THE LAW OF THE SEA “Garis Pangkal (Baselines)” Pendahuluan

advertisement
THE LAW OF THE SEA
“Garis Pangkal (Baselines)”
1. Pendahuluan
Wilayah laut suatu negara yang mempunyai karakterisitik perairan yang
berbeda sudah tertuang jelas pengaturannya dalam United Nations Convention on The
Law of The Sea 1982 (UNCLOS). Di mana setiap jenis negara pantai (coastal state)
mempunyai status hukum yang berbeda dan mempunyai pengaturan tersendiri dalam
penentuan teritori wilayah maritim negara tersebut. Dalam menentukan zona-zona
maritim tersebut, pertama kali tentulah perlu ditentukan satu titik darimana batasbatas zona maritim tersebut diukur.1 Titik penentuan batas zona maritim tersebut
disebut sebagai baselines (titik pangkal).
“The baselines is the line from which the outer limits of the territorial sea and
other coastal states zone (the countigious zone, the exclusive fishing zone and
the exclusive economic zone (EEZ) are measured.2”
Baselines merupakan titik pangkal pengukuran zona-zona maritim yang terdapat
dalam rezim hukum laut yang berfungsi untuk membedakan atau menjadi batas dari
zona-zona tersebut. Baselines dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:
Gambar 1.3
1
R. R. Churcill and A. V. Lowe. The Law of The Sea 3rd Edition. 1999. Manchester University Press.
Halaman 31.
2
Ibid.
3
Louis B Sohn. The law of The Sea In A Nut Shell. 1984. West Publishing Co. Halaman 37
Gambar diatas mengilustrasikan adanya suatu baselines (titik pangkal) yang
digunakan oleh negara pantai untuk menjadi landasan pengukuran zona maritim.
Terdapat bermacam-macam ketentuan yang digunakan dalam menentukan bagaimana
negara pantai seharusnya menghitung baselines yang dituangkan dalam UNCLOS
sebagai sumber hukum utama daripada ketentuan hukum laut internasional.
2. Normal Baselines
Wilayah laut memiliki karakteristik geografis yang berbeda dengan wilayah
daratan, dimana di daratan dapat kita lihat dengan jelas perbedaan atau perbatasan
wilayah suatu negara yang dapat berupa suatu keadaan alamiah maupun perbatasan
yang dibentuk secara tidak alami. Namun, dalam wilayah laut untuk menentukan
baselines tersebut tentulah sangat sulit. Terdapat pasang surut air laut yang bersifat
tidak tetap, yang berubah dari hari ke hari dan dari musim ke musim.4
Dalam Pasal 3 Geneva Convention on The Territorial Sea and Contigous
Zone 1958 (TSC) dan Pasal 5 UNCLOS dimuat ketentuan tentang penentuan
pengukuran baselines yang diganakan untuk menentukan wilayah maritim suatu
negara yang kemudian disebut sebagai normal baselines. The normal baselines for
measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as
marked on large-scale charts officially recognized by the coastal state (Pasal 5
UNCLOS). Normal baselines merupakan titik surut air laut sepanjang garis pantai
yang mengelilingi suatu wilayah darat dari satu negara. Pada gambar 1, dapat dilihat
baselines merupakan garis yang membedakan daerah arsiran, yang merupakan bagian
dari wilayah perairan yang mendekat kedarat (disebut sebagai internal waters), dan
daerah yang tidak berarsis yang merupakan Territorial Sea. Garis tersebut merupakan
bentangan garis surut air laut yang ditentukan sebagai baselines wilayah negara
tersebut.
Adapun karakteristik daripada baselines tersebut adalah5:
4
Ibid. Halaman 39
Gerald Fitzmaurice. Some Results of The Geneva Conference on The Law of The Sea Part I The
Territorial Sea and Contiguous Zone and Related Topics. 1959. The International and Comparative Law
Quarterly Vol. 8 No. 1. Halaman 76
5
a. They [baselines] are water not land lines, i.e., water-crossing not coasthugging;
b. Because they [baselines] cross water and do not lie along the coast, they
enclose an area between themselves and the coast which has the status not of
territorial sea but of internal waters.
Dalam karakteristik tersebut dapat dilihat bahwa, baselines bukan merupakan wilayah
perairan bukan merupakan garis darat yang dapat ditentukan dengan mudah.
Baselines menentukan suatu pengukuran dalam menentukan Territorial Sea yang
merupakan zona maritim suatu negara (Pasal 3 UNCLOS).
Penentuan wilayah suatu negara merupakan klaim sepihak yang mana
keabsahannya tunduk kepada ketentuan hukum internasional. Dalam penentuan
baselines tidaklah ditentukan hanya dengan klaim sepihak dari negara pantai. The
Anglo-Norwegian Fisheries Case (1951) menentukan bahwa “[t]he delimitation of the
sea areas has always an international aspect; it cannot be dependent merely upon the
will of the coastal state as expressed in its municipal law.”6
Maka dapat disimpulkan bahwa, baselines merupakan rezim yang penting
untuk ditentukan dalam penentuan zona-zona maritim suatu negara, yang mana zonazona tersebut mulai diukur. Tidak dapatlah suatu baselines ditentukan secara sepihak
oleh negara pantai, akan tetapi harus diukur berdasarkan titik surut air laut atas
ketentuan UNCLOS.
3. Straight Baselines
Negara-negara pantai di dunia tidaklah memiliki keadaan geografis yang
sama, dimana dengan mudah dapat ditentukan suatu normal baselines berdasarkan
titik surut air laut. Terdapat keadaan dimana bentuk geografis dariapada garis pantai
(batas daratan dan lautan) tidak beraturan, yang membentuk suatu keadaan yang
menyulitkan menentukan titik surut air laut itu sendiri. Pasal 4 TSC dan Pasal 7
UNCLOS mengatur ketentuan metode pengukuran baselines yang disebut sebagai
straight baselines. Konsep straight baselines berkembang dalam kasus klaim titik
6
Louis B Sohn. Op.cit. halaman 37
pangkal oleh Norwegia, dengan keadaan geografis yang menyebabkan sulitnya
ditentukan
suatu
normal
baselines seperti yang
diatur
dalam
UNCLOS
pasal
3
seperti dilihat dalam
gambar
berikut.
Gambar 27
Garis pantai Norwegia berbentuk dari perairan-perairan kecil yang mengelili
karang-karang sempit yang terdiri dari gugusan pulau-pulau, pulau kecil, batu-batu
karang yang sering disebut sebagai skjaergaard.8
7
8
Ibid. halaman 55
R. R. Churchill and A. V. Lowe. Op.cit. halaman 33-34
Since the mainland is bordered in its western sector by the “skjaergaard”
(literally, rock rampart), which constitute a whole with the mainland, it is the
outer line of the “skjaergaard” wich must be taken into account in delimiting
the belt of Norwegian territorial waters.9
Straight baselines tersebut digunakan oleh Norwegia dalam menentukan baselines
darimana zona maritmnya diukur. Sebagai akibatnya, daerah perairan berada di
daerah baselines dan mendekati (menjorok) kedarat sebagai suatu internal waters.
Britania Raya (UK) mendalilkan bahwa klaim daripada Norwegia telah menyalahi
ketentuan daripada hukum internasional yang berlaku, dikarenakan klaim tersebut
berdampak kepada perekonomian Britania Raya dimana kapal-kapal Britania Raya
tidak dapat lagi memancing ikan pada wilayah-wilayah internal waters tersebut.
Kasus ini kemudian terkenal sebagai Anglo-Norwegian Fisheries Case (1951) yang
diterima sebagai suatu konsep hukum internasional dalam penentuan straight
baselines.
Pasal 7 UNCLOS, paragraf 1 menentukan bahwa “in localities where the
coast line is deeply indented or cut into, or if there is a fringe of islands along the
coast in its immediate vicinity, the method of straight baselines joining appropriate
points may be employed. . . .” Seperti halnya pada keadaan geografis Norwegia
tersebut, dapat digunakan straight baselines yang menghubungkan titik-titik terluar
pulau tersebut sebagai titik pangkal zona maritim, dikarenakan adanya fringe of
islands along the coast in its immediate vicinity.
Beberapa kondisi-kondisi yang perlu diperhatikan dalam penentuan straight
baselines ini adalah antara lain:10
a. Such lines must be drawn so that they do not depart to any appreciable extent
from the general direction of the coast;
b. They must be drawn so that the sea areas lying within these lines are
sufficiently closely linked to the land domain to be subject to the regime of
internal waters;
9
R. O. Willberforce. Some Aspects of The Anglo-Norwegian Fisheries Case. 1952. Transaction of
Grotius Society, Vol.38, Problems of Public and Private International Law, Transaction for the Year
1952. Halaman 159-160
10
R. R. Churchill and A. V. Lowe. Op.cit. halaman 35
c. It is legitimate to take into account certain economic interests peculiar to a
region, the reality and importance of which are clearly evidenced by a long
usage.
Walaupun kepentingan ekonomi dapat dijadikan alasan dalam penentuan penggunaan
straight baselines, namun tak dapat kepentingan ekonomi semata menjadi
pembenaran untuk penggunaan straight baselines.11
4. Archipelagics Baselines
Bentuk geografis permukaan bumi adalah beragam, terdiri dari kontinen benua
yang memiliki wilayah daratan yang luas, dan juga terdapat pulau-pulau kecil yang
membentuk gugusan kepulauan yang tersebar di wilayah lautan. Dengan adanya
keberagaman tersebut, maka perlulah beberapa ketentuan dalam menentukan garis
baselines dalam penentuan wilayah suatu negara. Wilayah benua yang berbatsan
dengan laut, tentu saja akan berbeda dengan wilayah suatu pulau yang dikelilingi
lautan, dan wilayah kepulauan yang sambung menyambung diantara wilayah laut.
Negara kepulauan tersebut disebut sebagai Archipelagic State yang mana diartikan
sebagai suatu negara yang mana wilayahnya keseluruhan terbentuk dari gugusan
kepulaun dan pulau-pulau (Pasal 46 (a) UNCLOS).
Archipelagic states yang demikian tentu akan memiliki tendensi yang berbeda
dalam menentukan wilayah laut negara mereka. Sehingga dalam Pasal 47 UNCLOS
diaturlah suatu ketentuan mengenai Archiplagic Baselines yang menentukan bahwa:
“archipelagic state may drew straight archipelagic baselines joining the
outermost points of the outermost island and dying reefs of the archipelago
provided that within such baselines are included the main island and an area
in which the ratio of the area of the water to the area of the land, including
atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1 (paragraph 1)”.
Hak yang diberikan kepada negara kepulauan tersebut merupakan suatu hak untuk
menentukan garis baselines yang mengelilingi negara tersebut dari titik terluar pulaupulau yang ada, dan membentuk suatu wilayah yang terdiri dari wilayah daratan dan
perairan pedalaman (internal waters). Namun, dalam Pasal 47 UNCLOS dalam
11
Gerald Fitzmaurice. Op.cit. halaman 77
pemakaian archipelagic baselines suatu negara harus memenuhi empat spesial
kondisi yang dituangkan dalam pasal tersebut:12
a. All main of lands of the archipelagic state must be a system of archipelagic
baselines;
b. The ratio of water area and land area in the system of archipelagic baselines
is between 1 to 1 and 9 to 1;
c. The length of the archipelagic baselines shall not exceed 100 nautical miles,
except that up to 3 percent of the total number of baselines enclosing any
archipelago may exceed the length, up to a maximum length of 125 nautical
mile;
d. The drawing of the archipelagic baselines shall not depart to any appreciable
extent from the general configuration of the archipelago.
Selain itu, terdapat juga beberapa pembatasan yang diatur dalam penggunaan suatu
archipelagic baselines tersebut, antara lain:13
a. The baseline shall not depart to any appreciable extent from the general
configuration of the archipelago;
b. Shall not be drawn to and from low-tide elevations, unless lighthouses or
similar installations which are permanently above sea level have been built on
them where a low-tide elevation is situated wholly or partly within the
territorial sea of the nearest islands;
c. Shall not be applied in such a manner as to cut off from the high seas or the
exclusive economic zone the terriotorial sea of another state.
Pertimbangan
dalam
pemberian
kondisi-kondisi
dan
pembatasan
terhadap
penggunaan archipelagic baselines dikarenakan wilayah laut pedalaman (internal
12
Tri Patmasari et. al. The Indonesian Archipelagic Baselines: Technical and Legal Issues and The
Changing of Enviroment. Diunduh dari
http://www.gmat.unsw.edu.au/ablos/ABLOS08Folder/Session6-Paper2-Patmasari.pdf, 22 September
2010, 17:06 WIB. Halaman 4
13
Louis B Sohn. Op.cit. halaman 56
waters) daripada negara tersebut dianggap sebagai satu kesatuan wilayah dengan
daratan yang menghubungkan antara satu pulau ke pulau yang lain yang merupakan
kedaulatan negara.
Indonesia merupakan salah satu contoh negara kepulauan yang telah memakai
archipelagic baselines dalam menentukan batas baselines negaranya. Indonesia
menyatakan klaim yurisdiksi maritim untuk pertama kalinya pada tahun 1950an,
melalui Deklarasi Djuanda tertanggal 13 December 1957 yang menyatakan
keselurahan area perairan yang menghubungkan antara kepulauan Indonesia adalah
dibawah kedaulatan Indonesia sebagai suatu Negara. Dibentuknya UNCLOS 1982
memberikan legitimasi Indonesia sebagai suatu archipelagic states. Pada Tahun 1996,
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang
didasarkan pada ketentuan archipelagic states yang telah dirumuskan pada UNCLOS
1982.
Sampai dengan saat ini telah banyak kejadian yang terjadi dalam penentuan
wilayah laut Indonesia. Overlapping claim antara Indonesia dengan Malaysia,
Singapura, Australia dan negara-negara lain yang memiliki perbatasan laut dengan
Indonesia telah ada yang terselesaikan dan juga masih ada yang belum terselesaikan.
Dua perkembangan yang paling mempengaruhi penentuan baselines Indonesia adalah
(a) Putusan ICJ mengenai kedaulatan terhadap Pulau Sipadan dan Linggitan pada
tanggal 17 Desember 2002, dan (b) kemerdekaan Timor Leste. Maka dapat kita
gambarkan keadaan baselines Indonesia sesuai dengan gambar peta berikut:
Gambar 3.
5. Bays
Daerah bays (teluk) dianggap memiliki hubungan yang sangat dekat dengan
wilayah darat sehingga hukum internasional pada awalnya lebih mengategorikan teluk
sebagai wilayah perairan darat dibanding sebagai wilayah laut territorial. Hal ini juga
berlaku dalam international customary law dimana garis pangkal ditarik melewati
daerah teluk sehingga wilayah teluk juga dikategorikan sebagai perairan darat. Akan
tetapi, ketentuan tersebut tidak dapat menjelaskan mengenai dua hal, yakni penentuan
mengenai bagian mana dari lekukan pantai yang bisa dikategorikan sebagai teluk, dan
mengenai panjang maksimum dari garis yang ditarik melewati daerah teluk tersebut.
Pasal 7 The Territorial Sea Convention secara jelas menjelaskan jawaban atas
dua permasalahan di atas yang juga telah diadopsi oleh UNCLOS pada pasal 10. Pada
awalnya, hal ini tidak berlaku pada kondisi dimana garis lurus digunakan untuk
menentukan garis pangkal, teluk yang bersejarah (Historic Bays) dan teluk yang
pantainya berada diantara dua negara atau lebih.
Pasal 10 UNCLOS menyatakan bahwa
teluk adalah “a well-marked
indentation whose penetration is in such proportion to the width of its mouth as to
contain land-locked waters and constitute more than a mere curvature of the coast”.
Untuk menentukan apakah sebuah lekukan dianggap sebagai teluk atau tidak, perlu
dilakukan pengukuran secara geometris.
A
A
B
Land Area
B
Tarik garis dari A ke B. Kemudian tarik garis
setengah lingkaran dengan diameter setengah
diameter garis A ke B. Bila daerah lekukan lebih
besar dari setengah lingkaran tersebut, maka daerah
tersebut dikategorikan sebagai Teluk. Sebaliknya,
bila daerah lekukan lebih kecil dari setengah
lingkaran tersebut, maka daerah tersebut bukanlah
daerah Teluk.
Apabila daerah lekukan tersebut telah dikategorikan
sebagai teluk, maka garis pangkal dapat ditarik dari
bagian tersebut.
Dalam hal terdapat lebih dari satu bibir teluk, apabila panjang garis yang
ditarik dari kurang dari 24 mil, maka garis tersebut dapat ditarik sebagai garis
pangkal. Sebaliknya, apabila garis yang ditarik lebih panjang dari 24 mil, maka garis
yang ditarik sepanjang 24 mil dianggap sebagai garis pangkal, sementara pada jarak
berikutnya, garis pangkal ditarik dari daerah pasang surut.
Meskipun penerapan dari pasal ini tidak terlalu sulit, tapi beberapa Negara
gagal dalam menerapkan pada kondisi di lapangan.
6. Historic Bays
Baik pasal 7 TSC dan pasal 10 UNCLOS
tidak memberikan ketentuan
mengenai historic bays (teluk dengan latar belakang sejarah). Dalam menentukan
klaim terhadap historic bays perlu dilakukan pendekatan yang sangat hati-hati. Suatu
negara dapat mengklaim sebuah historic bays apabila dapat membuktikan bahwa
dalam periode tertentu, daerah teluk tersebut telah dijadikan sebagai bagian dari
wilayah laut darat yang secara efektif dan terus menerus berada dalam penguasaannya
dan mendapat pengakuan dari Negara lain pada periode tersebut. Apabila wilayah
tersebut telah diakui sebagai historic bays, maka dapat ditarik garis lurus pada bibir
teluk tersebut yang kemudian menjadi garis pangkal. Tidak ada ketentuan mengenai
panjang maksimum dari garis lurus yang ditarik melalui bibir teluk tersebut.
Adanya ketentuan yang menyatakan bahwa dalam mengklaim historic bays
harus mendapat pengakuan dari Negara lain pada masa teluk tersebut berada dibawah
penguasaannya, seringkali ditolak oleh Negara-negara berkembang. Hal ini
dikarenakan sulitnya untuk menunjukkan bukti bahwa pada masa lalu daerah yang
mereka klaim tersebut telah mendapat pengakuan dari Negara lain pada waktu
tersebut.
7. Bays Bordered by More than One State ( Teluk yang Berada di Lebih Dari
Satu Wilayah Negara)
Sebagaimana historic bays, Teluk yang berada di lebih dari satu negara juga
tidak diatur dalam ketentuan UNCLOS. Terdapat sekitar empat puluhan teluk di
seluruh dunia yang berada di lebih dari satu wilayah negara. Masing-masing negara
tidak dapat menarik garis yang menutupi wilayah teluk tersebut jika mengacu pada
ketenutan pasal 10 UNCLOS. Mengenai persoalan ini tidak pernah terlepas dari
kontroversi. Sebagai contoh kasus Teluk Fonseca yang berada pada El Savador,
Nicaragua dan Honduras. Dalam putusan Central American Court of Justice pada
waktu itu menyatakan bahwa teluk Fonseca adalah historic bays sehingga ketiga
negara tersebut menjadi pemilik bersama dari teluk tersebut, kecuali wilayah sejauh 3
mil ke dalam yang merupakan milik masing-masing negara. Kontroversi yang lain
juga terjadi pada perjanjian perbatasan antara Mozambik dengan Tanzania pada tahun
1988 di Teluk Ruvuma. Teluk Ruvuma tidak diklaim sebagai historic bays yang
kemudian dibagi dua menjadi wilayah dari masing-masing Negara.
8. River Mouths
Pasal 9 UNCLOS menyatakan bahwa “if a river flows directly into the sea,
the baseline shall be a straight line across the mouth of the river between points on
the low-water line of its banks“.
Tidak ada batasan mengenai panjang maksimal dari garis yang yang ditarik
tersebut. Ketentuan ini berlaku baik pada sungai yang berada pada satu Negara
maupun berada diantara dua Negara. Namun demikian, ketentuan ini tidak diterima
oleh beberapa Negara seperti Amerika Serikat.
a. Estuaries
Ketentuan dalam pasal 9 UNCLOS tersebut hanya berlaku pada kondisi
dimana sungai tersebut mengalir langsung ke laut, sementara banyak sungai-sungai
besar yang mengalir ke laut melalui muara. Penentuan apakah sebuah sungai mengalir
langsung menuju laut atau melalui muara bukanlah hal yang mudah dan terkadang
menimbulkan persoalan. Begitu juga dalam hal menentukan dimanakah bibir sungai
berada, khususnya pantai dengan daerah pasang naik yang panjang. Contoh kasus ini
dapat dilihat pada kasus dimana Argentina dan Uruguay menarik garis sepanjang 120
mil melintasi bibir sungai Plate diantara Punta del Este di Uruguay dan Cabo San
Antonio di Argentina pada tahun 1961. Tindakan ini mendapat protes dari banyak
Negara yang menyatakan bahwa Argentina dan Uruguay seharusnya mengacu pada
pasal 13 TSC, meskipun beberapa kartografer menyatakan bahwa sungai tersebut
mengalir langsung ke laut. Pada akhirnya, sungai River diklaim memiliki muara di
masa lalu yang bertentangan dengan klaim saat ini bahwa sungai River adalah historic
bays.
b. Deltas
Pasal 13 TSC dan pasal 9 UNCLOS tidak dapat diterapkan dalam hal sungai
yang mengalir ke laut melalui delta. Garis pangkal mungkin saja ditarik melalui titik
pasang surut air dengan sebuah garis lurus.
8. Harbour Works
Pasal 8 TSC menyatakan bahwa wilayah kerja pelabuhan (harbor works)
adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pelabuhan. Hal ini menyebabkan daerah
tersebut dipandang sebagai bagian dari pantai yang oleh karena itu dapat menjadi
garis pangkal. Sementara pasal 11 UNCLOS menyatakan hal yang sama namun lebih
menegaskan bahwa instalasi lepas pantai dan pulau buatan bukanlah wilayah kerja
pelabuhan yang permanen. Meskipun konvensi tersebut tidak mengatur mengenai
kemungkinan yang akan terjadi, namun negara pantai memiliki alasan untuk dapat
menarik garis lurus melewati bibir pelabuhan (meskipun garis tersebut tidak
berpengaruh pada luas wilayah laut territorial). Dukungan untuk hal itu juga terdapat
pada pasal 50 UNCLOS, dimana mengizinkan suatu kepulauan untuk menarik garis
batas melawati pelabuhan.
9. Low-Tide Elevations
Daerah low-tide elevations (Pasang Surut) dijelaskan dalam konvensikonvensi sebagai suatu daerah daratan yang dibentuk secara alami yang mana
dikelilingi dan berada diatas air saat pasang rendah dan terendam saat pasang naik
(TSC, art. 11(1); UNCLOS, art. 13(1)). Daerah pasang surut dalam buku lama dan
perjanjian sering disamakan dengan batu yang mengering dan tepi sungai. Dampak
dari daerah pasang surut pada pembatasan laut teritorial sepertinya diatur dalam
hukum kebiasaan internasional sebelum tahun 1958 tapi ketentuan yang jelas terdapat
dalam ‘article 11 of the Territorial Convention’, yang mana diulangi dengan kata-kata
yang sama pada ‘article 13 of the Law of the Sea Convention’. Sebagai berikut:
‘Where a low-tide elevation is situated wholly or partly at a the distance not
exceeding the breadth of the territorial sea from the mainland or an island, the lowwater line on that elevation may be used as the baseline for measuring the breadth of
the territorial sea.’
Jika daerah pasang surut berada dalam jarak kurang dari luas laut teritorial
dari daerah pasang surut lainnya, dimana jaraknya berubah menjadi kurang dari luas
laut teritorial dari tanah daratan. Sekarang pengakuan umum mengenai 12 mil laut
teritorial memberikan daerah pasang surut potensial yang lebih besar untuk
memperluas batasan luar dari laut teritorial daripada saat laut teritorial luasnya 3 mil.
Jadi, dalam kasus yang ekstrim, dimana daerah pasang surut adalah 12 mil dar tanah
daratan maka batasan luar antara laut teritorial dengan tanah daratan adalah 24 mil.
Akhirnya, harus diingat bahwa dalam kasus daerah pasang surut dapat digunakan
sebagai titik awal dalam menyusun sistem garis dasar.
10. Islands
Islands (Pulau) didefinisikan dalam konvensi sebagai daerah daratan yang
terbentuk secara alami, yang dikelilingi oleh air, yang mana berada dia atas air pada
saat pasang/naik (TSC, art. 10(1); UNCLOS, art. 121(1). Pengertian ini
menghilangkan keraguan yang ada pada hukum kebiasaan internasional sebelum
tahun 1958. Konvensi ini ini menyediakan bahwa laut teritorial dari suatu pulau
diukur sesai dengan ketentuan umum garis dasar. Ini berarti setiap pulau
bagaimanapun ukurannya pasti memiliki laut teritorial.
‘The Teritorial Sea Convention’ hanya menjelaskan laut teritorial secara
spesifik, tapi dalam pengaplikasiannya juga termasuk zona tambahan. Usaha negara
setelah 1958 menyarankan juga termasuk 12 mil zona eksklusif. Tapi lain haknya
dengan ‘The Law of the Sea Convention’ mengatakan bahwa sema pulau dapat
menyediakan garis dasar pada setiap zona maritim, laut teritorial, zona tambahan,
ZEE dan landas kontinen, tapi pengecualian untuk batu yang dapat memberikan garis
pangkal pada laut teritorialnya dan zona tambahan, tapi tidak untuk ZEE dan landas
kontinen.
Secara praktis, umumnya batu terdapat pada lepas pantai jadi di article 121 (3)
dapat diterapkan dan sebagai titik awal dikurangi untuk pembatasan untuk ZEE dan
landas kontinen. Bagaimanapun ada beberapa batu yang tidak ditempati seperti
Rockall, St. Peter and St. Paul Rocks dan L’Esperance Rock dan telah memberikan
masalah dan kepentingan. Pulau yang sangat kecil biasanya disebut islets dan cays.
Lalu pulau yang terdapat di sungai atau di danau disebut eyot dan kumpulan geografis
pulau-pulau yang saling berhubungan disebut archipelago.
Dimana kumpulan pulau-pulau yang termasuk bagian dari pulau, laut
penghubung, dan sumber daya alam yang berada dekat pada pulau-pulau tersebut
yang disebut sebagai ‘archipelago’ (kepulauan), yang terdapat dalam ‘the Law of the
Sea Convention’, dan juga garis pangkal yang membentang pada pulau untuk
membatasi perairan pedalaman, garis lurus yang akan tergambar pada titik diluar
archipelago (archipelagic baseline in act 47 UNCLOS). Archipelago diatur dalam
article 46 dalam UNCLOS.
Definisi pulau didalam konvensi adalah suatu yang terbentuk secara alami
kecuali pulau buatan, walaupun perbedaan antara pula yang terbentuk alami dengan
yang buatan tidak mudah untuk mebedakannya. Penjelasan mengenai pulau buatan
terdapat ‘Geneva Convention (1958) dalam article 5(4) dalam bagian konvensi landas
kontinen, yang memberikan penjelasan mengenai ekplorasi dan eksploitasi pada
sumber daya pada landas dan terletak pada landas kontinen yang tidak memiliki status
sebagai pulau. Pulau tersebut tidak memiliki laut teritorial dan kehadirannya tidak
berakibat pada pembatasan laut teritorial dari negara pesisir.
Pertama, article 11 menjelaskan bahwa pemasangan pada lepas pantai dan
pula buatan tidak dianggap sebagai kegiatan pelabuhan yang permanen dan karena itu
tidak ada garis pangkal. Kedua, article 60(8) dan 80 menjelaskan pulau buatan dan
pemasangan sesuatu di ZEE atau landas kontinen tidak memiliki laut teritorial mereka
dan kehadiran mereka tidak berdampak pada pembatasan dari laut teritorial. Ketiga,
walaupun pembuatan pulau buatan pada laut lepas sekarang dianggap sebagai
kebebasan pada laut bebas, terdapat larangan pada negara yang membuat bagian dari
laut lepas berada di bawah kedaulatan mereka untuk menghindari munculnya zona
maritim pada disekeliling pulau buatan pada laut lepas.
11. Reefs
Pulau Terumbu karang dapat menjadi suatu masalah karena berrubahnya
pasang surut,yang mana hal ini bisa mengubah jarak terluar sebuah negara ketika
diukur dari pulau karang tersebut: karena itu diperdebatkan apakah ada suatu
peraturan yang bisa menyatakan bahwa batu karang tersebut bisa menjadi garis
pangkal. Masalah mengenai batu karang ini telah dibicarakan dalam ILC tapi tidak
ada penjelasan yang pasti mengenai hal ini pada UNCLOS I. Sementara banyak
negara yang memiliki pulau karang seperti Caribbean, Indian dan Lautan Pasifik
seperti Bahamas, Maldives, Nauru. Maka dari itu dibuat peraturan yang mengatur
tentang pulau batu karang dalam pasal 6‘the Law of the Sea Convention’ yaitu:
“In the case of islands situated on atolls or of islands having fringing reefs, the
baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the seaward low-water line
of the reef, as shown bt the appropriate symbol on charts officially recignized by the
coastal State.”
Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang pasal ini. Pertama, peraturan
ini tidak terbatas hanya pada terumbu karang . Kedua, pasal ini menyatakan bahwa
hanya karang yang terlihat pada saat pasang rendah dan tidak sama sekali tenggelam
dalam air saja yang dapat digunakan sebagai garis pangkal. Ketiga, bahwa tidak ada
kejelasan apakah kata “terumbu karang tepi” dipakai sesuai dengan artinya dalam
geomorfologi sebagai karang yang meluas keluar dari pantai yang mana tidak
dipisahkan oleh sungai atau juga termasuk karang penghalang yang tersusun paralel
pada pantai. Masalah lain adalah apabila ada jarak antara dua terumbu karang tepi.
Terutama apabila jarak antara terumbu karang tersebut cukup jauh. Masalah terakhir
adalah apabila pulau-pulau terumbu karang tersebut membentuk sebuah kepulauan.
Dalam kasus seperti ini akan lebih mudah apabila garis pangkal dibuat sesuai dengan
garis pangkal negara kepulauan daripada mengikuti pasal yang disebutkan di atas.
12. Charts and Publicity
Di dalam Territorial Sea Convention pasal 4(6) mewajibkan negara pantai
untuk membuat peta daerah laut (nautical charts) dan mempublikasikannya khusus
untuk straight baselines. Kemudian muncul pasal 16 dari United Nations Law of The
Sea Convention yang seharusnya memberikan gambaran yang lebih akurat dalam
penentuan garis pangkal (contohnya di gambar 3 di atas). Penentuan garis pangkal
dengan menggunakan pasang surut air laut tidak memberikan suatu kepastian
mengingat pasang surut air laut dapat berubah-ubah mengikuti musim dan keadaan
cuaca lainnya. Sehingga dipergunakanlah garis koordinat permukaan bumi yang dapat
ditentukan secara pasti. Di samping itu dengan adanya peta daerah laut maka perlu
adanya publikasi peta tersebut. Dengan publisitas tersebut akan sangat berguna bagi
angkatan laut dan nelayan untuk mengetahui zona maritim negara pantai. Dan juga
untuk membantu untuk mengurangi penyalah gunaan dari straight baselines, mulut
pantai, dan bay closing lines.
13. Present –day Custmary International Law Relating to Baselines
Mengingat jumlah negara yang terikat oleh konvensi tentang laut territori dan/atau
konvensi tentang hukum laut, bisa dikatakan bahwa pertanyaan apa hukum kebiasaan
dalam hukum laut tentang garis pangkal tidak terlalu penting, namun masih mungkin
hal ini akan menjadi penting dalam kasus tertentu.
Ada 3 alasan mengapa konvensi yang disebutkan di atas bisa dikatakan sudah
menjadi hukum kebiasaan internasional. Satu, bahwa pengaturan garis pangkal dalam
konvensi laut territorial dan konvensi mengenai hukum laut tidak mengalami
perubahan dan tidak memiliki oposisi dalam UNCLOS. Kedua, pengaturan mengenai
garis pangkal telah dimasukkan ke dalam perjanjian untuk negara yang tidak
menandatangani konvensi mengenai laut territorial. Ketiga, terdapat undang-undang
produk legislasi yang mengatur garis pangkal yang dibuat oleh negara-negara ketika
mereka tidak diikat oleh konvensi-konvensi yang disebutkan. Undang-undang
tersebut berisi ketentuan yang sama dengan ketentuan yang terdapat dalam konvensi
di atas. Pengecualian terdapat pada pasal 7(2) mengenai garis pangkal lurus untuk
pantai yang tidak stabil dan pasal 6 mengenai terumbu karang
14. Validity of Baselines
Masalah keberlakuan garis pangkal muncul dari kasus Anglo-Norwegian
Fisheries yang mempertentangkan wilayah laut antara UK dengan Norwegia karena
kesulitan penentuan garis pangkal. Dari kasus tersebut International Court of Justice
mengeluarkan suatu putusan yang menyatakan:
“The delimination of sea areas has always an international aspect.it cannot be
dependent merely upon the will of the coastal State as expressed in its municipal law.
Although it is true that the act of delemination is necessarily a unilateral act because
only the coastal State is competent to undertake it, the validity of the delimination
with regard to other States depends upon international law.”
Dengan putusan dari ICJ tersebut maka penetapan baselines tidak boleh
bertentangan dengan hukum internasional. Hal yang berperan penting dalam
penerimaan suatu standar garis pangkal oleh suatu negara oleh negara lain adalah
sikap negara lain terhadap standar tersebut(apabila standar tersebut tidak pasti tepat
dengan standar internasional). Walaupun pada kasus itu terjadi penetapan tentang
garis pangkal masih terdapat perbedaan pendapat dari berbagai negara, dan juga
belum diatur dalam suatu konvensi internasional.
Download