KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.) Oleh Donie Kadewandana NIM. 104051001897 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.) Oleh Donie Kadewandana NIM. 104051001897 Di Bawah Bimbingan Dra. Armawati Arbi, M. Si NIP. 150246288 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA)”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Jakarta, 10 Desember 2008 Panitia Sidang Munaqasyah, Ketua Sekretaris Drs. Study Rizal LK, MA NIP. 150 262 876 Umi Musyarofah, MA NIP. 150 281 980 Penguji I Penguji II Dr. Murodi, MA NIP. 150 254 102 Drs. Jumroni, M.Si NIP. 150 254 959 Pembimbing, Dra. Armawati Arbi, M.Si NIP. 150 246 288 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 17 November 2008 Donie Kadewandana ABSTRAK Donie Kadewandana NIM. 104051001897 102+vii hal, 7 Tabel, 9 Gambar/Bagan; 2008 KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA) Pembentukan organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia di dalam tubuh PDI-P, banyak mendapat respon dari berbagai kalangan. Ada yang berpendapat bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan langkah progresif karena dapat menghapus dikotomi Islam dan nasionalis. Ada juga yang menganggap bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan strategi PDI-P untuk memperbaiki citra dan mendongkrak suara dalam pemilihan umum (Pemilu) 2009. Opini mengenai pembentukan dan citra Baitul Muslimin Indonesia sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari media massa. Media massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini publik pada suatu peristiwa. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui bagaimana Harian Kompas dan Republika mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P; (2) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing (sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konstruksi realitas sosial yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, serta teori konstruksi sosial media massa Burhan Bungin. Kemudian dikaitkan dengan teori framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Metodologi penelitian dalam skripsi ini antara lain menggunakan: paradigma konstruksionis, pendekatan kualitatif, sifat penelitian eksplanatif, dan analisis data menggunakan framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Hasil penelitian menunjukan, (1) ada dua isu besar yang diangkat media dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia. Pertama, isu dikotomi Islam dan nasionalis. Frame Kompas terhadap isu ini yaitu Baitul Muslimin Indonesia merupakan bagian dari gerakan Islam progresif, karena dapat melahirkan titik temu antara Islam dan nasionalis. Frame Republika adalah dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan, karena selain terdapat titik temu, Islam dan nasionalis juga dapat saling mendukung. Kedua, isu dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P. Frame Kompas adalah pragmatisme politik. Frame Republika pun juga sama, pragmatisme politik. (2) Dari segi struktur wacana framing (sintaksis, skrip, tematik, retoris) terdapat perbedaan antara yang ditampilkan Kompas dan Republika. Perbedaan tersebut terutama terlihat dari struktur tematik dan retoris. Kompas lebih menonjolkan sisi pluralisme dan halus dalam menampilkan wacana Islam. Sedangkan Republika, terlihat lebih menonjolkan sisi keIslaman. KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil‘alamiiin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, sosok teladan sepanjang zaman, beserta para sahabat dan pengikutnya, yang telah mengantar umat manusia keluar dari masa kegelapan kepada zaman yang dihiasi dengan ilmu seperti saat ini. Adapun tugas akhir yang berjudul “Konstruksi Realitas di Media Massa (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terselesaikannya tugas akhir ini karena tak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Murodi, MA., selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr. Arief Subhan, M.A., selaku Pudek I, Drs. H. Mahmud Djalal, MA., selaku Pudek II dan Drs. Study Rizal L.K. MA., selaku Pudek III. 2. Drs. Wahidin Saputra, MA., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, dan Umi Musyarofah, MA., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan akademis dan administrasi. 3. Dra. Armawati Arbi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, baik dari segi keilmuan maupun tulisan. Semoga Ibu selalu diberikan limpahan karunia dan nikmat serta senantiasa mendapat perlindungan dari Allah SWT. 4. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang telah memberikan bantuan keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa selalu memberikan kemudahan, limpahan nikmat dan karunia-Nya kepada mereka. 5. Orang tuaku terkasih, Ibunda Mariam Muslihatun, yang telah memberikan dukungan moril, materil serta doa dan keridhoannya yang tak terhitung besarnya. Kepada kakakku tersayang Lindawati beserta sang suami Bang Buyung, dan adikku Adrian yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT mengampuni segala kesalahannya, memberikan kesehatan, umur yang bermanfaat, serta senantiasa mendapat perlindungan dari Allah SWT. 6. Meisya Dwi Putri, yang telah mendukung dan membantu penulis dalam mencari data. Terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan. Akhirnya kita bisa wisuda ke-74 di Auditorium Utama UIN Jakarta pada Januari 2009. 7. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., dan Istri, Ibu Ipah Fariah, yang telah menyewakan tempat kos (Wisma Sakina) yang nyaman. 8. Rubrik Deteksi Harian Indopos, Pusat Penelitian Kompas, Womens International Club (WIC), Orbit The Habibie Center, yang telah memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk berkarya. 9. Harian Kompas dan Republika, tempat penulis melakukan penelitian untuk skripsi ini. 10. Seluruh mahasiswa KPI angkatan 2004, terutama kelas KPI E. Untuk Maheso, Odih, Hasan, Irfanuddin, Sholeha, Husnul, Ranita (Akhirnya kita bisa wisuda ke-74 bersama-sama). Serta teman-temanku Hanif, Sita, Renal, Afif, Daraz, dan nama-nama lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Ini baru langkah awal dari perjalanan kita, teruslah berjuang untuk kehidupan dan kemanusiaan. Besarkanlah diri kita, keluarga kita, dan bangsa kita! Akhirnya teriring salam dan doa, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amien. Jakarta, 17 November 2008 Penulis DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR............................................................................................. i DAFTAR ISI............................................................................................................ iv DAFTAR TABEL ................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR/ BAGAN .............................................................................. vii BAB I BAB II BAB III BAB IV PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................................... B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................ C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... D. Metodologi Penelitian ....................................................................... E. Kajian Pustaka................................................................................... F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 1 8 9 10 15 17 TINJAUAN TEORITIS A. Fungsi Media Massa ......................................................................... B. Konstruksi Realitas Sosial ................................................................ C. Ideologi Media .................................................................................. D. Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki) ..... E. Kerangka Pemikiran.......................................................................... 18 24 32 36 49 PROFIL MEDIA CETAK A. Harian Kompas.................................................................................. 1. Sejarah Perusahaan...................................................................... 2. Visi, Misi dan Nilai-Nilai Dasar Kompas ................................... 3. Profil Pembaca ............................................................................ B. Harian Republika............................................................................... 1. Sejarah Perusahaan...................................................................... 2. Visi dan Misi Republika.............................................................. 3. Profil Pembaca ............................................................................ 50 50 61 64 65 65 67 69 ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA A. Isu/Peristiwa 1: Dikotomi Islam dan Nasionalis............................... 72 1.............................................................................................. F rame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan)...... 73 2.............................................................................................. F rame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus Dihapuskan.................................................................................. 78 3.............................................................................................. P erbandingan Frame ..................................................................... 82 B. Isu/Peristiwa 2: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P................................................................................................. 85 1.............................................................................................. F rame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung Kemenangan PDI-P dalam pemilu.............................................. 86 2.............................................................................................. F rame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia...................................... 89 3.............................................................................................. P erbandingan Frame ..................................................................... 93 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................... 96 B. Saran-saran........................................................................................ 97 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 99 LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR TABEL TABEL HALAMAN Tabel 1: Struktur Wacana dan Perangkat Framing............................................ 39 Tabel 2: Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan). ................................. 78 Tabel 3: Frame Republika: Dikotomi Islam & Nasionalis Harus Dihapuskan . 82 Tabel 4: Dikotomi Islam dan Nasionalis: Perbandingan Frame Kompas dan Republika................................................................................................... 84 Tabel 5: Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung Kemenangan PDI dalam Pemilu............................................................. 89 Tabel 6: Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia ......................................................... 93 Tabel 7: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P: Perbandingan Frame Kompas dan Republika........................................ 94 DAFTAR GAMBAR/ BAGAN GAMBAR/ BAGAN HALAMAN Gambar/ Bagan 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya............................. 29 Gambar/ Bagan 2: Proses Konstruksi Sosial Media Massa................................ 30 Gambar/ Bagan 3: “Hierarchy of Influence” Shoemaker and Reese ................. 35 Gambar/ Bagan 4: Profil Pembaca Kompas ......................................................... 64 Gambar/ Bagan 5: Jenis Kelamin Pembaca Republika ....................................... 69 Gambar/ Bagan 6: Mayoritas Pembaca Republika .............................................. 69 Gambar/ Bagan 7: Profesi Pembaca Republika.................................................... 70 Gambar/ Bagan 8: Sebaran Pembaca Republika ................................................. 70 Gambar/ Bagan 9: Grup Media Republika........................................................... 71 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2009, beragam organisasi sayap partai mulai banyak didirikan oleh partai politik. Pendirian organisasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh partai politik lama, partai politik baru pun banyak yang ikut mendirikan. Bentuk organisasi sayap partai yang bermunculan cukup beragam, antara lain ada yang bercorak keagamaan, kepemudaan, perempuan, profesi, dan lain sebagainya. Maraknya pembentukan organisasi sayap partai rupanya sejalan dengan adanya peningkatan jumlah partai politik peserta Pemilu 2009. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat1, partai politik yang telah terdaftar dan terverifikasi hingga akhir batas waktu berjumlah 34 partai. Serta ditambah 6 partai lokal Aceh dan 4 partai lama yang gugatannya dikabulkan oleh MA dan PTUN terkait masalah electoral threshold dalam Pemilu 2004. Dengan demikian total partai politik peserta Pemilu 2009 berjumlah 44 partai, dengan rincian 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Pendirian organisasi sayap partai terakhir belakangan ini sedang menjadi trend di kancah perpolitikan nasional. Hal ini dimungkinkan karena eksistensi organisasi sayap partai politik di Indonesia secara legal telah diakui dan dijamin 1 Komisi Pemilihan Umum, Partai Politik 2009, data diakses pada 9 Juli 2008 dari http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=category&sectionid=5&id=24&Itemi d=83 negara melalui UU Partai Politik No. 2 tahun 2008 tentang partai politik.2 Di dalam pasal 12 huruf (j) UU tersebut dinyatakan, bahwa salah satu hak partai politik adalah “membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik”.3 Pengakuan dan jaminan yuridis ini merupakan dasar sekaligus peluang bagi pengembangan struktur partai untuk menjangkau seluruh segmen masyarakat. Menurut Abdul Khaliq Ahmad, organisasi sayap partai memiliki fungsi dan peran yang penting bagi partai politik dalam upaya sosialisasi dan diseminasi program kebijakan partai untuk lebih mengembangkan kualitas kehidupan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan memiliki organisasi sayap yang beragam, partai politik akan diuntungkan karena bisa menjadikannya sebagai instrumen pendukung untuk menarik simpati dan dukungan yang sebesarbesarnya dari segenap lapisan masyarakat.4 Salah satu partai politik yang giat membentuk organisasi sayap menjelang Pemilu 2009 adalah Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P). PDI-P yang merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia, hingga tahun 2008 ini telah mendirikan beragam organisasi sayap partai. Sejauh ini tercatat ada lima organisasi sayap yang dimiliki oleh PDI-P, antara lain Banteng Muda Indonesia (BMI), Baitul Muslimin Indonesia, Srikandi Demokrasi Indonesia (SDI), Taruna Merah Putih (TMP) dan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem). Dari beragam organisasi sayap yang dimiliki PDI-P tersebut, yang menurut penulis menarik untuk dicermati dan diteliti adalah Baitul Muslimin Indonesia. Bila melihat AD/ART PDI-P, disebutkan bahwa PDI-P merupakan 2 Undang-undang Partai Politik: UU RI Nomor 2 Tahun 2008, cet. Ke-2 (Jakarta: Asa Mandiri, 2008), h.1. 3 Ibid, h. 8. 4 Abdul Khaliq Ahmad, Urgensi Organisasi Sayap Partai, artikel diakses pada 1 Juli 2008 dari http://www.pdp.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=1721 partai yang berideologi nasionalis, yakni partai yang terbuka untuk semua golongan dan tidak disebutkan bercorak keagamaan. Namun tanpa diduga pada tahun 2007, PDI-P mendirikan organisasi sayap partai yang bercorak keagamaan, yaitu Baitul Muslimin Indonesia. Ide awal pembentukan Baitul Muslimin Indonesia diprakarsai oleh Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P, Taufik Kiemas. Kemudian gagasan ini baru secara formal diumumkan pada saat acara buka puasa bersama di kediaman Megawati Soekarno Putri pada hari kedua ramadhan 1427 H. Dalam acara tersebut hadir Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin, yang tampil memberikan tausiyah. Kemudian hadir pula Sekjen PDI-P Pramono Anung, Hamka Haq, Adang Ruchiyatna, Daryatmo dan tokoh PDI-P lainnya.5 Setelah gagasan digulirkan, lalu PDI-P membentuk tim formatur yang bertugas untuk menuntaskan berdirinya Baitul Muslimin Indonesia. Tim formatur terdiri atas tujuh orang, diketuai oleh Hamka Haq. Sementara para anggotanya adalah Arif Budimanta Sebayang, Irmadi Lubis, Said Abdullah, Zainun Ahmadi, Ahmad Baskara dan Nova Andika. Selanjutnya tim formatur dipandu oleh Taufik Kiemas serta seorang tokoh non-Islam, Sabam Sirait melakukan konsultasi dan pendekatan kepada berbagai organisasi dan tokoh Islam dalam rangka mematangkan pembentukan Baitul Muslimin Indonesia. Konsultasi dilakukan oleh tim formatur dengan menghadap langsung para ketua umum organisasi Islam, di antaranya KH. Hasyim Muzadi 5 Lihat Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan: Edisi Buletin Jumat Baitul Muslimin (Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008), h. 1. (PBNU), Asri Harahap (KAHMI), KH. Said Agil Siradj, Syafi’i Maarif dan Akbar Tanjung.6 Kemudian organisasi ini dideklarasikan pada 29 Maret 2007, dengan nama Baitul Muslimin Indonesia. Nama “Baitul Muslimin”, yang berarti rumah bagi kaum muslim, awalnya diusulkan oleh Taufik Kiemas setelah didiskusikan oleh H. Cholid Ghozali dengan H. Erwin Moeslimin Singajuru melalui konsultasi kepada Din Syamsudin. Lambang organisasi ini menggambarkan siluet dan dua kubah masjid di mana Bung Karno menjadi arsiteknya pada 1938 di Bengkulu. Lambang ini mengabadikan “rasa cinta Bung Karno terhadap Islam”, sekaligus mencerminkan nuansa Islam pada organisasi ini. Setelah terbentuk, akhirnya pengurus Baitul Muslimin Indonesia dilantik oleh ketua umum PDI-P Megawati Soekarno Putri pada 5 Agustus 2007 di kantor pusat DPP PDI-P Lenteng Agung. Yang menjabat sebagai ketua Baitul Muslimin adalah Hamka Haq, yang juga Ketua Bidang kerohanian DPP PDI-P sekaligus Guru Besar UIN Alauddin Makassar. Hadir dalam acara tersebut Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, dan Ketua PBNU, Said Agil Siradj.7 Menurut Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Baitul Muslimin, Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia dibentuk atas dua tujuan strategis, internal dan eksternal. Secara internal, karena Baitul Muslimin Indonesia adalah sayap PDI-P maka tujuan organisasi ini harus melekat secara inheren sekaligus sejalan dengan tujuan PDI-P. Sebagai konsekuensi logisnya, ciri utama organisasi ini harus mampu bertumpu kepada penghayatan terhadap wawasan kebangsaan, sense of nationalism yang tinggi, berasas Pancasila, penghayatan terhadap pluralisme 6 Ibid Megawati Lantik Pengurus Baitul Muslimin, artikel diakses pada 5 Juli 2008 dari http://www.kompas.com/ver1/nasional/0708/05/145221.htm 7 dan cinta kepada tanah air, yang ujungnya bermuara kepada utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.8 Dalam konteks ini, menjadi kewajiban Baitul Muslimin Indonesia untuk dapat memaknai asas-asas yang di atas sesuai dengan cara pandang yang religius dan Islami. Sejalan dengan ini, Baitul Muslimin Indonesia dituntut untuk meningkatkan kualitas keIslaman bagi semua pemeluk Islam di dalam tubuh PDIP, sehingga pada gilirannya partai ini harus dapat dicitrakan sebagai partai kebangsaan yang religius. Sedangkan tujuan eksternalnya, Baitul Muslimin Indonesia harus sejalan dengan tujuan PDI-P. Semua tujuan utama Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap Islam PDI-P harus tercermin pada pelaksanaan tugas, kewajiban, gerakangerakan dan kiat-kiat yang semuanya bernuansa Islami seiring dengan asas perjuangan PDI-P. Sebagai contoh, manakala PDI-P memandang bahwa memenangkan Pemilu dan Pilpres 2009 merupakan tujuan strategisnya, maka Baitul Muslimin Indonesia harus “all out” dalam mendukung kemenangan PDI-P itu. Dalam tingkat yang paling praktis, dengan tujuan eksternalnya ini Baitul Muslimin Indonesia harus dapat merangkul semua eksponen Islam yang selama ini berada di luar PDI-P untuk bersama-sama memberikan andil bagi kemenangan PDI-P.9 Dari tujuan eksternal tersebut di atas rupanya agak sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan Megawati Soekarno Putri dalam sambutannya pada acara pelantikan Baitul Muslimin Indonesia. Megawati Soekarno Putri menyatakan bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia tidak ada kaitannya dengan persiapan 8 Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan, h. 2. 9 Ibid pemilihan Presiden 2009. Pendirian itu bertujuan untuk menampung semangat Islam yang ada di kalangan nasionalis.10 Isu panas dikotomi Islam dan nasionalis selalu mewarnai perjalanan PDIP. Dengan pembentukan Baitul Muslimin Indonesia, sepertinya PDI-P ingin melepaskan diri dari belenggu dikotomi itu. Sehingga wajar bila di dalam pidato sambutan deklarasi pendirian Baitul Muslimin Indonesia, Megawati Soekarno Putri menolak dikotomi Islam dan nasionalis, dengan berkata: “Bagi PDI Perjuangan, dideklarasikannya sayap partai Baitul Muslimin Indonesia ini, sekaligus juga ingin menunjukkan bahwa pada bangsa ini sebenarnya pengkategorisasian Santri, Abangan, Priyayi seperti yang diperkenalkan oleh almarhum Clifford Geerzt kepada kita semua sebenarnya sudah tidak relevan lagi, karena dalam oganisasi ini yang kita lihat adalah semangat kebangsaan yang dilandasi oleh cita-cita luhur untuk membangun Indonesia kita secara bersama-sama. Dalam organisasi ini, kita dapat melihat bahwa klaim mengenai seseorang lebih santri dari yang lain, ataupun lebih nasionalis daripada yang lain tidak akan ditemukan dan saya berharap tidak akan pernah dapat ditemukan. Yang kita lihat adalah semangat kebangsaan, semangat kekitaan untuk terus mendorong Indonesia menjadi yang lebih baik, sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita PDI Perjuangan selama ini.”11 Opini mengenai pembentukan dan eksistensi Baitul Muslimin Indonesia sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran pers atau media massa. Media massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini publik pada suatu peristiwa tertentu bahkan terkadang membuat audiensnya tidak sadar akan persitiwa yang sesungguhnya terjadi. Menurut Reese dan Shoemaker, setiap berita yang disajikan oleh media tentunya telah didesain sesuai dengan “kepentingan” media baik secara internal maupun eksternal. Dengan demikian, maka teks media sangat dipengaruhi oleh 10 Muhammad Jafar Anwar, Merebut Simpati Ulama dan Umat Islam, di akses pada 5 Juli 2008 dari http://www.hupelita.com/baca.php?id=36611 11 Megawati Soekarno Putri, Pidato Ketua Umum PDI-P pada Deklarasi Baitul Muslimin Indonesia, di Akses pada 29 Maret 2008 dari http://www.PDI-Perjuangandenpasar.org/index.php/Deklarasi-Baitul-Muslimin-Indonesia.html pekerja media secara individu, rutinitas media, organisasi media itu sendiri, institusi diluar media, dan oleh ideologi.12 Berita atau pesan yang ditampilkan oleh media seringkali dimaknai apa adanya oleh masyarakat. Artinya, masyarakat lebih terpengaruh pada judul berita yang dimunculkan dan kesan yang disimpulkan oleh media massa daripada menganalisis secara mendalami teks berita tersebut. Padahal dalam kenyataannya sering terjadi misinformasi dan misinterpretasi antara apa yang seharusnya disampaikan dan kenyataan yang diterima oleh pembaca.13 Menurut Robert N. Entman dalam Eriyanto, media melakukan framing dalam dua dimensi besar, yaitu proses seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Sehingga realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.14 Dengan demikian, media massa atau pers bukanlah sesuatu yang objektif. Pers bukan alat potret mekanik yang mampu menampilkan dan menggambarkan suatu peristiwa serta even kehidupan secara apa adanya. Keterbatasan teknis jurnalistik dan berbagai kepentingan manusia yang ada di balik media massa menyebabkan penggambaran dan pemotretan yang dilakukan oleh pers mengalami reduksi, simplifikasi, dan interpretasi. Sejalan dengan itu, McLuhan menyatakan, pers merupakan alat untuk memotret suatu peristiwa tertentu dan 12 Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, Mediating The Message: Theories of Influence on Mass Media Content (New York: Longman Publishing Group, 1996), h. 223. 13 Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 5-6. 14 Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 186. bertindak sebagai translator yang memformulasi, merancang, dan memformat statement of event yang ingin dicitrakan oleh pers itu sendiri.15 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk menghindari terlalu luas dan melebarnya pembahasan, maka penulis memberi suatu batasan. Ruang lingkup dibatasi hanya pada pesan tekstual (message) pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di Harian Kompas dan Republika pada bulan Maret 2007 – Agustus 2008. Penulis mengambil empat berita yang berkaitan dengan isu/peristiwa yang akan penulis angkat. Antara lain berita pada Harian Kompas tanggal 30 Maret 2007 dan 25 Agustus 2008, serta berita pada Harian Republika tanggal 5 November 2007 dan 8 Mei 2008. 2. Perumusan Masalah Mengacu pada pembatasan masalah di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana Harian Kompas dan Republika mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P? b. Apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing (sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika? 15 Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (Cambridge: The MIT Press), h. 56 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian analisis teks media dengan menggunakan perangkat framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di Harian Kompas dan Republika adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana Harian Kompas dan Republika mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P. b. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing (sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian menggunakan perangkat framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di Harian Kompas dan Republika ini antara lain: a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan Ilmu Komunikasi khususnya pada kajian teks media (framing), mengenai pengkonstruksian realitas sosial oleh media massa. b. Manfaat Praktis. Penelitiaan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi profesional media tentang bagaimana mengkonstruksi sebuah pesan dengan idealisme tertentu, sehingga dapat menghasilkan dampak yang diinginkan dari khalayak. Serta memberikan pengetahuan kepada khalayak media tentang proses framing yang dilakukan oleh media massa. D. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Menurut pemikiran Guba dan Lincoln sebagaimana dikutip Dedy Nur Hidayat, paradigma ilmu pengetahuan (komunikasi) terbagi menjadi tiga, (1) paradigma klasik (classical paradigm) yang terdiri dari positivist dan postpositivist, (2) paradigma kritis (critical paradigm) dan (3) paradigma konstruktivisme (constructivism paradigm).16 Karena penelitian ini menggunakan analisis framing, yaitu analisis yang melihat wacana sebagai hasil dari konstruksi realitas sosial, maka penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma konstruksionis. Paradigma ini, menurut Eriyanto17, mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Paradigma konstruktivis memandang bahwa untuk mengetahui “dunia arti” (world of meaning) mereka harus menginterpretasikannya. Mereka juga harus menyelidiki proses pembentukan arti yang muncul dalam bahasa atau aksi-aksi sosial para aktor.18 Pendekatan interpretasi 16 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.237 17 Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h. 13 18 Thomas A. Scwandt, Constructivist, Interpretivist Approach to Human Inquiry, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (London: Sage Publication, 1994), h. 118. (interpretive) mencakup teori-teori yang mencoba untuk menemukan arti dalam teks dan aksi, dari gulungan surat-surat atau teks-teks kuno sampai pada perilaku. Sejumlah teori komunikasi yang masuk dalam wilayah interpretatif adalah teori-teori interpretasi kultural, budaya organisasi, dan interpretasi tekstual.19 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu.20 Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui dokumen, naskah, buku, dan lain-lain.21 Menurut Crasswell, beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu pertama, peneliti kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil. Kedua, peneliti kualitatif lebih memerhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat utama dalam mengumpulkan data dan analisis data serta peneliti kualitatif harus terjun langsung ke lapangan, melakukan 19 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, seventh edition (USA: Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 15. 20 Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 302. 21 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Penerjemah Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 4. observasi partisipasi di lapangan. Keempat, peneliti kualitatif menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses penelitian, interpretasi data, dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.22 3. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis bersifat eksplanatif. Sifat eksplanatif ini bertujuan untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang telah memiliki gambaran yang jelas dan bermaksud menggali secara lebih jauh lagi (why). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mencari sebab dan alasan (reasoning) mengapa sesuatu dapat terjadi, diantaranya menjelaskan secara akurat mengenai satu bahasan topik, menghubungkan topik-topik yang berbeda namun memiliki kesamaan, dan membangun atau memodifikasi sebuah teori dalam topik baru atau menghasilkan bukti untuk mendukung sebuah penjelasan/teori.23 Eksplanatif tidak hanya sekadar memberikan gambaran (deskriptif) dari sebuah permasalahan yang diteliti saja, melainkan juga berusaha menjelaskan pembahasan yang tengah diteliti secara lebih mendalam lagi. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan pendukung ataupun pembanding. 22 Ibid., h. 303. Ipah Farihah, Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2006), h. 35-36. 23 a. Data primer (Primary-Sources), yaitu data tekstual yang diperoleh dari pemberitaan di Harian Kompas dan Republika. Penulis memilih berita yang hanya menyangkut Baitul Muslimin Indonesia. b. Data sekunder (Secondary-Sources), yaitu dengan mencari referensi berupa buku-buku dan tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 5. Subjek dan Objek Penelitian Subjek yang akan diteliti ialah Harian Umum Kompas dan Republika, sedangkan objek penelitiannya ialah pesan tekstual dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia. 6. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan framing. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal.24 Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari bidang psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu, atau gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak berhubungan dengan teori mengenai aspek kognitif: bagaimana seseorang memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu. 24 Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h. 66. Misalnya teori atribusi Heider yang melihat manusia pada dasarnya tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks. Karenanya, individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah informasi yang ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab-akibat.25 Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh pemikiran Erving Goffman. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif mengklasifikasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas perilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang.26 Pendekatan yang akan digunakan dalam analisis framing ini menggunakan model Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki. Model analisis ini dibagi ke dalam empat struktur besar, yakni meliputi struktur sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Lebih lanjut lagi akan dijelaskan pada Bab II. 25 Ibid, h. 71. Ibid, h. 72. 26 E. Kajian Pustaka Penelitian skripsi yang berjudul “Konstruksi Realitas di Media Massa (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika)” ini terinspirasi dari kondisi pemberitaan media massa cetak yang cenderung menonjolkan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Selain itu, kajian framing terhadap organisasi yang bercorak keagamaan seperti Baitul Muslimin Indonesia PDI-P belum pernah diteliti di fakultas ini. Sehingga penulis merasa tertarik untuk lebih dalam meneliti kajian ini. Adapaun literatur/ kepustakaan yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini antara lain: 1. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Buku ini ditulis oleh Eriyanto dan diterbitkan LKIS Yogyakarta pada tahun 2002. Buku ini merupakan buku teks berbahasa Indonesia pertama yang membahas secara lengkap tentang: konsep dasar dan teori analisis framing, pandangan kaum konstruksionis dalam melihat teks berita, hubungan antara ideologi media dengan framing, serta membahas juga model-model framing dari para pakar, seperti model framing Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson, Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. 2. NU Politik: Analisis Wacana Media. Buku ini ditulis oleh Fathurin Zen dan diterbitkan LKIS Yogyakarta pada tahun 2004. Buku ini merupakan pengembangan dari hasil karya ilmiah (tesis S2) penulis tentang NU dalam media massa. Isi buku ini antara lain membahas: profil NU, konstruksi realitas sosial, komunikasi politik melalui media, analisis framing beserta model yang digunakan, yakni Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, peranan media cetak dalam komunikasi politik dan analisis berita NU dalam media massa. 3. Politik Media Mengemas Berita. Buku ini ditulis oleh Bimo Nugroho, Eriyanto dan Franz Sudiarsis. Diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta pada tahun 1999. Buku ini membahas tentang konsep dasar analisis framing beserta dengan model-modelnya, serta menampilkan hasil penelitian terhadap isi media cetak dalam persitiwaperstiwa sosial politik. 4. Kabar-kabar Kekerasan dari Bali. Buku ini ditulis oleh Arifatul Choiri Fauzy dan diterbitkan LKIS Yogyakarta tahun 2007. Buku ini merupakan hasil adaptasi dari tesis master penulis. Di dalamnya, penulis menganalisis pemberitaan mengenai wacana teroris dalam media massa. Penulis mengambil studi kasus peristiwa bom Bali. Analisis yang digunakan adalah framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. 5. Analisis Framing Film Berbagi Suami Karya Nia Dinata. Skripsi ini ditulis oleh Junaidi Mahasiswa Jurusan KPI, pada tahun 2007. Skripsi ini membahas: skenario film, kajian framing, konstruksi sosial media massa, dan analisis framing terhadap Film Berbagi Suami. Perangkat framing yang digunakan adalah model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Yang dianalisis dalam skrispsi ini adalah pesan tekstual, yaitu skenario filmnya. F. Sistematika Penulisan Penelitian yang akan dibahas terdiri dari lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab, yakni: BAB I PENDAHULUAN membahas Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Kajian Pustaka dan Sistematika Penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS membahas Fungsi Media Massa, Konstruksi Realitas Sosial, Ideologi Media, Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki), dan Kerangka Pemikiran. BAB III PROFIL MEDIA CETAK membahas Sejarah Perusahaan, Visi dan Misi serta Profil pembaca Harian Kompas dan Republika. BAB IV ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA membahas Frame Harian Kompas dan Republika terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P. BAB V PENUTUP membahas Kesimpulan dan Saran. BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Fungsi Media Massa Sebelum penulis membahas fungsi media massa, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai komunikasi massa. Ini perlu dilakukan karena antara media massa dengan komunikasi massa mempunyai hubungan yang saling terkait. Menurut pandangan dari para ahli komunikasi, komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang disampaikan melalui media massa. Media massa meliputi surat kabar dan majalah yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Dengan demikian surat kabar seperti Harian Kompas dan Republika termasuk dalam ruang lingkup media massa, karena mempunyai sirkulasi yang luas dan ditujukan kepada masyarakat umum. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media.27 Media massa sendiri merupakan sebuah institusi atau lembaga yang memiliki serangkain kegiatan produksi budaya dan informasi yang dilaksanakan oleh berbagai tipe komunikasi massa untuk disalurkan kepada khalayak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan yang berlaku.28 27 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.79. 28 Vincent Moscow, The Political Economy of Communication (London: Sage Publications, 1996) h. 150. Seseorang yang akan menggunakan media massa sebagai alat untuk melakukan kegiatan komunikasinya perlu memahami karakeristik komunikasi massa. Karakteristik atau ciri-ciri komunikasi massa antara lain sebagai berikut:29 1. Komunikasi massa bersifat umum. Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan atau kepada sekelompok orang tertentu. Hal itulah yang membedakan media massa dengan media nirmassa. Surat, telepon, telegram, handphone misalnya, adalah media nirmassa, bukan media massa, karena ditujukan kepada orang tertentu. 2. Komunikator pada komunikasi massa bersifat melembaga. Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Artinya di dalam media tersebut terdapat sekumpulan orang yang melakukan kegiatan seperti pengumpulan, pengelolaan, sampai penyajian informasi. 3. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Komunikasi yang terjadi berlangsung satu arah (one way communication). Ini berarti tidak terdapat arus balik dari komunikan kepada komunikan. Dengan kata lain, wartawan sebagai komunikator tidak mengetahui tanggapan dari pembacanya terhadap pesan atau berita yang disampaikannya. Namun kalaupun terjadi umpan balik atau reaksi biasanya memerlukan waktu yang tertunda atau disebut juga arus balik 29 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 22-25. tertunda (delayed feedback), contohnya dalam surat kabar umpan balik berlangsung melalui surat pembaca. 4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan Ciri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan pada khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan. Acara yang ditayangkan televisi, akan ditonton oleh berjuta-juta pemirsa secara bersamaan merupakan salah satu contohnya. 5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Komunikan atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpencar-pencar, di mana satu sama lainnya tidak saling mengenal (anonim) dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda dalam berbagai hal: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, dan sebagainya. Menurut Joseph R. Domminick dalam Onong Uchjana Effendy30, ada dua tahap untuk memperoleh kejelasan mengenai fungsi komunikasi massa atau media massa. Pertama, kita dapat menggunakan perspektif seorang sosiolog dan meneropongnya melalui lensa lebar seraya mempertimbangkan fungsi-fungsi yang ditunjukan oleh media massa bagi keseluruhan masyarakat (pendekatan ini kadang-kadang disebut makroanalisis). Titik pandang ini terfokus kepada tujuan yang jelas dari komunikator dan menekankan tujuan yang tampak itu melekat pada isi media. 30 Ibid, h. 28. Kedua, sebaliknya kita dapat melihatnya melalui lensa close-up kepada khalayak secara perseorangan, dan meminta kepadanya agar memberikan laporan mengenai bagaimana mereka menggunakan media massa (pendekatan ini dinamakan mikroanalisis). Kadang-kadang hasilnya menunjukkan hal yang sama dalam arti bahwa khalayak menggunakan isi media massa yang sejalan dengan yang dituju oleh komunikator. Adakalanya tidak sama, khalayak menggunakan media dengan cara yang tidak diduga oleh komunikator. Berikut merupakan fungsi media massa atau komunikasi massa menurut Joseph R. Dominick:31 a. Pengawasan (Surveillance) Media massa menyampaikan pesan-pesannya, baik dalam bentuk informasi maupun berita secara terus menerus untuk membuat masyarakat menyadari perkembangan di dalam lingkungannya. Fungsi pengawasan ini terbagi menjadi dua. Pertama, Pengawasan Peringatan (warning or beware surveillance), pengawasan ini terjadi jika media menyampaikan informasi kepada kita mengenai ancaman angin topan, letusan gunung merapi, kondisi ekonomi yang mengalami depresi, meningkatnya inflasi atau bahaya serangan militer. Kedua, Pengawasan Instrumental (instrumental surveillance), yaitu berkaitan dengan penyebaran informasi yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Berita tentang harga barang kebutuhan pokok di pasar, film 31 Ibid, hal. 29-31. yang dipertunjukan di bioskop, produk-produk terbaru adalah contoh pengawasan instrumental. b. Interpretasi (interpretation) Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi/tafsiran mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh dari fungsi ini adalah tajuk rencana/editorial surat kabar. c. Hubungan (linkage) Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Contohnya hubungan para elit partai politik dengan pengikut-pengikutnya ketika membaca berita surat kabar mengenai partainya yang dikagumi oleh para pengikutnya itu. d. Sosialisasi Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang mengacu kepada cara-cara di mana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok. e. Hiburan (entertainment) Media massa menghadirkan tayangan-tayangan yang bersifat menghibur bagi pembacanya, yang berguna untuk melepaskan penat dari aktifitas keseharian maupun setelah melihat berita-berita berat. Dari uraian di atas, fungsi-fungsi komunikasi massa atau media massa yang begitu beragam dapat disederhanakan menjadi empat fungsi saja, yakni: menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertaint), mempengaruhi (to influence).32 Media massa yang dimaksud dalam penelitian skripsi ini adalah surat kabar. Kurniawan Junaedhi menjabarkan: Surat kabar mempunyai arti koran. Berupa harian atau mingguan yang tidak mempunyai gambar kulit (cover) yang terbuat dari jenis kertas lain. Terdiri dari beberapa halaman yang memiliki antara 7 sampai 9 kolom. Isinya mengenai informasi sehari-hari. Tergolong sarana komunikasi massa khusus yang berfungsi sebagai penyebar berita baru. Koran menyebabkan terjadinya pendekatan antara masyarakat dengan nilai-nilai baru.33 Dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian ialah Surat Kabar Harian Kompas dan Republika. Kompas dan Republika terbit setiap hari dengan jenis kertas gambar kulit dan jenis kertas isinya sama. Di samping itu, Kompas dan Republika menggunakan format 7 kolom, dan menampilkan informasi seharihari. Dengan demikian, Kompas dan Republika dapat digolongkan sebagai surat kabar harian. Penelitian ini berupaya melihat bagaimana konstruksi yang dilakukan oleh Harian Kompas dan Republika di dalam pemberitaannya. Menurut Charnley dan James M. Neal dalam AS. Haris Sumadirian, menjelaskan bahwa berita adalah laporan tentang situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru, yang penting disampaikan kepada khalayak.34 Pakar lain seperti Dean M. Lyle Spencer, Willard C. Bleyer, William S. Maulsby, dan Eric C. Hepwood, sebagaimana dikutip Djafar H. Assegaff, samasama menekankan unsur “menarik perhatian” dari definisi berita yang mereka 32 Ibid, hal. 31. Kuniawan Junaedhi, Ensiklopedia Pers Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1985), h. 13. 34 AS. Haris Sumadirian, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature: Panduan Praktis Jurnalistik Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), h. 64. 33 buat, “Berita adalah laporan tentang suatu kejadian yang dapat menarik perhatian khalayak pembaca,”35 B. Konstruksi Realitas Sosial Gagasan teori konstruksi realitas sosial pertama kali diperkenalkan oleh Peter Berger bersama Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality36, atau bila diterjemahkan sebagai “pembentukan realitas secara sosial”. Berger dan Luckmann menyatakan bahwa pengertian dan pemahaman kita terhadap sesuatu muncul akibat komunikasi dengan orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu.37 Artinya, dalam konteks kajian skripsi ini, realitas yang sesungguhnya mengenai mengenai Baitul Muslimin Indonesia tidak secara linear sesuai dengan realitas simbolik yang terdapat dalam isi pemberitaan media, yang meliput peristiwa tersebut dari hari ke hari. Hal ini karena sebagai “golongan sosial” tertentu media juga memiliki kepentingan tersendiri. Menurut Robyn Penman, pendekatan Konstruksionime Sosial memiliki asumsi-asumsi seperti: (1) tindakan komunikatif yang bersifat sukarela; (2) pengetahuan adalah sebuah produk sosial; (3) pengetahuan bersifat kontekstual; (4) teori-teori menciptakan dunia; (5) pengetahuan sarat dengan nilai.38 35 DJafar Assegaf, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 5. 36 Lihat Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge (Terj.) Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 75. 37 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, seventh edition (USA: Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 175-176. 38 Lihat Robin Pennman, Good Theory and Good Practice: An Argument in Progress, dalam Theory Communication Theory 2 (1992), h. 234-250. Selanjutnya Penman menguraikan empat kualitas komunikasi jika dilihat dari perpektif konstruksionis. Pertama, komunikasi itu bersifat konstitutif, artinya, komunikasi itu sendiri yang menciptakan dunia kita. Kedua, komunikasi itu bersifat kontekstual, artinya, komunikasi hanya dapat dipahami dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu. Ketiga, komunikasi itu bersifat beragam, artinya, komunikasi itu terjadi dalam bentuk yang berbeda. Keempat, komunikasi itu bersifat tidak lengkap, artinya, komunikasi itu ada dalam proses, dan oleh karenanya, selalu berjalan dan berubah.39 Pemikiran dasar Konstruksionisme Sosial oleh Berger dilukiskan dengan latihan para siswa di kelas. Setiap siswa diperintahkan membuat satu objek benda tertentu yang berasal dari kayu, logam plastik, kain, dan bahan lainnya. Setiap objek diletakan di atas meja. Seorang siswa mungkin mengelompokkan bendabenda yang terbuat dari kayu dalam satu kelompok, benda-benda plastik dalam kelompok lain, begitu juga benda-benda logam, benda-benda kain, dan seterusnya dalam kelompok yang berbeda.40 Siswa lain yang juga diminta untuk menyortir benda-benda tersebut mungkin akan menggolongkan benda-benda berdasarkan bentuknya, benda-benda yang berbentuk lingkaran dalam satu kelompok, benda-benda yang berbentuk segitiga dalam kelompok lain, begitu seterusnya. Selanjutnya, siswa yang diminta untuk menyortir benda-benda tersebut mungkin akan menggolongkan berdasarkan kegunaannya, orang lain menyortir atas dasar warna, dan seterusnya. Dengan demikian, akan terdapat tak terhingga banyaknya cara seseorang dalam memahami setiap objek. 39 Ibid. Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 52. 40 Kita dapat melihat “bahasa” memberi sebutan-sebutan yang dipakai untuk membedakan objek-objek. Bagaimana benda-benda dikelompokkan bergantung pada penggunaan realitas sosial tertentu. Begitu juga bagaimana kita memahami objek-objek dan bagaimana kita berperilaku terhadapnya sangat bergantung pada realitas sosial yang memegang peranan.41 Pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses ini terjadi antara individu satu dengan lainnya di dalam masyarakat. Bangunan realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, dan simbolis atau intersubjektif.42 Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi.43 Eksternalisasi (penyesuaian diri), sebagaimana yang dikatakan Berger dan Luckmann44 merupakan produk-produk sosial dari eksternalisasi manusia yang mempunyai suatu sifat yang sui generic dibandingkan dengan konteks organismus dan konteks lingkungannya, maka penting ditekankan bahwa eksternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan 41 Ibid. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.202. 43 Ibid, h. 192. 44 Peter L. Berger and Thomas Luckman, The Social Construction of Reality, h. 75. 42 interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas. Objektivasi. Tahap obyektivasi produk sosial, terjadi dalam dunia intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckmann, dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.45 Internalisasi, dalam arti umum internalisasi merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial.46 Individu oleh Berger dan Luckmann dikatakan, mengalami dua proses sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu, ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan dari sosialisasi primer yang mengimbas ke individu, yang sudah disosialisasikan ke dalam sektorsektor baru di dalam dunia objektif masyarakatnya.47 Dari uraian di atas kemudian timbul pertanyaan: bagaimana media massa mengkonstruksikan realitas? Seperti diketahui, hasil kerja media massa diwujudkan dalam bentuk teks. Atau bisa dikatakan dengan tekslah media massa 45 Lihat Bungin, Sosiologi Komunikasi, h.194. Ibid, 197-198. 47 Ibid, h.198. 46 mengkonstruksi realitas. Sedangkan bahasa merupakan elemen pembentuk teks tersebut. Menurut M. Wonohitho, “bagi pers, bahasa merupakan sine quanon: tanpa bahasa, pers tidak mungkin dapat bekerja. Sebuah bahasalah yang kita suruh melukiskan pada halaman surat kabar segala informasi, bimbingan serta hiburan yang kita sampaikan kepada khalayak ramai”.48 Melalui pernyataan ini, dengan jelas terlihat pentingnya bahasa bagi kalangan pers. Bahasa menjadi elemen utama dalam membuat suatu produk jurnalistik. Karena dengan bahasa segala realitas yang hendak disampaikan pers, dapat dikomunikasikan. Bahkan Wonohito memberikan peringatan bagi kalangan pers. Katanya, “apabila wartawan tidak tepat menggunakan bahasa, apakah dapat diharapkan, muatan surat kabar yang dibaca orang banyak benar-benar berisi pesan yang hendak disampaikan?”49 Mengenai pentingnya bahasa dalam berkomunikasi, Ibnu Hamad pun menyadarinya. Menurutnya, dalam konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualitas dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa.50 Menurut Ibnu Hamad, bahasa terdiri dari: “Bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (bukan kata-kata dalam bentuk gambar, photo, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel)”. Keberadaan bahasa sebagai 48 Almanak Pers Antara 1976 (Jakarta: Penerbit LKBN Antara, 1976), h. 45. Ibid. 50 Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Mohamad Qodari, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa (Jakarta: ISAI, 2001), h.69. 49 elemen utama berkomunikasi, diungkapkan Ibnu Hamad tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) yang akan dimunculkan di benak khalayak, terutama dalam media massa. Jadi, dapat dikatakan bahasa yang digunakan media massa memiliki kekuatan untuk membentuk pikiran khalayak. Bahasa dengan unsur utama kata, memiliki kekuatan yang besar dalam berinteraksi antar komunkitas sosial. Bahasa adalah cermin budaya masyarakat pemakainya. Hubungan antara realitas, bahasa dan budaya oleh Christian dan Christian digambarkan sebagai berikut: Gambar 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya (Christian and Christian, 1996)51 Language Reality Creates Creates Creates Reality Culture Di dalam tulisannya tentang konstruksi sosial media massa, Burhan Bungin telah merevisi (mengoreksi kelemahan) teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger, dengan melihat variabel atau fenomena media massa yang substansif dalam proses eksternalisasi, subjektivasi, dan internalisasi. Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu.52 Berikut proses konstruksi sosial media media massa menurut Burhan Bungin.53 51 Ibid, 71. Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 203 53 Ibid, h. 204 52 Gambar 2: Proses Konstruksi Sosial Media Massa Proses Sosial Simultan Eksternalisasi M E D I A Objektivasi M A S S A Internalisasi Source Message - Objektif - Subjektif - Intersubjektif Channel Realitas Terkonstruksi: - Lebih Cepat - Lebih Luas - Sebaran Merata - Membentuk Opini Massa - Massa Cenderung Terkonstruksi - Opini Massa Cenderung Apriori - Opini Massa Cenderung Sinis Receiver Effects Menurut Burhan Bungin, proses kelahiran konstruksi sosial media massa berlangsung dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut54: 1. Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi Isu-isu penting yang setiap hari menjadi fokus media massa, berhubungan dengan tiga hal, yaitu kedudukan (tahta), harta, dan perempuan. Selain tiga hal itu ada juga fokus-fokus lain, seperti informasi yang sifatnya menyentuh perasaan banyak orang, yaitu persoalanpersoalan sensitivitas, sensualitas, maupun ketakutan/kengerian. Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial55, yaitu: (1) Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Artinya, media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk dijadikan sebagai 54 Ibid, h. 204 Ibid, h. 205-206. 55 mesin penciptaan uang/pelipatgandaan modal. (2) Keberpihakan semu kepada masyarakat. Artinya, bersikap seolah-olah simpati, empati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat. (3) Keberpihakan kepada kepentingan umum. Artinya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar. 2. Tahap Sebaran Konstruksi Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada pemirsa atau pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.56 3. Pembentukan Konstruksi Realitas a. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, di mana pemberitaan (penceritaan) telah sampai pada pembaca dan pemirsanya (penonton), yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif.57 b. Pembentukan Konstruksi Citra Pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Di mana bangunan konstruksi citra 56 Ibid, h. 208. Ibid 57 yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model; (1) model good news (story) dan (2) model bad news (story).58 4. Tahap Konfirmasi Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa (penonton) memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk memberi argumentasi terhadap alasan-alasan konstruksi sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan pembaca (penonton), tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial.59 C. Ideologi Media Kata ideologi banyak dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda, dan tidak ada keseragaman mengenai pengertian ideologi. Kita tidak bisa berbicara tentang ideologi tanpa menjabarkan dulu apa yang kita maksud. Bila kita ingin merespon pendapat orang lain mengenai ideologi, maka kita harus paham terlebih dulu dalam arti apa ideologi dipakai olehnya. Ini dilakukan supaya terjadi saling kesepahaman. Raymond William mengklasifikasikan kata ideologi ke dalam tiga arti.60 Pertama, ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini banyak digunakan oleh kalangan psikologi yang 58 Ibid, h. 209. Ibid, h. 212. 60 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2007), 59 h. 87-92. melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren/saling berhubungan. Kedua, ideologi merupakan sebuah kesadaran palsu. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Karena kelompok yang dominan mengontrol dengan ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, maka akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu tampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen, mulai dari pendidikan, politik sampai media massa. Ketiga, Ideologi merupakan proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Franz Magnis Suseno mengartikan ideologi: (1) ideologi sebagai kesadaran palsu, ideologi dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai konotasi yang negatif, sebagai claim yang tidak wajar atau tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan berpihak kepada yang mempropagandakannya (penguasa). (2) Ideologi dalam arti netral, diartikan sebagai sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. (3) Ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah. Dalam filsafat sosial yang berhaluan positivistik, segala pemikiran yang tidak dapat dites secara matematis-logis atau empiris, atau dengan kata lain tidak rasional, dapat disebut ideologis. 61 61 Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.230. Untuk mengetahui bagaimana cara atau penyebaran ideologi itu dilakukan, teori Gramsci tentang hegemoni layak menjadi acuan. Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok meninggikan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Ini bukan berarti media sebagai kekuatan jahat yang secara sengaja merendahkan masyarakat bawah.62 Artinya, hegemoni dipandang sebagai cara kelompok dominan untuk menguasai media massa dalam memperkuat posisinya terhadap kelompok lainnya (yang didominasi). Kelompok dominan (pemilik kekuasaan) dapat mempergunakan media massa untuk merendahkan kelompok yang lemah. Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan memenuhi syarat-syarat suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan dominasi oleh kelas penguasa lewat kegunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya, sehingga itu berlangsung mempengaruhi dan membentuk alam pikir mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Seperti yang dikatakan Raymond William, hegemoni bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya melalui makna nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi dan indoktrinasi, hegemoni justru melihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemoni itu menyatu dan tersebar dalam praktek, kehidupan, persepsi, dan pandangan dunia sebagai suatu yang dilakukan dan dihayati secara sukarela.63 Peneliti berkesimpulan, bahwa hegemoni merupakan cara yang digunakan untuk memaksa ideologi kelas penguasa (kelompok yang dominan) kepada kelompok yang tidak dominan. Hegemoni melakukan penyebarannya melalui dua saluran, yakni ideologi dan budaya. 62 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 103. Eriyanto, Analisis Wacana, h. 104. 63 Karl Marx menyatakan ideologi sebagai “kesadaran palsu”. Van Dijk menjelaskan “kesadaran palsu” tersebut, “ Bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye disinformasi..., melalui kontrol media dan sebagainya”.64 Dalam hubungannya dengan media massa, kecenderungan atau perbedaan setiap media massa dalam memproduksi informasi kepada khalayak, dapat diungkap dengan pelapisan-pelapisan yang meliputi insitusi-institusi media massa. Dengan kata lain, pelapisan-pelapisan inilah yang mempengaruhi isi media. Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese membentuknya dalam model “Hierarchy of Influence”, sebagai berikut:65 Gambar 3: “Hierarchy of Influence” Shoemaker and Reese Tingkat Ideologis (5) Tingkat Ekstramedia (4) Tingkat Organisasi (3) Isi Media Tingkat Rutinitas Media (2) Tingkat Individual (1) 1. Pengaruh individu-individu pekerja media. Diantaranya adalah karakteristik pekerja komunikasi (wartawan), latar belakang personal dan profesional. 2. Pengaruh rutinitas media. Apa yang dihasilkan oleh media massa dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan seleksi-seleksi yang dihasilkan oleh komunikator. 64 Ibid, h. 13. Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 138. 65 3. Pengaruh Organisasional. Salah satu tujuan yang penting dari media adalah mencari keuntungan materil. Tujuan-tujuan dari media akan berpengauh pada isi yang dihasilkan. 4. Pengaruh dari luar organisasi. Pengaruh ini meliputi lobi dari kelompok kepentingan terhadap isi media, pseudoevent dari praktisi public relations dan pemerintah yang membuat peraturan-peraturan dibidang pers. 5. Pengaruh ideologi. Ideologi merupakan sebuah pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh. Ideologi di sini diartikan sebagai mekanisme simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan di dalam masyarakat.66 Bila dikaitkan dengan masalah penelitian di dalam skripsi ini, maka Harian Kompas dan Republika memiliki hegemoni dan ideologi di dalam medianya serta mempengaruhinya dalam mengkonstruksi realitas. D. Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki) Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Awalnya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas.67 Dalam perkembangan terakhir, konsep ini digunakan untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspekaspek khusus sebuah realitas oleh media. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring 66 Ibid, h. 138-139. Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 161-162. 67 interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.68 Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut.69 Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.70 Framing, seperti dikatakan Todd Gitlin, adalah sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan dan presentasi dari realitas.71 Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki mendefinisikan framing sebagai strategi komunikasi dalam memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dihubungkan dengan rutinitas konvensi pembentukan berita. Sementara menurut George Junus Aditjondro dalam Arifatul Choiri Fauzi, mengartikan framing sebagai sebuah penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, tetapi dibelokkan secara halus, memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, menggunakan istilah- 68 Ibid, h. 162. Bimo Nugorho, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999), h. 21. 70 Teguh Imawan, Media Surabaya Mengaburkan Makna (Jakarta: Pantau Edisi 09/Tahun 2000), h. 65-73. 71 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h.68. 69 istilah yang punya konotasi tertentu, bantuan foto, karikatur, dan menggunakan alat ilustrasi lainnya.72 Menurut Aditjondro, proses framing tidak hanya melibatkan pekerja pers, tetapi pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu dan masingmasing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditonjolkan dengan menyembunyikan sis-sisi lain serta mengaksentuasikan pada kesahihan pandangannya dengan mengacu pada pengetahuan, ketidaktahuan, dan perasaan pembaca. Proses framing media massa sebagai arena di mana informasi masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung oleh pembaca.73 Dengan demikian, framing merupakan seleksi dan penekanan aspek-aspek realitas melalui beberapa cara, seperti penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi simbol-simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dll. Tujuannya adalah untuk membuat aspek-aspek dari realitas yang diwacanakan menjadi lebih noticeable, meaningful, dan memorable untuk khalayak. Dalam skripsi ini, framing yang digunakan adalah model Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki. Menurut Pan dan Kosicki, wacana media merupakan proses kesadaran sosial yang melibatkan tiga pemain, yaitu sumber, jurnalis, dan audience dalam memahami budaya dan menyangkut dasar-dasar kehidupan sosial yang telah diatur, sedangkan framing yang digunakan oleh kaum konstruktivis dalam menguji wacana media difokuskan pada konseptualiasasi teks media ke dalam dimensi yang bersifat empiris dan operasional berupa struktur sintaksis 72 Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 28. 73 Ibid, h. 29. (syntatical structures), struktur naskah (script structures). Struktur tematik (thematic structures), dan struktur retoris (rethorik structures).74 Dalam framing model Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki, unit pengamatan terhadap teks nya lebih komprehensif dan memadai, karena selain meliputi seluruh aspek yang terdapat dalam teks (kata, kalimat, parafrase, label, ungkapan), perangkat tersebut juga mempertimbangkan struktur teks dan hubungan antar kalimat atau paragraf secara keseluruhan. Model Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki yang dimaksud adalah : Tabel 1: Struktur Wacana dan Perangkat Framing (Diadopsi dari Nugroho, dkk, 1999) Struktur SINTAKSIS (Cara wartawan menyusun fakta) SKRIP (Cara wartawan fakta) Perangkat Framing 1. Skema Berita Unit Yang Diamati Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup. 2. Kelengkapan 5W+1H (Who, What, mengisahkan berita When, Where, Why + How) TEMATIK (Cara wartawan menulis fakta) Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar-kalimat RETORIS (Cara wartawan fakta) Kata, idiom, gambar, foto, grafik 74 3. Detail 4. Maksud 5. Nominalisasi 6. Koherensi 7. Bentuk kalimat 8. Kata ganti 9. Leksikon menekankan 10. Grafis 11. Metafor 12. Pengandaian Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki, Framing Analysis: An Approach to News Discourse, (Politicial Communication. Vol.10 No.1), h.55. 1. Struktur Sintaksis Sintaksis dalam pengertian umum adalah susunan kata atau frase dalam kalimat.75 Sedangkan dalam tataran wacana, struktur sintaksis terdiri atas susunan atau kerangka dari sebuah penyusunan artikel atau wacana berita. Struktur sintaksis biasanya ditandai oleh “struktur piramida terbalik” dan oleh aturan-aturan atributif (penandaan) sumber. Piramida terbalik ini mengacu pada pengorganisasian bagian-bagian struktur yang runtut, seperti headline (judul utama), lead (kepala berita atau pendahuluan), episode (runtutan cerita), background (latar belakang), dan ending atau conclusion (penutup atau kesimpulan). Kadang kala struktur penulisan itu terdiri dari atas bagian yang umum saja seperti lead, perangkat tubuh, dan penutup. Struktur sintaksis dapat memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana wartawan memaknai peristiwa dan hendak ke mana berita tersebut akan dibawa.76 Dengan bentuk struktur sintaksis tertentu, wartawan bisa menekankan suatu isu, baik dengan meletakannya pada headline atau lead, pada kesimpulan, atau pada kronologi peristiwa yang terdapat pada latar informasi. Sebuah headline dari berita tertentu pada surat kabar merupakan tanda yang mencolok antara struktur semantik dalam wacana dengan konsep atau gagasan yang ada di dalam pikiran pembaca. Dalam banyak hal, struktur sintaksis yang sering digunakan untuk menggiring opini khalayak ke arah tertentu dan yang bersifat menarik adalah headline. 75 Hasan Alwi dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 36. 76 Bimo Nugorho, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita, h.31. Dengan kata lain, headline ini merupakan framing device yang paling penting. Alat (device) selanjutnya adalah lead yang ada dalam sebuah cerita atau tulisan surat kabar. Di lead inilah biasanya dapat diketahui angle mana yang lebih ditekankan oleh reporter atau wartawan. Pada bagian tengah (episodes) dan latar (background) para wartawan biasanya memaparkan fakta secara kronologis. Di bagian inilah kita akan memperoleh kesan dari isi surat kabar tersebut apakah cukup objektif, berimbang, atau berpihak. Di bagian ini pula bisa dikaji lebih jauh tentang framing device melalui tiga cara, yaitu (1) pengakuan validitas empiris atau pengutipan sumber atau perolehan data, (2) menghubungkan pandangan-pandangan sumber berita yang dianggap pokok, dan (3) memisahkan pandanganpandangan sumber lain yang kurang popular.77 Dari struktur sintaksis, kita juga dapat menganalisis objektivitas dan netralitas suatu pemberitaan media. Objektivitas pemberitaan memiliki tiga unsur pokok. Pertama, unsur keseimbangan (balancing, yang meliputi keseimbangan dalam jumlah kalimat atau kata yang digunakan oleh wartawan dalam memaparkan fakta. Sebuah fakta peristiwa yang sama akan diuraikan oleh dua orang wartawan secara berbeda dalam jumlah kalimatnya. Keseimbangan juga mencakup narasumber atau sumber yang dikutip. Dalam pemberitaannya, seorang wartawan bisa saja hanya 77 Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki, Framing Analysis, h. 60. mengutip sumber-sumber tertentu yang mereka pilih sendiri, tanpa melihat komposisi keberpihakan sumber secara proporsional. Kedua, unsur kebenaran berita, yang terdiri atas empat hal pokok, yaitu adanya fakta atau perisiwa yang diberitakan, jelas sumbernya, di mana tempat terjadinya, dan kapan waktunya. Ketiga, relevansi antara judul berita dengan isinya serta kesesuaian antara narasumber yang dipilih dengan tema atau fakta yang diangkat. Suatu berita dianggap objektif apabila berita tersebut memenuhi semua kelengkapan objektivitas di atas. Sebaliknya, suatu berita bisa dikategorikan “kurang objektif” apabila salah satu kelengkapan objektivitas tidak terpenuhi. Bahkan sangat mungkin suatu berita dapat disebut “tidak objektif” sama sekali apabila lebih dari dua bagian syarat di atas tidak terpenuhi. Hal lain yang dapat dilihat dari struktur sintakasis ini adalah netralitas pemberitaan. Netralitas ini meliputi komposisi narasumber yang terdiri dari tiga kelompok, yakni (1) yang pro (setuju) dengan ide, fakta, atau tema yang diangkat, (2) yang kontra (tidak setuju) dengan tema berita yang hendak disampaikan, dan (3) yang netral (tidak berpihak). Begitu juga netralitas dari isi berita itu sendiri, apakah isi berita tersebut memihak, menentang atau netral. Netralitas ini dapat dilihat secara langsung dari penggunaan kalimat pada headline atau lead. Judul berita yang diambil dari pendapat narasumber yang kontroversial, misalnya, seringkali menghakimi pihak tertentu secara berlebihan. Dalam konteks ini, media sering dianggap telah melakukan tindakan trial by the press. 2. Struktur Skrip Naskah (skrip) mengacu pada urutan aktivitas yang mapan dan stabil serta komponen-komponen kejadian yang sudah diinternalisasikan sebagai representasi mental yang terstruktur dari suatu kejadian tertentu. Naskah berita memiliki struktur yang berbeda, di mana ia ditetapkan oleh aturan-aturan yang dalam perspektif Van Djik disebut story grammars. Struktur naskah dalam wacana, pada umumnya, merupakan kelengkapan berita yang lazim dan terdiri atas unsur-unsur 5W+1H: Siapa (Who), Apa (what), Kapan (When), Di mana (Where), Mengapa (Where), dan Bagaimana (How). Dengan menghilangkan salah satu dari enam kelengkapan berita tersebut, wartawan mampu menekankan atau menghilangkan bagian terpenting dalam mengisahkan sebuah fakta. Sebagai contoh ketika wartawan melaporkan Pertemuan Anggota Komisi III DPR dengan Ketua KPK sehubungan dengan banyaknya anggota DPR yang ditangkap pada tahun 2008. Dalam laporan itu, apabila wartawan mengisahkan fakta hanya dengan memaparkan tiga atau empat unsur kelengkapan berita, seperti Who (Anggota Komisi III DPR), What (bertemu dengan Ketua KPK), When (pada tanggal 5 Agustus 2008), dan Where (di gedung DPR), maka berarti ia hanya mengisahkan fakta itu secara sepintas dan berusaha menutupi maksud pertemuan itu. Akan tetapi, jika wartawan mengisahkan juga unsur Why dan How (mengapa dan bagaimana pertemuan itu dilakukan?), barangkali khalayak akan memaknainya secara positif. Pendek kata, struktur naskah dengan kelengkapannya juga dapat dijadikan alat bagi “penonjolan” atau “penghilangan” tema tertentu dalam sebuah berita. Penghilangan salah satu dari keenam unsur objektivitas suatu berita (5W+1H), dalam menguraikan kronologi suatu peristiwa dapat mengakibatkan pemberitaan itu tidak fair dan tidak benar (berita bohong). 3. Struktur Tematik Struktur tematik sebenarnya merupakan alat analisis untuk melihat bagaimana fakta ditulis, kalimat yang dipakai, serta menempatkan dan menulis sumber kedalam teks berita secara keseluruhan. Dalam menulis berita, seorang wartawan mempunyai tema tertentu untuk peristiwa dan tema inilah yang akan dibuktikan dengan susunan atau bentuk tertentu. Struktur tematik dapat mengandung sebuah rangkuman dan isi utama. Rangkuman biasanya dijelaskan melalui headline, peranan atau kesimpulan. Sedangkan isi utama adalah bukti yang mendukung hipotesis yang diperkenalkan dan berisi, antara lain: episode, informasi, latar dan kutipan. Dalam mengidentifikasi sub-sub sebuah tema dan dukungan empirik dapat melalui episode, informasi latar dan kutipan dalam bentuk artikel berita yang sangat kompleks.78 Untuk mendukung hipotesis dari tema yang dipilihnya itu, wartawan dapat menggunakan “detail”. Pengungkapan kronologi peristiwa secara detail dan lengkap akan dapat mendukung hipotesis dari sebuah tema yang disuguhkan dan tentu saja akan mempengaruhi kesadaran 78 Ibid, h. 60-61. khalayak. Sebaliknya, dengan pengungkapan peristiwa secara sederhana dan tidak detail, wartawan dapat menutupi atau memperkecil fakta yang “ingin” dihindari atau dibuang. Suatu tema tertentu dapat didukung dengan cara membuat suatu pernyataan yang jelas dan lugas. Adanya proposisi yang dibuat secara eksplisit juga bukan tanpa tujuan, melainkan dimaksudkan agar pembaca dapat memahami “maksud” yang ingin disampaikan pembuat teks. Untuk kasus atau peristiwa yang dianggap merugikan dirinya atau perusahaannya, wartawan dapat memanipulir fakta dengan menuliskan tema secara implisit dan samar-samar, sehingga para pembaca digiring secara perlahan untuk tidak mempermasalahkan realitas yang ditutupi. Penggunaan kata yang mengandung unsur “generalisasi” dan “nominalisasi” juga akan dipilih oleh wartawan untuk meyakinkan pembaca tentang jumlah pelaku dalam suatu peristiwa. Dengan menyebut “Ulama NU menyetujui Pendirian Baitul Muslimin Indonesia”, mungkin akan membuat pembaca berkesimpulan bahwa “Semua Ulama NU Menerima Kehadiran Baitul Muslimin Indonesia di dalam tubuh PDI-P”. Sebaliknya, dengan memunculkan kata yang jelas, seperti “Sebagian Ulama NU Menolak Pendirian Baitul Muslimin Indonesia”, atau 100 Ulama Pesantren Menolak Pendirian Baitul Muslimin Indonesia”, khalayak akan menyadari bahwa “Pendirian Baitul Muslimin Indonesia ditolak oleh Sebagian Ulama NU dan disetujui Sebagian Ulama yang lain”. Hipotesis dari fakta yang dipilih untuk ditulis wartawan juga dapat didukung dengan mengatur pertalian antarkata, antarkalimat atau antarposisi yang disebut “koherensi”.79 Pemilihan kata hubung, kata sambung, dan kata ganti dalam merangkai kata atau kalimat juga dapat berimplikasi luas pada opini khalayak terhadap suatu tema tertentu. Misalnya kalimat (1) “Surya Paloh dan Taufik Kiemas melakukan pertemuan di Palembang” (2) “SBY menghadiri pertemuan tertutup dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Penggabungan dua kalimat di atas dengan kombinasi berbagai kata memiliki beragam konsekuesi. Kalimat “Surya Paloh dan Taufik Kiemas melakukan pertemuan di Palembang, sementara SBY menghadiri pertemuan tertutup dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X”, akan memberikan implikasi bahwa tidak ada konflik di antara empat tokoh itu. Akan tetapi bila kalimatnya berbunyi “Surya Paloh dan Taufik Kiemas melakukan pertemuan di Palembang, sehingga SBY menghadiri pertemuan tertutup dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X”, tentu akan mengesankan adanya konflik di antara mereka. Selain itu, penggunaan kata ganti yang berbeda, seperti “Saya”, “Kami”, “Mereka” atau “Kita”, yang dalam beberapa kejadian lebih sering menggunakan kata “Kami”, di mana sunber berita”mengatasnamakan” organisasinya dalam suatu kutipan narasumber dapat meneguhkan atau memiliki implikasi lain. 79 Perangkat framing dalam struktur tematik, seperti koherensi, memiliki banyak ragam, yaitu koherensi kondisional, koherensi fungsional, koherensi pembeda. Pembahasan lebih detil bisa dilihat pada buku Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita, h. 37-41. Begitu juga posisi “bentuk kalimat” (urutan kalimat) yang dipilih oleh wartawan akan sangat berpengaruh pada peneguhan sebuah tema. Kalimat seperti “PDI-P memrotes Undang-undang Pornografi”, berbeda maksudnya dengan kalimat “Undang-undang Pornografi diprotes PDI-P”. Pada kalimat pertama, kata PDI-P yang menjadi sentral, lebih ditonjolkan sebagai subjek. Sedangkan kalimat kedua, yang menekankan “Undangundang Pornografi” sebagai subjek. 4. Struktur Retoris Istilah retorika (rhetoric) memiliki beragam definisi. Namun dari berbagai definisi, pada prinsipnya terdapat dua hal yang selalul berkaitan dengan istilah retorika. Pertama, aktivitas retorika sering kali berhubungan dengan wilayah politik. Kedua, retorika juga sebagai wacana yang cukup diperhitungkan dalam mempengaruhi khalayak. Dalam hal ini, struktur retoris dimaksudkan sebagai komponen yang digunakan para wartawan untuk menekankan fakta yang diberikan. Struktur ini menggambarkan pilihan-pilihan gaya bahasa yang disusun oleh para jurnalis dalam hubungannya dengan akibat yang diharapkan. Perangkat framing yang termasuk kedalam struktur ini adalah leksikon, grafis, methapor, dan pengandaian. Unsur leksikon menunjukkan pilihan kata dalam suatu kalimat tertentu. Misalnya pada kalimat “Partai Islam berusaha (meminta) PPI untuk menyetujui metode perhitungan stembus accord yang dibuatnya”. Kata “berusaha (meminta)” oleh wartawan dapat diganti dengan kata-kata lain, seperti “memaksa” atau “ngotot (kepada)”, dan seterusnya. Tentu pilihan kata yang diambil adalah yang dapat menekankan fakta yang dituliskan. Pemanfaatan gambar, foto, angle foto, grafik, dan data lainnya, termasuk warna dan besarnya ukuran huruf dan foto juga dapat menekankan “pesan” yang ingin disampaikan. Dalam hal ini, termasuk juga penempatan dan ukuran judul berita (dalam kolom). Ada judul yang diletakan pada halaman muka tetapi ada juga yang diletakkan pada halaman lainnya. Ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan pesan. Begitu juga penggunaan bahasa yang “fantastik”. Kalimat seperti “Perekonomian Indonesia akhir-akhir ini mengalami kemunduran” berbeda penekanannya dengan kalimat serupa, seperti “Keadaan ekonomi sekarang amburadul”, atau Indonesia sedang mengalami keterpurukan ekonomi”. Unsur lain yang termasuk struktur retoris adalah methapor. Yakni kiasan yang mempunyai persamaan sifat dengan benda atau hal yang bisa dinyatakan dengan kata atau frase. Misalnya, wartawan melukiskan perjuangan mahasiswa yang gugur pada tragedi Semanggi sebagai “pejuang reformasi”. Termasuk dalam kategori ini adalah pepatah, peribahasa, pepatah leluhur, kata-kata kuno, atau bahkan ayat suci dan sabda nabi, dan mungkin juga pasal dan ayat dalam undang-undang. Semua unsur itu dipakai untuk mendukung dan menekankan pesan utama yang disampaikan. E. Kerangka Pemikiran Paradigma Konstruksionis Analisis framing merupakan metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang bahwa berita adalah hasil konstruksi dari pekerja media. Berita bukanlah fakta yang utuh melainkan hasil realitas bentukan media. Media Massa (Kompas&Republika) Fakta Pembentukan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P Berita Proses Konstruksi Bahasa Sebagai Alat Konstruksi Realitas Ideologi Realitas Khalayak BAB III PROFIL MEDIA CETAK A. Harian Kompas 1. Sejarah Perusahaan Harian Kompas pertama kali terbit pada hari Senin, 28 Juni 1965. Pada rencana awalnya harian ini bernama Bentara Rakyat. Nama ini dipilih sebagai penegasan diri pembela rakyat. Akan tetapi, menjelang diterbitkan, Frans Seda, salah seorang pencetus lahirnya koran ini, datang ke Istana Bung Karno, yang saat itu sebagai presiden. Kemudian presiden Soekarno memberi nama Kompas, dengan maksud agar jelas diterima sebagai penunjuk arah. Akhirnya, koran yang rencananya bernama Bentara Rakyat berganti nama menjadi Kompas, sedangkan bentara rakyat dijadikan sebagai yayasan yang menerbitkan.80 Gagasan untuk menerbitkan koran ini bermula dari Panglima TNI AD Ahmad Yani yang bertujuan untuk melawan pers komunis. Gagasan ini disampaikan kepada Frans Seda yang saat itu menjabat sebagai menteri perkebunan. Kemudian Frans Seda meneruskan ide ini kepada beberapa orang sahabanya, yakni Ignatius Josep Kasino, Petrus Kanisius Ojong, dan Jakob Oetama inilah yang kemudian mempersiapkan segala sesuatunya.81 Pada saat pertama terbit, Kompas dicetak sebanyak 4.800 eksemplar dan hanya empat halaman. Saat itu, oleh kalangan komunis, Kompas diplesetkan sebagai Komando Pastor, sebab tokoh-tokoh pendiri 80 Tim penyusun, 35 Tahun Kompas, (Jakarta: Brosur Kompas, 2000) Ibid. 81 dan perintisnya banyak berasal dari kelompok atau partai katolik. Pada tahun 1982 penerbit Kompas tidak lagi yayasan Bentara Rakyat. Sesuai UU Pokok Pers tahun 1982 dan Ketentuan Surat izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang mewajibkan penerbitan pers harus berbadan hukum. Motto “Amanat Hati Nurani Rakyat” yang diletakkan di bawah logo Kompas menggambarkan visi dan misi Kompas dalam menyuarakan hati nurani rakyat. Adapun tujuan Kompas, yaitu pertama, ingin berkembang sebagai institusi pers yang mengedepankan keterbukaan, meninggalkan pengkotakan, latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Kedua, ingin berkembang sebagai “Indonesia mini” karena Kompas sendiri adalah lembaga yang terbuka, kolekif, ingin ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa. Ketiga, ingin menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada nilai-nilai yang transeden atau mengatasi kepentingan kelompok.82 Pada awalnya jumlah wartawan Kompas hanya sepuluh orang, namun saat ini jumlah wartawannya lebih dari 100 orang, dengan oplah 450.000-500.000 eksemplar. Kompas pernah mencapai tiras tertinggi yakni 600.000 eksemplar. Jumlah oplah sebuah media menunujukan kepercayaan masyarakat pembaca. PT. Kompas Media Nusantara adalah lembaga media massa, Pemimpin tertinggi adalah Pemimpin Umum, Pemimpin Umum dibantu oleh Wakil Pemimpin Umum Bidang Non Bisnis dan Wakil Pemimpin 82 Ibid. Umum Bidang Bisnis, lalu ada Pemimpin Redaksi yang bertanggung jawab pada bidang redaksi, dan Pemimpin Perusahaan yang bertanggung jawab bidang bisnis. Di bawah Pemimpin Redaksi ada Redaktur Pelaksana dan dibawahnya terdapat Kepala Desk, Kepala Biro dan paling bawah adalah reporter. Di bidang bisnis, di bawah Pemimpin Perusahaan ada General Manajer Iklan dan General Sirkulasi, dan General Manajer marketing communication. Di antara dua bidang itu, ada bagian Penelitian dan Pengembangan, Direktorat SDM-Umum, dan Teknologi Informasi. Mereka sifatnya supporting dan dibawah supervisi Wakil Pemimpin Umum non bisnis, sementara untuk Pemimpin Perusahaan disupervisi Wakil Pemimpin Umum bidang bisnis.83 Pembagian dalam Struktur Organisasi ini, dimaksudkan untuk memudahkan pembagian sistem kerja “Produk” Kompas yang dihasilkan itu merupakan hasil kerja sinergis dari unit-unit yang ada dalam struktur organisasi. Produk Kompas adalah koran dan berita. Adapun tahap manajemen produk itu adalah sebagai berikut: a. Bidang Redaksi84 1) Perencanaan Dilaksanakan rapat pagi dalam merencanakan berita yang akan dimuat, berdasarkan: a. Adanya undangan acara yang diterima Kompas. b. Peliputan berita yang ditetapkan di tiap-tiap desk. 83 Lihat FA. Santoso, dkk., Media Kit Kompas 2007 (Jakarta: Kompas, 2007), h. 8. Ibid. 84 c. Penetapan event tertentu, di mana dalam upaya pencarian berita disesuaikan dengan aktualitas peristiwa yang terjadi. 2) Pengorganisasian Redaktur mengkoordinasikan wartawan-wartawan untuk mencari dan menulis berita sesuai dengan yang direncanakan dalam rapat pagi dan menunjuk wartawannya untuk mengerjakan tugas-tugas pencarian berita tersebut. 3) Pelaksanaan Dilaksanakan rapat sore untuk menetapkan berita yang akan dimuat dalam surat kabar (dalam bentuk yang belum jadi) dan membuat headline berita. Apabila data belum akurat maka akan ditambah atau dicari lagi. Setelah data berita akurat, berita disunting oleh desk sunting. Setelah disetujui, kemudian akan disunting dalam bentuk layout koran untuk dicetak. Deadline ditetapkan pukul 23.00. Percetakan dimulai pukul 01.00. Pencetakan sesuai dengan oplah. 4) Pengevaluasian Dilakukan evaluasi ditiap-tiap desk/bidang redaktur, selain mengevaluasi berdasarkan masukan dan pembaca yang menelepon atau mengirimkan fax/email. Evaluasi akan dibahas pula dalam rapat Rabu (rapat mingguan) sebagai dasar perencanaan yang juga akan dibahas dalam rapat pagi. Evaluasi dilihat dari segi: a. Pencetakan susunan huruf dan kata-kata. b. Bentuk dan susunan berita pada setiap halaman. c. Isi beritanya. Sumber berita lain selain wartawan dari penulis-penulis dan berbagai kantor berita. Kompas dikenal dengan keunggulan dari segi penulisan opini. Penulis opini Kompas, misalnya: Kwik Kian Gie, Mudji Sutrisno, Arief Budiman, Zuhairi Misrawi, Muhtadin AR, Aloysius Budi Nugroho, Herry Tjahjono dll. Pembagian berita: berita daerah, berita luar negeri, berita dalam negeri, berita olahraga dll. b. Direktorat SDM-Umum85 Hubungan kerja dan iklim dalam lingkungan mikro Kompas, yaitu: hubungan antar personal, sehari-harinya terjalin hubungan kekeluargaan, terbuka dan tidak kaku dalam hal kerja dan urusan administrasi terjadi hubungan formal, berjenjang untuk menunjukkan fungsi kerja Promosi atau kenaikan pangkat karyawan berdasarkan: penilaian dari sikap dan hasil kerja karyawan tersebut, jika dinilai cukup baik diberikan bahan dan dilatih agar naik jabatannya. Sebelumnya, karyawan tersebut mengalami prajabatan 6 bulan sampai 1 tahun. Jika karyawan itu tidak menunjukkan hasil kerja yang baik, maka tidak jadi naik pangkat. Pengangkatan manajer, jarang dilakukan oieh pihak luar, lebih sering dilakukan pihak dalam. Akhir-akhir ini bidang bisnis mulai mencoba dari luar (head hunting). Peningkatan produktivitas karyawan dilakukan dengan cara: menerima wartawan dengan pendidikan sarjana bidang apa saja, kemudian dididik selama 1 tahun. Adanya orientasi karyawan baru mengenai visi, misi dan sejarah Kompas. Pelatihan kepribadian, pelatihan bahasa 85 Ibid, h.9. inggris, pelatihan yang meningkatkan kemampuan (skill) dan manajemen. Diadakan rekreasi pada bidang masing-masing, setiap 2 tahun sekali. Pemberian cuti dan tunjangan, selain gaji pokok, diberikan uang transport, uang makan, bonus, THR. Kenaikan gaji karyawan berdasarkan inflasi ekonomi atau prestasi kerja yang baik, dengan penilaian karya. Tujuan manajemen: memberikan informasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, isi pemberitaan bersifat netral dan universal. Direktorat SDM-Umum dipimpin oleh seorang direktur, dan di bawahnya ada empat manajer yang memimpin bidang umum, penerimaan & penempatan, remunerasi (kesejahteraan), pendidikan & pelatihan. 1) Bidang Umum, berkewajiban menyediakan sarana & prasarana untuk setiap karyawan, agar mendapatkan kenyamanan dalam melakukan tugasnya. Ruang kerja yang memadai dan peralatan kerja disediakan oleh perusahaan. 2) Bidang Penerimaan dan Penempatan, unit yang merekrut calon karyawan dan menempatkan di unit sesuai dengan bidang dan keahliannya. Perkembangan dari calon karyawan sampai pensiun menjadi tanggung jawab dari bidang penerimaan dan penempatan. 3) Bidang Kesejahteran (Remunerasi), adalah unit yang mengurusi kesejahteraan karyawan misalnya tunjangan perumahan, cuti, sekolah, dokter, obat rumah sakit dll. 4) Pendidikan dan Pelatihan, unit yang mendidik & memersiapkan calon karyawan untuk memasuki dunia kerja di bidangnya. Training untuk peningkatan kuaiitas sumber daya manusia atau karyawan menjadi tanggung jawab dari unit ini. c. Bidang Penelitian & Pengembangan86 Kepala penelitian dan pengembangan yang kedudukannya sejajar dengan pemimpin redaksi (pemred), bertanggung jawab secara langsung kepada pemimpin umum Harian Kompas. Kepala litbang membawahi 4 bidang yang mempunyai kedudukan sejajar, yaitu: 1) Pusat Informasi Kompas (PIK) Pusat Informasi Kompas dipimpin oleh seorang manajer membawahi tiga bagian: • Bagian Akuisisi: bagian pengadaan dan perawatan bahan pustaka • Bagian Pengolahan Arsip Elektronik : bagian pengolahan arsip elektronik mencakup kegiatan pengolahan harian Kompas dan informasi dan sumber lain ke dalam bentuk elektronik. • Bagian Layanan Informasi: bagian ini mempunyai kegiatan layanan informasi dan kegiatan sirkulasi. Pusat Informasi Kompas merupakan satu unit/bidang yang pada dasarnya bertugas mengumpulkan, mengolah dan melakukan temu kembali informasi yang dibutuhkan. Kegiatan Pusat Informasi Kompas bukan hanya sebagai pusat dokumentasi, tetapi merupakan pusat informasi. Fungsi Pusat Informasi Kompas adalah untuk mendukung kinerja redaksi dalam menerbitkan harian Kompas, dan secara rinci mempunyai tugas: • 86 Ibid, h.10. Mengembangkan koleksi baik buku, terbitan berkala dan data terolah • Mengelola arsip harian Kompas dan beberapa terbitan berkala yang dipilih berdasarkan kebutuhan redaksi ke dalam bentuk arsip elektronik. • Memberikan informasi untuk internal yaitu: wartawan dan karyawan yang tergabung dalam Kelompok Kompas-Gramedia (KKG) dan melayani masyarakat umum. 2) Pusat Penelitian Kompas (Puslitkom) Pusat penelitian Kompas (Puslitkom) dipimpin seorang Manajer, bertugas menangani penelitian dari hasil kerja redaksi yang hasilnya diserahkan pada bagian redaksi. Penelitian dilakukan dengan bantuan dari mahasiswa dengan mengadakan polling terhadap pelanggan Kompas dan masyarakat umum. 3) Pusat Penelitian Bisnis (Puslitbis) Pusat Penelitian Bisnis (Puslitbis) dipimpin oleh seorang Manajer Puslitbis, menangani riset pasar/konsumen, memantau pendapat masyarakat terhadap kemungkinan pengembangan Kompas. Forum pembaca Kompas yang ditangani selama ini untuk memberikan masukan/kritik tentang Harian Kompas. 4) Bidang Database Updating database Kompas perlu ditangani setiap kali agar koleksi database Harian Kompas selalu up-todate. Bidang database Kompas dipimpin oleh seorang manajer database. Biodata tokohtokoh politik, pengusaha, artis dan orang-orang terkenal selalu di update sehingga datanya tetap relevan menjadi tanggung jawab dan unit ini. Database juga setiap kali memuat profil kabupaten seluruh Indonesia. Buku otonomi daerah dengan isi profil kabupaten telah terbit, dan telah menyusul buku partai Indonesia. d. Bidang Teknologi Informasi87 Bidang paling baru dalam organisasi Kompas, ini didirikan tahun 1996 dan direstrukturisasi tahun 2003, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sumber daya teknologi informasi dengan cepat dan tepat, serta bisa memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Oleh karena itu, Bidang Teknologi Informasi (TI) diarahkan untuk lebih berorientasi pada memberikan pelayanan yang tuntas (end-to-end sevices) dalam bidangnya, dan tidak hanya berorientasi pada teknologi saja. Untuk mewujudkan hal ini, maka Bidang TI membentuk tim kerja dalam melaksanakan tugasnya. Ada tim yang bertanggung jawab untuk mengintegrasikan jasa layanan dan ada tim yang bertanggung jawab untuk men-deliver layanan tersebut. Kedua tim ini bekerja secara proyek maupun rutin, dan didukung oleh senior analyst, staf sekretariat, administrasi dan gudang. Secara struktur, tim kerja ini dibangun dari tiga bidang keahlian yang dipimpin oleh seorang general manajer, dan masing-masing bidang keahlian dipimpin oleh seorang manajer, yaitu Software & Aplikasi, Hardware & Infrastruktur dan Helpdesk & Support. 87 Ibid, h.11. 1) Software dan Aplikasi (SA) Bidang SA diisi oleh para programmer dan system analis yang bertanggung jawab untuk membangun/mengintegrasikan software, aplikasi dan database menjadi suatu sistem informasi yang diperlukan. Pekerjaan tersebut harus diselesaikan tepat waktu, mudah digunakan, bebas dari kesalahan dan cost effective. Untuk itu bidang SA dituntut untuk memiliki metoda kerja yang sistematis dan melaksanakan penelitian yang terarah. Bekerjasama dengan bidang lain, bidang SA memberikan dukungan tingkat lanjut bagi permasalahan software dan apilkasi, dengan memastikan bahwa database perusahaan selalu dalam kondisi up and running. 2) Hardrware dan Infrastruktur (HI) Bidang HI bertanggung jawab untuk membangun / mengintegrasikan hardware dan infrastruktur untuk menjalankan sistem informasi yang diperlukan. Para ahli hardware dan jaringan komputer serta telekomunikasi di bidang ini juga dituntut untuk menyelesaikan pekerjaannya secara tepat waktu, handal dan cost effective. Sama dengan Bidang SA, Bidang HI juga memberikan dukungan tingkat lanjut bagi permasalahan hardware dan infrastruktur, serta memastikan bahwa hardware dan infrastructure komputer & telekomunikasi perusahaan selalu dalam kondisi up and running. 3) HelpDesk dan Support (HDS) Bidang HDS merupakan ujung tombak TI dalam mendeliver layanan TI, serta menangkap kebutuhan dan kesulitan para pengguna sumber daya TI di perusahaan. Oleh karena itu secara proaktif Bidang HDS melaksanakan inventarisasi, instalasi, perawatan, perbaikan dan dukungan teknis, serta memberikan pelatihan agar sumber daya TI perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal. Bidang HDS disebar ke beberapa lokasi kerja dan masing-masing dikepalai oleh seorang supervisor. Secara regular mereka menghadiri dan mengadakan pertemuan dengan user. e. Bidang Bisnis88 Masyarakat Indonesia semakin beragam pola dan gaya hidupnya. Komunikasi massa di Indonesia semakin maju, dan jaringan informasi semakin canggih. Akibatnya, terjadi peningkatan kualitatif kebutuhan informasi. Artinya, sekarang bukan sekadar membutuhkan fakta saja, tetapi petunjuk yang lebih mengarah pada makna dan fakta itu, bagi dirinya, keluarganya dan lingkungannya Atas dasar pemikiran itu ada gagasan, dalam usaha penerbitan Kompas mulai dikembangkan pemikiran yang tidak hanya didasarkan pada orientasi produk, tetapi bergerak sampai jarak tertentu ke orientasi pasar. Artinya, dalam membuat produk ditingkatkan 88 Ibid, h.12. kesadaran dan pemikiran terhadap situasi pasar, maupun perkembangan kebutuhan konsumen mengenai informasi. Fungsi Bisnis : 1) Bertanggung jawab dan berkewajiban menjadikan lembaga Kompas menjadi badan usaha komersial yang sehat. 2) Mengatur pendapatan dan pembiayaan kegiatan usaha, agar media sebagai produk laku terjual. 3) Memantapkan agar unit bisnis dan personilnya sebagai intitusi sosial yang punya nilai ekonomis dan kemasyarakatan. 4) Mengedarkan produk agar bisa dikonsumsi pada saat pembaca membutuhkannya. 2. Visi, Misi dan Nilai-nilai Dasar Kompas a. Visi Kompas89 “Menjadi perkembangan institusi masyarakat yang memberikan indonesia yang pencerahan bagi demokratis dan bermartabat, serta menjunjung tinggi asas dan nilai kemanusiaan” Dalam kiprahnya dalam industri pers “Visi Kompas” berpartisipasi membangun masyarakat Indonesia baru berdasarkan Pancasila melalui prinsip humanisme transendental (persatuan dalam perbedaan) dengan menghormati individu dan masyarakat adil dan makmur. Secara lebih spesifik bisa diuraikan sebagai berikut: 1) Kompas adalah lembaga pers yang bersifat umum dan terbuka. 89 Ibid, h. 4. 2) Kompas tidak melibatkan diri dalam kelompok-kelompok tertentu baik politik, agama, sosial, atau golongan, ekonomi. 3) Kompas secara aktif membuka dialog dan berinteraksi positif dengan segala kelompok. 4) Kompas adalah koran nasional yang berusaha mewujudkan aspirasi dan cita-cita bangsa. 5) Kompas bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang dikembangkan tetapi selalu memperhatikan konteks struktur kemasyarakatan dan pemerintahan yang menjadi lingkungan. b. Misi Kompas90 “Mengantisipasi dan merespon dinamika masyarakat secara profesional, sekaligus memberi arah perubahan (trend setter) dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi terpercaya”. Kompas berperan serta ikut mencerdaskan bangsa, menjadi nomor satu dalam semua usaha diantara usaha-usaha lain yang sejenis dalam kelas yang sama. Hal tersebut dicapai melalui etika usaha bersih dengan melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan lain. Hal ini dijabarkan dalam 5 sasaran operasional: 1) Kompas memberikan informasi yang berkualitas dengan ciri: cepat, cermat, utuh, dan selalu mengandung makna. 2) Kompas memiliki bobot jurnalistik yang tinggi dan terus dikembangkan untuk mewujudkan aspirasi dan selera terhormat 90 Ibid. yang dicerminkan dalam gaya kompak, komunikatif dan kaya nuansa kehidupan dan kemanusiaan. 3) Kualitas informasi dan bobot jurnalistik dicapai melalui upaya intelektual yang penuh empati dengan pendekatan rasional, memahami jalan pikiran dan argumentasi pihak lain, selalu berusaha mendudukan persoalan dengan penuh pertimbangan tetapi tetap kritis dan teguh pada prinsip. 4) Berusaha menyebarkan informasi seluas-luasnya dengan meningkatkan tiras. 5) Untuk dapat merealisasikan visi dan misi Kompas harus memperoleh keuntungan dari usaha. Namun keuntungan yang dicari bukan sekedar demi keuntungan itu sendiri tetapi menjunjung kehidupan layak bagi karyawan dan pengembangan usaha sehingga mampu melaksanakan tanggung jawab sosialnya sebagai perusahaan. c. Nilai-nilai Dasar Kompas91 Seluruh kegiatan dan keputusan harus berdasarkan dan mengikuti nilai-nilai sebagai berikut: 1) Menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabatnya. 2) Mengutamakan watak baik. 3) Profesionalisme. 4) Semangat kerja tim. 91 Ibid, h.5-7. 5) Berorientasi pada kepuasan konsumen (pembaca, pengiklan, mitra kerjapenerima proses selanjutnya). 6) Tanggung jawab sosial. 7) Selanjutnya, kita bertingkah laku mengikuti nilai-nilai tersebut, dengan begitu kita akan memberikan jasa yang memuaskan bagi pelanggan. 3. Profil Pembaca92 Gambar 4: Profil Pembaca Kompas 92 Ibid. A. Harian Republika 1. Sejarah Perusahaan93 Harian umum Republika yang terbit pada tahun 1993 merupakan koran Islam yang berasosiasi dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abadi Bangsa yang dipimpin oleh mantan Menristek BJ Habibie. Nama Republika berasal dari ide Presiden Soeharto, yang saat itu disampaikan saat beberapa pengurus ICMI Pusat menghadap untuk menyampaikan rencana peluncuran harian umum tersebut. Pada awalnya, harian ini akan diberi nama Republik. Yayasan Abadi Bangsa, sebagai pengelola harian Republika, mendapatkan SIUPP dari pemerintah, yakni Departemen penerangan RI pada tanggal 19 Desember 1992, melalui dukungan ICMI. Perolehan SIUPP Republika ini sangat mudah bila dibandingkan dengan media lain, karena lima tahun terakhir menjelang Republika lahir pemerintah tidak pernah mengeluarkan SIUPP baru. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Menteri Penerangan Harmoko bahwa SIUPP baru untuk harian umum tidak akan dikeluarkan karena peredarannya sudah jenuh. Motto pada waktu itu yang dicanangkan Republika adalah “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Maksud motto tersebut adalah untuk mewujudkan media massa yang mendorong bangsa menjadi kritis dan berkualitas. Namun pada tahun 2008, motto tersebut diubah menjadi 93 Lihat Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali (Yogyakarta: LKIS, 2007), h.199-200. “Pegangan Kebenaran”.94 Tujuan Republika searah dengan tujuan ICMI yang berdiri pada tanggal 7 Desember 1990, yaitu mewujudkan penyebaran program ICMI ke seluruh bangsa melalui program 5K, yaitu Kualitas Iman, Kualitas Hidup, Kualitas Karya, Kualitas Kerja, dan Kualitas Pilar. Kehadiran harian ini membawa konsep baru dalam dunia persuratkabaran di Indonesia. Di awal pembentukannya, Republika dikelola oleh para jurnalis yang handal dan intelektual muslim modernis yang ingin mempersiapkan masyarakat dalam era baru perkembangan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, dan budaya. Oleh para penggagasnya harian Republika ini dimaksudkan sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi sebagian besar rakyat Indonesia secara proporsional dalam percaturan nasional baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Mereka adalah rakyat yang tergolong lemah secara ekonomi. Karena ekonominya lemah, kecil pula aksesnya pada sumbersumber informasi dan pusat-pusat pengambilan keputusan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, mereka sering di rugikan, dan sering disebut the underdog. Sejak awal, koran ini telah berpihak pada kepentingan mereka.95 Harian Republika merupakan harian yang “dekat” dengan pemerintah saat itu. Kedekatan ini terlihat dari adanya beberapa menteri kabinet yang menjadi anggota ICMI, seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardjiman Joyonegoro, Menteri Perdagangan Satrio Budiharjo, Menteri Perhubungan Harjanto Danutirto, dan Menteri 94 Lihat http//:www.republika.co.id Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali, h.201. 95 Kesehatan Sujudi. Kedekatan Republika dengan pemerintah juga terlihat dalam mudahnya Republika mendapatkan SIUPP yang selama ini sangat sulit diperoleh. Keberadaan Republika tidak bisa dipisahkan dari ICMI, organisasi yang pernah menjadi mesin politik BJ Habibie, sebagai sponsor lain Republika. Adanya orang-orang ICMI di Republika sampai saat ini, menurut Zaim Uchrowi, tidak memengaruhi sikap jurnalistik Republika. Asas keseimbangan berita senantiasa di jaga. Sejak mulai terbit pada tanggal 4 januari 1993, oplah penjualan Republika terus meningkat. Sepuluh hari sejak terbit, oplah Republika sudah mencapai 100.000 eksemplar. Padahal rencana awal terbit hanya diperkirakan sekitar 40.000 eksemplar per hari pada semester pertama tahun 1993, berarti oplah Republika meningkat 2,5 kali lipat dari rencana awal. Pada semester kedua, oplah Republika naik menjadi 130.000 eksemplar dan memasuki tahun kedua sudah meningkat menjadi 160.000 eksemplar per hari.96 2. Visi dan Misi Republika a. Visi Republika97 Menjadikan HU Republika sebagai koran umat yang terpercaya dan mengedepankan nilai-nilai universal yang sejuk, toleran, damai, cerdas, dan profesional, namun mempunyai prinsip dalam keterlibatannya menjaga persatuan Bangsa dan kepentingan umat Islam yang berdasarkan pemahaman Rahmatan Lil Alamin. 96 Ibid, hal.202. Data diakses pada 1 Juli 2008 dari http://www.republika.co.id. 97 b. Misi Republika98 1) Menciptakan dan menghidupkan sistem manajemen yang efisien dan efektif, serta mampu dipertanggungjawabkan secara profesional. 2) Menciptakan budaya kerja yang sehat dan transparan. 3) Meningkatkan kinerja dengan menciptakan sistem manajemen yang kondusif dan profesional. 4) Meningkatkan penjualan iklan dan koran, sementara menekan biaya operasional ( a.l. dengan memiliki Mesin Cetak ). 5) Memprioritaskan pengembangan pemasaran HU Republika di jabodetabek, tanpa harus mematikan di daerah yang sudah ada. 6) Merajut tali persaudaraan dengan organisasi Islam di Indonesia. 7) Bekerjasama dengan mitra usaha di dalam pengembangan pasar HU Republika di luar pulau Jawa. 8) Mengamati peluang pengembangan "Koran Komunitas" seperti misalnya "Bintaro Pos", "Depok Pos", "Bekasi Pos" atau jenis koran lainnya. 9) Mengelola Kantor Perwakilan sebagai "semi otonomi". 10) Menjadikan PT Republika Media Mandiri sebagai "sister company" yang sehat. 11) Menjadikan HU Republika sebagai koran # ONE. 98 Ibid. c. Profil Pembaca99 Profil pembaca Harian Umum Republika ditampilkan dengan susunan yang terdiri dari : Gambar 5: Jenis Kelamin Pembaca Republika Gambar 6: Mayoritas Pembaca Republika 99 Ibid. Gambar 7: Profesi Pembaca Republika Gambar 8: Sebaran Pembaca Republika Gambar 9: Grup Media Republika BAB IV ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA A. Isu/Peristiwa 1: Dikotomi Islam dan Nasionalis Baitul Muslimin Indonesia dideklarasikan pada 29 Maret 2007 oleh PDI-P. Penggagasnya adalah Taufik Kiemas serta dibantu oleh pimpinan Muhammadiyah dan NU. Pengurus Baitul Muslimin Indonesia tidak hanya berasal dari kaum muslim PDI-P, banyak juga kaum muslim yang datang dari luar partai. Lahirnya Baitul Muslimin Indonesia di dalam partai nasionalis seperti PDI-P, menandakan bahwa isu yang selama ini mengganggu hubungan antara Islam dan nasionalis akan segera mencair. Isu dikotomi Islam dan nasionalis mencuat karena masih ada beberapa kalangan yang mempertentangkan seseorang atau kelompok berdasarkan golongan-golongan tertentu, seperti golongan Islam dan nasionalis. Di dalam tubuh PDI-P, isu dikotomi Islam dan nasionalis telah terdengar sejak lama. PDI-P sering diidentikan dengan partai nasionalis yang sekuler, karena pengurusnya banyak yang berasal dari kalangan non-muslim dan jarang membawa simbol keagamaan. Sementara pengurusnya yang muslim sering disebut sebagai muslim abangan karena dinilai kurang relijius. Menurut Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia, Cholid Ghozali, tujuan internal dibentuknya Baitul Muslimin Indonesia harus sejalan dengan tujuan PDI-P. Dalam konteks ini, menjadi kewajiban Baitul Muslimin Indonesia untuk dapat memaknai asas kebangsaan seperti nasionalisme sesuai dengan cara pandang yang religius dan Islami. Sejalan dengan ini, Baitul Muslimin Indonesia dituntut untuk meningkatkan kualitas keIslaman bagi semua pemeluk Islam di dalam tubuh PDI-P, sehingga pada gilirannya partai ini harus dapat dicitrakan sebagai partai kebangsaan yang religius.100 Bagaimana media memaknai pembentukan Baitul Muslimin Indonesia? Apakah media memandang lahirnya Baitul Muslimin Indonesia akan bisa menghapus isu dikotomi Islam dan nasionalis. Ataukah malah memandang sebaliknya. Kita akan melihat bagaimana peristiwa ini ditulis oleh media dengan pandangan atau frame media masing-masing. 1. Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan). Satu hari setelah pendeklarasian Baitul Muslimin Indonesia, Kompas menurunkan berita mengenai pembentukan Baitul Muslimin Indonesia (tanggal 30 Maret 2007), dengan judul “Baitul Muslimin: Babak Baru Gerakan Islam”. Dalam pandangan Kompas, pembentukan Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P dapat menjadi titik temu yang sinergis antara Islam dan nasionalis. Pandangan semacam ini akan terlihat dari bagaimana Kompas melakukan strategi wacana tertentu dalam berita untuk mendukung gagasannya. Dari analisis sintaksis, headline atau judul yang ditampilkan oleh Kompas menunjukan respon positif atas lahirnya Baitul Muslimin Indonesia. Hal ini juga dapat dilihat dari lead yang diturunkan Kompas: 100 Lihat Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan: Edisi Buletin Jumat Baitul Muslimin (Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008), h. 1. Gerakan Islam bisa memasuki babak baru dengan mendorong lahirnya mitra strategis organisasi massa Islam, Baitul Muslimin Indonesia, yang menjadi sayap Islam Partai Demokrasi Indonesia perjuangan. Gerakan ini harus menjadi gerakan yang berkemajuan dengan ciri mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Ini yang bisa menjadi titik temu gerakan Islam dan PDI-P yang di kenal sebagai kelompok nasionalis. Lead ini menunjukan bahwa lahirnya Baitul Muslimin Indonesia dapat menjadi babak baru bagi gerakan Islam. Dengan lead ini, Kompas terlihat mendukung gerakan Islam yang memunculkan organisasi Islam sayap seperti Baitul Muslimin Indonesia. Dukungan tersebut terlihat dari pandangan yang mengharapkan agar gerakan Islam (pembentukan Baitul Muslimin Indonesia) dapat menjadi sebuah gerakan yang maju, sehingga dengan begitu akan bisa menjadi titik temu antara gerakan Islam dengan PDI-P yang dikenal sebagai kelompok nasionalis. Dalam teks berita tersebut, Kompas mewawancarai tiga narasumber, yaitu Din Syamsuddin, KH Hasyim Muzadi, dan Megawati Soekarno Putri. Ketiganya mendukung pembentukan Baitul Muslimin Indonesia dan mencoba mencarikan titik temu antara Islam dan nasionalis. Sementara itu, tidak terdapat wawancara dengan tokoh yang tidak mendukung pembentukan Baitul Muslimin Indonesia, maupun yang setuju dengan dikotomi Islam nasionalis. Dengan demikian, bisa dilihat bila teks Kompas secara umum berisi tentang tiga pandangan tokoh yang mendukung pembentukan Baitul Muslimin Indonesia dan menganggap dikotomi Islam dengan nasionalis sudah tidak relevan. Sekarang kita akan melihat bagaimana Kompas menyusun kutipan wawancara terhadap sumber itu di dalam teks. Dalam berita tersebut, terdapat tiga sumber Kompas. Din Syamsuddin, selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah, KH Hasyim Muzadi, selaku Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan Megawati Soekarno Putri, selaku Ketua Umum PDI-P. Pemilihan ketiga sumber tersebut dapat dimaknai bahwa Kompas ingin menunjukan bila isu dikotomi Islam dan nasionalis memang sudah tidak relevan karena telah mendapat legitimasi dari tokoh Islam dan nasionalis. Kalangan Islam tersebut diwakili oleh pemimpin ormas terbesar Indonesia, Din Syamsuddin dan Hasyim Muzadi serta kalangan nasionalis diwakili oleh Megawati Soekarno Putri. Komentar ketiga sumber di atas oleh Kompas disusun menjadi lima paragraf yang berurutan. Tiga paragraf pertama dimulai dari pandangan Islam yaitu dari Din Syamsuddin dan Hasyim Muzadi serta dua paragraf terakhir dari pandangan nasionalis, yaitu Megawati Soekarno Putri. “Baitul Muslimin bisa jadi mitra strategis ormas Islam dalam pencerahan rakyat,”ujar Din. Menurut Din, Muhammadiyah memerintahkan anggotanya agar tak menelantarkan fakir miskin dan yatim piatu. “Celakalah mereka apabila shalat yang dilakukan tak fungsional atau tak memberikan pembelaan kepada kaum duafa, atau dalam bahasa PDI-P disebut kaum marhaen,” ujarnya. Sebelumnya, Hasyim mengatakan, BMI adalah wujud nyata dari sublimasi Islam Indonesia. Islam yang kental dengan semangat nasionalis dan kultur Indonesia. “Dikotomi Islam dan nasionalis menjadi tidak relevan lagi untuk konteks Indonesia,” ujarnya. Megawati mengatakan, BMI adalah bukti sejarah yang memperlihatkan konsistensi PDI-P mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperjuangkan kepentingan kaum marhaen atau duafa. “Baitul Muslimin secara harfiah berarti rumah bagi kaum Muslim. Penamaan ini sangat dalam artinya bagi PDI-P,” ungkap Megawati. Sementara dari segi skrip, cara wartawan mengisahkan peristiwa tersebut sudah cukup lengkap. Itu bisa dilihat dari kelengkapan pendapat narasumber, apa pendapatnya (what), siapa yang berpendapat mengenai hal itu (who), mengapa mereka seperti itu (why), kapan dan di `mana persitiwa tersebut berlangsung (when)-(where), serta bagaimana detail pendapat mereka (how). Dengan cara seperti itu, Kompas ingin menekankan kepada khalayak bahwa argumen dari tokoh Islam dan nasionalis sama-sama benar dan kuat. Dari struktur tematik, berita itu membawa tiga tema besar yang ingin ditampilkan khalayak. Pertama, pembelaan terhadap kaum duafa oleh pihak Islam dan pemihakan kaum marhaen oleh pihak nasionalis merupakan titik temu antara Islam dan nasionalis. Pendapat tersebut merupakan argumen yang dipakai oleh Din Syamsuddin dan Megawati Soekarno Putri untuk menekankan bahwa sebenarnya di dalam Islam dan nasionalis terdapat titik temu yang saling sinergis. Tema tersebut disusun dengan begitu jelas. Sehingga elemen wacana detail terpenuhi di dalam teks. Detail tema terletak pada penjelasan mengenai titik temu antara Islam dan nasionalis yang dituliskan dengan memberikan contoh kongkrit. Dengan cara penulisan seperti itu, khalayak diajak berpikir bahwa pendapat kedua tokoh tersebut memang benar sesuai dengan realita. Teks tersebut dituliskan sebagai berikut: Menurut Din, Muhammadiyah memerintahkan anggotanya agar tak menelantarkan fakir miskin dan yatim piatu. “Celakalah mereka apabila shalat yang dilakukan tak fungsional atau tak memberikan pembelaan kepada kaum duafa, atau dalam bahasa PDI-P disebut kaum marhaen,” ujarnya. Tema kedua, dikotomi Islam dan nasionalis sudah menjadi tidak relevan lagi untuk konteks Indonesia. Tema ini dapat di lihat dari kutipan atas sumber Hasyim Muzadi. Hasyim Muzadi mendasarkan pada kenyataan bahwa Islam sangat kental dengan semangat nasionalis dan kultur Indonesia. Sehingga isu dikotomi Islam dan nasionalis yang selama ini menjadi perdebatan di Indonesia harus segera diakhiri. Tema tersebut dijelaskan dengan detail oleh Kompas dengan menggunakan kata “untuk konteks Indonesia”. Tema ketiga, pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan konsistensi PDI-P dalam memperjuangkan NKRI dan memperjuangkan kaum marhaen atau duafa. Artinya, dengan terbentuknya Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P maka akan bisa menjadi titik temu antara Islam dan nasional. Perangkat framing yang digunakan dalam tema tersebut adalah kata sambung “dan”. Dengan penulisan seperti itu, Kompas ingin menjelaskan bahwa keduanya saling terkait antara kalimat satu dengan lainnya. Frame Kompas yang menyatakan terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis juga didukung oleh penekanan-penekanan aspek retoris. Retorika yang dipakai adalah pemberian label strata ekonomi, yakni sebutan “duafa” bagi kaum Islam dan sebutan “marhaen” bagi kaum nasionalis. Klaim tersebut ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya memang terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Yakni keduanya sama-sama ingin membela dan memperjuangkan kaum marjinal, dalam hal ini kaum duafa atau marhaen. Selain itu terdapat label otoritas ketokohan, yakni terdapat katakata “Ketua PP Muhammadiyah” pada Din Syamsuddin, “Ketua PBNU” pada Hasyim Musyadi, dan “Ketua Umum” pada Megawati Soekarno Putri. Otoritas ketokohan tersebut digunakan untuk memberikan pembenaran bahwa pada dasarnya dikotomi Islam dan nasionalis sudah ditolak oleh tokoh Islam dan nasionalis itu sendiri. Tabel 2: Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan) Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan) Elemen Strategi Penulisan Skematis Wawancara terhadap tokoh Islam dan nasionalis yang menyatakan bahwa terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Kompas menempatkan pendapat dari kedua tokoh tersebut secara berurutan. Dimulai dari pendapat tokoh Islam, kemudian baru tokoh nasionalis. Dalam teks, tidak terdapat wawancara terhadap tokoh yang menolak pembentukan Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P. Skrip Pendapat tokoh Islam maupun nasionalis ditempatkan saling melengkapi dalam posisi yang setara. Pendapat satu tidak ditempatkan lebih utama dibanding pendapat lain. Argumentasi tokoh menunjukan titik temu antara Islam dan nasionalis. Tematik (1) pembelaan terhadap kaum duafa oleh pihak Islam dan pemihakan terhadap kaum marhaen oleh pihak nasionalis merupakan titik temu antara Islam dan nasionalis; (2) dikotomi Islam dan nasionalis sudah tidak relevan untuk konteks Indonesia; (3) pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan konsistensi PDI-P dalam memperjuangkan NKRI dan memperjuangkan kaum marhaen/duafa. Retoris Pemberian label strata ekonomi (duafa, marhaen) dan pemberian label otoritas jabatan dari para tokoh Islam dan nasionalis untuk mendukung gagasan. 2. Frame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus Dihapuskan Satu hari setelah hari ulang tahun Baitul Muslimin Indonesia yang pertama, Republika menurukan berita (tanggal 8 Mei 2008), dengan judul, “Dikotomi Nasionalis-Agamis Harus Dicairkan”. Dalam pandangan Republika, dengan hadirnya Baitul Muslimin Indonesia, maka dikotomi Islam dan nasionalis harus segera dihapuskan. Pandangan Republika tersebut dapat terlihat dari wacana berita yang dibuatnya. Dari segi sintaksis, judul di atas dapat menunjukan pandangan dari Republika yang secara tegas menolak dikotomi Islam dan nasionalis. Penolakan itu dapat dilihat dari kata “dicairkan” yang mempunyai makna sama dengan “dihapuskan”. Selain itu, Republika mengganti kata “Islam” dengan kata “agamis” dalam judul maupun isi keseluruhannya. Ini bisa diartikan bahwa bukan Islam saja yang harus di pertentangkan, melainkan seluruh agama pun bisa terkena isu dikotomi. Judul tersebut diperkuat dengan lead, yang menambahkan kalimat tentang dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Argumen tersebut dapat memperkuat pandangan Republika yang memandang isu tentang dikotomi Islam dan nasionalis. Seperti berikut Republika menampilkan lead-nya : Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengatakan, dikotomi nasionalis dan agamis harus bisa segera dicairkan. Apalagi banyak kenyataan yang membuktikan ketaatan kaum nasionalis sering lebih baik dari golongan agamis. Di dalam teksnya, Republika mewawancarai seorang tokoh islam, yakni ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Tokoh Islam tersebut mendukung tentang penghapusan dikotomi Islam dan nasionalis. Sedangkan tokoh dari kaum dari nasionalis tidak ada yang diwawancarai sehubungan dengan isu ini. Pernyataan tersebut disusun dari awal paragraf sampai akhir paragraf. Semua komentarnya pada dasarnya mengerucut pada satu pandangan, yaitu menolak dikotomi Islam dan nasionalis. Cara menyusun berita seperti ini menunjukan, bahwa pendapat tokoh Islam tersebut mewakili pandangan Republika. Sementara struktur skrip-nya, sudah sesuai dengan unsur 5W+1H. Pendapat dari tokoh Islam yang menolak dikotomi Islam telah di tampilkan dengan lengkap. Antara lain dengan menjabarkan mengenai hubungan yang harmonis antara Islam dan nasionalis, dalam hal ini Muhammadiyah, Baitul Muslimin Indonesia dan PDI-P. Dengan demikian, telah mewakili pandangan dari Republika. Dari struktur tematiknya, wacana mengenai dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan, mengandung lima tema besar. Tema pertama, dikotomi Islam dan nasionalis harus segera dicairkan karena banyak kenyataan membuktikan bahwa ketaatan kaum nasionalis lebih baik dari golongan agamis. Pernyataan dari Din Syamsuddin ini dibuat dengan tujuan agar khalayak pembaca mengerti maksud dari pandangan yang ingin disampaikan Republika. Hal itu bisa dilihat dari keadaan fakta di lapangan yang banyak membuktikan bila ketaatan seseorang tidak bisa dilihat dari luarnya. Tema kedua, terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Dengan terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis, misalnya pada pemihakan terhadap kaum duafa atau marhaen, maka isu dikotomi Islam dan nasionalis agar segera dihapuskan. Pernyataan tersebut merupakan komentar dari Din Syamsuddin. Berita tersebut sangat detail penjabarannya, sebab memberikan penjelasan mengenai titik temunya, yakni dalam persamaan pembelaan terhadap kaum marhaen atau duafa. Seperti yang tertera dalam kutipan berikut: “Jadi memang ada titik temu antara nasionalis dan agamis. Bung karno menyebut golongan marginal sebagai marhaenis, dalam Islam disebut kaum dhuafa. Untuk itu, memperjuangkan kaum marhaen berarti juga memperjuangkan kaum dhuafa,” kata Din pada acara hari ulang tahun Baitul Muslimin Indonesia (BMI), di Kantor DPP PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (7/5). Tema ketiga, sebagian besar pendukung PDI-P adalah umat muslim. Tema ini didukung oleh kutipan dari Din Syamsuddin. Pandangan tersebut, mengandung arti bahwa PDI-P yang nasionalis, identik dengan Islam karena pendukungnya mayoritas berasal dari kalangan muslim. Pandangan tersebut mengandung nominalisasi, karena begitu banyak jumlah umat Islam yang mendukung PDI-P. Tema keempat, dengan hapusnya dikotomi Islam dan nasionalis maka keutuhan bangsa akan bisa terus terjaga. Dalam hal ini, Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap partai nasionalis mempunyai peran strategis untuk memelihara bangsa yang majemuk. Teks tersebut mempunyai maksud yang jelas, yakni menjelaskan hubungan sebab akibat. Dimana, bila ingin bangsa utuh maka dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Tema kelima, kehadiran PDI-P sebagai sayap PDI-P dapat memperkaya khazanah pembinaan umat Islam di Indonesia. Pandangan tersebut ingin menegaskan kepada khayalak bahwa organisasi sayap Islam mempunyai peran penting untuk pembinaan umat di Indonesia. Dari struktur retoris yang digunakan, Republika menampilkan sebuah foto untuk mencerminkan pandangannya. Di dalam foto tersebut terdapat para tokoh dari kedua pihak, baik Islam maupun nasionalis sedang berjabat tangan. Foto itu bermakna, bila isu dikotomi Islam dan nasionalis kini sudah cair. Tabel 3: Frame Republika: Dikotomi Islam & Nasionalis Harus Dihapuskan Frame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus Dihapuskan Elemen Strategi Penulisan Skematis Wawancara terhadap tokoh Islam yang menyatakan bahwa dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Republika hanya menempatkan pendapat tokoh Islam didalam teks. Sementara tidak ada yang wawancara terhadap pihak nasionalis. Pendapat tokoh tersebut dijabarkan secara eksplisit dari awal hingga akhir paragraf. Skrip Pendapat tokoh Islam yang berpandangan bila dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan, diuraikan dengan lengkap. Dari pandangan tersebut, khalayak diajak berpikir ke arah yang sama. Tematik (1) dikotomi Islam dan nasionalis harus segera dicairkan karena banyak kenyataan membuktikan bahwa ketaatan kaum nasionalis lebih baik dari golongan agamis; (2) terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis, yaitu pada pemihakan terhadap kaum duafa atau marhaen; (3) sebagian besar pendukung PDI-P adalah umat muslim; (4) dengan hapusnya dikotomi Islam dan nasionalis maka keutuhan bangsa akan bisa terus terjaga; (5) kehadiran Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap PDI-P dapat memperkaya khazanah pembinaan umat Islam di Indonesia. Retoris Pencantuman foto untuk mencerminkan pandangannya. Di dalam foto tersebut terdapat para tokoh dari kedua pihak, baik Islam maupun nasionalis sedang berjabat tangan. 3. Perbandingan Frame Setelah Baitul Muslimin Indonesia dideklarasikan pada 29 Maret 2007 oleh PDI-P, perbincangan mengenai isu dikotomi Islam dan Nasionalis kembali mencuat di jagad politik tanah air. Perdebatan mengenai isu dikotomi Islam dan nasionalis ini kemudian ditanggapi oleh para tokoh, baik dari pihak Islam maupun nasionalis. Para tokoh tersebut memberikan pandangannya masing-masing. Mereka perpandangan bila pasca didirikannya Baitul Muslimin Indonesia, maka dikotomi harus segera dihilangkan, karena Isu tersebut telah menjadi kontraproduktif untuk konteks Indonesia. Media mempunyai strategi wacana tersendiri dalam memaknai peristiwa tersebut. Frame itu menentukan bagaimana fakta diambil, dilakukan, bagaimana hasil wawancara diperlakukan, bagaimana ia ditulis dan ditempatkan dalam halaman surat kabar. Kompas memandang bila terbentuknya Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P bisa menjadi titik temu antara Islam dan nasionalis. Yang menjadi acuan Kompas adalah pendapat dari para tokoh Islam dan nasionalis yang menyatakan bahwa terdapat titik antara Islam dan nasionalis. Titik temu tersebut ditunjukan dengan pemberian label strata ekonomi (duafa, marhaen). Citra yang ingin ditampilkan kepada publik adalah dengan lahirnya Baitul Muslimin Indonesia maka isu dikotomi Islam dan nasionalis menjadi tidak relevan lagi. Jadi bisa dilihat, bila Kompas tidak secara langsung mengemukakan bahwa Isu dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan, melainkan mengemukakan pandangan dari kedua tokoh, baik Islam maupun nasionalis tentang titik temu Islam dan nasionalis baru kemudian mengambil kesimpulan bahwa dikotomi Islam dan nasionalis sudah tidak relevan lagi untuk konteks Indonesia. Sementara Republika memandang bahwa dikotomi Islam dan nasionalis harus segera dicairkan atau dengan kata lain harus dihapuskan. Acuannya adalah tokoh Islam yang menyatakan bahwa terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Titik temu tersebut ditunjukan dengan pemakain label strata ekonomi (duafa, marhaen) dan pencantuman foto tokoh Islam dan nasionalis yang sedang berjabat tangan. Citra yang ingin ditampilkan kepada publik adalah dengan lahirnya Baitul Muslimin Indonesia maka isu dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Dengan demikian, Republika terlebih dahulu menyampaikan gagasannya tentang isu dikotomi Islam dan nasionalis yang harus dihapuskan, baru kemudian memaparkan pendapat dari tokoh Islam yang menyatakan bahwa terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Dalam peristiwa ini Republika hanya mengambil pendapat dari pihak Islam dan tidak memasukan pendapat dari pihak nasionalis. Tabel 4: Dikotomi Islam dan Nasionalis: Perbandingan Frame Kompas dan Republika. Elemen Frame Kompas Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan) Skematis Wawancara terhadap tokoh Islam dan nasionalis yang menyatakan bahwa terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Kompas menempatkan pendapat dari kedua tokoh tersebut secara berurutan. Dimulai dari pendapat tokoh Islam, kemudian baru tokoh nasionalis. Dalam teks, tidak terdapat wawancara terhadap tokoh yang menolak pembentukan Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P. Skrip Pendapat dari kedua tokoh, baik Islam maupun nasionalis ditempatkan saling melengkapi, saling menanggapi dalam posisi yang setara. Pendapat satu tidak ditempatkan lebih utama dibanding pendapat lain. Argumentasi kedua tokoh menunjukan titik temu antara Islam dan nasionalis. Tematik (1) pembelaan terhadap kaum Republika Dikotomi Islam dan Harus Dihapuskan Nasiona Wawancara terhadap tokoh Islam yang menyatakan bahwa dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Republika hanya menempatkan pendapat tokoh Islam didalam teks. Sementara tidak ada yang wawancara terhadap pihak nasionalis. Pendapat tokoh tersebut dijabarkan secara eksplisit dari awal hingga akhir paragraf Pendapat tokoh Islam yang berpandangan bila dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan, diuraikan secara lengkap. Dari pandangan tersebut, khalayak diajak berpikir ke arah yang sama. (1) dikotomi Islam dan nasionalis duafa oleh pihak Islam dan pemihakan terhadap kaum marhaen oleh pihak nasionalis merupakan titik temu antara Islam dan nasionalis; (2) dikotomi Islam dan nasionalis sudah tidak relevan untuk konteks Indonesia; (3) pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan konsistensi PDI-P dalam memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperjuangkan kaum marhaen atau duafa. Retoris Pemberian label strata ekonomi (duafa, marhaen) dan pemberian label otoritas jabatan dari para tokoh Islam dan nasionalis untuk mendukung gagasan. harus segera dicairkan karena banyak kenyataan membuktikan bahwa ketaatan kaum nasionalis lebih baik dari golongan agamis; (2) terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis, yaitu pada pemihakan terhadap kaum duafa atau marhaen; (3) sebagian besar pendukung PDI-P adalah umat muslim; (4) dengan hapusnya dikotomi Islam dan nasionalis maka keutuhan bangsa akan bisa terus terjaga; (5) kehadiran Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap PDI-P dapat memperkaya khazanah pembinaan umat Islam di Indonesia. Pencantuman foto untuk mencerminkan pandangannya. Di dalam foto tersebut terdapat para tokoh dari kedua pihak, baik Islam maupun nasionalis sedang berjabat tangan. B. Isu/Peristiwa 2: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P. Kehadiran organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia membawa angin baru bagi PDI-P. Sejak awal berdirinya, PDI-P tidak pernah membawa perangkat keagamaan ke dalam tubuh organisasi. Tetapi kini keadaan berubah, PDI-P mulai merubah kebijakannya. Ini dibuktikan dengan dibentuknya organisasi sayap partai, Baitul Muslimin Indonesia. Menurut Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Baitul Muslimin, Cholid Ghozali, tujuan eksternal dibentuknya Baitul Muslimin Indonesia harus sejalan dengan tujuan PDI-P. Sebagai contoh, bilamana PDI-P memandang bahwa memenangkan Pemilu dan Pilpres 2009 merupakan tujuan strategisnya, maka Baitul Muslimin harus berjuang keras dalam mendukung kemenangan PDI-P itu.101 Dalam tingkat yang paling praktis, dengan tujuan eksternalnya ini Baitul Muslimin harus dapat merangkul semua eksponen Islam yang selama ini berada di luar PDI-P untuk bersama-sama memberikan andil bagi kemenangan PDI-P. Dengan kata lain, peran Baitul Muslimin Indonesia sangat penting dan dibutuhkan bagi PDI-P kedepan. Lalu bagaimana media memandang peristiwa ini? Apakah media memandang keberadaan Baitul Muslimin Indonesia bisa digunakan PDI-P untuk mendukung PDI-P dalam mendulang suara di Pemilu 2009. Ataukah media memandang sebaliknya. Mari kita lihat bagaimana media membingkai peristiwa ini sesuai dengan frame nya masing-masing. 1. Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung Kemenangan PDI-P dalam pemilu. Pada saat Baitul Muslimin Indonesia menyelenggarakan Rakernas I di Kantor DPP PDI-P di Lenteng Agung Jakarta Selatan, Kompas menurunkan berita tentang Baitul Muslimin Indonesia (tanggal 25 Agustus 2008) dengan judul “Baitul Muslimin Siap Menangkan PDI-P”. Dalam pandangan Kompas Baitul Muslimin Indonesia siap mendukung kemenangan PDI-P dalam Pemilu 2009. Pandangan tersebut akan terlihat dari bagaimana Kompas melakukan strategi wacana dalam berita. Dari segi sintaksis, judul yang dipakai jelas merupakan pandangan dari Kompas. Judul tersebut bermakna bahwa Rakernas yang digelar oleh 101 Ibid, hal. 1. Baitul Muslimin Indonesia mempunyai agenda besar, yaitu memenangkan PDI-P dalam Pemilu 2009. Dalam berita tersebut, Kompas mewawancarai Taufik Kiemas dan Hamka Haq. Dalam pandangan kedua sumber tersebut terlihat bahwa Baitul Muslimin sudah siap mendukung kemenangan PDI-P dalam Pemilu 2009. Pandangan Kompas juga dapat dilihat dari caranya menyusun kutipan wawancara. Di dalam teks, yang menjadi narasumber wawancara adalah Taufik Kiemas dan Hamka Haq. Kedua narasumber yang diwawancara menempatkan posisi Baitul Muslimin Indonesia sebagai salah satu unsur yang bisa memenangkan PDI-P dalam Pemilu. Hal itu bisa dilihat dari komentar Taufik Kiemas yang mengharapkan Baitul Muslimin untuk terus bekerja keras dalam mendukung kemenangan dan memperbaiki citra PDI-P. Serta komentar dari Hamka Haq yang mengharapkan kerjasama anggota Baitul Muslimin Indonesia untuk memenangkan PDI-P. Pandangan dari pimpinan Baitul Muslimin ditempatkan dalam teks karena untuk menunjukan kepada khalayak bahwa pandangan tersebut memang mempunyai keabsahan. Dari struktur skrip, Kompas memberikan pandangannya melalui pendapat dari masing-masing sumber, dalam hal ini Taufik Kiemas dan Hamka Haq, yang mengharapkan agar Baitul Muslimin Indonesia mendukung PDI-P dalam Pemilu. Dalam teks, terdapat empat tema yang ingin ditampilkan kepada khalayak. Pertama, sebagai persiapan untuk menangkan PDI-P, Baitul Muslimin Indonesia gelar Rakernas. Kegiatan dalam Rakernas di jelaskan dengan begitu detail oleh Kompas di dalam teks. Tema kedua, PDI-P tidak akan sebesar pada saat ini, jika tidak didukung oleh Baitul Muslimin Indonesia, termasuk kemenangan PDI-P dan Megawati sebagai capresnya dalam pemilu mendatang. Pernyataan itu merupakan komentar dari Taufik Kiemas. Komentar tersebut bermaksud menegaskan bahwa dukungan Baitul Muslimin Indonesia sangat diperlukan untuk kemenangan PDI-P. Tema ketiga, Baitul Muslimin dibentuk untuk memperbaiki citra PDI-P. Pandangan tersebut dijelaskan dengan cukup detail, karena menjelaskan keadaaan citra sebelumnya yang kurang baik. Antara lain seperti kutipan dibawah ini. Taufik juga mengingatkan peserta, selain berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, Baitul Muslimin dibentuk untuk memperbaiki citra PDI-P yang hingga 20666 dinilai sebagai partai preman, partai non-Islam, dan partai yang berisi orang-orang komunis. “Kini citra PDI-P sebagai partai kaum nasionalis sudah terbentuk,” ungkap Taufik. Tema keempat, semangat kegotongroyongan harus dipupuk terus oleh anggota Baitul Muslimin Indonesia untuk menangkan pemilu 2009. Dengan pengharapan tersebut dapat menunjukan kepada khalayak tentang pandangan yang ingin disampaikan. Dari segi retoris, terdapat kata dan ungkapan yang menunjukan pandangan yang ingin disampaikan. Antara lain terdapat dalam kalimat “Mengukuhkan Islam Rahmah Menuju Kemenangan Pemilu 2009”. Ungkapan tersebut menggabungkan dalil keagamaan dengan unsur dukungan. Dalil keagamaan ditunjukan dengan kata “Islam rahmah” sedangkan kan unsur dukungan ditunjukan dengan kata “Menuju Kemenangan PDI-P”. Tabel 5: Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung Kemenangan PDI dalam Pemilu. Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung Kemenangan PDIdalam Pemilu. Elemen Strategi Penulisan Skematis Memosisikan Baitul Muslimin Indonesia sebagai organisasi sayap yang siap mendukung kemenangan PDI-P. Selain itu menempatkan pendapat dari para pimpinan Baitul Muslimin Indonesia yang menyatakan bahwa Baitul Muslimin mendukung kemenangan PDI-P dalam pemilu. Skrip Penekanan hanya pada dukungan kemenangan, tetapi tidak dijelaskan secara rinci mengenai langkah-langkah apa yang digunakan untuk mencapai kemenangan tersebut. Tematik (1) sebagai persiapan untuk menangkan PDI-P, Baitul Muslimin Indonesia gelar rakernas; (2) PDI-P tidak akan sebesar pada saat ini, jika tidak didukung oleh Baitul Muslimin Indonesia, termasuk kemenangan PDI-P dan Megawati sebagai capresnya dalam pemilu mendatang; (3) Baitul Muslimin dibentuk untuk memperbaiki citra PDI-P; (4) semangat kegotongroyongan harus dipupuk terus oleh anggota Baitul Muslimin Indonesia untuk menangkan pemilu 2009. Retoris Pemberian dalil kegamaan untuk mendukung gagasan, yaitu dengan memakai kalimat “Mengukuhkan Islam Rahmah Menuju Kemenangan Pemilu 2009”. 2. Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia. Dua hari setelah pertemuan salah seorang Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia dengan Pengurus Daerah Baitul Muslimin Indonesia Sumatra Utara di Medan, Republika menurunkan berita (tanggal 5 November 2007) dengan judul, “PDIP Ingin Ubah Citra”. Menurut Pandangan Republika, peran Baitul Muslimin Indonesia sangat membantu dalam memperbaiki citra dan mendukung kemenangan PDI-P. Kita akan melihat gagasan tersebut dari bagaimana Republika membuat strategi wacana dalam berita. Dari struktur sintaksis, judul tersebut merupakan pandangan dari Republika, yang mengandung makna bahwa PDI-P akan memperbaiki citranya yang negatif. Hal ini, juga dapat dilihat dari cara Republika membuat lead. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saat ini terus berusaha memperbaiki berbagai citra negatif, yang dinilai memberi sumbangan besar terhadap merosotnya perolehan suara dalam pemilihan umum. Salah satu caranya adalah melalui sayap partai Baitul Muslimin Indonesia. Lead diatas menunjukan bahwa Baitul Muslimin Indonesia mempunyai pengaruh besar bagi PDI-P. Sebab dengan lahirnya Baitul Muslimin Indonesia, citra PDI-P yang selama ini negatif bisa diperbaiki lewat organisasi sayap partainya tersebut. Dengan terbentuknya citra yang baru, maka akan memberi manfaat bagi PDI-P dalam menghadapi Pemilu. Dari segi latar pun terlihat, bila maksud berita tersebut ingin menunjukan kepada khalayak bahwa PDI-P ingin mengubah citranya yang sebelumnya buruk menjadi baik melalui organisasi sayap yang dibentuknya, yakni Baitul Muslimin Indonesia. Tujuannya tidak lain adalah untuk mendukung kemenangan PDI-P dalam Pemilu. Dalam berita tersebut Republika mewawancarai dua sumber. Yang pertama Irmadi Lubis, salah seorang pengurus pusat Baitul Muslimin Indonesia. Yang kedua adalah Alamsyah Hamdani, sekretaris PDI-P daerah Sumatera Utara. Kedua sumber tersebut mempunyai pandangan sama mengenai Baitul Muslimin Indonesia. Keduanya berpandangan bahwa citra negatif PDI-P dapat diubah melalui Baitul Muslimin Indonesia, sehingga dengan demikian akan berpengaruh pada perolehan suara PDI-P di Pemilu. Berikut kutipan dari kedua sumber tersebut: “Antara lain ingin mengubah imej, bahwa PDI-P bukan tempatnya preman, eks PKI, non-Muslim dan Islam abangan,” kata Irmadi Lubis...... Menurut Irmadi, keempat faktor yang dituding sebagai penyebab merosotnya suara PDI-P itu, kini hendak dikikis secara perlahan. Antara lain dengan pembentukan sayap partai, yang diberi nama Baitul Muslimin. “Ini menegaskan bahwa partai ini sesungguhnya adalah rumahnya kaum muslim, yang menjadi mayoritas pemberi suara kepada PDI-P dalam pemilu selama ini,” katanya. ------------------------------Hal senada juga dinyatakan Sekretaris PDI-P Sumut, Alamsyah Hamdani. “Saya semula sempat malu menempatkan huruf H di depan nama saya, karena berada di antara mayoritas yang nonMuslim,” tandasnya Namun setelah adanya komitmen dari pengurus pusat PDI-P, dibuktikan dengan dilahirkan Baitul Muslimin Indonesia, dia pun bertekad bahwa Islam harus mewarnai gerakan partai ini ke depan. Sementara dari struktur skrip, teks berita Republika mengenai dukungan Baitul Muslimin Indonesia, sudah cukup jelas. Argumen sumber yang dipaparkan juga telah memenuhi unsur 5W+1H. Ini bisa dilihat dari pendapatnya (what), siapa yang berpendapat mengenai hal itu (who), mengapa mereka seperti itu (why), kapan dan di mana persitiwa tersebut berlangsung (when)-(where), serta bagaimana detail pendapat mereka (how). Dalam struktur tematik, secara garis besar, terdapat empat tema. Pertama, PDI-P ingin mengubah citranya yang sebelumnya negatif melalui organisasi sayap yang dibentuknya, yakni Baitul Muslimin Indonesia. Pandangan tersebut di jelaskan Republika untuk menjelaskan maksud dari pandangannya. Kedua, faktor penyebab merosotnya suara PDI-P itu, kini hendak dikikis melalui Baitul Muslimin Indonesia. Sebutan sebagai partainya preman, eks PKI, non-Muslim dan Islam abangan yang dulu melekat pada PDI-P, akan dihilangkan dengan cara mendirikan Baitul Muslimin. Pandangan itu dijelaskan dengan detail oleh Republika di dalam teks. Ketiga, dari 19 juta lebih pemilih PDI-P dalam pemilu lalu, mayoritas adalah muslim. Namun yang 50 persen yang menjadi anggota legislatif adalah non-Muslim. Pandangan tersebut ingin menekankan bila ada sesuatu ironi di dalam partai. Ini bisa dilihat dari pemakaian kata “namun’ di dalam teks tersebut. Keempat, kegiatan di tubuh PDI-P tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap partainya. Ini berarti eksistensi Baitul Muslimin Indonesia terkait dengan PDI. Pandangan ini ingin menegaskan bahwa keduanya tidak bisa berdiri satu sama lainnya. Aspek retoris dalam wacana berita dapat dilihat dari adanya unsur leksikon. Yakni bisa dilihat dari pemakaian kata seperti, “merosot”, Nonmuslim, Islam abangan serta eks PKI. Penggunaan label seperti itu bisa mendukung pandangan sumber dan mempengaruhi khalayak. Tabel 6: Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia. Elemen Strategi Penulisan Skematis Memaparkan tentang citra PDI-P sebelum dan sesudah Baitul Muslimin Indonesia muncul, serta mengaitkannya dengan pemilu. Pandangan tersebut didukung oleh dua orang tokoh dari PDI-P yang menyatakan bila PDI-P ingin memenangkan Pemilu, maka PDI-P harus bisa memperbaiki citra lewat Baitul Muslimin Indonesia. Skrip Pandangan mengenai perbaikan citra dan dukungan yang diberikan Baitul Muslimin Indonesia kepada PDI-P ditempatkan saling setara. Tematik (1) PDI-P ingin mengubah citranya yang sebelumnya negatif melalui organisasi sayap yang dibentuknya, yakni Baitul Muslimin Indonesia; (2) faktor penyebab merosotnya suara PDI-P itu, kini hendak dikikis melalui Baitul Muslimin Indonesia; (3) dari 19 juta lebih pemilih PDIP dalam pemilu lalu, mayoritas adalah muslim. Namun yang 50 persen yang menjadi anggota legislatif adalah non-Muslim; (4) Kegiatan di tubuh PDI-P tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap partainya. Retoris Pemakaian unsur leksikon untuk mendukung gagasan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata-kata seperti, “merosot”, Non-muslim, Islam abangan serta eks PKI. 3. Perbandingan Frame Kehadiran organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia membawa manfaat besar bagi PDI-P. Baitul Muslimin Indonesia dibentuk sebagai salah satu terobosan untuk memperbaiki citra partai yang selama ini negatif dan untuk membantu PDI-P dalam meraih suara dalam Pemilu. Media mempunyai strategi wacana tersendiri dalam memaknai peristiwa tersebut. Frame itu menentukan bagaimana fakta diambil, dilakukan, bagaimana hasil wawancara diperlakukan, bagaimana ia ditulis dan ditempatkan dalam halaman surat kabar. Kompas memandang kehadiran Baitul Muslimin Indonesia sebagai organisasi sayap, dapat mendukung kemenangan PDI-P dalam Pemilu. Acuannya adalah komentar dari para pimpinan Baitul Muslimin Indonesia yang menyatakan bahwa Baitul Muslimin siap mendukung kemenangan PDI-P dalam pemilu. Citra yang ingin ditampilkan Kompas kepada publik adalah bahwa Baitul Muslimin Indonesia merupakan organisasi sayap yang siap mendukung kemenangan PDI-P di Pemilu. Sejalan dengan itu, Republika pun memberikan pandangan yang sama dengan Kompas. Republika memandang hadirnya baitul Muslimin Indonesia dapat memperbaiki citra PDI-P dan dapat mendongkrak suara PDI-P di dalam Pemilu. Acuannya adalah komentar dari para pengurus Baitul Muslimin Indonesia dan pengurus PDI-P yang menyatakan bahwa Baitul Muslimin dapat memperbaiki citra PDI-P dan dapat memberi dukungan suara dalam Pemilu. Citra yang ingin ditampilkan Republika kepada publik adalah bahwa Baitul Muslimin Indonesia merupakan organisasi sayap yang dapat memperbaiki citra negatif PDI-P sekaligus pendukung bagi kemenangan PDI-P di Pemilu. Tabel 7: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P: Perbandingan Frame Kompas dan Republika Elemen Frame Kompas Baitul Muslimin Indonesia Mendukung Kemenangan PDI-P dalam Pemilu. Skematis Memosisikan Baitul Muslimin Indonesia sebagai organisasi sayap yang siap mendukung kemenangan PDI-P. Selain itu menempatkan pendapat dari para pimpinan Baitul Muslimin Indonesia yang menyatakan bahwa Baitul Muslimin mendukung kemenangan PDI-P dalam pemilu. Skrip Republika Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia. Memaparkan citra PDI-P sebelum dan sesudah Baitul Muslimin Indonesia muncul, serta mengaitkannya dengan pemilu. Pandangan tersebut didukung oleh dua orang tokoh dari PDI-P yang menyatakan bila PDI-P ingin memenangkan Pemilu, maka PDI-P harus bisa memperbaiki citra lewat BMI. Penekanan hanya pada dukungan Pandangan mengenai perbaikan Tematik Retoris kemenangan, tetapi tidak dijelaskan secara rinci mengenai langkahlangkah apa yang digunakan untuk mencapai kemenangan tersebut. (1) sebagai persiapan untuk menangkan PDI-P, Baitul Muslimin Indonesia gelar rakernas; (2) PDI-P tidak akan sebesar pada saat ini, jika tidak didukung oleh Baitul Muslimin Indonesia, termasuk kemenangan PDI-P dan Megawati sebagai capresnya dalam pemilu mendatang; (3) Baitul Muslimin dibentuk untuk memperbaiki citra PDI-P; (4) semangat kegotongroyongan harus dipupuk terus oleh anggota Baitul Muslimin Indonesia untuk menangkan pemilu 2009. Pemberian dalil kegamaan untuk mendukung gagasan, yaitu dengan memakai kalimat “Mengukuhkan Islam Rahmah Menuju Kemenangan Pemilu 2009”. citra dan dukungan yang diberikan Baitul Muslimin Indonesia kepada PDI-P ditempatkan saling setara. (1) PDI-P ingin mengubah citranya yang sebelumnya negatif melalui organisasi sayap yang dibentuknya, yakni Baitul Muslimin Indonesia; (2) faktor penyebab merosotnya suara PDIP itu, kini hendak dikikis melalui Baitul Muslimin Indonesia; (3) dari 19 juta lebih pemilih PDI-P dalam pemilu lalu, mayoritas adalah muslim. Namun yang 50 persen yang menjadi anggota legislatif adalah non-Muslim; (4) Kegiatan di PDI-P tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap partainya. Pemakaian unsur leksikon untuk mendukung gagasan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kataseperti, “merosot”, Non-muslim, Islam abangan serta eks PKI. DAFTAR PUSTAKA Buku Assegaf, Djafar. Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Berger, Peter L. and Thomas Luckman. The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge, Penerj. Hasan Basari. Jakarta: LP3ES, 1990. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2007. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. _____________________. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS, 2007. _______. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS, 2006. Fauzi, Arifatul Choiri. Kabar-kabar Kekerasan dari Bali. Yogyakarta: LKIS, 2007. Hamad, Ibnu. Agus Sudibyo. Muhammad Qodari. Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama Di Media Massa. Jakarta: ISAI, 2001. Hidayat, Helmi, ed. Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan: Edisi Buletin Jumat Baitul Muslimin. Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008. Keraf, Gorys. Komposisi. Cet. ke-VIII. Flores: Nusa Indah, 1989. Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Publishing Company, 2001. Magnis, Franz. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Mc Quail, Denis. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, 2005. McLuhan, Marshall. Understanding Media: The Extensions of Man. Cambridge: The MIT Press, 1994. Moscow, Vincent. The Political Economy of Communication. London: Sage Publications, 1996. Nugroho, Bimo, Eriyanto, Franz Sudiarsis. Politik Media Mengemas Berita. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999. Romli, Asep Syamsul. Jurnalistik Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Shoemaker, Pamela J. dan Reese, Stephen D. Mediating The Message: Theories of Influence on Mass Media Content. New York and London: Longman Publishing Group, 1996. Scwandt, Thomas A. Constructivist, Interpretivist Approach to Human Inquiry, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication, 1994. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Penerj. Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Sumadirian, AS. Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature: Panduan Praktis Jurnalistik Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006. Zen, Fathurin. Nu Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKIS, 2004. Jurnal Imawan, Teguh. Media Surabaya Mengaburkan Makna. Jakarta: Pantau Edisi 09/Tahun 2000. Pan, Zhongdang and Gerald M. Kosicki. Framing Analysis: An Approach to News Discourse. Politicial Communication. Vol.10 No.1. Pennman, Robin. Good Theory and Good Practice: An Argument in Progress, dalam Theory Communication Theory 2, 1992. Sumber lain Alwi, Hasan dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Farihah, Ipah. Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2006. FA. Santoso, dkk. Media Kit Kompas 2007. Jakarta: Kompas, 2007 Gunadi, YS. (Peny.). Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 1998. Junaedhi, Kuniawan. Ensiklopedia Pers Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1985. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Yogyakarta: Indonesiatera, 2007. Tim penyusun, 35 Tahun Kompas. Jakarta: Brosur Kompas, 2000. Undang-undang Partai Politik: UU RI Nomor 2 Tahun 2008, cet. Ke-2 (Jakarta: Asa Mandiri, 2008), h.1. Surat Kabar Kompas : Edisi 30 Maret 2007 dan 25 Agustus 2008. Republika: Edisi 5 November 2007 dan 8 Mei 2008. Media Online Abdul Khaliq Ahmad. Urgensi Organisasi Sayap Partai, diakses pada 1 Juli 2008 darihttp://www.pdp.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id =1721 Anwar, Muhammad Jafar Merebut Simpati Ulama dan Umat Islam, data di akses pada 5 Juli 2008 dari http://www.hupelita.com/baca.php?id=36611 Komisi Pemilihan Umum. Partai Politik 2009, data diakses pada 9 Juli 2008 dari http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=category&sec tionid=5&id=24&Itemid=83 Megawati Lantik Pengurus Baitul Muslimin, artikel diakses pada 5 Juli 2008 dari http://www.kompas.com/ver1/nasional/0708/05/145221.htm Putri, Megawati Soekarno. Pidato Ketua Umum PDI-P pada Deklarasi Baitul Muslimin Indonesia, data diakses pada 29 Maret 2008 dari http://www.pdiperjuangan-denpasar.org/index.php/Deklarasi-BaitulMuslimin-Indonesia.html http://www.republika.co.id http://www.kompas.com http://www.pdi-perjuangan.or.id CURRICULUM VITAE (CV) Data Pribadi Nama Lengkap : Donie Kadewandana Nama Pena : Donie K. Malik Tempat dan Tgl lahir : Jakarta, 23 Agustus 1984 Jenis Kelamin : Laki-laki Status : Belum Menikah Kebangsaaan : Indonesia Alamat : Komplek Arinda Permai II Blok E5 No. 7 Pondok Aren, Bintaro, Tangerang (15224) Nomor Telepon : (021) 9877.8622 / 0856.95712855 Email : [email protected] Latar Belakang Pendidikan Tahun Pendidikan Formal 2004-2008 S1 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Lulus Desember 2008 dengan predikat cumlaude, dengan IPK 3,62. 2002-2008 S1 Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Budi Luhur, Jakarta. Lulus Februari 2008 dengan predikat amat baik, IPK 3,24. 1999-2002 SMU Budi Luhur, Tangerang, berijazah. 1996-1999 SMP Budi Mulia, Tangerang, berijazah. 1990-1996 SDN 18 Johar Baru, Jakarta Pusat, berijazah. Pengalaman Kerja • Interviewer freelance, Pusat Penelitian KOMPAS, Litbang Harian KOMPAS, Jakarta, 2007-2009. • Jurnalis (Penulis), Rubrik DETEKSI Harian INDOPOS, Jakarta, 2005-2006. • Surveyor, Rubrik DETEKSI Harian INDOPOS, Jakarta, 2005. Pelatihan dan Kursus • Pelatihan Penulisan Kreatif, Yayasan Paramadina, Jakarta, 2008. • Pelatihan Jurnalistik, Womens International Club (WIC), Jakarta, 2007. • English Course, Womens International Club (WIC), Jakarta, 2007. • Pelatihan Penelitian Komunikasi, Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media (P2KM), FDK UIN Jakarta, 2006. • Pelatihan Jurnalitik Televisi, KOMKA, UIN Jakarta, 2004. • Latihan Kader (LK) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Komisariat Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Bogor, 2004. • Latihan Kepemimpinan Dasar BEM Univ. Budi Luhur, Serpong, 2002. Pengalaman Organisasi • Redaktur Pelaksana dan Reporter Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT, UIN Jakarta, 2004-2006. • Pemimpin Redaksi Majalah SWAKA, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Jakarta, 2005-2006. • Sekretaris Departemen Humas dan Informasi, Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEM-J) Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Jakarta, 2005-2006. • Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Komisariat Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Jakarta, 2004. • Koordinator Komunitas Mahasiswa Komunikasi (KOMKA), UIN Jakarta, 2004-2005. • Ketua Panitia Pelatihan Jurnalistik Televisi, KOMKA UIN Jakarta, 2004. • Ketua Divisi Litbang Zeta Data Center, Pusat Pengembangan Sains dan Teknologi (PUSBANGSITEK), UIN Jakarta, 2006. • BEM Universitas Budi Luhur, 2002. • Teater Universitas Budi Luhur, 2002. Pengalaman Penelitian • Peneliti lapangan Ekspedisi Ciliwung, Litbang Harian KOMPAS, 2009. • Peneliti lapangan Pilkada Jawa barat, Litbang Harian KOMPAS, 2007. • Interviewer, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, 2007. • Surveyor Zeta Data Center, Pusbangsitek UIN Jakarta, 2006. Karya Tulis • Meneropong KPK Jilid II, dimuat Harian Umum Sinar Harapan, 2007. • Mempertanyakan Integritas Anggota Seputar Indonesia (SINDO), 2007. • Refleksi Hari Antinarkoba, dimuat Harian Seputar Indonesia (SINDO), 2007. • Konstruksi Realitas di Media Massa (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika), Skripsi S1, UIN Jakarta, 2008. • Rancangan Sistem Informasi Penerimaan Siswa Baru Pada TK. Tunas Mandiri Dengan Metodologi Berorientasi Obyek, Skripsi S1, Universitas Budi Luhur, 2008. KPU, Hobi dan Minat • Membaca, Menulis, dan Olah raga. • Peminatan: Komunikasi, Sosial, dan Politik. dimuat Harian