peristiwa madiun: realisasi doktrin truman di asia

advertisement
PERISTIWA MADIUN:
REALISASI DOKTRIN TRUMAN DI ASIA
Suar Suroso
PENGANTAR PENULIS
Selama lebih setengah abad, semenjak tahun 1948, terus menerus diuar-uarkan bahwa PKI
memberontak di Madiun. Dituduh menggulingkan negara Republik Indonesia. Mendirikan
negara Sovyet di Madiun. Membunuhi kiyai-kiyai dalam Peristiwa Madiun. Ada yang
menyebar-luaskan bahwa “Peristiwa Madiun adalah perang saudara di Indonesia”.
“Peristiwa Madiun 1948 merupakan bukti pengkhianatan PKI". Begitu mengerikannya
peristiwa ini, hingga ada pula yang menguar-uarkan bahwa “Peristiwa Madiun adalah
peristiwa pembantaian terhadap umat Islam".
Banyak usaha pimpinan PKI di masa lalu membantah tuduhan-tuduhan ini. Antara lain
mengeluarkan
“Buku
Putih
Tentang
Peristiwa
Madiun”
oleh
Departemen
Agitasi/Propaganda CC PKI, tahun 1954. Ada pedato pembelaan DN Aidit di muka
Pengadilan Negeri Jakarta 1955 : “Menggugat Peristiwa Madiun” dan pedato di depan
Parlemen RI 1956: “Konfrontasi Peristiwa Sumatera dan Peristiwa Madiun”. Yang paling
baru adalah buku Pak Soemarsono Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah,
terbitan Hasta Mitra 2009. Buku ini memaparkan secara terperinci latar belakang dan proses
Peristiwa Madiun. Sebagai seorang kader PKI dan tokoh gerakan pemuda yang ambil
bagian dalam berbagai peristiwa bersejarah semenjak awal Revolusi Agustus, serta
memainkan peranan penting dalam Peristiwa Madiun, Pak Soemarsono tampil dengan
tangguh membela PKI, menyatakan Peristiwa itu bukanlah pemberontakan, tapi adalah
tindakan membela diri.
Indonesia adalah bangsa yang heroik. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan
perkasa rakyat melawan kolonialisme. Bersama dengan semua kekuatan anti penjajahan,
kaum nasionalis, golongan Islam dan penganut agama lainnya, sejak semula, dan dalam
seluruh perjuangan anti-kolonial Belanda, kaum kiri dengan organisasinya PKI, baik legal
maupun illegal ambil bagian secara aktif. Tanah buangan Digul, pulau penjara Nusa
Kambangan menjadi saksi sejarah, bahwa kekuatan kiri, terutama PKI adalah kekuatan
penting perjuangan melawan kolonialisme Belanda, merebut kemerdekaan nasional.
Sejarah mencatat keperkasaan kaum kiri melawan kolonialisme Belanda. Tak sedikit yang
dibunuh Belanda dan mati di tiang gantungan seperti Egom, Hassan dan Dirdja, Si Patai
1
dan Si Manggulung, dan yang meninggal di tanah buangan Digul seperti Ali Archam dan
lain-lain, yang dibunuh Keng Pei Tai Jepang, termasuk vonis mati kekuasaan fasis Jepang
bagi Amir Sjarifoeddin.
Kaum kiri aktif dalam perjuangan bersenjata semenjak awal revolusi Agustus 1945. Bukan
saja tangguh dalam perlawanan melawan kolonialisme dan fasisme, tapi kaum kiri
Indonesia, terutama PKI mempunyai gagasan yang lengkap tentang masa depan Indonesia:
mengalahkan kolonialisme, merebut kemerdekaan nasional, melenyapkan feodalisme,
membangun Indonesia merdeka yang makmur, mewujudkan cita-cita sosialisme.
Jelas-jemelas, sejarah mencatat pengorbanan dan bakti kaum kiri serta gagasannya
membangun Indonesia baru. Inilah yang menyebabkan semenjak Pemerintah pertama RI
yang lahir dalam Revolusi Agustus 1945, bersama Bung Karno, wakil kaum kiri ikut dalam
Pemerintah RI. Semenjak remaja Bung Karno sudah tampil sebagai seorang tokoh
nasionalis kiri, dengan gagasan-gagasan kolosal yang berpengaruh bagi perkembangan
sejarah Indonesia. Di tahun 1926 Bung Karno sudah tampil dengan gagasan kerjasama
kekuatan-kekuatan penganut nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, yang kemudian
menjadi Nasakom, mencetuskan Pancasila Dasar Negara dan mengajarkan Tri Sakti :
bebas dalam politik, berdaulat dalam ekonomi serta berkepribadian dalam kebudayaan,
bersikap teguh berjuang melawan imperialisme, mengambil prakarsa menggalang
persatuan rakyat-rakyat Asia Afrika dengan menyelenggarakan Konferensi Bandung, jadi
tokoh terkemuka dalam Gerakan Non Blok, bersatu dengan kekuatan kiri dan sampai akhir
hayat membela gagasan Nasakom. Di kala Bung Amir Sjarifoeddin dijatuhi vonis hukuman
mati oleh pemerintahan fasis Jepang, Bung Karno tampil membelanya, hingga selamat tidak
dieksekusi.. Bung Karno adalah tokoh terkemuka kekuatan kiri dalam sejarah Indonesia.
Dalam Peristiwa Madiun, dengan Amerika memainkan peranan di belakang layar, terjadi
pertarungan berbagai kekuatan politik, yaitu antara: Pemerintah dengan Hatta sebagai
Perdana Menteri bersama pendukungnya kaum nasionalis, penganut agama Islam dengan
inti Masjumi yang anti komunis, penganut aliran sosial demokrat dengan PSI yang anti
komunis, anti Uni Sovyet, dan berorientasi ke Barat, golongan Trotskis yang anti PKI;
melawan kekuatan kiri terutama PKI. Bung Karno yang membawakan suara Pemerintah
Hatta pada permulaan peristiwa, dalam sidang kabinet tetap bersikap melindungi
tokoh-tokoh kiri, yaitu menentang dibunuhnya tokoh-tokoh kiri yang telah tertangkap.
Amerika yang semula memihak Belanda pada awal revolusi Indonesia, berobah haluan
memihak Pemerintah Hatta dan dengan kuat mendukung Pemerintah Hatta yang
menempuh politik sehaluan dengan Amerika membasmi kekuatan kiri, terutama PKI di
Indonesia.
2
Dengan Peristiwa Madiun, semua kekuatan kiri telah disingkirkan dari kekuatan bersenjata
dan Pemerintah Indonesia. Tokoh-tokoh pimpinan utama PKI dan pimpinan gerakan buruh
Indonesia dibunuh mati tanpa pengadilan. Maka yang terjadi dalam Peristiwa sejarah ini
adalah penyingkiran kaum kiri dari kekuatan bersenjata dan Pemerintah RI serta
pembasmian pemimpin-pemimpin utama kaum kiri. Inilah yang diuar-uarkan sebagai
pemberontakan PKI.
Tidak sedikit buku diterbitkan di dalam dan luarnegeri mengenai hal ini. Buku sejarah yang
ditulis para wartawan, sastrawan, sejarahwan, termasuk buku pelajaran sejarah di sekolah
menuduh PKI memberontak. Ini pengebirian sejarah. Pemalsuan sejarah mengakibatkan
pengucilan sebagian anak bangsa. Memecah-belah bangsa. Di negeri mana pun di dunia,
tuduhan memberontak adalah vonis mati bagi sang tertuduh.
Pembasmian atas kaum kiri dan pemalsuan sejarah berlangsung lebih berlarut-larut selama
kekuasan rezim orba di bawah Suharto. Jelas-jemelas, kaum komunis, Sukarnois adalah
pelaku sejarah yang aktif dan berjasa dalam melawan kolonialisme Belanda, merebut dan
membela kemerdekaan nasional. Dengan memanipulasi Peristiwa G30S, PKI dan kaum kiri
dan Sukarnois telah dijadikan sasaran pengutukan sebagai pengkhianat. PKI dilarang.
Demikian pula ideologi revolusioner, Marxisme, yang oleh Bung Karno dinyatakan sebagai
ilmu yang kompeten untuk memecahkan masalah-masalah sosial, dinyatakan terlarang
diseluruh Indonesia. Dengan membasmi kaum kiri dan Sukarnois, kekuasaan fasis rezim
orba Suharto mendapat dukungan kekuasaan asing, terutama Amerika. Republik Indonesia
yang merdeka berobah menjadi negara tergantung pada kekuasaan asing, menjadi
kekuasaan jahiliyah dan melahirkan masyarakat jahiliyah. Pemalsuan sejarah terjadi secara
semena-mena, terutama mengenai Peristiwa Madiun.
Pengebirian sejarah terjadi, karena Peristiwa Madiun ditinjau terlepas dari konteks situasi
internasional waktu itu, yaitu terlepas dari mulai berkobarnya Perang Dingin. Seusai Perang
Dunia kedua, Amerika dilanda histeria anti-komunisme. Histeria ini demikian mengerikan,
hingga penguasa Amerika merasa serangan Uni Sovyet untuk membasmi Amerika sudah
segera akan terjadi. Maka untuk menyelamatkan Amerika, dimana saja kaum komunis
berada, harus dibasmi, dikucilkan dari kekuasaan negara. Inilah Doktrin Truman yang
dikobarkan mulai tahun 1947. Doktrin Ini berhasil dilaksanakan di Yunani dan Itali. Juga
menjalar ke Asia. Indonesia jadi sasaran pertama.
Duduknya Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia, dan adanya
menteri-menteri dari golongan kiri dalam Pemerintahan Indonesia merupakan duri di mata
penguasa Amerika. Ditambah lagi meningkatnya prestise Uni Sovyet di mata kaum kiri
3
Indonesia kian mengerikan bagi Amerika. Dalam pembasmian kaum kiri di Indonesia,
Amerika bukan saja terlibat, bahkan menjadi dalang di belakang layar.
Seusai Perang Dunia kedua, di Korea dan Vietnam juga kaum kiri tampil dan merebut
kekuasaan politik. Untuk pembasmiannya dikobarkanlah Perang Korea dan Perang Vietnam.
Mendahului Perang Korea dan Perang Vietnam, terjadi pembasmian kaum kiri di Indonesia.
Peristiwa Madiun adalah pendahuluan realisasi Doktrin Truman di Asia. Tentang Perang
Korea dan Perang Vietnam, Penulis juga memaparkannya dalam buku Bung Karno Korban
Perang Dingin terbitan Hasta Mitra.
Peristiwa Madiun adalah salah satu realisasi Doktrin Truman di Asia. Kaum kiri tersingkirkan
dari kekuatan bersenjata dan Pemerintah RI, pimpinan tertinggi PKI dan gerakan buruh
terbunuh. Tapi pembasmian kekuatan kiri belumlah tuntas. Doktrin Truman berlanjut
pelaksanaannya, hingga Bung Karno jadi korban Perang Dingin dan pimpinan utama PKI
generasi kedua terbasmi. Tapi kekuatan dan gerakan kiri di Indonesia tidaklah punah.
Buku Peristiwa Madiun:Realiasasi Doktrin Truman Di Asia adalah sebuah kajian sejarah
tentang kenapa terjadi pembasmian kaum kiri, dan tentang bagaimana proses pembasmian
itu. Terutama dipaparkan tentang terlibatnya Amerika. Dan tentang peranan di belakang
layar yang dimainkan Amerika. Semoga kajian ini bermanfaat bagi usaha penulisan sejarah
yang bertolak pada cari kebenaran dari kenyataan.
*****
PERISTIWA MADIUN: REALISASI DOKTRIN TRUMAN DI ASIA (2)
Perdana Menteri Moh. Hatta berpedato di depan Badan Pekerja KNI P 20-9-1948 ..
“Saudara Ketua !
Seperti diketahui PKI – Muso telah mengadakan coup, perampasan kekuasaan di Madiun,
dan mendirikan disana suatu pemerintahan baru sebagai permulaan untuk merobohkan
Pemerintah Republik Indonesia.
Sudah tersiar ucapan dari Soemarsono, yang bunyinya ‘dari Madiun mulai kemenangan’
dan nyatalah bahwa pemberontakan ini bermaksud untuk merobohkan Pemerintah dan
menguasai seluruh Republik.
4
Tersiar pula berita– entah benar entah tidak – bahwa Muso akan menjadi Presiden Republik
rampasan itu dan Mr Amir Sjarifuddin perdana menteri.”
[Kementerian Penerangan RI, MENDAYUNG ANTARA DUA KARANG, Djakarta 1951, hal.
27 ]
BONNIE TRIYANA
Sejarawan, Pemimpin Redaksi Majalah Historia
BUKU SUAR PENERANG SEJARAH YANG GELAP
Sejarah ditulis oleh pemenang. Begitulah postulat yang sering didengung-dengungkan oleh
para sejarawan – dan juga – oleh orang-orang yang menganut paham bahwa sejarah milik
pemenang. Jika memang postulat tersebut bisa menjadi titik pijak sebuah teorema, maka
bisa-bisa kita terjebak bahwa kekuasaan yang paling berhak menulis sejarah adalah
Amerika Serikat. Mengapa ? Karena Amerika Serikat hadir di dalam beberapa peristiwa
sejarah yang berujung pada p[ergantian kekuasaan. Dan ia pula yang menjadikan
seseorang pemenang atau mengalahkan pihak yang lain.
Buku yang ditulis oleh Suar Suroso ini menceriterakan sepak terjang Amerika Serikaat di
dalam suatu peristiwa yang tenmtu memiliki akar historis yang panjang. Bukan rahasia lagi
jika kebijakan luarnegeri Amerika Serikat pasca Perang Dunia Kedua selalu bernuansa
subversif. Itu bukan omong kosong. Indonesiaonis George McTurnan Kahin pernah menulis
sebuah buku mengenai keterlibatan pemerintahan Eisenhower dalam Peristiwa PRRI dan
Permesta. Kahin lantas mendirikan sebuah teorema bahwa saat itu Amerika Serikat
menjalankan kebijakan subversif sebagai poltik luar negerinya.
Politik subversif itu akan segera dijalankan terutama jika berkaitan dengan urusan
komunisme. Maklumlah, pasca Perang Dunia Kedua Amerika punya musuh bersama:
komunisme yang gigih menentang hawa nafsu tamak dari kapitalisme yang dianutnya.
Kalau sudah urusan memerangi komunisme di Indonesia, Amerika puny 6a cerita panjang.
Cerita itulah yang dirangkai oleh Suar Suroso, untuk membuktikan tindak-tanduk Amerika di
dalam mendudukkan seseorang pemimpin yang anti gerakan kerakyatan. Doktrin Truman
jelas sekali menunjukkan bagaimana posisi Amerika versus komunisme yang digawangi
oleh Uni Soviet.
AWAL MUASAL DOKTRIN TRUMAN
Doktrin Truman lahir pasca Perang Dunia Kedua sebagai respons atasa meluasnya
pengaruh komunisme Uni Soviet ke berbagai belahan dunia. Cerita ini diawali pada 2947
5
saat pendukung komunis di Yunani dan Turki semakin menguat. Posisi dua negara itu
masih berada di lingkaran dalam Eropa menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Inggris
dan Amerika. Dalam rapaat antara pejabat Departemen Luar Negeri dengan para anggota
Kongres, Wakil Menteri Luar Negeri, Dean Acheson, menyampaikan, bahwa apabila Yunani
dan Turki jatuh ke tangan komunis, maka komunisme akan menjalar ke Iran dan b ahkan
sampai ke India. Di sinilah munculnya domino theory (teori domino). Truman menyatakan
bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara
tetangganya akan juga akan terancaam jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam
permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di
seluruh dunia, tidak terkecuali di wilayah
Asia Tenggara.
Untuk mendukung rencananya, maka pada 12 Maret 1947, Presiden Harry S.Truman
meminta Kongres untuk menyhetujui pemberian dana sekitar 400 juta USD untuk Yunani
dan Turki. Dukungan dana itu akan diberikan geuna mendorong kelompok-kelompok
antikomunis di kedua negara agar mampu menangkal pengaruh komunis di negaranya.
Kebijakan itulah yang kemudian dikenal sebagai Doktrin Truman dan diberlakukan kepada
negara lain yang Amerika anggap memiliki potensi untuk jatuh ke tangan komunis. Inti dari
doktrin itu adalah policy of containment atau kebijakan pembendungan yang mengisolasi
Uni Soviet secara politik dan ideologi, dan AS akan menghadang komunisme di pamanapun
di seluruh dunia.
Ternyata Amerika tak tinggal diam melihat Eropa yang porak poranda akibat Perang Dunia
Kedua dan adanya ancaman pengaruh Soviet yang semakiin mendekat ke Eropa. Pada
Juni 1947 Menteri Luar Negeri AS George Marshall menyusun Matshall Plan, sebuah
program kebijakan untuk membendung pengaruh Uni Soviet kepada negara-negara Eropa
yang sedang dalam kesulitan finasial. Kongres AS pun menyetujui kucuran dana sebesar 12
milyar Dollar untuk program Marshall Plan.
RED DRIVE PROPOSAL DAN RENCANA JAHAT
PEMBASMIAN KAUM KIRI
Akan halnya di Eropa, Amerika pun memberikan perhatian besar kepada Asia Tenggara
termasuk Indonesia yang mereka khawatirkan jatuh ke dalam pelukan komunisme. Peran
Amerika di dalam Peristiwa Madiun itu terungkap di dalam persidangan DN Aidit pada 1954
yang dianggap melakukan usaha subversif atau perlawanan terhadap negara dalam
Peristiwa di Madiun tahun 1948. Dalam persidangan tersebut ia mengajukan Hatta sebagai
saksi untuk mengungkapkan kebenaran mengenbai peristiwa Madiun tersebut. Namun
permohonan itu ditolak oleh Jaksa. Lalu kenapa Hatta harus diajukan menjadi saksi oleh
Aidit?
6
Hatta adalah Perdana Menteri pada saat peristiwa Madiun terjadi. Ia diyakini mengetahui
dan bertanggung jawab atas provokasi Madiun yang menimbuylkan Peristiwa Madiun 1948,
palingb tidak begitulah banyak kaum kiri percaya. Kabarnya, pada tanggal 21 Juli 1948
terjadi pertemuan rahasia antara pihak Indonesia yang diwakili oleh Hatta, Natsir,
Mohammad Roem, Soekiman, dan Soekamto dengan pihak Amerika yang diwakili oleh
Merle Cochran dan Gerald Hopkins di Sarangan Jawa Timur menyangkut program bantuan
bagi Indonesia yang pad akhirnya menghasilkan Red Drive Proposal.
Red Drive Proposal merupakan bagian dari politik perang dingin Amerika Serikat sebagai
upaya untuk merangkul bangsa yang baru saja merdeka ini ke dalam pengaruhnya, dan
Red Drive Proposal dapat dianggap sebagai ujian apakah pemerintah Hatta mampu
menyingkirkan golongan kiri yanmg ada di Indonesia dengan imbalan apapbila usaha
tersebut berhasil Pemerintah Amerika akan memberikan bantuan dalam bidang ekonoimi
serta menekan pemerintahan Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia sebagai
negara merdeka.
Kebenaran mengenai Red Drive Proposal dan pertemuan rahasia di Sarangan memang
masih kontroversi. Namun dari beb rapa fakta yang terjadi dan peristiwa sejarah yang
muncul dalam rentangan perjalanan banmgsa Indonesia ini seakan membuktikan
kebenaran versi sejarah bahwa Hatta dan Amerika memang benar-0benar berada di
belakang pembasmian kaum kiri di Indonesia.
Selang beberapa bulan semenjak disepakatinya Red Drive Proposal itu lah Madiun Affairs
terjadi. Perdana Menteri Mohammad Hatta berhasil mematahkan apa yang mereka sebut
sebagaiPem,berontakan PKI di Madiun. Amior Sjarifuddin cum suis ditangkap dan langsung
dieksekusi tanpa melalui proses peradilan, suatui tabiat militer yang terus dilanggengkan
sampai dengan masa Orde Baru di bawah Soeharto.
Upaya pemberangusan komunis sempat terjeda sesaat ketika tiga serangtkai Aidit, Lukman
dan Njoto berhasil membangun PKI sebagai salah satu partai terkuat di Indonesia. Partai ini
menduduki posisi ketiga di dalam pemilihan umum 1955. Secara masif menjangkau seluruh
desa yang ada di Indonesia. Dalam waktu singkat PKI berhasil merebut simpati rakyat.
Amerika tidak tinggal diam. Sebuah siasat disusun kembali. Berbagai aksi spionase sampai
dengan aksi intimidasi secara terang-terangan dilakukan untuk meruntuhkan kekuasaan
Soekarno yang dinilai memberi anagin bagi tumbuhnya PKI. Intrik dan tipu daya disebarkan.
“Our local Army friend” pun diberdayakan untuk bisda membuat gerakan yang taktis dalam
rangka menjatuhkan Soekarno.
Aksi itu menemui keberhasilan pada 30 September 1965. Enam perwira tinggi dan satu
perwira menenang Angkatan Darat diculik lantas dibunuh oleh sekelompok tantara yang
menamakan diri Gerakan 30 September. Soeharto yang semula tak dikenal sonta muncul.
Ia menjadi sang penyelamat dari segala kekacauan. Di sanalah dimulai pembasmian
massal anggota dan simpatisan PKI. Dan saat itulah momen kemenangan AS. Indonesia
7
yang sejak semula mengarahkan diri kepada sosialisme akhirnya berganti jubah menjadi
poenganut kapitlis di bawah Soeharto.
Apakah ini serentetan kejadian yang diawali Doktrin Truman? Sebagian orang ada uyang
tak percaya teori konspirasi. Karena menurut mereka teori ini Cuma khayalan yang timbul
dari mereka yang frustrasi karena tak berhasil meraih kekuasaan. Tapi jika pun mereka
benar, bagaiman mereka bisa menjelaskan tentang keterlibatan Amerika di dalam melatih
pemberointak PRRI di pangkalan militernya di Okinawa, Jepang? Apakah itu isapan jempol
belaka? Ataukah keterlibatan Amerika Cuma sassus yang tak perlu diperbincangkan lagi?
Buku Suar Suroso membuka mata orang untuk lebih tahu siapa Amerika Serikat
sebenarnya. Selebihnya, selamat membaca.
*****
PERISTIWA MADIUN:
REALISASI DOKTRIN TRUMAN DI ASIA (6)
Amerika Serikat Dan Peristiwa Madiun.
Peranan Belgia.
Dalam usaha menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda, masalah perkembangan pengaruh
komunis di Indonesia menjadi benang merah perhatian ketiga anggota Komisi Tiga Negara.
Komisi Tiga Negara dibentuk atas putusan Dewan Keamanan PBB 25 Agustus 1947.
Dengan Resolusi 31, Indonesia dan Belanda diminta melakukan perundingan damai
dibawah pimpinan sebuah komisi Jasa-Jasa Baik. Dalam pembentukan Komisi ini,
Indonesia memilih Australia, dan Belanda memilih Belgia. Belgia dan Australia memilih
Amerika Serikat sebagai Ketua Komisi. Pemerintah Belgia mengangkat mantan Perdana
Menteri Paul van Zeeland, Australia mengangkat Thomas Chritcley dan Amerika Serikat
diwakili oleh Coert Du Bois. Sebagai anggota Komisi Tiga Negara, dan juga anggota tidak
tetap Dewan Keamanan PBB, Belgia ikut memainkan peranan penting. Menurut pejabat
pemerintah Belgia, sikap Belgia mengenai masalah Indonesia tidaklah secara langsung
dipengaruhi oleh ketakutan akan ekspansi Uni Sovyet, akan infiltrasi komunis di Indonesia
atau ketakutan akan komunisme. Walaupun bersikap bebas, mengenai masalah-masalah
penting yang menentukan, Belgia mengalami tekanan dari Amerika.
Dalam bulan Oktober 1945, Duta Besar Belgia di London berpendapat bahwa “agitasi kaum
nasionalis nampaknya tidaklah diilhami oleh Moskow” ( AMBZ 1945: Cartier de
Marchiennes)*]. Satu tahun kemudian, konsul Belgia Vanderstichelen di Batavia
memperingatkan: “.... Tan Malaka, namanya perlu diingat karena peranannya sebagai
8
pemimpin komunis, yang dapat pendidikan di Moskow, masih akan memainkan peranan
dalam revolusi...” (AMBZ 1946: Vanderstichelen aan Spaak). Maka perlu diperhitungkan
terdapatnya komunis di Indonesia. Tanggal 24 Mei 1947, Duta Besar Nemry mengajukan
kepada Spaak, Perdana Menteri, Menteri Luarnegeri Belgia, pertanyaan berikut: “Haruskah
dilenyapkan kekuasaan politik Sukarno, dan dengan secara diam-diam mendukung yang
lainnya yang mendapat perintah Sovyet, yang kekuatannya kian bertambah besar untuk
menentang negara Barat tertentu …” (AMBZ 1947: Nemry aan Spaak). Menurut Nemry,
beberapa bulan kemudian sungguh-sungguh terjadilah usaha komunis yang bagaikan hal
yang dengan sendirinya: “….jelaslah ada usaha Sovyet, tetapi itu tidak memainkan peranan
sangat penting dalam peristiwa-peristiwa ini”. (AMBZ 1947, Nemry aan Spaak). Selanjutnya
lebih dapat dipastikan, bahwa “para peneliti tidaklah mendapatkan bukti-bukti mengenai
adanya tangan-tangan Sovyet” (Glorieux 1990:: 19). Dalam dokumen-dokumen arsip
tidaklah terdapat masalah-masalah yang tegas mengenai keterlibatan Belgia sekitar
keberadaan komunis di Indonesia. Menurut pandangan pejabat Belgia, “dalam musim
panas 1948, Washington memberikan dukungan pada Belanda mengenai masalah
Indonesia. Amerika menjadi tidak sabar ketika Persetujuan Renville tidak mencapai hasil
yang diharapkan dan pengolahan dalam Komisi Jasa-Jasa Baik sering tak mencapai hasil.
Belgia berpendapat bahwa pendirian Belanda yang kaku selalu menimbulkan kesulitan”.
(Glorieux 1990: 60.)
Sesudah kunjungan Du Bois, wakil Amerika dalam Komisi Jasa-Jasa Baik pada bulan Mei
1948 ke daerah Republik Indonesia, Amerika melihat bahwa kaum nasionalis Indonesia
bukanlah lagi inkompeten, doktriner dan anti-Barat. Menurut G.J.Homan, “lebih baik
bersikap bersahabat dengan Amerika Serikat, walaupun jelas tampaknya Republik
Indonesia ingin membuka hubungan dengan Uni Sovyet”. (Homan 1990: 127.)
Homan menerima politik containment, yang bagi pandangan Amerika mulai tahun 1948 juga
berlaku buat Asia. Pada saat itu pasukan komunis di Tiongkok selalu mencapai
kemenangan penuh atas Chiang Kai Shek. Kegagalan politik-Tiongkok Amerika – politik
membendung perkembangan komunis -- menjadi kian jelas. Menurut Homan, “Washington
berpendapat bahwa perkembangan masalah di Indonesia mengandung bibit-bibit yang
seperti di Tiongkok, yaitu kekuatan komunis kian berkembang”. (Glorieux 1990: 61).
R.McMahon dan J.Gaddis memandang bahwa bertambah kerasnya sikap Amerika terhadap
Belanda tak lebih dan tak kurang sebagai pernyataan anti-kolonialisme dari Amerika.
Menurut kedua penulis ini, “tidak ada tanda-tanda tampilnya kaum komunis sesudah
Belanda mundur dari Indonesia”. ( McMahon 1981: 1945-1949. Ithaca,) dan (J. Gaddis tt:
58).
9
Dari penolakan Belgia atas usul Plan Du Bois-Chritchley dalam Komisi Jasa-Jasa Baik,
konsul Amerika di Jakarta mengirim laporan kepada pemerintahnya mengenai sikap wakil
Belgia, Herremans: “Herremans yang tidak kompeten menyebabkan meningkatnya
kekecewaan wakil Amerika Serikat”. (Livengood 1948: 59.)
Menurut Drooglever, semenjak September 1948 terjadi perobahan orientasi Washington.
Drooglever menyatakan bahwa “kembalinya Suripno dan Musso, pemimpin-pemimpin
komunis yang dapat didikan Moskow, menyebabkan meningkatnya kegelisahan Amerika
dalam tahun 1948. Terdapat desas-desus bahwa Musso mereorganisasi kaum komunis
dengan maksud merebut kekuasaan sebagaimana halnya model Cekoslowakia”.
(Drooglever 1996: 492) “Dan tak ada kemajuan mengenai usul delegasi Amerika” (FRUS
1948: 157). Wakil Amerika yang baru, “Merle Cochran, mengajukan usul baru, dengan
maksud cepat mencapai hasil”. (Taylor 1960: 142-153). Cochran adalah seorang diplomat
dengan kedudukan yang lebih tinggi dari pendahulunya. Sesungguhnya, hanyalah sedikit
pembaruan dalam usul Cochran itu. Semua usul-usul dalam plan du Bois-Critchley terdapat
di dalamnya, karena itu harapan untuk ditolak oleh sidang Komisi sangat jelas. Tanggal 14
September Spaak, “Menteri Luarnegeri Belgia, – melalui Duta Besar Belgia di Amerika,
Silvercruys – mendapat pesan dari Kementerian Luarnegeri Amerika, supaya usul itu jangan
ditolak” (AMBZ 1948, Silvercruys aan Spaak). Hal ini disampaikan kepada Diplomat
Herremans, dan diminta supaya bertindak sesuai dengan petunjuk Kementerian Luarnegeri
Belgia. (AMBZ 1948: Spaak aan Herremans.) Pada saat itu dia sendiri sudah merasakan
tanda-tanda sikap Amerika, yaitu ”dalam perkembangan keadaan sekarang ini, Amerika
Serikat tidaklah bersikap pasif terhadap munculnya satu pemerintah komunis...…biar
mengorbankan kepentingann salah satu yang terlibat” (AMBZ 1 1948: Herremans aan
Spaak.) “Tekanan yang datang dari Amerika Serikat menyebabkan Belgia lebih memberikan
perhatian penuh. Dan karena takut bahwa Belgia dan Belanda akan terisolasi sepenuhnya,
maka Direktorat Politik Kementerian Luarnegeri mewakili Spaak, meminta Belanda untuk
memperlunak sikap”. (Glorieux2 1990:, 61). Akhir Oktober 1948 Belanda dan Indonesia
akhirnya menerima plan Cochran. Belanda menerima inisiatif Amerika, dalam pada itu
menyiapkan aksi polisionil yang kedua. Jadi, wakil Belgia dalam Komisi Tiga Negara yang
mendapat tekanan, bersikap mengikuti petunjuk Amerika Serikat.
Peranan Australia.
Dengan menilainya sebagai sahabat, Pemerintah Indonesia memilih Australia untuk jadi
anggota KTN. Sikap simpati gerakan buruh Australia terhadap perjuangan rakyat Indonesia
untuk kemerdekaan nasional, menyebabkan para pemimpin Indonesia menghargai
1
2
AMBZ = Archief van Ministerie van Buitenlandsche Zaken.
Glorieux: De houding en rol van Belgie.
10
Australia. Pemerintah Australia disikapi sebagai Pemerintah Partai Buruh. Di kalangan
kader pimpinan PKI terdapat rasa respek pada Partai Buruh Australia. Tapi Pemerintah
Partai Buruh ini memegang prinsip bekerjasama dengan Amerika Serikat dan ingin
mencegah berkuasanya komunis di Indonesia.. Dalam tahun 1948, Pemerintah Australia
menjalankan politik regional yang bertolak dari pandangan Amerika Serikat dan Inggeris
terhadap Republik Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan.
Dalam bulan April 1948, Dr. Herbert V. Evatt, Menteri Luarnegeri menyatakan bahwa “salah
satu dari prinsip-prinsip politik luarnegeri Partai Buruh adalah memperkokoh keamanan
daerah Pasifik dengan bekerjasama dengan Amerika Serikat” Perdana Menteri Ben Chifley
dan Menteri Luarnegeri H.V. Evatt menghindari dan tak memandang penting kepentingan
Belanda. Sikap ini mengancam kerjasama Australia dengan persekutuan Barat. Bertolak
dari keadaan konflik Indonesia, Australia menempuh politik luarnegeri yang bebas. Dalam
tahun 1948 Kementerian Evatt menekankan bahwa Asia Tenggara dan terutama Tiongkok
merupakan segi yang krusial bagi politik luarnegeri Australia. Di bawah kekuasaan Belanda,
ketidak-stabilan di Indonesia dipandang sebagai sesuatunya yang potensial bagi dasar
berkembangnya kegiatan komunis. Kementerian luarnegeri Australia menilai bahwa
Indonesia merdeka yang “dipimpin” oleh Australia akan mencegah pemberontakan komunis
di masa depan di kepulauan itu, dan akan mencegah jatuhnya ke bawah payung Partai
Komunis Tiongkok. Selama tahun-tahun itu, Inggeris dan Amerika Serikat mempertahankan
posisinya semula mendukung Belanda. Pada masa itu, Inggeris dan Amerika Serikat terus
memberi suara menentang soal-soal mengenai Republik Indonesia di PBB. Akhirnya, dalam
pemungutan suara di New York Desember 1948, Australia bersama Selandia Baru
mendukung pengesahan satu resolusi, dimana Amerika menentang dan Inggeris
abstain.Terdapat kepercayaan di Canberra, bahwa sebagai akibat dari keseimbangan politik,
maka di Indonesia kian meningkat agitasi sayap kiri. Sebelumnya, konflik-konflik sudah
menimbulkan ketidak-tenangan dalam negeri dan kemungkinan akan terbentuknya
pemerintahan kiri.
Akhir Agustus 1948, wakil Australia dalam Komisi Jasa-Jasa Baik, Thomas Critchley,
mengirim tilgram ke Kementerian Luarnegeri Australia dengan penilaian bahwa “situasi di
Indonesia memburuk dengan cepat” (Critchley 1996: 268.). Selanjutnya tilgram itu
menyatakan bahwa “Pemerintah Hatta mendapat tekanan dari fihak kiri yang mendukung
tawaran Russia”. Tanggal 2 September 1948, Eaton mengirim tilgram ke Kementerian
Luarnegeri dengan analisa tentang berbahayanya situasi politik dalam negeri Indonesia.
“Terdapat tuntutan dari golongan kiri dalam Republik agar pemerintah Hatta meletakkan
jabatan dan membentuk pemerintah dengan kabinet parlementer. Sesudah dikeluarkan dari
pemerintah, golongan kiri mengembangkan posisi militan yang meningkat dan ekstremis
11
baik mengenai politik dalam dan luarnegeri, terutama semenjak kedatangan Musso,
komunis Indonesia dari Moskow”. (Eaton 1948: 271 ).
Australia melakukan analisa atas kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat Indonesia
yang sedang bertarung. Kekuatan komunis menjadi pusat perhatian. Disamping itu terdapat:
“Golongan Sjahrir yang didominasi oleh kaum doktriner dan bermaksud mencari
penyelesaian. Mereka adalah moderat, berwatak ‘middle of the road’. Kecenderungan
intelektual dari golongan ini adalah bersandar pada teori Sjahrir tentang perkembangan
gerakan nasionalis Asia yang masuk dalam kubu dunia ketiga mempertahankan
keseimbangan antara Komunisme Sovyet dan Kapitalisme Amerika. Pengaruh
tokoh-tokohnya tidak dapat diabaikan terutama pada saat ini dikala mereka menentang
Komunisme......Dengan kedatangan Suripno dari Eropa Timur bersama veteran komunis
Musso dari Moskow, situasi mencapai taraf baru. .... Akhir Agustus dibentuk “politbiro” Partai
komunis yang diperluas yang diorganisasi sebagai suatu Kabinet dan sekretariat
Pemerintah, dengan Amir Sjarifuddin memegang Pertahanan dan Suripno Luarnegeri. Tak
obahnya bagaikan negara dalam negara. Dalam sikap resminya kaum Komunis baru ini
tampak menahan diri dan tidak menyatukan dirinya dengan tuntutan ekstremis dari
kalangan ekstremis yang menuntut segera menghentikan perundingan dengan Belanda”
”Semenjak akhir Mei, komunis mendapat perlawanan dari kalangan Trotskis pengikut Tan
Malaka. Kaum komunis berada dalam posisi kuat menantang Hatta dan Pemerintahnya atas
dasar bahwa mereka tidak berbuat apapun bagi situasi dalam negeri Republik”.
”Kerjasama atau kompromi dengan kaum kiri yang dianggap sama dengan Komunisme
Sovyet sudah tidak mungkin. Republik jadi terpecah dalam dua kubu yang kedua pihaknya
bersenjata”.
Menjelang keberangkatan Menlu Belanda Stikker ke Washington, dalam sebuah tilgram
rahasia dari Den Haag, Evatt menyampaikan, bahwa:“Saya baru saja menyelesaikan
konsultasi yang cukup memuaskan dengan Menteri Luarnegeri. Dia akan berangkat ke
Washington malam ini untuk mendiskusikan usul-usul Cochran dengan Kementerian
Luarnegeri. Yang sangat menjadi perhatiannya adalah keinginannya untuk mencapai
penyelesaian secepat mungkin dengan Hatta. Dia memandang hal ini sebagai langkah
utama untuk mematahkan ancaman serius grup-grup ekstremis komunis.” (Australian 1948:
Evatt to Burton). Ini disusul tilgram Eaton yang menyatakan:“Partai Masyumi
menyelenggarakan sidang luarbiasa tanggal 4 dan 5 September dan mengambil pernyataan
sebagai berikut: … Islam adalah menentang komunisme dan imperialisme” (Australian 1948:
Eaton)
12
Kementerian Luarnegeri Australia memberi petunjuk kepada Dubesnya di Washington:
“Menteri Luarnegeri Belanda sedang di Washington mendiskusikan usul-usul Cochran
dengan Kementerian Luarngeri Amerika. Sampaikanlah segera kepada Kementerian
Luarnegeri AS hal-hal berikut: “Critchley melaporkan dari Jakarta, bahwa Hatta memegang
posisinya dengan baik dan terjamin mendapat dukungann kuat dari KNIP serta Tentara.
Walaupun demikian, dia akan bertindak dengan hati-hati sementara ini: suatu usaha untuk
membuka kembali perundingan atau mengambil tindakan keras terhadap unsur komunis
bisa menjurus ke clash besar-besaran, sedangkan persiapan Pemerintah dengan hati-hati
bisa mendapat kedudukan yang lebih kuat dan waktu beberapa minggu”. ( Australian 1948:
17 September, IMMEDIATE SECRET). Dalam situasi yang sangat genting di Indonesia,
semua menjurus pada usaha mendukung dan memperkuat kedudukan Hatta untuk
menghadapi kekuatan komunis.
Peranan Amerika Serikat
Sebuah laporan CIA pada 14 November 1947 menyatakan: “Di Indonesia dan Indocina,
para penduduk setempat sudah bisa meraba, bahwa usaha-usaha Perancis dan Belanda
untuk dapat berlangsung kembali berkuasa adalah berkat bantuan Amerika Serikat.
Keresahan penduduk terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan
Perancis dan Belanda di Asia Tenggara berkat pelaksanaan bantuan Plan Marshal”. “Pada
akhir 1947, tatkala perekonomian Belanda dan Perancis mulai pulih kembali, pengaruh
komunis di kedua negeri itu mulai menurun. Akan tetapi pada waktu yang bersamaan itu,
kaum komunis mulai mencapai kemenangan di Tiongkok, maka menghadapi
perkembangan ini Amerika Serikat menjadi khawatir akan perluasan pengaruh komunisme
di Asia – tidak saja di Jepang, akan tetapi juga daerah-daerah pemberontakan
anti-kolonialis – terutama di Indonesia dan Vietnam. Maka Pemerintah Truman ketika itu
mendukung kembalinya kekuasaan kolonial untuk menangkal meluasnya komunisme”:.
(Kahin, 1995: 30-31). Politik Amerika membantu kaum kolonial Belanda dan Perancis
adalah dengan tujuan utama: supaya kedua kekuasaan kolonial ini bisa menangkal
perkembangan pengaruh komunisme. Politik ini berubah setelah melihat adanya
kemungkinan terbentuknya pemerintahan nasional yang anti komunis di Indonesia dan
Vietnam.
Dengan menjadi Ketua Komisi Tiga Negara, Amerika Serikat bisa memainkan peranan
langsung dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda. Di balik itu Amerika menggunakan
kesempatan untuk realisasi Doktrin Truman. Selama bulan Juli sampai September tahun
1948, dari korespondensi Merle Cochran dan Kementerian Luarnegeri Amerika dapat
dengan jelas dicatat usaha melaksanakan Doktrin Truman, membendung perkembangan
komunisme di Indonesia.
13
Setelah mengetahui bahwa Pemerintah Hatta dapat dijadikan andalan dalam membendung
perkembangan kekuatan komunis, Amerika Serikat sangat memperhatikan perkembangan
situasi dalam hubungan dengan stabilitas Pemerintah Hatta. Amerika sangat khawatir akan
kemungkin digulingkannya Pemerintah Hatta.Tanggal 21 Juli 1948, dalam tilgram Charlton
Ogburn di Jakarta kepada Menteri Luarnegeri Marshall di Washington disampaikan:
“Diperoleh bukti-bukti adanya tekanan politik dan ekonomi terhadap pemerintah Hatta.
Sarana pengangkutan dan komunikasi memburuk untuk bisa menjangkau semua daerah.
Walaupun pemimpin-pemimpin Republik berusaha menunjukkan kemampuan mereka
menguasai keadaan, namun nampaknya pemerintah ini tidak akan bisa bertahan lama.
Apabila ternyata Hatta tidak bisa menanggulangi situasi, maka terutama ada
elemen-elemen yang menarik keuntungan dari bertambahnya kekacauan.
Poster di jalan utama kota Jogjakarta, yang dipasang oleh partai sayap kiri, sambil
menyerukan kesetiaan pada Rusia bersamaan dengan itu menyerukan perlawanan
terhadap kolonialisme Belanda. Walaupun menurut pengamat Barat dan mayoritas pemuda
serta intelektuil Indonesia, pergeseran ke kiri ini masih bisa dibalikkan.
Waktu mendesak. Sekarang gelagatnya semakin tampak menuju ke keadaan yang tidak
bisa dikendalikan, kekacauan, dan komunis akan menguasai gerakan nasionalisme.
Kelihatannya Komisi Tiga Negara telah lumpuh. Kemungkinan tidak akan ada lagi
sidang-sidang komisi. Mungkin hanya Dewan Keamanan yang akan diadakan setelah
minggu ini. Kecuali jika keadaan bisa diubah secara radikal dengan menggunakan
elemen-elemen baru”. (Ogburn 1948: 267).
21 Juli 1948, dalam keadaan Indonesia diultimatum dengan ancaman serangan militer
Belanda, Frank Graham menyatakan, bahwa Amerika Serikat tidak dapat menekan Belanda
agar tidak menggunakan kekerasan, akan tetapi dapat menekan untuk memastikan
berlangsungnya plebisit di kemudian hari.
Amerika Serikat mengganti wakilnya dalam KTN dengan Merle Cochran. Disamping itu,
Gerald Hopkins, penasihat urusan politik luarnegeri dari Presiden Truman, John Coast,
Campbell dan 5 “diplomat” lainnya, dipindahkan dari New Delhi dan Bangkok ke Yogyakarta.
“Dalam perjalanannya ke Indonesia, Merle Cochran mampir di Belanda, mengadakan
pertemuan dengan Perdana Menteri Beel dan Menteri Luarnegeri Van Boetzelaer serta
Menteri Urusan Seberang Lautan, Jonkman. Dalam pertemuan ini dibicarakan masalah
bahaya komunis dan aksi-aksi subversi” (Morrien 1982: 145). Amerika khawatir dan telah
mengambil langkah-langkah guna mengatasi kian meluasnya pengaruh URSS di Indonesia.
14
Masalah membasmi kekuatan kaum merah menjadi inti dari Doktrin Truman. Realisasinya di
Indonesia berlangsung liwat kegiatan rahasia di kalangan pemegang kekuasaan negara.
Pada 21 Juli 1948 diselenggarakanlah pertemuan Sarangan, yaitu “pertemuan antara dua
orang Amerika, Gerard Hopkins, penasihat urusan politik luarnegeri dari Presiden Truman,
dan Merle Cochran, wakil Amerika pada Komisi Jasa-jasa Baik PBB dengan enam orang
Indonesia: presiden Sukarno, Mohammad Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto dan Roem”.
(Vaillant 1951: 154). “Pertemuan Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang
bernama ‘Red Drive Proposals’ – Usul-Usul Pembasmian Kaum Merah--. Dengan Kaum
Merah tidak hanya dimaksudkan kaum komunis, akan tetapi semua aliran dan elemen yang
anti-imperialis. Menyangkut urusan biaya untuik melaksanakan ‘Red Drive Proposals’ yang
sudah disetujui kedua belah pihak itu, Pemerintah Indonesia menerima uang dari State
Department (Kementerian Luarnegeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 dolar, yang
diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok. Singkatnya, ‘Red Drive
Proposals’ adalah rencana yang diajukan kepada Pemerintah RI oleh para diplomat
Pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi gerakan demokrasi rakyat anti-imperialis”.
(Bintang Merah 1951: 39-52.)
Berlangsung kerjasama yang erat antara Belanda dan Amerika menghadapi perkembangan
pengaruh komunis di Indonesia. Butterworth, Direktur Urusan Timur Jauh di Kementerian
Luarnegeri AS sesudah mendengar dari pejabat Belanda, Mr Helb, mengusulkan, “agar
diambil penyelesaian secara tepat terhadap keadaan yang memburuk ini. Yang dimaksud
dengan keadaan memburuk itu adalah laporan Helb yang menyatakan situasi komunis
menjadi sangat serius di Indonesia, dan dilaporkannya bahwa Pemerintah Belanda mungkin
harus mengambil tindakan terhadap golongan komunis. Dia mengakui sulit untuk
membedakan antara komunis yang menyatakan diri sebagai nasionalis dengan nasionalis
yang sebenarnya”. (Butterworth 1948: 296)
Hasil diplomasi Suripno yang dapat membuka hubungan RI dengan Uni Sovyet sangat tidak
diingini Amerika. 16 Agustus 1948 Konsul Jenderal Amerika di Jakarta berkirim tilgram
kepada Menlu Marshall menyatakan “supaya diperhatikan korespondensi sebelumnya
tentang Suripno dan perundingannya dengan Rusia. Suripno sudah sampai di Jogjakarta. Ia
berbicara dalam pertemuan yang diadakan oleh Badan Kongres Pemuda tanggal 13
Agustus 1948. Dikatakannya antara lain, bahwa kesalahan-kesalahan yang diperbuat pada
revolusi ini disebabkan oleh tidak adanya persatuan nasional yang kuat, dan pendirian
sepihak politik luarnegeri RI. Suripno juga berpendapat bahwa pertukaran misi konsuler
dengan Rusia akan memperkuat posisi Republik, dan Republik akan bisa menarik
keuntungan dari konflik Rusia-Amerika. Ketika masuk Indonesia, Suripno membawa
sekretarisnya, Suparto. Sekarang ternyata oknum ini adalah Musso, seorang nasionalis
15
generasi lama yang telah meninggalkan negeri kira-kira 25 tahun yang lalu. Menurut pers
Jogjakarta, Musso telah diterima dan berbicara lama dengan Soekarno pada 13 Agustus
1948” . (FRUS 1948, Vol. VI: 302-303).
Kembalinya Musso dan Suripno ke Indonesia sangat mendapat perhatian dan merisaukan
Amerika, bahkan membayangkan akan membahayakan bagi Pemerintah Hatta. Amerika
menyangsikan tentang dapatnya Pemerintah Hatta bertahan. Cochran menyampaikan
laporannya kepada Menlu Marshall 26 Agustus 1948: “Mengingat hal-hal lain, kembalinya
Suripno ke Jogja dengan ditemani Musso yang dididik di Moskow, kami meragukan
pemerintah Republik yang sekarang akan bisa bertahan lebih dari beberapa minggu, kecuali
jika diberi kesempatan melanjutkan perundingan dengan Belanda atas dasar Renville.
Sementara orang malah tetap ragu, apakah pemerintah yang sekarang akan bisa bertahan
walaupun kesempatan di atas diberikan. Pemerintah apa pun yang akan menggantikannya
pasti berhaluan kiri. Menurut Kantor Berita Antara, SOBSI dalam pernyataannya tanggal 23
Agustus, menuntut pembatalan perjanjian Linggarjati dan Renville”. (FRUS 1948, Vol. VI:
307).
Rencana fusi Partai Sosialis dengan PKI sebagai pelaksanaan Resolusi Jalan Baru Bagi
Republik Indonesia sangat mendapat perhatian Amerika. Dikhawatirkan peristiwa ini akan
memperkuat gerakan komunis dan membahayakan Pemerintah Hatta. Duta Besar AS di
Belanda berkirim tilgram kepada Menlu Marshall tanggal 3 September 1948 menyatakan
bahwa “kabar-kabar mengenai fusi antara Partai Sosialis di bawah pimpinan Sjarifoeddin
dengan Partai Komunis sangat mengganggu. Bahwa Belanda belum melawan komunis di
Hindia Belanda dengan lebih keras, ini disebabkan oleh karena takut tindakan yang
demikian justru akan mempercepat jatuhnya Kabinet Hatta. Sudah pasti pemerintah
Belanda tidak bermaksud menjatuhkan pemerintah Hatta. Ini karena alasan yang sama,
seperti halnya Amerika Serikat, bahwa pemerintah yang menggantikannya akan dikuasai
oleh komunis”. (FRUS 1948 Vol. VI: 317).
7 September 1948, Konsul Jenderal AS di Jakarta Livengood mengirim tilgram kepada
Menlu Marshall: “Masjumi memutuskan untuk mendukung politik Hatta melawan
elemen-elemen pengacau yang merusak negara, PNI juga akan mendukungnya.
Laporan-laporan dari Jogja menunjukkan, bahwa Hatta mendapat dukungan sebanyak 60%
di Badan Pekerja KNIP”.“Selanjutnya dikemukakan, seorang informan republiken di eselon
atas kemarin memberi tahu staf Konsulat Jenderal, bahwa garis pemisah sudah jelas ialah
non-komunis melawan komunis, bahwa Masjumi akan tetap anti-komunis, bahwa Hatta
bersedia mengambil tindakan keras terhadap elemen-elemen pengacau; bahwa Hatta bisa
berunding dan menandatangani sebuah persetujuan; bahwa akan ada kesukaran dalam
16
pelaksanaan persetujuan, dan Hatta akan meminta pertolongan. Selanjutnya, bahwa
Belanda menawarkan bantuan, tetapi Republik menolak. Akhirnya sumber itu mengatakan,
bahwa Hatta ingin mengetahui posisi resmi Amerika Serikat, terutama mengenai bantuan
terhadap Republik dalam melawan komunis”. (FRUS Vol VI 1948 I: 324-325).
Menurut Lacy, jurubicara Kementerian Luarnegeri Amerika, Bagian Asia Tenggara, Amerika
Serikat yakin bahwa beberapa langkah harus diambil segera untuk mendukung Hatta, jika
tidak, terdapat bahaya penggantian pemerintah oleh Komunis. Oleh karena itu, Cochran
diinstruksikan untuk menyerahkan usul-usul di Batavia dan Jogjakarta secara serentak”.
“Amerika Serikat jelas sangat khawatir akan pertumbuhan kekuatan komunis di Republik”.
(Australian 1948: Cablegram 1028)
Bahwa Hatta mendapat dukungan Amerika Serikat untuk melawan komunisme ditunjukkan
oleh tilgram Menlu Marshall kepada Konsul Jenderal AS Livengood di Jakarta. Berkenaan
dengan pertanyaan Livengood, tanggal 9 September 1948, Menlu Marshall memberi
jawaban: ”Anda boleh dengan hati-hati memberi tahu Hatta sebagai berikut: Pemerintah
Amerika Serikat dengan segala cara yang praktis akan membantu pemerintah Indonesia
yang demokratis non-komunis agar berhasil menahan tirani komunisme”. (Menlu Marshall
1948: 327).
Dalam tilgram tanggal 17 September 1948 dinyatakan bahwa berlangsung pertemuan
antara Stikker, Menteri Luarnegeri Belanda, dengan para pejabat Kementerian Luarnegeri
AS di Washington. “Cochran dan Kemlu AS bertekad membendung kekuatan komunis di
Indonesia yang semakin bertambah, dan bahkan kalau dimusnahkan: kami merasa
ancaman komunis di Indonesia sangat gawat dan dekat; menurut hemat kami ancaman
komunis di Republik ini hanya dapat diselesaikan melalui Hatta; karena campurtangan
Belanda di Republik ini, menurut pendapat kami hanya akan segera mempersatukan
nasionalisme dan komunisme dalam satu front bersama melawan agresi Belanda. Stikker
sangat berhati-hati dalam menjelaskan niat pemerintahnya untuk memperkuat kedudukan
Hatta, dan dengan begitu menciptakan kondisi agar komunisme di Indonesia bisa sukses
dihancurkan”. (FRUS 1948 Vol. VI: 345).
Pada 17-21 September 1948 di Washington berlangsung perundingan antara Menteri
Luarnegeri Amerika Serikat Marshall dengan Menteri Luarnegeri Belanda Stikker. Menjawab
pertanyaan wartawan mengenai perspektif perkembangan komunisme di Asia Tenggara,
Stikker menyatakan: “Justru inilah yang sedang dibicarakan dengan Menlu Marshall”.
Sambil menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap masalah ini, “dia menyatakan
sebagai berikut: pertama, komunisme telah memperluas pengaruhnya di daerah yang
17
dikuasai Belanda; dan di daerah Republik Indonesia; kedua, gerakan itu telah mengganggu
negara-negara Barat untuk memperoleh bahan-bahan strategis dari Asia Tenggara,
terutama dari Indonesia; ketiga sebagaimana Amerika Serikat mengakui bahaya
kebangkitan komunis di Malaya, maka Amerika harus mengetahui dengan tepat, bahwa
kekuatan Belanda ditujukan untuk membasmi komunisme di Indonesia”. (Kyamilyev 1972:
210-211).
Konsul Jenderal AS di Jakarta tanggal 20 September mengirim tilgram kepada Menlu
Marshall: “Musso dan dan Partai Komunis telah merebut kekuasaan di Madiun dan
mendirikan apa yang dinamakam Pemerintah Sovyet di bawah pimpinannya, menurut
siaran pidato radio yang berlangsung selama 20 menit oleh Sukarno dari Jogja; demikian
diberitakan kepada Konsulat Jenderal oleh seorang peneriman berita siaran radio itu.
Sukarno menyerukan agar semua republiken membantunya, dengan mengatakan bahwa,
siapa pun yang menangkap Musso akan membantu menyelamatkan Republik. Dikabarkan
juga, bahwa keadaan darurat perang telah diumumkan”.
Campurtangan dan bantuan Amerika bagi Pemerintah Hatta untuk membasmi komunisme
di Indonesia sangat jelas. 20 September 1948 Cochran berkirim tilgram kepada Menlu
Marshall menyatakan: “Saya bertemu Hatta pada jam 01.05 siang ini. Dia mengatakan
sidang kabinet pagi ini membicarakan pemerintah dalam keadaan darurat untuk menangani
situasi komunis. Sidang malam akan memutuskan mengenai rencana delegasi Amerika
Serikat. Hatta mengatakan, delegasi republik akan memberi jawaban tertulis kepada
delegasi Amerika besok.
Saya mengatakan, krisis ini memberi kesempatan pada pemerintah republik untuk
menunjukkan kesungguhannya dalam menumpas komunis. Ini akan mengesankan bagi
dunia, pada saat ketika Menlu Belanda telah menegaskan pada kita tentang perlunya aksi
bersama di Timur Jauh untuk menumpas komunis. Saya mengatakan, Kementerian
Luarnegeri Amerika menaruh perhatian terhadap ancaman komunis pada pemerintah RI
yang moderat. Saya menambahkan, dengan gembira saya akan merekomendasikan
kepada kepada pemerintah Amerika Serikat tentang cara-cara yang praktis untuk
membantu pemerintah yang demokratis dan non-komunis di Indonesia dalam melawan
komunis”. (FRUS 1948 Vol. VI, hal 357).
Hatta mengharap bisa menumpas pemberontakan Madiun dalam waktu dua minggu. Situasi
gawat, karena di bawah Musso, komunis telah menguasai dua pelabuhan dan pengilangan
minyak, yang merupakan sandaran dan tempat bergantung bagi pemerintah RI di Jogja
18
Tanggal 20 September Cochran mengirim tilgram kepada Menlu Marshall, menyatakan
bahwa “menurut Hatta, republik benar-benar memerlukan perbekalan untuk keamanan,
seperti yang sudah dibicarakan dengan Kuasa Usaha AS, dan amunisi dan persejantaan
yang ada sekarang dipakai untuk melawan komunis; bahwa Belanda tidak usah khawatir
jika republik menerima bantuan persenjataan, yang akan dipakai untuk melawan musuh
bersama”. (FRUS 1948 Vol. VI: 358).
Dalam pekerjaannya, yang membimbing fikiran wakil Amerika dalam Komisi Tiga Negara
adalah usaha membendung komunisme di Indonesia. Inilah isi Doktrin Truman, the policy of
containment yang mulai digalakkan semenjak tahun 1947. Dalam pelaksanaannya di Eropa,
Amerika mendapatkan sekutu andalan Partai Kristen Demokrat dan Partai Sosialis (PSLI) di
Itali, jenderal Papagos di Yunani. Maka di Indonesia, Amerika mendapatkan partai Masjoemi
dengan Ketuanya Dr Soekiman dan Partai Sosialis Indonesia di bawah pimpinan Soetan
Sjahrir. Hubungan baik dan kerjasama Amerika dengan pimpinan Masjoemi berlangsung
liwat Frank Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa-Jasa Baik. Mengenai ini
Soekiman menyatakan, bahwa “Anggota-anggota dari Komisi Tiga Negara, terutama Prof.
Dr Frank Graham yang saya telah kenal persoonlijk, adalah orang-orang yang mempunyai
pandangan luas, sahabat daripada paham kemanusiaan dan mempunyai pengertian yang
dalam tentang soal-soal hangat di Indonesia pada saat sekarang ini. Saya memuji pidato
Prof. Graham yang penuh dengan cita-cita luhur dan pengetahuan yang tinggi atas sejarah
manusia”. (Wirjosandjojo, Dr. Soekiman 1984: 191). Juga kalangan pengikut Tan Malaka
adalah mendukung pemerintah Hatta dan menentang PKI. Dan yang lebih penting lagi
adalah Pemerintah Hatta itu sendiri yang dapat dipergunakan untuk membendung
perkembangan komunis. Kerjasama Hatta dengan Amerika Serikat sangat jelas ditunjukkan
dalam dokumen-dokumen berbagai tilgram tersebut di atas.
Demikianlah, dengan dikendalikan oleh Amerika Serikat, berlangsung realisasi Doktrin
Truman, pembendungan komunisme di Indonesia. Inilah “Peristiwa Madiun” yang selama
lebih dari setengah abad telah diuar-uarkan burjuasi sebagai “pemberontakan komunis”.
Pemerintah Hatta dengan para pendukungnya adalah menjadi eksekutornya. Partai
Masjoemi yang sejak semula tegas-tegas menyatakan anti komunis, bergandengan tangan
dengan kekuatan sosialis kanan Partai Sosialis Indonesia di bawah pmpiinan Soetan Sjahrir
dan penganut aliran Trotskis di bawah pimpinan Tan Malaka yang anti PKI, maka terjadilah
Peristiwa Madiun – pembasmian atas kaum kiri - yang bermuara pada terbunuhnya semua
pemimpin utama PKI termasuk Musso dan mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, dan
tersingkirnya kekuatan kiri dari Pemerintah serta Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
*****
19
Download