103 PEMBAHASAN UMUM Hasil penelitian ini memperkuat informasi tentang adanya keragaman morfologi dan genetik pada manggis. Analisis keragaman morfologi buah menunjukkan variasi yang luas yaitu antara 0 sampai 92%, sedangkan keragaman molekulernya berkisar antara 1 sampai 17%. Hal ini menunjukkan bahwa karakter morfologi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Analisis morfologi membagi aksesi menjadi dua kedua kelompok utama yang dipisahkan oleh karakter morfologi ukuran kelopak, ketebalan kelopak, bentuk cupat dan jumlah segmen buah. Karakter morfologi ini dikategorikan sebagai karakter mayor yaitu karakter yang tidak mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Individu pada sub kelompok dipisahkan oleh karakter morfologi minor yaitu bentuk buah, diameter tangkai, panjang tangkai dan ukuran cupat, dan tebal kulit buah. De Kroen (1994 ) menyebutkan karakter yang tidak mudah dipengaruhi oleh lingkungan sebagai karakter non plastik dan yang mudah dipengaruhi lingkungan sebagai karakter plastik atau karakter minor. Sebagai contoh panjang buku stolon, rhizoma, dan intensitas percabangan pada tanaman klonal dapat bervariasi dalam individu tanaman. Karakter yang terbentuk dalam jangka panjang dari aktifitas meristematik, misalnya ukuran bagian vegetatif, jumlah tunas, daun dan bunga, perpanjangan batang, dan ada tidaknya duri merupakan subjek dari pengaruh lingkungan. Karakter ini lebih plastik daripada karakter yang terbentuk dalam waktu cepat seperti struktur reproduktif atau karakter pada stadia pertumbuhan awal seperti tunas atau daun. Karakter non plastik antara lain adanya anak daun, pinggir daun bergerigi, dan karakter bunga. Tidak semua plastisitas bersifat adaptif tetapi berperan dalam bagian adaptasi tanaman (Bradshaw 1965). Plastisitas morfologi merupakan hal yang umum pada organisme klonal. Tidak jelas berapa besarnya variasi respon plastik yang terdapat antar individu, populasi dan spesies, serta potensinya dalam seleksi alami. Plastisitas morfologi dapat terjadi antara tanaman dan dalam tanaman tergantung lamanya masa hidup tanaman. Spesies dengan umur panjang (perennial) membutuhkan pertahanan terhadap variasi lingkungan dan menunjukkan plastisitas yang nyata pada karakter tertentu. Tanaman perennial mutlak menunjukkan plastisitas dalam tanaman sedangkan tanaman berumur pendek menunjukkan plastisitas antara tanaman 104 misalnya jumlah biji. Pemahaman tentang plastisitas penting tidak hanya sebagai kerangka teori evolusi, tetapi juga terhadap praktek perbaikan tanaman (Bradshaw 1965). Sejumlah mekanisme melalui plastisitas fenotipik dapat mempercepat munculnya fenotipe baru dan kecepatan spesiasi serta makroevolusi (Bruno dan Edmunds 1997). Pada manggis karakter bentuk buah, panjang tangkai, diameter tangkai, tebal kulit dan jumlah biji bervariasi di dalam tanaman dan antar tanaman, yang menunjukkan bahwa karakter ini merupakan karakter minor (plastik). Sedangkan karakter bentuk stigma, ukuran kelopak, tebal kelopak dan jumlah segmen buah merupakan karakter mayor (non plastik). Analisis gabungan morfologi dan molekuler membagi aksesi berdasarkan lokasi. Terdapat hubungan yang erat antara pola pengelompokan berdasarkan karakter morfologi dan molekuler (r=0.95). Dengan mempertimbangkan dendogram morfologi, molekuler dan gabungan secara bersama-sama dapat dikatakan bahwa data hasil analisis molekuler dapat memisahkan kelompok aksesi yang berasosiasi dengan karakter morfologi kelopak tebal, cupat ellip, dan jumlah segmen. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter ketebalan kelopak tebal, cupat ellip, dan jumlah segmen buah dapat digunakan sebagai pembeda kelompok genetik manggis. Sedangkan marka molekuler yang dapat digunakan sebagai pembeda kelompok adalah pita pita spesifik OPH-18/950 bp, PKBT-7/750 bp, PKBT-10/875 bp) segmen 4-8) dan PKBT-7/775 bp, P3/875 bp, dan PKBT-3/1000 bp. Marka molekuler lebih akurat dibandingkan marka morfologi karena dapat memisahkan dua kelompok morfologi menjadi tiga kelompok genetik berbeda. Studi keragaman genetik 106 individu manggis menggunakan 13 marka RAPD dan ISSR menghasilkan 132 pita DNA. Terdapat variasi klonal dimana hampir semua (98%) individu merupakan klonal tunggal. AMOVA pada Tabel 13 menunjukkan bahwa perbedaan genetik didalam populasi sama besarnya dengan antar populasi yaitu masing-masing 50%. Komposisi genotipe antar populasi menunjukkan pengelompokan berdasarkan lokasi. Artinya tidak ada genotipe klonal dari satu populasi dijumpai pada lokasi lainnya sehingga setiap individu tanaman tersebut merupakan genotipe lokal. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar tanaman manggis dibudidayakan secara tradisional menggunakan materi perbanyakan secara lokal. Kebanyakan tanaman perennial 105 mempunyai kapasitas untuk membentuk kelompok klonal sendiri dan merupakan cara untuk meningkatkan keragaman (Eckert 1999). Hal serupa juga terjadi pada Psammochloa villosa (Poaceae) dimana setiap genotipe adalah milik lokal (Li & Ge 2001). Struktur genetik populasi menunjukkan total perbedaan di dalam dan antar populasi yang sama besarnya, namun masing-masing populasi mempunyai pola keragaman tersendiri. Keragaman tertinggi terlihat pada populasi Purwakarta yang dapat dilihat dari persentase pita polimorfiknya (62%) disusul oleh Bulukumba (46%), Tembilahan (40%), dan Kerinci (30%). Tingginya perbedaan genetik individu dalam tiap populasi disebabkan oleh beberapa kejadian yang berhubungan dengan sifat apomiksis diantaranya adalah mutasi. Rhichards (1997) menyatakan bahwa mutasi merupakan satu-satunya mekanisme yang menyebabkan timbulnya variasi genetik pada tanaman apomiksis. Variasi genetik pada manggis dapat terjadi antar aksesi (Mansyah et al 2004b; Sinaga et al. 2007a) dan antara tetua dan keturunannya (Mansyah et al. 2004; Mansyah et al. 2008; Sinaga et al. 2007b; Sobir et al. 2009) serta antar cabang pada pohon yang sama (Noorrohmah 2010). Mutasi pada tanaman apomiksis pada umumnya dapat disebabkan oleh terjadinya mutasi spontan yang dipicu oleh transposable element pada tanaman dengan level ploidi yang tinggi (Wendel 2000). Mutasi juga dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti sinar UV dan zat kimia lainnya yang berbahaya bagi DNA. Tipe mutasi lingkungan biasanya adalah substitusi (Elizabeth 2010). Variasi genetik antar pasangan populasi (Tabel 13, 14) dan pengelompokan individu berdasarkan lokasi geografi (Gambar 26, 27, 28) mendukung asumsi bahwa tanaman manggis diperbanyak secara klonal dari tanaman induk lokal. Penyebaran bersasarkan daerah geografi yang diikuti dengan variasi genetik pada tanaman apomiksis dapat dijelaskan melalui hipotesis Schneller (1998) yaitu : 1). Single origin, mutations, and gradual spread. Hipotesis ini ditandai oleh adanya variasi genetik yang rendah, terakumulasinya mutasi acak selama penyebaran gradual spesies dari tanaman yang diduga sebagai asal usulnya, serta terbentuknya pengelompokan berdasarkan geografi. 2). Single origin, mutations, and long-distance-dispersal. Umumnya terjadi pada tanaman yang mempunyai potensi besar untuk penyebaran jarak jauh, terjadi mutasi, hampir tidak ada variasi 106 genetik dengan pola geografi pada analisis kluster, dijumpai genotip berbeda pada daerah yang sama. Adanya penyebaran pita polimorfik pada hampir seluruh daerah geografi menegaskan terjadinya long-distance dispersal. 3). Multiple hybrid origins (berasal dari beberapa hasil persilangan) yang juga memberikan pola geografi pada analisis kluster. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu manggis memiliki koefisen kemiripan genetik yang tinggi yaitu 0.82-1.0 (Gambar 25) dan mengelompok berdasarkan lokasi geografi. Berkemungkinan manggis merupakan Single origin dengan dua pola penyebaran gradual dispersal dan long-distancedispersal. Jika manggis adalah single origin, tanaman ini menyebar untuk mencapai daerah distribusinya yang ada saat ini dan variasi genetik yang dijumpai merupakan hasil mutasi somatik. Seperti telah dijelaskan oleh Schneller (1998) diatas bahwa mutasi acak terakumulasi selama penyebaran gradual spesies ini yang berasal dari tanaman yang diduga sebagai asal usulnya. Bukti terjadinya long-distance-dispersal pada manggis adalah adanya genotip berbeda pada daerah yang sama seperti yang dijumpai pada populasi Purwakarta dan Tembilahan. Adanya penyebaran manggis mencapai Australia Utara serta daerah subtropik lainnya juga merupakan bukti terjadinya penyebaran jarak jauh. Manggis yang ditanam di Queensland dan New South Wales Australia sejak tahun 1854, merupakan hasil introduksi dari Indonesia (Stephens 1935, dalam Osman & Milan 2006). Walaupun tanaman manggis tidak mempunyai potensi untuk penyebaran jarak jauh secara alami, penyebarannya dapat terjadi dengan bantuan manusia. Sando et al. (2009) menjumpai adanya keragaman genetik pada G. hombroniana yang diduga tetua dari allotetraploid manggis. Hasil penelitian ini diperkuat oleh hasil penelitian Sulassih (2011) yang menjumpai variasi genetik pada 3 tanaman G, malaccensis sedangkan antara 2 pohon G. hombroniana menunjukkan genetik yang sama. Berdasarkan kedua informasi ini diduga bahwa diversitas genetik pada manggis dapat disebabkan oleh multiple hybrid origin dari tetua yang berbeda secara genetik. Dugaan ini mengacu kepada pembentukan allotetraploid Tragopogon miscellus dan Tragopogon mirus yang terbentuk secara berulang dari tetua progenitornya yang berbeda secara genetik masing- masing 107 sebanyak 20 dan 12 kali dalam kurun waktu sekitar 70 tahun (Ownbey 1950, dalam Mackanzie 2005). Untuk memastikan apakah kejadian serupa pada manggis perlu penelitian lebih lanjut. Analisis struktur populasi pada memberikan informasi bahwa pasangan populasi Kerinci dan Bulukumba memiliki jarak geografi cukup jauh tetapi memiliki jarak genetik yang sangat dekat. Kladogram pada Gambar 27 menunjukkan bahwa pembentukan populasi manggis diawali dari Tembilahan, kemudian menyebar ke Purwakarta, Kerinci dan Bulukumba. Secara geografi populasi tersebut dipisahkan oleh pulau dan lautan melintasi garis Wallaceae. Genotipe Bulukumba yang berada pada puncak kluster berhasil tersebar pada jarak yang cukup jauh dari populasi Tembilahan, Purwakarta dan Kerinci melintasi garis Wallaceae. Metode lain untuk mengetahui daerah asal suatu tanaman yang dibudidayakan pada suatu tempat adalah dengan mengumpulkan bukti ethnografi dan linguistik pada daerah tersebut. Blench (2004) melaporkan bahwa data archaeobotanical, ethnographik dan linguistik telah dilakukam pada studi penyebaran pohon buah-buahan di daerah Indo-Pacific. Keragaman bahasa di daratan Asia Tenggara dapat menjelaskan rute penyebaran budidaya buah buahan tersebut. Kombinasi ethnografi dan biogeografi dinyatakan sebagai faktor penting dalam menentukan evolusi hutan subsisten, khususnya pada daerah yang mempunyai banyak pulau dan penduduknya sering berasosiasi dengan introduksi spesies baru. Data linguistik menunjukkan bahwa penyebaran suku Austronesia menyebabkan terjadinya translokasi sejumlah besar pohon buah buahan dari daerah asalnya. Filogeografi telah diaplikasikan pada banyak aspek populasi tanaman dan mencatat bahwa variasi genetik pada tingkat populasi tidak hanya sebagai pertukaran genetik tetapi juga oleh pola hubungan secara historis (Schaal et al. 1998). Populasi Tembilahan pada (grup B) dengan morfologi dan molekuler unik diduga berasal dari long distance dispersal dari Kalimantan Selatan. Hal ini dapat diketahui dari keragaman etnis, dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Tembilahan didiami oleh komunitas multi-etnik seperti Banjar, Melayu, Bugis, Minang, dan Jawa serta kelompok etnis lainnya. Komunitas Banjar merupakan 108 etnik terbesar (40%) dan tersebar di Indragiri Hilir pada 20 kabupaten dan 192 desa. Sebagian besar suku Banjar (70%) bermukim di kota Tembilahan, Sapat, Pulau Palas, Sungai Salak, dan Pangalehan. Komunitas suku Banjar bermigasi ke Pulau Sumatra khususnya Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885. Eksodus suku Banjar berawal dari kekecauan politik akibat kedatangan Belanda (Hasanzainuddin, 2007). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk klarifikasi apakah kedua hal tersebut berhubungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa analisis genetik manggis berbasis populasi lebih akurat daripada berbasis individu. Analisis genetik berbasis individu membagi aksesi menjadi dua kelompok genetik (Gambar 5), dan pengelompokan aksesi tidak selalu berdasarkan lokasi yang sama, kecuali untuk aksesi yang berasal dari Bangka. Subkluster lainnya terdiri dari campuran antar lokasi. Analisis genetik berbasis populasi membagi individu menjadi tiga kelompok genetik (Gambar 25, 26, dan 27), dan pengelompokan aksesi berdasarkan kepada lokasi geografi. Selain itu penelitian berbasis populasi juga dapat mengungkapkan adanya kelompok genetik berbeda dalam populasi yang sama seperti yang ditunjukkan oleh populasi Purwakarta dan Tembilahan. Perbedaan tersebut diatas dapat disebabkan oleh kurangnya sampel dari tempat atau daerah geografi yang sama pada penelitian berbasis individu. Peningkatan jumlah sampel dan penggunaan primer berbeda dapat memperjelas hubungan antar individu. Penelitian berbasis populasi dapat membandingkan sampel dari daerah yang berbeda dan mengkonfirmasi tingkat kemiripan sampel yang diobservasi (Frazzon et al. 2002). Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat keragaman genetik pada manggis, tetapi nilai keragaman didalam populasi dan antar populasi sama besarnya. Walaupun demikian tetap dijumpai adanya ekotipe lokal dengan morfologi yang berbeda. Klon lokal dengan variasi morfologi dan genetik yang dijumpai dapat diseleksi dan dievaluasi untuk dikembangan lebih lanjut. Selain itu diperlukan pemeliharaan ekotipe tersebut untuk mempertahankan kekayaan plasma nutfah.