SLB - Universitas Udayana Repository

advertisement
GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN ORANG TUA SISWA SEKOLAH
LUAR BIASA (SLB) DI DENPASAR, BALI
Dico Gunawijaya1, Ni Ketut Sri Diniari2
1
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2
Departemen Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
ABSTRAK
Latar Belakang: Gangguan jiwa saat ini telah menjadi isu kesehatan di Indonesia.
Berdasarkan data dari Kemenkes tahun 2007, diperkirakan 25% dari total penduduk
mengalami gangguan jiwa. Salah satu gangguan jiwa tersering adalah gangguan
cemas. Gangguan cemas dapat dikarenakan oleh banyak faktor seperti keadaan
keluarga. Keadaan keluarga yang berbeda dari yang lain, misalnya keberadaan anak
yang berkubutuhan khusus, dapat memicu gangguan ini. Pada bulan November 2013,
dilakukanlah penelitian mengenai tingkat kecemasan yang terjadi pada orang tua dengan
anak berkebutuhan khusus yang dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Denpasar,
Bali. Kecenderungan akan terjadinya gangguan cemas pada setiap karakteristik orang
tua dibahas dalam penelitian ini.
Metode: Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 dengan metode studi
deskriptif cross-sectional. Subyek penelitian adalah orang tua siswa SLB-A Negeri
Denpasar dan SLB-B Sidakarya Denpasar yang terdiri dari 57 orang. Data didapatkan
dengan menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale. Selanjutnya data dianalisis secara
deskriptif dengan program komputer.
Hasil dan Diskusi: Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70,2% sampel tidak memiliki
gangguan cemas, 21,1% kecemasan ringan, 8,8% kecemasan sedang, dan 0%
kecemasan berat. Pada kelompok umur <40 tahun dan ≥40 tahun masing-masing
terhitung 25,9% dan 33,3% melaporkan mengalami kecemasan. Ditinjau dari jenis
kelamin, persentase gangguan cemas hampir sama; laki-laki 31% sedangkan perempuan
28,6%. Sebesar 40% dari sampel kategori SD atau SMP serta 27,6% kategori SMA atau
kuliah mengalami gangguan cemas. Berdasarkan pekerjaan, kecemasan ringan paling
banyak ditemukan pada karyawan swasta (40%) dan pekerjaan lainnya (40%),
sedangkan kecemasan sedang paling banyak ditemukan pada sampel yang tidak bekerja
(26,7%). Sekitar seperempat dari sampel (26%) yang berstatus menikah dan seluruh
sampel (100%) yang berstatus bercerai mengalami gejala gangguan cemas.
Simpulan: Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang
tua siswa SLB di Denpasar, Bali mayoritas tidak mengalami gangguan cemas.
Frekuensi gangguan cemas yang muncul pada setiap karakteristik sampel yang didata
bervariasi.
Kata Kunci: tingkat kecemasan, orang tua, siswa SLB
1
DESCRIPTION OF THE ANXIETY LEVEL IN THE PARENTS OF SPECIALEDUCATIONAL-NEED (SEN) SCHOOL STUDENTS IN DENPASAR, BALI
Dico Gunawijaya1, Ni Ketut Sri Diniari2
1
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2
Departemen Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
ABSTRACT
Background: Mental health is one of health issue in Indonesia nowadays. According
from data of Indonesian Ministry of Health on 2007, it is estimated that 25% of all
population suffer from mental illness. One of the most prevalent mental illness is
anxiety disorder. Many factors can cause anxiety disorder, for example family
condition. Family condition that differs from others, like presence of special need
children, can precipitate this disorder. On November 2013, a research of anxiety level
in the parents of Special-Educational-Need (SEN) (Indonesian: Sekolah Luar Biasa
(SLB)) school students in Denpasar was conducted. Tendency of the presence of anxiety
disorder based on parents’ characteristics was analyzed in this research.
Method: Research was conducted on November 2013 with cross sectional design.
Subjects were parents of students in SLB-A Negeri Denpasar and SLB-B Sidakarya
Denpasar, with the total of 57 samples. Data was collected using Hamilton Anxiety
Rating Scale. Then data was analyzed in descriptive design with computer program.
Result and Discussion: The result shown that 70,2% sample present no sign of anxiety
disorder, 21,1% mild anxiety, 8,8% moderate anxiety, and 0% severe anxiety. In the age
group of <40 y.o. and ≥40 y.o, anxiety symptoms was counted 25,9% and 33,3%
respectively. Based on sex characteristic, percentage of anxiety disorder is nearly the
same; 31% in male whereas 28,6% in female. 40% sample with lower educational level
(elementary and junior high school) and 27,6% sample with higher educational level
(senior high school and college) suffer from anxiety disorder. Based on sample’s
occupation, mild anxiety is mostly found in private workers (40%) and others (40%);
moderate anxiety is mostly found in unemployment (26,7%). 26% sample that still
married and 100% that divorced report anxiety symptoms.
Conclusion: We can conclude that majority of the parents of SLB students in Denpasar,
Bali are not suffering from anxiety disorder. Wide variation was found in frequency of
anxiety disorder that reported from each characteristics of sample..
Keywords: anxiety level, parents, SEN school students
2
LATAR BELAKANG
Menurut UU nomor 23 tahun 1992,
sehat didefinisikan sebagai keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial
yang memungkinkan hidup produktif
secara sosial dan ekonomi.1 Dari
definisi
tersebut
tersirat
bahwa
kesehatan jiwa merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kesehatan dan
merupakan
unsur
utama
dalam
menunjang terwujudnya kualitas hidup
manusia yang utuh. Maka dari itu,
pembangunan kesehatan sebagai bagian
dari upaya membentuk manusia
seutuhnya
antara
lain
dapat
diselenggarakan
melalui
upaya
pemeliharaan kesehatan jiwa.
Pada banyak negara di dunia,
gangguan jiwa banyak terjadi dan sering
menyebabkan dampak yang serius pada
penderita
maupun
lingkungannya.
WHO menyebutkan bahwa 12% dari
Global Burden Disease disebabkan
oleh masalah gangguan jiwa, bahkan
menunjukkan dampak lebih besar dari
kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%),
dan penyakit serebrovaskuler (3,2%).1
Gangguan jiwa saat ini telah
menjadi masalah kesehatan global bagi
setiap negara tidak hanya di Indonesia.
Gangguan jiwa yang dimaksud tidak
hanya gangguan jiwa psikotik, namun
juga
kecemasan,
depresi,
dan
penggunaan Narkotika, Psikotropika,
dan
Zat
Adiktif
(NAPZA).1
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar
(Riskesdas)
tahun
2007,
diperkirakan sekitar 50 juta atau 25%
dari total populasi 220 juta penduduk
mengalami
gangguan
jiwa di
Indonesia dengan 1.093.150 diantaranya
atau 0,46% berisiko mengalami
gangguan jiwa berat. Dari sekitar satu
juta penduduk tersebut, hanya 38.260
orang yang terlayani dengan perawatan
memadai
di
pusat
kesehatan
masyarakat.2
Banyak gangguan jiwa yang
muncul pada saat umur dewasa muda
dan dewasa, serta menunjukkan efek
samping yang signifikan terhadap
kehidupan dari penderitanya. Gangguan
jiwa pada dewasa juga diasosiasikan
dengan terapi yang efektif dengan costeffectiveness ratios yang positif.3
Gangguan ini disebabkan oleh berbagai
macam jenis stresor, baik internal
maupun eksternal. Pada sebuah survei
di Amerika Serikat, stresor yang dirasa
memengaruhi secara signifikan pada
orang tua antara lain kondisi keuangan,
pekerjaan, tanggung jawab keluarga,
hubungan sosial, kondisi kesehatan
pribadi, dan kondisi kesehatan keluarga.
Stresor dari kondisi kesehatan keluarga
terhitung dikeluhkan oleh 47% dari
seluruh orang tua yang terlibat pada
survei ini, yang meliputi kesehatan
pasangan dan anak.4
Gangguan
cemas
merupakan
gangguan jiwa yang paling sering
ditemukan pada populasi umum; hampir
30 juta orang menderita gangguan
cemas di Amerika Serikat, dengan
predominansi perempuan dua kali lebih
besar daripada laki-laki. Gangguan ini
sering menimbulkan angka morbiditas
yang signifikan serta sering bersifat
kronis dan resisten terhadap terapi.
Kejadian traumatik dan stresor telah
dibuktikan sebagai faktor utama
pencetus gangguan ini.5
Menurut
Freud,
salah
satu
klasifikasi dari kecemasan adalah
kecemasan realitas, yaitu kecemasan
atau rasa takut akan bahaya-bahaya dari
luar.6 Sesuai dengan pembahasan suvei
stresor di atas, kesehatan anak
merupakan salah satu hal yang dapat
menimbulkan stres pada hampir
setengah dari jumlah orang tua.5 Orang
tua yang memiliki anak dengan
kesehatan yang terganggu, misalnya
anak berkebutuhan khusus, akan
merasakan berbagai masalah serta dapat
3
menimbulkan gejala gangguan jiwa
yang bermakna seperti kecemasan.7
Sekolah
Luar
Biasa
(SLB)
merupakan sekolah yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus.8
Terhitung pada tahun 2013, dari total
914.612 peserta didik di Provinsi Bali,
siswa SLB di Denpasar sendiri terhitung
140 orang, termasuk diantaranya SLBA, SLB-B, dan SLB-C.9
Penelitian tentang kecemasan orang
tua siswa SLB belum pernah dilakukan
di
Bali,
khususnya
Denpasar.
Berdasarkan uraian di atas, maka
diperlukan evaluasi mengenai tingkat
kecemasan orang tua siswa SLB di
Denpasar. Dari hasil evaluasi ini
diharapkan dapat menambah referensi
yang menunjang bagi ilmu pengetahuan
khususnya ilmu kedokteran jiwa dan
kesehatan masyarakat.
METODE
Rancangan studi deskriptif cross
sectional digunakan dalam penelitian
ini. Sampel pada penelitian ini adalah
seluruh orang tua siswa SLB A Negeri
Denpasar dan SLB B Sidakarya
Denpasar. Adapun besar sampel yang
diperlukan adalah 55 orang; jumlah ini
didapat berdasarkan rumus sampel
cross-sectional dengan metode koreksi
sampel apabila populasi kurang dari
10.000 orang (Z=1,96; p=0,592;
q=0,408; d=10%; N=140). Kriteria
inklusi yang ditetapkan yaitu sampel
kooperatif dan memiliki hubungan
keluarga vertikal langsung atau tidak
langsung dengan siswa (misal ayah, ibu,
kakek, nenek, paman, bibi).
Data yang dikumpulkan berupa
data primer. Peneliti melakukan
wawancara langsung terhadap sampel
meliputi karakteristik demografi (umur,
jenis kelamin, pendidikan terakhir,
pekerjaan, dan status pernikahan) serta
tingkat kecemasan. Tingkat kecemasan
dinilai dengan Hamilton Anxiety Rating
Scale melalui pertanyaan mengenai
adanya gejala cemas sesuai pada tabel
dan dilanjutkan dengan pemberian skor
untuk setiap gejala. Total skor untuk
seluruh gejala dikonversikan menjadi:
<14 = tidak ada kecemasan, 14-17 =
kecemasan ringan, 18-24 = kecemasan
sedang, dan ≥25 = kecemasan berat.
Analisis data dilakukan secara
deskriptif
menggunakan
software
komputer. Adapun hal yang dianalisis
antara lain: analisis univariate terhadap
karakteristik demografi sampel, analisis
univariate terhadap frekuensi tingkat
kecemasan, dan tabulasi silang antara
karakteristik demografi sampel dengan
frekuensi tingkat kecemasan.
HASIL
Karakteristik Demografi Sampel
Rentang umur sampel pada penelitian
ini yaitu dari yang terkecil 24 tahun
sampai yang terbesar 85 tahun, dengan
rerata usia 41 tahun. Dalam Tabel 1
terlihat bahwa persebaran sampel
berdasarkan umur didominasi oleh
orang tua berusia ≥ 40 tahun (52,6%).
Persebaran sampel berdasarkan jenis
kelamin menunjukkan persebaran yang
cukup merata antara laki-laki dan
perempuan dengan persentase masingmasing 50,9% dan 49,1%. Pendidikan
terakhir sebagian besar sampel adalah
tinggi yakni sebanyak 82,5%. Pekerjaan
dari sampel yang terbanyak adalah
karyawan swasta (26,3%) dan tidak
bekerja (26,3%), diikuti oleh PNS
(19,3%), pedagang (19,3%), dan
lainnya (8,8%). Mayoritas sampel
dalam penelitian ini memiliki status
sudah menikah, yakni sebanyak 94,7%;
sisanya sebanyak 5,3% berstatus
janda/duda.
4
Tabel 1. Karakteristik Demografi Sampel
No.
Variabel
Jumlah
Umur
1
- < 40 tahun
27
- ≥ 40 tahun
30
Jenis kelamin
2
- Laki-laki
29
- Perempuan
28
Pendidikan terakhir
3
- Rendah (SD/SMP)
10
- Tinggi (SMA/kuliah)
47
Pekerjaan
- PNS
11
- Karyawan swasta
15
4
- Pedagang
11
- Tidak bekerja
15
- Lainnya
5
Status pernikahan
- Menikah
54
5
- Tidak menikah
0
- Bercerai
3
57
Total
Tabel 2. Frekuensi Tingkat Kecemasan
No.
Tingkat Kecemasan
1
Tidak ada
2
Ringan
3
Sedang
4
Berat
Total
Frekuensi Tingkat Kecemasan
Tabel 2 menggambarkan frekuensi dari
tingkat kecemasan sampel yang diteliti.
Berdasarkan hasil konversi skala
Hamilton Anxiety Rating Scale,
diketahui 70,2% sampel tidak memiliki
gejala dari gangguan cemas. Kecemasan
ringan ditemukan sebanyak 21,1% dari
seluruh sampel, sedangkan kecemasan
sedang
sebanyak
8,8%.
Tidak
ditemukan sampel yang menunjukkan
gejala kecemasan berat.
Jumlah
40
12
5
0
57
Persentase
47,4%
52,6%
50,9%
49,1%
17,5%
82,5%
19,3%
26,3%
19,3%
26,3%
8,8%
94,7%
0%
5,3%
100%
Persentase
70,2%
21,1%
8,8%
0%
100%
Tabulasi Silang antara Karakteristik
Demografi Sampel dengan Frekuensi
Tingkat Kecemasan
Distribusi frekuensi tingkat kecemasan
berdasarkan
variabel
karakteristik
demografi ditunjukkan dalam Tabel 3.
Secara umum didapatkan distribusi
sampel yang tidak memiliki gangguan
kecemasan pada setiap kategori di
masing-masing variabel lebih tinggi
dibandingkan
dengan
tingkat
kecemasan ringan maupun sedang.
5
Tidak ada sampel yang menunjukkan
gejala kecemasan berat.
Jumlah orang tua siswa yang
mengalami gangguan cemas pada
kelompok umur < 40 tahun dan ≥ 40
tahun masing-masing tercatat hampir
sepertiganya yaitu 25,9% dan 33,3%.
Ditinjau dari jenis kelamin, kategori
tidak ada kecemasan mendominasi baik
pada laki-laki maupun perempuan.
Sebanyak 31% sampel laki-laki dan
28,6% sampel perempuan memiliki
gangguan cemas.
Berdasarkan pendidikan terakhir
sampel, didapatkan bahwa dua pertiga
dari sampel tidak memiliki gangguan
cemas pada kategori rendah (60,0%)
maupun tinggi (72,3%). Pada kategori
rendah, 30% memiliki kecemasan
ringan dan 10% memiliki kecemasan
sedang. Sementara itu pada kategori
tinggi, 19,1% diantaranya memiliki
kecemasan ringan dan hanya 8,5%
memiliki kecemasan sedang. Tingkat
kecemasan ringan paling banyak
ditemukan pada karyawan swasta (40%)
dan
pekerjaan
lainnya
(40%),
sedangkan tingkat kecemasan sedang
paling banyak ditemukan pada sampel
yang tidak bekerja (26,7%). Gangguan
cemas juga ditemukan pada 26% dari
sampel yang menikah dan 100% dari
sampel yang bercerai.
Tabel 3. Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Karakteristik Demografi
Tingkat Kecemasan
No.
Variabel
Total
Tidak Ada
Ringan
Sedang
Umur
1
- < 40 tahun
20 (74,1%)
3 (11,1%)
4 (14,8%)
27 (100%)
- ≥ 40 tahun
20 (66,7%)
9 (30,0%)
1 (3,3%)
30 (100%)
Jenis kelamin
2
- Laki-laki
20 (69,0%)
8 (27,6%)
1 (3,4%)
29 (100%)
- Perempuan
20 (71,4%)
4 (14,3%)
4 (14,3%)
28 (100%)
Pendidikan
terakhir
- Rendah
3
(SD/SMP)
6 (60,0%)
3 (30,0%)
1 (10,0%)
10 (100%)
- Tinggi
(SMA/Kuliah)
34 (72,3%)
9 (19,1%)
4 (8,5%)
47 (100%)
Pekerjaan
- PNS
10 (90,9%)
1 (9,1%)
0 (0%)
11 (100%)
- Krywn. swasta
9 (60,0%)
6 (40,0%)
0 (0%)
15 (100%)
4
- Pedagang
8 (72,7%)
2 (18,2%)
1 (9,1%)
11 (100%)
- Tidak bekerja
10 (66,7%)
1 (6,7%)
4 (26,7%)
15 (100%)
- Lainnya
3 (60,0%)
2 (40,0%)
0 (0%)
5 (100%)
Status
pernikahan
5
- Menikah
40 (74,1%) 11 (20,4%)
3 (5,6%)
54 (100%)
- Tidak menikah
0
0
0
0 (100%)
- Bercerai
0 (0%)
1 (33,3%)
2 (66,7%)
3 (100%)
6
DISKUSI
Dari total 57 sampel, 17 sampel
(29,8%) mengalami gejala gangguan
cemas, dengan persentase 21,1%
menunjukkan gejala ringan dan 8,8%
gejala berat. Gejalagangguan cemas
yang terjadi pada orang tua dengan anak
berkebutuhan khusus disebabkan karena
masalah yang dapat timbul akibat
mengasuh anak tersebut cenderung
lebih rumit dibandingkan dengan
mengasuh anak normal.7 Berdasarkan
teori dari Freud, kecemasan ini
merupakan jenis kecemasan realitas,
yang mana berasal dari rasa takut
terhadap keadaan yang mengancam di
realitas.6
Hal yang juga menyebabkan
sebagian besar orang tua dengan anak
berkebutuhan
khusus
mengalami
kecemasan adalah kemungkinan adanya
konflik dalam diri ketika menghadapi
anak tersebut; orang tua sering merasa
bimbang terhadap kondisi anaknya.10
Masalah yang dilaporkan sampel saat
wawancara antara lain masa depan
anak, pengasuhan, hasil terapi yang
tidak memuaskan, stigma lingkungan,
dan kecemburuan sosial.
Mayoritas dari sampel penelitian,
sebesar 70,2%, tidak melaporkan
adanya gejala gangguan cemas. Proses
penyesuaian diri orang tua terhadap
keadaan anak dapat merupakan alasan
seluruh sampel pada kategori tidak ada
gangguan cemas. Beberapa faktor yang
berperan dalam penyesuaian diri ini
yaitu tingkat keparahan kelainan, status
ekonomi, jumlah anggota keluarga, dan
jenis kelamin anak tersebut.10
Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Umur
Pada kelompok umur < 40 tahun dan ≥
40 tahun masing-masing terhitung
25,9%
dan
33,3%
melaporkan
mengalami kecemasan ringan dan
sedang. Terlihat bahwa frekuensi
tingkat kecemasan pada kelompok umur
≥ 40 tahun sedikit lebih tinggi. Hasil
perhitungan
ini
kemungkinan
disebabkan oleh mid-life crisis. Mid-life
crisis, dalam arti yang sederhana,
adalah proses transisi yang dirasa
menyusahkan ketika seseorang berumur
sekitar 40 tahun; termasuk di dalamnya
adalah perubahan kondisi keluarga.11
Ada pula beberapa studi yang telah
melaporkan frekuensi gangguan cemas
terhadap umur, namun peneliti tidak
bisa
membandingkannya
karena
kategori pengelompokan umur yang
berbeda dengan penelitian ini.3,12,13
Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Jenis Kelamin
Ditinjau dari jenis kelamin, dapat dilihat
bahwa persentase gangguan cemas
hampir sama. Sampel laki-laki yang
mengalami gangguan cemas adalah
31% sedangkan sampel perempuan
terhitung sebesar 28,6%. Namun ada
banyak faktor lainnya yang dapat
menimbulkan
gangguan
cemas,
misalnya bagaimana cara individu
menangani stres serta kemampuannya
dalam menangani stres tersebut, yang
mana berbeda untuk setiap individu.
Pada
survei
stressor
American
Psychological Association tahun 2010,
juga didapatkan bahwa perempuan
melaporkan stresor yang lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki (28%
versus 20%). Survei ini juga
menyatakan bahwa pekerjaan sebagai
stresor dilaporkan oleh 70% sampel. 4
Mengingat hampir seperempat sampel
penelitian ini hanya berprofesi sebagai
ibu rumah tangga, faktor pekerjaan
sebagai stresor dapat diabaikan; maka
dari itu sampel perempuan yang
melaporkan gejala kecemasan lebih
rendah dibandingkan laki-laki.
Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Pendidikan Terakhir
7
Sebesar 40% dari sampel kategori
rendah serta 27,6% kategori tinggi
mengalami gangguan cemas. Temuan
ini sesuai dengan studi dari Idaiani
mengenai hubungan bivariat antara
gangguan mental dan karakteristik
responden Riskesdas 2007. Studi ini
menunjukkan bahwa gangguan mental
pada individu dengan pendidikan tinggi,
yang dalam penelitian ini adalah tinggi,
terhitung sebesar 3,1% sampel. Jumlah
ini lebih rendah daripada tingkat
pendidikan rendah, yaitu terhitung
sebesar 96,8%.2
Tingkat
pendidikan
terakhir
merupakan salah satu faktor yang
bekontribusi pada gangguan cemas.
Orang dengan tingkat pendidikan
rendah cenderung mudah mengalami
stres dibandingkan dengan orang
dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi karena perbedaan wawasan yang
dimiliki, yaitu kemampuan pemahaman
masalah serta pengambilan keputusan
untuk menghadapi masalah tersebut.7
Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan kategori pekerjaan sampel,
ditemukan adanya variasi tingkat
kecemasan ringan dan sedang. Tingkat
kecemasan ringan paling banyak
ditemukan pada karyawan swasta (40%)
dan
pekerjaan
lainnya
(40%),
sedangkan tingkat kecemasan sedang
paling banyak ditemukan pada sampel
yang tidak bekerja (26,7%). Namun
menurut peneliti, banyak faktor yang
mempengaruhi perhitungan ini, antara
lain lingkungan kerja sampel yang
beragam dan tingkat penghasilan yang
tidak
dijadikan
variabel
dalam
penelitian ini.
Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Status Pernikahan
Sekitar seperempat dari sampel (26%)
yang berstatus menikah dan seluruh
sampel (100%) yang berstatus bercerai
mengalami gejala gangguan cemas.
Namun satu studi mengatakan bahwa
gangguan mental cenderung lebih
banyak dialami oleh individu yang
menikah.2 Status pernikahan dinilai
penting dalam kaitannya dengan
gangguan cemas, khususnya apabila
dinilai dari segi hubungan ke depannya
antara orang tua dengan anaknya. Hal
ini dapat ditunjukkan dengan hasil
survei oleh American Psychological
Association; pendapat terbanyak dalam
menangani dan mencegah stresor adalah
dengan menjaga hubungan baik dengan
keluarga.4
SIMPULAN
Dilihat dari frekuensi tingkat kecemasan
sampel, 70,2% tidak memiliki gejala
gangguan cemas, 21,1% kecemasan
ringan, 8,8% kecemasan sedang, dan
0% kecemasan berat. Pada kelompok
umur < 40 tahun dan ≥ 40 tahun
masing-masing terhitung 25,9% dan
33,3% mengalami kecemasan ringan
dan sedang. Ditinjau dari jenis kelamin,
persentase gangguan cemas hampir
sama;
laki-laki 31%
sedangkan
perempuan 28,6%. Sebesar 40% dari
kategori pendidikan rendah serta 27,6%
kategori tinggi mengalami gangguan
cemas. Kecemasan ringan paling
banyak ditemukan pada karyawan
swasta (40%) dan pekerjaan lainnya
(40%), sedangkan kecemasan sedang
paling banyak ditemukan pada sampel
yang tidak bekerja (26,7%). Sekitar
seperempat sampel (26%) yang
menikah dan seluruh sampel (100%)
yang berstatus bercerai mengalami
kecemasan. Berdasarkan hasil dari
penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa orang tua siswa SLB di
Denpasar,
Bali
mayoritas
tidak
mengalami gangguan cemas. Frekuensi
gangguan cemas yang muncul pada
8
setiap karakteristik sampel yang didata
bervariasi.
8.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian
Kesehatan
RI.
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor:
406/Menkes/SKNII2009
tentang
Pedoman Pelayanan Kesehatan
Jiwa
Komunitas.
Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2009.
2. Idaiani S, Suhardi, Kristanto AY.
Analisis Gejala Gangguan Mental
Emosional Penduduk Indonesia.
Majalah Kedokteran Indonesia.
2009;59(10):473-9.
3. Kessler RC, Aguilar-Gaxiola S,
Alonso J, Chatterji S, Lee S, Ormel
J, Üstün TB, Wang PS. The Global
Burden of Mental Disorders: An
Update from the WHO World
Mental Health (WMH) Surveys.
Epidemiol
Psichiatr
Soc.
2009;18(1):23-33.
4. American
Psychological
Association. Stress in America
Findings. Washington: American
Psychological Association; 2010.
5. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan &
Sadock’s Synopsis of Psychiatry:
Behavioral
Science/Clinical
Psychiatry (Tenth Edition). New
York: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007.
6. Andri, Yenny D. Teori Kecemasan
Berdasarkan Psikoanalisis Klasik
dan
Berbagai
Mekanisme
Pertahanan terhadap Kecemasan.
Majalah Kedokteran Indonesia.
2007;57(7):233-8.
7. Norhidayah, Wasilah S, Husein
AN.
Gambaran
Kejadian
Kecemasan pada Ibu Penderita
Retardasi Mental Sindromik di
SLB-C Banjarmasin: Tinjauan
terhadap Usia Anak, Paritas, dan
9.
10.
11.
12.
13.
Tingkat Pendidikan Ibu. Berkala
Kedokteran. 2013;9(1):39-45.
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat. Pedoman Pelayanan
Kesehatan Anak di Sekolah Luar
Biasa
(SLB)
bagi
Petugas
Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina
Kesehatan Anak, Kementerian
Kesehatan RI; 2010.
Pusat
Data
dan
Statistik
Pendidikan. Rekapitulasi Data
Peserta Didik 2013. Jakarta:
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan RI. Diunduh dari:
http://refpd.data.kemdikbud.go.id/r
ef_nisn/data.php?cont=3.
Rahmah H, Zamralita. Penyesuaian
Diri Orang Tua yang Memiliki
Anak Retardasi Mental Ringan.
Jurnal Ilmiah Psikologi ARKHE.
2004;9(2):90-100.
Wethington E. Expecting Stress:
Americans and the Midlife Crisis.
Motivation
and
Emotion.
2000;24(2):85-103.
Kessler RC, Berglund P, Demler O,
Jin R, Merikangas KR, Walters EE.
Lifetime Prevalence and Age-ofOnset Distributions of DSM-IV
Disorders
in
the
National
Comorbidity Survey Replication.
Arch Gen Psychiatry. 2005;62:593602.
Kessler RC, Chiu WT, Demler O,
Walters EE. Prevalence, Severity,
and Comorbidity of 12-Month
DSM-IV Disorders in the National
Comorbidity Survey Replication.
Arch Gen Psychiatry. 2005;62:617627.
9
Download