BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam Undangundang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, penyelenggaraan perkebunan di Indonesia didasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan, sehingga tujuan penyelenggaraannya diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan penerimaan devisa Negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, dan mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah (Crude palm oil, CPO) terbesar di dunia. Pada 2012, luas lahan perkebunan diperkirakan sebesar 9 juta hektar, dengan produksi CPO 24 juta ton per tahun, dengan komposisi 5 juta ton dikonsumsi di dalam negeri, sementara 80% sisanya di ekspor. 1 Industri kelapa sawit sangat pantas dikembangkan karena menciptakan sekitar 4 juta kesempatan kerja (pro-job), serta mendukung pembangunan daerah dan pengentasan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan Luar Jawa (pro-poor). Selain itu, mayoritas perkebunan kelapa sawit ditanam di kawasan hutan left-over / bekas HPH (proenvironment), seta nilai ekspor CPO dan produk CPO berkontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan ekspor, yaitu sekitar USD 20 miliar (sekitar 10% dari pendapatan ekspor total), terbesar kedua setelah minyak dan gas (pro-growth). Namun di tengah maraknya industri kelapa sawit di Indonesia, isu negatif mengenai perkebunan kelapa sawit oleh LSM ataupun penggiat lingkungan – baik dalam maupun luar negeri masih kerap ditemui. Isu yang diangkat mulai dari pemanasan global (efek gas rumah kaca), penggundulan hutan dan pembakaran hutan (untuk membuka lahan baru), hingga permasalahan kesejahteraan masyarakat dan karyawan. Guna menjawab hal itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Permentan ini sering disebut dengan ISPO. Pada prinsipnya ISPO hampir sama dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO adalah asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor, akademisi, dan LSM bidang lingkungan) yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan. RSPO didirikan tahun 2004 dengan kursi asosiasi berada di Zurich, Swiss, 2 dan kesekretariatan berada di Kuala Lumpur, Malaysia dan kantor cabang di Jakarta. Organisasi ini diklaim telah memiliki 1.000 anggota di lebih dari 50 negara. Pemerintah menganggap ISPO lebih baik daripada RSPO, dimana RSPO hanya bersifat himbauan dan tidak memaksa (sukarela), sementara ISPO bersifat memaksa dan pemerintah sedang menaikkan status ISPO dari Permentan menjadi Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden agar status hukumnya lebih kuat. ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. ISPO dibentuk pada tahun 2009 oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan. ISPO merupakan standar nasional minyak sawit pertama bagi suatu negara, dan negara lain kini mencoba mempertimbangkan untuk mengimplementasikan standar serupa di antara produsen minyak sawit. Beberapa hal yang diterapkan prinsip ISPO antara lain mekanisme pembukaan lahan baru kelapa sawit, studi AMDAL, mekanisme penanaman di lahan gambut, isu sosial (pemberdayaan masyarakat melalui Corporate Social Responsibility dan Community Development). Tidak hanya perusahaan dan lingkungan, ISPO juga menaruh penting kepada karyawan, seperti kesejahteraan karyawan (upah sesuai dengan aturan pemerintah) hingga pada jaminan kesehatan dan keselamatan bekerja. 3 ISPO menekankan pentingnya pelaksanaan sistem keselamatan dan kesehatan kerja melalui penerapan SMK3. Isu keselamatan kerja dalam dunia perkebunan tampaknya merupakan hal yang cukup pelik. Beberapa kejadian kecelakaan kerja muncul akibat dari pekerja itu sendiri, seperti kurangnya kesadaran akan pentingnya keselamatan kerja, kurangnya pengetahuan tentang keselamatan kerja. Pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang aman, selamat dan nyaman, serta terbebas dari resiko bahaya yang mungkin timbul dan pada gilirannya perusahaan akan memperoleh pekerja yang sehat dan produktif (Depnaker RI, 2000). Pertimbangan diterapkannya Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang tercantum dalam Permenaker No. 05/MEN/1996 adalah: 1. Bahwa terjadinya kecelakaan di tempat kerja sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia dan sebagian kecil oleh faktor teknis 2. Bahwa untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di tempat kerja, serta sumber produksi, proses produksi dan lingkungan kerja dalam keadaan aman, maka perlu penerapan SMK3, 3. Bahwa dengan penerapan SMK3 dapat mengantisipasi hambatan teknis dalam era globalisasi perdagangan. Tahapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja meliputi 4 (empat) kegiatan antara lain (1) perencanaan identifikasi bahaya, penilaian, pengendalian 4 resiko; (2) perundang-undangan, seluruh undang-undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja; (3) tujuan/sasaran manajemen, (4) indikator kerja. Keempat hal tersebut yang dituangkan dalam perencanaan SMK3 perusahaan (Tunggal I.W. dan Tunggal A.W., 1996). Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di sektor industri masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan, hal ini terindikasi dari tingkat kecelakaan kerja yang relatif masih tinggi. Tingginya angka kecelakaan ini umumnya terjadi pada industri skala menengah dan kecil, sedangkan pada industri besar dan strategis lainnya pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja umumnya cukup baik dan angka kecelakaan relatif kecil karena didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia dan dana yang tersedia. Agar kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja tidak terjadi, maka perlu dilakukan berbagai upaya pengendalian yang efektif dan efisien melalui penerapan program K3 yang berkesinambungan. Namun pengendalian secara teknis tekhnologi pada sumber bahaya itu sendiri yang paling efektif (Siswanto, 2003). Sesuai dengan Pasal 2 Permenaker No. 05/MEN/1996, tujuan dan sasaran penerapan SMK3 adalah menciptakan suatu sistem K3 di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. 5 Di Indonesia disadari bahwa pelanggaran tentang norma K3 masih sering ditemukan di lapangan. Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan, sampai tahun 2013 di Indonesia tidak kurang dari enam pekerja meninggal dunia setiap hari akibat kecelakaan kerja. Sementara, menurut data Internasional Labor Organization (ILO), di Indonesia rata-rata per tahun terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja. Dari total jumlah itu, sekitar 70 persen berakibat fatal yaitu kematian dan cacat seumur hidup (Suara Pembaharuan : Ancaman Kecelakaan Kerja, 2013). Perusahaan yang beroperasi di Indonesia belum menerapkan program K3, hal ini dapat dilihat dari sekitar 169.000 perusahaan yang terdaftar, serta 25.000 perusahaan dengan jumlah karyawan di atas 100 orang, ternyata yang meraih penghargaan zero accident hanya 66 atau 0.26% perusahaan (Santoso, Gempur., 2008). Kondisi nihil kecelakaan atau zero accident tidak dapat tercapai tanpa diiringi penerapan yang benar dan jujur terhadap Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, bahkan pada perusahaan yang mendapat sertifikat bendera emas masih terjadi kecelakaan (Tarigan, 2008). Menurut Heinrich HW & D. Peterson (1980) bahwa sekitar 80% kecelakaan kerja disebabkan oleh perbuatan yang tidak aman (unsafe action) dan hanya 20% oleh kondisi yang tidak aman (unsafe condition), sehingga pengendaliannya pun harus bertitik tolak dari perbuatan yang tidak aman dalam hal ini adalah perilaku manusia. 6 PT. Tasik Raja, Kota Pinang yang merupakan salah satu perusahaan perkebunan dan pengolahan minyak kelapa sawit yang berlokasi di dearah Labuhan Batu, Sumatera Utara dan memperkerjakan lebih dari 1.200 orang karyawan. Sebagaimana perusahaan perkebunan lainna, PT. Tasik Raja, Kota Pinang berusaha untuk menekan agar tidak terjadi kecelakaan kerja (zero accident), seperti membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) dimana panitia ini yang berusaha membuat program kesehatan dan keselamatan kerja karyawan guna menghindari dan mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Meskipun demikian, tetap saja terjadi kecelakaan kerja yang menimpa para pekerja, khususnya pemanen. Berikut salah satu contoh kecelakaan kerja di perkebunan: Mr. X (45 tahun), salah seorang buruh tetap yang sudah bekerja 5 tahun, tetapi bidang kerjanya berpindahpindah. Awalnya Mr. X bekerja sebagai pembabat, kemudian serabutan dan 3 bulan terakhir di bidang pemanenan. Sekitar bulan Februari 2010, seperti biasa Mr. X berangkat kerja dengan perlengkapan kerja dodos yaitu alat untuk memetik tandan buah kelapa sawit dan egrek yaitu alat untuk memotong tangkai tandan kelapa sawit. Perlengkapan pelindung kerja yang digunakan hanya sepatu boot tanpa menggunakan pelindung tangan (kaos tangan), pelindung mata (kacamata) dan pelindung kepala (helm). Tinggi pohon sawit yang akan dipanen masih 2 meter, tetapi ancaknya miring (tidak rata) dan pohon sawit bengkok (tidak lurus) sehingga menyulitkan proses memanen. Menurut pengakuanya, Mr. X belum biasa memanen di ancak yang demikian. Tepatnya sekitar tengah hari Mr. X mengalami kecelakaan kerja, ketika Mr. X memetik 7 tandan buah segar (TBS) dengan menggunakan dodos yang mempunyai berat komedil sekitar 15-20 kg, tandan buah sawit tersebut jatuh ke batang pohon lalu ke tanah kemudian berguling dengan cepat sehingga Mr. X tidak sempat menghindar dan akhirnya menimpa mata kaki serta pengelangan kakinya. Mr. X menganggap kecelakaan biasa sehingga tidak dilaporkan ke perusahaan. Selang satu hari kakinya mulai bengkak, tetapi Mr. X masih memaksakan diri pergi bekerja. Setelah pulang dari bekerja, Mr. X pergi ke tukang urut, hingga esok harinya tidak ada gejala untuk sembuh sehingga Mr. X bingung. Atas saran temannya sesama buruh, Mr. X melaporkan kecelakaan kerja yang menimpanya ke mandor dan memeriksakan ke klinik perkebunan. Setelah diperiksa perawat, Mr. X dikirim ke rumah sakit rujukan untuk mendapatkan tindak lanjutan, ternyata pergelangan kaki Mr. X retak, dan harus diopname selama 2 minggu (Hasil Interview dengan Asisten Afdeling III, 2012). Meskipun perusahaan sudah berdiri sejak tahun 1993, namun sayangnya kesadaran manajemen dalam membentuk manajemen keselamatan kerja baru diwujudkan pada tahun 2011, dimana pada tahun ini dibentuk team safety dibawah Departmen Environment Healthy and Safety (EHS). Data perusahaan mencatatkan tingkat kecelakaan kerja pada perusahaan tahun 2011 – 2012 sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1.1. 8 Tabel. 1.1. Tabel Tingkat Kecelakaan Kerja berdasarkan Waktu Kerja yang Hilang No Tahun Jumlah Jam Jumlah Jam Kerja yang Kerja Hilang (setahun) (a) (b) 01 2011 192 2,080 02 2012 205 2,080 Sumber: Data Perusahaan Tahun 2013 Jumlah Karyawan Rasio Kekerapan Cidera (c) (d) = a x 1.000.000 bxc 1,178 1,195 78.36 82.48 Pada tabel diatas menunjukkan Jumlah Jam Kerja yang Hilang, yaitu total jam kerja karyawan yang hilang akibat kecelekaan kerja. Perhitungan dimulai sesaat setelah karyawan mengalami kecelakaan yang dirawat di klinik perusahaan. Jumlah Jam Kerja setahun adalah jumlah jam kerja efektif dalam setahun yang telah ditentukan perusahaan, yaitu 2.080 jam. Sedangkan Rasio Kekerapan Cidera diperoleh Jumlah Jam Kerja yang Hilang dikali satu juta kemudian dibagi Jumlah Karyawan dikali Jumlah Jam Kerja (Setahun). Rasio kekerapan cidera yang baik adalah nol atau nihil, dan ini yang harus dipertahankan oleh perusahaan selama minimal 3 (tiga) tahun atau satu juta jam kerja agar mereka bisa meraih sertifikat Zero Accident dari Mennakertrans cq. Dirjen Binawas melalui Pemda Kab./Kota setempat. Berdasarkan tabel 1.1 menunjukkan bahwa kehilangan waktu bekerja (loss time) akibat kecelakaan kerja meningkat dari tahun 2011 ke tahun 2012, yakni sebesar 7%.. Lebih daripada itu bagaimana komitment perusahaan terhadap pemenuhan kriteria SMK3 agar dapat dicapat nihil kecelakaan kerja dan sertifikat bendera emas. Untuk itu perusahaan melalui team EHS harus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan 9 kesadaran – baik manajemen maupun karyawan untuk pentingnya faktor keselamatan dalam bekerja. Berdasarkan pemaparan diatas, penulis ingin mengangkat tema kecelakaan kerja di PT. Tasik Raja ke dalam gladi karya, dimana penulis ingin menganalisa strategi penerapan SMK3 di PT. Tasik Raja, Kota Pinang terhadap pekerja di perkebunan agar tercapai nihil kecelakaan kerja (zero accident). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, terlihat bahwa usaha manajemen perusahaan untuk menekan angka kecelakaan kerja belum berhasil secara maksimal membuat nihil kecelakaan kerja, sehingga dirasa perlu untuk mengkaji apa penyebab terjadinya kecelakaan kerja dan bagaimana penerapan system manajemen keselamatan dan kesehatan kerja guna mencapai angka nihil kecelakaan kerja di PT. Tasik Raja, Kota Pinang. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana peran sistem SMK3 dalam kaitannya dengan perilaku selamat (safety behavior) karyawan PT. Tasik Raja, Kota Pinang. 2. Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kecelakaan kerja pada pekerja di PT. Tasik Raja, Kota Pinang. 10 3. Merumuskan Strategi penanggulangan kecelakaan kerja agar perusahaan mampu memperoleh nihil kecelakaan kerja. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi perusahaan, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja agar dapat meraih nihil kecelakaan kerja (zero accident). 2. Bagi peneliti, menambah pengetahuan yang berkaitan kecelakaan kerja di perusahaan perkebunan. 3. Bagi Program Studi Magister Managemen USU, dapat sebagai bahan informasi dan acuan dalam melakukan penelitian – penelitian berikutnya. 4. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat digunakan untuk menambah informasi dan acuan dasar yang membantu dalam penelitian yang lebih luas lagi. 11