234 Arief Hermanto / Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi Masalah Silogisme yang Bersifat Simbolik dan Contoh Penerapannya dalam Fisika Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi Masalah Silogisme yang Bersifat Simbolik dan Contoh Penerapannya dalam Fisika Arief Hermanto Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada Sekip Utara, Yogyakarta, Indonesia [email protected] Abstrak – Penentuan validitas silogisme merupakan persoalan yang bersifat simbolik. Dalam buku ajar biasanya digunakan metode diagram dengan cara manual. Dalam makalah ini kami membahas penyusunan program komputer dalam bahasa Fortran yang dapat menentukan solusi masalah ini secara numerik. Selanjutnya disajikan juga sebuah contoh penerapannya dalam fisika (pada khususnya teori kuantum). Kata kunci: silogisme, Fortran, kuantum Abstract – The determination of the validity of syllogism is a symbolic problem. In text books they usually use diagrammatic method manually. In this paper we discuss the construction of computer program in Fortran to solve this problem numerically. Then we also present an example of its application in physics (especially quantum theory). Key words: syllogism, Fortran, quantum I. PENDAHULUAN Bahwa logika sangat berperan dalam fisika tentu merupakan hal yang dengan mudah diterima oleh semua pihak. Kalau kita tinjau secara lebih mendalam sebenarnya ada dua pengertian yang terkandung dalam penggunaan logika dalam fisika. Dalam pengertian yang pertama logika digunakan secara implisit dalam fisika, sedangkan dalam pengertian yang kedua logika digunakan secara eksplisit. Fisika adalah kumpulan proposisi yang benar. Sebuah proposisi dalam fisika dikatakan benar jika proposisi itu memenuhi dua kriteria kebenaran yaitu kebenaran berdasarkan penjabaran dan kebenaran berdasarkan kesesuaian dengan kenyataan alam lewat eksperimen. Berdasarkan penjabaran, sebuah proposisi dikatakan benar jika proposisi itu (yang merupakan anggota dari sebuah teori) merupakan kesimpulan dari sebuah argumentasi yang merupakan satu mata rantai dari suatu rangkaian argumentasi yang panjang dan berpangkal pada sebuah argumentasi dengan premis yang berupa potulat dari teori itu. Jika proposisi-proposisi itu dinyatakan dalam bahasa matematik maka logika yang digunakan dalam rangkaian argumentasi untuk mencapai suatu kesimpulan tidaklah nampak secara eksplisit. Dalam hal ini logika digunakan secara implisit. Semua orang sepakat bahwa penjabaran secara matematik jelas sekali menggunakan logika dengan intensitas tinggi namun logika itu tidak nampak secara eksplisit. Simbol yang digunakan adalah untuk menyatakan objek-objek matematik dan kaitannya satu sama lain. Dalam hal ini kita hampir tidak menjumpai adanya simbol logika. Contoh penjabaran semacam ini tidak perlu diungkapkan karena penjabaran inilah yang selalu kita jumpai dalam pembelajaran fisika. Sebaliknya jika proposisi dalam fisika itu dinyatakan dengan bahasa verbal dan kemudian dituliskan secara simbolik maka penggunaan logika akan menjadi nampak secara eksplisit. Simbol-simbol itu tidak lagi menyatakan objek matematik melainkan menyatakan objek-objek fisis dan operasi-operasi logika. Di sini logika (simbolik) nampak secara eksplisit. Sebagai contoh bisa disebutkan di sini pembahasan Teori Relativitas dengan menggunakan Logika Predikat Orde Kesatu (First Order Predicate Logic = FOPL) [1]. Dalam karya ilmiah ini kita bisa mendapatkan penjabaran (misalnya) tentang paradoks kembar tanpa menggunakan matematik, melulu hanya menggunakan logika saja. Pada masa yang lalu kita bisa simak interaksi antara Leibniz dan Papin ketika berdebat masalah fisika, yaitu soal konservasi momentum (yang pada saat itu disebut living force). Pada tahun 1696 mereka melakukan perdebatan itu lewat silogisme dalam kerangka logika simbolik [2]. Silogisme merupakan salah satu bentuk argumentasi yang mendasar. Masalah yang harus diselesaikan adalah penentuan validitas dari suatu bentuk silogisme tertentu. Jika kita menemukan sebuah silogisme maka kita harus bisa menentukan dengan cepat apakah silogisme itu valid atau tidak. Sudah banyak metode yang diungkapkan untuk menangani hal ini, misalnya yang merupakan metode baku yang selalu dijelaskan dalam buku ajar tentang logika adalah dengan menggunakan diagram secara manual [3]. Mengingat pentingnya silogisme maka berbagai metode alternatif untuk solusi masalah validitas silogisme itu akan sangat diharapkan. Ada dua hal yang merupakan ciri khas makalah ini. Yang pertama adalah bahwa makalah ini membahas penyelesaian masalah silogisme secara komputasional (dengan berdasarkan metode yang baru). Penyelesaian secara komputasional merupakan hal yang menarik Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823 Arief Hermanto / Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi Masalah Silogisme yang Bersifat Simbolik dan Contoh Penerapannya dalam Fisika karena akan memudahkan dan mempercepat penentuan validitas bagi pekerjaan dalam kerangka yang lebih besar. Yang kedua adalah penggunaan komputasi numerik untuk menyelesaikan masalah yang bersifat simbolik. Dalam skala yang jauh lebih kecil, hal ini mengikuti jejak Godel ketika membuktikan sebuah teorema dalam logika simbolik yaitu Teorema Ketakkomplitan (Incompleteness Theorem) (yang merupakan teorema yang sangat mengguncang fundasi matematik) dengan menggunakan bilangan alam [4]. II. SILOGISME A. Proposisi dan Argumentasi Proposisi adalah sebuah pernyataan yang mengandung arti sehingga dapat ditentukan nilai kebenarannya. Dengan kata lain secara lebih sederhana, proposisi adalah kalimat (baik verbal, dalam berbagai bahasa, maupun matematik) yang bisa ditentukan benar atau salah. Argumentasi adalah beberapa proposisi yang saling berkaitan di mana salah satu proposisi merupakan konklusi atau kesimpulan sedangkan proposisi-proposisi lainnya merupakan premis atau alasan. Dalam buku ajar selalu disebutkan bahwa argumentasi disebut valid jika kesimpulannya benar, dengan asumsi bahwa semua premisnya benar. Ini menimbulkan kesan bahwa dalam sebuah argumentasi diperbolehkan ada premis yang salah, meskipun kemudian tidak bisa ditentukan apakah kesimpulannya benar atau salah karena dalam argumentasi yang tidak valid dimungkinkan untuk mendapatkan kesimpulan yang benar dari premis yang salah. Buku ajar kemudian menyatakan bahwa validitas argumentasi berhubungan dengan bentuknya dan tidak ada kaitannya dengan nilai premisnya yang benar atau salah. Kami usulkan pemahaman yang lebih mudah sebagai berikut. Jika premisnya ada yang salah maka kumpulan proposisi itu jangan disebut sebagai argumentasi. Kebenaran dari premis harus merupakan syarat dari argumentasi. Kemudian syarat validitas menjadi mudah, yaitu sebuah argumentasi disebut valid jika kesimpulannya benar. Kebenaran kesimpulan dijamin oleh validitas argumentasi karena jika kita melakukan argumentasi maka kita harus yakin dulu bahwa semua premisnya benar. Jika ada premisnya yang salah, itu berarti kita tidak lagi berargumentasi. B. Validitas Silogisme Silogisme adalah argumentasi dengan bentuk yang khusus. Proposisi dalam silogisme bersifat kategorik. Dalam pengertian yang sempit silogisme terdiri atas 2 premis dan 1 kesimpulan. Dalam pengertian yang lebih luas, silogisme bisa terdiri atas lebih dari 2 premis. Sebuah proposisi (yang dalam hal ini berwujud sebuah kalimat) terdiri atas subjek dan predikat. Dalam proposisi kategoris, predikat menyatakan bahwa subjeknya masuk (atau tidak masuk) dalam kelompok tertentu. Misalnya proposisi “Semua mahasiswa mempunyai ijasah sekolah lanjutan” menyatakan bahwa semua mahasiswa masuk dalam kelompok orang yang mempunyai ijasah sekolah lanjutan. 235 Proposisi kategoris terdiri atas dua jenis yaitu proposisi universal (yang dicirikan dengan kata “semua”) dan proposisi partikular yang dicirikan dengan kata “beberapa”. Jika bagian subjek atau predikat dari proposisi disebut saja sebagai bagian (term) maka kesimpulan dari silogisme terdiri atas 2 bagian yang kita sebut saja sebagai S (sebagai subjek dari kesimpulan) dan P (sebagai predikat dari kesimpulan). Jika bagian-bagian dari premis pertama adalah S dan M maka bagian-bagian premis kedua adalah P dan M, atau sebaliknya. Bagian M dalam kedua premis itu mengkaitkan kedua premis sehingga menghasilkan kesimpulan. Karena sifat proposisinya yang kategoris maka untuk menentukan validitas silogisme bisa digunakan teori himpunan. Misalnya kita tinjau silogisme sebagai berikut. “Semua mahasiswa mempunyai ijasah sekolah lanjutan” sebagai premis pertama. Premis kedua misalnya “Semua orang yang berijasah sekolah lanjutan mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi anggota masyarakat yang baik”. Kesimpulannya adalah bahwa “Semua mahasiswa mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi anggota masyarakat yang baik”. Pertama-tama kita perhatikan bahwa kedua premis di atas adalah benar. Premis pertama adalah benar karena ijasah sekolah lanjutan merupakan syarat untuk menjadi mahasiswa. Premis yang kedua benar karena merupakan salah satu keyakinan yang menjadi dasar dicanangkannya program wajib belajar. Jika silogisme di atas valid maka kesimpulannya benar. Kita lakukan sebagai berikut. Pertama-tama disusun 3 himpunan S, P dan M. S adalah himpunan mahasiswa. P adalah himpunan orang yang mempunyai bekal cukup untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. M adalah himpunan orang yang berijasah sekolah lanjutan. Dengan simbol-simbol itu maka silogisme menjadi berbentuk sebagai berikut. Premis pertama adalah “Semua S adalah M”. Premis kedua adalah “Semua M adalah P” dan kesimpulannya adalah “Semua S adalah P”. Selanjutnya validitas silogisme bisa ditentukan dengan mudah lewat teori himpunan. “Semua S adalah M” berarti bahwa S adalah himpunan bagian dari M. “Semua M adalah P” berarti bahwa M adalah himpunan bagian dari P. Dari kedua premis jelaslah bahwa S harus merupakan himpunan bagian dari P dan itu sesuai dengan bunyi kesimpulan bahwa “Semua S adalah P”. Ini adalah kasus yang sangat sederhana sehingga mudah diselesaikan. Untuk kasus-kasus lain perlu disusun metode yang sistematik dan sedemikian rupa sehingga bisa diimplementasikan ke komputer lewat bahasa pemrograman tertentu. III. SOLUSI NUMERIK TERHADAP MASALAH SILOGISME Dalam seksi ini akan kita bahas metode numerik terhadap masalah silogisme. Metode ini disebut sebagai numerik karena memang menggunakan bilangan, dalam hal ini bilangan bulat, meskipun masalah yang dihadapi bersifat simbolik. Di muka sudah disebutkan bahwa kita akan menggunakan teori himpunan. Jika disusun 3 himpunan Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823 236 Arief Hermanto / Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi Masalah Silogisme yang Bersifat Simbolik dan Contoh Penerapannya dalam Fisika S, P dan M yang secara umum saling beririsan dan berada di dalam himpunan universal U, maka akan terjadi 8 daerah. Daerah-daerah itu bisa diberi nama sesuai dengan sifatnya yang berkaitan dengan ketiga himpunan induk, misalnya s_p_nm yang artinya merupakan irisan dari himpunan S, himpunan P dan himpunan NM (=Non M = U – M). Semua proposisi kategoris, baik universal maupun partikular dapat diubah menjadi pernyataan yang menyatakan keadaan daerah-daerah ini, yaitu kosong atau ada isinya (mempunyai minimal satu anggota). Sebagai contoh adalah proposisi “Semua S adalah P” yang bisa diubah bentuk menjadi pernyataan ketiadaan yaitu “Tidak ada S yang tidak P”. Ini berarti himpunan irisan antara S dan NP adalah kosong. Selanjutnya himpunan irisan ini terdiri atas dua bagian yang berkaitan dengan M yaitu yang juga sekaligus anggota M (=s_np_m) dan yang bukan anggota M (=s_np_nm). Jadi, proposisi di atas ekuivalen dengan kenyataan bahwa s_np_m dan s_ np_nm keduanya kosong. Contoh lain adalah proposisi “Beberapa P adalah M” yang bisa diubah menjadi “Ada P yang M”. Ini berarti himpunan irisan P dan M ada isinya. Karena himpunan irisan ini terdiri atas s_p_m dan ns_p_m maka kita tidak bisa menentukan manakah di antara keduanya itu yang berisi ataukah mungkin saja keduanya berisi. Kita tidak boleh membuat asumsi yang lebih dari pada yang dinyatakan, maka pernyataan bahwa irisan P dan M ada isinya hanya bisa memastikan bahwa ada satu anggota yang ada dalam himpunan irisan itu dan itu berarti hanya salah satu di antara s_p_m atau ns_p_m yang berisi. Prinsip bahwa kita tidak boleh mengasumsikan lebih dari pada yang bisa dipastikan dari yang diketahui mempunyai konsekuensi pada pengertian validitas. Jika suatu argumentasi itu valid maka bisa dipastikan bahwa kesimpulannya benar. Namun jika kita berjumpa dengan argumentasi yang tidak valid itu tidak berarti bahwa kesimpulannya pasti tidak benar. Argumentasi yang tidak valid hanya menyebabkan bahwa kebenaran kesimpulannya menjadi tidak pasti. Negasi dari validitas tidak merambat pada negasi kebenaran kesimpulannya melainkan pada kepastian dari kebenarannya. Kedua premis dari silogisme menggambarkan keadaan dari 8 daerah {s_p_m, s_np_m, …} itu. Keadaannya itu terdiri atas 3 jenis yaitu kosong, isi dan tidak pasti (apakah kosong atau isi). Jika kesimpulan dari silogisme bersesuaian dengan keadaan itu maka kesimpulan itu benar dan silogisme itu valid. Selanjutnya kita akan menggunakan bilangan supaya metode ini menjadi numerik. Delapan daerah yang ditinjau dinamai dengan cara yang teratur yaitu s di depan, p di tengah dan m di belakang. Karena hanya ada 2 kemungkinan dari ketiganya itu, misalnya s dan ns, maka kita bisa gunakan bilangan binari untuk menterjemahkan nama daerahdaerah itu. Misalnya s_p_nm menjadi 1_1_0 = 6. Contoh lain misalnya ns_np_m menjadi 0_0_1 = 1. Jadi, nama daerah adalah bilangan 0 sampai 7. Keadaan tiap daerah juga bisa diubah menjadi angka, yaitu tidak pasti = 0, kosong = 1 dan isi = 2. Kami menggunakan bahasa Fortran 77 lewat g77 yang merupakan perangkat lunak yang bebas. Fortran merupakan bahasa pemrograman numerik yang sangat representatif. Kedua alasan itulah : bebas dan representatif, yang menjadi dasar dipilihnya g77 dalam penelitian ini. Jika kedua premis dari silogisme bersifat partikular maka tidaklah mungkin diperoleh kesimpulan yang pasti benar karena seperti sudah dicontohkan di muka, proposisi partikular tidak menghasilkan kepastian bagi daerah manapun. Gabungan dua proposisi partikular tetap tidak menghasilkan kepastian. Jika kedua premis berupa proposisi universal maka ada kepastian beberapa daerah menjadi kosong. Penggabungan kedua proposisi universal itu secara tepat bisa menghasilkan kesimpulan berupa proposisi universal yang benar. Tentu saja tidak dimungkinkan adanya proposisi partikular yang benar karena kekosongan tidak bisa menimbulkan keberadaan dengan sendirinya. Premis yang berupa universal dan partikular bisa menghasilkan kesimpulan partikular karena kekosongan yang dipastikan dari premis pertama yang universal itu bisa menimbulkan kepastian keberadaan dari premis kedua yang partikular. Jika ada dua daerah yang salah satunya harus berisi tapi kita tidak tahu yang mana (di antara keduanya), kemudian dipastikan bahwa salah satu di antaranya harus kosong, maka kita lalu menjadi pasti bahwa yang lainnya harus berisi. Jadi, hanya perlu ditinjau dua kemungkinan, yaitu kedua premis universal (universal-universal) dan salah satu di antaranya partikular (universal-partikular). Premis universal selalu diletakkan sebagai premis pertama karena seperti sudah dibahas di muka, kepastian akan kekosongan (dari premis pertama yang universal) bisa merealisasikan potensi keberadaan dari premis kedua yang partikular. Sebagai contoh masukan dan keluaran dari program yang sudah disusun ini maka ditampilkan masalah yang sudah dibahas di muka, yaitu kedua premis dan kesimpulan berupa proposisi universal. masukan premis UNIVERSAL misalnya : s - m, masukkan is=1,ip=2 dan im=1 -> 1 2 1 120 masukan premis UNIVERSAL misalnya : p - m, masukkan is=2,ip=1 dan im=1 -> 2 1 1 201 masukan konklusi UNIVERSAL misalnya : s - p, masukkan is=1,ip=1 dan im=2 -> 1 1 2 102 ARGUMENTASI VALID Pada masukan ditampilkan contoh sehingga pengguna menjadi tahu bagaimana menyatakan premis dan kesimpulan dalam bentuk kode. Dalam hal ini premis pertama adalah “Semua S adalah M”, diubah menjadi “Tidak ada S yang tidak M” , diubah menjadi S-NM, diubah lagi menjadi s_[p]_nm dan akhirnya menjadi is=1, ip=2, im=0 atau 1 2 0. Premis kedua adalah “Semua M adalah P” menjadi “Tidak ada M yang tidak P” menjadi M-NP = NP-M menjadi [s]_np_m menjadi 2 0 1. Kesimpulan adalah “Semua S adalah P” menjadi “Tidak ada S yang tidak P” menjadi S-NP menjadi s_np_[m] menjadi 1 0 2. Dan kemudian keluar hasil bahwa argumentasi ini valid. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823 Arief Hermanto / Penggunaan Komputasi Numerik dengan Bahasa Fortran dalam Solusi Masalah Silogisme yang Bersifat Simbolik dan Contoh Penerapannya dalam Fisika IV. PENERAPAN DALAM FISIKA Sebenarnya silogisme sering muncul dalam fisika namun dalam bentuk yang mungkin tersamar. Berikut ini sebuah contoh eksplisit yang diharapkan cukup menarik karena berkaitan dengan hal yang mendasar. Objek yang akan kita bahas adalah teori fisika. Tiga sifat menarik dan penting dari teori adalah fundamental, indeterministik dan non-lokal. Dua sokoguru fisika saat ini yaitu Teori Relativitas dan Teori Kuantum mempunyai sifat yang sama yaitu fundamental namun berlawanan dalam 2 hal yang lain, yaitu Teori Kuantum bersifat indeterministik dan non-lokal sedangkan Teori Relativitas bersifat sebaliknya. Sifat indeterministik dan non-lokal begitu berlawanan dengan intuisi sehingga orang ingin tahu mana di antara keduanya yang lebih mendalam. Saat ini sebagian besar sepakat bahwa non-lokalitas merupakan hal yang lebih dalam dari pada indeterminisme [5]. Ini berarti bahwa jika suatu teori non-lokal maka teori itu harus indeterministik sebaliknya jika suatu teori bersifat indeterministik maka belum tentu teori itu non-lokal. Memang benar bahwa orang bisa menyusun teori yang indeterministik namun lokal. Dalam bahasa kategorik kita katakan bahwa “Semua yang non-lokal adalah indeterministik”. Jika disusun simbol non-lokal = P dan indeterministik = M, maka kita dapatkan proposisi universal “Semua P adalah M”. Selanjutnya kita masukkan sifat fundamental = S. Kita tentukan hubungan S dengan M sehingga akan diperoleh hubungan S dengan P, yaitu antara fundamental dengan non-lokal. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa ada teori fundamental yang deterministik, yaitu Teori Relativitas. Dalam bahasa kategorik kita katakan “Ada S yang tidak M”. Dari kedua premis itu dapat disimpulkan bahwa “Ada S yang tidak P”. Jadi, ada teori fundamental yang lokal, dan itu memang benar yaitu Teori Relativitas. Rangkuman dari seksi ini adalah bahwa jika prinsip bahwa non-lokalitas itu lebih dalam dari pada indeterminisme diterima, maka hal itu sesuai dengan kenyataan bahwa ada teori fundamental yang lokal dan deterministik. merupakan sesuatu yang mendatangkan pencerahan. menyenangkan 237 dan UCAPAN TERIMA KASIH Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan pendanaan lewat hibah Penelitian Kecil Jurusan Fisika. Makalah ini merupakan hasil dari penelitian itu. PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] Madaraz, Logical Approach to Relativity Theory, 2000. Website: http://philsci-archive.pitt.edu, diakses tanggal 4 Maret 2014. D. B. Meli, Equivalence and Priority : Newton versus Leibniz, Oxford University Press, 2002. T. Tymoczko, Sweet Reason : A Field Guide to Modern Logic, Springer Verlag, 2000. H. S. Wang, A Logical Journey : from Godel to Philosophy, Addison Wesley, 2000. S. Popescu, Non-locality Beyond Quantum Mechanics, dalam Bokulich, A dan Jaeger, G (editors) : Philosophy of Quantum Information and Entanglement, Cambridge University Press, 2010. V. KESIMPULAN Yang ingin diungkapkan dalam makalah ini adalah pertama bahwa penentuan validitas silogisme dapat dikomputasikan. Hal ini penting karena penentuan validitas dalam buku ajar selalu dilakukan dengan menggunakan diagram secara manual. Yang kedua adalah bahwa komputasi dapat dilakukan secara numerik. Ini menunjukkan kekuatan komputasi numerik yaitu bisa mengubah penalaran secara visual dengan bantuan diagram ke penalaran aljabar dengan menggunakan bilangan. Sebenarnya kedua hal di atas bukanlah hal yang mengherankan karena segala sesuatu yang bersifat algoritmik akan selalu bisa dikomputasikan (dengan model misalnya mesin Turing) dan segala macam komputasi pada akhirnya bisa dikembalikan ke manipulasi bilangan binari. Namun pengungkapannya secara eksplisit seperti dalam makalah ini diharapkan bisa Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823