BAB I PENDAHULUAN ANALISIS INTERVENSI NATO TERHADAP LIBYA : PERSPEKTIF POSKOLONIAL ‟‟To take the part in the African revolution it is not enough to write a revolutionary song: you must fashion the revolution with the people. And if you fashion it with the people, the songs will come by themselves, and of themselves. In order to achieve real action, you must be an element of that popular energy which entirely called forth the freeing, the progress and the happiness of Africa. There is no place outside that fight for the artist or for the intellectual who is not himself concerned with and completely at one with the people in the great battle of Africa and of suffering humanity, (Fanon, The Wretched of the Earth, p.166).” 1.1. Latar Belakang Awal mula pemicu kerusuhan di Libya disebabkan oleh protes yang terjadi pada tanggal 15 Februari 2011 di kota Benghazi untuk menuntut Qaddafi mundur dari kekuasaannya. Protes-protes tersebut segera berkembang dengan cepat menjadi konflik berdarah karena ditanggapi oleh pihak pemerintah Qaddafi dengan kekerasan. Ketika konflik telah meningkat di seluruh Libya, NTC (National Transitional Council) mengumumkan sebagai satu-satunya wakil organisasi Libya yang mewakili para pemberontak Libya untuk melawan kekuasaan rezim Qaddafi. Kemudian hal tersebut mendapat banyak dukungan dari warga Libya (Salessi, 2011). Sejalan dengan kerusuhan tersebut, situasi di Libya telah berkembang menjadi perang saudara sehingga mengakibatkan ratusan bahkan ribuan nyawa penduduk sipil meninggal (Nurhayati, 2011). 1 Peristiwa konflik Libya tersebut di atas mendapat tanggapan internasional dan reaksi keras dari DK PBB (Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa) sampai pada akhirnya DK PBB mengeluarkan Resolusi 1970 dan Resolusi 1973 untuk menjatuhkan sanksinya terhadap rezim Qaddafi. Keterlibatan Amerika dan sekutunya yang tergabung dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization) memegang peranan sangat penting dalam hal ini karena berlanjut dengan adanya invasi NATO terhadap Libya yang menggunakan kekuatan militer dalam mengintervensi Libya. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan Presiden Amerika, Barack Obama dan Sekretaris Jenderal NATO, Anders Fogh Rasmussen dalam keterlibatannya atas konflik Libya tersebut sebagai berikut : „‟Dalam waktu satu bulan, Amerika telah bekerja sama dengan rekan internasional untuk memobilisasi koalisi, serta menjalankan mandat untuk melindungi warga sipil. Kami berhasil mencegah pembantaian dan menghentikan militer Libya yang kekuatannya terus bertambah besar serta menerapkan zona larangan terbang terhadap Libya bersama dengan para sekutu. Saya tidak memiliki pilihan lain selain mengambil tindakan atas pasukan Qaddafi di saat mereka membombardir Benghazi. Kota tersebut bisa saja dihadapkan pada pembantaian yang meluas ke wilayah lain dan telah menodai hati nurani (Obama, 2011).” „‟When the United Nations took the historic decision to protect you, NATO answered the call. We launched our operation faster than ever before. More than 8,000 servicemen and women took part in our mission for Libya. We were effective, flexible and precise,” Rasmussen said (NATO, 2011).‟‟ Fenomena invasi NATO dengan menggunakan kekuatan militer dalam intervensinya terhadap Libya tersebut kemudian menjadi hal kontroversial dalam percaturan politik internasional sehingga menyebabkan penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Penulis akan menganalisis intervensi NATO tersebut dengan menggunakan perspektif poskolonial yang akan berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. Pengggunaan kekuatan militer oleh NATO ( Barat ) dalam intervensinya terhadap Libya telah menunjukkan 2 adanya sindrom kekuasaan kompleks (authority complex) dalam naungan otoritas dan legitimasi DK PBB yang didaulatkan kebenarannya untuk mencapai tujuan Barat. Sindrom ini mempunyai kutub lain pada para pemberontak Libya yaitu muncul sindrom ketergantungan dalam diri mereka pada bantuan Barat dikarenakan kedatangan mereka memang sengaja diundang untuk melakukan perubahan rezim Libya sehingga terjadi hubungan kekuasaan yang timpang. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dari pemikiran tersebut di atas dalam penelitian tesis Analisis Intervensi NATO terhadap Libya : Perspektif Poskolonial maka penulis mengajukan pertanyaan yang mendasar: Mengapa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan otoritas dan legitimasi kepada NATO untuk mengintervensi Libya? 1.3. Respon Pengamat Hubungan Internasional atas Revolusi Libya dan Intervensi NATO terhadap Libya Dalam studi literatur ini, Penulis akan membahas beberapa respon dari beberapa tulisan para ahli mengenai revolusi dalam konflik Libya dan intervensi NATO terhadap Libya. Beberapa pendapat para ahli sangat mengecam atas ikut campurnya NATO dalam mengintervensi Libya dengan menggunakan kekuatan militer, tetapi sebaliknya ada beberapa pendapat menyatakan dukungannya terhadap NATO atas intervensinya terhadap Libya walaupun dengan jalan menggunakan kekuatan militer. 3 1.3.1. Revolusi Libya diprovokasi oleh Elit Transnasional Konflik yang terjadi di Libya (Fotopoulos, 2011, p.1) dipicu oleh campur tangan para elit transnasional. Para elit Transnasional dan sekutunya telah berpihak pada kaum pemberontak Libya dengan membiayai secara sukarela baik berupa senjata maupun perlengkapan militer lainnya untuk melawan rezim Qaddafi. Di samping itu, untuk membantu memperburuk ataupun menghancurkan citra rezim kekuasaan Qaddafi dalam pandangan internasional, elit transnasional telah melakukan propaganda dengan mengendalikan media massa dunia. Menurut Fotopoulos, pengaruh besar elit Transnasional dan sekutunya dalam revolusi Libya, telah berhasil menghasut warga sipil Libya sehingga menyebabkan perang saudara di Libya serta untuk menyelamatkan mereka dari kekejaman tirani rezim Qaddafi (Fotopoulos, 2011). Menurutnya, terkait dengan hal tersebut di atas, Elit Transnasional dalam melakukan serangannya terhadap rezim Qaddafi di Libya (Fotopoulos, 2011, p.3) telah melakukan beberapa tahapan sebagai berikut : Tahap pertama, adalah dengan cara menghasut warga sipil Libya sehingga mengakibatkan perang saudara di antara mereka sendiri. Tahap kedua, setelah berhasil menghasut warga Libya, terjadilah pemberontakan massa dibantu oleh propaganda media massa yang telah diatur oleh elit transnasional seperti contohnya Al Jazeera dan BBC supaya orang-orang di seluruh dunia percaya bahwa apa yang mereka saksikan di Libya dibikin seperti rakyat sedang melawan kekejaman diktator Qaddafi. Tahap 4 ketiga yaitu adanya persetujuan dari DK PBB didukung oleh persetujuan dari Liga Arab juga sehingga diberlakukannya zona larangan terbang terhadap Libya. Hasilnya sebagai tahap terakhir adalah pengumuman peluncuran perang oleh inisiatif murni dari NATO yang diawali oleh negara-negara NATO dan beberapa klien rezim Arab dalam melakukan invasinya terhadap Libya (Fotopoulus, 2011). 1.3.2. Intervensi Globalisasi Ekonomi dan Politik NATO terhadap Libya Lanjutan tulisan Fotopoulos yang kedua, mencoba menjelaskan bahwa intervensi NATO terhadap Libya (Fotopoulos, 2011, pp.1-3) mempunyai tujuan untuk meminimalisasikan peran negara atau pemerintah Libya dalam perekonomian global. Hal ini sangat berhubungan dengan ideologi globalisasi transnasional yang melegitimasi globalisasi ekonomi dan politik. Tujuan ideologi mereka adalah untuk membenarkan dan di satu sisi adalah untuk meminimalisasi peran negara dalam perekonomian di era globalisasi ekonomi sekarang ini. Menurut Fotopoulos, Elit Transnasional dalam meligitimasi ideologi globalisasi menjadi dua dogma yang mendasar yaitu : dogma kedaulatan ekonomi terbatas yang mengesahkan penghancuran semua dinas sosial dan dogma kedaulatan nasional terbatas dengan melegitimasi penghancuran setiap negara yang berani membangkang yaitu negara non-klien elit transnasional (Fotopoulos, 2011). Dalam keterkaitan dogma-dogma tersebut di atas, dogma yang terakhir khususnya (Fotopoulos, 2011, pp.1-3) mengandung nilai-nilai universal tertentu dengan mengambil prioritas di atas kedaulatan nasional. Menurutnya, elit 5 transnasional yang dipimpin oleh elit Amerika Serikat tersebut harus menggunakan „cara apapun yang diperlukan‟ mengutip terminologi PBB dari pertimbangan kedaulatan nasional. Hal ini dilakukan oleh elit transnasional sebagai doktrin kedaulatan terbatas yang digunakan untuk membenarkan intervensi militer jika berani membangkang rezim dan yang berani menolak organisasi politik dan gerakannya. Dengan kata lain elit transnasional akan menganggap mereka yang berani membangkang sama seperti teroris. Fotopoulos mengatakan bahwa negara-negara yang berpartisipasi dalam penyusunan piagam PBB yang menyetujui prinsip kedaulatan terbatas dengan menukarkan janji Dewan Keamanan untuk memberikan keamanan kolektif agar bisa mengatur Libya (Fotopoulos, 2011). Terkait dalam hal tersebut, Joshi dalam (Fotopoulos 2011, p.2) juga mengatakan bahwa Barat mempunyai strategi yang tepat sekali karena telah ikut memainkan peran yang penting sekali untuk menentang Qaddafi dengan mendukung terciptanya realisasi intervensi NATO terhadap Libya melalui resolusi Dewan Keamanan PBB. Mereka tidak hanya meminta intervensi terhadap Libya tetapi juga melibatkan kaum pemberontak Libya yang tidak berpihak Qaddafi dalam kenyataannya juga sedang digunakan sebagai tentara NATO (Fotopoulos, 2011). Kesimpulannya dalam tulisan Fotopoulus yang pertama dan kedua ini, mencoba menitik beratkan bahwa revolusi Libya terjadi akibat provokasi dari Elit Transnasional. Selain itu, strategi Elit Transnasional dalam mempraktekan ideologi pemerataan globalisasi ekonomi maupun politik secara liberal terhadap 6 Libya bertujuan untuk penghancuran perekonomian dan kedaulatan Libya dalam kekuasaan Qaddafi. Hal ini akan diberlakukan bagi siapapun yang berani menentang kebijakan Transnasional dan sekutunya. Fotopoulos hanya memfokuskan tulisannya pada ideologi strategi elit transnasional dan provokasi elit transnasional dalam revolusi Libya sehingga menimbulkan perang sipil Libya. Oleh karena itu penting bagi Penulis untuk menambahkan dan melihat lebih luas lagi reaksi dari sisi keterlibatan para pemberontak Libya dengan para elit transnasional dalam keberhasilannya mereka menggulingkan kekuasaan Qaddafi. Hal ini dimaksudkan supaya Penulis bisa melihat lebih dekat lagi persoalan yang terjadi untuk membedah fenomena terjadinya intervensi NATO terhadap Libya dalam penelitian tesis ini. 1.3.3. Perang Strategis Model NATO terhadap Libya Menurut tulisan Petras, NATO dengan memenangkan dukungan diplomatik Resolusi PBB sebagai jalan untuk mengamankan invasinya ke Libya. Menurutnya, seluruh perang terhadap Libya adalah perang strategis model NATO. Mengapa demikian? karena menurut Petras, dominasi Eropa-Amerika Serikat akan menjadi terancam disebabkan oleh pemberontakan yang sekarang telah meluas dari Afrika Utara hingga ke teluk Persia. NATO bergerak sangat cepat sekali dalam invasinya ke Libya karena mereka ingin segera menghancurkan rezim Qaddafi. Akhirnya yang terjadi sekarang adalah Tripoli telah berubah menjadi sebuah pusat kolonial yang diperkuat oleh komando militer Amerika 7 Serikat dan NATO di Afrika sebagai pendorong kekuatan baru untuk memperkuat hubungan militer mereka dengan kekaisaran imperialisme Barat. Invasi NATO terhadap Libya telah menjadi peringatan dan pelajaran sebagai contoh bagi rezimrezim lainnya seperti Afrika Utara, Asia dan Amerika Latin yang berani menentang kekuasaan Amerika-Eropa (Petras, 2011). Tulisan Petras ini hanya memfokuskan Libya telah menjadi salah satu contoh korban ekspansi Barat karena berani membangkang terhadap aturan mereka dan dianggap akan mengganggu kelanggengan kekaisaran imperialisme Barat. Karya tulisan Petras ini belum berani menyentuh akan keterlibatan orangorang dalam Libya (NTC) atas keterlibatan mereka dalam invasi NATO terhadap negara mereka itu sendiri. 1.3.4. Trik Elit Transnasional dalam Konflik Libya Penyebab konflik Libya adalah akibat dari trik politik elit transnasional dan para elit ekonomi transnasional telah didukung PBB serta diimplementasikan oleh Amerika Serikat dan militer NATO. Bahkan, Doktrin Obama hanya mengakui secara resmi keberadaan elit transnasional, bukan hanya kekuasaan Amerika sebagai Reformis Kiri yang masih berbicara tentang perang untuk melindungi rakyat Libya, tetapi kenyataannya bertujuan untuk melindungi kepentingan dan nilai-nilai kapitalis neoliberal dan globalisasi (Sargis, 2011, p.1). 8 Kemudian menurutnya, Amerika dalam perang Libya mempunyai tujuan untuk menjaga kepentingan-kepentingan yang belum dimanfaatkan dalam mengeksploitasi pertumbuhan di seluruh wilayah Libya secara paksa ke dalam ekonomi pasar global dan tatanan dunia baru yang dikelola oleh elit transnasional. Selain itu, Barack Obama menganggap perannya terhadap Afrika Utara dan Timur telah mengantar mereka ke dalam pasar ekonomi atas nama perwakilan demokrasi. Padahal apa yang telah dilakukan Elit Transnasional dalam politik ekonominya sama sekali bukan demokrasi yang benar-benar demokratis. Menurut Sargis, seharusnya demokrasi yang harus diterapkan adalah demokrasi yang inklusif oleh lembaga-lembaga internasional (Sargis, 2011, p.1). 1.3.5. Kemenangan Invasi NATO atas Libya Pendapat-pendapat tersebut di atas bertolak belakang dengan pendapat yang mengatakan bahwa intervensi NATO atas Libya merupakan sebuah intervensi kemenangan aliansi NATO dalam menjalankan misi mereka untuk melindungi warga sipil Libya yang tidak bersalah dengan menggulingkan kekuasaan rezim Qaddafi. Ivo dan Stavridis menegaskan bahwa NATO sangat tanggap dan merepon cepat sekali terhadap situasi yang memburuk di Libya karena telah mengancam ratusan ribu warga sipil yang memberontak dalam melawan rezim Qaddafi sebagai penindas rakyatnya sendiri (Ivo dan Stavridis, 2012, p.1). 9 Dalam menjalankan misinya tersebut, NATO mendapat dukungan kuat dari Dewan Keamanan PBB sebagai akibatnya Libya dikenai sanksi dengan diberlakukannya embargo senjata, zona larangan terbang, pembekuan aset serta tuntutan atas Qaddafi ke pengadilan kriminal internasional di Den Haag karena dianggap telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan pada akhir Februari 2011. Selain itu, Washington juga yang menanggung biaya atas resolusi PBB untuk intervensi dan menyerukan agar masyarakat internasional untuk ikut campur tangan karena pemerintah Libya telah gagal dalam menjaga warga sipil mereka sendiri (Ivo dan Stavridis, 2012, p.1). Kemudian, akhirnya pada tanggal 17 Maret 2011 akhirnya DK PBB telah mengabulkan permintaan mandat „‟untuk mengambil semua langkah-langkah yang diperlukan‟‟ dengan menggandeng sekutu mitra militernya (NATO) untuk mengambil alih komando pengendalian operasi terhadap Libya dalam rangka untuk memastikan integrasi yang efektif. Mendapat dukungan tersebut, NATO didukung oleh aliansi dan mitra-mitranya segera membentuk operasi gabungan atau yang dikenal dengan nama Operation Unified Protector dalam invasinya terhadap Libya. Dengan demikian menurut mereka adanya intervensi di Libya menunjukkan bahwa NATO dengan politik kohesifnya mampu mengatasi persoalan yang semakin kompleks dan global dalam tantangan keamanan dunia. Sebagai buktinya bisa dilihat NATO telah mencapai kesuksesan yang gemilang dalam intervensinya ke Libya (Ivo dan Stavridis, 2012, pp.1-2). 10 1.3.6. Penerapan Prinsip Responsibility to Protect terhadap Libya Nurhayati menjelaskan bahwa aksi para demostran Libya yang berunjuk rasa dalam bulan Februari dengan tujuan menuntut demokrasi dan pengunduran diri Qaddafi dari rezim kekuasaannya menyebabkan terjadinya perang sipil Libya. Hal itu disebabkan karena Qaddafi dalam menanggapi para demonstran disertai dengan tindakan kekerasan. Qaddafi memerintahkan pasukannya untuk menyerang, menembaki mereka dengan mengerahkan tank-tank militer untuk menyapu bersih mereka karena berani menentangnya. Masyarakat internasional sangat mengecam dan mengkritik tindakan kekerasan yang telah dilakukan oleh Qaddafi karena tega membantai rakyatnya sendiri padahal seharusnya pemerintahan Libya wajib bertanggung jawab dan melindungi hak asasi warganya tersebut. Nurhayati mengatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan prinsip resposnsibility to protect yang telah menjadi satu norma internasional bagi masyarakat internasional. Menurut (Nurhayati, 2011) responsibility to protect adalah: “Hak asasi manusia bersifat universal, dimana perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia tidak bisa dihambat oleh sekat-sekat batas negara. Negara beserta aparat negara mempunyai kewajiban untuk melindungi (responsibility to protect) dan menegakkan hak asasi warganya. Akan tetapi, jika ada negara yang tidak mau ataupun tidak mampu menjalankan kewajiban tersebut, maka masyarakat internasional kemudian akan turun tangan untuk „memeberitahu‟ rezim berkuasa tentang kewajiban mereka untuk melindungi warganya ( Nurhayati, 2011).” Menurutnya, pandangan internasional Qaddafi tidak mempunyai kemauan politik untuk menerapkan prinsip responsibility to protect untuk melindungi warganya. Rezim Qaddafi dianggap telah melakukan tindakan kejahatan dalam 11 Hak Asasi Manusia, maka akhirnya DK PBB turun tangan untuk menjatuhkan sanksinya dengan dikeluarkannya Resolusi 1970 dan dilanjutkan dengan Resolusi 1973 sebagai perwujudan penerapan prinsip responsibility to protect dan NATO telah didaulat sebagai pelaksana dalam mengintervensi Libya tersebut (Nurhayati, 2011). Namun, konsep responsibility to protect sampai sekarang masih dalam perdebatan secara hukum internasional, terutama jika diterapkan dalam dunia modern yang ada sekarang ini. Munculnya konsep dari responsibilty to protect masih merupakan sebagai tantangan konsep dipandang secara teoritis dari kekuasaan negara. Konsep tersebut, sepertinya hanya sebagai sebuah pemberian makna konsep saja dalam arti sebagai perlindungan tanggung jawab, tetapi masih banyak terdapat pertanyaan-pertanyaannya yang diajukan dan belum terjawab dalam disiplin ilmu hukum. Dalam penerapan komitmen secara formal, hal tersebut masih sebagai tantangan bagi penerapan kesetaraan kedaulatan dalam penetuan nasib sendiri dan non intervensi yang biasa diapakai sebagai prinsipprinsip dasar hukum yang ada dalam piagam PBB ( Orford, 2011, p.41). Penulis melihat dari tulisan-tulisan tersebut di atas dalam permasalahan konflik yang terjadi di Libya disebabkan oleh faktor dari dalam maupun dari luar yang ikut campur tangan dalam permasalahan tersebut. Negara-negara yang terlibat di dalamnya, mempunyai kepentingan-kepentingan baik secara ekonomi maupun politik dan ikut andilnya mereka dalam konflik sebagai pencarian solusi konflik Libya. DK PBB juga tidak segan-segan untuk menjatuhkan sanksinya 12 terhadap rezim Qaddafi dan mendukung intervensi NATO terhadap Libya dengan penerapan responsibility to protect demi alasan kemanusiaan. Melihat pemaparan tulisan-tulisan tersebut diatas dalam keterkaitannya, Penulis masih melihat adanya kekurangan dan hal penting yang masih belum disinggung dalam tulisan-tulisan tersebut diatas. Oleh karena itu dalam penelitian tesis ini, Penulis akan menambahkan masukan ide tentang kekuasaan Barat yang mempunyai sindrom kekuasaan kompleks. Kemudian Penulis akan mengembangkannya pada bagian analisis bahwa dalam kasus Libya ini bagaimana kekuasaan Barat yang dominan telah menyebabkan sindrom ketergantungan bagi para pemberontak Libya karena kedatangan Barat tersebut memang justru sengaja diundang oleh mereka untuk membantu melakukan perubahan kekuasaan rezim Libya. Menurut penulis, keputusan DK PBB tersebut juga sangat luar biasa sekali karena dipengaruhi oleh kekuasaan Barat yang dominan sehingga telah berhasil melenggangkan langkah NATO dalam mengintervensi Libya dengan penggunaan kekuatan militer. Bagi penulis keputusan dan mandat DKK PBB tersebut terlalu tergesa-gesa diambil karena mendapat pengaruh kekuasaan dan desakan dari negara-negara kuat Barat. Pengaruh kekuasaan ini sangat luar biasa kuat sekali karena mampu mengendalikan lembaga tertinggi yang ada di dunia sampai saat ini. Dominasi pengaruh kekuasaan Barat tersebut dalam pengendalian pengambilan keputusan sanksi atas Libya juga akan dianalisis Penulis dengan menggunakan perspektif poskolonial agar bisa membedah fenomena kontroversial intervensi NATO terhadap Libya dalam penelitian tesis ini. 13 1.4. Perspektif Poskolonial dalam Intervensi NATO terhadap Libya Penulis dalam mengungkap fenomena intervensi NATO terhadap Libya akan menggunakan perspektif poskolonial dalam analisisnya untuk menjawab pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah : Mengapa DK PBB memberikan otoritas dan legitimasi kepada NATO untuk mengintervensi Libya? Bagian awal dalam kerangka konseptual ini, Penulis mencoba memaparkan terlebih dahulu tentang pemahaman dari intervensi kemanusiaan, definisi dari sindrom dan authority menurut kamus yang diakui dan layak dipakai secara akademis dan kutipan tentang „Amerika‟ yang merupakan bagian dari Barat. Semuanya itu akan dijelaskan secara garis besarnya dengan tujuan untuk mengaitkan dan menguatkan argumen Penulis tentang sindrom kekuasaan kompleks dan sindrom ketergantungan yang dimaksud. Selanjutnya Penulis akan menjelaskan pemahaman perspektif poskolonial dalam intervensi NATO terhadap Libya secara singkat di bagian inti dari kerangka konseptual ini untuk dapat menyambungkannya dalam menjawab pertanyaan penelitian tesis ini yang akan dianalisis lebih mendalam pada bagian Bab III nanti. 1.4.1. Memahami Intervensi Kemanusiaan Invasi NATO dalam mengintervensi Libya dengan menggunakan kekuatan militer dengan alasan demi kemanusiaan telah menjadikan polemik yang kontroversial dalam masyarakat internasional. Penulis mencoba menjelaskan 14 secara garis besarnya terlebih dahulu dengan mengutip pendapat-pendapat para ahli dalam tulisannya tentang arti dan pemahaman tenntang intervensi kemanusiaan sebagai berikut : Makna tujuan dari intervensi kemanusiaan adalah untuk mencegah atau mengakhiri pelanggaran yang lebih luas dan berat secara fundamental dalam hak asasi manusia maupun individu yang lain dari warga negaranya sendiri tanpa izin dari dalam negara tersebut dalam bentuk wilayah yang diterapkannya (Holzgrefe dan Keohane, p.18). Pengecualiannya adalah dua jenis nonforcible seperti contohnya intervensi seperti ancaman ataupun penggunaan saksi ekonomi ataupun diplomatik dan lain lainnya. Intervensi ini dimaksud dengan tujuan melindungi atau menyelematkan intervensi untuk negara sendiri. Alasannya adalah bukan karena legalitas ataupun moralitas jenis intervensi di sini tidak menarik ataupun tidak penting, tetapi karena justru pertanyaan yang penting di sini adalah apakah negara dapat menggunakan kekuatan untuk melindungi hak asasi manusia individu lain dari warga negara mereka sendiri yang lebih mendesak dan kontroversial (Holzgrefe dan Keohane, p.18). Istilah intervensi kemanusiaan adalah istilah yang sangat populer dan seringkali digunakan untuk menunjukkan suatu atau tatanan secara luas dari tindakan internasional. Intervensi kemanusiaan pendistribusiannya terletak pada bantuan kemanusiaan dalam hampir semua bentuk intervensi militer, terlepas dari semua itu apakah itu dalam bentuk respon terhadap krisis kemanusiaan yang serius (Pattison, 2010, p.24). 15 Selain itu, intervensi kemanusiaan (Orford, 2003, p.42) dalam menegaskan pendapatnya mengatakan bahwa alasan dengan dalih intervensi kemanusiaan seharusnya ditolak. Oleh karena alasan intervensi kemanusiaan dapat memberikan makna dari lisensi hukum yang masih sangat luas cakupannya dalam melakukan intervensi eksternal yang berhubungan dengan urusan negaranegara lemah. 1.4.2. Definisi: Sindrom, Authority dan Amerika merupakan bagian dari Barat. Sindrom artinya: “himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan tertentu; hal-hal (seperti emosi atau tindakan) yang biasanya secara bersama-sama membentuk pola yg dapat diidentifikasi”(Sindrom dalam http://kamusbahasaindonesia.org/sindrom, 2013). Oleh “Oxford Dictionaries, Syndrome is a group of symptoms which consistently occur together, or a condition characterized by a set of associated symptoms: a characteristic combination of opinions, emotions, or behaviour (Syndrome dalam http://oxforddictionaries.com/definition/english/syndrome, 2013) Mengutip definisi “Authority” dalam Black‟s Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut: Authority:“The right or permission to act legally on another's behalf; esp., the power of one person to affect another's legal relations by acts done in accordance with the other's manifestations of assent; the power delegated by a principal to an agent <authority to sign the contract>. - Also termed power over other (Garner, 2009, p.152).” 16 Authority oleh Penulis dalam penelitian tesis ini juga yang dimaksud adalah bagaimana kekuasaan Barat telah memainkan perannya dalam pengaruh kekuasaan mereka atas otoritas hukum yang berlaku yang ada dalam DK PBB. Selain itu Penulis mencoba menjelaskan bahwa Amerika Serikat juga merupakan bagian dari Barat (Eropa) karena akar sejarah Amerika juga awalnya berasal dari Eropa (Barat). Hal tersebut dikutip oleh Penulis supaya ada gambaran yang jelas tentang Barat (Eropa) yang dimaksud dalam analisis penelitian tesis ini. “The view of the United States of international law arises from America‟s European origin and from the fact that the United States is heir to the central political position previously held by Great Britain. The United States product of Western European culture and civilization and the first offspring of the British Empire. Despite its revolutionary separation from Britain, in is its legal traditions and international outlook the United States behaves as the progeny of Europe (Jones, 1991, p.531).” 1.4.3. Memahami Makna Ketergantungan Makna dari ketergantungan sangat luas sekali, Penulis mencoba menjelaskan gambaran makna tentang ketergantungan secara singkat dari beberapa pendapat sebagai berikut : Pendapat dari Santos dalam (Macridis dan Brown 1986, p.558) mengatakan bahwa ketergantungan adalah suatu situasi yang terdiri dari beberapa negara tertentu, dengan ekonominya yang terkondisi oleh perkembangan dan ekspansi negara lain yang menempatkan negar-negara yang bergantung ini dalam posisi terbelakang dan dieksploitasi oleh negara-negara yang dominan (Macridis dan Brown, 1986, p.558). 17 Dengan kata lain dalam arti yang lebih luas, ketergantungan menurut Santos dalam Chilcote (2007, pp.401-402) adalah sebuah situasi dimana ekonomi negara-negara tertentu terkondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi lain yang menjadi tempat bergantung negara-negara tadi. Hubungan saling ketergantungan antara dua atau lebih secara ekonomi, dan antara perekonomianperekonomian ini dengan perdagangan dunia yang ada, dapat mengambil bentuk ketergantungan sementara dari beberapa negara yang dominan. Negara-negara yang mendominasi tersebut dapat melakukannya hanya sebagai pencerminan ekspansi, yang bisa memiliki pengaruh positif ataupun negatif bagi perkembangan langsung mereka (Chilcote, 2007, pp 401-402). „‟Perspektif ketergantungan mengansumsikan bahwa perkembangan suatu unit nasional atau regional hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan perkembangan sejarahnya menurut sistem politik ekonomi dunia yang muncul dengan gelombang penjajahan Eropa. Sistem global ini kiranya ditandai oleh perkembangan yang tidak merata dan gabungan perkembangan dari komponen-komponen yang berbeda (Macridis dan Brown, 1986, pp.558).‟‟ 1.4.4. Memahami Perspektif Poskolonial Menurut beberapa pendapat dari para ahli atas sumbangan ilmu pengetahuannya dalam perspektif poskolonial mengatakan bahwa „‟Selain hasrat ketertertarikan untuk melestarikan subyek Barat, atau Barat sebagai subyek (Spivak dalam dalam Edkins,Williams, 1999, p.248) adalah teori tentang subyek dan efek yang terpluralisasi. Hal ini sering menjadi penutup bagi subyek pengetahuan ini. Meskipun sejarah Eropa sebagai Subyek dinaratifkan oleh hukum, politik, ekonomi, dan ideologi Barat, subyek yang tersembunyi ini berpura pura tidak memiliki determinasi geopolitik. Dengan demikian, kritik yang banyak dipublikasikan terhadap subyek berdaulat adalah benar benar justru meresmikan sebuah subyek (Edkins,Williams, 2010, pp.419-420).‟‟ 18 „‟Dalam konteks globalisasi, untuk menjadi poskolonial, tampaknya lebih sesuai daripada sekedar jadi multikultural metropolitan. Cara ini adalah cara untuk berurusan dengan globalisasi yang terjadi hampir pada semua fenomena yang lumayan baru. Dalam rangka memberikan kedalaman historis pada globalisasi, untuk memindahkannya Anda harus memindahkannya dalam poskolonialitas (Edkins, Williams, 2010, p.418).‟‟ Selain itu, Spivak dalam Morton dalam (Edkins dan Williams, 2010, p.419) mengatakan bahwa tujuan yang lebih kompleks adalah dalam upayanya yang terus menerus dalam menghubungkan pengalaman-pengalaman dari individu-individu dan kelompok-kelompok sosial yang secara historis telah dijajah dan dieksploitasi oleh kolonialisme Eropa. Hal ini bisa diartikan bahwa ekspansi kolonial adalah tentang pelabelan tempat-tempat dalam cara-cara mereka yang terjalin dengan ide ide berbasis ras tentang others: native (Edkins,Williams, 2010, p.419). Semua hal tersebut diatas menurut Keyman dalam Kinvall dalam (Edkins dan Williams, 2010, p.419) mempunyai tujuan untuk menunjukkan bagaimana Eurosentrism telah dan terus menjadi prasyarat untuk kita membangun visi tentang other (Edkins,Williams, 2010, p.419). Menurut pendapat Mannoni dalam (Fanon 2008, p.73) berpendapat bahwa: „‟Tidak semua orang bisa dijajah, hanya mereka yang memerlukan kebutuhan ini yang bisa dijajah (kebutuhan akan ketergantungan).‟‟ Dimanapun orang-orang Eropa mendirikan atau mengadakan penjajahan, bisa dikatakan bahwa kedatangan mereka secara tidak sadar diharapkan bahkan didambakan oleh orang-orang yang terjajah. Dimana-mana ada legenda yang menceritakan bahwa kedatangan orang asing dari seberang laut yang membawakan hadiah-hadiah yang menakjubkan bersama mereka. Ide tersebut diatas seperti itu seolah-olah menunjukkan bahwa 19 Eropa (Barat) menderita sindrom kekuasaan sementara orang-orang terjajah menderita sindrom ketergantungan (Fanon, 2008, p.73). Selain itu, dalam karya tulisan „‟Orientalism‟‟ Said dalam sumbangsihnya atas perspektif poskolonial berpendapat bahwa: „‟The Orient is not only adjacent to Europe; it also the place of Europe‟s greatest and richest and oldest colonies, the source of its civilizations and languages, its cultural contestant, and one of its deepest and most recurring images of the Other. In addition, the Orients has helped to define Europe (or the West) as its contrasting image, idea, personality, experience. Yet none o this Orient is merely imaginative. The Orients is an integral part of European material civilization and culture (Said, 2003, pp.1-3).‟‟ Perspektif poskolonial muncul untuk membuat pembaharuan bagi produksi pengetahuan di Barat tentang orang-orang non Barat dengan melihat hubungan antara pembentukan pengetahuan dan dampaknya terhadap politik kehidupan sehari-hari. Kekuatan dari teori ilmu pengetahuan ini sering mempunyai implikasi yang lebih luas karena strukturnya mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Fokus pada perhatian mikropolitikal poskolonial ini penting dikarenakan efek nyatanya dari rezim pengetahuan juga dirasakan. Kekuatan teori poskolonial justru terletak pada penolakannya untuk memperbaiki dari disiplin dengan ide yang universal. Sedangkan masalah implementasinya yang bermasalah global, poskolonial mencoba untuk menghindarinya (Chowdhry dan Nair, 2004, pp.209-211) Perspektif poskolonial memiliki relevansi dalam hubungan internasional dalam memberikan pemahaman tentang cara-cara dimana titik imperial yang terlibat dalam struktur pembangunan hubungan kontemporer dan dominasinya. 20 Kita percaya bahwa sebuah keterlibatan reflektif dengan pengalaman penjajahan dan kekuatannya untuk membentuk realitas masa lalu dan saat ini dalam tingkat lokal, nasional maupun global jauh lebih bermanfaat dan konstruktif. Dalam idealisnya, poskolonial adalah sebagai bentuk yang terlibat dalam berbagai praktek struktur dari kekuasaan-kekuasaan kolonial yang mempunyai hubungan global terhadap praktek praktek dalam ketahanannya (Chowdhry dan Nair, 2004, pp.209-211). Shohat dalam (Chowdhry dan Nair 2004, p.11) menjelaskan bahwa implikasi dari poskolonial bukan merupakan masalah masalalu yang menghancurkan kolonialisme secara ekonomi, politik dan pembentukan budaya di masa yang akan datang. Akan tetapi, poskolonial dengan tidak sengaja telah menyembunyikan atau mengabaikan persoalan-persoalan yang terjadi atas kenyataan-kenyataan yang ada dengan menjadikannya sebagai global hegemoni (Chowdhry dan Nair, 2004, p.11). Oleh karena itu, menurut Shome dalam (Chowdry dan Nair 2004, p.11) istilah poskolonial memungkinkan kita untuk memahami pergeseran kompleks yang ditimbulkan oleh dekolonialisasi. Sementara di sisi-sisi yang lain, dalam pemikiran yang tidak terlalu jauh, mengklaim adanya perpecahan lengkap dari beberapa hubungan kolonial sebelumnya dalam fase ini. Mereka melihat bahwa dalam istilah poskolonial ada sesuatu yang berhubungan tentang politik yang kompleks dalam hubungan ekonomi dan budaya serta dugaan-dugaan dari masamasa kontemporer yang ada di dalamnya (Chowdry dan Nair 2004, p. 11). 21 Intinya esensi dari perspektif poskolonial (Sugiono, 2011) adalah pemahamannya berbicara tentang ras, Eropa (Barat) dan non Eropa (Non Barat). Sedangkan dalam hubungan internasional yang dilihat adalah bukan dari kriteria waktunya, tetapi tentang pemahaman cara pandangnya. 1 Dalam keterkaitannya pandangan-pandangan dan kutipan-kutipan tersebut diatas untuk menganalisis penelitian analisis intervensi NATO terhadap Libya, Penulis menggunakan perspektif poskolonial yang menitik beratkan bagaimana dominasi kekuasaan Barat telah mendaulatkan atau memapankan kebenarannya sesuai dengan subyek yang diinginkannya dalam naungan otoritas dan legitimasi DK PBB untuk mencapai tujuan mereka. Masalahnya kedatangan mereka memang justru sengaja diundang oleh para pemberontak Libya yang terwakili oleh NTC untuk membantu mereka dalam melakukan perubahan rezim Libya. Hal ini menyebabkan sindrom ketergantungan bagi para pemberontak Libya sehingga membentuk hubungan kekuasaan yang timpang. Dalam kesinambungannya untuk penjelasan-penjelasan detailnya akan diuraikan dan dianalisis oleh Penulis dalam Bab III nanti. 1.5. Argumen Utama Berdasarkan perspektif poskolonial Penulis berargumen bahwa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan otoritas dan legitimasi kepada NATO untuk mengintervensi Libya karena otoritas dan legitimasi DK PB 1 Dirangkum oleh Penulis dari penjelasan-penjelasan pada waktu presentasi kuliah dalam mengikuti mata kuliah Perspektif Politik Global pada angkatan HI 17 oleh Muhadi Sugiono pada tanggal 18 Februari 2011 dan 20 Mei 2011. 22 telah terkendali oleh pengaruh kekuasaan Barat dan kedatangan mereka Barat / NATO tersebut memang juga sengaja diundang oleh para pemberontak Libya yang menginginkan perubahan rezim kekuasaan Libya. Sikap para pemberontak Libya tersebut menciptakan sindrom ketergantungan mereka atas kontrol dan agenda kekuasaan Barat sehingga membentuk hubungan kekuasaan yang timpang. NATO dalam naungan otoritas dan legitimasi DK PBB menunjukkan sindrom kekuasaan kompleks (authority complex) dari Barat yang menegaskan Barat sebagai pihak yang berdaulat dan untuk mencapai intervensi tersebut dianggap sebuah kebenaran untuk mencapai tujuan mereka. 1.6. Metode Penelitian Tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang menggunakan data sekunder sebagai dasarnya untuk pengembangan penelitian analisis intervensi NATO dalam perspektif poskolonial untuk tujuan meneliti sindrom authority complex Barat dan sindrom ketergantungan Libya. Dalam penelusuran pengambilan untuk memperoleh data sekunder, penulis mencermati Resolusi 1970 dan Resolusi 1973 DK PBB Bab VII Piagam PBB, Pasal 39, 41 dan 42 oleh Dewan Keamanan PBB sebagai jalan pembuka NATO dalam melakukan intervensinya terhadap Libya secara legal base dengan menggunakan kekuatan militer. Penulis juga telah memilah buku-buku kajian pustaka, analisis jurnal, artikel maupun sumber internet yang berhubungan dengan topik penelitian tesis 23 ini sebagai bahan penelitian agar bisa dianalisis dan dapat dipertanggungjawabkan secara akedemis. 1.7. Sistematika Penulisan Tesis ini akan disusun ke dalam beberapa bagian, pada Bab Pendahuluan berisi tentang latar belakang Intervensi NATO terhadap Libya, rumusan masalah, reviu literatur. Pada bagian kerangka konseptual Penulis tertarik untuk membedah fenomena intervensi NATO tehadap Libya dengan cara menggunakan perspektif poskolonial supaya penelitian ini bisa dibedakan dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Penulis akan menekankannya pada Eropa (Barat /NATO) yang mempunyai sindrom kekuasaan kompleks yang mengakibatkan sindrom ketergantungan bagi non Eropa (Non Barat). Pada bagian argumen utama Penulis menekankan kekuasaan selalu ada pada Barat dalam agenda dan kontrol kekuasaannya untuk melakukan perubahan rezim Libya dengan memapankan kebenaran mereka terlebih dahulu dalam otoritas dan legitimasi DK PBB untuk mencapai tujuan mereka. Hal ini menyebabkan sindrom ketergantungan bagi Libya karena kedatangan Barat memang sengaja diundangnya sehingga membentuk hubungan kekuasaan yang timpang. Kemudian untuk melengkapinya pada bab pendahuluan ini disertai dengan metode penelitian serta sistematika penulisan sebagai panduan untuk pengembangan selanjutnya dalam penelitian tesis ini. 24 Penulis akan membahas tentang bagaimana kekuasaan absolut Qaddafi setelah mulai berkuasa pada tahun 1969 pada Bab II. Qaddafi dalam kekuasaannya telah membuat negaranya menjadi lebih berperan aktif dan tidak dipandang sebelah mata oleh internasional dengan ditopang oleh kekayaan minyak yang melimpah pula Libya menjadi target kerjasama ekonomi maupun politik yang komersial. Penyebab sampai terjadinya perang sipil di Libya akan ditelusuri lebih dalam lagi pada bab ini dalam kronologi perang sipil Libya dengan menguraikannya secara singkat. Pada Bab III penulis akan menganalisis intervesi NATO terhadap Libya dengan menjawab pertanyaan yang ada didalam rumusan masalah penelitian : Mengapa NATO DK PBB memberikan otoritas dan legitimasi kepada NATO untuk mengintervensi Libya? Penulis dalam Bab ini akan memaparkan bagaimana aktor negara-negara Barat yang terwujud oleh NATO terlibat dalam intervensi perang sipil Libya. Otoritas dan legitimasi Dewan Keamanan PBB dalam naungan hukum Resolusi 1970 dan kemudian diteruskan dengan Resolusi 1973 telah menjadi dasar hukum sah bagi NATO untuk melakukan intervensinya terhadap Libya dengan penggunaan kekuatan militer demi alasan kemanusiaan dan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Penulis akan menganilisis bagaimana otorisasi dan legitimasi Dewan Keamanan PBB juga telah digunakan untuk kepentingan politik negara-negara kuat (Barat /Eropa) dalam pengaruh kekuasaan mereka dengan memapankan kebenarannya terlebih dahulu untuk mencapai tujuan mereka. Dalam keterkaitannya tersebut Penulis akan menganilisnya dengan menggunakan perspektif poskolonial dengan penegasan 25 subyek kebenaran yang didaulatkan ada pada Eurosentrism sehingga Eropa (Barat) bagi pandangan masyarakat internasional dan para pemberontak Libya untuk membantu mereka melakukan perubahan rezim Libya dengan cara menggulingkan kekuasaan Qaddafi. Intinya dari analisis ini adalah Barat mempunyai sindrom kekuasaan kompleks dan para pemberontak Libya menderita sindrom ketergantungan atas agenda dan kontrol kekuasaan Barat karena kedatangan Barat memang sengaja diundang oleh mereka sehingga membentuk hubungan kekuasaan yang timpang. Bab penutup, akan berisikan tentang kesimpulan dari analisis intervensi NATO terhadap Libya dalam perspektif poskolonial yang menjelaskan dengan merangkumnya secara jelas bagaimana perang sipil yang terjadi di Libya dengan intervensinya NATO yang menggunakan kekuatan militer menjadi sebuah kesimpulan yang sangat menarik dan berbeda dengan penelitian-penelitian yang lain. Penulis berharap agar perspektif poskolonial dalam pengembangannya bisa menjadi jembatan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang masih sering diperdebatkan dan kedepannya nanti bisa berguna bagi kepentingan masyarakat internasional dan dunia akademis. 26