HUBUNGAN PENGUASAAN BAHASA (ORAL DAN ISYARAT

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1
HUBUNGAN PENGUASAAN BAHASA (ORAL DAN ISYARAT)
TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN SISWA
KELAS I SEKOLAH DASAR SLB N KOTA MAGELANG
TAHUN AJARAN 2011/2012
Oleh:
GIGIH WICAKSONO
K 5104019
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
HUBUNGAN PENGUASAAN BAHASA (ORAL DAN ISYARAT)
commit to user
i
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN SISWA KELAS I
SEKOLAH DASAR SLB N KOTA MAGELANG
TAHUN AJARAN 2011/2012
oleh :
GIGIH WICAKSONO
K 5104019
Skripsi
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan
Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa
Jurusan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
ABSTRAK
Gigih Wicaksono. K 5104019 . HUBUNGAN PENGUASAAN BAHASA
(ORAL DAN ISYARAT) TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA
PERMULAAN SISWA KELAS I SEKOLAH DASAR SLB N KOTA
MAGELANG TAHUN AJARAN 2011/2012. Skripsi, Surakarta: Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2012.
Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1) mengetahui hubungan pemahaman
bahasa oral dengan kemampuan membaca permulaan; 2) mengetahui hubungan
pemahaman bahasa isyarat dengan kemampuan membaca permulaan; dan 3)
mengetahui hubungan pemahaman bahasa oral dan bahasa isyarat dengan
kemampuan membaca permulaan.Bentuk penelitian ini adalah kuantitatif. Strategi
penelitian yang digunakan adalah strategi deskriptif korelasi. Sumber data
penelitian ini berupa dokumen nilai tes oral, tes isyarat, dan tes membaca
permulaan.. Pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi dan tes. Validitas
data diperoleh melalui validitas tes dan realibilitas tes. Data yang telah terkumpul
dianalisis menggunakan teknik analisis Spearman Rank Order.
Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan: 1) ada hubungan yang positif
antara penguasaan bahasa oral dengan kemampuan membaca permulaan siswa
kelas 1 Sekolah Dasar di SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012" dapat
diterima kebenarannya (tO 0,941 > tt 0,833); 2) ada hubungan yang positif antara
penguasaan bahasa isyarat dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas 1
Sekolah Dasar di SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012" dapat diterima
kebenarannya (tO 0,958 > tt 0.833); 3) ada hubungan yang positif antara
penguasaan bahasa oral dan penguasaan bahasa isyarat dengan kemampuan
membaca permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar di SLB N Kota Magelang
tahun ajaran 2011/2012 " dapat diterima kebenarannya. (F0 = 28.885> Ft 5% =
5,79).
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
ABSTRACT
Gigih Wicaksono. K 5104019. CONNECTION ABOUT LANGUAGE
ABILITY (ORAL AND SIGNALING) PRIMARY READING SKILLS OF
STUDENTS CLASS I CITY ELEMENTARY SCHOOL SLB MAGELANG
ACADEMIC YEAR 2011/2012. Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher and
Education. Sebelas
Maret
University
of
Surakarta,
April
2012. .
…………………………………..
The purpose of this study were to: 1) determine the relationship of oral
language comprehension with beginning reading skills, 2) determine the
relationship of sign language comprehension with beginning reading skills, and 3)
determine the relationship of oral language comprehension and the ability to read
sign Primary Reading. Research this study is quantitative. Research strategy used
is descriptive correlation strategy. Source of research data in the form of
documents oral test scores, the test signal, and start reading tests .. The data was
collected and the test documentation. The validity of the data obtained through
test validity and reliability tests.The data collected were analyzed using Spearman
Rank Order analysis techniques.
Based on data analysis can be concluded: 1) there is a positive
relationship between mastery of oral language with the ability to read the
beginning of grade 1 students in special-ed Elementary School Magelang
academic year 2011/2012 "can be accepted as true (tO 0,941 > tt 0,833); 2)
there positive relationship between mastery of sign language with the ability to
read the beginning of grade 1 students in special schools Primary School
Magelang academic year 2011/2012 can be accepted as true (tO 0,958 > tt 0.833);
3) there is a positive relationship between oral language acquisition and
mastery sign language with the ability to read the beginning of first grade
elementary school students in special schools Magelang school year 2011/2012
"can be accepted as true. (F0 = 28.885> Ft 5% = 5,79).
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
MOTTO
Imajinasi adalah Harapan dan kekuatan
(Gigih Wicaksono)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada:
1. Ibu dan Bapakku yang bekerja lebih keras
dan konsisten dengan idealisme;
2. Peni Tri Hastuti yang telah mengajarkan aku
tentang dedikasi, sabar, dan mawas diri;
3. Para dhuafa yang hidup dalam kekurangan
dan senantiasa bekerja sangat keras
menafkahi diri dan keluarganya; dan
4. Teman-teman di gedung E FKIP UNS
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini
peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan
dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu,
peneliti menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan izin penyusunan skripsi ini;
2. Drs. R. Indianto, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan
penyusunan skripsi ini;
3. Drs. Hermawan, M. Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Luar Biasa
Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang juga
telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini;
4. Drs. Hermawan, M. Si. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa
memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan bimbingan
kepada peneliti selama kuliah;
5. Drs. Gunarhadi, MA, Ph. D. selaku Pembimbing I dan Priyono S.Pd, M.Si
selaku Pembimbing II atas bimbingan yang diberikan;
6. Dra. Siti Asnah. Selaku kepala sekolah SLB Negeri Kota Magelang.
7. Keluargaku (Bapak, Ibu, dan adikku) yang menjadi naungan dan pelarianku;
8. Perpustakaan di lingkup UNS, bapak Arif bagian pendidikan FKIP;
9. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak
dapat peneliti sebutkan satu persatu.
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan terbaik dari
Tuhan yang Maha Esa.
Surakarta, April 2012
Penulis
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL .............................................................................................................
i
PENGAJUAN ..................................................................................................
ii
PERSETUJUAN ..............................................................................................
iii
PENGESAHAN ..............................................................................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
v
MOTTO ...........................................................................................................
vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................
viii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................
5
C. Pembatasan Masalah ...................................................................
6
D. Perumusan Masalah ....................................................................
6
E. Tujuan Penelitian………………………………………………..
7
F. Manfaat Penelitian………………………………………………..
7
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................
8
A. Tinjauan Pustaka ........................................................................
8
1. Tinjauan Tentang Metode Oral .............................................
8
a. Pengertian Metode Oral ....................................................
8
b. Jenis-jenis Metode Oral........................................................
10
c. Kelebihan dan Kekurangan Metode Oral ..........................
10
2. Tinjauan Tentang Metode Isyarat .........................................
11
a. Pengertian Metode Isyarat.................................................
11
b. Tujuan Bahasa Isyarat Pada anak tunarungu…………….. 12
c. Jenis Bahasa Isyarat………………………………………
12
d. Kelebihan dan Kekurangan bahasa Isyarat .......................
14
3. Tinjauan Tentang anak Tunarungu…………………………. 15
a. Pengertian Anak Tunarungu..............................................
commit to user
xi
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
b. Klasifikasi Anak Tunarungu……………………………...
6
c. Karakteristik Pembelajaran Bagi anak Tunarungu……….
21
4. Proses Pembelajaran Membaca Permulaan…………………
22
a. Penyusunan Program Pengajaran………………………...
2
b. Pelaksanaan Pembelajaran Membaca Permulaan………..
5
c. Metode Pembelajaran Membaca Permulaan……………..
5
B. Kerangka Berpikir .......................................................................
0
C. Perumusan Hipotesis……………………………………………
31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................................
32
A. Tempat dan Waktu Penelitian .....................................................
32
B. Metode Penelitian .......................................................................
32
C. Populasi dan Sampel ...................................................................
33
D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ...........................................
33
E. Penentuan Validitas dan Rehabilitas……………………………
34
F. Analisis Data ...............................................................................
36
BAB IV HASIL PENELITIAN……………………………………………...
38
A. Deskripsi Data .............................................................................
38
1. Penguasaan Bahasa Oral ............................................................
38
2. Penguasaan Bahasa Isyarat ........................................................
40
3. Kemampuan Membaca Permulaan ............................................
41
B. Pengujian Hipotesis ....................................................................
42
1. Hasil Uji Hipotesis Kesatu, Kedua ............................................
42
2. Hasil Uji Hipotesis Ketiga .........................................................
43
3. Kesimpulan Pengujian Hipotesis ...............................................
47
C. Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................
47
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
52
LAMPIRAN
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Sistem Pendidikan Nasional tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara Pasal 5
ayat (1 dan 2)” (1) Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warga Negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus.
Berdasarkan undang-undang di atas, maka setiap warga Negara berhak
mendapatkan pendidikan, termasuk juga anak tunarungu. Permanarian Somad &
Tati Hernawati, (1996: 14) berpendapat bahwa “Pemerintah mempunyai peranan
yang sangat penting dalam pelayanan pendidikan, karena pemerintah mempunyai
tanggung jawab terhadap semua warganya.
Mereka juga menerangkan bahwa “Pendidikan anak tunarungu di
Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai kendala diantaranya yaitu kesulitan
dalam pengadaan sarana dan prasarana, terutama kebutuhannya dalam upaya
rehabilitasi kelainannya. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat terus
berusaha meningkatkan pendidikan anak tunarungu”.
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran.
Sastrawinata (1977: 10) menyebutkan secara medis ketunarunguan berarti
kekurangan/kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan
seluruh alat
pendengaran. Secara pedagogis ketunarunguan mengakibatkan
hambatan dalam perkembangan sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan
khusus baik metode, media yang digunakan, maupun sistem penilaiannya.
Seseorang dikatakan tunarungu jika orang tersebut mengalami kelainan
dalam pendengarannya. Akibat dari kelainan pendengaran dapat menghambat
perkembangan bahasanya. Perkembangan bahasa anak tunarungu mengalami
hambatan karena kurang berfungsinya atau bahkan tidak berfungsinya indra
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
pendengaran. Indra pendengaran sebagai media auditif berfungsi sebagai salah
satu saluran dalam perkembangan bahasa.
Perkembangan bahasa anak tunarungu wicara terhenti saat sampai pada
fase merespon suara dari lingkungan sekitar. Pada awalnya, anak tunarungu yang
tidak disertai ketunaan lain mampu mengikuti irama perkembangan bicara dan
bahasa sama seperti pada anak yang mampu mendengar. Anak tunarungu sejak
lahir sama seperti bayi normal, mengeluarkan bunyi-bunyi reflek, tak beraturan,
dan tak bermakna. Pada anak normal hal ini terus berlanjut, anak normal senang
mendengar suaranya sendiri sehingga ia mengulangi terus-menerus apa yang
diucapkannya. Selanjutnya, hal ini berkembang saat ia mulai merespon suarasuara dari lingkungan sekitar. Dari lingkungan ini, anak normal mulai belajar
menirukan suara-suara yang didengarnya. Dari situlah anak normal mulai berlatih
berbicara dengan menirukan suara yang didengarnya. Pada anak tunarungu, tahap
menirukan suara yang ada di sekitarnya tidak dapat dilakukan karena suara-suara
tersebut tidak dapat atau kurang dapat didengar secara sempurna. Anak tunarungu
tidak bereaksi terhadap suara dan tidak dapat menirukan suara-suara yang ada di
sekitarnya. Ketidakmampuan mendengar ini menyebabkan perkembangan bahasa
dan bicara anak tunarungu menjadi terhambat.
Anak tunarungu kehilangan salah satu media yang sangat penting untuk
mengembangkan kemampuan berbicara dan berbahasa. Kemampuan bicara dan
bahasa
merupakan
media
utama
untuk
mengadakan
interaksi
dengan
lingkungannya. Selain itu, bahasa merupakan kunci utama untuk mengikuti
pendidikan. Tanpa pemahaman yang cukup tentang bahasa, sulit untuk memahami
pelajaran yang disampaikan.
Keterkaitan yang erat antara bahasa sebagai sarana berpikir dan alat
penyampai pengetahuan dalam pendidikan menyebabkan bahasa mau tidak mau
harus dikuasai oleh setiap peserta didik, tak terkecuali anak tunarungu wicara.
Salah satu upaya membelajarkan bahasa bagi anak tunarungu adalah menjadikan
bahasa Indonesia sebagai materi wajib di sekolah luar biasa. Dengan menjadikan
bahasa Indonesia sebagai materi pembelajaran di SLB B, diharapkan dapat
meningkatkan kualitas berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia terdapat empat aspek keterampilan
berbahasa. Keempat aspek itu adalah keterampilan menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis. Setiap aspek keterampilan mendukung keterampilan
lainnya. Pembelajaran bahasa Indonesia di kelas rendah, yaitu di kelas I dan II
Sekolah Dasar dikatakan sebagai pembelajaran tahap permulaan. Pada tahap ini
siswa diperkenalkan pada kemampuan dasar berbahasa sebagai dasar bagi
pembelajaran di kelas selanjutnya. Salah satu pembelajaran bahasa yang bersifat
permulaan di kelas rendah adalah pembelajaran membaca yang dikenal dengan
pembelajaran membaca permulaan.
Kedudukan membaca permulaan menjadi sangat penting karena sebagai
landasan bagi kemampuan membaca pada tingkat lanjut. Landasan yang kuat akan
mempermudah siswa dalam tingkat pendidikan selanjutnya. Sebaliknya, jika
kemampuan dasar tidak kuat, akan sangat terasa pengaruhnya, baik bagi siswa
maupun bagi guru. Jelaslah di sini bahwa kemampuan dasar membaca melalui
pembelajaran membaca permulaan memegang peranan yang penting.
Pembelajaran
membaca
permulaan
lebih
ditekankan
pada
pengembangan kemampuan dasar membaca. Siswa dituntut untuk dapat
“menyuarakan” kalimat-kalimat yang disajikan dalam bentuk tulisan. Dengan kata
lain, siswa dituntut untuk mampu menerjemahkan bentuk tulisan ke dalam bentuk
lisan. Dalam hal ini tercakup aspek kelancaran membaca. Siswa harus dapat
membaca wacana dengan lancar, bukan hanya membaca kata-kata ataupun
mengenali huruf-huruf yang tertulis (Sabarti Akhadiah M. K, 1992: 11).
Terkait dengan pembelajaran
tunarungu
di
SLB
B,
terdapat
membaca
beberapa
permulaan
permasalahan
bagi
dalam
anak
proses
pengajarannya. Seperti telah disebutkan di atas, anak tunarungu memiliki
ketunaan dalam pendengarannya. Akibat dari ketunaannya ini, anak tunarungu
mengalami gangguan dalam berbahasa karena berkurangnya atau hilangnya fungsi
indra pendengaran sebagai salah salah satu input dalam perkembangan bahasa.
Gangguan bahasa ini menyebabkan kompetensi bahasa anak tunarungu menjadi
rendah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
Guna membantu mengatasi hambatan kemampuan komunikasi kaum
tunarungu sejak 300 tahun yang lalu sampai sekarang, telah dikembangkan dan
digunakan berbagai metode, yaitu “metode oral” yang menggunakan kemampuan
membaca ujaran sebagai sarana penerimaan, serta bicara sebagai cara
pengungkapan diri dan “metode manual” yang menggunakan “isyarat” serta
“ejaan jari” untuk sarana penerimaan dan pengungkapan diri. Untuk jelasnya
dikemukakan pendapat tokoh mengenai Bahasa oral dan bahasa isyarat.
Salah satu metode yang digunakan dalam pembelajaran adalah metode
oral. Menurut Lani Bunawan (1989: 1) “Metode oral aural yaitu metode dimana
anak diharapkan agar dapat mengungkapkan diri dengan bicara dan menangkap
pesan
orang
lain
lewat
membaca
ujaran
serta
memanfaatkan
sisa
pendengarannya”.
Menurut Corrow (1996: 374) “ Oralism is the combined use of
amplification, auditory training speech, lip reading, and written language in the
instructional approach “, yaitu kurang lebih menyatakan metode oral adalah
gabungan dari penerapan latihan mendengar, bicara, membaca ujaran dan bahasa
tulisan di dalam proses pembelajaran.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode oral
merupakan salah satu cara untuk melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi
secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Agar anak tunarungu
mampu bicara dituntut adanya partisipasi dari orang-orang di sekelilingnya, yaitu
dengan melibatkan anak tunarungu bicara secara lisan dalam setiap kesempatan.
Selain metode oral, digunakan juga metode isyarat. pengertian metode
isyarat “Yaitu suatu cara mengajar atau melatih anak tunarungu berkomunikasi
dengan isyarat yang biasanya disertai dengan ejaan jari”. Bahasa manual atau
isyarat mempunyai unsur gesti atau gerakan tangan yang ditangkap melalui atau
suatu bahasa yang menggunakan modalitas gesti-visual. Metode isyarat dapat
membantu komunikasi sesama anak tunarungu ataupun komunikasi sesama kaum
tunarungu dalam masyarakat luas. Dengan metode isyarat anak dapat menerima
penjelasan sehingga memperoleh kebahagiaan dan bukan membuat anak
tunarungu sebagai tiruan dari anak normal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
Salah satu upaya mengatasi gangguan bahasa anak tunarungu adalah
melalui pendidikan. Dalam pembelajaran, digunakan metode oral dan isyarat.
Melalui kedua metode ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman dan
kemampuan berkomunukasi bagi anak tunarungu.
Selain kemampuan berkomunikasi yang meningkat, yang tidak kalah
penting dari metode oral dan isyarat ini adalah peningkatan kompetensi bahasa
yang memadai. Dengan kompetensi bahasa yang memadai, kemampuan
berkomunikasi akan meningkat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan anak dalam pembelajaran membaca permulaan.
Bertolak dari hal di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara penguasaan bahasa oral terhadap kemampuan membaca
permulaan, hubungan antara penguasaan bahasa isyarat terhadap kemampuan
membaca permulaan, dan penguasaan bahasa oral dan bahasa isyarat terhadap
kemampuan membaca permulaan.
B. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan kemampuan pendengaran.
Akibat dari Ketidakmampuan mendengar ini menyebabkan perkembangan
bahasa dan bicara anak tunarungu menjadi terhambat.
2. Akibat dari ketunaannya, kompetensi bahasa anak tunarungu menjadi rendah..
3. Tanpa pemahaman yang cukup tentang bahasa, maka anak tunarungu akan
sulit untuk memahami pelajaran yang disampaikan.
4. Pembelajaran
membaca
permulaan,
Siswa
dituntut
untuk
dapat
“menyuarakan” kalimat-kalimat yang disajikan dalam bentuk tulisan. Padahal
anak tunarungu telah mengalami keterbatasan dalam kemampuan komunikasi
dan bahasanya.
5. Pendekatan komunikasi di SLB B hanya menggunakan metode oral saja,
sehingga hasil pengajaran bahasanya tidak maksimal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
6. Bahasa isyarat adalah bahasa yang identik dengan dunia anak tunarungu,
namun kenyataannya bahasa isyarat kurang efisien, karena banyak isyarat
yang harus dipelajari dan tidak semua pengerian dapat diisyaratkan.
C. Pembatasan Masalah
Untuk mengarahkan kegiatan penelitian yang akan dilakukan, maka
permasalahan perlu dibatasi. Masalah yang akan diteliti hanya terbatas pada
masalah berikut ini:
1.
Obyek Penelitian
a. Pengajaran membaca permulaan Kelas I Sekolah Dasar semester 1
tentang berbicara dan berisyarat dalam memperkenalkan diri sendiri, dan
fungsi anggota tubuh serta benda-benda di sekitar.
b. Bahasa oral meliputi kemampuan ekspresif (berbicara) maupun reseptif
(membaca ujaran) dalam proses pembelajaran membaca permulaan anak
tunarungu sekolah dasar.
c. Bahasa isyarat meliputi kemampuan ekspresif (berisyarat) dan reseptif
(membaca isyarat) dalam proses pembelajaran membaca permulaan anak
tunarungu sekolah dasar.
2.
Subyek Penelitian
Siswa kelas I Sekolah Dasar di SLB N Magelang tahun ajaran 2011/2012
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa oral dengan kemampuan
membaca permulaan?
2. Apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa isyarat dengan
kemampuan membaca permulaan?
3. Apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa oral dan pemahaman
bahasa isyarat dengan kemampuan membaca permulaan?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan pemahaman bahasa oral dengan kemampuan
membaca permulaan.
2. Mengetahui hubungan pemahaman bahasa isyarat dengan kemampuan
membaca permulaan.
3. Mengetahui hubungan pemahaman bahasa oral dan bahasa isyarat dengan
kemampuan membaca permulaan.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat
teoretis maupun manfaat praktis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah wawasan bagi peneliti tentang metode pengajaran bahasa bagi
anak tunarungu.
b. Memperkenalkan penggunaan bahasa oral dan isyarat bagi pembelajaran
anak tuna rungu terkait dengan kemampuan membaca permulaan.
2. Manfaat Praktis
Menyelenggarakn pembelajaran yang memadukan bahasa oral dan
isyarat untuk kepentingan peningkatan kemampuan membaca permulaan di
SLB Negeri Magelang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan tentang Metode Oral
a. Pengertian Metode Oral
Metode oral yang dipelopori Samuel Heinicke di Jerman. Metode ini
bertitik tolak dari pandangan bahwa “Anak tuli memiliki potensi untuk berbicara,
dan dapat diajar dengan baik” (Sardjono & Samsidar, 1990: 35). Pandangan ini
didukung adanya kebutuhan anak tuli (tunarungu berat) untuk:
1) Diakui sebagai anggota masyarakat seperti halnya anak-anak normal
2) Mendapat kesempatan berpribadi (memperoleh pengakuan harga diri)
3) Menyesuaikan diri dalam sosial dan vocational (Sardjono, 2000: 3)
Kata “oral” berasal dari bahasa Inggris yang artinya sama dengan lisan
(Wojowasito & Purwadarminta, 1991: 131). Menurut Lani Bunawan (1989:1)
“Metode oral aural yaitu metode dimana anak diharapkan agar dapat
mengungkapkan diri dengan bicara dan menangkap pesan orang lain lewat
membaca ujaran serta memanfaatkan sisa pendengarannya”.
Menurut Corrow (1996:374) “ Oralism is the combined use of
amplification, auditory training speech, lip reading, and written language in the
instructional approach “, yaitu kurang lebih menyatakan metode oral adalah
gabungan dari penerapan latihan mendengar, bicara, membaca ujaran dan bahasa
tulisan didalam proses pembelajaran.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode oral
merupakan salah satu cara untuk melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi
secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Agar anak tunarungu
mampu bicara dituntut adanya partisipasi dari orang-orang di sekelilingnya, yaitu
dengan melibatkan anak tunarungu bicara secara lisan dalam setiap kesempatan.
b. Syarat-syarat Penunjang keberhasilan penerapan metode oral
Menurut Lani Bunawan (1989: 23) “Berhasil atau tidaknya penerapan
suatu metode bukan semata-mata tergantung dari faktor anak didiknya tetapi dapat
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
pula dari guru dan atau keadaan lingkungan”. Adapun syarat-syarat yang dapat
menunjang keberhasilan penerapan metode oral yaitu:
1) Terselenggaranya kegiatan diagnosa secara menyeluruh untuk mendapatkan
gambaran kemampuan serta ketidakmampuan.
2) Terlaksananya pengukuran/ penilaian secara rutin dan berkesinambungan
terhadap siswa terutama mengenai keterampilan, membaca, ujaran, bicara,
perkembangan kosakata, kemampuan membaca dan sebagainya.
3) Tersedianya guru dan pendidik yang memenuhi persyaratan. Pendidik seperti
pengasuh asramapun memerlukan bimbingan agar dapat menangani anak
tunarungu dengan benar, terutama yang menyangkut perkembangan bahasa
anak.
4) Terselenggaranya pelayanan pendidikan yang terpisah antara berbagai siswa
tunarungu sesuai kebutuhannya.
5) Terlaksananya program bimbingan orang tua siswa yang terutama dapat
menunjang perkembangan bahasa anak.
6) Tersedianya program bimbingan diri sehingga anak sejak usia balita telah
menggunakan alat bantu mendengar, dilatih cara bicara dan ketrampilan baca
ujarannya dan pihak keluarga belum sempat mengembangkan suatu sistem
isyarat yang hanya dimengerti dalam lingkungan terbatas.
7) Terlaksananya pelayanan pendidikan yang bercirikan hal-hal sebagai berikut:
a)
Di seluruh SLB-B diterapkan metode pengajaran bahasa yang homogen
berdasarkan percakapan oral sejak program bimbingan dini sampai
tingkat lanjutan.
b)
Setiap hari siswa diberikan latihan bicara dengan sasaran agar siswa
berbicara dengan kecepatan dan irama yang wajar.
c)
Terselenggaranya
bina
persepsi
bunyi
dan
irama
secara
berkesinambungan.
d)
Tersedianya peralatan elektronik yang digunakan secara efektif serta
dirawat dan dipelihara secara teratur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
c. Jenis-jenis Metode Oral
Metode oral dapat juga dibedakan dalam beberapa kategori:
1) Metode oral dengan menggunakan pendekatan kinestetis, yaitu metode oral
dengan mengandalkan membaca ujaran, peniruan melalui penglihatan, serta
rangsangan perabaan dan kinestetis tanpa pemanfaatan sisa pendengaran.
2) Metode oral dengan menggunakan pendekatan unisensory atau akupedik, yaitu
metode komunikasi yang memberikan penekanan pada pemberian Alat Bantu
Dengar (ABD) yang bermutu tinggi serta latihan mendengar serta
menomorduakan bahasa ujaran terutama pada tahap permulaan pendidikan
anak.
3) Metode oral dengan menggunakan pendekatan oral grafik (Graphic-oral) yaitu
metode komunikasi dengan menggunakan tulisan sebagai sarana guna
mengembangkan kemampuan komunikasi oral (Permanarian Somad & Tati
hernawati, 1995:47)
d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Oral
Walaupun metode oral banyak digunakan orang dan paling disukai oleh
orang tua anak tunarungu, tetapi dalam kenyataannya masih ditemui kekurangankekurangan disamping memiliki kelebihan.
Menurut Sardjono (2003: 3-4) kelebihan dan kekurangan metode oral pada
sistem komunikasi oral adalah sebagai berikut:
1) Kelebihan-kelebihan metode oral
Beberapa kelebihan atau keunggulan metode oral diantaranya sebagai
berikut:
a)
Dengan latihan berbicara akan memberikan penjelasan yang lebih
mudah ke dunia sekitarnya, sehingga memperoleh penyesuaian dan
sekaligus menghindarkan anak tuli (tunarungu) dari perasaan terisolir
dan tekanan batin.
b)
Bicara merupakan media komunikasi yang bersifat universal.
c)
Pergaulan anak tuli (tunarungu) tidak terbatas pada dunia anak tuli
(tunarungu) yang berisyarat saja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
d)
Anak normalpun akan lebih mudah bergaul dengan anak tuli
(tunarungu) yang berbicara.
e)
Oralisme
menitikberatkan
pada kebutuhan berpartisipasi dalam
kehidupan normal.
2)
Kekurangan-kekurangan metode oral
a)
Banyak ucapan yang bentuknya dalam bibir hampir sama tetapi
memiliki makna yang berbeda, sehingga menyulitkan anak tunarungu
untuk mendapatkan makna.
b)
Sulit menerima anak tunarungu jika diucapkan pada jarak jauh (tidak
terjangkau pandangan)
c)
Apabila yang berbicara berkumis tebal, maka akan sulit ditangkap
makna ucapannya karena gerak bibir tertutup kumis.
d)
Merupakan pemaksaan bagi anak tunarungu jika metode oral
digunakan karena bukan dunianya.
“Kelemahan utama disini adalah terletak pada keterbatasan kemampuan
anak tunarungu dalam menangkap dan mengeluarkan bahasa lisan, lebih-lebih lagi
pada tunarungu wicara yang disertai kelainan atau double handicapped”
(Sardjono & Samsidar, 1990: 36).
2. Tinjauan tentang Metode Isyarat
a. Pengertian Metode Isyarat
Metode isyarat merupakan suatu metode komunikasi untuk menyampaikan
dan menerima pesan, gagasan, pikiran, isi kandungan jiwa mengenai bahasa
isyarat (sign language), dan ejaan jari (finger spelling) atau gesti atau panto
mimik, atau anggota badan lainnya. Melalui isyarat anak tunarungu akan belajar
memahami bahasa lewat membaca isyarat yaitu dengan melihat gerakan –gerakan
tangan yang merupakan pengisyaratan dari tiap kata atau kalimat.
Tokoh terbesar di antara pengembang metode manual/isyarat adalah CM
de L’EPEE. Menurut CM de L’EPEE yang dikutip Sardjono “bahasa isyarat
merupakan bahasa alamiah bagi penyandang tunarungu”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
Secara harfiah menurut A. Van Uden yang dikutip Bunawan (1989: 11)
“bahasa isyarat artinya bahasa dengan menggunakan tangan walaupun dalam
kenyataan, ekspresi muka dan lengan juga digunakan atau berperan”.
“Isyarat (signal) adalah bunyi atau gerakan yang mengandung arti alamiah
atau biologis “(Haviland, 1995: 161).
b. Tujuan Bahasa Isyarat Pada Anak Tunarungu
Menurut aliran Manualisme yang dikutip oleh Sardjono (1991: 55) dalam
bukunya Orthopedagogik-B menyebutkan bahwa :
“Anak tunarungu-wicara mempunyai dunia kepribadian dan
bahasa tersendiri, yaitu bahasa isyarat. Supaya mereka dapat
hidup bahagia dan sempurna kalau mereka dididik menurut
kodratnya, yaitu memakai metode manual bahasa yang memakai
gerakan dan isyarat sebagai alat komunikasi”.
Selanjutnya aliran ini juga berpendapat bahwa tujuan bahasa
isyarat bagi anak tunarungu adalah “untuk melahirka pikiran, perasaan,
dan kemauannya. Baik untuk melukiskan benda dan bentuk pikiran
lainnya.” Jadi menurut aliran manualisme bahasa isyarat merupakan alat
komunikasi yang utama bagi anak tunarungu. Oleh karenanya mereka
harus dididik dan diajar dengan bahasa isyarat.
c. Jenis Metode Isyarat
Menurut Lani Bunawan (1989: 12-14) terdapat beberapa jenis metode
isyarat yang digunakan di dalam dunia pendidikan anak tunarungu. Jenis-jenis
metode isyarat sebagai berikut:
1)
Bahasa isyarat dapat diartikan sebagai dactilogy atau “bahasa jari” atau juga
lebih dikenal dengan sebutan abjad jari (finger spelling). Sistem ini masih
pula dibedakan antara lain:
a)
gerak/posisi jari yang menggambarkan abjad/ejaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
b)
2)
gerak/posisi jari yang menggambarkan bunyi bahasa
Istilah isyarat juga sering digunakan untuk menunjukkan bahasa tubuh atau
body language. Bahasa tubuh meliputi keseluruhan ekspresi tubuh, seperti
sikap tubuh, ekspresi muka, pantomimic, dan gesti/gerak (gesture) yang
dilakukan oleh seseorang secara wajar dan alami. Menurut Hirsch yang
dikemukakan Bunawan (1989: 13)” seorang guru anak tunarungu pernah
mengadakan suatu inventerisasi mengenai gesti yang dilakukan orang
Jerman dan menyimpulkan bahwa jumlahnya mencapai 853 gesti
diantaranya telah dikenal dan digunakan anak sejak usia balita”. Gesti ini
ternyata tidak sama untuk setiap masyarakat atau kebudayaan. Bahasa tubuh
ini tidak bisa digolongkan sebagai suatu bahasa dalam arti sesungguhnya
walaupun gerak/isyaratnya berfungsi sebagai media komunikasi.
3)
Bahasa isyarat Alami/Asli
Suatu isyarat sebagaimana digunakan anak tunarungu berbeda dari bahasa
tubuh, merupakan
ungkapan manual (dengan tangan) yang disepakati
bersama antara pemakai (konvensional) dikenal secara terbatas dalam
kelompok tertentu (esetoris)dan merupakan pengganti kata. Istilah bahasa
isyarat juga digunakan untuk menunjukkan tiga maksud, yaitu:
a)
Bahasa isyarat yang berkembang secara alami di antara kaum tunarungu
dan terbatas pengenalan serta penggunaannya dalam artinya, dikenal dan
digunakan dalam lingkungan keluarga tertentu, lingkungan Sekolah Luar
Biasa atau daerah tertentu seperti dialek (isyarat lokal), isyarat seperti ini
tidak diajarkan secara resmi.
b) Di Negara yang menerapkan metode manual berkembang suatu bahasa
isyarat yang terdiri dari kumpulan isyarat yang sudah dikenal dan
digunakan serta merupakan bahasa pengantar resmi di SLB B yang
menggunakan metode tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
4)
Bahasa Isyarat Formal
Dalam mengatasi kelemahan bahasa isyarat konseptual, sejak tahun 1970
makin banyak diusahakan pengembangan bahasa isyarat yang memiliki
struktur yang sama dengan bahasa lisan masyarakat atau disebut dengan
bahasa isyarat formal.
d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Isyarat
Menurut Emon Sastrawinata (1976: 32) “ Keuntungan metode isyarat ialah
sesuai dengan dunia anak tunarungu yaitu dunia tanpa suara, sesuai dengan
kemampuan anak tunarungu menerima dan mengeluarkan pikiran-pikiran melalui
lambing visual sesuai dengan bahasa ibunya.”
Menurut Sardjono & Samsidar (1990: 34), kelebihan dan kekurangan
metode isyarat antara lain:
1) Keuntungan Metode Isyarat
a)
penggunaan isyarat lebih mudah daripada bahasa lisan
b)
anak tuli yang organ bicaranya berlainan akan mengalami kesulitan
dalam membuat bunyi bicara
c)
anak tuli lebih menyukai berkomunikasi dengan anak tuli lain sehingga
tidak perlu dapat berbicar lisan
d)
tujuan yang diutamakan adalah anak dapat menerima pelajaran sehingga
memperoleh kebahagiaan dan bukan membuat anak tuli sebagai tiruan
anak normal
2) Kekurangan metode isyarat
a)
Kurang efisien, karena banyak isyarat yang harus dipelajari
b)
Tidak semua pengertian dapat diisyaratkan, lebih-lebih pengertian yang
abstrak
c)
Menyiapkan orang-orang normal untuk dapat menangkap isyarat
d)
Kurang praktis bagi anak yang sedang membawa barang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
3. Tinjauan Tentang Anak Tuna Rungu
a. Pengertian Anak Tuna Rungu
Biasanya orang mendengar kata anak tuna rungu asumsinya adalah anak
yang tidak dapat bicara dan tidak dapat mendengar. Anggapan ini sebenarnya
salah, sebab anak tuna rungu wicara dengan sisa-sisa pendengarannya, mereka
masih mampu mendengar walaupun tidak sebaik pendengaran mereka yang
tergolomg normal. Oleh karena itu perhatian dan pemberian layanan bimbingan
terhadap anak tuna rungu wicara sangat diperlukan untuk mengembangkan sisa
potensi yang ada pada mereka baik berupa pendengaran maupun kemampuan
bicaranya.
Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar
sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik
memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar, yang meliputi
keseluruhan kesulitan mendengar. Sedangkan seseorang yang kurang dengar
adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa
pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa
melalui pendengaran (Permanarian Somad & Tati Hernawati, 1996: 26).
Andreas Dwidjosumarto (dalam Permanarian Somad & Tati Hernawati,
1996: 27) menyatakan bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan
kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap
berbagai perangsang terutama melalui indra pendengaran.
Menurut Sardjono dan Samsidar (1988 : 6) menyatakan bahwa:
“Anak tuna rungu wicara adalah mereka yang sejak lahir kurang
pendengarannya sehingga memustahilkan mereka dapat belajar
bahasa dan bicara dengan cara cara normal atau mereka yang
sekalipun lahir dengan pendengaran normal tetapi sebelum dapat
berbicara mendapat hambatan tarap berat pada pendengarannya
dan atau mereka yang sekalipun sudah mulai dapat berbicara,
tetapi saat terjangkitnya gangguan pendengaran sebelum umur
kira kira 2 tahun, maka kesan-kesan yang diterima mengenai
suara dan bahasa seolah-olah hilang”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Sedangkan pengertian anak tuna rungu wicara menurut Departemen
Pendidikan dan kebudayaan (1994 : 3) adalah:
“Tuna rungu wicara adalah istilah yang menggambarkan
keadaan kemampuan dengar yang kurang atau tidak berfungsi
secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk
belajar bahasa dan wicara tanpa bantuan metode dan peralatan
khusus”.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas penulis dapat menyimpulkan
bahwa anak tuna rungu wicara adalah anak yang kehilangan sebagian atau seluruh
daya pendengarannya, sehingga mengalami kesulitan dalam melakukan
komunikasi dan hal ini dapat mengakibatkan hambatan dalam perkembangannya,
maka anak tuna rungu wicara memerlukan bimbingan sosial atau pendidikan
khusus.
b. klasifikasi anak tunarungu
Selain beberapa pendapat mengenai anak tunarungu di atas, ada beberapa
klasifikasi anak tunarungu yang diklasifikasikan oleh beberapa ahli. Klasifikasi
anak tunarungu menurut Samuel A. Kirk (dalam Permanarian Somad & Tati
Hernawati, 1996: 29) antara lain sebagai berikut:
1) 0 dB
: menunjukkan pendengaran yang optimal
2) 0-26 dB
: menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang
normal
3) 27-40 dB
: mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh,
membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan
memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan)
4) 41-55 dB
: mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,
membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong
tunarungu sedang)
5) 56-70 dB
: hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih
mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara
dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang
khusus (tergolong tunarungu agak berat)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
6) 71-90 dB
: hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang
dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif,
membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus
(tergolong tunarungu berat)
7) 91 dB ke atas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran,
banyak bergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk
proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli
(tergolong tunarungu berat sekali) (Permanarian Somad & Tati
Hernawati, 1996: 29).
Klasifikasi menurut Streng (dalam Permanarian Somad & Tati Hernawati,
1996: 29-32), antara lain sebagai berikut:
1) kehilangan kemampuan mendengar 20-30 deciBell atau dB (Mild Losses)
mempunyai ciri-ciri:
a) sukar
mendengar
percakapan
yang
lemah,
percakapan
melalui
pendengaran, tidak mendapat kesukaran mendengar dalam suasana kelas
biasa asalkan tempat duduk diperhatikan
b) mereka menuntut sedikit perhatian dari sistem sekolah dan kesadaran dari
pihak guru tentang kesulitannya
c) tidak mempunyai kelainan bicara
d) kebutuhan dalam pendidikan perlu latihan membaca ujaran, perlu
diperhatikan mengenai perkembangan penguasaan perbendaharaan kata
e) jika kehilangan pendengaran melebihi 20 dB da mendekati 30 dB, perlu
alat bantu dengar
2) kehilangan kemampuan mendengar 30-40 deciBell atau dB (Marginal Losses)
mempunyai ciri-ciri:
a) mereka mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter. Mereka sulit
menangkap percakapan dengan pendengaran pada jarak normal dan
kadang-kadang mereka mendapat kesulitan dalam menangkap percakapan
kelompok
b) percakapan lemah hanya bisa ditangkap 50%, dan bila si pembicara tidak
terlihat yang ditangkap akan lebih sedikit atau di bawah 50%
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
c) mereka
akan
mengalami
sedikit
kelainan
dalam
bicara
dan
perbendaharaan kata terbatas
d) kebutuhan dalam program pendidikan antara lain membaca ujaran, latihan
mendengar, penggunaan alat bantu dengar, latihan bicara, latihan
artikulasi, dan perhatian dalam perkembangan perbendaharaan kata
e) bila kecerdasannya di atas rata-rata, dapat ditempatkan di kelas biasa
asalkan tempat duduk diperhatikan. Bagi yang kecerdasannya kurang
memerlukan kelas khusus
3) kehilangan kemampuan mendengar 40-60 deciBell atau dB (Moderat Losses)
mempunyai ciri-ciri:
a) mereka mempunyai pendengaran yang cukup untuk mempelajari bahasa
dan percakapan, memerlukan alat bantu mendengar
b) mereka mengerti percakapan yang keras pada jarak satu meter
c) mereka sering salah paham, mengalami kesukaran-kesukaran di sekolah
umum, mempunyai kelainan bicara
d) perbendaharaan kata terbatas
e) dalam program pendidikan mereka memerlukan alat bantu dengar untuk
menguatkan sisa pendengaran dan menambah alat-alat bantu pengajaran
yang sifatnya visual, perlu latihan artikulasi dan membaca ujaran serta
perlu pertolongan khusus dalam bahasa
f) mereka perlu masuk SLB B
4) kehilangan kemampuan mendengar 60-70 deciBell atau dB (Severe Losses)
mempunyai ciri-ciri:
a) mereka mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara
dengan alat bantu mendengar dan dengan alat khusus
b) karena mereka tidak belajar bahasa dan percakapan secara spontan pada
usia muda, kadang-kadang mereka disebut tuli secara pendidikan
(educationally deaf), yang berarti mereka dididik seperti orang yang
sungguh-sungguh tuli
c) mereka diajar dalam suatu kelas khusus untuk anak-anak tunarungu,
karena sisa pendengaran mereka tidak cukup untuk belajar bahasa dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
bicara melalui telinga, walaupun masih mempunyai sisa pendengaran yang
digunakan dalam pendidikan
d) kadang-kadang mereka dapat dilatih untuk mendengar dengan alat bantu
dengar dan selanjutnya dapat digolongkan kelompok kurang dengar
e) mereka masih bisa mendengar suara yang keras dari jarak dekat, misalnya
mesin pesawat terbang, klakson mobil, dan lolongan anjing
f) karena masih mempunyai sisa pendengaran, mereka dapat dilatih melalui
latihan pendengaran (Auditory tranning)
g) mereka dapat membedakan huruf hidup tetapi tidak dapat membedakan
bunyi-bunyi huruf konsonan
h) diperlukan
latihan
membaca
ujaran
dan
pelajaran
yang
dapat
mengembangkan bahasa dan bicara dari guru khusus, karena itu mereka
harus dimasukkan ke SLB B, kecuali bagi anak jenius dapat mengikuti
kelas normal
5) kehilangan kemampuan mendengar 57 deciBell atau dB ke atas (Profound
Losses) mempunyai ciri-ciri
a) mereka dapat mendengar suara yang keras dari jarak satu inci (2, 54 cm)
atau sama sekali tidak mendengar
b) mereka tidak sadar akan bunyi-bunyi keras, tetapi mungkin ada reaksi
kalau dekat dengan telinga, meskipun menggunakan pengeras suara
mereka tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk menangkap dan
memahami bahasa
c) mereka tidak belajar bahasa dan bicara melalui pendengaran, walaupun
menggunakan alat bantu dengar
d) mereka memerlukan pengajaran khusus yang intensif di segala bidang,
tanpa menggunakan mayoritas indra pendengaran
e) yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pendidikan ialah membaca
ujaran, latihan mendengar, fungsinya untuk mempertahankan sisa
pendengaran yang masih ada, meskipun hanya sedikit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
f) diperlukan teknik khusus untuk mengembangkan bicara dengan metode
visual, taktil, kinestetik, serta semua hal yang dapat membantu terhadap
perkembangan bicara dan bahasanya
Selain itu, ketunarunguan diklasifikasikan secara fisiologis, antara lain
(Permanarian Somad & Tati Hernawati, 1996: 32):
1) tunarungu hantaran (konduksi) : ketunarunguan disebabkan kerusakan atau
tidak berfungsinya alat-alat penghantar getaran suara pada telinga bagian
tengah.
2) Tunarungu syaraf (Sensorineural): tunarungu yang disebabkan oleh kerusakan
atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran bagian dalam syaraf
pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran.
3) Tunarungu campuran: kelainan pendengaran yang disebabkan kerusakan pada
penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran.
Klasifikasi tingkat ketunarunguan ini merupakan pedoman untuk
melaksanakan pembelajaran bahasa yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan
dan kemampuan individu anak tunarungu. Pelayanan pendidikan bagi anak
tunarungu tidak dapat disamaratakan. Kondisi anak harus dipahami secara
individual, agar apa yang dibutuhkan anak dapat tepat diberikan.
Menurut Totok Bintoro (2008), karakteristik kognisi dan karakteristik
bahasa anak tunarungu antara lain:
1) kognisi anak tunarungu
a) kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibandingkan
kemampuan verbal anak mendengar
b) performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar
c) daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak
dengar terutama pada informasi yang bersifat suksesi/berurutan
d) pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar
tidak ada perbedaan
e) daya ingat jangka panjang hampir tidak ada perbedaan, walaupun prestasi
akhir biasanya tetap lebih rendah
2) karakteristik di bidang bahasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
a)
miskin dalam kosakata
b)
terganggu bicaranya
c)
dalam berbicara dipengaruhi emosional/visual order (apa yang dirasakan
dan apa yang dilihat)
d)
tunarungu cenderung pemata
e)
bahasa merupakan hasil interaksi mereka dengan hal-hal yang konkret
c. Karakteristik Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu
Anak luar biasa mengalami kelainan dalam pertumbuhan dan
perkembangan baik fisik, mental, sosial maupun emosinya bila dibandingkan
dengan anak normal yang sebaya. Sehingga dalam memberikan bimbingan bagi
anak yang mengalami kelainan harus memperhatikan dasar-dasar bimbingan
khusus. Menurut Sardjono dan Samsidar ( 1998 : 22 ) dasar-dasar bimbingan
khusus bagi anak luar biasa meliputi :
1)
Dasar psikologis
Tiap-tiap anak mempunyai pola-pola perkembangan yang berbeda.
Jarak perbedaan pola perkembangan tersebut semakin besar kalau anak
didik mengalami gangguan atau kelainan dalam segi psikis maupun fisik.
2)
Dasar didaktis
Dalam mengajar anak guru wajib memperhatikan perbedaan pola-pola
perkembangan yang bersifat personal.
3)
Dasar paedagogik
Dari dasar-dasar pendidikan khusus jelas bahwa anak tunarungu
wicara mempunyai kelainan pendengaran dan bicaranya sehingga guru
dalam memberikan bimbingan harus memperhatikan keterbatasan masingmasing individu.
Membaca permulaan diberikan di kelas I dan kelas II Sekolah Dasar
Sabarti Akhadiah et al ( 1992: 31). Pembelajaran membaca di kelas I dan II
merupakan pembelajaran membaca tahap awal. Kemampuan membaca yang
diperoleh siswa di kelas I dan II tersebut akan menjadi dasar pembelajaran
membaca di kelas berikutnya (Darmiyati Zuchdi dan Budiasih, 2001: 57).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Pembelajaran membaca di SD/MI yang dilaksanakan pada jenjang kelas I dan
kelas II merupakan pembelajaran membaca tahap awal atau disebut membaca
permulaan (Winihasih, 2005)
Pengajaran membaca permulaan lebih ditekankan pada menggambarkan
kemampuan dasar membaca (Sabarti Akhadiah M. K, Maidar C. Arsjad, Sakura
H. Ridwan, Zulfahnur Z.F., Mukti U. S. 1992: 11). Lebih lanjut dikemukakan
bahwa dalam pembelajaran membaca permulaan siswa dituntut untuk dapat
“menyuarakan” kalimat-kalimat yang disajikan dalam bentuk tulisan. Dengan kata
lain siswa dituntut untuk mampu menerjemahkan bentuk tulisan ke dalam bentuk
lisan. Dalam hal ini, tercakup pula aspek kelancaran membaca. Siswa harus dapat
membaca wacana dengan lancar, bukan hanya membaca kata-kata ataupun
mengenali huruf-huruf yang tertulis.
Pengajaran membaca permulaan bertujuan agar siswa memiliki
pengetahuan dasar yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membaca bahasa
Indonesia. Pengajaran diarahkan untuk memperkuat kemampuan berbahasa lisan
siswa (Supriyadi, dkk, 1996: 180). Pengajaran membaca permulaan berlangsung
selama dua tahun. Tujuan pengajaran membaca permulaan ialah agar siswa
mampu memahami dan menyuarakan kalimat sederhana yang ditulis dengan
intonasi yang wajar Sabarti Akhadiah et al ( 1992: 33).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa membaca
permulaan adalah membaca tahap awal yang diajarkan di kelas rendah, yaitu pada
kelas I dan II Sekolah Dasar. Sedangkan pembelajaran membaca permulaan
bertujuan agar siswa mampu memahami dan menyuarakan kalimat sederhana
yang ditulis dengan intonasi yang wajar.
1. Proses Pembelajaran Membaca Permulaan
Di dalam proses pembelajaran membaca permulaan ini meliputi: (1)
penyusunan program pengajaran; (2) pelaksanaan pembelajaran; (3) evaluasi dan
(4) peran guru dalam pembelajaran.
a. Penyusunan Program Pengajaran
Program pengajaran adalah persiapan mengajar yang dibuat guru (dalam
bentuk tertulis) sebelum mengajar. Dalam program itu harus termuat
judul/topik/pokok bahasan, tujuan, sarana dan alat bantu belajar mengajar,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
kegiatan inti, kegiatan tindak lanjut dan evaluasi (penilaian) (Muchlisoh 1996:
83). Selanjutnya, Muchlisoh mengemukakan program mengajar atau persiapan
mengajar yang baik adalah yang terurai, yang menjabarkan langkah kegiatan inti
guru satu persatu. Di dalamnya tersaji pula cara pengorganisasian kelas (untuk
belajar kelompok, pasangan, individual, atau klasikal), metode mengajar, dan
sarana serta sumber belajar.
Dalam konteks pengajaran, perencanaan dapat diartikan sebagai proses
penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pengajaran, penggunaan
pendekatan dan metode pengajaran, dan penilaian dalam alokasi waktu yang akan
dilaksanakan pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
Abdul Majid (2007: 17).
Perencanaan pengajaran tercakup dalam penyusunan program pengajaran.
Menurut Abdul Majid (2007: 17-18), perencanaan pengajaran dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang, antara lain:
1) perencanaan pengajaran sebagai teknologi adalah suatu perencanaan yang
mendorong teknik-teknik yang dapat mengembangkan tingkah laku kognitif
dan teori-teori konstruktif terhadap solusi dan problem-problem pengajaran,
2) perencanaan pengajaran sebagai suatu sistem adalah sebuah susunan dari
sumber-sumber dan prosedur-prosedur untuk menggerakkan pembelajaran.
Pengembangan sistem pengajaran melalui proses sistemik selanjutnya
diimplementasikan dengan mengacu pada sistem perencanaan itu,
3) perencanaan pengajaran sebagai sebuah disiplin adalah cabang dari cabang
pengetahuan yang senantiasa memperhatikan hasil-hasil penelitian dan teori
tentang strategi pengajaran dan implementasinya terhadap strategi tersebut,
4) perencanaan pengajaran sebagai sains (science) adalah mengkreasi secara
detail
spesifikasi
dari
pengembangan,
implementasi,
evaluasi,
dan
pemeliharaan akan situasi maupun fasilitas pembelajaran terhadap unit-unit
yang luas maupun yang lebih sempit dari materi pelajaran dengan segala
tingkat kompleksitasnya,
5) perencanaan pengajaran sebagai proses adalah pengembangan pengajaran
secara sistemik yang digunakan secara khusus atas dasar teori-teori
pembelajaran dan pengajaran untuk menjamin kualitas pembelajaran. Dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
perencanaan ini dilakukan analisis kebutuhan dari proses belajar dengan alur
yang sistematik untuk mncapai tujuan pembelajaran. Termasuk di dalamnya
melakuka evaluasi terhadap materi pelajaran dan aktivitas-akivitas pengajaran,
6) perencanaan pengajaran sebagai sebuah realitas adalah ide pengajaran
dikembangkan dengan memberikan hubungan pengajaran dari waktu ke waktu
dalam suatu proses yang dikerjakan perencana dengan mengecek secara
cermat bahwa semua kegiatan telah sesuai dengan tuntutan sains dan
dilaksanakan secara sistematik.
Rencana/program ini akan menjadi acuan (pedoman) untuk melaksanakan
kegiatan belajar-mengajar. Dengan adanya perencanaan yang baik guru dapat
bekerja dengan teratur, langkah demi langkah, dan sesuai rencana (target) yang
telah ditentukan sehingga guru akan dapat mengetahui rencana/program yang
belum dan yang sudah dikerjakan (Muchlisoh 1996: 83).
Menurut PP NO 19 Tahun 2005 pasal 20 yang menjadi landasan rencana
pelaksanaan pembelajaran disebutkan bahwa perencanaan proses pembelajaran
meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurangkurangnya tujuan pembelajaran, materi pembelajaran,metode pembelajaran,
sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Departemen Pendidikan Nasional,
2007: 141).
Rencana
pelaksanaan
pembelajaran
(RPP)
adalah
rencana
yang
menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai
satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan telah dijabarkan
dalam silabus. Lingkup rencana pembelajaran paling luas mencakup satu
kompetensi dasar yang terdiri atas satu atau beberapa indikator untuk satu kali
pertemuan atau lebih (Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 142).
Dari beberapa pendapat mengenai penyusunan program pengajaran dapat
dikatakan bahwa kegiatan program penyusunan ini dilakukan oleh guru,
berdasarkan pada kurikulum yang berlaku. Program pembelajaran ini disusun
dalam bentuk silabus, setelah adanya pemetaan kompetensi kurikulum.
Selanjutnya, program pengajaran bahasa pada tiap kali pertemuan secara rinci
tertuang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun oleh guru.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
Kegiatan pembelajaran di dalam kelas dilaksanakan berdasar pada rencana
pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun guru.
b. Pelaksanaan Pembelajaran Membaca Permulaan
1) Materi Pembelajaran Membaca Permulaan
Pemilihan bahan pengajaran membaca permulaan harus dilakukan dengan
memperhatikan beberapa prinsip Sabarti Akhadiah et al ( 1992: 15) antara lain:
(1) bahan bacaan harus disesuaikan dengan kesiapan siswa; (2) tujuan pengajaran
membaca ialah mengembangkan berbagai aspek kemampuan siswa; (3) kondisi di
sekolah dan lingkungan masyarakat perlu diperhatikan.
a)
keadaan siswa
Siswa yang dihadapi guru beragam, baik latar belakang sosial, perhatian,
taraf kemampuan. Guru harus mampu memilih bahan bacaan yang
mencakup berbagai bidang perhatian, dan mencakup berbagai taraf kesulitan
b)
tujuan pengajaran membaca
Pengajaran harus dapat membimbing siswa sehingga akhirnya dapat
memahami bahan bacaan yang diperlukan untuk pengembangan dirinya
alam berbagai bidang secara cepat dan mandiri.
c)
kondisi sekolah dan lingkungan
Sekolah adalah bagian suatu lingkungan masyarakat. Bahan pengajaran
khususnya bahan bacaan hendaknya dipilih sesuai dengan kondisi
lingkungan.
Materi pembelajaran membaca permulaan ditujukan untuk mencapai
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah digariskan dalam kurikulum.
Standar Kompetensi membaca permulaan pada kelas I Sekolah Dasar semester
pertama adalah membaca nyaring suku kata, kata, dan kalimat sederhana. Pada
semester kedua, standar kompetensi membaca permulaan adalah membaca lancar
dan membaca puisi anak (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006: 315-316).
2) Metode Pembelajaran Membaca Permulaan
Metode mencakup beberapa faktor, yaitu penentuan bahan, penentuan
urutan
bahan, cara-cara penyajian bahan. Metode pembelajaran bahasa pada
hakikatnya adalah apa yang dimaksud oleh tujuan pembelajaran itu sendiri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
Semua aspek dalam situasi pembelajaran yaitu pemilihan bahan, peningkatan
bahan, cara-cara penyajian materi pembelajaran serta cara-cara pengulangan
materi tersebut (Sri Hastuti, 1996: 72).
Dalam pembelajaran membaca permulaan, ada beberapa metode yang
dapat digunakan, antara lain: (1) metode abjad; (2) metode bunyi; (3) metode
kupas rangkai suku kata; (4) metode kata lembaga; (5) metode global; dan (6)
metode struktural analitik sintetik (SAS) Sabarti Akhadiah et al ( 1992: 32-34).
a)
Metode Abjad dan Metode Bunyi
Metode abjad dan metode bunyi, menurut Akhaidah merupakan metode-
metode yang sudah sangat tua. Dalam penerapannya, kedua metode tersebut
sering menggunakan kata-kata lepas. Misalnya:
(1) Metode abjad:
bo-bo — bobo
la-ri — lari
(2) Metode Bunyi:
na-na — nana
lu-pa — lupa
Beda antara metode abjad dan metode bunyi terletak pada pengucapan
huruf. Pada metode abjad, huruf diucapkan sebagai abjad (“a”, ”be”, “ce”, dst),
sedangkan pada metode bunyi, huruf diucapkan sesuai dengan bunyinya [m], [n],
[a], dan seterusnya.
b)
Metode Kupas Rangkai Suku Kata dan Metode Kata Lembaga
Metode kupas rangkai suku kata dan metode kata lembaga dalam
penerapannya menggunakan cara mengurai dan merangkaikan.
Misalnya:
c)
Metode kupas rangkai suku kata: ma ta — ma-ta
pa pa — pa-pa
Untuk memperkenalkan huruf kepada siswa, suku kata yang sudah dikenal
oleh siswa diuraikan menjadi huruf, kemudian huruf dirangkaikan lagi menjadi
suku kata.
Misalnya: Nina — ni-na — ni-na — nina
d)
Metode Kata Lembaga:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
bola — bo-la — b-o-l-a — b-o--l-a — bola
bola — — bo – la — — b-o- — — l-a
— — bo – la — — bola
Kepada siswa disajikan kata-kata: salah satu diantaranya merupakan kata
lembaga, yaitu kata yang sudah dikenal oleh siswa. Kata tersebut diuraikan
menjadi suku kata, suku kata diuraikan menjadi huruf. Setelah itu huruf dirangkai
lagi menjadi suku kata, dan suku kata dirangkaikan menjadi kata.
e)
Metode Global
Metode global timbul sebagai akibat adanya pengaruh aliran psikologi
gestalt, yang berpendapat bahwa suatu kebulatan atau kesatuan akan lebih
bermakna daripada jumlah bagian-bagiannya.
Dalam penerapannya, metode ini memperkenalkan kepada siswa beberapa
kalimat, untuk dibaca. Sesudah siswa dapat membaca kalimat-kalimat itu, salah
satu diantaranya dipisahkan untuk dikaji, dengan cara menguraikannya atas kata,
suku kata, huruf-huruf. Sesudah siswa dapat membaca huruf-huruf itu, kemudian
huruf-huruf dirangkaikan lagi sehingga terbentuk suku kata, suku-suku menjadi
kata, dan kata-kata menjadi kalimat lagi.
f)
Metode SAS
Dalam pelaksanannya, metode ini dibagi dalam dua tahap, yakni: (1) tanpa
buku, (2) menggunakan buku. Mengenai hal itu Momo (1979) dalam Darmiyati
Zuchdi dan Budiasih (2001: 63-66) mengemukakan beberapa cara. Pada tahap
tanpa buku, pembelajaran dilaksanakan dengan cara-cara sebagai berikut:
(1) Merekam bahasa siswa
Bahasa yang digunakan oleh siswa di dalam percakapan mereka, direkam
untuk digunakan sebagai bahan bacaan. Karena bahasa yang digunakan
sebagai bahan bacaan adalah bahasa siswa sendiri maka siswa tidak akan
mengalami kesulitan.
(2) Menampilkan gambar sambil bercerita
Dalam hal ini, guru memperlihatkan gambar kepada siswa, sambil
bercerita sesuai dengan gambar tersebut. Kalimat-kalimat yang digunakan
guru dalam bercerita itu digunakan sebagai pola dasar bahan membaca.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
Contoh : Guru memperlihatkan gambar seorang anak yang sedang
menulis, sambil bercerita.
Kalimat-kalimat guru tersebut di tulis di papan tulis, dan digunakan
sebagai bahan bacaan.
(3) Membaca Gambar
Contoh: Guru Memperlihatkan gambar seorang ibu yang sedang
memegang sapu, sambil mengucapkan kalimat, “ini Ibu” Siswa
melanjutkan membaca gambar tersebut dengan bimbingan guru.
(4) Membaca gambar dengan kartu kalimat
Setelah siswa dapat membaca gambar dengan lancar, guru menempatkan
kartu kalimat di bawah gambar. Untuk memudahkan pelaksanaannya
dapat digunakan media berupa papan selip atau papan flanel, kartu
kalimat, kartu kata, kartu huruf, dan kartu gambar. Dengan menggunakan
kartu-kartu dan papan selip atau papan flanel, untuk menguraikan dan
menggabungkan kembali akan lebih mudah.
(5) Membaca kalimat secara struktural
Setelah siswa mulai dapat membaca tulisan di bawah gambar, sedikit demi
sedikit gambar dikurangi sehingga akhirnya mereka dapat membaca tanpa
dibantu gambar. Dalam kegiatan ini yang digunakan kartu-kartu kalimat
serta papan selip atau papan flanel. Dengan dihilangkannya gambar maka
yang dibaca siswa adalah kalimat:
Misalnya:
Ini bola
Ini bola adi
Ini bola ali
Ini bola tuti
dst.
(6) Proses analitik (A)
Sesudah siswa dapat membaca kalimat, mulailah menganalisis kalimat itu
menjadi kata, kata menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
Ini bola
ini bola
ini
bola
i ni
bo la
i
b o l a
n i
(7) Proses sintetik (S)
Setelah siswa mengenal huruf-huruf dalam kalimat yang digunakan, hurufhuruf itu dirangkaikan lagi menjadi suku kata, dan kata menjadi kalimat
seperti semula.
i n i
b o l a
i ni
bo la
ini
i n i
bola
b o l a
Secara utuh, proses SAS tersebut sebagai berikut:
Ini bola
ini
i
i
ni
n
i
bola
bo
i
la
b o l a
ni
bo la
ini bola
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
B. Kerangka Berpikir
Anak Tunarungu adalah anak yang mempunyai hambatan dalam
berkomunikasi karena disebabkan oleh hilangnya sebagian atau seluruh dari
pendengarannya. Bahasa oral adalah merupakan salah satu cara untuk melatih
anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan
orang mendengar. Bahasa isyarat adalah bahasa asli dari anak tunarungu, atau
isyarat merupakan suatu metode komunikasi untuk menyampaikan dan menerima
pesan, gagasan, pikiran, isi kandungan jiwa mengenai bahasa isyarat (sign
language), dan ejaan jari (finger spelling) atau gesti atau panto mimik, atau
anggota badan lainnya. Melalui isyarat anak tunarungu akan belajar memahami
bahasa lewat membaca isyarat yaitu dengan melihat gerakan –gerakan tangan
yang merupakan pengisyaratan dari tiap kata atau kalimat .Sehingga dengan
penguasaan bahasa oral dan bahasa isyarat yang baik, maka diharapkan mampu
membantu anak tunarungu dalam pembelajaran membaca permulaan. Karena
membaca permulaan adalah dasar dari pebelajaran bahasa di sekolah dasar.
Penguasaan
Bahasa Oral
Kemampuan Membaca
Permulaan
Penguasaan
Bahasa Isyarat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
C. Perumusan Hipotesis
Berdasar kerangka berpikir diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
1. “ Ada hubungan yang signifikan antara penguasaan bahasa oral
dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas I Sekolah Dasar
SLB N Kota Magelang Tahun Ajaran 2011/2012”.
2. “ Ada hubungan yang signifikan antara penguasaan bahasa isyarat
dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas I Sekolah Dasar
SLB N Kota Magelang Tahun Ajaran 2011/2012”.
3. “ Ada hubungan yang signifikan antara penguasaan bahasa oral dan
bahasa isyarat dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas I
Sekolah Dasar SLB N Kota Magelang Tahun Ajaran 2011/2012”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu Penelitian
1.
Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di SLB N Kota Magelang. Adapun kelas
yang akan menjadi populasi dan sampel adalah siswa kelas I Sekolah Dasar di
SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012.
2.
Waktu Penelitian
Tabel. 1 Rincian jadwal kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bulan September 2011 – Pebruari 2012
Waktu
September
kegiatan
penelitian
1
1. persiapan
awal sampai
penyusunan
proposal
2. seleksi
informan,
penyiapan
instrumen
3.pengumpulan
data
4. analisis data
2
3
4
Oktober
1
2
3
Nopember
4
1
2
3
Desember
4
1
2
3
Januari
4
1
2
3
Pebruari
4
1
X X X X
X X X
X X X X X X
X X X X X X X X
5. penyusunan
laporan
X X X X
B.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dasar dimana peneliti ingin
mengetahui hubungan penguasaan bahasa oral dengan kemampuan membaca
permulaan dan ingin mengetahui hubungan penguasaan bahasa isyarat dengan
kemampuan membaca permulaan serta ingin mengetahui hubungan penguasaan
commit to user
32
2 3 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
bahasa isyarat dan penguasaan bahasa isyarat terhadap kemampuan membaca
permulaan. Sehingga menggunakan metode korelasional dengan bahasa oral dan
bahasa isyarat sebagai variabel bebas dan kemampuan membaca permulaan
sebagai variabel terikat.
C.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas I Sekolah Dasar di SLB N
Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012, dimana sampel penelitian ini adalah
seluruh populasi yaitu sejumlah 8 orang dengan 5 laki-laki dan 3 perempuan.
D.
Teknik Pengumpulan Data
Suatu penelitian akan membutuhkan data-data yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan diteliti. Untuk memperoleh data-data tersebut
dipergunakan teknik-teknik pengumpulan data.
Dalam menyelesaikan penelitian ini teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah sebagai berikut :
a. Dokumentasi
Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 206) metode dokumentasi adalah
“Mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, ledger, agenda dan
sebagainya”. Dari pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa teknik
dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan
data dengan menggunakan catatan atau dokumen tertulis yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti.
Di dalam penelitian ini metode dokumentasi digunakan untuk
memperoleh data tentang identitas siswa dan nilai raport siswa I Sekolah Dasar di
SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
b. Tes
Metode tes digunakan untuk mengumpulkan data pada penguasaan bahasa
oral, penguasaan bahasa isyarat dan kemampuan membaca permulaan.
Tes ini meliputi
1. tes berbicara
2. membaca ujaran,
3. tes berisyarat
4. membaca isyarat.
E. Penentuan Validitas dan Rehabilitas
Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 57), sebuah tes yang dikatakan baik
sebagai alat pengukur harus memenuhi persyaratan tes, yaitu memiliki:
a Validitas, artinya dapat mengukur apa yang hendak diukur.
b. Reabilitas, artinya tes yang mempunyai keajegan, maksudnya taraf sejauh
mana
tes itu sama dengan dirinya sendiri, artinya bahwa hasil pengukuran
dengan tes itu adalah relatif sama.
c. Obyektifitas artinya tes yang mampu menyingkirkan faktor subyektif
pada individu-individu yang bersangkutan degan tes itu.
d. Praktisibilitas,
artinya
tes
itu bersifat
praktis,
mudah
pengadministrasiannya.
Tes yang praktis itu adalah tes yang:
1) Mudah dilaksanakan
2) Mudah pemeriksaannya
3) Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan
oleh orang lain.
e.
Ekonomis,
artinya
bahwa
pelaksaannya
tes
tersebut
tidak
membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
a) Validitas Tes
Untuk perbaikan instrumen penelitian adalah dengan uji validitas tiap-tiap
item. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah item tersebut mampu
mengukur keadaan siswa yang sebenarnya dengan cepat. Menurut Suharsimi
Arikunto (2002: 144), "Mengatakan bahwa validitas adalah suatu ukuran yang
menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen".
Suharsimi Arikunto ( 1996:158 ) menyatakan bahwa "instrumen atau alat
ukur dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan." Sesuai
dengan cara pengujiannya validitas ada dua macam yaitu :
1). Validitas Eksternal
Yaitu validitas yang berasal dari luar tes yang kita selidiki.
2). Validitas internal
Validitas yang berasal dari dalam tes yang kita selidiki validitasnya, yang
berupa total skor daripada tes tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa validitas menunjukkan sejauh
mana instrumen alat pengukur mampu mengukur apa yang diukur. Sebuah
instrumen dikatakan valid apabila dapat mengungkapkan data baru yang teliti
secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data
yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang variabel.
Untuk menguji tiap-tiap tes peneliti menggunakan teknik analisa korelasi
product moment dengan program SPSS
b) Realibilitas Tes
Menurut Sumadi Suryabrata (1984:29)," Reliabilitas adalah keajegan suatu
tes". Beberapa pendekatan dalam menguji reliabilitas suatu tes yaitu:
1) Pendekatan Reliabilitas Bentuk Paralel
Reliabilitas bentuk paralel ini dilakukan dengan menyusun dua tes
berdasarkan kisi-kisi dan spesifikasi yang sama. Penyusunan dua bentuk
paralel tidaklah mudah dan bila dapat dilakukan bentuk paralel ini
merupakan bentuk yang sangat mendekati konsep reliabilitas,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
2) Pendekatan Ulang
Pendekatan reliabilitas dengan teknik ulang ini disebut juga dengan teknik
tesretest reliability. Pendekatan disini dilakukan dengan cara memberikan
tes yang akan dicari reliabilitasnya kepada sekelompok subyek, kemudian
untuk selang beberapa waktu kita berikan kembali lagi tes itu kepada
subyek yang sama. Hasil dari pelaksanaan dua kali pengukiiran tersebut
kemudian dilakukan penghitungan korelasinya.
3) Pendekatan Belah Dua
Pendekatan reliabilitas dengan teknik belah dua ini sering disebut dengan
teknik gasal-genap, kareiia pembelahan item tes dilakukan dengan
membagi tes bernomor gasal sebagai tes kedua
Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini, digunakan teknik belah dua;
dengan membagi soal berdasarkan nomor gasal dan nomor genap. Untuk menguji
reliabilitas tes digunakan teknik belah dua dengan rumus Spearman-Brown
dengan program SPSS 19
F.
Teknik Analisis Data
Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis penelitian yang diajukan,
maka setelah data terkumpul diadakan tabulasi data. Selanjutnya diadakan
pengolahan data baru kemudian dapat disimpulkan hasilnya.
Teknik analisis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah
analisis statistik non parameterik Spearman Rank Order. Menurut Anton Sukarno
(2003 : 82) rumusnya sebagai berikut :
1
6 ∑ d²
n n
1
Keterangan:
rs
: koefisien korelasi
Σ d²
: deviasi skor Y dan X = Yr - Xr
N
: jumlah individu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
Adapun langkah-langkah sebagai berikut :
1. Merumuskan hipotesis
0 = t = 0 (tak ada hubungari antara X dan Y)
0 = 1≠0 (ada hubungan antara X dan Y)
2. Menentukan taraf signifikan '
Taraf signifikansi yang dipilih untuk kedua hipotesis tersebut adalah 5%
untuk masing-masing pihak.
3. Menentukan statistik uji.
Menggunakan Spearman Rank Order
4. Merubah skor mentah menjadi skor ordinal
5. Menghitung deviasi
6. Menghitung nilai rho
7. Keputusan uji
Analisis untuk menguji hipotesis ketiga adalah dengan uji F dengan langkahlangkah sebagai berikut :
Uji korelasi ganda (multiple product moment correlation) adalah suatu
analisis untuk menguji korelasi linear antara satu variable terikat (Y) dengan
sekelompok variable bebas (X) sebagai satu kesatruan variabel. Rumus yang
digunakan untuk menghitung korelasi ganda antara variabel terikat (Y) dengan 2
variabel bebas (x1 dan x2) adalah sebagai berikut:
Ry.12 =
. ²
. ²
.
.
.
. ²
Keterangan :
ry.12
= Korelasi antara X1 dan X2 dengan y
r1.y = korelasi antara x1 dengan y
r2.y = korelasi antara x2 dengan y
r1. 2 = korelasi antara x1 dengan x2
Untuk hasil analisis datanya digunakan Program SPSS 19
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Penelitian ini menyajikan data dari tiga variabel yaitu: (1) penguasaan
bahasa oral; (2) penguasaan bahasa isyarat, dan (3) kemampuan membaca
permulaan siswa kelas I Sekolah Dasar SLB N Kota Magelang tahun ajaran
20011/2012, yang penulis sajikan sebagai berikut:
No Nama
Anak
Jenis
Nilai Oral Nilai
Kelamin
Isyarat
Nilai. Kemampuan
Membaca
permulaan
1.
DW
L
70
75
75
2
JP
L
60
60
60
3
KD
P
70
70
70
4
LA
P
80
75
75
5
MA
L
60
65
60
6
NC
L
70
70
70
7
WU
P
60
65
60
8
YM
L
70
75
70
1. Penguasaan Bahasa Oral
Dari hasil pengumpulan data tentang variabel penguasaan bahasa oral
diperoleh hasil sebagai berikut : (1) skor tertinggi 80; (2) skor terendah 60; (3)
mean sebesar 67.5. Adapun hasil analisis statistik deskriptif seperti pada tabel
berikut:
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Skor Penguasaan Bahasa Oral
Skor
Frekuensi
Prosentase
Frekuensi
Kumulatif
Prosentase
Kumulatif
51-60
3
37.5
3
37.5
61-70
4
50.0
7
87.5
71-80
1
12.5
8
100.0
81-90
0
0
0
0
81-90
0
0
0
0
91-100
0
0
0
0
Total
8
100.0
-
-
Dari tabel tersebut dapat dibuat grafik seperti berikut:
frekuensi
4.5
4
3.5
3
2.5
2
frekuensi
1.5
1
0.5
0
51‐60
61‐70
71‐80
81‐90
Grafik. 1 Skor Penguasaan Bahasa Oral
commit to user
91‐100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
2. Penguasaan Bahasa Isyarat
Dari hasil pengumpulan data tentang variabel penguasaan bahasa isyarat
diperoleh hasil sebagai berikut : (1) skor tertinggi 75; (2) skor terendah 60; (3)
mean sebesar 69.375. Adapun hasil analisis statistik deskriptif seperti pada tabel
berikut:
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Skor Penguasaan bahasa isyarat
Skor
Frekuensi
Prosentase
Frekuensi
Kumulatif
Prosentase
Kumulatif
51-60
2
25.0
2
25.0
61-70
3
37.5
5
62.5
71-80
3
37.5
8
100.0
81-90
0
0
0
0
81-90
0
0
0
0
91-100
0
0
0
0
Total
8
100.0
-
-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
Dari tabel tersebut dapat dibuat grafik seperti berikut:
frekuensi
3.5
3
2.5
2
frekuensi
1.5
1
0.5
0
51‐60
61‐70
71‐80
81‐90
91‐100
Grafik. 2 Skor Penguasaan Bahasa Isyarat
3. Kemampuan membaca permulaan
Dari hasil pengumpulan data tentang variabel penguasaan bahasa isyarat
diperoleh hasil sebagai berikut : (1) skor tertinggi 75; (2) skor terendah 60; (3)
mean sebesar 67.5. Adapun hasil analisis statistik deskriptif seperti pada tabel
berikut:
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Skor Penguasaan bahasa isyarat
Skor
Frekuensi
Prosentase
Frekuensi
Kumulatif
Prosentase
Kumulatif
51-60
3
37.5
3
37.5
61-70
3
37.5
6
75.0
71-80
2
25.0
8
100.0
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
81-90
0
0
0
0
81-90
0
0
0
0
91-100
0
0
0
0
Total
8
100.0
-
-
Dari tabel tersebut dapat dibuat grafik seperti berikut:
frekuensi
3.5
3
2.5
2
frekuensi
1.5
1
0.5
0
51‐60
61‐70
71‐80
81‐90
91‐100
Grafik. 3 Skor Penguasaan Bahasa Isyarat
B. Pengujian Hipotesis
Dalam pengujian hipotesis ini akan digunakan teknik analisis Spearman
Rank Order dan Uji F. Spearman Rank Order digunakan untuk uji hipotesis
kesatu, kedua. Sedangkan uji F digunakan untuk uji hipotesis ketiga.
1. Hasil Uji Hipotesis Kesatu, Kedua
Dari hasil anailisis Spearman Rank Order diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Untuk uji hipotesis kesatu diperoleh TO 0,941 > tt 0,833 maka hipotesis
yang menyatakan ada hubungan yang positif antara penguasaan bahasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
oral dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas 1 sekolah dasar
di SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012 dapat diterima
kebenarannya pada taraf signifikansi 5%.
2. Untuk uji hipotesis kedua diperoleh TO 0,958 > tt 0,833 maka hipotesis
yang menyatakan ada hubungan yang positif antara penguasaan bahasa
isyarat dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas 1 sekolah
dasar di SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012 dapat diterima
kebenarannya pada taraf signifikansi 5%.
2. Hasil Uji Hipotesis Ketiga
Uji hipotesis keempat dilakukan dengan uji F. Dan hasil analisis tersebut
dapat diketahui korelasi ganda antara X1 (Penguasaan bahasa oral) dan X2
(Penguasaan bahasa isyarat) secara bersama-sama dengan Y (kemampuan
membaca permulaan) sebesar 0,896 signifikan dalam taraf signifikansi 5% karena
dari hasil uji F diperoleh harga F0 = 28.885> Ft 5% = 5,79.
b
Model Summary
Model
R
.959a
1
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
.920
.888
Durbin-Watson
2.18619
.924
a. Predictors: (Constant), VAR00002, VAR00001
b. Dependent Variable: VAR00003
b
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
Regression
Residual
Total
df
Mean Square
276.103
2
138.051
23.897
5
4.779
300.000
7
commit to user
F
28.885
Sig.
.002a
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
ANOVAb
Model
1
Sum of Squares
Regression
Residual
Total
df
Mean Square
276.103
2
138.051
23.897
5
4.779
300.000
7
F
Sig.
28.885
.002
a
a. Predictors: (Constant), VAR00002, VAR00001
b. Dependent Variable: VAR00003
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
Std. Error
(Constant)
-3.529
10.322
VAR00001
.478
.223
VAR00002
.559
.281
Coefficients
Beta
t
Sig.
-.342
.746
.516
2.140
.085
.481
1.992
.103
a. Dependent Variable: VAR00003
Residuals Statisticsa
Minimum
Predicted Value
Std. Predicted Value
Standard Error of Predicted
Maximum
Mean
Std. Deviation
N
58.6765
76.6176
67.5000
6.28039
8
-1.405
1.452
.000
1.000
8
.879
1.837
1.300
.343
8
56.7857
80.5000
67.7471
7.38303
8
-1.83824
3.16176
.00000
1.84766
8
-.841
1.446
.000
.845
8
Value
Adjusted Predicted Value
Residual
Std. Residual
Stud. Residual
-1.364
1.863
-.036
1.142
8
-5.50000
5.24390
-.24707
3.54901
8
-1.540
3.011
.079
1.466
8
Mahal. Distance
.257
4.066
1.750
1.349
8
Cook's Distance
.015
1.489
.392
.511
8
Centered Leverage Value
.037
.581
.250
.193
8
Deleted Residual
Stud. Deleted Residual
a. Dependent Variable: VAR00003
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
Charts
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
Dengan menggunakan db = 2 dan 5 dapat ditemukan harga F teoritis
dalam tabel nilai F sebesar 5,79 pada taraf 5% dan 13,27 pada taraf 1% oleh
karena harga F empiric terbukti lebih besar dari harga F teoritik baik pada 5%
maupun 1% maka dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi ganda antara
penguasaan bahasa oral (X1) dan kecerdasan (X2) dengan kemampuan membaca
permulaan (Y) sangat signifikan
3. Kesimpulan Pengujian Hipotesis
Dari hasil analisis tersebut dapat dirumuskan kesimpulan pengujian hipotesis
scbagai berikut:
1.
Hipotesis pertama yang menyatakan "ada hubungan yang positif antara
penguasaan bahasa oral dengan kemampuan membaca permulaan siswa
kelas 1 Sekolah Dasar di SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012
'' dapat diterima kebenarannya.
2.
Hipotesis kedua yang menyatakan "ada hubungan yang positif antara
penguasaan bahasa isyarat dengan kemampuan membaca permulaan
siswa kelas 1 Sekolah Dasar di SLB N Kota Magelang tahun ajaran
2011/2012 " dapat diterima kebenarannya.
3.
Hipotesis ketiga yang menyatakan "ada hubungan yang positif antara
penguasaan bahasa oral dan penguasaan bahasa isyarat dengan
kemampuan membaca permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar di SLB N
Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012 " dapat diterima kebenarannya.
C. Pembahasan Penelitian
Andreas Dwidjosumarto (dalam Permanarian Somad & Tati Hernawati,
1996: 27) menyatakan bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan
kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap
berbagai perangsang terutama melalui indra pendengaran. Masalah terbesar yang
dialami anak tunarungu adalah karena penguasaan bahasa yang kurang, sehingga
terhambatnya komunikasi dengan guru dan teman-temannya saat pembelajaran
membaca permulaan di sekolah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
Untuk mengurangi hambatan tersebut diatas, digunakan berbagai cara
komunikasi yang menekankan pada upaya meningkatkan penguasaan bahasa anak
tunarung antara lain:
Metode oral yang dipelopori Samuel Heinicke di Jerman. Metode ini
bertitik tolak dari pandangan bahwa “Anak tuli memiliki potensi untuk berbicara,
dan dapat diajar dengan baik” (Sardjono & Samsidar, 1990: 35). Dengan
penguasaan bahasa oral, anak tunarugu diharapkan mampu untuk berkomunikasi
dengan lingkungannya. Dalam hasil analisis data
TO
0,941 > tt 0,833 terbukti
bahwa ada hubungan positif antara penguasaan bahasa oral dengan kemampuan
membaca permulaan.
Menurut Sardjono (1991: 55), Anak tunarungu-wicara mempunyai dunia
kepribadian dan bahasa tersendiri, yaitu bahasa isyarat. Supaya mereka dapat
hidup bahagia dan sempurna kalau mereka dididik menurut kodratnya, yaitu
memakai metode manual bahasa yang memakai gerakan dan isyarat sebagai alat
komunikasi. Sesuai kodratnya, anak tunarungu diharapkan menguasai bahasa
isyarat, karena bahasa isyarat merupakan bahasa yang biasa digunakan oleh anak
tunarungu. Dengan penguasaan bahasa isyarat, anak tunarugu diharapkan mampu
untuk berkomunikasi dengan lingkungannya. Dalam hasil analisis data TO 0,958 >
tt 0,833 terbukti bahwa ada hubungan positif antara penguasaan bahasa isyarat
dengan kemampuan membaca permulaan.
Menurut Departemen Pendidikan dan kebudayaan (1994 : 3)Tuna rungu
adalah istilah yang menggambarkan keadaan kemampuan dengar yang kurang
atau tidak berfungsi secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk
belajar bahasa dan wicara tanpa bantuan metode dan peralatan khusus. Maka
diperlukan penguasaan bahasa oral dan isyarat yang baik untuk menunjang
keberhasilan pembelajaran membaca permulaan. Hal ini terbukti dari haris
analisis data penelitian F0 ~ 28.885 > F, 5% = 5,79 yang membuktikan bahwa ada
hubungan positif antara penguasaan bahasa oral dan penguasaan bahasa isyarat
dengan kemampuan membaca permulaan.
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat dikatakan bahwa
penguasaan bahasa oral dan isyarat merupakan penunjang keberhasilan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
pembelajaran membaca permulaan siswa tunarungu. Hal ini dibuktikan dari hasil
data tes penguasaan bahasa oral dan isyarat yang berhubungan positif dengan tes
kemampuan membaca permulaan.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan penguasaan
bahasa oral dan isyarat secara efektif meningkatkan kemampuan membaca
permulaan siswa kelas 1 sekolah dasar di SLB N Kota Magelang tahun ajaran
2011/2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis data tentang hubungan antara penguasaan bahasa oral
dan penguasaan bahasa isyarat dengan kemampuan membaca permulaan siswa
kelas 1 Sekolah Dasar di SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012 dapat
disimpulkan :
1.
Hipotesis pertama yang menyatakan " ada hubungan yang positif antara
penguasaan bahasa oral dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas
1 Sekolah Dasar di SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012" dapat
diterima kebenarannya (TO 0,941 > T, 0,833).
2.
Hipotesis kedua yang menyatakan " ada hubungan yang positif antara
penguasaan bahasa isyarat dengan kemampuan membaca permulaan siswa
kelas 1 Sekolah Dasar di SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012"
dapat diterima kebenarannya (TO 0,958 > T, 0.833).
3.
Hipotesis ketiga yang menyatakan " ada hubungan yang positif antara
penguasaan bahasa oral dan penguasaan bahasa isyarat dengan kemampuan
membaca permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar di SLB N Kota Magelang
tahun ajaran 2011/2012 " dapat diterima kebenarannya. (F0 = 10,250 > Ft
5%=5,79)
B. Implikasi Hasil Penelitian
Dari kesimpulan di atas tentang adanya hubungan positif antara
penguasaan bahasa oral dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas 1
SLB
N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012, maka dapat diimplikasikan
bahwa untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa kelas 1 SLB
N Kota Magelang dapat dilakukan dengan memperbaiki penguasaan bahasa
oralnya. Dengan penguasaan bahasa oral yang baik maka materi yang
disampaikan oleh guru dapat diterima siswa dengan baik dan dengan demikian
kemampuan membaca permulaannya akan meningkat.
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
Penelitian ini menunjukkan pula adanya hubungan positif penguasaan
bahasa isyarat dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas 1 SLB, maka
untuk dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa tersebut dapat
dilakukan
dengan
memperbaiki
penguasaan
bahasa
isyaratnya.
Dengan
penguasaan bahasa isyarat yang baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan
guru, siswa dengan karyawan akan meningkatkan motivasi siswa untuk belajar,
sehingga sangat mempengaruhi kemampuan membaca permulaan siswa.
Dengan terbuktinya ada hubungan positif penguasaan bahasa oral dan
penguasaan bahasa isyarat dengan kemampuan membaca permulaan siswa kelas 1
sekolah dasar
di SLB N Kota Magelang tahun ajaran 2011/2012
maka
kemampuan membaca permulaan siswa akan semakin baik jika dilakukan dengan
memperbaiki penguasaan bahasa oral dan penguasaan bahasa isyarat sekaligus.
C. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi hasil peneiitian ini maka dapat
dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi lembaga pendidikan, dalam hal ini SLB N Kota Magelang, agar lebih
meningkatkan kegiatan-kegiatan pelatihan bina wicara dan pelatihan bahasa
isyarat sehingga bisa menunjang kemampuan membaca permulaan siswa agar
lebih baik lagi.
2. Bagi kepala sekolah hendaknya memberikan pengarahan kepada guru dan
orang tua tentang pentingnya melatih penguasaan bahasa oral dan bahasa
isyarat.
3. Para guru hendaknya memberikan wawasan cara meningkatkan penguasaan
bahasa oral dan isyarat kepada siswa.
4. Bagi siswa diharapkan terus melatih kemampuan berbahasa oral dan isyaratnya
di sekolah maupun di luar sekolah karena dengan demikian dapat menunjang
usaha untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2007. Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Akhlan Husen dan Rahman. 1996. Perencanaan Pengajaran Bahasa. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar SDLB. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Burhan Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
BPFE: Yogyakarta.
Corrow, Woolfalk E. 1996. An Integrative Approach to Languange Disorder in
Children. Newyork: Gruane & Srarter
Darmiyati Zuchdi dan Budiasih. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
di Kelas Rendah. Yogyakarta: PAS.
Departemen P dan K. 1999. Materi Pelatihan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia
Tingkat Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Pendidikan Dasar Bagian Proyek Peningkatan Mutu Sekolah
Luar Biasa.
Departemen P dan K. 1999. Materi Pelatihan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia
Tingkat Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Pendidikan Dasar Bagian Proyek Peningkatan Mutu Sekolah
Luar Biasa.
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2006. Standar Isi, Standar Kompetensi
Lulusan, dan Panduan Penyusunan KTSP Tunarungu (B). Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2006. Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Tunarungu (B). Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Model Pembelajaran Khusus
Tunarungu (B). Jakarta: Dikti.
Djarwanto Ps. 2001. Mengenal Beberapa Uji Statistik dalam Penalties.
Yogyakarta: Liberty
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
Haviland. William A. 1995. Antropologi. Jakarta: Gramedia
Hermawan. 2003. Pengelolaan Kelas ALB. Surakarta: FKIP UNS
J. Drost. 1999. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta:
Grafindo.
Lani Bunawan. 1989. Metode Percakapan Reflektif. Jakarta: Bagian Penalties dan
Pengembangan Lembaga Pendidikan dan Latihan Anak Tunarungu Yayasan
Santi Rama
Mas Hary Sanyoto. Perlunya Penanganan Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus. http://www.ditplb.or.id. diakses pada tanggal 20 September 2007.
Miles, B. Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif
Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.
Mohammad Efendi. 2006. Pengantar Psikoedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Muchlisoh, dkk. 1992. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia 3. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pembinaan Tenaga
Kependidikan Pendidikan Tinggi.
Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan Landasan Penyusunan Buku Pelajaran
Bahasa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Permanarian Somad dan Tati Hernawati. 1996. Ortopedagogik Anak Tunarungu.
Bandung: Dikti.
Rooijakkers, Ad. 1993. Mengajar dengan Sukses: Petunjuk untuk Menyampaikan
dan Merencanakan Pengajaran. Jakarta: Grasindo.
Sabarti Akhadiah M. K, Maidar C. Arsjad, Sakura H. Ridwan, Zulfahnur Z.F,
Mukti US. 1992. Bahasa Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan
Tenaga Kependidikan.
----- 1992.
Bahasa Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan
Tenaga Kependidikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
----- 1992.
Bahasa Indonesia III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan
Tenaga Kependidikan.
Sastrawinata, E (1977), Pendidikan Anak Tunarungu, Bandung : NV Masa Baru.
Sardjono dan Samsidar. 1997. Artikulasi.. Surakarta: FKIP UNS.
Sardjono. 2000. Orthopaedagogik Tunarungu i. Surakarta. UNS.
Soeparno. 1980. Media Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Sri Anitah. 2007. Media Pembelajaran. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon
13.
Sri Hastuti P.H. 1996. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penalties Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta:
Bina Aksara
Sunardi. tt. Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Dikti.
Supriyadi, dkk. 1992. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pembinaan Tenaga
Kependidikan Pendidikan Tinggi.
Totok Bintoro. 2008. Materi, Metode dan Penilaian Bina Komunikasi Persepsi
Bunyi dan Irama (BKPBI). Disampaikan dalam Workshop Nasional AppkhlUNS-Isape, 3 Februari 2008.
Winihasih. 2005. “Diagnosis Kesulitan Membaca Permulaan Siswa SD/MI
Melalui Analisis Reading Readiness”. Jurnal Sekolah Dasar, Tahun 14,
Nomor 1.
Wojowasito & Purwadarminta. 1991. Kamus Lengkap Bahasa Inggris. Bandung:
Hasta
commit to user
Download