidrat dan diatur pHnya dengan Tris-HCl sampai pH 6.0. Bufer pengekstrak dibuat untuk 40 ml terdiri atas: campuran antara 0.07045 g L-asam askorbat 10 mM; 0.1939 g L-sistein 40 mM; 0.12 ml Triton-X-100; 25% PVP-40; 0.54 g Na2HPO4.2H2O 0.1 M dan ditambahkan aquadestilata sampai menjadi 400 ml (pH 7.0). Pembuatan Gel Pati Gel untuk elektroforesis dibuat dari pati kentang 9.5% dari total larutan buffer yang telah ditambahkan aquadestilata. Setiap cetakan diperlukan 30 ml bufer gel dan ditambah aquadestilata sampai volume 300 ml dalam gelas ukur. Sebanyak 30 g (9.5%) pati kentang dimasukkan ke dalam gelas labu, ditambahkan 300 ml bufer gel lalu dimasak pada hotplate sambil diaduk dengan doble magnetic stirrer sampai mendidih. Selama proses pemasakan, tabung diangkat sewaktuwaktu dan digoyang agar bufernya tidak bergelembung sampai gel dipastikan berwarna bening. Setelah larutan dipastikan bening (homogen), selanjutnya divakum selama 2-5 menit untuk menghilangkan gelembung udara di dalam gel. Sebelumnya lubang pada kaki wadah ditutup dengan selotip; gel dituang pada bagian tengah wadah untuk dicetak dan didiamkan selama 10 menit, ditutup dengan plastik yang diolesi parafin dan disimpan di dalam refrigerator pada suhu 5-10 0C selama semalam untuk digunakan besoknya. 15 Ekstraksi Enzim dari Daun Bentuk-bentuk sitosolik aktif pada bagian pucuk. Ekstraksi enzim dibuat dari 0.1 g daun pucuk yang dihaluskan dalam mortar yang telah diberi pasir kuarsa dan bufer pengekstrak 0.5 ml. Kemudian supernatan dimasukkan ke dalam tabung ependorf yang sebelumnya diletakkan pada rak gabus. Sambil menyiapkan gel pati, sampel diawetkan di dalam refrigerator pada suhu 5 0C. Selanjutnya cairan supernatan diserap dengan kertas saring Whatman dengan ukuran (0.5 x 0.5) cm2 atau (1.0 x 1.0) cm2 dan disisipkan pada torehan gel. Selain itu, pada torehan terakhir disisipkan kertas saring yang telah diberi indikator mobilitas elektroforesis (bromphenol biru) untuk mengontrol jarak migrasi. Selanjutnya selotip pada kaki cetakan dilepas dan kaki cetakan dipastikan terendam dalam bufer elektroda. Kertas saring yang telah mengandung contoh daun pada cetakan dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi bufer elektroda dan diletakkan dalam lemari es pada suhu 5-10 0C dan selanjutnya dilakukan elektroforesis. Elektroforesis Cetakan yang sudah siap dimasukkan ke dalam wadah yang telah diisi 1 l bufer elektroda dan diletakkan di atas wadah berisi es. Elektroforesis dilakukan selama 4 jam dengan 4 tahap, yaitu 0.5 jam pertama digunakan tegangan 50 V; 1.0 jam dengan 150 V; 1.5 jam dengan 200 V; 1.0 jam terakhir tegangan dinaikkan sampai 250 V hingga indikator mobilitas melewati jarak 7 cm dari sudut wadah. Pewarnaan dan Fiksasi Pewarnaan dan fiksasi dimodifikasi menurut Wendel dan Weeden (1989b). Larutan pewarna dibuat setengah jam sebelum elektroforesis selesai. Setelah elektroforesis, cetakan dikeluarkan dan kertas saring pada torehan gel diangkat. Potongan gel diiris mendatar menjadi dua lembaran sesuai ketebalannya (± 2 mm). Pewarnaan untuk memperlihatkan pola-pola pita dari sistem enzim EST, MDH dan PER. Pewarna esterase dibuat dari 100 ml Sodium fosfat 100 mM (pH 7.0); 50 mg 1-Naftil asetat dan 50 mg 2-Naftil asetat, 100 mg Fast Blue RR Salt digabung menjadi satu lalu dilarutkan dengan 5 ml aseton dan ditambahkan aquadestilata 16 sampai 150 ml. Kemudian dituangkan di atas potongan gel, diinkubasi sampai terlihat pita-pita berwarna merah atau coklat. Pewarna malat dehidrogenase dibuat dari 100 ml Tris-HCl 50 mM (pH 8.5); ditambahkan 10 mg (1 ml) nicotinamide (NAD); 150 mg (1 ml) Malic acid; 10 mg (1 ml) nitro blue tetrazolium (NBT) dan 2 mg (0.4 ml) phenazine metosulphate (PMS); dijadikan 200 ml dengan aquadestilata, dituangkan diatas gel, diinkubasi sampai tampak pita-pita berwarna biru, dicuci dan disimpan dalam wadah berisi air. Pewarna peroksidase dibuat dari 100 ml Natrium asetat 50 mM (pH 5.0) dicampur dengan 50 mg CaCl2; kemudian dipipet 5 ml aseton dicampurkan dengan 50 mg 3-Amino-9-etilkarbasol yang berfungsi sebagai pelarut dan ditambahkan 0.5 ml 3% hidrogen peroksida (H2O2); dituangkan di atas gel dan diinkubasi dalam suhu ruang sampai tampak pita-pita merah. Setelah pewarnaan, gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih dan difiksasi; selanjutnya dilakukan dokumentasi. Pengambilan Foto dan Pembuatan Zimogram Daya tahan gel singkat maka setelah elektroforesis segera dilakukan pemotretan dan fiksasi. Pola-pola pita di atas lembaran gel dari setiap sistem enzim tersebut dipotret di atas meja yang disinari lampu; pola-pola pita dan jarak migrasinya (Rf) digambar pada kertas transparan yang ditandai nomor urut contoh dan arah anoda dan selanjutnya dipindahkan pada kertas grafik. Pola-pola pita yang dihasilkan merupakan fenotipe elektroforesis. Pola-pola pita hasil dari tiap sistem enzim dibuat grafik zimogramnya dengan cara memvisualisasikan pola-pola pita yang tampak sepanjang lokus dalam bentuk garis-garis pita alel dan menetapkan jarak migrasi (Rf ). Jarak migrasi sampel pada gel Rf = Jarak migrasi bromphenol pada gel 17 Analisis Data Karakteristik morfologi tiap aksesi ditransformasi dalam data biner atau multi state characters. Untuk data biner diberi skor 0 dan 1 (Lampiran 2). Untuk data multistate diberi skor 1, 2, 3, atau 4, bergantung pada jumlah ciri. Data hasil skoring dianalisis dengan menggunakan Program NTSYs pc. 2.2i untuk mendapatkan fenogram UPGMA (Unweighted Pair-Group Method Using Arithmatic Average) Rolf (1998) dengan koefisien disimilaritas menurut Nei (1978). HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Morfologi Sembilanbelas aksesi matoa yang dikaji memiliki variasi morfologi yang beragam sebagaimana disusun di bawah ini: Pola Akar Pola akar matoa bervariasi dalam kepemilikan akar banir, yaitu berbanir papan (P1, CB2, KRB1); berbanir sedang (P2, P3, PM2, PM3, CB1, CB5, KRB2, P4); tanpa banir (PM1, PM4, PM5, CB3, CB4, BLHKA, PM6, IPB), terutama pada varian budidaya (Gambar 1). A C B >1 m A’ B’ C’ Gambar 1. Pola akar dan skematisnya: A. berbanir papan, B. berbanir sedang, C. tanpa banir; Skematis: A’. berbanir papan, B’. berbanir sedang, C’. tanpa banir. Tekstur Kulit Kulit batang bervariasi dalam teksturnya. Empat aksesi memiliki tekstur halus-tidak mengelupas (CB2, CB4, CB5, IPB); duabelas aksesi memiliki tekstur kulit kasar-mengelupas (P2, P3, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6, CB1, BLHKA, KRB2, KRB1); tiga aksesi memiliki tekstur kulit yang mengelupas dan menyerpih-berlekah (P1, P4, CB3). 19 Warna Kulit pada Batang Kulit batang matoa juga bervariasi dalam warna (Gambar 2). Lima aksesi memiliki warna coklat karatan dan ungu-dadu dengan bercak putih (P1, P3, KRB2, KRB1, IPB); satu aksesi hijau kecoklatan dan krem (P4); delapan aksesi kehijauan dan ungu-dadu dengan bercak putih (P2, PM1, PM2, PM3, PM5, PM6, CB1, CB2); empat aksesi ungu dadu dengan bercak putih (PM4, CB4, CB5, BLHKA); satu aksesi kehijauan dan ungu kekuningan jingga (CB3). Adanya bercak-bercak putih, kehijauan-kebiruan hingga kombinasi keunguan, sering disebut belang ’bopeng’ dan umumnya berupa lichen yang berasosiasi dengan permukaan kulit luar batang matoa. Kehadiran lichen dapat berguna sebagai indikator kelembaban udara setempat. A B C D Gambar 2. Warna tekstur kulit batang: A. warna coklat karatan dan ungu-dadu dengan bercak putih, B. warna hijau kecoklatan dan krem C. warna kehijauan dan ungu-dadu dengan bercak putih. D. tekstur kehijauan dan kekuningan jingga. Warna Sumbu Daun Sumbu daun (rachis) matoa terdiri atas tiga macam (Gambar 3). Dua aksesi berwarna ungu-kehitaman (KRB1, PM6); enam aksesi hijau kekuningan (P3, PM3, PM5, CB2, CB3, CB4); sebelas aksesi hijau kecoklatan (P1, P2, P4, PM1, PM2, PM4, CB1, CB5, BLHKA, KRB2, IPB). A B C Gambar 3. Warna sumbu daun: A. sumbu ungu-kehitaman, B. sumbu hijau kekuningan, C. sumbu hijau kecoklatan. 20 Rambut pada Sumbu daun dan Adaksial Tulang Tengah Anak Daun Matoa bervariasi juga dalam kepemilikan rambut pada adaksial tulang tengah anak daun (Gambar 4). Empatbelas aksesi tidak berambut (P3, P4, PM1, PM3, PM4, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, CB5, BLHKA, KRB1, IPB); tetapi ada juga yang memiliki rambut pada bagian adaksial tulang tengah anak daunnya, yaitu berambut putih (canescent) (PM2); empat aksesi berambut coklat keemasan (P1, P2, PM5, KRB2). A B Gambar 4. Rambut: A. rambut putih, B. rambut coklat keemasan. Panjang Sumbu Daun Matoa bervariasi dalam ukuran panjang sumbu daun. Enam aksesi memiliki panjang sumbu daun berkisar 15-35 cm pendek (P3, PM3, CB1, CB3, CB4, BLHKA); satu aksesi berkisar 36-56 cm sedang (P1); duabelas aksesi berkisar 57-100 cm panjang (P2, P4, PM1, PM2, PM4, PM5, PM6, CB2, CB5, KRB1, KRB2, IPB). Jumlah Pasangan Anak Daun Jumlah pasang tiap daun matoa terdiri atas tiga kelompok, yaitu 5-7 pasang (P1, P2, PM3, KRB2); 8-10 pasang (P3, P4, PM1, PM2, PM4, PM5, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, CB5, KRB1, IPB); > 10 pasang (BLHKA). Kedudukan Anak Daun Matoa terdiri atas dua macam kedudukan anak daun pada sumbu daun mulai dari pasangan basal hingga atas (Gambar 5). Empat aksesi memiliki anak daun yang berhadapan (P1, P2, CB3, KRB2); limabelas aksesi dengan susunan yang berhadapan sampai berseling sejajar (P3, P4, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, 21 PM6, CB1, CB2, CB4, CB5, BLHKA, KRB1, IPB). Namun, jumlah anak daun selalu dua pasang genap di ujung daun (paripinate). 2 3 4 1 A B Gambar 5. Kedudukan anak daun: A. anak daun berhadapan (1 = pasangan basal, 2 = pasangan tengah, 3 = pasangan atas, 4 = sumbu daun, B. anak daun berhadapan-berseling sejajar. Bentuk Aurikel pada Anak Daun Basal Matoa bervariasi pada kehadiran dan bentuk aurikel pada anak daun basal (fase seedlings; sapling) (Gambar 6). Satu aksesi tidak memiliki aurikel (CB3); duabelas aksesi beraurikel menyerupai bentuk arit (P3, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6, CB1, CB4, BLHKA, KRB1, IPB); lima aksesi semi arit (P1, P2, CB2, CB5, P4), satu aksesi beraurikel menyerupai dua tanduk seolah memeluk batang (KRB2). A A’ B B’ C Gambar 6. Bentuk aurikel pada pasangan basal dan skematisnya: A. menyerupai bentuk arit (falcate), B. menyerupai bentuk semi arit (subfalcate), C. menyerupai bentuk dua tanduk; Skematis: A’. skematis menyerupai bentuk arit, B’. skematis menyerupai bentuk semi arit. 22 Bentuk dan Panjang Anak Daun Anak daun mulai dari pasangan bawah-tengah dan atas bervariasi dalam bentuk (Gambar 7). Empat aksesi membundar telur-melonjong (PM4, PM6, BLHKA, KRB2); sebelas aksesi membundar telur-lonjong atau melonjong (P1, P2, P3, PM1, PM5, CB1, CB2, CB4, CB5, KRB1, IPB); satu aksesi membundar telur, melonjong-membundar telur terbalik (P4); dua aksesi membundar telurmelonjong (PM2, PM3); satu lagi lonjong (CB3). Panjang rata-rata pasangan tengah dan atas, yaitu < 10 cm pendek (PM3); 10-20 cm sedang (P1, P3, PM2, PM4, PM5, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, KRB2); > 20 cm panjang (P2, P4, PM1, CB5, BLHKA, KRB1, IPB). A B C D E Gambar 7. Bentuk anak daun mulai dari pasangan basal-tengah dan atas: A. membundar telur-melonjong, B. membundar telur-lonjong atau melonjong, C. membundar telur, melonjong-membundar telur terbalik, D. membundar telur-melonjong & memanjang, E. lonjong. Bentuk Pangkal, Tepi dan Ujung Anak Daun Dewasa Anak daun dewasa bervariasi dalam bentuk, pangkal, tepi dan ujung (Gambar 8). Bagian pangkal anak daunnya terdiri atas 3 bentuk (Gambar 8A, B, C). Empatbelas aksesi memiliki pangkal bundar (P2, P3, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6, CB1, CB4, CB5, KRB2, KRB1, IPB); empat aksesi membundarruncing (P1, CB2, CB3, P4); satu aksesi membundar-meruncing (BLHKA). Tepi anak daun matoa terdiri atas 3 bentuk (Gambar 8D, E, F). Tujuh aksesi bergigi halus-dangkal (P2, P3, P4, PM1, CB2, CB4, CB5); Enam aksesi bergigi mencolok (P1, PM2, PM3, PM4, CB3, KRB2); enam aksesi lagi bergigi kasar menumpul-dangkal (PM5, PM6, CB1, BLHKA, KRB1, IPB). Bagian ujung anak daun dibedakan menjadi lima kelompok (Gambar 8G, H, I, J, K). Satu aksesi memiliki ujung anak daun yang runcing (P4); sembilan aksesi meruncing 2-4 cm (P1, P2, PM2, PM3, PM6, CB1, KRB2, KRB1, IPB); 23 satu lagi aksesi meruncing 5 cm (CB3); enam aksesi runcing-meruncing 2-4 cm (PM1, PM4, PM5, CB2, CB4, CB5, BLHKA), satu aksesi membundar-runcing (P3). A B C 2-4 cm D E F G H 5 cm I 2-4 cm J K Gambar 8. Bentuk pangkal, tepi dan ujung anak daun: A. bundar, B. membundar sampai runcing, C. membundar sampai meruncing; D. bergigi halusdangkal, E. bergigi mencolok, F. bergigi kasar menumpul-dangkal; G. runcing, H. meruncing 2-4 cm, I. meruncing 5 cm J. runcingmeruncing 2-4 cm, K. tumpul-runcing. Warna pada Bagian Adaksial Anak Daun Dewasa dan Pucuk Bagian adaksial anak daun dewasa dan pucuk bervariasi dalam warna (Gambar 9). Dua macam warna dasar pada bagian adaksial anak daun dewasa. Duabelas aksesi berwarna hijau (P1, P2, P4, PM1, PM3, PM4, PM6, CB1, BLHKA, KRB2, KRB1, IPB); tujuh aksesi hijau tua mengkilap (P3, PM2, PM5, CB2, CB3, CB4, CB5). Warna pucuk matoa terdiri atas tiga macam. Tujuh aksesi memiliki pucuk berwarna merah-ungu (PM4, PM6, CB3, CB4, CB5, BLHKA, IPB); enam aksesi ungu dadu (P1, P4, CB1, CB2, KRB2, KRB1); enam aksesi lagi berwarna ungu dadu-hijau kekuningan (P2, P3, PM1, PM2, PM3, PM5). 24 A B C Gambar 9. Warna pucuk matoa: A. merah-ungu, B. ungu dadu, C. ungu daduhijau kekuningan. Perbungaan Matoa berbunga pada bulan Juli-Oktober dan buahnya sudah dapat dipanen pada Februari-Maret. Bunga jantan dan betina terdapat pada satu rangkaian perbungaan dalam satu individu. Bunga betina yang fertil (Gambar 10E) walau benang sari dan kepala sarinya semu dan tidak segera membuka hingga akhirnya gugur setelah diserbuki oleh bunga jantan melalui penyerbukan sendiri atau bantuan polinator. Hasil pengamatan ini mendukung pendapat Jacobs (1962) bahwa bunga betina yang fertil dan menjadi buah dalam pola posisi ovary perigynous, ovary terdiri atas dua ruang biji yang berlekatan, pangkal perlekatannya lebih sempit, bagian atas tumpul setelah kepala sari terbelah. Benang sari semu pada bunga betina 1 mm lebih pendek, jika dibandingkan dengan benang sari pada bunga jantannya. Setelah pembuahan, sekat antar ruang biji terbelah 2-5 mm berpilin searah jarum jam, sehingga akhirnya tampak 2 buah dalam satu tangkai yang berlekatan sebelum salah satunya terdegradasi (steril) ataupun keduanya berkembang menjadi buah normal yang berlekatan pada satu tangkai pendek (sessile). Warna bunga dan buah matoa merupakan ekspresi dari kandungan senyawa flavonoid. Daun kelopak berwarna hijau-kekuningan, daun mahkota putih-krem. Pigmen ungu dadu ataupun kekuningan pada kepala sari merupakan antosianin. Karakter warna adaptif terhadap lingkungan tempat tumbuh, sehingga tidak digunakan sebagai penentu jenis taksonomi. 25 โ 6 mm โ 50 cm 7 cm 1mm A 15 cm B 1 1 โ 4 2 3 5 x y 2 โ z D C 3 2 E 6 F Gambar 10. Bunga matoa dan skematisnya: A. kuncup bunga, B. sumbu daun dan bunga, C. bunga jantan dan betina; D. 1 = sumbu lobus, 2 = locul 2 (sebelum & setelah anthesis), x-lebar cuping, y- panjang cuping, ztinggi stipe, E. diagram bunga betina (1 = sepal, 2 = petal, 3 = stamen 4 = anther, 5 = ovarium, 6 = stigma, F. diagram skematis bunga matoa. Buah Matoa Matoa memiliki buah normal dan kadang-kadang dijumpai buah abnormal kecil yang melekat di bawahnya, ± โ kali ukuran buah normal (Gambar 11). Buah normal terbentuk dari bakal biji yang tumbuh baik, membesar didahului maupun tidak oleh proses perkawinan kembar bakal biji (amphi-mixis) akhirnya menjadi biji buah; buah steril relatif lebih kecil dan menempel bersama buah normal dewasa pada satu funiculus semu. Buah abnormal kecil (steril) terbentuk dari kejadian tumbuh dan membesarnya bakal biji yang didahului ataupun tidak didahului oleh sebagian saja proses perkawinan kembar bakal biji, sehingga embrio untuk pertumbuhan lembaga tidak terbentuk. Buah matoa normal 26 panjangnya 2-4 cm, diameter 1.5-4 cm; biji tidak memiliki tangkai biji (funiculus) yang jelas, tetapi integumen luar yang berlekatan pada biji tumbuh membesar dan melebar hingga menyalut permukaan biji menjadi daging (arillode), tebal 0.01-4 mm, tipis, tidak mudah lepas dari biji 2 2 4 cm วพ = 1.5 cm 1 A E C B A B D E C 1 3 cm 1 2 2.5 cm 3 cm D E E’ Gambar 11. Buah matoa: A. rangkaian buah pada sumbu perbungaan, B. buah muda normal, C. buah steril (1) dan buah normal setelah anthesis (2), D. buah ranum ungu kehitaman, E. buah matang hijau kekuningan-kecoklatan, E’. daging (1) dan biji (2). 27 Keanekaragaman Isozim Pola pita yang terbentuk dari sistem enzim EST, MDH dan PER tidak sama. Aksesi matoa yang memiliki jarak migrasi berbeda karena komposisi protein dan muatan listriknya berbeda. Perbedaan mobilitas relatif atau jarak migrasi dalam bentuk pola pita merupakan gambaran dari molekul-molekul protein enzim berbeda yang dianalisis, sehingga muatannya juga berbeda saat dielektroforesis. Pendapat ini mendukung simpulan Buth (1984) bahwa isozim bermuatan listrik yang berbeda karena perubahan urutan asam amino penyusunnya, maka bergerak dengan kecepatan yang berbeda saat elektroforesis. Daerah aktif uji sistem enzim EST, MDH dan PER dapat diinterpretasikan sebagai kumpulan gen (gene pool), yaitu kumpulan total gen pada periode waktu dan jarak migrasi tertentu dari seluruh aksesi matoa yang di-running. Kumpulan gen itu terdiri atas semua alel pada semua lokus gen yang menyusun variabilitas matoa dapat terwakilkan pada setiap aksesi atau individu matoa tersebut. Matoa sebagai spesies diploid, setiap lokusnya diwakili dua kali dalam genom aksesi (individu) yang bersifat homozigot atau heterozigot pada lokus atau pola pita tiap aksesi yang homolog. Sistem Enzim EST Analisis sistem enzim EST, dihasilkan dua pola pita dengan jarak migrasi berbeda yaitu Rfa 0.1 meliputi aksesi PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, CB2, CB5, KRB1 dan Rfb 0.2 meliputi aksesi P1, P2, P3 asal hutan alam Papua (Gambar 12). Kedua pola pita ini merupakan molekul-molekul berbeda dan ditunjukkan pada jarak migrasi yang berbeda pada gel. Pola pita elektroforesis dari aksesi P1, P2 dan P3 berada pada satu daerah aktif. Pola pita dari ketiga aksesi tersebut ditunjukkan oleh bromofenol yang bermigrasi secara lambat ke arah anoda, sedangkan yang berpola tipis atau semir bermigrasi sangat cepat. Pola pita pada aksesi lainnya tidak tampak jelas (semir) dan seolah-olah memiliki daerah aktif pada torehan penyisipan diduga terjadi sebagai akibat dari pemisahan larutan penyangga yang kurang sempurna, kualitas pati, pH dan enzim esterase yang digunakan sudah rusak. 28 + b 0.2 a 0.1 (A) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Rf (+) (B) b 0.2 a 0.1 0 1 2 3 4 5 6 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Gambar 12. Sistem enzim EST pada aksesi matoa. A. Pola pita enzim EST. B. Zimogram enzim EST. 1 = P1, 2 = P2, 3 = P3, 4 = PM1, 5 = PM2, 6 = PM3, 7 = PM4, 8 = PM5, 10 = CB2, 13 = CB5, 16 = KRB1. Sistem Enzim MDH Analisis sistem enzim MDH dihasilkan tiga pola pita kualitatif dengan jarak migrasi Rfa 0.26 meliputi aksesi CB1, CB5, BLHKA, P4; Rfb 0.27 meliputi PM4, CB2, CB3, CB4, KRB1, PM6, IPB dan Rfc 0.29 meliputi aksesi P1, P2, P3, KRB2 (Gambar 13). Perbedaan jarak migrasi ditentukan juga oleh berat molekulnya. Aksesi PM2, PM3, PM5 tidak memiliki pola pita atau jarak migrasi yang tampak jelas. Aksesi P1, P2, P3 dan KRB2 memiliki jarak migrasi terjauh (Rfc 0.29); aksesi CB3 memiliki jarak migrasi yang sama dengan aksesi PM4, CB2, CB4, KRB1, PM6, IPB, yaitu Rfb 0.27 dan aksesi PM1, CB1, CB5, BLHKA, P4 memiliki jarak migrasi lebih kecil, Rfa 0.26. 29 0.29 0.27 0.26 IPB (A) PM6 P4 A KRB2 0 KRB1 CB5 CB2 CB4 BLHKA PM4 CB1 PM5 CB3 PM2 P3 PM1 PM3 0 P2 P1 Rf (+) c 0.29 (B) IPB 19 PM6 KRB2 P4 17 16 15 18 KRB1 CB4 14 13 12 BLHKA CB5 11 CB3 CB2 10 PM5 9 CB1 8 PM4 7 PM3 6 5 PM2 PM1 4 P3 3 P2 2 1 b 0.27 a 0.26 P1 Gambar 13. Sistem enzim MDH pada aksesi matoa. A. Pola pita. B. Zimogram. Sistem Enzim PER Analisis sistem enzim PER, dihasilkan dua pola pita dengan jarak migrasi yang berbeda, yaitu Rfa 0.29 meliputi aksesi PM1, PM3, PM4, CB1, BLHKA, PM6 dan Rfb 0.34 meliputi aksesi P1, P2, P3, PM2, PM4, PM5, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, CB5, BLHKA, KRB2, KRB1, P4, IPB. Analisis sistem enzim PER menghasilkan pola-pola pita isozim yang lebih jelas, jika dibandingkan dengan sistem enzim EST dan MDH. Hampir semua aksesi uji mencapai jarak migrasi 0.34. Penyisipan kertas yang mengandung supernatan ke dalam torehan gel tidak 30 semuanya sejajar, sehingga diduga turut mempengaruhi jarak migrasi pada gel. Gel berwarna merah kecoklatan merupakan endapan senyawa fenil diamin (3amino-9 etil karbazole yang dioksidasi oleh oksigen hasil reduksi peroksida) (Gambar 14). 4 3 b 0.34 a 0.29 2 1 PM2 P3 P1 P2 0 (A) PM1 PM5 PM3 PM4 CB4 CB5 CB2 CB1 CB3 KRB2 BLHKA IPB PM6 KRB1 P4 Rf (+) b a 0.34 0.29 CB5 P1 (B) P2 P3 PM2 PM1 PM4 PM3 CB1 PM5 KRB2 PM6 P4 IPB CB3 CB2 CB4 BLHKA KRB1 Gambar 14. Sistem enzim PER pada aksesi matoa. A. Pola pita enzim PER. B. Zimogram enzim PER. Aksesi PM4, PM6, BLHKA, KRB1 dan KRB2 memiliki pola pita ganda sebagai gambaran aksesi-aksesi ini bersifat lebih kompleks. Aksesi matoa asal hutan alam maupun yang dibudidaya memiliki jarak migrasi yang relatif sama, tetapi dibedakan oleh pola pita ganda. Aksesi KRB2 dan aksesi KRB1 ternyata 31 memiliki jarak migrasi yang sama. Aksesi CB3 memiliki jarak migrasi yang sama dengan matoa lainnya, walaupun secara morfologi aksesi CB3 memiliki ciri yang unik, yaitu bentuk anak daun lonjong tanpa kelenjar minyak dan pasangan aurikel atau daun penumpu semu serta pangkal anak daun non-auriculate. Hal ini menjadi bukti bahwa variasi pada bagian daun aksesi matoa tidak berbeda dalam isozimnya, sehingga variasi seperti itu tidak cukup memadai dipakai sebagai penunjuk untuk memisahkannya sebagai jenis berbeda. Aksesi P1, P2, P3 asal hutan alam memiliki pola pita yang lebih pekat pada daerah aktif dengan jarak migrasi 0.34. Jarak migrasi dan kepekatan menggambarkan sifat yang lebih kompleks dari variabilitas matoa. Aksesi P2 memiliki pola pita Rfa pada satu daerah aktif membedakannya dari aksesi P1 dan P3. Jika ditinjau dari kepekatan pita pada daerah aktif, maka aksesi CB5, P4 dan IPB yang dikultivasi sama dengan aksesi P1, P2, P3 tipe liar asal hutan alam, namun berada pada satu daerah aktif dengan aksesi BLHKA, KBR1; CB1, CB2; PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6 dan aksesi P4. Total 19 aksesi matoa yang dianalisis memiliki keanekaragaman genetik (polimorfisme) yang tergambar melalui pola pitanya. Walaupun aksesi P1, P2, P3, berasal dari lokasi yang sama, tetapi P2 dan CB2 memiliki pola pita tipis rangkap (kuantitatif) sebagai fakta perbedaan genetik yang sangat sedikit di antara variabilitas matoa tipe liar maupun yang dibudidaya di Taman Buah Mekarsari, Arboretum BLHKA dan IPB. Pola pita dan jarak migrasi yang sama maupun berbeda merupakan sifat diversitas genetik dari tiap aksesi tersebut. Aksesi PM3 dan PM5 berbeda pada perawakan, bentuk dan ukuran daun, warna pucuk serta tekstur kulit batang. Aksesi PM3 memiliki daun yang umumnya berukuran kecil dan pendek, sumbu daun berwarna hijau kekuningan. Aksesi PM5 dan PM3 dicirikan memiliki pucuk yang berwarna kuning kehijauanungu dadu, perawakan dan ukuran daun yang lebih pendek, buah bulat dan hijau kekuningan saat ranum. Aksesi PM5 diduga merupakan tanaman induk dari aksesi PM3. Aksesi CB2 memiliki perawakan yang lebih tinggi mencapai 10 m, sumbu daun lebih panjangnya 1 m lebih. Aksesi PM1, PM5, PM6, CB2 memiliki satu daerah aktif dan jarak migrasi yang sama, membuktikan sifat genetiknya lebih dekat. 32 Aksesi KRB2 asal Sri Lanka memiliki pola pita tebal atau rangkap sejajar dengan sebagian besar aksesi uji pada satu daerah aktif. Kemiripan aksesi P4, BLHKA dan PM4 didukung oleh kesamaan atau kemiripan karakteristik fenotipe warna kulit batang keputihan (lichen) dan ungu dadu dan pucuk merah-ungu. Faktor tinggi tanaman, umur, warna pucuk dan sumbu daun tampaknya tidak membedakan masing-masing aksesi ini. Variabilitas matoa sangat adaptif membentuk variasi karakter morfologi tertentu (mudah berdiferensiasi), namun secara substansial isozimnya relatif sama. Fenomena ada atau tidak tampaknya pola pita ditentukan oleh substansi protein makro yang terkandung dalam supernatan pada kertas saring yang disisipkan ke dalam torehan gel, kondisi pati dan sistem enzim yang digunakan. Aksesi P2, P4, BLHKA dan KRB2 memiliki penampakan pola pita yang berbeda pada sistem enzim peroksidase diduga disebabkan oleh perbedaan alel pada kromosom dan adaptasinya terhadap lingkungan. Analisis Kelompok Matoa Berdasarkan Morfologi Hasil analisis fenetik (Gambar 15) berdasarkan karakter morfologi menunjukkan pada pemotongan fenogram dengan koefisien kemiripan 40% mengelompokkan 19 aksesi matoa menjadi tiga kelompok utama. Kelompok I terdiri atas aksesi CB3 dengan koefisien kemiripan 28% dibedakan oleh kepemilikan tekstur batang kehijauan-ungu kekuningan jingga; anak daun lonjong, ujung meruncing 5 cm, tidak memiliki aurikel dan daun penumpu semu serta kelenjar minyak. Aksesi CB3 memiliki tekstur kulit batang yang mengelupas sampai menyerpih-berlekah (± 3 m di atas pangkal batang); sumbu daun pendek (15-35 cm); pangkal tangkai daun membesar (pulvinate), berwarna ungu-merah dan relatif lebih kecil (jika dibandingkan dengan pangkal tangkai daun l8 aksesi lainnya); daun maupun anak daun relatif lebih kecil dan kaku, panjang kurang dari 20 cm. Aksesi CB3 memiliki beberapa perbedaan morfologi yang mencolok dari aksesi lainnya dan diidentifikasi sebagai P. pinnata f. acuminata (f. repanda). 33 P1 KRB2 P2 P3 CB4 CB2 CB5 P4 PM1 PM5 PM2 PM4 PM6 CB1 KRB1 IPB PM3 BLHKA CB3 II A III B I 0.28 0.40 0.51 0.63 Coefficient Gambar 15. Fenogram matoa berdasarkan sifat morfologi. Kelompok II terdiri atas tiga aksesi, yaitu P1, P2 dan KRB2. Ketiga aksesi ini memiliki ciri-ciri yang sebagian besar sama (55%) menjadi indikasi kelompok matoa yang sama. Aksesi P1 dan KRB2 memiliki ciri yang lebih mirip (62%), jika dibandingkan dengan aksesi P2. Kelompok ini memiliki 6 ciri yang sama, yaitu tekstur kulit batang mengelupas, sumbu daun hijau kecoklatan, sumbu daun dan adaksial tulang tengah anak daun berambut coklat-keemasan; anak daun 5-7 pasang, berhadapan, adaksial hijau. Aksesi P1 dikenal sebagai P. acuminata Radlk. 1933. Aksesi ini memiliki kekhasan pada ujung anak daunnya meruncing 5 cm. Sedangkan ciri lainnya relatif sama dengan forma lainnya antara lain: pola akar berbanir papan; bagian banir dan pangkal batang mengelupas-menyerpih sampai berlekah (pada ± 7 cm di atas pangkal batang, kulit luar batang kasar, coklat karatan dan ungu dadu disertai bercak putih; bagian permukaan sumbu daun dan adaksial tulang tengah anak daun berambut coklat keemasan; salah satu sisi pangkal anak daun menguping; aurikel menyerupai bentuk semi arit. Aksesi ini diidentifikasi sebagai P. pinnata f. repanda Jacobs. Seperti halnya pada variabilitas matoa di hutan, aksesi P1 mengalami malformasi daun, yaitu penyimpangan yang terjadi pada daun normal dan kadang-kadang pada perbungaan berupa kumpulan belahan daun tidak teratur 0.75 34 (irregularly dissected leaflets) tersusun rapat, sehingga tampak seperti untaian perbungaan atau menyerupai bentuk sapu ijuk pada dahan tegakan matoa, sehingga disebut witches brooms. Malformasi daun merupakan karakter abnormal (monstrositas), umumnya terjadi pada f. pinnata. Fenomena ini dapat dilihat pada aksesi KRB1 di Kebun Raya Bogor (III.K24). Kelainan ini masih diduga sebagai akibat dari hubungan simbiosis jamur atau virus tertentu yang mengganggu keseimbangan antara fase perkembangan dan reproduksi pada inang matoa. Aksesi P2 dan KRB2 memiliki pola akar berbanir sedang (less buttresed); tekstur kulit batang kasar-mengelupas, warna kehijauan dan ungu dadu sampai coklat karatan disertai bercak putih; sumbu daun hijau kecoklatan, panjang ± 60100 cm (panjang), berambut coklat keemasan; anak daun 5-7 pasang, berhadapan, membundar telur sampai lonjong, panjang 10 sampai lebih dari 20 cm, pangkal membundar-runcing, tepi bergigi mencolok, ujung runcing; bagian adaksial berwarna hijau, pucuk ungu dadu-hijau kekuningan; aurikel menyerupai bentuk arit maupun dua tanduk yang seolah-olah memeluk batang. Kajian spesimen di BO menunjukkan bahwa aksesi P2 asal Papua mirip dengan P. tomentosa asal PNG dan spesimen asal pulau Jawa. Aksesi KRB2 memiliki ciri khas rambut jingga atau coklat keemasan padat pada permukaan sumbu daun; tepi anak daun bergigi besar-rapat (dentate-serrulate), pertulangan hijau kekuningan sampai kemerahan. Aksesi KRB2 dan P. pinnata asal Papua dan Kepulauan Pasifik memiliki penampakan karakteristik yang mirip, namun agak berbeda jika dibandingkan dengan aksesi KRB1 (P. pinnata Forst. asal Sri Lanka). Uraian ciriciri di atas dapat menjadi landasan bagi aksesi P2 dan KRB2 diidentifikasi sebagai P. pinnata var. pinnata f. tomentosa. Rambut putih pada variabilitas matoa lebih bersifat adaptif, jika dibandingkan dengan rambut coklat-keemasan pada jenis P. tomentosa Radlk. Spesimen yang dipakai oleh Radlkofer berupa tipe liar asal hutan alam. Rambut digunakannya sebagai penunjuk jenis. Rambut coklat-keemasan bersifat khas pada forma tomentosa. Menurut Harris dan Harris (1994), batasan terminologi botani tentang istilah tomentosa berarti berambut keriting atau berombak dan selalu berjalin atau kusut, pendek dan kaku. Jadi tidak menyatakan warna tertentu. Jacobs (1962) menempatkan matoa dengan ciri tersebut sebagai P. pinnata f. 35 tomentosa, karena karakter lainnya dianggap sudah stabil dengan tipe yang dipakai untuk melalukan revisi terhadap marga Pometia. Kelompok III terdiri atas dua sub kelompok, A & B dan 4 aksesi di antaranya identik. Sub kelompok A tersusun atas 5 aksesi (P3, P4, CB2, CB4 & CB5). Lima aksesi diidentifikasi sebagai var. pinnata f. pinnata. Aksesi P3, CB4 dan CB2 memiliki 5 ciri sama dengan koefisien kemiripan 55%. Ketiga aksesi ini tidak memiliki rambut; anak daun 8-10 pasang, berhadapan-berseling, membundar telur-lonjong, panjang 10-20 cm. Aksesi P3 dan CB4 memiliki 7 ciri sama (68%). Aksesi P3 dan CB4 memiliki sumbu daun yang panjangnya berkisar 15-35 cm; anak daun 8-10 pasang, berhadapan-berseling, membundar telur-lonjong, panjang 10-20 cm, pangkal anak daun bundar; aurikel semi arit. Aksesi CB5 dan P4 memiliki 9 ciri sama (55%). Kedua aksesi ini memiliki pola akar berbanir; sumbu daun hijau kecoklatan, panjang 57-100 cm, gundul; anak daun 8-10 pasang, berhadapan-berseling, tepi bergigi halus dangkal; aurikel menyerupai bentuk arit. Sub kelompok IIIB tersusun atas 10 aksesi (PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6, CB1, BLHKA, KRB1 & IPB). Identifikasi morfologi ke dalam var. pinnata f. pinnata meliputi 6 aksesi (PM1, PM2, PM3, PM4, BLHKA dan IPB) ternyata tergabung dalam sub kelompok IIIB. Sub kelompok IIIB memiliki lebih banyak anggota dengan koefisien kemiripan 52%. Aksesi PM1, PM2 dan PM5 memiliki beberapa ciri sama (58%). Aksesi PM1 dan PM5 memiliki 10 ciri sama (68%). Kedua aksesi ini memiliki pola akar tanpa banir; tekstur batang kehijauan dan ungu dadu disertai bercak putih; anak daun 8-10 pasang, berhadapan-berseling, membundar-lonjong, panjang 10-20 cm, pangkal bundar, ujung meruncing 2-4 cm; pucuk ungu dadu-kekuningan; aurikel semi arit. Empat aksesi memiliki koefisien kemiripan tinggi, yaitu 75%. Aksesi PM4 dan PM6 identik didukung oleh 11 ciri sama, yaitu pola akar tanpa banir, tekstur kulit kasar dan mengelupas, sumbu daun dan adaksial tulang tengah anak daun gundul, panjang sumbu daun 36-54 cm (sedang); anak daun 8-10 pasang, berhadapan-berseling, bundar telur-membundar telur, panjang 10-20 cm, adaksial anak daun dewasa hijau, pucuk merah ungu; aurikel semi arit. Lima ciri beda dari kedua aksesi ini sebagai berikut: Aksesi PM4 memiliki tekstur batang berwarna ungu dadu dengan bercak putih, sumbu daun berwarna hijau kecoklatan, tepi anak 36 daun bergigi mencolok, pangkal anak daun membundar-meruncing dan pucuk merah-ungu. Sedangkan aksesi PM6 memiliki tekstur batang berwarna kehijauanungu dadu dengan bercak putih, sumbu daun ungu kehitaman, tepi anak daun bergigi kecil, pangkal anak daun membundar-runcing dan pucuk berwarna ungu dadu. Aksesi KRB1 dan IPB identik didukung oleh 11 ciri sama, yaitu tekstur kulit batang coklat karatan-ungu dadu dengan bercak putih; sumbu daun hijau kecoklatan, gundul, panjang 57-100 cm lebih; anak daun 8-10 pasang, berhadapan-berseling, membundar telur-lonjong, panjang > 20 cm, pangkal bundar, ujung meruncing 2-4 cm; aurikel semi arit. Empat ciri beda dari kedua aksesi ini terletak pada pola akar, tekstur batang, warna sumbu daun dan pucuk. Aksesi KRB1 memiliki pola akar berbanir papan, tekstur kulit batang kasarmengelupas, sumbu daun berwarna ungu kehitaman dan pucuk ungu dadu. Sedangkan aksesi IPB memiliki pola akar tanpa banir, tekstur kulit batang halusmengelupas, sumbu daun berwarna hijau kecoklatan dan pucuk mearah-ungu. Aksesi BLHKA memisah dari anggota sub kelompok IIIB lainnya dengan koefisien kemiripan 52%. Ternyata kelompok III merupakan kelompok kedua dari matoa yang umumnya dibudidaya mengelompok menjadi sub kelompok yang lebih banyak anggotanya, terdiri atas dua sub kelompok A & B, dimana 4 aksesi identik menunjukkan bahwa sifat-sifat matoa yang umumnya dibudidaya menyebar merata dan mudah adaptif menghasilkan variasi-variasi yang sama pada waktu dan periode tertentu bergantung pada lingkungan dan interfensi manusia. Aksesi yang identik di lokasi yang sama dapat diidentifikasi sebagai varietas, klon atau forma yang sama. Sedangkan aksesi berbeda dan tidak identik adalah varietas lainnya. Jumlah ciri yang sama mempengaruhi pengelompokan aksesi dalam kelompok, sub kelompok, sub-sub kelompok maupun kelompok identik. Makin besar jumlah ciri yang sama, maka kelompok yang dihasilkan dapat diberi nama atau kategori yang sama. Pengelompokan matoa berdasarkan banyaknya jumlah variasi morfologi yang sama, maka aksesi yang berada dalam kelompok yang 37 sama dapat dikategorikan sebagai varietas yang sama dan aksesi yang identik sebagai kultivar atau forma yang sama. Hanya sistem enzim PER yang dapat memperlihatkan semua pola pita isozim dari 19 aksesi matoa. Sedangkan hasil analisis sistem enzim EST dan MDH tidak menunjukkan semua pola pita EST dan MDH dalam analisis isozim pada variabilitas matoa tidak jelas. Oleh karena itu tidak dilakukan analisis kelompok berdasarkan sistem enzim. Klasifikasi dan Deskripsi Morfologi Matoa Sembilanbelas aksesi matoa yang dianalisis karakteristik morfologi dan isozimnya tidak cukup beragam, sehingga diidentiifikasi dalam satu jenis, yaitu P. pinnata yang terdiri atas dua varietas pinnata dan javanica. Varietas pinnata meliputi 3 forma, yaitu pinnata, tomentosa dan repanda. Varietas javanica terdiri atas satu forma glabra dan satu cv. Kelapa. Ciri yang digunakan sebagai penunjuk tingkat varietas mudah adaptif. Varietas pinnata f. pinnata Sepuluh aksesi termasuk varietas pinnata f. pinnata, yaitu P3, P4, CB4, CB5, PM1, PM2, PM3, PM4, BLHKA dan IPB. Ciri yang digunakan sebagai penunjuk tingkat varietas mudah adaptif. Aksesi CB4 belum tampak pola akar banir; permukaan luar kulit batang halus-tidak mengelupas, berwarna ungu dadu disertai bercak putih; sumbu daun hijau kekuningan, panjang 13-15 cm (pendek), gundul; anak daun 8-10 pasang, berhadapan-berseling, membundar sampai lonjong, pangkal membundar sampai meruncing, tepi bergigi besar yang menumpul-dangkal, ujung meruncing 2-4 cm; permukaan anak daun dewasa hijau tua mengkilap dan pucuk merah-ungu; aurikel semi arit. Aksesi PM3 diidentifikasi dengan ciri-ciri: pola akar tidak berbanir, tekstur batang kasar-mengelupas, kehijauan-ungu dadu disertai bercak putih, bagian dalam kulit berwarna jingga, diameter ± 27 cm; sumbu daun hijau kekuningan, panjang ± 30 cm, gundul; anak daun ± 7 pasang, tepi bergigi tidak mencolok; pucuk ungu dadu-hijau kekuningan; pertulangan hijau terang, stipul semu overlapping pada ranting; perbungaan lebih kaku, panjang 30 cm, anak 38 tangkai ± 10 cm; buah membulat telur, panjang 3-4 cm, diameter ± 1.5 cm, hijau muda mengkilap saat muda dan kemerahan ungu saat ranum. Aksesi PM4 tanpa banir; tekstur kulit batang kasar-mengelupas, ungu dadu disertai bercak putih; sumbu daun hijau kecoklatan, panjang 60-100 cm, anak daun 8-10 pasang, berhadapan-berseling, panjang 10-20 cm, membundar telur, pangkal membundar sampai meruncing, tepi bergigi mencolok, ujung runcing, bagian adaksial daun dewasa hijau, pucuk merah-ungu; aurikel semi arit. Aksesi BLHKA merupakan bibit klon sehingga tidak berbanir; tekstur kulit kasar-mengelupas, berwarna ungu dadu dengan bercak putih; sumbu daun hijau-kecoklatan, panjang 13-15 cm (pendek), gundul; anak daun membundar telur, pangkal membundar sampai meruncing, ujung meruncing ± 2 cm. Sedangkan aksesi IPB memiliki tekstur kulit batang halus-tidak mengelupas, berwarna coklat karatan-ungu dadu dengan bercak putih; panjang sumbu daun 60100 cm; anak daun membundar telur sampai lonjong, ujung runcing, pangkal bundar sampai membundar. Varietas pinnata f. repanda Teridentifikasi pada aksesi P1 dan CB3 . Aksesi P1 memiliki perawakan berupa perdu atau pohon, pola tajuk mengkurva-tidak beraturan, pola akar kurang berbanir hingga tanpa banir. Batang silindris-berlekukan dangkal, tekstur kulit kasar, batang setinggi 150 cm mulai mengelupas sampai menyerpih, warna kehijauan krem dan jingga, sumbu daun hijau kekuningan, gundul, panjang ± 30 cm; anak daun ± 8 pasang, berhadapan, lonjong, panjang 20 cm, lebar 4 cm, pangkal membundar-runcing, tepi bergigi kasar, ujung runcing 5 cm, tanpa kelenjar minyak dan aurikel; daun dewasa hijau tua mengkilap dan hijau muda, pucuk merah-ungu; pertulangan hijau-kekuningan. Varietas pinnata f. tomentosa Teridentifikasi pada aksesi P2 dan KRB2 dapat berupa perdu atau pohon, pola tajuk obcurved, akar berbanir; batang diamater 10 cm; daun majemuk menyirip genap, tersusun secara spiral pada ujung ranting, sumbu daun berwarna hijau kecoklatan, panjangnya ± 30 cm, berambut coklat keemasan; anak daun ± 6 39 pasang, berhadapan sampai berseling, membundar telur, pangkal bundar, tepi bergigi rapat (dentate-serrate), ujung meruncing 5 cm (acuminate), pasangan paling bawah yang baru muncul menyerupai dua tanduk yang seolah-olah memeluk batang; anak daun dewasa berwarna hijau dan hijau muda, panjang 1020 cm, lebar 5-7 cm, pucuk ungu-dadu, pertulangan menyirip, tulang tengah kemerahan-hijau kekuningan. Varietas javanica f. glabra Varitas javanica f. glabra meliputi aksesi CB1, PM6 dan KRB1. Aksesi CB1 memiliki pola akar banir; tekstur kulit pada batang halus-mengelupas sampai menyerpih atau kadang-kadang berlekah (± 3 m dari pangkal batang), kehijauanungu dadu disertai bercak putih; sumbu daun hijau kecoklatan, panjang 15-35 cm, gundul; anak daun 8-10 pasang, berhadapan sampai berseling, membundar telur sampai lonjong, panjang 10-20 cm; pangkal anak daun umumnya bundar, tepi bergigi besar menumpul-dangkal, ujung runcing; adaksial daun hijau krem, pucuk ungu dadu; aurikel semi arit; buah kecil, lonjong, daging tipis, rasa asam. Matoa cv. Kelapa Teridentifikasi pada aksesi CB2 dan PM5. Aksesi CB2 memiliki pola akar berbanir papan; tekstur kulit batang halus-tidak mengelupas, kehijauan-ungu dadu dengan bercak putih; sumbu daun hijau kekuningan, panjang 57-100 cm (panjang), gundul; anak daun 8-10 pasang, berhadapan sampai berseling, membundar telur-lonjong, panjang 10-20 cm, pangkal membundar sampai meruncing, tepi bergigi halus-dangkal, ujung meruncing 2 cm, bagian adaksial hijau tua mengkilap, pucuk ungu dadu; aurikel arit; sumbu perbungaan ± 20-40 cm; buah lonjong-membulat telur terbalik (2-4 cm obovoid), merah-ungu kehitaman saat ranum, daging mengelupas dari biji, rasa kenyal seperti kelapa muda, sehingga di Papua disebut matoa kelapa, banyak dijumpai di dusun-dusun sagu sekitar Sentani dan Genyem-Jayapura. Aksesi PM5 memiliki pola akar tanpa banir; tekstur kulit batang kasarmengelupas, kehijauan dan ungu dadu disertai bercak putih; sumbu daun hijau kecoklatan, panjang 13-15 cm (pendek), gundul; anak daun 8-12 pasang, 40 berhadapan sampai berseling, membundar telur sampai lonjong, panjang 10-20 cm (sedang), pangkal membundar sampai meruncing, tepi bergigi tumpul-dangkal, ujung runcing; aurikel semi arit; anak daun dewasa hijau tua mengkilap dan hijau, pucuk ungu dadu-hijau kekuningan; daun penumpu semu pada sumbu perbungaan pendek dan kaku, panjang sumbu utama ± 20-40 cm. Aksesi PM5 dan CB2 mirip, dicirikan oleh sifat daging buah yang mudah lepas dari biji (seperti rambutan aceh), rasa kenyal (seperti kelapa muda). Aksesi CB2 dan PM5 memiliki kesamaan antara lain: pola akar berbanir, tekstur kulit halus-tidak mengelupas; sumbu daun 57-100 cm, gundul; anak daun berhadapan-berseling; aurikel arit. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sembilanbelas aksesi matoa yang dikarakterisasi morfologinya bervariasi pada pola akar, tekstur kulit batang, warna batang, warna sumbu daun, keberadaan rambut pada sumbu daun dan adaksial tulang tengah anak daun, ukuran sumbu daun, bentuk anak daun, warna anak daun, pangkal, tepi dan ujung anak daun, warna anak daun dewasa dan pucuknya. Variasi morfologi ini dapat diperlihatkan dalam pola pita isozim peroksidase sebagai varietas dan forma. Variasi bentuk, kedudukan, ukuran dan warna serta tempat tumbuh ternyata tipikal, walau sama dalam bentuk pola pita atau jarak migrasinya. Sistem enzim peroksidase lebih efektif digunakan untuk mencirikan variabilitas matoa, dibandingkan dengan sistem isozim esterase dan malat dehidrogenase. Analisis kelompok morfologi 19 aksesi matoa menjadi 3 kelompok dengan koefisien kemiripan 40%. Kelompok I (aksesi CB3 f. repanda) memisah dari aksesi lainnya dengan koefisien kemiripan 28%. Kelompok III terdiri atas dua sub kelompok A & B, dimana 4 aksesi di antaranya identik (PM4 & PM6; KRB1 & IPB) dengan koefisien kemiripan 75%. Kelompok III merupakan kelompok kedua dari matoa yang umumnya dibudidaya untuk buah konsumsi, lebih banyak anggotanya dalam sub-sub kelompoknya menunjukkan sifat-sifatnya menyebar merata dan mudah adaptif menghasilkan variasi-variasi yang sama pada waktu dan periode tertentu bergantung pada lingkungan dan intervensi manusia. Sembilanbelas aksesi matoa yang diteliti tidak cukup beragam, sehingga digolongkan dalam satu jenis, yaitu P. pinnata terdiri atas varietas pinnata dan javanica. Varietas pinnata meliputi f. pinnata, f. tomentosa dan f. repanda. Varietas javanica terdiri atas satu forma glabra dan satu cv. Kelapa. Varietas pinnata forma pinnata khas pada permukaan kulit batang ungu dadu disertai berkas putih dan pertulangan kemerahan (spesimen kering). Ciri penunjuk f. repanda, yaitu anak daun lonjong, tepi bergigi mencolok dan ujung meruncing 4-5 cm. Tiga ciri konsisten penunjuk cv. Kelapa, yaitu pucuk ungu dadu-hijau kekuningan, sumbu daun lebih panjang dari variabilitas lainnya; daging buah terasa tawar-manis dan kenyal seperti kelapa muda. 42 Saran Sudah saatnya menggunakan penamaan variabilitas matoa dengan formanya sesuai revisi terakhir dan perlu dilakukan analisis alozim terhadap variabilitas matoa. DAFTAR PUSTAKA Bebingthon JA. 1996. Describing Flowers a Guide to The Structure of Flowers and Their Identification Features. Field Studies. FSC. Brown ADH, Weir BS. 1983. Measuring Genetic Variability in Plant Population. p. 219-240. In S.D. Tanskley & T.J. Orton (eds.) Isozymes in Plant Genetics and Breeding. Part A. Elsevier, Amsterdam. Buth DG. 1984. The application of electrophoretic data in systematic studies. Ann. Ecol. Syst. 15: 501-522. Damas K. 1993. Variation within Pometia (Sapindaceae) species in Papua New Guinea. Di dalam: Hðft R, editor. Proceedings of the Biological Society. Wau Ecology Institute. PNG: Lae. hlm 59-70. Harris GJ, Harris WM. 1994. Plant Identification Terminology an Illustrated Glossary. X, Spring Lake Publishing. Payson Utah. USA. hlm 198. Horry JP. 1989. The Genetic Structure of Wild and Cultivated Bananas as Perceived through Isozyme Variation. Montpellier: CIRAD-IRFA. Jacobs, M. 1962. Pometia (Sapindaceae), A Study in Variability. Jurnal Taksonomi Botani, Sosiologi Tanaman dan Ekologi. Herbarium Bogoriense, 6 (2) : 109-144. Bogor. Lawrence MHG.1955. Taxonomy of Vascular Plants. The Macmillan Company: New York. hlm 50-57. Markert CL, Moller F. 1959. Multiple forms of enzymes: tissue, ontogenetic and species specific patterns. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 45: 753-763. May B. 1994. Starch electrophoresis of allozymes. Di dalam: Hoelzel AR, editor. Molecular genetic analysis of population. New York. Oxford University Press. hlm. 1-27. Nei M. 1978. Estimation of average heterozigoties and genetics from a small number of individuals. Genetics 89 : 583-590. Nur MA, Juwana HA. 1987. Teknik Pemisahan dan Analisis Biologis. PAU Ilmu Hayat. IPB. Bogor. 280 hal. Peirce LC, Brewbaker JL. 1973. Aplications of isozyme analyses in horticultural science. HortSci. 8 : 17-22. 44 Rolf FJ. 1998. NTSYs-PC. Numerical Taxonomy and Multivarite Analysis System. Version 2.02i. Exterter Software. New York. Simpson MJA, Withers LA. 1986. Characterization of Plant Genetic Resources Using Isozyme Electrophoresis; a guide to the literature. IBPGR. Rome. 102p. Soerianegara I, Lemmens RHM. 1994. Plant Resources of South-East Asia. Timber Trees: Major Commercial Timbers. Prosea 5 (1) : 357-363. Soetisna U, Enung S, Mulyaningsih, Syamsidah R. 1994. Pengaruh Media dan waktu Penyimpanan Terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Matoa (Pometia pinnata). Jurnal Penelitian Kehutanan Paratropika II. No. 2. Soemiasri N, Kuswara T, Indarto SN. 1996. Pemanfaatan Matoa (Pometia pinnata Forst.) di Beberapa Daerah di Irian Jaya. Didalam: Purwanto Y, Waluyo EB, editor. Kebijakan Masyarakat Lokal dalam Mengelola dan Memanfaatkan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Etnobotani III; Denpasar-Bali, 5-6 Mei 1998. Bogor: Puslitbang. Bioteknologi LIPI Cibinong.hlm 182-185. Tanskley SD, Rick CM, 1989. Genetic of esterases in species of Lycopersicon. Theor. Appl. Genet. 56 : 209-219. Di dalam: Weeden NF, Wendel JF; Soltis DE, Soltis PS, editor. Isozymes in Plant Biology. Portland, Oregon: Dioscoridos Press. hlm 46-50. Torres AM. 1983. Fruit Trees. Di Dalam: Tanskley SD, Orton TJ., editor. Isozymes in plants genetics and breeding, Part B. Amsterdam. Elsevier 401-421. Vallejos CE. 1983. Enzym Activity Staining. Di Dalam: Tanskley SD, Orton TJ., editor. Isozymes in Plant Genetics and Breedings Part A. Netherlands. Elsevier Publ. Co. Inc. hlm 469-516. Vogel De EF. 1987. Manual of Herbarium Taxonomy, theory and practice. Rijsherbarium Leiden, The Netherlands. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization Regional for Science and Technology for Southeast Asia. Jakarta. Unesco. Weeden NF. 1983. Evolution of plant isozymes. In: S. D. Tanksley, T. J. Orton [eds.], Isozymes in plant. 45 Weeden NF, Wendel JF. 1989a. Genetic and Plants Isozymes. Di dalam: Soltis ED, Soltis PS., editor. Isozymes in Plant Biology. Portland: Oregon. Portland: Oregon Diocorides Press. hlm 46-72. Wendel JF, Weeden NF. 1989b. Visualization and interpretation of plant isozymes. Di Dalam: Soltis ED, Soltis PS., editor. Isozymes in Plant Biology. Portland: Oregon. Dioscorides Press. hlm 5-45. Westphal E, Jansen PCM. 1989. Plant Resources of South- East Asia, a Selection. Pudoc Wageningen. hlm 23. LAMPIRAN 47 Lampiran 1. Karakter-karakter Morfologi Aksesi Matoa untuk Analisis Fenetik No Karakter Ciri (Kode) 1. Pola akar tanpa banir (0), berbanir biasa (1), berbanir papan (2) 2. Tekstur kulit pada batang halus-mengelupas (0), kasar-mengelupas (1), mengelupas, menyerpih-berlekah (2) 3. Warna tekstur kulit luar pada batang coklat karatan dan ungu dadu dengan bercak putih (0), hijau kecoklatan dan krem (1), kehijauan dan ungu dadu dengan bercak putih (2), ungu dadu dengan bercak putih (3), kehijauan dan kekuningan jingga (4) 4. Warna sumbu daun ungu kehitaman (0), hijau kekuningan (1), hijau kecoklatan (2) 5. Rambut pada sumbu daun dan adaksial tulang tidak berambut/gundul (0), berambut putih (1), tengah anak daun berambut coklat keemasan (2) 6. Panjang sumbu daun 13 – 15 cm pendek (0); 35 - 60 cm sedang (1); ± 60 – 100 cm panjang (2) 7. Jumlah pasangan anak daun per daun 5 – 7 pasang (0), 8 – 10 pasang (1); > 10 pasang (2) 8. Kedudukan anak daun umumnya berhadapan (0), berhadapan sampai berseling/subalternate (1), berseling (2) 9. Bentuk aurikel dari anak daun basal seolah- tidak bercuping (0), semi arit (subfalcate) (1), ada, arit olah memeluk batang (falcate) (2), menyerupai dua tanduk (3) 10. Bentuk anak daun membundar telur-melonjong (0), membundar telur sampai lonjong (1), membundar telur, melonjongmembundar telur terbalik (obovate) (2), membundar telur sampai melonjong atau memanjang (oblongate) (3), lonjong (4) 11. Panjang anak daun < 10 cm pendek (0); 10 - 20 cm sedang (1); > 20 cm panjang (2) 12. Bentuk pangkal anak daun bundar (0), membundar sampai runcing (1), membundar sampai bundar (2), membundar sampai meruncing (3) 13. Tepi anak daun bergigi halus-dangkal (subdentate) (0), 1 = bergigi mencolok (dentate) (1), bergigi menumpul-dangkal (2) 14. Bentuk ujung anak daun runcing (acute) (0), meruncing ± 2-4 cm (subacuminate) (1), meruncing 5 cm (acuminate) (2), runcing sampai meruncing (3), membundar sampai runcing (4) 15. Warna anak daun pada bagian adaksial 16. Warna pucuk 0 = hijau, 1 = hijau tua mengkilap, 2 = krem merah-ungu (0), ungu dadu (1), ungu dadu-hijau kekuningan (2) 48 Lampiran 2. Data matriks karakter morfologi matoa untuk analisis fenetik No Aksesi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 P1 2 2 0 2 2 1 0 0 2 1 1 1 1 1 0 1 2 P2 1 1 2 2 2 2 0 0 2 1 2 0 0 1 0 2 3 P3 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 4 1 2 4 PM1 1 1 2 2 0 2 1 1 1 1 2 0 0 3 0 2 5 PM2 1 1 2 2 1 2 1 1 1 3 1 0 1 1 1 2 6 PM3 1 1 2 1 0 0 0 1 1 3 0 0 1 1 0 2 7 PM4 0 1 3 2 0 2 1 1 1 0 1 0 1 3 0 0 8 PM5 0 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 0 2 3 1 2 9 CB1 1 1 2 2 0 0 1 1 1 1 1 0 2 1 0 1 10 CB2 2 0 2 1 0 2 1 1 2 1 1 1 0 3 1 1 11 CB3 0 2 4 1 0 0 1 0 0 4 1 1 1 2 1 0 12 CB4 0 0 3 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 3 1 0 13 CB5 1 0 3 2 0 2 1 1 2 1 2 0 0 3 1 0 14 BLHKA 0 1 3 2 0 0 2 1 1 0 2 2 2 3 0 0 15 KRB2 1 1 0 2 2 2 0 0 3 0 1 0 1 1 0 1 16 KRB1 2 1 0 0 0 2 1 1 1 1 2 0 2 1 0 1 17 PM6 0 1 2 0 0 2 1 1 1 0 1 0 2 1 0 0 18 P4 1 2 1 2 0 2 1 1 2 2 2 1 0 0 0 1 19 IPB 0 0 0 2 0 2 1 1 1 1 2 0 2 1 0 0