KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING

advertisement
KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA
(ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL
MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN
REPUBLIKA)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.)
Oleh
Donie Kadewandana
NIM. 104051001897
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA
(ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL
MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN
REPUBLIKA)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.)
Oleh
Donie Kadewandana
NIM. 104051001897
Di Bawah Bimbingan
Dra. Armawati Arbi, M. Si
NIP. 150246288
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA
(ANALISIS
FRAMING
TERHADAP
PEMBERITAAN
BAITUL
MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN
REPUBLIKA)”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4
Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam Program Strata Satu (S-1) pada
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 10 Desember 2008
Panitia Sidang Munaqasyah,
Ketua
Sekretaris
Drs. Study Rizal LK, MA
NIP. 150 262 876
Umi Musyarofah, MA
NIP. 150 281 980
Penguji I
Penguji II
Dr. Murodi, MA
NIP. 150 254 102
Drs. Jumroni, M.Si
NIP. 150 254 959
Pembimbing,
Dra. Armawati Arbi, M.Si
NIP. 150 246 288
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 17 November 2008
Donie Kadewandana
ABSTRAK
Donie Kadewandana
NIM. 104051001897
102+vii hal, 7 Tabel, 9 Gambar/Bagan; 2008
KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING
TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P
DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA)
Pembentukan organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia di dalam tubuh
PDI-P, banyak mendapat respon dari berbagai kalangan. Ada yang berpendapat
bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan langkah progresif karena
dapat menghapus dikotomi Islam dan nasionalis. Ada juga yang menganggap bila
pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan strategi PDI-P untuk
memperbaiki citra dan mendongkrak suara dalam pemilihan umum (Pemilu)
2009. Opini mengenai pembentukan dan citra Baitul Muslimin Indonesia
sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari media massa. Media massa memiliki
peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini publik pada
suatu peristiwa.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui bagaimana Harian
Kompas dan Republika mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P;
(2) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing
(sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia
PDI-P di Harian Kompas dan Republika.
Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konstruksi
realitas sosial yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann,
serta teori konstruksi sosial media massa Burhan Bungin. Kemudian dikaitkan
dengan teori framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
Metodologi penelitian dalam skripsi ini antara lain menggunakan:
paradigma konstruksionis, pendekatan kualitatif, sifat penelitian eksplanatif, dan
analisis data menggunakan framing model Zhongdang Pan dan Gerald M.
Kosicki.
Hasil penelitian menunjukan, (1) ada dua isu besar yang diangkat media
dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia. Pertama, isu dikotomi Islam dan
nasionalis. Frame Kompas terhadap isu ini yaitu Baitul Muslimin Indonesia
merupakan bagian dari gerakan Islam progresif, karena dapat melahirkan titik
temu antara Islam dan nasionalis. Frame Republika adalah dikotomi Islam dan
nasionalis harus dihapuskan, karena selain terdapat titik temu, Islam dan
nasionalis juga dapat saling mendukung. Kedua, isu dukungan Baitul Muslimin
Indonesia terhadap PDI-P. Frame Kompas adalah pragmatisme politik. Frame
Republika pun juga sama, pragmatisme politik. (2) Dari segi struktur wacana
framing (sintaksis, skrip, tematik, retoris) terdapat perbedaan antara yang
ditampilkan Kompas dan Republika. Perbedaan tersebut terutama terlihat dari
struktur tematik dan retoris. Kompas lebih menonjolkan sisi pluralisme dan halus
dalam menampilkan wacana Islam. Sedangkan Republika, terlihat lebih
menonjolkan sisi keIslaman.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‘alamiiin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat
serta salam semoga tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, sosok
teladan sepanjang zaman, beserta para sahabat dan pengikutnya, yang telah
mengantar umat manusia keluar dari masa kegelapan kepada zaman yang dihiasi
dengan ilmu seperti saat ini.
Adapun tugas akhir yang berjudul “Konstruksi Realitas di Media Massa
(Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di
Harian Kompas dan Republika)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terselesaikannya tugas akhir ini karena tak lepas dari bantuan dan
dorongan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Murodi, MA., selaku Dekan
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr. Arief Subhan, M.A., selaku Pudek
I, Drs. H. Mahmud Djalal, MA., selaku Pudek II dan Drs. Study Rizal
L.K. MA., selaku Pudek III.
2. Drs. Wahidin Saputra, MA., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam, dan Umi Musyarofah, MA., selaku Sekretaris Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan persoalan akademis dan administrasi.
3. Dra. Armawati Arbi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, baik dari segi
keilmuan maupun tulisan. Semoga Ibu selalu diberikan limpahan karunia
dan nikmat serta senantiasa mendapat perlindungan dari Allah SWT.
4. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang telah
memberikan bantuan keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa selalu memberikan kemudahan,
limpahan nikmat dan karunia-Nya kepada mereka.
5. Orang tuaku terkasih, Ibunda Mariam Muslihatun, yang telah memberikan
dukungan moril, materil serta doa dan keridhoannya yang tak terhitung
besarnya. Kepada kakakku tersayang Lindawati beserta sang suami Bang
Buyung, dan adikku Adrian yang telah mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT mengampuni segala
kesalahannya, memberikan kesehatan, umur yang bermanfaat, serta
senantiasa mendapat perlindungan dari Allah SWT.
6. Meisya Dwi Putri, yang telah mendukung dan membantu penulis dalam
mencari data. Terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan.
Akhirnya kita bisa wisuda ke-74 di Auditorium Utama UIN Jakarta pada
Januari 2009.
7. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., dan Istri, Ibu Ipah Fariah, yang telah
menyewakan tempat kos (Wisma Sakina) yang nyaman.
8. Rubrik Deteksi Harian Indopos, Pusat Penelitian Kompas, Womens
International Club (WIC), Orbit The Habibie Center, yang telah
memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk berkarya.
9. Harian Kompas dan Republika, tempat penulis melakukan penelitian
untuk skripsi ini.
10. Seluruh mahasiswa KPI angkatan 2004, terutama kelas KPI E. Untuk
Maheso, Odih, Hasan, Irfanuddin, Sholeha, Husnul, Ranita (Akhirnya kita
bisa wisuda ke-74 bersama-sama). Serta teman-temanku Hanif, Sita,
Renal, Afif, Daraz, dan nama-nama lain yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Ini baru langkah awal dari perjalanan kita, teruslah berjuang
untuk kehidupan dan kemanusiaan. Besarkanlah diri kita, keluarga kita,
dan bangsa kita!
Akhirnya teriring salam dan doa, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amien.
Jakarta, 17 November 2008
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR/ BAGAN .............................................................................. vii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
D. Metodologi Penelitian .......................................................................
E. Kajian Pustaka...................................................................................
F. Sistematika Penulisan .......................................................................
1
8
9
10
15
17
TINJAUAN TEORITIS
A. Fungsi Media Massa .........................................................................
B. Konstruksi Realitas Sosial ................................................................
C. Ideologi Media ..................................................................................
D. Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki) .....
E. Kerangka Pemikiran..........................................................................
18
24
32
36
49
PROFIL MEDIA CETAK
A. Harian Kompas..................................................................................
1. Sejarah Perusahaan......................................................................
2. Visi, Misi dan Nilai-Nilai Dasar Kompas ...................................
3. Profil Pembaca ............................................................................
B. Harian Republika...............................................................................
1. Sejarah Perusahaan......................................................................
2. Visi dan Misi Republika..............................................................
3. Profil Pembaca ............................................................................
50
50
61
64
65
65
67
69
ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL
MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN
REPUBLIKA
A. Isu/Peristiwa 1: Dikotomi Islam dan Nasionalis............................... 72
1.............................................................................................. F
rame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan
Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan)...... 73
2.............................................................................................. F
rame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus
Dihapuskan.................................................................................. 78
3.............................................................................................. P
erbandingan Frame ..................................................................... 82
B. Isu/Peristiwa 2: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap
PDI-P................................................................................................. 85
1.............................................................................................. F
rame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung
Kemenangan PDI-P dalam pemilu.............................................. 86
2.............................................................................................. F
rame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki
Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia...................................... 89
3.............................................................................................. P
erbandingan Frame ..................................................................... 93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 96
B. Saran-saran........................................................................................ 97
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 99
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
TABEL
HALAMAN
Tabel 1: Struktur Wacana dan Perangkat Framing............................................ 39
Tabel 2: Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis
(Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan). ................................. 78
Tabel 3: Frame Republika: Dikotomi Islam & Nasionalis Harus Dihapuskan . 82
Tabel 4: Dikotomi Islam dan Nasionalis: Perbandingan Frame Kompas dan
Republika................................................................................................... 84
Tabel 5: Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung
Kemenangan PDI dalam Pemilu............................................................. 89
Tabel 6: Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra
Lewat Baitul Muslimin Indonesia ......................................................... 93
Tabel 7: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P:
Perbandingan Frame Kompas dan Republika........................................ 94
DAFTAR GAMBAR/ BAGAN
GAMBAR/ BAGAN
HALAMAN
Gambar/ Bagan 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya............................. 29
Gambar/ Bagan 2: Proses Konstruksi Sosial Media Massa................................ 30
Gambar/ Bagan 3: “Hierarchy of Influence” Shoemaker and Reese ................. 35
Gambar/ Bagan 4: Profil Pembaca Kompas ......................................................... 64
Gambar/ Bagan 5: Jenis Kelamin Pembaca Republika ....................................... 69
Gambar/ Bagan 6: Mayoritas Pembaca Republika .............................................. 69
Gambar/ Bagan 7: Profesi Pembaca Republika.................................................... 70
Gambar/ Bagan 8: Sebaran Pembaca Republika ................................................. 70
Gambar/ Bagan 9: Grup Media Republika........................................................... 71
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2009, beragam organisasi sayap
partai mulai banyak didirikan oleh partai politik. Pendirian organisasi tersebut
tidak hanya dilakukan oleh partai politik lama, partai politik baru pun banyak
yang ikut mendirikan. Bentuk organisasi sayap partai yang bermunculan cukup
beragam, antara lain ada yang bercorak keagamaan, kepemudaan, perempuan,
profesi, dan lain sebagainya.
Maraknya pembentukan organisasi sayap partai rupanya sejalan dengan
adanya peningkatan jumlah partai politik peserta Pemilu 2009. Dari data Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Pusat1, partai politik yang telah terdaftar dan
terverifikasi hingga akhir batas waktu berjumlah 34 partai. Serta ditambah 6 partai
lokal Aceh dan 4 partai lama yang gugatannya dikabulkan oleh MA dan PTUN
terkait masalah electoral threshold dalam Pemilu 2004. Dengan demikian total
partai politik peserta Pemilu 2009 berjumlah 44 partai, dengan rincian 38 partai
nasional dan 6 partai lokal.
Pendirian organisasi sayap partai terakhir belakangan ini sedang menjadi
trend di kancah perpolitikan nasional. Hal ini dimungkinkan karena eksistensi
organisasi sayap partai politik di Indonesia secara legal telah diakui dan dijamin
1
Komisi Pemilihan Umum, Partai Politik 2009, data diakses pada 9 Juli 2008 dari
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=category&sectionid=5&id=24&Itemi
d=83
negara melalui UU Partai Politik No. 2 tahun 2008 tentang partai politik.2 Di
dalam pasal 12 huruf (j) UU tersebut dinyatakan, bahwa salah satu hak partai
politik adalah “membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik”.3
Pengakuan dan jaminan yuridis ini merupakan dasar sekaligus peluang bagi
pengembangan struktur partai untuk menjangkau seluruh segmen masyarakat.
Menurut Abdul Khaliq Ahmad, organisasi sayap partai memiliki fungsi
dan peran yang penting bagi partai politik dalam upaya sosialisasi dan diseminasi
program kebijakan partai untuk lebih mengembangkan kualitas kehidupan
demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan memiliki organisasi
sayap yang beragam, partai politik akan diuntungkan karena bisa menjadikannya
sebagai instrumen pendukung untuk menarik simpati dan dukungan yang sebesarbesarnya dari segenap lapisan masyarakat.4
Salah satu partai politik yang giat membentuk organisasi sayap menjelang
Pemilu 2009 adalah Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P). PDI-P yang
merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia, hingga tahun 2008 ini telah
mendirikan beragam organisasi sayap partai. Sejauh ini tercatat ada lima
organisasi sayap yang dimiliki oleh PDI-P, antara lain Banteng Muda Indonesia
(BMI), Baitul Muslimin Indonesia, Srikandi Demokrasi Indonesia (SDI), Taruna
Merah Putih (TMP) dan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem).
Dari beragam organisasi sayap yang dimiliki PDI-P tersebut, yang
menurut penulis menarik untuk dicermati dan diteliti adalah Baitul Muslimin
Indonesia. Bila melihat AD/ART PDI-P, disebutkan bahwa PDI-P merupakan
2
Undang-undang Partai Politik: UU RI Nomor 2 Tahun 2008, cet. Ke-2 (Jakarta: Asa
Mandiri, 2008), h.1.
3
Ibid, h. 8.
4
Abdul Khaliq Ahmad, Urgensi Organisasi Sayap Partai, artikel diakses pada 1 Juli 2008
dari http://www.pdp.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=1721
partai yang berideologi nasionalis, yakni partai yang terbuka untuk semua
golongan dan tidak disebutkan bercorak keagamaan. Namun tanpa diduga pada
tahun 2007, PDI-P mendirikan organisasi sayap partai yang bercorak keagamaan,
yaitu Baitul Muslimin Indonesia.
Ide awal pembentukan Baitul Muslimin Indonesia diprakarsai oleh Ketua
Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P, Taufik Kiemas. Kemudian gagasan ini baru
secara formal diumumkan pada saat acara buka puasa bersama di kediaman
Megawati Soekarno Putri pada hari kedua ramadhan 1427 H. Dalam acara
tersebut hadir Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin,
yang tampil memberikan tausiyah. Kemudian hadir pula Sekjen PDI-P Pramono
Anung, Hamka Haq, Adang Ruchiyatna, Daryatmo dan tokoh PDI-P lainnya.5
Setelah gagasan digulirkan, lalu PDI-P membentuk tim formatur yang
bertugas untuk menuntaskan berdirinya Baitul Muslimin Indonesia. Tim formatur
terdiri atas tujuh orang, diketuai oleh Hamka Haq. Sementara para anggotanya
adalah Arif Budimanta Sebayang, Irmadi Lubis, Said Abdullah, Zainun Ahmadi,
Ahmad Baskara dan Nova Andika.
Selanjutnya tim formatur dipandu oleh Taufik Kiemas serta seorang tokoh
non-Islam, Sabam Sirait melakukan konsultasi dan pendekatan kepada berbagai
organisasi dan tokoh Islam dalam rangka mematangkan pembentukan Baitul
Muslimin Indonesia. Konsultasi dilakukan oleh tim formatur dengan menghadap
langsung para ketua umum organisasi Islam, di antaranya KH. Hasyim Muzadi
5
Lihat Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah
Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan:
Edisi Buletin Jumat Baitul Muslimin (Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008), h. 1.
(PBNU), Asri Harahap (KAHMI), KH. Said Agil Siradj, Syafi’i Maarif dan Akbar
Tanjung.6
Kemudian organisasi ini dideklarasikan pada 29 Maret 2007, dengan nama
Baitul Muslimin Indonesia. Nama “Baitul Muslimin”, yang berarti rumah bagi
kaum muslim, awalnya diusulkan oleh Taufik Kiemas setelah didiskusikan oleh
H. Cholid Ghozali dengan H. Erwin Moeslimin Singajuru melalui konsultasi
kepada Din Syamsudin. Lambang organisasi ini menggambarkan siluet dan dua
kubah masjid di mana Bung Karno menjadi arsiteknya pada 1938 di Bengkulu.
Lambang ini mengabadikan “rasa cinta Bung Karno terhadap Islam”, sekaligus
mencerminkan nuansa Islam pada organisasi ini.
Setelah terbentuk, akhirnya pengurus Baitul Muslimin Indonesia dilantik
oleh ketua umum PDI-P Megawati Soekarno Putri pada 5 Agustus 2007 di kantor
pusat DPP PDI-P Lenteng Agung. Yang menjabat sebagai ketua Baitul Muslimin
adalah Hamka Haq, yang juga Ketua Bidang kerohanian DPP PDI-P sekaligus
Guru Besar UIN Alauddin Makassar. Hadir dalam acara tersebut Mantan Ketua
Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, dan Ketua PBNU, Said Agil Siradj.7
Menurut Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Baitul Muslimin, Cholid
Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia dibentuk atas dua tujuan strategis, internal
dan eksternal. Secara internal, karena Baitul Muslimin Indonesia adalah sayap
PDI-P maka tujuan organisasi ini harus melekat secara inheren sekaligus sejalan
dengan tujuan PDI-P. Sebagai konsekuensi logisnya, ciri utama organisasi ini
harus mampu bertumpu kepada penghayatan terhadap wawasan kebangsaan, sense
of nationalism yang tinggi, berasas Pancasila, penghayatan terhadap pluralisme
6
Ibid
Megawati Lantik Pengurus Baitul Muslimin, artikel diakses pada 5 Juli 2008 dari
http://www.kompas.com/ver1/nasional/0708/05/145221.htm
7
dan cinta kepada tanah air, yang ujungnya bermuara kepada utuhnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.8
Dalam konteks ini, menjadi kewajiban Baitul Muslimin Indonesia untuk
dapat memaknai asas-asas yang di atas sesuai dengan cara pandang yang religius
dan Islami. Sejalan dengan ini, Baitul Muslimin Indonesia dituntut untuk
meningkatkan kualitas keIslaman bagi semua pemeluk Islam di dalam tubuh PDIP, sehingga pada gilirannya partai ini harus dapat dicitrakan sebagai partai
kebangsaan yang religius.
Sedangkan tujuan eksternalnya, Baitul Muslimin Indonesia harus sejalan
dengan tujuan PDI-P. Semua tujuan utama Baitul Muslimin Indonesia sebagai
sayap Islam PDI-P harus tercermin pada pelaksanaan tugas, kewajiban, gerakangerakan dan kiat-kiat yang semuanya bernuansa Islami seiring dengan asas
perjuangan PDI-P.
Sebagai contoh, manakala PDI-P memandang bahwa memenangkan
Pemilu dan Pilpres 2009 merupakan tujuan strategisnya, maka Baitul Muslimin
Indonesia harus “all out” dalam mendukung kemenangan PDI-P itu. Dalam
tingkat yang paling praktis, dengan tujuan eksternalnya ini Baitul Muslimin
Indonesia harus dapat merangkul semua eksponen Islam yang selama ini berada di
luar PDI-P untuk bersama-sama memberikan andil bagi kemenangan PDI-P.9
Dari tujuan eksternal tersebut di atas rupanya agak sedikit berbeda dengan
apa yang diungkapkan Megawati Soekarno Putri dalam sambutannya pada acara
pelantikan Baitul Muslimin Indonesia. Megawati Soekarno Putri menyatakan bila
pembentukan Baitul Muslimin Indonesia tidak ada kaitannya dengan persiapan
8
Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme
Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan, h. 2.
9
Ibid
pemilihan Presiden 2009. Pendirian itu bertujuan untuk menampung semangat
Islam yang ada di kalangan nasionalis.10
Isu panas dikotomi Islam dan nasionalis selalu mewarnai perjalanan PDIP. Dengan pembentukan Baitul Muslimin Indonesia, sepertinya PDI-P ingin
melepaskan diri dari belenggu dikotomi itu. Sehingga wajar bila di dalam pidato
sambutan deklarasi pendirian Baitul Muslimin Indonesia, Megawati Soekarno
Putri menolak dikotomi Islam dan nasionalis, dengan berkata:
“Bagi PDI Perjuangan, dideklarasikannya sayap partai Baitul Muslimin
Indonesia ini, sekaligus juga ingin menunjukkan bahwa pada bangsa ini
sebenarnya pengkategorisasian Santri, Abangan, Priyayi seperti yang
diperkenalkan oleh almarhum Clifford Geerzt kepada kita semua sebenarnya
sudah tidak relevan lagi, karena dalam oganisasi ini yang kita lihat adalah
semangat kebangsaan yang dilandasi oleh cita-cita luhur untuk membangun
Indonesia kita secara bersama-sama. Dalam organisasi ini, kita dapat melihat
bahwa klaim mengenai seseorang lebih santri dari yang lain, ataupun lebih
nasionalis daripada yang lain tidak akan ditemukan dan saya berharap tidak akan
pernah dapat ditemukan. Yang kita lihat adalah semangat kebangsaan, semangat
kekitaan untuk terus mendorong Indonesia menjadi yang lebih baik, sesuai
dengan apa yang menjadi cita-cita PDI Perjuangan selama ini.”11
Opini mengenai pembentukan dan eksistensi Baitul Muslimin Indonesia
sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran pers atau media massa. Media
massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini
publik pada suatu peristiwa tertentu bahkan terkadang membuat audiensnya tidak
sadar akan persitiwa yang sesungguhnya terjadi.
Menurut Reese dan Shoemaker, setiap berita yang disajikan oleh media
tentunya telah didesain sesuai dengan “kepentingan” media baik secara internal
maupun eksternal. Dengan demikian, maka teks media sangat dipengaruhi oleh
10
Muhammad Jafar Anwar, Merebut Simpati Ulama dan Umat Islam, di akses pada 5 Juli
2008 dari http://www.hupelita.com/baca.php?id=36611
11
Megawati Soekarno Putri, Pidato Ketua Umum PDI-P pada Deklarasi Baitul Muslimin
Indonesia, di Akses pada 29 Maret 2008 dari http://www.PDI-Perjuangandenpasar.org/index.php/Deklarasi-Baitul-Muslimin-Indonesia.html
pekerja media secara individu, rutinitas media, organisasi media itu sendiri,
institusi diluar media, dan oleh ideologi.12
Berita atau pesan yang ditampilkan oleh media seringkali dimaknai apa
adanya oleh masyarakat. Artinya, masyarakat lebih terpengaruh pada judul berita
yang dimunculkan dan kesan yang disimpulkan oleh media massa daripada
menganalisis secara mendalami teks berita tersebut. Padahal dalam kenyataannya
sering terjadi misinformasi dan misinterpretasi antara apa yang seharusnya
disampaikan dan kenyataan yang diterima oleh pembaca.13
Menurut Robert N. Entman dalam Eriyanto, media melakukan framing
dalam dua dimensi besar, yaitu proses seleksi isu dan penekanan atau penonjolan
aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Sehingga realitas yang disajikan secara
menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan
dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.14
Dengan demikian, media massa atau pers bukanlah sesuatu yang objektif.
Pers bukan alat potret mekanik yang mampu menampilkan dan menggambarkan
suatu peristiwa serta even kehidupan secara apa adanya. Keterbatasan teknis
jurnalistik dan berbagai kepentingan manusia yang ada di balik media massa
menyebabkan penggambaran dan pemotretan yang dilakukan oleh pers
mengalami reduksi, simplifikasi, dan interpretasi. Sejalan dengan itu, McLuhan
menyatakan, pers merupakan alat untuk memotret suatu peristiwa tertentu dan
12
Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, Mediating The Message: Theories of
Influence on Mass Media Content (New York: Longman Publishing Group, 1996), h. 223.
13
Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali (Yogyakarta: LKIS, 2007), h.
5-6.
14
Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKIS,
2007), h. 186.
bertindak sebagai translator yang memformulasi, merancang, dan memformat
statement of event yang ingin dicitrakan oleh pers itu sendiri.15
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari terlalu luas dan melebarnya pembahasan, maka
penulis memberi suatu batasan. Ruang lingkup dibatasi hanya pada pesan
tekstual (message) pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di Harian
Kompas dan Republika pada bulan Maret 2007 – Agustus 2008. Penulis
mengambil empat berita yang berkaitan dengan isu/peristiwa yang akan
penulis angkat. Antara lain berita pada Harian Kompas tanggal 30 Maret
2007 dan 25 Agustus 2008, serta berita pada Harian Republika tanggal 5
November 2007 dan 8 Mei 2008.
2. Perumusan Masalah
Mengacu pada pembatasan masalah di atas, peneliti merumuskan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana Harian Kompas dan Republika mengemas pemberitaan
Baitul Muslimin Indonesia PDI-P?
b. Apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing (sintaksis, skrip,
tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P
di Harian Kompas dan Republika?
15
Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (Cambridge: The
MIT Press), h. 56
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian analisis teks media dengan
menggunakan perangkat framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin
Indonesia di Harian Kompas dan Republika adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana Harian Kompas dan Republika
mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P.
b. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing
(sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin
Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian menggunakan
perangkat framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di
Harian Kompas dan Republika ini antara lain:
a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi pengembangan Ilmu Komunikasi khususnya pada
kajian teks media (framing), mengenai pengkonstruksian realitas sosial
oleh media massa.
b. Manfaat Praktis. Penelitiaan ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran bagi profesional media tentang bagaimana
mengkonstruksi sebuah pesan dengan idealisme tertentu, sehingga
dapat menghasilkan dampak yang diinginkan dari khalayak. Serta
memberikan pengetahuan kepada khalayak media tentang proses
framing yang dilakukan oleh media massa.
D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Menurut pemikiran Guba dan Lincoln sebagaimana dikutip Dedy
Nur Hidayat, paradigma ilmu pengetahuan (komunikasi) terbagi menjadi
tiga, (1) paradigma klasik (classical paradigm) yang terdiri dari positivist
dan postpositivist, (2) paradigma kritis (critical paradigm) dan (3)
paradigma konstruktivisme (constructivism paradigm).16
Karena penelitian ini menggunakan analisis framing, yaitu analisis
yang melihat wacana sebagai hasil dari konstruksi realitas sosial, maka
penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma konstruksionis.
Paradigma ini, menurut Eriyanto17, mempunyai posisi dan
pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya.
Konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas
yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis
pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa
atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu
dibentuk.
Paradigma konstruktivis memandang bahwa untuk mengetahui
“dunia arti” (world of meaning) mereka harus menginterpretasikannya.
Mereka juga harus menyelidiki proses pembentukan arti yang muncul
dalam bahasa atau aksi-aksi sosial para aktor.18 Pendekatan interpretasi
16
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.237
17
Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h. 13
18
Thomas A. Scwandt, Constructivist, Interpretivist Approach to Human Inquiry, dalam
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (London: Sage
Publication, 1994), h. 118.
(interpretive) mencakup teori-teori yang mencoba untuk menemukan arti
dalam teks dan aksi, dari gulungan surat-surat atau teks-teks kuno sampai
pada perilaku. Sejumlah teori komunikasi yang masuk dalam wilayah
interpretatif adalah teori-teori interpretasi kultural, budaya organisasi, dan
interpretasi tekstual.19
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam
masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari
gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari
masyarakat
bersangkutan
untuk
memperoleh
gambaran
mengenai
kategorisasi tertentu.20
Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam
pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut
antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui
dokumen, naskah, buku, dan lain-lain.21
Menurut Crasswell, beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif
yaitu pertama, peneliti kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil.
Kedua, peneliti kualitatif lebih memerhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti
kualitatif merupakan alat utama dalam mengumpulkan data dan analisis
data serta peneliti kualitatif harus terjun langsung ke lapangan, melakukan
19
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, seventh edition (USA:
Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 15.
20
Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 302.
21
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Penerjemah
Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 4.
observasi
partisipasi
di
lapangan.
Keempat,
peneliti
kualitatif
menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses penelitian,
interpretasi data, dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.22
3. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis bersifat eksplanatif. Sifat
eksplanatif ini bertujuan untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang
telah memiliki gambaran yang jelas dan bermaksud menggali secara lebih
jauh lagi (why). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mencari sebab dan
alasan
(reasoning)
mengapa
sesuatu
dapat
terjadi,
diantaranya
menjelaskan secara akurat mengenai satu bahasan topik, menghubungkan
topik-topik yang berbeda namun memiliki kesamaan, dan membangun
atau memodifikasi sebuah teori dalam topik baru atau menghasilkan bukti
untuk mendukung sebuah penjelasan/teori.23
Eksplanatif tidak hanya sekadar memberikan gambaran (deskriptif)
dari sebuah permasalahan yang diteliti saja, melainkan juga berusaha
menjelaskan pembahasan yang tengah diteliti secara lebih mendalam lagi.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan
peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran
utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna
mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan
pendukung ataupun pembanding.
22
Ibid., h. 303.
Ipah Farihah, Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2006), h. 35-36.
23
a. Data primer (Primary-Sources), yaitu data tekstual yang diperoleh dari
pemberitaan di Harian Kompas dan Republika. Penulis memilih berita
yang hanya menyangkut Baitul Muslimin Indonesia.
b. Data sekunder (Secondary-Sources), yaitu dengan mencari referensi
berupa buku-buku dan tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian
ini.
5. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek yang akan diteliti ialah Harian Umum Kompas dan
Republika, sedangkan objek penelitiannya ialah pesan tekstual dalam
pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia.
6. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan framing. Framing
adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan
dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan konstruksi realitas itu, hasil
akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol
dan lebih mudah dikenal.24
Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh
dari bidang psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama
melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema
tentang diri, sesuatu, atau gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak
berhubungan dengan teori mengenai aspek kognitif: bagaimana seseorang
memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu.
24
Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h. 66.
Misalnya teori atribusi Heider yang melihat manusia pada dasarnya
tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks. Karenanya, individu
berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah informasi yang ditangkap oleh
panca indera sebagai dasar hubungan sebab-akibat.25
Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh
pemikiran Erving Goffman. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya
secara aktif mengklasifikasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti
atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan
manusia berusaha memberi penafsiran atas perilaku tersebut agar
bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat
tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang.26
Pendekatan yang akan digunakan dalam analisis framing ini
menggunakan model Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki. Model
analisis ini dibagi ke dalam empat struktur besar, yakni meliputi struktur
sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Lebih lanjut lagi akan dijelaskan pada
Bab II.
25
Ibid, h. 71.
Ibid, h. 72.
26
E. Kajian Pustaka
Penelitian skripsi yang berjudul “Konstruksi Realitas di Media Massa
(Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di
Harian Kompas dan Republika)” ini terinspirasi dari kondisi pemberitaan media
massa cetak yang cenderung menonjolkan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu.
Selain itu, kajian framing terhadap organisasi yang bercorak keagamaan seperti
Baitul Muslimin Indonesia PDI-P belum pernah diteliti di fakultas ini. Sehingga
penulis merasa tertarik untuk lebih dalam meneliti kajian ini. Adapaun literatur/
kepustakaan yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini antara lain:
1. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Buku ini
ditulis oleh Eriyanto dan diterbitkan LKIS Yogyakarta pada tahun 2002.
Buku ini merupakan buku teks berbahasa Indonesia pertama yang
membahas secara lengkap tentang: konsep dasar dan teori analisis framing,
pandangan kaum konstruksionis dalam melihat teks berita, hubungan
antara ideologi media dengan framing, serta membahas juga model-model
framing dari para pakar, seperti model framing Murray Edelman, Robert
N. Entman, William A. Gamson, Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
2. NU Politik: Analisis Wacana Media. Buku ini ditulis oleh Fathurin Zen
dan diterbitkan LKIS Yogyakarta pada tahun 2004. Buku ini merupakan
pengembangan dari hasil karya ilmiah (tesis S2) penulis tentang NU dalam
media massa. Isi buku ini antara lain membahas: profil NU, konstruksi
realitas sosial, komunikasi politik melalui media, analisis framing beserta
model yang digunakan, yakni Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki,
peranan media cetak dalam komunikasi politik dan analisis berita NU
dalam media massa.
3. Politik Media Mengemas Berita. Buku ini ditulis oleh Bimo Nugroho,
Eriyanto dan Franz Sudiarsis. Diterbitkan oleh Institut Studi Arus
Informasi (ISAI), Jakarta pada tahun 1999. Buku ini membahas tentang
konsep dasar analisis framing beserta dengan model-modelnya, serta
menampilkan hasil penelitian terhadap isi media cetak dalam persitiwaperstiwa sosial politik.
4. Kabar-kabar Kekerasan dari Bali. Buku ini ditulis oleh Arifatul Choiri
Fauzy dan diterbitkan LKIS Yogyakarta tahun 2007. Buku ini merupakan
hasil adaptasi dari tesis master penulis. Di dalamnya, penulis menganalisis
pemberitaan mengenai wacana teroris dalam media massa. Penulis
mengambil studi kasus peristiwa bom Bali. Analisis yang digunakan
adalah framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
5. Analisis Framing Film Berbagi Suami Karya Nia Dinata. Skripsi ini
ditulis oleh Junaidi Mahasiswa Jurusan KPI, pada tahun 2007. Skripsi ini
membahas: skenario film, kajian framing, konstruksi sosial media massa,
dan analisis framing terhadap Film Berbagi Suami. Perangkat framing
yang digunakan adalah model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
Yang dianalisis dalam skrispsi ini adalah pesan tekstual, yaitu skenario
filmnya.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian yang akan dibahas terdiri dari lima bab dan masing-masing bab
terdiri dari sub bab, yakni:
BAB I
PENDAHULUAN membahas Latar Belakang Masalah, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi
Penelitian, Kajian Pustaka dan Sistematika Penulisan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS membahas Fungsi Media Massa, Konstruksi
Realitas Sosial, Ideologi Media, Teori Framing (Model Zhongdang
Pan dan Gerald M. Kosicki), dan Kerangka Pemikiran.
BAB III
PROFIL MEDIA CETAK membahas Sejarah Perusahaan, Visi dan
Misi serta Profil pembaca Harian Kompas dan Republika.
BAB IV
ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL
MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN
REPUBLIKA membahas Frame Harian Kompas dan Republika
terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P.
BAB V
PENUTUP membahas Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Fungsi Media Massa
Sebelum penulis membahas fungsi media massa, terlebih dahulu akan
dijelaskan mengenai komunikasi massa. Ini perlu dilakukan karena antara media
massa dengan komunikasi massa mempunyai hubungan yang saling terkait.
Menurut pandangan dari para ahli komunikasi, komunikasi massa (mass
communication) adalah komunikasi yang disampaikan melalui media massa.
Media massa meliputi surat kabar dan majalah yang mempunyai sirkulasi yang
luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang
dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Dengan demikian surat kabar seperti
Harian Kompas dan Republika termasuk dalam ruang lingkup media massa,
karena mempunyai sirkulasi yang luas dan ditujukan kepada masyarakat umum.
Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada
komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan
media.27 Media massa sendiri merupakan sebuah institusi atau lembaga yang
memiliki serangkain kegiatan produksi budaya dan informasi yang dilaksanakan
oleh berbagai tipe komunikasi massa untuk disalurkan kepada khalayak sesuai
dengan peraturan dan kebiasaan yang berlaku.28
27
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), h.79.
28
Vincent Moscow, The Political Economy of Communication (London: Sage
Publications, 1996) h. 150.
Seseorang yang akan menggunakan media massa sebagai alat untuk
melakukan kegiatan komunikasinya perlu memahami karakeristik komunikasi
massa. Karakteristik atau ciri-ciri komunikasi massa antara lain sebagai berikut:29
1. Komunikasi massa bersifat umum.
Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum dan
mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan
atau kepada sekelompok orang tertentu. Hal itulah yang membedakan
media massa dengan media nirmassa. Surat, telepon, telegram, handphone
misalnya, adalah media nirmassa, bukan media massa, karena ditujukan
kepada orang tertentu.
2. Komunikator pada komunikasi massa bersifat melembaga.
Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan
lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Artinya di dalam media
tersebut terdapat sekumpulan orang yang melakukan kegiatan seperti
pengumpulan, pengelolaan, sampai penyajian informasi.
3. Komunikasi massa berlangsung satu arah.
Komunikasi yang terjadi berlangsung satu arah (one way
communication). Ini berarti tidak terdapat arus balik dari komunikan
kepada komunikan. Dengan kata lain, wartawan sebagai komunikator
tidak mengetahui tanggapan dari pembacanya terhadap pesan atau berita
yang disampaikannya. Namun kalaupun terjadi umpan balik atau reaksi
biasanya memerlukan waktu yang tertunda atau disebut juga arus balik
29
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 22-25.
tertunda (delayed feedback), contohnya dalam surat kabar umpan balik
berlangsung melalui surat pembaca.
4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan
Ciri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk
menimbulkan keserempakan pada khalayak dalam menerima pesan-pesan
yang disebarkan. Acara yang ditayangkan televisi, akan ditonton oleh
berjuta-juta pemirsa secara bersamaan merupakan salah satu contohnya.
5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen.
Komunikan atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota
masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran
yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara
terpencar-pencar, di mana satu sama lainnya tidak saling mengenal
(anonim) dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda
dalam berbagai hal: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan,
pendidikan, pengalaman, kebudayaan, dan sebagainya.
Menurut Joseph R. Domminick dalam Onong Uchjana Effendy30, ada dua
tahap untuk memperoleh kejelasan mengenai fungsi komunikasi massa atau media
massa. Pertama, kita dapat menggunakan perspektif seorang sosiolog dan
meneropongnya melalui lensa lebar seraya mempertimbangkan fungsi-fungsi yang
ditunjukan oleh media massa bagi keseluruhan masyarakat (pendekatan ini
kadang-kadang disebut makroanalisis). Titik pandang ini terfokus kepada tujuan
yang jelas dari komunikator dan menekankan tujuan yang tampak itu melekat
pada isi media.
30
Ibid, h. 28.
Kedua, sebaliknya kita dapat melihatnya melalui lensa close-up kepada
khalayak secara perseorangan, dan meminta kepadanya agar memberikan laporan
mengenai bagaimana mereka menggunakan media massa (pendekatan ini
dinamakan mikroanalisis).
Kadang-kadang hasilnya menunjukkan hal yang sama dalam arti bahwa
khalayak menggunakan isi media massa yang sejalan dengan yang dituju oleh
komunikator. Adakalanya tidak sama, khalayak menggunakan media dengan cara
yang tidak diduga oleh komunikator.
Berikut merupakan fungsi media massa atau komunikasi massa menurut
Joseph R. Dominick:31
a. Pengawasan (Surveillance)
Media massa menyampaikan pesan-pesannya, baik dalam bentuk
informasi maupun berita secara terus menerus untuk membuat masyarakat
menyadari perkembangan di dalam lingkungannya. Fungsi pengawasan ini
terbagi menjadi dua.
Pertama,
Pengawasan
Peringatan
(warning
or
beware
surveillance), pengawasan ini terjadi jika media menyampaikan informasi
kepada kita mengenai ancaman angin topan, letusan gunung merapi,
kondisi ekonomi yang mengalami depresi, meningkatnya inflasi atau
bahaya serangan militer.
Kedua, Pengawasan Instrumental (instrumental surveillance), yaitu
berkaitan dengan penyebaran informasi yang berguna bagi kehidupan
sehari-hari. Berita tentang harga barang kebutuhan pokok di pasar, film
31
Ibid, hal. 29-31.
yang dipertunjukan di bioskop, produk-produk terbaru adalah contoh
pengawasan instrumental.
b. Interpretasi (interpretation)
Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga
informasi beserta interpretasi/tafsiran mengenai suatu peristiwa tertentu.
Contoh dari fungsi ini adalah tajuk rencana/editorial surat kabar.
c. Hubungan (linkage)
Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat
di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh
saluran perseorangan. Contohnya hubungan para elit partai politik dengan
pengikut-pengikutnya ketika membaca berita surat kabar mengenai
partainya yang dikagumi oleh para pengikutnya itu.
d. Sosialisasi
Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values)
yang mengacu kepada cara-cara di mana seseorang mengadopsi perilaku
dan nilai-nilai dari suatu kelompok.
e. Hiburan (entertainment)
Media massa menghadirkan tayangan-tayangan yang bersifat
menghibur bagi pembacanya, yang berguna untuk melepaskan penat dari
aktifitas keseharian maupun setelah melihat berita-berita berat.
Dari uraian di atas, fungsi-fungsi komunikasi massa atau media massa
yang begitu beragam dapat disederhanakan menjadi empat fungsi saja, yakni:
menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to
entertaint), mempengaruhi (to influence).32
Media massa yang dimaksud dalam penelitian skripsi ini adalah surat
kabar. Kurniawan Junaedhi menjabarkan:
Surat kabar mempunyai arti koran. Berupa harian atau mingguan yang
tidak mempunyai gambar kulit (cover) yang terbuat dari jenis kertas lain. Terdiri
dari beberapa halaman yang memiliki antara 7 sampai 9 kolom. Isinya mengenai
informasi sehari-hari. Tergolong sarana komunikasi massa khusus yang berfungsi
sebagai penyebar berita baru. Koran menyebabkan terjadinya pendekatan antara
masyarakat dengan nilai-nilai baru.33
Dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian ialah Surat Kabar
Harian Kompas dan Republika. Kompas dan Republika terbit setiap hari dengan
jenis kertas gambar kulit dan jenis kertas isinya sama. Di samping itu, Kompas
dan Republika menggunakan format 7 kolom, dan menampilkan informasi seharihari. Dengan demikian, Kompas dan Republika dapat digolongkan sebagai surat
kabar harian.
Penelitian ini berupaya melihat bagaimana konstruksi yang dilakukan oleh
Harian Kompas dan Republika di dalam pemberitaannya. Menurut Charnley dan
James M. Neal dalam AS. Haris Sumadirian, menjelaskan bahwa berita adalah
laporan tentang situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru,
yang penting disampaikan kepada khalayak.34
Pakar lain seperti Dean M. Lyle Spencer, Willard C. Bleyer, William S.
Maulsby, dan Eric C. Hepwood, sebagaimana dikutip Djafar H. Assegaff, samasama menekankan unsur “menarik perhatian” dari definisi berita yang mereka
32
Ibid, hal. 31.
Kuniawan Junaedhi, Ensiklopedia Pers Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1985), h. 13.
34
AS. Haris Sumadirian, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature: Panduan
Praktis Jurnalistik Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), h. 64.
33
buat, “Berita adalah laporan tentang suatu kejadian yang dapat menarik perhatian
khalayak pembaca,”35
B. Konstruksi Realitas Sosial
Gagasan teori konstruksi realitas sosial pertama kali diperkenalkan oleh
Peter Berger bersama Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The
Social Construction of Reality36, atau bila diterjemahkan sebagai “pembentukan
realitas secara sosial”. Berger dan Luckmann menyatakan bahwa pengertian dan
pemahaman kita terhadap sesuatu muncul akibat komunikasi dengan orang lain.
Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam
komunikasi tertentu.37
Artinya, dalam konteks kajian skripsi ini, realitas yang sesungguhnya
mengenai mengenai Baitul Muslimin Indonesia tidak secara linear sesuai dengan
realitas simbolik yang terdapat dalam isi pemberitaan media, yang meliput
peristiwa tersebut dari hari ke hari. Hal ini karena sebagai “golongan sosial”
tertentu media juga memiliki kepentingan tersendiri.
Menurut Robyn Penman, pendekatan Konstruksionime Sosial memiliki
asumsi-asumsi seperti: (1) tindakan komunikatif yang bersifat sukarela; (2)
pengetahuan adalah sebuah produk sosial; (3) pengetahuan bersifat kontekstual;
(4) teori-teori menciptakan dunia; (5) pengetahuan sarat dengan nilai.38
35
DJafar Assegaf, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985), h. 5.
36
Lihat Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A
Treatise in the Sociological of Knowledge (Terj.) Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 75.
37
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, seventh edition (USA:
Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 175-176.
38
Lihat Robin Pennman, Good Theory and Good Practice: An Argument in Progress,
dalam Theory Communication Theory 2 (1992), h. 234-250.
Selanjutnya Penman menguraikan empat kualitas komunikasi jika dilihat
dari perpektif konstruksionis. Pertama, komunikasi itu bersifat konstitutif, artinya,
komunikasi itu sendiri yang menciptakan dunia kita. Kedua, komunikasi itu
bersifat kontekstual, artinya, komunikasi hanya dapat dipahami dalam batas-batas
waktu dan tempat tertentu. Ketiga, komunikasi itu bersifat beragam, artinya,
komunikasi itu terjadi dalam bentuk yang berbeda. Keempat, komunikasi itu
bersifat tidak lengkap, artinya, komunikasi itu ada dalam proses, dan oleh
karenanya, selalu berjalan dan berubah.39
Pemikiran dasar Konstruksionisme Sosial oleh Berger dilukiskan dengan
latihan para siswa di kelas. Setiap siswa diperintahkan membuat satu objek benda
tertentu yang berasal dari kayu, logam plastik, kain, dan bahan lainnya. Setiap
objek diletakan di atas meja. Seorang siswa mungkin mengelompokkan bendabenda yang terbuat dari kayu dalam satu kelompok, benda-benda plastik dalam
kelompok lain, begitu juga benda-benda logam, benda-benda kain, dan seterusnya
dalam kelompok yang berbeda.40
Siswa lain yang juga diminta untuk menyortir benda-benda tersebut
mungkin akan menggolongkan benda-benda berdasarkan bentuknya, benda-benda
yang berbentuk lingkaran dalam satu kelompok, benda-benda yang berbentuk
segitiga dalam kelompok lain, begitu seterusnya. Selanjutnya, siswa yang diminta
untuk menyortir benda-benda tersebut mungkin akan menggolongkan berdasarkan
kegunaannya, orang lain menyortir atas dasar warna, dan seterusnya. Dengan
demikian, akan terdapat tak terhingga banyaknya cara seseorang dalam
memahami setiap objek.
39
Ibid.
Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 52.
40
Kita dapat melihat “bahasa” memberi sebutan-sebutan yang dipakai untuk
membedakan objek-objek. Bagaimana benda-benda dikelompokkan bergantung
pada penggunaan realitas sosial tertentu. Begitu juga bagaimana kita memahami
objek-objek dan bagaimana kita berperilaku terhadapnya sangat bergantung pada
realitas sosial yang memegang peranan.41
Pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui
tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses ini
terjadi antara individu satu dengan lainnya di dalam masyarakat. Bangunan
realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, dan
simbolis atau intersubjektif.42
Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia
objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai
kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif
dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk
sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam
individu melalui proses internalisasi.43
Eksternalisasi (penyesuaian diri), sebagaimana yang dikatakan Berger dan
Luckmann44 merupakan produk-produk sosial dari eksternalisasi manusia yang
mempunyai suatu sifat yang sui generic dibandingkan dengan konteks organismus
dan konteks lingkungannya, maka penting ditekankan bahwa eksternalisasi itu
sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis
manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan
41
Ibid.
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.202.
43
Ibid, h. 192.
44
Peter L. Berger and Thomas Luckman, The Social Construction of Reality, h. 75.
42
interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus
mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas.
Objektivasi. Tahap obyektivasi produk sosial, terjadi dalam dunia
intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial
berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan
Luckmann, dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan
manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain
sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai
melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.45
Internalisasi, dalam arti umum internalisasi merupakan dasar bagi
pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang lain
serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan
sosial.46
Individu oleh Berger dan Luckmann dikatakan, mengalami dua proses
sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer
dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu, ia menjadi anggota
masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan dari sosialisasi
primer yang mengimbas ke individu, yang sudah disosialisasikan ke dalam sektorsektor baru di dalam dunia objektif masyarakatnya.47
Dari uraian di atas kemudian timbul pertanyaan: bagaimana media massa
mengkonstruksikan realitas? Seperti diketahui, hasil kerja media massa
diwujudkan dalam bentuk teks. Atau bisa dikatakan dengan tekslah media massa
45
Lihat Bungin, Sosiologi Komunikasi, h.194.
Ibid, 197-198.
47
Ibid, h.198.
46
mengkonstruksi realitas. Sedangkan bahasa merupakan elemen pembentuk teks
tersebut.
Menurut M. Wonohitho, “bagi pers, bahasa merupakan sine quanon: tanpa
bahasa, pers tidak mungkin dapat bekerja. Sebuah bahasalah yang kita suruh
melukiskan pada halaman surat kabar segala informasi, bimbingan serta hiburan
yang kita sampaikan kepada khalayak ramai”.48
Melalui pernyataan ini, dengan jelas terlihat pentingnya bahasa bagi
kalangan pers. Bahasa menjadi elemen utama dalam membuat suatu produk
jurnalistik. Karena dengan bahasa segala realitas yang hendak disampaikan pers,
dapat dikomunikasikan.
Bahkan Wonohito memberikan peringatan bagi kalangan pers. Katanya,
“apabila wartawan tidak tepat menggunakan bahasa, apakah dapat diharapkan,
muatan surat kabar yang dibaca orang banyak benar-benar berisi pesan yang
hendak disampaikan?”49
Mengenai pentingnya bahasa dalam berkomunikasi, Ibnu Hamad pun
menyadarinya. Menurutnya, dalam konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama.
Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat
konseptualitas dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita,
cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa.50
Menurut Ibnu Hamad, bahasa terdiri dari: “Bahasa verbal (kata-kata
tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (bukan kata-kata dalam bentuk
gambar, photo, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel)”. Keberadaan bahasa sebagai
48
Almanak Pers Antara 1976 (Jakarta: Penerbit LKBN Antara, 1976), h. 45.
Ibid.
50
Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Mohamad Qodari, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka
Agama di Media Massa (Jakarta: ISAI, 2001), h.69.
49
elemen utama berkomunikasi, diungkapkan Ibnu Hamad tidak lagi sebagai alat
semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan
gambaran (citra) yang akan dimunculkan di benak khalayak, terutama dalam
media massa.
Jadi, dapat dikatakan bahasa yang digunakan media massa memiliki
kekuatan untuk membentuk pikiran khalayak. Bahasa dengan unsur utama kata,
memiliki kekuatan yang besar dalam berinteraksi antar komunkitas sosial. Bahasa
adalah cermin budaya masyarakat pemakainya. Hubungan antara realitas, bahasa
dan budaya oleh Christian dan Christian digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya
(Christian and Christian, 1996)51
Language
Reality Creates
Creates
Creates Reality
Culture
Di dalam tulisannya tentang konstruksi sosial media massa, Burhan
Bungin telah merevisi (mengoreksi kelemahan) teori dan pendekatan konstruksi
sosial atas realitas Peter L. Berger, dengan melihat variabel atau fenomena media
massa yang substansif dalam proses eksternalisasi, subjektivasi, dan internalisasi.
Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan
proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu.52 Berikut proses
konstruksi sosial media media massa menurut Burhan Bungin.53
51
Ibid, 71.
Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 203
53
Ibid, h. 204
52
Gambar 2: Proses Konstruksi Sosial Media Massa
Proses Sosial Simultan
Eksternalisasi
M
E
D
I
A
Objektivasi
M
A
S
S
A
Internalisasi
Source
Message
- Objektif
- Subjektif
- Intersubjektif
Channel
Realitas Terkonstruksi:
- Lebih Cepat
- Lebih Luas
- Sebaran Merata
- Membentuk Opini Massa
- Massa Cenderung
Terkonstruksi
- Opini Massa Cenderung
Apriori
- Opini Massa Cenderung
Sinis
Receiver
Effects
Menurut Burhan Bungin, proses kelahiran konstruksi sosial media massa
berlangsung dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut54:
1. Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi
Isu-isu penting yang setiap hari menjadi fokus media massa,
berhubungan dengan tiga hal, yaitu kedudukan (tahta), harta, dan
perempuan. Selain tiga hal itu ada juga fokus-fokus lain, seperti informasi
yang sifatnya menyentuh perasaan banyak orang, yaitu persoalanpersoalan sensitivitas, sensualitas, maupun ketakutan/kengerian.
Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial55,
yaitu: (1) Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Artinya, media
massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk dijadikan sebagai
54
Ibid, h. 204
Ibid, h. 205-206.
55
mesin penciptaan uang/pelipatgandaan modal. (2) Keberpihakan semu
kepada masyarakat. Artinya, bersikap seolah-olah simpati, empati, dan
berbagai partisipasi kepada masyarakat. (3) Keberpihakan kepada
kepentingan umum. Artinya sebenarnya adalah visi setiap media massa,
namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya,
namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.
2. Tahap Sebaran Konstruksi
Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah
semua informasi harus sampai pada pemirsa atau pembaca secepatnya dan
setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting
oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.56
3. Pembentukan Konstruksi Realitas
a. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas
Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, di mana pemberitaan
(penceritaan) telah sampai pada pembaca dan pemirsanya (penonton),
yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap
yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi realitas
pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga,
sebagai pilihan konsumtif.57
b. Pembentukan Konstruksi Citra
Pembentukan
konstruksi
citra
adalah
bangunan
yang
diinginkan oleh tahap konstruksi. Di mana bangunan konstruksi citra
56
Ibid, h. 208.
Ibid
57
yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model; (1)
model good news (story) dan (2) model bad news (story).58
4. Tahap Konfirmasi
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca
dan pemirsa (penonton) memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap
pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi
media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk memberi argumentasi
terhadap alasan-alasan konstruksi sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan
pembaca (penonton), tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan
mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial.59
C. Ideologi Media
Kata ideologi banyak dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda, dan
tidak ada keseragaman mengenai pengertian ideologi. Kita tidak bisa berbicara
tentang ideologi tanpa menjabarkan dulu apa yang kita maksud. Bila kita ingin
merespon pendapat orang lain mengenai ideologi, maka kita harus paham terlebih
dulu dalam arti apa ideologi dipakai olehnya. Ini dilakukan supaya terjadi saling
kesepahaman.
Raymond William mengklasifikasikan kata ideologi ke dalam tiga arti.60
Pertama, ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki kelompok
atau kelas tertentu. Definisi ini banyak digunakan oleh kalangan psikologi yang
58
Ibid, h. 209.
Ibid, h. 212.
60
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2007),
59
h. 87-92.
melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan
dalam bentuk yang koheren/saling berhubungan.
Kedua, ideologi merupakan sebuah kesadaran palsu. Ideologi dalam
pengertian ini adalah seperangkat kategori di mana kelompok yang berkuasa atau
dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak
dominan. Karena kelompok yang dominan mengontrol dengan ideologi yang
disebarkan ke dalam masyarakat, maka akan membuat kelompok yang didominasi
melihat hubungan itu tampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini
ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen, mulai dari pendidikan, politik
sampai media massa.
Ketiga, Ideologi merupakan proses umum produksi makna dan ide.
Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi
makna.
Franz Magnis Suseno mengartikan ideologi: (1) ideologi sebagai
kesadaran palsu, ideologi dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai
konotasi yang negatif, sebagai claim yang tidak wajar atau tidak berorientasi pada
kebenaran, melainkan berpihak kepada yang mempropagandakannya (penguasa).
(2) Ideologi dalam arti netral, diartikan sebagai sistem berpikir, nilai-nilai, dan
sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. (3) Ideologi
sebagai keyakinan yang tidak ilmiah. Dalam filsafat sosial yang berhaluan
positivistik, segala pemikiran yang tidak dapat dites secara matematis-logis atau
empiris, atau dengan kata lain tidak rasional, dapat disebut ideologis. 61
61
Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.230.
Untuk mengetahui bagaimana cara atau penyebaran ideologi itu dilakukan,
teori Gramsci tentang hegemoni layak menjadi acuan.
Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan bagaimana
penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan
berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Dalam
konteks ini, media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok meninggikan
posisinya dan merendahkan kelompok lain. Ini bukan berarti media sebagai
kekuatan jahat yang secara sengaja merendahkan masyarakat bawah.62
Artinya, hegemoni dipandang sebagai cara kelompok dominan untuk
menguasai media massa dalam memperkuat posisinya terhadap kelompok lainnya
(yang
didominasi).
Kelompok
dominan
(pemilik
kekuasaan)
dapat
mempergunakan media massa untuk merendahkan kelompok yang lemah.
Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia,
Antonio Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak
hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi
juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya
paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan memenuhi syarat-syarat suatu
cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan
dominasi oleh kelas penguasa lewat kegunaan kepemimpinan intelektual, moral
dan politik. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan,
mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, mengembangkan diri
melalui kepatuhan para korbannya, sehingga itu berlangsung mempengaruhi dan
membentuk alam pikir mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui
pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan meresap, serta berperan
dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Seperti yang dikatakan
Raymond William, hegemoni bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya
melalui makna nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok
dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Akan tetapi,
berbeda dengan manipulasi dan indoktrinasi, hegemoni justru melihat wajar,
orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemoni itu menyatu
dan tersebar dalam praktek, kehidupan, persepsi, dan pandangan dunia sebagai
suatu yang dilakukan dan dihayati secara sukarela.63
Peneliti berkesimpulan, bahwa hegemoni merupakan cara yang digunakan
untuk memaksa ideologi kelas penguasa (kelompok yang dominan) kepada
kelompok yang tidak dominan. Hegemoni melakukan penyebarannya melalui dua
saluran, yakni ideologi dan budaya.
62
Eriyanto, Analisis Wacana, h. 103.
Eriyanto, Analisis Wacana, h. 104.
63
Karl Marx menyatakan ideologi sebagai “kesadaran palsu”. Van Dijk
menjelaskan “kesadaran palsu” tersebut, “ Bagaimana kelompok dominan
memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye
disinformasi..., melalui kontrol media dan sebagainya”.64
Dalam hubungannya dengan media massa, kecenderungan atau perbedaan
setiap media massa dalam memproduksi informasi kepada khalayak, dapat
diungkap dengan pelapisan-pelapisan yang meliputi insitusi-institusi media massa.
Dengan kata lain, pelapisan-pelapisan inilah yang mempengaruhi isi media.
Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese membentuknya dalam model
“Hierarchy of Influence”, sebagai berikut:65
Gambar 3: “Hierarchy of Influence” Shoemaker and Reese
Tingkat Ideologis (5)
Tingkat Ekstramedia (4)
Tingkat Organisasi (3)
Isi Media
Tingkat Rutinitas Media (2)
Tingkat Individual (1)
1. Pengaruh individu-individu pekerja media. Diantaranya adalah karakteristik
pekerja komunikasi (wartawan), latar belakang personal dan profesional.
2. Pengaruh rutinitas media. Apa yang dihasilkan oleh media massa dipengaruhi
oleh kegiatan-kegiatan seleksi-seleksi yang dihasilkan oleh komunikator.
64
Ibid, h. 13.
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, Analisis Framing (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 138.
65
3. Pengaruh Organisasional. Salah satu tujuan yang penting dari media adalah
mencari keuntungan materil. Tujuan-tujuan dari media akan berpengauh pada isi
yang dihasilkan.
4. Pengaruh dari luar organisasi. Pengaruh ini meliputi lobi dari kelompok
kepentingan terhadap isi media, pseudoevent dari praktisi public relations dan
pemerintah yang membuat peraturan-peraturan dibidang pers.
5. Pengaruh ideologi. Ideologi merupakan sebuah pengaruh yang paling
menyeluruh dari semua pengaruh. Ideologi di sini diartikan sebagai mekanisme
simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan di dalam
masyarakat.66
Bila dikaitkan dengan masalah penelitian di dalam skripsi ini, maka Harian
Kompas dan Republika memiliki hegemoni dan ideologi di dalam medianya serta
mempengaruhinya dalam mengkonstruksi realitas.
D. Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki)
Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun
1955. Awalnya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta
yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep
ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang
mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing
individu dalam membaca realitas.67 Dalam perkembangan terakhir, konsep ini
digunakan untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspekaspek khusus sebuah realitas oleh media.
Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah
cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati
strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih
bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring
66
Ibid, h. 138-139.
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 161-162.
67
interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah
pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.68
Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa
yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak
dibawa ke mana berita tersebut.69 Karenanya, berita menjadi manipulatif dan
bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate,
objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.70
Framing, seperti dikatakan Todd Gitlin, adalah sebuah strategi bagaimana
realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk
ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam
pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.
Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan dan presentasi dari realitas.71
Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki mendefinisikan framing sebagai
strategi komunikasi dalam memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan
dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dihubungkan dengan rutinitas
konvensi pembentukan berita.
Sementara menurut George Junus Aditjondro dalam Arifatul Choiri Fauzi,
mengartikan framing sebagai sebuah penyajian realitas di mana
kebenaran
tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, tetapi dibelokkan secara halus,
memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, menggunakan istilah-
68
Ibid, h. 162.
Bimo Nugorho, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita (Jakarta:
Institut Studi Arus Informasi, 1999), h. 21.
70
Teguh Imawan, Media Surabaya Mengaburkan Makna (Jakarta: Pantau Edisi 09/Tahun
2000), h. 65-73.
71
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h.68.
69
istilah yang punya konotasi tertentu, bantuan foto, karikatur, dan menggunakan
alat ilustrasi lainnya.72
Menurut Aditjondro, proses framing tidak hanya melibatkan pekerja pers,
tetapi pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu dan masingmasing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditonjolkan dengan
menyembunyikan
sis-sisi
lain
serta
mengaksentuasikan
pada
kesahihan
pandangannya dengan mengacu pada pengetahuan, ketidaktahuan, dan perasaan
pembaca. Proses framing media massa sebagai arena di mana informasi masalah
tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang
sama-sama menginginkan pandangannya didukung oleh pembaca.73
Dengan demikian, framing merupakan seleksi dan penekanan aspek-aspek
realitas
melalui
beberapa
cara,
seperti
penempatan
(kontekstualisasi),
pengulangan, asosiasi simbol-simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dll.
Tujuannya adalah untuk membuat aspek-aspek dari realitas yang diwacanakan
menjadi lebih noticeable, meaningful, dan memorable untuk khalayak.
Dalam skripsi ini, framing yang digunakan adalah model Zhongdang Pan
dan Gerald Kosicki. Menurut Pan dan Kosicki, wacana media merupakan proses
kesadaran sosial yang melibatkan tiga pemain, yaitu sumber, jurnalis, dan
audience dalam memahami budaya dan menyangkut dasar-dasar kehidupan sosial
yang telah diatur, sedangkan framing yang digunakan oleh kaum konstruktivis
dalam menguji wacana media difokuskan pada konseptualiasasi teks media ke
dalam dimensi yang bersifat empiris dan operasional berupa struktur sintaksis
72
Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali (Yogyakarta: LKIS, 2007), h.
28.
73
Ibid, h. 29.
(syntatical structures), struktur naskah (script structures). Struktur tematik
(thematic structures), dan struktur retoris (rethorik structures).74
Dalam framing model Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki, unit
pengamatan terhadap teks nya lebih komprehensif dan memadai, karena selain
meliputi seluruh aspek yang terdapat dalam teks (kata, kalimat, parafrase, label,
ungkapan), perangkat tersebut juga mempertimbangkan struktur teks dan
hubungan antar kalimat atau paragraf secara keseluruhan. Model Zhongdang Pan
dan Gerald Kosicki yang dimaksud adalah :
Tabel 1: Struktur Wacana dan Perangkat Framing (Diadopsi dari
Nugroho, dkk, 1999)
Struktur
SINTAKSIS
(Cara wartawan menyusun fakta)
SKRIP
(Cara wartawan
fakta)
Perangkat
Framing
1. Skema Berita
Unit Yang Diamati
Headline, lead, latar
informasi,
kutipan
sumber,
pernyataan,
penutup.
2. Kelengkapan 5W+1H (Who, What,
mengisahkan berita
When, Where, Why +
How)
TEMATIK
(Cara wartawan menulis fakta)
Paragraf,
proposisi,
kalimat,
hubungan
antar-kalimat
RETORIS
(Cara wartawan
fakta)
Kata, idiom, gambar,
foto, grafik
74
3. Detail
4. Maksud
5. Nominalisasi
6. Koherensi
7. Bentuk kalimat
8. Kata ganti
9. Leksikon
menekankan 10. Grafis
11. Metafor
12. Pengandaian
Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki, Framing Analysis: An Approach to News
Discourse, (Politicial Communication. Vol.10 No.1), h.55.
1. Struktur Sintaksis
Sintaksis dalam pengertian umum adalah susunan kata atau frase
dalam kalimat.75 Sedangkan dalam tataran wacana, struktur sintaksis
terdiri atas susunan atau kerangka dari sebuah penyusunan artikel atau
wacana berita. Struktur sintaksis biasanya ditandai oleh “struktur piramida
terbalik” dan oleh aturan-aturan atributif (penandaan) sumber. Piramida
terbalik ini mengacu pada pengorganisasian bagian-bagian struktur yang
runtut, seperti headline (judul utama), lead (kepala berita atau
pendahuluan), episode (runtutan cerita), background (latar belakang), dan
ending atau conclusion (penutup atau kesimpulan).
Kadang kala struktur penulisan itu terdiri dari atas bagian yang
umum saja seperti lead, perangkat tubuh, dan penutup. Struktur sintaksis
dapat memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana wartawan
memaknai peristiwa dan hendak ke mana berita tersebut akan dibawa.76
Dengan bentuk struktur sintaksis tertentu, wartawan bisa menekankan
suatu isu, baik dengan meletakannya pada headline atau lead, pada
kesimpulan, atau pada kronologi peristiwa yang terdapat pada latar
informasi.
Sebuah headline dari berita tertentu pada surat kabar merupakan
tanda yang mencolok antara struktur semantik dalam wacana dengan
konsep atau gagasan yang ada di dalam pikiran pembaca. Dalam banyak
hal, struktur sintaksis yang sering digunakan untuk menggiring opini
khalayak ke arah tertentu dan yang bersifat menarik adalah headline.
75
Hasan Alwi dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000),
h. 36.
76
Bimo Nugorho, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita, h.31.
Dengan kata lain, headline ini merupakan framing device yang paling
penting.
Alat (device) selanjutnya adalah lead yang ada dalam sebuah cerita
atau tulisan surat kabar. Di lead inilah biasanya dapat diketahui angle
mana yang lebih ditekankan oleh reporter atau wartawan. Pada bagian
tengah (episodes) dan latar (background) para wartawan biasanya
memaparkan fakta secara kronologis. Di bagian inilah kita akan
memperoleh kesan dari isi surat kabar tersebut apakah cukup objektif,
berimbang, atau berpihak.
Di bagian ini pula bisa dikaji lebih jauh tentang framing device
melalui tiga cara, yaitu (1) pengakuan validitas empiris atau pengutipan
sumber atau perolehan data, (2) menghubungkan pandangan-pandangan
sumber berita yang dianggap pokok, dan (3) memisahkan pandanganpandangan sumber lain yang kurang popular.77
Dari struktur sintaksis, kita juga dapat menganalisis objektivitas
dan netralitas suatu pemberitaan media. Objektivitas pemberitaan memiliki
tiga unsur pokok. Pertama, unsur keseimbangan (balancing, yang meliputi
keseimbangan dalam jumlah kalimat atau kata yang digunakan oleh
wartawan dalam memaparkan fakta. Sebuah fakta peristiwa yang sama
akan diuraikan oleh dua orang wartawan secara berbeda dalam jumlah
kalimatnya. Keseimbangan juga mencakup narasumber atau sumber yang
dikutip. Dalam pemberitaannya, seorang wartawan bisa saja hanya
77
Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki, Framing Analysis, h. 60.
mengutip sumber-sumber tertentu yang mereka pilih sendiri, tanpa melihat
komposisi keberpihakan sumber secara proporsional.
Kedua, unsur kebenaran berita, yang terdiri atas empat hal pokok,
yaitu adanya fakta atau perisiwa yang diberitakan, jelas sumbernya, di
mana tempat terjadinya, dan kapan waktunya. Ketiga, relevansi antara
judul berita dengan isinya serta kesesuaian antara narasumber yang dipilih
dengan tema atau fakta yang diangkat.
Suatu berita dianggap objektif apabila berita tersebut memenuhi
semua kelengkapan objektivitas di atas. Sebaliknya, suatu berita bisa
dikategorikan
“kurang
objektif”
apabila
salah
satu
kelengkapan
objektivitas tidak terpenuhi. Bahkan sangat mungkin suatu berita dapat
disebut “tidak objektif” sama sekali apabila lebih dari dua bagian syarat di
atas tidak terpenuhi.
Hal lain yang dapat dilihat dari struktur sintakasis ini adalah
netralitas pemberitaan. Netralitas ini meliputi komposisi narasumber yang
terdiri dari tiga kelompok, yakni (1) yang pro (setuju) dengan ide, fakta,
atau tema yang diangkat, (2) yang kontra (tidak setuju) dengan tema berita
yang hendak disampaikan, dan (3) yang netral (tidak berpihak).
Begitu juga netralitas dari isi berita itu sendiri, apakah isi berita
tersebut memihak, menentang atau netral. Netralitas ini dapat dilihat
secara langsung dari penggunaan kalimat pada headline atau lead. Judul
berita yang diambil dari pendapat narasumber yang kontroversial,
misalnya, seringkali menghakimi pihak tertentu secara berlebihan. Dalam
konteks ini, media sering dianggap telah melakukan tindakan trial by the
press.
2. Struktur Skrip
Naskah (skrip) mengacu pada urutan aktivitas yang mapan dan
stabil serta komponen-komponen kejadian yang sudah diinternalisasikan
sebagai representasi mental yang terstruktur dari suatu kejadian tertentu.
Naskah berita memiliki struktur yang berbeda, di mana ia ditetapkan oleh
aturan-aturan yang dalam perspektif Van Djik disebut story grammars.
Struktur naskah dalam wacana, pada umumnya, merupakan
kelengkapan berita yang lazim dan terdiri atas unsur-unsur 5W+1H: Siapa
(Who), Apa (what), Kapan (When), Di mana (Where), Mengapa (Where),
dan Bagaimana (How). Dengan menghilangkan salah satu dari enam
kelengkapan berita tersebut, wartawan mampu menekankan atau
menghilangkan bagian terpenting dalam mengisahkan sebuah fakta.
Sebagai contoh ketika wartawan melaporkan Pertemuan Anggota
Komisi III DPR dengan Ketua KPK sehubungan dengan banyaknya
anggota DPR yang ditangkap pada tahun 2008. Dalam laporan itu, apabila
wartawan mengisahkan fakta hanya dengan memaparkan tiga atau empat
unsur kelengkapan berita, seperti Who (Anggota Komisi III DPR), What
(bertemu dengan Ketua KPK), When (pada tanggal 5 Agustus 2008), dan
Where (di gedung DPR), maka berarti ia hanya mengisahkan fakta itu
secara sepintas dan berusaha menutupi maksud pertemuan itu.
Akan tetapi, jika wartawan mengisahkan juga unsur Why dan How
(mengapa dan bagaimana pertemuan itu dilakukan?), barangkali khalayak
akan memaknainya secara positif. Pendek kata, struktur naskah dengan
kelengkapannya juga dapat dijadikan alat bagi “penonjolan” atau
“penghilangan” tema tertentu dalam sebuah berita. Penghilangan salah
satu dari keenam unsur objektivitas suatu berita (5W+1H), dalam
menguraikan kronologi suatu peristiwa dapat mengakibatkan pemberitaan
itu tidak fair dan tidak benar (berita bohong).
3. Struktur Tematik
Struktur tematik sebenarnya merupakan alat analisis untuk melihat
bagaimana fakta ditulis, kalimat yang dipakai, serta menempatkan dan
menulis sumber kedalam teks berita secara keseluruhan. Dalam menulis
berita, seorang wartawan mempunyai tema tertentu untuk peristiwa dan
tema inilah yang akan dibuktikan dengan susunan atau bentuk tertentu.
Struktur tematik dapat mengandung sebuah rangkuman dan isi
utama. Rangkuman biasanya dijelaskan melalui headline, peranan atau
kesimpulan. Sedangkan isi utama adalah bukti yang mendukung hipotesis
yang diperkenalkan dan berisi, antara lain: episode, informasi, latar dan
kutipan. Dalam mengidentifikasi sub-sub sebuah tema dan dukungan
empirik dapat melalui episode, informasi latar dan kutipan dalam bentuk
artikel berita yang sangat kompleks.78
Untuk mendukung hipotesis dari tema yang dipilihnya itu,
wartawan dapat menggunakan “detail”. Pengungkapan kronologi peristiwa
secara detail dan lengkap akan dapat mendukung hipotesis dari sebuah
tema yang disuguhkan dan tentu saja akan mempengaruhi kesadaran
78
Ibid, h. 60-61.
khalayak. Sebaliknya, dengan pengungkapan peristiwa secara sederhana
dan tidak detail, wartawan dapat menutupi atau memperkecil fakta yang
“ingin” dihindari atau dibuang.
Suatu tema tertentu dapat didukung dengan cara membuat suatu
pernyataan yang jelas dan lugas. Adanya proposisi yang dibuat secara
eksplisit juga bukan tanpa tujuan, melainkan dimaksudkan agar pembaca
dapat memahami “maksud” yang ingin disampaikan pembuat teks. Untuk
kasus
atau
peristiwa
yang
dianggap
merugikan
dirinya
atau
perusahaannya, wartawan dapat memanipulir fakta dengan menuliskan
tema secara implisit dan samar-samar, sehingga para pembaca digiring
secara perlahan untuk tidak mempermasalahkan realitas yang ditutupi.
Penggunaan kata yang mengandung unsur “generalisasi” dan
“nominalisasi” juga akan dipilih oleh wartawan untuk meyakinkan
pembaca tentang jumlah pelaku dalam suatu peristiwa. Dengan menyebut
“Ulama NU menyetujui Pendirian Baitul Muslimin Indonesia”, mungkin
akan membuat pembaca berkesimpulan bahwa “Semua Ulama NU
Menerima Kehadiran Baitul Muslimin Indonesia di dalam tubuh PDI-P”.
Sebaliknya, dengan memunculkan kata yang jelas, seperti “Sebagian
Ulama NU Menolak Pendirian Baitul Muslimin Indonesia”, atau 100
Ulama Pesantren Menolak Pendirian Baitul Muslimin Indonesia”,
khalayak akan menyadari bahwa “Pendirian Baitul Muslimin Indonesia
ditolak oleh Sebagian Ulama NU dan disetujui Sebagian Ulama yang
lain”.
Hipotesis dari fakta yang dipilih untuk ditulis wartawan juga dapat
didukung dengan mengatur pertalian antarkata, antarkalimat atau
antarposisi yang disebut “koherensi”.79 Pemilihan kata hubung, kata
sambung, dan kata ganti dalam merangkai kata atau kalimat juga dapat
berimplikasi luas pada opini khalayak terhadap suatu tema tertentu.
Misalnya kalimat (1) “Surya Paloh dan Taufik Kiemas melakukan
pertemuan di Palembang” (2) “SBY menghadiri pertemuan tertutup
dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Penggabungan dua kalimat di
atas dengan kombinasi berbagai kata memiliki beragam konsekuesi.
Kalimat “Surya Paloh dan Taufik Kiemas melakukan pertemuan di
Palembang, sementara SBY menghadiri pertemuan tertutup dengan Sri
Sultan Hamengkubuwono X”, akan memberikan implikasi bahwa tidak
ada konflik di antara empat tokoh itu.
Akan tetapi bila kalimatnya berbunyi “Surya Paloh dan Taufik
Kiemas melakukan pertemuan di Palembang, sehingga SBY menghadiri
pertemuan tertutup dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X”, tentu akan
mengesankan adanya konflik di antara mereka.
Selain itu, penggunaan kata ganti yang berbeda, seperti “Saya”,
“Kami”, “Mereka” atau “Kita”, yang dalam beberapa kejadian lebih sering
menggunakan kata “Kami”, di mana sunber berita”mengatasnamakan”
organisasinya dalam suatu kutipan narasumber dapat meneguhkan atau
memiliki implikasi lain.
79
Perangkat framing dalam struktur tematik, seperti koherensi, memiliki banyak ragam,
yaitu koherensi kondisional, koherensi fungsional, koherensi pembeda. Pembahasan lebih detil
bisa dilihat pada buku Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita,
h. 37-41.
Begitu juga posisi “bentuk kalimat” (urutan kalimat) yang dipilih
oleh wartawan akan sangat berpengaruh pada peneguhan sebuah tema.
Kalimat seperti “PDI-P memrotes Undang-undang Pornografi”, berbeda
maksudnya dengan kalimat “Undang-undang Pornografi diprotes PDI-P”.
Pada kalimat pertama, kata PDI-P yang menjadi sentral, lebih ditonjolkan
sebagai subjek. Sedangkan kalimat kedua, yang menekankan “Undangundang Pornografi” sebagai subjek.
4. Struktur Retoris
Istilah retorika (rhetoric) memiliki beragam definisi. Namun dari
berbagai definisi, pada prinsipnya terdapat dua hal yang selalul berkaitan
dengan istilah retorika. Pertama, aktivitas retorika sering kali berhubungan
dengan wilayah politik. Kedua, retorika juga sebagai wacana yang cukup
diperhitungkan dalam mempengaruhi khalayak. Dalam hal ini, struktur
retoris dimaksudkan sebagai komponen yang digunakan para wartawan
untuk menekankan fakta yang diberikan.
Struktur ini menggambarkan pilihan-pilihan gaya bahasa yang
disusun oleh para jurnalis dalam hubungannya dengan akibat yang
diharapkan. Perangkat framing yang termasuk kedalam struktur ini adalah
leksikon, grafis, methapor, dan pengandaian.
Unsur leksikon menunjukkan pilihan kata dalam suatu kalimat
tertentu. Misalnya pada kalimat “Partai Islam berusaha (meminta) PPI
untuk menyetujui metode perhitungan stembus accord yang dibuatnya”.
Kata “berusaha (meminta)” oleh wartawan dapat diganti dengan kata-kata
lain, seperti “memaksa” atau “ngotot (kepada)”, dan seterusnya. Tentu
pilihan kata yang diambil adalah yang dapat menekankan fakta yang
dituliskan.
Pemanfaatan gambar, foto, angle foto, grafik, dan data lainnya,
termasuk warna dan besarnya ukuran huruf dan foto juga dapat
menekankan “pesan” yang ingin disampaikan. Dalam hal ini, termasuk
juga penempatan dan ukuran judul berita (dalam kolom). Ada judul yang
diletakan pada halaman muka tetapi ada juga yang diletakkan pada
halaman lainnya. Ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan pesan.
Begitu juga penggunaan bahasa yang “fantastik”. Kalimat seperti
“Perekonomian Indonesia akhir-akhir ini mengalami kemunduran”
berbeda penekanannya dengan kalimat serupa, seperti “Keadaan ekonomi
sekarang amburadul”, atau Indonesia sedang mengalami keterpurukan
ekonomi”.
Unsur lain yang termasuk struktur retoris adalah methapor. Yakni
kiasan yang mempunyai persamaan sifat dengan benda atau hal yang bisa
dinyatakan dengan kata atau frase. Misalnya, wartawan melukiskan
perjuangan mahasiswa yang gugur pada tragedi Semanggi sebagai
“pejuang reformasi”. Termasuk dalam kategori ini adalah pepatah,
peribahasa, pepatah leluhur, kata-kata kuno, atau bahkan ayat suci dan
sabda nabi, dan mungkin juga pasal dan ayat dalam undang-undang.
Semua unsur itu dipakai untuk mendukung dan menekankan pesan utama
yang disampaikan.
E. Kerangka Pemikiran
Paradigma Konstruksionis
Analisis framing merupakan metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian
konstruksionis. Paradigma ini memandang bahwa berita adalah hasil konstruksi dari
pekerja media. Berita bukanlah fakta yang utuh melainkan hasil realitas bentukan media.
Media Massa
(Kompas&Republika)
Fakta
Pembentukan
Baitul Muslimin Indonesia PDI-P
Berita
Proses Konstruksi
Bahasa Sebagai Alat
Konstruksi Realitas
Ideologi
Realitas
Khalayak
BAB III
PROFIL MEDIA CETAK
A. Harian Kompas
1. Sejarah Perusahaan
Harian Kompas pertama kali terbit pada hari Senin, 28 Juni 1965.
Pada rencana awalnya harian ini bernama Bentara Rakyat. Nama ini
dipilih sebagai penegasan diri pembela rakyat. Akan tetapi, menjelang
diterbitkan, Frans Seda, salah seorang pencetus lahirnya koran ini, datang
ke Istana Bung Karno, yang saat itu sebagai presiden. Kemudian presiden
Soekarno memberi nama Kompas, dengan maksud agar jelas diterima
sebagai penunjuk arah. Akhirnya, koran yang rencananya bernama
Bentara Rakyat berganti nama menjadi Kompas, sedangkan bentara rakyat
dijadikan sebagai yayasan yang menerbitkan.80
Gagasan untuk menerbitkan koran ini bermula dari Panglima TNI
AD Ahmad Yani yang bertujuan untuk melawan pers komunis. Gagasan
ini disampaikan kepada Frans Seda yang saat itu menjabat sebagai menteri
perkebunan. Kemudian Frans Seda meneruskan ide ini kepada beberapa
orang sahabanya, yakni Ignatius Josep Kasino, Petrus Kanisius Ojong, dan
Jakob Oetama inilah yang kemudian mempersiapkan segala sesuatunya.81
Pada saat pertama terbit, Kompas dicetak sebanyak 4.800
eksemplar dan hanya empat halaman. Saat itu, oleh kalangan komunis,
Kompas diplesetkan sebagai Komando Pastor, sebab tokoh-tokoh pendiri
80
Tim penyusun, 35 Tahun Kompas, (Jakarta: Brosur Kompas, 2000)
Ibid.
81
dan perintisnya banyak berasal dari kelompok atau partai katolik. Pada
tahun 1982 penerbit Kompas tidak lagi yayasan Bentara Rakyat. Sesuai
UU Pokok Pers tahun 1982 dan Ketentuan Surat izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP) yang mewajibkan penerbitan pers harus berbadan hukum.
Motto “Amanat Hati Nurani Rakyat” yang diletakkan di bawah
logo Kompas menggambarkan visi dan misi Kompas dalam menyuarakan
hati nurani rakyat. Adapun tujuan Kompas, yaitu pertama, ingin
berkembang sebagai institusi pers yang mengedepankan keterbukaan,
meninggalkan pengkotakan, latar belakang suku, agama, ras, dan
golongan. Kedua, ingin berkembang sebagai “Indonesia mini” karena
Kompas sendiri adalah lembaga yang terbuka, kolekif, ingin ikut serta
dalam upaya mencerdaskan bangsa. Ketiga, ingin menempatkan
kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, mengarahkan fokus perhatian dan
tujuan pada nilai-nilai yang transeden atau mengatasi kepentingan
kelompok.82
Pada awalnya jumlah wartawan Kompas hanya sepuluh orang,
namun saat ini jumlah wartawannya lebih dari 100 orang, dengan oplah
450.000-500.000 eksemplar. Kompas pernah mencapai tiras tertinggi
yakni 600.000 eksemplar. Jumlah oplah sebuah media menunujukan
kepercayaan masyarakat pembaca.
PT. Kompas Media Nusantara adalah lembaga media massa,
Pemimpin tertinggi adalah Pemimpin Umum, Pemimpin Umum dibantu
oleh Wakil Pemimpin Umum Bidang Non Bisnis dan Wakil Pemimpin
82
Ibid.
Umum Bidang Bisnis, lalu ada Pemimpin Redaksi yang bertanggung
jawab pada bidang redaksi, dan Pemimpin Perusahaan yang bertanggung
jawab bidang bisnis. Di bawah Pemimpin Redaksi ada Redaktur Pelaksana
dan dibawahnya terdapat Kepala Desk, Kepala Biro dan paling bawah
adalah reporter.
Di bidang bisnis, di bawah Pemimpin Perusahaan ada General
Manajer Iklan dan General Sirkulasi, dan General Manajer marketing
communication. Di antara dua bidang itu, ada bagian Penelitian dan
Pengembangan, Direktorat SDM-Umum, dan Teknologi Informasi.
Mereka sifatnya supporting dan dibawah supervisi Wakil Pemimpin
Umum non bisnis, sementara untuk Pemimpin Perusahaan disupervisi
Wakil Pemimpin Umum bidang bisnis.83
Pembagian dalam Struktur Organisasi ini, dimaksudkan untuk
memudahkan pembagian sistem kerja “Produk” Kompas yang dihasilkan
itu merupakan hasil kerja sinergis dari unit-unit yang ada dalam struktur
organisasi. Produk Kompas adalah koran dan berita. Adapun tahap
manajemen produk itu adalah sebagai berikut:
a. Bidang Redaksi84
1) Perencanaan
Dilaksanakan rapat pagi dalam merencanakan berita yang akan
dimuat, berdasarkan:
a. Adanya undangan acara yang diterima Kompas.
b. Peliputan berita yang ditetapkan di tiap-tiap desk.
83
Lihat FA. Santoso, dkk., Media Kit Kompas 2007 (Jakarta: Kompas, 2007), h. 8.
Ibid.
84
c. Penetapan event tertentu, di mana dalam upaya pencarian berita
disesuaikan dengan aktualitas peristiwa yang terjadi.
2) Pengorganisasian
Redaktur mengkoordinasikan wartawan-wartawan untuk
mencari dan menulis berita sesuai dengan yang direncanakan dalam
rapat pagi dan menunjuk wartawannya untuk mengerjakan tugas-tugas
pencarian berita tersebut.
3) Pelaksanaan
Dilaksanakan rapat sore untuk menetapkan berita yang akan
dimuat dalam surat kabar (dalam bentuk yang belum jadi) dan
membuat headline berita. Apabila data belum akurat maka akan
ditambah atau dicari lagi. Setelah data berita akurat, berita disunting oleh
desk sunting. Setelah disetujui, kemudian akan disunting dalam bentuk
layout koran untuk dicetak. Deadline ditetapkan pukul 23.00.
Percetakan dimulai pukul 01.00. Pencetakan sesuai dengan oplah.
4) Pengevaluasian
Dilakukan evaluasi ditiap-tiap desk/bidang redaktur, selain
mengevaluasi berdasarkan masukan dan pembaca yang menelepon
atau mengirimkan fax/email. Evaluasi akan dibahas pula dalam rapat
Rabu (rapat mingguan) sebagai dasar perencanaan yang juga akan
dibahas dalam rapat pagi. Evaluasi dilihat dari segi:
a. Pencetakan susunan huruf dan kata-kata.
b. Bentuk dan susunan berita pada setiap halaman.
c. Isi beritanya.
Sumber berita lain selain wartawan dari penulis-penulis dan
berbagai kantor berita. Kompas dikenal dengan keunggulan dari segi
penulisan opini. Penulis opini Kompas, misalnya: Kwik Kian Gie,
Mudji Sutrisno, Arief Budiman, Zuhairi Misrawi, Muhtadin AR,
Aloysius Budi Nugroho, Herry Tjahjono dll. Pembagian berita: berita
daerah, berita luar negeri, berita dalam negeri, berita olahraga dll.
b. Direktorat SDM-Umum85
Hubungan kerja dan iklim dalam lingkungan mikro Kompas, yaitu:
hubungan antar personal, sehari-harinya terjalin hubungan kekeluargaan,
terbuka dan tidak kaku dalam hal kerja dan urusan administrasi terjadi
hubungan formal, berjenjang untuk menunjukkan fungsi kerja
Promosi atau kenaikan pangkat karyawan berdasarkan: penilaian dari
sikap dan hasil kerja karyawan tersebut, jika dinilai cukup baik diberikan
bahan dan dilatih agar naik jabatannya. Sebelumnya, karyawan tersebut
mengalami prajabatan 6 bulan sampai 1 tahun. Jika karyawan itu tidak
menunjukkan hasil kerja yang baik, maka tidak jadi naik pangkat.
Pengangkatan manajer, jarang dilakukan oieh pihak luar, lebih sering
dilakukan pihak dalam. Akhir-akhir ini bidang bisnis mulai mencoba dari
luar (head hunting).
Peningkatan produktivitas karyawan dilakukan dengan cara:
menerima wartawan dengan pendidikan sarjana bidang apa saja, kemudian
dididik selama 1 tahun. Adanya orientasi karyawan baru mengenai visi,
misi dan sejarah Kompas. Pelatihan kepribadian, pelatihan bahasa
85
Ibid, h.9.
inggris, pelatihan yang meningkatkan kemampuan (skill) dan manajemen.
Diadakan rekreasi pada bidang masing-masing, setiap 2 tahun sekali.
Pemberian cuti dan tunjangan, selain gaji pokok, diberikan uang transport,
uang makan, bonus, THR. Kenaikan gaji karyawan berdasarkan inflasi
ekonomi atau prestasi kerja yang baik, dengan penilaian karya.
Tujuan manajemen: memberikan informasi untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, isi pemberitaan bersifat netral dan universal.
Direktorat SDM-Umum dipimpin oleh seorang direktur, dan di
bawahnya ada empat manajer yang memimpin bidang umum, penerimaan &
penempatan, remunerasi (kesejahteraan), pendidikan & pelatihan.
1) Bidang Umum, berkewajiban menyediakan sarana & prasarana untuk
setiap karyawan, agar mendapatkan kenyamanan dalam melakukan
tugasnya. Ruang kerja yang memadai dan peralatan kerja disediakan
oleh perusahaan.
2) Bidang Penerimaan dan Penempatan, unit yang merekrut calon
karyawan dan menempatkan di unit sesuai dengan bidang dan
keahliannya. Perkembangan dari calon karyawan sampai pensiun
menjadi tanggung jawab dari bidang penerimaan dan penempatan.
3) Bidang Kesejahteran (Remunerasi), adalah unit yang mengurusi
kesejahteraan karyawan misalnya tunjangan perumahan, cuti, sekolah,
dokter, obat rumah sakit dll.
4) Pendidikan dan Pelatihan, unit yang mendidik & memersiapkan calon
karyawan untuk memasuki dunia kerja di bidangnya. Training untuk
peningkatan kuaiitas sumber daya manusia atau karyawan menjadi
tanggung jawab dari unit ini.
c. Bidang Penelitian & Pengembangan86
Kepala penelitian dan pengembangan yang kedudukannya sejajar
dengan pemimpin redaksi (pemred), bertanggung jawab secara langsung
kepada pemimpin umum Harian Kompas. Kepala litbang membawahi 4
bidang yang mempunyai kedudukan sejajar, yaitu:
1) Pusat Informasi Kompas (PIK)
Pusat Informasi Kompas dipimpin oleh seorang manajer
membawahi tiga bagian:
•
Bagian Akuisisi: bagian pengadaan dan perawatan bahan pustaka
•
Bagian Pengolahan Arsip Elektronik : bagian pengolahan arsip
elektronik mencakup kegiatan pengolahan harian Kompas dan
informasi dan sumber lain ke dalam bentuk elektronik.
•
Bagian Layanan Informasi: bagian ini mempunyai kegiatan layanan
informasi dan kegiatan sirkulasi.
Pusat Informasi Kompas merupakan satu unit/bidang yang pada
dasarnya bertugas mengumpulkan, mengolah dan melakukan temu
kembali informasi yang dibutuhkan. Kegiatan Pusat Informasi Kompas
bukan hanya sebagai pusat dokumentasi, tetapi merupakan pusat
informasi. Fungsi Pusat Informasi Kompas adalah untuk mendukung
kinerja redaksi dalam menerbitkan harian Kompas, dan secara rinci
mempunyai tugas:
•
86
Ibid, h.10.
Mengembangkan koleksi baik buku, terbitan berkala dan data
terolah
•
Mengelola arsip harian Kompas dan beberapa terbitan berkala yang
dipilih berdasarkan kebutuhan redaksi ke dalam bentuk arsip
elektronik.
•
Memberikan informasi untuk internal yaitu: wartawan dan
karyawan yang tergabung dalam Kelompok Kompas-Gramedia
(KKG) dan melayani masyarakat umum.
2) Pusat Penelitian Kompas (Puslitkom)
Pusat penelitian Kompas (Puslitkom) dipimpin seorang Manajer,
bertugas menangani penelitian dari hasil kerja redaksi yang hasilnya
diserahkan pada bagian redaksi. Penelitian dilakukan dengan bantuan
dari mahasiswa dengan mengadakan polling terhadap pelanggan
Kompas dan masyarakat umum.
3) Pusat Penelitian Bisnis (Puslitbis)
Pusat Penelitian Bisnis (Puslitbis) dipimpin oleh seorang
Manajer Puslitbis, menangani riset pasar/konsumen, memantau
pendapat masyarakat terhadap kemungkinan pengembangan Kompas.
Forum pembaca Kompas yang ditangani selama ini untuk memberikan
masukan/kritik tentang Harian Kompas.
4) Bidang Database
Updating database Kompas perlu ditangani setiap kali agar
koleksi database Harian Kompas selalu up-todate. Bidang database
Kompas dipimpin oleh seorang manajer database. Biodata tokohtokoh politik, pengusaha, artis dan orang-orang terkenal selalu di
update sehingga datanya tetap relevan menjadi tanggung jawab dan
unit ini. Database juga setiap kali memuat profil kabupaten seluruh
Indonesia. Buku otonomi daerah dengan isi profil kabupaten telah
terbit, dan telah menyusul buku partai Indonesia.
d. Bidang Teknologi Informasi87
Bidang paling baru dalam organisasi Kompas, ini didirikan
tahun 1996 dan direstrukturisasi tahun 2003, bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan sumber daya teknologi informasi dengan cepat
dan tepat, serta bisa memberikan keunggulan kompetitif bagi
perusahaan. Oleh karena itu, Bidang Teknologi Informasi (TI)
diarahkan untuk lebih berorientasi pada memberikan pelayanan yang
tuntas (end-to-end sevices) dalam bidangnya, dan tidak hanya
berorientasi pada teknologi saja.
Untuk mewujudkan hal ini, maka Bidang TI membentuk tim
kerja dalam melaksanakan tugasnya. Ada tim yang bertanggung jawab
untuk mengintegrasikan jasa layanan dan ada tim yang bertanggung
jawab untuk men-deliver layanan tersebut. Kedua tim ini bekerja
secara proyek maupun rutin, dan didukung oleh senior analyst, staf
sekretariat, administrasi dan gudang. Secara struktur, tim kerja ini
dibangun dari tiga bidang keahlian yang dipimpin oleh seorang general
manajer, dan masing-masing bidang keahlian dipimpin oleh seorang
manajer, yaitu Software & Aplikasi, Hardware & Infrastruktur dan
Helpdesk & Support.
87
Ibid, h.11.
1) Software dan Aplikasi (SA)
Bidang SA diisi oleh para programmer dan system analis
yang bertanggung jawab untuk membangun/mengintegrasikan
software, aplikasi dan database menjadi suatu sistem informasi
yang diperlukan. Pekerjaan tersebut harus diselesaikan tepat waktu,
mudah digunakan, bebas dari kesalahan dan cost effective. Untuk
itu bidang SA dituntut untuk memiliki metoda kerja yang
sistematis dan melaksanakan penelitian yang terarah. Bekerjasama
dengan bidang lain, bidang SA memberikan dukungan tingkat
lanjut
bagi
permasalahan
software
dan
apilkasi,
dengan
memastikan bahwa database perusahaan selalu dalam kondisi up
and running.
2) Hardrware dan Infrastruktur (HI)
Bidang HI bertanggung jawab untuk membangun /
mengintegrasikan hardware dan infrastruktur untuk menjalankan
sistem informasi yang diperlukan. Para ahli hardware dan jaringan
komputer serta telekomunikasi di bidang ini juga dituntut untuk
menyelesaikan pekerjaannya secara tepat waktu, handal dan cost
effective. Sama dengan Bidang SA, Bidang HI juga memberikan
dukungan tingkat lanjut bagi permasalahan hardware dan
infrastruktur, serta memastikan bahwa hardware dan infrastructure
komputer & telekomunikasi perusahaan selalu dalam kondisi up
and running.
3) HelpDesk dan Support (HDS)
Bidang HDS merupakan ujung tombak TI dalam mendeliver layanan TI, serta menangkap kebutuhan dan kesulitan para
pengguna sumber daya TI di perusahaan. Oleh karena itu secara
proaktif Bidang HDS melaksanakan inventarisasi, instalasi,
perawatan, perbaikan dan dukungan teknis, serta memberikan
pelatihan agar sumber daya TI perusahaan dapat dimanfaatkan
secara optimal. Bidang HDS disebar ke beberapa lokasi kerja dan
masing-masing dikepalai oleh seorang supervisor. Secara regular
mereka menghadiri dan mengadakan pertemuan dengan user.
e. Bidang Bisnis88
Masyarakat Indonesia semakin beragam pola dan gaya
hidupnya. Komunikasi massa di Indonesia semakin maju, dan jaringan
informasi semakin canggih. Akibatnya, terjadi peningkatan kualitatif
kebutuhan informasi. Artinya, sekarang bukan sekadar membutuhkan
fakta saja, tetapi petunjuk yang lebih mengarah pada makna dan fakta
itu, bagi dirinya, keluarganya dan lingkungannya
Atas dasar pemikiran itu ada gagasan, dalam usaha penerbitan
Kompas mulai dikembangkan pemikiran yang tidak hanya didasarkan
pada orientasi produk, tetapi bergerak sampai jarak tertentu ke
orientasi pasar. Artinya, dalam membuat produk ditingkatkan
88
Ibid, h.12.
kesadaran
dan
pemikiran
terhadap
situasi
pasar,
maupun
perkembangan kebutuhan konsumen mengenai informasi.
Fungsi Bisnis :
1) Bertanggung jawab dan berkewajiban menjadikan lembaga
Kompas menjadi badan usaha komersial yang sehat.
2) Mengatur pendapatan dan pembiayaan kegiatan usaha, agar media
sebagai produk laku terjual.
3) Memantapkan agar unit bisnis dan personilnya sebagai intitusi
sosial yang punya nilai ekonomis dan kemasyarakatan.
4) Mengedarkan produk agar bisa dikonsumsi pada saat pembaca
membutuhkannya.
2. Visi, Misi dan Nilai-nilai Dasar Kompas
a. Visi Kompas89
“Menjadi
perkembangan
institusi
masyarakat
yang
memberikan
indonesia
yang
pencerahan
bagi
demokratis
dan
bermartabat, serta menjunjung tinggi asas dan nilai kemanusiaan”
Dalam kiprahnya dalam industri pers “Visi Kompas”
berpartisipasi membangun masyarakat Indonesia baru berdasarkan
Pancasila melalui prinsip humanisme transendental (persatuan dalam
perbedaan) dengan menghormati individu dan masyarakat adil dan
makmur. Secara lebih spesifik bisa diuraikan sebagai berikut:
1) Kompas adalah lembaga pers yang bersifat umum dan terbuka.
89
Ibid, h. 4.
2) Kompas tidak melibatkan diri dalam kelompok-kelompok tertentu
baik politik, agama, sosial, atau golongan, ekonomi.
3) Kompas secara aktif membuka dialog dan berinteraksi positif
dengan segala kelompok.
4) Kompas adalah koran nasional yang berusaha mewujudkan aspirasi
dan cita-cita bangsa.
5) Kompas bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang
dikembangkan tetapi selalu memperhatikan konteks struktur
kemasyarakatan dan pemerintahan yang menjadi lingkungan.
b. Misi Kompas90
“Mengantisipasi dan merespon dinamika masyarakat secara
profesional, sekaligus memberi arah perubahan (trend setter) dengan
menyediakan dan menyebarluaskan informasi terpercaya”.
Kompas berperan serta ikut mencerdaskan bangsa, menjadi
nomor satu dalam semua usaha diantara usaha-usaha lain yang sejenis
dalam kelas yang sama. Hal tersebut dicapai melalui etika usaha bersih
dengan melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan lain. Hal
ini dijabarkan dalam 5 sasaran operasional:
1) Kompas memberikan informasi yang berkualitas dengan ciri:
cepat, cermat, utuh, dan selalu mengandung makna.
2) Kompas memiliki bobot jurnalistik yang tinggi dan terus
dikembangkan untuk mewujudkan aspirasi dan selera terhormat
90
Ibid.
yang dicerminkan dalam gaya kompak, komunikatif dan kaya
nuansa kehidupan dan kemanusiaan.
3) Kualitas informasi dan bobot jurnalistik dicapai melalui upaya
intelektual yang penuh empati dengan pendekatan rasional,
memahami jalan pikiran dan argumentasi pihak lain, selalu
berusaha mendudukan persoalan dengan penuh pertimbangan
tetapi tetap kritis dan teguh pada prinsip.
4) Berusaha
menyebarkan
informasi
seluas-luasnya
dengan
meningkatkan tiras.
5) Untuk dapat merealisasikan visi dan misi Kompas harus
memperoleh keuntungan dari usaha. Namun keuntungan yang
dicari bukan sekedar demi keuntungan itu sendiri tetapi
menjunjung kehidupan layak bagi karyawan dan pengembangan
usaha sehingga mampu melaksanakan tanggung jawab sosialnya
sebagai perusahaan.
c. Nilai-nilai Dasar Kompas91
Seluruh kegiatan dan keputusan harus berdasarkan dan
mengikuti nilai-nilai sebagai berikut:
1) Menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan
harkat dan martabatnya.
2) Mengutamakan watak baik.
3) Profesionalisme.
4) Semangat kerja tim.
91
Ibid, h.5-7.
5) Berorientasi pada kepuasan konsumen (pembaca, pengiklan, mitra kerjapenerima proses selanjutnya).
6) Tanggung jawab sosial.
7) Selanjutnya, kita bertingkah laku mengikuti nilai-nilai tersebut,
dengan begitu kita akan memberikan jasa yang memuaskan bagi
pelanggan.
3. Profil Pembaca92
Gambar 4: Profil Pembaca Kompas
92
Ibid.
A. Harian Republika
1. Sejarah Perusahaan93
Harian umum Republika yang terbit pada tahun 1993 merupakan
koran Islam yang berasosiasi dengan Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abadi Bangsa yang dipimpin oleh
mantan Menristek BJ Habibie. Nama Republika berasal dari ide Presiden
Soeharto, yang saat itu disampaikan saat beberapa pengurus ICMI Pusat
menghadap untuk menyampaikan rencana peluncuran harian umum
tersebut. Pada awalnya, harian ini akan diberi nama Republik.
Yayasan Abadi Bangsa, sebagai pengelola harian Republika,
mendapatkan SIUPP dari pemerintah, yakni Departemen penerangan RI
pada tanggal 19 Desember 1992, melalui dukungan ICMI. Perolehan
SIUPP Republika ini sangat mudah bila dibandingkan dengan media lain,
karena lima tahun terakhir menjelang Republika lahir pemerintah tidak
pernah mengeluarkan SIUPP baru. Hal ini berkaitan dengan pernyataan
Menteri Penerangan Harmoko bahwa SIUPP baru untuk harian umum
tidak akan dikeluarkan karena peredarannya sudah jenuh.
Motto pada waktu itu yang dicanangkan Republika adalah
“Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Maksud motto tersebut adalah untuk
mewujudkan media massa yang mendorong bangsa menjadi kritis dan
berkualitas. Namun pada tahun 2008, motto tersebut diubah menjadi
93
Lihat Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali (Yogyakarta: LKIS,
2007), h.199-200.
“Pegangan Kebenaran”.94 Tujuan Republika searah dengan tujuan ICMI
yang berdiri pada tanggal 7 Desember 1990, yaitu mewujudkan
penyebaran program ICMI ke seluruh bangsa melalui program 5K, yaitu
Kualitas Iman, Kualitas Hidup, Kualitas Karya, Kualitas Kerja, dan
Kualitas Pilar. Kehadiran harian ini membawa konsep baru dalam dunia
persuratkabaran di Indonesia. Di awal pembentukannya, Republika
dikelola oleh para jurnalis yang handal dan intelektual muslim modernis
yang ingin mempersiapkan masyarakat dalam era baru perkembangan
politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, dan budaya.
Oleh para penggagasnya harian Republika ini dimaksudkan sebagai
sarana untuk menyalurkan aspirasi sebagian besar rakyat Indonesia secara
proporsional dalam percaturan nasional baik di bidang politik, ekonomi,
sosial, maupun budaya. Mereka adalah rakyat yang tergolong lemah secara
ekonomi. Karena ekonominya lemah, kecil pula aksesnya pada sumbersumber informasi dan pusat-pusat pengambilan keputusan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, mereka sering di rugikan,
dan sering disebut the underdog. Sejak awal, koran ini telah berpihak pada
kepentingan mereka.95
Harian Republika merupakan harian yang “dekat” dengan
pemerintah saat itu. Kedekatan ini terlihat dari adanya beberapa menteri
kabinet yang menjadi anggota ICMI, seperti Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Wardjiman Joyonegoro, Menteri Perdagangan Satrio
Budiharjo, Menteri Perhubungan Harjanto Danutirto, dan Menteri
94
Lihat http//:www.republika.co.id
Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali, h.201.
95
Kesehatan Sujudi. Kedekatan Republika dengan pemerintah juga terlihat
dalam mudahnya Republika mendapatkan SIUPP yang selama ini sangat
sulit diperoleh.
Keberadaan Republika tidak bisa dipisahkan dari ICMI, organisasi
yang pernah menjadi mesin politik BJ Habibie, sebagai sponsor lain
Republika. Adanya orang-orang ICMI di Republika sampai saat ini,
menurut Zaim Uchrowi, tidak memengaruhi sikap jurnalistik Republika.
Asas keseimbangan berita senantiasa di jaga.
Sejak mulai terbit pada tanggal 4 januari 1993, oplah penjualan
Republika terus meningkat. Sepuluh hari sejak terbit, oplah Republika
sudah mencapai 100.000 eksemplar. Padahal rencana awal terbit hanya
diperkirakan sekitar 40.000 eksemplar per hari pada semester pertama
tahun 1993, berarti oplah Republika meningkat 2,5 kali lipat dari rencana
awal. Pada semester kedua, oplah Republika naik menjadi 130.000
eksemplar dan memasuki tahun kedua sudah meningkat menjadi 160.000
eksemplar per hari.96
2. Visi dan Misi Republika
a. Visi Republika97
Menjadikan HU Republika sebagai koran umat yang terpercaya
dan mengedepankan nilai-nilai universal yang sejuk, toleran, damai,
cerdas,
dan
profesional,
namun
mempunyai
prinsip
dalam
keterlibatannya menjaga persatuan Bangsa dan kepentingan umat
Islam yang berdasarkan pemahaman Rahmatan Lil Alamin.
96
Ibid, hal.202.
Data diakses pada 1 Juli 2008 dari http://www.republika.co.id.
97
b. Misi Republika98
1) Menciptakan dan menghidupkan sistem manajemen yang efisien
dan
efektif,
serta
mampu
dipertanggungjawabkan
secara
profesional.
2) Menciptakan budaya kerja yang sehat dan transparan.
3) Meningkatkan kinerja dengan menciptakan sistem manajemen
yang kondusif dan profesional.
4) Meningkatkan penjualan iklan dan koran, sementara menekan
biaya operasional ( a.l. dengan memiliki Mesin Cetak ).
5) Memprioritaskan pengembangan pemasaran HU Republika di
jabodetabek, tanpa harus mematikan di daerah yang sudah ada.
6) Merajut tali persaudaraan dengan organisasi Islam di Indonesia.
7) Bekerjasama dengan mitra usaha di dalam pengembangan pasar
HU Republika di luar pulau Jawa.
8) Mengamati peluang pengembangan "Koran Komunitas" seperti
misalnya "Bintaro Pos", "Depok Pos", "Bekasi Pos" atau jenis
koran lainnya.
9) Mengelola Kantor Perwakilan sebagai "semi otonomi".
10) Menjadikan PT Republika Media Mandiri sebagai "sister
company" yang sehat.
11) Menjadikan HU Republika sebagai koran # ONE.
98
Ibid.
c. Profil Pembaca99
Profil pembaca Harian Umum Republika ditampilkan dengan
susunan yang terdiri dari :
Gambar 5: Jenis Kelamin Pembaca Republika
Gambar 6: Mayoritas Pembaca Republika
99
Ibid.
Gambar 7: Profesi Pembaca Republika
Gambar 8: Sebaran Pembaca Republika
Gambar 9: Grup Media Republika
BAB IV
ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL
MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN
REPUBLIKA
A. Isu/Peristiwa 1: Dikotomi Islam dan Nasionalis
Baitul Muslimin Indonesia dideklarasikan pada 29 Maret 2007 oleh PDI-P.
Penggagasnya adalah Taufik Kiemas serta dibantu oleh pimpinan Muhammadiyah
dan NU. Pengurus Baitul Muslimin Indonesia tidak hanya berasal dari kaum
muslim PDI-P, banyak juga kaum muslim yang datang dari luar partai.
Lahirnya Baitul Muslimin Indonesia di dalam partai nasionalis seperti
PDI-P, menandakan bahwa isu yang selama ini mengganggu hubungan antara
Islam dan nasionalis akan segera mencair. Isu dikotomi Islam dan nasionalis
mencuat karena masih ada beberapa kalangan yang mempertentangkan seseorang
atau kelompok berdasarkan golongan-golongan tertentu, seperti golongan Islam
dan nasionalis.
Di dalam tubuh PDI-P, isu dikotomi Islam dan nasionalis telah terdengar
sejak lama. PDI-P sering diidentikan dengan partai nasionalis yang sekuler,
karena pengurusnya banyak yang berasal dari kalangan non-muslim dan jarang
membawa simbol keagamaan. Sementara pengurusnya yang muslim sering
disebut sebagai muslim abangan karena dinilai kurang relijius.
Menurut Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Baitul Muslimin
Indonesia, Cholid Ghozali, tujuan internal dibentuknya Baitul Muslimin Indonesia
harus sejalan dengan tujuan PDI-P. Dalam konteks ini, menjadi kewajiban Baitul
Muslimin Indonesia untuk dapat memaknai asas kebangsaan seperti nasionalisme
sesuai dengan cara pandang yang religius dan Islami. Sejalan dengan ini, Baitul
Muslimin Indonesia dituntut untuk meningkatkan kualitas keIslaman bagi semua
pemeluk Islam di dalam tubuh PDI-P, sehingga pada gilirannya partai ini harus
dapat dicitrakan sebagai partai kebangsaan yang religius.100
Bagaimana media memaknai pembentukan Baitul Muslimin Indonesia?
Apakah media memandang lahirnya Baitul Muslimin Indonesia akan bisa
menghapus isu dikotomi Islam dan nasionalis. Ataukah malah memandang
sebaliknya. Kita akan melihat bagaimana peristiwa ini ditulis oleh media dengan
pandangan atau frame media masing-masing.
1. Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis
(Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan).
Satu hari setelah pendeklarasian Baitul Muslimin Indonesia,
Kompas menurunkan berita mengenai pembentukan Baitul Muslimin
Indonesia (tanggal 30 Maret 2007), dengan judul “Baitul Muslimin: Babak
Baru Gerakan Islam”. Dalam pandangan Kompas, pembentukan Baitul
Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P dapat menjadi titik temu yang sinergis
antara Islam dan nasionalis. Pandangan semacam ini akan terlihat dari
bagaimana Kompas melakukan strategi wacana tertentu dalam berita untuk
mendukung gagasannya.
Dari analisis sintaksis, headline atau judul yang ditampilkan oleh
Kompas menunjukan respon positif atas lahirnya Baitul Muslimin
Indonesia. Hal ini juga dapat dilihat dari lead yang diturunkan Kompas:
100
Lihat Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah
Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan:
Edisi Buletin Jumat Baitul Muslimin (Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008), h. 1.
Gerakan Islam bisa memasuki babak baru dengan mendorong
lahirnya mitra strategis organisasi massa Islam, Baitul Muslimin
Indonesia, yang menjadi sayap Islam Partai Demokrasi Indonesia
perjuangan. Gerakan ini harus menjadi gerakan yang berkemajuan
dengan ciri mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Ini yang bisa
menjadi titik temu gerakan Islam dan PDI-P yang di kenal sebagai
kelompok nasionalis.
Lead ini menunjukan bahwa lahirnya Baitul Muslimin Indonesia
dapat menjadi babak baru bagi gerakan Islam. Dengan lead ini, Kompas
terlihat mendukung gerakan Islam yang memunculkan organisasi Islam
sayap seperti Baitul Muslimin Indonesia. Dukungan tersebut terlihat dari
pandangan yang mengharapkan agar gerakan Islam (pembentukan Baitul
Muslimin Indonesia) dapat menjadi sebuah gerakan yang maju, sehingga
dengan begitu akan bisa menjadi titik temu antara gerakan Islam dengan
PDI-P yang dikenal sebagai kelompok nasionalis.
Dalam
teks
berita
tersebut,
Kompas
mewawancarai
tiga
narasumber, yaitu Din Syamsuddin, KH Hasyim Muzadi, dan Megawati
Soekarno Putri. Ketiganya mendukung pembentukan Baitul Muslimin
Indonesia dan mencoba mencarikan titik temu antara Islam dan nasionalis.
Sementara itu, tidak terdapat wawancara dengan tokoh yang tidak
mendukung pembentukan Baitul Muslimin Indonesia, maupun yang setuju
dengan dikotomi Islam nasionalis. Dengan demikian, bisa dilihat bila teks
Kompas secara umum berisi tentang tiga pandangan tokoh yang
mendukung pembentukan Baitul Muslimin Indonesia dan menganggap
dikotomi Islam dengan nasionalis sudah tidak relevan.
Sekarang kita akan melihat bagaimana Kompas menyusun kutipan
wawancara terhadap sumber itu di dalam teks. Dalam berita tersebut,
terdapat tiga sumber Kompas. Din Syamsuddin, selaku Ketua Umum PP
Muhammadiyah, KH Hasyim Muzadi, selaku Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan Megawati Soekarno Putri, selaku
Ketua Umum PDI-P. Pemilihan ketiga sumber tersebut dapat dimaknai
bahwa Kompas ingin menunjukan bila isu dikotomi Islam dan nasionalis
memang sudah tidak relevan karena telah mendapat legitimasi dari tokoh
Islam dan nasionalis. Kalangan Islam tersebut diwakili oleh pemimpin
ormas terbesar Indonesia, Din Syamsuddin dan Hasyim Muzadi serta
kalangan nasionalis diwakili oleh Megawati Soekarno Putri.
Komentar ketiga sumber di atas oleh Kompas disusun menjadi
lima paragraf yang berurutan. Tiga paragraf pertama dimulai dari
pandangan Islam yaitu dari Din Syamsuddin dan Hasyim Muzadi serta dua
paragraf terakhir dari pandangan nasionalis, yaitu Megawati Soekarno
Putri.
“Baitul Muslimin bisa jadi mitra strategis ormas Islam dalam
pencerahan rakyat,”ujar Din.
Menurut Din, Muhammadiyah memerintahkan anggotanya agar
tak menelantarkan fakir miskin dan yatim piatu. “Celakalah mereka
apabila shalat yang dilakukan tak fungsional atau tak memberikan
pembelaan kepada kaum duafa, atau dalam bahasa PDI-P disebut kaum
marhaen,” ujarnya.
Sebelumnya, Hasyim mengatakan, BMI adalah wujud nyata
dari sublimasi Islam Indonesia. Islam yang kental dengan semangat
nasionalis dan kultur Indonesia. “Dikotomi Islam dan nasionalis menjadi
tidak relevan lagi untuk konteks Indonesia,” ujarnya.
Megawati mengatakan, BMI adalah bukti sejarah yang
memperlihatkan konsistensi PDI-P mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan memperjuangkan kepentingan kaum marhaen
atau duafa.
“Baitul Muslimin secara harfiah berarti rumah bagi kaum
Muslim. Penamaan ini sangat dalam artinya bagi PDI-P,” ungkap
Megawati.
Sementara dari segi skrip, cara wartawan mengisahkan peristiwa
tersebut sudah cukup lengkap. Itu bisa dilihat dari kelengkapan pendapat
narasumber, apa pendapatnya (what), siapa yang berpendapat mengenai
hal itu (who), mengapa mereka seperti itu (why), kapan dan di `mana
persitiwa tersebut berlangsung (when)-(where), serta bagaimana detail
pendapat mereka (how). Dengan cara seperti itu, Kompas ingin
menekankan kepada khalayak bahwa argumen dari tokoh Islam dan
nasionalis sama-sama benar dan kuat.
Dari struktur tematik, berita itu membawa tiga tema besar yang
ingin ditampilkan khalayak. Pertama, pembelaan terhadap kaum duafa
oleh pihak Islam dan pemihakan kaum marhaen oleh pihak nasionalis
merupakan titik temu antara Islam dan nasionalis. Pendapat tersebut
merupakan argumen yang dipakai oleh Din Syamsuddin dan Megawati
Soekarno Putri untuk menekankan bahwa sebenarnya di dalam Islam dan
nasionalis terdapat titik temu yang saling sinergis.
Tema tersebut disusun dengan begitu jelas. Sehingga elemen
wacana detail terpenuhi di dalam teks. Detail tema terletak pada
penjelasan mengenai titik temu antara Islam dan nasionalis yang dituliskan
dengan memberikan contoh kongkrit. Dengan cara penulisan seperti itu,
khalayak diajak berpikir bahwa pendapat kedua tokoh tersebut memang
benar sesuai dengan realita. Teks tersebut dituliskan sebagai berikut:
Menurut Din, Muhammadiyah memerintahkan anggotanya agar
tak menelantarkan fakir miskin dan yatim piatu. “Celakalah mereka
apabila shalat yang dilakukan tak fungsional atau tak memberikan
pembelaan kepada kaum duafa, atau dalam bahasa PDI-P disebut kaum
marhaen,” ujarnya.
Tema kedua, dikotomi Islam dan nasionalis sudah menjadi tidak
relevan lagi untuk konteks Indonesia. Tema ini dapat di lihat dari kutipan
atas sumber Hasyim Muzadi. Hasyim Muzadi mendasarkan pada
kenyataan bahwa Islam sangat kental dengan semangat nasionalis dan
kultur Indonesia. Sehingga isu dikotomi Islam dan nasionalis yang selama
ini menjadi perdebatan di Indonesia harus segera diakhiri. Tema tersebut
dijelaskan dengan detail oleh Kompas dengan menggunakan kata “untuk
konteks Indonesia”.
Tema ketiga, pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan
konsistensi PDI-P dalam memperjuangkan NKRI dan memperjuangkan
kaum marhaen atau duafa. Artinya, dengan terbentuknya Baitul Muslimin
Indonesia di tubuh PDI-P maka akan bisa menjadi titik temu antara Islam
dan nasional. Perangkat framing yang digunakan dalam tema tersebut
adalah kata sambung “dan”. Dengan penulisan seperti itu, Kompas ingin
menjelaskan bahwa keduanya saling terkait antara kalimat satu dengan
lainnya.
Frame Kompas yang menyatakan terdapat titik temu antara Islam
dan nasionalis juga didukung oleh penekanan-penekanan aspek retoris.
Retorika yang dipakai adalah pemberian label strata ekonomi, yakni
sebutan “duafa” bagi kaum Islam dan sebutan “marhaen” bagi kaum
nasionalis. Klaim tersebut ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya
memang terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Yakni keduanya
sama-sama ingin membela dan memperjuangkan kaum marjinal, dalam
hal ini kaum duafa atau marhaen.
Selain itu terdapat label otoritas ketokohan, yakni terdapat katakata “Ketua PP Muhammadiyah” pada Din Syamsuddin, “Ketua PBNU”
pada Hasyim Musyadi, dan “Ketua Umum” pada Megawati Soekarno
Putri. Otoritas ketokohan tersebut digunakan untuk memberikan
pembenaran bahwa pada dasarnya dikotomi Islam dan nasionalis sudah
ditolak oleh tokoh Islam dan nasionalis itu sendiri.
Tabel 2: Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan
Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan)
Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis
(Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan)
Elemen
Strategi Penulisan
Skematis Wawancara terhadap tokoh Islam dan nasionalis yang menyatakan
bahwa terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Kompas
menempatkan pendapat dari kedua tokoh tersebut secara berurutan.
Dimulai dari pendapat tokoh Islam, kemudian baru tokoh nasionalis.
Dalam teks, tidak terdapat wawancara terhadap tokoh yang menolak
pembentukan Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P.
Skrip
Pendapat tokoh Islam maupun nasionalis ditempatkan saling
melengkapi dalam posisi yang setara. Pendapat satu tidak ditempatkan
lebih utama dibanding pendapat lain. Argumentasi tokoh menunjukan
titik temu antara Islam dan nasionalis.
Tematik (1) pembelaan terhadap kaum duafa oleh pihak Islam dan pemihakan
terhadap kaum marhaen oleh pihak nasionalis merupakan titik temu
antara Islam dan nasionalis; (2) dikotomi Islam dan nasionalis sudah
tidak relevan untuk konteks Indonesia; (3) pembentukan Baitul
Muslimin Indonesia merupakan konsistensi PDI-P dalam
memperjuangkan NKRI dan memperjuangkan kaum marhaen/duafa.
Retoris
Pemberian label strata ekonomi (duafa, marhaen) dan pemberian label
otoritas jabatan dari para tokoh Islam dan nasionalis untuk
mendukung gagasan.
2. Frame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus Dihapuskan
Satu hari setelah hari ulang tahun Baitul Muslimin Indonesia yang
pertama, Republika menurukan berita (tanggal 8 Mei 2008), dengan judul,
“Dikotomi Nasionalis-Agamis Harus Dicairkan”. Dalam pandangan
Republika, dengan hadirnya Baitul Muslimin Indonesia, maka dikotomi
Islam dan nasionalis harus segera dihapuskan. Pandangan Republika
tersebut dapat terlihat dari wacana berita yang dibuatnya.
Dari segi sintaksis, judul di atas dapat menunjukan pandangan dari
Republika yang secara tegas menolak dikotomi Islam dan nasionalis.
Penolakan itu dapat dilihat dari kata “dicairkan” yang mempunyai makna
sama dengan “dihapuskan”. Selain itu, Republika mengganti kata “Islam”
dengan kata “agamis” dalam judul maupun isi keseluruhannya. Ini bisa
diartikan bahwa bukan Islam saja yang harus di pertentangkan, melainkan
seluruh agama pun bisa terkena isu dikotomi.
Judul tersebut diperkuat dengan lead, yang menambahkan kalimat
tentang dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Argumen
tersebut dapat memperkuat pandangan Republika yang memandang isu
tentang dikotomi Islam dan nasionalis. Seperti berikut Republika
menampilkan lead-nya :
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin,
mengatakan, dikotomi nasionalis dan agamis harus bisa segera dicairkan.
Apalagi banyak kenyataan yang membuktikan ketaatan kaum nasionalis
sering lebih baik dari golongan agamis.
Di dalam teksnya, Republika mewawancarai seorang tokoh islam,
yakni ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Tokoh Islam tersebut
mendukung tentang penghapusan dikotomi Islam dan nasionalis.
Sedangkan tokoh dari kaum dari nasionalis tidak ada yang diwawancarai
sehubungan dengan isu ini.
Pernyataan tersebut disusun dari awal paragraf sampai akhir
paragraf. Semua komentarnya pada dasarnya mengerucut pada satu
pandangan, yaitu menolak dikotomi Islam dan nasionalis. Cara menyusun
berita seperti ini menunjukan, bahwa pendapat tokoh Islam tersebut
mewakili pandangan Republika.
Sementara struktur skrip-nya, sudah sesuai dengan unsur 5W+1H.
Pendapat dari tokoh Islam yang menolak dikotomi Islam telah di
tampilkan dengan lengkap. Antara lain dengan menjabarkan mengenai
hubungan yang harmonis antara Islam dan nasionalis, dalam hal ini
Muhammadiyah, Baitul Muslimin Indonesia dan PDI-P. Dengan
demikian, telah mewakili pandangan dari Republika.
Dari struktur tematiknya, wacana mengenai dikotomi Islam dan
nasionalis harus dihapuskan, mengandung lima tema besar. Tema
pertama, dikotomi Islam dan nasionalis harus segera dicairkan karena
banyak kenyataan membuktikan bahwa ketaatan kaum nasionalis lebih
baik dari golongan agamis. Pernyataan dari Din Syamsuddin ini dibuat
dengan tujuan agar khalayak pembaca mengerti maksud dari pandangan
yang ingin disampaikan Republika. Hal itu bisa dilihat dari keadaan fakta
di lapangan yang banyak membuktikan bila ketaatan seseorang tidak bisa
dilihat dari luarnya.
Tema kedua, terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis.
Dengan terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis, misalnya pada
pemihakan terhadap kaum duafa atau marhaen, maka isu dikotomi Islam
dan nasionalis agar segera dihapuskan. Pernyataan tersebut merupakan
komentar
dari
Din
Syamsuddin.
Berita
tersebut
sangat
detail
penjabarannya, sebab memberikan penjelasan mengenai titik temunya,
yakni dalam persamaan pembelaan terhadap kaum marhaen atau duafa.
Seperti yang tertera dalam kutipan berikut:
“Jadi memang ada titik temu antara nasionalis dan agamis. Bung
karno menyebut golongan marginal sebagai marhaenis, dalam Islam
disebut kaum dhuafa. Untuk itu, memperjuangkan kaum marhaen
berarti juga memperjuangkan kaum dhuafa,” kata Din pada acara
hari ulang tahun Baitul Muslimin Indonesia (BMI), di Kantor DPP PDI
Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (7/5).
Tema ketiga, sebagian besar pendukung PDI-P adalah umat
muslim. Tema ini didukung oleh kutipan dari Din Syamsuddin. Pandangan
tersebut, mengandung arti bahwa PDI-P yang nasionalis, identik dengan
Islam karena pendukungnya mayoritas berasal dari kalangan muslim.
Pandangan tersebut mengandung nominalisasi, karena begitu banyak
jumlah umat Islam yang mendukung PDI-P.
Tema keempat, dengan hapusnya dikotomi Islam dan nasionalis
maka keutuhan bangsa akan bisa terus terjaga. Dalam hal ini, Baitul
Muslimin Indonesia sebagai sayap partai nasionalis mempunyai peran
strategis untuk memelihara bangsa yang majemuk. Teks tersebut
mempunyai maksud yang jelas, yakni menjelaskan hubungan sebab akibat.
Dimana, bila ingin bangsa utuh maka dikotomi Islam dan nasionalis harus
dihapuskan.
Tema kelima, kehadiran PDI-P sebagai sayap PDI-P dapat
memperkaya khazanah pembinaan umat Islam di Indonesia. Pandangan
tersebut ingin menegaskan kepada khayalak bahwa organisasi sayap Islam
mempunyai peran penting untuk pembinaan umat di Indonesia.
Dari struktur retoris yang digunakan, Republika menampilkan
sebuah foto untuk mencerminkan pandangannya. Di dalam foto tersebut
terdapat para tokoh dari kedua pihak, baik Islam maupun nasionalis
sedang berjabat tangan. Foto itu bermakna, bila isu dikotomi Islam dan
nasionalis kini sudah cair.
Tabel 3: Frame Republika: Dikotomi Islam & Nasionalis Harus Dihapuskan
Frame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus Dihapuskan
Elemen
Strategi Penulisan
Skematis Wawancara terhadap tokoh Islam yang menyatakan bahwa dikotomi
Islam dan nasionalis harus dihapuskan. Republika hanya
menempatkan pendapat tokoh Islam didalam teks. Sementara tidak
ada yang wawancara terhadap pihak nasionalis. Pendapat tokoh
tersebut dijabarkan secara eksplisit dari awal hingga akhir paragraf.
Skrip
Pendapat tokoh Islam yang berpandangan bila dikotomi Islam dan
nasionalis harus dihapuskan, diuraikan dengan lengkap. Dari
pandangan tersebut, khalayak diajak berpikir ke arah yang sama.
Tematik (1) dikotomi Islam dan nasionalis harus segera dicairkan karena
banyak kenyataan membuktikan bahwa ketaatan kaum nasionalis
lebih baik dari golongan agamis; (2) terdapat titik temu antara Islam
dan nasionalis, yaitu pada pemihakan terhadap kaum duafa atau
marhaen; (3) sebagian besar pendukung PDI-P adalah umat muslim;
(4) dengan hapusnya dikotomi Islam dan nasionalis maka keutuhan
bangsa akan bisa terus terjaga; (5) kehadiran Baitul Muslimin
Indonesia sebagai sayap PDI-P dapat memperkaya khazanah
pembinaan umat Islam di Indonesia.
Retoris
Pencantuman foto untuk mencerminkan pandangannya. Di dalam foto
tersebut terdapat para tokoh dari kedua pihak, baik Islam maupun
nasionalis sedang berjabat tangan.
3. Perbandingan Frame
Setelah Baitul Muslimin Indonesia dideklarasikan pada 29 Maret
2007 oleh PDI-P, perbincangan mengenai isu dikotomi Islam dan
Nasionalis kembali mencuat di jagad politik tanah air. Perdebatan
mengenai isu dikotomi Islam dan nasionalis ini kemudian ditanggapi oleh
para tokoh, baik dari pihak Islam maupun nasionalis. Para tokoh tersebut
memberikan pandangannya masing-masing. Mereka perpandangan bila
pasca didirikannya Baitul Muslimin Indonesia, maka dikotomi harus
segera dihilangkan, karena Isu tersebut telah menjadi kontraproduktif
untuk konteks Indonesia.
Media mempunyai strategi wacana tersendiri dalam memaknai
peristiwa tersebut. Frame itu menentukan bagaimana fakta diambil,
dilakukan, bagaimana hasil wawancara diperlakukan, bagaimana ia ditulis
dan ditempatkan dalam halaman surat kabar.
Kompas memandang bila terbentuknya Baitul Muslimin Indonesia
di tubuh PDI-P bisa menjadi titik temu antara Islam dan nasionalis. Yang
menjadi acuan Kompas adalah pendapat dari para tokoh Islam dan
nasionalis yang menyatakan bahwa terdapat titik antara Islam dan
nasionalis. Titik temu tersebut ditunjukan dengan pemberian label strata
ekonomi (duafa, marhaen). Citra yang ingin ditampilkan kepada publik
adalah dengan lahirnya Baitul Muslimin Indonesia maka isu dikotomi
Islam dan nasionalis menjadi tidak relevan lagi. Jadi bisa dilihat, bila
Kompas tidak secara langsung mengemukakan bahwa Isu dikotomi Islam
dan nasionalis harus dihapuskan, melainkan mengemukakan pandangan
dari kedua tokoh, baik Islam maupun nasionalis tentang titik temu Islam
dan nasionalis baru kemudian mengambil kesimpulan bahwa dikotomi
Islam dan nasionalis sudah tidak relevan lagi untuk konteks Indonesia.
Sementara Republika memandang bahwa dikotomi Islam dan
nasionalis harus segera dicairkan atau dengan kata lain harus dihapuskan.
Acuannya adalah tokoh Islam yang menyatakan bahwa terdapat titik temu
antara Islam dan nasionalis. Titik temu tersebut ditunjukan dengan
pemakain label strata ekonomi (duafa, marhaen) dan pencantuman foto
tokoh Islam dan nasionalis yang sedang berjabat tangan. Citra yang ingin
ditampilkan kepada publik adalah dengan lahirnya Baitul Muslimin
Indonesia maka isu dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan.
Dengan demikian, Republika terlebih dahulu menyampaikan
gagasannya tentang isu dikotomi Islam dan nasionalis yang harus
dihapuskan, baru kemudian memaparkan pendapat dari tokoh Islam yang
menyatakan bahwa terdapat titik temu antara Islam dan nasionalis. Dalam
peristiwa ini Republika hanya mengambil pendapat dari pihak Islam dan
tidak memasukan pendapat dari pihak nasionalis.
Tabel 4: Dikotomi Islam dan Nasionalis: Perbandingan Frame Kompas dan
Republika.
Elemen
Frame
Kompas
Terdapat Titik Temu Antara
Islam
dan
Nasionalis
(Dikotomi Islam dan Nasionalis
Tidak Relevan)
Skematis Wawancara terhadap tokoh Islam
dan nasionalis yang menyatakan
bahwa terdapat titik temu antara
Islam dan nasionalis. Kompas
menempatkan pendapat dari
kedua tokoh tersebut secara
berurutan. Dimulai dari pendapat
tokoh Islam, kemudian baru
tokoh nasionalis. Dalam teks,
tidak
terdapat
wawancara
terhadap tokoh yang menolak
pembentukan Baitul Muslimin
Indonesia di tubuh PDI-P.
Skrip
Pendapat dari kedua tokoh, baik
Islam
maupun
nasionalis
ditempatkan saling melengkapi,
saling menanggapi dalam posisi
yang setara. Pendapat satu tidak
ditempatkan
lebih
utama
dibanding
pendapat
lain.
Argumentasi
kedua
tokoh
menunjukan titik temu antara
Islam dan nasionalis.
Tematik (1) pembelaan terhadap kaum
Republika
Dikotomi Islam dan
Harus Dihapuskan
Nasiona
Wawancara terhadap tokoh Islam
yang menyatakan bahwa dikotomi
Islam dan nasionalis harus
dihapuskan. Republika hanya
menempatkan pendapat tokoh
Islam didalam teks. Sementara
tidak ada yang wawancara
terhadap
pihak
nasionalis.
Pendapat tokoh tersebut dijabarkan
secara eksplisit dari awal hingga
akhir paragraf
Pendapat tokoh Islam yang
berpandangan bila dikotomi Islam
dan nasionalis harus dihapuskan,
diuraikan secara lengkap. Dari
pandangan tersebut, khalayak
diajak berpikir ke arah yang sama.
(1) dikotomi Islam dan nasionalis
duafa oleh pihak Islam dan
pemihakan
terhadap
kaum
marhaen oleh pihak nasionalis
merupakan titik temu antara Islam
dan nasionalis; (2) dikotomi Islam
dan nasionalis sudah tidak relevan
untuk konteks Indonesia; (3)
pembentukan Baitul Muslimin
Indonesia merupakan konsistensi
PDI-P dalam memperjuangkan
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia dan memperjuangkan
kaum marhaen atau duafa.
Retoris
Pemberian label strata ekonomi
(duafa, marhaen) dan pemberian
label otoritas jabatan dari para
tokoh Islam dan nasionalis untuk
mendukung gagasan.
harus segera dicairkan karena
banyak kenyataan membuktikan
bahwa ketaatan kaum nasionalis
lebih baik dari golongan agamis;
(2) terdapat titik temu antara Islam
dan
nasionalis,
yaitu
pada
pemihakan terhadap kaum duafa
atau marhaen; (3) sebagian besar
pendukung PDI-P adalah umat
muslim; (4) dengan hapusnya
dikotomi Islam dan nasionalis
maka keutuhan bangsa akan bisa
terus terjaga; (5) kehadiran Baitul
Muslimin Indonesia sebagai sayap
PDI-P
dapat
memperkaya
khazanah pembinaan umat Islam
di Indonesia.
Pencantuman
foto
untuk
mencerminkan pandangannya. Di
dalam foto tersebut terdapat para
tokoh dari kedua pihak, baik Islam
maupun nasionalis sedang berjabat
tangan.
B. Isu/Peristiwa 2: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P.
Kehadiran organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia membawa angin
baru bagi PDI-P. Sejak awal berdirinya, PDI-P tidak pernah membawa perangkat
keagamaan ke dalam tubuh organisasi. Tetapi kini keadaan berubah, PDI-P mulai
merubah kebijakannya. Ini dibuktikan dengan dibentuknya organisasi sayap
partai, Baitul Muslimin Indonesia.
Menurut Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Baitul Muslimin, Cholid
Ghozali, tujuan eksternal dibentuknya Baitul Muslimin Indonesia harus sejalan
dengan tujuan PDI-P. Sebagai contoh, bilamana PDI-P memandang bahwa
memenangkan Pemilu dan Pilpres 2009 merupakan tujuan strategisnya, maka
Baitul Muslimin harus berjuang keras dalam mendukung kemenangan PDI-P
itu.101
Dalam tingkat yang paling praktis, dengan tujuan eksternalnya ini Baitul
Muslimin harus dapat merangkul semua eksponen Islam yang selama ini berada di
luar PDI-P untuk bersama-sama memberikan andil bagi kemenangan PDI-P.
Dengan kata lain, peran Baitul Muslimin Indonesia sangat penting dan dibutuhkan
bagi PDI-P kedepan.
Lalu bagaimana media memandang peristiwa ini? Apakah media
memandang keberadaan Baitul Muslimin Indonesia bisa digunakan PDI-P untuk
mendukung PDI-P dalam mendulang suara di Pemilu 2009. Ataukah media
memandang sebaliknya. Mari kita lihat bagaimana media membingkai peristiwa
ini sesuai dengan frame nya masing-masing.
1. Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung Kemenangan
PDI-P dalam pemilu.
Pada saat Baitul Muslimin Indonesia menyelenggarakan Rakernas
I di Kantor DPP PDI-P di Lenteng Agung Jakarta Selatan, Kompas
menurunkan berita tentang Baitul Muslimin Indonesia (tanggal 25 Agustus
2008) dengan judul “Baitul Muslimin Siap Menangkan PDI-P”. Dalam
pandangan Kompas Baitul Muslimin Indonesia siap mendukung
kemenangan PDI-P dalam Pemilu 2009. Pandangan tersebut akan terlihat
dari bagaimana Kompas melakukan strategi wacana dalam berita.
Dari segi sintaksis, judul yang dipakai jelas merupakan pandangan
dari Kompas. Judul tersebut bermakna bahwa Rakernas yang digelar oleh
101
Ibid, hal. 1.
Baitul Muslimin Indonesia mempunyai agenda besar, yaitu memenangkan
PDI-P dalam Pemilu 2009. Dalam berita tersebut, Kompas mewawancarai
Taufik Kiemas dan Hamka Haq. Dalam pandangan kedua sumber tersebut
terlihat bahwa Baitul Muslimin sudah siap mendukung kemenangan PDI-P
dalam Pemilu 2009.
Pandangan Kompas juga dapat dilihat dari caranya menyusun
kutipan wawancara. Di dalam teks, yang menjadi narasumber wawancara
adalah Taufik Kiemas dan Hamka Haq. Kedua narasumber yang
diwawancara menempatkan posisi Baitul Muslimin Indonesia sebagai
salah satu unsur yang bisa memenangkan PDI-P dalam Pemilu. Hal itu
bisa dilihat dari komentar Taufik Kiemas yang mengharapkan Baitul
Muslimin untuk terus bekerja keras dalam mendukung kemenangan dan
memperbaiki citra PDI-P.
Serta komentar dari Hamka Haq yang mengharapkan kerjasama
anggota Baitul Muslimin Indonesia untuk memenangkan PDI-P.
Pandangan dari pimpinan Baitul Muslimin ditempatkan dalam teks karena
untuk menunjukan kepada khalayak bahwa pandangan tersebut memang
mempunyai keabsahan.
Dari struktur skrip, Kompas memberikan pandangannya melalui
pendapat dari masing-masing sumber, dalam hal ini Taufik Kiemas dan
Hamka Haq, yang mengharapkan agar Baitul Muslimin Indonesia
mendukung PDI-P dalam Pemilu.
Dalam teks, terdapat empat tema yang ingin ditampilkan kepada
khalayak. Pertama, sebagai persiapan untuk menangkan PDI-P, Baitul
Muslimin Indonesia gelar Rakernas. Kegiatan dalam Rakernas di jelaskan
dengan begitu detail oleh Kompas di dalam teks.
Tema kedua, PDI-P tidak akan sebesar pada saat ini, jika tidak
didukung oleh Baitul Muslimin Indonesia, termasuk kemenangan PDI-P
dan Megawati sebagai capresnya dalam pemilu mendatang. Pernyataan itu
merupakan komentar dari Taufik Kiemas. Komentar tersebut bermaksud
menegaskan bahwa dukungan Baitul Muslimin Indonesia sangat
diperlukan untuk kemenangan PDI-P.
Tema ketiga, Baitul Muslimin dibentuk untuk memperbaiki citra
PDI-P. Pandangan tersebut dijelaskan dengan cukup detail, karena
menjelaskan keadaaan citra sebelumnya yang kurang baik. Antara lain
seperti kutipan dibawah ini.
Taufik juga mengingatkan peserta, selain berdasarkan pada
kebutuhan masyarakat, Baitul Muslimin dibentuk untuk memperbaiki
citra PDI-P yang hingga 20666 dinilai sebagai partai preman, partai
non-Islam, dan partai yang berisi orang-orang komunis. “Kini citra
PDI-P sebagai partai kaum nasionalis sudah terbentuk,” ungkap Taufik.
Tema keempat, semangat kegotongroyongan harus dipupuk terus
oleh anggota Baitul Muslimin Indonesia untuk menangkan pemilu 2009.
Dengan pengharapan tersebut dapat menunjukan kepada khalayak tentang
pandangan yang ingin disampaikan.
Dari segi retoris, terdapat kata dan ungkapan yang menunjukan
pandangan yang ingin disampaikan. Antara lain terdapat dalam kalimat
“Mengukuhkan Islam Rahmah Menuju Kemenangan Pemilu 2009”.
Ungkapan tersebut menggabungkan dalil keagamaan dengan unsur
dukungan. Dalil keagamaan ditunjukan dengan kata “Islam rahmah”
sedangkan kan unsur dukungan ditunjukan dengan kata “Menuju
Kemenangan PDI-P”.
Tabel 5: Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung
Kemenangan PDI dalam Pemilu.
Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung Kemenangan PDIdalam Pemilu.
Elemen
Strategi Penulisan
Skematis Memosisikan Baitul Muslimin Indonesia sebagai organisasi sayap
yang siap mendukung kemenangan PDI-P. Selain itu menempatkan
pendapat dari para pimpinan Baitul Muslimin Indonesia yang
menyatakan bahwa Baitul Muslimin mendukung kemenangan PDI-P
dalam pemilu.
Skrip
Penekanan hanya pada dukungan kemenangan, tetapi tidak dijelaskan
secara rinci mengenai langkah-langkah apa yang digunakan untuk
mencapai kemenangan tersebut.
Tematik (1) sebagai persiapan untuk menangkan PDI-P, Baitul Muslimin
Indonesia gelar rakernas; (2) PDI-P tidak akan sebesar pada saat ini,
jika tidak didukung oleh Baitul Muslimin Indonesia, termasuk
kemenangan PDI-P dan Megawati sebagai capresnya dalam pemilu
mendatang; (3) Baitul Muslimin dibentuk untuk memperbaiki citra
PDI-P; (4) semangat kegotongroyongan harus dipupuk terus oleh
anggota Baitul Muslimin Indonesia untuk menangkan pemilu 2009.
Retoris
Pemberian dalil kegamaan untuk mendukung gagasan, yaitu dengan
memakai kalimat “Mengukuhkan Islam Rahmah Menuju Kemenangan
Pemilu 2009”.
2. Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra
Lewat Baitul Muslimin Indonesia.
Dua hari setelah pertemuan salah seorang Pengurus Pusat Baitul
Muslimin Indonesia dengan Pengurus Daerah Baitul Muslimin Indonesia
Sumatra Utara di Medan, Republika menurunkan berita (tanggal 5
November 2007) dengan judul, “PDIP Ingin Ubah Citra”. Menurut
Pandangan Republika, peran Baitul Muslimin Indonesia sangat membantu
dalam memperbaiki citra dan mendukung kemenangan PDI-P. Kita akan
melihat gagasan tersebut dari bagaimana Republika membuat strategi
wacana dalam berita.
Dari struktur sintaksis, judul tersebut merupakan pandangan dari
Republika, yang mengandung makna bahwa PDI-P akan memperbaiki
citranya yang negatif. Hal ini, juga dapat dilihat dari cara Republika
membuat lead.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saat ini terus
berusaha memperbaiki berbagai citra negatif, yang dinilai memberi
sumbangan besar terhadap merosotnya perolehan suara dalam pemilihan
umum. Salah satu caranya adalah melalui sayap partai Baitul Muslimin
Indonesia.
Lead diatas menunjukan bahwa Baitul Muslimin Indonesia
mempunyai pengaruh besar bagi PDI-P. Sebab dengan lahirnya Baitul
Muslimin Indonesia, citra PDI-P yang selama ini negatif bisa diperbaiki
lewat organisasi sayap partainya tersebut. Dengan terbentuknya citra yang
baru, maka akan memberi manfaat bagi PDI-P dalam menghadapi Pemilu.
Dari segi latar pun terlihat, bila maksud berita tersebut ingin
menunjukan kepada khalayak bahwa PDI-P ingin mengubah citranya yang
sebelumnya buruk menjadi baik melalui organisasi sayap yang
dibentuknya, yakni Baitul Muslimin Indonesia. Tujuannya tidak lain
adalah untuk mendukung kemenangan PDI-P dalam Pemilu.
Dalam berita tersebut Republika mewawancarai dua sumber. Yang
pertama Irmadi Lubis, salah seorang pengurus pusat Baitul Muslimin
Indonesia. Yang kedua adalah Alamsyah Hamdani, sekretaris PDI-P
daerah Sumatera Utara. Kedua sumber tersebut mempunyai pandangan
sama mengenai Baitul Muslimin Indonesia. Keduanya berpandangan
bahwa citra negatif PDI-P dapat diubah melalui Baitul Muslimin
Indonesia, sehingga dengan demikian akan berpengaruh pada perolehan
suara PDI-P di Pemilu. Berikut kutipan dari kedua sumber tersebut:
“Antara lain ingin mengubah imej, bahwa PDI-P bukan
tempatnya preman, eks PKI, non-Muslim dan Islam abangan,” kata
Irmadi Lubis......
Menurut Irmadi, keempat faktor yang dituding sebagai penyebab
merosotnya suara PDI-P itu, kini hendak dikikis secara perlahan. Antara
lain dengan pembentukan sayap partai, yang diberi nama Baitul
Muslimin. “Ini menegaskan bahwa partai ini sesungguhnya adalah
rumahnya kaum muslim, yang menjadi mayoritas pemberi suara
kepada PDI-P dalam pemilu selama ini,” katanya.
------------------------------Hal senada juga dinyatakan Sekretaris PDI-P Sumut, Alamsyah
Hamdani. “Saya semula sempat malu menempatkan huruf H di
depan nama saya, karena berada di antara mayoritas yang nonMuslim,” tandasnya
Namun setelah adanya komitmen dari pengurus pusat PDI-P,
dibuktikan dengan dilahirkan Baitul Muslimin Indonesia, dia pun
bertekad bahwa Islam harus mewarnai gerakan partai ini ke depan.
Sementara dari struktur skrip, teks berita Republika mengenai
dukungan Baitul Muslimin Indonesia, sudah cukup jelas. Argumen sumber
yang dipaparkan juga telah memenuhi unsur 5W+1H. Ini bisa dilihat dari
pendapatnya (what), siapa yang berpendapat mengenai hal itu (who),
mengapa mereka seperti itu (why), kapan dan di mana persitiwa tersebut
berlangsung (when)-(where), serta bagaimana detail pendapat mereka
(how).
Dalam struktur tematik, secara garis besar, terdapat empat tema.
Pertama, PDI-P ingin mengubah citranya yang sebelumnya negatif
melalui organisasi sayap yang dibentuknya, yakni Baitul Muslimin
Indonesia. Pandangan tersebut di jelaskan Republika untuk menjelaskan
maksud dari pandangannya.
Kedua, faktor penyebab merosotnya suara PDI-P itu, kini hendak
dikikis melalui Baitul Muslimin Indonesia. Sebutan sebagai partainya
preman, eks PKI, non-Muslim dan Islam abangan yang dulu melekat pada
PDI-P, akan dihilangkan dengan cara mendirikan Baitul Muslimin.
Pandangan itu dijelaskan dengan detail oleh Republika di dalam teks.
Ketiga, dari 19 juta lebih pemilih PDI-P dalam pemilu lalu,
mayoritas adalah muslim. Namun yang 50 persen yang menjadi anggota
legislatif adalah non-Muslim. Pandangan tersebut ingin menekankan bila
ada sesuatu ironi di dalam partai. Ini bisa dilihat dari pemakaian kata
“namun’ di dalam teks tersebut.
Keempat, kegiatan di tubuh PDI-P tidak bisa dipisahkan dengan
kegiatan Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap partainya. Ini berarti
eksistensi Baitul Muslimin Indonesia terkait dengan PDI. Pandangan ini
ingin menegaskan bahwa keduanya tidak bisa berdiri satu sama lainnya.
Aspek retoris dalam wacana berita dapat dilihat dari adanya unsur
leksikon. Yakni bisa dilihat dari pemakaian kata seperti, “merosot”, Nonmuslim, Islam abangan serta eks PKI. Penggunaan label seperti itu bisa
mendukung pandangan sumber dan mempengaruhi khalayak.
Tabel 6: Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki
Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia
Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra Lewat
Baitul Muslimin Indonesia.
Elemen
Strategi Penulisan
Skematis Memaparkan tentang citra PDI-P sebelum dan sesudah Baitul
Muslimin Indonesia muncul, serta mengaitkannya dengan pemilu.
Pandangan tersebut didukung oleh dua orang tokoh dari PDI-P yang
menyatakan bila PDI-P ingin memenangkan Pemilu, maka PDI-P
harus bisa memperbaiki citra lewat Baitul Muslimin Indonesia.
Skrip
Pandangan mengenai perbaikan citra dan dukungan yang diberikan
Baitul Muslimin Indonesia kepada PDI-P ditempatkan saling setara.
Tematik (1) PDI-P ingin mengubah citranya yang sebelumnya negatif melalui
organisasi sayap yang dibentuknya, yakni Baitul Muslimin Indonesia;
(2) faktor penyebab merosotnya suara PDI-P itu, kini hendak dikikis
melalui Baitul Muslimin Indonesia; (3) dari 19 juta lebih pemilih PDIP dalam pemilu lalu, mayoritas adalah muslim. Namun yang 50 persen
yang menjadi anggota legislatif adalah non-Muslim; (4) Kegiatan di
tubuh PDI-P tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan Baitul Muslimin
Indonesia sebagai sayap partainya.
Retoris
Pemakaian unsur leksikon untuk mendukung gagasan. Ini bisa dilihat
dari penggunaan kata-kata seperti, “merosot”, Non-muslim, Islam
abangan serta eks PKI.
3. Perbandingan Frame
Kehadiran organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia membawa
manfaat besar bagi PDI-P. Baitul Muslimin Indonesia dibentuk sebagai
salah satu terobosan untuk memperbaiki citra partai yang selama ini
negatif dan untuk membantu PDI-P dalam meraih suara dalam Pemilu.
Media mempunyai strategi wacana tersendiri dalam memaknai
peristiwa tersebut. Frame itu menentukan bagaimana fakta diambil,
dilakukan, bagaimana hasil wawancara diperlakukan, bagaimana ia ditulis
dan ditempatkan dalam halaman surat kabar.
Kompas memandang kehadiran Baitul Muslimin Indonesia sebagai
organisasi sayap, dapat mendukung kemenangan PDI-P dalam Pemilu.
Acuannya adalah komentar dari para pimpinan Baitul Muslimin Indonesia
yang menyatakan bahwa Baitul Muslimin siap mendukung kemenangan
PDI-P dalam pemilu. Citra yang ingin ditampilkan Kompas kepada publik
adalah bahwa Baitul Muslimin Indonesia merupakan organisasi sayap
yang siap mendukung kemenangan PDI-P di Pemilu.
Sejalan dengan itu, Republika pun memberikan pandangan yang
sama dengan Kompas. Republika memandang hadirnya baitul Muslimin
Indonesia dapat memperbaiki citra PDI-P dan dapat mendongkrak suara
PDI-P di dalam Pemilu. Acuannya adalah komentar dari para pengurus
Baitul Muslimin Indonesia dan pengurus PDI-P yang menyatakan bahwa
Baitul Muslimin dapat memperbaiki citra PDI-P dan dapat memberi
dukungan suara dalam Pemilu. Citra yang ingin ditampilkan Republika
kepada publik adalah bahwa Baitul Muslimin Indonesia merupakan
organisasi sayap yang dapat memperbaiki citra negatif PDI-P sekaligus
pendukung bagi kemenangan PDI-P di Pemilu.
Tabel 7: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P:
Perbandingan Frame Kompas dan Republika
Elemen
Frame
Kompas
Baitul
Muslimin
Indonesia
Mendukung Kemenangan PDI-P
dalam Pemilu.
Skematis Memosisikan Baitul Muslimin
Indonesia sebagai organisasi sayap
yang siap mendukung kemenangan
PDI-P. Selain itu menempatkan
pendapat dari para pimpinan Baitul
Muslimin
Indonesia
yang
menyatakan
bahwa
Baitul
Muslimin mendukung kemenangan
PDI-P dalam pemilu.
Skrip
Republika
Untuk Menangkan Pemilu,
PDI-P Perbaiki Citra Lewat
Baitul Muslimin Indonesia.
Memaparkan
citra
PDI-P
sebelum dan sesudah Baitul
Muslimin Indonesia muncul,
serta mengaitkannya dengan
pemilu. Pandangan tersebut
didukung oleh dua orang tokoh
dari PDI-P yang menyatakan bila
PDI-P ingin memenangkan
Pemilu, maka PDI-P harus bisa
memperbaiki citra lewat BMI.
Penekanan hanya pada dukungan Pandangan mengenai perbaikan
Tematik
Retoris
kemenangan, tetapi tidak dijelaskan
secara rinci mengenai langkahlangkah apa yang digunakan untuk
mencapai kemenangan tersebut.
(1) sebagai persiapan untuk
menangkan
PDI-P,
Baitul
Muslimin Indonesia gelar rakernas;
(2) PDI-P tidak akan sebesar pada
saat ini, jika tidak didukung oleh
Baitul
Muslimin
Indonesia,
termasuk kemenangan PDI-P dan
Megawati sebagai capresnya dalam
pemilu mendatang; (3) Baitul
Muslimin
dibentuk
untuk
memperbaiki citra PDI-P; (4)
semangat kegotongroyongan harus
dipupuk terus oleh anggota Baitul
Muslimin
Indonesia
untuk
menangkan pemilu 2009.
Pemberian dalil kegamaan untuk
mendukung gagasan, yaitu dengan
memakai kalimat “Mengukuhkan
Islam
Rahmah
Menuju
Kemenangan Pemilu 2009”.
citra dan dukungan yang
diberikan
Baitul
Muslimin
Indonesia
kepada
PDI-P
ditempatkan saling setara.
(1) PDI-P ingin mengubah
citranya
yang
sebelumnya
negatif melalui organisasi sayap
yang dibentuknya, yakni Baitul
Muslimin Indonesia; (2) faktor
penyebab merosotnya suara PDIP itu, kini hendak dikikis melalui
Baitul Muslimin Indonesia; (3)
dari 19 juta lebih pemilih PDI-P
dalam pemilu lalu, mayoritas
adalah muslim. Namun yang 50
persen yang menjadi anggota
legislatif adalah non-Muslim; (4)
Kegiatan di PDI-P tidak bisa
dipisahkan dengan kegiatan
Baitul
Muslimin
Indonesia
sebagai sayap partainya.
Pemakaian unsur leksikon untuk
mendukung gagasan. Ini bisa
dilihat dari penggunaan kataseperti, “merosot”, Non-muslim,
Islam abangan serta eks PKI.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Assegaf, Djafar. Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Berger, Peter L. and Thomas Luckman. The Social Construction of Reality, A
Treatise in the Sociological of Knowledge, Penerj. Hasan Basari. Jakarta:
LP3ES, 1990.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2007.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2001.
_____________________. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003.
Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:
LKIS, 2007.
_______. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS,
2006.
Fauzi, Arifatul Choiri. Kabar-kabar Kekerasan dari Bali. Yogyakarta: LKIS,
2007.
Hamad, Ibnu. Agus Sudibyo. Muhammad Qodari. Kabar-Kabar Kebencian
Prasangka Agama Di Media Massa. Jakarta: ISAI, 2001.
Hidayat, Helmi, ed. Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan: Edisi Buletin
Jumat Baitul Muslimin. Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008.
Keraf, Gorys. Komposisi. Cet. ke-VIII. Flores: Nusa Indah, 1989.
Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. USA: Wadsworth
Publishing Company, 2001.
Magnis, Franz. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Mc Quail, Denis. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga,
2005.
McLuhan, Marshall. Understanding Media: The Extensions of Man. Cambridge:
The MIT Press, 1994.
Moscow, Vincent. The Political Economy of Communication. London: Sage
Publications, 1996.
Nugroho, Bimo, Eriyanto, Franz Sudiarsis. Politik Media Mengemas Berita.
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999.
Romli, Asep Syamsul. Jurnalistik Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2001.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006.
Shoemaker, Pamela J. dan Reese, Stephen D. Mediating The Message: Theories
of Influence on Mass Media Content. New York and London: Longman
Publishing Group, 1996.
Scwandt, Thomas A. Constructivist, Interpretivist Approach to Human Inquiry,
dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of
Qualitative Research. London: Sage Publication, 1994.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Penerj.
Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003.
Sumadirian, AS. Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature:
Panduan Praktis Jurnalistik Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2006.
Zen, Fathurin. Nu Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKIS, 2004.
Jurnal
Imawan, Teguh. Media Surabaya Mengaburkan Makna. Jakarta: Pantau Edisi
09/Tahun 2000.
Pan, Zhongdang and Gerald M. Kosicki. Framing Analysis: An Approach to News
Discourse. Politicial Communication. Vol.10 No.1.
Pennman, Robin. Good Theory and Good Practice: An Argument in Progress,
dalam Theory Communication Theory 2, 1992.
Sumber lain
Alwi, Hasan dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
2000.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Ed. Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Farihah, Ipah. Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2006.
FA. Santoso, dkk. Media Kit Kompas 2007. Jakarta: Kompas, 2007
Gunadi, YS. (Peny.). Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 1998.
Junaedhi, Kuniawan. Ensiklopedia Pers Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1985.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Yogyakarta: Indonesiatera, 2007.
Tim penyusun, 35 Tahun Kompas. Jakarta: Brosur Kompas, 2000.
Undang-undang Partai Politik: UU RI Nomor 2 Tahun 2008, cet. Ke-2 (Jakarta:
Asa Mandiri, 2008), h.1.
Surat Kabar
Kompas : Edisi 30 Maret 2007 dan 25 Agustus 2008.
Republika: Edisi 5 November 2007 dan 8 Mei 2008.
Media Online
Abdul Khaliq Ahmad. Urgensi Organisasi Sayap Partai, diakses pada 1 Juli 2008
darihttp://www.pdp.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id
=1721
Anwar, Muhammad Jafar Merebut Simpati Ulama dan Umat Islam, data di akses
pada 5 Juli 2008 dari http://www.hupelita.com/baca.php?id=36611
Komisi Pemilihan Umum. Partai Politik 2009, data diakses pada 9 Juli 2008 dari
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=category&sec
tionid=5&id=24&Itemid=83
Megawati Lantik Pengurus Baitul Muslimin, artikel diakses pada 5 Juli 2008 dari
http://www.kompas.com/ver1/nasional/0708/05/145221.htm
Putri, Megawati Soekarno. Pidato Ketua Umum PDI-P pada Deklarasi Baitul
Muslimin Indonesia, data diakses pada 29 Maret 2008 dari
http://www.pdiperjuangan-denpasar.org/index.php/Deklarasi-BaitulMuslimin-Indonesia.html
http://www.republika.co.id
http://www.kompas.com
http://www.pdi-perjuangan.or.id
CURRICULUM VITAE (CV)
Data Pribadi
Nama Lengkap
: Donie Kadewandana
Nama Pena
: Donie K. Malik
Tempat dan Tgl lahir
: Jakarta, 23 Agustus 1984
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Belum Menikah
Kebangsaaan
: Indonesia
Alamat
: Komplek Arinda Permai II
Blok E5 No. 7 Pondok Aren,
Bintaro, Tangerang (15224)
Nomor Telepon
: (021) 9877.8622 / 0856.95712855
Email
: [email protected]
Latar Belakang Pendidikan
Tahun
Pendidikan Formal
2004-2008
S1 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,
Fakultas
Dakwah
dan
Komunikasi,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Lulus Desember 2008
dengan predikat cumlaude, dengan IPK 3,62.
2002-2008
S1 Jurusan Sistem Informasi, Fakultas
Teknologi Informasi, Universitas Budi Luhur,
Jakarta. Lulus Februari 2008 dengan predikat
amat baik, IPK 3,24.
1999-2002
SMU Budi Luhur, Tangerang, berijazah.
1996-1999
SMP Budi Mulia, Tangerang, berijazah.
1990-1996
SDN 18 Johar Baru, Jakarta Pusat, berijazah.
Pengalaman Kerja
•
Interviewer freelance, Pusat Penelitian KOMPAS, Litbang Harian
KOMPAS, Jakarta, 2007-2009.
•
Jurnalis (Penulis), Rubrik DETEKSI Harian INDOPOS, Jakarta,
2005-2006.
•
Surveyor, Rubrik DETEKSI Harian INDOPOS, Jakarta, 2005.
Pelatihan dan Kursus
•
Pelatihan Penulisan Kreatif, Yayasan Paramadina, Jakarta, 2008.
•
Pelatihan Jurnalistik, Womens International Club (WIC), Jakarta,
2007.
•
English Course, Womens International Club (WIC), Jakarta,
2007.
•
Pelatihan Penelitian Komunikasi, Pusat Pengkajian Komunikasi
dan Media (P2KM), FDK UIN Jakarta, 2006.
•
Pelatihan Jurnalitik Televisi, KOMKA, UIN Jakarta, 2004.
•
Latihan Kader (LK) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang
Ciputat, Komisariat Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Bogor,
2004.
•
Latihan Kepemimpinan Dasar BEM Univ. Budi Luhur, Serpong,
2002.
Pengalaman Organisasi
•
Redaktur Pelaksana dan Reporter Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) INSTITUT, UIN Jakarta, 2004-2006.
•
Pemimpin Redaksi Majalah SWAKA, Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam, UIN Jakarta, 2005-2006.
•
Sekretaris Departemen Humas dan Informasi, Badan Eksekutif
Mahasiswa Jurusan (BEM-J) Komunikasi dan Penyiaran Islam,
UIN Jakarta, 2005-2006.
•
Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat,
Komisariat Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Jakarta,
2004.
•
Koordinator Komunitas Mahasiswa Komunikasi (KOMKA), UIN
Jakarta, 2004-2005.
•
Ketua Panitia Pelatihan Jurnalistik Televisi, KOMKA UIN Jakarta,
2004.
•
Ketua Divisi Litbang Zeta Data Center, Pusat Pengembangan
Sains dan Teknologi (PUSBANGSITEK), UIN Jakarta, 2006.
•
BEM Universitas Budi Luhur, 2002.
•
Teater Universitas Budi Luhur, 2002.
Pengalaman Penelitian
•
Peneliti lapangan Ekspedisi Ciliwung, Litbang Harian KOMPAS,
2009.
•
Peneliti lapangan Pilkada Jawa barat, Litbang Harian KOMPAS,
2007.
•
Interviewer, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Jakarta, 2007.
•
Surveyor Zeta Data Center, Pusbangsitek UIN Jakarta, 2006.
Karya Tulis
•
Meneropong KPK Jilid II, dimuat Harian Umum Sinar Harapan,
2007.
•
Mempertanyakan Integritas Anggota
Seputar Indonesia (SINDO), 2007.
•
Refleksi Hari Antinarkoba, dimuat Harian Seputar Indonesia
(SINDO), 2007.
•
Konstruksi Realitas di Media Massa (Analisis Framing Terhadap
Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas
dan Republika), Skripsi S1, UIN Jakarta, 2008.
•
Rancangan Sistem Informasi Penerimaan Siswa Baru Pada TK.
Tunas Mandiri Dengan Metodologi Berorientasi Obyek, Skripsi
S1, Universitas Budi Luhur, 2008.
KPU,
Hobi dan Minat
•
Membaca, Menulis, dan Olah raga.
•
Peminatan: Komunikasi, Sosial, dan Politik.
dimuat
Harian
Download