marginalisasi komunitas lokal

advertisement
MARGINALISASI KOMUNITAS LOKAL DALAM PERSPEKTIF
KONTINGENSI STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(Studi Kasus di Kota Bekasi)1
Oleh: Harry Hikmat2
Abstract
This study aims at understanding marginalization and powerless of local community in
structural social canges. Functional structural approach tries to explain the effect of social
structure on the functions of society adjusted to the process of social changes. This case study
in Bekasi was conducted to study the local community living in the outskirts of housing
complexes. The data were collected through Participatory Research Appraisal and Rapid
Assessment Procedure. The findings of the present study indicate that the effects of various
social realities in the macro system of societal life – which reflect external elements of
economic, political and sociocultural systems – or in the meso and micro sub system, are
studied. Since they are deterministic to the meso and micro subsystems, the micro element of
community reflect internal factors of the condition of a particular community in a situation of
incapability to adapt with the occurring structural changes. The relationship between macro
and micro subsystems lays on the decisions made by social institutions, either government
institutions or NGOs, at meso level – which uses alternative options of traditional people
empowerment, direct action, or transformative strategies. The tendency of marginalization and
powerless of local community is resulted from the emerging structural problems, which are
reflected by the options of development strategies that unfortunately do not take side with poor
people and local community. Structural changes in the forms of shifts in policies on city
planning, socio-economic structure, administration structure and development management,
affect the alteration of the functions of a given community. For that reason, it is essential to be
concerned about functional and city planning integrity. Based on this study, a new thought has
been formulated in the form of ‘Contingency Analysis Model of Community Empowerment
Strategy’, as an effort to prevent “Local Community Marginalization” and reconstruction from
Functional Structural Theory Parsons, Alexander and Niklas Luhman.
Key Words:
Marginalization, Powerless, Empowerment, Contingency Analysis Model
Pendahuluan
Latar belakang penelitian didasarkan adanya kecenderungan terjadi marginalisasi dan
ketidakberdayaan (powerless) komunitas lokal dalam beradaptasi terhadap perubahan struktural
kota. Hal ini dipahami dan dijelaskan melalui pendekatan struktural fungsionalisme, untuk
menjelaskan perubahan struktural kota mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi-fungsi yang
ada di masyarakat.
Tujuan penelitian yaitu: (1) memahami marginalisasi dan ketidakberdayaan komunitas
1
Diangkat dari penelitian Disertasi Harry Hikmat, dengan wibawa Tim Promotor : Prof. Dr. H. Kusnaka
Adimihardja, MA, Prof. Dr. H. Haryo S. Martodirdjo, dan Prof. Dr. H. Rusidi, Ir., MS.
2
Harry Hikmat, Doktor Ilmu Sosial Unpad Bandung, Staf Ahli Menteri Bidang Dampak Sosial
Kemensos
1
lokal dalam beradaptasi terhadap perubahan struktural kota; (2) mendeskripsikan kondisi aktual
strategi pemberdayaan yang digunakan dalam program penanganan kemiskinan yang
diprakarsai pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat; dan (3) memahami marginalisasi dan
ketidakberdayaan (powerless) komunitas lokal dalam perspektif kontingensi strategi
pemberdayaan komunitas, yang menghubungkan fenomena tersebut dengan elemen sistem
ekonomi, politik dan sosial budaya, serta strategi institusi sosial dalam penanganan masalah
kemiskinan.
Hasil penelitian diharapkan memperkaya referensi Sosiologi tentang konsep dan teori
marginalisasi dan ketidakberdayaan komunitas lokal dalam perspektif kontingensi strategi
pemberdayaan masyarakat, serta secara praktis diharapkan menjadi masukan untuk model
analisis kebijakan pembangunan sosial dan memberikan alternatif pilihan strategi penanganan
masalah kemiskinan di perkotaan yang bertumpu pada proses pemberdayaan masyarakat.
Marginalisasi dan ketidakberdayaan komunitas lokal dapat merupakan akibat dari masalah
yang bersifat struktural. Untuk itu grand theory yang digunakan adalah Teori Struktural
Fungsional dari Parsons sebagai titik tolak paradigma untuk menjelaskan hubungan antara
perubahan struktural kota dengan perubahan fungsi-fungsi masyarakat dan selanjutnya
digunakan teori-teori pendukung (midle range theory) yang bersumber dari neofungsionalis
Alexander dan Hulleman tentang hubungan kontingensi makro dan mikro, serta teori-teori yang
mendukung operasionalisasi konsep marginalisasi dan ketidakberdayaan. Selain itu,
marginalisasi berkaitan juga dengan perubahan spatial (keruangan) dalam konteks
pembangunan regional. Salah satu yang mengembangkan teori pembangunan regional yang
dikemukakan John Friedmann (dalam Gore, 1984:39-42) yang memusatkan perhatian pada
transformasi spasial yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi. Perubahan struktur spasial
tersebut dicirikan dengan adanya perkembangan organisasi spasial antara centre-periphery.
Hipotesis dirumuskan berdasarkan anggapan dasar: (1) orientasi pembangunan ekonomi,
politik dan sosial budaya bersifat deterministik terhadap perubahan struktural perkotaan; (2)
perubahan sosial dalam sistem sosial perkotaan bersifat dinamis, sehingga orientasi
pembangunan pada tingkat makro dapat berdampak negatif pada sistem mikro, dalam kondisi
pada tingkat meso terjadi perubahan ke arah yang semakin jauh dari keseimbangan kondisi
awal.
Hipotesis kerja yang diajukan yaitu: (1) ketidakberdayaan komunitas lokal merupakan
akibat dari marginalisasi komunitas lokal dalam perubahan struktural kota dan strategi intitusi
sosial dalam penanganan kemiskinan mengabaikan hakekat dari pemberdayaan sosial; (2)
marginalisasi dan strategi institusi sosial dalam penanganan masalah kemiskinan merefleksikan
mode of orientation aktor pembangunan yang bertumpu pada kepentingan ekonomi dan politik
daripada kepentingan sosial budaya; dan (3) ada hubungan kontingensi antara orientasi
pembangunan ekonomi, sosial dan politik pada tingkat makro, dengan pilihan strategi
pemberdayaan masyarakat pada tingkat meso dan tindakan sosial pada proses pemberdayaan
masyarakat pada tingkat mikro (lihat gambar 1).
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu Emancipatory Research (Truman, Mertens &
Humphries, 2000:4). Metode Rapid Appraisal Procedure digunakan untuk mengkaji
karakteristik perubahan struktural kota dan metode Participatory Research Appraisal digunakan
untuk memahami proses perubahan struktural fungsional, marginalisasi dan perkembangan
ketidakberdayaan komunitas lokal.
Penentuan lokasi Penelitian di Kota Bekasi didasarkan kriteria riwayat pemukiman dan
keberadaan komunitas lokal, sehingga terpilih Kec. Bekasi Utara dengan lokasi sekitar
Kompleks Taman Wisma Asri; Kec. Bekasi Barat dengan lokasi sekitar Perumnas I, Perumnas
II, dan Perumahan Bumi Satria Kencana; Kec. Bekasi Selatan dengan lokasi sekitar Perumahan
2
Pekayon Jaya; dan Kec. Bekasi Timur dengan lokasi sekitar Perumahan Bekasi Jaya Indah.
Sumber data dan informan dipilih berdasarkan keterwakilan unsur pusat, propinsi,
kabupaten/ kota, pengelola program dan komunitas lokal. Teknik pengumpulan data yang
digunakan yaitu, Participatory Research Appraisal, Rapid Assesment Procedure, wawancara
mendalam dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan didasarkan pada logika
abductive dan retroductive (Norman Blaikie, 2000). Analisis konstruksionis menurut perspektif
komunitas lokal digunakan untuk merekonstruksi kerangka pemikiran dan teori yang digunakan.
Analisis data dilakukan melalui tahapan unitasi, kategorisasi, analisis dan interpretasi, analisis
lintasan dan rekonstruksi model analisis kontingensi.
3
Sistem makro : Struktural Fungsional dan Sistem Sosial (Parsons, Alexander, Luhman)
Elemen Sistem
Ekonomi
- Pemberdayaan ekonomi vs
non ekonomi
- Distribusi modal vs hak
kepemilikan
People centre development,
(Korten)
Elemen Sistem Politik
- Sentralistik vs
desentralistik
- Perencanaan dari atas vs
dari bawah
- Kepentingan politik vs
netral
Perubahan sistem sosial,
ekonomi dan politik (Rojek)
Elemen Sistem Sosial
Budaya
-
Masalah vs tantangan
Patologis vs kekuatan
Masa lalu vs masa depan
Tenaga ahli profesional vs
mitra kolaboratif
Empowerment based practice
(Dubois & Miles)
Sistem Meso : Social Agency (Abercrombe, Hill and
Tuner)
Perubahan Struktural Kota
- Struktur tata ruang
(tata guna tanah, fasilitas
pelayanan sosial, jaringan
transportasi)
Marginalisasi
Komunitas
Lokal
- transformasi
spasial
- centreperiphery
- Struktur sosial ekonomi
( pola ekonomi masyarakat,
organisasi produksi, struktur
kekuasaan ekonomi)
- Struktur administrasi dan
pengelolaan pembangunan
(sistem administrasi
pemerintahan, pengorganisasian
partisipasi masyarakat)
Unsur-unsur perubahan struktural
(Harry)
(Friedman)
Strategi
institusi sosial
dalam
penanganan
kemiskinan
- Latar belakang
- Proses
- Hal yang
dikerjakan
(Hanna & Robinson)
Diagram 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
0
Sistem Mikro : Power
(Parsons & Weber)
Ketidakberdayaan
Komunitas lokal:
- Alternatif
individu
- Produktivitas
- Kolektivitas
Hasil dan Pembahasan
Perubahan Struktural Kota
Kota Bekasi telah mengalami perubahan struktur tata ruang yang ditandai oleh perubahan fungsi
lahan dari semula wilayah pertanian menjadi wilayah pemukiman, industri, jasa dan perdagangan.
Bersamaan dengan itu juga terjadi perkembangan fasilitas pelayanan publik dan jaringan transportasi
yang sangat pesat. Adapun perubahan struktur sosial ekonomi ditandai dengan pertumbuhan
penduduk, perkembangan investasi di sektor industri, jasa dan perdagangan, serta perubahan sosial
budaya agraris menjadi budaya industri dan bisnis. Seiring dengan perubahan struktural sosial
ekonomi, dampak sosial negatif juga terjadi dengan semakin tingginya kemiskinan, tindak kriminal,
kejahatan seksual, dan prostitusi.
Kota Bekasi telah mengalami beberapa kali perubahan struktur administrasi dan pengelolaan
pembangunan, dari mulai kewedanaan, kabupaten, kota administratif sampai akhirnya dikukuhkan
menjadi kota.
Marginalisasi dan Ketidakberdayaan Komunitas Lokal
Transformasi spasial di Kota Bekasi ditunjukkan dengan perubahan fungsi kota menjadi kota
pemukiman penduduk Jakarta, padatnya kompleks perumahan, meluasnya sentra ekonomi, perubahan
modus transportasi, perubahan fungsi lahan pertanian ke non pertanian dan perubahan fungsi sebagai
kawasan penyeimbang menjadi buffer zones bagi DKI Jakarta.
Bersamaan dengan proses transformasi spasial tersebut, muncul wilayah centre dan periphery,
yang secara makro direfleksikan dengan pesatnya perkembangan wilayah DKI Jakarta sebagai
wilayah pusat dan kota sekitarnya (Bogor, Bekasi dan Tangerang) sebagai wilayah pinggiran, dan
secara mikro direfleksikan dengan pesatnya perkembangan pemukiman penduduk Jakarta di Bekasi
dan tergesernya pemukiman penduduk asli Bekasi ke desa pinggiran.
Penduduk asli Bekasi diantaranya dapat dikategorikan sebagai komunitas marginal, karena kalah
bersaing dalam sistem ekonomi DKI Jakarta yang berkembang pesat, sulit beradaptasi terhadap
perubahan struktural kota, mengalami keterbatasan keterampilan, semakin miskin, berada di daerah
kumuh, diantaranya telah melakukan penyimpangan perilaku, melakukan tindak kejahatan dan terlibat
dalam prostitusi. Beberapa kelompok komunitas diantaranya bertahan hidup di pinggiran komplekskompleks perumahan, yang selanjutnya disebut sebagai komunitas lokal.
Karakteristik komunitas lokal yang dapat diidentifikasi yaitu banyak penduduk asli yang tinggal
sebelum dibangun kompleks perumahan, bekerja pada sektor informal dan tidak tetap, berpenghasilan
subsistence level, mempunyai tanggungan keluarga yang banyak, tinggal dalam rumah yang sempit
dan tidak layak huni, berada dalam lingkungan kumuh dan status tanahnya ilegal, tidak tercatat dalam
registrasi penduduk, sulit akses terhadap pelayanan sosial dasar dan anak-anaknya rawan putus
sekolah, menjadi anak jalanan, menjadi anak yang dilacurkan dan mengalami gizi buruk.
Ketidakberdayaan komunitas lokal dalam beradaptasi terhadap perubahan struktural kota dapat
dilihat dari ciri-ciri: (1) tidak adanya alternatif untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan
keluarga, karena mereka kehilangan peluang untuk akses terhadap sistem pelayanan sosial dasar
(termasuk sulit akses terhadap program ‘pemberdayaan’); (2) terbatasnya produktivitas kerja dan
ekonomi yang membuat mereka berada dalam keadaan subsistence level; (3) tujuan-tujuan kolektif
tidak dapat lagi dibentuk dan dicapai, walaupun mereka masih dalam bentuk komunal; dan (4)
semakin lama cenderung fatalistik terhadap perubahan dan kemajuan di lingkungan sekitarnya.
Kondisi ketidakberdayaan komunitas lokal adalah merupakan penyimpangan fungsi-fungsi
masyarakat atau mereka mengalami disfungsi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat mikro,
terjadinya ketidakberdayaan komunitas lokal tidak cukup dianalisis dalam kerangka struktural
eksternal fungsional, tetapi juga dianalisis dalam kerangka kultural internal fungsional yang
menjelaskan hubungan interaksi individu dengan lingkungan komunitas lokal itu sendiri.
Sikap yang cenderung fatalistik dari sebagian komunitas lokal dalam menjalani kehidupannya,
merupakan kondisi yang merefleksikan lemah karsa dan kondisi ini telah menjadi budaya atau
persoalan ketidakberdayaan komunitas lokal telah lebih jauh mengakibatkan budaya kemiskinan. Jika
benar ini terjadi, maka menjadi sangat sulit untuk melepaskan mereka dari lingkaran kemiskinan,
5
karena ada kecenderungan pada titik kritis tertentu mereka melakukan penyimpangan perilaku dan
destruktif terhadap kemajuan lingkungan sekitarnya.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Implementasi program-program pemerintah yang mengatasnamakan pemberdayaan masyarakat
pada era otonomi daerah, ternyata masih merupakan adopsi dari struktur dan mekanisme program
pusat pada masa sebelum era otonomi daerah diberlakukan. Ciri-ciri pelaksanaan program meliputi
jangkauan pelayanan yang terbatas, masih kuat didasarkan pada petunjuk pelaksanaan/ petunjuk
teknis yang kaku, kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses
perencanaan dan evaluasi, setiap tahapan kegiatan didominasi oleh peran petugas pemerintah, serta
orientasi keberhasilan program masih terbatas pada pencapaian target fisik/ administratif. Akibatnya
berbagai masalah dihadapi oleh para pengelola program, seperti macetnya pengguliran dana,
penyalahgunaan kewenangan, bantuan tidak sampai sasaran, dan tidak berkembangnya usaha
ekonomi produktif penerima layanan karena tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Strategi penanganan kemiskinan seperti itu turut mendorong terjadinya marginalisasi penduduk
miskin. Komunitas lokal di pinggiran kompleks perumahan umumnya merupakan penduduk yang
sangat miskin yang tidak dapat akses terhadap program-program pemerintah, karena mereka tidak
mempunyai KTP, tidak mempunyai Kartu Keluarga, dan tidak tercatat dalam sistem registrasi
penduduk di lingkungannya setempat
Dalam kondisi demikian, program-program serupa yang diprakarsai oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat masih dapat menyentuh komunitas lokal, karena tidak ada persyaratan administrasi yang
menghambat komunitas lokal untuk akses terhadap program pemberdayaan masyarakat. Hal yang
cukup menonjol dari pelaksanaan program yang diprakarsai oleh LSM, yaitu adanya pendelegasian
wewenang kepada kelompok swadaya masyarakat untuk mengelola program dan adanya pemberian
kesempatan yang seluas-luasnya agar warga berperan aktif dalam setiap tahapan kegiatan
pemberdayaan. Selain itu peningkatan kemampuan warga difasilitasi dengan menggunakan teknikteknik Participatory Urban Appraisal, sehingga sumber daya lokal dapat dimanfaatkan secara optimal,
termasuk pemberdayaan institusi tradisi/ lokal dan potensi sosial yang ada di lingkungan komunitas
lokal itu sendiri.
Berdasarkan pengalaman tersebut dapat dipahami bahwa implementasi dari strategi
pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya bertumpu pada pendekatan partisipatif, penguatan
kemampuan, pendelegasian wewenang kepada masyarakat dan aktualisasi institusi tradisi dalam
mendayagunakan potensi diri dan sosial yang dimilikinya. Indikator keberhasilan dilihat dari
terjadinya aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi komunitas dalam menangani masalah sosial dan
kemiskinan di lingkungannnya, karena hakekat masalah sosial adalah masalah yang terjadi di dalam
lingkungan masyarakat lokal.
Model Analisis Kontingensi Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Jalinan hubungan antara elemen-elemen pada tingkat makro, meso dan mikro dapat dijelaskan
dengan perspektif kontingensi, yaitu akibat-akibat yang terjadi pada tingkat mikro merupakan akibat
dari penyebab pada tingkat makro dalam kondisi tertentu yang terjadi pada tingkat meso.
Ketidakberdayaan komunitas lokal pada tingkat mikro, merefleksikan adanya faktor di luar
komunitas lokal yang mengabaikan potensi sosial yang dimilikinya. Hal ini disebabkan kurang
dipahaminya hakekat dari strategi pemberdayaan masyarakat oleh institusi sosial pada tingkat meso,
sehingga terdapat perbedaan makna pemberdayaan secara konseptual dengan implementasi di
lapangan. Selain itu mode of orientation dari aktor pembangunan yang berada dalam posisi pengambil
keputusan pada tingkat makro cenderung masih diwarnai oleh kepentingan ekonomi dan politik
daripada kepentingan sosial budaya. Hal ini dapat dilihat dari implikasi perubahan struktural kota
yang meliputi perubahan tata ruang, sosial ekonomi dan administrasi serta pengelolaan pembangunan
yang cenderung mengabaikan keberadaan komunitas lokal.
Dalam keadaan sistem masyarakat yang lebih besar mengabaikan potensi yang tersedia di dalam
komunitas, sama juga dengan membuat keseimbangan sistem sosial tersebut menjadi terganggu atau
tidak membuat sistem sosial tersebut menjadi stabil. Hubungan kontingensi antara sistem makro,
6
meso dan mikro bukan hanya bersifat dinamis tetapi juga mengarah kepada ketidakseimbangan antara
elemen sistem yang menggerakkan sub-sub sistem tersebut menjadi semakin jauh dari keadaan
semula. Ketidakberdayaan pada komunitas lokal dalam beradaptasi dengan perubahan struktural kota
merefleksikan perubahan sosial yang terjadi pada komunitas lokal menuju keadaan yang sangat
berbeda dengan kondisi awal. Ketidakberdayaan komunitas lokal merefleksikan mereka mengalami
disfungsi sosial dan dapat berakibat terjadi disintegrasi sosial dari lingkungan sosial sekitarnya.
Dalam perkembangan wilayah yang begitu pesat, kerelaan komunitas lokal untuk melepas aset
yang dimiliki kepada para pengambil keputusan di lingkungan pemerintah daerah dan pihak
pengembangan perumahan (developer) tidak dapat dikategorikan sebagai complimentary sub sistem
komunitas lokal yang saling menguntungkan, karena semakin lama terjadi disparitas nilai ekonomi
dari ‘sumbangan’ komunitas lokal terhadap pembangunan dengan nilai ekonomi yang diraih oleh
pihak pengembang. Di lain pihak, elit penguasa lokal cenderung berafiliasi dengan pihak pengusaha
untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik.
Respon yang ditunjukkan komunitas lokal semakin lama tidak menjadi bagian dari
complimentary sub sistem lain, melainkan menjadi bagian dari suatu sistem yang terpinggirkan dari
sistem sosial kota yang berkembang dinamis. Kepatuhan komunitas lokal terhadap putusan penguasa
pada awal perkembangan kota, menjadi semakin jauh dari harapan semula, karena mereka semakin
lama semakin berkurang aset kepemilikannya, semakin sulit akses terhadap pelayanan sosial dasar
dan akhirnya keberadaan mereka tidak diakui oleh lingkungan sekitar. Jika pada akhirnya ada pribadipribadi yang mengalami disintegrasi dari lingkungan sosial dengan melakukan perilaku menyimpang
atau melakukan tindak kriminal, hal ini selain akibat dari tekanan eksternal yang sangat kuat, juga
akibat daya tahan sosial mereka pada titik yang paling rendah. Dalam ketidakberdayaan, mereka juga
akhirnya bisa mengambil keputusan untuk semakin menyimpang dari norma-norma sosial yang
berlaku dalam lingkungan komunitasnya. Selama mempertahankan kelangsungan hidupnya yang
semakin sulit, motivasi dalam menjalani kehidupan yang semula masih positif berubah menjadi
motivasi negatif.
Dengan demikian hubungan antara makro dan mikro terletak pada hubungan kontingensi antara
mode of orientation aktor pembangunan pada tingkat makro dengan pilihan strategi pemberdayaan
masyarakat pada tingkat meso serta tindakan sosial pada proses pemberdayaan masyarakat pada
tingkat mikro (lihat gambar 2). Elemen-elemen sistem dan kekuatan ekonomi, politik dan sosial
budaya pada tingkat makro menjadi faktor penentu keputusan strategis institusi sosial dalam
pemberdayaan komunitas secara transformatif. Elemen sistem dan kekuatan ekonomi yang cenderung
mempengaruhi secara positif terhadap sistem meso yaitu orientasi pemberdayaan non ekonomi secara
proporsional dengan pemberdayaan ekonomi dan perlindungan pada hak kepemilikan komunitas.
Elemen sistem dan kekuasaan politik yang cenderung mempengaruhi secara positif terhadap sistem
meso memiliki dimensi-dimensi desentralistik, perencanaan dari bawah, dan kepentingan yang
bertumpu pada kesejahteraan masyarakat. Elemen sistem dan kemampuan sosial budaya yang
cenderung mempengaruhi secara positif terhadap sistem meso memiliki dimensi-dimensi orientasi
masalah sosial sebagai tantangan, pendayagunaan kekuatan/ potensi, orientasi pada masa depan, dan
jalinan mitra kolaboratif dengan berbagai pihak. Elemen makro berinteraksi dengan pilihan strategi
pemberdayaan pada masyarakat secara transformatif di tingkat meso untuk mencapai keberdayaan
komunitas yang dapat dilihat dari aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi komunitas. Kedua hal
tersebut merefleksikan hubungan antara potensi diri, potensi sosial, kategori strategi, dan aktualisasi
diri, serta koaktualisasi eksistensi komunitas.
7
8
Kesimpulan
Marginalisasi komunitas lokal merefleksikan pemiskinan secara sistematis dan mode of
orientation aktor pembangunan yang lebih bertumpu pada kepentingan ekonomi dan politik daripada
kepentingan sosial budaya. Selain itu, marginalisasi bersama-sama dengan strategi institusi sosial
yang mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat, cenderung mengakibatkan keadaan komunitas
lokal menjadi semakin tidak berdaya dalam beradaptasi terhadap perubahan struktural kota. Untuk
menjelaskan ketidakberdayaan komunitas lokal tidak cukup dianalisis dalam kerangka struktural
eksternal fungsional, tetapi juga hubungan interaksi antara individu dengan lingkungan komunitasnya
dalam kerangka kultural internal fungsional, sehingga analisis Struktural Fungsional dari Parsons,
direkonstruksi dengan pemikiran Fungsionalisme Sistem dari Alexander yang menghubungan elemen
makro dan mikro serta hubungan kontingensi dari pemikiran Niklas Luhman. Hubungan elemen
makro, meso dan mikro terletak pada hubungan kontingensi antara mode of orientation aktor
pembangunan pada tingkat makro dengan pilihan strategi pemberdayaan masyarakat pada tingkat
meso serta tindakan sosial pada proses pemberdayaan masyarakat pada tingkat mikro. Strategi
pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya bertumpu pada pendekatan partisipatif pada semua pihak,
penguatan kemampuan dan pendelegasian wewenang kepada masyarakat, aktualisasi institusi tradisi
dalam pendayagunaan potensi diri dan sosial yang dimilikinya. Pilihan strategi pemberdayaan pada
masyarakat secara transformatif di tingkat meso mendorong pencapaian keberdayaan komunitas yang
dapat dilihat dari aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi komunitas dalam menangani masalah
sosial dan kemiskinan di lingkungannya. Untuk itu, dalam menangani masalah kemiskinan komunitas
lokal di pinggiran kompleks-kompleks perumahan, agar diawali dengan adanya pengakuan terhadap
keberadaan komunitas lokal oleh warga masyarakat sekitarnya dan selanjutnya mereka dilibatkan
dalam setiap proses pembangunan dengan memberdayakan mereka sesuai dengan potensi diri dan
sosial yang dimilikinya, dengan dukungan orientasi kebijakan pembangunan yang bertumpu pada
kepentingan sosial budaya.
Daftar Pustaka
Abercrombie, N., Hill, S., and Turner, B.S. 1984. Dictionary of Sociology. London: Penguin.
Blaikie, N. 1993. Approaches to Social Enquiry. Cambridge : Blackqwell Publishers Ltd.
Craib, Ian. 1984. Modern Social Theory : From Parsons to Habermas. New Delhi: The Harvester Press.
Craig, G & M. Mayo. 1995. Community Participation and Empowerment: The Human face of Structural
Adjustment or Tools for Demoratic Transformation in Craig, G & Mayo, M (ed.) 1995. Community
Empowerment: A Reader in Participation and Development. London : Zed Books
Dubois and K. K. Miley. 1996. Social Work, An Empowering Profession. Boston: Allyn and Bacon.
ESCAP. 1999. HRD Course for Poverty Alleviation. Bangkok : HRD Division.
Friedmann. 1992. Empowerment : The Politics of Alternative Development, Cambridge: Blacwell.
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-ilmu Sosial: Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
Gore, Charles. 1984. Regions in Question : Space, Development Theory and Regional Policy. London : Methuen
dan Co. Ltd.
Hamilton, Peter. 1990. Talcott Parsons dan Pemikirannya. Yogya: Tiara Wacana.
Hanna, M. G and Robinson, B. 1994. Strategies for Communiy Empowerment: Direct-Action and
Transformative Approaches to Social Change Practice. New York : The edwin Mellen Press.
9
Harry Hikmat. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Humaniora Utama Press.
Herman Soewardi. 2002. Kognisi-Karsa-nalar: Dasar-dasar untuk Kebangkitan Islam dalam Millenium 3.
Bandung:Bakti Mandiri.
Korten, D.C. dan Sjahrir. (ed.). 1993. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
dan Pustaka Sinar Harapan.
Kusnaka Adimihardja dan Harry Hikmat. 2000. PRA: Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan
Pengabdian Kepada Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.
Poduska, B. 2000. 4 Teori Kepribadian: Eksistensialis, Behavioris, Psikoanalitik, Aktualisasi Diri. Jakarta:
Radar Jaya Offset.
Pranarka dan Vidhyandika M. 1996. Pemberdayaan, dalam Onny S.P. dan A.M.W. Pranarka (ed). 1996.
Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS.
Rappaport, J. 1987. Terms of Empowerment: Toward a Theory for Community Psychology. American Journal
of Community Psychology, vol 15. No 2.
Rojek, Chris. 1986. The ‘Subject” in Social Work. British Journal of Social Work 16 (1) 65-79.
Soerjono Soekanto. 1984. Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Truman, C., Mertens, D.M. & Humpries, B. 2000. Research and Inequality. London : UCL Press.
Turner, J.H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Washington: Wadsworth publishing Company.
Yin, R.K. 1989. Case Study Research: Design and Methods. London: Sage Publication.
10
Download