3 media bertelur. Jumlah telur dihitung setiap kali panen. Tempat Pupa Masa inkubasi telur BSF hingga menetas berlangsung selama 48 jam atau dua hari. Larva berumur 2 hari sejak menetas, memasuki tahap makan dan melakukan pergerakan yang sangat aktif. Pertumbuhan larva berawal dari ukuran panjang tubuh kurang dari 1 mm hingga 21.81 mm pada ketiga bak yang diamati (Gambar 4). Media Bertelur Gambar 2 Kandang baru untuk pupa BSF. Pengamatan Serangga Kompetitor BSF Disiapkan tiga macam perlakuan (A, B, dan C) dengan 3 bak setiap perlakuan sebagai ulangannya. Perlakuan A diisi dengan media PKM yang ditambah dengan maggot BSF berumur 1 minggu. Perlakuan B mengandung media PKM dan telur BSF. Perlakuan C sebagai kontrol hanya mengandung media PKM saja. Bak-bak pengamatan diletakkan di sebelah kantor IRD, Depok (Gambar 3). Sampling dilakukan sekali seminggu selama 2 minggu dan dihitung jumlah semua serangga yang ada di dalam bak. Gambar 3 Bak pengamatan serangga kompetitor BSF. HASIL Siklus Hidup dan Pertumbuhan BSF Pengamatan siklus hidup BSF yang dipelihara di dalam media PKM dengan penambahan silase ikan menunjukkan bahwa BSF di bak pertama paling cepat melalui tahapan telur-pupa (25 hari). BSF di bak kedua melampauinya dalam waktu lebih lama (29 hari) sedanngkan BSF di bak ketiga paling lama menyelesaikannya yaitu dalam waktu 33 hari. Gambar 4 Perubahan panjang tubuh BSF. Laju pertumbuhan cepat dicapai sampai hari ke-17 pada bak 1 dan 2, serta hingga hari ke-21 pada bak 3. Pengamatan lebar tubuh dari ketiga bak yang diamati berkisar antara 0.27-5.76 mm (Gambar 5). Gambar 5 Perubahan lebar tubuh BSF. Bobot rata-rata telur dan maggot mikro tidak dapat ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Rata-rata bobot maggot per ekor baru dapat terbaca ketika berumur 3 - 5 hari. Bobot terus meningkat pada fase maggot dan akan menurun ketika fase prepupa mendekati fase pupa. Kisaran bobot tubuh maggot awal kurang dari 0.001 gram sampai 0.181 gram (Gambar 6). 4 Gambar 6 Perubahan bobot tubuh BSF. Panjang, lebar, dan bobot tubuh maggot BSF saling berbanding lurus dan memiliki nilai korelasi positif dengan nilai R2 mendekati 1 (Lampiran 1). Tahap prepupa diikuti dengan adanya perubahan warna dari kekuningan menjadi kecoklatan. Prepupa pada bak 1 dicapai pada hari ke-17, pada bak 2 dan bak 3 dicapai pada hari ke-21. Maggot berhenti makan ketika tahap prepupa mendekati fase pupa. Pupa mulai muncul pada hari ke-23 pada bak 1 dan bak 2, pupa 100% dicapai pada hari ke-25 pada bak 1 dan pada hari ke-29 pada bak 2. Bak 3 mencapai pupa 100% pada hari ke-33. Pupa berlangsung berikutnya selama +5 hari, imago mulai muncul pada hari berikutnya dan disusul dengan perkawinan. Tiga hari kemudian mulai ada imago yang menghasilkan telur untuk dipanen yang berlangsung selama +3 minggu sampai imago habis. Suhu dan pH Media, serta Suhu dan Kelembaban Udara Suhu media bak 1 memiliki nilai rata-rata 27.96-31.540C dan 28.86-30.360C pada media bak 3 (Gambar 7). Hasil pengu kuran suhu media berubah-ubah setiap hari. Fluktuasi suhu pada bak 1 terjadi secara tajam jika dibanding dengan suhu pada bak 3. Suhu bak 3 juga berfluktuasi namun tidak sebesar fluktuasi suhu pada bak 1. Kisaran suhu udara pada bak 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 24.7- 34.90C, 25.1-35.10C, 25.5-33.4 0C. Kelembaban bak 1 memiliki nilai minimal 48.4-48.5% dengan nilai maksimal 91.4-91.5%. Bak 2 kelembaban minimalnya 49.2-49.3 % dan maksimalnya 90.0-90.1%. Nilai kelembaban minimal 45.9% dan maksimal 89.7-89.8% didapat dari bak 3 (Lampiran 2). pH juga terus berubah setiap hari, adakalanya naik dan ada saatnya turun. pH relatif meningkat saat awal pertumbuhan larva dan menurun pada waktu prepupa. Naik turun pH ketiga bak berkisar antara 4.75-7.67 pada bak 1, 4.22-8.00 pada bak 2, dan 4.20–8.30 pada bak 3 (Gambar 8). Gambar 8 Hasil pengukuran pH media Persentase Keberhasilan Terbang BSF Persentase imago yang berhasil terbang berbeda pada dua lokasi peletakan wadah. Wadah-wadah yang diletakkan di laboratorium memiliki persentase terbang lebih tinggi dari pada wadah-wadah yang berada di kandang. Persentase serangga berhasil terbang yang diletakkan di dalam laboratorium adalah 95+1%. Serangga yang berhasil terbang hanya mencapai 59+17% didapat dari wadah yang ada di dalam kandang (Gambar 9). Gambar 9 Persentasi keberhasilan terbang BSF pada dua lokasi yang berbeda. Gambar 7 Rata-rata suhu media tumbuh BSF. 5 Telur yang Dihasilkan BSF Pupa yang dipindahkan ke kandang baru telah mengalami tahap pupa sempurna. Imago mulai bermunculan setelah hari ke-5 dan telur dihasilkan mulai hari ke-8 terhitung dari BSF menjadi pupa. Pengambilan telur yang dilakukan terhadap 4 kandang pada siklus hidup yang berbeda menghasilkan rata-rata telur 19,01 gram telur. Hasil total telur yang dipanen setiap kandang berbeda-beda (Tabel 1). Tabel 1 jumlah total telur BSF yang dihasilkan No. Kandang Jumlah Total Telur (gram) 1 1 24.06 2 2 18.57 3 3 16.58 4 4 16.83 Rata-rata 19.01 Serangga Kompetitor BSF terhadap PKM Sampling pertama pada pengamatan tercatat bahwa perlakuan A hanya mengandung maggot BSF dan tidak terdapat maggot Musca sp. ataupun pupanya. Maggot BSF, Musca sp., dan pupa Musca sp. ditemukan pada perlakuan B dengan jumlah pupa Musca sp. paling sedikit. Perlakuan C pada pengamatan, hanya terdapat maggot dan pupa Musca sp. dan tidak terlihat adanya maggot BSF pada media (Gambar 10). Gambar 10 Kelimpahan individu pada sampling 1 Sampling kedua pada perlakuan A hanya terlihat maggot BSF. Pada perlakuan B ditemukan maggot BSF dan pupa Musca sp. tetapi tidak ditemukan maggot Musca sp. Tercatat hanya pupa Musca sp. yang ditemukan pada perlakuan C (Gambar 11) (Lampiran 3). Gambar 11 Kelimpahan Individu pada Sampling 2 PEMBAHASAN Pertumbuhan, Perkembangan, dan Siklus Hidup Laju pertumbuhan panjang, lebar, dan bobot tubuh maggot BSF berbeda-beda antara satu bak dengan bak lainnya. Panjang tubuh terlihat korelasinya dengan lebar dan bobot tubuhnya. Lebar tubuh dan bobot tubuh meningkat dengan bertambahnya panjang tubuh. Demikian pula sebaliknya, karena ketiganya saling berkorelasi positif. BSF adalah hewan holometabola, karena itu siklus hidupnya melalui tahapan telur, larva (maggot), pupa dan imago. Fase pupa sempurna terjadi ketika maggot telah berwarna hitam kelam dan tidak bergerak lagi. Kulit luar pada fase pupa juga lebih keras dengan bobot tubuh yang lebih ringan jika dibanding dengan fase sebelumnya. Fase pupa ini berbeda dengan masa maggot, bagian abdomen dari pupa tampak melengkung ke arah ventralnya. Rachmawati (2010) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk fase telur-pupa ialah 24 hari dengan laju pertumbuhan cepat sampai hari ke-8 dengan panjang kurang dari 1 mm hingga 20 mm dalam media PKM. Pada penelitian ini, siklus hidup BSF pada media PKM dengan penambahan silase ikan terlihat lebih lambat jika dibanding dengan media PKM saja. Penambahan silase ikan memberikan dampak positif terhadap waktu laju pertumbuhan pesat. Laju pertumbuhan pesat terjadi lebih lama dengan rata-rata pertumbuhan tubuhnya yang lebih panjang. Perbedaan keberhasilan terbang serangga pada dua tempat yang berbeda disebabkan oleh suhu. Suhu dalam kandang lebih berfluktuatif tajam (20oC-37oC) jika dibandingkan dengan dalam laboratorium. Suhu laboratorium relatif tetap (+25oC) karena menggunakan AC untuk menjaga kestabilan suhunya. Hasil yang serupa 6 didapat oleh Ardianti (2011), yang menyatakan serangga BSF yang diletakkan dalam laboratorium memiliki persentase terbang lebih tinggi dari pada yang diletakkan dalam kandang. Menurutnya, suhu menjadi salah satu faktor dalam persentase keberhasilan terbang bagi BSF. Artinya naik turun suhu dalam kandang memberikan pengaruh negatif bagi persentase terbang imago. Perbedaan persentase terbang antara dua lokasi ini cukup besar, dalam laboratorium persentase terbangnya mencapai 95% dengan persentase gagal terbangnya hanya 5%. Persentase terbang dalam kandang hanya mencapai 59% dengan persentase gagal terbangnya 41%. Perbedaan persentase keberhasilan terbang di laboratorium dan di kandang mencapai 36%. Berdasarkan pakannya, BSF dengan pakan PKM yang ditambah dengan silase ikan seperti pada penelitian ini memiliki ukuran yang lebih panjang dan menghasilkan telur lebih banyak jika dibanding dengan BSF dengan pakan PKM saja seperti pada penelitian Rachmawati (2010). Hal ini disebabkan PKM plus silase ikan memiliki kualitas gizi yang lebih baik dari PKM saja. Maggot yang diberi pakan PKM dengan penambahan silase ikan memiliki kandungan yang lebih baik jika dibanding dengan maggot yang hanya diberi pakan PKM (Ardianti 2011) (Lampiran 4). Telur yang dihasilkan BSF berkaitan dengan ukuran tubuh induk betinanya. Semakin panjang ukuran tubuh induk betina semakin banyak jumlah total telur yang dihasilkan. Menurut Rachmawati (2010) panjang tubuh berkorelasi positif dengan jumlah telur yang dihasilkan oleh BSF. BSF dari bak yang berbeda juga memiliki jumlah telur yang berbeda. Perbedaan jumlah telur tersebut bisa dikarenakan oleh ukuran tubuh dari BSF. Perbedaan ukuran BSF bisa dikarenakan media tumbuhnya saat maggot. Media bertelur yang kering menjadikan serangga bertelur tidak hanya pada daun pisang yang disiapkan. Banyak telur yang terdapat di media PKM dan tidak terambil, sehingga tidak terhitung pada waktu penimbangan. Panen telur pertama didapatkan jumlah telur yang sedikit, pada panen kedua dan ketiga mengalami penigkatan. Penurunan jumlah panen akan terjadi setelah itu, dan pada tahap akhir pengambilan telur hanya diperoleh telur dengan bobot di bawah 1 gram. Pengaruh Faktor Abiotik terhadap Laju pertumbuhan dan Siklus Hidup Seperti telah disebutkan di atas laju pertumbuhan dan siklus hidup BSF berbedabeda antara satu bak dengan bak yang lainnya. Perbedaan yang terlihat kemungkinan besar disebabkan oleh faktor abiotik (seperti: suhu, kelembaban, dan pH). Suhu media bak 1 relatif lebih tinggi jika dibanding dengan suhu media pada bak 3. Lama waktu siklus hidupnya lebih cepat pada bak 1 daripada bak 3. Suhu media tumbuh juga akan mempengaruhi kecepatan fase telur-pupa. Menurut Tomberlin et al. (2009) suhu menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi waktu perkembangan larva hingga menjadi pupa. Larva BSF yang dipelihara pada suhu 27oC berkembang lebih lama dibanding dengan yang dipelihara pada suhu 30oC. Suhu udara bak 1 paling tinggi di antara bak yang lain yaitu bak 2 dan 3. Suhu udara bak dipengaruhi oleh suhu lingkungan, media, dan juga metabolisme larva BSF di dalamnya. Kelembaban pada bak dipengaruhi oleh kandungan air yang terdapat pada media, lingkungan, dan cuaca. Dua tempat yang memiliki suhu sama belum tentu memiliki kelembaban sama pula pada tempat tersebut. Hal itu dikarenakan perbedaan angin ataupun faktor lingkungan lainnya. Pengukuran kelembaban pada bak 1 dan 3 didapatkan hasil lebih tinggi dari bak 2. Bak 1 dan 3 terletak di pojok ruangan yang lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan luar. Daerah luar banyak terdapat pepohonan rindang dan didapatkan kelembaban yang lebih tinggi dari pada bak 2. Waktu pengukuran juga mempengaruhi hasil yang didapatkan. Menurut Kartasapoetra (1991), kelembaban juga salah satu faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan serangga. Kelembaban optimum untuk pertumbuhan berada di sekitar 75%. Batas kelembaban minimal dan maksimal masing-masing mendekati 0% dan 100% (Kartasapoetra 1991). Serangga adalah hewan yang memiliki toleransi luas terhadap pH. pH optimum untuk pertumbuhan serangga sekitar 7. Kenaikan atau penurunan pH yang terjadi secara cepat akan mempengaruhi pertumbuhan serangga. Bahkan akan menyebabkan kematian pada serangga tertentu (Mccoy 2005). Sisa metabolisme seperti pengeluaran kotoran larva, dapat mempengaruhi pH bak. pH awal media lebih asam karena hasil awal fermentasi media, baik PKM ataupun silase ikan. pH berpengaruh terhadap pertumbuhan