8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Pengertian Remaja

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Pengertian Remaja
Masa
remaja
atau
masa
adolesensi
adalah
suatu
fase
perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini
merupakan periode transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai
dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional dan social dan
berlangsung pada dekade kedua masa kehidupan (Narendra, 2005).
Monks, dkk (2004) mendefinisikan remaja apabila telah mencapai umur
10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki,
sementara itu WHO mendefinisikan remaja bila anak telah mencapai umur
10-19 tahun. Menurut Undang-undang No. 4179 mengenai kesejahteraan
anak, remaja adalah individu yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum menikah. Adapun Menurut UU Perburuan anak dianggap remaja
apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan
mempunyai tempat tinggal sendiri.
Sarwono (2011) menyatakan bahwa remaja adalah suatu masa
dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tandan-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola
identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa, serta terjadi peralihan dari
ketergatungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif
mandiri.
2. Tahapan Perkembangan Remaja
Masa remaja berlangsung melalui 3 tahapan yang masing-masing
ditandai dengan isu-isu biologik, psikologik dan sosial, menurut Aryani
(2010) yaitu :
8
9
a. Masa Remaja Awal (10-13 tahun)
Masa remaja awal ditandai dengan peningkatan yang cepat dari
pertumbuhan dan pematangan fisik, sehingga sebagian besar energi
intelektual dan emosional pada masa remaja awal ini ditargetkan pada
penilaian kembali dan restrukturisasi dari jati diri. Selain itu
penerimaan kelompok sebaya sangatlah penting. Dapat berjalan
bersama dan tidak dipandang beda adalah motif yang mendominasi
banyak perilaku sosial remaja awal ini.
b. Menengah (14-16 tahun)
Masa remaja
menengah
ditandai
dengan
hampir lengkapnya
pertumbuhan pubertas, timbulnya keterampilan-keterampilan berpikir
yang baru, peningkatan pengenalan terhadap datangnya masa dewasa
dam keinginan untuk memapankan jarak emosional dan psikologis
dengan orang tua.
c. Akhir (17 - 19 tahun)
Masa remaja akhir ditandai dengan persiapan untuk peran sebagai
seorang dewasa, termasuk klarifikasi dari tujuan pekerjaan dan
internalisasi suatu sistem nilai pribadi.
Menurut Sarwono (2010), dalam proses penyesuaian diri menuju
kedewasaan, ada 3 tahap perkembangan remaja:
a. Remaja awal (early adolescent)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahanperubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan- dorongan
yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan
pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah
terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan
jenis ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini
ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ego menyebabkan
para remaja awal ini sulit dimengerti dan dimengerti orang dewasa.
10
b. Remaja madya (middle adolescent)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang
kalau banyak teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsistis
yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama
dengan dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena
tidak tahu memilih yang mana peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau
sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan
sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari oedipus complex
(perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa anak-anak) dengan
mempererat hubungan dengan kawan-kawan.
c. Remaja akhir (late adolescent)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan
ditandai dengan pencapaian lima hal yaitu:
1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang
lain dan dalam pengalaman- pengalaman baru.
3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri)
diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri
dengan orang lain.
5) Tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self)
dan masyarakat umum.
3. Tugas Perkembangan Remaja
Setiap tahap usia manusia pasti ada tugas-tugas perkembangan
yang harus dilalui. Bila seseorang gagal melalui tugas perkembangan pada
usia yang sebenarnya maka pada tahap perkembangan berikutnya akan
terjadi masalah pada diri seseorang tersebut. Berdasarkan aspek biologik
akan
dibahas
mengenai
neuroendokrinologi,
pertumbuhan
dan
perkembangan somatik. Aspek lainnya adalah aspek psikologis, kognitif
dan
aspek
medis/pelayanan
kesehatan
remaja.
Untuk
mengenal
kepribadian remaja perlu diketahui tugas-tugas perkembangannya.
11
Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Monks (2004) antara
lain :
a. Perkembangan fisik/ Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan
menstruasi pertama pada remaja putri ataupun perubahan suara pada
remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat
besar.
Pubertas menjadikan seorang anak
tiba-tiba memiliki
kemampuan untuk bereproduksi. Pada masa pubertas, hormon
seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon
(gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan
dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH);
dan 2). Luteinizing Hormone (LH).
Pada anak perempuan, kedua
hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone.
Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan
Interstitial-Cell
Stimulating
pertumbuhan testosterone.
Hormone
(ICSH)
merangsang
Pertumbuhan secara cepat dari hormon-
hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak
perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem
reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik
seperti payudara mulai berkembang, dll.
Anak lelaki mulai
memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang
berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone.
Bentuk fisik
mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan
membawa mereka pada dunia remaja.
b. Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif remaja merupakan periode terakhir dan
tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal
operations).
Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki
pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang
kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang
sedemikian
rupa
sehingga
mereka
dengan
mudah
dapat
12
membayangkan
banyak
alternatif
pemecahan
masalah
beserta
kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan
abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multidimensi. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi
mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya
dengan
pemikiran
mereka
sendiri.
Mereka
juga
mampu
mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk
ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa
depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja
mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
c. Perkembangan moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya
mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya
sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Para remaja mulai
membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah
populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik,
kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima
hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada
mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan
keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak
alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan
pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang
selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para
remaja mulai melihat adanya kenyataan lain di luar dari yang selama
ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak
aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain.
Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan,
terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja
selama masa kanak-kanak. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral
(moral reasoning) pada remaja mulai berkembang karena mereka
mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang
13
mereka yakini dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu
merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan
kenyataan yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari
sikap pemberontakan remaja terhadap peraturan atau otoritas yang
selama ini diterima bulat-bulat. Konflik nilai dalam diri remaja ini
lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi
mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik
sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik
tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika
lingkungan disekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai
tersebut.
d. Perkembangan psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini
mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian
menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk
berubah mood sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam
untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para
remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan
sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang
mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu
merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri,
pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis
dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan
terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang
lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka
mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu
membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang
direfleksikan (self-image). Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan
remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan
dengan dunia nyata. Pada saat itu remaja akan mulai sadar bahwa
14
orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama
dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja
bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi
tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan
realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan
mereka dengan kenyataan.
e. Perkembangan sosial
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang
berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan
diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum
pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar
lingkungan keluarga dan sekolah.
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus
membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit
adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok
sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang
baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan serta nilai-nilai yang
baru dalam seleksi pemimpin.
B. Kepercayaan diri
1. Pengertian Percaya Diri
Rakhmat (2000) menyatakan bahwa kepercayaan diri atau
keyakinan diri diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri
yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya, serta bagaimana
individu tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada
konsep diri. Kepercayaan diri sebagai salah satu aspek kepribadian yang
terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya
lingkungan sosial.
Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang penting
pada seseorang. Tanpa adanya kepercayaan diri akan banyak menimbulkan
masalah pada diri seseorang. Kepercayaan diri merupaka atribut paling
15
berharga pada diri seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, karena
dengan kepercayaan diri seseorang mampu mengaktualisasikan segala
potensi. Kepercayaan diri merupakan sesuatu yang urgen untuk dimiliki
setiap individu. Kepercayaan diri diperlukan baik oleh seorang anak
maupun orang tua, secara individual maupun kelompok (Gufron dan
Risnawita, 2010).
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan
diri adalah bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh
dengan mengacu pada konsep diri yang terbentuk melalui interaksi
individu dengan lingkungannya, khususnya lingkungan sosial.
2. Faktor yang mempengaruhi Kepercayaan Diri
Gufron & Risnawita (2010) menyatakan bahwa kepercayaan diri
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
a. Konsep diri
Terbentuknya kepercayaan diri pada diri seseorang diawali
dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulannya
dalam suatu kelompok. Hasil interaksi yang terjadi akan menghasilkan
konsep diri.
b. Harga diri
Konsep diri yang positif akan membentuk harga diri yang
positif pula. Harga diri adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri
sendiri. Tingkat harga diri seseorang akan mempengaruhi tingkat
kepercayaan diri seseorang.
c. Pengalaman
Pengalaman dapat menjadi faktor munculnya rasa percaya diri.
Sebaliknya, pengalama juga dapat menjadi faktor menurunnya rasa
percaya diri seseorang. Pengalaman masa lalu adalah hal terpenting
untuk mengembangkan kepribadian sehat.
d. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorag akan berpengaruh terhadap
tingkat kepercayaan diri seseorang. Tingkat pendidikan yang rendah
16
akan menjadikan orang tersebut tergantung dan berada dibawah
kekuasaan orag lain yang lebih pandai darinya. Sebaliknya, orang yang
mempunyai pendidikan tinggi akan memiliki tingkat kepercayaan diri
yang lebih dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Menurut Rakhmat (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi
kepercayaan diri dalam hubungan interpersonal adalah:
a. Percaya (trust).
Percaya disini merupakan faktor yang paling penting sejauh mana
percaya kepada orang lain dipengaruhi oleh faktor personal dan
situasional. Dengan adanyapercaya dapat meningkatkan komunikasi
interpersonal karena membuka hubungan komunikasi, memperjelas
pengiriman dan penerimaan informasi.
b. Sikap suportif.
Sikap suportif adalah adalah sikap yang mengurangi sikap defensif
dalam komunikasi seseorang bersikap defensif apabila tidak menerima,
tidak jujur, tidak empatis. Dengan sikap defensif komunikasi
interpersonal akan gagal.
c. Sikap terbuka (open mindedness).
Dengan sikap percaya dan sikap suportif, sikap terbuka mendorong
timbulnyasaling pengertian, saling menghargai, dan yang paling
penting yaitu salingmengembangkan kualitas hubungan interpersonal.
Dapat dikatakan bahwa komunikasi orang tua dan anak bersifat dua
arah, disertaidengan pemahaman bersama terhadap suatu hal dan setiap
pihak berhak menyampaikan pendapat perasaan, pikiran, informasi
ataupun nasehat, sehingga menimbulkan pengertian, kesenangan,
pengaruh pada sikap, hubungan yang lebihbaik. Monks (2004)
mengatakan bahwa kualitas hubungan dengan orang tua memegang
peranan yang penting. Adanya komunikasi antara orangtua dan anak
pada masa remaja akan menimbulkan kedekatan. Hubungan antara ibu
dan anak lebih dekat dari pada antara ayah dan anak. Komunikasi
17
dengan ibu meliputi permasalahan sehari-hari, sedangkan komunikasi
dengan ayah meliputi persiapan remaja hidup dalam masyarakat.
3. Aspek Percaya Diri
Lauster (1992) dalam Risnawita (2010) menyatakan bahwa
kepercayaan diri yang sangat berlebihan bukanlah sifat yang positif. Pada
umumnya akan menjadikan orang tersebut kurang berhati-hati dan akan
berbuat seenaknya sendiri. Hal ini menjadi sebuah tingkah laku yang
menyebabkan konflik dengan orang lain. Orang yang mempunyai
kepercayaan diri tinggi akan mampu bergaul secara fleksibel, mempunyai
toleransi yang cukup baik, bersikap positif dan tidak mudah terpengaruh
orang lain dalam bertindak serta mampu menentukan langkah-langkah
pasti dalam kehidupannya. Individu yang memiliki kepercayaan diri tinggi
akan terlihat lebih tenang, tidak memiliki rasa takut dan mampu
memperlihatkan kepercayaan dirinya setiap saat.
Aspek-aspek kepercayaan diri menurut Lauster (1992) dalam
Gufron dan Risnawita (2010) adalah :
a. Keyakinan kemampuan diri
Keyakinan kemampuan diri adalah sikap positif seseorang tentang
dirinya.
Ia mampu secara sungguh-sungguh akan apa
yang
dilakukannya.
b. Optimisme
Optimisme adalah sikap positif yang dimiliki seseorang yang selalu
berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri dan
kemampuannya.
c. Objektif
Orang yang memandang persoalan atau sesuatu sesuai dengan
kebenaran yang semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau
menurut dirinya sendiri.
d. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab adalah kesediaan seseorang untuk menanggung
segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.
18
e. Rasional dan realistis
Rasional dan realistis adalah analisis terhadap suatu masalah, sesuatu
hal, dan suatu kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat
diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan.
Guilford (1959 dalam Monks, 2004) mengemukakan bahwa
kepercayaan diri dapat dinilai melalui tiga aspek yaitu :
a. Bila seseorang merasa adekuat terhadap apa yang ia lakukan,
b. Bila seseorang merasa dapat diterima oleh kelompoknya (merasa
bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya), dan
c. Bila seseorang percaya sekali pada dirinya sendiri serta memiliki
ketenangan sikap, yaitu tidakgugup bila ia melakukan atau mengatakan
sesuatu secara tidak sengaja dan ternyata hal itu salah.
C. Komunikasi Interpersonal
1. Pengertian Komunikasi interpersonal
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris
berasal dari bahasa Latin communis yang berarti “sama”, communico,
communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make
common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling sering
sebagai asal usul komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin
lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu
makna, atau suatu pesan dianut secara sama (Mulyana, 2005).
Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa komunikasi
merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara
berurutan serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu.
Sebagai suatu poses komunikasi tidak statis melainkan dinamis dalam arti
akan selalu mengalami perubahan dan berlangsung terus menerus.
Komunikasi ini juga dilakukan secara sadar, disengaja serta sesuai dengan
tujuan atau keinginan dari pelakunya (Riswandi, 2009).
Komunikasi dapat pula diartikan sebagai hubungan kontak antara
manusia baik individu atau kelompok. Komunikasi adalah proses
19
penyampaikan gagasan harapan dan pesan melalui lambang tertentu,
mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada
penerima pesan (Rakhmat, 2009).
Soyomukti (2010) menjelaskan bahwa secara umum komunikasi
dapat didefinisikan sebagai usaha penyampaian pesan antar manusia.
Komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar dan
vital dalam kehidupan manusia. Dikatakan mendasar karena setiap
masyarakat manusia, baik yang primitif maupun yang modern,
berkeinginan mempertahankan suatu persetujuan mengenai berbagai
aturan sosial melalui komunikasi. Dikatakan vital karena setiap individu
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan individu – individu
lainnya sehingga meningkatkan kesempatan individu itu untuk tetap hidup.
Menurut Gunarsa (2004), bahwa komunikasi interpersonal dapat
diukur dari apa-apa dan siapa yang saling dibicarakan, pikiran, perasaan,
objek tertentu, orang lain atau dirinya sendiri. Ditambahkannya lagi,
bahwa komunikasi interpersonal yang mendalam ditandai oleh kejujuran,
keterbukaan, dan saling percaya, sehingga menimbulkan respon dalam
bentuk perilaku atau tindakan.
Djamarah (2004) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal
merupakan tingkat kedalaman penyampaian pesan dari individu sebagai
anggota kepada yang lainnya.
2. Proses Komunikasi
Kategori-kategori proses komunikasi ditinjau dari dua perspektif :
a. Proses Komunikasi dalam perspektif Psikologis
Proses
komunikasi
perspektif
ini
terjadi
pada
diri
komunikator dan komunikan. Ketika seorang komunikator berminat
akan menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, maka dalam
dirinya terjadi suatu proses. Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek
yakni isi pesan dan lambang. Isi pesan umumnya adalah pikiran,
sedangkan lambang adalah bahasa. Walter Hagemann menyebut isi
pesan itu “picture in our head”, sedangkan Walter Hagemann
20
menamakannya “das Bewustseininhalte”. Proses “mengemas” atau
“membungkus” pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator
itu dalam bahasa komunikasi dinamakan encoding. Hasil encoding
berupa pesan itu yang kemudian ia transmisikan atau operkan atau
kirimkan kepada komunikan. Kemudian proses dalam diri komunikan
disebut decoding seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan
yang ia terima dari komunikator tadi. Isi bungkusan tadi adalah
pikiran komunikator. Apabila komunikan mengerti isi pesan atau
pikiran komunikator, maka komunikasi terjadi. Sebaliknya bilamana
komunikan tidak mengerti, maka komunikasi pun tidak terjadi
(Effendy, 2003).
Proses ini berlangsung ketika komunikator mengoperkan atau
“melemparkan” dengan bibir kalau lisan atau tangan jika pesan
lukisannya sampai ditangkap oleh komunikan. Penangkapan pesan
dari komunikator kepada komunikan itu dapat dilakukan dengan
indera telinga atau mata, atau indera-indera lainnya.
b. Proses Komunikasi dalam perspektif Mekanistis
Proses komunikasi dalam perspektif ini kompleks atau rumit,
sebab bersifat situasional, bergantung pada situasi ketika komunikasi
itu berlangsung. Ada kalanya komunikannya seorang, maka
komunikasi dalam situasi ini dinamakan komunikasi interpersonal
atau komunikasi antar pribadi, kadang-kadang komunikannya
sekelompok orang : komunikasi dalam situasi ini disebut komunikasi
kelompok ; acapkalai pula komunikannya tersebar dalam jumlahnya
yang relatif amat banyak sehingga untuk menjangkaunya diperlukan
suatu media atau sarana, maka komunikasi dalam situasi seperti ini
dinamakan komunikasi massa (Effendy, 2003).
Untuk lebih jelasnya proses komunikasi dalam perspektif
mekanistis dapat diklasifikasikan menjadi dua :
21
1) Proses komunikasi secara primer
Proses
komunikasi
secara
primer
adalah
proses
penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan
dengan mempergunakan suatu lambang (simbol) sebagai media
atau saluran. Lambang ini umumnya bahasa, tetapi dalam situasisituasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang dipergunakan
dapat berupa kial (gesture), yakni gerakan anggota tubuh, gambar,
warna dan lain sebagainya. Lambang sebagai media primer dalam
proses komunikasi ini mampu “menerjemahkan” pikiran ataupun
perasaan komunikator kepada komunikan.
2) Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan, dengan
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah
memakai
lambang
sebagai
media
pertama.
Komunikator
menggunakan media kedua ini karena komunikan yang dijanjikan
sasaran komunikasinya jauh tempatnya atau banyak jumlah
kedua-duanya, jauh dan banyak. Kalau komunikan jauh,
dipergunakan surat maupun telepon; jika banyak dipakailah
perangkat pengeras suara; apabila jauh dan banyak; dipergunakan
surat kabar, radio atau televisi.
Komunikasi sekunder ini semakin lama semakin efektif
dan efisien karena didukung oleh teknologi komunikasi yang
semakin canggih, yang ditopang pula oleh teknologi-teknologi
lainnya yang bukan teknologi komunikasi. Istilah linear
mengandung makna lurus. Jadi poses linear berarti perjalanan dari
satu titik ke titik lain secara lurus.
3) Proses komunikasi secara linear
Dalam konteks komunikasi, proses linear adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai
titik terminal. Komunikasi linear ini berlangsung baik dalam
22
situasi komunikasi tatap muka (face to face communication)
maupun
dalam
situasi
komunikasi
bermedia
(mediated
communication). Proses komunikasi secara linear umumnya
berlangsung pada komunikasi bermedia, kecuali komunikasi
melalui telepon. Komunikasi melalui telepon hamper tidak pernah
berlangsung secara linear, melainkan dialogisnya, tanya jawab
dalam bentuk percakapan.
3. Faktor Komunikasi interpersonal
Menurut
Djamarah
(2004),
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi intensitas komunikasi dalam keluarga, yaitu :
a. Citra diri dan citra orang lain
Manusia belajar menciptakan citra diri melalui hubungan
dengan orang lain dilingkungan. Melalui komunikasi dengan orang
lain seseorang akan mengetahui apakah dirinya dibenci, dicinta,
dihormati, diremehkan, dihargai atau direndahkan.
b. Suasana Psikologis
Penting untuk dipahami, sehingga pihak-pihak yang terlibat
dalam komunikasi dalam keluarga memiliki kepekaan terhadap
lingkungan sosial. Lingkungan sosial dapat berupa lingkungan
masyarakat, lingkungan kerja, dan lingkungan keluarga.
c. Lingkungan Fisik
Perbedaan tempat akan mempengaruhi pola komunikasi yang
dilakukan cara untuk menyampaikan pesan, isi, informasi disesuaikan
dengan tempat dimana komunikasi itu dilakukan karena setiap tempat
mempunyai aturan, norma atau nilai-nilai sendiri
d. Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam keluarga yaitu orang tua akan menjadi
tauladan dan akan dicontoh oleh anak termasuk dalam tata cara
berkomunikasi sehari-hari.
23
e. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari juga
harus
memperhatikan
kapan
dan
dimana
bahasa
tersebut
dipergunakan, dalam artian ada saatnya menggunakan bahasa
keseharian dan ada saatnya menggunakan bahasa resmi.
f. Perbedaan Usia
Perbedaan
usia,
terutama di
masyarakat
timur sangat
menghargai orang yang lebih tua dengan salah satunya caranya
adalah pemakaian bahasa yang lebih santun.
4. Aspek Komunikasi Interpersonal
Devito (2004) komunikasi interpersonal dapat diukur melalui
beberapa aspek sebagai berikut :
a. Keterbukaan (openness)
Kualitas keterbukaan setidaknya mengacu pada 3 hal dari komunikasi.
Pertama, komunikator antarpribadi yang efektif harus terbuka kepada
orang yang diajaknya berinteraksi, dalam artian adanya kesediaan
untuk melakukan self-disclosure, yaitu mengungkapkan informasi
tentang diri sendiri yang biasanya cenderung untuk disembunyikan.
Tentunya ketersediaan untuk membuka diri ini didalam komunikasi
yang efektif berlangsung secara timbal balik antara kedua belah pihak
yang berinteraksi. Kedua, kesediaan komunikator untuk bereaksi
secara jujur terhadap stimulus yang datang. Kita memperlihatkan
keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.
Ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pemikiran. Terbuka
disini artinya bahwa komunikator mengakui perasaan dan pemikiran
yang dilontarkannya dan bertanggung jawab atasnya. Cara terbaik
untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang
menggunakan kata saya, misalnya “inilah yang aku rasakan”, “inilah
yang aku pikirkan”. Bukannya mengatakan “diskusi ini sia-sia.” Tetapi
dengan mengatakan “saya bosan dengan diskusi ini”, atau pernyataan
24
lain yang menunjukkan adanya reaksi pribadi dan tidak berusaha
menguraikan realitas obyektif.
b. Empati.
Henry Backrack (dalam Devito, 2004) mendefinisikan empati sebagai
“kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang dialami orang lain
pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui
kacamata orang lain. Singkatnya berempati berarti merasakan sesuatu
seperti orang yang mengalaminya. Orang yang empatik mampu
memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap
mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa yang akan
datang. Hal ini akan membantu kita berkomunikasi dalam suatu cara
yang dapat mengurangi upaya lawan bicara utuk menjaga jarak dan
membantunya agar lebih siap mendengar apa yang akan dibicarakan.
Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non
verbal.
c. Sikap Mendukung (supportiveness)
Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan berlaku (1) deskriptif,
bukan evaluatif dan (2) provisional, bukan sangat yakin. Suasana yang
bersifat deskriptif dan bukan evaluatif membantu terciptanya sikap
mendukung. Bila kita mempersepsikan suatu komunikasi sebagai
permintaan akan informasi atau uraian mengenai suatu kejadian
tertentu, umumnya tidak dirasakan sebagai ancaman. Di pihak lain,
komunikasi yang bernada menilai seringkali membuat kita bersikap
defensif. Sikap provisional adalah bersikap tentatif dan berpikiran
terbuka serta bersedia mendengar pandangan yang berlawanan dan
bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan. Bila kita
bersikap yakin tidak tergoyahkan dan berpikiran tertutup, kita
mendorong perilaku defensif pada diri pendengar. Bila kita bersikap
provisional dengan berpikiran terbuka, dengan kesadaran penuh bahwa
kita mungkin saja keliru, dan dengan kesediaan untuk mengubah sikap
dan pendapat maka orang lain akan lebih terbuka kepada kita karena
25
merasa
setara
dan
hal
ini
mendorong
sikap
mendukung
(supportiveness).
d. Kesetaraan (equality)
Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain atau bedasarkan
pengertian dari Carl Rogers, meminta kita untuk memberikan orang
lain “penghargaan positif tak bersyarat”. Dalam setiap situasi,
kemungkinan terdapat ketidaksetaraan. Terlepas dari ketidaksetaraan
ini, komunikasi akan efektif bila suasananya setara.
Menurut Rakhmat, (2009) aspek-aspek yang menumbuhkan
hubungan komunikasi yang intensif adalah:
a. Percaya (trust). Percaya disini merupakan faktor yang paling penting
sejauh mana percaya kepada orang lain dipengaruhi oleh faktor
personal dan situasional. Dengan adanya percaya dapat meningkatkan
komunikasi interpersonal karena membuka hubungan komunikasi,
memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi.
b. Sikap suportif. Sikap suportif adalah adalah sikap yang mengurangi
sikap defensif dalam komunikasi seseorang bersikap defensif apabila
tidak menerima, tidak jujur, tidak empatis. Dengan sikap defensif
komunikasi interpersonal akan gagal.
c. Sikap terbuka (open mindedness). Dengan sikap percaya dan sikap
suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling
menghargai, dan yang paling penting yaitu saling mengembangkan
kualitas hubungan interpersonal. Dapat dikatakan bahwa komunikasi
orang tua dan anak bersifat dua arah, disertai dengan pemahaman
bersama terhadap suatu hal dan setiap pihak berhak menyampaikan
pendapat perasaan, pikiran, informasi ataupun nasehat, sehingga
menimbulkan pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan
yang lebih baik. Monks, dkk (2004) mengatakan bahwa kualitas
hubungan dengan orang tua memegang peranan yang penting. Adanya
komunikasi antara orangtua dan anak pada masa remaja akan
menimbulkan kedekatan. Hubungan antara ibu dan anak lebih dekat
26
dari pada antara ayah dan anak. Komunikasi dengan ibu meliputi
permasalahan sehari-hari, sedangkan komunikasi dengan ayah meliputi
persiapan remaja hidup dalam masyarakat.
D. Kerangka Teori
Kepercayaan
diri
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Citra diri dan citra orang
lain
Suasana Psikologis
Konsep diri
Harga diri
Pengalaman
Keperayaan
Sikap suportif
Sikap terbuka
Komunikasi
Interpersonal
Lingkungan Fisik
Kepemimpinan
Bahasa
Perbedaan Usia
Skema 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Rahmat (2009), Djamarah (2004)
E. Kerangka Konsep
Variabel bebas
Variabel terikat
Kepercayaan
diri
Komunikasi
Interpersonal
Skema 2.2 Kerangka Konsep
27
F. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri
2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah komunikasi interpersonal
G. Hipotesis
Ada
hubungan
antara
kepercayaan
diri
dengan
interpersonal pada remaja putri di SMP Negeri 1 Sayung Demak.
komunikasi
Download