Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa - HFI DIY

advertisement
234
Arief Hermanto / Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi Masalah Silogisme yang Bersifat
Simbolik dan Contoh Penerapannya dalam Fisika
Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi
Masalah Silogisme yang Bersifat Simbolik dan Contoh Penerapannya
dalam Fisika
Arief Hermanto
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara, Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak – Penentuan validitas silogisme merupakan persoalan yang bersifat simbolik. Dalam buku ajar biasanya
digunakan metode diagram dengan cara manual. Dalam makalah ini kami membahas penyusunan program komputer
dalam bahasa Fortran yang dapat menentukan solusi masalah ini secara numerik. Selanjutnya disajikan juga sebuah
contoh penerapannya dalam fisika (pada khususnya teori kuantum).
Kata kunci: silogisme, Fortran, kuantum
Abstract – The determination of the validity of syllogism is a symbolic problem. In text books they usually use
diagrammatic method manually. In this paper we discuss the construction of computer program in Fortran to solve this
problem numerically. Then we also present an example of its application in physics (especially quantum theory).
Key words: syllogism, Fortran, quantum
I. PENDAHULUAN
Bahwa logika sangat berperan dalam fisika tentu
merupakan hal yang dengan mudah diterima oleh semua
pihak. Kalau kita tinjau secara lebih mendalam
sebenarnya ada dua pengertian yang terkandung dalam
penggunaan logika dalam fisika.
Dalam pengertian yang pertama logika digunakan
secara implisit dalam fisika, sedangkan dalam pengertian
yang kedua logika digunakan secara eksplisit. Fisika
adalah kumpulan proposisi yang benar. Sebuah proposisi
dalam fisika dikatakan benar jika proposisi itu memenuhi
dua kriteria kebenaran yaitu kebenaran berdasarkan
penjabaran dan kebenaran berdasarkan kesesuaian dengan
kenyataan alam lewat eksperimen. Berdasarkan
penjabaran, sebuah proposisi dikatakan benar jika
proposisi itu (yang merupakan anggota dari sebuah teori)
merupakan kesimpulan dari sebuah argumentasi yang
merupakan satu mata rantai
dari suatu rangkaian
argumentasi yang panjang dan berpangkal pada sebuah
argumentasi dengan premis yang berupa potulat dari
teori itu.
Jika proposisi-proposisi itu dinyatakan dalam bahasa
matematik maka logika yang digunakan dalam rangkaian
argumentasi untuk mencapai suatu kesimpulan tidaklah
nampak secara eksplisit. Dalam hal ini logika digunakan
secara implisit. Semua orang sepakat bahwa penjabaran
secara matematik jelas sekali menggunakan logika
dengan intensitas tinggi namun logika itu tidak nampak
secara eksplisit. Simbol yang digunakan adalah untuk
menyatakan objek-objek matematik dan kaitannya satu
sama lain. Dalam hal ini kita hampir tidak menjumpai
adanya simbol logika. Contoh penjabaran semacam ini
tidak perlu diungkapkan karena penjabaran inilah yang
selalu kita jumpai dalam pembelajaran fisika.
Sebaliknya jika proposisi dalam fisika itu dinyatakan
dengan bahasa verbal dan kemudian dituliskan secara
simbolik maka penggunaan logika akan menjadi nampak
secara eksplisit. Simbol-simbol itu tidak lagi menyatakan
objek matematik melainkan menyatakan objek-objek fisis
dan operasi-operasi logika. Di sini logika (simbolik)
nampak secara eksplisit. Sebagai contoh bisa disebutkan
di sini pembahasan Teori Relativitas dengan
menggunakan Logika Predikat Orde Kesatu (First Order
Predicate Logic = FOPL) [1]. Dalam karya ilmiah ini kita
bisa mendapatkan penjabaran (misalnya) tentang
paradoks kembar tanpa menggunakan matematik, melulu
hanya menggunakan logika saja. Pada masa yang lalu
kita bisa simak interaksi antara Leibniz dan Papin ketika
berdebat masalah fisika, yaitu soal konservasi momentum
(yang pada saat itu disebut living force). Pada tahun 1696
mereka melakukan perdebatan itu lewat silogisme dalam
kerangka logika simbolik [2].
Silogisme merupakan salah satu bentuk argumentasi
yang mendasar. Masalah yang harus diselesaikan adalah
penentuan validitas dari suatu bentuk silogisme tertentu.
Jika kita menemukan sebuah silogisme maka kita harus
bisa menentukan dengan cepat apakah silogisme itu valid
atau tidak. Sudah banyak metode yang diungkapkan
untuk menangani hal ini, misalnya yang merupakan
metode baku yang selalu dijelaskan dalam buku ajar
tentang logika adalah dengan menggunakan diagram
secara manual [3]. Mengingat pentingnya silogisme maka
berbagai metode alternatif untuk solusi masalah validitas
silogisme itu akan sangat diharapkan.
Ada dua hal yang merupakan ciri khas makalah ini.
Yang pertama adalah bahwa makalah ini membahas
penyelesaian masalah silogisme secara komputasional
(dengan berdasarkan metode yang baru). Penyelesaian
secara komputasional merupakan hal yang menarik
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014
ISSN : 0853-0823
Arief Hermanto / Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi Masalah Silogisme yang Bersifat
Simbolik dan Contoh Penerapannya dalam Fisika
karena akan memudahkan dan mempercepat penentuan
validitas bagi pekerjaan dalam kerangka yang lebih besar.
Yang kedua adalah penggunaan komputasi numerik
untuk menyelesaikan masalah yang bersifat simbolik.
Dalam skala yang jauh lebih kecil, hal ini mengikuti jejak
Godel ketika membuktikan sebuah teorema dalam logika
simbolik yaitu Teorema Ketakkomplitan (Incompleteness
Theorem) (yang merupakan teorema yang sangat
mengguncang fundasi matematik) dengan menggunakan
bilangan alam [4].
II. SILOGISME
A. Proposisi dan Argumentasi
Proposisi adalah sebuah pernyataan yang mengandung
arti sehingga dapat ditentukan nilai kebenarannya.
Dengan kata lain secara lebih sederhana, proposisi adalah
kalimat (baik verbal, dalam berbagai bahasa, maupun
matematik) yang bisa ditentukan benar atau salah.
Argumentasi adalah beberapa proposisi yang saling
berkaitan di mana salah satu proposisi merupakan
konklusi atau kesimpulan sedangkan proposisi-proposisi
lainnya merupakan premis atau alasan. Dalam buku ajar
selalu disebutkan bahwa argumentasi disebut valid jika
kesimpulannya benar, dengan asumsi bahwa semua
premisnya benar. Ini menimbulkan kesan bahwa dalam
sebuah argumentasi diperbolehkan ada premis yang
salah, meskipun kemudian tidak bisa ditentukan apakah
kesimpulannya benar atau salah karena dalam
argumentasi yang tidak valid dimungkinkan untuk
mendapatkan kesimpulan yang benar dari premis yang
salah. Buku ajar kemudian menyatakan bahwa validitas
argumentasi berhubungan dengan bentuknya dan tidak
ada kaitannya dengan nilai premisnya yang benar atau
salah.
Kami usulkan pemahaman yang lebih mudah sebagai
berikut. Jika premisnya ada yang salah maka kumpulan
proposisi itu jangan disebut sebagai argumentasi.
Kebenaran dari premis harus merupakan syarat dari
argumentasi. Kemudian syarat validitas menjadi mudah,
yaitu sebuah argumentasi disebut valid jika
kesimpulannya benar. Kebenaran kesimpulan dijamin
oleh validitas argumentasi karena jika kita melakukan
argumentasi maka kita harus yakin dulu bahwa semua
premisnya benar. Jika ada premisnya yang salah, itu
berarti kita tidak lagi berargumentasi.
B. Validitas Silogisme
Silogisme adalah argumentasi dengan bentuk yang
khusus. Proposisi dalam silogisme bersifat kategorik.
Dalam pengertian yang sempit silogisme terdiri atas 2
premis dan 1 kesimpulan. Dalam pengertian yang lebih
luas, silogisme bisa terdiri atas lebih dari 2 premis.
Sebuah proposisi (yang dalam hal ini berwujud sebuah
kalimat) terdiri atas subjek dan predikat. Dalam proposisi
kategoris, predikat menyatakan bahwa subjeknya masuk
(atau tidak masuk) dalam kelompok tertentu. Misalnya
proposisi “Semua mahasiswa mempunyai ijasah sekolah
lanjutan” menyatakan bahwa semua mahasiswa masuk
dalam kelompok orang yang mempunyai ijasah sekolah
lanjutan.
235
Proposisi kategoris terdiri atas dua jenis yaitu proposisi
universal (yang dicirikan dengan kata “semua”) dan
proposisi partikular yang dicirikan dengan kata
“beberapa”. Jika bagian subjek atau predikat dari
proposisi disebut saja sebagai bagian (term) maka
kesimpulan dari silogisme terdiri atas 2 bagian yang kita
sebut saja sebagai S (sebagai subjek dari kesimpulan) dan
P (sebagai predikat dari kesimpulan). Jika bagian-bagian
dari premis pertama adalah S dan M maka bagian-bagian
premis kedua adalah P dan M, atau sebaliknya. Bagian M
dalam kedua premis itu mengkaitkan kedua premis
sehingga menghasilkan kesimpulan.
Karena sifat proposisinya yang kategoris maka untuk
menentukan validitas silogisme bisa digunakan teori
himpunan. Misalnya kita tinjau silogisme sebagai berikut.
“Semua mahasiswa mempunyai ijasah sekolah lanjutan”
sebagai premis pertama. Premis kedua misalnya “Semua
orang yang berijasah sekolah lanjutan mempunyai bekal
yang cukup untuk menjadi anggota masyarakat yang
baik”. Kesimpulannya adalah bahwa “Semua mahasiswa
mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi anggota
masyarakat yang baik”.
Pertama-tama kita perhatikan bahwa kedua premis di
atas adalah benar. Premis pertama adalah benar karena
ijasah sekolah lanjutan merupakan syarat untuk menjadi
mahasiswa. Premis yang kedua benar karena merupakan
salah satu keyakinan yang menjadi dasar dicanangkannya
program wajib belajar. Jika silogisme di atas valid maka
kesimpulannya benar. Kita lakukan sebagai berikut.
Pertama-tama disusun 3 himpunan S, P dan M. S adalah
himpunan mahasiswa. P adalah himpunan orang yang
mempunyai bekal cukup untuk menjadi anggota
masyarakat yang baik. M adalah himpunan orang yang
berijasah sekolah lanjutan. Dengan simbol-simbol itu
maka silogisme menjadi berbentuk sebagai berikut.
Premis pertama adalah “Semua S adalah M”. Premis
kedua adalah “Semua M adalah P” dan kesimpulannya
adalah “Semua S adalah P”.
Selanjutnya validitas silogisme bisa ditentukan dengan
mudah lewat teori himpunan. “Semua S adalah M”
berarti bahwa S adalah himpunan bagian dari M. “Semua
M adalah P” berarti bahwa M adalah himpunan bagian
dari P. Dari kedua premis jelaslah bahwa S harus
merupakan himpunan bagian dari P dan itu sesuai dengan
bunyi kesimpulan bahwa “Semua S adalah P”. Ini adalah
kasus yang sangat sederhana sehingga mudah
diselesaikan. Untuk kasus-kasus lain perlu disusun
metode yang sistematik dan sedemikian rupa sehingga
bisa diimplementasikan ke komputer lewat bahasa
pemrograman tertentu.
III. SOLUSI NUMERIK TERHADAP MASALAH
SILOGISME
Dalam seksi ini akan kita bahas metode numerik
terhadap masalah silogisme. Metode ini disebut sebagai
numerik karena memang menggunakan bilangan, dalam
hal ini bilangan bulat, meskipun masalah yang dihadapi
bersifat simbolik.
Di muka sudah disebutkan bahwa kita akan
menggunakan teori himpunan. Jika disusun 3 himpunan
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014
ISSN : 0853-0823
236
Arief Hermanto / Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi Masalah Silogisme yang Bersifat
Simbolik dan Contoh Penerapannya dalam Fisika
S, P dan M yang secara umum saling beririsan dan berada
di dalam himpunan universal U, maka akan terjadi 8
daerah. Daerah-daerah itu bisa diberi nama sesuai dengan
sifatnya yang berkaitan dengan ketiga himpunan induk,
misalnya s_p_nm yang artinya merupakan irisan dari
himpunan S, himpunan P dan himpunan NM (=Non M =
U – M). Semua proposisi kategoris, baik universal
maupun partikular dapat diubah menjadi pernyataan yang
menyatakan keadaan daerah-daerah ini, yaitu kosong atau
ada isinya (mempunyai minimal satu anggota).
Sebagai contoh adalah proposisi “Semua S adalah P”
yang bisa diubah bentuk menjadi pernyataan ketiadaan
yaitu “Tidak ada S yang tidak P”. Ini berarti himpunan
irisan antara S dan NP adalah kosong. Selanjutnya
himpunan irisan ini terdiri atas dua bagian yang berkaitan
dengan M yaitu yang juga sekaligus anggota M
(=s_np_m) dan yang bukan anggota M (=s_np_nm). Jadi,
proposisi di atas ekuivalen dengan kenyataan bahwa
s_np_m dan s_ np_nm keduanya kosong.
Contoh lain adalah proposisi “Beberapa P adalah M”
yang bisa diubah menjadi “Ada P yang M”. Ini berarti
himpunan irisan P dan M ada isinya. Karena himpunan
irisan ini terdiri atas s_p_m dan ns_p_m maka kita tidak
bisa menentukan manakah di antara keduanya itu yang
berisi ataukah mungkin saja keduanya berisi. Kita tidak
boleh membuat asumsi yang lebih dari pada yang
dinyatakan, maka pernyataan bahwa irisan P dan M ada
isinya hanya bisa memastikan bahwa ada satu anggota
yang ada dalam himpunan irisan itu dan itu berarti hanya
salah satu di antara s_p_m atau ns_p_m yang berisi.
Prinsip bahwa kita tidak boleh mengasumsikan lebih
dari pada yang bisa dipastikan dari yang diketahui
mempunyai konsekuensi pada pengertian validitas. Jika
suatu argumentasi itu valid maka bisa dipastikan bahwa
kesimpulannya benar. Namun jika kita berjumpa dengan
argumentasi yang tidak valid itu tidak berarti bahwa
kesimpulannya pasti tidak benar. Argumentasi yang tidak
valid
hanya
menyebabkan
bahwa
kebenaran
kesimpulannya menjadi tidak pasti. Negasi dari validitas
tidak merambat pada negasi kebenaran kesimpulannya
melainkan pada kepastian dari kebenarannya.
Kedua premis dari silogisme menggambarkan keadaan
dari 8 daerah {s_p_m, s_np_m, …} itu. Keadaannya itu
terdiri atas 3 jenis yaitu kosong, isi dan tidak pasti
(apakah kosong atau isi). Jika kesimpulan dari silogisme
bersesuaian dengan keadaan itu maka kesimpulan itu
benar dan silogisme itu valid. Selanjutnya kita akan
menggunakan bilangan supaya metode ini menjadi
numerik.
Delapan daerah yang ditinjau dinamai dengan cara
yang teratur yaitu s di depan, p di tengah dan m di
belakang. Karena hanya ada 2 kemungkinan dari
ketiganya itu, misalnya s dan ns, maka kita bisa gunakan
bilangan binari untuk menterjemahkan nama daerahdaerah itu. Misalnya s_p_nm menjadi 1_1_0 = 6. Contoh
lain misalnya ns_np_m menjadi 0_0_1 = 1. Jadi, nama
daerah adalah bilangan 0 sampai 7. Keadaan tiap daerah
juga bisa diubah menjadi angka, yaitu tidak pasti = 0,
kosong = 1 dan isi = 2.
Kami menggunakan bahasa Fortran 77 lewat g77 yang
merupakan perangkat lunak yang bebas. Fortran
merupakan bahasa pemrograman numerik yang sangat
representatif. Kedua alasan itulah : bebas dan
representatif, yang menjadi dasar dipilihnya g77 dalam
penelitian ini.
Jika kedua premis dari silogisme bersifat partikular
maka tidaklah mungkin diperoleh kesimpulan yang pasti
benar karena seperti sudah dicontohkan di muka,
proposisi partikular tidak menghasilkan kepastian bagi
daerah manapun. Gabungan dua proposisi partikular tetap
tidak menghasilkan kepastian.
Jika kedua premis berupa proposisi universal maka
ada kepastian beberapa daerah menjadi kosong.
Penggabungan kedua proposisi universal itu secara tepat
bisa menghasilkan kesimpulan berupa proposisi universal
yang benar. Tentu saja tidak dimungkinkan adanya
proposisi partikular yang benar karena kekosongan tidak
bisa menimbulkan keberadaan dengan sendirinya.
Premis yang berupa universal dan partikular bisa
menghasilkan kesimpulan partikular karena kekosongan
yang dipastikan dari premis pertama yang universal itu
bisa menimbulkan kepastian keberadaan dari premis
kedua yang partikular. Jika ada dua daerah yang salah
satunya harus berisi tapi kita tidak tahu yang mana (di
antara keduanya), kemudian dipastikan bahwa salah satu
di antaranya harus kosong, maka kita lalu menjadi pasti
bahwa yang lainnya harus berisi.
Jadi, hanya perlu ditinjau dua kemungkinan, yaitu
kedua premis universal (universal-universal) dan salah
satu di antaranya partikular (universal-partikular). Premis
universal selalu diletakkan sebagai premis pertama
karena seperti sudah dibahas di muka, kepastian akan
kekosongan (dari premis pertama yang universal) bisa
merealisasikan potensi keberadaan dari premis kedua
yang partikular.
Sebagai contoh masukan dan keluaran dari program
yang sudah disusun ini maka ditampilkan masalah yang
sudah dibahas di muka, yaitu kedua premis dan
kesimpulan berupa proposisi universal.
masukan premis UNIVERSAL
misalnya : s - m, masukkan is=1,ip=2 dan im=1 -> 1 2 1
120
masukan premis UNIVERSAL
misalnya : p - m, masukkan is=2,ip=1 dan im=1 -> 2 1 1
201
masukan konklusi UNIVERSAL
misalnya : s - p, masukkan is=1,ip=1 dan im=2 -> 1 1 2
102
ARGUMENTASI VALID
Pada masukan ditampilkan contoh sehingga pengguna
menjadi tahu bagaimana menyatakan premis dan
kesimpulan dalam bentuk kode. Dalam hal ini premis
pertama adalah “Semua S adalah M”, diubah menjadi
“Tidak ada S yang tidak M” , diubah menjadi S-NM,
diubah lagi menjadi s_[p]_nm dan akhirnya menjadi is=1,
ip=2, im=0 atau 1 2 0. Premis kedua adalah “Semua M
adalah P” menjadi “Tidak ada M yang tidak P” menjadi
M-NP = NP-M menjadi [s]_np_m menjadi 2 0 1.
Kesimpulan adalah “Semua S adalah P” menjadi “Tidak
ada S yang tidak P” menjadi S-NP menjadi s_np_[m]
menjadi 1 0 2. Dan kemudian keluar hasil bahwa
argumentasi ini valid.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014
ISSN : 0853-0823
Arief Hermanto / Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi Masalah Silogisme yang Bersifat
Simbolik dan Contoh Penerapannya dalam Fisika
IV. PENERAPAN DALAM FISIKA
Sebenarnya silogisme sering muncul dalam fisika
namun dalam bentuk yang mungkin tersamar. Berikut ini
sebuah contoh eksplisit yang diharapkan cukup menarik
karena berkaitan dengan hal yang mendasar. Objek yang
akan kita bahas adalah teori fisika. Tiga sifat menarik dan
penting dari teori adalah fundamental, indeterministik
dan non-lokal. Dua sokoguru fisika saat ini yaitu Teori
Relativitas dan Teori Kuantum mempunyai sifat yang
sama yaitu fundamental namun berlawanan dalam 2 hal
yang lain, yaitu Teori Kuantum bersifat indeterministik
dan non-lokal sedangkan Teori Relativitas bersifat
sebaliknya.
Sifat indeterministik dan non-lokal begitu berlawanan
dengan intuisi sehingga orang ingin tahu mana di antara
keduanya yang lebih mendalam. Saat ini sebagian besar
sepakat bahwa non-lokalitas merupakan hal yang lebih
dalam dari pada indeterminisme [5]. Ini berarti bahwa
jika suatu teori non-lokal maka teori itu harus
indeterministik sebaliknya jika suatu teori bersifat
indeterministik maka belum tentu teori itu non-lokal.
Memang benar bahwa orang bisa menyusun teori yang
indeterministik namun lokal. Dalam bahasa kategorik kita
katakan bahwa “Semua yang non-lokal adalah
indeterministik”. Jika disusun simbol non-lokal = P dan
indeterministik = M, maka kita dapatkan proposisi
universal “Semua P adalah M”.
Selanjutnya kita masukkan sifat fundamental = S. Kita
tentukan hubungan S dengan M sehingga akan diperoleh
hubungan S dengan P, yaitu antara fundamental dengan
non-lokal. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa ada
teori fundamental yang deterministik, yaitu Teori
Relativitas. Dalam bahasa kategorik kita katakan “Ada S
yang tidak M”. Dari kedua premis itu dapat disimpulkan
bahwa “Ada S yang tidak P”. Jadi, ada teori fundamental
yang lokal, dan itu memang benar yaitu Teori Relativitas.
Rangkuman dari seksi ini adalah bahwa jika prinsip
bahwa non-lokalitas itu lebih dalam dari pada
indeterminisme diterima, maka hal itu sesuai dengan
kenyataan bahwa ada teori fundamental yang lokal dan
deterministik.
merupakan
sesuatu
yang
mendatangkan pencerahan.
menyenangkan
237
dan
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada yang
telah memberikan pendanaan lewat hibah Penelitian
Kecil Jurusan Fisika. Makalah ini merupakan hasil dari
penelitian itu.
PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Madaraz, Logical Approach to Relativity Theory, 2000.
Website: http://philsci-archive.pitt.edu, diakses tanggal 4
Maret 2014.
D. B. Meli, Equivalence and Priority : Newton versus
Leibniz, Oxford University Press, 2002.
T. Tymoczko, Sweet Reason : A Field Guide to Modern
Logic, Springer Verlag, 2000.
H. S. Wang, A Logical Journey : from Godel to
Philosophy, Addison Wesley, 2000.
S. Popescu, Non-locality Beyond Quantum Mechanics,
dalam Bokulich, A dan Jaeger, G (editors) : Philosophy of
Quantum Information and Entanglement, Cambridge
University Press, 2010.
V. KESIMPULAN
Yang ingin diungkapkan dalam makalah ini adalah
pertama bahwa penentuan validitas silogisme dapat
dikomputasikan. Hal ini penting karena penentuan
validitas dalam buku ajar selalu dilakukan dengan
menggunakan diagram secara manual. Yang kedua adalah
bahwa komputasi dapat dilakukan secara numerik. Ini
menunjukkan kekuatan komputasi numerik yaitu bisa
mengubah penalaran secara visual dengan bantuan
diagram ke penalaran aljabar dengan menggunakan
bilangan.
Sebenarnya kedua hal di atas bukanlah hal yang
mengherankan karena segala sesuatu yang bersifat
algoritmik akan selalu bisa dikomputasikan (dengan
model misalnya mesin Turing) dan segala macam
komputasi pada akhirnya bisa dikembalikan ke
manipulasi bilangan binari. Namun pengungkapannya
secara eksplisit seperti dalam makalah ini diharapkan bisa
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014
ISSN : 0853-0823
Download