BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KLAUSULA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Klausula Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis 2.1.1 Pengertian Arbitrase Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (Belanda/Perancis), arbitration (Inggris) dan schiedspruch (Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalu arbiter atau wasit.26 Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UU AAPS, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Secara sederhana arbitrase merupakan suatu penyelesaian sengketa yang kewenangan absolutnya ditentukan pada didasarkan atas suatu perjanjian atau klausula arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak. Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitrase yaitu kewajiban pada para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrase (arbitration clause atau arbitration agreement), dan kemudian menyepakati hukum dan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri penyelesaian sengketanya. Meningkatnya perkembangan perdagangan, keuangan dan industri akhir-akhir ini, apakah nasional maupun internasional, dan ditambah lagi dengan 26 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, hal. 78. 25 26 persiapan-persiapan oleh masyarakat internasional menghadapi era globalisasi pada masa-masa mendatang, telah menimbulkan suasana liberalisasi ekonomi, industri, dan lain-lain. Dirasakan akan kebutuhan tata cara penyelesaian sengketa perdagangan dengan cepat dan murah yang juga dapat menjaga nama baik dan kepentingan perdagangan dari pihak-pihak yang bersengketa menetapkan keputusan yang dilandasi oleh pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang memuaskan para pihak yang mungkin tidak dapat diperoleh dari lembagalembaga lainnya. Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaiakan sengketa yang timbul, sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. Adapun bebrapa pengertian mengenai arbitrase yang diberikan oleh beberapa pakar hukum, antara lain: a. b. 27 Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Works disebutkan, bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka ber dasarkan dalil-dali dalam perkara tersebut. Para pihak setu sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.27 Gary Goodpaster mengemukakan sebagai berikut: "Arbitration is the private adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or experiencing an actual dispute, agree to submi their dispute to a decision maker they in some fashion select.28 (Arbitrase adalah ajudikasi pribadi pihak sengketa, mengantisipasi kemungkinan perselisihan atau mengalami sengketa yang sebenarnya, setuju untuk menyerahkan sengketa mereka ke pembuat keputusan mereka dalam beberapa mode pilihan). Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Works dikutip dari buku Suleman Batubara dan Orunton Purba, 2013, Arbitrase Internasional, Raih Aksa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta, Hal. 9. 28 Gary Goodpaster dikuti dalam buku Andi Julia Cakrawala, op.cit, hal. 66. 27 c. Altschul mengatakan bahwa: “Arbitration is an alternative dispute resolution system that is agreed to by all parties to a This system provides for private resolution of disputes in a speedy fashion.29( Arbitrase adalah sistem penyelesaian sengketa alternatif yang disetujui oleh semua pihak yang dimana sistem ini memberikan resolusi pribadi sengketa secara cepat). d. e. f. g. 29 R. Subekti menyebutkan, bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.30 Priyatna Abdurrasid mengemukakan, bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudi sial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.31 M. N. Purwosutjipto menyatakan, bahwa perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.32 Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut: "Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third person chosen by the parties to the dispute who agree in aduance to abide by arbiter's award issued after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgment of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary ligation.33 ( Arbitrase adalah referensi dari sengketa ke berimbang (orang ketiga yang dipilih oleh para pihak Ibid. Subekti, Op.Cit, hal. 1. 29 H. Priyatna Abdurrasyid, Cetakan kedua 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Penerbit PT. Fikahati Aneska, hal. 56-57. 32 H.M.N. Poerwosutjipto, 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cetakan III, Djambatan, Jakarta, hlm.1. 33 Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip dari Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase, PT. Gramedia Pustama Utama, Jakarta, hal. 96-97. 30 28 h. i. yang bersengketa yang setuju di muka untuk mematuhi putusan arbiter yang dikeluarkan setelah mendengar, dimana kedua belah pihak memiliki dan kesempatan untuk menjadi kepala. Sebuah pengaturan untuk mengambil dan mematuhi penghakiman orang yang dipilih dalam beberapa masalah yang disengketakan, bukannya membawa itu untuk membangun pengadilan keadilan, dan dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan perpajakan ligasi biasa). Abdulkadir Muhammad memberi batasan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihakpihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dituangkan kehendak bebas para pihak. Kehendak sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian tertulis mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. Dalam Kamus Hukum ELIPS disebutkan, bahwa arbitrase atau perwasitan adalah metode penyelesaian snegketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa wasit atas persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit mempunyai kekuatan hukum mengikat. Arbiter atau wasit adalah orang yang bukan hakim yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara menurut tata cara perwasitan.34 Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa unsur-unsur arbitrase sebagai pengadilan a. cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar atau pengadilan; b. atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak; c. untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi; d. dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan; dan 34 Kamus ELIPS dikutipm dalam buku Racmadi Usman, Op.Cit, hal. 140. 29 e. sifat putusannya final dan mengikat. 2.1.2 Sejarah Perkembangan Arbitrase Di Indonesia, Arbitrase bukan merupakan sesuatu hal yang baru dalam dalam penyelesaian sengketa, meskipun lembaga arrbitrase ini semulanya di peruntukan bagi penduduk golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu. Memang dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Bumiputra, baik HIR maupun RBg, tidak mengatur tentang arbitrase. Namun lewat pasal 377 HIR dan pasal 705 Rbg yang menyatakan: “jika orang indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa eropa”. Jadi pada pasal tersebut jelas memberikan kemungkinan buat pihak pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan. Dalam perkembangannya Arbitrase di Eropa mempunyai bentuk yang sederhana yaitu: 1. Bahwa pada masa itu orang baru menggunakan arbitrase setelah sengketa lahir. Jadi sebelumnya para pihak tidak dan belum menjanjikan terlebih dahulu bahwa apabila terjadi sengketa maka arbitraselah yang menjadi penyelesaian sengketanya. 2. Arbitrase tersebut digunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara kerabat, tetangga atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik. 30 3. Arbitrator yang dipilihnya pun adalah mereka yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu. Dalam Rv. pasal-pasal mengenai arbitrase, diatur dalam buku Ketiga tentang Aneka Acara. Pada Bab Pertama diatur ketentuan mengenai putusan wasit (arbitrase) melalui pasal 615 sampai dengan pasal 651 Pasal-pasal ini meliputi lima bagian pokok, yaitu : - Bagian Pertama (pasal 615-623) mengatur arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter, - Bagian Kedua (pasal 624-630) mengatur mengenai pemeriksaan dimuka badan arbitrase, - Bagian Ketiga (pasal 631-640) mengatur mengenai Putusan Arbitrase, - Bagian Keempat (pasal 641-647) mengatur mengenai upaya-upaya terhadap putusan arbitrase, - Bagian Kelima (pasal 647-651) mengatur mengenai berakhirnya acaraacara arbitrase. Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerinta Belanda, yaitu : 1. Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia; 2. Badan arbitrase tentang kebakaran; 3. Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan. Setelah itu pada masa penjajahan Jepang yang masuk menggantikan kedudukan Belanda, mengenai berlakunya arbitrase Pemerintah Belanda pernah 31 mengeluarkan peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari pemerintah dahulu. Pemerintahan Hindia Belanda-tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang. Setelah Indonesia Merdeka untuk mencegah kevakuman hukum, maka pada masa itu dikeluarkan peraturan yang menyatakan: “segala badan badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undan-Undang Dasar tersebut”. Maka oleh itu pada masa tersebut, untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap masih berlaku ketentuan yang ada pada HIR, RBg dan Rv. Mengenai badan peradilannya di beberapa bagian Republik Indonesia yang dikuasai oleh Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Namun waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, landrechter ini menjadi Pengadilan Negeri, sedangkan appelraad, menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda. Selanjutnya jika kita lihat ketentuan pada UUD sementara 1950, pasal 142-nya menyatakan bahwa: “peraturan undang undang dan ketentuan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah 32 sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama dan sekedar peraturan peraturan dan ketentuan ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau dirubah oleh undang undang dan ketentuan ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini”. Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv. juga tetap berlaku. Secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi. Dan dalam perkembangannya pada zaman sekarang sudah banyak digunakan khususnya para pelaku usaha yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini daripada harus melalui proses Peradilan Umum yang sangat tidak efesian serta memakan waktu dan biaya yang besar. 2.2 Dasar Hukum Arbitrase Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam UU AAPS ini disusun untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, sekaligus mengantisipasi perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional oleh karena itu, peran dan penggunaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam dunia 33 usaha ditinjau dari segi hukum sangat menonjol dan dominan. Dalam setiap kontrak bisnis para pihak yang terlibat, selalu meminta untuk dicantumkannya klausul arbitrase dalam perjanjian pokok mereka. Bahkan tidak jarang ada pihakpihak yang tidak mau melakukan hubungan bisnis tanpa diikat dengan perjanjian arbitrase. Dengan demikian, adanya pengaturan mengenai lembaga arbitrase di Indonesia ini sangat penting, terlebih dengan keterlibatan Indonesia dalam berbagai organisasi internasional semakin memperkuat alasan diperlukannya pengaturan penyelesaian sengketa di luar peradilan umum melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat internasional. Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka kedudukan dan kewenangan arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat. Adapun hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dapat dike- lompokkan dalam 10 bab yang dituangkan dalam 82 pasal dan 7 bagian, yang dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal demi, adapun cakupan materi yang diatur di dalamnya meliputi pasal. a. Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai Pasal 5) b. Alternatif Penyelesaian sengketa (Pasal 6) c. Syarat arbitrase, Pengangkatan Arbiter, dan Hak Ingkar (Pasal 7 Pasal 28) d. Hukum Acara Arbitrase Pasal 27 sampai Pasal 51) e. Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52 sampai Pasal 58) f. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59 sampai Pasal 72) g. Berakhirnya Tugas Arbiter (Pasal 73 sampai Pasal 77) 34 h. Ketentuan Peralihan (Pasal 78 sampai Pasal 79) i. Ketentuan Penutup (Pasal 80 sampai Pasal 82) Pilihan yang dapat diselesaikan oleh para pihak melalui pilihan penyelesaian sengketa hanyalah sengketa di bidang perdata. Penyelesaian dalam bentuk perdamaian ini hanya akan mencapai tujuan dan sasarannya bida didasarkan pada itikad baik di anatara pihak yang bersengketa dengan mengesampingkan penyelesaian sengeta secara litigasi di Pengadilan Negeri. 2.3 Jenis-Jenis Arbitrase Mengacu pada konvensi-konvensi internasional, seperti Convention of the Settlement of Invesment Disputes Between State and National other states atuu Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbitral Award ataupun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCITRALArbitration Rules, maka jenis-jenis arbitrase dapat diklasifikasikan sebagai berikut:35 a. Arbitrase Ad hoc (Volunter) Arbitrase ad hoc adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk, baik setelah maupun sebelum timbulnya sengketa dan akan berakhir pada saat selesainya sengketa tersebut. Pembentukan arbitrase ad hoc ini didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. Dalam arbitrase ad hoc ini formalitas-formalitas dan prosedur pelaksanaan arbitrase, diserahkan atau ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa. Formalitas dan prosedur yang diberikan untuk 35 Suleman Batubara dan Orinton Purba, Op.Cit, hal. 10. 35 ditentukan oleh para pihak sebelum dilaksanakannya proses arbitrase tersebut, seperti penentuan tempat di mana arbitrase dilangsungkan, jumlah arbiter, peraturan beracaranya, cara pemilihan arbiter, dan bagaimana pelaksanaan dari putusan arbitrase itu sendiri nantinya. Gunawan Wijaya memberikan definisi arbitrase ad hoc ini sebagai berikut: Suatu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan sengketa tertentu, arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu, yaitu sampai sengketa tersebut diputuskan.36 Sumargono memberikan definisi arbitrasead hoc sebagai berikut: Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain arbitrase ad hoc bersifat insidentil.37 Dalam jenis arbitrase ini para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana cara pemilihan arbiter dilakukan, kerangka kerja, prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase. Oleh karena itu, Suyud Sumargono mengatakan bahwa ciri pokok dari arbitrase ad hoc ini adalah penunjukan arbiternya secara perorangan. 36 Gunawan Widjaja dan Yani, 2000, Hukum Arbitrase, Rajawali Press, Jakarta, Hal. 52- 53. 37 Suyud Sumargono, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis: Alternative Dispute Resolutions (ADR), Bogor: Ghalia Indonesia, Hal. 123. 36 b. Arbitrase Institusional (Institusional Arbitration) Dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958, arbitrase institusional ini disebut dengan istilah permanent arbitral body.Hal ini dikarenakan bentuk dan sifat dari arbitrase ini sendiri, yaitu suatu arbitrase yang dibentuk oleh suatu organisasi tertentu dan bersifat tetap atau permanen. Menurut Gunawan Wijaya, arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat tetap. Lembaga ini sengaja didirikan oleh suatu organisasi tertentu dan bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul dari suatu perjanjian.38 Sifatnya yang permanen dan menetap dari badan arbitrase institusional ini merupakan suatu ciri pembeda yang utama dari arbitrase ad hoc. Badan arbitrase institusional selain bersifat permanen atau tetap pendiriannya juga tidak didasarkan pada ada tidaknya sengketa. Dengan kata lain, badan arbitrase institusional ini sudah berdiri sebelum timbulnya sengketa. Hal ini menjadi suatu pembeda antara badan arbitrase institusional dan arbitrase yang bersifat ad hoc karena arbitrase yang bersifat ad hoc ini biasanya didirikan setimbulnya sengketa. Dari sifatnya yang sementara serta ketidaktetapan dari arbitrase yang bersifat ad hoc ini, maka dalam praktiknya sering mengalami hambatan, seperti kesulitan dalam melakukan negosiasi, arbiter yang dan penetapan cara pemilihan tersebu disetujui oleh kedua belah pihak. 38 Loc.Cit. 37 Kelemahan-kelemahan tersebut secara tidak mutlak merupakan kelebihan dari badan arbitrase institusional. Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut di atas para pihak yang bersengketa sering memilih badan arbitrase yang bersifat institusional untuk penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Dengan kata lain, pada praktiknya arbitrase yang bersifat institusional ini lebili diminati karena dirasakan mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan arbitrase yang bersifat ad hoc. Badan arbitrase institusional ini apabila dilihat dari sudut ruang lingkupnya, dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu: a) Arbitrase Institusional Nasional (National Arbitration) Menurut Ridwan Widiastoro, arbitrase nasional adalah penyelesaian suatu sengketa melalui badan arbitrase yang dilakukan di dalam satu atau negara di mana unsur-unsur yang terdapat di dalamnya memiliki nasionalitas yang sama. Pengertian nasionalitas yang sama menurut beliau dalam hal ini, seperti adanya persamaan kewarganegaraan di antara para pihak, domisili yang sama, sistem, dan budaya hukum yang sama. Sementara itu, menurut Gunawan Wijaya, arbitrase nasional merupakan arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan.ari ian tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu arbitrase dapat dikatakan bersifat nasional apabila: 38 1. Unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrasenya hanya bersifat nasional. 2. Arbitrase tersebut hanya berskala nasional bila dilihat dari kawasan atau teritorialnya. Beberapa contoh arbitrase institusional nasional antara lain: a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia, merupakan badan arbitrase nasional Negara Indonesia yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) b. The Netherlands Arbitration Institute, yaitu pusat arbitrase nasional negara Belanda. c. The Japanese commercial Arbitration Association, sebagai pusat arbitrase nasional Jepang dalam lingkungan KADIN Jepang.39 b) Arbitrase Institusional Internasional (International Arbitration) Arbitrase internasional ini menurut Riwan Widiastoro adalah kebalikan dari arbitrase nasional, yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase yang dapat dilakukan di luar ataupun di dalam suatu negara salah satu pihak yang bersengketa di mana unsur-unsur yang terdapat di dalamnya 39 Op.Cit, hal 12. 39 memiliki nasionalitas yang berbeda satu sama lain foreign element). Menurut Sudargo Gautama yang dimaksud dengan unsur asing foreign element dalam suatu perjanjian arbitrase sebagai berikut: “Pertama, para pihak yang membuat klausula atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha (place of busines) mereka di negaranegara yang berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di luar negara tempat para pihak mempunyai usaha mereka. Ketiga, jika suatu tempat di mana bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus dilaksanakan atau tempat di mana objek sengketa paling erat hubungannya (most closely connected) letaknya di luar negara tempat para pihak. Keempat usaha menyetujui bahwa pabila para pihak secara tegas telah berhubungan objek perjanjian arbitrase mereka ini dengan lebih dari satu negara”. Dari uraian tersebut terlihat jelas perbedaan antara arbitrase nasional dengan arbitrase internasional. Perbedaan kedua jenis arbitrase ini terletak pada unsur-unsur yang terdapat di dalam perianjian arbitrase itu sendiri. Seperti telah diuraikan, suatu arbitrase dikatakan bersifat nasional apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam pejanjian arbitrase tersebut hanya mengandung unsur-unsur yang bersifat nasional, sedangkan 40 arbitrase internasional adalah suatu arbitrase yang di dalam perianjian arbitrasenya terdapat unsur-unsur asing. Adapun contoh-contoh dari lembaga arbitrase ini antara lain: 1. Court of Arbitration of the International Chamber Commerce pusat arbitrase internasional yang didirikan di Paris pada 1919. 2. The International Center For Settlement of In stment Dispates (CSID). Arbitrase ini adalah badan arbitrase bersifat internasio- nal yang mengatur sengketa investasi berskala internasional. 3. United Nation Commission on International Trade Lato (UNCITRAL). c) Arbitrase Institusional Regional (Regional Arbitration) Arbitrase institusional regional adalah suatu lembaga arbitrase yang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya berwawasan regional, seperti Regional Center for Arbitration yang didirikan oleh Asia-Afrika Legal Consultative Committee (AAALC). 2.4 Klausula Arbitrase Klausula arbitrase adalah suatu klausula dalam perjanjian antara para pihak yang mencantumkan adanya kesepakatan untuk menyelesaiakan sengketa yang timbul antara para pihak melalui proses arbitrase. Klausula arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf, dijelaskannya sebagai berikut: “penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat 41 dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelu sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause)”.40 Dalam Pasal 7-11 UU AAPS maupun dalam konvensi internasional, dikenal dua bentuk klausula arbitrase, yaitu: 1. Pactum de compromittendo Pactum de compromittendo adalah suatau klausula arbitrase yang dibuat sebelum timbulonya sengketa. Jadi, sejak awal klausula arbitrase ini telah dibuat oleh para pihak sebagai bentuk kesepakatan mereka untuk menyelesaiakan sengketa tersebut melalui lembaga arbitrase dan bukan melalui lemabaga pengadilan. Pactum de compromittendo dibiuat secara bersamaan dengan perjanjian pokok. Bentuk klausula yang disebut “pactum de compromittendo”, dimana bentuk klausula ini semula diatur dalam Pasal 615 ayat 3 Rv. dan diadopsi/diatur dalam Pasal 7 UU AAPS dan diatur juga dalam Pasal II Konvensi New York 1958. Hal yang penting dalam ketentuan Pasal ini antara lain, membolehkan untuk membuat persetujuan di antara para pihak yang membuat persetujuan, untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari akan diselesaikan dan diputus oleh arbitrase. Kesepakatan inilah yang dimaksud dengan 40 Huala Adolf, Op.Cit, hal 208. 42 “klausula arbitrase”.41 Dalam klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Pada saat mereka mengikat dan menyetujui klausula arbitrase, sama sekali belum terjadi perselisihan. Seolah-olah klausula arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi perselisihan yang nyata, para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi pada arbitrase. Mengenai cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ini tidak tegas diatur dalam Pasal 615 ayat 3 Rv. maupun dalam Pasal II Konvensi New York 1958. Namun dari segi pendekatan penafsiran dan dalam praktik dijumpai dua cara yang dibenarkan, yaitu: 1. Mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok. Ini cara yang paling lazim. Klausula arbitrase langsung digabungkan dan dicantumkan dalam perjanjian pokok. Perjanjian pokok menjadi satu kesatuan dengan klausula arbitrase, yang satu dengan yang lain tidak terpisah dokumennya. Dalam perjanjian pokok, langsung dimuat persetujuan arbitrase yang berisi kesepakatan, bahwa para pihak setuju akan menyelesaikan perselisihan (dispute atau defference) yang timbul di kemudian hari melalui forum arbitrase. 41 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, Hal. 107. 43 2. Pactum de compromittendo yang dibuat dalam akta tersendiri. Di samping apa yang telah dijelaskan di atas, pactum de compromittendo dapat dibuat tersendiri. Perjanjian arbitrase dalam hal ini tidak langsung digabung menjadi satu dengan perjanjian pokok, tetapi dibuat terpisah dalam akta tersendiri. Akta perjanjian pokok merupakan dokumen tersendiri, begitu juga perjanjian arbitrasenya. Dengan demikian, ada dua dokumen, yakni akta perjanjian pokok dan akta pembuatan rupa akta yang terpisah Apabila pactumde compromittendo berupa akta yang terpisah dari perjanjian pokok, waktu pembuatan perjanjian arbitrase harus tetap berpegang pada ketentuan, yaitu bahwa akta persetujuan arbitrase harus sudah dibuat “sebelum” perselisihan terjadi. Hal itu sesuai dengan syarta formil keabsahan pactumde compromittendo yang harus dibuat sebelum perselisihan timbul. Boleh dibuat beberapa saat setelah pembuatan perjanjian pokok, atau dibuat beberapa lama setelah pembuatan perjanjian pokok, asalkan dibuat sebelum terjadi perselisihan. 2. Acte compromis Adalah klausula arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa setelah timbulnya sengketa. Jadi apabila Pactum de compromittendo dibuat sebelum timbulnya sengketa, akte kompromis sebaliknya, yaitu dibuat setelah adanya sengketa. Perbedaan yang esensil di anatar kedua klausula tersebut adalah 44 terletak pada saat pembuatnnya. Pactum de compromittendo dibuat pada saat belum ada sengketa, sedangkan akte compromis setelah ada sengketa.42 Jadi dari uraian diatas baik Pactum de compromittendo maupun akte kompromis adalah sama klausula arbitrase (perjanjian). Dengan kata lain kedua klausula arbitrase tersebut adalah sama dasar hukum dan filsafah bagi semua pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase. Bentuk perjanjian arbitrase disebut acte compromis(akta kompromis) ini diatur dalam Pasal 9 UU AAPS: “Ayat (1): Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang di tandatangani oleh para pihak. Ayat (2): Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaim dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris”. Ketentuan tersebut sama dengan yang semula diatur dalam Pasal 618 Rv: 1. Persetujuan arbitrase harus diadakan secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak, jika para pihak tidak mampu menanda tangani, maka persetujuan harus dibuat di muka notaris. 2. Persetujuan harus memuat masalah yang menjadi sengketa, nama dan tempat tinggal para pihak, dan juga nama serta tempat tinggal arbiter atau anggota para arbiter yang selalu harus dalam jumlah diri. ganjil. 42 Suleman Batubara dan Orinton Purba, Op.Cit, hal. 20-21. 45 Dari bunyi Pasal 9 UU AAPS atau Pasal 618 Rv. dapat dilihat, akta kompromis sebagai perjanjian arbitrase dibuat peranjian pokok berjalan dan kemudian timbul perselisihan antara para pihak. Adapun sebelumnya, baik dalam perjanjian maupun dengan akta tersendiri, tidak diadakan persetujuan arbitrase. Dalam kasus yang seperti ini, apabila para pihak menghendaki agar perselisihan diselesaikan melalui forum arbitrase, mereka dapat membuat perjanjian untuk itu. Jadi, akta kompromis merupakan kebalikan dari pactum de compromittendo. Dalam pactum de compromittendo, perjanjian penyelesaian perselisihan melalui arbitrase telah disepakati sejak semula sebelum perselisih terjadi. Pada akta kompromis perjaniian penyelesaian perselisihan melalui arbitrase baru diikat dan disepakati setelah terjadi perselisihan. Namun dalam praktik perjanjian arbitrase yang dibuat setelah terjadi sengketa jarang terjadi dan sulit dilaksanakan. Karena para pihak yang sudah berada dalam suatu perselisihan, tidak dapat dibawa dalam suatu permufakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur arbitrase. Keuntungan menggunakan akta kompromis ini yaitu penunjukan siapa arbiter yang akan menangani perselisihan sudah jelas. Ada kelemahannya yaitu bila terjadi perselisihan belum tentu bisa diselesaikan melalui arbitrase. Oleh karena itu, penerapan atau syarat-syarat sahnya akta 46 kompromis yang diatur dalam Pasal 9 UU AAPS dapat diperinci sebagai berikut: “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a. masalah yang dipersengketakan; b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. nama lengkap sekretaris; f. jangka waktu penyelesaian sengketa; g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase”. Persyaratan yang perinci tersebut berkenaan dengan kehendak dari pihakpihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase setelah terbit sengketa. Persyaratan yang mendetail itu tidak diperlukan jika perjanjian dibuat sebelum timbul sengketa. Persyaratan yang mendetail sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) UU AAPS merupakan syarat mutlak, karena adanya sanksi tersebut dalam ayat (4) yang menyatakan: “perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud di atas batal demi hukum”. 47 2.4.1 Macam-Macam Klausula Arbitrase 1. Klausula Arbitrase Umum Klausula arbitrase apabila dilihat dari sudut isinya, dapat diklasifikasikan dalam dua klasifikasi, yaitu klausula arbitrase yang bersifat umum (general) dan khusus. Suatu klausula arbitrase dikatakan bersifat umum apabila di dalam klausula arbitrase tersebut secara jelas dan nyata dikatakan bahwa semua (all) sengketa yang timbul dalam pelaksanaan suatu perjanjian akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Jadi, adanya kata semua (all) dalam klausula arbitrase memberikan pengertian bahwa kalusula arbitrase tersebut bersifat umum (general).43 Klausula arbitrase dikatakan umum apabila sengketa yang akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase adalah bersifat umum atau keselurahan tentunya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Adapun contoh kalusula arbitrase tersebut bersifat umum (general) dalam lembaga arbitrase BANI: “semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa 43 Ibid. adanya kata “semua” tersebut dengan sendirinya 48 memberikan pengertian bahwa objek sengketa yang arbitrase adalah semua yang tentunya termasuk dalam ruang lingkup arbitrase.jadi, klausula arbitrase yang bersifat umum atau general ini adalah suatu klausula arbitrase yang di dalamnya dicantumkan secara jelas dan nyata bahwa yang menjadi objek sengketa arbitrase adalah semua jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase.44 2. Klausula Arbitrase yang Bersifat Khusus Klausula arbitrase yang bersifat khusus ini adalah klausula arbitrase yang di dalamnya ditentukan secara spesifik atau jelas tentang apa-apa yang menjadi objek sengketa arbitrase.dengan kata lain, tidak semua sengketa yang akan timbul nantinya dari suatu perjanjian akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase. ciri dari klausula arbitrase yang bersifat khusus ini adalah terdapatnya kata “sebagian” (any) dalam klausula arbitrase itu sendiri, seperti contoh klausula arbitrase UNCITRAL: “Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this contract, or the breach, termination or invalidity there of, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at present in force”. "sebagian perselisihan, perselisihan atau gugatan yang timbul dari atau berhubungan dengan kontrak ini, atau pelanggaran, penghentian atau ketidakabsahan daripadanya, harus diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan Peraturan Arbitrase UNCITRAL seperti saat ini berlaku". Dari klausula arbitrase UNCITRAL tersebut di atas, terlihat jelas bahwa dalam klausula arbitrase tersebut tercantum kata “any” yang 44 Op.Cit, hal 22. 49 memiliki arti bahwa objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase terkait dengan suatu perjanjian hanyalah sengketasengketa yang telah ditentukan sebelumnya oleh para pihak. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa klausula arbitrase yang bersifat khusus adalah suatu klausula arbitrase yang objek sengketanya terbatas, yaitu sesuai dengan kesepakatan para pihak. 2.5 Pengertian Perjanjian Secara Umum 2.5.1 Perikatan dan Perjanjian Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris). Perjanjian sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak berarti para pihak yang bersepakat memiliki suatu hubungan hukum untuk melaksanakan hak dan kewajiban masingmasing. Hubungan hukum ini sering disebut sebagai perikatan. Perikatan didefinisikan sebagai suatu hubungan hukum yang mengikat antara orang yang satudan orang yang lain berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut 50 sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.45 Perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan selain undangundang makayang menjadi kaitan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau sanggupan yang diucapkan atau ditulis.46 Perjanjian dapat dilakukan secara lisan dan secara tertulis. Perjanjian lisan biasanya dilakukan oleh masyarakat adat untuk ikatan hukum yang sederhana. Sedangkan perjanjian tertulis biasanya dilakukan oleh masyarakat yang modern, berkaitan dnegan bisnis yang hubungan hukumnya kompleks. Perjanjian tertulis ini yang hubungan hukumnya kompleks disebut dengan kontrak. Namun tidak semua perjanjian tertulis diberikan judul kontrak, tergantung kepada kesepakatan para pihak, sifat, materi perjanjian dan kelaziman dalam penggunaan istilah untuk perjanjian itu.47 Adapun beberapa pandangan para Sarjana mengenai perjanjian adalah: Rutten menyatakan bahwa: “perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitasformalitas dari peraturan-peraturan yang ada, tergantung dari persesuaian kehendak dua orang atau lebih orang-orang yang ditunjukkan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik”.48 45 Abdulkadir Muhammad, 2010, Bandung, h.229 46 Hukum Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, 2014, Implementasi KetentuanKetentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 28. 48 Purwahid Patrik, 1984, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, h.46. 47 51 J.Van Dunne menyatakan bahwa: “perjanjian dapat ditafsirkan sebagai suatu hubungan hukum penawaran dari satu pihak dan perbuatan hukum penerimaan dari pihak lain.”49 Subekti menyatakan bahwa: “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.”50 2.5.2 Sumber-sumber Hukum Perjanjian A. Kitab Undang-undang Hukum Perdata a. Pasal 1338 KUHPer tentang asas kebebasan berkontrak (a) membuat, tidak membuat perjanjian (b) mengadakan perjanjian dengan siapapun (c) menentukan isi, persyaratan dan pelaksanaan perjanjian (d) menentukan bentuk perjanjian. b. Pasal 1233-psl 1312 KUHPer tentang Perikatan pada umumnya. c. Pasal. 1313-1351 KUHPer tentang perikatan yang lahir dari peranjian. d. Pasal 1381-1456 KUHPer tentang hapusnya perikatan. e. Pasal 1457-1540 KUHPer tentang jual beli. f. Pasal 1541-1546 KUHPer tentang tukar menukar. g. Pasal 1548-1600 KUHPer tentang sewa menyewa. h. Pasal 1601-1617 KUHPer tentang persetujuan untuk melakukan pekerjaan. 49 Ibid. R. Subekti, loc.cit. 50 52 i. Pasal 1618-1652 KUHPer tentang Persekutuan. j. Pasal 1666-1693 KUHPer tentang Hibah. k. Pasal 1694-1739 KUHPer tentang Penitipan barang. l. Pasal 1740-1753 KUHPer tentang Pinjam pakai. m. Pasal 1754-1769 KUHPer tentang Pinjam meminjam. n. Pasal 1792-1819 KUHPer tentang Pemberian kuasa. o. Pasal 1820-1850 KUHPer tentang Penanggungan utang. p. Pasal 1851-1864 KUHPer tentang Perdamaian. q. Pasal 1865-1894 KUHPer pasal-pasal yang berkaitan dengan bukti tulisan. B. Perundang-Undangan Terkait a. Undang-undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi khususnya: 1. Pasal 1 ayat 5 tentang Definisi Kontrak Kerja Kontruksi 2. Pasal 22 tentang Kerangka Kontrak Konstruksi. b. Undang-undang No. 4 tahun 1986 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Serta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, khususnya: 1. Pasal 10 ayat 2 mengatur tentang pembuatan akta hak pemberian tanggungan. 2. Pasal 11- pasal 17 hal-hal dicartu sal dalam akta Pemberian Hak Tanggungan c. Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, khususnya: 1. Pasal 5 mengatur tentang Pembebanan Jaminan Fidusia yang harus dibuat dengan akta Notaris. 53 2. Pasal 6 tentang struktur/Kerangka akta Jaminan Fidusia. d. Undang-undang No.30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris khususnya: Pasal 38 tentang Struktur Kerangka Akta Notaris e. Undang-undang 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya: 1. Pasal 17 tentang larangan memproduksi iklan yang isinya menyesatkan. 2. Pasal 18 tentang aturan dalam mencantumkan klausula baku dan setiap perjanjian. f. Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 2.5.3 Mengikatnya Perjanjian Sebagaimana ditentukan dalam pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat mengikat orang yang membuat. Para pihak harus mentaati apa yang diperjanjikannya itu, keharusan itu lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata). Berkaitan dengan hal ini, maka suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung arti bahwa antara para pihak dalam perjanjian telah ada persesuaian kehendak masingmasing. Kesepakatan ini tidak sah apabila disebabkan oleh kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan (Pasal 1321, Pasal 1322, dan Pasal 1328 54 KUHPerdata) persetujuan dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. mengadakan Sebelum perundingan ada persetujuan (negotiation), biasanya yaitu pihak pihak-pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya sehingga tercapai persetujuan yang mantap.51 Sepakat merupakan salah satu syarat yang amat penting dalam sahnya suatu perjanjian. Sepakat ditandai dengan adanya penawaran dan penerimaan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan simbol-simbol tertentu. Kesepakatan dengan cara tertulis dapat dilakukan dengan akta otentik maupun akta dibawah tangan. Kesepakatan secara lisan banyak terjadi dalam pergaulan masyarakat sederhana. Misalnya saat berbelanja di pasar. Kesepakatan secara diam-diam juga banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari saat berbelanja di swalayan dengan mengambil barang menyerahkan kepada kasir dan membayar barangnya kesepakatan menggunakan simbol juga banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari yaitu saat kita berbelanja di warung untuk membeli rokok maka dengan menempel dua jari di mulut merupakan simbol untuk membeli rokok.52 Kesepakatan sesungguhnya merupakan inti dari perjanjian. Kapan kesepakatan itu terjadi merupakan pertanyaan yang sangat penting. Karena 51 Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.89 52 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.52. 55 kapan kesepakatan itu terjadi sebagai saat lahirnya perjanjian, ada berbagai teori untuk kapan lahirnya perjanjian, yaitu: 1. Teori Kehendak Menurut teori ini, pada hakekatnya yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah kehendak. Suatu penerapan konsekuan dari teori ini adalah bahwa kalau terjadi perbedaan atau pertentangan antara pernyataan dengan kehendaknya maka tidak terjadi perjanjian. Teori ini akan menghadapi kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. 2. Teori Keterangan Menurut teori ini yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah semata-mata keterangan atau pernyataan yang dikemukakan. Jika terjadi pertentangan antara kehendak dengan pernyataan, maka perjanjian dianggap terjadi seperti yang dituangkan dalam keterangan atau pernyataan. 3. Teori Kepercayaan Menurut teori ini tidak semua keterangan atau pernyataan yang menyebabkan terjadinya perjanjian, tetapi hanyalah keterangan atau pernyataan yang menimbulkan kepercayaan bahwa hal itu memang sungguh-sungguh dikehendaki.53 53 H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, h.26. 56 b. Kecakapan untuk membuat perikatan Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum karena kecakapan bertindak dapat melahirkan perjanjian yang sah. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, dalam KUHPerdata Pasal 1330 disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. 1. Orang yang belum dewasa, yang ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. 2. Mereka yang masih di bawah pengampuan, sesuai ketentuan Pasal 433 KUHPerdata adalah orang yang dungu, sakit otak, mata gelap, dan boros. 3. Orang Perempuan dalam hal tertentu dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang.54 orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan- persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. 54 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.57. 57 Akan tetapi hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu adalah pokok perjanjian karena merupakan objek perjanjian dan prestasi yang harus dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau setidaknya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus jelas, ditentukan jenisnya ataupun jumlahnya. Keharusan mengenai suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.55 d. Suatu sebab/kausa yang halal Kausa yang halal dalam perjanjian yaitu isi dari perjanjian itu sendiri. Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan defenisi dengan jelas tentang causa yang halal. Dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa sebab yang halal adalah : 1. Bukan tanpa sebab 2. Bukan sebab yang palsu 3. Bukan sebab yang terlarang Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu sebab terlarang apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila 55 R. Subekti, op.cit, h.19. 58 berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Rumusan Pasal 1337 sesungguhnya tidak memberikan batasan yang pasti tentang makna sebab terlarang maka apabila tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian itu batal demi hukum. Hal ini berarti dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian dilakukan dan tujuan para pihak tersebut dalam melahirkan persetujuan adalah gagal. Hal suatu syarat subtyektif, jadi syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian ini dapat dibatalkan. Jadi, perjanjian yang telah dibuat akan tetap berlaku selama tidak ada pembatalan dari para pihak.56 Pada hakikatnya, perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 yo. 1917 KUHPer). Namun demikian, ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata memberikan pengecualian, yaitu perjanjian yang dibuat oleh si berutang yang merugikan kepentingan si berpiutang, maka si berpiutang dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja (actio Pauliana). 2.5.4 Asas-Asas Dalam Perjanjian Menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, dalam KUHPer memberikan berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, sehingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak yang dapat dipaksakan pelaksanaanya atau pemenuhannya. Berikut asas56 R. Subekti, loc.cit. 59 asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata: a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun 3. Menentukan isi perjanjia, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan 4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.57 Asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang. b. Asas Konsensualitas Asas konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua, bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, segara setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan tersebut telah 57 H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, h.2 60 tercapai secara lisan semata karena perjanjian tidak harus memerlukan formalitas. Ketentuan tentang asas konsensualitas dapat ditemui juga dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu syaratsyarat perjanjian yang salah satunya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.58 c. Asas Personalitas Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan: “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri”.Dari rumusan tersebut pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum pribadi hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.59 d. Asas Pacta Sunt Servada Asas Pacta Sunt Servada disebut juga dengan asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt Servada dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.60 58 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.48. Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjadja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Perdasa, Jakarta. h.14. 59 60 H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, loc.cit.