PRINSIP-PRINSIP HUKUM LAUT INDONESIA Pengantar Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi MARCEL HENDRAPATI SM NOOR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2009 1 KATA PENGANTAR Buku dengan judul “Prinsip-Prinsip Hukum Laut Indonesia” ( Jilid I) terinspirasi (inspired) oleh makalah saya sebagaii Rektor Universitas Hasanuddin yang berjudul “PENINGKATAN KEWASPADAAN NASIONAL BERBAGAI KOMPONEN BANGSA DALAM RANGKA MEMPERKUAT NKRI SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN”, di mana makalh ini telah dipresentasikan dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Ruang Pola Kantor Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 14 Agustus 2007. Seminar yang terselenggara atas kerjasama pihak MABES TNI AL dengan Departemen Dalam Negeri RI dilaksanakan dalam rangka peresmian KRI Makassar 590 yang pada saat peresmiannya saya mdendapat undangan untuk menghadirinya. Dalam menyusun makalah dengan judul tersebut di atas, saya menugaskan kepada dua orang staf dosen Fakultas Hukum Unhas (sdr Marcel Hendrapati dan SM Noor) dalam membantu merumuskan pemikiran saya terkait dengan materi makalah saya tersebut. Diterbitkannya buku dengan judul “Prinsip-Prinsip Hukum Laut Indonesia” saya sambut dengan gembira sebab materi-materinya sangat aktual dan relevan dewasa ini, yaitu menyangkut berbagai materi dari hukum laut yang sudah terkodifikasi dalam Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea in 1982) dan telah berlaku secara efektif sejak 16 November 1994 dan sudah menjadi hukum positif Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.17 Tahun 1985 dan untuk sebagian telah diimplementasikan melalui pelbagai peraturan perundang-undangan nasional sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negara. Di samping itu kegembiraan saya dalam hubungan dengan terbitnya buku ini didasarkan atas alasan bahwa buku yang berjudul “Prinsip-Prinsip Hukum Laut Indonesia” terkait dengan Pola Ilmiah Pokok (PIP) Universitas Hasanuddin yang merupakan orientasi pemikiran strategis dalam pendidikan di Universitas ini bagi pengembangan Tri Darmanya (aspek pengajaran atau pembelajaran, aspek pengembangan dan penelitian ilmiah serta aspek pengabdian pada masyarakat) berdasarkan kompetensi spesifik yang dimiliki suatu perguruan tinggi. Ditetapkannya Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai PIP Unhas sejak tahun 1975 dan masih sangat relevan hingga dewasa ini didasarkan atas pemikiran-pemikiran mendasar yang terkait dengan keadaan lingkungan Daerah Sulawesi Selatan tempat di mana Unhas berdomisili, sejarah kehidupan masyarakat luas serta kebudayaannya yang tidak dapat dipisahkan dari aspek kebaharian. Referensi seperti itu. dapat dikatakan masih langka dalam kepusatakaan hukum di negeri kita sebagai negeri bahari. Atas dasar pemikiran ini maka terbitnya buku ini dapat dilihat sebagai sebuah kepustakaan atau referensi dalam bidang hukum laut masih sangat dinantikan oleh berbagai kalangan baik dari kalangan kampus maupun dari luar kampus. Buku ini kiranya dapat memberikan manfaat baik bagi mereka yang berkeinginan untuk mendalami disiplin Ilmu Hukum Laut maupun bagi mereka yang bekerja selaku aparat penegak hukum di laut, para pengacara, jaksa dan hakim dan siapapun yang ingin menjadi pemerhati. 2 Atas nama seluruh Civitas Academica Universitas Hasanuddin, saya selaku Rektor Universitas Hasanuddin menyampaikan penghargaan kepada pemrakarsa penerbitan buku ini, khususnya kepada penulis yang sudah berupaya menyebarluaskan perkembanganperkembangan terbaru dalam bidang Hukum Laut yang terjadi pada tingkat global, regional, nasional dan lokal. Berikut ini disisipkan makalah yang pernah saya presentasekan dalam Seminar yang diselenggarakan atas kerjasama Departemen Dalam Negeri RI dengan pihak TNI Angkatan Laut RI sebagai tindak lanjut atas peresmian Kapal KRI Makassar 590 pada awal Agustus 2007. PENINGKATAN KEWASPADAAN NASIONAL KOMPONEN BANGSA DAN KESADARAN KEBANGSAAN DALAM RANGKA PENGUATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Idrus A. Paturusi Latar Belakang Pulau Sipadan dan Ligitan yang merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda karena kedua pulau terluar ini tercantum secara jelas melalui Peta yang menindaklanjuti Perjanjian yang berhasil ditandatangani oleh Inggeris dan Belanda pada tahun 1891 (J.G. Starke, Introduction To International Law, 1984, Hlm.152-153). Peta wilayah Hindia Belanda yang di dalamnya termasuk Pulau Sipadan-Ligitan telah diserahkan kepada Pemerintah Inggeris dan disimpan oleh Departemen Luar Negerinya sehingga sesungguhnya Pemerintah Inggeris yang menjadi Pemerintah Kolonial Malaysia sudah mengakui kalau kedua pulau tersebut adalah milik Belanda yang berarti pula milik Indonesia. Namun demikian sejak tahun 2003 lalu kedua pulau terluar itu tinggal menjadi kenangan karena Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedua pulau yang sejak lama dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia yang kini dipimpin oleh PM Abdullah Ahmad Badawi dinyatakan menjadi negara pemilik atas kedua pulau terluar dengan alasan bahwa negeri ini berhasil baik dalam menjamin pelestarian lingkungan maupun terutama dalam melaksanakan apa yang dinamakan pendudukan atau pengendalian efektif (effective occupation) atas kedua pulau yang telah berlangsung sejak tahun 1930 (Harian Kompas 6 Juli 2003, Hlm.1).Pulau Miangas yang dahulu bernama Pulau Palmas adalah salah satu pulau terluar RI di Propinsi Sulawesi Utara dan berbatasan langsung dengan negara tetangga Philipina. Hak kepemilikan Indonesia atas Pulau Palmas tidak dapat dipisahkan dari hak kepemilikan dan kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda atas pulau yang pernah dipersengketakan dengan pihak AS yang menjadi negara kolonial atas wilayah kepulauan Philipina pada tahun 1906. Hak kepemilikan Hindia Belanda atas Pulau Palmas didasarkan atas keputusan Mahkamah Arbitrase Permanen yang menyatakan bahwa Belanda terbukti telah menjalankan kedaulatan teritorialnya secara terus menerus tanpa mendapatkan kecaman dan tantangan dari negara-negara lain atas Pulau tersebut. Pelaksanaan kedaulatan territorial ini dapat dibuktikan dengan diadakannya perjanjian atau kontrak antara Pemerintah Hindia Belanda dengan para raja dari Pulau Palmas pada tahun 1677 sehingga pulau yang 3 sebelumnya terisolasi lalu menjadi terbuka dan masyarakatnya dapat menjalin hubungan dagang dengan perusahaan Inggeris di India. Kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan memberikan pelajaran sangat berharga kepada semua komponen bangsa karena kedua pulau warisan Hindia Belanda ternyata dibiarkan saja dalam keadaan terlantar karena tidak punya kemauan dan kemampuan untuk melakukan pengendalian atas pulau tersebut dan hal ini berarti komponen bangsa kurang atau tidak memiliki kewaspadaan nasional, terutama kewaspadaan nasional untuk memelihara dan meningkatkan kesadaran kebangsaan sehingga dengan relative mudah beralih ke tangan negara lain, sementara negara tetangga tentu telah menyelidiki dan mempelajari tingkat kewaspadaan nasional dari berbagai komponen bangsa dan kesadaran kebangsaan yang dimiliki oleh masyarakat yang mendiami Pulau SipadanLigitan yang sampai tahun 2003 masih merupakan pulau-pulau terluar Indonesia. Di samping kita tidak menjalankan pengendalian efektif atas Pulau Sipadan-Ligitan, demikian komponen bangsa tidak mempunyai kewaspadaan nasional dalam bidang politik serta pertahanan dan keamanan, juga masyarakat yang tinggal di pulau-pulau terluar tidak memiliki perasaan nasionalime, padahal bagaimanapun juga mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Pada waktu yang sama negara lain termasuk negara tetangga dengan dalih atau alasan tertentu melakukan berbagai upaya guna mempengaruhi dan bahkan meruntuhkan kewaspadaan nasional dari komponen bangsa serta kesadaran kebangsaan sehingga membawa dampak negative atas keutuhan territorial NKRI sebagai Negara Kepulauan. Dengan demikian lepasnya kedua pulau tersebut dari pangkuan Ibu Pertiwi bukan semata-mata kesalahan negeri tetangga kita, melainkan kesalahan dari berbagai komponen bangsa yang lalai dan tidak memiliki kewaspadaan nasional, termasuk kewaspadaan dalam memelihara dan meningkatkan kesadaran kebangsaan dari masyarakat yang tinggal di Pulau Sipadan-Ligitan yang pernah menjadi pulau terluar Indonesia sehingga kasus lepasnya kedua pulau ini kepada negara lain berdasarkan putusan Mahkamah Internasional tahun 2003 lalu seharusnya tidak terulang kembali pada masa-masa mendatang demi keutuhan wilayah NKRI sebagai Negara Kepulauan. Pulau Palmas Walaupun Pulau Palmas atau Pulau Miangas adalah milik Hindia Belanda berdasarkan putusan Arbitrasi Internasional dalam kasus persengketaan Pulau Palmas antara AS dan Belanda dan dengan begitu menjadi milik Indonesia, namun pulau terluar di ujung Propinsi Sulawesi Utara menyimpan kerawanan yang memerlukan adanya kewaspadaan nasional, mengharuskan diambilnya langkah-langkah untuk memelihara serta meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat yang berada di Pulau Miangas. Kerawanan ini terjadi akibat kurangnya kewaspadaan nasional dari berbagai komponen bangsa yang ada di negeri ini serta terkikisnya perasaan kebangsaan masyarakat setempat terutama dalam bidang sosial budaya. Dari segi sosial budaya masyarakat atau penduduk yang berdiam di daerah perbatasan kedua negara mempunyai hubungan kekerabatan lebih kuat dibandingkan dengan mereka yang tidak berdiam di Pulau Miangas. Selain adanya hubungan keluarga antarpenduduk yang bertempat tinggal di pulau terluar Indonesia dan pulau terluar Philipina yang tidak mungkin diingkari, penduduk Indonesia di Pulau Miangas umumnya hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa asli Philipina, yaitu bahasa 4 Tagalog, sedangkan bahasa Indonesia yang sebenarnya menjadi bahasa persatuan dan kesatuan jarang dipergunakan sebagai alat komunikasi sehingga menimbulkan kerawanan-kerawanan yang harus mendapatkan perhatian dan penanganan dari berbagai komponen bangsa. Hal ini dapat dilakukan dengan memelihara serta meningkatkan kewaspadaan nasional dari komponen bangsa baik yang berada di pusat maupun di daerah secara keseluruhan dan mengambil berbagai langkah dalam mengantisipasi serta menanggulangi fenomena menurunnya atau bahkan hilangnya kesadaran kebangsaan masyarakat yang berdiam di Pulau Miangas sebagai pulau terluar sebab pengingkaran atau pelecehan terhadap peningkatan kewaspadaan nasional maupun kesadaran kebangsaan ini dapat membawa implikasi di bidang pertahanan dan keamanan serta mengancam keutuhan wilayah NKRI sebagai negara yang menganut prinsip Negara Kepulauan. Ambalat Klaim Malaysia terhadap wilayah perairan di sekitar blok Ambalat dan Ambalat Timur di Laut Sulawesi (Jurisdictionary, Volume 1 Nomor 2, April 2005, hlm.15-17) pada tahun 2005 dengan berpedoman pada putusan Mahkamah Internasional yang memenangkan negeri yang pernah lama diperintah oleh Mahathir Muhammad menyangkut kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan adalah suatu peristiwa yang cukup menyakitkan karena hal ini menunjukkan kurangnya kewaspadaan nasional bangsa ini (untuk tidak menyatakan tidak adanya samasekali kewaspadaan nasional) dalam mencegah dan mengantisipasi terjadinya klaim territorial seperti itu. Kurangnya kehatihatian atau kewaspadaan dari berbagai komponen bangsa terkait dengan perairan nasional di sekitar blok perminyakan serta adanya kelalaian dalam menciptakan dan memelihara perasaan nasionalisme masyarakat di Pulau Marore dan Marampit dan Pulau Sebatik yang letaknya sangat berdekatan dengan blok Ambalat dan Ambalat Timur di Laut Sulawesi memberikan kontribusi yang tidak kecil atas kegagalan kita dalam mencegah dan mengantipasi klaim teritorial negara tetangga atas perairan di sekitar kedua blok pertambangan yang sudah puluhan tahun menjadi wilayah pertambangan nasional Indonesia mengingat perairan di sekitar Ambalat dan Ambalat Timur mempunyai status hukum sebagai bagian dari perairan kepulauan kita sehingga kalau hal ini dibiarkan dapat mengganggu keutuhan territorial NKRI sebagai Negara Kepulauan. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka untuk tidak terulangnya kasus-kasus teritorial yang baru dikemukakan diperlukan adanya langkah-langkah dalam meningkatkan kewaspadaan nasional dari semua komponen bangsa di berbagai bidang maupun kesadaran kebangsaan dari masyarakat pulau-pulau terluar. Untuk mencegah dan mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus Sipadan-Ligitan jilid II yaitu jatuhnya wilayah kedaulatan RI ke tangan negara lain, juga untuk menghindari dan menanggulangi timbulnya klaim negara tetangga atas sebagian wilayah perairan yang berpotensi untuk berakhir pada berkurangnya wilayah perairan nasional kita seperti kasus klaim Malaysia atas sebagian perairan di Laut Sulawesi, dan selanjutnya untuk mengatasi kemungkinan timbulnya kasus yang mirip dengan kasus masyarakat yang berdiam di Pulau Miangas, 5 maka semua komponen bangsa harus bersatu padu dalam memelihara, meningkatkan dan memantapkan kewaspadaan nasional di berbagai bidang serta membantu, mendorong dan menanamkan kesadaran kebangsaan pada masyarakat pulau-pulau terluar pada khususnya demi keutuhan NKRI sebagai Negara Kepulauan. Tanpa kebersamaan dalam memelihara dan meningkatkan kewaspadaan nasional oleh berbagai komponen bangsa maupun tanpa kebersamaan dalam menanamkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk yang mendiami daerah perbatasan atau pulau-pulau terluar mengenai pentingnya memiliki perasaan nasionalisme akan menyebabkan terganggunya keamanan dan stabilitas nasional dan pada akhirnya akan berimbas pada keutuhan territorial NKRI sebagai Negara Kepulauan. Pertanyaannya adalah pertama, sejauh mana pengaturan hukum mengenai peningkatan kewaspadaan nasional komponen bangsa serta kesadaran kebangsaan dalam rangka memperkuat NKRI sebagai Negara Kepulauan; kedua, langkah-langkah apa yang telah dan masih harus dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran mengenai pentingnya arti kebangsaan atau nasionalisme demi penguatan NKRI sebagai suatu negeri kepulauan yang diperjuangkan sejak tahun 1957 atau negeri yang menganut konsepsi Benua Maritim Indonesia. PIP Unhas Memperhatikan tema Lokakarya Nasional II Tahun 2007 yang diselenggarakan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri dan TNI – AL dengan tema “Ketahanan Nasional Masyarakat di PulauPulau Terluar melalui Peningkatan Kewaspadaan Nasional,” demikian pula dengan beberapa sub temanya sebagaimana tertera di dalam Term of Reference dari Panitia Lokakarya ini, maka kami berkesimpulan bahwa ruang lingkup materi Lokakarya ini umumnya akan menitikberatkan pada penguasaan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences). Universitas Hasanuddin sejak tahun 1975 telah menetapkan pilihannya pada Ilmu yang multidisipliner ini sebagai orientasi pemikiran strategis atau sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP) berdasarkan kompetensi yang dimilikinya, tetapi sebagaimana diketahui penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan (yang di dalamnya termasuk disiplin Ilmu Hukum Laut) sebagai Pola Ilmiah Pokok dilakukan melalui pemikiran-pemikiran mendasar yang dikaitkan dengan keadaan lingkungan wilayah Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan yang dikelilingi wilayah laut, kebudayaan dan sejarah kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan sebagai masyarakat bahari tempat di mana Universitas ini berdomisili. Presiden RI (Soeharto) pada saat Dies Natalis UNHAS ke-25 pada tahun 1981 memberikan dukungan strategis atas pilihan Ilmu-Ilmu Kelautan sebagai PIP. Beliau antara lain menyatakan bahwa UNHAS mempunyai kedudukan yang khas dalam pengembangan studi ilmu-ilmu kelautan sebab secara geografis terletak di belahan Timur Nusantara yang luas wilayah lautnya. Usaha Universitas Hasanuddin untuk mengkhususkan diri dalam pengembangan studi ini harus terus dilanjutkan. Studi Ilmu Kelautan ini sangat penting bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan sebab kenyataan menunjukkan bahwa lautan di wilayah Indonesia yang luas dan kaya itu sebagian besar belum diolah. Adalah wajar dan bahkan seharusnya jika Universitas Hasanuddin, tidak hanya memikirkan, tetapi memegang peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ini (Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok UNHAS, 1999, Hlm.2). 6 Pembahasan Masalah Permasalahan pertama dapat dikatakan menyangkut dasar-dasar hukum yang melandasi hak dan kewajiban dari semua komponen bangsa baik dalam usaha meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan demi menjaga kedaulatan atau keutuhan wilayah NKRI sebagai Negara Kepulauan. Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen IV) dalam pasal 1 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 25A UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan undang-undang (pasal 12). Selanjutnya dalam pasal 30 UUD 1945 ditegaskan bahwa tiap-tiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Kepolisian Negara RI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Selanjutnya UUD 1945 menegaskan bahwa Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih (Pasal 35). Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36). Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36A). Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya (Pasal 36B). Pasal-pasal UUD 1945 ini pada prinsipnya mengamanatkan bahwa semua komponen bangsa mempunyai kewajiban konstitusional untuk tetap menjaga dan mempertahankan Negara Republik Indonesia yang berbentuk NKRI yang didasarkan atas kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah RI dari Sabang sampai Merauke sebab Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun dengan susah payah oleh The Founding Fathers serta diilhami melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan berpuncak pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945 harus merupakan sesuatu yang bersifat final serta tidak bisa lagi dijadikan sebagai obyek tawar menawar oleh siapapun. Kewajiban konstitusional yang demikian sakral ini hanya dapat diemban dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya jika seluruh komponen bangsa yang meliputi mereka yang memegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan, kekuasaan pertahanan dan keamanan serta penegakan hukum maupun mereka yang berada di luar kekuasaan apapun senantiasa memiliki dan memelihara kewaspadaaan nasional serta kesadaran kebangsaan yang tinggi dalam berbagai bidang. Semuanya harus bersatupadu untuk mengemban dan melaksanakan tanggungjawab konstitusional dalam menjaga dan memperkuat kedaulatan dan keutuhan NKRI sebagai Negara Kepulauan dengan melakukan langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan kewaspadaan nasional dan kesadaran kebangsaan komponen bangsa secara menyeluruh karena hal ini merupakan warisan yang sangat berharga yang dipersembahkan oleh para Founding 7 Fathers sehingga kendati harus terus diperjuangkan secara terus menerus dalam menghadapi ancaman separatisme di beberapa daerah konflik namun bagaimanapun harus dipertahankan sebagai harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kedaulatan dan keutuhan teritorial NKRI yang harus dijaga dengan melaksanakan tanggungjawab konstitusional dalam meningkatkan kewaspadaan nasional semua komponen bangsa di berbagai bidang, termasuk kesadaran kebangsaan masyarakat terutama masyarakat di pulau-pulau terluar dalam wilayah NKRI untuk memiliki, memelihara dan meningkatkan kesadaran kebangsaannya tidak hanya tertera melalui UUD 1945, tetapi juga secara tersirat dapat diketemukan melalui Ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1973 (Ketetapan MPR RI No.1 Tahun 2003 mengenai Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 s.d. Tahun 2002) yang menetapkan Wawasan Nusantara sebagai konsepsi kesatuan wilayah, bangsa dan negara yang memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan yang meliputi tanah (darat) dan air (laut) secara tak terpisahkan (inseparable). Wawasan Nusantara sebagai suatu wawasan kesatuan bangsa dan negara meliputi segala bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya serta pertahanan dan keamanan. Penetapan Wawasan Nusantara melalui TAP MPR Nomor IV Tahun 1973 pada hakekatnya merupakan pengukuhan dari apa yang dinamakan Konsepsi Nusantara yang untuk pertama kalinya dicetuskan melalui Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 (Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, 1978, Hlm.203-204). Selanjutnya prinsip-prinsipnya dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 4/ Prp.1960 serta diperkuat dan dikembangkan melalui berbagai peraturan perundang-undangan lain seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 mengenai pengesahan RI atas KHL 1982 (Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 76, TLN RI Nomor 3319) yang di dalammya memuat pengakuan masyarakat internasional terhadap Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 (yang mengganti dan mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 4/ Prp. Tahun 1960) mengenai wilayah perairan Indonesia, demikian pula dengan berbagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 mengenai Perikanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 1998 mengenai Daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia di Laut Natuna, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002 mengenai ALKI, Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2002 mengenai Hak Lintas Damai, Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 mengenai Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (Jakarta, 29 Desember 2005) yang keseluruhannya begitu signifikan bagi kedaulatan dan keutuhan NKRI sebagai Negara Kepulauan sehingga harus dijaga dan dilindungi dengan meningkatkan kewaspadaan nasional dan kesadaran kebangsaan semua komponen bangsa tanpa kecuali. Demikian uraian menyangkut dasardasar hukum yang melandasi perlunya meningkatkan kewaspadaan nasional dan kesadaran kebangsaan semua komponen bangsa dalam memperkuat NKRI sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia. 8 Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baselines) Selanjutnya dalam membahas permasalahan kedua menyangkut tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang telah dan harus dilakukan dalam memelihara dan meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan seluruh komponen bangsa dan masyarakat termasuk pula di pulau-pulau terluar dalam menjaga keutuhan NKRI sebagai Negara Kepulauan, maka langkah-langkah yang harus segera dilakukan antara lain adalah mengimplementasikan seluruh ketentuan-ketentuan yang ada yang memperkuat kedudukan NKRI sebagai negara kepulauan dengan menegaskan batas-batas wilayah negara. Penegasan batas-batas wilayah negara RI harus segera dilakukan melalui pemetaan atas wilayah perairan RI dengan menetapkan dan mendeklarasikan sebuah peta mengenai garis pangkal kepulauan Indonesia, yaitu peta yang menunjukkan garis-garis pangkal yang menghubungkan pulau-pulau terluar yang jumlahnya sekitar 166 buah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (LN RI Tahun 2002 Nomor 72, TLN RI Nomor 4211). Berdasarkan ketentuan KHL 1982 yang kita telah ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, Indonesia berkewajiban untuk membuat peta mengenai garis-garis pangkal lurus kepulauan. Namun kalau Indonesia belum berkesempatan untuk membuat peta mengenai garis pangkal lurus kepulauan, maka sebagai gantinya Indonesia dapat membuat atau menetapkan daftar koordinat geografis pada sejumlah pulau-pulau terluar untuk ditetapkan daftar koordinat geografisnya pada titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Sesuai ketentuan yang berlaku, baik peta ataupun daftar koordinat geografis ini harus diserahkan kepada Sekjen PBB untuk disimpan dan didistribusikan kepada negara-negara peserta KHL 1982 dengan tujuan baik untuk menjamin kejelasan dan kepastian hukum soal penetapan batas-batas wilayah perairan melalui penetapan garis pangkal kepulauan maupun untuk mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari negara-negara lain (Arif Havas Oegroseno, Delimitasi Batas Maritim Dalam Kebijakan Border Diplomacy Indonesia, Hlm.11 Loka Karya Hukum Laut Internasional, Yogyakarta, Desember 2004). Hingga saat ini Pemerintah RI belum menetapkan peta batas-batas wilayah NKRI melalui penetapan peta garis pangkal kepulauan, tetapi Pemerintah sudah menetapkan Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal kepulauan pada 166 pulau-pulau terluar (PP No.38 Tahun 2002), dan sebelumnya ada penetapan daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan di Laut Natuna (PP No.61 Tahun 1998) yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat dipakai sebagai pedoman dalam menetapkan batas-batas wilayah khususnya batasbatas wilayah perairan dalam usaha menjaga keutuhan NKRI sebagai negara kepulauan. Di samping penetapan daftar koordinat geografis pada 166 pulau-pulau terluar, Pemerintah RI juga telah melakukan langkah-langkah yang cukup signifikan dalam mempertahankan keutuhan NKRI, langkah-langkah yang dapat dikatakan sebagai langkah kewaspadaan nasional dengan melahirkan dan mengundangkan sebuah Peraturan Presiden pada 29 Desember 2005, yakni Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 yang mengatur masalah pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Adapun pertimbanganpertimbangan yang mendasari lahirnya Perpres ini adalah menjaga keutuhan wilayah negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan 9 di bidang sosial, ekonomi, budaya, hukum, sumber daya manusia, pertahanan dan keamanan. Demikian pula bahwa pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai titik dasar dari garis pangkal kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinennya. Bertolak dari pertimbangan ini, maka pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan a) menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan b) memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) c) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan Untuk mempertegas efektivitas pelaksanaan kedaulatan di wilayah perbatasan, maka perlu dilakukan: 1) pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah, 2) pengelolaan sebagaimana dimaksud.pada ayat 1 meliputi bidang-bidang : a) sumber daya alam dan lingkungan hidup, b) infrastruktur dan perhubungan, c) pembinaan wilayah, d) pertahanan dan keamanan, e) ekonomi, sosial dan budaya.. Rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus dilihat sebagai manifestasi atau perwujudan dari apa yang dinamakan pengendalian yang efektif (effective occupation) sebagaimana dijalankan oleh Malaysia atas Sipadan-Ligitan dan rangkaian kegiatan terpadu dengan bidang-bidang yang dikemukakan di dalam Perpres tersebut harus dijalankan secara berdaya guna dan berhasil guna serta harus dilihat sebagai bagian dari kewaspadaan nasional dan kesadaran kebangsaan dari semua komponen bangsa dalam rangka memelihara dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI sebagai negara kepulauan. Dengan demikian paradigma perlindungan keutuhan wilayah NKRI sebagai negara kepulauan tidak hanya tercermin di dalam penetapan batas-batas wilayah melalui penetapan garis pangkal lurus kepulauan, tetapi juga dan terutama sekali paradigma tersebut seharusnya menjadi sesuatu yang nyata dan operasional melalui kegiatankegiatan kongkrit yang dilakukan secara terpadu serta memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan masyarakat sehingga kemungkinan lepasnya pulau-pulau terluar seperti dalam kasus Pulau Sipadan-Ligitan tidak perlu dikhawatirkan dan dirisaukan sepanjang semua komponen bangsa bersatu dengan memberikan yang terbaik bagi peningkatan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan demi memperkuat NKRI sebagai negara kepulauan. Alur-Alur Laut (Sealanes) Selain dari penetapan batas-batas wilayah melalui penetapan daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia ataupun melalui penetapan peta di kemudian hari menyangkut garis pangkal kepulauan, maka langkah-langkah lain sebagai bagian dari kewaspadaan nasional yang telah dilakukan oleh Pemerintah sebagai komponen utama bangsa ini adalah membuat peta mengenai alur-alur laut kepulauan (Archipelagic Sealanes) maupun jalur pemisah lalu lintas (Traffic Separation Scheme). Penetapan alur-alur laut kepulauan (Archipelagic Sealanes) dalam rangka lintas pelayaran kapal-kapal asing di laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia (sepanjang pengetahuan kami) telah dinyatakan melalui sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah Tahun 1998 (DISKUMAL, Penyuluhan Hukum Nomor 1.12 dan Nomor 1.13 Oktober 1998, Hlm.1-4) yang kemudian telah menjadi Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002 10 mengenai ALKI yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 mengenai lintas alur-alur laut kepulauan. Di dalam Peraturan Pemerintah yang dilampiri dengan sebuah peta mengenai Alur Laut Kepulauan Indonesia yang berjumlah 3 buah, juga diatur secara terperinci adanya 19 persyaratan yang harus dipatuhi oleh kapal-kapal asing ketika melewati wilayah perairan Indonesia. Persyaratan itu antara lain menyebutkan bahwa kapal-kapal asing yang melewati ALKI tidak akan mengganggu atau mengancam kedaulatan, integritas territorial atau kemerdekaan dan persatuan nasional Indonesia; Kapal-kapal tersebut tidak akan melaksanakan tindakan apapun yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional sebagaimana ditetapkan dalam Piagam PBB. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing ketika sedang melewati alur laut tidak dibolehkan melaksanakan latihan perang-perangan. Pengundangan Peraturan Pemerintah di tahun 2002 yang pada prinsipnya mengatur baik mengenai peta atas 3 macam ALKI (ALKI-I A dan B, ALKI-II, ALKI-III A,B,C) yang merupakan garis sumbu (Axis Lines) yang sambung menyambung dari Utara ke Selatan ataupun sebaliknya, di mana pengundangannya dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dan pengesahan dari Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization) pada tahun 1998. Di samping memuat peta mengenai ketiga macam ALKI, Peraturan Pemerintah ini juga mengatur berbagai macam persyaratan bagi kapal asing dalam melintasi wilayah perairan RI yang semuanya ini harus dilihat sebagai langkah pengawasan dalam memelihara dan meningkatkan kewaspadaan nasional oleh Pemerintah sebagai komponen utama bangsa ini serta menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran kebangsaan dalam rangka memperkuat keutuhan NKRI sebagai negara kepulauan. Dengan telah diadopsinya konsep ALKI oleh IMO, maka langkah-langkah yang telah diambil tidak hanya berhenti pada pengundangan Peraturan Pemerintah untuk memberlakukan ketiga macam ALKI yang harus digunakan kapal-kapal asing dalam segala jenisnya ketika melintasi wilayah perairan Indonesia,. Pemerintah RI juga telah mengimplementasikan ketiga macam ALKI tersebut dengan menyiapkan Peta-Peta Navigasi yang dilengkapi dengan simbol-simbol Archipelagic Sealanes yang diperlukan untuk pelayaran internasional melalui ALKI. Selain daripada itu langkah yang juga harus dilakukan adalah segera mempersiapkan segala perangkat untuk keperluan Monitoring Surveilance and Control untuk pengamanan penggunaan ALKI oleh masyarakat internasional atau kapal-kapal asing. Semuanya ini harus segera dilaksanakan sebagai upaya pengawasan atau penegakan hukum (law enforcement) yang juga harus dilihat dalam konteks peningkatan kewaspadaan nasional dan kesadaran kebangsaan dalam menghadapi berbagai ancaman dan pelanggaran di wilayah perairan Indonesia. Berbagai ancaman factual dan pelanggaran oleh kapal niaga dan kapal perang asing yang sering dihadapi negeri ini tidak dapat dipantau karena selain kurangnya jumlah kapal-kapal patroli guna mengamankan wilayah perairan yang demikian luas, juga karena kita tidak mempunyai peralatan radar yang dapat meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap setiap ancaman potensial terhadap kedaulatan maupun pelanggaran hukum oleh kapalkapal dan pesawat udara asing dalam segala jenisnya. Sementara Australia sebagai salah satu negara tetangga memilki peralatan radar yang dapat menjangkau 1000 mil laut sehingga dapat memantau setiap peristiwa yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, kita justru tidak memiliki peralatan radar seperti itu yang sesungguhnya sangat mendesak untuk melindungi dan mengamankan wilayah perairan dari berbagai macam ancaman dan pelanggaran yang dapat terjadi setiap saat di setiap bagian wilayah 11 kedaulatan dan yurisdiksi RI. Semuanya ini kiranya harus mendapat perhatian untuk dilaksanakan sebagai upaya penegakan hukum dalam meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan dalam rangka memperkuat NKRI sebagai negara kepulauan Kesimpulan 1. Keutuhan territorial NKRI sebagai Negara Kepulauan harus senantiasa dipelihara dan diperkuat eksistensinya dengan meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan dari semua komponen bangsa karena hal ini harus ditempatkan sebagai warisan sangat suci yang dipersembahkan oleh para Founding Fathers kepada generasi-generasi bangsa ini sepanjang masa sesuai dengan amanat konstitusi, Ketetapan MPR maupun berbagai peraturan perundangan yang mengamanatkan perlunya dilakukan tindakan-tindakan atau langkah-langkah dalam meningkatkan kewaspadaan nasional dan kesadaran kebangsaan demi menjaga kedaulatan serta keutuhan territorial Indonesia yang berlandaskan pada Sumpah Pemuda, nilai-nilai Proklamasi serta wawasan nusantara. 2. Pemetaan batas-batas wilayah NKRI melalui penetapan peta garis pangkal lurus kepulauan Indonesia harus segera dideklarasikan dengan memperhatikan berbagai perjanjian garis batas maritime yang masih berlaku tanpa perlu lagi menunggu perundingan-perundingan bilateral dengan beberapa negara tetangga untuk bagian-bagian laut tertentu yang masih bermasalah sebab sampai kapanpun kita tidak mungkin dapat mendeklarasikan penetapan peta garis pangkal kepulauan hanya dengan menggantungkan diri pada keberhasilan dalam menuntaskan berbagai garis batas maritime yang masih tersisa. Pendeklarasian Peta batas-batas wilayah RI melalui pendeklarasian peta garis pangkal kepulauan ini juga harus dipandang sebagai tindakan atau langkah nyata dalam meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaram kebangsaan semua komponen bangsa dalam rangka memelihara dan mempertahankan keutuhan territorial NKRI sebagai negara kepulauan. Selanjutnya penetapan ketiga ALKI (ALKI-IA dan IB, ALKI- II, ALKI- IIIA, IIIB dan IIIC) yang telah disetujui oleh Organisasi Maritim Internasional dan telah dinyatakan melalui peta-peta navigasi yang dilengkapi dengan simbol-simbol alur-alur laut harus dapat diimplementasikan guna mengamankan wilayah perairan Indonesia. Untuk efektivitas pelaksanaan pelayaran kapal-kapal asing yang tidak mengancam kedaulatan dan keutuhan territorial NKRI, maka harus segera disediakan kapal-kapal patroli dalam jumlah dan kualitas yang memadai, personel-personel yang tangguh maupun peralatan radar deteksi dini guna meningkatkan kemampuan penegakan hukum (Law Enforcement) dalam mengamankan wilayah perairan dari berbagai macam ancaman dan pelanggaran. Semuanya ini harus dipandang sebagai langkah nyata dalam meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan dalam 12 rangka memperkuat dan melestarikan keutuhan territorial NKRI. Demikian Pengantar kami yang di dalamnya disisipkan makalah yang berpedoman pada tema Seminar yang bernuansa Pulau-Pulau Terluar RI yang jumlahnya sekitar 166 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002. Sekian dan terima kasih. Assalamu Alaikum Warahmatulahiwabarakatu. Sumber : Dari berbagai referensi (literature, jurnal, makalah, harian) .- Makassar, 11 Maret 2009 Rektor Universitas Hasanuddin PROF. DR.. dr.. IDRUS A. PATURUSI. NIP. 130682291 13 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………………………… .i ABSTRAK………………………………………………………………………… ii KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. iii DAFTAR ISI………………………………………………………………………. iv BAB I … . BAB II …… BAB III : PENETAPAN ILMU-ILMU KELAUTAN (MARINE SCIENCES) TERMASUK ILMU-ILMU KELAUTAN SEBAGAI POLA ILMIAH POKOK (PIP)…………………………………………… 1 I. 1. Pengertian Pola Ilmiah Pokok (The Main Scientific Pattern) 1 I. 2. Sejarah Penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan Sebagai PIP Universitas Hasanuddin (Unhas)…………………………………… I. 3. Ilmu-Ilmu Kelautan Masih Memiliki Relevansi Sebagai PIP ……Unhas…………………..…………….. I. 4. Visi, Misi dan Pendekatan PIP Unhas………………………. : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INDONESIA DALAM KERANGKA NEGARA KEPULAUAN (ARCHIPELAGIC STATE) II. 1. Berbagai Istilah dan Pengertiannya………………………. II. 2. Sejarah dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia……… II. 3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar II. 4. Dewan Kelautan Indonesia : JALUR LAUT DAN GARIS PANGKAL III. 1. Jalur-Jalur Laut (Marine Zones) Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Negara Kepulauan III. 2. Penarikan Berbagai Macam Garis Pangkal (Baselines) III. 3. Syarat-Syarat Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan Indonesia III. 4. Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar BAB IV : PENGATURAN HUKUM MENGENAI LINTAS LAYAR SERTA 14 KESELAMATAN PELAYARAN IV. 1. Berbagai Macam Lintas Layar di dalam Wilayah Perairan Indonesia. IV. 2. Analisis Perbandingan di antara Berbagai Lintas Layar IV. 3. Hukum Tentang Kelayakan Kapal (Seaworthiness of Ship) IV. 4. Standardisasi Pengamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan (International Ship And Port Facility Security Code atau di singkat ISPS Code) BAB V : PENGATURAN HUKUM MENGENAI HARTA KARUN V. 1. Berbagai Istilah dan Pengertian Harta Karun. V. 2. Status Hukum Harta Karun. V. 3. Pengaturan Hukum Nasional Mengenai Pemanfaatan Harta Karun di Wilayah Perairan Indonesia. . KESIMPULAN LAMPIRAN 15 BAB I. PENETAPAN ILMU-ILMU KELAUTAN (TERMASUK ILMU-ILMU HUKUM LAUT) SEBAGAI POLA ILMIAH POKOK (PIP) I. 1. Pengertian Pola Ilmiah Pokok (The Main Scientific Pattern) Setiap lembaga pendidikan tinggi diharapkan menerapkan apa yang dinamakan Pola Ilmiah Pokok atau dalam bahasa Inggeris disebut The Main Scientific Pattern (PIP atau MSP) yang menunjukkan orientasi atau arah pengembangan lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan. Penerapan PIP oleh setiap lembaga pendidikan tinggi harus didasarkan atas keunggulan atau kompetensi spesifik yang dimilikinya dan kompetensi ini merupakan prasyarat untuk melakukan kerjasama intensif antarberbagai lembaga pendidikan tinggi. Tanpa memiliki kompetensi spesifik, tidak mungkin suatu perguruan tinggi dapat berpartisipasi dalam kerjasama dengan perguruan tinggi lain atau instansi lainnya. Kerjasama intensif itu sendiri adalah suatu unsur dari system pendidikan nasional dan merupakan salah satu program jangka panjang dari Pola Kebijaksanaan Dasar Pengembangan Pendidikan Tinggi di negeri ini yang ditetapkan sejak tahun 1975. PIP bukanlah sebuah disiplin ilmu, melainkan merupakan orientasi pemikiran strategis dalam pendidikan yang sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu sehingga dengan demikian PIP diharapkan dapat memberikan arah bagi pengembangan Tri Dharma lembaga pendidikan tinggi atau perguruan tinggi serta sekaligus dapat memberikan nuansa spesifik kepada berbagai disiplin ilmu yang dikembangkan perguruan tinggi yang bersangkutan (Universitas Hasanuddin, Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok, 1999, Hlm.1).. Pilihan atau penetapan PIP bagi setiap perguruan tinggi dilakukan melalui pemikiran-pemikiran yang sifatnya fundamental, yang berkaitan dengan keadaan lingkungan, kebudayaan dan sejarah kehidupan masyarakat luas di mana perguruan tinggi tersebut berada atau berdomisili. PIP diharapkan memberikan warna dan nuansa spesifik terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan sehingga setiap luarannya diharapkan memiliki kemampuan untuk memberikan warna dan nuansa spesifik, nuansa PIP terhadap disiplin ilmu yang dikembangkannya. Nuansa PIP dikembangkan secara tersebar melalui berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dibina oleh berbagai fakultas, sekaligus juga dapat dikembangkan secara terpusat pada sekumpulan disiplin ilmu yang membentuk program studi yang mendukung PIP itu secara melembaga di dalam dan melalui satu fakultas. I. 2. Sejarah Penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan Sebagai PIP Unhas Universitas Hasanuddin sebagai lembaga pendidikan tinggi atau perguruan tinggi telah memilih dan menetapkan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai 16 suatu kompetensi yang harus dibangun, dipelihara serta dikembangkan dengan harapan dapat memberikan nuansa spesifik bagi Universitas ini dalam rangka melakukan kerjasama intensif dengan lembaga pendidikan tinggi lain serta instansi lain baik milik Pemerintah ataupun swasta. Ditetapkannya Ilmu-Ilmu Kelautan sebagai PIP Universitas ini didasarkan atas kesepakatan yang dicapai melalui berbagai pertemuan ilmiah yang puncaknya terjadi pada Seminar Administrasi UNHAS di Kabupaten Soppeng pada tahun 1975. Kesepakatan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Rapat Senat UNHAS dan selanjutnya dituangkan ke dalam Surat Keputusan Rektor UNHAS No.1149/UP-UH/1975 tangga 27 Desember 1975. Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah pengembangan PIP UNHAS adalah adanya dukungan strategis yang diucapkan sendiri oleh Presiden RI (Presiden Soeharto) ketika Universitas ini merayakan Dies Natalisnya yang ke-25 pada bulan September 1981 (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP UNHAS, hlm.2). Beliau mengatakan antara lain Universitas Hasanuddin mempunyai kedudukan yang khas dalam pengembangan studi ilmu-ilmu kelautan karena letak geografis Universitas ini berada di belahan Timur Nusantara yang luas wilayah lautnya. Karena itu saya minta agar usaha Universitas Hasanuddin untuk mengkhususkan diri dalam pengembangan studi ini diteruskan dan tidak boleh berhenti. Kenyataan menunjukkan bahwa lautan di wilayah Indonesia yang luas dan kaya itu sebagian terbesar belum diolah. Adalah wajar dan bahkan sudah seharusnya jika Universitas Hasanuddin tidak hanya memikirkan, tetapi memegang peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ini. Tonggak penting lainnya adalah pembentukan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan sebagai jurusan yang ditempatkan pada Fakultas Peternakan Univertsitas ini pada tahun 1988 di mana pembentukan program studi tersebut dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No.19/Dikti/Kep/ 1988 tanggal 16 Juni 1988. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan merupakan embrio dan cikal bakal bagi terbentuknya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kelautan. Jurusan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan maupun Jurusan Program Studi Ilmu Perikanan pada akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari sebuah Fakultas yang disebut Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pada tahun 1996 yang penetapannya didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.036/O/1996 tanggal 29 Januari 1996. Keberadaan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu langkah maju dalam pengembangan PIP UNHAS, tetapi sekaligus mendorong timbulnya ketidakpuasan pada beberapa kelompok civitas academica, terutama dari kalangan Fakultas MIPA dan Fakultas Teknik Semoga ketidakpuasan dan gejolak yang pernah terjadi dalam hubungan dengan eksistensi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan sudah teratasi dan hal ini hanya dapat dilakukan melalui dialog di antara pihak-pihak yang berkepentingan guna menemukan solusi terbaik dari kemelut memalukan yang pernah kronis dan berlarut-larut. Solusi terbaik hanya dapat diwujudkan dengan mempergunakan pendekatan win-win solution di mana tidak ada pihak yang kalah, tidak ada pihak yang menang sebab semua menang sehingga Ilmu-Ilmu Kelautan yang dicanangkan sebagai PIP Universitas ini benar-benar dapat berkembang dan memberi manfaat serta kontribusi positif bagi pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya dalam rangka mencapai dan meningkatkan kesejahteraan terutama bagi rakyat Sulawesi Selatan yang sama-sama kita cintai. 17 I. 3. Ilmu-Ilmu Kelautan Masih Memiliki Relevansi Mengenai Relevansi Ilmu-Ilmu Kelautan termasuk pula Ilmu Hukum Laut sebagai PIP UNHAS, pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah Ilmu-Ilmu Kelautan yang ditetapkan sebagai PIP UNHAS sejak tahun 1975 masih relevan dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah serta masih sejalan dengan arah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara umum. Pertanyaan strategis ini dapat dijawab dengan mengamati beberapa kecenderungan perkembangan baik yang bersifat lokal maupun global yang sedang terjadi pada saat ini, antara lain adalah sebagai berikut (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP Unhas, Hlm. 3).: 1. Ketergantungan manusia pada sumber daya alam (natural resources) menghadapi kendala dengan semakin berkurangnya ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di wilayah daratan sehingga memaksa manusia untuk beralih kepada kemungkinan pemanfaatan sumber daya alam yang berlokasi di lautan. Kecenderungan ini antara lain dapat dilihat dengan semakin meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah laut, seperti kegiatan penangkapan ikan, penambangan minyak dan gas bumi, pemanfaatan energi laut dan sebagainya. 2. Pergeseran kutub-kutub perdagangan dunia dari benua Eropa dan Amerika ke wilayah basin Pasifik, yaitu kawasan negara-negara yang wilayahnya terletak di tepian atau pinggiran Samudera Pasifik. Karena ciri geografis yang dimiliki oleh Negara-negara tersebut didominasi oleh laut, maka dapat diramalkan bahwa karakteristik perdagangan dunia di masa depan akan banyak pula diwarnai oleh pemanfaatan sumber daya kelautan, termasuk jasa lingkungan laut. 3. Perhatian terhadap interaksi antara atmosfir dan permukaan tanah dalam menelaah siklus iklim ternyata sudah tidak dapat menjelaskan lebih jauh tentang terjadinya anomaly iklim atau penyimpangan iklim yang sedang berlangsung saat ini. Dewasa ini mulai disadari bahwa adanya penyimpangan iklim itu hanya dapat dipahami dengan mengamati interaksi antara atmosfir dengan lautan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran lautan sebagai regulator proses alamiah yang terjadi di atas permukaan bumi (termasuk di daratan) yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain kedudukan Ilmu-Ilmu Kelautan menjadi semakin penting dikaitkan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan umat manusia. 4. Dicetuskannya konsepsi Benua Maritim Indonesia (konsepsi BMI) dan Deklarasi Bunaken pada tanggal 26 September 1998 yang pada prinsipnya menegaskan bahwa laut adalah peluang, tantangan dan harapan (opportunity, challenge and hope) bagi masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan Indonesia, menunjukkan secara jelas dan meyakinkan mengenai posisi strategis laut bagi 18 masa depan Republik ini. Hal ini diperkuat oleh posisi Universitas Hasanuddin yang secara geografis terletak di Kawasan Timur Indonesia yang memiliki wilayah laut yang jauh lebih luas dibandingkan dengan wilayah daratannya dan secara budaya terletak di lingkungan masyarakat bahari dengan latar belakang sejarah dan budaya bahari yang kental. 5. Faktor terakhir yang juga tak kalah pentingnya adalah apa yang dinamakan dengan Agenda 21 yang antara lain mencanangkan sekian banyak azas atau prinsip yang perlu diimplementasikan oleh negara-negara di seluruh dunia dalam menghadapi berbagai tantangan yang demikian berat dalam millenium III. Salah satu azas yang dimaksud adalah azas pelestarian lingkungan termasuk di dalamnya pelestarian lingkungan laut serta pembangunan yang berkelanjutan yang dengan sendirinya menempatkan Ilmu-Ilmu Kelautan (termasuk di dalamnya Hukum Laut) tetap memiliki relevansi untuk terus dikaji dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya. . I. 4.. Visi dan Misi dari PIP Universitas Hasanuddin, Tujuan dan Pendekatan Secara sederhana dan singkat dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumber daya kelautan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maju karena potensi sumber daya tersebut sulit dijangkau dengan hanya mengandalkan teknologi sederhana. Penerapan dan pengenalan iptek seyogyanya tidak dalam wujud kelembagaan asing yang dicangkokkan ke dalam system budaya masyarakat, tetapi harus sesuai dengan nilai dan karakteristik budaya masyarakat setempat. Visi Pola Ilmiah Pokok Unhas dapat dirumuskan sebagai berikut, yakni Unhas sebagai pusat pengembangan budaya bahari yang bercirikan kemandirian dalam konteks kesadaran interkoneksitas universal (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP Unhas, Hlm.10 - 13). Seiring dengan visi tersebut, maka misi PIP Unhas dapat dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut : a. menghasilkan alumni yang mempunyai wawasan ke-Unhas-an dalam berbagai disiplin ilmu dan strata pendidikan, terutama yang berkaitan dengan ilmu dan teknologi kelautan; b. mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan; c. mempromosikan dan mendorong proses terwujudnya masyarakat bahari yang berkualitas, sejahtera dan berorientasi kepada prestasi. Wawasan ke-Unhas-an mengandung pengertian bahwa setiap lulusan Unhas memiliki jiwa dan potensi kemandirian dan senantiasa memiliki dan memelihara komitmen terhadap pengembangan budaya bahari. Sejalan dengan visi dan misi tersebut di atas, maka tujuan pegembangan PIP Unhas adalah sebagai berikut : 19 a. Mampu berperan sebagai pusat konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni di bidang kelautan yang berskala dunia. b. Terwujudnya kampus sebagai masyarakat akademik yang berwawasan kelautan yang mampu mendorong berkembangnya kegiatan tridarma perguruan tinggi yang bernuansa kelautan dan berciri kemandirian serta tanggap terhadap dinamika perubahan local maupun global. c. Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan melalui penyelenggaraan program-program studi, penelitian, pengembangan kelembagaan serta pengembangan sumber daya manusia akademik. d. Meningkatkan produktivitas dan kualitas luaran, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan kelautan. e. Berkembangnya budaya bahari yang berciri kemandirian di kalangan masyarakat kawasan pesisir di Indonesia. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut di atas, Unhas melaksanakan pola pendekatan melalui institusionalisasi, fungsionalisasi, integrasi, partisipasi dan kemitraan. Institusionalisasi (Institutionalization) mengandung pengertian bahwa seluruh unsure dari Universitas Hasanuddin bertanggungjawab untuk mengembangkan dan memperkuat lembaga-lembaga yang sudah ada dengan bantuan supervisi manajemen, pembinaan kepemimpinan dan kelembagaan, pengenalan prosedur, cara kerja dan berbagai aspek kelembagaan berdasarkan potensi dan masalah dari masing-masing lembaga atau unit kerja yang ada. Fungsionalisasi (Functionalization) diartikan bahwa program-program yang ada dilaksanakan dengan memfungsikan secara berdaya guna dan berhasil guna semua sumber daya yang dimliki. Selanjutnya integrasi (integration) atau keterpaduan dimaksudkan mengintegrasikan potensi kelembagaan maupun unsure-unsur universitas dan fakultas sedemikian rupa sehingga terwujud pencapaian tujuan PIP secara optimal. Kemudian partisipasi (participation) diartikan bahwa dalam semua kegiatan diupayakan pencapaian kesuksesan dengan mengundang partisipasi maksimal semua pihak yang terkait. Sedangkan kemitraan (partnership) dimaksudkan bahwa dalam mengoptimalkan pencapaian tujuan PIP, dikembangkan kerjasama dengan berbagai pihak di luar universitas, terutama dengan pemerintah (pusat dan daerah), dunia usaha dan industri, perguruan tinggi, lembaga IPTEK dan kelembagaan masyarakat lainnya. seperti LSM, di dalam maupun di luar negeri atas dasar saling menunjang dan bersifat sinergis. 20 BAB II .PRINSIP NEGARA NUSANTARA (ARCHIPELAGIC STATE PRINCIPLE) II.1.Berbagai Istilah dan Pengertiannya. Ada istilah yang dinamakan konsepsi nusantara (Archipelagic Concept), ada istilah wawasan nusantara (Archipelagic Outlook), ada istilah negara nusantara atau negara kepulauan (Archipelagic State) dan ada pula istilah Benua Maritim Indonesia (The Indonesian Maritime Continent) dan mungkin ke depan akan muncul lagi istilahistilah lain terkait dengan konsepsi nusantara di masa-masa mendatang. Istilah wawasan nusantara adalah suatu wawasan atau Outlook atau cara pandang yang mencita-citakan terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa dalam berbagai bidang yang esensial bagi eksistensi kehidupan serta kelangsungan hidup bangsa dan negara RI. Adanya wawasan seperti ini tentu saja tidak terlepas dari latarbelakang perjuangan bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan baik yang berasal dari luar negeri atau dari negara kolonial dengan politik divide et impera dengan tujuan untuk memecah belah bangsa dan negara maupun yang berasal dari dalam negeri Indonesia sendiri khususnya kelompok separatis dengan tujuan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan. Di samping itu tantangan tadi bisa berasal dan bersumber dari adanya perpaduan dari kedua faktor baik internal maupun eksternal. Selanjutnya istilah Konsepsi Nusantara untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, di mana konsepsi ini pada hakekatnya tersirat dan termuat di dalam dan melalui Pernyataan Pemerintah RI pada 13 Desember 1957 yang kemudian terkenal dengan nama Deklarasi Juanda (mantan Perdana Menteri RI pada zaman Presiden RI Sukarno) menyangkut wilayah perairan Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja, “Bunga Rampai Hukum Laut”, Binacipta, Bandung, 1978, Hlm.2530). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, karena bersangkut paut dengan masalah kewilayahan (terutama wilayah perairan RI), maka Konsepsi Nusantara adalah suatu konsepsi yang bersifat geografis yang menunjukkan wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah daratan, namun sebagian besar adalah wilayah laut atau wilayah perairan harus dilihat dan dianggap sebagai suatu kesatuan utuh. Wilayah perairan negeri ini yang luasnya sekitar dua pertiga dari seluruh wilayah Indonesia tidak dapat dipisahkan dari. tetapi harus dianggap sebagai bagian integral dari wilayah daratannya( berupa pulau-pulau baik besar maupun kecil) sehingga harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh (Mochtar Kusumaatmadja, Hlm. 28). 21 Karena konsepsi nusantara termuat di dalam Deklarasi Juanda mengenai wilayah perairan Indonesia, maka menurut Mochtar Kusumaatmadja konsepsi ini sebenarnya juga adalah merupakan suatu konsepsi yuridis yang bertujuan untuk menyatukan wilayah Indonesia yang merupakan wilayah nusantara atau wilayah kepulauan. Dengan tercapainya kesatuan atas seluruh wilayah kepulauan melalui konsepsi yuridis atau konsepsi pengaturan hukum mengenai terintegrasinya wilayah perairan dengan wilayah daratan atau antara laut dengan pulau, maka diharapkan akan tercapai dan terwujud pula adanya kesatuan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan Negara. Tercapai dan terwujudnya kesatuan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan senantiasa harus terus diperjuangkan sebagaimana halnya dengan perjuangan untuk mewujudkan secara actual kesatuan wilayah Indonesia yang terdiri dari daratan dan perairan. Konsepsi nusantara semakin kukuh dengan ditetapkannya wawasan nusantara melalui ketetapan MPR RI No. IV Tahun 1973 yang menetapkan wawasan nusantara sebagai salah satu landasan dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Harapan dan cita-cita untuk mewujudkan adanya kesatuan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan Negara (aspek ideology, politik, ekonomi, sosial-budaya, aspek pertahanan dan keamanan etc) tertuang dalam suatu konsepsi yang disebut Wawasan Nusantara.yang dikukuhkan melalui GBHN berdasarkan TAP MPR RI No. IV Tahun 1973 yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan pembangunan bangsa dan Negara. Dengan demikian istilah wawasan nusantara sesungguhnya adalah merupakan suatu konsepsi yang bersifat politis demi mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara dalam berbagai aspek kehidupannya. Bagi Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi nusantara adalah suatu konsepsi yuridis geografis yang berfungsi sebagai wadah fisik bagi pengembangan wawasan nusantara. Istilah Negara Nusantara atau dalam bahasa Inggeris disebut “Archipelagic State”ditegaskan di dalam ketentuan pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 serta pasal 1 Undang-Undang No.6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia yang pada dasarnya menyatakan bahwa Negara Nusantara atau Negara Kepulauan adalah Negara yang wilayahnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Indonesia dinamakan sebagai Negara kepulauan karena wilayah Indonesia seluruhnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih serta mencakup pulaupulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan Riau, ada kepulauan Seribu, kepulauan Sangir-Talaud, kepulauan Natuna dan berbagai macam kepulauan lain yang dimiliki negeri tercinta ini. Di samping itu ada pula Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Irian dan beribu-ribu pulau lain yang tidak perlu dipaparkan sebab semuanya ini hanya untuk menunjukkan bahwa wilayah Indonesia mencakup lebih dari satu kepulauan serta memiliki pulau-pulau baik besar maupun kecil dalam jumlah yang sangat besar. Istilah kepulauan (Archipelago) diartikan sebagai suatu gugusan atau kumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan yang terletak di antaranya atau di antara satu pulau dengan pulau lainnya, dan bentuk-bentuk alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lain sedemikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu membentuk suatu kesatuan geografi, kesatuan ekonomi dan kesatuan politik yang hakiki atau secara historis dianggap sebagai suatu kesatuan seperti itu (United Nations Convention on the Law of the Sea, A/ Conf.62/ 122, 7 October 1982). 22 Istilah Konsepsi Benua Maritim Indonesia (BMI) dicetuskan melalui Konvensi Nasional Indonesia yang diselenggarakan di Makassar (Ujungpandang) pada tahun 1998 (Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin, Hlm.14). Di dalam konvensi atau pertemuan yang dihadiri oleh berbagai kalangan dicapai kesepakatan atau komitmen untuk mengkonsepsikan negeri kepulauan Indonesia sebagai Benua Maritim Indonesia (BMI) dan pembangunannya adalah Pembangunan Benua Maritim Indonesia (PBMI). Pengkonsepsian BMI dan PBMI bertujuan untuk mengaktualisasikan wawasan nusantara yang telah dikenal sejak lama. Dengan konsepsi dan aktualisasi, maka pemahaman terhadap wilayah Indonesia dewasa ini, bukannya pulau-pulau yang dikelilingi dengan laut seolah-olah wilayah laut menempel pada wilayah daratan seperti pemahaman selama ini, melainkan wilayah laut yang ditaburi dengan pulau-pulau baik besar maupun kecil. Dengan demikian Konsepsi Benua Maritim Indonesia menitikberatkan negara RI sebagai sebuah benua laut atau benua maritime yang di atasnya bertaburan dengan pulau-pulau baik besar maupun kecil sehingga menggambarkan pulau-pulau yang demikian banyaknya seakan-akan menempel pada wilayah laut yang begitu luas. Secara berangsur-angsur, tetapi pasti konsepsi BMI sebagai konsepsi baru mewarnai pembangunan di Indonesia. Perhatian terhadap pembangunan kini dan di masa mendatang akan banyak, bahkan terutama tercurah kepada adaptasi atau pemanfaatan sumber daya perairan, terutama perairan laut atau sumber daya kelautan. Dalam konsepsi BMI, wilayah perairan Indonesia adalah sesuatu yang dominant karena bukan hanya wilayah lautnya yang jauh lebih luas daripada wilayah daratannya, melainkan juga karena wilayah perairan berinterseksi dengan wilayah daratan (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP Unhas, Hlm.14). Mengapa dikatakan berinterseksi ? Sebabnya adalah karena di perairan Nusantara atau di laut Nusantara terdapat wilayah darat yang berbentuk pulau-pulau kecil, sedangkan di wilayah daratan yang berbentuk pulau-pulau besar terdapat perairan terutama perairan danau yang luas dan dalam seperti misalnya di Pulau Sulawesi terdapat Danau Tempe dan di Pulau Sumatera terdapat Danau Toba serta terdapat pula perairan sungai yang lebar dan panjang seperti misalnya di Sumatera Selatan (Sungai Musi) dan Kalimantan (Sungai Kapuas). Demikian gambaran sederhana tentang berbagai istilah dalam hubungan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara nusantara atau negara kepulauan. II. 2. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia Pada zaman Hindia Belanda berlaku suatu peraturan yang disebut Ordonansi laut territorial serta lingkungan maritim Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie atau disingkat menjadi TZMKO) yang berlaku sejak tahun 1939. Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau baik pulau besar maupun pulau kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia Belanda mempunyai laut territorial sendiri-sendiri. Laut territorial Hindia Belanda atau laut territorial Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah daratan Indonesia. Dengan demikian wilayah perairan Indonesia meliputi jalur-jalur laut yang 23 mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut (Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Hlm.187.) Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau mempunyai laut territorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terbentuknya ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas atau perairan internasional antara satu pulau atau bagian pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya sehingga membawa dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi kedaulatan serta keutuhan territorial kita. Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan hukum kolonial (TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut (freedom of the seas) harus dihentikan atau diatasi melalui pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada18 Agustus 1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II) dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957 yang merupakan Pengumuman Pemerintah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara RI, tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara RI dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara RI. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara RI akan ditentukan dengan Undang-undang. Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia pada 13 Desember tahun 1957 dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan (Mochar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, 1978, Hlm. 187). 1. bahwa bentuk geografi RI sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri sehingga memerlukan pengaturan tersendiri; 2. bahwa demi kesatuan wilayah (territorial) Negara RI, semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat; 3. bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari Pemerintah kolonial sebagaimana tercantum di dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kriengen Ordonnantie” 1939 pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara RI; 4. bahwa setiap Negara berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya. Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 kemudian ditetapkan menjadi UndangUndang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang. Adapun isi dari Perpu yang diundangkan berlakunya pada 18 Februari 1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang No.4/ Prp.1960 adalah 24 sebagai berikut (Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, 1978, Hlm.194). 1. untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar; 2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di dalam garis-garis pangkal lurus ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya maupun ruang udara di atasnya dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; 3. jalur laut wilayah (laut territorial) selebar 12 mil diukur atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini; 4. lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan Negara pantai dan mengganggu keamanan serta ketertibannya. Undang-undang No. 4/ Prp. 1960 yang hanya terdiri dari 4 buah pasal pada hakekatnya merubah cara penetapan laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low water line) menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke ujung. Seperti diketahui cara penetapan garis pangkal lurus ini untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan dalam hukum internasional melalui putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam perkara sengketa perikanan InggerisNorwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case) tahun 1951 (lihat kasusnya dalam L.C. Green, International Law through the Cases, 1978, hlm.325) dan kemudian dikukuhkan dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan maupun secara mutatis mutandis dalam Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982. Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke ujung pulau-pulau terluar nusantara ini.mempunyai dua akibat : 1. jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan Indonesia; 2. perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari laut wilayah ataupun laut lepas (high seas) menjadi perairan pedalaman (internal waters). Agar supaya perubahan status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang telah ada sebelum cara penetapan batas wilayah, maka pasal 3 menyatakan bahwa perairan pedalaman tersebut terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air asing. Beberapa tahun setelah diundangkannya Undang-Undang No.4/ Prp. 1960 tentang perairan Indonesia, maka para petugas di laut merasakan adanya kebutuhan atau keperluan untuk mempertegas serta menterjemahkan ketentuan hak lintas damai bagi kapal asing di perairan nusantara yang pada prinsipnya telah dijamin dalam UndangUndang No.4/ Prp. 1960. Untuk mempertegas ketentuan lintas damai bagi kapal asing yang berada atau berlayar melalui perairan nusantara, maka Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 mengenai lalu lintas damai kendaraan asing di perairan Indonesia. Peraturan Pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1962 dan merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang No.4/ Prp. 1960 dalam hal ini ketentuan hak lintas damai kapal asing memuat beberapa ketentuan, seperti apa yang dimaksud dengan lalu lintas damai, syarat-syarat lintas damai, serta lintas damai bagi kapal-kapal 25 yang bersifat spesifik atau kapal-kapal jenis khusus (kapal penelitian, kapal nelayan, kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga). Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 adalah pelayaran untuk maksud damai yang melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dan dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas kapal asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan atau tidak mengganggu perdamaian Negara RI. Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran. Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan atau mondar mandir tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia tidak termasuk dalam pengertian lalu lintas damai menurut peraturan pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai larangan bagi kapal asing untuk melewati atau melintasi bagian-bagian tertentu dari perairan pedalaman untuk sementara waktu apabila hal ini dianggap perlu untuk menjamin kedaulatan dan keselamatan Negara. Kapal asing yang akan melakukan riset ilmiah di perairan Indonesia disyaratkan untuk meminta izin dari Presiden RI. Kapal perang asing yang akan melintasi perairan Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan atau notifikasi kepada Menteri/KSAL. Kapal selam (submarine) harus berlayar di atas permukaan laut selama melintasi perairan Indonesia dan dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya yang tentu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi Negara yang merupakan Negara bendera (Flag State). Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan tentang alur-alur pelayaran. Apabila alur-alur ini sudah ditetapkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut, maka kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga serta kapal nelayan atau kapal ikan harus melalui alur-alur tersebut. Kapal perang asing yang lewat di alur-alur pelayaran tidak perlu memenuhi syarat notifikasi yang berlaku bagi lintas damai di perairan nusantara. Karena alur-alur pelayaran itu belum ditetapkan pada waktu itu, maka dalam praktek kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban pemberitahuan ketika melintasi perairan nusantara. Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal nelayan asing yang sering melanggar ketentuan PP No.8 Tahun 1962 yang antara lain mewajibkan kapal tersebut meletakkan dan menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan tetapi ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati karena banyaknya kapal ikan asing yang ditangkap, tetapi kemudian dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-kasus pencurian ikan (illegal fishing), kapal asing yang terlibat pada umumnya dibebaskan..Kendati pengadilan menghukumnya, kebanyakan hukumannya sangat ringan sehingga kerugian yang begitu besar akibat pencurian ikan di perairan nusantara harus ditanggung oleh bangsa dan Negara. Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut pada tahun 1960-an terkait dengan berlakunya Konvensi Geneva 1958 mengenai hukum laut (Konvensi mengenai laut territorial dan jalur tambahan, Konvensi mengenai laut bebas, Konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan hayati di laut bebas,.dan Konvensi mengenai landas kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia yang memuat pokok-pokok sebagai berikut (Mochtar kusumatmadja, “Bunga Rampai Hukum Laut”, Penerbit Binacipta,1978, Hlm. 37 – 38) :. 26 1. Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan alam non hayati lainnya, termasuk organisme-organisme hidup yang merupakan jenis sedentair, yang terdapat di landas kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau milik dari bangsa dan negara RI dan dengan demikian tunduk di bawah yurisdiksinya yang bersifat eksklusif. Pengertian landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman 200 meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedalaman tersebut sepanjang kemampuan teknologi Indonesia masih memungkinkan penggalian dan pengusahaannya. 2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan Negara tetangga melalui perundingan. 3. Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik terluar wilayah Negara tetangga. 4. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian pula ruang udara di atasnya yang tetap berstatus sebagai ruang udara internasional. Bagian ketiga dari Pengumuman Pemerintah tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara konsepsi landas kontinen Indonesia dengan konsepsi nusantara. Arti nyata konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana diatur di dalam Pengumuman tersebut adalah bertambahnya lagi luas daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) dengan jumlah yang tidak sedikit untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di landas kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah tahun 1969 ini lahir atas dorongan kebutuhan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya mineral yang terdapat di daerah-daerah di bawah permukaan laut, terutama di Laut Cina Selatan di luar batas-batas perairan Indonesia. Karena Indonesia dikelilingi oleh Negara-negara tetangga yang mempunyai hak yang sama atas landas kontinen yang sama, maka pemerintah RI perlu menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan Negara-negara tetangga sebelum ditemukan deposit atau cadangan minyak dan gas bumi di landas kontinennya. Untuk maksud itu lalu dibentuk Team Teknis Landas Kontinen pada Departemen Pertambangan yang ditugaskan terutama untuk menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan Negara-negara tetangga. Misalnya perjanjian garis batas landas kontinen antara RI dengan Malaysia tahun 1969 menyangkut garis batas landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan; perjanjian antara RI dengan Thailand tahun 1971 mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara dan di Laut Andaman; perjanjian antara RI, Thailand dan Malaysia pada tahun 1971 mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara; perjanjian antara RI dengan Australia tentang penetapan garis batas dasar laut tertentu (Laut Arafura dan Daerah Utara Irian Jaya dan Papua Nugini) tahun 1973; perjanjian antara RI dengan Australia tahun 1973 mengenai penetapan garis batas daerah-daerah dasar laut tertentu (Selatan Pulau Tanimbar dan Pulau Timor); perjanjian antara RI dengan India mengenai penetapan garis batas landas kontinen tahun 1974. Semuanya ini merupakan hasil kerja dari Departemen Pertambangan, terutama Team Teknis Landas Kontinen yang dibentuk oleh Departemen tersebut. 27 Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana termaktup di dalam Pengumuman Pemerintah tahun 1969 kemudian dituangkan ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang dinamakan Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia. Prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan pokok tersebut mengacu pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen (Geneva Convention on the Continental Shelf), seperti pengertian landas kontinen Indonesia, hak-hak berdaulat (souvereign rights), penetapan garis batas landas kontinen Indonesia dengan Negara-negara tetangga maupun status hukum dari perairan yang berada di atas landas kontinen Indonesia, namun dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Selain daripada hak-hak berdaulat atas kekayaan alam yang terdapat di landas kontinen yang artinya penguasaan dan pemilikannya ada pada negara RI, juga negara memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas penelitian ilmiah kelautan yang di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1973 penyelengaraannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1973. Dalam Undang-Undang ini juga dikemukakan mengenai instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang dapat dibangun, dipelihara dan dimanfaatkan dalam usaha melaksanakan eksplorasi, eksploitasi kekayaan alam yang terdapat di landas kontinen Indonesia. Untuk melindungi instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang terdapat di landas kontinen terhadap gangguan pihak ketiga, maka Pemerintah dapat menetapkan apa yang disebut daerah terlarang (prohibited area) yang radiusnya 500 meter terhitung dari titik terluar instalasi, kapal dan atau alat lainnya. Di samping daerah terlarang, juga dapat ditetapkan daerah terbatas (restricted area) yang radiusnya 1250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu di mana kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar sauh. Di landas kontinen Indonesia, pada instalasi, kapal dan alat-alat lain di landas kontinen, maka hukum dan segala peraturan perundangundangan Indonesia dapat diterapkan atau diberlakukan, bahkan instalasi dan alat-alat lain yang dipergunakan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Kepabeanan Indonesia atau daerah bea cukai, daerah fiscal, daerah karantina dan daerah keimigrasian. Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Pengumuman Pemerintah RI mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pada tanggal 20 Maret 1980 (Mochtar Kusumaatmadja, Beberapa Permasalahan Pokok Sekitar Pengumuman Pemerintah RI tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Hukum dan Pembangunan Nomor 4 Tahun X – Juli 1980, Hlm.384). Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut yang selain diwarnai dengan berlangsungnya Konferensi PBB mengenai hukum laut III (UNCLOS III) yang pada waktu itu sudah menghasilkan rancangan konvensi hukum laut baru (Draft Convention on the Law of the Sea) yang di dalamnya memuat pengaturan hukum tentang zona ekonomi eksklusif secara umum, juga diwarnai berbagai klaim atau pernyataan sepihak yang dilakukan oleh Negara-negara pantai dari berbagai kawasan sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti zona 200 mil, zona perikanan sejauh 200 mil (dari pantai atau garis pangkal), zona ekonomi 200 mil maupun zona ekonomi eksklusif. Pengumuman Pemerintah tanggal 20 Maret 1980 yang berpedoman pada praktek Negara-negara yang telah diterima secara luas terkait dengan rezim hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyatakan bahwa ZEE Indonesia adalah jalur laut yang berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya, di mana jalur laut itu lebarnya dapat mencapai maksimal 200 mil laut terhitung dari garis pangkal 28 sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Demikian rumusan pengertian ZEE Indonesia yang mengikuti kecenderungan perkembangan hukum laut internasional pada waktu itu, tetapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang berlandaskan wawasan nusantara. Selanjutnya di dalam Pengumuman Pemerintah tersebut, ditegaskan mengenai hak-hak berdaulat serta yurisdiksi Indonesia sebagai Negara pantai atau Negara Kepulauan. RI mempunyai hakhak berdaulat (souvereign rights), yaitu hak-hak untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi maupun pengelolaan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di dalam badan air (water column), dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil); juga hak untuk melakukan kegiatan yang bertujuan ekonomi seperti membangkitkan energi yang berasal dari arus laut, ombak dan gelombang laut maupun angin yang berada di dalam jalur laut 200 mil. Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak berdaulat ini, maka RI juga memiliki yurisdiksi atau kewenangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pemanfaatan pulau-pulau buatan (artificial islands), instalasi (installation) dan bangunan (structure) di jalur atau zona tersebut; juga yurisdiksi terkait dengan penelitian ilmiah kelautan (marine scientific research) di ZEEI; juga yurisdiksi yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection and preservation of the marine environment). Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila di bagian-bagian laut tertentu ZEE Indonesia (ZEEI) tumpang tindih (overlapping) dengan ZEE Negara-negara tetangga, maka Pemerintah RI bersedia untuk mengadakan perundingan dalam usaha mencapai kesepakatan menyangkut penetapan garis batas ZEE masing-masing Negara. Selama belum tercapai kesepakatan soal garis batas tersebut, maka ZEE Indonesia garis batas luarnya terletak di tengah-tengah antara garis pangkal laut territorial Indonesia dengan wilayah pantai dari Negara tetangga yang bersangkutan. Pengumuman Pemerintah tersebut juga menegaskan bahwa sepanjang dasar laut dan tanah di bawahnya dari ZEEI adalah merupakan landas kontinen Indonesia, maka hakhak berdaulat, yurisdiksi serta kewajiban-kewajiban Indonesia akan dilaksanakan menurut Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia tahun 1973, perjanjian-perjanjian garis batas landas kontinen dengan Negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya. Akhirnya dalam Pengumuman Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa status perairan ZEE Indonesia yang tidak dapat terpengaruh di mana perairannya tetap berstatus sebagai perairan internasional sehingga di perairan tersebut tetap diakui berlakunya kebebasan laut lepas dalam bidang-bidang tertentu, seperti kebebasan untuk berlayar (freedom of navigation), kebebasan untuk melakukan penerbangan di ruang udara yang berada di atas perairan ZEE Indonesia serta kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan saluran pipa bawah laut di ZEE Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku. Azas-azas yang termaktub di dalam Pengumuman Pemerintah tahun 1980, sebagaimana halnya dengan Pengumuman Pemerintah tahun 1957 (Deklarasi Juanda) dan Pengumuman Pemerintah tahun 1969, pada akhirnya dituangkan pula ke dalam suatu peraturan perundangan yang dinamakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sehingga memiliki kekuatan yuridis formal dan tidak sekedar suatu pengumuman dan pernyataan semata-mata. Undang-Undang itu antara lain memuat ketentuan umum yang mencakup definisi dari berbagai istilah seperti sumber daya alam hayati., sumber daya alam non hayati dan lain-lain, pengertian ZEE Indonesia, hak-hak berdaulat, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban, berbagai kegiatan yang dapat 29 dilakukan di ZEE Indonesia, soal gantirugi, masalah penegakan hukum, ketentuan pidana dan lain-lainnya (lihat Undang-Undang No. 5 Tahun 1983). Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang berupa Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia. Sumber daya alam hayati yang istilah populernya adalah ikan tidak mengenal batas-batas wilayah Negara sesuai dengan sifat-sifat alaminya. Namun sejalan dengan praktek Negara-negara yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional serta ketentuan-ketentuan hukum laut internasional yang melandasi Undang-undang No.5 Tahun 1983 tersebut, maka sumber daya alam hayati yang terdapat di daerah ZEE Indonesia adalah milik Republik Indonesia walaupun dalam pengelolaannya masih harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum internasional, misalnya kewajiban RI untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch), besarnya kemampuan tangkap dari usaha-usaha perikanan Indonesia (Capacity to Harvest), langkah-langkah untuk pelaksanaan konservasi serta kesediaan Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada usaha perikanan asing untuk ikut serta memanfaatkan ZEE Indonesia sepanjang jumlah tangkapan yang diperbolehkan belum sepenuhnya dimanfaatkan melalui usaha-usaha perikanan Indonesia. Dari segi kepentingan pembangunan nasional, khususnya di sub sektor perikanan, maka sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia memiliki dua fungsi penting, yaitu sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan secara langsung melalui kegiatan penangkapan ikan serta sebagai pendukung sumber daya alam hayati di perairan Indonesia. Mengingat fungsinya yang demikian penting, maka pemanfaatannya perlu diarahkan secara tepat, terarah dan bijaksana. Hal ini berkaitan pula dengan sifat sumber daya alam hayati yang tidak tak terbatas. Demikian antara lain dasar pemikiran yang melatarbelakangi terbitnya Peraturan Pemerintah RI No. 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia (lihat Lembaran negara RI Tahun 1984 Nomor 23). Perkembangan berikutnya dalam hukum laut RI adalah diundangkannya Undang-Undang Perikanan Indonesia, yakni Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Di dalamnya antara lain diatur mengenai beberapa istilah disertai dengan batasan atau pengertiannya, seperti misalnya istilah perikanan yang artinya semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sedang sumber daya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya. Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Demikian antara lain berbagai istilah yang mengemuka dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 sebab masih banyak lagi istilah yang tidak perlu diulangi (lihat pasal 1 Undang-Undang ini). Selanjutnya dalam pasal 2 dikemukakan bahwa wilayah perikanan RI meliputi perairan Indonesia (laut territorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman), sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di dalam wilayah RI, maupun perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Undang-undang No.9 Tahun 1985 juga mengatur tentang pengelolaan sumber daya ikan dalam wilayah perikanan RI yang ditujukan bagi tercapainya manfaat maksimal bagi bangsa Indonesia, dan untuk mencapai hal ini Pemerintah melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan, 30 Menteri menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai alat tangkap ikan; syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal perikanan tanpa mengurangi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan pelayaran; jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis serta ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap; daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan; pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; penebaran ikan jenis baru, pembudidayaan ikan dan perlindungannya etc. Juga diatur tentang pemanfaatan sumber daya ikan melalui usaha perikanan di dalam wilayah perikanan RI hanya boleh dilakukan oleh warganegara RI atau badan hukum Indonesia, dengan pengecualian sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara RI berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku. Pihak yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki izin usaha perikanan, kecuali nelayan atau petani ikan kecil maupun perorangan lainnya yang sifat usahanya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak dikenakan kewajiban tersebut. Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 telah dicabut berlakunya sejak diundangkannya Undang-Undang Perikanan berdasarkan Undang-Undang RI No.31 Tahun 2004 yang azas-azasnya pada waktunya akan dibahas secara lengkap dalam Pokok Bahasan mengenai Hukum Perikanan Indonesia (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4433). Di dalam Undang-Undang No.31 Tahun 2004, dikemukakan berbagai macam istilah yang terkait dengan masalah perikanan, seperti istilah perikanan yang diartikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu system bisnis perikanan. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan factor alamiah sekitarnya. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Demikian antara lain istilah-istilah yang terdapat di dalam Undang-Undang No.31 Tahun 2004. Sedang mengenai azas pengelolaan perikanan dikemukakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan atas azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan adalah : a) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.; b) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; c) mendorong perluasan dan kesempatan kerja; d) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber potensi ikan; e) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan; f) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; g) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; h) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan 31 pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; i) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.. Selanjutnya mengenai ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Perikanan yang baru adalah bahwa Undang-Undang ini berlaku untuk a) setiap orang, baik warganegara Indonesia maupun warganegara asing, badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI; b) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI; c) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan RI; d) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan , baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk kerjasama dengan pihak asing. Selanjutnya untuk penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan maka wilayah pengelolaan perikanan RI meliputi perairan Indonesia, ZEE Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah RI. Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan RI sebagaimana di maksud di atas diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan atau standar internasional yang diterima secara umum. Demikian antara lain beberapa ketentuan penting yang terdapat dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004. Pada bulan Desember 1985 Pemerintah RI mengesahkan atau meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan mengundangkan Undang-Undang No.17 Tahun 1985 sehingga sejak waktu itu Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan melalui konferensi yang diprakarsai PBB sejak tahun 1973 hingga tahun 1982 Konvensi tersebut telah menjadi hukum positif Indonesia. Melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985, maka Konvensi yang isinya bersifat komprehensif dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya lagi Konvensi Geneva 1958 mengenai Hukum Laut, telah menjadi hukum positif kita. Walaupun KHL 1982 belum berlaku secara efektif pada waktu itu atau belum “come into force”, namun bagi Indonesia sendiri Konvensi itu telah berlaku secara individual sejak lahirnya Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 308 ayat 2 KHL 1982 yang menyatakan bahwa bagi setiap negara yang meratifikasi atau menyatakan aksesi pada konvensi ini setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi, Konvensi mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah saat pendepositan piagam ratifikasi atau aksesinya, dengan tunduk pada ketentuan ayat 1. Ayat 1 pasal yang sama (pasal 308, ayat 1) menyatakan bahwa Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi yang ke-60. Demikian kendati KHL 1982 belum berlaku secara internasional pada tahun 1985 sebab ketika itu jumlah ratifikasi yang dibutuhkan belum memenuhi persyaratan, namun bagi Indonesia sendiri Konvensi tersebut telah berlaku secara individual. KHL baru berlaku secara internasional atau secara umum pada tanggal 16 November 1994, sebab satu tahun sebelumnya yakni pada tanggal 16 November 1993, Guyana menjadi negara yang ke-60 dalam meratifikasi KHL 1982 dan mendepositkan piagam ratifikasinya pada Sekjen PBB. Selanjutnya Pemerintah RI menindaklanjuti Undang-Undang No.17 Tahun 1985 mengenai pengesahan RI terhadap KHL 1982, dengan mengundangkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 mengenai Perairan Indonesia. Undang-Undang ini selain mencabut berlakunya Undang-Undang No. 4/ Prp. Tahun 1960, juga pada dasarnya UndangUndang ini menguatkan kembali dasar-dasar pengaturan wilayah perairan Indonesia 32 sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang No. 4/ Prp. 1960, namun lebih disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan KHL 1982, dengan mencantumkan ketentuanketentuan dasar Negara Kepulauan (Archipelagic State) sebagaimana diatur di dalam Bab IV KHL 1982. Demikian di dalam Undang-Undang ini terdapat pengertian Indonesia sebagai Negara Kepulauan, berbagai macam garis pangkal, terutama garis pangkal lurus kepulauan yang tidak berdiri sendiri sebab harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis-garis pangkal lainnya, seperti garis pangkal normal, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, pelabuhan, sungai dan lain-lainnya; di dalam Undang-Undang wilayah perairan Indonesia yang baru (UU No.6 Tahun 1996) juga diatur secara makro mengenai berbagai macam lintas pelayaran, seperti lintas damai, lintas transit dan lintas alur kepulauan serta hak akses dan komunikasi ( terutama yang terkait dengan kepentingan negara tetangga). Pemerintah RI kemudian menindaklanjuti ketentuan pasal dari Undang-Undang No.6 Tahun 1996 menyangkut garis pangkal lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan, dengan mengundangkan Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 1998 sebagai salah satu peraturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Pangkal dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan di Laut Natuna (lihat PP No. 61 Tahun 1998). Kendati sifatnya tambal sulam sebab hanya mengatur masalah penarikan garis pangkal lurus kepulauan di wilayah kepulauan Natuna, namun dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tersebut dilatarbelakangi dengan pemikiran di mana panjang maksimal setiap garis pangkal lurus kepulauan Indonesia bisa mencapai 100 mil laut, malahan kadang-kadang (dengan persentase tertentu) bisa mencapai maksimal 125 mil laut sehingga tidak semua pulau-pulau terluar terutama yang terletak di sekitar laut Natuna lalu dengan sendirinya dapat dijadikan dan digunakan sebagai titik pangkal. Tujuannya tentu tidak lain daripada mewujudkan kesempatan untuk memperoleh atau memiliki wilayah perairan khususnya perairan kepulauan yang jauh lebih luas daripada kita menggunakan seluruh pulau terluar sebagai titik pangkal. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan KHL 1982 yang mensyaratkan RI untuk membuat peta garis pangkal lurus kepulauan atau sebagai gantinya harus membuat daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal lurus kepulauan, maka ketentuan pasal mengenai garis pangkal lurus kepulauan Indonesia sebagaimana diatur di dalam UndangUndang No.6 Tahun 1996 ditindaklanjuti lagi melalui pengundangan Peraturan Pemerintah RI mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002 (lihat Lembaran Negara RI Tahun 2002 No.72 ). Di dalam PP No. 38 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pemerintah RI dapat menarik garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam menarik garis pangkal kepulauan, maka dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk yang tentu saja teluk ini terdapat pada pulau terluar, garis penutup pada sungai atau muara sungai, garis penutup pada pelabuhan, pada kuala, terusan dan lain-lainnya sepanjang semuanya itu berada pada suatu pulau terluar. II. 3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2005) 33 Perkembangan hukum laut RI selanjutnya adalah ketika Pemerintah RI pada tahun 2005 lalu mengundangkan Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005, yaitu Peraturan Presiden tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah RI untuk menjaga keutuhan NKRI (lihat Perpres No.78 Thun 2005, 29 Desember 2005) Sedangkan pengertian pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 kilometer persegi yang memiliki titik-titik dasar geografis yang menghubungkan garis pangkal lurus kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Dengan demikian tujuan dari pengundangan Peraturan Presiden ini antara lain terkait dengan keutuhan NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara, optimalisasi sumber daya alam serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu pengelolaan pulau-pulau terluar ini harus dilakukan dengan berlandaskan pada azas-azas wawasan nusantara, pembangunan yang berkelanjutan serta berbasis masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah(dalam hal ini Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Daerah. Pengelolaan tersebut mencakup bidang-bidang seperti sumber daya alam dan lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah, pertahanan dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya, di mana semuanya ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah RI juga mengundangkan Undang-Undang Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian telah diganti dengan peraturan perundangan baru, yakni Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 18 dari Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menyatakan : 1. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. 2. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi : a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administrative; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum (law enforcement) terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah (Pemerintah Pusat) kepada Daerah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara; 4. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana diatur pada ayat 3 paling jauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/ kota. 5. Apabila wilayah laut antara dua propinsi kurang dari 24 mil laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar dua propinsi tersebut, dan untuk kabupaten/ kota memperoleh sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi yang dimaksud. 34 6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan ayat 5 tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil (penangkapan ikan tradisional). 7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Dengan mencermati ketentuan pasal 18 dari Undang-Undang Otonomi Daerah (UU No.32 Tahun 2004, dapat disimpulkan bahwa setiap Daerah Tingkat I atau Provinsi dalam wilayah NKRI hanya memiliki hak pengelolaan atas wilayah laut, dalam hal ini hak untuk mengelola untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah laut yang menjadi kewenangannya. Hal ini juga berlaku bagi setiap Daerah Tingkat II (Kotamadya dan atau Kabupaten) yang terdapat dalam setiap Provinsi juga memiliki hak pengelolaan sumber daya alam yang terdapat dalam masing-masing wilayah kewenangannya. Secara khusus untuk pengelolaan sumber daya alam yang nterdapat di dasar laut serta tanah di bawahnya (seabed and subsoil) dari wilayah laut yang menjadi kewenangannya, maka daerah yang bersangkutan Pusat, namun pengaturan bagi hasil harus diatur dalam suatu peraturan perundangundangan. Kewenangan Daerah dalam mengelola sumber daya alam meliputi berbagai kewenangan seperti kewenangan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dan membuat peraturan administratif termasuk masalah perizinan, kewenangan mengatur tata ruang, kewenangan dalam bidang penegakan hukum atas peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau atas peraturan yang dilimpahkan oleh Pusat kepada Daerah. Selanjutnya wilayah laut yang menjadi kewenangan daerah provinsi, khususnya hak pengelolaannya itu ditetapkan sampai sejauh 12 mil laut terhitung dari garis pangkal di sepanjang pantai dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Karena di dalam setiap provinsi terdapat beberapa kabupaten dan atau kotamadya, maka setiap daerah kabupaten ataupun kotamadya memperoleh hak pengelolaan sampai sejauh 4 dengan demikian sesungguhnya hak pengelolaan bagi setiap provinsi itu terhitung dari batas 4 mil hingga 12 mil laut. Selanjutnya dalam hal wilayah laut antara dua provinsi bersifat tumpang tindih (overlapping) sebab bagian wilayah laut yang berada di antara dua provinsi mempunyai lebar kurang dari 24 mil laut, maka hal seperti ini berpotensi untuk menimbulkan persoalan garis batas wilayah laut di antara dua daerah provinsi yang bersangkutan. Untuk mengantisipasi benih persengketaan menyangkut garis batas wilayah laut yang menjadi kewenangannya, maka Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menetapkan apa yang disebut garis tengah (median line) atau garis sama jarak (equidistance line) sebagai acuan atau pedoman bagi kedua provinsi untuk menyelesaikannya melalui perundingan guna mencapai kesepakatan. Ketika sudah terjadi kesepakatan antardua provinsi, maka masing-masing kabupaten atau kotamadya mendapatkan sepertiganya. yaitu sepertiga dari wilayah kewenangan masing-masing provinsi. Walaupun batas-batas kewenangan dari setiap provinsi maupun kabupaten dan atau kotamadya telah ditentukan, namun hal ini tidak berlaku dan tidak boleh dijalankan terhadap nelayan kecil dari suatu daerah sehingga suatu provinsi tidak boleh melarang nelayan kecil yang berasal dari provinsi lain. Demikian pula suatu kabupaten atau kotamadya tidak boleh melarang nelayan kecil yang berasal dari kabupaten lain yang ada di dalam provinsi yang sama, d emikian pula sebaliknya Secara yuridis kewilayahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UndangUndang No. 32 Tahun 2004) tidak membawa pengaruh ataupun perubahan terhadap wilayah perairan Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang- 35 Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Wilayah perairan yang ditetapkan oleh masing-masing propinsi maupun wilayah perairan yang diklaim oleh masing-masing kabupaten ataupun kota di dalam suatu propinsi tetap berstatus sebagai wilayah perairan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan. Akan tetapi ditinjau dari segi pemanfaatan sumber daya kelautan, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 memberi kewenangan yang luas dan nyata kepada Daerah untuk melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya kelautan di wilayah kewenangannya, namun disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungan, kewajiban untuk berpartisipasi dalam memelihara keamanan dan kewajiban daerah untuk berpartisipasi dalam mempertahankan kedaulatan negara. Pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengelola sumber daya kelautan serta kewenangan-kewenangan lain yang diberikan kepada masing-masing daerah sebagaimana diatur di dalam pasal 18 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak akan menghapuskan komitmen Pemerintah RI dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan apa yang ditentukan dalam berbagai konvensi internasional, seperti Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut, Konvensi mengenai Pencegahaan Tubrukan Kapal, ketentuan-ketentuan dari IMO mengenai standardisasi keamanan kapal dan pelabuhan (ISPS Code) dan konvensi-konvensi internasional lainnya yang telah mengikat RI. . II. 4. Dewan Kelautan Indonesia (Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2007) Terbentuknya Dewan Kelautan Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2007 dilandasi dengan beberapa pertimbangan : a. bahwa dengan berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, diperlukan langkah-langkah penanganan yang menyeluruh dan terpadu dalam rangka lebih meningkatkan pemanfaatan, pelestarian, perlindungan laut, dan pengelolaan wilayah laut nasional secara terpadu, serasi, efektif, dan efisien; b. bahwa kebijakan publik di bidang kelautan merupakan kebijakan yang meliputi berbagai bidang pemerintahan, sehingga memerlukan keterpaduan dalam perumusan kebijakan kelautan tersebut sejak awal; c. bahwa dalam rangka keterpaduan perumusan kebijakan kelautan telah dibentuk Dewan Maritim Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 161 Tahun 1999; d. bahwa nomenklatur atau istilah atau penamaan Dewan Maritim Indonesia memiliki pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas dan fungsi yang dimiliki oleh Dewan tersebut; e. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d, memandang perlu untuk mengubah Dewan Maritim Indonesia menjadi Dewan Kelautan Indonesia dengan Keputusan Presiden; 36 Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum dalam bidang kelautan. Dewan ini memiliki tugas untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Kelautan Indonesia dalam rangka menetapkan kebijakan yang bersifat umum dalam bidang kelautan. Dalam menjalankan tugas sebagaimana ditentukan di atas, maka Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut a) mengkaji dan memberikan pertimbangan maupun rekomendasi kebijakan dalam bidang kelautan kepada Presiden sebagai Ketua Dewan Kelautan Indonesia; b) mengadakan konsultasi dengan lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah maupun dengan wakil-wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan serta penyelesaian masalah dalam bidang kelautan; c) memantau dan mengevaluasi kebijakan, strategi dan pembangunan kelautan; d) melakukan hal-hal lain atas permintaan Presiden BAB III : Jalur Laut dan Garis Pangkal III. 1. Jalur-Jalur Laut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Menurut KHL 1982 hak dan kewajiban negara (negara pantai pada umumnya) dalam memanfaatkan laut dan sumber dayanya ditentukan berdasarkan status hukum dari berbagai bagian laut atau jalur laut. Jalur-jalur laut itu dapat dikelompokkan sebagai berikut . Ada jalur laut yang berada di bawah kedaulatan penuh dari negara (dalam pengertian negara pantai), seperti Perairan Pedalaman (Internal Waters), Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters), Laut Teritorial (Territorial Sea), termasuk di dalamnya Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used for International Navigation). Ada pula jalur laut yang berada di bawah yurisdiksi khusus dari negara pantai, seperti Jalur Tambahan (Contiguous Zone). Ada pula jalur laut yang berada di bawah hak-hak berdaulat (souvereign rights) dari negara pantai, seperti Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) serta Landas Kontinen (Continental Shelf). Ada juga jalur laut atau bagian laut yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun, termasuk oleh negara pantai yang laut wilayahnya, atau ZEE maupun Landas Kontinennya berdekatan dan berbatasan dengan bagian laut lepas. Ada pula bagian laut yang dinyatakan sebagai milik bersama umat manusia (Common Heritage of Mankind), yakni bagian dasar laut yang dinamakan Area atau Kawasan Dasar Laut Internasional (International Seabed Area) yang terletak di luar batas-batas terluar dari landas kontinen suatu negara pantai (lihat Barbara Kwiatkowska, The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the New Law of the Sea, Martinus Nijhoff Publishers, Boston/London, 1989, p.xx – xxvi ; R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester University Press, 37 1983, Hlm.19; Rene-Jean Dupuy, The Law of the Sea, Oceana Publications Inc. – Dobbs Ferry, N.Y., A.W. Sijthoff – Leiden, 1974, p.3 – 6). Istilah negara pantai (Coastal State) sesungguhnya mempunyai pengertian yang luas sebab negara pantai dapat dimaknai sebagai negara pantai yang normal (normal coastal state); negara pantai dapat pula diartikan sebagai negara kepulauan (archipelagic state), dan dapat pula diartikan sebagai negara yang secara geografis kurang beruntung (geographically disadvantaged state). Suatu negara disebut negara pantai normal (normal coastal state) bilamana negara itu mempunyai wilayah daratan atau kontinen yang seluruh atau sebagiannya dikelilingi dengan laut di sekitarnya. Suatu negara disebut sebagai negara yang secara geografis kurang beruntung, bilamana negara tersebut karena keadaan geografisnya pada umumnya kurang menguntungkan sehingga negara tersebut tidak dapat mengklaim jalur-jalur laut sampai batas maksimal yang diperkenankan atau ditentukan. Suatu Negara dinamakan Negara Kepulauan (Archipelagic State), apabila wilayahnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Negara RI adalah Negara Kepulauan atau dikualifikasi sebagai Negara Kepulauan karena wilayah Indonesia terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan Riau, kepulauan Bangka Belitung, kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Sangir Talaud, kepulauan Taka Bonerate, kepulauan Natuna dan beraneka ragam banyaknya kepulauan yang dimiliki negeri tercinta. Selain daripada berbagai macam kepulauan yang dimiliki, terdapat juga pulau-pulau lain seperti pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua atau Irian Jaya yang dimiliki negeri ini. Selanjutnya pengertian kepulauan (archipelago) adalah gugusan atau kumpulan pulaupulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan di antara pulau-pulau tersebut, serta bentuk-bentuk alamiah lainnya yang semuanya ini membentuk suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demikian. Sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State), maka Indonesia dapat mengklaim dan menetapkan berbagai jalur laut atau zonasi pengaturan lautnya seperti perairan kepulauan, perairan pedalaman, laut territorial, jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen. Perairan kepulauan Indonesia adalah bagian-bagian laut yang berada pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) atau garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines). Akan tetapi garis pangkal lurus kepulauan yang memagari perairan kepulauan atau yang di dalamnya terdapat perairan kepulauan tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa dukungan garis-garis pangkal lainnya sehingga bagaimanapun garis pangkal lurus kepulauan harus selalu dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus dan garis penutup pada teluk, muara sungai, kuala, terusan asalkan saja terletak pada pulau terluar serta lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil laut, serta garis penutup pada perairan pelabuhan yang terletak pada pulau terluar Indonesia. Pengertian perairan kepulauan seperti itu dapat disimpulkan dari ketentuan pasal-pasal dari Undang-Undang mengenai Perairan Indonesia yang berpedoman pada Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 atau KHL 1982. Namun kalau diperhatikan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1996, dalam hal ini Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pemerintah RI dapat menarik garis pangkal kepulauan dan dalam menarik garis pangkal kepulauan, dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, garis penutup pada muara sungai, terusan, kuala, dan garis penutup pada pelabuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perairan 38 kepulauan itu merupakan bagian-bagian laut yang berada pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan yang penarikannya harus dilakukan dengan mempergunakan garis pangkal lurus kepulauan yang tentu saja dalam prakteknya harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus serta berbagai garis penutup (closing lines) (lihat Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72). Di dalam perairan kepulauan, Indonesia dapat menetapkan bagian-bagian laut tertentu sebagai perairan pedalaman (internal waters) dengan membuat dan menarik garis lurus ataupun garis penutup pada teluk, muara sungai, pelabuhan dan seterusnya. Perairan atau bagian-bagian perairan yang terletak pada sisi luar dari garis lurus ataupun dari garis penutup tersebut mempunyai status sebagai perairan kepulauan atau dengan lain perkataan dapat dikualifikasi sebagai perairan kepulauan. Sedangkan bagian-bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis lurus ataupun garis penutup tersebut seperti perairan teluk, sungai, terusan, kuala maupun perairan pelabuhan (dengan catatan tidak terletak pada pulau-pulau terluar) dapat dikualifikasi sebagai perairan pedalaman. Laut territorial atau laut wilayah Indonesia adalah jalur laut atau bagian laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan) dengan lebar maksimal 12 mil laut dihitung atau diukur dari garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan). Dengan demikian laut wilayah dari Indonesia sebagai Negara Kepulauan mengelilingi seluruh wilayah kepulauannya justru karena secara geografis laut wilayahnya terletak pada bagian luar dari garis pangkal lurus kepulauan di mana garis seperti ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan berbagai garis pangkal lainnya. Status hukum dari ketiga macam jalur laut yang telah disebutkan di atas adalah sangat jelas, di mana semuanya ini adalah merupakan wilayah kedaulatan Indonesia sehingga kedaulatan ini mencakup baik wilayah perairan atau badan air (water column), ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil) maupun sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Hal yang sangat penting untuk diketahui adalah bahwa dalam hal laut territorial RI tidak menimbulkan permasalahan batas atau garis batas laut territorial dengan negara-negara tetangga, maka Indonesia bisa menetapkannya sampai batas maksimal sejauh 12 mil dari garis pangkal kepulauan, tetapi bilamana laut territorial RI tumpang tindih dengan laut territorial dari negara-negara tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan bagi tercapainya garis batas laut territorial yang dapat disepakati oleh masing-masing negara. Kenyataan memperlihatkan bahwa sampai sekarang RI belum mencapai kesepakatan mengenai garis batas laut territorial dengan 3 negara, yakni dengan Timor Leste, Singapura dan Malaysia. Kalau diperhatikan terdapat sekitar 40 persen garis batas laut territorial Indonesia yang belum dapat diakui oleh ketiga negara tersebut, sebagaimana halnya kita tidak dapat mengakui penetapan garis batas laut teritorial dari ketiga negeri tetangga kita. Akan tetapi pada akhir bulan Januari tahun 2009 telah disepakati oleh Indonesia dan Singapura mengenai garis batas maritim di Selat Malaka-Singapura antara segmen Barat dari wilayah Singapura.dengan wilayah RI di Pulau Nipah sehingga perjanjian terakhir ini telah melengkapi perjanjian garis batas maritim tahun 1973. 39 Penjelasan : Perjanjian Garis Batas Maritim yang telah ditandatangani pada bulan Februari 2009 antara RI-Singapura pada Segmen Barat yang terdapat pada bagian Utara Pulau Nipah. Sebelumnya memang sudah ada perjanjian garis batas maritim antara kedua negara di Selat Malaka, yaitu antara wilayah daratan Singapura dengan wilayah RI di Kepulauan Riau pada tahun 1973, namun perjanjian ini belum tuntas karena bagian Barat dari Kepulauan Riau (termasuk Pulau Nipah) belum bisa diperjanjiakan pada waktu itu. Perundingan di antara kedua negara terkait dengan bagian laut yang belum disepakati sudah berlangsung lama, terutama sejak tahun 2005. Pada akhir bulan Januari lalu Kepala Negara RI Presiden Susilo Bambang Yudoyono bersama Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long berhasil mencapai kesepakatan mengenai garis batas maritim pada bagian yang belum terselesaikan, yaitu pada segmen Barat yang terdapat di Utara Pulau Nipah. Pada bulan Februari Perjanjian Garis Batas Maritim di Selat Malaka dengan Pulau Nipah dipakai sebagai titik pangkal ditandatangani oleh kedua Menteri Luar Negeri. Dengan penandatanganan ini, maka terdapat kepastian bagi kedua negara baik dari segi geoekonomi maupun geopolitik, ada kepastian mengenai sampai dimana batas kedaulatan 40 serta yurisdiksi bagi masing-masing negara, demikian pula ada kepastian soal sampai di mana masing-masing negara dapat menjalankan kegiatan-kegiatan ekonominya di wilayah laut di Selat Malaka. Garis batas laut territorial antara RI dengan Malaysia yang belum terselesaikan berada di tiga wilayah, yaitu di Selat Malaka garis batas maritime atau garis batas laut territorial panjangnya sekitar 17 mil laut, di Tanjung Datuk (Kalimantan Barat) sepanjang 12 mil laut, di Pulau Sebatik (Kalimantan Timur) sepanjang 18 mil laut garis batas laut territorial yang belum dapat disepakati bersama antara RI dengan Malaysia, walaupun untuk beberapa titik di Selat Malaka sudah ada kesepakatan berdasarkan perjanjian garis batas laut territorial pada tahun 1971 yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1971. Sedangkan dengan negeri Timor Leste, Pemerintah RI belum dapat mengakui dan menerima garis batas maritime atau garis batas laut territorial yang panjangnya lebih dari 100 mil laut yang ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah negeri Timor Leste. Pemerintah dari negara kecil yang pernah menjadi Provinsi RI ke-27 telah secara berani membuat pernyataan sepihak menyangkut garis batas laut teritorialnya yang jauhnya sampai mencapai 100 mil laut terhitung dari Celah Timor (Timor Gap), padahal sebagaimana diketahui perjanjian Celah Timor (Timor Gap Treaty) yang merupakan perjanjian kerjasama pengembangan antara RI-Australia tahun 1989 telah berakhir. Nasmun Pemerintah Timor Leste ternyata mau memanfaatkan garis-garis dari Celah Timor sebagai pijakan dan titik tolak dalam mengklaim laut teritorialnya sejauh 100 mil laut. Tindakan sepihak ini harus dilawan oleh Pemerintah RI sebab apabila dibiarkan akan mengakibatkan sebagian dari perairan kepulauan serta laut teritorial RI yang berada disekitar Laut Timor dapat jatuh ke dalam penguasaan negara Timor Leste. Kita harus mempertahankan kedaulatan dan keutuhan teritorial kita guna menjamin martabat (dignity) dari bangsa dan negara. Jangan sampai kita dipecundangi oleh bekas provinsi yang telah memisahkan diri dari NKRI pada tahun 1999.. Selanjutnya Indonesia juga dapat menetapkan bagian-bagian laut tertentu sebagai zona ekonomi eksklusif serta landas kontinennya. Apabila perairan kepulauan, perairan pedalaman dan laut territorial Indonesia telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 serta berbagai peraturan perundangan lainnya seperti PP No.38 Tahun 2002, maka ZEE Indonesia sejak dini telah ditetapkan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 yang berpedoman pada KHL 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.. Sedangkan untuk Landas Kontinennya masih diatur berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1973 mengenai Landas Kontinen Indonesia yang ternyata berpedoman pada Konvensi Hukum Laut Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen (Continental Shelf) khususnya mengenai pengertian atau definisinya sehingga hal ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum laut dewasa ini. Oleh karena itu Undang-Undang No.1 Tahun 1973 terutama menyangkut batasan soal Landas Kontinen Indonesia harus segera ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan sesuai dengan ketentuan pasal 76 Konvensi 41 Hukum Laut 1982 yang memperkenankan RI uintuk menetapkan landas kontinennya sampai batas terluar dari tepian kontinennya (dengan catatan batas terluarnya sudah dibatasi hingga 350 mil laut) ataupun sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal dalam hal landas kontinen dari negara pantai yang bersangkutan tidak mencapai jarak 200 mil laut ataupun tidak boleh melebihi 100 mil laut yang diukur dari garis batas kedalaman (isobath) 2500 meter, yaitu garis yang menghubungkan kedalaman 2500 meter. Selanjutnya mengenai zona ekonomi eksklusif atau zona 200 mil memiliki tujuan mendasar, yakni untuk mengakselerasi pembangunan sosial ekonomi dari negara-negara serta mengurangi adanya ketidakseimbangan di antara negara-negara industri dan negaranegara berkembang. Hal ini tercermin dalam isitilah “economic” yang terdapat pada zona tersebut maupun dalam ruang lingkup yang pada dasarnya berorientasi pada sumber daya alam (resource-oriented) yang merupakan hak dan yurisdiksi negara pantai di zona tersebut. Potensi ekonomi dari sumber daya hayati menjadi motivasi utama di balik penetapan ZEE baik oleh developing states maupun industrialized states, sebagaimana halnya kekayaan mineral sudah berada di bawah pengawasan eksklusif negara pantai berdasarkan atas pengaturan hukum landas kontinen yang sifatnya tradisional (Barbara Kwiatkowska, Hlm. 2 – 4). Zona Ekonomi Eksklusif memiliki ciri yang dinamakan multifunctional (multifunctional character) yang tentu berbeda dari zona-zona lainnya.sehingga perlu dipaparkan definisi dari Zona Ekonomi Eksklusif. ZEE adalah suatu area yang berada di luar dan berbatasan dengan laut teritorial hingga mencapai batas 200 mil laut dari TS baselines (garis pangkal dari mana laut teritorial itu diukur), di mana negara pantai mempunyai hak-hak berdaulat berkenaan dengan semua sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi untuk tujuan ekonomi, juga yurisdiksi yang berkenaan dengan pulau buatan, penelitian ilmiah, pelestarian lingkungan laut, dan hak-hak serta kewajiban lain yang ditetapkan dalam Konvensi. Semua negara menikmati di ZEE navigational and communications freedoms, serta negara tak berpantai dan negara yang secara geografis tidak beruntung (land-locked and geographically disadvantaged states) menikmati atau memiliki hak khusus untuk berpartisipasi dalam bidang perikanan dan penelitian ilmiah kelautan. Selanjutnya mengenai.Ciri ZEE sebagai suatu zona yang sifatnya multifunctional yang tampak dari definisinya serta membedakannya dengan zona fungsional yang menjadi hak dan yurisdiksi negara pantai adalah terjadinya penggabungan hak terkait sumber daya alam pada umunya di pihak negara pantai yang tidak dikenal sebelumya serta adanya kesejajaran (juxtaposition) hak negara pantai atas sumber daya hayati dan non hayati dari dasar laut, tanah di bawahnya serta perairan di atasnya pada khususnya (lihat pasal 56 ayat 1a dan b). Di samping itu negara pantai diberikan hak-hak serta kewajibankewajiban lain yang ditentukan dalam Konvensi ini (pasal 56 ayat 1c yang tidak diidentifikasi dalam Bab V, namun merupakan kompromoi terhadap hak-hak dan kewajiban yang terkait dengan jalur tambahan yang tumpang tindih dengan ZEE sampai jarak 24 mil (pasal 33), pengeboran untuk berbagai tujuan (pasal 81) dan mengeksploitasi tanah di bawah dasar laut dengan cara membuat terowongan, tanpa memperhatikan kedalaman air di atas subsoil (pasal 85). Dinyatakan pula bahwa klausula mengenai hakhak serta kewajiban lainnya mencakup kewajiban suatu negara pantai untuk mengakomodasi adanya partisipasi dari land-locked and geographically disadvantaged states (LL/ GDS) dalam hal perikanan, namun tidak mencakup hak-hak dari negaranegara seperti ini terkait dengan marine scientific research ketika hak-hak ini berlaku 42 secara nyata pada penelitian yang dijalankan pihak ketiga di ZEE dan bukan oleh negara pantai itu sendiri (Barbara Kwiatkowska, Hlm. 4). . ZEE Indonesia adalah jalur laut yang berbatasan dengan dan berada di luar laut territorialnya, yang lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan lebar laut territorialnya. Demikian jalur laut yang dinamakan ZEE Indonesia selain mengelilingi batas luar laut territorial, juga mengelilingi wilayah kepulauan Indonesia karena perairan ZEE Indonesia berada di luar garis pangkal laut territorial yang dalam hubungan ini dinyatakan sebagai garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan) Indonesia. Karena Indonesia memiliki hak-hak berdaulat (souvereign rights) untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melindungi dan mengelola sumber daya alam yang terdapat di ZEE nya, maka sumber daya ini adalah merupakan milik bangsa dan negara Indonesia yang perlu dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Indonesia juga memiliki yurisdiksi terkait dengan pembangunan dan pemanfaatan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, termasuk yurisdiksi yang terkait dengan masalah bea dan cukai, fiscal, keimigrasian, kesehatan dan keselamatan pelayaran, yurisdiksi yang berkaitan dengan penelitian ilmiah kelautan, yurisdiksi dalam hal pelestarian lingkungan laut di ZEE Indonesia. Permasalahan besar yang dihadapi Indonesia terkait dengan ZEE ini adalah bahwa sekitar 70 persen garis batas ZEE Indonesia belum mendapat pengakuan dari beberapa negara tetangga. Kesepakatan garis batas ZEE Indonesia baru tercapai dengan Australia dan Papua Niugini. Akan tetapi antara Indonesia dengan negaranegara tetangga seperti Timor Leste, Palau, Filipina, Vietnam, Thailand dan India, hingga saat ini belum dapat dicapai kesepakatan dalam bentuk perjanjian mengenai garis batas ZEE di daerah perbatasan masing-masing negara. Menurut Sobar Sutisna (yang menjabat sebagai Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) di antara perundingan batas wilayah dengan enam negara tetangga penetapan batas wilayah paling cepat dapat terealisasi dengan Filipina sebab negara itu telah menyatakan kesediaannya untuk menyelesaikan perundingan penetapan batas wilayah di laut Sulawesi yang telah dimulai sejak tahun 1994. Sedangkan penetapan batas wilayah dengan negeri Palau belum dapat dilakukan karena RI belum mempunyai hubungan diplomatic dengan negeri kecil di Samudera Pasifik walaupun saat ini pihak perunding dari Indonesia menunggu persetujuan dari DPR untuk membuka hubungan diplomatic dengan Palau. Demikian hal-hal konkret yang sedang dialami RI dalam hubungannya dengan penetapan batas-batas maritime terutama batas-batas ZEE Indonesia dengan negara-negara tetangga. Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah-daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan (natural prolongation of its continent) yang berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4/ Prp. Tahun 1960, sampai pada suatu batas kedalaman 200 meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedalaman 200 meter (beyond that limit) sejauh kemampuan teknologi Indonesia masih memungkinkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di sana. Pengertian atau batasan landas kontinen sebagaimana 43 diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 jelas mengacu pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen dan sudah seharusnya segera dicabut setelah berlakunya KHL 1982. Berdasarkan ketentuan pasal 76 KHL 1982, maka landas kontinen (Continental Shelf) diartikan sebagai dasar laut dan tanah di bawahnya dari wilayah-wilayah di bawah permukaan laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan negara pantai yang bersangkutan, yang berada di luar laut territorial, tetapi berbatasan dengannya, sampai batas terluar dari tepian kontinen (outer edge of the continental margin) atau dalam hal tepian kontinen negara itu tidak mencapai jarak 200 mil, maka dasar laut dan tanah di bawahnya dapat ditetapkan hingga jarak 200 mil laut terhitung dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorialnya diukur. Hal ini berarti KHL 1982 memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk menggunakan criteria atau ukuran yang menguntungkan. Pengertian landas kontinen ini sangat penting untuk menentukan sejauh mana hak-hak berdaulat suatu negara pantai di landas kontinennya, terutama sejauh mana negara tersebut dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di sana. Pengertian landas kontinen Indonesia sudah seharusnya disesuaikan dengan pengertian landas kontinen pada umumnya sebagaimana ditetapkan dalam pasal 76 KHL 1982 sehingga Undang-Undang RI mengenai Landas Kontinen Indonesia (Undang-Undang No. 1 Tahun 1973) khususnya ketentuan pasal 1 mengenai definisi landas kontinen RI harus segera dicabut untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum laut masa kini sebagaimana diatur di dalam pasal 76 KHL 1982. Untuk memahami pengertian landas kontinen (Continental Shelf) berdasarkan Pasal 1 Konvensi Geneva 1958 maupun berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, maka di bawah ini dipaparkan gambar dan konfigurasi sederhana mengenai landas kontinen dalam pengertian yuridis. Pengertian ini sangat penting (very essential) dalam menentukan hak-hak berdaulat serta yurisdiksi negara pantai di landas kontinen. Dari pengertian landas kontinen sebagaimana diatur dalam psal 1 Konvensi Geneva 1958, dapat disimpulkan bahwa ada dua ukuran atau kriteria yang digunakan dalam menetapkan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai di landas kontinen, yaitu : 1) kriteria kedalaman 200 meter. Artinya kalau negara pantai tidak memiliki kemampuan teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di sana, maka hak-hak berdaulat dan yurisdiksinya hanya sampai di titik dasar laut dengan kedalaman 200 meter terhitung dari permukaan laut. Dengan demikian muncul kriteria kedua; 2) kriteria melebihi batas kedalaman 200 meter (beyond that limit), sejauh kemampuan tekonologi dari negara pantai masih memungkinkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di dasar laut dan tanah di bawahnya dengan kedalaman tanpa batas dari permukaan laut. Kriteria ini disebut pula dengan istilah “technical exploitability”. Kriteria hak-hak berdaulat di landas kontinen yang tersimpul dari batasan pengertiannya sangat tidak adil sebab hanya menguntungkan negara-negara maju dan merugikan negara-negara berkembang pada waktu itu sehingga kriteria dan pengertian seperti ini telah diganti melalui ketentuan pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982. Dari pengertiannya dapat ditarik adanya beberapa kriteria dalam menentukan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai di landas kontinen, 44 yaitu : 1) kriteria jarak yang menyatakan bahwa dasar laut serta tanah di bawahnya itu sampai pada apa yang dinamakan ujung luar dari tepian kontinen (the outer edge of the continental margin). Apabila landas kontinen dari negara pantai yang bersangkutan begitu luas dan tidak tumpang tindih dengan landas kontinen dari negara-negara tetangganya, maka hak-hak berdaulat dan yurisdiksinya dapat mencapai ratusan mil dan bahkan ribuan mil dari garis pangkal sesuai dengan lokasi dari titik terluar dari tepian kontinen. Walaupun dari segi geologis jarak antara garis pangkal hingga lokasi ujung terluar dari tepian kontinen (the outer edge of the continental margin) dapat mencapai ratusan bahkan ribuan mil, namun dari segi yuridisnya hal ini sudah dibatasi sebab pasal 76 KHL 1982 menetapkan bahwa dasar laut dan tanah di bawahnya harus dibatasi sampai 350 mil laut terhitung dari garis pangkal. Pembatasan ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat internasional sebab ada negara-negara yang tidak berpantai atau dikelilingi oleh daratan, padahal mereka juga berhak memperoleh manfaat yang berasal dari laut.yang sebenarnya merupakan warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind).. Ada juga ketentuan-ketentuan lain seperti hak-hak-hak berdaulat atas sumber daya alam terutama mineral-mineral, minyak dan gas bumi, berbagai yurisdiksi RI di landas kontinennya termasuk masalah pulau buatan, instalasi dan bangunan, penelitian ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penentuan garis batas landas kontinen Indonesia di wilayah perbatasan dan lain-lainnya dari segi substansinya masih dapat dipertahankan, namun dari segi redaksi atau rumusannya perlu disesuaikan dengan rumusan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KHL 1982. Dibandingkan dengan Konvensi Geneva 1958 tentang Landas Kontinen yang mempergunakan ukuran kedalaman 200 meter maupun ukuran technological exploitability yang sangat kabur, maka KHL 1982 mempergunakan criteria yang jelas berupa ukuran jarak sampai ujung terluar dari tepian kontinennya, ataupun bilamana landas kontinennya pendek bisa ditetapkan sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal laut territorial yang semuanya ini dimaksudkan untuk menentukan sampai di mana batasbatas hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam berupa mineral-mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya yang terdapat di sana. Dengan demikian RI harus melakukan perubahan terhadap Undang-Undang yang lama (Undang-Undang No. 1 Tahun 1973) serta menggantinya dengan peraturan perundangan baru yang sesuai dengan semangat dan ketentuan KHL 1982 terkait dengan batasan landas kontinen dalam menentukan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di landas kontinennya sendiri sebab bagaimanapun KHL 1982 sangat menguntungkan negara-negara pantai khususnya RI dalam kedudukannya sebagai negeri kepulauan. Dalam hubungan ini perlu juga diperhatikan dalam hal landas kontinen Indonesia tidak menimbulkan masalah garis batas dengan negara-negara tetangga, maka landas kontinen Indonesia dapat ditetapkan sampai batas maksimal, yaitu sampai ujung terluar dari tepian kontinennya (namun hal ini sudah dibatasi sampai jarak 350 mil laut dari garis pangkal) atau sampai jarak 200 mil laut dari 45 garis pangkal dalam hal tepian kontinen Indonesia tidak mencapai jarak 200 mil laut. Namun bilamana tumpang tindih (overlapping) garis batas landas kontinen antara RI dengan beberapa negara tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan untuk mencapai kesepakatan. Kenyataan menunjukkan bahwa sekitar 30 persen garis batas landas kontinen Indonesia belum disepakati dengan beberapa negara tetangga, seperti dengan negeri Timor Leste yang dulu pernah menjadi propinsi RI ke-27, dengan negara Palau serta negara Filipina. III.2. Penarikan Berbagai Macam Garis Pangkal Jalur-jalur laut yang dapat diklaim sesuai ketentuan-ketentuan yang ada hanya dapat terwujud dengan senantiasa berpatokan pada garis pangkal. Sebagai negara kepulauan, RI dapat menarik garis pangkal kepulauan (archipelgic baselines). Dalam menarik garis pangkal kepulauan, Indonesia dapat mempergunakan berbagai metode atau cara penarikan garis pangkal. Peraturan Pemerintah RI No.38 Tahun 2002 yang merupakan salah satu peraturan pelaksanaan yang menindaklanjuti dan mengelaborasi Undang-Undang No.6 Tahun 1996 yang terkait dengan ketentuan mengenai garis pangkal. Peraturan Pemerintah tersebut menetapkan bahwa RI dapat menarik garis pangkal kepulauan dan dalam menarik garis pangkal kepulauan dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, muara sungai, terusan, kuala dan garis penutup pada pelabuhan. Garis pangkal kepulauan, khususnya garis pangkal lurus kepulauan bukan merupakan garis yang dapat berdiri sendiri tanpa dukungan dari garis-garis pangkal lainnya karena secara praktis garis pangkal lurus kepulauan hanya dapat dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, sungai, terusan, kuala dan garis penutup pada pelabuhan di mana teluk, sungai dan lain-lainnya secara geografis dapat terletak baik pada bagian dalam maupun pada bagian luar dari pulau-pulau terluar Indonesia. Apa yang dimaksud dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis pangkal lurus kepulauan ? KHL 1982, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002 mengemukakan sebagai berikut. Garis pangkal biasa (normal baselines) adalah garis-garis air terendah di sepanjang pantai pada waktu air sedang surut sehingga dengan demikian mengikuti segala lekuk liku (bentuk-bentuk morfologi) dari pantai suatu negara. Pada mulut atau muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil laut, dan pada pelabuhan, maka harus diperhatikan bahwa garis air terendah itu dapat ditarik sebagai suatu garis lurus. Garis air terendah yang ditarik sebagai garis lurus (straight lines) pada perairan di sekitar muara sungai, perairan di teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut serta pada perairan pelabuhan bilamana sungai, teluk dan pelabuhan itu tidak berada pada pulaupulau terluar. Akan tetapi bilamana keberadaannya atau letak geografisnya berada pada pulau-pulau terluar, maka garis air terendah pada muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut maupun pada pelabuhan, dapat ditarik sebagai suatu garis penutup (closing lines). Pada dasarnya garis pangkal biasa lazimnya dipergunakan oleh negara yang dikualifikasi sebagai negara pantai normal (normal coastal state), seperti Malaysia, Korea Utara, Korea Selatan, RRC, AS, Australia dan banyak negara 46 pantai biasa lainnya yang wilayahnya berupa sebuah daratan atau kontinen semata-mata walaupun tidak tertutup kemungkinan memiliki satu pulau kecil atau lebih yang mungkin secara geografis berada jauh dari wilayahnya.. Untuk mempermudah pemahaman mengenai garis pangkal biasa (normal baselines), maka di bawah ini dibentangkan gambar mengenai garis seperti itu. Selanjutnya garis pangkal lurus (straight baselines) adalah garis air terendah yang menghubungkan titik-titik pangkal berupa titik-titik terluar yang terdapat pada pantai daratan utama (mainland) suatu negara atau pantai pada gugusan pulau yang berada di depannya (daratan utama). Garis pangkal lurus hanya dapat diterapkan oleh negara yang memiliki daratan utama, namun garis pantainya berliku-liku tajam pada daratan utama tersebut. Selain memiliki daratan utama yang pantainya berliku-liku tajam, negara tersebut juga memiliki deretan atau gugusan pulau-pulau yang letaknya berdekatan dengan pantai daratan utama. Negara tersebut juga memiliki apa yang dinamakan delta maupun kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantainya sangat tidak menentu, seperti terdapatnya apa yang dinamakan fyord baik pada daratan utama maupun pada deretan dan gugusan pulau di dekatnya. Negara dengan kondisi geografis seperti itulah yang dapat menggunakan dan menerapkan garis-garis pangkal lurus di mana perairan yang terdapat atau berada pada sisi dalam dari garis-garis pangkal lurus itu adalah merupakan perairan pedalaman (internal waters), sementara perairan yang terletak pada sisi luar dari garis-garis pangkal lurus itu adalah merupakan jalur laut territorial yang lebarnya maksimal 12 mil laut yang dihitung atau diukur dari garis-garis pangkal lurus. Namun demikian garis pangkal lurus bukan sesuatu yang dapat berdiri sendiri 47 karena bagaimanapun garis pangkal ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal normal yang disebut juga garis air terendah atau garis air surut. Di samping persyaratan tadi, maka untuk dapat menerapkan garis pangkal lurus, maka negara dengan kondisi geografis seperti itu harus memiliki kepentingan ekonomi yang bersifat khusus atau spesifik di mana kepentingan ekonominya atas perairan yang terbentuk berdasarkan garis pangkal lurus adalah merupakan suatu kenyataan serta sesuatu yang sangat signifikan yang secara jelas dapat dibuktikan melalui praktek yang telah berlangsung lama. Persyaratan berikutnya adalah bahwa garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai negara yang bersangkutan. Akhirnya garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low tide elevation) maupun menuju ke elevasi surut, yang artinya elevasi surut itu tidak boleh digunakan sebagai titik pangkal atau titik terluar terkecuali elevasi surut itu telah memiliki mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanent terus menerus berada di atas permukaan air laut. Negara yang pertama kali menerapkan garis pangkal lurus adalah negeri Norwegia karena wilayahnya secara geografis terdiri dari daratan utama yang pantainya sangat berliku-liku tajam (terdapat anak-anak laut, fyord etc) serta di dekat daratan utama bertebaran gugusan pulau-pulau. Penduduk Norwegia menggantungkan hidupnya pada kegiatan penangkapan ikan pada perairan di sekitar wilayah daratan serta deretan pulau-pulau di depannya, di mana hal ini sudah berlangsung lama secara turun menurun sehingga bagi Norwegia wilayah perairan tersebut memiliki kepentingan ekonomi yang bersifat istimewa. Faktor-faktor inilah yang mendorong Norwegia sehingga mengeluarkan suatu peraturan yang dinamakan sebuah dekrit dari Raja Norwegia (the Royal Decree) pada tahun 1935 yang menetapkan wilayah perairannya sebagai wilayah perikanan di laut territorial serta perairan pedalaman, di mana terbentuknya wilayah perairan ini didasarkan atas penerapan garis pangkal lurus yang merupakan garis-garis air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar yang terdapat pada pantai daratan utama maupun pada gugusan pulau yang berdekatan dengan daratan utama tersebut. Negara yang memiliki elevasi surut berkewajiban untuk membangun mercu suar atau semacam instalasi di atas elevasi surut tersebut yang tujuannya di samping untuk menunjukkan atau membuktikan kepemilikannya atas elevasi surut, juga terutama untuk menjamin keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal yang melewati atau melintasi perairan di sekitar elevasi surut, dengan demikian mercu suar atau instalasi tersebut mempunyai fungsi sebagai tanda peringatan (warning signals) bagi para pemakai laut agar berhati-hati ketika melintasi perairan di sekitar elevasi surut sebab perairan yang berada di sekitar atau di sekeliling elevasi surut itu adalah merupakan perairan yang sangat dangkal atau perairan di mana terdapat karang-karang kering sehingga dapat membahayakan keselamatan berlayar. Apa yang dinamakan elevasi surut tentu berbeda dengan apa yang dinamakan pulau (natural island). Walaupun di antara keduanya terdapat persamaan di mana keduanya baik pulau maupun elevasi surut adalah merupakan wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, namun sebuah pulau senantiasa berada di atas permukaan air laut kendati air laut sedang mengalami gejala atau peristiwa pasang yang setinggi-tingginya (lihat pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982). Sedangkan apa yang disebut elevasi surut hanya bisa muncul di atas permukaan air laut ketika air laut itu sedang surut, tetapi ketika air laut itu sedang mengalami pasang yang setinggi-tingginya, elevasi surut tersebut pasti tenggelam sehingga tidak kelihatan di atas permukaan air laut dan dengan demikian bisa berbahaya bagi keselamatan pelayaran. Untuk mencegah ataupun mengurangi timbulnya bahaya 48 bagi keselamatan berlayar, maka negara yang memiliki elevasi surut ( semacam gundukan tanah ataupun batu karang di daerah lepas pantai mempunyai kewajiban untuk memasang (install) mercu suar atau instalasi di atas elevasi surut tersebut yang tujuannya terutama untuk melindungi keselamatan pelayaran, di samping untuk membuktikan atau menunjukkan status hukum dari elevasi surut tadi (low tide elevation). Di bawah ini dipaparkan gambar mengenai garis pangkal lurus (straight baselines). III.3. Syarat-Syarat Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan Indonesia.. Garis pangkal lurus kepulauan dapat diterapkan oleh negara yang dikualifikasi sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) seperti halnya dengan Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) adalah garis-garis air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau dan karang kering terluar yang dimiliki oleh Negara Kepulauan. Syarat utama penarikan garis pangkal lurus kepulauan adalah bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan harus meliputi pulau-pulau utama (main islands) dari negara kepulauan tersebut. Garis pangkal lurus kepulauan yang ditarik oleh Indonesia harus dapat mencakup pulau-pulau utama seperti Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Selain daripada itu dengan penarikan garis pangkal lurus kepulauan, maka perbandingan antara luas wilayah perairan dengan luas wilayah daratan termasuk atoll atau karang kering harus berkisar antara satu berbanding satu sampai sembilan berbanding satu. Dengan mencermati wilayah Indonesia yang sebagian besar terdiri dari wilayah perairan yang menyatu dengan wilayah daratan berdasarkan penerapan garis pangkal lurus kepulauan, dengan memperhatikan Pulau Sumatera atau Pulau Jawa serta wilayah perairan di sekitarnya, maka tampak perbandingan antara luas 49 wilayah perairan di sekitar Pulau Sumatera ataupun di sekitar Pulau Jawa dengan luas wilayah daratan Pulau Sumatera ataupun wilayah daratan Pulau Jawa adalah sekitar satu berbanding satu. Akan tetapi ketika kita mencermati Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara) serta wilayah perairan di sekitarnya, maka luas wilayah perairannya dengan luas wilayah daratannya perbandingannya dapat mencapai sembilan berbanding satu. Selanjutnya terdapat beberapa pembatasan dalam menerapkan garis pangkal lurus kepulauan. Pertama, setiap garis pangkal lurus kepulauan dapat mempunyai kepanjangan maksimal 100 mil laut, dengan demikian panjangnya bisa kurang dari 100 mil laut, tetapi tidak boleh melebihi 100 mil laut. Namun ketentuan mengenai pembatasan setiap garis pangkal lurus kepulauan ini masih disertai dengan suatu pengecualian yang menyatakan dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal lurus kepulauan yang terbentuk, 3 persen di antaranya dimungkinkan untuk mencapai kepanjangan maksimum hingga 125 mil laut. Dengan berpatokan pada ketentuan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis TitikTitik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, maka terdapat 166 titik pangkal yang dapat digunakan dalam menetapkan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia. Sebanyak 3 persen dari jumlah seluruh garis pangkal lurus kepulauan yang ada panjangnya dimungkinkan sampai maksimal 125 mil laut. Pembatasan berikutnya adalah bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut, yang menurut hemat kami pengertiannya sama dengan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah pantai dari kepulauan maupun dari pulau-pulau pada umumnya. Dengan mencermati estimasi keseluruhan garis-garis pangkal kepulauan Indonesia yang menyatukan wilayah kepulauan serta wilayah perairan (dengan catatan apabila kita menetapkan peta mengenai garis pangkal kepulauan Indonesia), maka kelihatan sekali garis-garis pangkal kepulauan Indonesia secara terpadu memperlihatkan konfigurasi yang mirip atau menyerupai seekor kuda lumping yang terkenal dalam seni budaya Jawa sehingga memenuhi ketentuan yang menyatakan garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan RI. Selanjutnya dinyatakan bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut dan dengan begitu elevasi surut (low tide elevation) seperti misalnya karang kering (drying reef) atau atoll yang umumnya hanya tampak dan kelihatan ketika air laut sedang surut, tidak dapat dipakai sebagai titik pangkal seandainya terletak di sekitar pulau terluar. Namun demikian elevasi surut yang secara geografis berada di sekitar pulau terluar bisa saja digunakan sebagai titik pangkal asal saja di atas elevasi surut tadi telah dibangun dan dipasang mercu suar atau instalasi serupa yang secara terus menerus berada di atas permukaan laut sehingga tidak membahayakan keselamatan berlayar. Di samping itu elevasi surut tersebut dapat digunakan sebagai titik pangkal bilamana seluruh atau sebagian dari elevasi surut itu terletak dalam jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial yang diukur atau dihitung dari pulau terdekatnya. Pembatasan lain yang harus menjadi perhatian dalam menerapkan garis pangkal lurus kepulauan adalah bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh ditarik sedemikian rupa sehingga memotong perairan laut territorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Dengan mencermati perairan kepulauan di sekitar Kepulauan Natuna sebagai wilayah perairan RI yang terletak antara Semenanjung Barat Malaysia dengan Semenanjung Timurnya, laut territorial Malaysia pada kedua semenanjung tersebut 50 samasekali tidak terganggu dengan diterapkannya garis pangkal lurus kepulauan Indonesia yang menghubungkan pulau-pulau terluar di Laut Natuna yang berbatasan dan berdekatan dengan wilayah Malaysia. Selanjutnya garis pangkal lurus kepulauan bukan sesuatu yang berdiri sendiri sebab bagaimanapun harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal lainnya, seperti garis pangkal normal, garis pangkal lurus dan garis-garis penutup pada teluk, sungai dan pelabuhan baik yang berada pada bagian dalam maupun bagian luar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan Indonesia harus ditegaskan melalui sebuah Peta yang menurut hemat kami dapat dinamakan peta garis pangkal kepulauan RI yang bertujuan untuk menjamin batas-batas wilayah RI dalam hubungannya dengan negara-negara tetangga dan sekaligus menjamin dan melindungi kedaulatan serta keutuhan territorial NKRI. Kalau belum dibuat peta mengenai garis pangkal kepulauan Indonesia, maka dapat dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal. Kenyataan memperlihatkan bahwa hingga saat ini RI belum membuat Peta; tetapi sudah menetapkan adanya Daftar Koordinat Geografis (sebagai pengganti Peta) menurut skala yang memadai melalui Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dan berdasarkan ketentuan internasional Daftar Koordinat ini harus didepositkan pada Sekjen PBB dengan maksud untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat internasional khususnya dari negara-negara peserta KHL 1982, di samping legitimasi dari Organisasi PBB yang berdasarkan KHL 1982 juga menjadi peserta dari Konvensi Hukum Laut 1982 sebagaimana halnya dengan badan-badan khusus dari PBB (Specialized Agencies of the United Nations). 51 III.4.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 Mengenai Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Kemudian mari kita lihat Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2005 yaitu Peraturan Presiden yang mengatur pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah RI untuk menjaga keutuhan NKRI (Pasal 1). Sedang Pulau-pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 kilometer persegi yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Pulau-pulau kecil terluar yang dimaksudkan tadi tercantum di dalam Lampiran Peraturan Presiden yang di dalamnya terdapat 92 pulau kecil terluar disertai dengan koordinat titik terluarnya dapat dipakai sebagai titik pangkal untuk garis pangkal kepulauan RI. Selanjutnya Pasal 2 dari Peraturan Presiden tersebut mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah berikut ini. Pertama, menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan. Kedua, memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Ketiga, memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Karena pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mempunyai tujuan-tujuan seperti itu, maka pengelolaannya didasarkan atas prinsip-prinsip wawasan nusantara, pembangunan yang berkelanjutan serta berbasis masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar berpedoman atau mengacu pada rencana Tata Ruang Wilayah, yang pengelolaannya dilakukan secara terpadu antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengelolaan ini meliputi berbagai bidang seperti sumber daya alam serta lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah, pertahanan dan keamanan, dan pengelolaan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar yang selanjutnya disebut Tim Koordinasi yang merupakan wadah koordinasi non structural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Demikian ulasan yang bersifat deskriptif yuridis tentang pengaturan zonasi laut Indonesia berdasarkan azas negara kepulauan yang berfokus pada penerapan sistem garis pangkal kepulauan. Penerapan garis pangkal kepulauan ini terjadi dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan, tetapi garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat berdiri sendiri sebab garis yang disebut terakhir ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus serta garis penutup pada sungai, teluk dan pelabuhan sepanjang terdapat pada pulau-pulau terluar. 52 BAB IV. Pengaturan Hukum Mengenai Lintas Layar di Wilayah Perairan Indonesia dan Keselamatan Pelayaran IV.1. Berbagai Macam Lintas Layar di Wilayah Perairan Indonesia. Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis pangkal lurus kepulauan Indonesia disebut perairan kepulauan yang status hukumnya sama seperti laut territorial (yang terletak pada bagian luar dari garis pangkal lurus kepulauan) di mana Negara RI mempunyai kedaulatan atas perairan kepulauan serta laut teritorialnya, yang juga meliputi ruang udara, dasar laut dan tanah di bawahnya maupun sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi kedaulatan tersebut tidak bersifat mutlak sebab negara RI mempunyai kewajiban untuk memperkenankan kapal-kapal asing dalam segala jenisnya untuk melaksanakan hak lintas damai (innocent passage) maupun hak lintas transit (transit passage) dan hak lintas alur-alur laut kepulauan (archipelagic sealanes passage). Apa yang dimaksud dengan hak lintas damai, hak lintas transit dan hak lintas alur laut kepulauan ? KHL 1982 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 telah mengatur hal ini. Hak lintas damai (the right of innocent passage) adalah hak yang diberikan kepada kapal asing dalam segala jenisnya untuk berlayar melewati laut territorial dan atau perairan kepulauan suatu negara yang dalam hal ini melewati laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Dari pengertian ini terdapat beberapa kemungkinan terkait dengan kapal asing yang melintasi perairan Indonesia. Kemungkinan pertama kapal asing datang dari laut bebas, lalu melewati laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia dan menyinggahi perairan pedalaman di suatu pelabuhan atau tempat persinggahan. Kemungkinan kedua, kapal asing itu meninggalkan pelabuhan atau tempat persinggahan, lalu melintasi laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia untuk seterusnya menuju ke laut bebas atau periran internasional. Kemungkinan ketiga, kapal asing itu datang dari laut bebas menuju ke laut bebas lainnya, dengan hanya semata-mata melintasi laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Hak lintas damai harus dilaksanakan secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin. Akan tetapi kapal asing dapat berhenti, membuang sauh atau jangkar asal kegiatan ini terkait dengan navigasi yang sudah lazim terjadi ataupun kegiatan ini perlu dilakukan karena kapal asing tadi mengalami keadaan memaksa (force majeure) atau mengalami kesulitan ataupun kegiatan berhenti dan membuang jangkar itu perlu dilakukan dengan maksud untuk memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam bahaya atau kesulitan. Kapal asing yang sedang melintasi wilayah perairan Indonesia tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap kedamaian atau ketenteraman, ketertiban umum dan keamanan di wilayah RI. Kapal asing juga tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh KHL 1982 (pasal 19 yuncto pasal 52) dan UndangUndang No. 6 Tahun 1996 yang menetapkan kurang lebih 12 kegiatan yang tidak boleh dilakukan oleh kapal asing selama melewati laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Pemerintah RI telah menindaklanjuti ketentuan pasal 19 (lintas damai di laut territorial), pasal 38 (lintas transit di Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional), 53 pasal 45 (lintas damai di Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional), pasal 52 (lintas damai di perairan kepulauan) dan pasal 53 (lintas alur laut kepulauan) di dalam sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1998, tetapi berlakunya pada tahun 2002 berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 37 Tahun 2002 yang mengatur mengenai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) serta adanya 19 persyaratan yang harus dipenuhi kapal asing yang melewati Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Akan tetapi sebelum dibentangkan ke-19 persyaratan berdasarkan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1996, perlu dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak lintas transit (the right of transit passage) berdasarkan ketentuan pasal 38 KHL 1982 dan apa yang dimaksud dengan hak lintas alur-alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage) berdasarkan ketentuan pasal 53 KHL 1982. Hak lintas transit berlaku di Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used for International Navigation), yaitu bagian laut yang terletak di antara dan menghubungkan satu bagian dari ZEE atau laut lepas dengan bagian lain dari ZEE atau laut lepas. Selat tersebut merupakan bagian dari laut territorial yang dimiliki bukan oleh satu negara saja, melainkan oleh beberapa negara. Pada selat seperti itu segala jenis kapal dan pesawat udara asing diperkenankan untuk melaksanakan hak lintas transit. Hak lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan bab ini (bab III mengenai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional) untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas dan zona ekonomi eksklusif lainnya. Namun demikian persyaratan transit secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin tidak menutup kemungkinan bagi lintas melalui selat untuk tujuan memasuki, meninggalkan atau kembali dari suatu negara yang berbatasan dengan selat itu, dengan tunduk pada syarat-syarat masuk negara itu. Oleh karena itu setiap kegiatan yang bukan merupakan pelaksanaan hak lintas transit melalui suatu selat tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini. Demikian gambaran makro mengenai hak lintas transit yang berlakunya di Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional. Selanjutnya mengenai hak lintas alur-alur laut kepulauan ditentukan di dalam pasal 53 KHL 1982. Suatu negara kepulauan dapat menentukan alur-alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut territorial yang berdampingan dengannya. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan di dalam alur laut dan rute penerbangan di atasnya. Hak Lintas alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage) berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuanketentuan konvensi ini dalam cara yang normal (normal mode) semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau ZEE dan bagian laut lepas atau ZEE lainnya. Demikian ketentuan pasal 53 KHL 1982. Sedang pasal 52 KHL 1982 menyatakan bahwa dengan tunduk pada ketentuan pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 50, kapal semua negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Bab II, Bagian 3. IV.2. Analisis Perbandingan dari Berbagai Macam Lintas Layar 54 Untuk dapat memahami secara baik dan benar pengertian ketiga macam lintas pelayaran di wilayah perairan suatu negara, terutama di wilayah perairan RI, maka perlu diadakan perbandingan di antara ketiganya yang memperlihatkan adanya persamaan-persamaan serta perbedaan-perbedaan antara rezim hukum hak lintas damai di satu pihak dengan rezim hukum hak lintas alur laut kepulauan dan rezim hukum hak lintas transit di lain pihak. Adapun kesamaan-kesamaannya adalah sebagai berikut. Pertama, Ketiga macam rezim lintas pelayaran menetapkan adanya kewajiban bagi setiap kapal asing dalam segala jenisnya untuk mematuhi peraturan-peraturan hukum nasional dari negara pantai, dalam hal ini peraturan hukum Indonesia serta peraturan hukum internasional yang dapat diberlakukan di dalam wilayah perairannya, termasuk peraturan hukum keselamatan pelayaran seperti SOLAS Convention dan COLREG Regulation. Kewajiban seperti ini akan menjadi jelas apabila kita membahas kesembilan belas persyaratan yang harus dipenuhi oleh kapal dan pesawat udara asing yang melintasi wilayah perairan RI sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah RI tanggal 5 Desember Tahun 1998 yang mulai berlaku tanggal 5 Juni 1999. Itu persamaan pertama. Kedua, ketiga macam rezim lintas pelayaran juga menetapkan adanya kewajiban bagi kapal asing dalam semua jenisnya untuk melakukan navigasi secara terus menerus dan cepat (continuous and expeditious). Akan tetapi kewajiban seperti ini tidak berarti bahwa kapal asing yang melewati wilayah perairan Indonesia samasekali tidak boleh berhenti atau membuang jangkar. Kapal asing boleh saja berhenti dan membuang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam bahaya atau mengalami kesulitan. Walaupun pada dasarnya kapal asing tidak diperkenankan untuk berhenti dan membuang jangkar, namun dalam keadaan-keadaan tertentu kapal tersebut boleh saja melakukannya asal saja dilakukan dalam keadaan terpaksa, seperti kapal tersebut mengalami kesulitan teknis berupa gangguan pada mesin kapal, atau kapal harus berhenti dan membuang jangkar karena kapal tersebut harus memberikan bantuan kemanusiaan kepada orang, kapal, pesawat udara yang sedang mengalami musibah di tengah-tengah laut dalam wilayah perairan Indonesia. Ketiga, Ketiga macam rezim lintas pelayaran itu menetapkan adanya kewajiban bagi kapal asing dalam segala jenisnya yang melewati atau melintasi wilayah perairan Indonesia untuk menggunakan atau mengikuti alur-alur laut yang telah ditetapkan maupun jalur pemisah lalu lintas yang telah ditentukan oleh Pemerintah RI. Terdapat tiga macam alur-alur laut kepulauan (ALKI) yang telah dipersiapkan sejak tahun 1995 melalui rapat kerja nasional yang dihadiri oleh wakil departemen-departemen dan lembaga-lembaga terkait yang menghasilkan konsep ALKI Utara-Selatan yang pada dasarnya sama dengan konsep ALKI yang dihasilkan melalui Forum Strategi Angkatan Laut tahun 1991. Ketiga konsep ALKI Utara-Selatan yang telah ditetapkan adalah 1) ALKI I yang mempunyai dua cabang di Utara, dimulai dari Laut Cina Selatan atau Laut Natuna, lalu ke Selat Karimata, lalu ke Laut Jawa, ke Selat Sunda, lalu menuju ke Samudera Hindia. 2) ALKI II dimulai dari Laut Sulawesi, lalu ke Selat Makassar, lalu ke Selat Lombok, lalu menuju ke Samudera Hindia. 3) ALKI III yang mempunyai 3 jalur atau cabang di Selatan. Dengan begitu ada ALKI III A, ada ALKI III B dan ada ALKI III C. dimulai dari Samudera Pasifik, lalu ke Laut Maluku, lalu ke Laut Seram, lalu ke Laut 55 Banda, lalu ke Selat Ombai, lalu menuju ke Laut Sawu (ALKI III A), atau menuju Laut Timor (ALKI III B),atau menuju Laut Arafura (ALKI III C). Ketiga konsep ALKI yang dihasilkan tadi dan juga tentunya apa yang disebut Skema Pemisah Lalu Lintas (Traffic Separation Scheme) kemudian diserahkan dan diajukan kepada Organisasi Maritime Internasional untuk mendapatkan persetujuannya. Setelah IMO melalui Komite Keselamatan Maritim (Maritime Safety Committee) melakukan persidangan sebanyak 3 kali (MSC – 67 IMO tanggal 2 -6 Desember 1996; MSC – 43 IMO tanggal 14 – 18 Juli 1997; MSC -69 IMO tanggal 11 - 20 Mei 1998), maka pada tanggal 19 Mei 1998 Konsep ALKI yang telah diajukan oleh Pemerintah RI telah diadopsi oleh MSC – 69 IMO. Masing-Masing ALKI mempunyai pintu masuk (entry point di sebelah Utara di luar laut territorial Indonesia dan juga mempunyai pintu keluar (exit point) di sebelah Selatan di luar laut territorial Indonesia, demikian pula sebaliknya masing-masing ALKI mempunyai pintu masuk di sebelah Selatan dan pintu keluar di sebelah Utara, di mana keberadaan pintu masuk dan pintu keluar sangat ditentukan oleh keberadaan dari suatu kapal asing yang akan melintasi wilayah perairan RI. Sesuai ketentuan yang ada setiap ALKI harus dibuat melalui pendekatan garis sumbu (axis lines approach) yang memberikan gambaran mengenai adanya garis-garis sumbu atau maya yang sifatnya sambung menyambung tanpa terputus-putus yang dimulai dari Utara sampai ke Selatan atau sebaliknya dari Selatan hingga ke Utara dengan melintasi laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia. Melalui pendekatan garis sumbu tersebut ALKI dapat diasumsikan sebagai sebuah lorong atau koridor kendati sesungguhnya tidak demikian yang secara imaginative seakan-akan lebarnya maksimal 25 mil laut yang dapat digunakan dan diikuti oleh kapal asing ketika melintasi wilayah perairan Indonesia di mana kapal asing tidak boleh menyimpang melebihi batas 25 mil laut baik pada sisi kiri maupun sisi kanan dari jalur lintasannya serta kapal tersebut tidak boleh mendekati pantai dari pulau-pulau yang terdekat dengan alur-alur laut atau jalur lintasannya. Keempat, Indonesia sebagai negara pantai dan negara kepulauan mempunyai kewajiban untuk tidak menghalanghalangi lintas pelayaran yang dilakukan kapal asing karena pada azasnya ketiga macam lintas pelayaran merupakan hak untuk melakukan navigasi secara terus menerus dan cepat dan tidak terhalang kecuali aparat hukum dan keamanan mempunyai alasan kuat untuk menghalang-halanginya seperti melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum yang berlaku di dalam wilayah perairan RI seperti pencurian ikan, penyelundupan, pencemaran lingkungan laut, pelanggaran aturan keselamatan pelayaran dan lain-lainnya. Di samping itu negara RI berkewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan pada waktunya mengenai adanya bahaya-bahaya yang terdapat di dalam wilayahnya. Kewajiban-kewajiban seperti itu sebagaimana terdapat dalam KHL 1982 dan Undang-Undang No.6 Tahun 1996 sesungguhnya merupakan penegasan kembali dari kaidah hukum kebiasaan internasional yang telah mendapat pengukuhan dari Mahkamah Internasional berdasarkan keputusannya terkait kasus Selat Corfu (the Corfu Channel Case) antara Inggeris dan Albania pada tahun 1949 (L.C. Green, International Law Through The Cases, 1978, p.228-237). Demikian persamaan-persamaan di antara ketiga macam lintas pelayaran. Sedangkan perbedaan-perbedaannya dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, rezim hukum lintas damai (innocent passage) menetapkan adanya kewajiban bagi kapal selam (submarine) untuk muncul di atas permukaan air laut serta menunjukkan bendera kebangsaannya pada waktu melintasi wilayah perairan Indonesia. Kewajiban bagi kapal selam untuk muncul di atas permukaan air laut dan 56 memperlihatkan bendera negaranya tidak berlaku bagi kapal selam yang melintasi wilayah perairan Indonesia berdasarkan rezim hak lintas transit ataupun hak lintas aluralur kepulauan sehingga kapal selam tetap dapat menyelam sebagaimana lazimnya (in normal mode) sesuai dengan karakteristik dari kapal selam maupun kendaraan bawah air lainnya (underwater vehicle). Kedua, Hak lintas damai hanya dapat dinikmati oleh kapal asing dalam segala jenisnya sebab rezim hukum lintas damai hanya berlaku di dalam wilayah perairan, termasuk di wilayah perairan RI. Pesawat udara asing yang melakukan penerbangan melalui rute-rute udara di atas wilayah perairan Indonesia dapat melakukannya berdasarkan persetujuan atau perizinan dari otoritas yang berwenang dan tidak berdasarkan hak lintas damai sebab hak ini hanya berlaku bagi kapal asing dan tidak bagi pesawat udara asing. Sebaliknya hak lintas transit dan hak lintas alur laut kepulauan selain dapat dinikmati oleh kapal asing dalam segala jenisnya, juga dapat dinikmati oleh pesawat udara asing di mana pesawat ini dapat menerbangi rute-rute udara yang berada di atas alur laut kepulauan Indonesia. Pesawat udara termasuk pesawat militer yang berada di atas sebuah kapal induk yang sedang melintasi wilayah perairan di dalam alur laut kepulauan Indonesia dapat melakukan penerbangan secara bebas tanpa meminta persetujuan atau izin dari Pemerintah RI ditinjau dari segi penafsiran teoretis atas rezim lintas transit ataupun rezim lintas alur laut kepulauan berdasarkan KHL 1982. Hal ini berarti bahwa apa yang ditentukan di dalam KHL 1982 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia, yakni adanya kebebasan melakukan pelayaran dan penerbangan di Alur Laut Kepulauan Indonesia sudah tidak sejalan dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 yang telah menjadi hukum positif Indonesia yang pada prinsipnya menekankan bahwa penerbangan pesawat udara asing melalui ruang udara termasuk yang berada di atas ALKI hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan atau izin dari RI sebagai negara kolong. Namun demikian kedua ketentuan tersebut tidak perlu dipertentangkan sebab keduanya dapat berjalan berdasarkan azas yang di dalam Ilmu Hukum disebut azas lex specialis derogat legi generali, yang berarti hukum khusus (KHL !982 atau Undang-Undang No. 6 Tahun 1996) mengesampingkan hukum umum (Konvensi Chicago) ataupun berdasarkan azas lex posterior derogat legi priori, yang berarti hukum yang dibuat kemudian dapat mengesampingkan hukum yang dibuat sebelumnya. Namun demikian pengaturan KHL 1982 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 dalam kaitan dengan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal asing khususnya kapal perang serta pesawat udara asing telah diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah Tahun Nomor 37 Tahun 2002 mengenai Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang memuat 19 persyaratan melalui ALKI. Salah satu persyaratan yang disebutkan di dalam PP tersebut menyatakan bahwa kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing dilarang melakukan latihan perang-perangan. Kapal perang asing dan pesawat terbang asing yang merupakan unit-unit kapal perang asing, juga kapal yang menggunakan tenaga nuklir diharapkan untuk melakukan pemberitahuan kepada Pemerintah RI dalam hal ini Panglima TNI terlebih dahulu. Perlunya ada pemberitahuan terlebih dahulu oleh kapal-kapal seperti itu mempunyai tujuan untuk menjamin kepentingan keselamatan pelayaran serta untuk mengambil tindakan permulaan yang diperbolehkan jika terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan. Akhirnya perbedaan ketiga, rezim hukum lintas damai memperkenankan negara RI untuk melakukan penangguhan terhadap pelayaran kapal asing di wilayah perairannya, sementara rezim hukum lintas transit dan lintas alur laut kepulauan tidak memperkenankan Indonesia 57 untuk melakukan tindakan penangguhan seperti itu. Kalau dalam konteks hak lintas damai penangguhan itu perlu dilakukan, maka harus diperhatikan syarat-syarat berikut ini. Pertama, tindakan penangguhan itu hanya dapat dilakukan pada bagian-bagian tertentu dari wilayah perairan RI. Kedua, tindakan penangguhan itu hanya dapat dilakukan untuk sementara waktu. Ketiga, tindakan tersebut dilakukan di samping untuk membuktikan kedaulatan Indonesia di wilayah perairannya, juga untuk menjamin keselamatan pelayaran bagi kapal asing. Keempat, tindakan tersebut hanya dapat berlaku efektif setelah diadakan pengumuman yang sewajarnya. Dalam pengertian praktis tindakan penangguhan (suspension) tersebut dilakukan dengan menutup untuk sementara waktu bagian-bagian laut yang biasa digunakan oleh kapal asing dalam segala jenisnya. Pemerintah RI tidak sekedar menutup bagian-bagian laut tertentu saja sebab kalau ini yang terjadi berarti Pemerintah menghambat dan menghalangi hak kapal asing untuk melintasi wilayah perairan, padahal ini samasekali dilarang terkecuali kapal asing melakukan pelanggaran hukum. Dengan demikian Pemerintah atau otoritas terkait mempunyai kewajiban untuk menyediakan bagian-bagian laut lainnya sebagai alternative yang dapat digunakan sehingga kapal asing tetap dapat menikmati haknya dalam melintasi wilayah perairan Indonesia dengan mengikuti alur laut kepulauan yang telah ditentukan. Selanjutnya dalam memahami secara baik dan benar soal implementasi atau penerapan atas ketiga macam lintas pelayaran yang memiliki persamaan-persamaan (di samping perbedaan-perbedaannya) sehingga sering tidak dapat dipisahkan satu sama lain di dalam wilayah perairan Indonesia, maka perlu sekali dipaparkan apa yang sebelumnya pernah disinggung mengenai adanya sembilan belas persyaratan yang harus ditaati oleh kapal 58 dan pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan Indonesia (Penyuluhan Hukum ALKI, Dinas Pembinaan Hukum TN I AL, MABES TNI AL Cilangkap, Jakarta, 1998, Hlm.2-3). 1. Kapal-kapal yang berada di ALKI tidak akan mengganggu kedaulatan (souvereignty), keutuhan territorial (territorial integrity) atau kemerdekaan (independence) dan persatuan nasional Indonesia (national union of Indonesia). Kapal-kapal yang dimaksud tentu semua jenis kapal (kapal dagang, kapal perang, kapal berbendera RI ataupun kapal asing dan lain-lain) tidak akan melaksanakan setiap kegiatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum internasional sebagaimana ditetapkan di dalam Piagam PBB. 2. Pesawat terbang (tentu saja yang dimaksud disini pesawat terbang dalam segala jenisnya baik itu pesawat sipil maupun pesawat militer) dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan tidak diperbolehkan untuk melakukan penerbangan di luar alur-alur laut (di atas atau dengan pengecualian Rezim Organisasi Penerbangan Sipil Internasional/ Regime ICAO) dan pesawat terbang tersebut tidak akan terbang terlalu dekat dengan pulau-pulau atau daratan di dalam wilayah territorial Indonesia, termasuk daerah di dalam ALKI. Penerbangan disertai dengan maneuver pesawat militer AS yang terjadi beberapa tahun lalu di ruang udara diatas Pulau Bawean (Propinsi Jawa Timur) di samping melakukan penerbangan tanpa persetujuan dari dan tanpa pemberitahuan kepada Pemerintah RI, juga melakukan penerbangan di luar alur-alur laut kepulauan serta mendekati pantai pulau Bawean dalam wilayah kedaulatan sehingga mengancam dan membahayakan kedaulatan serta keutuhan territorial NKRI. 3. Pesawat terbang sipil asing yang melalui ALKI harus mengikuti aturan-aturan penerbangan sipil internasional sebagaimana ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization) seperti misalnya The Chicago Convention tahun 1944. 4. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing ketika sedang melewati alur-alur laut, tidak diperbolehkan melakukan latihan perang-perangan. Larangan seperti ini tentu terkait masalah pertahanan dan keamanan negara, masalah kedaulatan serta keutuhan territorial NKRI. Dengan demikan insiden udara di atas Pulau Bawean oleh pesawat militer AS yang melakukan maneuver tanpa persetujuan dari Panglima TNI (seakan-akan mengadakan latihan perangperangan) yang terjadi beberapa tahun sebelumnya sesungguhnya merupakan pelanggaran atas kedaulatan dan keutuhan territorial NKRI sekalipun pihak AS merasa tidak terikat terhadap KHL 1982 karena negeri Paman Sam ini belum meratifikasinya hingga saat ini. Namun alasan ini tidak dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari sudut Piagam PBB yang mewajibkan AS untuk menghormati kedaulatan dan keutuhan territorial setiap negara berdaulat, apalagi AS berstatus sebagai anggota tetap dari Dewan Keamanan yang mempunyai tanggungjawab utama dalam memelihara perdamaian serta keamanan internasional.. 5. Kapal perang asing dan pesawat terbang asing yang merupakan satuan-satuan atau unit-unit kapal perang asing, di samping kapal-kapal yang menggunakan tenaga nuklir, yang sedang melewati alur laut, diharapkan untuk memberitahukan kepada Pemerintah RI (yaitu Panglima Angkatan Bersenjata RI atau Panglima TNI) 59 terlebih dahulu demi untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan untuk mengambil tindakan permulaan yang diperlukan jika terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan. Kata “diharapkan” tentu saja berbeda dengan kata “diwajibkan atau diharuskan” sehingga kapal perang asing, pesawat terbang asing dan kapal yang bertenaga nuklir sebenarnya harus melakukan pemberitahuan kepada Panglima TNI sebelum melintasi wilayah perairan Indonesia. Pemerintah RI dalam hal ini Panglima TNI hanya mengharapkan agar kapal-kapal yang disebutkan di atas sebelum melewati ALKI sebaiknya terlebih dahulu menyampaikan notifikasi dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pelayaran serta untuk mengambil tindakan permulaan yang memang diperlukan apabila terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan navigasi yang dilakukan oleh kapalkapal tersebut. 6. Kapal-kapal yang membawa bahan nuklir diharuskan memiliki peralatan perlindungan keamanan dan diharuskan untuk tetap melakukan kontak dan hubungan yang terus menerus dengan pihak TNI Angkatan Laut sesuai dengan Konvensi Perlindungan Fisik Bahan-Bahan Nuklir. Pengertian kapal-kapal tentu saja mencakup segala jenis kapal, entah kapal dagang, kapal penelitian, kapal ikan, kapal perang dan bermacam-macam kapal lainnya, juga entah kapal itu kapal berbendera Indonesia ataupun kapal berbendera asing atau kapal asing kalau membawa dan mengangkut bahan-bahan nuklir dengan melintasi wilayah perairan Indonesia dibebani dengan kewajiban untuk membawa alat perlindungan keamanan serta kewajiban untuk melakukan hubungan secara terus menerus dengan pihak TNI Angkatan Laut dalam rangka menjamin keselamatan pelayaran. 7. Pesawat terbang militer asing yang terbang di atas ALKI harus memperhatikan keselamatan penerbangan sipil serta tetap berhubungan dengan ATC (Air Traffic Control) yang berwenang dan juga pesawat tersebut harus memantau frekuensi darurat. Penerbangan pesawat militer AS di wilayah udara di atas Pulau Bawean (Propinsi Jawa Timur) yang terjadi beberapa tahun lalu selain merupakan pelanggaran kedaulatan serta mengancam dan membahayakan keutuhan territorial Indonesia, juga sangat membahayakan keselamatan penerbangan sipil sebab masuk ke wilayah RI tanpa meminta izin ataupun tanpa menyampaikan pemberitahuan kepada otoritas terkait, apalagi pesawat-pesawat yang tidak diundang ini ternyata melakukan manuver-manuver yang membahayakan keselamatan penerbangan baik terhadap pesawat sipil maupun pesawat TNI Angkatan Udara yang ditugaskan untuk melakukan tindakan pencegatan atau intersepsi (interception) terhadap pesawat AS yang sudah jelas melakukan tindakan provokasi.. 8. Kapal-kapal asing atau pesawat terbang yang sedang transit sebaiknya bergerak secara hati-hati di ALKI yang penuh dengan kegiatan ekonomi (baik kegiatan di bidang perikanan maupun pertambangan). Untuk itu kapal atau pesawat terbang yang sedang transit sebaiknya memperhatikan aturan-aturan yang menetapkan batas daerah pelayaran (restricted zone) dengan radius sejauh1.250 meter dari batas terluar daerah aman (prohibited zone) instalasi minyak dan gas, dan dilarang memasuki batas daerah aman (prohibited zone) yang radiusnya 500 meter sekitar instalasi minyak dan gas dan selalu memperhatikan serta berhati-hati terhadap saluran pipa dan kabel laut. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 mengenai 60 Landas Kontinen Indonesia yang masih berlaku hingga sekarang, setiap instalasi atau bangunan khususnya instalasi pertambangan minyak dan gas bumi yang didirikan di Landas Kontinen harus memiliki apa yang disebut daerah terlarang (prohibited area) dan daerah terbatas (restricted area). Daerah terlarang lebarnya tidak boleh melebihi 500 meter yang dihitung dari setiap titik terluar pada instalasi, kapal-kapal dan atau alat-alat lainnya yang terdapat di Landas Kontinen dan atau di atasnya, sedangkan daerah terbatas lebarnya tidak boleh melebihi 1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu, di mana kapal-kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar jangkar. Kapalkapal harus berlayar secara terus menerus dalam radius antara 500 meter dengan 1.250 meter di sekeliling instalasi, kapal maupun alat-alat lainnya. Kapal asing dan pesawat terbang asing tidak boleh memasuki daerah terlarang atau daerah aman yang radiusnya maksimal 500 meter terhitung dari titik-titik terluar dari instalasi dengan segala perlengkapannya sebab daerah aman ini ditetapkan sebagai daerah pabean di mana berlaku semua peraturan hukum RI. Kapal asing dan pesawat terbang asing hanya bisa melintasi daerah terbatas dengan radius 1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari instalasi serta segala perlengkapannya. 9. Kapal-kapal ikan asing harus tetap menyimpan peralatan penangkapan ikan sewaktu transit, dan dilarang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan ketika melakukan transit di wilayah perairan Indonesia. 10. Kapal-kapal yang melintas transit di perairan alur-alur laut harus berhati-hati dan harus menggunakan peraturan system keselamatan navigasi internasional serta dapat menunjukkan kemampuannya sebagaimana yang dimiliki oleh kapal setempat maupun nelayan dan pelaut setempat. 11. Setiap kapal yang melintasi wilayah perairan Indonesia dilarang membuang benda-benda sisa beracun atau benda berbahaya termasuk sampah di perairan Indonesia. Wilayah perairan RI tidak boleh dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah baik limbah yang mengandung racun atau zat-zat berbahaya lainnya karena Pemerintah dapat menerapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lingkungan hidup (Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 mengenai Lingkungan Hidup ) yang di dalamnya memuat soal sanksi pidana dan perdata dalam bentuk tuntutan gantirugi terhadap mereka yang terlibat dalam tindakan pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut serta sumber daya alam yang terdapat di dalamnya. 12. Dengan berpedoman pada berbagai peraturan perundangan soal lingkungan hidup, maka setiap kapal dilarang untuk melakukan pembersihan tangki-tangki kapal atau mengotori wilayah perairan Indonesia ketika melintasi wilayah perairan RI. Sebagaimana diketahui terdapat berbagai macam sumber yang menyebabkan terjadinya pencemaran laut. Ada yang berasal dari sumber di laut itu sendiri dan ada yang berasal dari daratan. Pencemaran yang berasal dari sumber di laut itu sendiri dapat meliputi sumber pencemaran yang berasal dari kapal dan ada yang berasal dari instalasi minyak. Sumber pencemaran yang berasal dari kapal bisa mencakup berbagai factor, seperti kecelakaan kapal (kapal pecah, kapal kandas, tubrukan kapal), kebocoran kapal, pembuangan minyak serta air tangki 61 (pembersihan air tangki) (Komar Kantaatmadja, Gantirugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, 1981, Hlm.15.). 13. Kapal yang sedang melintas tidak diperkenankan untuk berhenti atau membuang jangkar, juga tidak diizinkan untuk bergerak dengan formasi zig-zag berbolak balik kecuali bila menghadapi situasi darurat atau situasi sulit sebagaimana telah dibahas di atas, termasuk dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang sedang terkatung-katung di tengah laut. 14. Kapal yang sedang melintas transit di wilayah perairan Indonesia tidak diizinkan untuk menurunkan personel ataupun material-material ataupun melakukan pemindahan (transfer) personel ataupun material dari dan kepada kapal lain atau melayani berbagai kegiatan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan keimigrasian, bea cukai, dan perekonoman ataupun kondisi kesehatan di wilayah Indonesia. Selama melintasi wilayah perairan Indonesia kapal dalam segala jenisnya tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan RI dalam bidang-bidang bea cukai, fiscal, keimigrasian dan kesehatan. Pelanggaran terhadapnya akan memberikan hak kepada otoritas terkait untuk menangkap, menahan kapal yang bersangkutan; aparat hukum dapat naik ke atas kapal, melakukan pemeriksaaan di atas kapal, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap personel-personel yang diduga tersangkut dengan pelanggaran tersebut, melakukan penuntutan di depan pengadilan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. 15. Kapal dan pesawat terbang yang melintas transit tidak diizinkan untuk memberikan bantuan dan pelayanan pada pekerjaan survei dan riset ilmiah kelautan, termasuk tidak boleh melakukan pengambilan contoh atau sample yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan bersamaan dengan saat melintas. Kapal dan pesawat terbang tidak seharusnya melakukan kegiatan yang berbentuk aktivitas survei atau riset ilmiah kelautan meliputi penelitian alur laut Indonesia dan juga wilayah yang berada di atasnya. 16. Kapal dan pesawat terbang yang melakukan lintas transit dilarang melakukan pemancaran siaran yang tidak mendapat izin atau memancarkan gelombang elektromagnetik yang dimungkinkan akan mengganggu system telekomunikasi nasional dan dilarang mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-pihak perorangan atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki izin resmi di wilayah Indonesia. 17. Kapal yang melintas transit harus selalu memenuhi dan mematuhi peraturan keselamatan navigasi internasional yang telah ditentukan, seperti Konvensi SOLAS, Konvensi COLREG, ISPS Code etc. 18. Awak kapal, pemilik muatan kapal dapat dikenakan denda baik secara individual maupun kelompok bila menimbulkan kerusakan-kerusakan di wilayah perairan RI. Mereka harus memiliki polis dengan nilai asuransi yang memadai guna membayar (gantirugi) atas kerusakan yang ditimbulkannya, termasuk kerusakan terhadap lingkungan laut. 19. Untuk tujuan keselamatan navigasi dan untuk keselamatan di wilayah Indonesia, maka setiap kapal tangker asing, kapal penjelajah yang menggunakan energi nuklir, kapal penjelajah asing yang membawa muatan yang mengandung nuklir 62 atau material berbahaya lain, kapal ikan asing dan termasuk kapal perang asing yang melintas di perairan Indonesia dari perairan ZEE atau laut lepas atau dari perairan ZEE menuju ke perairan laut lepas dan melintasi perairan Indonesia hanya diizinkan melintas melalui alur-alur laut yang telah ditentukan. Semua alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah RI dan telah diterima oleh Organisasi Maritime Internasional (The International Maritime Organization) terbuka bagi semua kapal baik kapal yang berbendera Indonesia maupun berbendera asing serta kapal jenis apapun yang ingin melintasi wilayah perairan RI secara cepat dan terus menerus berdasarkan hak lintas alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage) sebagaimana diatur dalam KHL 1982. Kapal perang (warship), kapal yang membawa barang berbahaya dan kapal penangkap ikan asing yang melintasi perairan Indonesia untuk tujuan transit dari suatu bagian ZEE Indonesia atau laut bebas menuju ke bagian lain dari ZEE Indonesia atau laut bebas dianjurkan untuk melewati ALKI, apakah ALKI I, ALKI II ataukah ALKI III. Selanjutnya perlu mendapat perhatian bahwa kegiatan pelayaran kapal asing melalui wilayah perairan RI lainnya yang berada di luar ALKI tetap diperkenankan, dengan tetap tunduk kepada atau mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai (The Right of Innocent Passage) sebagaimana diatur di dalam KHL 1982 serta peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku seperti Undang-Undang No.6 Tahun 1996 mengenai Perairan Indonesia, Undang-Undang No.31 Tahun 2004 mengenai Perikanan, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 mengenai Otonomi Daerah, Undang-Undang mengenai Pelayaran, Undang-Undang mengenai Lingkungan Hidup, Undang-Undang mengenai Kepabeanan, UndangUndang Keimigrasian, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang bidang Perekonomian, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang mengenai Pertahanan dan Keamanan Nasional dan segala macam peraturan perundangan yang berlaku dalam wilayah RI termasuk pula peraturan perundangan yang menyangkut keselamatan pelayaran(Keppres No.203 Tahun 1966 yang meratifikasi Konvensi SOLAS serta Keppres No.107 Tahun 1968 yang meratifikasi Konvensi COLREG atau International Regulation for the Prevention of Collisions at Sea atau Pengaturan Internasional mengenai pencegahan tubrukan di laut) (Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, 1978, Hlm. 217) dengan catatan bahwa kedua konvensi internasional ini telah berkali-kali mengalami perubahan dan perbaikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat internasional guna menjamin dan meningkatkan perlindungan keselamatan pelayaran. 63 IV.3.Pengaturan Hukum Mengenai Keselamatan Pelayaran Di manapun kapal berada atau berlayar, entah di wilayah perairan nasional dari negara asal kapal itu ataukah di wilayah perairan negara lain ataukah di perairan internasional, senantiasa harus mentaati peraturan-peraturan keselamatan pelayaran sebagaimana diatur di dalam berbagai perjanjian atau konvensi internasional. Peraturan-peraturan keselamatan pelayaran (safety of navigation) memiliki berbagai macam aspek, seperti aspek kelayakan kapal untuk berlayar di laut (seaworthiness of ship), pencegahan tubrukan dan trayek kapal (the prevention of collision and the ship routeing), standar penempatan awak kapal (crewing standard) dan penetapan alat bantu navigasi (navigational aids) (R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of The Sea, Manchester University Press, 1983, Hlm.185). Berbagai perjanjian internasional yang mengatur soal keselamatan pelayaran dapat dikemukakan seperti Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas, Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut 1974, Konvensi mengenai Pencegahan Tubrukan di Laut 1976, Konvensi mengenai Garis Batas Muatan Kapal 1966 dan berbagai konvensi internasional lainnya yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional yang mengatur soal kelayakan kapal dan yang paling mutakhir adalah Peraturan Internasional mengenai Standar Keamanan Kapal maupun Pelabuhan dengan segala fasilitasnya (The International Ship and Port Facility Security Code atau disingkat dengan ISPS Code 2004). Aspek kelayakan kapal untuk dapat berlayar di tengah-tengah laut adalah salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh negara bendera (Flag State), yaitu negara yang benderanya dipergunakan oleh kapal yang bersangkutan. Selanjutnya salah satu factor yang terkait dengan masalah kelayakan kapal (seaworthiness of ship) adalah factor nasionalitas atau kebangsaan kapal (nationality of ship) sebab hal ini sangat penting untuk menjaga dan memelihara ketertiban di laut. Nasionalitas kapal bisa menunjukkan hak-hak apa yang dapat dinikmati oleh sebuah kapal maupun kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada kapal itu (R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, 1983, Hlm. 179-180). Nasionalitas kapal juga menunjukkan negara mana yang menjadi negara bendera (Flag State), yaitu negara yang dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukum atas kapal tersebut. Dengan demikian Nasionalitas kapal menunjukkan pula negara mana yang harus bertanggungjawab menurut hukum internasional atas kapal yang bersangkutan apabila timbul kasus di mana kapal itu melakukan tindakan atau kelalaian yang dapat dihubungkan dengan negara tersebut sehingga dengan begitu nasionalitas kapal juga menunjukkan pengertian negara mana yang mempunyai hak dan kewajiban untuk menjalankan perlindungan diplomatic atas nama kapal tersebut. Bagaimana pengaturan hukum mengenai nasionalitas kapal ? Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas dalam pasal 5 menyatakan bahwa setiap negara dapat menetapkan persyaratan-persyaratan dalam memberikan nasionalitas kepada kapal, syarat-syarat registrasi kapal yang dilakukan di dalam 64 wilayahnya, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kapal itu dalam mendapatkan hak untuk mengibarkan bendera dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi ketentuan pasal itu membatasi hak dan kewenangan negara tersebut sebab di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa harus terdapat hubungan asli (genuine link) antara negara dengan kapal, terutama negara itu harus dapat menjalankan yurisdiksi dan pengawasannya secara efektif dalam masalah administrative, teknik dan sosial terhadap kapal yang mengibarkan benderanya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hubungan asli (genuine link) atau ukuran-ukuran apa yang dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan asli antara suatu negara dengan kapal, samasekali tidak dijelaskan dalam Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas sehingga dengan demikian adalah tidak jelas apa akibatnya atau konsekuensinya bilamana antara suatu kapal dengan negara yang nasionalitasnya dibawa oleh kapal tersebut tidak ada suatu hubungan asli (R.R. Churchill and A.V. Lowe, Hlm 181-183). Itulah sebabnya mengapa dalam praktek negara-negara persyaratan mengenai hubungan asli tidak menimbulkan kewajiban hukum dan tidak mengikat negara-negara sehingga tidak sedikit negara-negara yang tidak mematuhi ketentuan soal hubungan asli (genuine link) atau dengan kata lain ketentuan ini menjadi huruf mati dalam praktek negara-negara. Walaupun sejumlah negara seperti Inggeris, AS, Norwegia dan Perancis mensyaratkan di dalam hukum nasionalnya adanya hubungan asli antara negara dengan kapal dengan menyatakan bahwa para pemilik kapal dan atau awak kapal baik keseluruhan maupun sebagian harus memiliki nasionalitas dari negara yang bersangkutan, namun ternyata negara-negara lain (terutama negara-negara miskin dari kawasan Afrika dan Karibia) tidak menetapkan persyaratan seperti itu di dalam hukum nasionalnya karena tidak satupun dari kelompok terakhir ini yang menjadi peserta pada Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas. Kelompok negara-negara yang tidak mensyaratkan adanya hubungan asli antara negara dengan kapal umumnya dikenal dengan istilah negara-negara “Flag of Convenience States” atau “Open Registry States”. Hal ini disebabkan karena negara-negara tersebut mengizinkan pemilik kapal asing untuk mendaftarkan kapalnya di dalam wilayah negara-negara tersebut dan mengizinkan pemilik kapal untuk mempergunakan benderanya walaupun antara pemilik kapal dengan salah satu dari kelompok negara-negara tersebut tidak terdapat hubungan asli atau tidak memperlihatkan adanya suatu hubungan yang bersifat substansial. Di lain sisi banyak pemilik kapal yang berasal dari negara-negara maju seperti AS, Yunani, Jepang dan Hong Kong merasa tertarik untuk meregistrasi kapalnya di negara-negara yang dinamakan Flag of Convenience atau Open Registry States karena selain alasan tidak disyaratkannya mengenai hubungan asli atau tidak diperlukan adanya hubungan asli, juga disebabkan negara-negara itu menetapkan biaya dan pajak yang sangat rendah bagi pemilik kapal apabila mendaftarkan kapalnya di negara-negara tersebut, persyaratan penempatan awak kapal yang cukup meringankan bagi pemilik kapal serta gaji yang sangat rendah sehingga dengan demikian biaya operasional yang dikeluarkan oleh pemilik kapal dapat ditekan sekecil mungkin dan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan signifikan bagi pemilik kapal. Negara-negara seperti Liberia, Somalia, Siprus, Panama dan lain-lainnya dapat dikualifikasi ke dalam kelompok negara-negara yang disebut “Flag of Convenience atau Open Registry States” karena peraturanperaturan hukumnya tidak mensyaratkan adanya hubungan asli antara pemilik kapal atau operator kapal dengan negara yang bersangkutan dan juga peraturan hukum negaranegara itu dianggap lunak dalam menetapkan syarat-syarat penempatan awak kapal, di 65 samping keringanan persyaratan registrasinya. Negara-negara tersebut juga sering dituding selama tenggang waktu yang lama tidak mau dan tidak sanggup melaksanakan yurisdiksinya secara efektif atas kapal-kapal yang mengibarkan benderanya ketika tersangkut dalam masalah pencemaran maupun keselamatan pelayaran. Meskipun syarat adanya hubungan asli sebagaimana diatur dalam pasal 5 Konvensi Geneva 1958 hanya membawa pengaruh sangat kecil untuk tidak mengatakan ketentuan itu samasekali tidak berpengaruh atas praktek negara-negara sejak berlakunya Konvensi Geneva1958 mengenai Laut Bebas, namun syarat itu ternyata ditegaskan kembali melalui pasal 91 KHL 1982. Akan tetapi syarat hubungan asli yang terdapat di dalam pasal 91 KHL 1982 tidak lagi dikaitkan dengan pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif atas suatu kapal dan di sinilah terletak perbedaan antara pasal 91 KHL 1982 dengan pasal 5 Konvensi Geneva 1958 yang menyatukan atau mengkaitkan secara langsung persyaratan hubungan asli dengan pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif. Pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif tidak diatur dalam pasal 91 KHL 1982, tetapi diatur dalam suatu pasal tersendiri, yakni dalam pasal 94 sehingga hal ini membawa pengaruh yang cukup besar terhadap praktek negara-negara yang mengecam negara-negara yang disebut Flag of Convenience atau Open Registry States. Dalam konteks ini dapat dikemukakan bahwa pada bulan Juni 1981 Komite Perkapalan dari UNCTAD (UNCTAD Committee on Shipping) menerima sebuah Resolusi yang merekomendasikan agar rezim hukum open registry secara bertahap dan progressif diubah menjadi rezim hukum pendaftaran biasa (normal registry).23) Perubahan ini dapat dilakukan dengan cara memperketat syarat-syarat registrasi kapal di mana negara yang biasanya menganut system pendaftaran terbuka harus dapat menguasai (retain) kapal yang terdaftar di negara tersebut dan dengan demikian negara tersebut harus dapat mengidentifikasi siapa yang menjadi pemilik kapal maupun operator kapal dan negara tersebut dapat menekan pemilik ataupun operator kapal agar bertanggungjawab atas semua operasi dan kegiatan perkapalan, termasuk dalam memelihara standar penempatan awak kapal maupun standar kesejahteraannya. Di samping rekomendasi seperti itu, Komite Perkapalan dari UNCTAD juga merekomendasikan agar disusun atau dirumuskan sekumpulan prinsip-prinsip dasar mengenai syarat-syarat registrasi kapal di suatu negara dan selanjutnya diselenggarakan suatu konferensi internasional dengan tujuan menciptakan sebuah perjanjian internasional yang mengatur prinsip-prinsip dasar terkait syarat-syarat registrasi kapal. Prinsip-prinsip dasar tersebut seharusnya mengatur masalah penempatan personel di atas kapal (the manning of ships), peranan negara bendera dalam mengelola perusahaan pemilik kapal (shipowning company) maupun dalam hal pengelolaan kapal, partisipasi yang sewajarnya dalam hal permodalan serta peranannya dalam mengidentifikasi para pemilik maupun operator kapal. Selama ini kita hanya berbicara tentang hak negara untuk memberikan nasionalitas dan benderanya kepada kapal sehingga kapal dapat berlayar dengan mempergunakan bendera dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi apakah kapal dapat berlayar dengan bendera dari suatu organisasi internasional ? Dalam mempersiapkan rancangan pasal-pasal Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas, Komisi Hukum Internasional menolak gagasan untuk memasukkan suatu ketentuan yang mengakui hak PBB dan kemungkinan juga organisasi internasional lainnya untuk mengizinkan suatu kapal semata-mata mempergunakan bendera dari organisasi internasional itu. Hal ini 66 disebabkan karena sistem hukum yang berlaku di atas suatu kapal adalah sistem hukum dari negara bendera dan dengan demikian bendera PBB tidak dapat dipersamakan dengan bendera dari suatu negara. Kendati Komisi Hukum Internasional melakukan pendekatan negative, namun pasal 7 dari Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas yang merupakan kesepakatan dari negara-negara peserta konferensi menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan konvensi tidak mempengaruhi atau mengurangi persoalan kapal yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas resmi dari suatu organisasi internasional dengan mengibarkan bendera organisasi itu. Ketentuan pasal 7 itu sesungguhnya tidak jelas sehingga dapat menimbulkan permasalahan. Pasal 93 KHL 1982 sangat mirip dengan pasal 7 Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas, tetapi KHL 1982 terutama ketentuan pasal 93 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah hanya pada PBB, badan-badan khusus dari PBB dan Organisasi Tenaga Atom Internasional. Sulit dipahami mengapa pasal 93 KHL 1982 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah atau organisasi internasional hanya pada PBB, badan-badan khusus PBB serta IAEA (International Atomic Energy Agency), padahal dewasa ini ternyata sudah bermunculan berbagai organisasi internasional lain yang sangat maju seperti misalnya Uni Eropa yang sebentar lagi akan memiliki sebuah konstitusi yang mengikat semua negara anggotanya sehingga dapat menimbulkan masalah hukum sebab bendera organisasi itu dapat dikibarkan oleh kapal-kapal, apalagi organisasi tersebut dapat menjadi peserta pada KHL 1982.24) Pada akhirnya harus dicatat bahwa kapal yang mengibarkan dua bendera atau lebih dianggap tidak memiliki nasionalitas. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 6 Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas dan pasal 92 KHL 1982. Perumusan ketentuan baik di dalam Konvensi Geneva 1958 maupun KHL 1982 dengan cara seperti itu agaknya berlebihan sehingga menurut hemat kami sebaiknya disederhanakan saja dengan menyatakan bahwa setiap kapal yang memiliki dan mengibarkan lebih dari satu macam bendera harus disamakan dengan tidak memiliki bendera. Dengan demikian kalau kapal itu dianggap tidak memiliki bendera, kapal tersebut tidak mempunyai nasionalitas apapun. Konsekuensinya adalah di samping tidak memiliki hak navigasi atau hak berlayar di berbagai jalur laut dari negara pantai dan juga di laut bebas atau perairan internasional, kapal yang bersangkutan juga tidak mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan diplomatic dari negara manapun. Tidak ada satu negarapun yang dapat dituntut pertanggungjawabannya dalam kaitan dengan kapal yang memiliki lebih dari satu macam bendera. Hanya kapal yang memiliki dan mengibarkan satu bendera dan tidak lebih dari satu bendera saja yang diakui memiliki nasionalitas dari negara bendera sehingga dengan demikian kapal tersebut dapat menikmati hak-hak berlayar, hak atas perlindungan diplomatic dari negara bendera yang memiliki yurisdiksi dan tanggungjawab terkait dengan kapal tersebut. Kapal asing mempunyai hak navigasi di dalam berbagai jalur laut dari negara RI dan juga di perairan internasional, sebagaimana halnya kapal Indonesia atau yang berbendera Indonesia memiliki hak navigasi di wilayah perairan negara lain maupun di perairan laut bebas. Di perairan pedalaman seperti perairan teluk, sungai dan pelabuhan Indonesia, kapal asing biasanya tidak menikmati hak navigasi kecuali ada perjanjian seperti misalnya perjanjian persahabatan, perjanjian perdagangan dan perjanjian dalam bidang pelayaran yang memungkinkan adanya hak akses ke perairan pedalaman terutama hak akses ke pelabuhan RI. Selanjutnya di perairan kepulauan dan laut teritorial 67 Indonesia, kapal asing menikmati hak navigasi dalam bentuk hak lintas damai, hak lintas transit (khusus di Selat Malaka sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional) dan hak lintas alur laut kepulauan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam kaitan hak lintas damai di laut territorial dan perairan kepulauan, Indonesia dapat melakukan tindakan penangguhan berdasarkan syarat-syarat tertentu atas kapal asing yang berlayar di wilayah perairannya. Akan tetapi kapal asing yang berlayar di Selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used For International Navigation) juga dalam konteks hak lintas damai (the right of innocent passage) tidak bisa ditangguhkan mungkin karena pelaksanaan hak lintas damai di Selat seperti itu sama saja dengan pelaksanaan hak lintas transit (the right of transit passage) yang tidak mungkin bisa ditangguhkan oleh negara-negara tepi termasuk Indonesia. Di luar laut territorial seperti di jalur tambahan (Contiguous Zone) Indonesia, kapal asing menikmati kebebasan navigasi dan dengan begitu negara bendera mempunyai yurisdiksi yang bersifat eksklusif atas kapal itu. Namun demikian kebebasan navigasi yang dinikmati kapal asing serta yurisdiksi eksklusif dari negara bendera disertai dengan pembatasan tertentu, di mana Indonesia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan yang memang dibutuhkan untuk mencegah dan menghukum terjadinya pelanggaran kapal asing terhadap peraturan perundang-undangan dalam bidang-bidang bea cukai, fiscal, keimigrasian dan sanitasi (lihat pasal 33 KHL 1982/ Undang-Undang No.17 Tahun 1985). Aparat hukum Indonesia berwenang untuk menangkap dan menahan kapal yang dicurigai dan diduga kuat terlibat dalam pelanggaran terhadap satu atau lebih ketentuan dari peraturan perundangan yang berlaku. Aparatnya juga berwenang untuk naik ke atas kapal untuk melakukan pemeriksaan dan apabila terbukti terjadi pelanggaran, maka aparat hukum dapat menahan kapal dan personel yang terlibat, melakukan penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap mereka yang tersangkut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya di perairan ZEE Indonesia atau perairan di atas landas kontinennya kapal asing memiliki kebebasan berlayar (freedom of navigation) karena perairan ZEE atau perairan di atas landas kontinen Indonesia tetap berstatus sebagai perairan laut bebas atau perairan internasional. Kapal asing berkewajiban untuk menghormati zona-zona keselamatan (safety zones) di sekeliling pulau buatan atau instalasi yang berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia diimplementasikan sebagai zona terbatas (restricted zones) dan zona terlarang (prohibited zones) pada setiap instalasi pertambangan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1973, Undang-UndangNo. 5 Tahun 1983). Akan tetapi RI berkewajiban untuk tidak mendirikan pulau buatan dan instalasi yang dapat mengganggu penggunaan alur-alur laut yang diakui esensial untuk pelayaran internasional (Pasal 5 ayat 3 dan ayat 6 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur tambahan, juga pasal 60 ayat 6 dan ayat 7 serta pasal 80 KHL 1982). Sebagaimana halnya di perairan ZEE atau perairan di atas landas kontinen Indonesia yang tetap mempunyai kedudukan sebagai perairan internasional, maka kapal asing dan kapal Indonesia juga mempunyai kebebasan untuk berlayar di perairan laut bebas, yaitu di perairan yang berada di luar ZEE atau di luar perairan di atas landas kontinen Indonesia, misalnya saja di Samudera Pasifik, Samudera Hindia atau laut Cina Selatan etc. Namun kapal Indonesia ataupun kapal asing harus memperhatikan dengan sepatutnya kepentingan negara lain yang telah menjalankan berbagai kegiatan di perairan laut bebas tersebut (Pasal 2 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas dan pasal 87 ayat 2 KHL 1982). Pada akhirnya di manapun kapal itu berada (kapal asing ataupun kapal yang 68 berbendera Indonesia), entah berada di wilayah perairan RI, entah di wilayah perairan negara lain maupun di perairan laut bebas atau perairan internasional, mempunyai kewajiban untuk mentaati segala ketentuan yang terkait dengan masalah lingkungan laut maupun masalah keselamatan pelayaran atau keselamatan perkapalan (safety of shipping). Untuk menjamin kepentingan pemilik kapal, kepentingan pelaut maupun kepentingan masyarakat pada umumnya, maka kegiatan pengangkutan atau transportasi penumpang dan barang harus dilakukan dengan cara yang sangat aman sehingga dapat dicegah atau setidak-tidaknya dapat diperkecil timbulnya musibah atau kecelakaan di tengah-tengah laut, seperti misalnya kapal tenggelam, kapal kandas ataupun kapal bertabrakan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas (pasal 10) menetapkan bahwa setiap negara berkewajiban mengambil langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjamin keselamatan kapalnya di laut. Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh negara bendera meliputi masalah komunikasi, pencegahan tubrukan, persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap awak kapal, masalah konstruksi kapal, masalah perlengkapan kapal maupun masalah kelayakan kapal secara umum untuk berlayar di laut. Tindakan-tindakan dari negara bendera dalam hubungan dengan kapal yang menggunakan dan mengibarkan benderanya harus sesuai dengan standar internasional yang telah diterima secara umum. KHL 1982 melalui pasal 94 pada dasarnya memuat ketentuan yang sama dengan pasal 10 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas. Akan tetapi KHL 1982 menetapkan secara terperinci kewajiban dari negara bendera (Flag State), yaitu negara bendera mempunyai kewajiban untuk selalu memeriksa secara teratur masalah kelayakan kapal, kewajiban untuk menjamin kualifikasi awak kapal sehingga setiap personel di atas kapal benarbenar memenuhi persyaratan sebagai awak kapal, juga kewajiban untuk mengadakan penyelidikan terhadap korban kecelakaan kapal (shipping casualties). Bahwa Konvensi Geneva 1958 dan KHL 1982 menekankan adanya standar internasional yang harus diperhatikan dalam menetapkan tindakan-tindakan bagi keselamatan kapal di laut itu tentu harus dilihat dari kebutuhan praktis sebab walaupun setiap negara, dalam hal ini setiap negara bendera secara teoritis memiliki kebebasan untuk membuat dan menerapkan peraturan hukumnya sendiri misalnya mengenai masalah kelayakan kapal dan masalah kualifikasi awak kapal terhadap kapal yang mengibarkan benderanya dan juga (secara terbatas) terhadap kapal asing yang memasuki pelabuhan atau laut teritorialnya, namun dengan aturan yang begitu beranekaragam dari masing-masing negara dan malahan mungkin bertentangan satu sama lain, apabila diterapkan tentu saja dapat menimbulkan semacam anarki atau kekacauan dalam dunia pelayaran internasional. Dengan latar belakang seperti itulah, masyarakat internasional memerlukan dan membutuhkan adanya keseragaman standarisasi internasional dalam rangka menjamin serta meningkatkan keselamatan perkapalan (the Safety of Shipping). Standarisasi yang seragam ini dapat ditemukan dalam sejumlah konvensi internasional yang pada umumnya merupakan hasil karya dari Organisasi Maritim Internasional. Standarisasi keselamatan perkapalan sebagaimana terdapat di dalam berbagai perjanjian meliputi empat masalah utama, yakni pertama, masalah kelayakan kapal (the seaworthiness of ship); kedua, masalah pencegahan tubrukan serta trayek kapal (the prevention of collision and the ship routeing); ketiga, masalah standar penempatan awak kapal (the standard for the manning of ship); keempat, masalah penetapan alat bantu navigasi (the establishment of 69 navigational aids). Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa bukan hanya keempat hal tersebut yang dijadikan sebagai pilar bagi keselamatan kapal di laut, melainkan juga negara-negara seharusnya menerapkan standarisasi keamanan bagi kapal yang mengibarkan benderanya maupun standarisasi keamanan bagi pelabuhan internasional sebagaimana diatur di dalam ISPS Code (International Ship and Port Facilities Security Code) yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional pada tahun 2002 dan kemudian telah berlaku sejak tahun 2004 lalu. Sebelum dibahas ISPS Code atau system pengamanan kapal dan pelabuhan atau fasilitas pelabuhan internasional, maka berikut ini dibentangkan beberapa konvensi internasional penting yang mengatur masalah kelaikan kapal untuk berlayar di tengahtengah laut. Pertama, apa yang dinamakan Konvensi SOLAS tahun 1974 (the International Convention for the Safety of Life at Sea). Konvensi ini dapat dianggap sebagai konvensi terakhir yang menggantikan konvensi-konvensi SOLAS sebelumnya, di mana konvensi SOLAS pertama dibuat dalam kaitan dengan peristiwa tenggelamnya kapal Titanic di lepas pantai Newfoundland (AS). Konvensi SOLAS memuat sejumlah aturan yang sifatnya kompleks dengan menetapkan standar-standar yang berkaitan dengan konstruksi kapal, tindakan pengamanan kapal dan segala isinya dari bahaya kebakaran(fire-safety measures), permohonan bantuan bagi orang dan atau kapal yang akan tenggelam (life-saving appliances), alat perlengkapan navigasi yang harus dibawa di atas kapal dan aspek-aspek lain dari keselamatan navigasi, barang berbahaya yang dapat dibawa serta aturan khusus mengenai kapal nuklir atau kapal yang bertenaga nuklir. Standar-standar menyangkut berbagai aspek keselamatan navigasi yang berlaku di atas kapal itu sendiri (aspek internal dari keselamatan navigasi) harus ditentukan oleh setiap negara peserta Konvensi SOLAS dan berhubung karena RI telah meratifikasi Konvensi SOLAS tahun 1960 (kini Konvensi SOLAS tahun 1974) berdasarkan Keputusan Presiden No. 203 Tahun 1966 maka Indonesia berkewajiban untuk menetapkan berbagai standar keselamatan navigasi yang berlaku di atas kapal yang berbendera Indonesia. Pelaksanaan standar keselamatan navigasi sebagaimana diatur di dalam SOLAS Convention pada prinsipnya terletak di tangan Indonesia sebagai negara bendera (flag state). Namun demikian ada kalanya negara pantai atau negara pelabuhan (Port State), yaitu negara yang pelabuhannya didatangi atau disinggahi oleh kapal Indonesia dapat juga melaksanakan standar keselamatan navigasi dalam pengertian negara pelabuhan dapat melakukan pengawasan sejauh mana kapal berbendera Indonesia telah mematuhi standar keselamatan navigasi yang ditentukan dalam Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut. Demikian pula sebaliknya dengan kapal asing yang memasuki pelabuhan RI, maka Indonesia sebagai negara pelabuhan melalui aparat hukumnya dapat melakukan pengawasan mengenai sejauh mana kapal asing tersebut telah mentaati standar keselamatan navigasi sebagaimana ditetapkan di dalam SOLAS Convention. Sebagai Negara pelabuhan, Indonesia mempunyai hak untuk memeriksa apakah kapal asing yang berada di salah satu pelabuhan Indonesia membawa sertifikat atau dokumen sah mengenai hal-hal yang disyaratkan atau diwajibkan oleh Konvensi. Apabila ada alasan yang sangat meyakinkan di mana kondisi kapal maupun alat perlengkapannya sesungguhnya tidak sesuai dengan hal-hal yang ditentukan dalam setiap sertifikat atau dokumen tadi, atau di mana sebuah sertifikat atau dokumen telah kadaluarsa, atau di mana kapal atau alat perlengkapannya tidak memenuhi ketentuan Regulation 11 (Bab I) dari Konvensi SOLAS tahun 1974 (kondisi kapal maupun alat perlengkapannya harus 70 dalam kondisi terawat dan terpelihara setelah survei dilakukan) dan dengan demikian apabila kondisi kapal serta alat perlengkapannya ternyata tidak terpelihara sebagaimana mestinya, padahal sebenarnya telah disurvei sebelumnya, maka pihak berwenang dari Indonesia selaku negara pelabuhan dapat mengambil langkah-langkah atau tindakantindakan dengan melarang kapal tersebut berlayar, melarang kapal tersebut meninggalkan pelabuhan serta memerintahkan kapal itu untuk masuk ke dalam galangan kapal untuk mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. Selanjutnya pada tahun 1978 Organisasi Maritim Internasional mengesahkan sebuah Protokol Konvensi SOLAS yang menyangkut keselamatan kapal tangker serta pencegahan polusi. Protokol yang mulai berlaku sejak tahun 1981 mewajibkan semua kapal yang melampaui ukuran tertentu untuk mempergunakan apa yang disebut inert gas system atau system gas yang sifatnya lembam, juga adanya kewajiban kapal untuk mempergunakan radar tambahan maupun alat kemudi darurat. Melalui protocol tersebut dilakukan perbaikan prosedur pemeriksaan kapal serta sertifikasi kapal. Selain daripada Konvensi SOLAS, maka terdapat lagi beberapa konvensi IMO lainnya yang berkaitan dengan masalah kelayakan kapal. Misalnya saja ada Konvensi Internasional mengenai Garis Batas Muatan (the International Convention on the Load Lines) tahun 1966 yang mengatur mengenai larangan untuk membawa muatan secara berlebihan. Kapal tidak boleh membawa muatan berlebihan melampaui kapasitas dan daya muat maksimalnya sebab hal ini sering menyebabkan timbulnya kecelakaan kapal. Kapal hanya diperkenankan membawa muatan sesuai dengan kapasitas dan daya muat maksimal kapal itu. Pelaksanaan Konvensi tersebut (Convention on the Load Lines tahun 1966) sebagaimana Konvensi SOLAS tetap berada di tangan Negara Bendera, akan tetapi negara pelabuhan juga kadang-kadang dapat melaksanakannya dengan mengawasi sejauh mana kapal asing yang memasuki pelabuhannya telah mematuhi kewajiban untuk membawa muatan tanpa melebihi kapasitas maksimal kapal tersebut. Sebagai negara pelabuhan Indonesia dapat melakukan pengawasan atas kapal asing yang masuk dan singgah di salah satu pelabuhan dalam wilayah perairan Indonesia untuk memeriksa apakah kapal asing tersebut tidak membawa muatan yang berlebih-lebihan. Sebuah kapal membawa muatan berlebihan dapat diketahui dari bagian luar kapal itu di mana tanda garis yang terdapat di sekeliling lambung dan badan kapal sudah tidak kelihatan dan sudah berada di bawah permukaan air, setidak-tidaknya garis dengan warna tertentu yang mengelilingi bagian luar dari badan kapal telah sejajar dengan permukaan laut. Kalau hal seperti ini terjadi, maka otoritas terkait dapat menahan dan memeriksa kapal yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ada juga perjanjian tentang kapal penumpang khusus pada tahun 1971 (The 1971 Agreement on Special Trade Passanger Ships) bersama-sama dengan Protokolnya tahun 1973, mengatur tentang keselamatan kapal yang mengangkut penumpang serta tempat tidur dalam jumlah besar, seperti bisnis pariwisata, sementara ada juga perjanjian internasional mengenai keselamatan kapal ikan pada tahun 1977 (The 1977 International Convention for the Safety of Fishing Vessels) yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai konstruksi dan perlengkapan kapal ikan. Sebagai tambahan atau di samping konvensi-konvensi tersebut di atas, Organisasi Maritim Internasional mengadopsi pula sejumlah rekomendasi berupa aturan-aturan praktis yang berkaitan dengan kelayakan kapal, misalnya saja apa yang disebut Codes for the Construction and Equipment of Ships Carrying Dangerous Chemicals in Bulk (aturan-aturan tentang konstruksi dan 71 perlengkapan kapal pengangkut bahan kimia dalam jumlah besar tahun 1971) maupun Codes for the Construction and Equipment of Ships carrying Liquefied Gases in Bulk (aturan-aturan tentang konstruksi dan perlengkapan kapal pengangkut gas cair dalam jumlah besar) tahun 1975. Aturan-aturan ini umumnya disahkan dalam bentuk resolusi yang berisi rekomendasi dari Majelis IMO sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun demikian aturan-aturan ini telah diterima secara luas dan beberapa negara telah menuangkan dan memasukkan aturan-aturan itu ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya, misalnya sudah cukup banyak negara yang telah menerapkan apa yang disebut the Bulk Chemicals Code di dalam peraturan perundangan nasionalnya. Selain masalah kelayakan kapal untuk berlayar di laut, maka jaminan keselamatan pelayaran juga ditentukan oleh masalah pencegahan tubrukan dan penetapan rute atau trayek kapal (Collision avoidance and ships’ routeing). Sebagaimana halnya dengan konvensi-konvensi SOLAS, maka ada berbagai regulasi untuk mencegah tubrukan di laut. Peraturan-peraturan yang dilampirkan pada the International Regulations for Preventing Collisions at Sea tahun 1972 pada prinsipnya bersangkut paut dengan perilaku atau tindakan serta pergerakan suatu kapal dalam hubungan dengan kapal-kapal lainnya, terutama ketika kemampuan kapal untuk memandang atau melihat mengalami penurunan dalam rangka menghindari terjadinya tubrukan dengan kapal lain. Selain soal tindakan dan gerakan kapal dalam usaha mencegah tubrukan, Regulasi Internasional tahun 1972 juga menetapkan standar yang bersifat umum dalam hubungan dengan tanda-tanda atau signal-signal baik yang bisa didengar maupun dilihat (sound and light signals). Walaupun Konvensi tahun 1972 tidak menegaskan mengenai akibat-akibat hukumnya menyangkut hubungan antara pelanggaran regulasi tersebut serta tanggungjawab perdata (civil liability) akibat timbulnya tubrukan (pelanggaran terhadap peraturan Konvensi 1972 tidak harus menimbulkan masalah tanggungjawab perdata, pelanggaran itu biasanya dianggap sebagai suatu pelanggaran menurut hukum pidana dari negara bendera yang menjadi negara peserta Konvensi. Namun penuntutan atas pelanggaran tersebut jarang dilakukan karena dalam banyak kasus kebijakan untuk menuntut ataupun tidak menuntut berada di tangan nakhoda kapal. Berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat 4 dan pasal 39 ayat 2 KHL 1982 kapal yang menjalankan hak lintas damai melalui laut territorial atau hak lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional harus mematuhi regulasi tersebut tanpa memperhatikan apakah negara bendera atau negara pantai adalah merupakan negara peserta Konvensi tahun 1972. Salah satu sarana penting untuk mengurangi risiko terjadinya tubrukan antarkapal adalah dengan memanfaatkan jalur pemisah lalu lintas (traffic separation scheme) untuk memisahkan pelayaran kapal di bagian-bagian laut yang padat (shipping in congested areas) menjadi jalur satu arah semata-mata (into one-way only lanes). Contoh awal mengenai jalur pemisah lalu lintas dapat ditemukan dalam perjanjian soal penentuan rute yang dilakukan secara suka rela oleh para pemilik kapal yang menjalankan kegiatan perdagangan pada rute-rute tertentu misalnya saja di Laut Cina pada abad ke-19. Kini IMO telah menetapkannya sebagai jalur pemisah lalu lintas yang sudah direkomendasi sejak tahun 1967. Pada awalnya kepatuhan atas jalur-jalur yang direkomendasi IMO bersifat suka rela; negara bendera tidak diharuskan untuk memerintahkan kapal yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur-jalur tersebut. Namun sejak berlakunya the Collision Regulation Convention tahun 1977 kepatuhan 72 negara bendera tidak lagi bersifat suka rela, tetapi sudah merupakan keharusan sehingga semua negara peserta Konvensi tadi mempunyai kewajiban untuk memerintahkan kapal yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur pemisah lalu lintas yang telah ditentukan IMO. Dengan diintrodusirnya apa yang dinamakan jalur pemisah lalu lintas (the Traffic Separation Scheme) adalah sesuatu yang dianggap dapat dipertanggungjawabkan demi untuk mengurangi jumlah tubrukan di laut pada umumnya, misalnya saja di perairan Barat Daya Eropa di mana ada banyak jalur pemisah lalu lintas, sehingga jumlah tubrukan mengalami penurunan dari 156 dalam masa atau periode tahun 1956 – 1961 menjadi hanya 45 tubrukan antara tahun 1976 – 1981 (lihat R>R> Churchill and A.V. Lowe, the Law of the Sea, 1983, hlm. 185 – 189). Walaupun IMO diakui sebagai satu-satunya badan internasional yang berwenang untuk menentukan jalur pemisah lalu lintas (Traffic Separation Scheme atau disingkat TSS), negara pantai juga memiliki beberapa kewenangan dalam bidang ini. Pasal 21 KHL 1982 pada dasarnya mempunyai pendekatan yang sama seperti pasal 17 Konvensi Geneva 1958 tentang laut territorial yang menyatakan bahwa di laut teritorialnya negara pantai dapat memberlakukan dan menerapkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan navigasi kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai, tetapi dalam KHL 1982 ditambahkan bahwa negara pantai yang menentukan TSS di laut territorial harus memperhitungkan atau memperhatikan setiap rekomendasi IMO serta factor-faktor lainnya, seperti karakter khusus dari kapal-kapal tertentu maupun kepadatan lalu lintas di laut (Pasal 22 KHL 1982). IMO sendiri menyarankan negara pantai yang mau menetapkan system penentuan rute atau trayek (routeing systems) di laut territorial agar supaya menetapkan atau mendesain system trayek tersebut sesuai dengan criteria IMO menyangkut TSS serta menyerahkannya kepada IMO untuk mendapat pengesahan. Negara pantai dapat menjalankan tindakan penegakan hukum (enforcement jurisdiction) terhadap kapal asing yang melanggar TSS yang telah ditentukan (Pasal 27 KHL 1982). Dalam prakteknya tindakan penegakan hukum biasanya terbatas pada tindakan aparat yang meminta agar kapal tersebut kembali mematuhi TSS. Namun kalau pelanggaran TSS oleh kapal asing itu cukup serius, maka aparat hukum negara pantai dapat melaporkannya kepada otoritas negara bendera. Bilamana kapal yang melakukan pelanggaran itu memasuki salah satu pelabuhan negara pantai, kapal tersebut dapat dituntut. Di Selat yang tunduk pada rezim hukum lintas transit atau dinamakan Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, kewenangan negara pantai lebih terbatas karena walaupun negara pantai masih dapat menentukan TSS, namun TSS yang diusulkan kepada IMO harus sesuai dengan peraturan internasional yang telah diterima secara luas (must conform to generally accepted international regulations) serta harus diserahkan kepada IMO dengan maksud untuk memperoleh pengesahan sebelum TSS tersebut ditetapkan oleh negara pantai (Pasal 41 KHL 1982). Sejauh mana negara pantai dapat melakukan tindakan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran TSS oleh kapal asing di Selat yang dikategorikan sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional adalah suatu masalah yang bersifat kontroversial. Tampaknya management lalu lintas laut (marine traffic management) pada masa mendatang akan melampaui pengelolaan TSS itu sendiri sehingga lebih bersifat komprehensif, meskipun pengelolaan lalu lintas laut tidak mungkin mencapai tingkat presisi atau kecanggihan (precision or sophistication) management seperti yang dimiliki oleh air traffic control. Dalam kaitan ini IMO telah melakukan berbagai tindakan : 73 misalnya saja baik di Selat Baltik maupun Selat Malaka IMO merekomendasi langkahlangkah dalam hubungan dengan management lalu lintas laut seperti membatasi kecepatan kapal atau kapal diharuskan untuk membatasi kecepatannya ketika memasuki wilayah perairan suatu negara pantai, kapal diwajibkan untuk melaporkan posisinya serta diwajibkan untuk menggunakan kapal pandu (the use of pilots). IMO juga mewajibkan kapal asing untuk melaporkan posisinya kepada otoritas terkait dari negara pantai yang bersangkutan apabila kapal mengalami kesulitan yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Mengenai standar penempatan awak kapal (Crewing standards) dapat dikemukakan bahwa salah satu penyebab utama timbulnya musibah perkapalan (shipping accidents) terletak pada awak kapal yang tidak terlatih atau tidak memenuhi kualifikasi yang baik sehingga untuk mengurangi timbulnya kecelakaan di laut kualitas dari awak kapal harus dibenahi. Konvensi SOLAS tahun 1974 menegaskan bahwa semua kapal harus memiliki awak kapal yang dapat bekerja secara memadai dan efisien (sufficiently and efficiently, sedangkan menurut ILO Convention No.147 tahun 1976 menyangkut Standar Minimum di Kapal Dagang, setiap negara peserta harus menjamin bahwa para pelaut yang bekerja di kapal yang terdaftar di wilayahnya seharusnya memenuhi kualifikasi dan seharusnya terlatih untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya (pasal 2 e). Demikian pula ketentuan pasal 94 ayat 4 KHL 1982 menentukan bahwa negara bendera harus menjamin agar setiap kapal yang mengibarkan benderanya harus dijalankan oleh seorang nakoda (master) serta para petugas dengan kualifikasi yang tepat… dan agar awak kapalnya sudah tepat atau layak dalam hal kualifikasi serta jumlahnya sesuai dengan tipe kapal, ukuran, mesin serta perlengkapan kapal tersebut. The International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (The STCW Convention yang diadopsi oleh IMO tahun 1978 memberi ketentuan yang lebih tegas dibandingkan dengan Konvensi SOLAS dan Konvensi ILO karena The STCW Convention mewajibkan adanya persyaratan minimum bagi sertifikasi nakoda kapal dan petugas-petugas lainnya serta menentukan prinsip-prinsip dasar fr keeping navigational and engineering watches. Penerapan atau pelaksanaan ketentuanketentuan Konvensi STCW terutama berada di tangan negara bendera (the Flag State), meskipun negara pelabuhan (the Port State) mempunyai wewenang pengawasan dalam bidang-bidang tertentu guna memeriksa kalau para pelaut yang berdasarkan konvensi itu harus disertifikasi benar-benar sudah disertifikasi (pasal X) dan bahwa standar awak kapal harus dibenahi secara signifikan sehingga dapat mengurangi jumlah musibah perkapalan (shipping accidents). Persyaratan-persyaratan kerja bagi awak kapal diatur di dalam sejumlah besar konvensi-konvensi ILO yang menyempurnakan the International Seafarers Code. Di antara konvensi-konvensi ini maka yang paling penting adalah Convention concerning Wages, Hours of Work on Board Ship and Manning (No. 109 (1958) yang merupakan revisi atas konvensi-konvensi yang lebih awal), Convention concerning Crew Accomodation on Board Ship (No. 92 (1949), yang diperlengkapi dengan konvensi No.133 (1970), dan Convention concerning Continuity of Employment of Seafarers (No.145 (1976). ILO juga mengadopsi sejumlah rekomendasi tidak mengikat tentang syarat-syarat kerja bagi pelaut, yakni the Social Conditions and Safety (Seafarers) recommendation, 1958 (No.108). Di samping itu Konvensi ILO No.147 yang disebut di atas mensyaratkan negara-negara pesertanya menetapkan bagi kapal-kapalnya dan 74 memaksakan (enforce) standar keselamatan secara efektif, aturan jaminan sosial (social security measures) serta persyaratan-persyaratan kerja di atas kapal yang sama (equivalent) dengan ketentuan-ketentuan berbagai konvensi ILO yang disebut dalam lampiran konvensi. Menyangkut penetapan alat bantu navigasi (navigational aids) seperti mercu suar (lighthouses), kapal suar (lightships), alat pelampung (buoys) dan radar beacons, semuanya ini sangat penting bagi keselamatan pelayaran (the safety of shipping). Konvensi SOLAS mengharuskan negara-negara peserta untuk mengatur penetapan atau pengadaan (establishment) dan pemeliharaan (maintenance) sarana bantu navigasi, yang mencakup radio beacons dan alat Bantu elektronik apabila menurut pendapatnya dibenarkan dari segi volume lalu lintas kapal serta diharuskan dari segi tingkatan risiko, dan mengharuskan negara-negara peserta untuk mengatur informasi yang berkaitan dengan alat Bantu navigasi yang diperlukan. Perlu juga diketahui bahwa berdasarkan Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan maupun KHL 1982, setiap negara pantai wajib mengumumkan dengan sepatutnya setiap bahaya navigasi yang diketahui berada di dalam laut teritorialnya. Biaya pemasangan serta pemeliharaan alat bantu navigasi (navigational aids) biasanya hanya ditanggung oleh negara pantai dan negara ini tidak berhak meminta sumbangan atau kontribusi dari kapalkapal yang berlayar melalui laut teritorialnya. Akan tetapi ada satu atau dua contoh di mana negara-negara mengadakan kesepakatan untuk membagi biaya-biaya navigational aids, perjanjian internasional pada tahun 1962 mengenai the maintenance of certain lights di Laut Merah. Berdasarkan ketentuan pasal 43 KHL 1982 negara-negara yang berada di tepian selat yang tunduk pada lintas transit (transit passage) dan negara-negara pengguna selat harus bekerjasama dalam pengadaan sarana bantu navigasi serta alat bantu keselamatan lainnya yang diperlukan di selat tersebut, meskipun samasekali tidak dinyatakan mengenai bagaimana biaya-biaya tersebut harus ditanggung. Mengenai pembagian biaya pengadaan dan pemeliharaan alat bantu navigasi umumnya dialokasikan berdasarkan pengaturan-pengaturan setempat. IV.4. Ketentuan Pengamanan Kapal dan Pelabuhan (The International Ship and Port Facilities Security Code) Ketentuan-ketentuan ISPS Code sudah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional pada tanggal 12 Desember 2002 dan telah diratifikasi oleh sebagian besar negara-negara anggotanya, termasuk di dalamnya Republik Indonesia serta diharapkan ketentuan-ketentuan dari ISPS ini dapat segera diimplementasikan oleh masing-masing negara. Sesuai dengan ketentuan ISPS, maka paling lambat atau batas akhir untuk memberlakukan secara efektif ketentuan-ketentuan ISPS ini adalah pada tanggal 1Juli 2004 dengan persyaratan bahwa tidak ada keberatan yang diajukan dari sebagian besar anggotanya sampai dengan permulaan Januari 2004. ( From Wikipedia, the Free Encyclopedia, www.google.com.) Selanjutnya dalam ketentuan-ketentuan ISPS ini terdapat prinsip-prinsip pokok yang dapat dikemukakan sebagai berikut. Materi ISPS Code merupakan penyempurnaan dan amandemen atas ketentuan-ketentuan internasional mengenai keselamatan jiwa di laut yang selama ini dikenal dengan sebutan The Convention for the Safety of Life at Sea 75 1974 (SOLAS Convention 1974/ 1988) tentang pengaturan keamanan minimum bagi kapal, pelabuhan serta badan-badan pemerintah (government agencies). Dengan tanggungjawab bagi pemerintah, perusahaan perkapalan (shipping company), personel di atas kapal (shipboard personnel) maupun personel pelabuhan dan fasilitasnya (port/ facility personnel untuk mendeteksi kemungkinan adanya ancaman keamanan serta mengambil tindakan-tindakan atau langkah-langkah preventif (preventive measures) dalam menghadapi insiden keamanan yang dapat menggangu kapal atau fasilitas-fasilitas pelabuhan yang digunakan dalam pelayaran internasional. Isi daripada ISPS Code adalah terdiri dari sejarah atau latarbelakang historis terciptanya ISPS Code, ruang lingkupnya, persyaratan-persyaratannya serta implementas ketentuanketentuan ISPS Code dalam hukum nasional (national implementation). Ketentuanketentuannya telah digunakan oleh negara-negara sebagai pedoman bagi kapal dagang dan kapal penumpang di seluruh dunia. ISPS Code diciptakan oleh masyarakat internasional untuk menghadapi meningkatnya berbagai ancaman atas keamanan yang dewasa ini dapat terjadi kapan saja serta di mana saja, terutama ancaman terhadap keselamatan kapal-kapal dan fasilitas pelabuhan di seluruh dunia, di mana hal ini dipicu oleh tragedi yang terjadi di AS pada 11 September 2001 (9/11 atau peristiwa nine eleventh).. Dengan lain perkataan perkembangan dan implementasinya semakin dipercepat guna menjawab tragedi yang terjadi pada 11 September 2001 serta pemboman kapal tanker Perancis yang bernama Limburg. Namun sebelum kejadian tragis ini terjadi, maka ISPS Code ini dibentuk atau dirumuskan sebagai response dari masyarakat internasional terhadap peristiwa pembajakan kapal pesiar Italia (the Italian Cruise Ship) yang bernama Achille Lauro pada tanggal 7 Oktober 1985 dan mengakibatkan terbunuhnya para sandera orang Yahudi Amerika. The US Coast Guard sebagai badan utama di dalam Delegasi AS pada IMO mendesak negara-negara ter perlunya diambil langkah-langkah pengamanan. ISPS Code diisepakati pada pertemuan yang diadakan oleh 108 negara-negara yang menandatangani Konvensi SOLAS di London pada bulan Desember 2002. Langkah-langkah atau aturan-aturan yang telah disepakati berdasarkan ISPS Code tersebut telah diberlakukan pada 1 Juli 2004. Selanjutnya mengenai ruang lingkupnya (Scope) dapat dikemukakan bahwa ISPS /Code adalah sebuah dokumen yang terdiri dari dua bagian yang menyatukan persyaratanpersyaratan minimum bagi keamanan kapal serta pelabuhan. Bagian A dari Code itu mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi atau diwajibkan (mandatory requirements), sementara Bagian B mengatur petunjuk atau pedoman (guidance) yang dapat dipergunakan dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan ISPS Code. ISPS Code adalah upaya untuk menciptakan suatu perlindungan keamanan yang lebih pasti dan sistematis bagi kapal barang atau kapal kargo serta kapal penumpang dengan kecepatan tinggi yang melayani jalur pelayaran internasional (ships on international voyages) yang berukuran 500 gross ton atau di atasnya. (Wikipedia, The Free Encyclopedia, www.google.com).Di samping kapal-kapal seperti itu, maka upaya perlindungan keamanan sebagai kerangka dari ISPS Code juga ditujukan bagi unit instalasi pengeboran yang memanfaatkan fasilitas pelabuhan serta fasilitas pelabuhan yang melayani kapalkapal on international voyages). Adapun tujuan utama dari ISPS Code adalah : 1) mendeteksi ancaman keamanan serta menerapkan langkah-langkah keamanan. 2) menetapkan peran serta tanggungjawab menyangkut keamanan maritim bagi pemerintah, pemerintah setempat (local 76 administration), perusahaan industri perkapalan dan pelabuhan baik pada tingkat nasional maupun internasional. 3) memeriksa dan mengumumkan informasi yang terkait dengan keamanan ( to collate and promulgate security related information) 4) menentukan metode penilaian keamanan (security assessments) agar supaya dapat ditetapkan rencana serta prosedur dalam melakukan reaksi atas berubahnya level-level keamanan. Selanjutnya tentang persyaratan-persyaratan (requirements) yang terdapat dalam ISPS Code, maka Code ini tidak mengatur secara terperinci langkah-langkah spesifik yang harus diambil oleh masing-masing pelabuhan maupun kapal guna menjamin keselamatan dari fasilitas-fasilitas tersebut dalam melawan atau menghadapi terorisme karena fasilitasfasilitas seperti itu mempunyai banyak tipe dan ukuran yang beraneka ragam. Sebagai gantinya maka ISPS Code menetapkan secara garis besar suatu kerangka standar dalam mengevaluasi adanya risiko yang memungkinkan pemerintah untuk mengatasi perubahan ancaman keamanan disertai berubahnya kerawanan bagi kapal maupun fasilitas-fasilitas pelabuhan. Adapun standar persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap kapal terdiri dari rencana pengamanan kapal (ships security plans), petugas keamanan kapal (ship security officers), petugas keamanan perusahaan (company security officers) serta alat perlengkapan tertentu yang harus ada di atas kapal (certain onboard equipments). Demikian mengenai persyaratan-persyaratan standar keamanan menyangkut kapal yang melakukan pelayaran internasional. Sedangkan mengenai fasilitas pelabuhan (port facilities), maka persyaratan-persyaratan standarnya mencakup rencana pengamanan fasilitas pelabuhan (port facility security plans), petugas keamanan fasilitas pelabuhan (port facility security officers), alat perlengkapan keamanan yang sudah ditentukan (certain security equipment). Di samping itu, masih ada lagi persyaratan-persyaratan yang berlaku atau harus dipenuhi baik oleh kapal maupun pelabuhan, yaitu 1) memantau serta mengawasi akses atau jalan masuk menuju pelabuhan (monitoring and controlling access); 2) memantau kegiatan orang serta kargo (monitoring the activities of people and cargo; 3) jaminan yang memadai dalam hal komunikasi keamanan (ensuring security communications are readily available). Dengan demikian kapal-kapal yang melayani trayek pelayaran internasional itu harus merencanakan dan melengkapi pengamanan dirinya secara maksimal baik berupa petugas keamanan serta alat perlengkapannya sehingga mampu menangkal semua ancaman dan serangan teroris. Dalam hal ini kapal harus memiliki serta membawa system peralatan pemberitahuan dini, mempersiapkan jaringan komunikasi yang handal, peralatan deteksi terhadap adanya ancaman serangan teroris maupun ancaman lainnya. ISPS Code juga memberikan keleluasaan dan kebebasan yang lebih besar kepada kapal-kapal seperti itu untuk mempertahankan dirinya dalam menghadapi ancaman ataupun serangan fisik yang dilakukan oleh sekelompok penjahat selama pelayaran. Oleh karena itu kapal-kapal tersebut mempunyai kewenangan untuk mempergunakan segala macam cara untuk melawan serangan, termasuk melakukan pergerakan kapal dan menggunakan peralatan pengamanan yang ada di atas kapal secara maksimal.. Kajian IMO menyebutkan bahwa ada beberapa factor yang mendorong meningkatnya aksi kejahatan terhadap kapal dagang dan kapal penumpang dalam beberapa tahun terakhir ini. Faktor-faktor itu antara lain adalah kapal yang digunakan para pelaku kejahatan di laut semakin lama semakin tinggi kecepatannya sehingga mereka dengan mudah dapat melakukan pengejaran terhadap kapal-kapal dagang dan penumpang maupun target sejenisnya. Selanjutnya factor lain yang menyebabkan 77 terjadinya peningkatan aksi kejahatan adalah terbatasnya kemampuan kapal komersial untuk mempertahankan diri sehingga senantiasa tidak berdaya dalam menghadapi serangan para pelaku kejahatan, terutama para perampok atau bajak laut atau pelaku terorisme lainnya. Para pelaku kejahatan selalu memiliki dan membawa persenjataan lengkap sehingga dapat dengan mudah melumpuhkan para awak kapal. Terdapat beberapa kasus mengenai terjadinya serangan atas kapal dagang dan kapal penumpang, bahkan atas kapal perang di berbagai perairan internasional yang menunjukkan peningkatan intensitas dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu kasus atau insiden yang pernah terjadi adalah peristiwa pembajakan terhadap kapal dagang M.S. Columbia Eagle yang terjadi di perairan Thailand pada tahun 1970 (Gatot Widakdo, ISPS Code Bukan Sekadar Secarik Kertas Sertifikasi, Juli 2004, Hlm. 24). Di samping itu terjadinya serangan terorisme terhadap USS Cole (kapal perang AS) di perairan pelabuhan negara Aden. Serangan serupa tidak hanya diarahkan terhadap kepentingan AS, tetapi juga terhadap kapal-kapal dari negara lain. Terjadinya pembajakan kapal penumpang Achille Lauro di luar garis pantai Mesir pada tahun 1985. Pembajakan kapal penumpang MS Trabzonn di perairan Turki oleh suatu kelompok teroris yang memberi dukungan terhadap gerakan separatis Rusia. Gambaran secara keseluruhan mengenai aksi kejahatan yang dilakukan terhadap kapal-kapal dagang di seluruh dunia menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 dari kasus-kasus yang dilaporkan kepada IMO tercatat 16 kali pembajakan kapal dan 3 kapal dinyatakan hilang. Sementara banyak pihak mengakui bahwa kasus-kasus yang tidak dilaporkan kepada IMO jauh lebih banyak. Hal ini disebabkan karena kasus yang terjadi di perairan negara-negara tertentu yang dilaporkan pihak kapal tidak mendapatkan tanggapan yang semestinya dari otoritas negara setempat. Kemudian penyampaian laporan biasanya sangat terlambat untuk segera ditangani oleh instansi yang berwenang. Mengenai soal implementasi atau penerapan ketentuan-ketentuan ISPS Code di dalam hukum nasional suatu negara (national implementation), antara lain dapat dikemukakan bahwa Amerika Serilkat telah mengeluarkan sebuah peraturan guna mengundangkan ketentuan-ketentuan the Maritime Transportation Security Act tahun 2002 serta menggabungkan atau menyatukan peraturan domestik dengan standar keamanan maritim yang terdapat dalam SOLAS Convention serta ISPS Code (Wikipedia, The Free Encyclopedia, www.google.com). Peraturan tersebut dapat dilihat dan ditemukan dalam Title 33 of the Code of Federal Regulations, yang di dalam salah satu Bagiannya memuat peraturan keamanan kapal yang meliputi beberapa ketentuan yang berlaku bagi kapal asing yang berada di perairan nasional AS. Terdapat beberapa jenis kapal yang mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan ISPS Code, terutama kapal kargo dengan ukuran kecil yang menjalankan kegiatan bongkar muat kapal (cargo operations). Dengan menunjuk seorang crewmember atau seorang anggota awak kapal untuk secara terus menerus berada di pintu masuk ke kapal yang sementara menjalani cargo operations, maka tinggal sedikit saja crew yang dapat melakukan pekerjaan lain. Dalam beberapa kasus kejadian, keadaan seperti ini agak membahayakan awak kapal (crewmembers) yang sedang menjalankan kegiatan yang memang berbahaya (hazardous activities). Namun dengan menyewa dan mempekerjakan penjaga pantai (shore-based personnel) untuk menjalankan tugas-tugas penjagaan, hal ini dapat mengurangi timbulnya masalah tersebut di atas. Akan tetapi kegiatan menyewa atau mempekerjakan seorang penjaga pantai tidak bisa dilakukan di 78 beberapa negara karena kegiatan menjaga keamanan umumnya dikenal sebagai pekerjaan para preman. Kapal penumpang dan kapal pesiar yang menurut tipenya memiliki jumlah awak yang besar dan staf keamanan tertentu yang biasanya tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi persoalan (suffer from te problem). Inilah antara lain kesulitan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan ISPS Code. Indonesia sebagai salah satu negara anggota IMO yang telah meratifikasi ISPS Code mempunyai kewajiban yang sama untuk mengimplementasikan ketentuanketentuannya. Pemerintah RI secara intensif sementara mempersiapkan beberapa kegiatan awal yang sifatnya mendasar sejak pertengahan tahun 2003. Mengadakan sosialisasi dengan masyarakat maritim, melakukan pemilihan fasilitas pelabuhan dalam usaha menerapkan ketentuan-ketentuan ISPS Code, menyiapkan organisasi keamanan (security organization atau recognized security organization), mendeklarasikan penerapan ISPS Code. Mengingat batas waktu yang tersedia sangat sempit sampai 1 Juli 2004, sementara kewajiban yang harus dipenuhi masih sangat banyak, maka sebaiknya Pemerintah RI perlu mempercepat langkah dan menentukan skala prioritas terutama dalam menentukan pemilihan pelabuhan yang disertifikasi.. Hal ini dikhawatirkan, waktu yang tersedia tidak akan mencukupi untuk mensertifikasi semua pelabuhan internasional yang jumlahnya sekitar 141 pelabuhan yang ada di Indonesia. Beberapa tugas pokok lainnya yang harus dikerjakan oleh Pemerintah adalah menentukan tingkat keamanan (security level) di setiap pelabuhan. Hal ini sangat diperhitungkan karena akan di[pergunakan sebagai referensi bagi kapal-kapal pelayaran internasional yang singgah di suatu pelabuhan. ISPS Code menetapkan adanya tiga tahap tingkat keamanan dari suatu pelabuhan. Tingkat keamanan pertama adalah tingkat keamanan yang mengharuskan untuk melakukan tindakan pencegahan keamanan secara minimal dan terus menerus. Kemudian tingkat keamanan kedua adalah tingkat keamanan yang memerlukan tambahan tindakan pencegahan keamanan.sebagai akibat meningkatnya suatu risiko insiden keamanan. Selanjutnya tingkat atau level keamanan ketiga adalah tingkat keamanan yang memerlukan tindakan pencegahan spesifik dalam kurun waktu terbatas ketika terjadi suatu insiden keamanan. Pemerintah harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek keamanan di setiap pelabuhan, antara lain derajat ancaman dari skala terendah sampai skala tertinggi dengan melihat potensi terjadinya suatu insiden keamanan atau serangan teroris di suatu pelabuhan. Penilaian yang dimaksud tidak hanya terhadap sisi darat dari pelabuhan, tetapi juga terhadap wilayah perairan pelabuhan, termasuk daerah berlabuh serta perairan pedalaman (Gatot Widakdo, ISPS Code Bukan Sekadar Secarik Kertas Sertifikasi. Akan tetapi harus diakui bahwa kondisi keamanan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia secara keseluruhan harus diakui sangat mengkhawatirkan dan sangat berpotensi terjadinya insiden keamanan terhadap kapal maupun fasilitas vital dari pelabuhan. Hal ini disebabkan karena masih sangat kurangnya jumlah dan kualitas peralatan keamanan, prosedur keamanan yang belum baku, beragamnya instansi keamanan yang bertugas di pelabuhan sehingga sering menyebabkan tumpang tindih kewenangan, dan setiap orang dapat dengan mudah memasuki kawasan pelabuhan bahkan sampai ke atas kapal tanpa terdeteksi. Ketika seorang wartawan dari Harian Kompas mencoba masuk ke sejumlah fasilitas pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Priok dengan mempergunakan mobil, ternyata hal ini tidak sulit dilakukan memasuki areal pelabuhan yang merupakan areal terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa pelabuhan Tanjung Priok sangat rawan terhadap ancaman 79 keamanan, termasuk dari serangan teroris. Sementara di wilayah perairan pelabuhan kelemahan yang paling mencolok adalah kurangnya jumlah kapal patroli pantai. Padahal pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan serta jaminan keamanan bagi kapal yang memasuki pelabuhan dengan segala konsekuensinya. Seharusnya Pemerintah memberi perhatian terhadap keselamatan kapal di sepanjang perairan pantai dan perairan pedalaman. Dengan demikian penting sekali segera menentukan pola pengamanan di perairan yang menuju pelabuhan. ISPS Code tidak menentukan sanksi apapun yang dapat dijatuhkan terhadap Pemerintah dari suatu negara dalam hubungan dengan penerapan atau implementasi ketentuan-ketentuan ISPS tersebut. Namun demikian jika terjadi insiden keamanan, maka sertifikat ISPS Code dari pelabuhan yang bersangkutan bisa dicabut. Apabila terjadi pencabutan sertifikat, maka akibatnya tidak akan ada kapal mancanegara yang diperkenankan datang ke pelabuhan itu. Demikian pula sebaliknya kapal dari negara pelabuhan tadi juga tidak diperkenankan mendatangi pelabuhan dari negara-negara lain. Pada skala yang lebih luas, insiden tersebut bisa membawa dampak pada terganggunya perekonomian negara. Kredibilitas pemerintah di mata dunia juga akan merosot. Padahal persentase kapal-kapal pelayaran internasional yang mengunjungi pelabuhan umum di Indonesia cukup signifikan meskipun setiap pelabuhan menunjukkan angka yang berbeda. Di pelabuhan Tanjung Priok misalnya persentase kedatangan kapal pelayaran internasional pada tahun 2002 sebesar 33,4 persen dari total kapal yang dilayani. Sementara di pelabuhan Tanjung Perak sebesar 13,1 persen, Tanjung Emas 18,6 persen dan pelabuhan Makassar 6,7 persen. Persentase terbesar terdapat di pelabuhan Belawan yang mencapai 55,4 persen. Dari angka-angka tersebut dapat dilihat potensi pelayaran internasional dalam mendukung arus perdagangan negara dan dampak kerugian yang terjadi terhadap kelancaran ekspor non migas apabila ISPS Code tidak terwujud sebagaimana mestinya. Pengamat pelayaran dari ITS (Institut Teknologi 10 November Surabaya), Saur Gurning menilai proses sertifikasi ISPS Code di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan dan kejanggalan. Kelemahan dan kejanggalan itu antara lain adalah : 1) Proses security plan yang dilakukan oleh RSO (Recognized Security Organization), di mana mereka yang melakukan perencanaan, tetapi mereka juga yang melakukan penilaian. Menurut Saur Gurning, pemerintah seharusnya lebih focus kepada pelabuhan khusus, terutama perusahaan yang memproduksi LNG dan gas yang posisinya berada di Kalimantan dan bagian Indonesia Timur lainnya. Ia juga mengemukakan, meskipun ISPS Code sudah diterapkan di Indonesia, ia tidak yakin struktur pengamanan di pelabuhan dapat berjalan sebagaimana diharapkan. Struktur pengamanan pelabuhan di Indonesia masih menggunakan pola lama. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya instansi yang terlibat dalam pengamanan pelabuhan seperti polisi, administrator pelabuhan, satpam dan aparat lainnya. Hadirnya ISPS Code seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai momentum awal untuk lebih memberdayakan kegiatan pengamanan di perairan serta dapat menghasilkan suatu bentuk pengamanan yang lebih kokoh di pelabuhan-pelabuhan. Untuk mencapai tujuan ini maka para pengelola pelabuhan harus mulai memikirkan bagaimana memperbaiki system keamanannya. Pengelola pelabuhan jangan hanya berorientasi mendapatkan sertifikat dan setelah itu perencanaan dan implementasi ISPS Code terabaikan. Sementara bagi Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan (Ditjen Perhubungan Laut) juga jangan bertindak seperti produsen sinetron yang hanya 80 berorientasi kejar tayang tanpa memperhatikan kualitas dan dampak yang bakal timbul dari kebijakan yang bakal dihasilkannya. Dengan lain perkataan pemberian sertifikat ISPS Code kepada pengusaha kaya dan pelabuhan jangan hanya sekedar sebuah sertifikat formal semata-mata tanpa disertai kualitas yang dipersyaratkan. BAB V. Pengaturan Harta Karun dalam Wilayah Perairan Indonesia V.1. Berbagai Istilah dan Pengertian Harta Karun Hilangnya arkeolog bawah air Santoso Pribadi setelah menentukan lokasi tengelamnya kapal VOC De Geldermalsen pada akhir Agustus 1986 menjadi salah satu penyebab perlunya dibahas masalah harta karun. Sebagaimana diketahui, sekitar 160 ribu barang pecah belah antik buatan Cina dan 225 batang emas lantakan ditemukan Michael Hatcher di dalam kapal De Geldermalsen milik VOC yang katanya tenggelam di perairan yang terletak antara Pulau Mapur dan Merapas kurang lebih 256 tahun silam. Harta karun itulah yang kemudian dijual di Balai Pelelangan Christie di Amsterdam pada bulam Mei tahun 1986., yang secara keseluruhan menghasilkan 15 juta US dollar, suatu jumlah yang mengagetkan yang mendekati sebagian APBD dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Hatcher sendiri mengemukakan harta karun itu ditemukan di perairan internasional. Te B.Oekhost, juru bicara Kementerian Luar Negeri Belanda ketika itu juga berpendapat De Geldermalsen tenggelam di perairan internasional. Apakah pendapat kedua orang itu memang benar dan dapat diperatnggungjawabkan ? Sebelum membahas masalah harta karun dari kapal VOC yang selain telah menelan korban jiwa, yakni hilangnya salah seorang arkeolog terbaik Indonesia, juga telah menimbulkan kerugian bagi negara, khususnya Provisnsi Riau, maka berikut ini diuraikan beberapa hal yang sangat penting untuk diketahui terkait dengan soal harta karun. Pertama, apa sebenarnya yang dimaksud dengan harta karun. Istilah-istilah apa yang dapat digunakan untuk menunjukkan pengertian dari harta karun itu sendiri. Sejauh mana suatu negara mempunyai hak terhadap harta karun tersebut. Sejauh mana pengaturan hukum mengenai harta karun di Indonesia. Sejauh mana suatu daerah (Provinsi atau Kabupaten/ Kotamadya) dalam lingkup Negara Kesatuan Republic Indonesia mempunyai hak atas harta karun yang terdapat di dalam wilayah kewenangannya. Istilah-istilah yang dapat diberikan pada harta karun ada bermacam-macam. Ada istilah yang dinamakan benda cagar budaya sebagaimana dapat ditemukan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1992, benda-benda purbakala dan bersejarah sebagaimana dapat ditemukan dalam KHL 1982, benda-benda berharga sebagaimana dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 dan lain-lain. Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutnya dengan istilah archaelogical and historical goods atau benda-benda arkeologis dan histories atau benda-benda purbakala dan bersejarah. KHL 1982 yang 81 hanya memuat satu pasal mengenai soal harta karun, yaitu pasal 149, tidak mengemukakan apa yang dimaksud dengan harta karun atau benda-benda purbakala dan bersejarah. Pasal ini hanya menyatakan semua benda-benda purbakala dan benda-benda yang memiliki nilai sejarah yang ditemukan di kawasan harus dipelihara atau digunakan untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dengan memperhatikan secara khusus hak-hak yang didahulukan dari negara asal, atau negara asal-kebudayaan, atau negara asal-kesejarahan dan asal-kepurbakalaan. Demikian ketentuan pasal 149 KHL 1982 hanya menyinggung soal harta karun yang terdapat di kawasan (Area), yaitu di dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar batas-batas yurisdiksi nasional suatu negara atau di luar batas-batas landas kontinen suatu negara pantai.Di samping itu sesuai asal tersebut, harta karun tersebut mempunyai nilai-nilai kepurbakalaan dan histories (archaelogical and historical objects) sehingga dengan demikian ketentuan pasal tersebut hanya memberikan pengertian yang sifatnya umum terhadap harta karun. Terlepas dari apa yang dinyatakan melalui pasal 149 KHL 1982, maka bagaimanapun pengertian harta karun dengan berbagai istilahnya harus dibatasi pengertiannya pada harta karun dari laut sehingga pada prinsipnya dapat dimaknai sebagai benda-benda yang berasal dari kapal-kapal yang tenggelam di dasar laut, yang untuk sebagian dianggap mempunyai nilai sejarah dan budaya. Demikian dalam konteks hukum laut pengertian harta karun ini diberikan pembatasan, yakni benda-benda yang dimaksud itu pada prinsipnya harus berasal dari kapal-kapal yang tenggelam di dasar laut sejak lama dan benda-benda tersebut untuk sebagian tentu saja memiliki nilai arkeologis, cultural dan histories dan untuk sebagian juga memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu adalah wajar apabila timbul berbagai macam istilah mengenai soal harta karun, seperti benda-benda arkeologis, benda-benda cagar budaya ataupun benda-benda berharga yang untuk sebagian mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Menurut Safri Burhanuddin, benda-benda berharga asal muatan kapal tenggelam yang berumur ratusan tahun bahkan ribuan tahun, memiliki nilai ekonomi dan budaya yang tinggi, populer dikenal sebagai harta karun dari laut. Harta karun ini merupakan salah satu potensi sumber daya non hayati laut yang belum dikelola secara maksimal, apabila dibandingkan dengan potensi bahan galian seperti minyak dan gas bumi dan mineral serta agregat bahan bangunan yang telah dikelola dengan baik. Benda berharga atau harta karun yan dimaksud dapat berbentuk material, seperti keramik, emas, perak atau batu permata maupun artefak lainnya, atau berbentun non material, seperti pengetahuan mengenai sejarah masa lampau baik kebudayaan maupun teknologi yang telah berkembang pada masa tersebut, misalnya teknologi pembuatan kapal, keramik dan peralatan sehari-hari ( lihat Safri Burhanuddin, Kewenangan Daerah Dalam Eksploitasi Sumber Daya Non Hayati, Loka Karya Regional Pulau Sulawesi, Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut, Tahun 2000, Hlm. 7). V.2. Status Hukum Harta Karun Selanjutnya karena harta karun yang dimaksud adalah harta karun yang terdapat di laut, terutama yang berasal dari kapal-kapal yang sudah tenggelam dan berada di dasar laut sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana status hukum dari harta karun itu. Masalah ini tentu saja dapat dirumuskan dengan menyatakan sejauh mana suatu negara memiliki hak atas harta karun tersebut. KHL 1982 hanya memuat satu-satunya ketentuan pasal, yaitu pasal 149, namun pasal ini 82 hanya menyebut soal harta karun yang terdapat di Area atau Kawasan atau dasar samudera dalam atau dasar laut internasional, yaitu dasar laut dan tanah di bawahnya di luar batas-batas landas kontinen dari negara pantai. Oleh karena itu permasalahan mengenai sejauh mana suatu negara pantai (coastal state) mempunyai hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi serta memanfaatkan harta karun sangat tergantung pada permasalahan di mana lokasi harta karun tersebut atau di mana lokasi penemuan kapal-kapal yang di dalamnya memuat harta karun tersebut. Dengan demikian permasalahan itu harus dikembalikan pada bagaimana status hukum dari wilayah perairan yang dasar lautnya menjadi titik lokasi ditemukannya harta karun tadi sekalipun KHL 1982 tidak mengatur hal ini secara tegas. Oleh karena itu apabila harta karun itu ditemukan atau setidak-tidaknya diketahui berada di dasar laut dari wilayah perairan yang tunduk di bawah kedaulatan negara, seperti perairan pedalaman, laut territorial dan perairan kepulauan, maka dapat dikatakan bahwa di bagian-bagian laut ini segala sesuatunya ermasuk harta karun dapat dianggap menjadi milik dari negara pantai yang bersangkutan. Kemudian apabila harta karun itu ditemukan atau diketahui berada di dasar laut dari zona tambahan (Contiguous Zone), maka negara pantai dianggap memiliki hak untuk mengatur segala kegiatan yang terkait dengan harta karun tersebut sesuai dengan fungsi dari zona tambahan sebagai jalur untuk melindungi wilayah negara pantai dari berbagai macam ancaman dan gangguan terhadap kepentingan negara pantai dalam bidang-bidang tertentu (seperti bea cukai, fiscal, kesehatan dan keimigrasian). Selanjutnya apabila harta karun atau kapal yang di dalamnya memuat harta karun berada di dasar laut dari landas kontinen atau dari zona ekonmi eksklusif, maka dapat dikemukakan bahwa negara pantai memang mempunyai hak yang sifatnya terbatas atas bagian-bagian laut ini. Hak negara pantai di bagian-bagian laut ini terbatas pada pemanfaatan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati. Akan tetapi karena harta karun tidak dapat dianggap sebagai sumber daya alam (natural resources), maka dapat dikatakan bahwa negara pantai yang bersangkutan sama sekali tidak memiliki hak apapun terhadap harta karun tersebut kendati ada juga kalangan tertentu yang berpendapat harta karun yang terdapat di dasar laut termasuk dasar laut dari zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dapat juga dikategorikan sebagai sumber daya alam non hayati (non living resources) sehingga memungkinkan negara pantai yang bersangkutan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasinya. V.3. Pengaturan Hukum Nasional Indonesia mengenai Pemanfaatan Harta Karun Masalah selanjutnya terkait dengan soal harta karun di laut adalah sejauh manakah pengaturan hukumnya dalam hukum nasional Indonesia ? Dapat dikemukakan secara umum pengaturan hukum mengenai harta karun yang terdapat di dasar laut dari wilayah perairan Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang BendaBenda Cagar Budaya yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan benda-benda cagar budaya. Di samping itu dalam kaitan dengan Otonomi Daerah, terutama soal kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/ Kotamadya) dalam mengelola harta karun yang terdapat di dasar laut dari wilayah perairan Indonesia, maka perlu dikemukakan soal pengaturannya dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 (sebelumnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999) serta Peraturan 83 Pemerintah No.25 Tahun 2000 mengenai Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Berdasarkan PP No. 25 Tahun 2000, maka kewenangan Pemerintah (Pemerintah Pusat) di bidang kelautan adalah : 1) Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di wilayah di luar perairan 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya serta ZEE dan landas kontinen. 2) Penetapan kebijakan dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam di luar perairan 12 mil. 3) Penetapan kebijakan dan pengaturan tata batas maritime yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut dan batas ketentuan hukum laut internasional. 4) Penetapan standar pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. 5) Penegakan hukum di wilayah laut di luar perairan 12 mil dan di dalam perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik serta hubungan dengan dunia internasional. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah (pasal 18), maka Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber daya kelautannya 12 mil dari garis pantai pada wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi. Kewenangan tersebut antara lain adalah : 1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2) Pengaturan kepentingan administrative. 3) Pengaturan tata ruang. 4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya. 5) Berpartisipasi dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Akhirnya Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota di bidang kelautan adalah terhadap sepertiga dari wilayah kewenangan dari provinsi yang bersangkutan, di mana 1) Daerah Kabupaten dan Kota mempunyai kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2) Pengaturan kepentingan administrative. 3) Pengaturan tata ruang. 4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah. 5) Berpartisipasi dalam menjaga keamanan serta kedaulatan negara. Undang-Undang ini dibuat dengan maksud untuk melindungi serta melestarikan bendabenda cagar budaya yang ditemukan dan dengan demikian benda-benda seperti ini tidak bersifat komersial ataupun tidak boleh dikomersialkan. Akan tetapi berhubung karena sebagian besar benda cagar budaya adalah juga merupakan benda berharga yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka tentu saja maksud dan tujuan dari dilahirkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 dapat mengalami kendala atau tidak dapat tercapai secara optimal. Justru karena benda-benda cagar budaya yang berasal dari kapal-kapal tenggelam di dasar laut sebagian besar memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka kemungkinan besar dapat terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan terhadap maksud dan tujuan diundangkannya Undang-Undang ini. Pihak-pihak tertentu dapat saja melakukan manipulasi atau penyelewengan terhadap usaha-usaha perlindungan dan pelestarian benda-benda cagar budaya demi mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara melakukan pengangkatan benda-benda berharga secara illegal. Dalam usaha mencegah atau menghindari terjadinya pengangkatan benda berharga secara melawan hukum, maka Presiden RI dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 43 Tahun 1989 yang kemudian telah diganti dengan Keppres No. 107 Tahun 2000 yang mengatur tentang Pembentukan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda-Benda Berharga asal muatan kapal yang tenggelam. Tugas utama daripada Panitia Nasional ini adalah melakukan 84 koordinasi, perizinan dan pengawasan atas penyelenggaraan pengangkatan dan pemanfaatan benda-benda berharga yang berada di dasar laut dalam wilayah perairan Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (sekarang UndangUndang No. 32 Tahun 2004), maka penyusunan atau perumusan Keppres No. 107 Tahun 2000 tentang Panitia Nasional dijiwai pula oleh semangat otonomi daerah. Semangat otonomi daerah yang menjiwai Pembentukan Panitia Nasional ini juga melandasi penerbitan Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan No. 39 Tahun 2000 yang berisi Petunjuk Teknis Perizinan Survei dan Perizinan Pengangkatan Benda Berharga asal muatan kapal yang tenggelam. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan ini secara tegas menyatakan peranan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan benda-benda berharga tersebut, sebagaimana dapat dilihat melalui Pasal 3 ayat 2 dari Kepmen 39/ 2000 yang menjelaskan Tugas Pemerintah Daerah dalam hubugan perizinan itu adalah sebagai berikut : 1) menerima dan menilai kelayakan permohonan izin perusahaan dan selanjutnya meneruskannya kepada Panitia Nasional untuk mendapatkan rekomendasi, sepanjang menyangkut benda-benda berharga yang berada di dalam wilayah laut yang merupakan wilayah kewenangan pengelolaan dari daerah yang bersangkutan ; 2) Memproses dan menerbitkan surat izin survei dan izin pengangkatan benda berharga yang terdapat di dalam wilayah laut kewenangan daerah berdasarkan rekomendasi dari Panitia Nasional ; 3) Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan yang melaksanakan kegiatan survei dan pengangkatan benda berharga ; 4) Menyelenggarakan koordinasi antarinstansi teknis di daerah. Sebagaimana diketahui harta karun laut adalah merupakan salah satu kekayaan laut yang mempunyai potensi besar, dapat memberikan keuntungan ekonomi yang dapat menunjang pembangunan nasional. Akan tetapi pembagian hasil dari kegiatan pemanfaatan benda berharga ini belum diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundangan. Diharapkan penentuan bagi hasil antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dapat segera ditetapkan oleh DPR melalui usulan dari Departemen Keuangan. Keputusan bagi hasil antara Pusat dan Daerah diharapkan dapat segera diselesaikan secara tuntas sebab hal ini menyangkut kinerja Pemerintah Daerah dalam menghadapi investor yang mempunyai minat dalam bidang pengangkatan dan pemanfaatan benda berharga dalam rangka berinvestasi di daerah. Di samping itu keterbatasan dana, teknologi dan sumber daya manusia yang professional dan juga terutama hambatan administrasi dan birokrasi merupakan masalah-masalah dalam pengelolaan harta karun sehingga Pemerintah Indonesia mengundang para investor baik domestic maupun asing Untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi harta karun dari laut dengan menerapkan pendekatan bagi hasil yang saling menguntungkan. 85 KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapatlah kiranya ditarik berbagai butir kesimpulan berikut ini : 1)Faktor keadaan lingkungan Sulawesi Selatan yang dikelilingi wilayah laut yang cukup luas, kemudian budaya bahari masyarakatnya dan sejarah kehidupan mereka yang secara turun menurun umumnya bergantung pada kegiatan di laut, semuanya ini melatarbelakangi serta berkontribusi terhadap penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP).Universitas Hasanuddin yang merupakan orientasi pengembangan yang bersifat strategis yang sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu (termasuk di dalamnya ilmu-ilmu hukum laut). Penetapan dan pengembangan ilmu-ilmu hukum laut sebagai bagian dari ilmu-ilmu kelautan selain pernah mendapat dukungan strategis dari Presiden Soeharto pada tahun 1981, juga tetap memiliki aktualitas serta relevansi jika dikaitkan dengan berbagai fenomena baik yang berlngsung secara global, regional maupun lokal. Sesuai dengan visi PIP Unhas, yakni sebagai pusat pengembangan budaya bahari, maka misinya antara lain adalah mengembangkan iptek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan. Dalam hubungan ini Fakultas Hukum Unhas seharusnya dapat mengembangkan dan memanfaatkan ilmu-ilmu hukum laut menyangkut pengelolaan sumber daya kelautan. 2)Pemanfaatan dan pengembangan ilmu-ilmu hukum laut sebagai salah satu penjabaran dari visi PIP Unhas tentu saja mensyaratkan adanya pemahaman dan penguasaan yang baik atas berbagai kebijakan, konsep, prinsip maupun peraturan-peraturan hukum laut Indonesia. Dalam konteksi ini berbagai azas dan ketentuan hukum laut Indonesia yang dalam banyak hal tidak dapat dipisahkan dari hukum laut internasional telah dipaparkan secara terperinci, mulai dari pembahasan tentang negara kepulauan (Archipelagic State) yang menjadi pilar bagi NKRI dan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka penerapan garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) adalah merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak dalam mewujudkan NKRI sebagai suatu negara kepulauan. 3) Melalui penerapan garis pangkal kepulauan yang intinya adalah garis pangkal lurus kepulauan yang dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal normal (normal baselines), garis pangkal lurus (straight baselines) dan garis penutup (pada pelabuhan, sungai dan teluk yang lebar mulutnya maksimal 24 mil laut asalkan terletak pada pulaupulau terluar), maka dapat ditetapkan berbagai macam jalur laut baik yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi penuh (laut teritorial dan perairan kepulauan) maupun yang berada di bawah yurisdiksi di bidang-bidang tertentu (jalur tambahan), serta yang berada di bawah hak-hak berdaulat (ZEE dan landas kontinen). Semuanya ini (bahkan jalur laut bebas) dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik oleh Indonesia sebagai negara pantai dan sekaligus sebagai negara kepulauan maupun oleh negara-negara lain untuk berbagai keperluan serta kepentingan sesuai dengan status hukum dari masingmasing jalur laut tersebut. 4)Terkait dengan penulisan buku dengan judul Prinsip-Prinsip Hukum Laut Indonesia, maka Pemanfaatan dan pengembangan jalur-jalur laut Indonesia terutama laut teritorial 86 serta perairan kepulauan yang merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan negara kiranya untuk sementara dan untuk kepentingan penulisan bersama inidapat didekati dari dimensi kepentingan navigasi untuk kapal asing dalam segala jenisnya. Berbagai prinsip harus diperhatikan oleh kapal asing dalam menjalankan kepentingannya dari segi navigasi sebagaimana ditentukan dalam KHL 1982, Undang-Undang No.6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2003 mengenai Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan berbagai peraturan perundangan lainnya karena kepentingan pelayarannya dapat berjalan baik berdasarkan prinsip lintas damai (innocent passage), prinsip lintas transit (transit passage) dan prinsip lintas aluralur laut kepulauan (archipelagic sealanes passage) yang selain memiliki perbedaan, juga mengandung banyak persamaan. Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2003 merupakan peraturan pelaksanaan dari prinsip hukum lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan Indonesia menetapkan berbagai macam persyaratan yang harus diperhatikan dan ditaati oleh kapal asing ketika melewati atau melintasi wilayah perairan Indonesia..Seluruh persyaratan itu menitikberatkan dan menekankan hak dan tanggungjawab dari kapal asing dan atau pesawat udara asing (termasuk negara bendera atau negara registrasi) untuk menghormati kedaulatan (souvereignty) serta keutuhan teritorial (territorial integrity) NKRI sebagai negara kepulauan. Dari sisi lain Indonesia terikat untuk mengakui dan menghormati hak dan kebebasan kapal asing dan atau pesawat udara asing untuk melintasi wilayah perairan serta ruang udara di atasnya dengan mengikuti alur-alur laut kepulauan (ALKI I, II, III dengan berbagai variasinya) ataupun alur-alur laut di luarnya sesuai dengan tujuan kapal asing dalam melakukan lintas di wilayah perairan Indonesia. 5)Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002 yang disusun berdasarkan persetujuan dari IMO (International Maritime Organization), maka telah ditetapkan adanya tiga macam ALKI dengan beberapa variasinya (ALKI I, ALKI IA, ALKI II, ALKI IIIA, IIIB, IIIC, IIID, IIIE), yang pintu masuk (entry point) dan pintu keluar (exit point) masing-masing bisa terletak di bagian Utara atau Selatan dari wilayah perairan Indonesia tergantung pada kapal asing dan atau pesawat udara asing akan melintas entah dari salah satu pintu masuk di bagian Utara ataukah di bagian Selatan. Ketika kapal asing berlayar dari laut Cina Selatan atau laut Natuna, melintasi Selat Karimata, laut Jawa, Selat Sunda dan terus ke Samudera Hindia (ALKI I), demikian pula sebaliknya tanpa melakukan perhentian di suatu pelabuhan, maka pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas alur-alur laut kepulauan. Ketika kapal yang bersangkutan berhenti dan singgah di suatu pelabuhan ataupun meninggalkan pelabuhan dengan atau tanpa mengikuti ALKI, maka pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas damai. Ketika kapal asing itu melintasi Selat Malaka dan Singapura menuju ke Samudera Hindia, maka pelayarannya dinamakan lintas transit. Namun pelayaran kapal asing baik berdasarkan prinsip lintas damai maupun lintas alur laut kepulauan dan lintas transit Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits used for international navigation) tetap harus mematuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. ALKI dapat dianggap sebagai sebuah lorong atau koridor bagi kapal untuk melakukan penyimpangan (deviation) lebih dari 25 mil laut pada sisi kiri dan kanan dari alur-alur laut yang digunakan, tidak boleh mendekati pantai pulau terdekat yang berada di dalam ALKI maupun di luarnya. . 6)Kapal yang melakukan lintas pelayaran melalui alur-alur laut baik alur-alur laut 87 kepulauan maupun di luarnya harus senantiasa berhati-hati dan menerapkan syarat-syarat keselamatan pelayaran internasional yang mencakup berbagai faktor, kapal (prevention of collution and ship’s routeing), standarisasi penempatan awak kapal (crewing standards), penetapan alat bantu navigasi (aids to navigation) sebagaimana diatur dalam SOLAS Convention 1978 dan konvensi-konvensi internasional lainnya serta ISPS Code. Semuanya ini merupakan faktor-faktor, kriteria-kriteria dan persyaratan-persyaratan yang harus diterapkan oleh setiap negara bendera dalam menjamin keselamatan pelayaran (safety of navigation). Indonesia yang telah meratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran seharusnya menerapkan ketentuan-ketentuannya dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian-perjanjian tersebut, seperti memeriksa secara teratur kelayakan kapal baik kapal berbendera Indonesia maupun berbendera asing, memverifikasi dokumen-dokumen perkapalan dengan kondisi kapal, melakukan langkah-langkah yang dapat menjamin standarisasi penempatan awak kapal, mengambil tindakan-tindakan bagi kapal berbendera Indonesia maupun berbendera asing untuk mencegah terjadinya tubrukan kapal, dan seharusnya menyediakan dan memelihara alat-alat bantu navigasi yang dapat dilakukan melalui berbagai bentuk kerjasama antara Indonesia sebagai negara pantai dengan negara pemakai. 7) ISPS Code yang menyempurnakan SOLAS Convention adalah upaya perlindungan keamanan yang ditujukan terhadap kapal barang atau kapal kargo dan kapal penumpang berkecepatan tinggi dengan ukuran 500 gros ton atau lebih. Di samping itu, ISPS Code ini juga ditujukan terhadap instalasi pengeboran lepas pantai yang memanfaatkan fasilitas pelabuhan maupun fasilitas pelabuhan yang melayani kapal-kapal yang melakukan pelayaran internasional (on international voyages). Fasilitas pelabuhan ini meliputi sisi daratnya, dermaga, tempat berlabuh dan perairan di sekitarnya serta perairan pedalaman yang mengarah ke pelabuhan seharusnya menjadi sasaran perlindungan bagi keamanannya. ISPS Code ini bertujuan agar Pemerintah (pemerintah pusat) dan baik yang berskala nasional maupun internasional memiliki peran dan tanggungjawab dalam bidang keamanan maritim, mendeteksi adanya ancaman keamanan dan mengambil langkah-langkah pengamanan, mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi terkait masalah keamanan serta menentukan cara penilaian keamanan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka setiap kapal dan fasilitas pelabuhan harus memenuhi persyaratanpersyaratan yang telah ditentukan baik menyangkut rencana penagamanan kapal dan pelabuhan, petugas keamanan di atas kapal dan di pelabuhan, petugas keamanan di perusahaan industri perkapalan dan pelabuhan, serta alat-alat perlengkapan keamanan di atas kapal maupun di pelabuhan. Selain daripada itu, maka demi keamanan kapal dan pelabuhan, harus dimonitor akses jalan masuk menuju pelabuhan, mengawasi kegiatan orang dan bongkar muat barang serta menjamin efektivitas komunikasi bagi keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. 8) Kendati KHL 1982 tidak menegaskan mengenai status hukum dari harta karun (terkecuali harta karun yang berada di area dalam arti di luar batas-batas yurisdiksi nasional atau di luar batas-batas landas kontinen Indonesia), namun sangat jelas bahwa statusnya ditentukan oleh status hukum dari bagian perairan yang menjadi lokasi ditemukannya harta karun tersebut. 88 DAFTAR PUSTAKA Barbara Kwiatkowska, The 200 Mile Exclusive Economic Zone In The New Law Of The Sea, Martinus Nijhoff Publishers, London, 1989 Baharuddin Lopa, Beberapa Aspek Hukum Laut dan Perikanan Termasuk Koperasi Perikanan di Eropa, Timur Tengah dan Indonesia, Intisari, Ujungpandang. Clive R. Symmons, The Maritime Zones Of Islands In International Law, Martinus Nijhoff, 1979. Eko Maulana Ali Suroso, Penentuan Garis Pangkal Kepulauan di Indonesia, Agustus 1996 Hasjim Djalal, Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990, Centre For Strategic and International Studies, Jakarta, 1997 Hasjim Djalal, Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam Kurun Waktu 10 Tahun Setelah Keberlakuannya dan Issue-Issue Baru Ocean Governance, Yogyakarta, 13 – 15 desember 2004 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju/ 1990/ Bandung Komar Kantaatmadja, Gantirugi Internasional Pencemaran Minyak Di Laut, Penerbit Alumni/ 1981/ Bandung L.C. Green, International Law Through The Cases, Fourth Edition, 1978, The Varswell Company Limited, Toronto, Canada Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Binacipta, Bandung, 1978. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1978 89 Nikos Papadakis, The International Legal Regime of Artificial Islands, Sijthoff Publications on Ocean Development, Leyden, 1977. R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of The Sea, Manchester University Press, 1983. Rene – Jean Dupuy, The Law of The Sea, Oceana Publications Inc. – Dobbs Ferry, N.Y., A.W. Sijthoff – Leiden, 1974. Dokumen, Majalah, Harian, Perundang-Undangan Seminar Tentang Aspek-Aspek Internasional Pelaksanaan Wawasan Nusantara dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Kertas Kerja yang Dipersiapkan oleh Forum konsultasi Proyek Penelitian Aspek-Aspek Internasional Pelaksanaan Wawasan Nusantara dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Direktorat Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri) Lokakarya Regional Pulau Sulawesi Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut di Makassar, 12 – 14 Maret 2001 Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok UniversitasHasanuddin, Makassar, 31 Mei 1999 Penyuluhan Hukum No. 1. 13. Oktober 1998 mengenai ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), Dinas Pembinaan Hukum TNI AL (DISKUMAL) Mabes TNI AL Cilangkap – Jakarta) Majalah Tempo, Nomor 29 Tahun XVI – 13 September 1986 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982 Undang-Undang Republik Indonesia mengenai Wilayah Perairan Indonesia (UndangUndang No. 6 Tahun 1996, Lembaran Negara RI Nomor Tahun 1996) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 1211) 90 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Dewan Kelautan Indonesia LAMPIRAN I. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara kepulauan dengan Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia telah menetapkan wilayah perairan Negara Republik Indonesia; b. bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi hukum negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut); c. bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Kon-vensi tersebut pada huruf b; d. bahwa sehubungan dengan itu, serta untuk memantapkan landasan hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia, kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, maka perlu mencabut Undangundang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan mengganti dengan Undang-undang yang baru; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERAIRAN INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 91 1. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. 2. Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah di-kelilingi oleh air dan yang berada di atas permukaan air pada waktu air pasang. 3. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. 4. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya. 5. Garis air rendah adalah garis air yang bersifat tetap di suatu tempat tertentu yang menggambarkan kedudukan permukaan air laut pada surut yang terendah. 6. Elevasi surut adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. 7. Teluk adalah suatu lekukan jelas yang penetrasinya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung per-airan tertutup yang lebih dari sekedar suatu lengkungan pantai semata-mata, tetapi suatu lekukan tidak merupakan suatu teluk kecuali apabila luasnya adalah seluas atau lebih luas daripada luas setengah lingkaran yang garis tengahnya ditarik melintasi mulut lekukan tersebut. 8. Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing di atas alur laut tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang melalui atau di atas perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya. 9. Konvensi adalah United Nations Convention on the Law of the Sea Tahun 1982, sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Pasal 2 (1) Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan. (2) Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pu-lau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. BAB II WILAYAH PERAIRAN INDONESIA Pasal 3 (1) Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. (2) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (3) Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. (4) Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Pasal 4 Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 5 (1) Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan. (2) Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pang-kal biasa atau garis pangkal lurus. (3) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. 92 (4) Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut. (5) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang se-cara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat. (6) Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah sepanjang pantai. (7) Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai. Pasal 6 (1) Garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat daftar titik-titik koordinat geografis yang secara jelas memerinci datum geodetik. (2) Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan wilayah perairan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (3) Pemerintah Indonesia mengumumkan sebagaimana mestinya peta dengan skala atau skala-skala yang memadai atau daftar titik-titik koordinat geografis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta mendepositkan salinan daftar titik-titik koordinat geografis tersebut pada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 7 (1) Di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis -garis penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan. (2) Perairan pedalaman terdiri atas : a. laut pedalaman; dan b. perairan darat. (3) Laut pedalaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah. (4) Perairan darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai. Pasal 8 Batas luar laut teritorial Indonesia diukur dari garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 9 (1) Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 4, Pemerintah Indonesia menghormati persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain yang menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan kepulauannya. (2) Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) termasuk sifat, ruang lingkup, dan daerah berlakunya hak dan kegiatan tersebut, atas permintaan dari salah satu negara yang bersangkutan, harus diatur dengan per-setujuan bilateral. (3) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh dialihkan atau dibagi kepada negara ketiga atau warga negaranya. (4) Kabel telekomunikasi bawah laut yang telah dipasang oleh negara atau badan hukum asing yang melintasi perairan Indonesia tanpa memasuki daratan tetap dihormati. (5) Pemerintah Indonesia mengizinkan pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) setelah diterima-nya pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai letak dan maksud untuk memperbaiki dan mengganti kabel-kabel tersebut. Pasal 10 (1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik ter-dekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. 93 (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut. BAB III HAK LINTAS BAGI KAPAL-KAPAL ASING Bagian Pertama Hak Lintas Damai Pasal 11 (1) Kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tak ber-pantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia. (2) Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial dan perairan ke-pulauan Indonesia untuk keperluan: a. melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pela-buhan di luar perairan pedalaman; atau b. berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut. (3) Lintas damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terus-menerus, langsung serta secepat mungkin, mencakup berhenti atau buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang normal, atau perlu dilakukan karena keadaan memaksa, mengalami kesulitan, memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan. Pasal 12 (1) Lintas dianggap damai apabila tidak merugikan kedamaian, keter-tiban, atau keamanan Indonesia, dan dilakukan sesuai dengan ke-tentuan Konvensi dan hukum internasional lainnya. (2) Lintas oleh kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban, atau keamanan Indonesia, apabila kapal tersebut se-waktu berada di laut teritorial dan atau di perairan kepulauan mela-kukan salah satu kegiatan yang dilarang oleh Konvensi dan atau hukum internasional lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lintas damai sebagaimana dimak-sud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 13 (1) Pemerintah Indonesia dapat menangguhkan sementara lintas damai segala jenis kapal asing dalam daerah tertentu di laut teritorial atau perairan kepulauan, apabila penangguhan demikian sangat diperlu-kan untuk perlindungan keamanannya, termasuk keperluan latihan senjata. (2) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku hanya setelah dilakukan pengumuman sesuai dengan ketentuan yang ber-laku. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penangguhan sementara sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 14 (1) Apabila diperlukan dengan memperhatikan keselamatan navigasi, Pemerintah Indonesia menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial dan perairan kepulauan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial dan perairan kepulauan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerin-tah. Pasal 15 Dalam melaksanakan hak lintas damai di laut teritorial dan perairan kepulauan, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan bendera kebangsaan. Pasal 16 Kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun, apabila me-laksanakan hak lintas damai harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian inter-nasional. Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dagang, kapal perang dan kapal pemerintah asing yang dioperasikan untuk tujuan niaga dan bukan niaga dalam melaksanakan hak lintas damai melalui perairan Indonesia, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Pasal 18 (1) Lintas alur laut kepulauan dalam alur-alur laut yang khusus ditetapkan adalah pelaksanaan hak 94 pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi dengan cara normal hanya untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, dan secepat mungkin serta tidak terhalang. (2) Segala jenis kapal dan pesawat udara negara asing, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, antara satu bagian dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara negara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 (1) Pemerintah Indonesia menentukan alur laut, termasuk rute pener-bangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan oleh kapal dan pesawat udara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan juga dapat menetapkan skema pemisah lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 untuk keperluan lintas kapal yang aman melalui alur laut. (2) Alur laut dan rute penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersam-bungan mulai dari tempat masuk rute hingga tempat ke luar melalui perairan kepulauan dan laut teritorial yang berhimpitan dengannya. (3) Apabila diperlukan, setelah diadakan pengumuman sebagaimana mestinya, alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan sebelumnya dapat diganti dengan alur laut dan skema pemisah lalu lintas lainnya. (4) Dalam menentukan atau mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas, Pemerintah Indonesia harus mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang untuk mencapai kesepa-katan bersama. (5) Pemerintah menentukan sumbu-sumbu alur laut dan skema pemisah lalu lintas dan menetapkannya pada peta-peta yang diumumkan. (6) Kapal asing yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus me-matuhi alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peratur-an Pemerintah. Bagian Ketiga Hak Lintas Transit Pasal 20 (1) Semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan pelayaran dan penerbangan semata- mata untuk tujuan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial Indonesia di selat antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya. (2) Hak lintas transit dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum internasional lainnya, dan atau peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 21 (1) Apabila diperlukan dengan memperhatikan keselamatan navigasi, Pemerintah Indonesia dapat menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas untuk pelayaran di lintas transit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan alur laut dan skema pemisah lalu lintas transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Hak Akses dan Komunikasi Pasal 22 (1) Apabila suatu bagian dari perairan kepulauan Indonesia terletak di antara dua bagian wilayah suatu negara tetangga yang langsung berdampingan, Indonesia menghormati hak-hak yang ada dan kepentingankepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradi-sional oleh negara yang bersangkutan di perairan tersebut melalui suatu perjanjian bilateral. (2) Pemerintah Indonesia menghormati pemasangan kabel laut dan mengizinkan pemeliharaan dan penggantian kabel yang sudah ada dengan pemberitahuan terlebih dahulu sebagaimana mestinya. BAB IV PEMANFAATAN, PENGELOLAAN, PERLINDUNGAN, DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN PERAIRAN INDONESIA 95 Pasal 23 (1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkung-an perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional. (2) Administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian ling-kungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia seba-gaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. BAB V PENEGAKAN KEDAULATAN DAN HUKUM DI PERAIRAN INDONESIA Pasal 24 (1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelang-garannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang ber-laku. (2) Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (3) Apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 (1) Selama Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan, maka pada Undang-undang ini dilam-pirkan peta ilustratif dengan skala atau skala-skala yang menggambarkan wilayah perairan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis pangkal kepulauan Indonesia. (2) Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia tetap berlaku sepanjang tidak berten-tangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undangundang ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Dengan berlakunya Undang-udang ini, Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1996 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1996 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 73 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 96 NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA UMUM Berdasarkan fakta sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, secara geografis adalah negara kepulauan. Oleh sebab itu, pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan suatu pernyataan (deklarasi) menge-nai Wilayah Perairan Indonesia yang berbunyi sebagai berikut : "Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan kese-lamatan Negara Indonesia. Penentuan batas landas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas-lekasnya dengan Undang-undang". Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 tersebut, mengandung makna bahwa Negara Indonesia adalah satu kesatuan yang meliputi tanah (daratan) dan air (lautan) secara tidak terpisahkan sebagai "Negara Kepulauan". Negara kepulauan tersebut, kemudian diberikan landasan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi tersebut mengakibatkan suatu perubahan mendasar dalam struktur kewilayahan Negara Republik Indonesia karena laut tidak lagi dianggap sebagai pemisah pulau-pulau, tetapi pemersatu yang menjadikan kese-luruhannya suatu kesatuan yang utuh. Deklarasi yang diumumkan pada saat perjuangan bangsa Indonesia mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia juga banyak menghadapi kesulitan, antara lain karena perairan Indonesia di sekitar Irian Barat masih dianggap sebagai perairan internasional yang bebas dimanfaatkan oleh siapa saja. Selain alasan terhadap ancaman pertahanan-keamanan, tindakan Pemerintah ini didasarkan pula bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta ruang udara di atasnya diperuntukkan bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Kebijaksanaan tersebut juga ingin memberikan bentuk nyata kepada kesatuan dalam keanekaragaman (Bhinneka Tunggal Ika) yang menjadi semboyan bangsa Indonesia. Baik Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 maupun Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dilandasi oleh Wawasan Nusantara, yang kemudian sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1983 ditetapkan sebagai wawasan dalam mencapai pembangunan nasional yang mencakup perwujudan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan. Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desemb er 1957 Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya telah menghasilkan pengaku-an masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di perairan Indonesia. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing. Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini Indonesia tidak ber-maksud mengurangi hak- hak dunia pelayaran yang sah dan tercapai suatu keseim-bangan antara keinginan Indonesia untuk mengamankan keutuhan wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di satu pihak, dan kepentingan dunia pelayaran internasional di pihak lain, asas negara kepulauan ini 97 akhirnya diterima dunia internasional. Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diakui oleh dunia internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Konvensi ter-sebut mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi negara kepulauan sebagai-mana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.508 pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, alasan yang mendorong bangsa Indonesia untuk mencetuskan asas negara kepulauan kemudian mengundangkannya, sampai saat ini masih tetap relevan. Akan tetapi dengan berkembangnya berbagai kepentingan dan kegiatan di perairan Indonesia, maka kepentingan nasional dan internasional di perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan dikembangkan secara terarah dan bijaksana sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Selain kepentingan pertahanan-keamanan, persatuan- kesatuan, dan ekonomi, juga perlindungan lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan pelestariannya serta kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan di perairan Indonesia, dirasakan semakin mendesak. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia perlu dicabut dan diganti dengan undang-undang yang baru, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Ketentuan ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia menganut asas negara kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi tanggal 13 Desember 1957, dan merupakan penerapan dari Pasal 46 huruf a Konvensi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Sebagai negara kepulauan, untuk menentukan garis pangkal kepulauan Indonesia pada prinsipnya dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan. Ayat (2) Tidak dapat dipergunakannya garis pangkal lurus kepulauan disebabkan kondisi geografis atau keadaan pantai dan pulau sedemikian rupa, maka di-pergunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Dapat tidaknya garis pangkal lurus kepulauan ditarik dari dan ke titik ter-luar pada garis air rendah dari suatu elevasi surut tergantung dari dua syarat, yaitu: a. bahwa elevasi surut tersebut terletak pada suatu jarak dari suatu pulau terdekat tidak lebih dari 12 (dua belas) mil laut; atau b. pada elevasi surut tersebut terdapat bangunan tetap, misalnya mercu suar. 98 Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 13 dan Pasal 47 ayat (4) Konvensi. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) - Yang dimaksud dengan "peta dengan skala atau skala-skala yang memadai" adalah peta laut (hidrografi) dengan skala besar yang dipilih yang memadai penggunaannya bagi penyelenggaraan penegakan kedaulatan dan hukum. - Yang dimaksud dengan "titik-titik koordinat geografis" adalah titik-titik yang ditetapkan dengan lintang dan bujur geografis. - Yang dimaksud dengan "datum geodetik" adalah referensi matematik yang dipergunakan sebagai dasar pengukuran titik-titik pangkal dari garis -garis pangkal wilayah negara kepulauan, yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Ayat (2) Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan wilayah perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ayat ini, merupakan peta dengan skala besar yang dibuat oleh lembaga Pemerintah yang berwenang di bidang pemetaan hidro-oseanografi. Pembuatan peta di-lakukan secara berlanjut sesuai dengan perubahan, baik perubahan kondisi geografis yang disebabkan oleh peristiwa alam maupun perubahan berdasar-kan Konvensi, perjanjian, atau persetujuan dengan negara tetangga. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) - Yang dimaksud dengan "kuala" adalah suatu perairan yang berada di mu lut sungai, yang untuk kepentingan tertentu tunduk pada rezim ter-tentu yang biasanya dipergunakan untuk wilayah kehidupan ikan. - Yang dimaksud dengan "anak laut" adalah bagian dari laut yang terletak dalam suatu lekukan yang jelas yang mengandung perairan yang tertutup dan yang secara historis merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Ayat (2) Dalam keadaan tertentu perairan pedalaman dapat terdiri dari laut pedalaman dan perairan darat. Hal ini terjadi apabila ditarik garis penutup yang perairannya tidak berjatuhan sama dengan garis air rendah. Misalnya di teluk yang perairannya cukup luas sehingga ada bagian laut terletak pada sisi darat garis penutup. Khusus untuk mulut sungai agak sukar untuk memisahkan bagian air yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari bagian air yang terletak pada garis lurus yang menutup mulut sungai, sehingga seluruh perairan yang terletak di sisi darat dari garis penutup harus dianggap sebagai perairan darat. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Meskipun Indonesia mempunyai kedaulatan penuh di perairan kepulauan-nya, tetapi Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati perjanjian-perjanjian atau persetujuan-persetujuan yang dibuat dengan negara- negara lain tentang penggunaan secara sah bagian-bagian dari perairan kepulau-annya untuk pelaksanaan hak perikanan tradisional, hak akses dan komu -nikasi negara tetangga yang langsung berdampingan, pemasangan, pemeli-haraan, dan penggantian kabel-kabel di dasar laut oleh negara-negara lain. Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) 99 Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan "pemberitahuan sebagaimana mestinya" adalah pemberitahuan resmi secara tertulis yang dilakukan oleh pemilik kabel melalui saluran diplomatik kepada Pemerintah Indonesia disertai penjelasan antara lain mengenai letak, perkiraan waktu penyelesaian, peralatan yang digunakan, jenis perbaikan yang dilakukan, dan maksud perbaikan atau penggantian kabel-kabel, sebelum dilakukan kegiatan tersebut. Pasal 10 Di laut teritorial tertentu, Indonesia tidak dapat menetapkan laut teritorialnya secara penuh sampai dengan jarak 12 (dua belas) mil laut dari garis pangkal lurus kepulauan karena laut teritorialnya tumpang tindih dengan negara- negara tetangga yang letak pantai-pantainya berhadapan atau berdampingan. Untuk menetapkan garis batas laut teritorial demikian maka akan ditarik garis tengah yang diukur sama jauh dari titik-titik pangkal pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing diukur. Apabila terdapat hal-hal khusus seperti adanya hak-hak historis atau adanya kondisi geografis khusus seperti bentuk pantai atau adanya pulau, maka garis batas laut teritorial tersebut akan ditetapkan melalui perundingan untuk mencapai suatu kesepakatan. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "menikmati hak lintas damai" adalah hak yang diperuntukkan bagi setiap kapal asing untuk melaksanakan pelayaran pada lintas damai sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum internasional lain-nya, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) - Yang dimaksud dengan "lintas" adalah semua pelayaran dari : a. laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia melalui laut teritorial atau perairan kepulauan Indonesia menuju ke laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tanpa memasuki perairan pedalaman; atau b. laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut. Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 18 ayat (1) Konvensi. - Yang dimaksud dengan "navigasi" adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik lain dengan lancar dan dapat menghindari bahaya dan atau rintangan pelayaran agar dapat menyelesaikan perja-lanan dengan selamat dan sesuai dengan jadwal Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kegiatan yang dilarang oleh Konvensi" adalah kegiatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) yaitu: a. setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuh-an wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai,atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagai-mana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; b. setiap latihan atau praktek senjata apapun; c. setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai; d. setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai; e. peluncuran, pendaratan, atau penerimaan setiap pesawat udara; f. peluncuran, pendaratan, atau penerimaan setiap peralatan dan perleng-kapan militer; g. bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara berten-tangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai,fiskal, imigrasi, atau saniter negara pantai; h. setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang berten-tangan dengan Konvensi; i. setiap kegiatan perikanan; 100 j. kegiatan riset atau survei; k. setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya negara pantai; atau l. setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Penegakan kedaulatan dan perlindungan keselamatan negara di laut erat hubungannya dengan pertahanan dan keamanan negara. Oleh karena itu, kalau perlu, untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, Pemerintah Indonesia berwenang untuk menutup sementara waktu bagian-bagian ter-tentu dari perairan Indonesia bagi pelayaran kapal-kapal asing. Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 25 ayat (3) Konvensi. Ayat (2) Penangguhan demikian harus dilakukan dengan suatu pengumuman yang wajar, misalnya dalam bentuk pengumuman kepada para pelaut (notice to mariners). Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 25 ayat (3) Konvensi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Agar pengawasan terhadap kapal-kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai di perairan Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik, serta untuk men-jamin keselamatan pelayaran, Pemerintah Indonesia menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial dan perairan kepulauannya. Lintas damai melalui alur-alur yang ditetapkan khususnya diperlukan bagi lintas kapal tanki, kapal bertenaga nuklir, dan kapal yang mengangkut muatan yang ber-bahaya atau beracun, termasuk limbah radio aktif. Alur lintas damai demikian dapat juga ditetapkan untuk kepentingan per-lindungan perikanan, termasuk budidaya laut dan pelestarian lingkungan laut. Penetapan alur-alur laut, terutama skema pemisah lalu lintas tersebut dilakukan dengan bekerja sama dengan organisasi internasional yang berwenang terutama dalam masalah teknis keselamatan pelayaran. Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 22 Konvensi. Pasal 15 Kapal selam yang berlayar di perairan Indonesia diwajibkan untuk berlayar di permukaan air. Apabila kapal selam asing tersebut tidak memenuhi ketentuan ini maka lintas yang dilakukannya dianggap tidak damai, dan kapal tersebut diperingatkan untuk segera meninggalkan perairan Indonesia. Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 20 Konvensi. Pasal 16 Setiap kapal asing bertenaga nuklir dan kapal asing yang mengangkut bahan nuklir atau bahan lain yang sifatnya berbahaya atau beracun, harus mematuhi aturan-aturan serta standar internasional yang berlaku. Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 23 Konvensi. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Untuk menegakkan kedaulatan, keselamatan perairan dan ruang udara di atasnya, Pemerintah Indonesia menentukan alur-alur laut kepulauan untuk digunakan oleh kapal asing, dan ruang udara di atasnya untuk digunakan sebagai rute penerbangan oleh pesawat udara asing. Penetapan alur-alur laut dan rute penerbangan ini dilakukan dengan pertimbangan agar dapat dilaku-kan lintas yang langsung dan terusmenerus, serta dengan menempuh jarak yang terdekat. Di samping itu, untuk menjamin keselamatan pelayaran, Pemerintah Indonesia dapat juga menetapkan skema pemisah lalu lintas di alur-alur laut yang dianggap rawan kecelakaan. Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (1) Konvensi. Ayat (2) Berlainan dengan alur laut untuk lintas damai, alur laut kepulauan dan rute penerbangan di atasnya tidak 101 merupakan suatu alur atau koridor yang secara fis ik ada secara nyata melainkan merupakan suatu rute lintas yang hanya ada apabila sedang digunakan. Alur ini ditentukan dengan menetapkan titik-titik sumbu atau poros untuk menentukan lebar alur laut kepulauan yang dapat digunakan. Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (5) Konvensi. Ayat (3) Untuk menegakkan kedaulatan dan keamanan negara serta dengan memper-hatikan keselamatan pelayaran, apabila diperlukan, Pemerintah Indonesia dapat sewaktu-waktu mengganti alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan. Penggantian alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas ini harus diumumkan secara wajar, misalnya dalam bentuk pengumuman kepada para pelaut (notice to mariners). Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (7) Konvensi. Ayat (4) Di laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia mempunyai kedaulatan penuh. Oleh karena itu pengajuan usul untuk menentukan atau mengganti alur laut atau skema pemisah dimaksudkan semata-mata untuk meminta pertimbangan dari segi keselamatan pelayaran. Organisasi internasional yang dimaksud adalah International Maritime Organization (IMO). Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (9) Konvensi. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Kecuali dengan izin Pemerintah Indonesia, kapal dan pesawat udara asing yang berlayar atau terbang di luar alur-alur laut kepulauan yang telah di-tetapkan dianggap tidak melaksanakan hak lintas alur kepulauan. Apabila kapal tersebut berlayar juga di luar alur-alur laut yang telah ditetapkan untuk lintas damai, dianggap melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini. Ayat (7) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Hak lintas transit dalam Undang-undang ini adalah hak lintas transit di Selat Malaka dan di Selat Singapura. Yang dimaksud dengan "ketentuan Konvensi" adalah hak lintas transit sebagaimana ditentukan antara lain dalam Pasal 39 Konvensi yaitu: a. lewat dengan cepat melalui atau di atas selat; b. menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara Indonesia atau dengan cara apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; c. menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus-menerus, langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena "force majeure" atau karena gangguan navigasi; dan d. memenuhi ketentuan internasional tentang : 1) keselamatan pelayaran di laut; 2) pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal; 3) keselamatan penerbangan sesuai peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization); dan 4) memonitor frekuensi radio yang ditunjuk. Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Hak akses dan komunikasi yang dimaksudkan adalah hak akses dan komunikasi sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1983 tentang Pengesahan atas Treaty between Malaysia and Indonesia relating to the Legal Regime of the Archipelagic State and Rights of Malaysia in the Teritorial Sea, Archipelagic Waters and the Territory of Indonesia lying between East and West Malaysia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 7, Tam-bahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3248). 102 Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan nasional yang ber-laku", misalnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta peraturan perundang-undangan dari pelbagai konvensi atau perjanjian internasional lainnya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "administrasi dan yurisdiksi" adalah administrasi dalam rangka pelaksanaan yurisdiksi yang dilakukan oleh instansi yang terkait dengan masalah lingkungan perairan Indonesia. Misalnya mengenai penetapan Baku Mutu Lingkungan atau Analisis Dampak Lingkungan yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Ling-kungan Hidup, maka mengenai administrasi tersebut antara lain mengenai persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan Baku Mutu Lingkungan atau Analisis Dampak Lingkungan tersebut. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Pelaksanaan penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dilakukan untuk memelihara keutuhan wilayah perairan Indonesia serta menjaga dan melindungi kepentingan nasional di laut. Sanksi atas pelanggaran kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, antara lain dapat dilakukan dengan memperingatkan kapal asing yang bersangkutan untuk segera meninggalkan perairan Indonesia. Ayat (2) Yurisdiksi terhadap kapal asing dapat mengenai yurisdiksi pidana, perdata, atau yurisdiksi lainnya. Mengenai yurisdiksi pidana dan perdata antara lain berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 Konvensi, hukum internasional lainnya, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 27 ayat (1) Konvensi menyatakaan bahwa yurisdiksi kriminal negara pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan penyidikan yang bertalian dengan kejahatan apapun yang dilakukan di atas kapal selama lintas demikian, kecuali : a. apabila akibat kejahatan itu dirasakan di negara pantai; b. apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut wilayah; c. apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nahkoda kapal atau oleh wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera; atau d. apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan psikotropika. Selanjutnya Pasal 28 Konvensi menyatakan bahwa yurisdiksi perdata tidak dapat dilakukan terhadap kapal asing atau orang yang berada di atasnya, kecuali : a. hanya apabila berkenaan dengan kewajiban atau tanggung jawab ganti rugi yang diterima atau yang dipikul oleh kapal itu sendiri dalam mela-kukan atau untuk maksud perjalanannya melalui perairan Indonesia; atau b. untuk melaksanakan eksekusi atau penangkapan sesuai dengan undang-undang yang berlaku dengan tujuan atau guna keperluan proses perdata terhadap suatu kapal asing yang berada atau melintasi laut teritorial atau perairan kepulauan setelah meninggalkan perairan pedalaman. Yang dimaksud dengan "yurisdiksi lainnya" misalnya yurisdiksi administra-tif. Ayat (3) Ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) mengatur mengenai penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, namun karena mengenai pene-gakan kedaulatan telah diatur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988, maka yang perlu dikoordinasikan hanya mengenai pelaksanaan penegakan hukum. Penegakan hukum dilaksanakan oleh instansi terkait, antara lain Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian, 103 Departemen Keuangan, dan Departemen Kehakiman, sesuai dengan wewenang masing-masing instansi tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional. Pasal 25 Ayat (1) Peta ilustratif yang dilampirkan dalam Undang-undang ini mempunyai sifat sementara sampai ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan wilayah per-airan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). Pelampiran peta ilustratif dalam Undang-undang ini dilakukan dengan per-timbangan bahwa pembuatan peta dengan skala atau skala-skala yang me-madai atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) memer-lukan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, demi kepastian hukum dalam Undang-undang ini dilampirkan peta ilustratif wilayah perairan Indonesia. Dalam hal terdapat batas wilayah tertentu di perairan Indonesia masih dalam perundingan dengan negara tetangga, maka batas wilayah tertentu tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan hasil perundingan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3647 Kutipan : MEDIA ELEKTRONIK SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1996 II. KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG DEWAN KELAUTAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, diperlukan langkah-langkah penanganan yang menyeluruh dan terpadu dalam rangka lebih meningkatkan pemanfaatan, pelestarian, perlindungan laut, dan pengelolaan wilayah laut nasional secara terpadu, serasi, efektif, dan efisien; b. bahwa kebijakan publik di bidang kelautan merupakan kebijakan yang meliputi berbagai bidang pemerintahan, sehingga memerlukan keterpaduan dalam perumusan kebijakan kelautan tersebut sejak awal; c. bahwa dalam rangka keterpaduan perumusan kebijakan kelautan telah dibentuk Devvan Maritim Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 161 Tahun 1999; d. bahwa nomenklatur Dewan Maritim Indonesia memiliki pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas dan fungsi yang dimiliki oleh Dewan tersebut; e. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d, memandang perlu untuk 104 mengubah Dewan Maritim Indonesia menjadi Dewan Kelautan Indonesia dengan Keputusan Presiden; • Mengingat ... Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2994); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260); 5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319); 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319); 7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493); 8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 10. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168); 105 11. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 12. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemenntahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 14. Undang ... 4 14. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439); MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG DEWAN KELAUTAN INDONESIA. Pasal 1 Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum di bidang kelautan. Pasal 2 Dewan Kelautan Indonesia mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam penetapan kebijakan umum di bidang kelautan. Pasal 3 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan fungsi: a. pengkajian dan pemberian pertimbangan serta rekomendasi kebijakan di bidang kelautan kepada Presiden; b. konsultasi dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah serta wakil-wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan dan penyelesaian masalah di bidang kelautan; c. pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan, strategi, dan pembangunan kelautan; d. hal-hal lain atas permintaan Presiden. 106 Pasal 4 Susunan keanggotaan Dewan Kelautan Indonesia adalah sebagai berikut: a. Ketua : Presiden Republik Indonesia; b. Ketua Harian : Menteri Kelautan dan Perikanan; merangkap Anggota c. Anggota : 1. Menteri Dalam Negeri; 2. Menteri Luar Negeri; 3. Menteri Pertahanan; 4. Menteri Perhubungan; 5. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral; 6. Menteri Keuangan; 7. Menteri Pendidikan Nasional; 8. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata; 9. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS; 10. Menteri Negara Lingkungan Hidup; 11. Menteri Negara Riset dan Teknologi; 12. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 13. Kepala Staf TNI Angkatan Laut; 14. Tim Pakar; 15. Wakil Perguruan Tinggi; 16. Wakil Asosiasi Dunia Usaha; 17. Wakil Lembaga Swadaya Masyarakat; d. Sekretaris : Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut. Pasal 5 … 6 Pasal 5 Anggota Tim Pakar, wakil perguruan tinggi, asosiasi dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia. Pasal 6 (1) Untuk memperlancar pelaksanaan tugas Dewan Kelautan Indonesia, Ketua Harian membentuk Kelompok Kerja. 107 (2) Kelompok kerja mempunyai tugas mengkaji dan menyiapkan rumusan atau rancangan kebijakan di bidang kelautan. (3) Kelompok Kerja dipimpin oleh seorang Tenaga Ahli yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Harian. (4) Pembentukan dan personalia Kelompok Kerja ditetapkan dengan Keputusan Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia. Pasal 7 Dalam mengkoordinasikan pelaksanaan tugas Kelompok Kerja, Ketua Harian dibantu oleh Sekretaris. Pasal 8 (1) Untuk membantu tugas Dewan Kelautan Indonesia, dibentuk Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia. (2) Sekretariat … (2) Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat yang secara operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia. (3) Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia secara administratif dibina oleh Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. (4) Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia mempunyai tugas menyiapkan bahan penyusunan dan perumusan rancangan kebijakan di bidang kelautan serta pelayanan teknis administrasi pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Kelautan Indonesia, (5) Organisasi Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia terdiri dari paling banyak 4 (empat) Bagian dan masing-masing Bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Subbagian. (6) Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia ditetapkan oleh Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. Pasal 9 (1) Kepala Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia adalah jabatan struktural eselon II b. (2) Kepala Bagian adalah jabatan struktural eselon III b. (3) Kepala Subbagian adalah jabatan struktural eselon IV b. Pasal 10 ... 8 Pasal 10 (1) Dewan Kelautan Indonesia bersidang paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan yang dipimpin oleh Ketua Harian. (2) Apabila dipandang perlu, Dewan Kelautan Indonesia, dapat mengundang dan/atau meminta pendapat dari instansi pemerintah dan/atau masyarakat yang terkait dalam sidang 108 Dewan Kelautan Indonesia. (3) Dalam melaksanakan tugasnya, setiap unit kerjV.'di lingkungan Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi, baik di lingkungan Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia maupun dengan instansi atau lembaga lain di luar Dewan Kelautan Indonesia. (4) Dewan Kelautan Indonesia menyampaikan laporan kepada Presiden setiap 6 (enam) bulan dan sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pasal 11 Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Kelautan Indonesia dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Departemen Kelautan dan Perikanan dan sumber-sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan. Pasal 12 ... 9 Pasal 12 Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, pelaksanaan tugas Pewan Maritim Indonesia dilanjutkan oleh Dewan Kelautan Indonesia. Pasal 13 Pada saat Keputusan Presiden ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 161 Tahun 1999 tentang Dewan Maritim Indonesia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Keputusan Presiden ini. Pasal 14 Pada saat Keputusan Presiden ini mulai berlaku, Keputusan Presiden Nomor 161 Tahun 1999 tentang Dewan Maritim Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 15 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 September 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum ttd. Dr. M. Iman Santoso 109 . III. International Ship and Port Facility Security Code From Wikipedia, the free encyclopedia Jump to: navigation, search ISPS Code being applied in Southampton, England, with signs prohibiting access to areas next to ships. 110 The cruise ship Sea Princess leaving Southampton harbor; fences are visible on the right, which prevent access to the ship under the ISPS Code. The International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code is an amendment to the Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention (1974/1988) on minimium security arrangements for ships, ports and government agencies. Having come into force in 2004, it prescribes responsibilities to governments, shipping companies, shipboard personnel, and port/facility personnel to "detect security threats and take preventative measures against security incidents affecting ships or port facilities used in international trade."[1] Contents [hide] 1 History 2 Scope 3 Requirements 4 National implementation o 4.1 United States 5 Difficulties 6 See also 7 References 8 External links [edit] History The ISPS Code was instituted as part of the international community's response to the hijacking of the Italian cruise ship Achille Lauro on October 7, 1985 during which event a Jewish-American disabled passenger was killed. Development and implementation were speeded up drasticly in reaction to the September 11, 2001 attacks and the bombing of the French oil tanker Limburg. The U.S. Coast Guard, as the lead agency in the United States delegation to the International Maritime Organization (IMO), advocated for the measure.[2] The Code was agreed at a meeting of the 108 signatories to the SOLAS convention in London in December 2002. The measures agreed under the Code were brought into force on July 1, 2004. [edit] Scope The Code is a two-part document describing minimum requirements for security of ships and ports. Part A provides mandatory requirements. Part B provides guidance for implementation. 111 The ISPS Code applies to ships on international voyages (including passenger ships, cargo ships of gross tonnage (GT) of 500 tons and upwards, and mobile offshore drilling units) and the port facilities serving such ships.[3] The main objectives of the ISPS Code are: To detect security threats and implement security measures To establish roles and responsibilities concerning maritime security for governments, local administrations, ship and port industries at the national and international level To collate and promulgate security-related information To provide a methodology for security assessments so as to have in place plans and procedures to react to changing security levels [edit] Requirements The Code does not specify specific measures that each port and ship must take to ensure the safety of the facility against terrorism because of the many different types and sizes of these facilities. Instead it outlines "a standardized, consistent framework for evaluating risk, enabling governments to offset changes in threat with changes in vulnerability for ships and port facilities." For ships the framework includes requirements for: Ship security plans Ship security officers Company security officers Certain onboard equipment For port facilities, the requirements include: Port facility security plans Port facility security officers Certain security equipment In addition the requirements for ships and for port facilities include: Monitoring and controlling access Monitoring the activities of people and cargo Ensuring security communications are readily available [edit] National implementation [edit] United States 112 The United States has issued regulations to enact the provisions of the Maritime Transportation Security Act of 2002 and to align domestic regulations with the maritime security standards of SOLAS and the ISPS Code. These regulations are found in Title 33 of the Code of Federal Regulations, Parts 101 through 107. Part 104 contains vessel security regulations, including some provisions that apply to foreign ships in U.S. waters. [edit] Difficulties The ISPS code has been difficult for some ships to implement, particularly cargo vessels with small crews undergoing cargo operations. Designating a crewmember to be continually at the entrance to the vessel whilst undergoing cargo operations leaves less crew available for other work. In some cases this could lead to dangerously low levels of crewmembers attending a hazardous operation. Hiring shore-based personnel to perform guard duties can alleviate this problem, but may not be possible in some countries where it is not unknown for security guards to be criminals. Passenger vessels and cruise ships typically have a much larger crew including designated security staff and do not suffer from this problem. [edit] See also Supply Chain Security Port security [edit] References 1. ^ ISPS Code, Part A, 1.2.1 2. ^ World Cruise - Maximum Security - Cruise Ships Secure from Terrorist Threats 3. ^ ISPS Code, Part A, 3.1 [edit] External links Maritime Security Text-only Printer-friendly version The International Maritime Organization (IMO) has as an integral part of its mandate the duty to make travel and transport by sea as safe as possible. In the wake of the tragic events of 11 September 2001 in the United States of America, the then IMO SecretaryGeneral Mr. William A. O'Neil consulted on the need to review the measures already adopted by IMO to combat acts of violence and crime at sea. The 22nd Assembly of IMO, which met at the Organization's London headquarters from 19-30 November 2001, agreed to hold a Conference on Maritime Security in December 2002, to adopt new regulations to enhance ship and port 113 security and avert shipping from becoming a target of international terrorism. This decision followed the adoption of Assembly Resolution A.924(22) put forward by Secretary-General William O'Neil on "Review of measures and procedures to prevent acts of terrorism which threaten the security of passengers and crews and the safety of ships". The resolution calls for a review of the existing international legal and technical measures to prevent and suppress terrorist acts against ships at sea and in port and improve security aboard and ashore. The aim is to reduce risks to passengers, crews and port personnel on board ships and in port areas and to the vessels and their cargoes. An Intersessional Working Group on Maritime Security, which met from 11 to 15 February, produced a series of recommendations which were further elaborated by the May 2002 meeting of the Maritime Safety Committee (MSC 75) as well as other IMO bodies. A second ISWG was held in September 2002, and the MSC met again for its 76th session in December 2002, concurrently with the Diplomatic conference on Maritime Security which adopted the new measures to enhance maritime security. The Conference, held at the IMO London headquarters from 9 to 13 December, was of crucial significance not only to the international maritime community but the world community as a whole, given the pivotal role shipping plays in the conduct of world trade. The Conference was attended by 108 Contracting Governments to the 1974 SOLAS Convention, observers from two IMO Member States and observers from the two IMO Associate Members. United Nations specialized agencies, intergovernmental organizations and non-governmental international organizations also sent observers to the Conference. The Conference adopted a number of amendments to the 1974 Safety of Life at Sea Convention (SOLAS), the most far-reaching of which enshrines the new International Ship and Port Facility Security Code (ISPS Code). The Code contains detailed security-related requirements for Governments, port authorities and shipping companies in a mandatory section (Part A), together with a series of guidelines about how to meet these requirements in a second, non-mandatory section (Part B). The Conference also adopted a series of resolutions designed to add weight to the amendments, encourage the application of the measures to ships and port facilities not covered by the Code and pave the way for future work on the subject. See More... -IV. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG 114 PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjaga keutuhan wilayah negara, serta meningkatkan kesejahtereaan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya, hukum, sumber daya manusia, pertahanan, dan keamanan; b. bahwa pulau-pulau kecil tertular Indonesia memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea/ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493); 115 5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501); 6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168); 10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 11. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4211); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR. BAB I 116 KETENTUAN UMUM Pasal 1 (1) Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan : a. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. (2) Pulau-pulau kecil terluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan koordinat titik terluarnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini. BAB II TUJUAN DAN PRINSIP PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR Pasal 2 Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan : a. menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan Negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan. b. memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan; c. memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Pasal 3 Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah: a. Wawasan nusantara; 117 b. Berkelanjutan; c. Berbasis masyarakat. Pasal 4 Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah. BAB III PENGELOLAAN Pasal 5 (1) Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang-bidang : a. sumberdaya alam dan lingkungan hidup; b. infrastruktur dan perhubungan; c. pembinaan wilayah; d. pertahanan dan keamanan; e. ekonomi, sosial, dan budaya. (3) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV KELEMBAGAAN Pasal 6 (1) Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, yang selanjutnya disebut Tim Koordinasi. 118 (2) Susunan keanggotaan Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. Ketua : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. b. Wakil Ketua : Merangkap anggota 1. Wakil Ketua I : Menteri Kelautan dan Perikanan 2. Wakil Ketua II : Menteri Dalam Negeri c. Anggota : 1. Menteri Pertahanan 2. Menteri Luar Negeri 3. Menteri Perhubungan 4. Menteri Pekerjaan Umum 5. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 6. Menteri Kesehatan 7. Menteri Pendidikan Nasional 8. Menteri Keuangan 9. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 10. Menteri Kehutanan 11. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas 12. Menteri Negara Lingkungan Hidup 13. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal 14. Sekretaris Kabinet 15. Panglima Tentara Nasional Indonesia 16. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia 119 17. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) c. Sekretaris : Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Pasal 7 (1) Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. (2) Tim Koordinasi mengadakan rapat koordinasi sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam setiap 6 (enam) bulan. (3) Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Koordinasi dapat mengundang dan atau meminta pendapat dari instansi-instansi pemerintah terkait dan atau pihak lain yang dianggap perlu. (4) Tim Koordinasi menyampaikan laporan kepada Presiden setiap 6 (enam) bulan dan sewaktuwaktu apabila diperlukan. Pasal 8 Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) mempunyai tugas : a. mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan rencana dan pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar; b. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Pasal 9 (1) Penyelenggaraan tugas Tim Koordinasi sehari-hari dibantu oleh Tim Kerja yang dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. (2) Tim Kerja terdiri dari 2 (dua) tim, yaitu : i. Tim Kerja I membidangi sumber daya alam, lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, ekonomi, sosial, dan budaya; ii. Tim kerja II membidangi pembinaan wilayah pertahanan dan keamanan. 120 (3) Tim Kerja I diketuai oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. (4) Tim Kerja II diketuai oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam Negeri. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan, rincian tugas, dan tata kerja Tim Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Pasal 10 (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri Kelautan dan Perikanan dibantu oleh Sekretariat. (2) Sekretariat mempunyai tugas memberikan pelayanan administratif. (3) Sekretariat secara ex-officio dilaksanakan oleh unit kerja struktural di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan yang menangani pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. (4) Ketua Sekretariat ditunjuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. BAB V PEMBIAYAAN Pasal 11 Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Tim Koordinasi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. BAB VI PENUTUP Pasal 12 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta 121 Pada tanggal 29 Desember 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO V. Pembinaan Wilayah Negara Melalui Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Dephan didaerah. Data wilayah dalam aspek fisik maupun sosial sangat diperlukan guna bahan kajian/analisa potensi suatu wilayah, pengelolaan datanya melalui sarana pemetaan ataupun sistem informasi geografi merupakan hal yang mendasar. Sesuai Kepmenhan Nomor: Kep/012/MA/lll/1988 tanggal 31 Agustus 1988 tentang penyelenggaraan tugas dan fungsi (PTF) Dephan di daerah, khususnya dalam pengelolaan data wilayah negara di jajaran Kodam adalah Topdam yang memiliki fungsi antara lain melaksanakan pengumpulan dan pengolahan data serta survei pemetaan yang ada di wilayahnya sebagai dasar penyusunan rencana dan strategi untuk mendukung program pembangunan khususnya kepentingan pertahanan. Di dalam Pengelolaan data wilayah tersebut, penyelenggaraan tugas dan fungsi (PTF) Dephan, antara lain : 1 a. Menyelenggarakan pembinaan sumberdaya nasional dengan mendayagunakan segenap potensi wilayah untuk kepentingan pertahanan negara. b. Melaksanakan pengumpulan dan pengolahan data serta hasil survei dan pemetaan wilayah negara di daerahnya baik untuk dasar penyusunan rencana dan program daerah maupun sebagai masukan bagi rencana dan program nasional. c. Melaksanakan koordinasi lintas sektoral termasuk kerjasama dengan aparat pemerintah daerah dan jajarannya dalam upaya mendayagunakan wilayah untuk kepentingan pertahanan negara. Pendayagunaan wilayah negara di daerah. Upaya penanganan pendayagunaan wilayah negara di daerah, antara lain : a. Membangun dan memelihara serta mempertahankan pilar-pilar dan tugu-tugu batas wilayah yurisdiksi nasional di sepanjang garis perbatasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan terutama bagi Kodam yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. b. Menetapkan, membangun dan memelihara medan-medan kritis yang bernilai strategis dalam rangka mempersiapkan pangkal-pangkal perlawanan sesuai dengan kondisi daerah setempat. c. Mengkoordinasikan penetapan batas antar daerah Tk. I maupun daerah Tk. II yang 122 sampai saat ini belum terselesaikan. d. Menyelesaikan permasalahan perbatasan wilayah negara baik darat maupun di laut. e. Mendukung terselenggaranya Sistem Informasi Geografi (SIG) baik untuk kepentingan Pertahanan Negara maupun kepentingan pembangunan daerah. Pengaturan Perairan dan Rute Udara Internasional Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). 2 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) pasal 53 menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia dapat menentukan alur laut untuk lintas kapal dan pesawat udara negara asing yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau diatas perairan kepulauannya dan teritorial yang berdampingan dengannya. Berkaitan dengan pengaturan wilayah perairan Rl telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002, tentang hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut kepulauan yang ditetapkan. Sehubungan dengan pembukaan ALKI, kapal-kapal pelayaran internasional baik kapal niaga maupun kapal perang dapat melintas tanpa harus meminta izin terlebih dulu dan kapal selam dapat melintas tanpa harus muncul dipermukaan laut. ALKI yang telah ditetapkan melalui PP No. 37 tersebut, terdiri dari tiga alur yaitu ALKI I, ALKI II dan ALKI III, konsep ALKI ini telah disampaikan Pemerintah Rl kepada International Maritime Organization (IMO) pada tanggal 18 Mei 1998, ketiga AIKI tersebut adalah : 1 1) ALKI I : Rute untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudera Hindia atau sebaliknya. 2) ALKI cabang IA : Rute untuk pelayaran dari Selat Singapura melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudera Hindia atau sebaliknya, atau melintasi Laut Natuna ke Laut Cina Selatan atau sebaliknya. 3) ALKI II : Rute untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok ke Samudera Hindia atau sebaliknya. 4) ALKI IIIA : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya. 5) ALKI Cabang IIIB : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Selat Leti ke Laut Timor atau sebaliknya. 6) ALKI Cabang IIIC : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya. 7) ALKI Cabang IIID : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya. 8) ALKI Cabang IIIE : Rute untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu atau Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya, atau melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Leti dan Laut Timor ke Samudera Hindia atau sebaliknya, atau Laut Seram dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya. 123 RIWAYAT HIDUP PARA PENULIS 1) Marcel Hendrapati. Lahir di Makassar tahun 1950. Dosen Bagian Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Sering menulis di berbagai jurnal, seperti Lontara, Amanna Gappa, Jurisdictionary, Era Hukum etc. 2) S.M. Noor. Lahir di Makassar tahun 1955.Dosen Bagian Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penulis terkenal di berbagai media, seperti Harian (Kompas, Harian Fajar, Pedoman Rakyat, Tribun Timur) dan jurnal (Lontara, Amanna Gappa, Jurisdictionary) etc. . 3 Idrus A. Paturusi.. Lahir di Makassar tahun 1950. Rektor Universitas Hasanuddin, Guru Besar Fakultas Kedokteran Unhas. Banyak buku dan artikel yang telah dipublikasikan dalam bahasa Indonesia serta bahasa asing. Beliau juga pemerhati masalahmasalah internasional, khususnya masalah hukum laut. Beliau pernah menulis dan mempresentasikan makalah (Peningkatan Kewaspadaan Nasional Berbagai Komponen Bangsa Dalam Memperkuat NKRI Sebagai Negara Kepulauan) dalam seminar di Ruang Pola Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan), di mana seminar ini diselenggarakan atas kerjasama antara Mabes TNI AL dengan Departemen Dalam Negeri terkait dengan diresmikannya KRI Makassar 590 pada bulan Agustus 2007.. 124 125