BAB II PERBANDINGAN MADZHAB A. Definisi Perbandingan Mazhab Kata perbandingan merupakan alih bahasa dari lafadz arab yaitu muqaranah. Sedangkan menurut etimologi, muqaranah berasal dari kata kerja qarana, yang artinya membandingkan dan kata muqaranah sendiri, kata yang menunjukan keadaan atau hal yang berarti membandingkan atau perbandingan. Berarti yang dimaksud dengan perbandingan di sini adalah membandingkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Sedangkan kata mazhab mempunyai arti aliran atau paham yang dianut.30 Sedangkan menurut istilah, madzhab bermakna : 1. Jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam Mujtahid dalam menetapkan suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits. 2. Fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum atau peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits 31 Menurut ulama fikih Islam, perbandingan madzhab adalah suatu cara untuk menemukan kesimpulan hukum yang pasti setelah mengumpulkan berbagai macam pendapat dari kalangan fuqoha’ yang saling berbenturan 30 Romli SA, 1999, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta, Gaya Media Pratama, hlm. 7. Huzaemah Tahido Yanggo, 2011, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jogjakarta, Gaung Persada Press, Cet. 4, hlm. 80. 31 22 23 dengan metode-metode tertentu, sehingga mendapatkan suatu jawaban untuk bisa diamalkan secara pasti dan lebih maslahah.32 B. Sejarah Lahirnya Madzhab Proses lahirnya madzhab adalah usaha para pengikut atau pendukung untuk menyebarkan hasil ijtihad imamnya. Penyebaran ini dilakukan dengan metode lisan dan juga tulis (pembukuan fiqih). Kemudian, pengikut hasil ijtihad itu semakin banyak, membentuk suatu komunitas dan disebutlah komunitas tersebut bermadzhab imam ini dan itu. Jika dilihat dalam sejarah tasyri Islam, madzhab lahir dari perjalanan yang cukup panjang. Dimulai dari para sahabat Nabi Muhammad SAW yang focus pada ilmu dan hukum, sampai kepada para tabi’in di setiap daerah-daerah. Pada masa tabi’in dan imam-imam mujtahid, muncul sederetan ulama dalam jumlah yang cukup banyak. Berbagai kawasan (negeri) Islam dipenuhi dengan ilmu dan ulama. Banyak diantara mereka yang mencapai tingkatan mujtahid mutlak. Sebagian ulama terbaik itu membuat metode yang digunakan untuk mengenal hukum-hukum. Akhirnya masing-masing mempunyai murid dan pengikut yang mengikuti metodenya. Metode ini yang kemudian dinamakan madzhab.33 Syekh Abu Malik Kamal menyebutkan, bahwa setelah abad kedua muncullah di tengah-tengah mereka sikap bermadzhab pada mujtahid tertentu, dan jarang sekali ada orang yang tidak berpegang pada madzhab mujtahid tertentu. Di Madinah misalnya, banyak nama Tabi’in yang memiliki perhatian 32 33 32. Ibid. hlm. 92. Abu Malik Kamal, 2012, Shohih Fiqih Sunnah, Jakarta, Pustaka At Tazkia, Cet.7, hlm. 24 besar terhadap hukum dan ilmu pengetahuan. Misalnya, Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Salim Ibnu Abdillah, Nafi maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab az-Zuhri dan lainnya. Di Makkah, tersebut nama besar seperti Ibnu Abbas Mujahid ibn Jabir, Ikrimah dan lainnya. Demikian juga kita temukan nama besar di Kufah dan Bashrah seperti ‘Al-Qamah bin Qais, Anas bin Malik, Qatadah ibn Da’aman dan nama besar lainnya. Maka tidak heran kalau dalam literature hukum Islam terdapat istilah madzhab Aisyah, madzhab Ibn Mas’ud, dan madzhab tabi’in lainnya. Para pemilik nama besar inilah yang sangat berjasa mengembangkan kegiatan ilmiah dan dengan pegajaran yang mereka lakukan mendorong munculnya generasi-generasi baru yang focus pada masalah hukum. Generasi baru ini melakukan ijtihad dan istinbath hukum sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Mereka menyebarkan hasil ijtihadnya, menulis dan menjadi rujukan hukum bagi yang memerlukan.34 Menurut Thaha Jabir Al-Ulwani generasi baru ini berjumlah 13 aliran, diantaranya adalah sebagai berikut : 35 1. Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H) di Makkah 2. Malik bin Anas (w. 179 H) di Madinah 3. Hasan al-Bashri (w. 110) di Bashrah 4. Abu Hanifah (w. 150 H) di Kufah 5. Sufyan al-Tsauri (w. 160 H) di Kufah 6. Al-Auzai (w. 157 H) di Syam 7. Abdullah bin Idris as-Syafii (w. 204 H) di Mesir 34 35 Ibid. hlm. 33 Ibid. hlm. 34 25 8. Al-Laits bin Saad (w. 175 H) di Mesir 9. Ishaq bin Ruhawaih (w. 238 H) di Naisabur 10. Abu Tsaur (w. 240 H) di Baghdad 11. Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) di Baghdad 12. Daud adz-Dzhahiri (w. 270) di Baghdad 13. Ibn Jarir at-Thabari (w. 310) di Baghdad Aliran ini pada akhirnya membentuk madzhab-madzhab tersendiri. Mereka memiliki buku rujukan, memiliki metode istinbat dan pengikut di masing-masing daerah. Ketiga belas madzhab ini digolongkan pada komunitas Sunni. Dalam kelompok Syi’ah, ditemukan juga berbagai madzhab fiqih, diantaranya adalah madzhab Syi’ah Zaidiyyah, Imamiyyah, Ismailiyyah. Ditemukan juga madzhab dari kelompok Khawarij, yaitu madzhab Ibadiyyah. Pendiri madzhab-madzhab ini adalah ulama-ulama terkenal. Mereka belajar kepada ulama-ulama sebelumnya. Apa yang mereka hafal dan faham dari warisan Nabi. Pada masa imam-imam, negeri-negeri Islam dipenuhi dengan ilmu dan ulama. Ilmu-ilmu syar’i mendominasi orang-orang yang memiliki akal yang cerdas, jiwa yang suci dan semangat yang tinggi. Ulama syari’ah pada waktu itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat di masyarakat Islam.36 Dengan ilmu wahyu yang mereka pelajari, mereka terangkat ke derajat yang tinggi. Mereka memantapkan madzhab mereka dan meninggalkan kekayaan ilmiah yang begitu banyak untuk generasi berikutnya dalam 36 Ibid. hlm. 34 26 mengetahui kebenaran dan memahami nash-nash. Seorang ahli fiqih dari madzhab Syafi’i Al ‘Allamah Abu Sya’amah berkata : “Imam Syafi‟i membangun madzhabnya dengan bangunan yang kokoh; yaitu dengan berpegang teguh dengan Al-Qur`an, Al-Hadits dan pandangan yang benar, berupa ijtihad yang dasar rujukannya Al-Qur`an dan Al-Hadits”. Semua imam membangun madzhabnya dengan cara seperti ini. Madzhab mereka tercermin dalam pendapat yang mereka tuangkan dalam buku-buku mereka, mereka imla`kan pada murid-murid mereka atau mereka jawab atas pertanyaan dan permintaan fatwa. Kemudian teman-teman dan muridmurid mereka membawanya (menyebarkannya). Kemudian para pengikut imam inilah yang memiliki peran besar dalam memperluas ilmu para imam tersebut. Mereka menghafal dan menukilnya. Seandainya mereka tidak melakukan hal itu, niscaya madzhab mereka akan lenyap. Peran para pengikut madzhab bukan terbatas pada menukil semua yang mereka dengar dan memperluas ilmu tersebut, tetapi mereka juga adalah orang-orang yang memiliki akal yang cerdas yang mampu melakukan penelitian dan istimbat. Oleh karena itu mereka juga melakukan ijtihad seperti yang dilakukan oleh para imam. Mereka tidak merasa berat untuk memilih pendapat yang berbeda dengan pendapat imam mereka jika memang kebenaran tidak sesuai dengan pendapat para imam tersebut.37 37 Ibid. hlm. 36 27 C. Dampak Madzhab terhadap Perkembangan Fiqih Madzhab fiqh dapat dikelompokkan menjadi tiga madzhab utama yaitu: Sunni, Syi’ah, dan Khawariji. Dari tiga madzhab itu berkembang madzhab yang lebih kecil, misalnya madzhab Sunni sampai sekarang berkembang menjadi empat madzhab : Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (Al-Madzahib Al-Arba‟ah), madzhab Syi’ah berkembang menjadi : Madzhab Ja’fari (Imami), Zaidi, dan Isma’ili, terakhir madzhab Khawarij menyisakan satu madzhab yaitu madzhab Ibadi. Ketiga madzhab tersebut mempunyai karakteristik masing-masing dalam menggali hukum Islam dan menyebarkan pemahamannya kepada masyarakat. Begitu pula, dalam proses pembentukan dan penulisan kitab fiqhnya, masing-masing memiliki sistematika yang berbeda. Proses pembentukan tersebut, secara operasional, menurut Schahct, terungkap dalam uraian berikut ini : “Masa penulisan hukum Islam dimulai sekitar tahun 150 K (767 M) dan semenjak saat itu perkembangan hukum yang bersikap teknis dapat diikuti langkah demi langkah dari satu ulama ke ulama berikutnya. Di Irak, perkembangan hukum harus dinisbahkan berturut-turut kepada Hammad ibn Abi Sulaiman, ahli hukum Kufah (wafat 150 H/738 M) dan doktrin-doktrin dari Ibn Aby Layla (wafat 148 H/765 M) dan doktrin Abu Hanifah (wafat 150 H/767M), Abu Yusuf (wafat 182 H/798 M) serta doktrin dari Syaibani (wafat 189 H/805 M), orang syria Awza‟I (wafat 157 H/774 M) menggambarkan satu tipe hukum lama dan Malik (wafat 179 H/795 M) doktrinnya rata-rata menjadi anutan aliran hukum 28 Madinah. Selama periode kedua, pemikiran hukum secara teknis berkembang secara cepat dari permulaannya dengan menggunakan metode analogi.”38 Lebih tegas lagi, Schacht mengatakan bahwa yurisprudensi hukum Islam lahir dari satu pusat, yakni madzhab Irak sebagaimana pendapat Goldziher. Madzhab Irak ini lebih berkembang dan sistematis dibanding madzhab Madinah. Dampak nyata dalam bentuk penulisan kitab fiqh dapat dilihat dari karya-karya para imam atau murid imam madzhab fiqh. Misalnya, Kitab-kitab fiqh disusun berdasarkan permintaan penguasa dan pemerintah pun mulai menganut salah satu madzhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Madzhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai madzhab, juga disusun kitabkitab usul fiqh, seperti kitab Ar-Risalah yang disusun oleh Imam Asy Syafi’i. sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini, fiqh iftiradi semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Selain itu, penulisan sunnah dikenal dengan “kutub al-sittah” (Bukhari, Muslim, Nasai, Ibn Majjah, Dawud, dan Tirmidzi) yang jumlahnya berpuluh jilid serta penulisan tafsir telah dilakukan seperti tafsir ibn juraih, Saddi dan Muhammad bin Ishaq yang dikembangkan oleh Ibn Jarir Ath-Thabari (ulama tafsir terkenal).39 38 39 Ibid. hlm. 48. Ibid. hlm 49. 29 Dalam analisis Qordri Azizy, penulisan kitab-kitab fiqh tidak lepas dari madzhab besar atau imam sebelumnya. Ia ungkapkan sebagai berikut: “Ulama pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 pada umumnya mengikatkan diri pada tetap suatu madzhab besar, mengembangkan mengembangkan pemikiran namun sebenarnya mereka juga pemikiran mereka juga tetap mereka, meskipun dalam proses pengembangannya terkadang harus terjadi perbedaan dengan pendapat imam-imam mereka. Di samping secara formalitas mengikat diri kepada madzhab tertentu, metodologi berpikirnya barangkali terikat hanya pada dasar-dasar pokoknya. Sebagai contoh, misalnya Al-Thahawi, memiliki banyak perbedaan dengan para imam asalnya, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy-Ayaibani, dia masih mengikat diri secara formal pada madzhab Hanafi dan dalam waktu yang bersamaan, ia juga mengenbangkan lebih maju lagi madzhab ini secara teoretis” Peralihan dari tradisi ijtihad kepada tradisi taklid pun terjadi sebagai dampak madzhab besar terhadap para pengikut atau muridnya. Sebagai contoh, uraian yang terdapat dalam Al-Majmu karya An-Nawawi, AlMustasfha, dan Ihya Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Mereka juga giat meneliti dan mengklarifikasikan permasalahan fiqh dan memperdebatkannya dalam forum-forum ilmiah sehingga dapat diketahui mana pendapat yang disepakati dan mana pendapat yang diperselisihkan. Kemudian, mereka bukukan dalam bentuk kitab seperti Al-Inshaf karya AlBathliyusi, Bidaya Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd (w. 595 H), Al-I’tisham 30 karya Asy-Syatibi dan lain-lainnya yang merupakan embrio bagi kelahiran ilmu fiqh Al-Muqaram pada periode selanjutnya. Fuqaha juga sangat berkreasi dalam bidang usul fiqh. Mereka mempelajari metode-metode yang dirumuskan oleh fuqaha sebelumnya, menyempurnakan, dan menganalisis hasil penerapan masing-masing metode kepada masalah-masalah fiqhiyyah sehingga fase ini telah dapat menelurkan puluhan kitab dalam bidang qawaid fiqhiyyah, seperti Al-Asybah Was Al-Nadhair oleh Ibnu Nujaim (w. 969 H0, Al-Qawaid oleh Ibnu Jizy (w. 741 H). Al-Qawaid oleh Ibnu Rajab (w. 790 H) dan sebagainya. Begitu pula dampak madzhab terhadap penulis fiqh pada madzhab Syi’ah (Ja’fari, Ismail, dan Zaidiyah) dan madzhab Khawarij (ibadi), berikut ini : Madzhab Syi’ah Ja’fari menghimpun beberapa kitab pedomannya sebagai berikut : 40 1. Al-Kafi fi ilm Ad-Din, karya Muhammad ibn Yakub ibn Ishaq Al-Kulaini (w. 328 H) 2. Basyairu al-Darajat fi ulum Ali Muhammad wa ma khassahum Allah bih, karya Ibnu Jafar Muhammad id Al-Hasan 3. Man laa yahdhur Al-faqih, karya Abu Jafar Muhammad bin Ali Husain 4. Al-Itibar dan al-Tahdzhib, karya Muhammad bin Hasan Al-Thusi 5. Syarai’ al-Islam, karya Ja’far ibn Hasan Al-Hully (678 H) 6. Syarah Jawahirul Kalam, karya Muhammad Hasan Al-Najmi 7. Miftahu Al-Karamah, karya Muhammad Al-Jawad ibn Muhammad AlHusein (1226 H) 40 Ibid. hlm. 50. 31 Wasail al-Syi’ah ila Masail al-Syari’ah, karya Muhammad Al-Hasan ibn 8. Ali Al-Hari (1104 H). Sementara itu, madzhab Zaidiyah, meskipun sedikit, madzhab ini memiliki format penulisan fiqh, yakni Al-Majmu (fatwa-fatwa Zaid ibn Ali), baik bidang hadis maupun fiqh, yang dikumpulkan oleh Abu Khalid ‘Amar bin Khalid Al-Wasithi (w. 150 H) dan al-Raudhu An-Nadhir Syarh Majmu’ al-Fiqh al-Kabir karya Syafrudin Husein Ibn Ahmad Al-Haimi Al-Yamini alSon’ani (1221 H). Adapun kitab resmi Fiqh madzhab Ismaili, Da’aim alIslam, karya Numan Ibn Muhammad At-Tamimi (w. 974 H). Adapun madzhab Khawarij, format penulisan kitab yang dijadikan rujukan oleh madzhab Ibadiyah adalah Musnad Ar-Rab’i karya Rabi’ bin Habib Al-Farahidi Al-Umani Al-Bashri dan kitab Ashdag Al-Manahij fi Tamyiz Al-Ibadiyah Min Al-Khawarij karya ulama mutqkhir Ibadi, Salim bin Hamud. Dampak madzhab tehadap bentuk penulisan kitab fiqh terdapat tiga macam bentuk kitab, yaitu : 41 1. Matan, yaitu kitab yang mengumpulkan masalah-masalah pokok yang disusun dengan uraian yang mudah. Akan tetapi, kemudian ada pula dengan uraian yang sukar, sehingga membutuhkan syarh (keterangan). 2. Syarh, yaitu kitab yang merupakan komentar dari kitab matan. 3. Hasyiah, yang merupakan komentar dari syarh. Ketiga bentuk kitab di atas, sampai sekarang masih banyak digunakan di tengah-tengah masyarakat luas. Di samping itu, selain dipelajari di tengah- 41 Ibid. hlm. 52 32 tengah masyarakat umum, juga dipelajari di pasantren-pasantren di Indonesia. Bahkan, para cendikiawan pun tidak sedikit yang mempergunakan buku-buku tersebut sebagai rujukan. Meskipun penggunaan kitab-kitab tersebut selektif dan bergantung pada paham dan aliran yang dianut. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa dampak madzhab terhadap pembentukan dan penulisan kitab fiqh tidak hanya didasarkan pada idealisme masing-masing madzhab, tetapi juga campur tangan penguasa yang berkeinginan memiliki madzhab resmi dengan kitab yang dianutnya, seperti Al-Kharraj karya Abu Usuf murid Imam Hanafi, Al Muwaththa karya Imam Maliki, dan sebagainya. D. Tujuan Perbandingan Madzhab Sebagian orang masih ada yang beranggapan bahwa mempelajari berbagai mazhab dan perbedaan yang ada didalamnya adalah sesuatu yang tabu dan tidak ada gunanya, dengan asumsi bahwa perbandingan itu akan menggoyahkan pendirian seseorang dan boleh jadi nantinya seseorang akan selalu membanding-bandingkan hukum atau dalil dan mencari yang mudah dengan berpindah-pindah mazhab. Mempelajari perbandingan mazhab sangatlah luas manfaatnya sebab perbandingan yang dilakukan merupakan perbandingan lintas mazhab, tidak ada lagi keterikatan pada satu paham, netralitas benar-benar diuji dalam hal ini sehingga keputusan yang diambil benar-benar objektif berdasarkan kenyataan dan bukan rekayasa hukum. Tujuan dari muqaranah atau perbandingan bukanlah setelah kita membandingkan sebuah dalil atau hukum, lantas kita jadikan untuk saling 33 melemahkan atau menjatuhkan pendapat satu dengan lainnya, karena fungsi perbandingan juga untuk mempererat atau mendekatkan mazhab-mazhab itu sendiri. 42 Diantara manfaat mempelajari ilmu muqaranah Al-Mazahib adalah sebagai berikut : 43 1. Dapat mengetahui hukum agama dengan sempurna dan beramal dengan hukum yang didukung oleh dalil terkuat. 2. Dapat mengetahui berbagai pendapat, baik dalam satu mazhab, ataupun mazhab-mazhab lain, baik pendapat itu disepakati atau diperselisihkan dan dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan itu. 3. Dapat mengetahui metode istibath dan cara penalaran ulama terdahulu dalam menggali hukum syara dari dalilnya yang terperinci 4. Dapat mengetahui sebab khilaf atau letak perbedaan pendapat yang diperselisihkan 5. Dapat memperoleh pandangan yang luas tentang pendapat para imam dan dapat mentarjihkan mana yang terkuat. 6. Dapat mendekatkan berbagai mazhab sehingga perpecahan umat dapat disatukan kembali, ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga ukhuwah islamiyah lebih terjalin. 7. Dapat mengetahui betapa luasnya pembahsan ilmu fiqh 8. Dapat menghilangkan kepician dalam mengamalkan syari’at islam, yang hanya terikat pada satu pendapat serta menyalahkan pendapat mazhab lain. 42 Hasbiallah, 2009, Perbandingan Madzhab, Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, Cet. 2, hlm. 6. 43 Ibid. hlm. 8 34 9. Dapat menghilangkan sifat taqlid buta E. Ruang Lingkup Perbandingan Madzhab Mazhab-mazhab yang telah tumbuh dan berkembang yang menjadi pegangan masyarakat, ternyata memiliki metode atau cara-cara yang berbeda satu sama lain dalam melakukan istimbat hukum. Perbedaan tersebut berkisar pada perbedaan pola fikir para imam mazhab, serta sistematika sumber yang digunakan, juga latar belakang imam tersebut yang kemudian berimplikasi pada perbedanya produk hukum yang dihasilkan. Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan pemahaman terhadap nash dan karakteristiknya. Daerah atau tempat imam itu tinggal juga menjadi sebab mendasar terjadinya ikhtilaf pada dalil-dalil dan masalah yang sama, sehingga itu juga menjadi bahasan yang menarik dalam perbandingan mazhab ini. 44 Bidang kajian perbandingan mazhab ialah seluruh masalah fiqh yang didalamnya terdapat dua pendapat atau lebih. Sedangkan masalah-masalah fiqh yang terjadi ijma‟atau ittifa, maka masalah tersebut tidak termasuk dalam kajjian perbandingan mazhab. Secara eksplisit dapat kami kemukakan bahwa ruang lingkup pembahasan perbandingan mazhab meliputi hal-hal sebagai berikut : 45 1. Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid, baik dari Al-Qur’an, Al-Hadits atau dalil-dalil syara’ lainnya. 44 Romli, 1999, Muqaranah MAzahib fi al-Usul, Jakarta, Gaya Media Pratama, Cet. Ke-1, hlm. 12. 45 M. Bahri Ghazali, 1992, Perbandingan Mazhab, Jakarta, 1992, Cet. Ke-1, hlm. 9. 35 2. Metode atau cara mereka berijtihad dan cara beristimbat dari sumbersumber hukum yang mereka jadikan dasar dalam menetapkan hukum. 3. Latar belakang para mujtahid itu sendiri, latar belakang timbulnya suatu mazhab dan perbedaan-perbedaan yang kemudian muncul di tengahtengah mazhab yang ada. 4. Pola pemikiran para imam mazhab, hal-hal yang mempengaruhinya seperti sisitematika sumber hukum, sistem istidlal masing-masing mazhab. 5. Kondisi sosiologis serta hukum-huum yang berlaku di tempat dimana para muqarin hidup. F. Penyelesaian Perbedaan Pendapat Fuqoha’ Perbedaan di kalangan ulama’ adalah rahmat bagi umat. Sebuah perbedaan di kalangan ulama bukan tanda bahwa Islam adalah agama yang sulit dan menyulitkan umat dalam menentukan pilihan hukum mereka. Justru dengan adanya perbedaan hukum diatara ulama memudahkan bagi umat untuk mengikutinya dan Islam bukanlah agama yang sering diutarakan oleh orang non Islam. Islam adalah agama perdamaian, kasih sayang, toleransi, dan seimbang. Namun dalam menyikapi perbedaan tidak bisa kita serta merta mengikuti sembarang pendapat sesuai dengan keinginan kita bahkan memilih pendapat yang ringan saja. Ada cara dalam mengamalkan sebuah hukum yang berbeda. 36 Radd Al-Qur’an Wa Al-Hadits 46 1. Radd Al-Qur’an Wa Al-Hadits adalah mengembalikan masalah kepada Al-Qu’ran dan Al-Hadits. Seorang yang menemukan pertentangan pendapat ulama kemudian ingin memilih dari pendapat tersebut maka terlebih dahulu hendaknya mengembalikan kepada Al-Qur’an dan AlHadits. Sebagaimana firman Allah SWT : Artinya : Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa [04] : 59) Bagi seseorang yang bisa menelitinya maka wajib baginya untuk meneliti yang paling kuat dengan mengembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, bahwa yang wajib dalam menyikapi perselisihan para ulama adalah mencari dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits serta Ijma’ dan Qiyas yang berdasarkan ushul (kaidah-kaidah pokok) yang bersumber dari semua itu. Tidak bisa tidak. Ta’arudh Al-Adillah 2. Ta’arud Al-Adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya 46 Firdaus. 2004, Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Jakarta, Zikrul Hakim, hlm. 198. 37 dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.47 Berarti apabila ditemukan dua dalil yang bertentangan secara lahirnya, maka harus dilakukan penelitian dengan memadukannya, seperti halnya yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut. “Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“48 Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalildalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut: a. Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi Adapun cara menemukannya adalah dengan jalan sebagai berikut: 1) Taufiq (kompromi), yaitu mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi. 2) Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka 47 Rachmad Syafe’i, 1999, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 225 Firdaus, Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Op.Cit., hlm. 201 48 38 dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus. b. Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang kontradiksi Ketika ditemukan dalil yang kontra dan tidak dapat ditaufiqkan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan melainkan hanya satu yang bisa diamalkan. Hal ini bisa diselesaikan dengan bentuk 3 cara : 49 1) Nasakh, yaitu apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi. 2) Tarjih, yaitu apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan. 49 961 Wahbah Al-Zuhaili, 2001, Ushul al-Fiqh Al-Islami, Beirut, Dar Al-Fikr, Cet.ke-2, hlm. 39 3) Takhyir, yaitu apabila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan. c. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan 50 Ketika metode – metode seperti di atas sudah tidak bisa ditempuh lagi maka cara yang dilakukan adalah meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil tersebur, yaitu: 1) Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya. 2) Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan. Demikian apabila ditemukan dua dalil yang bertentangan secara lahirnya, antara ayat dengan ayat, ayat dengan hadits, hadits dengan hadits. Namun apabila masih juga terjadi pertentangan antara pendapat ulama karena berbeda penafsiran atau penjelasan dalam AlQur’an dan Hadis, maka harus diselesaikan juga. 50 Ibid 40 d. Takhyir Quol Ulama 1) Memilih Pendapat yang Paling Ringan 51 Sebagian ulama’ ada yang membolehkan mengambil pendapat yang lebih mudah saja untuk diamalkan dari pada mengambil pendapat ulama yang terkesan berat dan sulit. Karena hal ini tidak ada larangan dalam syariah untuk beribadah sesuai dengan pendapat ulama yang memudahkan.52 Namun tidak berlaku untuk semua orang bisa memilih pendapat yang paling ringan. Hanya bagi orang awwanlah yang bisa mengikuti para ulama Mujtahid yang paling ringan. Memilih pendapat mana yang kita sukai. Selama memang pendapat itu keluar dari mulut seorang ulama mujtahid mu’tabar, yang memang punya kapasitas untuk itu. Dan bukan keluar dari seorang yang sama sekali tidak kompeten dalam mengeluarkan sebuah pandangan atau fatwa dalam masalah fiqih. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. ِ ت َما ُخيِّ َر رسول اللَه صلّى اللَه عليه وسلّم ْبْي ْ ََع ْن َعائ َشة قَال ُّ َيسرمها إّل أن يكون فيه إِ ْْثٌ فإن كان ْإْثًا كان َ ْأمَريْن قَط ّإّل اختار أ ِ عد الناس منه َ ْأَب Artinya : Dari „Aisyah ra, beliau berkata bahwa Nabi tidak diberikan 2 pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah kecuali jika itu dosa. Kalau itu dosa ia adalah orang yang paling menjauhinya” (HR Ahmad) 51 Sayyid Sabiq, 2001, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Bairut, Darl Fikr, Juz 1, hlm. 85 Imam Al-Qorofi dari kalangan Malikiyah mengatakan secara tegas kebolehan bagi seseorang untuk beribadah dengan landasan pendapat ulama yang memang meringankannya. Tapi kemudian beliau memberikan syarat bahwa keputusannya mengambil pendapat yang ringan tersebut tidak membuatnya mengerjakan suatu amalan yang batil dan juga tidak sampai kepada prkatek Talfiq. Ibid, hlm. 86 52 41 2) Memilih Pendapat yang Paling Berat 53 Imam Ahmad bin Hanbal dan juga beberapa ulama dari kalangan Malikiyah sangat keras, sehingga orang dihukumi haram jika mengikuti pendapat yang mudah atau yang ringan. Ulama ini mewajibkan mengambil pendapat yang memang berat dan kuat. Ini juga termasuk pendapat Imam Al-Ghozali dari kalangan Syafiiyah. Menurut pendapat ini, bagi seseorang yang mengambil pendapat ringan dalam beribadah menggambarkan pada keinginan hawa nafsu saja. Padahal Allah memerintahkan kepada kita untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits Jika menghadapi sebuah perbedaan. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa [04] : 59, yang sudah dikutip di atas. Demikian juga yang dikatakan oleh Imam Al-Ghozali dalam kitabnya : Seorang awaam (yang tidak mampu berijtihad) tidak diperkenankan baginya menyeleksi pendapat madzhab yang paling menguntungka buatnya, (khawatir) ia bisa melampaui batas (memudahkan). 54 3) Memverifikasi Pendapat Ulama’ 55 Imam Syathibi menjelaskan bahwa bagi seseorang ketika menemui sebuah pendapat ulama’ yang berbeda dalam satu masalah, hendaknya mencari pendapat yang lebih unggul. Tidak 53 ------- 1977, Usul Madzhab Al-Imam Ahmad (Dirosah Usuliyyah Muqoronah), Riyad, Al-Hadisiyyah, hlm. 662 54 Abu Hamid Muhammad Al-Ghazal, Al-Mustashfa min Ilmi Al-Usul Imam Al-Ghazali, Juz I, hlm. 374. (Maktabah Syamilah) 55 Ibrahim Abu Ishaq As-Syatibi Al-Maliki, Al-Muwafaqot Fi Usul As-Syari‟ah, Juz V, hlm. 84. (Maktabah Syamilah) 42 boleh baginya langsung memilih yang lebih mudah ataupun yang lebih berat sebagai pedoman. Tapi menimbang terlebih dahulu mana yang paling kuat dan melihat bagaimana Imam Mujtahid itu beristidlal (berdalil). Karena menurut beliau perbedaan pendapat dikalangan ulama untuk seorang awwam itu bagaikan dalil-dalil yang saling berselisih. Dan bagi awwam adalah hal yang membingungkan. Pendapat Imam Syathibi bisa menjadi pendapat penengah antara dua pendapat di atas. Akan tetapi pendapat beliau di sini tidak bisa diemplementasikan kepada seluruh orang, itu hanya cocok bagi mereka yang mampu memverifikasi pendapat mana yang sekiranya kuat. Sedangkan yang tidak mempu, cukup mengikuti pendapat salah satu pendapat ulama. Sedangkan cara yang baik bagi orang yang awwam ialah mengikuti pendapat madzhab Negara. Andai kata dalam sebuah negara menganut sistem salah satu madzhab fikih sebagai pedoman hukum. Seperti halnya seorang yang tinggal pada lingkungan Maliki, mengikuti pendapat Madzhab Maliki. Demikian juga apabila tinggal di lingkungan Hanafi, Safi’i dan Hambali. Namun jika tidak demikian ikutilah pendapat yang banyak dipegang oleh lingkungan sekitar, yaitu suara mayoritas.56 Karena bagaiamanapun menampakkan perbedaan di kalangan masyoritas pasti akan menimbulkan gesekan. Disadari atau tidak, masih banyak pihak 56 Demikianlah pendapat Ustad Ahmad Zarkasi, Lc. M.A, DIALOG INTERAKTIF tema MENILIK ULANG DINAMIKA PEMIKIRAN MADZHAB FIQIH, Hotel Dafam Kab. Pekalongan, 09.30, 23 April 2014. 43 yang alergi dengan perbedaan. Tentu jalan yang terbaik ialah mengajarkan mereka tentang perbedaan itu sendiri, agar kedepannya tidak ada lagi yang aneh dengan perbedaan fiqih. Memang tidak ada kewajiban seseorang untuk berpegang pada salah satu madzhab tertentu. Akan tetapi memilih berselisih dengan pandangan mayoritas dalam masalah fiqih bukan sesuatu yang layak dipegang.