9 ideologi, teori, konsep, dan prinsip arsitektur

advertisement
LANTING Journal of Architecture, Volume 2, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 9-16
ISSN 2089-8916
IDEOLOGI, TEORI, KONSEP, DAN PRINSIP ARSITEKTUR MASJID
UTSMANIYAH
Andika Saputra
Mahasiswa S-2 Teknik Arsitektur Reguler, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Khilafah Utsmaniyah adalah kekhalifahan Islam terpanjang dalam sejarah umat Islam, lebih dari 6
abad, yang pada masanya adalah pemerintah dengan kekaisaran yang paling luas di dunia.
Besarnya perhatian terhadap perkembangan fisik Khalifah Ottoman dan perkembangan berbagai ilmu
merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kemajuan peradaban kekhalifahan Ottoman
salah satunya ditandai oleh perkembangan pesat dalam bidang arsitektur. Sebagai aturan
kekhalifahan Islam, masjid merupakan pusat kehidupan keagamaan umat Islam yang keberadaannya
sangat diprioritaskan oleh Khalifah yang berkuasa, selain sebagai symbol kebesaran dan kekuasaan
pemerintah, sehingga arsitektur masjid memiliki peran yang dominan dalam perkembangan arsitektur
Ottoman. Meskipun pemerintahan kekhalifahan Ottoman berakhir pada tahun 1923, tetapi arsitektur
masjid Ottoman masih mempengaruhi desain arsitektur masjid sampai saat ini, terutama bagi umat
Islam yang berusaha untuk menghidupkan kembali kemuliaan peradaban Islam melalui pendekatan
romantis. Itu karena arsitektur masjid Ottoman telah menjadi symbol kemajuan peradaban umat
Islam. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan sebuah ideologi, teori, konsep, dan prinsip-prinsip
arsitektur masjid Ottoman pada puncak perkembangannya, yang oleh beberapa ahli dikatakan
sebagai periode klasik dari arsitektur masjid Ottoman. Penelitian ini menggunakan metode content
analisis berdasarkan hasil penelitian dan buku teks yang berkaitan dengan focus penelitian.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah perumusan hubungan antara ideologi, teori, konsep, dan
prinsip-prinsip arsitektur masjid Ottoman, diharapkan menjadi sumber referensi bagi pengembangan
pendekatan arsitektur masjid Ottoman dan implementasi dari arsitektur masjid Ottoman di masa
sekarang.
Kata kunci: kekhalifahan Islam, arsitektur masjid Ottoman, kemajuan peradaban umat Islam.
Abtract
Ottoman Caliphate is the longest Islamic Caliphate in the history of Muslims, that more than 6
centuries, which in his time was a government with the most extensive empire in the world. The
amount of attention to the physical development of the Ottoman Caliph and the development of a
variety of science is one factor contributing to the advance of civilization of the Ottoman Caliphate,
among others, marked by the rapid development in the field of architecture. As a rule of Islamic
Caliphate, the mosque is the center of the religious life of Muslims whose existence is highly
prioritized by the Caliph in power, than as a symbol of the greatness and power of government, so the
mosque architecture has a dominant role in the development of Ottoman architecture. Although the
reign of the Ottoman Caliphate ended in 1923, but the Ottoman mosque architecture still influence the
design of mosque architecture to date, especially for the Muslims who are seeking to revive the glory
of Muslim civilization through romantic approach. That is because the Ottoman mosque architecture
has become a symbol of the advance of Muslims civilization. This study aims to formulate an
ideology, theories, concepts, and principles of the Ottoman mosque architecture at the height of its
development, which some experts said as the classical period of the Ottoman mosque architecture.
This study uses content analysis research method based on the results of research and textbooks
related to the focus of study. The conclusion of this study is the formulation of the relationship
between an ideology, theories, concepts, and principles of the Ottoman mosque architecture, is
expected to be a source of reference for the development of the Ottoman mosque architecture and
implementation approaches of the Ottoman mosque architecture in the present.
Key words: Islamic Caliphate, mosque architecture of Ottoman, advance of Muslims civilization.
9
KHILAFAH UTSMANIYAH
Masa Khilafah Utsmaniyah berlangsung
antara tahun 1299-1923 dan merupakan
periode pemerintahan Khilafah Islamiyah
terpanjang dalam sejarah umat Islam, yaitu
hampir 7 abad lamanya. Khilafah Utsmaniyah
merupakan pemerintahan Khilafah Islamiyah
terkuat pada masanya, dan merupakan
pemerintahan dengan kekuasaan paling luas di
dunia dengan luas wilayah kekuasaan
mencapai 20 juta km 2 (al-Usairy: 2011, 351,
353). Di masa modern saat ini, wilayah
kekuasaan Khilafah Utsmaniyah mencakup 15
negara yang berada di wilayah Timur Tengah,
Asia Kecil, dan Eropa (Petersen: 2002, 216).
Kaum Utsmaniyah adalah bangsa Turki
yang berasal dari keturunan campuran antara
bangsa Mongol dan bangsa Persia yang
berkembang di Asia Tengah dan Asia Kecil
(Rochym: 1983, 123). Kaum Utsmaniyah
menyandarkan garis keturunannya kepada
Kabilah Qabi yang berasal dari kabilah-kabilah
al-Ghizz Turkmaniyah yang beragama Islam
dan berasal dari daerah Turkistan (al-Usairy:
2011, 357). Bangsa Turki telah memeluk Islam
sejak tahun 22 H pada masa pemerintahan
Khalifah Utsman bin Affan Rhadiyallahu anhu.
Setelah bangsa Turki memeluk Islam mereka
menjadi bagian dari pemerintahan Islam,
khususnya pada masa Khilafah Abbasiyah
(Ash-Shalabi: 2003, 675).
Majunya peradaban Khilafah Utsmaniyah
dipaparkan oleh Paul Kennedy dalam Rahman
(2003, xii),
“Khilafah Utsmaniyah lebih dari
sekedar mesin militer, ia telah
menjadi penakluk elit yang telah
mampu membentuk suatu kesatuan
iman, budaya, dan bahasa pada
sebuah area yang lebih luas dari
yang dimiliki oleh Empirium Romawi
dan untuk jumlah penduduk yang
lebih besar. Dalam beberapa abad
sebelum tahun 1500, dunia Islam
telah jauh melampaui Eropa dalam
bidang budaya dan teknologi. Kotakotanya demikian luas, terpelajar,
perairannya sangat bagus. Beberapa
kota diantaranya memiliki universitasuniversitas dan perpustakaan yang
lengkap dan memiliki masjid-masjid
yang
indah.
Dalam
bidang
matematika, kastografi, pengobatan,
dan aspek-aspek lain dari sains dan
industri, kaum Muslimin selalu berada
di depan.”
Dari pemaparan di atas dapat diketahui
betapa besarnya perhatian sultan atau khalifah
yang berkuasa terhadap aspek pembangunan
fisik, khususnya arsitektur, bahkan telah
memiliki fasilitas pendidikan arsitektur di kotakota besar. Tujuan dari pembangunan fisik
yang dilakukan oleh Khalifah Utsmaniyah
dipaparkan oleh Ash-Shalabi (2003: 53),
“Pembangunan fisik yang pesat
dilakukan oleh Khilafah Utsmaniyah
bertujuan
agar
kekuasaannya
memiliki wibawa di mata wilayahwilayah yang dikuasainya dan untuk
membangun
masyarakat
yang
madani.”
Tidaklah mengherankan jika Agoston
(2009: 46) mengatakan mengenai pesatnya
perkembangan dibidang arsitektur selama
masa Khilafah Utsmaniyah,
“During the six centuries of Ottoman
rule, architecture was one of the
major fields of cultural activity.”
Selain pada pembangunan arsitektur,
Khilafah Utsmaniyah juga berjasa dalam
bidang keprofesian arsitek, yaitu telah
ditetapkan keprofesian arsitek yang memang
khusus mempelajari bidang arsitektur (Rochym:
1983, 126). Khilafah Utsmaniyah juga
menetapkan peraturan mengenai kewenangan
dalam pembangunan Arstektur Utsmaniyah,
yaitu arsitek kepala yang bergelar Aga memiliki
wewenang untuk membuat kebijakan dibidang
arsitektur dan menangani proyek-proyek
arsitektur di seluruh wilayah kekuasaan
Khilafah Utsmaniyah dengan dibantu oleh
arsitek bergelar Mimar yang bertugas untuk
melakukan pengawasan langsung di lokasi
pembangunan (Agoston: 2009, 46).
Selain mengenai keprofesian arsitek dan
peraturan
kewenangan
pembangunan
arsitektur, Khilafah Utsmaniyah juga menyusun
dokumen mengenai peraturan pembangunan
dan prinsip-prinsip pembangunan Arsitektur
Utsmaniyah yang disebut dengan Tezkiret-ul
Bunyan. Salah satu bagian dokumen tersebut
memaparkan mengenai teori dan prinsip
Arsitektur Utsmaniyah yang disusun oleh
10
arsitek Mimar Sinan Aga. Dokumen tersebut
kemudian
digunakan
sebagai
panduan
perancangan Arsitektur Utsmaniyah selama
kekuasaan Khilafah Utsmaniyah, bahkan masih
digunakan sampai saat ini oleh para peneliti di
bidang Arsitektur Utsmaniyah (Aygen: 2010,
114).
ARSITEKTUR UTSMANIYAH
Gemilangnya
kekuasaan
Khilafah
Utsmaniyah berpengaruh pada perkembangan
arsitektur di masanya yang berciri khas
Utsmaniyah sebagai salah satu khazanah
kebudayaan arsitektur sepanjang sejarah umat
Islam hingga saat ini. Rochym (1983: 123)
mengatakan,
“Arsitektur Utsmani berasal dari
perpaduan antara Arsitektur Seljuk
dan Arsitektur Byzantium.”
Hal tersebut dapat dijelaskan oleh sebab
kaum Utsmaniyah merupakan keturunan dari
kaum Seljuk. Sedangkan garis keturunan dari
bangsa Persia menjadikan kaum Utsmaniyah
memiliki citarasa seni arsitektur yang tinggi
dikarenakan selama berabad-abad lamanya
bangsa Persia telah dikenal sebagai bangsa
yang maju dalam aspek kebudayaannya,
termasuk seni arsitektur. Di sisi lain, garis
keturunan bangsa Mongol menjadikan kaum
Utsmaniyah memiliki keterampilan militer yang
baik sehingga mampu melakukan invasi ke
daratan Eropa dan mengenal kebudayaan
Byzantium yang pada masanya berpusat di
Kota Konstantinopel.
Petersen
(2002,
218)
menjelaskan
periodesasi Arsitektur Utsmaniyah menurut
pembagiannya,
yaitu
periode
pertama
Arsitektur Utsmaniyah dari abad ke 13 sampai
sebelum penaklukan Kota Konstantinopel
disebut
dengan
masa
transisi
dari
pemerintahan yang kecil menuju pemerintahan
kesultanan. Pada periode kedua Arsitektur
Utsmaniyah dimulai dari masa penaklukkan
Kota Konstantinopel sampai pada pertengan
abad ke 16 dikenal dengan periode Utsmani
Klasik yang ditandai dengan perkembangan
seni dan teknologi yang pesat. Pada periode
Utsmani Klasik inilah kajian ini difokuskan. Dan
periode ketiga Arsitektur Utsmani dari
pertengahan abad 16 sampai abad ke 20
dikenal dengan periode keruntuhan secara
politik dan ekonomi Khilafah Utsmaniyah yang
ditandai dengan pembangunan arsitektur
dalam skala yang lebih kecil dan ukuran yang
tidak sebesar sebelumnya, serta semakin
berpengaruhnya arsitektur Eropa di daerah
kekuasaan Khilafah Utsmaniyah.
Petersen (2002: 220, 222) melanjutkan
bahwa, periode pertama Arsitektur Utsmaniyah
merupakan periode evolusi dari wujud
Arsitektur Seljuk menuju wujud Arsitektur
Utsmaniyah di mana perkembangan bangunan
religius dan bangunan non religius terjadi pada
waktu yang bersamaan. Bahkan Rochym
(1983: 123) mengatakan,
“Banyak karya-karya arsitektur kaum
Seljuk yang tampil atas nama kaum
Utsmaniyah.”
Pada periode kedua, perkembangan
bangunan religius dan bangunan non religius
tidak lagi sejalan di mana bangunan religius
berkembang dengan sangat pesat dari sisi
bentuk
yang
kemudian
mempengaruhi
bangunan non religius untuk mengaplikasikan
bentuk bangunan religius, sehingga tidak ada
lagi perbedaan bentuk antara bangunan
religius dan bangunan non religius. Pada
periode
ketiga,
perkembangan
bentuk
Arsitektur
Utsmaniyah
dipengaruhi
oleh
Arsitektur Barok yang sedang berkembang di
Eropa dan masuknya berbagai macam tipologi
bangunan baru dari Eropa seperti menara jam.
Gambar 1. Periodesasi Arsitektur Utsmani
menurut Petersen
(Sumber: Dimodifikasi dari Petersen, 2002)
Selama masa pemerintahan Khilafah
Utsmaniyah
dibangun
berbagai
tipologi
bangunan yang lebih beragam dibandingkan
masa-masa Khilafah Islamiyah sebelumnya.
Berikut adalah berbagai tipologi Arsitektur
11
Utsmaniyah selama masa pemerintahan
Khilafah Utmaniyah (Agoston: 2009, 46):
1. Bangunan religius yang mencakup masjid
jami (ulu cami) dan masjid (cami).
2. Bangunan non religius yang mencakup
makam (turbe), penginapan (tabhanes),
sekolah
(madrasah),
perpustakaan,
bangunan komersial (arastas, bedestans,
caravansaries), dapur umum (imaret), rumah
sakit
(darussifas),
pemandian
umum
(hammam),
istana
(sarai),
bangunan
pengontrol air, air mancur, jembatan, dan
bangunan militer.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah dibangun
pula tipologi arsitektur yang tidak ditemui pada
masa sebelumnya dan merupakan tipologi
arsitektur asli dari tradisi Khilafah Utsmaniyah
yaitu Kulliye yang oleh Buckhardt (2009: 170)
diartikan dengan “totality” atau “university”.
Kulliye merupakan kompleks bangunan publik
dalam satu lingkup area yang luas
sebagaimana didefinisikan Petersen (2002:
157) sebagai,
“Ottoman term used to describe large
complexes around mosques, which
might include madrassas, libraries,
khanqas, bath house, and kitchen for
the poor.”
Bangunan masjid dan kompleks Kulliye
memiliki peranan yang penting dalam
perkembangan
Arsitektur
Utsmaniyah,
sebagaimana menurut Kuiper (2010: 206)
kedua tipe arsitektur tersebut merupakan tipe
arsitektur yang merepresentasikan karakter
dari Arsitektur Utsmaniyah.
Elemen-elemen Arsitektur Utsmaniyah
yang berpengaruh sangat luas menurut Kuiper
(2010: 205) adalah tradisi penggayaan dan
estetikanya. Menurut Baydar (2003: 89),
elemen yang paling ditekankan dalam
Arsitektur Utsmaniyah sekaligus merupakan
elemen
Arsitektur
Utsmaniyah
yang
berpengaruh luas adalah elemen bentuk,
penggayaan, dan teknologi bangunannya.
Sedangkan menurut Ozgules (2008, 6), elemen
Arsitektur Utsmaniyah yang berpengaruh luas
adalah elemen struktur, bentuk, dan elemen
fungsionalnya
IDEOLOGI
Arsitektur Utsmaniyah sebagai bagian dari
kebudayaan umat Islam pada masa Khilafah
Utsmaniyah
dipengaruhi
oleh
ideologi
pemerintahan Khilafah Utsmaniyah yang
didasarkan atas ideologi Islam, sehingga
seluruh aktivitas kebudayaan termasuk dalam
bidang arsitektur di masa Khilafah Utsmaniyah
didasarkan atas agama sebagaimana yang
dinyatakan oleh Roxburgh (2005, 262-272
dalam Yildizlar: 2012, 203) sebagai berikut,
“Most important cultural effect of
motive that is traditional Turkish
design is the religion.”
Ideologi keagamaan (religious) yang
mendasari Arsitektur Utsmaniyah menjadikan
masjid sebagai bangunan religius bagi umat
Islam memiliki peranan yang paling penting,
baik dalam menentukan perkembangan
Arsitektur Utsmaniyah maupun bagi pihak
pemerintah Khilafah Utsmaniyah dan umat
Islam di masa Khilafah Utsmaniyah. Hal
tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh
Agoston (2009: 47) bahwa,
“Mosque designs were very important
in the development of Ottoman
architecture.”
Selain
dari
aspek
wujud
fisik
arsitekturalnya,
aspek
nilai-nilai
dalam
arsitektur masjid turut menjadikan masjid
sebagai tipe bangunan yang penting dalam
perkembangan Arsitektur Utsmaniyah dan
berpengaruh
luas
dalam
perancangan
arsitektur masjid hingga saat ini sebagaimana
dinyatakan oleh Erzen (1991: 6) dalam Ozgules
(2008: 12),
“Therefore these religious complexes
become even more important as they
symbolize the values and themes to
be followed.”
TEORI
Arsitek pada masa Khilafah Utsmaniyah
yang paling berpengaruh dalam perkembangan
Arsitektur Utsmaniyah adalah Mimar Sinan
Aga. Jasa terbesar Mimar Sinan Aga terhadap
perkembangan Arsitektur Utsmaniyah adalah
perumusan teori Arsitektur Utsmaniyah yang
12
digunakan sepanjang periode Arsitektur
Utsmaniyah. Hal tersebut mengingat pengaruh
Mimar Sinan Aga yang sangat besar terhadap
arsitek-arsitek Khilafah Utsmaniyah setelahnya,
bahkan pengaruh teori Mimar Sinan Aga masih
dirasakan hingga saat ini, khususnya dalam
perancangan arsitektur masjid beraliran
Utsmaniyah, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Ozgules (2008: 5),
“The new ideas introduced by him to
building technology gave birth to
structural developments in Ottoman
architecture
and
his
followers
adhered to these ideas for centuries,
and these adherence continues even
today.”
Petersen (2002: 260) menyatakan teori
yang mendasari arsitektur masjid Utsmaniyah
sebagai berikut,
“In those of Sinan there was a single
purpose, to mirror a single and infinite
Divinity.”
Senada dengan teori yang dirumuskan
oleh Petersen sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas, Buckhardt (2009: 156)
menyatakan pula teori yang mendasari
arsitektur masjid Utsmaniyah sebagai,
“A sacred architecture which is to be
an intermediary between heaven and
earth.”
Rochym (1983: 125) menginterpretasikan
teori
arsitektur
masjid
Utsmaniyah
sebagaimana yang dipaparkan di atas oleh
Petersen dan Buckhardt,
“Sebagai sebuah bangunan yang
dirancang sedemikian rupa agar
memperoleh kesan vertikal menuju
ketinggian dan seolah-olah muncul
dari bumi dan bergerak menjulang
menuju ke atas.”
Hampir senada dengan Rochym namun
dengan pemaparan yang lebih detail,
Buckhardt (2009: 176) mengemukakan pula
interpretasinya terhadap teori arsitektur masjid
Utsmaniyah sebagai berikut,
“The unique and unforgettable
creation of Ottoman architecture is,
however, the combination of a
building with a central dome and
needle-like
minarets;
by
its
undifferentiated plenitude, the dome
betokens peace and submission,
while the vertical movement of the
minarets,
leaping
audaciously
towards the sky from the corners of
their base, is sheer vigilance, and
active attestaion to Divine Unity.”
Arsitektur masjid Utsmaniyah sebagai
arsitektur religius tidak memisahkan antara
unsur seni dan teknik atau antara unsur
estetika
dan metode konstruksi yang
digunakan, dikarenakan unsur keduanya
merupakan satu kesatuan sebagaimana yang
dinyatakan (Buckhardt: 2009, 156).
Arsitektur masjid Utsmaniyah sebagai
arsitektur religius tidak dapat dipisahkan dari
makna-makna
dibalik
wujud
fisik
arsitekturalnya. Menurut Erzen (1991: 6) dalam
Ozgules (2008: 12), arsitektur masjid
Utsmaniyah merepresentasikan fase kehidupan
dan kematian. Fase kehidupan yang dinamis
direpresentasikan dengan adanya area sahn,
sedangkan uang sembahyang utama (haram)
merepresentasikan
kekuatan
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala, dan figur sultan atau
khalifah direpresentaikan dengan menerapkan
elemen kubah yang besar. Fase kematian
dalam
arsitektur
masjid
Utsmaniyah
direpresentasikan
dengan
adanya
area
makam.
KONSEP
Symmetrical
Menurut Yildizlar (2012: 207), arsitektur
masjid Utsmaniyah
menerapkan prinsip
keseimbangan
simetris
dalam
wujud
arsitkturalnya yang sangat berkaitan dengan
penerapan prinsip desain geometri sebagai
pembentuk wujud fisik arsitekturalnya.
Monumentality
Petersen (2002: 217) menyatakan,
“The quality of masonry in Ottoman
buildings is extraordinary due to its
precision and smothness which gave
13
buildings a monumentality not easily
achieved with brick and stone.”
Dari pernyataan Petersen di atas dapat
diketahui bahwa monumental merupakan
konsep
arsitektur
masjid
Utsmaniyah,
walaupun hal tersebut tidak mudah dicapai
dengan menggunakan bahan bata dan batu.
Namun di sisi lain, hal tersebut menandakan
tingginya kemampuan teknik konstruksi di
masa Khilafah Utsmaniyah.
Harmonious
Elemen ruang dalam dan ruang luar dalam
arsitektur masjid Utsmaniyah merupakan satu
kesatuan yang membentuk harmonisasi.
Konsep harmonisasi ruang dicapai pula dengan
memfungsikan
elemen
strukturnya,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Gungor
(156) dalam Ozgules (2008: 15),
“This harmony is also highlighted by
regarding the structure itself as a total
reflection of its dynamism, that is, the
relationship between internal space
and structural mass or positivenegative space.”
Penerapan elemen kubah pusat dan semi
kubah dalam arsitektur masjid Utsmaniyah
tidak hanya bertujuan fungsional, namun juga
bertujuan untuk membentuk harmonisasi ruang
dalam bangunan sebagaimana dinyatakan oleh
Agoston (2009: 49),
“The central dome and cascading
semidomes of these mosques create
a space of perfect harmony in the
interior.”
Selain penerapan elemen kubah pusat dan
semi kubah, perletakan minaret di sudut
bangunan serta jumlah dan tinggi minaret yang
digunakan bertujuan pula untuk membentuk
harmonisasi yang seimbang (Ozgules: 2008,
20). Dalam skala yang lebih makro, arsitektur
masjid Utsmaniyah menghendaki adanya
harmonisasi antara bangunan dengan topografi
lingkungan sekitarnya, di mana hal ini
memberikan efek tiga dimensional dan
memberikan kesan “hidup” bagi karya arsitektur
masjid Utsmaniyah (Erzen: 2004, 157 dalam
Ozgules: 2008,19).
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan
bahwa setiap elemen arsitektural sebagai
pembentuk arsitektur masjid Utsmaniyah
memiliki fungsi untuk menciptakan karya
arsitektur yang harmonis
PRINSIP
Geometric
Arsitektur masjid Utsmaniyah menurut
Yildizlar (2012: 207) menerapkan prinsip
desain geometri sebagai pembentuk wujud
arsitekturalnya,
di
mana
tradisi
ini
diperkenalkan oleh Mimar Sinan Aga. Ozgules
(2008: 15) menyatakan bahwa, arsitektur
masjid Utsmaniyah berhasil memadukan antara
dua bentuk geometri yang berbeda, yaitu
bentuk persegi (cube) dan bidang lengkung
(sphere). Menurut Buckhardt (2009: 156), pada
hakikatnya arsitektur masjid Utsmaniyah
mengembangkan bentuk dasar persegi dengan
kubah pusat sebagai elemen lengkung.
Mengenai perpaduan antara bentuk persegi
(cube) dan bidang lengkung (sphere) yang
merupakan prinsip dalam arsitektur masjid
Utsmaniyah,
Buckhardt
(2009,
156)
menyatakan,
“A Cubical building surmounted by a
hemispheric crown, in which the
transitional zone between the sphere
and the cube is composed, in the
interior,
of
triangular
facets
assembled in more or less open fanshapes.”
Penerapan bentuk persegi (cube) dan
bidang lengkung (sphere), selain dikarenakan
faktor fungsional juga bertujuan sebagai
elemen yang merepresentasikan teori yang
mendasari arsitektur masjid Utsmaniyah
sebagaimana yang dinyatakan oleh Buckhardt
(2009: 176) sebagai berikut,
“Between the celestial sphere of the
dome and the earthly immobility of
the square base.”
Matematika merupakan keilmuan yang
mendukung dalam perancangan arsitektur
masjid Utsmaniyah dan telah menjadi tradisi
dikalangan arsitek Khilafah Utsmaniyah.
Matematika juga digunakan oleh Mimar Sinan
Aga untuk membangun kubah Masjid Selimiye
14
di Kota Edirna dengan dimensi yang lebih
besar dan lebih tinggi dibandingkan kubah
Hagia Sophia sebagaimana dinyatakan oleh
Buckhardt (2009: 161) setelah ia mengutip
penyataan Mimar Sinan Aga ketika berhasil
membangun kubah Masjid Selimiye yang lebih
besar daripada kubah Hagia Sophia,
“These words seem to show that
Sinan was preoccupied above all with
the quantitative aspect of the
construction of the Hagia Sophia
dome.”
Sclupture
Arsitektur masjid Utsmaniyah menerapkan
konsep monumental dalam wujud fisik
arsitekturalnya. Hal tersebut dicapai dengan
mengkomposisikan
elemen-elemen
fisik
arsitekturalnya menjadi kesatuan bentuk
sclupture yang tidak saja bertujuan untuk
menimbulkan kesan monumental, namun juga
dalam skala makro berfungsi untuk membentuk
siluet kota. Hal tersebut dinyatakan oleh
Ozgules (2008: 22) saat ia memaparkan
mengenai bentuk slupture Masjid Suleymaniye
sebagai berikut,
“The monumental perception of this
building from several points of the city
is unique and the placement of the
minarets at the corners of the
courtyard together with the waterfall
impression created by the domes
transforms a religious building into a
hugh sclupture.”
Double boundary system.
Double boundary system merupakan solusi
mengenai
permasalahan
struktur
pada
arsitektur masjid Utsmaniyah yang bertujuan
untuk memperkuat fungsi struktur utama
bangunan sebagaimana dinyatakan oleh
Ozgules (2008: 8),
“Second bundary envelopes the first
and the structure widens in all
directions.”
9), yang tidak saja berperan fungsional sebagai
elemen struktur, namun berperan pula sebagai
elemen estetika sebagaimana yang dinyatakan
oleh Ozgules (2008: 9) sebagai berikut,
“Namely the double boundary
system, constitutes the core of all
these structural improvements as well
as the functional and aesthetic ones.”
Increase in luminosity.
Prinsip increase in luminosity bertujuan
untuk menerangi ruang dalam bangunan
dengan memaksimalkan masuknya cahaya
alami ke dalam ruangan. Mengenai prinsip
desain ini, Ozgules (2008: 11) menyatakan,
“Another
property
of
Sinan’s
mosques is known as the lighting of
the interior space, which derives from
the structural developments.”
Dari pernyataan Ozgules di atas, prinsip
increase in luminosity berdampak pada
perkembangan struktur bangunan dikarenakan
penerapn elemen jendela dan pendentif
sebagai elemen yang bertujuan untuk
memasukkan cahaya alami ke dalam ruang
dalam bangunan mengharuskan adanya
penyesuaian dalam aspek struktur bangunan.
Arsitektur masjid Utsmaniyah selain
menggunakan kaca patri sebagai bidang
transparan yang berfungsi untuk memasukkan
cahaya
alami
ke
dalam
bangunan,
menggunakan
pula
kaca
polos
yang
dikembangkan oleh Mimar Sinan Aga sebagai
upaya mewujudkan prinsip increase in
luminosity. Berikut adalah pernyataan Petersen
(2002: 217) mengenai penggunaan materia
kaca dan keterkaitannya engan prinsip
increase in luminosity,
“Although coloured glass was used
more often, the architect Sinan
preferred to use clear glass and
altered the structural arrangement of
buildings to introduce the maximum
amount of light into the interior.”
Elemen secondary boundary sebagai
sistem struktur arsitektur masjid Utsmaniyah
terdiri atas elemen pelengkung (arch) dan
dinding penopang (buttress) (Ozgules: 2008,
15
KESIMPULAN
Dapat
disimpulkan
bahwa
ideologi
keagamaan (religious) mendasari arsitektur
masjid Utsmaniyah yang diturunkan ke dalam
abstraksi teori “mirror a single and infinite
Divinity” yang dinyatakan oleh Petersen dan
teori “A sacred architecture which is to be an
intermediary between heaven and earth” yang
dinyatakan oleh Buckhardt. Teori yang
mendasari arsitektur masjid Utsmaniyah
ditopang
oleh
konsep
symmetrical,
monumentality,
dan
harmonious,
dan
diwujudkan ke dalam wujud fisik arsitekturnya
dengan
menerapkan
prinsip
geometric,
sclupture, double boundary system, dan
increase in luminosity.
Antara ideologi, teori, konsep, dan prinsip
arsitektur masjid Utsmaniyah memiliki saling
keterkaitan sebagai berikut:
Society of Architectural Historians Vol. 62,
No. 1, March 2003 pg. 84-91.
Burckhardt. Titus, 2009, Art of Islam: Language
and Meaning, Indiana: World Wisdom Inc.
Kuiper. Kathleen, 2010, Islamic Art, Literature,
and Culture, New York: Britannica
Educational Publishing.
Ozgules.
Muzaffer,
2008,
Fundamental
Development of 16th Century Ottoman
Architecture: Innovations in the Art of
Architect Sinan, Ankara: Science and
Technology Policies Research Center of
Middle East Technical University.
Ozgules. Muzaffer, 2008, Sinan’s Sclupture
Architecture
in
Istanbul,
Germany:
Karlsruhe.
Petersen. Andrew, 2002, Dictionary of Islamic
Architecture, New York: Routledge.
Rochym. Abdul, 1983, Sejarah Arsitektur Islam:
Sebuah Tinjauan, Bandung: Penerbit
Angkasa.
Yildizlar. Eser, Characteristic of Turkish Design
and Social and Political Headscraft
Problem of Turkey, International Journal of
New Trends in Arts, Sports, and Science
Education Vol. 1 Issue 1, 2012 pg. 201230.
Gambar 2. Kaitan antara ideologi, teori, konsep,
dan prinsip Arsitektur Utsmani
(Sumber: Analisis, 2012)
DAFTAR PUSTAKA
Agoston. Gabor, 2009, Encyclopedia of The
Ottoman Empire, New York: Facts On File
Inc.
Al-Usairy. Ahmad, 2011, Sejarah Islam: Sejak
Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,
Jakarta Timur: Akbarmedia.
Ash-Shalabi. Ali Muhammad, 2003, Bangkit
Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah,
penerjemah: Samson Rahman, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Aygen. Zeynep, The Other’s History in Built
Environment Education, A Case Study:
History of Architecture, Journal for
Education in the Built Environment, Vol. 5,
Issue 1, July 2010, pg. 98-122.
Baydar. Gulsum, Teaching Architectural History
in Turkey and Greece: The Burden of the
Mosque and the Temple, Journal of the
16
Download