KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh

advertisement
KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH
Oleh:
Ahmad Muam
Pendahuluan
Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka
kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih efektif apabila
Daerah dapat mengelolanya dengan profesional. Melalui penguatan sumber-sumber
pendapatan daerah dan pemberian diskresi belanja daerah maka diharapkan terdapat
efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di
Daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan pemerintahan yang memberikan
layanan dengan masyarakat yang dilayaninya sehingga pemerintah daerah
lebih
memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Dalam jangka waktu selanjutnya
peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong akses layanan
publik dan akan mendorong perekonomian daerah serta meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Melalui kewenangan yang dimiliki dan keleluasaan di dalam penggunaaan dana
transfer yang diterimanya, Daerah dapat berbuat banyak untuk penguatan sektor riil di
wilayahnya masing-masing. Disamping itu, koordinasi dan kerja sama antar daerah juga
perlu dilakukan agar terjadi sinergi dalam pelaksanaan program yang direncanakan
oleh Daerah. Selanjutnya masyarakat sebagai subyek dan obyek dari semua program
yang dilaksanakan pemerintah, perlu diminta masukan dan sarannya, agar terjadi
kesesuaian apa yang dilakukan oleh pemerintah dan apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Meningkatnya peran Pemerintah Daerah yang lebih besar dalam fungsi alokasi
menunjukkan tanggung jawab daerah yang juga lebih besar dalam merencanakan dan
melaksanakan
kebijakan
di
Daerah,
sehingga tujuan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal dapat tercapai. Sejalan dengan semakin besarnya kewenangan
Pemerintah Daerah melalui otonomi daerah dan semakin besarnya dana yang
didaerahkan melalui desentralisasi fiskal, maka sudah sepatutnya semakin besar pula
peran dan tanggung jawab Daerah.
Kenyataan bahwa komitmen Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan
desentralisasi secara konsisten dan berkelanjutan telah terlihat dengan jelas baik
dari kenaikan dana transfer ke daerah dari tahun ke tahun dan revisi berbagai peraturan
perundang-undangan terkait. Komitmen tersebut tentunya didasari pertimbangan dan
fakta yang menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi merupakan instrumen yang
lebih efektif dan efisien untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik di tingkat
lokal.
Disadari sepenuhnya terkait dengan pengaturan dan konsistensi pelaksanaan
urusan antara tingkat pemerintahan, pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi
dasar pembagian sumber-sumber keuangan perlu mendapat perhatian yang lebih
serius. Beberapa urusan yang telah menjadi tanggung jawab daerah berdasarkan
undang-undang, ditetapkan kembali menjadi tanggung jawab Pusat baik dengan
peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah/ Peraturan Presiden/Peraturan
Menteri) maupun dengan undang-undang sektoral. Juga masih terdapat inkonsistensi
mengenai pendanaan. Pada dasarnya pengaturan mengenai pembagian urusan dalam
undang- undang menempatkan daerah lebih kompeten dalam penyediaan layanan
kepada masyarakat. Pemerintah Pusat dibatasi hanya bertanggung jawab terhadap
urusan yang menyangkut kedaulatan negara dan bertanggung jawab untuk menyusun
norma, standard, prosedur dan kriteria (NSPK) yang menjadi acuan bagi daerah dalam
melaksanakan urusannya. Dalam praktiknya, Pemerintah Pusat masih banyak
melaksanakan kegiatan- kegiatan yang telah menjadi tanggung jawab daerah.
Kebijakan desentralisasi diarahkan untuk memberikan diskresi yang besar dalam
pengelolaan keuangan sejalan dengan pemberian tanggung jawab yang besar pula
dalam pelayanan. Kewenangan daerah dalam perpajakan daerah terus ditingkatkan
baik dari jenis pajak yang dapat dipungut oleh daerah maupun dalam penetapan tarif
pajak. Kebijakan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengendalikan pengeluaran
daerah dengan mengkaitkan pembayaran pajak dengan tingkat pelayanan di daerah.
Selain itu, dana transfer yang disalurkan kepada daerah sebagian besar berupa dana
alokasi umum. Kebijakan ini diambil agar daerah dapat mengalokasikan dana sesuai
dengan kebutuhan tiap-tiap daerah.
Desentralisasi Fiskal
Kebijakan otonomi daerah dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang keduanya telah
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan kebijakan tersebut
merupakan jawaban atas tuntutan reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Tujuan
utama pelaksanaan otonomi daerah adalah meningkatkan kemandirian dan kreativitas
daerah dalam mengatur dan menangani urusan daerah. Kebijakan tersebut diharapkan
dapat memberikan manfaat baik secara makro maupun mikro bagi perekonomian
daerah dengan menumbuhkembangkan sektor riil, mendorong upaya pemberdayaan
masyarakat, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan
daerah, serta memperbaiki kualitas pelayanan publik dalam upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Reformasi bidang fiskal diharapkan dapat mendukung pelaksanaan otonomi
daerah, efisiensi penggunaan keuangan negara, serta prinsip-prinsip good governance
seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Efisiensi penggunaan keuangan
negara yang telah didesentralisasikan dapat tercermin pada pelaksanaan fungsi
pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan,
fungsi pemerintahan yang bersifat lokal tersebut dikelola oleh Pemerintah Pusat. Hal ini
cenderung memberikan dampak biaya yang relatif lebih besar sehingga penggunaan
keuangan negara menjadi kurang efisien. Melalui kebijakan otonomi daerah,
Pemerintah juga ingin mewujudkan keadilan horisontal dan vertikal serta membangun
tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik menuju terwujudnya clean
government dan good governance.
Sentralisasi di bidang pelayanan sektor publik di Indonesia ternyata mengakibatkan
rendahnya akuntabilitas, lambatnya proses pembangunan infrastruktur, menurunnya
rate of return pada proyek-proyek sektor publik, serta terhambatnya pengembangan
institusi di daerah. Hal ini terjadi karena pemerintah pusat menghadapi kondisi
demografis dan geografis yang sangat kompleks. Oleh karena itu penerapan kebijakan
otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan dapat
membantu pemerintah pusat untuk memberikan pelayanan sampai pada tingkat
pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat lokal.
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah telah mengubah pola pengelolaan
administrasi pemerintahan dan fiskal di Indonesia yang semula bersifat sentralisasi
menjadi desentralisasi. Desentralisasi tersebut dilakukan dengan menyerahkan
sebagian besar kewenangan kepada daerah sedemikian rupa sehingga pemerintah
pusat hanya menangani 6 (enam) kewenangan saja, yaitu kewenangan di bidang fiskal
dan moneter, peradilan, agama, pertahanan, dan keamanan serta politik luar negeri.
Implikasi langsung dari kebijakan tersebut adalah adanya keleluasaan bagi pemerintah
daerah untuk dapat merencanakan dan menentukan prioritas pembangunan daerah
sesuai
dengan
kondisi
dan
kemampuan
keuangan
daerahnya.
Sebagai
konsekuensinya, kebutuhan terhadap dana untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi
yang telah menjadi kewenangan daerah juga meningkat. Untuk itu, pemerintah pusat
melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal melalui perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah sesuai dengan asas money follow function sebagai upaya untuk
mendukung pembiayaan berbagai urusan dan kewenangan yang telah dilimpahkan
kepada daerah. Selain itu, kebijakan pendanaan kepada daerah dalam rangka
menjalankan urusan dan kewenangan yang telah dilimpahkan tersebut diikuti dengan
pemberian kewenangan dalam hal perpajakan daerah.
Pada hakekatnya, keuangan daerah merupakan suatu sistem pendanaan
pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan
dan sumber-sumber pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah serta
pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan
pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan, termasuk
pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Tujuan dari perimbangan keuangan
adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah,
serta mengurangi kesenjangan kemampuan fiskal antardaerah.
Dari sisi pembagian sumber-sumber pendapatan, peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) merupakan upaya yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan
akuntabilitas daerah dalam pengelolaan keuangannya. Dalam kaitan ini dilakukan
sinkronisasi antara sistem perpajakan nasional dengan sistem perpajakan daerah.
Sumber-sumber pendapatan yang memenuhi kriteria pungutan pusat ditetapkan
sebagai objek pajak pusat dan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP). Sedangkan
sumber-sumber pendapatan yang memenuhi kriteria pungutan daerah ditetapkan
sebagai objek pajak daerah dan retribusi daerah.
Proses pembagian sumber-sumber pendapatan antara pusat dan daerah dilakukan
secara bertahap sesuai kondisi dan kemampuan daerah. Penerbitan UU Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan langkah strategis
yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah di bidang perpajakan
daerah (penguatan local taxing power). Namun demikian, kebijakan ini perlu diikuti
dengan sistem pengawasan dan pengendalian yang memadai sehingga upaya
peningkatan PAD tidak mengorbankan upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif
di daerah.
Di samping kedua mekanisme pendanaan tersebut (alokasi dana perimbangan dan
kebijakan di bidang PAD), mekanisme pembiayaan berupa pinjaman daerah juga
dimungkinkan dalam mendukung pendanaan pelaksanaan pembangunan daerah.
Dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah perlu menerapkan
prinsip-prinsip: (1) meningkatkan efisiensi, (2) memperbaiki struktur fiskal dan mobilisasi
sumber-sumber keuangan, (3) meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi
masyarakat, (4) mengurangi disparitas fiskal dan menjamin penyediaan pelayanan
dasar sosial, (5) memperbaiki kesejahteraan masyarakat, dan (6) mendukung stabilitas
makro ekonomi. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip tersebut, pelaksanaan kebijakan
desentralisasi fiskal diharapkan dapat menciptakan sinergi antara pemerintah pusat dan
pemerintah
daerah
dalam
rangka
meningkatkan
kualitas
pelayanan
kepada
masyarakat.
Pada dasarnya desentralisasi fiskal erat kaitannya dengan pelayanan publik
mengingat fungsinya sebagai alat bagi pemerintah daerah untuk menyediakan dan
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Desentralisasi fiskal akan
terlaksana dengan baik bila didukung oleh pemerintah pusat yang mampu melakukan
pengawasan dan law enforcement, adanya sumber daya manusia (SDM) yang kuat
pada jajaran aparatur pemerintah daerah, serta adanya keseimbangan dan kejelasan
dalam hal pembagian kewenangan dan tanggung jawab untuk melakukan pungutan
pajak dan retribusi daerah dalam rangka meningkatkan PAD. Namun demikian, bila
pembagian kewenangan desentralisasi fiskal kurang diikuti dengan upaya untuk
mendistribusikan sumber-sumber daya alam dan potensi fiskal ke daerah miskin, maka
disparitas antar daerah akan semakin besar.
Dukungan Kebijakan Pendanaan
Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia juga ditandai dengan
besarnya proporsi dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Secara umum, proporsi dana perimbangan dalam penerimaan APBD
Kabupaten/Kota adalah lebih dari 85 persen, dan sekitar 70 persen dalam rata-rata
penerimaan APBD provinsi. Besarnya proporsi tersebut menunjukkan tingkat
ketergantungan fiskal daerah yang masih tinggi terhadap pemerintah pusat. Apabila
tidak dikelola dengan hati-hati kondisi tersebut justru dapat menciptakan disinsentif bagi
pemerintah daerah dalam jangka panjang, khususnya dalam meningkatkan PAD
sebagai sumber pendanaan asli daerah. Oleh karena itu, perubahan pola pengelolaan
fiskal nasional tersebut harus pula diiringi dengan fleksibilitas daerah yang cukup tinggi
dalam pemanfaatan sumber-sumber utama pendanaan tersebut.
Dengan digulirkannya kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah, selain
telah terjadi peningkatan dana yang dialokasikan kepada daerah, terdapat pula
penambahan komponen dalam alokasi transfer ke daerah. Selain alokasi dana
perimbangan, juga telah dialokasikan dana otonomi khusus (otsus) dan penyesuaian
pada pos anggaran belanja ke daerah dalam APBN. Dana otsus dialokasikan kepada
Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus, sebagai konsekuensi
diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua. Besarnya dana otonomi khusus yang besarnya ditetapkan setara dengan 2
persen dari plafon DAU nasional, dan berlaku selama 20 tahun. Selain itu, sesuai UU
Nomor 21 Tahun 2001 dimaksud juga diberikan dana tambahan untuk pembangunan
infrastruktur dalam rangka otsus bagi Provinsi Papua. Selain kepada Provinsi Papua,
dana otsus juga dialokasikan kepada Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) mulai
tahun 2008 sesuai UU Nomor 18 Tahun 2001, dengan besaran setara dengan 2 persen
dari plafon DAU nasional. Sementara itu, dana penyesuaian dialokasikan untuk
beberapa pos belanja daerah, antara lain: tunjangan kependidikan guru Pegawai Negeri
Sipil Daerah (PNSD) dan dana insentif bagi daerah dengan kriteria tertentu.
Selain itu juga disamping dukungan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi,
Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang
menjadi kewenangan Pemerintah di daerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas
Pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di
daerah. Dana-dana tersebut tidak masuk dalam pos APBD, namun secara nyata dana
tersebut dibelanjakan di daerah. Dengan demikian, sejalan dengan pelaksanaan
kebijakan otonomi daerah, proporsi pengeluaran APBN yang dibelanjakan di daerah
terus meningkat.
Dalam rangka penataan sumber pendanaan daerah, Pemerintah bersama DPR-RI
juga telah menyempurnakan pengaturan mengenai pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah melalui penetapan UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan UU Nomor 34
Tahun 2000 yang dipandang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Salaha satu
tujuan dari perubahan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah yang dituangkan
dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
melalui serangkaian strategi antara lain (1) memberikan kepastian mengenai jenis-jenis
pungutan
daerah
dengan
menerapkan
closed-list
system.
(2)
meningkatkan
kewenangan daerah dalama perpajakan daerah dengan meningkatkan local taxing
power, (3) meningkatkan efektivitas pengawasan pajak daqerah dan retribusi daerah
dengan menerapkan sistim preventif dan korektif yang diikuti dengan sanksi atas
pelanggaran ketentuan perpajakan daerah, serta (4) memperbaiki pengelolaan
pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah sehingga dapat memberikan keadilan
dan meningkatkan kualitas penggunaan dana yang dipungut dari masyarakat.
Usaha dalam rangka peningkatan PAD tidak semata-mata ditujukan untuk
meningkatkan porsi PAD dalam APBD sebagai pencerminan kemandirian daerah, tetapi
juga member arahan bagaimana daerah dapat mengoptimalkan penerimaan PAD tanpa
mnimbulkan dampak negatif bagi iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Melalui pengaturan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 diharapkan dapat memberikan
ruang gerak yang lebih longgar bagi daerah untuk melakukan pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah, sesuai potensi dan kondisi masing-masing daerah, dengan
tetap menjaga iklim investasi yang kondusif agar daya saing antar daerah dapat
ditingkatkan.
---000---
Download