ISSN 1412-8713 VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 AKADEMIKA Membaca Realitas Sosial Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero – Maumere AKADEMIKA ISSN 1412-8713 Majalah Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Seksi Publikasi Senat Mahasiswa STFK Ledalero Maumere – Flores Penasihat/Pelindung: Ketua STFK Ledalero Moderator: Dr. Philipus Ola Daen REDAKSI Ketua: Sififaldus Foya Wakil: Fransiskus Arun Anggota: Ervan Mau, Arnold Jemadu, Jovan Tonda, Fandy Wutun, Har Yansen, Sello Lamatapo, Venan Meolyu Desain Cover: Krispin Pandalewa Alamat Redaksi: Sekretariat SEMA STFK Ledalero – Maumere – Flores – NTT Tlpn/Fax (0582) 21895 Website: stfkledalero.ac.id E_mail: [email protected] SUARA REDAKSI Pembaca yang Budiman, Realitas sosial yang tengah kita hadapi saat ini sangat beragam. Keberagaman realitas itu dapat ditemukan dalam pelbagai fenomena yang terjadi. Mulai dari gelombang rasuah yang semakin pelik dihadapi, arus kekerasan yang semakin bergelimang, aksi protes dan demonstrasi massa, dan distorsi kekuasaan politik pada lembaga-lembaga negara hingga sejumlah apresisasi terhadap kinerja sosok tertentu yang sangat fenomenal, prestasi perorangan dalam pelbagai kompetisi tingkat global, dll, menjadi panorama yang khas dan unik serta menarik untuk dikaji secara kontinu. Sejak berdirinya sebagai suatu bangsa yang mandiri, Indonesia memang sudah dikaruniai faktum pluralitas yang berbeda dari bangsa lain di dunia. Pluralitas itu dapat ditemukan dalam pelbagai etnis, kultur, religiositas, dan keyakinan-keyakinan tradisional yang menyebar di seantero jagat Indonesia. Tentu, hal ini menjadi satu daya tarik tersendiri bagi siapapun untuk mengkaji dan menelitinya secara sistematis, kritis, rasional dan holistik. Namun, perlu diingat bahwa penelitian dan penemuan yang ada tidak serentak memberikan suatu kepastian pengetahuan tentang suatu hal tertentu. Oleh karena itu, sebagian penelitian tersebut sebenarnya menjadi titik berangkat untuk Suara Redaksi 3 melakukan penelitian selanjutnya, dan lebih dari pada itu, realitas sosial in se tidak dapat ditarik dengan suatu premis-premis baku dan ketat tetapi dari keseriusan dan ketekunan untuk meneliti secara terus menerus. Dari kalangan akademisi, kenyataan-kenyataan ini menjadi runyam dibicarakan justru karena fakta tersebut tak berhenti memunculkan kejutan-kejutan. Pelbagai analisis sosial dan tinjauan kritis yang banyak tersebar di pelbagai Buku, Majalah, Surat Kabar, Skripsi, Tesis dan Disertasi, sedikit banyak mau membahasakan bahwa memang realitas sosial yang kita hadapi selalu memicu kelahiran bermacam-macam perspektif. Terdorong oleh hasrat yang sama, maka Civitas Akademika Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Flores-NTT juga turut berpartisipasi dalam melahirkan aneka tinjauan dan analisis kritis melalui penerbitan esai-esai dalam Majalah AKADEMIKA. Esaiesai yang termuat dalam Majalah AKADEMIKA edisi ini merupakan kajian pribadi dan kelompok dari beberapa mahasiswa dan akademisi. Karena itu, cita rasa dasar dari esai-esai kali ini adalah perspektif filosofisteologis. Oleh karena itu, kami akan menyatukan aneka pandangan filosofis dan teologis tersebut dalam satu tema dasar yakni: “MEMBACA REALITAS SOSIAL.” Metode pembacaan juga ini menggunakan kajian kepustakaan dan pengamatan fenomenal, sehingga terbuka terhadap segala kritikan dan tanggapan yang bersifat membangun. Selain itu, terkait dengan penomoran edisi majalah Akademika mengikuti penomoran pada edisi sebelumnya yang bertema “INGAT 65.” Hal ini dipakai karena penerbitan AKADEMIKA kadang berubah dari tahun ke tahun. Karena itu, kami sangat mengharapkan kerjasama dari pelbagai pihak agar penerbitan AKADEMIKA selanjutnya bisa terjadi secara konsisten. Dan pada akhirnya, kami mengucapkan SELAMAT MEMBACA! REDAKSI 4 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Editorial MEMBACA REALITAS SOSIAL Oleh: Sififaldus Foya D i panggung kontemporer kajian geopolitik, diskursus seputar realitas sosio-politis masyarakat postmodern (sekular) masih gencar-gencarnya terjadi. Ada pelbagai macam fakta yang tersaji secara berbeda di hadapan publik dan turut membentuk peradaban suatu kelompok masyarakat yang berada dalam lingkarannya bahkan bisa melampaui sesuatu yang lebih besar yakni negara. Dalam konteks geopolitik Indonesia, beragam realitas sosio-politis itu mengalami mobilisasi dalam pelbagai gelombang sejarah yang kian hari kian mencari format yang tepat. Mulai dari gelombang-gelombang kekerasan yang semakin hari semakin menunjukkan wajah yang berbeda, pelbagai ritual ratapan publik yang banyak bermunculan dalam kancah peradaban, hingga persoalan distorsi kekuasaan dan identitas mayoritas yang sedang ngtrend saat ini, sedikit banyak memberikan gambaran bagaimana situasi dan kondisi terkini bangsa Indonesia. Menanggapi hal ini, pelbagai pandangan coba mengintervensi ke dalamnya. Dari kalangan akademis yang berkonsentrasi pada fakta-fakta sosial dan humaniora – mulai dari ilmu politik, antropologi, sosiologi, ekonomi, sejarah- hingga sastra Sififaldus Foya – Editorial - Membaca Realitas Sosial 5 filsafat, teologi, dan kajian budaya, sedang mencoba bagaimana harus membahasakan sepak terjang realitas yang tengah dihadapi. Aneka pandangan semacam ini sebenarnya mengungkapkan betapa fenomena yang kita temukan memiliki kadar penampakan yang unik bagi setiap orang. Dengan demikian, tidak ada klaim kebenaran yang pasti yang dapat ditentukan oleh seseorang. Hal ini mengafirmasi keyakinan klasik yang berkembang hingga kini bahwa spekulasi murni tentang dunia dan segala yang ada padanya tidak dapat memberikan kepada kita pengetahuan yang pasti dan terpercaya. Karena spekulasi murni itu sendiri masih terpaut dengan suatu upaya objektivasi atas realitas dan dengan demikian, realitas seolah-olah dibungkus dalam satu kerangka teoretis yang baku. Tentu, berbeda dengan pergumulan sosial sebagaimana kinerja ilmu-ilmu sosial, letak keabsahan dari pengetahuan yang ditemukan sangat bergantung kepada analisis yang kontinu atas realitas. Di sini, pergumulan sosial itu berusaha mengeksplorasi kemungkinan untuk mencari sebuah pendekatan alternatif yang cocok bagi setiap dinamika sosial. Terdorong oleh suatu ekpektasi akan adanya komunitas yang diimpikan (imagine commnity), maka beberapa esai-esai lepas yang coba dimuat dalam akademika kali ini hendak mendedah secara kritis dan analitis pelbagai pergumulan sosial tersebut. Hal ini pertama-tama dimulai dengan gagasan dari Ino Mansur yang mengungkapkan peran sastra sebagai advocatus diaboli, yakni suatu cara untuk mencintai dengan kritis bahkan sesekali melawan karena mencintai. Ino Mansur menulis: “Dalam sejarah dunia, ada banyak sastrawan menggunakan kemampuan sastranya untuk mengecam tindak-tanduk distortif dan sistem politik yang menyangkal kemanusiaan serta mengabaikan moralitas. Salah satunya adalah Nadine Gordimer. Perempuan kulit putih ini terutama dikenal karena menulis tentang antirasisme dan ketidakadilan sosial di Afrika Selatan akibat politik apartheid. [...] 6 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Selain itu, beberapa penyair terkemuka Indonesia seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah, W. S. Rendra, Wiji Tukul merupakan sebagian contoh dari beberapa penyair yang menelisik konteks sosial politik Indonesia dengan kata-kata puitik. Mereka tak sekadar berpuisi, tetapi berpuisi tentang keprihatinan sosial. [...] Mereka memberikan kritik serentak menawarkan terobosan dengan menggunakan katakata sastra. Terkadang dengan gaya berkata yang sarkastik, mereka “menangisi” realitas dan secara amat elok menyerang beberapa kebijakan sosial yang menyandera kebebasan rakyat. Mereka “bersembunyi” dibalik kata-kata manis, tetapi sesekali dan dengan serta merta nan efektif “menyelinap” diantara kerumunan persoalan sosial, tampil seperti orang gila yang berteriak dan menyebabkan suara mereka mendapat sorotan dan perhatian. Mereka juga acapkali memberi ancaman agar persoalan yang mereka tanggisi itu segera dicari solusinya. Mereka terkenal, bukan hanya karena jago meramu kata, tetapi juga pandai menghadirkan diskursus kritis atas berbagai problem sosial lewat pilihan kata-kata bernuansa sastra.” Keyakinan ini serentak menjelaskan betapa dari satu matra akademis sudah berusaha mencermati realitas sosial dengan pelbagai cara. Barangkali ini yang kita boleh namakan dengan mobilisasi peradaban. Sementara Gusti Fahik, lebih lanjut membaca bagaimana wacana kekuasaan bisa dibahasakan dalam karya-karya sastra seperti dalam karya Pramoedia Ananta Toer. Melalui karya Arok Dedes, Pram menampilkan sebuah tradisi persaingan yang bisa berujung pada pembantaian berdarah-darah demi sebuah nama yakni kekuasaan. Terhadap karya ini, Gusti menulis: Arok Dedes dalam pandangan saya menjadi sebuah karya sastra yang memberi analisis wacana kekuasaan atas peristiwa yang terjadi di Tumapel pada abad XIII yakni ketika Ken Arok merebut kekuasaan dari tangan Tunggu Ametung lewat kudeta berdarah. Peristiwa ini punya kesejajaran dengan peristiwa 1965 sebab kedua peristiwa Sififaldus Foya – Editorial - Membaca Realitas Sosial 7 sejarah itu berujung pada jatuhnya kekuasaan ke tangan satu tokoh saja. Yang menarik dari Arok Dedes ialah penggambaran tentang terciptanya lingkaran kekuasaan yang dibangun oleh sang tokoh utama, Ken Arok dalam mengendalikan momentm, menciptakan pra kondisi dan mengambil alih kekuasaan. Ken Arok memanfaatkan setiap unsur yang dia anggap perlu untuk membangun legitimasi bagi kekuasaannya. Selain kelima unsur yang saya sebutkan di muka, ada unsur lain yang dipakai Ken Arok yakni unsur mistis di sekitar kemunculannya. [...] Ken Arok digambarkan sebagai titisan Batara Brahma lewat peran seorang perempuan desa bernama Ken Endok. Sebagai titisan dewa, Ken Arok berbeda dari manusia kebanyakan. Ia bukan bagian dari dunia manusia, meski ia berada di dalam dunia manusia. Kehadiran Ken Arok adalah pengejahwantahan kehendak ilahi bagi kelangsungan sejarah kerajaan-kerajaan besar di Tanah Jawa, dan kelak di Nusantara. Dhakidae menguraikan dengan sangat detil unsur-unsur ilahi yang dimiliki Ken Arok dengan merujuk pada apa yang ditulis dalam Serat Pararathon, sebuah data pustaka kuno tentang sejarah kerajaan-kerajaan Jawa. Campur tangan ilahi dalam kelahiran dan kemunculan Ken Arok pada panggung politik dan perebutan kekuasaan di Tumapel menjadi ciri khas konsep kekuasaan dalam kaca mata Timur. Dalam karya yang lain dari Pram, seperti tetralogi “Bumi Manusia” Marto Lesit, dkk coba membahas tentang Nasionalisme yang terkandung dalam karyanya tersebut. Menurut Marto dkk, Pram dalam karyanya ini ingin mengeritik suatu fenomena yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia, terutama feodalisme yang menghambat perkembangan dan kemajuan. Bagi Pram langgengnya penjajahan kemanusiaan yang berlanjut usai kemerdekaan dipengaruhi oleh kultur feodal yang rigit dan kaku sampaisampai seorang harus sudah dikondisikan untuk bertekuklutut di hadapan seorang Raja atau penguasa. Atau dalam bahasa yang lebih praktisnya, tunduk tanpa sikap kritis. Marto dkk mengutip kata-kata Pram: 8 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 “Apa guna belajar ilmu pengetahuan Eropa, bergaul dengan orangorang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali buta huruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Dengan ini terlihat kritik pedas dari Pram atas tradisi feodal Jawa yang mengharuskan seorang manusia harus ngesot (semi merangkak) saat menghadap pembesar. Bagi Pram, justru langgengnya kejahatan semasa Orde Baru pertama-tama dilatari oleh kepatuhan tanpa dasar ini. Oleh karena itu, pesan nasionalisme yang diharapkan Pram dan bisa menjadi acuan bagi setiap warga Indonesia adalah dekonstruksi atas konsep nasionalisme klasik menuju sesuatu .yang progresif dan revolusioner. Pram,- demikian Marto, dkk, -menolak tunduk-bungkam terhadap penguasa yang menindas rakyat. Selain dalam matra Sastra, beberapa esai di dalam akademika kali ini juga coba mencermati pelbagai realitas sosial pada matra politik terutama meninjau sejauhmana kiprah generasi muda dalam ranah politik kebangsaan Indonesia. Hal ini tergambar jelas dalam esai Dony Koli, dkk yang mencoba menepis keenggan kaum muda dalam ikhtiar partisipatifnya pada ranah politis. Mereka menegaskan bahwa, generasi muda yang menjadi pundak masa depan bangsa tidak lantas menjadi penonton atau penikmat dalam setiap konstelasi politik terlebih khusus dalam pelbagai kontestasi dan komeptisi yang baik. Dony Koli dkk menulis: “Problem partisipasi politik kaum muda menjadi santer didiskursuskan lantaran saat ini absensi kaum muda dalam banyak model percaturan politik hampir pasti sampai pada titik nadir. Survei Transparency Indonesia (TI) tahun 2014 menunjukkan 48 persen pemilih pemula mengaku jarang mencari informasi mengenai pemilu, 33 persen menyatakan tidak pernah, dan sisanya mengaku sering mencari Sififaldus Foya – Editorial - Membaca Realitas Sosial 9 informasi. Fenomena keengganan berpolitik kaum muda memang pantas untuk diantar ke hadapan perbincangan publik. Jika ditelisik dari sisi historis, peran kaum muda bangsa Indonesia tidak dapat dilepaspisahkan dari perjuangan panjang mencapai kemerdekaan. Begitu banyak gerakan pemuda yang mengambil bagian dalam bermacam cara untuk merebut kemerdekaan. Sebut saja peristiwa Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak sejarah perjuangan kaum muda bangsa Indonesia. Selain peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, militansi dan kualitas tekanan kaum muda dalam berpolitik tidak diragukan lagi ketika pada medio 1998 silam mereka berhasil menurunkan Soeharto, sang penguasa rezim Orde Baru yang melanggengkan kekuasaannya secara ‘brutal’ selama lebih dari tiga puluh tahun. Dengan demikian, merupakan suatu hal yang wajar jika banyak orang saat ini berada dalam ‘kecemasan’ kolektif, entahkah ‘taji’ kaum muda yang dahulu konon merebut kemerdekaan dibiarkan hilang begitu saja atau mesti sesegera mungkin menepis keengganan ini.” Dengan ikhtiar semacam ini, Dony dkk yakin bahwa generasi muda hendaknya perlu menyadari sumbangsih mereka dalam aras sejarah bangsa Indonesia sejak tanggal 28 Oktober 1928. Tak dapat disangkal bahwa, perjalanan bangsa Indonesia tidak terlepas dari pelbagai gerakan generasi muda. Oleh karena itu, membaca adanya tendensi untuk mengurangi tingkat partisipasi kaum muda dalam berpolitik yang dipicu oleh pesimisme sosial lantaran merasa muak dengan konstelasi perpolitikan bangsa yang sedang mengalami carut marut, demikian Dony, adalah sebuah pilihan yang tidak relevan, sehingga perlu dicarikan sebuah solusi praktis. Dalam rangka menjawabi sekelumit persoalan yang sedang mendera kaum muda sebagaimana ditampilkan oleh Dony dkk, Frano Kleden coba mendedahnya dengan membaca posisi generasi muda masa kini yang berada di persimpangan jalan. Menurut Frano, posisi kaum muda saat ini sedang digempur oleh dua pengaruh besar yakni pengaruh 10 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 barat (modernisasi dan globalisasi) dan pengaruh budaya nasional, yang dipandang sebagai antitesis kebudayaan barat. Frano menulis: “Sekarang kaum muda mengalami sebuah keadaan dilematis. Mereka sedang berada di persimpangan jalan di mana globalisasi mempersempit jurang antara ruang dan waktu, sementara pertemuan budaya nasional dan kebudayaan Barat modern menghadapkan mereka pada pertanyaan, apakah mereka harus menetap pada nilai universal (budaya nasional) yang telah menyatukan mereka sejak kecil?” Pertanyaan ini dijawab Frano dengan beberapa kemungkinan yakni: Pertama, kaum muda perlu menyadari identitasnya sebagai sebuah bangsa yang berbudaya serentak berusaha mempertahankan keasliannya. Orang tidak bisa memahami keberadaan, kalau tidak mengenal identitas dirinya. Kedua, membangun dialog. Dialog merupakan jawaban atas tanda-tanda zaman sekaligus bentuk kerasulan kategorial dewasa ini. Ketiga, keterbukaan untuk saling mengembangkan. Kebudayaankebudayaan saling membutuhkan sebab semua kebudayaan ada dalam solidaritas. Yang dibutuhkan adalah usaha saling mengembangkan di antara kebudayaan-kebudayaan. Arah dari kiblat yang demikian menurut Har Yansen, adalah untuk meminimalisasi kemunculan pelbagai tindakan radikalisme yang sering memakai jasa generasi muda. Har menegaskan bahwa, dalam episode terakhir ini, pelbagai tindak kejahatan seringkali dilakoni oleh kaum muda. Dengan mengangkat situasi yang terjadi di Timur Tengah semisal kemunculan ISIS, Har berpretensi bahwa sebenarnya dengan darah muda yang mereka miliki, kaum muda akan dengan cepat terpengaruh dalam pelbagi input-input negatif seperti radikalisme. Oleh karena itu, untuk menjawabi pelbagai kecemasan akan bahaya radikalisme, Har meganjurkan pentingnya keterlibatan yang penuh dari keluarga dan Sififaldus Foya – Editorial - Membaca Realitas Sosial 11 sekolah. Dua institusi yang memiliki peran paling fundamental dalam merevolusi mental kaum muda ini harus sedapat mungkin menjalankan perannya dengan baik. Keluarga yang menjadi lokus pertama bagi seorang anak manusia dalam memperoleh nilai-nilai kehidupan dan sekolah yang berperan membentuk dan mendidik kawula muda harus bisa bekerja sama. Jika kedua institusi ini bisa bekerja dengan baik, maka ranah politik yang beradab sebagaimana diharapkan oleh Arsen, dkk bisa tercipta. Arsen percaya bahwa kita masih bisa menggagas peran sentral kaum muda dalam membangun politik yang beradab. Hal ini pertama-tama dipilih bukan tanpa alasan, melainkan karena kita tidak mungkin mencari pihak lain di luar generasi muda yang bisa membawa bangsa kita pada masa depan yang baik. Justru karena ekspektasi yang baik akan masa depan itu adalah sesuatu yang bersifat bayangan maka, hal penting yang kita lakukan adalah membentuk generasi muda kita dengan memberikan input-input positif dan membangkitkan kesadaran mereka bahwa mereka telah memberi sumbangan yang banyak bagi sejarah perkembangan bangsa. Arsen, dkk menulis: “Sejarah perkembangan bangsa-bangsa menempatkan kaum muda sebagai pelopor perubahan. Kaum muda adalah garda masa depan bangsa. Ortega Y. Gasset menyebut kaum muda sebagai agen perubahan.1 Keberadaan kaum muda berpotensi luar biasa dalam pembangunan bangsa. Dalam konteks politik, kaum muda memiliki pengaruh yang besar dalam pembangunan politik yang beradab. Untuk mewujudkan pembangunan politik yang beradab tersebut maka hal pertama yang harus dilakukan kaum muda adalah merekontruksi sistem-sistem politik. Ini menjadi fokus perjuangan kaum muda. Setiap sistem yang salah harus digugat dan dicari solusi 1 Heremias Dupa, “Belajar dari Sejarah Evaluasi Kritis atas Peran dan Kiprah Intelektual Kaum Muda” Jurnal Akdemika 6:1 (Ledalero: 2009/2010), P.83. 12 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 praktis. Politik harus digiring pada porsinya dan harus sejalan dengan nilai-nilai pancasila. Kaum muda tidak boleh membiarkan bangsanya terpasung dibawah sistem politik yang tidak beradab. Generasi muda harus membangun suatu hawa politik yang beradab.” Harapan ini yang menurut Rio Nanto pertama-tama harus dipegang oleh Mahasiswa sebagai kelompok akademisi yang sedang bergulat dengan perkuliahan, penelitian, ataupun kerja. Dengan meletakkan tanggungjawab tersebut, Rio mengharapkan bahwa setelah ditemukan ada distorsi dalam tubuh perpolitikan yang turut mendegradasi peradaban bangsa, kaum muda harus mampu membuat upaya pembalikan dari desakralisasi politik menuju sakralisasi politik. Rio berkeyakinan bahwa arti dasariah dari politik sebagai sesuatu yang mulia, suci, harus sesegera mungkin ditegakkan. Jangan sampai, pandangan yang bertahan sampai kekal hanyalah soal distorsi-distorsi dan penyelewengan-penyelewengan dalam tubuh politik, dan dengan demikian, seolah-olah itulah esensi dasar politik. Menurut Rio, atensi perpolitikan yang dicita-citakan bersama adalah coba memangkas pelbagai fakta dekadensi nilai politik yang sudah kita terima sejak dahulu. Hal itu bisa ditempuh dengan merevitalisasi potensi mahasiswa untuk membangkitkan sense of critis, suatu daya yang punya kekuatan untuk menggempur pelbagai penyelewengan sosial. Ada beberapa tawaran yang dianjurkan oleh Rio yakni adanya penguatan dalam pendidikan agama, pendidikan pancasila, pendidikan multkulturalisme, pembudayaan kejujuran, dan pendidikan kewarganegaraan sehingga kompleksitas pengetahuan dari mahasiswa bisa mumpuni untuk berkiprah dalam taraf yang lebih besar yakni dalam suatu bangsa. Dalam skala lokalitas, Adrian Naur menggariskan harapannya akan perubahan di NTT melalui gerakan kaum muda. Di tengah nestapa dan duka derita yang dialami oleh NTT dengan pelbagai kasus dan persoalan Sififaldus Foya – Editorial - Membaca Realitas Sosial 13 yang menimpanya pada episode akhir-akhir ini, Adrian menyodorkan sebuah agenda harapan akan kehadiran dari kaum muda sebagai daya dobrak dalam memutuskan mata rantai duka nestapa tersebut. Adrian menulis: “Kaum muda menjadi satu-satunya harapan sekaligus agen perubahan dalam menanggapi dentuman ledakan persoalan masyarakat NTT. Dikatakan harapan dan satu-satunya agen perubahan karena tanpa mengesampingkan peran formal masyarakat, kaum muda dalam kiblatnya bersih dari intrik politik dan geliat bahaya destruktif politik praksis. Politik kita telah banyak dicemari oleh pengaruh kekuasaan dan uang. Dan mereka yang terjebak dalam ‘lingkaran setan’ itu adalah para elitis. Jika kita kembali pada fakta sejarah Indonesia sebelum dan pasca kemerdekaan telah banyak yang dilakukan oleh kaum muda. [...] Beberapa tindakan alternatif yang bisa dilakukan oleh kaum muda, -seturut Adrian- adalah Pertama, kaum muda menjadi medium komunikasi serentak komunikator publik, Kedua, kaum muda sebagai penyalur sekaligus pengamplifikasi aspirasi, Ketiga, kaum muda harus menjadi kekuatan kritis.” Di akhir esai-esai ini, Reinard L. Meo dan Mariano Leonard Leta mengangkat tokok Kosuke Koyama, untuk melihat cara pembacaan atas realitas secara induktif. Dengan esai berjudul, “Berteologi dari Bawah Bersama Kosuke Koyama,” Reinard dan Mariano menampilkan ikhtiar Koyama untuk mengubah arah kiblat berteologi. Teologi harus berangkat dari fakta real yang ditemukan dalam setiap perjumpaan dengan manusia, lingkungan dan sesama ciptaan. Dengan itu, kiprah kita di dalam dunia menjadi lebih orisinal karena kita benar-benar berbicara tentang dunia dan penampakkannya. Itulah hakikat pengetahuan ilmiah yang digandrung oleh para saintis sejak penelitian eksperimental yang paling dasyat dari Galileo Galilei, dan para pengikut mereka ketika revolusi pengetahuan abad ke 17 sedang membuncah. 14 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Dan pada akhirnya, tulisan-tulisan yang termuat dalam Akademika kali ini masing-masing memiliki aneka perspektif terkait realitas sosial yang terjadi. Tujuannya bukan untuk menyelesaikan segala problematika yang ditemukan, melainkan untuk memperkaya dan memperdalam daya jangkau kita akan persoalan yang kita hadapi bersama. Lebih spesifik, esai-esai ini terikat oleh keyakinan bahwa tidak semua perspektif dapat menjelaskan satu fenomena dengan kepastian tertentu, sehingga keanekaragamana dalam membahasakan sepak terjang realitas yang digumuli bersama dalam konteks kebangsaan hanyalah ungkapan kekayaan pandangan. Banyak di antara esai-esai ini yang menijau kiprah kaum muda dalam membaca faktum peradaban Indonesia baik dari segi politik, sastra, filsafat, maupun dalam matra lainnya. Berhubung inspirasi dasar Akademika Edisi ini adalah bagaimana memandang dan memikirkan realitas sosial dan politik di tengah masyarakat dan terutama bangsa Indonesia, maka kami dari redaksi coba membingkai semua tulisan ini dengan satu tema besar yakni, “MEMBACA REALITAS SOSIAL,” sembari memperhatikan bahwa pembacaan yang dimaksud tidak bertujuan untuk mendefinisikan realitas dan atau mencari solusi-solusi yang tepat bagi setiap pergolakan yang ditemukan. Kami menyadari bahwa kajian-kajian ini masih terbatas pada analisis-kritis dari hasil pengamatan fenomenal dari setiap para penulis, tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi kadar kualitasnya. Akhirnya, selamat membaca. Sififaldus Foya – Editorial - Membaca Realitas Sosial 15 DAFTAR ISI SUARA REDAKSI................................................................................................3 EDITORIAL — MEMBACA REALITAS SOSIAL Sififaldus Foya...................................................................................................................... 5 DAFTAR ISI........................................................................................................................ 16 SASTRA NTT SEBAGAI “ADVOCATUS DIABOLI” Inosentius Mansur............................................................................................................... 17 MEMBEDAH WACANA KEKUASAAN BERSAMA PRAMOEDYA ANANTA TOER Agustinus Fahik, S.Fil., MA............................................................................................... 35 NASIONALISME DALAM ROMAN BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER Marto R Lesit, Rico W, Eka Nggalu, Troy, Simpli, dan Dion (Tkt. IV)........................ 49 KAUM MUDA DI PERSIMPANGAN JALAN: ANTARA KEBUDAYAAN NASIONAL DAN KEBUDAYAAN BARAT Frano Kleden........................................................................................................................ 60 KAUM MUDA DAN RADIKALISME Har Yansen........................................................................................................................... 70 KAUM MUDA DALAM KEKACAUAN POLITIK: MENGGAGAS SOLUSI MENEPIS KEENGGANAN BERPOLITIK KAUM MUDA Oleh: Kelas 1 Kelompok A (Doni Koli, Anno Susabun, Calvin Pala, Dimas Pangkur)................................................................................................................... 83 MENILIK URGENSI MAHASISWA DALAM RANAH POLITIK (Pembentukan Diri Mahasiswa: Dari Desakralisasi menuju Sakralisasi Politik) Rio Nanto............................................................................................................................. 99 MENGGAGAS (KEMBALI) PERAN POLITIS KAUM MUDA DALAM MEMBANGUN POLITIK BERADAB Arsen Jemarut, dkk............................................................................................................. 115 KAUM MUDA DAN HARAPAN PERUBAHAN DI NTT Adrian Naur ........................................................................................................................ 130 ‘Berteologi dari Bawah’ bersama Kosuke Koyama Mariano Leonard Leta & Reinard L. Meo........................................................................ 142 BOX — IDOLA.................................................................................................................. 151 16 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 SASTRA NTT SEBAGAI “ADVOCATUS DIABOLI” 1 Oleh Inosentius Mansur2 I. PENDAHULUAN H arus diakui bahwa geliat dunia sastra Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan itu tak hanya dalam bidang kuantitas, tetapi juga dalam bidang kualitas. Kalau kita perhatikan secara sungguh-sungguh, banyak sekali sastrawan3 yang muncul diimbangi dengan publikasi hasil karya mereka. Para sastrawan itu masing-masing menampilkan karakter lewat cara mereka membedah tema dan menyampaikan pesan yang tentu saja ditelisik dari perspektif sastra.4 Buku-buku sastra hasil karya mereka pun mulai 1 Makalah ini dibawakan dalam Seminar Bertajuk: “Sastra dan Penindasan” yang diselenggarakan oleh STFK Ledalero, 29 Oktober 2016. 2 Penulis adalah Formator pada Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret. 3 Saya tidak memiliki kompetensi untuk menilai siapa yang layak disebut sebagai sastrawan dan siapakah yang tidak. Kata sastrawan yang dimaksudkan di sini lebih berdasarkan pemahaman saya bahwa sastrawan adalah orang yang menghasilkan karya sastra baik penulis maupun sastra lisan. 4 Informasi tentang naman-nama Sastrawan bisa baca Yohanes Sehandi, Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Yogyakarta: Penerbit Unversitas Sanata Dharma, 2012), hal. 35-75 Inosentius Mansur — Sastra NTT Sebagai “Advocatus Diaboli” 17 menyebar di jagat NTT. Belum lagi dengan berbagai karya sastra dalam bentuk puisi dan cerpen yang tersebar di media cetak (Flores Pos dan Pos Kupang) dan berbagai media online (Floresa. co, Floressastra) dan media internal sekolah, kampus, komunitas ilmiah tertentu ataupun yang hanya dipublikasikan lewat blog pribadi, Facebook serta sastra lisan yang berkembang di daerah-daerah tertentu. Semua ini mau mengatakan bahwa dunia sastra kita mengalami perkembangan. Tidak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa kita (baca: NTT) sedang memasuki sebuah “peradaban” sastra, suatu masa dimana diskursus sastra sedemikian menjadi interese publik dan digemari oleh begitu banyak orang. Sastra kini telah menjadi topik hangat, tema aktual dan menarik serta dijadikan sebagai sarana untuk melibatkan diri dalam perdebatan bersama. Berkaitan dengan dengan perkembangan itu, apresiasi dan kritikan pelan-lelan mulai tampak.5 Jadi, tak hanya kemunculan berbagai sastrawan dengan sejumlah karya sastra mereka, tetapi juga beberapa kali (meskipun tidak banyak) kritik serta tafsir sastra yang bertujuan mempertajam makna dan memperlebar diskursus tentang sastra. Meskipun harus diakui bahwa kritik sastra belum menjadi kultur integral yang sudah lazim dari dunia sastra kita, tetapi tidak bisa diingkari bahwa hal itu telah dimulai. Sekali lagi, betapapun itu (baca: kritik dan tafsir sastra) barangkali belum terlalu signifikan. Selain itu, perdebatan tentang dunia sastra di media massa – meskipun dalam bentuk artikel opini - juga menjadi bukti bahwa sastra kini menjadi fokus perhatian. Hal tersebut mesti diapresiasi sebab “tafsir yang terbuka amat dibutuhkan untuk membedah karya sastra”. 6 Ini adalah indikasi adanya kultur demokratis dalam dunia sastra kita. Agar sastra semakin menukik, kontekstual dan efektif, maka hasil karya sastra perlu “ditentang” dan “ditantang” dengan 5 Akhir-akhir ini, ruang Imajinasi Pos Kupang tidak hanya menyajikan cerpen, tetapi juga kritik atas cerpen itu. 6 Suwardi Endraswara, Teori Kritik Sastra (Yogyakarta: CAPS, 2013), hal. 81 18 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 paradigma berpikir alternatif, opositif agar solutif. Sastra akan semakin menjadi sesuatu yang bernilai jika ditelisik dari berbagai perspektif, baik itu yang sejalan maupun itu berseberangan. Sastra akan menjadi semacam milik publik dan berguna bagi publik jika publik memiliki kepekaan yang darinya publik tak hanya memberikan makna, tetapi juga mengambil maknanya untuk kehidupan sosial. Dalam tulisan ini, saya tidak sedang memilih posisi sebagai pengamat ataupun kritikus sastra, tetapi hanya coba melihat relevansi antara sastra, politik dan kepedulian sosial. Yang mau ditelaah dalam tulisan ini adalah sejauh mana sastra bisa menjadi sarana liberatif, terutama untuk konteks sosial politik NTT. Sastra tak hanya terbatas pada teks. Nyatanya karya sastra terdiri atas teks (sistem relasi intratekstual) dalam relasinya dengan realitas ekstra-tekstual: dengan norma-norma sastra, tradisi dan imajinasi.7 Tentu saja hal tersebut tidak bisa berdiri sendiri tanpa sebuah realitas sosial yang menjadi rujukan imajinasi sastra. Sastra memang mengenal tiga kutub utama yaitu pengarang, teks dan pembaca (penikmat).8 Namun demikian, saya hanya sebagai “penikmat amatiran” yang berusaha untuk melihat sejauhmana sastra itu bisa menjadi “advocatus diaboli” bagi setiap kebijakan sosial yang salah kaprah dan berpotensi merugikan masyarakat. Sastra mesti menjadi pengawas dan pemberi kritik dan bila perlu selalu menjadi tukang kritik sosial. Sastra selalu berusaha agar pemimpin mesti mendengarkan kritik; dan mengembangkan salah satu prinsip yang perlu ditegakan dalam ruang publik yaitu Auditer et altera pars (hendaknya pihak lain pun didengar).9 7 D. W. Fokema&Elrud Kunne-Ibsch, J. Praptadiharja dan Kepler Slaban (Penterj.), Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 174 8 Suwardi Endraswara, Op. Cit., hal. 93 9 Pius Pandor, Ex Latina Claritas, Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan (Jakarta: Obor, 2010), hal. 246 Inosentius Mansur — Sastra NTT Sebagai “Advocatus Diaboli” 19 II. S ASTRA SEBAGAI “ADVOCATUS DIABOLI” 2.1 Penjelasan Terminologi “Advocatus Diaboli” Istilah advocatus diaboli yang saya pakai dalam tulisan ini memiliki arti sebagai setan pembela atau setan pengganggu.10Advocatus diaboli adalah sebutan bagi orang yang ditugasi menyampaikan ‘argumen perlawanan’. Sebagaimana dalam pemahaman biasa, advocatus diaboli adalah orang yang mengambil sudut pandang berlawanan atau cara pandang yang berbeda dalam rangka mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang suatu hal. Cara ini tak jarang digunakan sebagai ‘tekhnik diskusi’ agar peserta diskusi tetap dalam perspektif sehingga perdebatannya konstruktif. 11 Dengan demikian, dalam tulisan ini saya memakai istilah advocatus diaboli dan mengartikannya sebagai setan pembela serentak pengganggu, yang selalu berpikir lain, selalu melihat dari sisi lain, selalu bersedia dan tidak takut untuk berkonfrontir, tidak begitu saja “seia-sekata” dan tidak menerima begitu saja apa yang terjadi. Advocatus diaboli merupakan paradigma berpikir kritis serentak menawarkan kritik, tetapi selalu bersifat diskursif, membangun dan solutif. Advocatus diaboli tidak sama dengan cara melawan dengan selalu mencari titik lemah untuk kemudian menjatuhkan lawan. Advocatus diaboli yang dipakai di sini adalah sebuah ungkapan dan bentuk “mencintai dengan cara kritis”, bahkan sesekali “melawan karena mencintai”. 10 Untuk mempertajam pemahaman kita tentang advocatus diaboli, saya menganjurkan membaca dan membandingkannya dengan tulisan Tony Kleden, “Pers Sebagai Advocatus Diaboli” dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung, Menukik Lebih Dalam (Maumere: Ledalero, 2009), hal. 279-292 11 Bdk. B.J. Marwoto & H. Witdarmono, “Proverbia Latina” Kompas, 2004, yang diakses dari https://kutukamus.wordpress.com/2014/02/27/advocatus-diaboli/, 25/10/2016 20 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 2.2 Sastra dan Politik Apakah sastra dan politik itu berkawan erat ataukah mereka mesti ditempatkan pada posisi dan ruang yang berbeda? Apakah sastra berbeda secara signifikan dengan politik ataukah kedua-duanya merupakan sejoli yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang muncul dalam benak saya ketika hendak mencari titik pijak agar menemukan titik temu antara sastra dan politik. Tanpa bermaksud mengabaikan pertanyaan-pertanyaan ini, saya meyakini bahwa sastra berpilin erat dengan politik. Seseorang bisa bersastra tentang politik. Selanjutnya politik akan menjadi sesuatu yang memiliki nilai estetis, esensial dan mendalam jika dianalisis dengan memakai pisau analisis sastra. Jadi, bagaimana pun juga, sastra tidak pernah berpisah ataupun tidak dapat dipisahkan dengan politik. Politik selalu berkaitan dengan moral dan karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Pesan ini dinamakan “moral”. 12 Politik yang mengabaikan moral pada ghalibnya adalah apolitik dan sastra yang baik mesti selalu berkaitan dengan politik yang memperhatikan aspek moral. Dalam hal ini, moral kerapkali harus mendapat perhatian khusus, hingga dengan membaca karya-karya sastra itu, para pembaca tidak semakin merosot melainkan dipertinggi kebudannya. 13 Moral selalu berkaitan dengan sikap dan tindakan serta kebiasaan-kebiasaan yang baik; kondisi atau suasana hati, semangat atau spirit; juga berkaitan dengan ajaran tentang sesuatu (nilai) yang baik. 14 Sastra dan politik mesti selalu merujuk pada nilai luhur, nilai yang baik dan menjadi panduan moral-etis bagi terciptanya kehidupan sosial yang layak. Sastra bisa beperan mengawasi 12 Budi Darma, “Moral dan Sastra” dalam Selo Soemardjan, dkk. Budaya Sastra (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hal. 79 13 Andre Hardjana, Kritik Sastra, Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 44 14 Peter. C. Aman, Moral Dasar, Prinsip-Prinsip Pokok Hidup Kristiani (Jakarta: Obor, 2016), hal. viii Inosentius Mansur — Sastra NTT Sebagai “Advocatus Diaboli” 21 salah kaprah dan kekhilafan sosial yang disebabkan oleh ambisi politik yang mengabaikan moral, mengabaikan nilai luhur. Sastra dan politik menempatkan moralitas pertimbangan substansial. Dalam sejarah dunia, ada banyak sastrawan menggunakan kemampuan sastranya untuk mengecam tindak-tanduk distortif dan sistem politik yang menyangkal kemanusiaan serta mengabaikan moralitas. Salah satunya adalah Nadine Gordimer. Perempuan kulit putih ini terutama dikenal karena menulis tentang antirasisme dan ketidakadilan sosial di Afrika Selatan akibat politik apartheid. Banyak karyanya yang mengambil tema polits tentang penindasan orang kulit putih atas mayoritas kulit hitam di negaranya sebelum naiknya Nelson Mandela sebagai Presiden Afrikan Selatan kulit hitam pertama pada 1994. Dalam kesempatan penyerahan hadiah Nobel sastra 1991 di Stockholm, dia menegaskan bahwa tugas seorang penulis adalah menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang tertindas di bagian dunia mana pun.15 Selain itu, beberapa penyair terkemuka Indonesia seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah, W. S. Rendra, Wiji Tukul merupakan sebagian contoh dari beberapa penyair yang menelisik konteks sosial politik Indonesia dengan kata-kata puitik. Mereka tak sekadar berpuisi, tetapi berpuisi tentang keprihatinan sosial. Mereka tak sebatas bersyair, tetapi bersyair tentang kepedihan dan air mata yang barangkali tidak digubris oleh siapapun. Lewat kata-kata puitik, mereka mengafirmasi diri sebagai ens sociale. Mereka memberikan kritik serentak menawarkan terobosan dengan menggunakan kata-kata sastra. Terkadang dengan gaya berkata yang sarkastik, mereka “menangisi” realitas dan secara amat elok menyerang 15 Karena kecendrungan politik dan kritik keras dalam karyanya, sejumlah buku Nadine pernah dilarang beredar ole Rezim apartheid Afrika Selatan, termasuk Novel The Late Bourgeois World (1996) dan Burger’ss Daugthter (1997). Bdk. Anton Kurnia, Mencari Setangkai Daun Surga, Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa, Esai-Esai Sastra, Politika dan Budaya (Yogyakarta: IRCioD, 2016), hal. 135-136 22 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 beberapa kebijakan sosial yang menyandera kebebasan rakyat. Mereka “bersembunyi” dibalik kata-kata manis, tetapi sesekali dan dengan serta merta nan efektif “menyelinap” diantara kerumunan persoalan sosial, tampil seperti orang gila yang berteriak dan menyebabkan suara mereka mendapat sorotan dan perhatian. Mereka juga acapkali memberi ancaman agar persoalan yang mereka tanggisi itu segera dicari solusinya. Mereka terkenal, bukan hanya karena jago meramu kata, tetapi juga pandai menghadirkan diskursus kritis atas berbagai problem sosial lewat pilihan kata-kata bernuansa sastra. Kombinasi sebagai seniman kata dan pengelaborasi konteks politik, membuat mereka dikenang sebagai seniman besar yang berjasa. Begitu juga dengan beberapa nama lain, seperti Y. B. Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer seringkali menghasilkan karya sastra yang merupakan hasil kajian dan refleksi mereka tentang kondisi sosial politik. Pramoedya Ananta Toer misalnya, dalam Bumi Manusia pernah melontarkan kritik sosial Nyai Ontosoro sebagai wanita pribumi yang mesti mendapat perlakuan yang sama dengan wanita Eropa, dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Semua manusia, termasuk wanita pribumi tidak boleh diperlakukan berbeda.16 Hal inilah yang menjadi pertanda kepekaan sosial politiknya. Mereka (Mangunwijaya dan Pramoedya) memang tidak menjadikan sastra “berafiliasi” ataupun menjadi subordinasi dari politik, tetapi menunjukan betapa karya sastra memiliki daya bagi politik pembebasan rakyat. Mereka berhasil menunjukkan independensi sastra tanpa mengabaikan kepedulian terhadap berbagai kondisi politik. Mereka mampu menampilkan otonomi sastra dengan selalu membongkar berbagai aip pembangunan dan menggonggong tindakan serta kebijakan kontra-politik. Sastra yang mereka ciptakan 16 Bdk. Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2005), hal. 33-34 Inosentius Mansur — Sastra NTT Sebagai “Advocatus Diaboli” 23 justru semakin menunjukan, taring, orisinal dan berkarakter saat kegelisahan, kritikan, pemberontakan, desakan dan disposisi hati nurani lahir dari keprihatinan atas konteks sosial politik yang mendegradasi dan mendekonstruksi sakralitas kekuasaan. Kata-kata dan paragraph sastra yang mereka desain, lahir dari pengalaman, pergolakan dan pemberontakan batin serentak kemauan luhur sebagai “peringatan” akan adanya kebijakan salah kaprah dari para pemimpin. Dengan dan melalui sastra, mereka membombardir tindak-tanduk distortif elite-elite politik. Mereka memang bukan politikus, tetapi melibatkan diri dalam pergulatan sosial politik dengan mengelaborasinya dari kacamata sastra. Mereka masuk dalam kategori “pemerhati” sosial politik, kendatipun mereka sendiri tak pernah mengatakannya. “Selipan-selipan” mereka seringkali menggelitik, mengganggu dan menjadi “hantaman” terhadap berbagai distorsi sosial. Mereka layak diberi gelar “pahlawan” sosial. Contoh-contoh ini mau mengatakan bahwa sastra dan politik berjalan dalam relasi simbiosis mutualisme. Dengan dan melalui sastra, politik bukan sekadar instrumen untuk mendapatkan kekuasaan ataupun yang berkaitan dengan kekuasaan sebagaimana tesis Andrew Heywood17, tetapi juga sarana untuk mencapai kebaikan bersama. Sastra bagi mereka adalah matra bagi liberalisasi sosial. Sastra berusaha untuk menyadarkan elite-elite politik bahwa berpolitik adalah panggilan mulia untuk mewujudkan kesejahteraan.18 Sastra berusaha untuk menentang praktik-praktik yang mendekonstruksi politik untuk kepentingan parsial-pragmatis. Sastra bukan hanya tentang seni berkata, tetapi juga merupakan nyanyian tentang “kesadisan” sosial. Sastra bukan hanya tentang irama-irama, diksi-diksi ataupun kumpulan paragraph yang 17 Adrew Heywood mengatakan “All politics is about power: semua politik adalah mengenai kekuasan. Bdk. Ikhsan Darmawan, Mengenal Ilmu Politik (Jakarta: Kompas, 2015), hal. 15 18 Guenche Lugo, Manifesto Politik Yesus, (Yogyakarta: ANDI, 2009), ha. 108 24 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 mengikuti kaidah penulisan sastra, tetapi juga membuat kehidupan dan dunia sosial menjadi lebih berirama dan dengan demikian menjadi lebih bermakna. Sastra bukan hanya tentang kepandaian memintal kata-kata puitis, atau sekadar meramu kalimat-kalimat bermakna, tetapi juga membidik berbagai kekeliruan yang telah menghancurkan esensi demokrasi. Sastra menjadi sarana untuk melindungi rakyat kecil, melawan kuasa hegemonik dan berusaha menyadarkan elite politik agar tidak mengorbankan rakyat demi keinginan parsial-pragmatis. Benarlah kata Waluyo bahwa katakata kadang-kadang lebih tajam daripada pedang dan lebih runcing dari peluru.19 Kata, terutama kata yang ditulis sastrawan dan telah menjadi sastra, kiranya tidak hanya menjadi sekumpulan “onggokan” yang hanya diposisikan di emperan realitas, tetapi mesti menjadi sebuah permata yang terlahir dari pergolakan batin tentang kekacauan sosial dan kemudian melahirkan tawaran-tawaran positif bagi pembangunan. Sastra mesti mengembalikan asas demokrasi sebagaimana mestinya. Sastra mesti “memungkinkan semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan putusan politik dan mengontrol pemerintah”.20 Hal ini penting, sebab dalam sebuah Negara yang lahir dari kesepakatan bersama (contract social), rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Sebagai pemangku kekuasaan tertinggi, tidak ada dan boleh ada kuasa lain yang melampaui dan melangkahi kekuasaan rakyat. 21 Tugas sastra adalah menjaga agar rakyat sungguh-sungguh diperlakukan sebagai pemilik kekuasaan. Rakyat adalalah otoritas tertinggi dan tidak boleh 19 Herman J. Waluyo, Apresiasi Puisi Untuk Pelajar dan Mahasiswa, cet. 2 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 43 20 Efriza, Ilmu Politik Cet. 3 (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 135 21 Richard Muga Buku, “Demokrasi dan Etika Perwakilan” dalam Scintila Conscientiae, Letupan Nurani (Maumere: Ledalero, 2014), hal. 22 Inosentius Mansur — Sastra NTT Sebagai “Advocatus Diaboli” 25 dipermainkan. Rakyat bukan subordinasi dari penguasa apalagi sekadar dijadikan objek politik untuk memenuhi hasrat kekuasaan. 2.3 Sastra NTT dan Peran Adocatus Diaboli 2.3.1 Sastra: Mengadvokasi Hak Rakyat Kondisi masyarakat dapat diketahui dari karya sastra. Alasannya, karya sastra selalu merupakan cerminan dari fakta masyarakat dengan memasukkan unsur fiksi didalamnya.22 Sastra dianggap dianggap seperti roh leluhur, yang tidak berumah dalam kehidupan masyarakat di dunia ini. tetapi bisa diundang – dengan ilham dan kreativitas – dan diwadahkan dalam bentuk material dalam bentuk karya sastra di dunia untuk memberi wejangan dan menyelamatkan manusia dari roh jahat, angkara murka, penindasan penguasa atau ketidakadilan sosial. 23 Sastra tak boleh eksklusif, tetapi selalu terbuka dan membuka diri terhadap realitas dan harus membuka tabir kegelapan hidup yang disebabkan oleh hegemoni tertentu. Merujuk pada pendapat ini serta argumentasi sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, sangat diharapkan agar sastra mesti selalu menjalankan peran advocatus diaboli. Sastra yang berperan sebagai advocatus diaboli adalah sastra yang senantiasa membela rakyat dari berbagai bentuk marginalisasi dan mengganggu berbagai kebijakan publik yang tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. Sastra harus mengadvokasi kepentingan rakyat. Sastra tidak boleh membiarkan rakyat ditindas. Sastra selalu kritis terhadap penguasa ataupun eliteelite politik yang menindas rakyat. Saat rakyat tidak mampu berkata, maka sastra harus mengatakan apa yang tak terkatakan itu. Saat rakyat 22 Ulasan lengkap lengkap tentang hal ini, baca Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesustraan, Cet. 5, Melani Budianta (Penterj.), (Jakarta: Gramedia, 2014), hal. 98-120 23 Ariel Heryanto, “Keadilan Sosial dan Sastra” dalam Kompas, 30 Maret 1984 26 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 dibungkam, sastra harus menjadi ruang atau menyediakan ruang bagi mereka untuk berbicara jujur, berbicara bebas tanpa represi. Saat rakyat dilokalisir dan menjadi “kerbau bercocok hidung”, sastra harus tampil membawa mereka keluar dan bersama-sama menyerukan pekikan perlawanan tanpa kekerasan. Untuk maksud mulia ini, sensibilitas sosial sastrawan amat dibutuhkan. Dia harus menjadi sastrawan kreatif, yang memperhatikan lingkungannya, dibutuhkan pengorbanan yang besar, dengan insentif yang sangat minimal. 24 Sastrawan seperti ini hanya memikirkan lingkungan sosial, dan tidak terlalu peduli pada apa yang akan diterimanya. Kalkulasinya populis dan bukan pragmatis. 2.3.2 Sastra NTT: Kepedulian Sosial -Kontekstual Sastra sebagai advocatus diaboli mesti berbicara tentang kepedulian sosial, terutama lagi kepedulian tentang konteks sosial politik lokal NTT. Karena itu, perlu sekali kita mengembangkan apa yang disebut sebagai sastra kontekstual.25 Sastra kontekstual adalah sastra yang menulis dan berbicara tentang konteks masyarakat lokal tertentu. Dalam sastra jenis ini, para sastrawan sadar benar bahwa dia mencipta untuk kelompok konsumen tertentu.26 Tujuanya jelas yaitu melakukan sesuatu untuk anggota sosial. Karena itulah sastranya mesti terlahir dari permenungan mendalam tentang apa yang terjadi dan berpotensi akan terus terjadi dalam sebuah kelompok masyarakat. Hal ini berlaku pula untuk sastra NTT. Ada banyak persoalan di NTT yang mesti menjadi titik acuan sastra. Persoalan itu antara lain: korupsi, kemiskinan, pengangguran, human trafficking, pembangunan yang tidak merata, penguasa yang 24 Ariel Heryanto Budiman “Sastra yang Berpublik” dalam Perdebatan Sastra Kontekstual (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hal. 86 25 Ibid., hal. 98 26 Ibid., Inosentius Mansur — Sastra NTT Sebagai “Advocatus Diaboli” 27 sewenang-wenang, persoalan kesehatan, pencaplokan ruang publik untuk kepentingan tertentu, ketiadaan sense of crisis dan sederetan problem lainnya. Adalah amat bagus jika persoalan-persoalan ini menjadi tema sastra dan juga tema kritik sastra. NTT memang telah memiliki orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang sastra. Hal ini terbukti dari banyaknya sastrawan NTT. Namun lebih dari itu, NTT juga tetap dan akan terus membutuhkan sastrawan yang tampil sebagai “masyarakat alternatif ” demi penguatan civil society. Mereka harus menjadi penggagas politik kemanusiaan dan pencentus kelompok yang secara kritis menggonggong berbagai kekhilafan publik. Mereka mesti selalu menyadari bahwa karya sastra merupakan pekikan tentang kebebasan, tanpa mengabaikan unsur fiksi. Dialektika antara unsur fiksi, fakta dan kepedulian sosial akan menjadikan sastra itu berdaya liberatif. Selain itu, karya sastra juga diharapkan merupakan manifestasi dan artikulasi suara rakyat akar rumput. Sastra mesti mengakomodir suara kaum tak bersuara. Sastra NTT tak boleh hanya untuk dinikmati segelintir orang – semisal para sastrawan ataupun orang yang memiliki kemampuan dalam bidang sastra - tetapi mesti memberi pengaruh bagi pemerdekaan rakyat dari berbagai bentuk penderitaan. Dengan demikian, setiap sastra selalu mempertimbangkan dampak bagi konteks dan selalu melihat bagaimana efek sosialnya. Sastra tak pernah berdiri sendiri apalagi menyendiri. Wajah kepenulisan sastra NTT adalah wajah yang ramah pada perjuangan menegakan kemanusiaan di bumi Flobamora. 27 Itu berarti sastra NTT tidak boleh mengabaikan pembangunan manusia NTT. Hal ini penting sebab locus pembangunan juga sudah bergeser dari pusat-pusat ekonomi dan politik menuju komunitas lokal yang memiliki karakter khusus, pada dua dekade terakhir. Maka salah satu proposal 27 Redem Kono, “Menolak Adorno, Menerima Rorty, Catatan Untuk Yohanes Sehandi” dalam media Floressatra, 28/07/2016. 28 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 politik yang coba diajukan dan diperjuangkan adalah menganalisis peran komunitas lokal (daerah) dalam politik pembangunan.28 Di saat pemerintah tidak menjabarkan program pembangunan demi terciptanya masyarakat sejahtera, maka sastra harus menjadi intrumen untuk menyadarkan pemerintah agar selalu fokus pada kebaikan bersama. Sastra adalah “kawan” sekaligus “lawan” penguasa, tetapi dia bukanlah advokat tanpa dasar yang begitu saja membela kepentingan rakyat tanpa secara kritis mendalami substansi pembelaannya. Sastra juga mesti membantu komunitas lokal (daerah) untuk keluar dari penderitaan hidup dan sebisa mungkin – bersama mereka – mendesak pemerintah lokal (NTT) untuk selalu memperhatikan nasib rakyat. Karena itu - sekali lagi - karya sastra mesti lahir dari kondisi sosial politik yang kontekstual dan harus merupakan narasi tentang kepedulian sosial. Kata Sapardi Djoko Damono: “satu-satunya hal yang bisa dilakukan penulis masa kini adalah bersikap lebih bersungguh-sungguh dalam memperhatikan persoalan masyarakat di sekitarnya”. 29 Dengan begitu, sastra menjadi instrumen penting yang menjadi bagian integral dari dinamika demokrasi. Saya tidak bermaksud, untuk menafikan berbagai karya sastra di NTT yang selama ini mulai bersemi secara militan, tetapi menginginkan juga agar sastra kita menjadi representasi desakan rakyat. Sastra harus berdiri pada posisi “orang-orang kalah” yang tidak berdaya berhadapan kuasa hegemonik. Kuasa hegemonik itu, sebagaimana seringkali dipraktikan dalam politik dan dalam pembangunan adalah “power over”, kuasa atas, kuasa yang mencaplok, yang mendominasi.30 28 Max Regus, “Politik Pembangunan dan Perlawanan Lokal” dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti, Op. Cit., hal. 185. 29 Sapardi Djoko Damono, “Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia: Lebah Tanpa Sengat” dalam Prisma, No. 10 (Oktober), Th VI, 1997, hal 53-61 30 Cyipri Jehan Paju Dale, “Kerangka Aksi dan Agenda Revolusi Kita” dalam Cypri Jehan Paju Dale dan Kris Bheda Somepers, Masa Depan Revolusi Kita, Pemikiran dan Agenda Aksi (Labuan Bajo: Sunspirit, 2014), hal. 148 Inosentius Mansur — Sastra NTT Sebagai “Advocatus Diaboli” 29 Dalam konteks seperti inilah sastra mesti menawarkan konsep dan agenda aksi liberatif-emansipatif demi menggapai perubahan, menciptakan kekuasasan yang produktif, yang selalu berjuang agar rakyat menikmati keadilan sosial dalam segala dimensi kehidupan. Karena itu, setiap kata dalam sastra, tak hanya lahir dari olahan dan reproduksi atas imajinasi, tetapi juga lahir dari kajian dan analisis kritis atas berbagai kondisi sosial yang memprihatinkan. Imajinas mesti diolah berdasarkan realita dan berorientasi pembebasan. Geliat signifikan sastra kita menjadi peluang bagi terciptanya sastra tentang kepedulian sosial yang kontekstual. Sastra pada ghalibnya selalu berdimensi “sosial-karitatif ”, tidak pernah ego dan selalu altruis. Sastra - betapapun hanya kumpulan kata – tidak pernah individualistik-egoistik. Sastra tak boleh diam apalagi mendiamkan berbagai persoalan yang jelas-jelas mengorbankan rakyat. Sastra mestilah sastra rakyat, sastra tentang rakyat, sastra yang bersuara tentang kepentingan rakyat. Rakyat adalah “detak nadi” sastra dan penderitaan mereka adalah “helaan nafas”nya. Inspirasi sastra adalah tangingan rakyat dan “penanya” adalah disparitas antara yang kaya dan yang miskin. Sastra mesti berorientasi etis, moral dan transformatif. Titik pijak dan titik tuju sastra adalah kemanusiaan. Karenaya, sastra mesti memastikan bahwa kemanusiaan tidak boleh dipreteli apalagi dikorbankan demi mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Tepatlah apa yang dikatakan Abdul Hadi bahwa tanah air sastra adalah kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.31 Dia tak pernah lepas atau melepaskan diri dari realitas kehidupan manusia. Sastra bertolak dari dan bertolak kepada kemanusiaan, tetapi tidak boleh menolak kemanusiaan. Sastra mesti mengarungi samudra kehidupan dan membantu manusia agar tidak terhanyut goncangan dan badai “lautan-samudra” kehidupan. 31 Abdul Hadi, “Realisme Sosial dan Humanisme Universal: Sastra Indonesia 1959-1965”, Horison, No. 9, Th. XVII, 1982 halaman 244-250. 30 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 III. PENUTUP NTT seringkali dipelesetkan sebagai: “Nanti Tuhan Tolong” atau “Nasib Tidak Tentu”. Pelesetan ini bukan tanpa alasan. Kita menyaksikan bagaimana sebagian besar rakyat NTT masih menderita. Impian untuk hidup sejahtera masih jauh dari harapan. Berbagai janji politik yang pernah diberikan kepada rakyat tentang hidup baik, belum sepenuhnya direalisasikan. Di saat seperti ini, rakyat membutuhkan pembela yang mengadvoksi hak-hak mereka untuk mendapatkan hidup layak. Rakyat membutuhkan wakil yang bisa menyuarakan pekikan hati untuk mendapatkan pertolongan agar segera keluar dari sandera sosial. Memang bahwa di Negara kita – termasuk di NTT - telah memiliki dewan perwakilan rakyat yang bertugas untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Namun demikian, akkhir-akhir ini, kepercayaan terhadap dewan terhormat itu mulai stagnan. Hal tersebut disebabkan karena suara rakyat seringkali digadaikan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Mereka menggadaikan rakyat dan bahkan seringkali berlawanan atau lebih tepatnya melawan rakyat yang harus mereka wakili. Di sinilah peran sastra NTT dibutuhkan. Sastra NTT mesti tampil sebagai advocatus diaboli. Sastra NTT mesti selalu berdiri pada posisi orang-orang kalah, orang-orang yang tertindas. Sastra tidak boleh tega membiarkan rakyat dimarginalisasi. Sastra mesti mengembalikan politik sebagai matra sakral dan tidak dibiarkan didesakralisasi demi kepentingan pragmatis. Singkat kata, sastra mesti selalu memiliki kepedulian sosialpolitik. Dengan demikian, sastra NTT dapat diharapkan serentak diandalkan untuk menjadi sarana liberatif. Sastra memang tidak memiliki kesanggupan teknis-operasional dan otoritas legal dalam melakukan usaha pembebasan. Sastra bukanlah institusi, tetapi “ sekumpulan ideide” yang (mesti) lahir dari pergulatan atas pergolakan. Sastra memiliki kekuatan kata-kata yang lebih tajam dari pedang bermata dua dan pasti Inosentius Mansur — Sastra NTT Sebagai “Advocatus Diaboli” 31 memberi efek positif bagi pemerdekaan rakyat. Sastra NTT mesti kritisdiskursif yang berpihak serta berpijak pada kepentingan rakyat NTT. Sastra mesti menjadi simbol perjuangan rakyat. Refleksi sastra NTT mesti selalu berkiblat pada politik partisipatif serta pembelaan terhadap hak-hak asali rakyat yang (telah – akan) dicaplok oleh elite-elite politik dalam konspirasinya dengan kaum kapitalis. DAFTAR PUSTAKA I. BUKU DAN ARTIKEL BUKU Aman, Peter. C., Moral Dasar, Prinsip-Prinsip Pokok Hidup Kristiani. Jakarta: Obor, 2016 Buku, Richard Muga “Demokrasi dan Etika Perwakilan” dalam Scintila Conscientiae, Letupan Nurani. Maumere: Ledalero, 2014 Darma, Budi. “Moral dan Sastra” dalam Selo Soemardjan, dkk. Budaya Sastra. Jakarta: CV Rajawali, 1984, hal. 79 Darmawan, Ikhsan Mengenal Ilmu Politik. Jakarta: Kompas, 2015 Dale, Cyipri Jehan Paju “Kerangka Aksi dan Agenda Revolusi Kita” dalam Cypri Jehan Paju Dale dan Kris Bheda Somepers, Masa Depan Revolusi Kita, Pemikiran dan Agenda Aksi. Labuan Bajo: Sunspirit, 2014, haL. 148 Efriza, Ilmu Politik Cet. 3. Bandung: Alfabeta, 2013 Endraswara, Suwardi. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS, 2013 Fokema, D. W. &Elrud Kunne-Ibsch, J. Praptadiharja dan Kepler Slaban (Penterj.), Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998 Hardjana, Andre. Kritik Sastra, Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1981 Heryanto, Ariel. “Keadilan Sosial dan Sastra” dalam Kompas, 30 Maret 1984 32 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Heryanto, Ariel “Sastra yang Berpublik” dalam Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV. Rajawali, 1985. Kleden, Tony “Pers Sebagai Advocatus Diaboli” dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung, Menukik Lebih Dalam. Maumere: Ledalero, 2009, hal. 279-292 Kurnia, Anton. Mencari Setangkai Daun Surga, Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa, Esai-Esai Sastra, Politika dan Budaya. Yogyakarta: IRCioD, 2016 Lugo, Guenche. Manifesto Politik Yesus. Yogyakarta: ANDI, 2009 Pandor, Pius. Ex Latina Claritas, Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan. Jakarta: Obor, 2010 Regus, Max. “Politik Pembangunan dan Perlawanan Lokal” dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung, Menukik Lebih Dalam. Maumere: Ledalero, 2009, hal. hal. 185 Sehandi, Yohanes. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta: Penerbit Unversitas Sanata Dharma, 2012 Toer, Pramoedya Ananta. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2005 Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi Untuk Pelajar dan Mahasiswa, cet. 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003 Wellek, Rene dan Austin Warren, Teori Kesustraan, Cet. 5, Melani Budianta (Penterj.). Jakarta: Gramedia, 2014 II. MAJALAH Damono, Sapardi Djoko “Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia: Lebah Tanpa Sengat” dalam Prisma, No. 10 (Oktober), Th VI, 1997, hal 53-61 Hadi, Abdul, “Realisme Sosial dan Humanisme Universal: Sastra Indonesia 1959-1965”, dalam Horison, No. 9, Th. XVII, 1982. Inosentius Mansur — Sastra NTT Sebagai “Advocatus Diaboli” 33 III. MEDIA ONLINE Kono, Redem “Menolak Adorno, Menerima Rorty, Catatan Untuk Yohanes Sehandi” dalam media Floressatra, 28/07/2016. IV. INTERNET B.J. Marwoto & H. Witdarmono, “Proverbia Latina” Kompas, 2004, yang diakses dari https://kutukamus.wordpress.com/2014/02/27/ advocatus-diaboli/, 25/10/2016 34 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 MEMBEDAH WACANA KEKUASAAN BERSAMA PRAMOEDYA ANANTA TOER Agustinus Fahik, S.Fil., MA.1 “Seluruh ilmu dan pengetahuan, milik paling berharga dari kaum brahmana yang tak dapat diragukan ini, dikerahkan hanya untuk memburuk-burukkan yang tidak disukai, tidak menjadi kekuatan yang mengungguli yang lain-lain.” (Pram – Arok Dedes) I. CATATAN AWAL S etelah Ken Arok menggulingkan Tunggul Ametung dengan menimpakan seluruh kesalahan pada Kebo Ijo, untuk pertama kalinya Ken Dedes membiarkan air matanya berlinang. Ia menangis, bukan lantaran kehilangan Tunggul Ametung, ayah dari anak yang sedang 1 Agustinus I. Fahik. Lahir di Tulatudik, 5 Agustus 1986 Menyelesaikan S1 di STFK Ledalero dan S2 di Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM. Aktif menulis di berbagai media cetak dan online utk berbagai isu politik, sosial, budaya, sastra, media, pendidikan, dll. Terlibat di institute Sophia, yg menaruh perhatian pada persoalan agraria di Timor Barat. Kini menjadi desainer dan wartawan majalah Bulanan Kabar NTT Agustinus Fahik, S.Fil., MA. — Membedah Wacana Kekuasaan ... 35 dikandungnya. Ia sedang menangisi kekuasaannya sebagai Pramesywari Tumapel yang kini sudah tidak lagi utuh. Ken Dedes mungkin tidak bisa lari dari kenyataan bahwa meski tidak pernah mencintai Tunggul Ametung, ia toh menikmati kekuasaan yang diberikan kepadanya sebagai isteri seorang akuwu di Tumapel. Malah ia menjalankan kekuasaan itu lebih baik dari sang akuwu sendiri, sebab ia berpengetahuan. Ia menguasai pengetahuan yang diturunkan ayahnya, Mpu Parwa, bukan saja dalam bahasa Jawa, tetapi juga bahasa Sansekerta. Pengetahuan itulah yang membuat dia lebih leluasa menunjukkan sikap memberontak terhadap suaminya, yang tidak bisa baca tulis, apalagi berbahasa Sansekerta. Barangkali karena Ken Dedes seorang perempuan maka ia mengalami kegoncangan yang demikian, tetapi apakah hasrat kekuasaan mengenal jenis kelamin? Bukankah Ken Arok pun mempunyai hasrat yang sama, dan memuaskannya dengan sebuah intrik yang lalu dicontoh oleh banyak penguasa yang muncul kemudian? Apakah ia mesti disalahkan ketika menolak kehadiran yang lain untuk berbagi kekuasaan yang selama ini digenggamnya sebagai ratu di Tumapel? Bagian paling akhir dari roman Arok Dedes karya sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) yang saya ulas dalam dua paragraf awal makalah ini, sekiranya bisa dengan jelas menunjukkan apa yang disasar Pram dalam karya itu, yakni relasi pengetahuan dan kekuasaan. Ketika Pram mendedahkan relasi pengetahuan dan kekuasaan dalam Arok Dedes, ia serentak menggumuli sebuah persoalan lain, yakni bagaimana kekuasaan itu dibentuk. Pram keluar dari pandangan Timur tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang diturunkan dari langit, sesuatu yang diberikan para dewa sebagai warisan yang mengalir dalam urat nadi kaum bangsawan berdarah biru. Lewat Arok Dedes, Pram membalikkan pandangan tradisional Timur itu dengan menunjukkan bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang bisa 36 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 dikonstruksi dengan bertumpu pada pengetahuan. Namun, pengetahuan sendiri belum menjadi jaminan diraihnya kekuasaan. Diperlukan empat faktor lain, yakni teman, kesetiaan, uang dan senjata. Keempat hal ini ditambah pengetahuan akan mampu memanipulasi berbagai prakondisi lain yang memungkinkan kekuasaan itu direbut, kemudian dijalankan. Kini kita akan melihat bagaimana pertalian antara pengetahuan utamanya pemahaman sejarah dengan kekuasaan, ditambah kehadiran empat faktor dalam anggapan Pram di atas, serta relevansinya bagi situasi sosial politik terkini yang melanda tanah air. II. P ENGETAHUAN (PEMAHAMAN SEJARAH) DAN KEKUASAAN Kepentingan kekuasaan terhadap pemahaman atas masa lalu tidak lain dari upaya memberi legitimasi terhadap kekuasaan itu sendiri. Artinya pemahaman sejarah pada level tertentu memang dibentuk, bahkan diarahkan untuk mengukuhkan kekuasaan yang disandang oleh tokoh atau golongan tertentu. Sejarah dikonstruksi untuk memberi semacam bukti bahwa kekuasaan yang pada masa kini disandang oleh sebuah golongan adalah keniscayaan yang memang perlu diterima sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Konstruksi pengetahuan sejarah oleh kekuasaan selalu bertalian dengan paling kurang dua faktor (Nordholt et al., 2008): pertama, penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi pengetahuan mengenai masa lalu. Hal ini terkait dengan bagaimana pengetahuan mengenai masa lalu itu diproduksi, entah melalui buku pelajaran sekolah, film dokumenter, pemberian nama jalan, pembangunan tugu/monumen peringatan, yang tujuannya ialah menanamkan ingatan kolektif tertentu dalam kepala masyarakat. Kedua, tantangan terhadap narasi besar sejarah Agustinus Fahik, S.Fil., MA. — Membedah Wacana Kekuasaan ... 37 berupa narasi-narasi alternatif yang berasal dari kaum intelektual dan anggota masyarakat yang berada di pinggir kekuasaan. Faktor pertama di atas memang memengaruhi kontrol atas kesadaran kolektif masyarakat. Untuk itu, arsip-arsip sejarah sebisa mungkin diseleksi untuk diambil bagian-bagian yang berfungsi mengokohkan kekuasaan dan melenyapkan unsur-unsur yang berpotensi mengganggu kekuasaan yang sedang berlangsung. Peran tokoh tertentu ditonjolkan sedemikian rupa, sementara tokoh yang lain dieliminasi perannya, bahkan dibalikkan menjadi pengkhianat bahkan pecundang dalam sejarah. Hal ini dapat dilihat pada Orde Baru Soeharto ketika mengendalikan narasi tentang peristiwa 1965, dan rentetan kejadian yang mengikutinya kemudian. Pemahaman atas apa yang terjadi pada masa itu seluruhnya dikendalikan oleh mesin kekuasaan Orde Baru dan dijalankan lewat institusi-institusi resmi negara, terutama militer dan departemen pendidikan yang berfungsi memproduksi pengetahuan. Pram sendiri diisolasi dari sejarah ketika ia disingkirkan ke pembuangan di Pulau Buru. Nama dan karyanya tidak banyak dibahas di dalam negeri seiring larangan atas peredaran karya-karyanya dari hadapan pembaca sastra tanah air. Di sini terihat bagaimana perluasan dominasi medan kekuasaan politik ke dalam medan sastra yang dikendalikan oleh Orde Baru. Pada titik ini, Pram adalah representasi paripurna mereka yang dikorbankan dalam peristiwa 1965. Bukan saja pribadinya yang ditindas melainkan karya-karyanya juga turut dilindas oleh mesin kekuasaan Orde Baru. Ia dianggap sebagai panglima dari para seniman yang bergabung dalam Lekra dan dituduh menyebarkan Marxisme meski tidak pernah dibuktikan sampai tuntas dan diberi kesempatan membuat pembelaan diri di hadapan pengadilan. Pada tahun 1995, ketika nama Pram diumumkan sebagai pemenang Penghargaan Ramon Magsaysay, sejumlah sastrawan melayangkan 38 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 surat keberatan. Seperti dicatat Dhakidae (2015), Mochtar Lubis yang menjadi penggalang dukungan untuk memboikot penghargaan terhadap Pram, menganggap Pram pernah terlibat dalam membunuh karya orang lain pada masa kejayaan Lekra dan karena itu tidak pantas mendapatkan apapun, bahkan perlu diketok kepalanya. Tuduhan bahwa Pram membakar karya orang lain dan turut melarang peredaran karya sastrawan tertentu dijawab Pram bahwa yang berhak melarang peredaran sebuah buku adalah Jaksa Agung, bukan sesama sastrawan. Jawaban Pram ini oleh Dhakidae diartikan sebagai cara Pram menunjukkan keterlibatan medan kekuasaan politik (negara) ke dalam medan sastra (kebudayaan). Dengan demikian, sastra kehilangan kebebasannya karena telah terlampau jauh didominasi oleh kepentingan kekuasaan politik. Medan sastra dikontrol oleh kekuasaan politik dan digiring menjadi alat bagi lenggengnya kekuasaan itu. Di tengah hantaman yang dilatari sentimen pribadi dan kepentingan politik Orde Baru, Pram membuktikan kelasnya dengan menerbitkan salah satu karya terbesarnya yakni Arus Balik. Sebagai seorang yang berada di pinggir kekuasaan politik, Pram konsisten menggunakan medium sastra untuk membuktikan dirinya sebagai mutiara yang tetap berkilau meski dicampakkan ke dalam lumpur sekalipun. Apa yang dialami Pram menjadi cerminan bagaimana kekuasaan Orde Baru mengontrol kesadaran kolektif masyarakat luas terhadap sejarah bangsanya sendiri. Persitiwa sebenarnya yang terjadi pada September 1965 tetap menjadi sesuatu yang simpang siur meski berbagai buku telah ditulis untuk mengurai benang kusut peristiwa itu. Arok Dedes menjadi narasi yang meski tidak berbicara tentang peristiwa September 1965, tetapi memiliki beberapa kesejajaran yang relevan untuk memahami peristiwa yang dikaitkan dengan persaingan antara PKI dan militer khususnya Angkatan Darat itu. Agustinus Fahik, S.Fil., MA. — Membedah Wacana Kekuasaan ... 39 III. P RAM DAN ANALISIS WACANA KEKUASAAN Arok Dedes dalam pandangan saya menjadi sebuah karya sastra yang memberi analisis wacana kekuasaan atas peristiwa yang terjadi di Tumapel pada abad XIII yakni ketika Ken Arok merebut kekuasaan dari tangan Tunggu Ametung lewat kudeta berdarah. Peristiwa ini punya kesejajaran dengan peristiwa 1965 sebab kedua peristiwa sejarah itu berujung pada jatuhnya kekuasaan ke tangan satu tokoh saja. Yang menarik dari Arok Dedes ialah penggambaran tentang terciptanya lingkaran kekuasaan yang dibangun oleh sang tokoh utama, Ken Arok dalam mengendalikan momentm, menciptakan pra kondisi dan mengambil alih kekuasaan. Ken Arok memanfaatkan setiap unsur yang dia anggap perlu untuk membangun legitimasi bagi kekuasaannya. Selain kelima unsur yang saya sebutkan di muka, ada unsur lain yang dipakai Ken Arok yakni unsur mistis di sekitar kemunculannya. Ken Arok digambarkan sebagai titisan Batara Brahma lewat peran seorang perempuan desa bernama Ken Endok. Sebagai titisan dewa, Ken Arok berbeda dari manusia kebanyakan. Ia bukan bagian dari dunia manusia, meski ia berada di dalam dunia manusia. Kehadiran Ken Arok adalah pengejahwantahan kehendak ilahi bagi kelangsungan sejarah kerajaan-kerajaan besar di Tanah Jawa, dan kelak di Nusantara. Dhakidae menguraikan dengan sangat detil unsur-unsur ilahi yang dimiliki Ken Arok dengan merujuk pada apa yang ditulis dalam Serat Pararathon, sebuah data pustaka kuno tentang sejarah kerajaan-kerajaan Jawa. Campur tangan ilahi dalam kelahiran dan kemunculan Ken Arok pada panggung politik dan perebutan kekuasaan di Tumapel menjadi ciri khas konsep kekuasaan dalam kaca mata Timur. Pram sebagaimana dituturkan Dhakidae melampaui konsep Timur ini dengan menunjukkan bahwa kekuasaan itu bukan sesuatu yang murni 40 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 diturunkan dari langit, melainkan sesuatu yang dikonstruksi sendiri dengan memanfaatkan tangan manusia. Ken Arok merebut kekuasaan bukan semata-mata dengan memanfaatkan narasi tentang campur tangan ilahi dalam menggambarkan ihwal kelahirannya, melainkan dengan memanfaatkan lima hal lain yang diupayakan sendiri oleh manusia yakni pengetahuan, teman, kesetiaan, uang dan senjata. Ken Arok memperoleh pengetahuan setelah ia diangkat menjadi murid di padepokan milik Mpu Parwa, salah satu Guru yang menguasai agama Hindu, juga seorang pemuja Syiwa. Mpu Parwa pulalah yang memberi gelar Sang Pembangun kepada Ken Arok (bandingkan dengan gelar Bapak Pembangunan yang diberikan Suharto kepada dirinya sendiri). Di bawah bimbingan Mpu Parwa, Ken Arok menjadi murid paling cemerlang yang menguasai bahasa Sansekerta dan memahami hampir seluruh isi Kitab Suci. Diam-diam ia mempelajari niat kaum Brahmana pemuja yang telah sekian tahun merasa dizolimi oleh Raja Kretajaya di Kediri yang memuja Wisynu. Ia menangkap kekecewaan kaum Brahmana yang kehilangan kekuasaan akibat tidak diberi tempat oleh Raja yang menyembah Wisynu, bukan Syiwa. Di sini, terlihat bahwa Pram sedang menarasikan pertentangan antar penganut kepercayaan, yang ternyata direkayasa untuk kepentingan segelintir golongan (dalam hal ini kaum Brahmana) saja. Jusuf Wanandi (2014) salah satu pendiri Center for Strategic and International Studies (CSIS), lembaga yang menjadi think tank Soeharto hingga akhir 1980-an, mengisahkan bahwa ketika situasi memanas di Jakarta menjelang peristiwa September 1965, intelektual muda Islam memilih merapat kepada kalangan intelektual muda Katolik. Menurut Wanandi, kekuatan Islam dan Katolik lebih ditakuti PKI daripada kekuatan Protestan yang dinilai mudah dihadapi karena sudah terpecah-pecah ke dalam berbagai kelompok (denominasi) kecil. Hal ini bisa jadi benar mengingat Agustinus Fahik, S.Fil., MA. — Membedah Wacana Kekuasaan ... 41 selama masa Orde Baru, paling tidak hingga sebelum terbentuknya ICMI, kaum intelektual di Indonesai terkesan tidak terlalu berurusan dengan agama. Ini bisa dimaklumi sebab Orde Baru telah menyatakan Pancasila sebagai ideologi tunggal bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk partai-partai politik dan berbagai ormas yang dibentuk di Indonesia. “Persaingan” antar agama baru menguat kembali setelah Soeharto memilih merapat ke kaum intelektual Islam yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dimotori tokohtokoh seperti Habibie, Amien Rais, dan menjelang berakhirnya rezim Soeharto muncul tokoh-tokoh muda seperti Hatta Rajasa. Meski tidak kelihatan, sebetulnya ada persaingan antara CSIS dan ICMI dalam merebut pengaruh untuk menjadi think tank Soeharto. Kekalahan CSIS dalam persaingan ini seperti diafirmasi Wanandi bermula ketika Benny Moerdani dilengserkan dari jabatan panglima ABRI. ABRI sendiri terlebih Angkatan Darat telah menjadi kekuatan utama yang dimanfaatkan Suharto untuk melindungi kekuasaannya sejak awal hingga 32 tahun kemudian. Kematian perwira-periwira Angkatan Darat dalam peristiwa September 1965 meninggalkan dendam membara angkatan ini terhadap PKI. Sebetulnya persaingan antara Angkatan Darat dan PKI telah dimulai jauh-jauh hari, sejak masa perjuangan revolusi. Dalam narasi sejarah yang ditulis kemudian oleh tokoh militer seperti Nugroho Notosusanto, peran PKI dikecilkan menjadi pengkhianat bangsa, meski PKI adalah partai politik pertama yang menggunakan nama Indonesia dan yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1926. Imbasnya ialah, negara ini dinarasikan sebagai hasil perjuangan militer, karena peran militer yang terlalu dibesar-besarkan oleh para penulis sejarah. Peran sipil yang berjuang lewat jalur diplomasi dan partai politik dikecilkan untuk memuluskan berjalannya doktrin dwifungsi 42 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 ABRI, dimana ABRI tidak hanya terlibat dalam urusan pertahanan negara melainkan turut masuk dalam ranah sipil guna mengurusi persoalan sosial politik negara ini. Sampai di sini masih terlihat sebuah benang merah antara Ken Arok dan Soeharto, terutama kelihaian memanfaatkan pengetahuan dan senjata untuk memuluskan langkah memegang kekuasaan tunggal. Dua unsur lain, uang dan teman didapatkan Soeharto dari konglomeratkonglomerat besar seperti Liem Soei Liong dan Bob Hasan. Pertemanan Soeharto dengan para pemilik uang ini telah terjalin pada tahun 1950-an ketika Soeharto menjadi Pangdam Diponegoro. Soeharto membangun jaringan pertemanan yang menguntungkan dirinya serentak menyingkirkan mereka yang menjadi saingannya. Ia menarik ke dalam lingkarannya orang-orang yang bisa diandalkan loyalitasnya seperti Ali Murtopo, Sumitro, Sudomo, Alamsjah, tetapi diamdiam membiarkan mereka bersaing untuk berebut pengaruh, sehingga ia sendiri aman dari rongrongan janderal-jenderal kepercayaannya itu. Ia membiarkan orang-orang di sekitar lingkaran kekuasaannya saling bersaing agar ia bisa sendirian berdiri pada pusat kekuasaan. Sementara itu, penumpasan terhadap mereka yang dianggap bagian atau yang bersimpati terhadap PKI dilakukan di tengah desas-desus bahwa PKI akan merebut kekuasaan di Jakarta, mengganti Pancasila dengan komunisme dan memegang daftar nama orang-orang yang akan dibantai hingga ke daerah-daerah. Dalam kenyataan, pembantaian terhadap mereka yang dianggap bagian dari PKI tidak melulu dilakukan atas dasar perbedaan ideologi atau haluan politik, tetapi bercampur dengan sentimen-sentimen pribadi dan persaingan antar golongan yang tersisa setelah tersingkirnya PKI. Soeharto bersikap seperti yang ditulis Pram dalam nasehat yang disampaikan Mpu Parwa kepada Ken Arok sebelum merebut kekuasaan Agustinus Fahik, S.Fil., MA. — Membedah Wacana Kekuasaan ... 43 Tunggul Ametung, “Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak dari tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.” Soeharto menggunakan tangan Sarwo Edhie untuk menumpas PKI di Jawa. Sarwo Edhie termotivasi bukan saja oleh semangat anti komunisme tetapi juga oleh sentimen pribadi akibat kematian Jend. Ahmad Yani. Keduanya sama-sama berasal dari Purworejo-Jawa Tengah. Sarwo Edhie merasa berhutang budi pada Ahmad Yani yang berjasa mengorbitkan karier militernya. Dengan melihat berbagai kesejajaran antara kisah Ken Arok dengan Soeharto, maka roman Arok Dedes saya anggap sebagai sebuah analisis wacana kekuasaan di Jawa pada abad XIII. Namun, Pram menggunakan persitiwa itu untuk menyasar peristiwa lain yang terjadi pada abad XX di sebuah negara bernama Indonesia. Relevansi dari analisis ulang yang dibuat Pram atas perebutan kekuasaan di Tumapel dapat ditemukan dalam kejadian-kejadian terkini yang mendera Indonesia hingga saat ini. IV. BEBERAPA RELEVANSI DAN SIMPULAN Jika roman Arok Dedes dipakai untuk melihat situasi sekarang, maka saya memilih fenomena tampilnya Ahok sebagai calon gubernur petahana DKI Jakarta yang kerap dihantam dengan isu SARA oleh lawanlawan politiknya. Sebagian orang menganggap Ahok adalah bagian dari sedikit pemimpin jujur dan tegas yang mengusung semangat anti korupsi dalam menjalankan pemerintahannya. Namun, perlu diingat bahwa Ahok sendiri memiliki setidaknya 5 dari 6 unsur yang digambarkan Pram dalam analisisnya terhadap peristiwa Tumapel. Ahok punya pengetahuan, teman, kesetiaan, senjata dan uang. Ahok memang tidak memiliki latar belakang kemunculan mistis, tetapi Ahok menemukan penggantinya yang sepadan yakni media. 44 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Bila kontestasi pada pusat kekuasaan di DKI Jakarta ini kita pahami lagi dengan melihat kembali kontestasi pada pemilihan presiden 2014 lalu akan muncul kesamaan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, dengan peran yang berbeda, meski isu yang diusung masih tetap sama. Kala itu Prabowo misalnya, menggunakan silsilah keluarganya untuk membuktikan diri sebagai pewaris darah penguasa, menampilkan diri layaknya ksatria Jawa dengan menunggang kuda dan menyelipkan keris di pinggangnya. Jokowi melawan cara Prabowo ini dengan memanfaatkan media. Jokowi tidak menyibukkan diri dengan silsilah kebangsawanan, sehingga ia memilih mencitrakan diri sebagai pemimpin yang berasal dari bawah, bukan yang turun dari atas. Kehadirannya di antara orangorang kecil dan kunjungannya ke kampung-kampung kumuh menjadi santapan media untuk disajikan ke hadapan publik. Orang menerima Jokowi oleh karena keberaniannya tampil seperti orang kebanyakan, menumpang pesawat kelas ekonomi, hingga menggunakan becak ketika mendaftar ke KPU. Kekuasaan dikonstruksi bukan lagi berdasarkan silsilah dan warisan darah bangsawan yang tidak mungkin bercampur dengan kaum pinggiran, tetapi oleh aneka cerita dan berita yang dirangkai media tentang sang tokoh sendiri. Konstruksi media tentang Jokowi, mengalahkan unsurunsur mistis yang coba dieksploitasi oleh kubu Prabowo, bahkan ketika Prabowo diklaim oleh salah seorang pendukungnya sebagai titisan Allah. Kembali ke persoalan Ahok, isu terakhir yang menghantam Ahok ialah penistaan agama yang menyebabkan ormas-ormas keagamaan seperti FPI dengan legitimasi fatwah MUI terus menggalang dukungan massa untuk membawa Ahok ke pengadilan. Terlibatnya ormas-ormas keagamaan ini perlu dicari akarnya jauh ke belakang, terlebih persaingan antara ICMI dan CSIS yang hingga kini belum sepenuhnya selesai. Sebagian faksi di kalangan Islam menganggap Islam terlalu dipinggirkan Agustinus Fahik, S.Fil., MA. — Membedah Wacana Kekuasaan ... 45 dalam wacana kekuasaan sejak era Soeharto, dan mencari momentum yang tepat untuk kembali meraih kekuasaan mengingat mayoritas masyarakat Indonesia adalah penganut Islam (bdk. Kekecewaan penganut Syiwa dalam Arok Dedes). Sekilas terlihat permainan isu SARA dalam perseteruan FPIAhok di Jakarta, tetapi sebetulnya isu itu hanya bungkus luarnya saja. Substansi yang ada di balik permainan isu itu tidak lain adalah persoalan kekuasaan, entah kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Medan kekuasaan ekonomi mendominasi medan politik, sehingga isu-isu yang dianggap mudah dieksploitasi untuk menimbulkan simpati massa akan lebih dahulu ditampilkan ke permukaan. Masing-masing pihak bisa saja memiliki lima unsur yang ada dalam kaca mata Pram, tetapi unsur terakhir yakni media, masih memberi keunggulan kepada Ahok. Poin terakhir yang coba saya angkat ialah, dimana posisi kaum intelektual yang berpengetahuan? Jika pengetahuan dianggap bertalian dengan kekuasaan, maka kaum intelektual yang punya pengetahuan jelas memiliki peran kunci dalam sebagian atau keseluruhan proses merebut kekuasaan itu. Persoalannya ialah, apakah keberpihakan (pemilihan posisi) itu dilakukan dengan bebas oleh subjek intelektual itu, atau ia didikte oleh kekuatan lain yang barangkali jauh lebih besar melebihi sang subjek sendiri? Dengan kata lain, apakah pengetahuan sendiri sudah bisa menjamin kebebasan berpihak seorang intelektual, ataukah ia terikat dan bergantung pula pada unsur-unsur lain, di luar pengetahuan? Seperti pandangan Pram, pengetahuan yang tidak turun ke bumi, yang tidak memanfaatkan teman, kesetiaan, uang dan senjata akan jadi tidak berguna, dan tidak bisa dioperasikan dalam wacana kekuasaan. Fenomena yang terjadi di Indonesia selama 32 tahun kekuasaan Soeharto menunjukkan secara gamblang bagaimana kekuasaan dioperasikan dengan instrumen-instrumen yang dianalisis oleh Pram dalam Arok 46 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Dedes sebagaimana kita bahas secara singkat dalam makalah ini. Saya tidak ingin menutup makalah ini dengan simpulan apapun, selain membiarkan ruang diskusi tetap terbuka untuk menganalisis lebih jauh, apa yang terjadi dalam dinamika kekuasaan di Indonesia pasca-reformasi dengan kaca mata yang pernah digunakan Pramoedya. Keterbukaan ruang diskusi ini menjadi sebuah jalan bagi para intelektual muda yang sibuk melengkapi diri dengan aneka pengetahuan filsafat dan analsis sosial untuk menentukan posisinya dalam wacana sosial-politik yang ada di Indonesia saat ini. Apakah pengetahuan itu hanya akan digunakan untuk menjelek-jelekkan pihak lain, atau diarahkan untuk memperoleh aneka perangkat lainnya yang bisa dioperasikan sebagai instrumen analsis wacana kekuasaan. Materi ini disajikan dalam Seminar Senat Mahasiswa STFK Ledalero – Maumere 29 Oktober 2016 DAFTAR PUSTAKA Buku Dhakidae, Daniel. 2015. Menerjang Badai Kekuasaan. Jakarta: Gramedia. Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Modern Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Schulte Nordholt, Henk., Purwanto, Bambang., dan Saptari, Ratna., eds. 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, Denpasar: Pustaka Larasati. Toer, Pramoedya Ananta. 2002. Arok Dedes. Yogyakarta: Hasta Mitra. Agustinus Fahik, S.Fil., MA. — Membedah Wacana Kekuasaan ... 47 Van Klinken, Gerry. 2015. The Making of Middle Indonesia, Kelas Menengah di Kota Kupang, 1930-an – 1980-an. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor dan KITLV. Wanandi, Jusuf. 2014. Menyibak Tabir Orde Baru. Memoar Politik Indonesia 1965-1998. Jakarta: Kompas. Artikel dan Majalah Aidit, Asahan. “Pramoedya, Sastrawan Tanpa Panglima” dalam Indoprogress, 11 Januari 2008. Nugroho, Ragil. “Pram dan Arok” dalam Indoprogress, 05 Februari 2012. Tempo, 2008. Edisi Khusus Soeharto. 48 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 NASIONALISME DALAM ROMAN BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER Oleh: Marto R Lesit, Rico W, Eka Nggalu, Troy, Simpli, dan Dion (Tkt. IV) 1. PENGANTAR P erjuangan mencapai kemerdekaan dan kebebasan dalam hidup berbangsa dan bernegara selalu menemui rintangan baik dari luar maupun dari dalam negara-bangsa Indonesia sendiri. Keberadaan penjajah baik dari pihak colonial maupun dari para pribumi pengkhianat membuat hawa kemerdekaan yang sesungguhnya sulit dirasakan. Namun nasionalisme lahir dan terus ada sebagai sebuah keteguhan untuk merdeka. Ia adalah roh yang menjiwai seluruh sejarah dan perjalanan bangsa Indonesia. Ia bukan paham kebangsaan yang muncul tiba-tiba, melainkan jadi bagian panjang dari deret perjuangan dan refleksi anak bangsa dalam mengatasi egoisme kelompok, entah kelompok etnik kebudayaan maupun religious dan lain sebagainya. Marto R Lesit, dkk — Nasionalisme dalam Roman Bumi Manusia ... 49 Pramoedya Ananta Toer (Pram) adalah salah satu tokoh pejuang nasionalisme Indonesia yang layak dikenang bukan saja karena pribadinya yang revolusioner namun kontroversial. Melainkan terutama karena segala gagasan, pemikiran dan perjuangannya. Bagi sastrawan besar Indonesia bahkan dunia, kelahiran Blora-Jawa Timur Tahun 1925 ini, menulis bisa jadi sebuah perjuangan membebaskan bangsa. Pramm adalah wajah berbeda dari Indonesia. Ya, beda karena berani bersikap dan berpendirian tetap. Barangkali buatnya seni, dalam hal ini karya sastra, adalah ledakan. Sehingga, Pramm tak kenal kecut biarpun harus membentur seraya menghancur tembok dekolonisasi Belanda, pemerintahan Soekarno hingga rezim Soeharto. Selalu berkepala tegak memperjuangkan cita nasionalis untuk sunguh-sunguh “menjadi Indonesia”. Pramm menginspirasi banyak orang terutama kaum muda untuk menjadi semakin Indonesia melalui karya-karyanya. Salah satu karya Pram bercorak Nasionalis yakni roman Bumi Manusia. 2. SINOPSIS1 Novel Bumi Manusia menampilkan tokoh central Minke (berdasarkan Tirto Adisuryo) sebagai pahlawan. Ia adalah seorang bangsawan, seorang berpendidikan dengan kebajikan yang mulia. Di awal novel, diceritakan bahwa Minke tengah menempuh tahun terakhir pada jenjang pendidikan menengah di sekolah menengah bergengsi Belanda, HBS (Hoogere Burgerschool). Dikisahkan bahwa Minke, seorang bangsawan jawa yang dilahirkan pada hari yang sama dengan Ratu Wilhelmina, kemudian sangat 1 Selain hasil pembacaan dan riset pemakala, keseluruhan sinopsis Novel Bumi Manusia ini ditulis berdasarkan hasil penelitian Savitri Scherer untuk kepentingan disertasi PhD-nya berjudul From Culture to Politics: The Writings of Pramoedya A. Toer, 19501965 (Dari kebudayaan ke Politik: Tulisan Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965) yang dijukan ke Australian National University Juli 1981. 50 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 terobsesi kepada sang ratu. Minke (sebuah nama panggil berbau rasis yang diberikan oleh seorang guru kepadanya: Monkey) adalah putra bupati, yang membuatnya masuk daftar orang non-eropa yang dapat masuk HBS. Di tahun terakhir pendidikannya ia berkenalan dengan Anelis Mellema, gadis cantik berdarah campuran. Segera, Anelis menjadi idolanya menggantikan Ratu Wilhelmina. Atas dorongan ibu si gadis, minke tinggal di tempat mereka. Nyai Ontosoroh adalah gundik ayah Anelis dan setelah sang ayah meninggal Nyai Ontosoroh sendiri yang mengelola perusahaan pertaniannya yang makmur. Terlepas dari penjelasan mengenai masa-masa awal Minke di sekolah dan permulaan kisah cintanya dengan anelis, yang menjadi tema utama dalam novel ini adalah gambaran penderitaan dan kemelaratan rakyat jelatah dibawah baying-bayang kuasa colonial. Selain itu juga digambarkan sebuah penghargaan yang tinggi terhadap seorang wanita pribumi, yaitu nyai Ontosoroh, ibu Anelis. Nama Ontosoroh berasal dari kesalahan penyebutan masyarakat terhadap kata Buitenzorg, nama sebuah perkebunan yang ia jalankan. Nama aslinya adalah Sanikem. Ia anak pengawas pabrik gula dekat Surabaya. Adalah ayahnya yang menjual Sanikem sebagai juru bayar di pabrik. Sanikem kemudian diserahkan kepada penguasa pabrik (Mellema) demi karir dan jabatan sang ayah diperusahaan. Awalnya, Mellema bersikap sangat baik kepada Sanikem. Ia menghormati dan mencintai wanita itu. Berkat Mellema juga sanikem belajar membaca dan menulis yang dan menjadi akrab dengan sastra pada masanya. Tidak hanya menguasai bahasa Belanda, Sanikem juga menguasai bahasa Inggris dan Perancis. Tapi kemudian, Mellema berubah menjadi monster yang banyak menghabiskan waktunya untuk mabuk-mabukan di pelacuran, dan meninggalkan perkebunanya untuk ditangani istrinya, Nyai Ontosoroh (nama baru Sanikem). Bagian ini tidak terlalu menjelaskan karakter Mellema. Satu-satunya penjelasan mengenai riwayat hidup Marto R Lesit, dkk — Nasionalisme dalam Roman Bumi Manusia ... 51 Mellema dinarasikan oleh Nyai Ontosoroh sendiri. Kelakuan Mellema berubah menjadi sangat buruk dan ketika ia mati terungkap fakta bahwa saat itu ia masih berada dalam status pernikahan dengan seorang wanita Belanda yang memberinya seorang putera. Anak lelaki ini, saudara Anelis, menantang Nyai Ontosoroh dan puterinya untuk kepemilikan lahan perkebunan. Selain Annelis, Nyai Ontosoroh dan Mellema juga memiliki seorang putera yakni Robert. Jika Annelis digambarkan sebagai anak yang baik dan berbakti, maka Robert adalah kebalikannya. Anak laki-laki itu seorang hidung belang, pemalas, dan tiak mau berbakti kepada ibunya yang adalah seorang pribumi (Indonesia). Dalam banyak kasus, dua karakter ini tidak digambarkan secara jelas dan memuaskan. Annelis pada awalnya digambarkan sebagai seorang yang bebas, ceria dan lincah. Ia penunggang kuda yang baik, pekerja yang efisien, dan wanita praktis yang dapat menjadi andalan ibunya. Tetapi di tengah novel Annelis tibatiba digambarkann sebagai wanita melankolis. Cintanya kepada Minke diungkapkan dengan cara yang tidak seimbang. Ia sangat bergantung kepada ibunya bahkan untuk menyatakan atau memutuskan hal kecil sekalipun. Sebaliknya, tokoh Ontosoroh digambarkan sebagai wanita yang teguh, kokoh, kuat, super dan mendominasi. Nyai ontoh soroh tampak lebih cocok bagi Minke yang cerdas. Meskipun banyak ruang yang coba diberikan untuk mengeksplorasi ketiga tokoh ini, namun karakter ketiganya msih kurang maksimal. Bahakan, jika dibandingkan dengan novel sebelumnya (Gadis Pantai) ada kesan penokohan dalam karya ini mengalami kemunduran. Tetapi meskipun bisa ditemukan lemahnya penggambaran tiga tokoh tersebut, Pramoedya sukses menyampaikan gaya hidup kelas borjuis di jawa dengan sangat baik. Dengan detil yang teliti, Pramm tidak hanya menggambarkan penampilan luar seperti kehidupan dengan kenyamanan materi dan kekayaan, tetapi 52 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 juga nuansa dingin, kekosongan, dan tekanan-tekanan psikologis dalam duniameterialistis pada sebuah rumah tangga borjuis. Permusuhan antara Nyai dan anaknya disajikan secara rinci dan meyakinkan. Bagaimana Minke merasa agak canggung- sebagai pribumi jawa- ketika bertemu dengan keluarga Nyai Ontosoroh pada pertama kalinya dan pertuam pertama kalinya dengan seorang gadis Eurasia yang berbicara kepadanya tanpa memandang status, juga digambarkan dengan sangat bagus. Dengan tajam Pramm juga menggambarkan secara tajam tentang perbedaan hukum yang diberlakukan pada kelompok yang berbeda. Mereka yang adalah bangsawan asli menikmati hak istimewah tertentu yang tidak dirasakan oleh pribumi jelata dan juga kaum blasteran. Hingga akhirnya warga Eurasia adalah warga kelas dua dibandingkan dengan warga eropa murni. Minke terpesona oleh Nyai Ontosoroh. Sebagai gadis pribumi yang masih muda, ia tidak hanya mampu berbahasa Belanda tetapi juga memiliki pengetahuan yang luas tentang kebiasaan dan kesusilaan Eropa. Yang menggelitik pada perempuan ini ialah bahwa dengan segala kemampuan yang ada di dalam dirinya ia mampu berprasangka terhadap kaum penjajah. Bahakan, ia mempu menimbang, menilai bahkan mengkritisi secara terang-terangan prihal berbagai kebobrokan Bangsa Eropa (kaum penjajah) tersebut. Dalam perjalanan kisah roman ini, ternyata ditemukan bahwa prasangka tersebut memiliki dasar-dasarnya. Orang pribumi secara yuridis sama sekali tak memiliki hak. Ketika Annelis yang belum dewasa oleh saudara tirinya yang berkulit puth dibawa secara paksa ke Belanda, tak satupun pribumi berhak menggugat. Walaupun Annelis dan Minke menurut tradisi islam sudah menikah, undang-undang apartheid di Hindia yang colonial tidak mengakui perkawinan itu. Di akhir cerita, Minke menikahi Annelis. Namun sangat disayangkan bahwa orang pribumi secara yuridis sama sekali tak memiliki hak. Ketika Marto R Lesit, dkk — Nasionalisme dalam Roman Bumi Manusia ... 53 Annelis yang belum dewasa oleh saudara tirinya yang berkulit puth dibawa secara paksa ke Belanda, tak satupun pribumi berhak menggugat. Walaupun Annelis dan Minke menurut tradisi islam sudah menikah, undang-undang apartheid di Hindia yang colonial tidak mengakui perkawinan itu. Novel ini akhirnya ditutup dengan kekalahan di pihak Minke dan Nyai Ontosoroh. Keduanya tidak mampu mempertahankan Annelis, sebagai istri sah Minke dan anak kandung Nyai Ontosoroh. Sebenarnya, Annelis dipaksa oleh kakak tirinya untuk dating ke eropa, hidup bersamanya, dan meninggalkan suami yang dinikahinya dengan sah. Secara hokum kakaknya memiliki kuasa lebih besar atas Annelis, karena secara teoritis dialah wali Annelis. Karena Annelis menikah dengan seorang pria pribumi, kakak tirinya yang berdarah eropa murni, memiliki kekuasaan lebih atas dirinya dibandingkan suaminya sendiri Sedangkan dari tokoh-tokoh lain yang dijumpai oleh Minke, berangsur-angsur justru lebih banyak lagi dikisahkan gambaran tentang masyarakat di sekitar masa itu. Tokoh-tokoh cerita yang penting adalah seorang sahabat Minke, yang lewat perang Aceh telah mengungkapkan kebiadaban system colonial; seorang guru perempuan yang radikal; seorang asisten residen Belanda yang telah mengalami pencerahan dan kedua anak perempuannya yang telah “modern”; dan seorang pelacur Jepang. 3. N ASIONALISME PRAM DALAM NOVEL BUMI MANUSIA Dalam majalah Jurnal Kritik, Koh Young Hun, Profesor Sastra Indonesia-Malaysia, mengatakan bahwa tetralogi Bumi Manusia merupakan tonggak baru dalam pengkaryaan Pramodya maupun dalam gelanggang sastra Indonesia. Kemunculan tetralogi Bumi Manusia 54 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 memperlihatkan kenyataan bahwa perhatian Pram terhadap sejarah sangat serius2. Sebagaimana tulisan-tulisan Pram yang lain yang selalu mengangkat tema kebangsaan, tetralogi Bumi Manusia secara sangat tegas dan terperinci hendak menegaskan kembali citra ideal bagaimana menjadi manusia Indonesia. Dengan novel ini, Pram tidak saja mengangkat kembali tema sejarah kebangsaan dalam sastra Indonesia tetapi lebih dari itu, ia mendekonstruksinya kembali dan meneropong sejarah dan kebudayaan Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Berhadapan dengan sejarah pergerakan Indonesia, bisa dikatakan, Pram sangat kritis terhadapnya dan sekaligus konstruktif. Ia tidak semata-mata berhenti pada kritik. Ia juga kemudian memberi solusi dan pandangannya tentang kebangsaan yang jauh lebih progresif. Berkaitan dengan ini, ia punya alasan tersendiri; Pertama, semata-mata pengajaran sejarah di sekolah tidaklah cukup untuk membudayakan kecintaan pada sejarah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Kedua, tanpa kecintaan tersebut, semua ucapan tentang patriotisme, kecintaan pada tanah air dan bangsa—baik melalui pembicaraan, pidato, nyanyian—tinggal sekedar slogan tanpa isi, tanpa pembelajaran dan juga tanpa kejujuran3. Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah awal kebangkitan Indonesia yang ditampilkan dalam karya itu bukan untuk ditunggangi, dimanfaatkan atau diperalat sebagai hiasan bagi cerita, melainkan dipersoalkan, dikaji kembali, dan direvisi sesuai pandangan Pramoedya. Dengan demikan, Pramoedya telah menolak dengan tegas sebagian dari versi resmi resmi sejarah nasional Indonesia yang telah dikenal secara baku. Meskipun demikian, penolakan itu bukanlah sekedar bantahan dengan argumentasi tak berdasar, melainkan sebuah wawasan baru untuk 2 Koh Young Hun, ‘Sastra dan Sejarah dalam Dunia Pengkaryaan Pramoedya Ananta Toer’, dalam Jurnal Kritik, No. 3, 2012, p. 10. 3 Ibid., Marto R Lesit, dkk — Nasionalisme dalam Roman Bumi Manusia ... 55 bangsanya sendiri4. Bahkan menurut Agus R. Sarjono, sosok maupun semangat sejarah yang diangkat dan dijadikan latar belakang novel-novel tersebut bukanlah sosok dan semangat yang lazim dalam sejarah resmi. Yang cukup jelas adalah bagaimana novel ini menjadikan Minke, sang protagonis, sebagai sosok pembawa misi nasionalisme sebagaimana yang memang diidealkan oleh Pramoedya5. Minke sebagai putera pembesar Jawa yang bersekolah di sekolah Belanda dan memiliki semua syarat untuk menjadi elit politik Bumi Putera di masa kolonial, menolak semua tawaran dan kemungkinan hidup makmur sejahtera, aman dan berkuasa sebagaimana menjadi citacita sebagian besar orang Indonesia, khususnya para elitnya khususnya para priyayinya. Ia justru memilih menjalani kehidupan keras dan sulit sebagai pejuang kemerdekaan. Dalam bahasa Minke sendiri: “Kepriayian bukanlah duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan? Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.” Bila ditelaah secara teliti dan komprehensif, keseluruhan novel Bumi Manusia justru menggariskan beberapa nada dasar yakni pemberontakan, tanggapan warisan budaya bangsa, kebangkitan nasional dan kemanusiaan. Pramoedya memaparkan persoalan pemberontakan terhadap ketidakadilan kekuasaan kolonial melalui tokoh utama Minke dan tokoh-tokoh lainnya dalam tetralogi Bumi Manusia. Dalam pengolahan cerita, Pramoedya jelas tidak mengabaikan bahan dasar dan memberikan 4 Ibid., 5 Agus R Sarjono, ‘Pramoedya Ananta Toer; Mewacakan Kelahiran Bangsa’, dalam 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Jamal D. Rahman dkk., (Jakarta, KPG), 2014, p. 314 56 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 kenikmatan estetik. Ia berhasil mempertahankan kualitas seni sastranya dalam mengungkapkan pemikirannya yang menyentuh berbagai pemberontakan terhadap kebijakan kolonial, budaya dan masyarakat secara jujur dan terbuka. Permasalahan pemberontakan yang dipaparkan dalam karya sastra, biasanya terbagi pada dua jenis, yaitu pemberontakan dalaman dan pemberontakan luaran. Pemberontakan dalaman adalah pemberontakan yang meninjau sebab musabab kekakalahannya, di samping menyentuh usaha-usaha untuk mencapai kemajuan bangsa sebagai salah satu cara pemulihan keadaan. Sedangkan pemberontakan luaran bermakna sebagai pemberontakan yang mengecam tindakan penindasan kekuasaan kolonial dengan tetap berpegang pada pandangan bahwa hanya dengan mengusir, menyisihkan, dan mengalahkan kekuasaan kolonial sajalah pemulihan keadaan dapat dijamin. Berdasarkan argumentasi ini ternyata bahwa gambaran pemberontakan dalam tetralogi itu adalah pemberontakan dalaman, karena Pramoedya meninjaunya dari sebab musabab kekalahan bangsanya. Ia mengkritisi feodalisme kolot bangsa Indonesia dan mempersalahkan mental feodal ini sebagai penyebab mundurnya peradaban bangsa kalau tidak mau dikatakan terbelakang. Dari watak Minke yang bebas, anti-feodalisme dan berpikiran progresif, Pram hendak menjungkirbalikan feodalisme yang ia sendiri anggap sebagai salah satu pupuk yang menyuburkan kolonialisme dan imperealisme Belanda di bumi Indonesia. Feodalisme yang tabiatnya menguntungkan penguasa membentuk mental masyarakat menjadi lemah dan tiada semangat juang. Kritiknya yang pedas atas tradisi feodal Jawa yang mengharuskan seorang manusia ngesot (semi merangkak) saat menghadap pembesar dan cambuk kemaluan sapi jantan yang dipegang sang penguasa untuk Marto R Lesit, dkk — Nasionalisme dalam Roman Bumi Manusia ... 57 menegakka ketertiban menjadi bahan kebencian Minke muda yang tetap tertanam sampai akhir hayatnya: Apa guna belajar ilmu pengetahuan Eropa, bergaul dengan orangorang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali buta huruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Boleh dibilang, sejak itu Minke secara definitif memutuskan hubungannya dengan tradisi tanpa ada gelagat untuk kembali lagi. August Hans den Boef dan Kees Snoek pernah mewawancarai Pramoedya dalam salah satu kesempatan. Dalam wawancara itu, Pram mengungkapkan bahwa Bumi Manusia lebih dari sekedar riwayat cinta di masa penjajahan dengan akhir yang tidak bahagia. Lewat berbagai tokoh yang dijumpau oleh Minke, berangsur-angsur kita mendapat gambaran tentang masyarakat Hindia di sekitar awal abad ini. Tokoh-tokoh cerita yang penting adalah sahabat Minke, orang Perancis yang lewat perang Aceh telah mengungkapkan kebiadaban kolonialisme, lalu ada seorang guru perempuan yang radikal, seorang asisten residen Belanda yang telah mengalami pencerahan dan kedua perempuannya yang modern; dan seorang pelacur Jepang. Malalui mereka, Minke kemudian mulai berpikir dan bertindak; ia mulai menjejakan kaki dalam dunia sastra dan jurnalistik. Tema sentral Bumi Manusia ialah bahwa Minke secara berangsurangsur menjadi sadar akan adanya pertentangan antara kaum penjajah kolonial dengan penduduk asli. Proses pemberian nuansa ini tidak menghasilkan pandangan dunia yang lesu berupa jalan tengah emas, melainkan suatu wawasan pribadi. Cara bercerita ini tentu mengasyikan bagi pembaca yang tidak mengetahui sejarah nasionalisme Indonesia. Sebagaimana Minke, pembaca juga tidak tahu apa yang terjadi. Oleh 58 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 karena perkembangan Minke berjalan lambat laun, pembaca mampu mengikuti dengan cermat tumbuhnya perentangan di dalam masyarakat pribumi. 4. PENUTUP Pramoedya Ananta Toer adalah seorang tokoh besar, tidak hanya dalam dunia sastra tetapi juga dalam sejarah pergerakan nasional bangsa Indonesia. Tulisan-tulisan realisme sosialnya menunjukan keberpihakan dan visinya terhadap cita-cita nasionalisme. Khususnya melalui Bumi Manusia, Pram hendak memaparkan sebuah konsep nasionalisme dari sudut pandang progresif yakni mendekonstruksi budaya dan sejarah Indonesia serta menampilkan potret revolusionernya. Pram menolak tunduk terhadap penguasa yang semena-mena; penguasa feodalisme dan kolonialisme yang menindas rakyat. DAFTAR PUSTAKA Hun, Koh Young. ‘Sastra dan Sejarah dalam Dunia Pengkaryaan Pramoedya Ananta Toer’, dlm.: Jurnal Kritik, No. 3, 2012. Sarjono, Agus R. ‘Pramoedya Ananta Toer; Mewacanakan Kelahiran Bangsa’, dlm.: Rahman, Jamal D. dkk., 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: KPG, 2014. Scherer, Savitri. From Culture to Politics: The Writings of Pramoedya A. Toer, 1950-1965 (Dari kebudayaan ke Politik: Tulisan Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965). Australia: Australian National University, Juli 1981. Marto R Lesit, dkk — Nasionalisme dalam Roman Bumi Manusia ... 59 KAUM MUDA DI PERSIMPANGAN JALAN: ANTARA KEBUDAYAAN NASIONAL DAN KEBUDAYAAN BARAT Oleh: Frano Kleden1 I. PENGANTAR D i awal abad ke-21, kita tidak bisa berpaling dari sebuah dunia yang ditandai oleh gempuran arus modernisasi yang membentuk ulang pola pikir dan cara hidup bangsa kita. Modernisasi itu sendiri tak bisa dilepaspisahkan dari pengaruh budaya Barat sebab segala yang modern lebih dahulu lahir dari Barat. Ujung-ujungnya, dengan laju modernisasi, kita dihantar pada pertemuan antarbudaya, baik antarbudaya daerah dalam lingkup nasional, maupun dengan kebudayaan Barat. Di tengah pertemuan yang terjadi, “Apakah Anda masih merasa memiliki sebuah tanah air yang bernama Indonesia?”2 Di tengah pengaruh 1 Mahasiswa Semester V STFK Ledalero 2 Pertanyaan reflektif ini ditulis oleh Rm. Max Regus, Pr pada HUT Indonesia ke-57. 60 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Barat, kaum muda Indonesia lahir dan hidup. Kemajuan, kemudahan, keterbukaan dan pluralitas menjadi hidup mereka. Sebagai kategori manusia yang hidup dalam rentang peralihan, kaum muda pun terseret dalam arus realitas kemodernan tersebut. Setiap produk budaya Barat dimaksudkan untuk membantu hidup manusia, namun ia tetap tidak mampu menutup kekurangannya di sana-sini. Degradasi paling menonjol terasa sangat kuat dalam pergeseran kebudayaan. Entitas kebudayaan mengalami banyak pergeseran yang signifikan. Pergeseran kebudayaan ini teraktualisasi dalam diri kaum muda sebab mereka merupakan sasaran paling ideal serta pusat perhatian terbesar dari sebuah perubahan. Berangkat dari pemikiran di atas, penulis terdorong untuk mencoba melihat dan menjawab persoalan kaum muda Indonesia dalam kaitannya dengan pengaruh budaya Barat. Fokus kaum muda menjadi aktual dalam tulisan ini sebab kaum mudalah pemegang kunci peradaban Indonesia kini dan nanti. Tujuan utama tulisan ini ialah mencari cara bagaimana kaum muda Indonesia dengan budaya aslinya berusaha memetakan dirinya di tengah keberadaan budaya Barat ini. II. K EBUDAYAAN BARAT DALAM PERSOALAN Perlu diingat bahwa kebudayaan tidak selalu berarti sesuatu yang dilahirkan bersama dengan kita, tetapi lebih dari segala sesuatu yang dipelajari, malah sebagian besar memengaruhi kita melalui pikiran, perkataan dan perbuatan. Kebudayaan juga membantu kita untuk menentukan derajat sebuah kepentingan (mana yang penting dan mana Beliau menulis: apa artinya Indonesia yang sedang berada dalam lingkaran usia emas, namun toh masih dipenuhi krisis dan persoalan hidup. Pertanyaan ini baginya begitu mendesakkan sesuatu, tentang sebuah ziarah bangsa yang menemui jalan buntu. Max Regus, “Aku Mencari Indonesia (57 Tahun Ibu Pertiwi)”, Republik Sialan Memburu Kejernihan di Tengah Belantara Kerancuan, (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 50. Frano Kleden — Kaum Muda di Persimpangan Jalan: Antara Kebudayaan ... 61 yang tidak penting).3 Kebudayaan Barat asli sebenarnya tidak menjadi persoalan bagi bangsa kita. Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana tanggapan kita (Indonesia) terhadap kebudayaan Barat tersebut. Memang kita cenderung menghubungkan kebudayaan Barat sebagai budaya yang buruk, padahal belum tentu. Menurut Prof. Franz Magnis Suseno, kebudayaan Barat yang sungguh-sungguh menjadi persoalan yang mengancam kita adalah “kebudayaan modern tiruan”.4 Ia mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkannya bukanlah kebudayaan yang sungguh-sungguh, melainkan semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi ‘manusia plastik’, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong atau manusia latah. Kebudayaan modern tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang nampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya ia hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriahnya saja. Secara nyata, anak “kebudayaan modern tiruan” ini adalah konsumerisme. Orang ketagihan untuk membeli, bukan karena ia membutuhkan atau ingin menikmati apa yang akan dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. “Kebudayaan modern tiruan” hidup dari ilusi bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, orang menjadi modern. Padahal, dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apa pun terhadap identitas kita. Identitas kita malah semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi. Akibatnya, kita semakin tidak memiliki diri sendiri, kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh3 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 233. 4 Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 51. 62 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 sunggguh. Itulah sebabnya, kebudayaan ini tidak nyata (tiruan).5 Singkat kata, “kebudayaan modern tiruan” itu sangat berbahaya. Ia bagaikan drakula6. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu bahkan tidak dapat kita impikan. “Kebudayaan modern tiruan” itu menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri dan berhenti membuat penilaian sendiri. Tepatnya, “kebudayaan modern tiruan” membuat kita kehilangan keduaduanya: kita lepas dari ‘kebudayaan tradisional/nasional7’ kita sendiri, dan sekaligus juga tidak menyentuh ‘kebudayaan teknologis modern8’ sungguhan. Kita menjadi orang modern-modernan, bukan orang modern. 5 Ibid., hlm. 48. 6 Drakula adalah tokoh dalam cerita horor di Eropa yang suka menghisap darah manusia yang menjadi mangsanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam kaitan dengan dengan ‘kebudayaan modern tiruan’ yang mentereng, ia mempunyai daya tarik luar biasa, namun ia dapat menyedot (menghisap) pandangan asli kita tentang nilai, dasar harga diri dan status. 7 Kebudayaan nasional adalah kebudayaan seluruh rakyat Indonesia. Ia merupakan puncak kebudayaan tradisional/ daerah. Kebudayaan nasional mengandung unsur budaya daerah yang sifatnya diakui secara nasional, mencerminkan nilai luhur dan kepribadian bangsa serta mengandung unsur-unsur yang mempersatukan bangsa. Contoh kebudayaan nasional antara lain sifat gotong royong, pakaian nasional (kebaya dan batik) serta bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Semua itu menjadi identitas khas serentak kebanggaan tersendiri sebagai Indonesia. Raymundus Sudhiarsa, (ed.), “Membangun Masyarakat Multikultural dalam Terang Iman”, Kearifan Sosial Lintas Budaya, (Yogyakarta: Lamalera, 2008), hlm. 72. 8 Kebudayaan Barat modern adalah kebudayaan asli Barat. Kebudayaan-kebudayaan itu berkembang berdasarkan pengalaman-pengalaman dalam sejarah sebuah bangsa, terungkap dalam cara pergaulan, berpikir, dalam arsitektur dan seni, dalam filsafat dan gaya makan mereka. Menurut Prof. Franz Magnis Suseno, kebudayaan Barat yang asli tidak merupakan tantangan. Kita mempunyai kebudayaan sendiri dan tidak perlu menjadi orang-orang Barat (misalnya orang Jerman atau orang Prancis). Akan tetapi, orang kita yang berbudaya akan beruntung apabila mengenal dan akrab dengan beberapa kebudayaan Barat. Hal tersebut sama dengan orang-orang Barat yang mengenal dan mencintai kebudayaan-kebudayaan Timur. Bagi kita orang-orang Timur, pertemuan dengan kebudayaan lain selalu memperkaya kita sendiri. Membaca sastra Rusia, mengagumi karya-karya seni Italia atau menelusuri filsafat Prancis pasti sangat menarik. Memang benar, pelancongan ke dalam kebudayaan lain tidak cenderung memiskinkan persepsi tentang kebudayaannya sendiri, tetapi dapat pula memperkaya. Franz Magnis Suseno, op. cit., hlm. 46. Frano Kleden — Kaum Muda di Persimpangan Jalan: Antara Kebudayaan ... 63 III.KAUM MUDA DI PERSIMPANGAN JALAN Kaum muda sekarang akan harus memanggul beban, membawa bangsa ini beserta budayanya ke dalam abad ke-21. Budaya akan terus memengaruhi eksistensi kaum muda sebagai anak bangsa serentak insan berbudaya. Kaum muda juga merupakan masa depan dunia. Kehilangan kaum muda sama artinya dengan menutup lembar terakhir dari kitab kehidupan.9 Alex Inkeles, sosiolog pada universitas Harvard, dalam teorinya sebagaimana dikutip Suwarsono dan Alvin Y. So, mengatakan bahwa manusia modern akan memiliki berbagai karakteristik berikut. Pertama, manusia modern itu terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti, bahwa manusia modern selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru. Kedua, manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan termasuk percaya akan kemampuannya untuk menundukkan alam semesta. Ketiga, manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi. Mereka berkehendak untuk meniti tangga jenjang pekerjaannya. Keempat, manusia modern memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh di depan dan mengetahui apa yang akan mereka capai dalam waktu lima tahun ke depan misalnya. Dan yang terakhir, manusia modern aktif terlibat dalam percaturan politik. Mereka bergabung dengan berbagai organisasi kekeluargaan dan berpartisipasi aktif dalam urusan masyarakat lokal.10 Sekarang kaum muda mengalami sebuah keadaan dilematis. Mereka sedang berada di persimpangan jalan di mana globalisasi mempersempit jurang ruang dan waktu, sementara pertemuan budaya nasional dan 9 Reynard L. Meo. “Fatherless Generation: Sebuah Realitas yang Mencemaskan”, Buletin Iman Anak-Anak Sang Sabda, 2:2, Desember 2011, hlm. 30. 10 Suwarsono dan Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1994), hlm. 31. 64 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 kebudayaan Barat modern menghadapkan mereka pada pertanyaan, apakah mereka harus menatap pada nilai universal (budaya nasional) yang telah menyatukan? Berada di persimpangan jalan berarti berada pada dua pilihan yang ada dan berbeda. Tampak di hadapan kaum muda dua jalan yang mesti dilalui. Berjalan melalui jalan yang benar tentu membawa mereka pada arah hidup yang benar, begitupun sebaliknya, jalan yang salah bisa membawa kita ke dalam jurang petaka. Menghadapi realitas demikian, kaum muda tak boleh tinggal diam bahkan berlarut-larut dalam kebingungan. Mereka harus berani memilih satu jalan untuk ditempuh. Antara jalan pertama: konsisten mempertahankan dan mengikuti kebudayaan nasional, atau jalan kedua: masuk dalam lalulintas jalan kebudayaan Barat. Hal ihwal meninggalkan kebudayaan sendiri dan membaurkan diri dengan kebudayaan lain tidak selalu diterima. Banyak orang mengatakan bahwa batas-batas budaya jelas mutlak perlu untuk menggariskan jati diri orang dan pengelompokan orang. Para pakar sosial menegaskan bahwa tanpa batas yang jelas dan tanpa tradisi yang tegas, manusia terombangambingkan dan bahasa serta kebudayaannya terancam punah.11 Dengan memilih bertahan pada kebudayaan nasional berarti kaum muda bersedia untuk menjaga warisan budaya dari golongan tuanya, sedangkan menerima kebudayaan Barat yang baru menunjukkan sikap keterbukaan kaum muda terhadap adanya perubahan serta siap menjadi manusia-manusia modern. Lalu, manakah jalan terbaik yang harus dilalui kaum muda itu? 11 John Mansford Prior, Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. viii. Frano Kleden — Kaum Muda di Persimpangan Jalan: Antara Kebudayaan ... 65 IV. K AUM MUDA MENYIKAPI TANTANGAN BUDAYA BARAT Kita pada umumnya dan kaum muda khususnya harus tetap ingat bahwa obor modernisasi dalam sejarah modern dipegang oleh bangsa-bangsa Barat. Kebudayaan Barat memang kebudayaan modern, tapi kebudayaan modern bukan hanya kebudayaan Barat saja. Tiap kebudayaan yang menerima, mengembangkan dan menerapkan ilmu dan teknologi modern menjadi kebudayaan modern, tidak perlu menjadi kebudayaan Barat.12 Sekarang kita perlu merespons posisi dilematis yang dialami oleh kaum muda dalam tantangan kebudayaan Barat. Pertama, kaum muda perlu menyadari identitasnya sebagai sebuah bangsa yang berbudaya serentak berusaha mempertahankan keasliannya. Orang tidak bisa memahami keberadaan, kalau tidak mengenal identitas dirinya.13 Mempertahankan identitas tidak berarti tidak berubah, sebab setiap bangsa, begitu pula setiap orang terus-menerus tumbuh, berkembang, dan berubah. Justru identitas kita akan menjadi mantap dengan perubahan. Kaum muda yang dengan mata terbuka menghadapi segala tantangan tentu berubah, tetapi di dalam perubahan dia tidak mesti dikemudikan oleh budaya Barat atau ikut-ikutan saja. Dia menentukan dirinya sendiri sambil memahami bahwa kebudayaan lamanya ‘mungkin’ memuat pelbagai kelemahan, segi-segi yang membuatnya kurang kuat untuk mempertahankan diri. Dalam hal ini, dia perlu mempelajari sikapsikap dan cara berpikir baru sambil tetap setia pada dirinya sendiri. Kedua, membangun dialog. Dialog merupakan jawaban atas tandatanda zaman sekaligus bentuk kerasulan kategorial dewasa ini.14 Dalam setiap 12 Sidi Gazalba, op. cit., hlm. 43. 13 Mathias Daven, Metafisika (ms.), (Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2015-2016), hlm. 60. 14 Philipus Tule, Mengenal & Mencintai Muslim & Muslimat (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. 287. 66 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 dialog, kedua belah pihak mesti berubah. Dalam proses itu, masing-masing pihak dapat saling menyangkal dan mengoreksi. Saling menyangkal bukan berarti saling meniadakan.15 Pada taraf selanjutnya, kaum muda Indonesia akan berubah secara mendalam dan dapat tetap mempertahankan identitas diri dan budayanya sendiri. Terhadap pengaruh “kebudayaan teknologis modern”, kaum muda tidak mesti menolak secara kaku, tetapi menerimanya sesuai dengan kebutuhan. Pelbagai peralatan teknologis modern sebagai produk “kebudayaan teknologis modern” dapat membantu kehidupan kaum muda setiap hari, pun dapat memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitasnya. Di sisi lain, yang paling penting, kaum muda perlu menolak tegas adanya “kebudayaan modern tiruan” sebab kebudayaan ini dapat membuat kaum muda kehilangan keduanya: lepas dari ‘kebudayaan tradisional-nasional’ milik sendiri dan sekaligus juga tidak menyentuh ‘kebudayaan teknologis modern’ sungguhan. Alhasil, menyitir kata Prof. Magnis Suseno, kita (baca: kaum muda) akan menjadi orang modern-modernan, bukan orang modern.16 Ketiga, keterbukaan untuk saling mengembangkan. Kebudayaankebudayaan saling membutuhkan sebab semua kebudayaan ada dalam solidaritas. Yang dibutuhkan adalah usaha saling mengembangkan di antara kebudayaan-kebudayaan.17 Pada tahap ini, kita tengah berhadapan dengan budaya Barat. Agar kebudayaan Barat itu dapat mengembangkan dan memperkaya kaum muda kita, kaum muda sebagai pelaku budaya pun harus menghargai, menghindari semua kendala seperti rasa takut, angkuh, sikap mengabaikan, keinginan menguasai dan menjadi pemenang. Dengan demikian, sesuatu yang baru dapat dibangun dan dikembangkan. 15 Franz Magnis Suseno, op. cit., hlm. 53. 16 Ibid., hlm. 52. 17 Fransiskus Ceunfin, “Filsafat Lintas Budaya dan Kritik Kebudayaan”, VOX, 45:2, 2001. Frano Kleden — Kaum Muda di Persimpangan Jalan: Antara Kebudayaan ... 67 V.PENUTUP Adalah tepat ketika kaum muda kita berhasil meresapkan kebudayaan Barat sembari mempertahankan identitas kebudayaan nasional yang telah ada. Pertemuan dengan kebudayaan Barat hanya dapat berhasil jikalau kaum muda memiliki sikap positif terhadap identitas, sejarah dan kebudayaannya sendiri. Apabila kaum muda begitu saja menyesuaikan diri dengan budaya orang Barat, mereka akan kehilangan identitasnya. Sikap menutup diri terhadap adanya budaya Barat pun tidak mampu menyelamatkan kaum muda, karena dengan demikian, identitas mereka menjadi cerminan negatif dari harapan lingkungan. Mempertahankan identitas, membangun dialog dalam suasana keterbukaan menjadi syarat yang perlu dipenuhi oleh kaum muda agar realitas budaya Barat yang modern tidak menjadi ancaman bagi mereka. Sebagai warga Indonesia yang berbudaya, kaum muda mesti merasa bangga atas budayanya sendiri dan mengidentifikasikan diri dengan kelemahan-kelemahannya. Lalu dalam tantangan budaya Barat tersebut, kaum muda harus mempelajari dan meminatinya secara kritis. Keyakinan tentang diri sendiri, kesadaran harga diri yang kuat disertai keterbukaan memungkinkan kaum muda Indonesia menjadi tulung punggung bangsa yang modern tanpa kehilangan jiwanya. DAFTAR PUSTAKA Ceunfin, Fransiskus. “Filsafat Lintas Budaya dan Kritik Kebudayaan”, dlm.: VOX, 45:2, 2001. Daven, Mathias Metafisika (ms.). Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2015-2016. Liliweri, Alo. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003. 68 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Meo, Reynard L. “Fatherless Generation: Sebuah Realitas yang Mencemaskan”, dlm.: Buletin Iman Anak-Anak Sang Sabda, 2:2, Desember 2011. Prior, John Mansford. Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya. Maumere: Ledalero, 2008. Regus, Max. Republik Sialan Memburu Kejernihan di Tengah Belantara Kerancuan. Maumere: Ledalero, 2003 Suseno, Franz Magnis. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Gramedia, 1992. Sudhiarsa, Raymundus (ed.), “Membangun Masyarakat Multikultural dalam Terang Iman”, dlm.: Kearifan Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Lamalera, 2008. Suwarsono dan So, Alvin Y. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1994. Tule, Philipus. Mengenal & Mencintai Muslim & Muslimat. Maumere: Ledalero, 2008. Frano Kleden — Kaum Muda di Persimpangan Jalan: Antara Kebudayaan ... 69 KAUM MUDA DAN RADIKALISME Har Yansen1 I. PENGANTAR F enomena radikalisme semakin marak akhir-akhir ini. Sebut saja negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Berbicara soal ISIS kini tidak hanya tertuju pada basis dan organisasi utama pimpinan Abu Bakar alBaghdadi di dua Negara itu (Irak dan Suriah), tetapi telah menjadi jaringan yang meluas ke penjuru dunia dan merepotkan pemerintah di banyak Negara. Di Mesir misalnya, kelompok radikal Ansar Beit al-Maqdis kini tengah beroperasi di Semenanjung Sinai Utara di bawah payung ideologi NIIS. Di Libya kelompok radikal Ansar al-Shariah tengah beroperasi di Libya Timur. Negara-negara Eropa pun tidak luput dari milisi ISIS ini. Pusat Kontra Terorisme Nasional (NCTC) AS mencatat, lebih dari 20.000 orang dari sedikitnya 90 negara masuk ke Suriah. Dari jumlah itu, 3.400 datang dari Negara Barat, termasuk 150 warga Negara Amerika Serikat (Kompas, Minggu 15 Februari 2015).2 Tidak hanya itu, Pos Kupang 17 1 Penulis adalah Mahasiswa Semester V STFK Ledalero 2Berita, Kompas [Jakarta], 15 Februari 2015. 70 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Januari 2016 yang lalu memberitakan, bahwa di Asia sudah terdapat lima negara yang menjadi penyumbang terbesar bagi keanggotaan ISIS yakni; China sudah sebanyak 300 orang, Pakistan tercatat sebanyak 330 orang, Afganistan yang pada Desember 2015 yang lalu tercatat 23 orang dan Australia sudah 250 orang hijrah ke Suriah demi ISIS, dan yang tidak kalah heboh ialah aksi Ivan Armadi Hasugihan yang membawa tas berisi bom rakitan di Gereja Katolik St. Yosef, Medan-Sumatera Utara (Pos Kupang, Senin 29 Agustus 2016). Indonesia pun tidak luput dari incaran kelompok radikal itu dalam ekspansinya. Menurut catatan Mantan Kepala BNPT Ansyaad Mbay, jumlah orang Indonesia yang sudah tergabung di dalam gerakan NIIS itu sudah sekitar 251 orang lebih.3 Kenyataan ini mau membuktikan bahwa ideologi yang dibawa oleh ISIS itu bagaikan magnet yang menarik organisasi-organisasi anarkis dan militan di seluruh dunia. Seiring bergulirnya kasus, muncul hipotesis bahwa rata-rata yang terlibat dalam aksi-aksi seperti ini berusia muda, 17-40 tahun. Tentu masih terekam baik dalam memori kita sederetan peristiwa horor sekelompok orang muda yang mengaku dirinya adalah bagian dari ISIS selama ini. Sebut saja para pelaku bom bunuh diri di kota Paris, Perancis yang mengakibatkan150 orang tewas pada 15 November 2015 yang lalu. Atau sebelumnya dua orang pemuda bersenjata yang menyerang kantor majalah Charlie Hebdo di kota Paris yang menewaskan 12 orang. Di Maiduguri, Nigeria Timur laut, milisi Boko Haram menggunakan anak perempuan berusia 10 tahun dijadikan sebagai pelaku bom bunuh diri. Aksi tersebut menewaskan 19 orang.4 Atau juga aksi teror di Sarinah, Jalan Thamrin Jakarta yang diaktori oleh sekelompok pemuda hingga menewaskan 7 orang dan 24 orang lainnya terluka. Pertanyaan mendasar di sini ialah mengapa kaum muda begitu rentan terlibat dengan aksi-aksi 3Berita, Pos Kupang [Kupang], 17 Januari 2016. 4Berita, Kompas [Jakarta] 25 November 2015. Har Yansen — Kaum Muda dan Radikalisme 71 radikalisme seperti itu? Tesis utama tulisan ini ialah hendak menelusuri lebih jauh fenomena kerentanan kaum muda terhadap berbagai aksiaksi anarkisme, termasuk di dalamnya terorisme ISIS, yang semakin menjadi-jadi belakangan ini. Sebagai negara yang berwajah pluralistik, keberadaan jumlah kaum muda yang begitu banyak saat ini, jika tidak berhasil mengelolanya maka bisa menjelma menjadi bencana demografis yang melumpuhkan bangsa ini ke depan. II. SEKILAS TENTANG KAUM MUDA Kaum muda hidup dalam sebuah kurun waktu (baca:generasi) tertentu. Dalam pandangan umum, generasi kaum muda adalah sebuah generasi peralihan dan sekaligus perubahan menuju ke tingkat yang lebih tinggi (baca: dewasa). Peralihan atau perubahan ini ditandai dengan mencuatnya berbagai persoalan yang tentunya menantang identitas kepemudaan mereka. Di masa peralihan kaum muda mempertaruhkan identitasnya untuk sebuah perubahan. Untuk memahami lebih jauh tentang kaum muda, berikut ini dibeberkan beberapa definisi kaum muda, antara lain: Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefenisikan kata “muda” sebagai belum sampai setengah umur, belum cukup umur, belum lama ada. Sedangkan kata “kaum” diartikan sebagai suku bangsa, golongan, kelompok. Oleh karena itu, kaum muda dapat diartikan sebagai kelompok orang yang masih muda umurnya atau anak yang masih muda. Menurut Undang-Undang Kepemudaan Nomor 40 Tahun 2009, yang disebut pemuda adalah yang berusia 16-30 tahun. Sedangkan menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kaum muda mencakup anak-anak manusia dari umur 15 sampai 24 tahun. Selain itu juga, undang-undang perkawinan RI, tahun 1974, kaum muda meliputi para muda-mudi yang sudah melewati umur kanak-kanak dan belum mencapai umur yang oleh UU diperbolehkan menikah: bagi pemuda minimal berumur 19 72 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 tahun dan bagi pemudi minimal berumur 16 tahun. Sedangkan dalam organisasi pemuda, kaum muda dapat mencakup semua muda-mudi yang berumur antara 15-40 tahun. Perkembangan usia kaum muda sangat berpengaruh juga terhadap tingkat pemahaman mereka akan realitas yang dihadapi. Menurut Jean Piaget, perkembangan pemahaman pada tingkat usia seperti ini mempunyai tingkat ekuilibrium yang tinggi, di mana mereka (kaum muda) sudah dapat berpikir fleksibel dan efektif, serta mampu menghadapi persoalan yang kompleks. Dengan demikian, kaum muda secara kualitatif sudah bisa berpikir rasional terhadap realitas yang dihadapi.5 Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kaum muda merujuk pada suatu kelompok individu yang dalam tahapan perkembangan biologis dan psikisnya ditandai oleh perubahan yang sangat signifikan. Pertumbuhan dan perkembangan organ-organ tubuh dan pola pikirnya itu membuat kaum muda tampil energik dan kuat. Hal inilah yang membuat kaum muda itu dipandang sebagai harapan dan generasi penerus kehidupan suatu masyarakat, dan dalam konteks yang lebih luas yaitu bangsa dan negara. III. POTENSI-POTENSI KAUM MUDA Seperti yang telah dikemukan di atas bahwa orang muda adalah salah satu agen dalam membawa perubahan (agent of change). Dikatakan demikian karena berbagai karakter yang inheren pada kepemudaan itu sendiri seperti: energik, kreatif, dinamis, empatik, kritis, dan berani mengambil resiko. Philip Tangdilintan merumuskan empat potensi yang dimiliki kaum muda antara lain:6 5 Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 209. 6 Philip Tangdilintin, Pembinaan Generasi Muda (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 2829. Har Yansen — Kaum Muda dan Radikalisme 73 Pertama, dinamis. Kaum muda berciri dinamis, penuh dengan emosi dan semangat luap. Jiwa muda adalah jiwa dalam taufan dan nafsu (strum und drang), jiwa yang penuh gairah dan gelora hidup. Oleh karena itu mereka senang berpetualang dan bereskperimen dalam upaya mencari nilai-nilai baru; dalam hal ini mereka tidak mau didikte. Kedua, berorientasi ke masa depan. Berbeda dari pola berpikir anakanak, kaum muda dapat memikirkan kemungkinan-kemungkinan secara abstrak dan hipotetis. Mereka dapat memandang diri dan persoalan dari berbagai segi. Berlainan juga dengan kaum tua yang umumnya senang mengenang masa silam, kaum muda mempunyai pandangan jauh ke depan dan sarat dengan cita-cita masa depan. Ketiga, terbuka. Kaum muda memiliki sikap terbuka terhadap setiap pembaruan dan perkembangan yang dianggap dapat mempercepat proses realisasi masa depan yang menjadi dambaannya (terlepas dari soal apakah gambaran masa depan itu tepat atau tidak). Oleh karena itu, kaum muda sering disebut sebagai “generasi pembaru” yang berbeda dari kaum tua yang suka akan kemapanan dan nilai-nilai lama. Perbedaan ini seringkali menimbulkan bentrok antara kaum tua dan kaum muda. Keempat, Kreatif. Kaum muda pada umumnya tidak puas dengan keadaan dan nilai-nilai lama dan haus akan segala sesuatu yang baru. Mereka sering mengerahkan daya cipta untuk mencari terobosan baru. Apabila menemukan iklim yang kondusif, kepercayaan yang diberikan dapat mendorong lahirnya kreativitas pada diri orang muda. Hal ini dapat kita lihat dari hasil kerja mereka yang tak terduga dan luar biasa. Sebaliknya, dalam iklim pendidikan yang mendikte, serba membatasi, penuh larangan dan umpatan, kreativitas kaum muda justru akan mandul. 74 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 IV. DISKONTINUITAS Sejarah Indonesia mencatat bahwa peristiwa bersejarah yang berpuncak pada proklamasi kemerdekaan serta peristiwa-peristiwa politik selanjutnya itu tidak bisa dipikirkan tanpa peran penting kaum muda. Sumpah pemuda, yang menjadi jejak sejarah monumental menempatkan pemuda sebagai entitas penting. Momentum tersebut menjadi penanda dan batas antara era pencarian dan penegasan jati diri sebagai sebuah bangsa. Peneliti Sejarah, Keith Foulcher (2000), menyebut Sumpah Pemuda sebagai hasil akumulasi nilai dan ideologi.7 Pergolakan politik pada pertengahan tahun 1960 misalnya telah menyeret pemuda dalam pusaran perebutan kekuasaan. Dalam hegemoni rezim militer, kaum muda ikut serta menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menegakkan rezim Orde Baru. Namun selama tiga dasawarsa selanjutnya, kaum muda tak luput dari pergulatan bersama kelompok-kelompok marginal menentang otoritarianisme Orde Baru. Puncak perlawanan mengkristal dalam gerakan mahasiswa dan rakyat menuntut lengsernya Soeharto pada tahun 1998.8 Kendatipun menghadapi ancaman kehilangan nyawa (dan memang ada banyak korban jiwa dan sampai sekarang masih polemik) tetapi kepekaan sosial menyebabkan mereka bersatu padu melawan otoritarianisme. Yang mereka perjuangkan adalah kepentingan bangsa, bukan kepentingan golongan tertentu. Berbagai peristiwa revolusioner itu sebenarnya tidak terlepas dari kekuatan idealisme yang tertanam kuat dalam diri mereka. Perjuangan itu sebenarnya bermula dari ideide kreatif yang terserak yang dimiliki oleh minoritas kaum muda. Ideide potensial tersebut kemudian terangkum jelas di dalam tiga entitas 7 Gagasan Keith Foulcher ini dikutip pada Jajak Pendapat, Kompas [Jakarta], 28 Oktober 2013, p. 5, kol. 3. 8 Ibid. Har Yansen — Kaum Muda dan Radikalisme 75 kesatuan: Tanah Tumpah Darah, Bangsa, dan Bahasa. Tridarma Sumpah Pemuda ini merupakan sintesis dari idealisme minoritas kaum muda yang sebelumnya terserak, tetapi kemudian menjadi kekuatan progresif menuju perubahan. Pengamat Politik Yudi Latif kemudian menandaskan bahwa isi tridarma generasi Sumpah Pemuda itu terjadi melalui wacana dan penciptaan ruang publik. Ruang publik itulah yang mempersatukan ide-ide perjuangan mereka menjadi katalis bagi perwujudan politik perubahan itu sendiri.9 Di dalam ruang bersama itu, mereka melepaskan interese-interese subjektif, intimidasi, primordialisme, suku, agama, dan ras mereka masing-masing, serta tindakan-tindakan anarkis dan semacamnya. Perjuangan mereka terutama terletak dalam idealisme yang terserak, tetapi kemudian menjadi kolektivitas yang ampuh, penuh daya, dan transformatif. Maka dapat dikatakan bahwa mereka telah berperan sebagai tokoh protagonis dalam peradaban bangsa Indonesia. Akan tetapi dalam rentang waktu 87 tahun sejak Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI), 28 Oktober 1928, serta 70 tahun Indonesia merdeka, peran kaum muda justru semakin merosot. Ada semacam garis kontinuitas dan diskontinuitas antara generasi muda hari ini dan generasi Sumpah Pemuda. Tentang hal ini dalam nada yang paradoks Yudi Latif, sebagaimana dikutip oleh Risaldo Baeng, menandaskan bahwa kaum muda Indonesia dewasa ini makin menggandrungi mentalitas budak. Mentalitas budak ini tertuang dalam ekpresi dangkal dan picik seperti kaum muda yang terlibat dalam demonstrasi anarkis, perjudian, KKN, pelecehan seksual dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya.10 Mentalitas budak ini pun mengusung perjuangan yang bertajuk logika 9 Yudi Latif, “Tantangan Idealisme Muda”, dalam Kompas, Senin, 28 Oktober 2013, hlm. 6. 10 Risaldo Baeng, “Kaum Muda dan Pendidikan”, dalam Kata Pengantar Musafir Ziarah Mencari Jati Diri Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Vol. 01. Thn. XXXVII, 2011-2012. 76 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 kekuatan serentak mengistirahatkan perjuangan yang bertaring kekuatan logika. V. RENTAN TERLIBAT Fenomena radikalisme yang semakin mengglobal dan ramai diperbincangkan belakangan ini memang bukan fenomena baru dalam sejarah kehidupan manusia. Seiring bergulirnya kasus muncul hipotesis bahwa kelompok yang berusia muda rentan terlibat di dalamnya. Pertanyaannya ialah mengapa harus kaum muda? Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa kaum muda hidup dalam sebuah kurun waktu (baca:generasi) tertentu. Mereka hidup pada suatu masa transisi atau masa peralihan dari tahapan perkembangan hidup manusia. Peralihan atau perubahan ini juga diwarnai oleh berbagai persoalan yang tentunya menantang identitas kepemudaan mereka. Di masa peralihan itu kaum muda mempertaruhkan identitasnya untuk sebuah perubahan. Psikolog Jean Piaget melihat perkembangan pemahaman pada tingkat usia seperti ini mempunyai tingkat ekuilibrium yang tinggi, di mana mereka (kaum muda) sudah dapat berpikir fleksibel dan efektif, serta mampu menghadapi persoalan yang kompleks. Dengan demikian, kaum muda secara kualitatif sudah bisa berpikir rasional terhadap realitas yang dihadapi.11 Perkembangan pola pikir inilah yang membuat mereka (baca: kaum muda) selalu kritis terhadap situasi yang ada. Sehingga tidaklah mengherankan jika pada masa ini kaum muda acapkali membentuk kelompok atau grup untuk menegaskan identitas mereka. Di sana akan terjadi pemilahan kawan dan lawan. Yang lain dianggap sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Dan dalam ranah yang lebih luas, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, ketika ada yang janggal dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara tersebut maka orang-orang 11 Paul Suparno., Loc. cit. Har Yansen — Kaum Muda dan Radikalisme 77 muda yang selalu menjadi orang pertama dalam melakukan perubahan. Dari sejarah kita mengetahui bahwa gerakan ekstrimisme dan radikalisme itu timbul karena adanya rasa tidak puas. Tidak puas dengan penguasa, pemerintah ataupun ideologi negara yang sedang berlaku. Karena merasa dipinggirkan dan diisolasi, maka gerakan ekstrimisme itu digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap negara, terhadap raja, terhadap penguasa. Negara yang menindas, raja yang lalim, penguasa yang tiran, itulah yang dilawan dalam menuntut keadilan. Kenyataan ini justru semakin parah dan akut ketika agama memberi legitimasi untuk membenarkan gerakan anarkis atau radikalisme tersebut. Noor Huda Ismail dalam tulisannya yang dimuat pada Media Kompas beberapa waktu yang lalu menyitir gagasan tentang campuran mematikan, terkait tiga faktor yang mendorong orang terlibat dalam kekerasan atau terorisme, yakni: individu yang termarjinalkan, kelompok yang memfasilitasi dan ideologi yang membenarkan. Menurut Ismail akar-akar sosial psikologis yang menyediakan ramuan bagi ketiga faktor tersebut adalah ideologi yang membenarkan.12 Tujuan ideologis ini dicapai dengan cara destruktif, demonstratif, dan bahkan terorisme bunuh diri yang mengakibatkan kematian bagi orang-orang yang tidak bersalah. Dan hemat saya, persis seperti inilah yang dilakukan oleh sekelompok orang muda yang sudah tergabung dalam gerakan radikalisme ISIS selama ini. Hal ini merupakan sebuah bahaya yang harus segera diatasi, sebab jika tidak akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. VI. REVOLUSI MENTAL KAUM MUDA Terhadap persoalan ini, upaya deradikalisasi melalui penyadaran dan pemberdayaan kaum muda adalah sebuah keniscayaan. Hal itu 12 Noor Huda Ismail, “Je Suis Charlie dan Terorisme di Perancis”, dalam Kompas, Senin 15 Januari, 2015, hlm. 7. 78 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 dapat dilakukan melalui investasi pendidikan yang memadai bagi kaum muda. John W. Gardner menyatakan bahwa tidak ada Negara bangsa yang dapat menjadi besar kalau tidak menyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan peradabannya. Seperti John W. Gardner, penulis pun menyakini diperlukan cara yang efektif untuk membangun integritas dan kepribadian bangsa dalam diri kaum muda. Untuk itu sebagai solusi, penulis menawarkan dua institusi berikut yang memiliki peran yang sangat fundamental dalam merevolusi mental kaum muda kita saat ini: Pertama, Keluarga. Keluarga adalah satuan unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Kendatipun dipandang sebagai satuan unit yang paling kecil, tetapi keluarga mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan karakter dan mental seorang anak. Keluarga menjadi lokus pertama yang memungkinkan seorang anak meramu nilai-nilai dan pengetahuan dalam cara berpikir dan bertindak dengan orang lain. Proses internalisasi nilai yang pertama dan utama terjadi di dalam keluarga. Keluarga perlu mengembangkan nilai iman dan menghidupkan nilai moral. Itu berarti ajaran (agama) dan moral mesti disampaikan sedini mungkin kepada anak-anak. Dengan demikian mereka memiliki basis pertahanan pertama dan terakhir dalam menghadapi pengaruh ajaran-ajaran sesat yang berseliweran muncul di tengah masyarakat, dan menggunakan bendera agama atau ideologi tertentu sebagai basis legitimasinya. Apabila keluargakeluarga bersikap permisif terhadap hal-hal yang berbau kekerasan di tengah masyarakat, maka anak-anak cenderung mencari orientasi nilai di luar, yang membuat mereka rentan terabsorsi pengaruh kelompok radikal. Kedua, Sekolah. Sekolah adalah tempat utama untuk membentuk gagasan mengenai kebangsaan. Tugas sekolah tidak hanya mengajarkan peserta didik tentang moralitas yang baik, meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi lebih dari itu mendidik dan Har Yansen — Kaum Muda dan Radikalisme 79 membentuk kepribadian kawula muda sebagai orang Indonesia sejati. Untuk menyukseskan hal ini maka keterlibatan pemerintah baik dari pusat hingga ke daerah-daerah harus terus digalakkan. Di sini pemerintah harus benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran pemerintah tidak cukup hanya dengan pendekatan penindakan, seperti selama ini melalui Densus 88, tetapi lebih dari itu harus dimulai melalui pendidikan bagi kawula muda Indonesia. Pemerintah harus memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika diajarkan di seluruh tingkatan pendidikan. Dalam rangka itu maka perlu disiapkan kurikulum khusus dengan tenaga pengajar yang handal. Ratu Rania Al-Abdullah mengatakan bahwa peluru tidak cukup untuk mengalahkan kelompok radikalisme seperti ISIS karena ada ideologi yang hidup dalam hati mereka. Sekali lagi, yang lebih penting adalah investasi dalam kualitas pendidikan. Hal itu dilakukan untuk mencegah kebodohan yang akan membawa anak muda menjadi radikal.13 Ingat apa yang terjadi ketika Osama Bin Laden dibunuh. Ia memang sudah mati, tetapi warisannya lebih kuat, lebih menggerakan gerakan ekstrimis. Dalam aras ini, kita patut mengapresiasi langkah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) beberapa waktu lalu yang telah menarik sejumlah buku pelajaran (agama) di sekolah-sekolah yang disinyalir mengandung bibitbibit radikal di dalamnya.14 Jika hal ini terus dilakukan maka niscaya kaum muda Indonesia akan bebas dari pengaruh-pengaruh ideologi radikalisme yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. VII. PENUTUP Bibit-bibit radikalisme yang dibawa oleh ISIS akhir-akhir ini telah merebak pengaruhnya di seluruh penjuru dunia. Ideologi radikal yang 13 Berita Kompas [Jakarta], 23 Januari 2015. 14 Frans Nala, “Radikalisme dan Moralitas Publik”, dalam Opini Flores Pos, Selasa 28 April 2015, hlm. 12. 80 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 disebarkan oleh ISIS tersebut telah merepotkan pemerintah di banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Hingga saat ini tercatat bahwa sudah ada ribuan orang di seluruh dunia yang sudah bergabung dengan negara Islam Irak dan Suriah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi tersebut. Dari ribuan angka yang dilaporkan tersebut terdapat sekitar ratusan orang dari Indonesia yang sudah bergabung dengan ISIS. Hingga saat ini berdasarkan laporan media massa dan kasus-kasus yang dipertontonkan kepada kita belakangan ini, orang-orang yang rentan terlibat dalam gerakan ekstrimis ini didominasi oleh kelompok berusia muda. Ada begitu banyak kaum muda yang sudah menggabungkan diri dalam kelompok radikal ini. Hal ini terbukti dari berbagai aksi teror dan bom bunuh diri yang telah dipraktikkan oleh segerombolan orang muda selama ini. Dapatlah dikatakan bahwa ideologi yang disebarkan oleh ISIS tersebut bagaikan magnet yang menarik sejumlah orang muda di seluruh dunia. Aksi radikalisme yang dipraktikkan kaum muda itu semakin akut dan memuncak tatkala agama memberikan legitimasi yang membenarkan tindakan mereka. Konteks Indonesia yang pluralistik, tentu problem ini dapat merusakkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Oleh karena itu, upaya deradikalisasi melalui revolusi mental kaum muda sangat diniscayakan pada titik ini. Peran keluarga dan sekolah dalam membina dan membentuk mental dan akhlak kaum muda mendapat posisi yang sangat penting. Hal itu perlu supaya mencegah kebodohan kaum muda itu sendiri. Har Yansen — Kaum Muda dan Radikalisme 81 DAFTAR PUSTAKA Baeng, Risaldo. “Kaum Muda dan Pendidikan”, dlm.: Pengantar Musafir. Vol. 01. Thn. XXXVII, 2011-2012. Ismail, Noor Huda. “Je Suis Charlie dan Terorisme di Perancis”, dlm.: Kompas, Senin 15 Januari, 2015. Latif, Yudi. “Tantangan Idealisme Muda”, Dlm.: Kompas, Senin, 28 Oktober 2013. Nala, Frans. “Radikalisme dan Moralitas Publik”, dlm.: Opini Flores Pos, Selasa 28 April 2015. Suparno, Paul. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Tangdilintin, Philip. Pembinaan Generasi Muda. Yogyakarta: Kanisius, 1986. Kompas [Jakarta] 25 November 2015. Kompas [Jakarta], 15 Februari 2015. Kompas [Jakarta], 23 Januari 2015. Kompas [Jakarta], 28 Oktober 2013, p. 5, kol. 3. Pos Kupang [Kupang], 17 Januari 2016. 82 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 KAUM MUDA DALAM KEKACAUAN POLITIK: MENGGAGAS SOLUSI MENEPIS KEENGGANAN BERPOLITIK KAUM MUDA Oleh: Kelas 1 Kelompok A (Doni Koli, Anno Susabun, Calvin Pala, Dimas Pangkur) D emokrasi dan perwujudannya di Indonesia hingga kini masih menjadi sebuah diskursus yang senantiasa diperdebatkan. Pembacaan terhadap demokrasi berdasarkan kualitas perpolitikan bangsa dewasa ini, telah menimbulkan sebuah diktum paradoks bahwa usaha berdemokrasi sepertinya kontra produktif. Pelbagai skenario sesat yang dimainkan aktor-aktor politik kita telah membumikan semacam pesimisme publik bahwa militansi berpolitik hanya dijangkarkan pada usaha-usaha oportunis serentak memunggungi kepentingan rakyat. Parahnya lagi, lembaga-lembaga penegak keadilan dan perpolitikan yang anti korupsi seperti lembaga anti rasuah (KPK) senantiasa mendapat resistensi dari banyak elit politik. Revisi terhadap UU KPK yang santer Kelas 1 Kelompok A — Kaum Muda dalam Kekacauan Politik: ... 83 diperjuangkan anggota parlemen di DPR dengan tendensi melemahkan serta memangkas wewenang DPR adalah bukti nyata kontinuitas usaha untuk mempertahankan aktus berpolitik yang non demokratis. Pada tempat lain, ada semacam kerinduan kolektif yang dimunculkan bahwa para kaum muda kita dapat membawa bangsa kita menuju prospek berdemokrasi yang baik. Berkaca pada faktum historis terkait peran kaum muda dalam kancah perpolitikan bangsa sebagaimana dinarasikan dalam deklarasi sumpah pemuda, usaha mewujudkan kemerdekaan, dan gerakan mematahkan rezim pemerintahan represif dan non-demokratis, diyakini bahwa kaum muda punya peran strategis dan deterministik dalam mewujudkan demokratisai secara masif. Namun, di sisi lain timbul sebuah keprihatinan bahwa cerita sejarah tersebut hanya menjadi romantisme masa lalu yang spiritnya turut tergerus puluhan tahun lalu. Ada kecemasan bahwa militansi berpolitik kaum muda kehilangan taringnya. Melalui tulisan ini hendak dibaca “dua fenomen” diferensial antara faktum terdistorsinya kualitas politik serta pesimisme kaum muda untuk kembali berpartisipasi dalam politik. Sehingga, keniscayaan usaha untuk kembali kembali mengonstruksi paradigma reformatif kaum muda untuk kembali bermilitansi dalam politik perlu digalakkan. I. C ARUT-MARUT PERPOLITIKAN INDONESIA Radhar Panca Dahana, seorang budayawan dan cendekiawan nasional, dalam sebuah opininya pada harian Kompas berjudul Demokrasi Kusir Delman pernah mempromulgasikan sebuah kepayahan atau distorsi akut terkait percaturan politik Indonesia. Demokrasi sebagai sistem politik yang kita pakai dilukiskan sebagai sebuah delman dengan kusir yang gelap identitasnya. Sementara itu, jutaan rakyat yang berkendara di dalam delman tersebut hanya bisa pasrah, ketika 84 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 sang kusir mengatur dan membawa delmannya kemana saja. Mungkin ke pelbagai mitos tentang mayoritas, hak-hak asasi, kedaulatan rakyat, dll, yang sebenarnya adalah permainan simbolik manipulatif oleh konspirasi para elit. Sehingga, usaha-usaha berdemokrasi di dalamnya hanyalah sebuah aktus ilusif semata.1 Berikutnya, realitas ini determinan terhadap regresivitas dalam proses pendemokrasian bangsa. Secara gamblang, setiap kita telah menyaksikan kompleks permasalahan yang menarasikan agenda hitam kriminalisasi politik oleh banyak aktor-aktor politik dalam negeri. Diktum mengguritanya patologi korupsi pada level kekuasaan adalah representasi paling nyata atas terdegradasinya kualitas perpolitikan kita. Maraknya kasus korupsi telah membangun pesimisme kolektif warga akan sebuah daya akomodasi politik yang bermoral. Dalam artian, telah terbentuk sebuah predikasi kolektif masyarakat bahwa politik dan praksisnya hanya dijangkarkan pada term ini, korupsi. Kasus korupsi yang secara masif terjadi di Indonesia hemat kelompok berhulu pada sebuah prima causa yakni kapitalisasi politik. Penjungkirbalikan nilai serta relevansi politik negara kita saat ini dinarasikan dalam faktum mengguritanya praktik korporasi yang kuat antara pemangku kekuasaan dan pengusaha. Politik kita memang seringkali tercampuaraduk dengan kepentingan modal. Ada korporasi intensif antara pionir parpol dan pemilik modal yang berikutnya mengenduskan determinasi modal serta kalkulasi keuntungan maksimal dalam akomodasi politik kita. Banyak kasus korupsi dalam negeri kita yang berkedok kesepakatan senyap dengan pemodal. Jelas bahwa pola relasi yang mengultuskan entitas modal seperti ini akan menjadi prakondisi yang adequat bagi aneka manifestasi kriminalisasi politik termasuk korupsi. Disini klaim Mark E Warren (1999) dalam Democracy and Trust sebagaimana dikutip seorang cendekiawan nasional, Max Regus bahwa serangan sistematis terhadap 1 Radhar Panca Dahana, “Demokrasi Kusir Delman”, Kompas, Kamis, 23 Januari 2014, hlm. 6. Kelas 1 Kelompok A — Kaum Muda dalam Kekacauan Politik: ... 85 demokrasi justru muncul dari salah satu stakeholder utama demokratisasi; pada level kekuasaan, justru mendapat justifikasinya.2 Negativitas ini berikutnya paralel dengan diktum regresivitas kredibilitas rakyat akan sebuah perhelatan politik yang senantiasa dijangkarkan pada citacita volonto generale. Berdasarkan infografis yang dilansir Selasar.com pada Februari 2015 lalu diafirmasi bahwa beberapa institusi pada level kekuasaan dipersepsikan paling korup oleh rakyat. Kepolisian Indonesia menempati posisi teratas dengan persentase sebesar 91% diikuti DPR 89% serta pengadilan dan Kejaksaan dan Parpol dengan persentase yang sama yaitu 86%.3 infografis ini secara jelas telah mengafirmasi pesimisme rakyat akan institusi-institusi dalam level kekuasaan. Berikutnya corak pemerintahan kita yang tampak adalah penguatan sistem plutokrasi dimana sistem politik dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis. II.KIPRAH KAUM MUDA; TINJAUAN HISTORIS Pada bagian ini akan dielaborasi peran serta rekam jejak militansi berpolitik kaum muda berdasarkan fakta historis dan situasi kontemporer. Siapakah pemuda dan apakah kepemudaan itu ? Mengutip pendapat Dr. H.A.R. Tilaar tentang pertanyaan ini, Ir.H.Eddy Kurniady menulis: Dalam khazanah ilmu pendidikan dan psikologi, pemuda dan kepemudaan bukanlah topik yang baru. Malah seumur dengan ilmuilmu itu sendiri. Pendekatan–pendekatan dari segi pedagogis dan psikologis menurut Tilaar, ditandai dengan satu sifat: Pemuda identik dengan pemberontak: berani tapi pendek akal: dinamik tetapi sering kali hantam kromo. Penuh gairah tetapi sering kali berbuat yang anehaneh. Pendek kata pemuda dan kepemudaan sama dengan romantik. 2 Max Regus, Tobat Politik Mengetuk Pintu Hati Kekuasaan (Jakarta Selatan: Pahresia Institute, 2011), hlm. 77. 3 Alia Faridatus Solikha, “Stop Kriminalisai KPK”, Jurnal Youth Proactive, 2:1, hlm. 8. 86 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Masa yang menarik tetapi juga yang perlu dikasihani, setidak-tidaknya dari kaca mata orang dewasa.4 Jelas sekali bahwa pemuda dipandang sebagai anggota masyarakat yang keambivalenannya begitu mencolok. Pada satu sisi, pemuda punya gairah yang begitu kuat untuk mengusung sebuah progresivitas. Namun di sisi lain ternyata semangat pemuda ini juga dapat membawa keresahan dalam masyarakat lainnya khususnya para golongan tua yang lebih menyukai ketenangan dan pertimbangan matang dalam keputusan - keputusan. Lebih lanjut, menurut Tilaar dari sifat pemuda yang bertendensi subversif ini dapat timbul suatu konflik idealisme antara golongan muda yang idealismenya non-paralel dengan apa yang ada (das sein) atau yang terjadi sekarang sebagai manifestasi dari pretensi para golongan tua. Namun, kita tak serta-merta memvonis bahwa militansi para pemuda hanya dijangkarkan pada usaha mengamini pretensi ideal mereka sendiri. Tidak sedikit kaum muda yang rela berjuang, memprotes ketidakadilan, bahkan melawan aparat keamanan dengan risiko nyawa mereka sebagai taruhan. Bagi mereka keadilan harus ditegakkan, kebobrokan tak pantas dipertahankan. Satu hal yang mereka inginkan, yaitu menciptakan tatanan kehidupan yang baik walaupun terpaksa menentang mereka yang berkuasa. Dalam tulisan ini, kita akan bernostalgia tentang bagaimana kaum muda Indonesia punya andil yang besar bagi perkembangan bangsa Indonesia khususnya dalam kancah perpolitikan yang penuh dengan kontroversinya. Kita akan memutar ulang memori – memori lama tentang tokoh-tokoh muda, momen-momen krusial, serta gerakan-gerakan yang juga menjadi penentu perkembangan politik pada masa itu. 4 Ir. H. Eddy Kurniadi, PERANAN PEMUDA dalam PEMBANGUNAN POLITIK di INDONESIA (Bandung: Penerbit Angkasa,1987), hlm. 17. Kelas 1 Kelompok A — Kaum Muda dalam Kekacauan Politik: ... 87 2.1 P ERJUANGAN KAUM MUDA PRAKEMERDEKAAN Sejarah mengklaim bahwa peran kaum muda bagi pergerakan nasional tidak bisa dianggap sepele. Momen krusial yang menjadi tonggak bangkitnya semangat kaum muda untuk bergerak maju adalah didirikannya organisasi model barat pertama milik Indonesia dengan nama Budi Utomo pada 20 mei 1908. Organisasi ini diprakarsai oleh dua orang mahasiswa dari STOVIA (School Tot Opleding Van Inlandsche Ambtenaren, sekolah keterampilan untuk dokter pribumi) R. Sutomo dan R. Gunawan Mangunkusumo. Pada tahap awal berdirinya, bidang politik bukanlah sasaran dari didirikannya organisasi ini. Beberapa ahli sejarah menuturkan bahwa sesungguhnya Budi Utomo hanya memusatkan perjuangannya bagi kesejahteraan kaum priyayi (priyayi sentris). Visi yang kaku ini yang memunculkan rasa tidak puas pada anggota – anggota lain khususnya kaum muda.5 Sejumlah pergerakan ternyata tak hanya berlangsung di dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri. Perjuangan di luar negeri ini dipelopori oleh para mahasiswa Indonesia yang bersekolah di luar negeri, khususnya di Belanda. Pada tahun 1908, didirikan sebuah perhimpunan mahasiswa dengan nama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Adapun berdirinya organisasi ini awalnya untuk mengusahakan kesejahteraan para rakyat yang bertempat di Belanda pula untuk membangun hubungan yang baik dengan Hindia Belanda itu sendiri. Beberapa waktu lamanya Perhimpunan Hindia kemudian mengalami sebuah revolusi pemikiran yang serba baru. Ini dikarenakan oleh bergabungnya tiga orang pendiri Indische Partij, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat (Ki hajar Dewantara). Pemerintah Belanda mengasingkan mereka ke Belanda oleh sebab ketakutan akan ide-ide 5 Ibid., hlm. 29 – 30. 88 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 mereka yang cenderung mengajak rakyat untuk menentang belanda. Dalam Perhimpunan Hindia, mereka banyak kali memberikan gagasangagasan pembaharuan yang mendorong para mahasiswa pada gerakan radikalisme. Kehadiran mereka secara mendalam juga mengekspresikan bagaimana Indische Vereeniging mampu berpartisipaasi dalam ranah politik. Salah satu contohnya dengan terpilihnya beberapa anggota indische Vereeniging sebagai anggota parlemen di Belanda pada tahun 1916 sebagai perwakilan Golongan Sosialis.6 Secara mendasar, turut bergabungnya mahasiswa Indonesia dalam kegiatan - kegiatan politik yang ada di Belanda mempunyai suatu maksud khusus yaitu aksi memberontak terhadap paternalisme kekuasaan Belanda. Mereka merasa terinjak harga dirinya setelah dianggap bahwa kearifan budaya mereka dianggap rendah oleh peradaban Eropa. Perihal ini menumbuhkan keyakinan diantara para pemuda bahwa jalan satu – satunya supaya harga diri mereka dapat kembali pulih adalah dengan jalan kemerdekaan. Tahun 1923, telah begitu banyak organisasi yang lahir hasil pemikiran kaum muda Indonesia. Tetapi hal yang mesti dijadikan perhatian adalah efek dari menjamurnya organisasi kepemudaan ini yaitu semakin meningkatnya kesepahaman tentang kesatuan bangsa diantara para pemuda Indonesia. Komitmen akan persatuan bangsa yang mengesampingkan ideal-ideal kelompok sendiri ini kemudian berujung pada lahirnya kongres pemuda yang pertama di Batavia pada tanggal 30 april – 2 Mei 1926 yang dipimpin oleh M. Tabrani. Kongres yang pertama ini telah menjadi cikal bakal bagi peristiwa yang lebih penting dua tahun setelahnya. Kokohnya nasionalisme dalam jiwa para pemuda membuat banyak organisasi-organisasi baru lahir dan ikut berkecimpung dalam atmosfer politik nasional. Diantaranya adalah PPPI dan “Jong Indonesia” 6 Ibid., hlm. 33. Kelas 1 Kelompok A — Kaum Muda dalam Kekacauan Politik: ... 89 yang kemudian akan menjadi pemrakarsa lahirnya sumpah pemuda 1928. 2.2 P ERJUANGAN KAUM MUDA ERA KEMERDEKAAN Perjuangan politik kaum muda pasca sumpah pemuda sebenarnya dapat dipetakan pada beberapa periode tertentu seperti pada angkatan 1945 dalam usaha untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pada babak orde lama kekuasaan yang tidak demokratis dan kontra produktif dengan kesejahtraan rakyat berhasil dilengserkan melalui demonstrasi Tritura tahun 1996. Pada bagian ini secara khusus akan dijelaskan peran kaum muda pada babak orde baru dan transisi menuju reformasi pada tahun 1998. Pada masa Orde Baru keterlibatan serta partisipasi kaum muda yang dianggap membahayakan kedigdayaan pemerintah serta propaganda hegemoni tafsir dan bahasa yang dimainkan rezim Soeharto dianggap sebagai yang “mengganyang kesatuan”. Sehingga, peran serta kaum muda dibungkam berhadapan dengan otoritarianisme orde baru. Dalam artian, intervensi kaum muda ke dalam sebuah aktus partisipasi politik secara aktif terdeformasi kala berhadapan dengan tindakan represi pemerintah. Dalam rezim orde baru fenomena ini dikenal sebagai frase normalisasi kampus. Peran kaum muda terlimitasi hanya pada taraf kuliah dan persoalan kampus dan persoalan politik menjadi diskursus yang tabu diinterupsi kaum muda. Walaupun agenda normalisasi secara adekuat dikembangkan pemerintah, namun tetap ada usaha resisten dari kaum muda melalui mahasiswa untuk secara frontal mengkritisi rezim orde baru yang bobrok. Ada dua jalan yang diambil mahasiswa untuk memperkuat basis massa dalam usaha mematahkan kediktatoran Soeharto dan orba. Pertama, 90 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 dengan mengorganisasikan berbagai demonstrasi untuk advokasi kasus rakyat yang terjadi pada beberapa daerah seperti Belambuan, Pandega, dll. Kedua, dengan melakukan pengorgnisasian di dalam kampus, lewat penambahan jumlah anggota gerakan untuk memberikan penjelasan dan pengaruh kepada rakyat tentang kepincangan sistem, sebagai akar segenap ketimpangan.7 Alhasil, demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 21 Mei 1998 berhasil membonsai rezim orba dan mengonstruksi gerakan reformasi. Usaha untuk berdemokrasi secara masif pun dimulai. III.KAUM MUDA PASCA REFORMASI DAN PESIMISME KOLEKTIF Menyaksikkan militansi berpolitik kaum muda dewasa ini ketika berhadapan dengan realitas politik yang ada, timbul sebuah diktum pesimistik bahwa spirit berpolitik kaum muda mengalami regresi. Kaum muda sepertinya telah kehilangan taring dan sikap militannya dalam usaha perwujudan demokrasi. Peran serta dan partisipasi politik kaum muda selama ini hanya berada dalam jangkar permukaan saja tanpa benar-benar menyentuh akar masalah dan secara mapan membongkar proyek kriminalisasi yang terjalin dalam khazanah politik pada level kekuasaan. Dalam artian, fakta historis terkait partisipasi politik aktifkonstruktif kaum muda hanya menjadi romantisme masa lalu yang spiritnya tak dipertahankan hingga kini. Terlepas dari pelbagai faktor dan kompleksitas sebab, hemat kelompok realitas ini tentu bisa kita katakan sebagai konsekuensi logis yang timbul oleh carut-marutnya wajah perpolitikkan bangsa. Penjungkirbalikan relevansi serta nilai politik luhur oleh para aktor-aktor politik kondang berjiwa kapitalis dan punya pretensi oportunistik telah membumikan semacam pesimisme kaum muda untuk 7 Budiman Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini”, dalam Pusat Informasi Kompas (ed), Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi (Jakarta: Penerbit Buku kompas, 2001). Kelas 1 Kelompok A — Kaum Muda dalam Kekacauan Politik: ... 91 terlibat secara aktif dalam ranah politik. Apalagi, agenda demokratisasi yang kembali dilecuti semangatnya dalam reformasi 1998 tidak kunjung membuahkan hasil. Realitas paradoksal ini dapat kita baca dalam konteks partisipasi kaum muda pada pemilu 2014 lalu. Berdasarkan data “Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, korupsi, dan Pemilu 2014” oleh Transparency Indonesia, diketahui bahwa sebagian dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi muda yakni mencapai angka 30 %. Survey TI pada tahun 2014 kembali menyebutkan bahwa 77 % pemilih pemula bersedia menggunakan hak suaranya dalam pemilihan presiden 2014. Juga dalam pemilihan legislatif 2014, 63% pemilih pemula menyatakan bersedia memberikan hak suaranya. Fenomena ini menandakan bahwa antusiasme kaum muda dalam partisipasi politik cukup tinggi. Namun, jika ditilik dari kesediaan menggali informasi politik, pemilih pemula cenderung minim minat. Nyatanya, 48% mengaku jarang mencari informasi tentang pemilu, 33% pemilih menyatakan tidak pernah, dan sisanya mengaku sering mencari informasi.8 Pada dua fenomen ini dapat ditarik benang merahnya. Partisipasi politik yang tidak didukung dengan usaha menggali informasi politik dapat memengaruhi kualitas pilihan politik juga. Terlepas dari menguatnya determinasi modernisme dan pola hidup pragmatis dalam khazanah kehidupan global dewasa ini serta rendahnya atensi pendidikan untuk menginternalisasi nilai-nilai politik dalam subjek-subjek pendidikan bangsa, diktum terdistorsinya moralitas politik serentak usaha mewujudkan demokrasi secara masif yang tak kunjung membuahkan hasil bisa menjadi pra kondisi yang adekuat di balik terdegradasinya kualitas militansi serentak partisipasi politik kaum muda kita. Carut-marut politik kaum muda menjadi antitesis yang membayangi interese kaum muda terhadap politik itu sendiri. 8 Apriliyati Eka Subekti, “Meritokranian: Generasi Muda Berintegritas”, dalam Jurnal Youth Proactive 2, hlm. 23. 92 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Pelopor Demokrasi IV.AGENDA SOLUTIF; KEMESTIAN BERPOLITIK KAUM MUDA Situasi politik yang kian hari kian tidak menentu yang tampil dalam variasi wajah kejahatan sistemik tidak pelak menimbulkan pesismisme publik akan presensi, bahkan eksistensi negara Indonesia. Setelah lebih dari tujuh dekade silam memproklamasikan kemerdekaan serentak secara tegas membaptis diri sebagai penganut demokrasi, kita mesti mengakui betapa sampai saat ini idealisme bersama menjadi negara demokratis semakian jauh panggang dari api. Pasalnya, apa yang selalu dipertontonkan di panggung perpolitikan bukannya faktum praksis yang lahir dari roh demokrasi melainkan sebaliknya begitu banyak cedera yang kontradiktif dengan paham itu. Lantas, tatkala berkonfrontasi dengan carut-marut perpolitikan tersebut satu-satunya jalan pintas yang membuat orang merasa nyaman adalah dengan menarik diri dari politik. Carut-marut perpolitikan itu jugalah yang ditengarai menjadi sebab keengganan kaum muda dalam berpolitik. Problem partisipasi politik kaum muda menjadi santer didiskursuskan lantaran saat ini absensi kaum muda dalam banyak model percaturan politik hampir pasti sampai pada titik nadir. Survei Transparency Indonesia (TI) tahun 2014 menunjukkan 48% pemilih pemula mengaku jarang mencari informasi mengenai pemilu, 33% menyatakan tidak pernah, dan sisanya mengaku sering mencari informasi.9 Fenomena keengganan berpolitik kaum muda memang pantas untuk diantar ke hadapan perbincangan publik. Jika ditelisik dari sisi historis, peran kaum muda bangsa Indonesia tidak dapat dilepaspisahkan dari perjuangan panjang mencapai kemerdekaan. Begitu banyak gerakan pemuda yang mengambil bagian dalam bermacam cara untuk merebut kemerdekaan. Sebut saja peristiwa Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak sejarah 9 Ibid. Kelas 1 Kelompok A — Kaum Muda dalam Kekacauan Politik: ... 93 perjuangan kaum muda bangsa Indonesia. Selain peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, militansi dan kualitas tekanan kaum muda dalam berpolitik tidak diragukan lagi ketika pada medio 1998 silam mereka berhasil menurunkan Soeharto, sang penguasa rezim Orde Baru yang melanggengkan kekuasaannya secara ‘brutal’ selama lebih dari tiga puluh tahun. Dengan demikian, merupakan suatu hal yang wajar jika banyak orang saat ini berada dalam ‘kecemasan’ kolektif, entahkah ‘taji’ kaum muda yang konon merebut kemerdekaan dibiarkan hilang begitu saja atau mesti sesegera mungkin menepis keengganan ini. Situasi kekinian perpolitikan Indonesia yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya dari tulisan ini secara implisit mempertontonkan ke hadapan kita alasan-alasan logis mengapa kaum muda serentak menarik diri dari percaturan politik. Korupsi dan problem oligarki kekuasaan, perselingkuhan pemerintah dengan kapitalis (pemodal), manipulasi konstitusional, dan lain-lain menjadi alasan yang cukup kuat bagi kaum muda untuk merasa tidak perlu terlibat dalam politik. Pertanyaan yang mungkin mencuat ialah, untuk apa berpolitik jika hanya untuk melayani nafsu kekuasaan penguasa yang menekan lalu mengubur dalam-dalam idealisme kaum muda? Berhadapan dengan situasi krisis partisipasi kaum muda dalam percaturan politik, adalah sangat bijaksana apabila kita secara bersamasama memikirkan beberapa alternatif solusi yang mungkin dalam rangka menepis keengganan kaum muda tersebut. Adalah Aristoteles, seorang filsuf termasyur Yunani kuno, yang secara khusus melihat pentingnya partisipasi politik setiap warga negara. Salah satu doktrin terkenal dari filsuf yang hidup antara tahun 385-322 ini adalah bahwa manusia adalah makhluk politik. Makhluk politik (Zoon Politikon) secara harafiah berarti binatang yang hidup dalam sebuah polis atau ‘polis animal’. Menurutnya, dari awal, manusia memiliki dorongan 94 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 politis yang menggerakkan mereka ke arah kehidupan bersama.10 Dengan kata lain, secara teleologis, manusia di dalam dirinya memang mengandung suatu tujuan alamiah untuk senantias hidup bersama dalam sebuah komunitas politik. Lebih lanjut, Aristoteles menandaskan bahwa partisipasi politik merupakan suatu hal penting karena akan mengantar manusia pada kebahagiaan sebagai tujuan utama hidupnya. Seperti dikutip Koten, argumen ini didasarkan pada dua klaim utama.11 Pertama, Aristoteles menggambarkan manusia sebagai zoon politikon atau makhluk politis. Manusia secara alamiah cocok bagi kehidupan polis dan dapat mengembangkan potensi secara penuh hanya dengan hidup dalam sebuah komunitas politis dan moral dengan yang lain. Kedua, Aristoteles mendefinisikan kewarganegaraan sebagai syering dalam tugas deliberatif dan yudisial. Hanya dengan menjadi anggota aktif dari sebuah polis yang terorganisir secara baik, manusa dapat menghidupi kehidupan yang penuh dan merealisasikan secara penuh segala potensinya. Dengan kata lain, karena manusia secara alamiah politis, mereka dapat memenuhi potensi alamiahnya dan menjadi bahagia hanya dengan menjadi anggota sebuah komunitas politis dan terlibat aktif di dalamnya. Lewat berpartisipasi dalam politik, manusia memanfaatkan kemampuan distingtifnya, yaitu akal budi dan berbicara. Adapun solusi yang mungkin dalam rangka menepis keenganan kaum muda dalam berpolitik yaitu: Pertama, mendorong optimisme kaum muda dengan stimulus-stimulus edukatif, misalnya mengadakan seminar. Membangun optimisme kaum muda dalam rangka menepis keengganan berpolitik dapat dilakukan dengan mengadakan rangsangan edukatif. Dengan kata lain, pendidikan politik berpotensi menjadi 10 Yosef Keladu Koten, Partisipasi Politik Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aristoteles (Maumere: Ledalero, 2010), hlm. 156-157. 11 Richard Mulgan, “Aristotle and the Value of Politic Participation”, dalam Political Theory (Vol. 18, 1990) dikutip Yosef Keladu Koten, op. cit., hlm. 11. Kelas 1 Kelompok A — Kaum Muda dalam Kekacauan Politik: ... 95 pendidikan penyadaran bahwa kaum muda tidak boleh begitu saja menarik diri dari perpolitikan. Sebab seberapa pun hancur negara, kaum muda tetap akan menjadi generasi penerus yang tidak mungkin mengelak dari realitas politis. Rangsangan akademik yang diberikan kepada kaum muda diharapkan mampu membangun kesadaran baru, merekonstruksi pemahaman mereka tantang kotornya politik. Dalam kaitan dengan hal ini, perguruan tinggi menjadi suatu wadah dengan peran paling sentral mengingat kebanyakan kaum muda juga berafiliasi dalam kampuskampus. Maka, strategi paling efektif untuk menumbuhkan minat kaum muda adalah dengan mendorong terciptanya situasi ilmiah, di mana kampus benar-benar menjadi miniatur masyarakat yang di dalam dan dari dalamnya mahasiswa dapat berpolitik. Menulis di media massa adalah contoh konkret yang dapat dibuat. Selain itu, pendidikan politik di kampus juga diharapkan menciptakan figur kaum muda intelektual yang tidak hanya tahu berkoar-koar dan melakukan anarkisme demonstrasi di jalanan tetapi lebih dari itu menekankan soal kedalaman pemahaman dan daya kritis atas situasi politik. Kedua, menepis keengganan kaum muda juga dapat dilakukan dengan memfasilitasi partisipasi politik kaum muda secara lebih terstruktur. Dalam kaitan dengan hal ini, adalah penting membangun suatu kekuatan organisatoris kaum muda yang menjadi wadah perjuangan kolektif mereka dalam perpolitikan. Roh Sumpah Pemuda 1928 silam mestinya menjiwai pelbagai organisasi kaum muda sehingga idealisme bersama dapat tertampung lalu menjadi suatu kekuatan kolektif yang besar dan berpengaruh bagi kiprah politik negara Indonesia. Partai politik merupakan salah satu institusi politik yang berpotensi mewadahi partisipasi politik kaum muda. Ketiga, regenerasi atau kaderisasi politik penting untuk dilakukan mengingat generasi muda bangsa terbukti potensial dalam menggerakkan 96 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 roda perpolitikan. Kaderisasi politik merupakan sebuah keharusan ketika peran kaum tua tidak lagi dapat diandalkan, terutama karena kebanyakan skandal politik dilakukan kaum tua. Hal ini memang cukup sulit, mengingat nantinya akan terjadi perang ide konservatisme kaum tua yang cenderung mempertahankan status quonya dan ide progresif revolusioner kaum muda yang ingin berubah. Otoritas kaum tua sejauh ini sangat menentukan. Kaderisasi kaum muda, terutama yang terjadi dalam ruang lingkup partai-partai politik, lebih berciri pragmatis bahkan feodalistik dengan adanya dinasti politik dalam parpol. V. PENUTUP Usaha kaum muda dalam memanifestasikan hendaknya menjadi sebuah kemestian militansi yang perlu digalakkan sekarang. Kaum muda sebagai pelecut api intelektual tak bisa hanya terpekur pasif berhadapan dengan konstelasi politik yang tak kunjung menempatkan kerangka demokratisasi senagai keutamaan. Kaum muda punya tanggung jawab untuk mengganyang pesimisme publik atas distorsi politik yang telah mewujud menjadi sebuah prevalensi kolektif. Kelas 1 Kelompok A — Kaum Muda dalam Kekacauan Politik: ... 97 DAFTAR PUSTAKA Dahana, Radhar Panca. “Demokrasi Kusir Delman”. Kompas, 23 Januari 2014. Koten, Yosef Keladu. Partisipasi Politik Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aristoteles. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010. Kurniadi, Ir. H. Eddy. Peranan Pemuda dalam Pembangunan Politik di Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa,1987. Mulgan, Richard. “Aristotle and the Value of Politic Participation”, (Political Theory, Vol. 18, 1990) dalam Yosef Keladu Koten. Partisipasi Politik Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aristoteles. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010. Regus, Max. Tobat Politik Mengetuk Pintu Hati Kekuasaan. Jakarta Selatan: Pahresia Institute, 2011. Solikha, Alia Faridatus, “Stop Kriminalisai KPK”. Jurnal Youth Proactive, Vol. 2. Subekti, Apriliyati Eka. “Meritokranian: Generasi Muda Pelopor Demokrasi Berintegritas”.s Jurnal Youth Proactive, Vol 2. 98 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 MENILIK URGENSI MAHASISWA DALAM RANAH POLITIK 1 (Pembentukan Diri Mahasiswa: Dari Desakralisasi menuju Sakralisasi Politik) Rio Nanto2 I. PRAWACANA D alam lajur histori hingga era masa kini, kontribusi mahasiswa masih diharapkan dalam mengusung agenda perubahan sosial. Posisi, peran, dan pelbagai keunggulannya menjadikan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Mahasiswa memiliki modal kecakapan intelektual sebagai landasan kritis untuk melakukan terobosan. Pada tahun 1908, mahassiwa menjadi pelopor kebangkitan nasional. Mahasiswa angkatan 1928 menjadi aktor sumpah pemuda yang menyatukan tendensi-tendensi kedaerahan dalam unitas berbangsa, berbahasa, dan bertanah air. Angkatan 1945 mengantar Indonesia 1 Tulisan ini merupakan materi seminar untuk kelas I Ruangan II pada 17 Oktober 2016. 2 Penulis adalah mahasiswa semester 1. Rio Nanto — Menilik Urgensi Mahasiswa dalam Ranah Politik 99 ke pintu gerbang kemerdekaan. Pada tahun 1966, mahasiswa yang terorganisasi mampu menggulingkan rezim Soekarno. Otoritarianisme negara berupa pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup mendapat perlawanan dari mahasiswa. Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang atau menyeleweng dari ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya pada tahun 1960, Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan DPR hasil pemilu, padahal dalam penjelasan UUD 1945, secara eksplisit ditentukan bahwa Presiden tak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.3 Hal yang sama terulang dalam Orde baru dengan tumbangnya rezim Soeharto yang mampu menghantar Indonesia pada babak politik reformasi. Namun, usaha ini menuntut darah mahasiswa sebagai kuitansi pengesahan menuju babak politik yang baru tersebut. Hal ini bisa diamati dalam pelbagai kasus4 seperti; Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Peristiwa Semanggi I, 13-14 November 1998 dan Semanggi II, 23-24 September 1999 juga beberapa kasus lain yang menuntut nyawa mahasiswa. Bagi mereka, pembangkangan terhadap seruan pemerintah yang kehilangan legitimasi merupakan sebuah identitas baru yang disemat5. Pada akhirnya revolusi demokrasi yang dipelopori oleh mahasiswa itu menuntaskan sejarah baru dalam politik Indonesia di mana Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 di hadapan bangsa Indonesia. Revolusi demokrasi itu melegitimasi tiket check in menuju babak politik baru bernama era reformasi. Masa ini menjamin perubahan basis material bagi kebebasan 3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), p. 130 4 Nama-nama korban peristiwa tersebut antara lain Heri Hartanto, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, dan Hafidhin A. Royan (Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998); Sigit Prasetyo, B. Realino Norman Irmawan, dan Teddy Mamadi ( Peristiwa Semanggi I, 13-14 November 1998); Yap Yun Hap, dan Dani Yulian (Peristiwa Semanggi II, 23-24 September 1999) 5 Ibid,. 100 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 dan melanggengkan kesetaraan politik. Pengalaman sejarah itu membuktikan bahwa peran mahasiswa sangat urgern dalam memperjuangan kepentingan politik. Melalui tulisan sederhana ini, penulis menganalisis peran mahasiswa dalam menyibak tirai desakralisasi politik yang telah kehilangan spirit reformasi. Selain itu berhadapan dengan mental mahasiwa reformasi yang mengalami paradoks kepentingan, akan ditawarkan pembentukan diri mahasiswa dalam membentuk kedirian mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa. II. DESAKRALISASI POLITIK Esensi sakralitas politik mengalami dekadensi masif dalam format politik Indonesia pada era kekinian. Politik tidak lagi menjadi instrumen suci untuk mengabdi pada kesejahteraan umum. Politik diprivatisasi untuk kepentingan parsial, pragmatis dan opurtunis dari elite kekuasaan. Politik menjadi rahim yang melahirkan ketidakadilan multidimensi kehidupan. Rakyat menjadi korban kebijakan politik. Sampai di sini kita mengafirmasi bahwa politik telah didekonstruksi dan direduksi untuk kepentingan elite yang memilki posisi strategis dan bersyahwat kekuasaan. Para politisi tampil di panggung politik dengan mempertontonkan perilaku deviatif dan kontroversial. Hospitalitas ditunjukkan menjelang perhelatan pemilu. Para politisi ‘merayu’ rakyat dengan janji-janji politik, tetapi ketika menduduki jabatan strategis, rakyat dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Hal ini jamak terjadi dalam realitas politik dan membuat rakyat mengidap “trauma politik”. Alasannya, politik telah melupakan spirit dasar sebagai empati sosial yang mengabdi pada kesejahteraan umum. Dalam artikelnya “Merenungkan Keindonesiaan” Suwidi Tono menuliskan kegelisahan politik Indonesia bahwa lanskap politik nasional Rio Nanto — Menilik Urgensi Mahasiswa dalam Ranah Politik 101 – lokal menampilkan pertanda buruk: mahal, permisif, gaduh, karbitan, legitimasi rendah, tidak menumbuhkan optimisme dan mulai timbul gejala feodal.6 Meminjam istilah Featherstone, dunia perpolitikan kita menjadi dunia seolah-olah (virtual reality). Dibuat negara demokrasi tetapi nepotisme bertumbuh subur. Fokus pada divestasi, namun kebanyakan memperkaya kantong pribadi. Target pemberantasan korupsi namun selalu ada jalan untuk berkonspirasi dengan koruptor.7 Maka benarlah dalam hal ini peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely telah menjadi panorama kekuasaan dalam lanskap politik Indonesia. Paham rule of law dalam konteks politik Indonesia menjadi rule of man karena kepentingan segelintir orang menjadi representasi kepentingan publik.8 Secara intensif berbagai akrobat politik dipertontonkan tetapi secara substansi menyangkal dan mengingkari realitas. Skenario semacam ini terus digelar dan dipertontonkan dalam panggung politik negeri ini.9 Revolusi mental yang selalu menjadi jargon Jokowi menuai kehampaan dan minus realisasi praksis. Bahkan rezim Jokowi telah mencetuskan revolusi negatif yang menuai erosi harapan. Yang paling krusial proses pendarahan harapan adalah korupsi10 yang kian kompleks dan mengerikan. 6 Kompas, Rabu 30 Desember 2015 7 Isidorus Lilijawa, Perempuan, Media dan Politik (Maumere: Ledalero, 2010), p. 217 8 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional – Praktik Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), p. xiii 9 Kompas, 14 Juni 2011 10 Data ICW tahun 2015 Tentang penanganan kasus korupsi ini berdasarkan wilayah di Indonesia yang dibeberkan oleh Koordinator Divisi Kampanye Publik ICW Tama S. Langkun. ICW mengurutkan 10 besar Provinsi terkorup, mulai dari Jawa Timur dengan 52 kasus dan kerugian negara Rp. 332, 3 miliar, disusul secara berturut Sumatera Utara 43 kasus dan kerugian negara Rp 206,9 miliar, Jawa Barat 32 kasus dan kerugian negara Rp. 72,1 miliar, NTT 30 kasus dan kerugian negara 26, 9 miliar, Jawa Tengah 26 kasus dan kerugian negara Rp. 98 miliar, Riau 22 kasus dan kerugian negara Rp. 323, 3 miliar, Lampung 22 kasus dan kerugian negara Rp. 14,9 miliar, Sulsel 21 kasus dan kerugian negara Rp. 942 miliar, Sumatera Selatan 20 kasus dan kerugian negara Rp. 41,2 miliar, Sumatera Barat 19 kasus dan kerugian negara 45, 2 miliar. 102 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Pemberantasan korupsi dalam nawacita hanyalah utopia semu. Dalam situasi kusut ini, berbagai agenda masuk dan memengaruhi kebijakan publik. Ketimpangan ekonomi muncul sebagai konsekuensi asimetris aspirasi politik. Satu persen orang terkaya Indonesia menguasai 50,3 persen keuangan nasional. Sepuluh persen penduduk terkaya menguasai 77 persen aset nasional, terutama dari sektor keuangan dan properti.11 Kapitalisasi politik dalam kasus papa minta saham yang didalangi oleh Novanto menambah kehancuran esensi sakralitas politik. Konsep kedirian sempit menjadikan kepentingan diri dan kelompok sebagai pusat kehidupan. Demi pencapaian kepentingan diri, segala upaya dilakukan mulai dengan cara halus hingga vulgar serta melawan kewarasan publik. Kekuatan-kekutatan politik mengalahkan pernyataan nilai.12 Kecenderungan politik ini yang melupakan aspek utama (publik), dengan segala kerumitan problem sosial ekonomi paling konkret, menyiratkan perusakan demokrasi secara masif. Mencuat suatu infeksi politik13 - Menurut Max Regus. Istilah Ivan Pavlov, pakar behaviorisme peraih nobel asal Rusia: salivasi (salivate), selera menggiurkan, yang meneguhkan semangat perubahan. Yang dilakukan dalam politik Indonesia malah merusak refleks-refleks yang dikondisikan (conditioned reflexes) masyarakat untuk tetap menjadikannya impian bagi Indonesia baru.14 Kondisi ini membuat rakyat mengidap ‘trauma politik’. Rakyat menghukum politik dengan apatisme dan anarkisme. Rakyat menaruh skeptisisme pada politik. Politik menjadi identik dengan intrik-intrik busuk, kotor dan menjijikkan. 11 Kompas, 9 Desember 2015 12 Kompas, 14 Desember 2015 13 Max Regus, Tobat Politik, Mengetuk Pintu Hati Kekuasaan, Membongkar Krisis Demokrasi Tripolar (Jakarta: Parrhesia Institute, 2011), p. 38 14 Teuku Kemal Fasya, “Anomali Demokrasi Jokowi,” dlm.: Opini Kompas, 2 Mei 2015. Rio Nanto — Menilik Urgensi Mahasiswa dalam Ranah Politik 103 III.MAHASIWA DAN POLITIK: REJUVINASI SAKRALITAS POLITIK Diskurusus politik menjadi suatu tema yang menarik karena menyangkut kebijakan umum yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada hakikatnya politik memiliki 3 dimensi yakni policy, politics dan polity.15Policy dalam arti luas berarti tindakan politik di segala bidang dan mencakup arah, sasaran, isi dan program politik. Pelakunya adalah politisi, organisasi dan pelaku masyarakat sipil seperti buruh, umat beragama dan LSM. Politics merujuk pada tindakan politik dalam arti sempit. Pelakunya adalah politisi, partai dan aparat negara. Sedangkan polity menunjuk pada subsistem politik yang berkaitan dengan kerangka tata institusional beserta struktur aturan main. Inilah esensi sakralitas politik yang mengabdi pada kebaikan umum. Namun pada tataran praksis esensi politik di Indonesia menjadi sumber legitimasi monopoli kekuasaan. Politik menjadi kuda tunggangan dalam menyuburkan patologi birokrasi, korupsi dan monopoli kebijakan destruktif. Secara kasat mata politik telah membumikan tesis Niccolo Machiavelli (1469-1527) bahwa “politik demi politik serta prinsip tujuan menghalalkan cara”.16 Para politisi tampil sebagai Mafioso yang merasionalkan kepentingan pragmatis-individual di atas kepentingan rakyat. Fenomena desakrilitas politik inilah yang mendominasi lanskap politik reformasi. Berhadapan dengan persoalan ini dibutuhkan sinergisitas setiap komponen bangsa untuk mengusung kembali sakralitas politik. Bahwasanya politik pada galibnya menjadi instrumen pencapaian kesejahteraan umum. 15 Mathias Daven, Politik Pembangunan: Telaah Etis (ms) (STFK Ledalero: Maumere, 2014), p. 16. 16 Frans Ceunfin, Sejarah Pemikiran Modern I (ms) (STFK Ledalero: Maumere, 2003), pp.32-33. 104 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Salah satu komponen penting dalam menggagas perubahan itu adalah mahasiswa. Peran mahasiswa sangat besar dalam lajur histori sejak kebangkitan Indonesia 1908 hingga sekarang ini. Mahasiswa adalah kaum intelektual yang memiliki wawasan luas dan kecakapan akademis mumpuni. Melalui pelbagai pengetahuan di perguruan tinggi dia menjadi guardian of value dan agent of change dalam kehidupan berbangsa. Berhadapan dengan fenomena politik Indonesia yang carut marut, mahasiswa dapat mengusung perubahan dengan memberikan solusi yang tepat. Mahasiswa memang identik dengan pemuda. Namun, tidak semua pemuda berkesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Oleh karena itu, mahasiswa sendiri menanggung beban moral yang lebih dalam memajukan bangsa. Jumlah pemuda yang menyandang status mahasiswa sekitar 23% dari usia 18-23 tahun. Jumlah ini cukup jika seluruh mahasiswa melaksanakan perannya dengan professional di bidangnya masing-masing.17 Adapun usaha kritis mahasiswa dapat dilaksanakan melalui seminar, diskusi dan penelitian. Selain kegiatan ilmiah, gerakan mahasiswa juga dapat dilaksanakan dalam bentuk petisi, pernyataan dan protes. Sejarah mencatat bahwa usaha ini mampu menciptakan perubahan kebijakan politik. Mahasiswa dapat melakukan gerakan untuk mengungkapkan aspirasi dari rakyat. Gerakan mahasiswa ini merupakan bagian dari partisipasi politik yang bertujuan untuk mempengaruhi atau mengubah kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dengan kata lain, gerakan massal mahasiswa adalah suatu aktivitas yang berintensi mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Menurut Gabriel Almond unjuk rasa atau gerakan mahasiswa merupakan bagian dari partisipasasi politik non-konvensional.18 Gerakan mahasiswa yang merupakan bagian dari 17 Novi Maulina, “Mahasiswa dan Permasalahan Bangsa”, dalam Belanja.Com, http:// www.blanja.com/kp/pesta-diskon, diakses pada 9 November 2016. 18 Gabriel Almond membagi partisipasi politik ke dalam dua bentuk, yaitu: (1) bentuk Rio Nanto — Menilik Urgensi Mahasiswa dalam Ranah Politik 105 gerakan sosial yang didefiniskan Nan Lin sebagai upaya kolektif untuk memajukan sebuah masyarakat.19 Bahkan Erik Hoffler menilai gerakan sosial bertujuan mengadakan perubahan. Menurut Suwondo, secara garis besar ada dua pendekatan untuk memahami gerakan mahasiswa, yaitu: (1) pendekatan kultural; (2) pendekatan struktural. Pendekatan kultural melihat bahwa munculnya gerakan mahasiswa berkaitan dengan perubahan sosial akibat modernisasi di mana dalam perubahan tersebut terjadi transfer nilai-nilai politik, pengetahuan dan sikap politik akibat adanya sosialisasi politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan pendekatan struktural melihat gerakan mahasiswa sebagai reaksi terhadap kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Adanya kondisi tersebut menyebabkan mahasiswa melakukan gerakan menuntut perubahan agar kesenjangan tersebut berubah menjadi adil dan sejahtera. Gerakan mahasiswa kerap disebut sebagai gerakan moral (moral movement). Sebagai gerakan moral, apa yang dilakukan oleh mahasiswa adalah upaya menyuarakan kebenaran universal, menolak segala bentuk pelanggaran HAM, penindasan, kesewenang-wenangan, kezaliman dan otoritarianisme kekuasaan. Gerakan moral adalah pernyataan politik yang bersisi kekuatan moral (moral force). Selain gerakan moral, gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa juga ada yang bersifat politis, sehingga disebut sebagai gerakan politik. Gerakan mahasiswa disebut sebagai gerakan politik karena tujuan konvensional; (2) bentuk non-konvensional. Partisipasi politik konvensional antara lain partisipasi politik dalam bentuk ikut dalam organisasi partai politik, menghadiri kampanye, memilih dalam pemilu, kontak pribadi secara langsung dan lobi politik. Sedangkan partisipasi politik nonkonvensional adalah partisipasi dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, gerakan massa, kudeta, revolusi dan pembunuhan politik. Lihat Gabriel Almond, “Sosialisasi, Kebudayaan, dan Partisipasi Politik”, dlm.: Mochtar Ma’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990). 19 Nan Lin, “Social Movement” dlm.: Encyclopedia of Sociology (New York: MacMillan Publishing Company, 1992), p. 1880. 106 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 dari gerakannya berkaitan dengan kepentingan politik dan ideologi. 20 Peran mahasiswa sebagai penggerak gerakan moral dan gerakan massa untuk mendorong reformasi politik adalah bagian dari tanggung jawab nyasebagai kaum intelektual. Keberhasilan dan efektifitas gerakan mahasiswa menurut Orum sangat tergantung dari tiga faktor, yaitu: (1) organisasi, (2) doktrin atau ideologi gerakan, dan (3) aksi-aksi demonstrasi terhadap penguasa.21 Doktrin atau ideologi dikatakan baik apabila memenuhi kriteria; (1) dapat meningkatkan antusiasisme dan komitmen mendukung kegiatan politik; (2) dapat menciptakan kelompok yang lebih terorganisasi; (3) dapat mengubah atau menguasai organisasi-organisasi yang ada.22 Sementara organisasi mahasiswa dinilai sangat efektif dibanding organisasi lainnya dalam melakukan gerakan karena memiliki empat ciri (1) cenderung tertutup, (2) berbentuk faksifaksi, (3) sentralisasi kekuasaan, dan (4) aksi-aksi gerakan dan strategi perjuangan yang harus dilakukan. Akan tetapi faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan gerakan mahasiswa adalah aspek harapan dan ketidakpuasan individu mahasiswa terhadap kelompok yang ditentangnya, yang dibangun oleh para politisi partai politik, saat konsolidasi politik berlangsung. IV. M EMBANGUN MAHASIWA BARU: SUATU KENISCAYAAN Mahasiswa memiliki peran strategis sebagai agen perubahan bangsa. Namun, pada era masa kini banyak mahasiswa yang apatis, individualis dan 20 Iwan Gardono Sujatmiko, “Dampak Reformasi,” dlm.: Selo Soemardjan, Kisah Perjuangan Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), pp. 261-266. 21 Orum, Introduction to Political Sociology; The Anatomy of the Body Politics (New Jersey: Printice Hall, Inc, 1983), pp. 314-317. 22 Simamora (ed), Pembangunan Politik dalam Perspektif (Jakarta: Bina Aksara,1985), pp. 229-231. Rio Nanto — Menilik Urgensi Mahasiswa dalam Ranah Politik 107 hedonis. Mereka memang punya kadar nilai akademik dengan kuantitas IPK yang tinggi, tapi miskin daya kritis. Selain itu, mahasiswa cenderung terlibat dalam aksi kekerasan yang berujung pada tawuran antara kampus, maraknya perilaku seks bebas yang berdampak pada kehamilan di luar nikah, aborsi, dan mengidap HIV/AIDS. Menurut data yang dihimpun oleh BKKN terdapat 2, 3 juta kasus aborsi setiap tahun. Dari jumlah itu 30% adalah remaja yang berumur 19-25 tahun.23 Hal yang tak kalah parahnya adalah mahasiswa cenderung mengkultuskan budaya kekerasan dalam berdemonstrasi. Mereka mengidentikan demonstrasi dengan membakar ban, memukul petugas dan tindakan anarkis lain bila negosiasi tidak memenuhi keinginan mereka. Situasi ini berbeda dengan mahasiswa di era reformasi yang berjuang membela kebenaran, menjunjung tinggi persatuan dan memperjuangkan kebebasan walaupun nyawa menjadi taruhannya.24 Oleh karena itu, menurut M. Hatta tugas perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis yang memiliki sense of crisis dan selalu mengembangkan dirinya. Insan akademis yang memiliki sense of crisis akan sangat peka dan peduli terhadap kondisi bangsanya sehingga mereka kerap terdorong untuk menemukan solusi-solusi terhadap masalah tersebut. Insan akademis selalu mengembangkan dirinya dengan mengembangkan hard skill dan soft skill agar tercipta penerus bangsa yang berkualitas dan mampu membawa kemajuan untuk bangsanya. Sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti untuk menjadi seorang mahasiswa yang berkualitas, yakni: Pertama, pendidikan agama. Menurut Radcliffle Brown, agama adalah salah satu bentuk ekspresi ketergantungan pada kekuatan di 23 Http. Kompas com. 2,3-juta-kasus-aborsi-di-kalangan-remaja. Diakses 24 September 2016 24 Kasus Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 ada 4 mahasiswa meninggal; dalam Tragedi Mei 1998, ratusan orang bahkan ribuan orang meninggal terbakar; dalam Tragedi Semanggi I 13 November 1998, puluhan orang meninggal, di antaranya enam mahasiswa; dalam Tragedi Semanggi II 24 seorang mahasiswa meninggal dunia. 108 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 luar diri sendiri yakni kekuatan yang dapat dikatakan sebagai kekuatan spiritual atau kekuatan moral.25 Melalui pendidikan agama, moralitas mahasiswa bisa terbentuk sehingga mampu membedakan hal yang baik dan buruk. Menurut Dorma Kesuma perlu ada distingsi antara kesadaran moral dan pengetahuan nilai moral.26Kesadaran moral mempersyaratkan kemampuan menangkap langsung nilai moral dari sebuah objek. Adapun pengetahuan nilai moral adalah kemampuan yang terbentuk setelah orang belajar teori-teori nilai (bukan peristiwa konkret) dalam rangka memahami teori-teori tersebut termasuk memahami karakter. Melalui pendidikan agama diharapkan terbentuk kesadaran moral yang termanifestasi dalam perbuatan moral. Kedua, pendidikan Pancasila. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia sejak beratus-ratus tahun sekaligus merupakan rumusan filsafat politiknya. Sebagai pandangan hidup yang berakar dalam kebudayaan Indonesia, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu kontinuitas nilainilai dan cita-cita. Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai yang melandasi kehidupan seperti toleransi, pluralisme, ketuhanan, demokrasi dan keadilan. Dalam praksisnya begitu banyak kasus yang melanggar nilainilai Pancasila seperti korupsi, konflik agama, ras dan kebudayaan. Hal ini karena kekayaan nilai Pancasila belum diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain karena kurang sosialisasi juga karena pembangkangan terhadap Pancasila. Pendidikan Pancasila mengandaikan ada dua hal lagi, yakni: 1). Pendidikan Multikulturalisme. Multikulturalisme tidak serta merta dimengerti sebagai ketersandingan pluralitas pluralitas kultur, ragam etnis, perbedaan tradisi religius beserta potensi konfliktualnya. Multikulturalisme sebaiknya dimengerti dalam artian bahwa setiap kultur-kultur memiliki nilai yang tidak dapat 25 Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Ledalero, 2014), p.235. 26 Dharma Kesuma, dkk, Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktik di Sekolah (Bandung: Rosda,2011), p. 72. Rio Nanto — Menilik Urgensi Mahasiswa dalam Ranah Politik 109 dinegosiasi begitu saja. Alasannya setiap nilai mengandung unsur internal yang berkenaan dengan martabat manusia.27 Karena itu mahasiswa juga perlu dibekali dengan pendidikan multikulturalisme. Pendidikan ini harus mengembangkan “semua kapasitas mahasiswa untuk melihat diri mereka sebagai members of a heterogenous nation…..serta sanggup memahami dimensi historis dan karakter dari kelompok-kelompok yang tidak dikenal.”28 Dewasa ini pelbagai persoalan bangsa yang berujung pada kekerasan fisik menjadi semacam ideologi baru. Ada sikap diskriminasi rasial yang mendiskreditkan kelompok lain. Persoalan ini begitu sensitif dalam konteks keberagaman di Indonesia. Karena itu, mahasiswa perlu dibekali pemahaman tentang “realitas diferensiasi” dalam rasa, budaya, agama dan suku. Hal tersebut mengandaikan ruang publik mahasiswa ditata dengan nuansa merayakan perbedaan agar semua orang menghargai “keberlainan” orang lain sebagai sesuatu realitas faktual. 2). Pembudayaan Kejujuran. Pada tataran sosial persoalan korupsi akhir-akhir ini menjadi sebuah trend dalam belantika perpolitikan Indonesia.Pada tanggal 14 September 2016 lalu, KPK menangkap Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Irman Gusman, di rumah dinas kompleks pejabat tinggi negara Jalan Denpasar Raya Blok C3 No. 8 Jakarta Selatan. Dia diduga menerima suap dari dua orang pengusaha sebesar 100 juta29. Hal ini bukanlah suatu peristiwa baru dalam birokrasi Indonesia. Banyak pemimpin memiliki idealisme tinggi sebelum menduduki suatu jabatan publik. Tapi tidak bisa bertahan lama ketika masuk dalam 27 Felix Baghi, Redeskripsi dan Ironi, Mengolah Cita Rasa Kemanusiaan (Maumere: Ledalero, 2014), p.154 28 Ibid. 29 Kompas, 16 September 2016. 110 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 birokrasi karena serangan penyakit koruptif yang kompleks. Tersisa tiga opsi yaitu birokrat itu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap pesakitan karena tidak menjadi bagian dari sistem atau keluar dari sistem birokasi. Reformasi birokrasi yang menjadi jargon utama pasca lengsernya Soeharto telah kehilangan gema. Demokrasi kita telah terinfeksi korupsi. Seturut penemuan Mark. E. Warren (2004:328-343) korupsi berdampak langsung pada prospek demokrasi dan menciptakan hilangnya kepercayaan pada Institusi Polri dan Pengadilan yang mengabaikan penegakan hukum dan mendelegitimasi proses demokrasi yang lebih luas. Karena itu, pembudayaan kejujuran penting untuk diterapkan dalam perguruan tinggi. Ada beberapa hal penting yang bisa dilakukan antara lain: membudayakan kejujuran dengan menindak tegas pelaku plagiat, keteladanan para dosen dan menghindari nepotisme antara dosen dan mahasiswa. Ketiga, Pendidikan kewarganegaraan. Pemahaman tentang kewarganegaraan akan menjadi lebih sempurna bila dilandaskan pada pendidikan yang baik. Perguruan tinggi sebagai rahim pembentukan mahasiswa perlu menyiapkan atmosfer pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang bisa membentuk pandangan hidup yang baik tentang politik, kewarganegaraan dan demokrasi.30 Will Kymlicka menggarisbawahi tugas dasar pendidikan bagi setiap generasi. “Tugas dasar pendidikan adalah menyiapkan setiap generasi baru untuk mengemban tanggung jawab mereka sebagai warga negara. Tanggung jawab seorang mahasiswa di sini tidak sebatas hanya pada pelaksanaan proses belajar mengajar secara baik, atau sebatas hanya pada ketekunan mengumpulkan sejumlah pengetahuan dalam hidupnya.”31 Demikian Ia 30 Felix Baghi, Kewarganegaraan Demokratis, dalam Sorotan Filsafat Politik (ed) (Maumere: Ledalero, 2009), p. xiii. 31 Will Kymlicha, Politics in the Vernacular. Nationalism, Multculturalism and Citizenship (New York: Oxford University Press, 2001), p. 293. Rio Nanto — Menilik Urgensi Mahasiswa dalam Ranah Politik 111 menegaskan pula bahwa “pendidikan kewarganegaraan bukan sekadar persoalan mempelajari fakta-fakta dasar tentang berbagai pranata serta prosedur kehidupan politik; ia mencakup pembelajaran serangkaian disposisi, kebajikan dan loyalitas secara erat bertalian dengan praktik kewarganegaraan demokratis.” Pascawacana Mahasiswa adalah generasi emas bangsa. Dalam diri mereka terdapat pemikiran, idealisme dan pelbagai kecakapan pengetahuan. Dalam sejarah Indonesia, eksistensi mahasiswa memiliki kontribusi dalam mengusung perubahan dan kesejahteraan umum. Mereka mendedikasikan diri sebagai pejuang kemanusiaan. Pelbagai prestasi pun telah diraih mahasiswa melalui gerakan massa dalam menentang kekuasaan yang menindas. Dalam konteks kekinian, ketika praktek desakralisasi politik terasa begitu gerah, mahasiswa dipanggil untuk berjuang bersama rakyat. Mahasiswa tampil untuk mengkritisi pelbagai kebijakan dan perilaku korup aparatur negara. Mahasiswa menjadi garda terdepan dalam proses sakralisasi politik dengan mengusung transformasi kebijakan publik yang berpijak pada kepentingan umum. Selain dengan analisis kritis melalui tulisan di media, diplomasi serta diskusi ilmiah, mahasiswa dapat melakukan gerakan masif untuk mempengaruhi kebijakan publik. Hal ini terbukti ampuh dalam menciptakan perubahan dalam kehidupan berbangsa. Idealisme mulia mampu terealisasi mengandaikan mahasiswa Indonesia cerdas dan bijaksana. Dalam artian, mahasiswa harus kritis dan menujukkan citra diri sebagai mahasiswa bermartabat. Sebelum mahasiswa menyuarakan kepentingan rakyat, mereka harus terbebas dari patologi sosial seperti penyakit HIV/AIDS, kehamilan dan perselingkuhan kepentingan parsial yang tersembunyi di balik gerakan 112 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 massa. Sebab ini menjadi skandal besar dalam diri mahasiswa reformasi yang mengakibatkan gerakan massa berakhir ricuh dan anarkis. Karena itu pembentukan diri mahasiswa menjadi suatu kemendesakan dalam mencetak generasi muda Indonesia yang berintegritas dan berwawasan kebangsaan. DAFTAR PUSTAKA Almond, Gabriel. “Sosialisasi, Kebudayaan, dan Partisipasi Politik”, dlm.: Ma’oed, Mochtar dan MacAndrews, Colin. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990. Baghi, Felix. Redeskripsi dan Ironi, Mengolah Cita Rasa Kemanusiaan. Maumere: Ledalero, 2014. Baghi, Felix. (ed.), Kewarganegaraan Demokratis, dalam Sorotan Filsafat Politik. Maumere: Ledalero, 2009. Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012. Ceunfin, Frans. Sejarah Pemikiran Modern I (ms). STFK Ledalero: Maumere, 2003. Data ICW tahun 2015. Daven, Mathias. Politik Pembangunan: Telaah Etis (ms). STFK Ledalero: Maumere, 2014. Fasya, Teuku Kemal. Anomali Demokrasi Jokowi, dalam Opini Kompas edisi 2 Mei 2015. Gaffar, Janedjri M. Demokrasi Konstitusional – Praktik Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2012. Kesuma, Dharma. dkk, Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Rosda, 2011. Rio Nanto — Menilik Urgensi Mahasiswa dalam Ranah Politik 113 Kymlicha, Will. Politics in the Vernacular. Nationalism, Multculturalism and Citizenship. New York: Oxford University Press, 2001. Lilijawa, Isidorus. Perempuan, Media dan Politik. Maumere: Ledalero, 2010 Lin, Nan. “Social Movement” dlm.: Encyclopedia of Sociology. New York: MacMillan Publishing Company, 1992. Novi Maulina, “Mahasiswa dan Permasalahan Bangsa”, dalam Belanja. Com, http://www.blanja.com/kp/pesta-diskon, diakses pada 9 November 2016 Orum, Introduction to Political Sociology; The Anatomy of the Body Politics. New Jersey: Printice Hall, Inc, 1983. Raho, Bernard. Sosiologi. Maumere: Ledalero, 2014. Regus, Max. Tobat Politik, Mengetuk Pintu Hati Kekuasaan, Membongkar Krisis Demokrasi Tripolar. Jakarta: Parrhesia Institute, 2011. Sujatmiko, Iwan Gardono. “Dampak Reformasi,” dlm.: Soemardjan, Selo. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Simamora (ed), Pembangunan Politik dalam Perspektif. Jakarta: Bina Aksara,1985. Http. Kompas com. 2,3-juta-kasus-aborsi-di-kalangan-remaja. Diakses 24 September 2016 Kompas, edisi Rabu 30 Desember 2015 Kompas, 16 September 2016. Kompas, edisi 14 Juni 2011 Kompas, 9 Desember 2015 Kompas, 14 Desember 2015 114 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 MENGGAGAS (KEMBALI) PERAN POLITIS KAUM MUDA DALAM MEMBANGUN POLITIK BERADAB1 Arsen Jemarut, dkk2 I. LATAR BELAKANG K aum muda adalah tonggak penting dalam perjalanan sejarah suatu bangsa. Mereka adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa. Pola pikir kaum muda dapat menolong terjadinya perubahan dalam tatanan kehidupan bernegara dari berbagai aspek. Salah satu peranan penting kaum muda adalah dalam bidang politik. Indonesia adalah salah satu negara yang sangat memperhatikan peran serta kaum muda dalam menentukan kemajuan peradabannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah bangsa Indonesia. Kaum muda memiliki peran sentral dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Jauh sebelum berdirinya bangsa ini kaum muda Indonesia telah berperan untuk mewujudkan persatuan bangsa yang beradab. Gerakan kaum 1 Materi ini pernah dibawakan dalam seminar kelas dalam rangka memeriahkan Sumpah Pemuda tahun 2016 di STFK Ledalero 2 Penulis adalah Mahasiswa Semester III. Arsen Jemarut, dkk — Menggagas (Kembali) Peran Politis Kaum ... 115 muda di Indonesia telah menunjukkan kemajuan pesat dalam membangun bangsa ini menjadi suatu bangsa yang beradab dengan melepaskan diri dari berbagai bentuk penjajahan. Gerakan kaum muda di Indonesia dimulai sejak peristiwa sumpah pemuda hingga era reformasi. Sejak awal kaum muda telah terlibat aktif dalam politik dan turut membangun bangsa ini hingga menjadi korban demi mencapai pembangunan yang maju di bumi nusantara. Gema kaum muda menjadi dasar pijakan bagi pembangunan bangsa yang beradab. Ketegasan dan konsistensi yang dimiliki kaum muda menjadikan mereka sebagai pahlawan yang berani berkorban demi suatu nilai yang luhur. Nilai luhur dan mulia dari kaum muda telah terbentuk dalam hati kaum muda yang sadar akan pentingnya persatuan dalam mewujudkan peradaban bangsa yang jaya dan makmur. Bidang politik adalah salah satu aspek yang patut menjadi perhatian bagi kaum muda. Generasi muda kelak akan menjadi generasi penerus yang akan memimpin bangsa ini. Keterlibatan kaum muda dalam bidang politik sedapat mungkin harus menunjukkan periodisasi yang signifikan bagi situasi politik di Indonesia saat ini. Perlu diingat bahwa kaum muda sangat berpengaruh dalam bidang politik di Indonesia. Sejak zaman penjajahan, mereka berjuang demi kemerdekaan dan berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan itu. Situasi nyata yang patut dicatat dalam sejarah adalah peristiwa berdarah dengan berakhirnya masa Orde Lama-Baru menuju masa reformasi. Kaum muda memegang kunci dalam perpolitikan saat itu. II. K AUM MUDA DAN POLITIK YANG BERADAB II.1 KAUM MUDA Terminologi kaum muda dapat diperoleh dari beberapa sudut pandang. Sudut pandang tertentu melihat kaum muda sebagai individu 116 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 yang sedang mengalami perkembangan emosional sehingga kaum muda merupakan sumber daya manusia pembangunan yang ideal di masa yang akan datang. Lembaga internasional menyebutnya sebagai young people dengan batas usia 10-20 tahun. Sedangkan International Youth Year yang diselenggarakan pada tahun 1985 memberi batasan usia antara 10-24 tahun. Batasan usia ini bukan menjadi satu patokan yang pasti dalam menentukan usia bagi kaum muda. Kaum muda saat ini bisa berusia lebih dari batasan yang telah ditetapkan. Hal yang dipandang sebagai patokan orang muda adalah jiwa dan semangat yang mendasari perjuangan setiap orang demi kepentingan dan pencerahan seturut semangat kaum muda. Selain pengertian di atas, kaum muda dapat dikategorikan ke dalam kelompok individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memilki pengendalian emosi yang stabil. Rancangan Undang-Undang kepemudaan, memberi defenisi tentang kaum muda sebagai mereka yang berusia 18 hingga 35 tahun. Kaum muda memiliki perkembangan baik dalam segi biologis maupun psikologis. Sehingga, mereka selalu memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain aspirasi kaum muda lebih dikenal sebagai semangat pembaharu. Oleh karena itu, kaum muda adalah mereka yang memiliki semangat pembaharu dan progresif. 2.2 POLITIK YANG BERADAB Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adab berarti kehalusan, kebaikan aklak dan kesopanan3. Maka politik yang beradab bisa diartikan sebagai sebuah bentuk politik yang dijalankan secara halus dan beraklak serta tidak menimbulkan efek yang negatif bagi masyarakat atau warga negara (polites). Selain itu, politik yang beradab adalah dapat pula dipandang sebagai sebuah bentuk pekembangan dan kemajuan 3 U. Chulsum dan W. Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Surabaya: Kashiko, 2014), hlm. 13. Arsen Jemarut, dkk — Menggagas (Kembali) Peran Politis Kaum ... 117 budaya dan pemikiran dalam masyarakat yang berhubungan dengan warga masyarakat. Setiap negara yang ada dibelahan dunia ini memiliki peradaban politiknya masing-masing, termasuk di negara kita ini. Di Indonesia, peradaban politiknya selalu bersumber dan atau bertolak dari Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Pancasila menjadi tolak ukur dalam pembentukan undang-undang yang beradab. Politik yang berdasar pada pancasila memiliki cita-cita yang adil dan beradab, serta menjujung tinggi keadilan sosoal bagi seluruh masyarakat(politikos). Kekuasaan sebagai anugerah dan tanggung jawab yang diembankan oleh yang Maha Esa harus dijalankan dengan penuh ketulusan. Secara universal politik yang beradab harus dilandaskan pada etika politik. Etika politik dapat diartikan sebagai etika tindakan dalam bidang politik (yaitu motivasi, cara dan tujuan membentuk dan mengggunakan kekuasaan politis, membina konsensus dan memecahkan pententangan atau konflik) baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun kelompok, instansi dan lembaga. Dalam arti yang lain etika politis dapat juga diartikan sebagai etika yang diwarnai oleh pandangan politis tertentu (mis. etika kapitalis atau etika komonis)4. Politik yang beretika adalah politik yang tidak meluluh pada Etatisme, atau bahkan sampai pada absolutism kekuasaan. Sebuah perpolitikan yang demokratis harus memberikan ruang gerak yang bebas bagi setiap warga negara. Demokrasi sejati memiliki ciri-ciri yang khas antara lain hak asasi manusia di jamin, semua warga negara sama kedudukannya, pemerintah dikontrol oleh wakil rakyat yang dipilih dengan bebas, undang-undang yang diadakan sesuai dengan Undang-Undang Dasar, pemerintah membiarkan tindakantindakanya dinilai dan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada kelompok yang mendapat mayoritas dalam pemilihan umum5. 4 Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, jld. A-E, (Jakarta: Kencana Dwi Sarana Sajati, 1991), hlm. 308. 5 Ibid., hlm. 173. 118 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 III. S EJARAH DAN AKTUALISASI PERAN KAUM MUDA DALAM MEMBANGUN POLITIK BERADAB 3.1 KETERLIBATAN PEMUDA MEMBANGUN BANGSA DALAM SEJARAH Salah satu peristiwa sejarah Indonesia yang melibatkan kaum muda adalah peristiwa Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan. Oleh karena itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia,proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.6 Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu untuk selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh.Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan semangat penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan negara. Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengobarkan semangat juang pemuda, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku goncangkan dunia”. Lewat ungkapan ini, Sukarno membuktikan bahwa pemuda peran yang sangat besar untuk memajukan sebuah negara. 6 http://kir-31.blogspot.co.id/2010/10/sejarah-dan-latar-belakang-seputar.html, diakses tanggal 6 Oktober 2016. Arsen Jemarut, dkk — Menggagas (Kembali) Peran Politis Kaum ... 119 Peran pemuda dalam perjalanan bangsa ini sangat sentral. Pemuda selalu menjadi garda terdepan dalam setiap perubahan sejarah. Dalam catatan sejarah pembentuk negara Indonesia dimulai oleh kaum muda. Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah inisiatif kaum muda. Peran sentral kaum muda khususnya mahasiswa dirasakan ketika mereka berjuang habis-habisan untuk meruntukan resim penguasa Orde Baru yang sarat akan totaliter. Runtunya Orde Baru pada awalnya dikarenakan krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia terjadi kurun waktu 1997-1998 merupakan sinyal terjadinya perubahan sistem politik besar-besaran di tanah air dengan mahasiswa sebagai agennya. Meskipun pada awalnya terlihat sebagai krisis moneter, tapi krisis ini ternyata mempunyai efek serius dalam berbagai aspek yang luas di Indonesia. Saat itu, mahasiswa terus meneriakkan tuntutan mereka yang pertama, yaitu “Turunkan Harga”. Namun, semakin lama kondisi perekonomian malah semakin memburuk. Alhasil, tuntutan mereka pun berubah manjadi “Turunkan Suharto”. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998, Suharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 juga memulai babak baru dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu era Reformasi. Semua peristiwa di atas merupakan bukti bahwa kaum muda mempunyai peran penting dalam perkembangan negara Indonesia. 3.2 KETIMPANGAN (KEBIADABAN) PRAKTIK POLITIK INDONESIA Tuntutan gerakan reformasi untuk menghilangkan praktik ketimpangan selama orde baru ternyata tidak terpenuhi. Ketimpangan yang menggurita selama orde baru ternyata direduplikasi pula oleh orde reformasi. Salah satu persoalan akut yang bisa diangkat ialah korupsi dalam pemilu. Indonesia Corruption Watch (ICW) bidang korupsi dan 120 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 politik menemukan banyak indikasi kecurangan di dalam praktik pemilu di negara kita selama ini. Adapun beberapa praktik kecurangan tersebut antara lain : • • • • • 7 Politik uang, politik uang selalu saja menyertai segala kegiatan dalam Pilkada. Dengan memanfaatkan kondisi umum masyarakat yang cenderung masih di bawah rata-rata, para bakal calon dan tim seukses dari calon tersebut membagi-bagikan uang dengan syarat harus memilih calon tersebut. Intimidasi, dalam hal ini terlihat jelas dari anggota atau oknum pemerintahan yang melakukan intimidasi langsung terhadap warga dengan niat mempengaruhi warga dalam menentukan pilihan, dalam hal ini pilihan terhadap calon pemimpin. Pendahuluan start kampanye, tindakan ini sering terjadi dan sudah mendapat tanggapan yang serius dari berbagai pihak. Hal ini terlihat dari propaganda yang dilakukan oleh bakal calon di berbagai media massa, kunjungan kerja (bagi calon yang masih Incumbent) yang tentu saja melanggar aturan pemilu dan membuat beberapa paket kebijakan menjelang pemilu yang tentunya bernuansa politis. Kampanye negatif, hal ini banyak terjadi dalam Pilkada, ketika bakal calon yang satu memperlihatkan kekurangan bakal calon yang lain dengan maksud untuk menjatuhkan lawan. Ini menimbulkan nuasan persaingan politik yang tidak sehat.7 Kecurangan Daftar Pemilih Tetap (DPT), adanya manipulasi terhadap peserta pemilu. Hal ini masif terjadi karena ada beberapa oknum “orang dalam” yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan bakal calon tertentu. http://www.suara.com/news/2015/11/09/190238/ini-dia-macam-macamkecurangan-pilkada. html, diakses pada 9 Oktober 2016. Arsen Jemarut, dkk — Menggagas (Kembali) Peran Politis Kaum ... 121 2.3 Kaum Muda Membangun Politik Beradab “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Jika angkatan muda mati rasa, matilah sejarah sebuah bangsa — Pramodya Ananta Toer dalam Jejak Langkah. 8 Sastrawan Pramodya Ananta Toer memiliki pandangan yang unggul tentang kaum muda. Pernyataan gugatan dari Pramodya di atas tentu memiliki kaitan erat dengan konteks dan keberlangsungan bangsa Indonesia. Pramoedya yang pernah hidup dalam kerangkeng absolustisme kekuasaan Orde Baru pmendambakan jiwa dan semangat kaum muda untuk membangun bangsa Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka. Bagi Pram kaum muda adalah kekuatan sejarah sebuah bangsa serta seluk beluk perkembangan yang berlangsung di dalamnya. Pada tahun 1882 Ernest Renan telah mengungkapkan pendapatnya yang paling memukau tentang paham ‘bangsa’ itu.9 Renan berpendapat bahwa bangsa merupakan suatu nyawa, azas-akal, yang terjadi dari dua hal yaitu kenyataan bahwa rakyat pernah mengalami riwayat secara kolektif dan rakyat dalam konteks sekarang yang harus mempunyai kemauan dan komitmen untuk hidup sungguh-sungguh. Pernyataan Renan koheren dengan posisi kaum muda dalam alur sejarah sebuah bangsa yang berlangsung di dalamnya. Tentu saja ia tidak sedang mengabaikan keberadaan kaum muda dalam konteks adanya sebuah ‘bangsa’, melainkan tetap relevan eksistensi kaum muda sebuah bangsa. Garis pendapat Renan di atas sangat bermakna terutama dalam konteks peradaban politik bangsa Indonesia yang sudah dan sedang diperjuangkan oleh kaum muda bangsa Indonesia sendiri. Dalam 8 Tofik Pram, The wisdom of Pramodya Ananta Toer (Depok: Penerbit Edelweiss, 2014), halaman 190. 9 Iwan Siswo, Panca Azimat Revolusi I (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), halaman 5-6. 122 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 hal ini ada suatu gerakan ‘membangsa’ yang terus diperjuangkan oleh kaum muda bangsa Indonesia. Gerakan ini memuat suatu proses yang memupuk perasaan sebangsa terutama dalam diri kaum muda sendiri.10 Upaya memupuk perasaan kolektif sebagai sebuah bangsa menjadi tanggung jawab kaum muda dengan cara membangun politik yang beradab. Berhubungan dengan hal ini gerakan ‘membangsa’ menjadi suatu desakan terutama ketika berhadapan dengan suatu kenyataan penyimpangan politik yang terjadi di negeri ini. Realitas percaturan politik bangsa Indonesia seringkali mengalami distorsi dan penyelewengan dari hakikatnya. Politik sebagaimana esensi dan tujuannya tidak lagi dihayati secara jujur dan konsekuen untuk kemaslahatan bersama melainkan seringkali dilecehkan untuk pencapaian kepentingan kelompokkelompok tertentu. Aneka praktik politik distortif yang seringkali menggejala dan menyata di Indonesia antara lain pemakzulan suara saat pemillu atau pilkada, praktik KKN, penyuapan, penggelembungan, manipulasi kekuasaan, dan sederet daftar hitam kebiadaban politik lainnya menjadi fakta kekacauan dan kemandegan politik bangsa Indonesia. Berbagai penyimpangan itu menjadi suatu penyakit yang berpotensi mematikan keberadaan dan peradaban bangsa Indonesia. Fakta-fakta miris yang menggerogoti eksistensi bangsa Indonesia tersebut jika tidak segera diatasi dengan sungguh-sungguh bisa mengantar bangsa ini pada sebuah ambang kemunduran dan kehancuran total. Penyimpanganpenyimpangan politik yang terus bergeliat itu dapat membawa bangsa Indonesia ini menuju kematian. Asep Salahudin dalam sebuah opininya menyatakan bahwa kematian dalam konteks ini tidak harus dipahami secara harfiah sebagai proses terlepasnya nyawa dari tubuh. Ia dapat 10 Yonky Karman, “Pancasila Cita-Cita Indonesia” dlm.: Kompas, 1 Oktober 2016. Arsen Jemarut, dkk — Menggagas (Kembali) Peran Politis Kaum ... 123 bermakna metamorfosis sebagai lambang punahnya akal sehat, robohnya intelektualisme, defisit moralitas, dan terlucutnya tanggung jawab sosial.11 Pendapat Asep memiliki tingkat keakuratan yang tinggi apabila dihubungkan dengan peristiwa dan aktivitas politik yang terjadi di Indonesia. Dalam gagasannya Asep hendak menghimbau suatu adanya gerakan untuk mencegah terjadinya kematian bangsa Indonesia. Dalam arti keberadaan kaum muda mendapat tugas luhur untuk berupaya mencegah terjadinya bencana kematian bangsa Indonesia. Upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah peristiwa ini menimpa bangsa Indonesia yaitu dengan cara ‘menggali’ kembali nilai-nilai filosofis bangsa Indonesia sendiri. Bung Karno pernah menyatakan dalam gagasannya bahwa di dalam ‘menggali’ tersimpan sebuah upaya kesinambungan hari ini dengan masa lalu. Perjuangan kaum muda pada masa silam menjadi tonggak dan titik pijak bagi kaum muda bangsa Indonesia sekarang untuk terus ‘menggali’ nilai-nilai kebangsaan itu. Kaum muda diharapkan mesti mampu menempatkan diri pada porsi yang tepat dan benar dalam kegiatan politik bangsa Indonesia. Adanya keberanian yang teguh untuk menegakkan kebenaran, keadilan, tanggung jawab sosial-politis, dan perlawanan terhadap despostisme kekuasaan menjadi panggilan kaum muda bangsa Indonesia. Resistensi kaum muda bangsa Indonesia untuk melawan penyelewengan kekuasaan politik menjadi tanda nyata untuk mengarah kegiatan politik bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai filosofis dan tata etika politik yang seharusnya sebagaimana termaktub dalam dasar negara Pancasila. 3.4 REKOMENDASI DAN TINDAKAN KONKRET Sejarah perkembangan bangsa-bangsa menempatkan kaum muda sebagai pelopor perubahan. Kaum muda adalah garda masa depan 11 Asep Salahudin, “Mencegah Kematian Bangsa” dlm.: Kompas, 30 September 2016. 124 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 bangsa. Ortega Y. Gasset menyebut kaum muda sebagai agen perubahan.12 Keberadaan kaum muda berpotensi luar biasa dalam pembangunan bangsa. Dalam konteks politik, kaum muda memiliki pengaruh yang besar dalam pembangunan politik yang beradab. Untuk mewujudkan pembangunan politik yang beradab tersebut maka hal pertama yang harus dilakukan kaum muda adalah merekontruksi sistem-sistem politik. Ini menjadi fokus perjuangan kaum muda. Setiap sistem yang salah harus digugat dan dicari solusi praktis. Politik harus digiring pada porsinya dan harus sejalan dengan nilai-nilai pancasila. Kaum muda tidak boleh membiarkan bangsanya terpasung dibawah sistem politik yang tidak beradab. Generasi muda harus membangun suatu hawa politik yang beradab. Gerakan kaum muda dalam konteks pembangunan politik beradab dapat diwujudkan dalam beberapa tindakan konkret berikut; Pertama, Otonomitas diri kaum muda. Gerakan kaum muda harus lahir dari komitmen pribadi untuk menegakan kebenaran atas esensi politik. Kaum muda harus sudah tanam di dalam dirinya rasa patriotisme dan nasionalisme sebelum bergerak keluar dan melakukan suatu gerakan perubahan. Intensi atau motivasi kaum muda tidak boleh berlandaskan uang, jabatan, prestise atau sekadar hura-hura. Intensi kaum muda harus lahir dari kesadaran politik dan komitmen untuk menegakan bangsa yang beradab lewat sistem politik yang beradab pula. Dengan demikin motivasi internal yang positif sangat menentukan kualitas gerakan kaum muda-mahasiswa. Kedua, melakukan demonstrasi terstruktur. Hal ini penting demi perubahan kebijakan atau sistem politik yang dianggap tidak prorakyat. Melalui unjuk rasa (demonstrasi) kaum muda berjuang untuk 12 Heremias Dupa, “Belajar dari Sejarah Evaluasi Kritis atas Peran dan Kiprah Intelektual Kaum Muda,” dlm.: Jurnal Akdemika 6:1 (Ledalero: 2009/2010), hlm.83. Arsen Jemarut, dkk — Menggagas (Kembali) Peran Politis Kaum ... 125 menciptakan suatu sistem politik beraadab dan ideal. Demontrasi atau unjuk rasa tidak boleh terkesan huru-hara tetapi harus efektif dan berkualitas. Ketiga, berpartisipasi dalam kehidupan organisasi, khususnya organisasi politik. Lewat oragnisasi-organisasi kaum muda dilatih untuk kritis terhadap setiap kebijakan dan sistem politik yang dibangun para elite. Lewat organisasi kaum muda juga dilatih untuk berani mengajukan ide terkait sesuatu hal yang dianggap merugikan banyak orang. Melalui organisasi juga kaum muda mudah melakukan gerakan perubahan atas kebijakan atau sistem politik yang digagas oleh pemerintah yang dinilai menyimpang. Keempat, melakukan sosialisasi politik kepada masyarakat. Tujuannya adalah agar masyarakat sungguh memahami politik. Tujuan lain adalah agar masyarakat memiliki cara pandang yang positif terhadap politik. Dalam kegiatan tersebut, kaum muda juga harus setia mendengarkan keluhan masyarakat terkait kebijakan pemerintah yang cenderung tidak pro-rakyat. Dari kegiatan ini, kaum muda terdorong untuk berjuang agar sistem-sistem politik yang dibangun harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Kelima, Pendidikan Politik. Kaum muda harus memiliki wawasan dan pengetahuan yang banyak tentang politik. Hal ini penting agar kaum muda tidak mudah diadu-domba oleh para elite yang licik. Gerakan kaum muda-mahasiswa mengandaikan kaum muda memiliki wawasan politik yang banyak. Setiap kritikan, idea atau gagasan yang dibangun kaum muda, harus memiliki landasan teoritis dan berbasis data. Oleh karena itu, kaum muda harus banyak membaca buku-buku politik, tulisantulisan ilmiah dan berita-berita seputar politik. Lewat media televisi juga, kaum muda menimba banyak pengetahuan tentang perkembangan politik bangsa Indonesia. 126 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 IV. PENUTUP Kaum muda adalah wangsa masyarakat yang potensial, potensial dari berbagai aspek kepribadian. Kaum muda adalah golongan masyarakat yang menyimpan beragam potensi. Potensi berarti kemungkinan perubahan menuju cara ‘berada’ tertentu dari benda yang bereksistensi. Sebagai kaum yang potensial, kaum muda membutuhkan penanganan atau perhatian khusus agar dapat berkembang baik. Potensi itu, apabila disentuh dan diberdayakan, akan menjadi kekuatan dan jaminan perubahan diri atau kelompok kaum muda juga perubahan bagi masyarakat umum. Selain sebagai kaum potensial, dari uraian panjang bagian-bagian di atas, ada beberapa ciri khas atau karakter inheren yang terdapat pada kaum muda. Beberapa di antarnaya adalah energik, kreatif, kritis, inovatif, idealis, pembaharu dan masih banyak citra positif laiinnya. Berbekal beberapa karakter inheren itu, kaum muda mesti mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat. Kaum muda sebagai bagian fakta sosial kemasyarakatan atau negara harus turut memberi kontribusi signifikan bagi peningkatan taraf kualitas kehidupan bermasyarakat. Kaum muda mesti menyatakan atau mengkonkritkan kemampuannya dan berharap dapat menjadi solusi bagi persoalan kehidupan. Kaum muda harus terlibat aktif dalam urusan bermasyarak atau kehidupan polis (negara-kota). Orang atau kaum muda terlibat mengurus polis identik dengan aktif menunjukkan partisipasi politik. Harus diakui bahwa dalam perkembangan yang termutakhir, urusan politik itu cukup kompleks. Namun setidaknya, kaum muda menunjukkan perhatian atau partisipasi politiknya dengan turut terlibat mengatasi persoalan atau skandal kehidupan bernegara yang berkaitan dengan urusan atau pelayanan dasar. Kaum muda mesti bersinergi untuk menarik kembali praktik politik bangsa Indonesia ke dalam koridor yang sebenarnya. Kaum muda mesti Arsen Jemarut, dkk — Menggagas (Kembali) Peran Politis Kaum ... 127 mengusahakan agar praktik politik tidak boleh tercerabut dari fitrahnya yaitu Pancasila. Usaha itu dapat diformulasikan dalam berbagai rupa cara, sejauh kemampuan. DAFTAR PUSTAKA Kamus: Bagus, Lorens. Kamus Fisafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002. Chulsum, U., dan W. Novia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Kashiko. 2014 Buku: Badrum, U. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2016. H. E. Kurniadi, H. E. Peranan Pemuda Dalam Pembangunan Politik Di Indonesia. Bandung: Angkasa, 1987. Koten, Y.K. Partisipasi Politik, Sebuah Analisa Atas Etika Politik Aritoteles. Maumere: Ledalero. 2010. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2011. Pram, T. The wisdom of Pramodya Ananta Toer. Depok: Penerbit Edelweiss. 2014. Siswo, I. Panca Azimat Revolusi I. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2014. Ensiklopedi dan Jurnal Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, jld. A-E, Jakarta:PT Kencana Dwi Sarana Sajati,1991. Heremias Dupa, Belajar dari Sejarah Evaluasi Kritis atas Peran dan Kiprah Intelektual Kaum Muda. Jurnal Akdemika. 6:1, 2009/2010. 128 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Surat Kabar dan Internet http://kir-31.blogspot.co.id/2010/10/sejarah-dan-latar-belakang-seputar. html, diakses tanggal 6 Oktober 2016 http://www.suara.com/news/2015/11/09/190238/ini-dia-macammacam-kecurangan-pilkada. html, diakses pada 9 Oktober 2016. Karman, Y. “Pancasila Cita-Cita Indonesia”. Dlm: Kompas, 1 Oktober 2016. Salahudin, A. “Mencegah Kematian Bangsa”. Dlm: Kompas, 30 September 2016 Arsen Jemarut, dkk — Menggagas (Kembali) Peran Politis Kaum ... 129 KAUM MUDA DAN HARAPAN PERUBAHAN DI NTT Adrian Naur1 I. PENGANTAR N TT merupakan wilayah kepulauan di bagian Timur Indonesia yang memiliki khazanah tentang keberagaman. Keberagaman masyarakat NTT begitu unik serentak kompleks. Keunikan dan kompleksitas hidup masyarakat NTT begitu tampak mengalir di permukaan, sehingga memantik tidak sedikit kalangan mendiskursuskan masalah-masalah seputar kemanusian seperti politik, ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Salah satu yang rentan menjadi pokok perbincangan banyak kalangan pada ranah sosial ialah, kaum muda atau orangorang muda. Tidak dimungkiri bahwa kaum muda turut memberikan sumbangsih progresif terhadap perkembangan Provinsi NTT. Hampir sebagian wilayah NTT “dikerumuni” kaum muda. Sepak terjang kaum muda melejit semenjak wilayah kita ini memberi ruang dan otonomitas 1 Penulis adalah mahasiswa semester VII STFK Ledalero 130 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 kepada orang muda untuk berkembang secara demokrastis. Jika kita mau jujur, kiblat kaum muda tidak boleh dipandang sebelah mata. Demokrasi menginjinkan kepada siapa saja untuk dengan bebas berekspresi dan tanpa dibatas ruang determinasi, sejauh yang dilakukan itu bermanfaat bagi khalayak. Term “banal” yang kerapkali disandangkan kepada kaum muda seyogyanya ditanggalkan. Saya, melalui tulisan ini, berpretensi mengangkat peran kaum muda di tengah prahara masyakarat demokratis nan plural ini. Demontrasi dan turun ke jalan yang terjadi belakangan tidak cukup menggambarkan peran kaum muda di tengah wajah kemajemukan. Berorasi dan mendeklamasikan juga demikian. Lantas, apa yang menjadi harapan khayalak selama ini sudah dilakukan oleh kaum muda. Banyak yang sudah dibuat oleh kaum muda. Pertanyaannya, apakah kaum muda NTT itu sendiri sudah menyadari potensi itu dalam diri mereka? II. P OTRET NTT: ANTARA KEBERHASILAN DAN NESTAPA Yang dikenang dari sejarah NTT adalah perjuangan masyarakat NTT. Syukur karena hingga saat ini masyarakat NTT masih boleh mengalami sukacita keberhasilan dan menempatkan keberhasilan itu di atas pencapaian-pencapaian masyarakat. Masyarakat NTT memiliki sejarah perjuangan yang panjang. Sangat beralasan bila disebutkan keberhasilan itu. Namun, naif jika menyebutkan satu per satu. Deretan panjang keberhasilan dan pencapaian kesuksesan-kesuksesan itu tidak terukur jumlahnya, sebab NTT bukan baru mengalami restorasi. Saat ini NTT sudah memasuki usianya yang ke 58. Itu artinya, pencapaian dan keberhasilan sudah tidak ditakarkan dengan hitungan jumlah. Terakhir yang diberitakan bahwa masyarakat NTT dinobatkan sebagai masyarakat komunal yang menjunjung tinggi pluralitas dan Adrian Naur — Kaum Muda dan Harapan Perubahan di NTT 131 perdamaian di tengah diversitas. Gubernur NTT, yang mewakili masyarakat diberikan apresiasi terkait hal tersebut. Tanpa dibendung pemberitaan seperti ini, toh jauh-jauh hari kesadaran menjaga perdamaian telah dijalankan oleh masyarakat NTT. Sentimen agama dan budaya relatif terjadi di kalangan mereka yang tidak memahami dan memaknai kebhinekaan. Namun, deretan keberhasilan itu bukan tanpa rintangan. Isu agama dan budaya tetap menggema dan menjadi santapan primodial segelintir orang. Di tengah kemajuan dan perjuangan itu tetap terdapat golongan-golongan yang ingin memecahbelah kesatuan dan integrasi masyarakat NTT. Dengan kata lain, sewaktu-waktu merubah menjadi bom waktu. Isu sentimen agama masih sangat sensitif dewasa ini. Selain kedua isu ini, rentan juga dalam pembicaraan praksis ialah isu mengenai politik dan ekonomi. Secara konkrit dikatakan bahwa percaturan politik NTT sedang mengalami proses stagnanisasi. Proses itu dirasakan berjalan di tempat karena tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Masalah pertumbuhan ekonomi masyarakat dialami oleh masyakat NTT, sebab persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi ekonomi, dan praktik KKN masih kuat berakar dalam kehidupan. Merunut pada fakta NTT digolongkan ke dalam wilayah terkorup di Indonesia dan masuk ke dalam daftar dengan predikat wilayah rawan pangan dan kemiskinan. Implikasi dari situasi ini sangat tampak melalui indikasi ketidakseriusan aparat hukum dalam menangani kasus korupsi di NTT. Ada dua faktor yang mendasari kelahiran korupsi di NTT. Pertama, perencanaan anggaran tertutup. Secara empiris korupsi di NTT adalah penyopotan anggaran dari APBN dan APBD secara tertutup. Dari sekian banyak anggaran untuk proyek di NTT hanya 30% saja yang benar-benar dipakai untuk kepentingan proyek, sisanya untuk pribadi 132 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 atau kelompok kepentingan.2 Korupsi semakin menguat ketika DPRD ikut mendukung tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan eksekutif. Di NTT banyak anggota DPRD yang rajin mendatangi kepala dinas untuk mendapatan bagian proyek.3 Fakta ini kuat menunjukkan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah dua entitas yang rentan dengan budaya korupsi yang diejawantahkan dari program fiktif kepada tindakan manipulatif. Kedua, kinerja para penegak hukum yang tidak kredibel. Para koruptor di NTT kebal terhadap hukum. Di NTT ada indikasi diskirminasi peradilan. Seorang petani yang melapor kehilangan kerbau dan seorang ibu guru dilaporkan tidak menerima gaji diproses, sementara seorang koruptor bisa membeli keputusan pengadilan berpotensi bebas dari peradilan hukum. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum tajam ke bawah tumpul ke bawah. Kedua pokok persoalan di atas bukan baru terjadi di NTT. Kasus asosial serupa seperti human trafficking, menjamurnya HIV dan AIDS, kemiskinan, pembunuhan, perampokan, dan putus sekolah telah membuktikan kompleksitas NTT. Deretan kenestapaanini memberi signal bahwa masyakarat NTT sedang dibayangi aneka persoalan yang kian hari semakin menjulang. Pada tahun 2014, Global Slavery Index memperkirakan sekitar 38,5 juta orang di dunia menjadi koban perdagangan manusia. Dari 167 negara, Indonesia menempati posisi ke-9 sebagai negara dengan jumlah korban trafficking terbesar.4 Tim Bareskrim Mabes Polri sebagaimana dilansir Pos Kupang telah menempatkan NTT 2 Alfensius Alwino, “Korupsi Dan Robohnya Lembaga Penegak Hukum di NTT”, dalam 50 Tahun NTT, Seri Buku VOX, 53/01/2009, hlm. 93. 3 Ibid. 4 Selcilius Riwu Nuga, “Six Millions Dollars: Membahas Kasus Human Trafficking di Wilayah Kita”. Makalah yang disajikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero-Maumere, Sabtu 7 Maret 2015. Adrian Naur — Kaum Muda dan Harapan Perubahan di NTT 133 sebagai provinsi penyumbang terbesar perdagangan manusia. NTT merupakan salah satu dari enam provinsi di Indonesia yang menjadi sumber perdagangan orang terbanyak.5 Miris melihat kenyataan trafficking di NTT. Manusia menjual manusia terus menggeliat. Salah satu penyebab yang rentan juga dari persoalan ini ialah adanya kesenjangan antara yang kaya dan mereka yang miskin. Karena kemendesakan ekonomi masyarakat dengan mudah melakukan tindakan perdagangan manusia. Secara kuantitatif, Biro pusat statistik (BPS) NTT menyebutkan jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 sebanyak 1,2 juta orang dari jumlah penduduk pada tahun 2003, tetap sebanyak 1,2 juta orang dari 4,1 juta orang. Namun, data BPS NTT sampai dengan per Januari menunjukkan bahwa di NTT terdapat 952.508 RT, dengan presentase 75,45% adalah RT miskin (718. 640 RT miskin).6 Di Indonesia pada tahun 2013, angka kemiskinan menjulang hingga 28,07 juta jiwa.7 Itu artinya, kemiskinan di NTT semakin parah dari tahun ke tahun. Dan ironinya bahwa kemiskinan di NTT turut menambah lubang kemiskinan pada tingkat nasional dan kebanyak itu berlangsung lebih tinggi di desa jauh ketimbang di daerah perkotaan. Kenyataan ini menunjukkan di pihak lain bahwa akibat ketimpang secara sturuktural ekonomi, masyarakat NTT tidak mampu bangkit dari keterpurukan dan pada pihak tertentu para aktor yang sejatinya memainkan peran mendongkrak persoalan tersebut justru terjebak bahaya laten etatisme. Bahaya laten etatisme melahirkan aneka persoalan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Persoalan korupsi yang menjamur memberikan 5 Dokumentasi Provinsi Ende, “Dokumen Kapitel Provinsi SVD Ende XXII tahun 2015, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 23-29 November 2015”, hlm. 33. 6 Silvester Ule, “Membangun Budaya Politik Demokratis: Menuju Masyarakat NTT yang Sejahtera, dalam 50 Tahun NTT, Seri Buku Vox 53/01/2009, hlm. 54. 7 Bimo Nugroho, Indonesia Memilih Jokowi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014), hlm. 172. 134 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 pengakuan yang kuat kepada masyarakat bahwa sebenarnya dalang dibalik kenestapaan masyarakat NTT ialah para elitis. Jika dikatakan jujur, wilayah NTT ini menjadi lahan empuk bagi lahirnya kejahatankejahatan kemanusiaan. Kejahatan-kejahatan manusia itu menjelma ke dalam pelbagai struktur ekonomi, politik, dan sosial, baik yang didominasi oleh para pemegak modal maupun para “hantu ekonomi”. Para pemilik modal yang dimaksud di sini ialah, selain mereka yang memegang tampuk kekuasaan, tetapi juga mereka yang menanamkan modal melalui program yang ditawarkan. Pertanyaan kita, apa yang melatarbelakangi bahaya etatisme mendominasi NTT? Pada hemat saya, alasan para pemilik modal mau bercokol dan terus menancapkan geliatnya di NTT ialah karena adanya peluang. Masyarakat NTT rentan terhadap pelbagai hal yang masuk dari luar. Kemajuan dan peradaban yang kian menerjang saat ini tidak bisa dibendung oleh karena peluang yang diciptakan oleh pemilik modal. Peluang-peluang itu menyata dalam bentuk yang luas dan sempit. Masyakarat NTT sangat melek terhadap kamajuan. Kemajuan alat komunikasi handphone misalnya, tidak lagi menjadi konsumsi segelintir orang, tetapi merambat hingga ke pelosok. Yang menjadi kecemasan bagi kita dari perkembangan alat komunikasi ini, ialah masyarakat mulai meninggalkan tradisi yang telah kuat berakar dalam kehidupan bersama. Dugaan kita semakin menguat apabila kelak tradisi itu ditinggalkan dan masyarakat mulai menjemurumuskan diri kepada kecenderungan yang tidak manusiawi. Banyak bukti konkrit kecenderungan tidak manusiawi yang belakangan telah menyeret dan menodai wajah masyarakat NTT. Kasus kematian para TKI yang beberapa bulan lalu santer diberitakan membuktikan bahwa masyarakat NTT masih dibayangi bahaya etatisme. Dugaan kita semakin menguat dengan adanya kasus kematian para TKI NTT itu, para pemilik Adrian Naur — Kaum Muda dan Harapan Perubahan di NTT 135 modal yang bermain di baling layar itu tentunya tidak tersentuh atau jauh dari panggang api pengadilan hukum. Sebab sebagaimana penjelasan terdahulu, para pemilik modal dan penguasa mampu membeli pengadilan dan mereduksi hukum. Tanpa kita sadari bahaya ini terus merebak dan sewaktu-waktu akan membias hingga ke pelosok. Ketakutan praksis kita yang saban hari sudah diperkirakan bahwa NTT akan tetap diselimuti oleh aneka persoalan telah menyata dalam kehidupan dewasa ini. Kita perlu mengakui bahwa persoalan-persoalan itu telah menguat mengakar semenjak masa kolonialisme hijrah di wilayah kita. Dengan tenggang waktu yang relatif lama pasca kemerdekaan persoalan-persoalan nasional meletup kencang hingga membias sampai pada periferi kehidupan masyarakat NTT. Yang terjadi sekarang pada kehidupan masyakarat NTT seperti yang telah dilukiskan di atas. Kehidupannya begitu kompleks, rumit, dan menggelisahkan di sisi lain. Di satu sisi ironi perkembangan dan peradaban yang sedang dirasakan tidak berkontribusi bagi masyarakat NTT. Apa yang terjadi terhadap perkembangan kehidupan masyarakaat NTT saat ini disebabkan oleh bahaya laten reduksifasi8 para pemilik modal dan kaum elitis. III.MENAKAR HARAPAN KAUM MUDA Pertanyaan paling fundamental yang bisa diajukan terhadap konteks kita saat ini, ialah sanggupkah masyarakat menanggung dan mendongkrak bahaya laten etatisme, persoalan sosial, pergolakan 8 Reduksifasi merupakan sebuah wujud dari proses pendangkalan. Disebut reduksifasi dan bukan ajektif reduksif untuk memberi artikulasi pada proses pendangkalan. Dalam ranah filsafat politik reduksifasi menjadi cetusan konkret kenaifan. Dikatakan naif, sebab reduksifasi adalah kesempitan cara berpikir. Dalam konteksnya dengan politik, misalnya, perkara politik dikamuflase oleh kepentingan sempit dan dinamikanya berubah menjadi “seolah-olah”. Karena reduksifasi, politik yang bermakna mendalam sebagai “tata kelola hidup bersama” terasa babak belur oleh dominasi perkaraperkara rekaan atau rekayasa yang tidak bermutu. Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 13-14. 136 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 ekonomi di NTT? Terhadap pertanyaan ini, pada hemat saya, terasa sulit dijawab jika, Pertama masyarakat NTT masih enggan untuk bangkit dari tidur berkepanjangan menyoal masalah-masalah kehidupan. Kedua, masih adanya bahaya etatisme di kalangan masyarakat. Ketiga, tidak adanya konstruksi cakrawala berpikir masyarakat yang luas tentang masa depan NTT. Dan keempat, masih adanya bahaya primodialisme yang kuat. Dikatakan bahwa masyarakat NTT masih sangat kental dengan budaya mitos magis merujuk pada kazanah NTT yang hidup dalam keberagaman kebudayaan. Dengan melihat luas wilayah dan merunut pada area topografinya, kepulauan NTT digolongkan ke dalam wilayah yang tertinggal. Selain persoalan yang sudah disinggung di atas, indikator primodial masih kuat mengakar pada masyarakat NTT. Tidak dimungkiri bahwa kedekatan hubungan di antara masyarakat NTT sangat ditentukan oleh relasi ikatan kebudayaan. Di NTT umumnya orang menggunakan bahasa budaya. Bahasa budaya dilihat sebagai kekuatan yang disadari sebagai fundator perekat pelbagai keberagaman di pihak lain, dan pada pihak lain menunjukkan identitas. Bahasa budaya masyarakat Manggarai berbeda dengan mereka dari budaya Bajawa, Ende, Maumere, Larantuka, dan daratan Timor. Karena itu, identitas budaya sangat fundamen bagi masyarakat NTT. Namun, kenyataan seperti itu di atas berdampak negatif jika tidak ada garis demarkasi. Masyarakat NTT yang kaya budaya dan keanekaragaman bahasa itu cenderung terjebak oleh persoalan wilayah. Persoalan itu mengandung arti bahwa wawasan primodial begitu luas ketimbang memperhatikan cakrawala kemajuan bersama. Yang paling mencolok dari fenomenan ini terlihat dalam pertarungan politik. Dalam percaturan politik lokal ada satu bahaya yang tidak bisa ditampihkan lagi ketika masyarakat berbicara mengenai pemimpin. Pemilihan pemimpin Adrian Naur — Kaum Muda dan Harapan Perubahan di NTT 137 dalam ranah ranah politik NTT masih berbauh primodial. Yang terjadi adalah basis kedaerahan para calon pemimpin menjadi pertimbangan fundamental dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan politik. Fakta dari kenyataan itu bahwa yang mendominasi mayoritas pemilih adalah adan wawasan keuntungan bagi kelompok dan daerahnya sendiri. Fenomena di atas mengandung dampak yang mendasar bagi demokrasi di Indonesia umumnya, dan khususnya NTT. Adanya kesesatan berpikir dan tindakan primodial sejatinya akan mencederai politik demokrasi. Itu artinya, masyarakat NTT masih sangat mengaggungkan identitas wilayah dan kebudayannya dibanding memilih secara rasional berdasarkan ikhtiar demokrasi. Yang terjadi kemudian adanya letupan-letupan ikatan emosional, karena orang lebih memilih berdasarkan konsensus primodial. Menjadi menarik sewaktu pemilihan kepala daerah yang terlihat di permukaan khalayak lebih memakai istilah kongsi atau politik balas budi. Apa yang bisa dilakukan kaum muda untuk meretas persoalan ini? Kaum muda menjadi satu-satunya harapan sekaligus agen perubahan dalam menanggapi dentuman ledakan persoalan masyarakat NTT. Dikatakan harapan dan satu-satunya agen perubahan karena tanpa mengesampingkan peran formal masyarakat, kaum muda dalam kiblatnya bersih dari intrik politik dan geliat bahaya destruktif politik praksis. Politik kita telah banyak dicemari oleh pengaruh kekuasaan dan uang. Dan mereka yang terjebak dalam ‘lingkaran setan’ itu adalah para elitis. Jika kita kembali pada fakta sejarah Indonesia sebelum dan pasca kemerdekaan telah banyak yang dilakukan oleh kaum muda. Yang paling penting dalam ingatan sejarah Indonesia hingga saat ini ialah perjuangan meruntuhkan rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Karena itu, atas dasar perjuangan yang sama, pada hemat saya, ada beberapa harapan yang bisa dilakukan kaum muda di NTT. 138 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Pertama, kaum muda menjadi medium komunikasi serentak komunikator publik. Hal pertama yang dilakukan kaum muda ialah menjadi perantara komunikasi. Peran utama kaum mudah yakni mewadahi komunikasi baik antara masyarakat dan pemerintah, maupun dalam antara elemen-elemen lainnya dalam masyarakat. Dampat digambarkan dalam relasi seperti itu bahwa kaum tugas utama kaum muda mengontrol penyelenggaran pemerintah di pihak lain. Pada pihak lain menjembatani kepentingan masyarakat. Yang seyogya dibuat oleh kaum untuk mempertemukan kedua elemen ini iala membangun komunikasi dan dialog. Kedua, kaum muda sebagai penyalur sekaligus pengamplifikasi aspirasi. Konteks NTT masyarakat pada umumnya berada di bawah jejaring pendidikan dengan mutu terendah. Tanpa mengampik hal ini, mayarakat kita sejatinya merindukan elemen kaum muda agar segala aspirasi mereka kemudian disampaikan kepada pemerintah. Karena itu, kaum muda harus proaktif, merangkul, dan memengaruhi masyarakat bawah. Yang dilakukan kaum muda bersuara di ruang publik. Ketiga, kaum muda harus menjadi kekuatan kritis. Tanggung jawab moral kaum muda yang paling fundamental, ialah menjadi semacam dalam menyikapi aneka persoalan khalayak masyarakat. Masyarakat membutuhkan tidak saja kecakapan kaum muda, tetapi lebih daripada itu membutuhkan nalar rasional kritis dari kaum muda. Integritas dan kredibilitas kaum muda justru akan diukur dari konsinstensi dalam menyuarakan dan mengarahkan masyarakat. Kita berharap banyak terhadap kaum muda. Penyelengaraan politik dan kemajuan hanya akan terwujud apabila kita mengakui penyelenggaraan demokrasi secara bersih dan murni. Kaum muda menjadi tongkat estafet dalam mewujudkan misi itu. Karena itu, tidak dikatakan naif jika dalam perjalanan waktu ada tindakan kaum muda Adrian Naur — Kaum Muda dan Harapan Perubahan di NTT 139 yang coba mengemplementasikan ketiga harapan di atas. Berdemontrasi dan berorasi sudah lazim terjadi. Turun ke jalan dan mendramatisasi kerapkali terjadi. Yang diharapkan dari semuanya itu agar kaum muda tetap konsisten. Konsisten dengan pilihan, dan terutama konsisten untuk tidak terkontaminasi dari bahaya reduksifasi. IV. PENUTUP Keseriusan pemerintah dalam meretas aneka persoalan di NTT tidak cukup dengan hanya mengandalkan pelaku dari kalangan institusi dan birokrasi. Secara institusional dan formal hal itu perlu, tetapi dipihak lain diupayakan juga hal-hal positif dari masyarakat. Kemendasakan seperti itu wajar adanya dewasa ini, sebab delik persoalan tidak tampak mengendap pada permukaan, tetapi sudah menyentuh periferi kehidupan masyarakat akar rumput. Karena itu, diperlukan daya imajinatif dan revolusioner yang terbuka dari pemerintah melihat elemen-elemen masyarakat kita. Kita tetap menunggu sepak terjang orang muda NTT di masa-masa mendatang. DAFTAR PUSTAKA Alwino, Alfensius. “Korupsi Dan Robohnya Lembaga Penegak Hukum di NTT”, dlm.: 50 Tahun NTT, Seri Buku VOX, 53/01/2009. Dokumentasi Provinsi Ende, “Dokumen Kapitel Provinsi SVD Ende XXII tahun 2015, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 23-29 November 2015.” Nugroho, Bimo. Indonesia Memilih Jokowi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014. Riyanto, Armada. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius, 2015. 140 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Selcilius Riwu Nuga, “Six Millions Dollars: Membahas Kasus Human Trafficking di Wilayah Kita”. Makalah yang disajikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero-Maumere, Sabtu 7 Maret 2015. Ule, Silvester. “Membangun Budaya Politik Demokratis: Menuju Masyarakat NTT yang Sejahtera,” dlm.: 50 Tahun NTT, Seri Buku Vox 53/01/2009. Adrian Naur — Kaum Muda dan Harapan Perubahan di NTT 141 ‘Berteologi dari Bawah’ bersama Kosuke Koyama1 Oleh: Mariano Leonard Leta & Reinard L. Meo2 I.PENDAHULUAN “Saya mulai berbicara dari situasi konkret mereka. Setelah berbicara tentang situasi manusia, saya melanjutkan dengan menghadirkan Allah ke dalam situasi manusia yang riil ini.”3 (Kosuke Koyama, dalam Waterbuffalo Theology) T eologi Kosuke Koyama, oleh Stephen B. Bevans dikelompokkan ke dalam salah satu model berteologi dalam konteks (teologi kontekstual), yakni model sintesis. Koyama dan gagasan-gagasannya begitu brilian dan secara amat valid mengindikasikan betapa konteks atau 1 Artikel ini diolah lagi dari makalah yang dipresentasikan dalam seminar mata kuliah pilihan, Teolog-teolog Abad XX. 2 Penulis adalah Mahasiswa Semester VII 3 Dikutip oleh Bevans, dalam Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, penerj. Yosef Maria Florisan (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 177. 142 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 realitas merupakan semacam wadah yang memungkinkan terjadinya sebuah eksplorasi teologis yang tentu juga mendalam dan berdaya gugah. Dengan bertumpu pada kata kunci untuk memahami Koyama, yakni ‘kontekstualisasi’, dalam artikel sederhana ini, kami sejauh dapat memperkenalkan teolog (Kristen) Asia yang barangkali juga belum terlalu popular di kalangan kita. Pertama kita akan merunut rekam jejak Koyama yang berisi biografi, riwayat pekerjaan, dan sedaftar karya. Setelah itu, kita akan menemukan pokok-pokok refleksi teologis Koyama yang termaktub dalam sejumlah karyanya. Pada bagian berikut, karya dan penjelajahan teologis yang paling terkenal dari Koyama akan diuraikan. Sekiranya bagian inilah yang menjadi inti artikel sederhana ini. Selanjutnya, akan ada beberapa catatan untuk Koyama dan teologinya, yang berakhir dengan semacam kesimpulan dari seluruh pembahasan dalam artikel ini. II. REKAM JEJAK KOSUKE KOYAMA4 Kosuke Koyama, hemat kami, masih mempraktikkan dinamika hidup dan laju akademis yang nomaden. Tokyo, Jepang, 10 Desember 1929, Koyama lahir. Tiga belas tahun sesudahnya, 1942, ia dibaptis menjadi orang Kristen. Tahun 1960-1968, ia menjadi pengajar pada Seminari Teologi Thailand. Kemudian, ia hijrah ke Singapura, antara tahun 19681974, menjadi direktur eksekutif pada Asosisasi Sekolah-sekolah Teologi Asia Tenggara, dekan pada fakultas teologi, dan editor pada jurnal yang ia kelolah, South East Asia Journal of Theology. Koyama pindah lagi menuju Universitas Otago di Dunedin, Selandia Baru, pada tahun 1974, lalu sejak 1980, menjadi mahaguru dalam bidang ekumene dan kekristenan dunia pada Union Theology Seminary di New York City. Pada tahun 1996, Koyama pensiun dari Union. Sejak saat itu ia menetap di Minneapolis, Minnesota, 4 Ibid., hlm. 175-176. Sebagaimana terlampir, informasi untuk bagian ini kami olah sedemikian rupa. Mariano Leonard Leta & Reinard L. Meo — ‘Berteologi dari Bawah’ ... 143 Amerika Serikat. Sebagai seorang teolog Kristen, Koyama tutup usia pada tanggal 25 Maret 2009 di Springfield, Massachusetts, United States, dengan meninggalkan seorang istri bernama Lois, dua orang anak dan lima orang cucu (mungkin sekarang sudah bertambah). Koyama telah menulis dan menerbitkan ±6 buah buku terkenal, antara lain: ‘Waterbuffalo Theology’ (1974), ‘Pilgrim or Tourist’ (1974), ‘Fifty Meditations’ (1975), ‘No Handle on the Cross’ (1977), ‘Three Mile an Hour God’ (1980), dan ‘Mount Fuji and Mount Sinai’ (1985).5 Sebagian yang lain berisikan semacam antologi karangan, telaah Kitab Suci, dan meditasi. Hanya ‘Mount Fuji and Mount Sinai’ yang menyajikan suatu refleksi teologis yang berkesinambungan. Pelbagai karangan dalam buku-buku ini pernah diterbitkan dalam beberapa jilid seri buku Mission Trends, dalam buku Gerald H. Anderson berjudul Asian Voices in Christian Theology, dan dalam karya Douglas J. Elwood yang berjudul Asian Christian Theology. Aneka tulisan dan refleksinya yang lain disiarkan juga dalam banyak jurnal, mulai dari Theological Education, Missionalia, Missiology, hingga Christian Century. III. K OYAMA DAN BEBERAPA POKOK DALAM KARYA-KARYANYA Sebagai seorang yang bergiat aktif dalam gerakan ekumene, gagasan-gagasan teologis Koyama dapat dirunut dalam buku-buku yang dihasilkannya. Ini tentunya amat memudahkan siapa saja yang ingin berkenalan lebih jauh dengan Koyama dan terlebih dengan refleksirefleksinya. Pada bagian ini, kami menyajikan secara ringkas aneka pokok refleksi teologis Koyama yang termaktub dalam beberapa bukunya.6 5Lih. Kosuke Koyama (Online), (https://en.wikipedia.org/wiki/Kosuke_Koyama, diakses 31 Januari 2016). 6 Ibid. 144 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 a.Buku Waterbuffalo Theology diterbitkan tahun 1974 yang kemudian direvisi pada tahun 1999. Pemikiran Koyama yang tertuang dalam buku Waterbuffalo Theology ialah mengenai Teologi Ekologi, Teologi Pembebasan, dan kontribusi terhadap dialog Kristen-Buddha. Waterbuffalo Theology muncul karena kesadaran Teologi Kristen di Asia terhadap dunia, dalam hal ziarah dan misi. Dalam buku ini, Koyama mendorong pembaca untuk mematuhi panggilan kekristenan dari kasih Allah. b. Karya Koyama lainnya yakni Three Mile an Hour God masih menekankan Teologi Lokal daripada Teologi Sistematik yang hematnya, terlalu akademis. Selain itu, Koyama juga menampilkan refleksi atas situasi yang terjadi di Jepang. Koyama menggambarkan Tuhan dengan kecepatan tiga mil per jam dalam membimbing refleksi yang mendalam untuk mengatasi jarak dan waktu. Dalam buku ini, Koyama menampilkan sebuah harapan dari refleksi dengan menganalogikan tanah perjanjian. c.Buku No Handle on The Cross yang diterbitkan pada tahun 1977 berisikan elaborasi Koyama tentang bagaimana salib dapat dimaknai sebagai simbol dari penderitaan orang-orang Kristen. Dalam buku ini, ia juga mendeskripsikan adanya hubungan antara sejarah dan teologi. Koyama menggunakan salib tanpa gagang untuk menggambarkan bahwa pemikirannya telah bangkit sama seperti Yesus yang sudah bangkit dan tidak lagi membutuhkan gagang pada salib-Nya. d. Gagasan utama dalam Mount Fuji and Mount Sinai dilukiskan demikian, “Pada akhirnya, baik gunung Fuji maupun gunung Sinai, tidak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan. Kekuatan Allah datang dari Dia yang diremukkan di gunung Kalvari.” Koyama secara sungguh-sungguh mempertautkan atau mensintesiskan Kekristenan dan kebudayaan Asia, khususnya Jepang.7 7 Lih. Stephen B. Bevans, op. cit., hlm. 181. Mariano Leonard Leta & Reinard L. Meo — ‘Berteologi dari Bawah’ ... 145 IV. WATERBUFFALO THEOLOGY: ‘TEOLOGI DARI BAWAH’ Kosuke Koyama, murid Kazoh Kitamori, merupakan satu dari empat teolog terkenal Jepang yang dalam waktu lama hidup dan berkarya di tengah realitas Thailand.8 Koyama menunjukkan metode yang ia pakai dan ia tekankan dalam karya paling familiar ini, Waterbuffalo Theology, sebagai ‘teologi dari bawah’. Artinya, hemat Koyama, pendekatan terhadap teologi tidak ditentukan terutama oleh apa yang pernah dikatakan teolog-teolog besar seperti Thomas Aquinas atau Karl Barth, melainkan oleh kenyataan sehari-hari yang dialami oleh para petani Thailand, semisal kerbau, marica, nanas, ayam, atau nasi pulut. Di sini, Koyama tidak begitu saja mengabaikan atau menganggap sepi teologiteologi sistematik atau ‘yang lebih sulit’ sebagaimana digagas Aquinas, Barth, dan yang lainnya. Koyama tetap membaca dan mempelajarinya sebagai basis untuk kemudian mengambil jalan lain dan mulai fokus pada arah teologi yang lebih tepat sasar sesuai konteks pewartaannya, yakni ‘teologi dari bawah’ tersebut. Kesaksian Koyama yang kemudian menjadi judul buku terkenalnya ini lahir dari hidup dan pengalaman kerjanya di Asia. Koyama menggambarkannya demikian, “Dalam pejalanan saya ke gereja di pedesaan, saya selalu melihat kawanan kerbau yang merumput di sawah yang berlumpur. Pemandangan ini merupakan saat-saat yang penuh ilham. Mengapa? Karena hal itu mengingatkan saya akan orang-orang yang kepada mereka saya memberitakan Injil Kristus, mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan kerbau-kerbau di persawahan. Kerbau-kerbau itu mengatakan kepada saya bahwa saya harus 8 Daniel J. Adams. Teologi Lintas Budaya. Refleksi Barat di Asia, penerj. Dachlan Sutisna dan K. G. Hamakonda, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 61. 146 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 berkhotbah kepada petani-petani itu dengan susunan kata dan cara berpikir yang paling sederhana. Mereka mengingatkan saya supaya saya membuang semua gagasan pikiran yang abstrak dan hanya memakai objek-objek yang nyata.”9 Judul buku terkenal ini mengacu pada pendekatan teologis dan hermeneutis Koyama, sementara pembagian pasal-pasalnya dengan jelas mengindikasikan betapa buku ini merupakan suatu latihan penafsiran alkitabiah. Bagian I berisi Penafsiran Sejarah, bagian II Mengakar Injil, bagian III Penafsiran Kehidupan Buddhis Muangthai, dan bagian IV Penafsiran Kehidupan Orang Kristen. Koyama mulai dengan membicarakan keunikkan situasi historis di Asia pada umumnya, kemudian mengkhususkannya pada setiap bangsa. Koyama berbicara tentang pandangan Asia mengenai waktu yang berputar seperti lingkaran (siklis), pengalaman Asia yang terjajah, dan reaksi Asia terhadap teknologi. Setelah meletakkan dasar ini, Koyama menemukan perlunya mengakarkan kembali iman Kristen di tanah Asia. Oleh sebab konteks sejarah dan kebudayaan yang unik, Asia mempunyai kesukaran-kesukaran teologis yang menuntut pendekatan-pendekatan dan metodologi-metodologi yang cocok bagi kebutuhan-kebutuhannya. Kendatipun tentunya dihadapkan juga pada sejumlah kesulitan atau tantangan, satu aspek kreatif yang istimewa dalam teologi Koyama ialah gambaran-gambarannya diambil dari kehidupan sehari-hari. Setelah memulai dengan bagian yang singkat dari Alkitab, ia lalu mengaitkannya dengan kehidupan Asia. Hal ini nyata dalam beberapa sub-judul yang termaktub dalam Waterbuffalo Theology, antara lain, ‘Apakah Musim Hujan Membuat Allah Basah’, ‘Senapan dan Balsem’, ‘Lada Aristoteles dan Garam Buddhis’, dan ‘Arahant yang Dingin dan Allah yang Hangat’.10 9 Ibid., hlm. 63. Kesaksian ini tersurat pada bagian pengantar Waterbuffalo Theology. 10 Ibid., hlm. 62. Mariano Leonard Leta & Reinard L. Meo — ‘Berteologi dari Bawah’ ... 147 Koyama dengan tegas mengatakan bahwa pesan Kristus harus disampaikan dengan mengemukakan objek-objek yang dapat dikenali dan dimengerti oleh para pendengar (dalam hal ini, para petani Muangthai di Thailand). Koyama menempatkan kebutuhan-kebutuhan para petani lebih tinggi daripada teologi Aquinas, Barth, atau yang lainnya. Ia menggunakan gambaran-gambaran yang lebih hidup daripada ide-ide abstrak dalam mengkomunikasikan Injil. Ia juga menegaskan bahwa adalah tugasnya untuk membaca Alkitab dan karya-karya teologi dengan memikirkan kebutuhan-kebutuhan para petani Muangthai. Koyama juga menegaskan bahwa keprihatinan utama seorang teolog bukanlah agama atau kebudayaan, melainkan manusia yang menjalankan suatu agama dan yang hidup dalam suatu kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, orang mempelajari agama dan/atau kebudayaan yang lain bukanlah untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk dapat lebih baik memahami umat dan agama serta budaya mereka. Koyama menunjukkan bahwa agama Buddha tidak menderita, tidak berkeringat, tidak merasa lapar, dan tidak menghendaki pemilikkan benda-benda, tetapi orang yang beragama Buddha terlibat dalam semua hal itu, sebab mereka itu manusia. Dengan demikian, Koyama berkonsentrasi pada orang Buddha, bukan pada agama Buddha (sesuai konteks di Muangthai).11 V. C ATATAN DAN RELEVANSI GAGASAN TEOLOGIS KOYAMA 5.1 CATATAN a. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Koyama tidak menentang teologi sistematika. Ia tetap membaca teologi-teologi yang sudah ada sejak lama tersebut, untuk selanjutnya terjun ke 11 Ibid., hlm. 64. 148 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 dalam konteks. Oleh sebab itu, model teologi Koyama merupakan contoh model sintesis atau dialogal, yang merupakan salah satu model dari teologi kontekstual.12 b. Dengan menunjukkan realitas yang paling sederhana (kerbau, marica, nanas, ayam, atau nasi pulut), Koyama hendak menegaskan bahwa Allah itu dekat dan ada di sekitar kita setiap waktu. Allah tidaklah jauh, hanya tinggal bagaimana kita menyadari dan merasakan kehadiran Allah itu. c. Apakah semua penduduk Muangthai itu petani? Jika tidak, semestinya pewartaan Injil itu universal, dalam arti, Koyama juga mesti menunjukkan bagaimana ia berdialog dengan penduduk Muangthai yang bukan petani. Namun, hal ini bukanlah persoalan, karena fokus dan sasaran Koyama tampak amat jelas. 5.2 RELEVANSI Teologi Koyama memang betul kontekstual, teologi yang terlibat dalam konteks, berangkat dari konteks, sesuai konteks. Dengan begitu benderang, Koyama hendak membongkar kemapanan berteologi kita yang cenderung nyaman dalam cangkang konservatisme. Studi filsafat dan teologi yang tengah kita gumuli, hanyalah dasar untuk selanjutnya maju dalam ‘pertarungan’ konteks yang lebih riil. Sudah saatnya, bersama Koyama, kita memeriksa kembali praktik berteologi kita. Hal ini pada akhirnya menyata dalam bagaimana kita berpastoral di tengah realitas di era post-(post-) modernisme ini. Konteks Flores pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, juga dunia universal pada skala yang paling luas, hendaknya menjadi medan bagi kita untuk berteologi secara lebih jujur dan tepat sasar. Yah, teologi yang sadar konteks. 12 Lih. Stephen B. Bevans, op. cit., hlm. 161-190. Mariano Leonard Leta & Reinard L. Meo — ‘Berteologi dari Bawah’ ... 149 VI. PENUTUP Amatlah baik apabila basis biblis yang digunakan Koyama - 1 Kor. 9:22-23 -, juga menjadi pedoman arah bagi kita dalam berteologi. “Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.” Sudah saatnya teologi atau model berteologi kita tidak melulu nyaman dalam menara gading konservatisme dan sebangsanya, melainkan bersedia untuk terjun dalam konteks. Kita dipanggil untuk berteologi secara lebih jujur dan tepat sasar di tengah dunia yang kian pelik, yang kian ditandai aneka problema. Teologi kita hendaklah teologi yang sadar konteks. Sebagaimana telah ditunjukkan Koyama, Paus Fransiskus juga mengajak kita untuk bersedia menjadi kotor dan letih karena berada di jalanan, berada di tengah kenyataan hidup yang membutuhkan jawaban, bukannya nyenyak di ranjang yang datang dari keringat dan air mata umat. DAFTAR PUSTAKA Adams, Daniel J. Teologi Lintas Budaya. Refleksi Barat di Asia, penerj. Dachlan Sutisna dan K. G. Hamakonda. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992 Bevans, Stephen B. Model-model Teologi Kontekstual, penerj. Yosef Maria Florisan. Maumere: Ledalero, 2002 Kosuke Koyama (Online), (https://en.wikipedia.org/wiki/Kosuke_ Koyama, diakses 31 Januari 2016). 150 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 Box IDOLA D alam esainya, Goenawan Mohammad mencatat; “Seseorang pernah bertanya apa pesan yang hendak diungkapkan Hemingway dalam bukunya. ‘Tak ada pesan dalam novel-novel saya’, jawab penulis Farewell to Arms itu. ‘Kalau saya mau sampaikan pesan, saya kirimkan lewat pos’”. Candakah jawaban itu? Rendah hati yang munafikkah? Tidak. Hemingway sadar, ia hidup bersama realitas bisu. Realitas yang tak akan tuntas diungkai. Ahok yang ditersangkakan, kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, idealisme mahasiswa yang bungkam ditelan sistem, demo bela agama yang berjilid-jilid, kuasa media sosial, kelesuan berpikir, atau kebencian yang terpendam. Akan tetapi, tidak ada alam semesta lain yang dipunyai. Ocehan remeh-temeh sampai berujung teori tidak sia-sia. Semuanya tentang realitas. Semuanya memperkaya. Hanya diktum; “akulah sumber kebenaran” yang harus tersingkir. Itulah mengapa? Kala menyanggah teori tradisional yang hanya ‘memandang’ realitas, tokoh-tokoh teori kritis berkata; teori harus berdampak pada ‘perubahan’ apa yang dipandangnya. Akan tetapi, ideal ini, -yang mulanya ingin menuju masyarakat yang makin rasional- malah macet terjebak dalam irasionalitas. Habermas kemudian menunjukkan bahwa penelusuran terhadap rasionalitas tidak Box — Idola 151 cukup memperhatikan dimensi pekerjaan. Ada dimensi komunikasi, yang tujuannya “saling pengertian.” Respon tentang ‘mengapa harus menjelaskan realitas’ perlu diasah. Mula-mula sudah ada jawabannya. Emansipasi! Emansipasi dari belenggu kekuasaan yang tidak disadari. Bagaimana caranya? Kritis, bernyali, lalu berjuang. Hal terakhir ini dilukiskan dengan indah dalam Tarian Bumi, sebuah novel karangan Oka Rusmini. Dalam sebuah pasase, Luh Dalem, salah seorang tokoh dalam novel itu, berkata kepada Luh Sekar, anaknya; “Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup dan terus hidup.” Novel ini, walau berkarakter partikular, tawaran nilainya universal. Bukan hanya Luh atau perempuan atau apalah. Manusia yang berjuang itu minim keluh tetapi kaya peluh. Peluh itu simbol keenerjikan manusia. ‘Yang enerjik’ jamak terlampir dalam golongan yang mudamuda. Alasannya, anak muda penuh dengan idealisme dan kata realitas; ‘berhakikat giat’. Perihal idealisme, ada yang patut direfleksikan. Yang muda, kala sekolah, panas idealismenya, kerap mencecar pemerintah dengan ‘tidak becus,’ ‘korup,’ ‘tidak berpihak,’ dan sebagainya. Selepas sekolah, berbekal hidayah, masuklah dalam sistematika. Naasnya, yang muda, yang diharapkan mengubah, kerap bungkam, tak mampu melawan, takut bahaya. Ah, mereka telah jadi tua. Kala ditanya anak muda, dalihnya: ‘sistem itu sulit kamu ubah!’. Nekat melabrak, tamat sudah, bukan di luar, ya di penjara. Lihatlah sirkularitas kemandekkan yang muda. Lalu, apakah ini takdir bagi semua? Ini kisah bagi semua? Tidak juga. Figur Jokowi dan Ahok, sejauh ini, masih terpercaya. Kerusakkan sistem diperbaikinya. Ada bahaya, namun belum kalah-kalah. Mengapa tak terbawa? Sistem imun mereka, tertempa sejak muda. Walau lingkupnya 152 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016 rusak parah, kedegilan hati mereka, boleh dikata; gila. Di sana-sini, mulai tampak hasilnya. Perlahan-lahan, wajah-wajah berwatak koruptif terkikis moleknya. Ah, sejauh ini, bagi saya, mereka idola. Idola. Rupanya, mengidolakan yang hidup, ada bahaya. Sekali idola terantuk, harap itu purna sudah. Sejauh ini mereka teruji? Ya. Ujiannya sudah purna? Belum. Namun, tak apalah. Sekurang-kurangnya sudah terjejak kisah, rasa percaya yang makin langka, pernah diperkaya lagi oleh tangannya. Maka, siapakah idola? Tuhankah? Ya, Dia sempurna. Tapi, Tuhan itu agama apa? Ganti. Idola harus manusia. Dia tidak hidup lagi dan harus yang muda. Mengapa? Sekurang-kurangnya kenangan tentang kemudaannya abadi, tak pernah rapuh, tak pernah jadi tua. Lalu, yang sudah mati? Kupilih Ibu Kartini. Ia perempuan. Pejuang. Katanya; sekolah bukan domain kaum pria. Wanita juga. Maka, feodalisme Jawa abad ke-19 dirusakannya. Idealisme pribadinya yang penuh, –khas kaum mudayang terpatri dalam kemahsyuran surat-suratnya, sayangnya tak tiba. Ia mati muda. Ia baru 25 tahun. Yang ironis, mengapa ia disapa ibu, dan bukannya pejuang? Ah, rupanya tradisi telah menjebak penunggang gelombang itu ke dalam relung ketuaan. Potretnya bukan lagi bagian dari pergerakkan progresif, tapi pengayom struktur yang konservatif. Sebuah tragedi tentang idola kita. Benarlah Simone de Beauvoir; “lawan dari hidup bukanlah kematian melainkan ketuaan.” (Venancius Meolyu) Box — Idola 153 154 Akademika — VOL. X, No. 1, Agustus-Desember 2016