BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang berada pada garis
Khatulistiwa. Setiap negara yang dilalui oleh garis Khatulistiwa memiliki iklim
tropis dengan curah hujan yang tinggi. Kondisi ini memberikan keuntungan
terutama dalam hal keanekaragaman hayati, baik dari jumlah jenis, varietas, dan
ekosistem (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2013). Berbagai macam
tumbuhan mudah untuk tumbuh di daratan Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk tujuan pangan, pertanian, farmasi, dan kelautan.
Tumbuhan
memiliki
kandungan
metabolit
sekunder
yang
dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kesehatan. Sebagai contoh adalah daun
johar atau yang dikenal dengan nama Cassia siamea Lamk. Di Surakarta,
minuman teh johar digunakan untuk pengobatan malaria (Heyne, 1987) berbeda
dengan masyarakat Thailand, daun johar dimanfaatkan sebagai makanan
kesehatan. Daun johar dibuat menjadi kari yang disebut dengan Khi Lek untuk
mengatasi masalah kesulitan buang air besar dan kesulitan tidur (Padumanonda
dkk., 2007). Sediaan daun johar juga telah beredar di Thailand dalam bentuk
kapsul seberat 400 mg serbuk per kapsul digunakan dengan indikasi mengurangi
kesulitan tidur (Teangpook dkk., 2011).
Kandungan daun johar yang bertanggung jawab terhadap efek tidur adalah
senyawa barakol yang merupakan salah satu kandungan terbesar dalam daun johar
1
2
(Chaichantipyuth,
1979).
Barakol
diidentifikasi
sebagai
3,4-dihidro-3,8-
dihidroksi-2,5-dimetil-1,4 dioksapenalen (Hassanali dkk., 1969) yang memiliki
efek ansiolitik seperti senyawa diazepam (Thongsaard dkk., 1996).
Johar merupakan pohon tahunan yang dapat hidup bertahun-tahun dan
dapat tumbuh dengan cepat. Pohon ini mudah ditemui di daerah tropis seperti
Indonesia, namun johar hanya digunakan sebagai pohon perindang karena tinggi
dan memiliki daun yang rimbun. Sampai saat ini belum ditemukan adanya
pemanfaatan daun johar dalam bidang kesehatan di Indonesia. Kondisi ini dapat
dijadikan sebagai peluang bisnis bagi pelaku Usaha Kecil Obat Tradisional
(UKOT) dan Industri Obat Tradisional (IOT).
Penggunaan obat tradisional di era modern ini tidak hanya dalam bentuk
rebusan dan seduhan, tetapi sudah memperhatikan sediaan farmasetis. Bentuk
sedian obat tradisional yang umum digunakan adalah kapsul dan pil. Untuk
membuat sediaan obat tradisional tersebut dibutuhkan bahan baku ekstrak.
Pemilihan metode ekstraksi dan pemilihan pelarut merupakan hal penting
yang harus diperhatikan dalam pembuatan bahan baku ekstrak untuk sediaan obat
tradisional. Penggunaan pelarut yang tidak tepat dapat menurunkan efek atau
dapat menghilangkan efek yang diinginkan, karena zat aktif tidak larut sempurna
sehingga zat tersebut tidak tersari secara optimal. Selain itu, bagi pelaku bisnis
obat tradisional pertimbangan biaya dan waktu produksi tidak dapat
dikesampingkan karena berkaitan erat dengan keuntungan yang akan didapat
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
3
Maserasi dan infundasi merupakan metode ekstraksi sederhana yang
memerlukan peralatan sederhana dan mudah didapat (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1986) sehingga dapat diaplikasikan dalam UKOT. Pada
pemilihan metode penyarian perlu dilakukan orientasi pendahuluan untuk
mendapatkan metode ekstraksi yang menghasilkan kadar zat aktif paling optimal.
Namun, belum ada penelitian yang membandingkan pengaruh metode ekstraksi
antara maserasi dan infundasi daun johar terhadap kandungan aktif barakol. Dasar
inilah yang mendorong peneliti melakukan penelitian agar didapatkan data ilmiah
mengenai metode ekstraksi yang menghasilkan kandungan barakol paling tinggi,
sehingga dapat dijadikan acuan bagi pelaku usaha obat tradisional dalam
pemilihan metode ekstraksi daun johar.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dirumuskan permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Apakah metode ekstraksi maserasi lebih efektif dalam menyari
kandungan barakol dibandingkan metode infundasi?
2. Bagaimana pengaruh fraksinasi dari kedua metode ekstraksi terhadap
kadar relatif barakol?
4
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Pengaruh perbedaan metode ekstraksi secara maserasi dan infundasi
terhadap efektifitas penyarian kandungan barakol.
2. Pengaruh fraksinasi dari kedua metode ekstraksi terhadap kadar relatif
barakol.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
pengaruh metode ekstraksi dan fraksinasi terhadap kadar relatif barakol yang
dihasilkan, sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan pelaku Usaha Kecil Obat
Tradisional dalam memilih metode ekstraksi daun johar.
E.
Tinjauan Pustaka
1. Johar
Gambar 1. Daun Johar (Fitriasari, 2013)
5
a. Nama Lain
Cassia siamea Lamk. memiliki beberapa sinonim, yaitu Cassia
arborea Macfad., C. sumatrana Roxb., C. gigantea DC., C. arayatensis
Naves. (Singh dkk., 2013) dan C. Florida Vahl. (Heyne, 1987). Di Jawa
tanaman ini dikenal dengan sebutan tanaman Johar atau Juwar (Heyne,
1987).
b. Taksonomi
Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Anak kelas
: Rosidae
Bangsa
: Rosales
Suku
: Caesalpiniaceae
Marga
: Cassia
Jenis
: Cassia siamea Lamk.
(Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2008; Heyne,
1987).
c. Morfologi
Johar merupakan pohon tahunan dengan tinggi antara 10-20 meter.
Memiliki bentuk batang bulat, tegak, berkayu, kulit kasar, bercabang, dan
berwarna putih kotor. Daun johar merupakan daun majemuk, berwarna
hijau dengan pertulangan daun menyirip, berjumlah genap dan mempunyai
6
anak daun dengan bentuk bulat panjang. Pada ujung dan pangkal daun
berbentuk bulat, bertepi rata dengan panjang 3-7,5 cm dan lebar 1-2,5 cm.
Pohon ini memiliki bunga majemuk berwarna kuning yang terletak
pada ujung batang, kelopak bunga berjumlah lima, berwarna hijau
kekuningan dengan ukuran benang sari ±1 cm. Tangkai sari berwarna
kuning, kepala sari berwarna cokelat, serta putik yang berwarna hijau
kekuningan. Pada bagian bunga mempunyai daun pelindung yang cepat
rontok dan berwarna kuning.
Buah johar berupa buah polong dengan bentuk pipih yang dapat
terbelah dua dengan panjang 15-20 cm dan lebar ±1,5 cm. Ketika masih
muda buah tersebut berwarna hijau dan setelah tua berubah warna menjadi
hitam. Biji berbentuk bulat telur dan berwarna hitam. Memiliki perakaran
tunggang dan berwarna hitam (Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia, 2008).
d. Distribusi
Johar berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara. Tumbuhan ini
banyak dijumpai di daerah tropis dan dapat tumbuh pada rentang iklim
yang luas, tetapi akan tumbuh lebih baik pada daerah dengan curah hujan
antara 500-2800 mm yang biasanya memiliki suhu antara 20-31⁰ C dan
musim kering antara 4-8 bulan. Tidak dapat tumbuh pada ketinggian lebih
dari 1300 m di atas permukaan laut dan pada suhu di bawah 10⁰ C.
Tumbuhan ini dapat tumbuh pada tanah dengan derajat keasaman
5,5-7,5 dan dapat tumbuh di tanah yang tandus tetapi tidak
7
direkomendasikan karena tumbuhan ini tidak mampu mendegradasi
nitrogen. Tumbuhan ini rentan terhadap angin besar karena sistem
perakarannya yang dangkal (Joker, 2000).
e. Kandungan Kimia
Menurut Smith (2009), daun johar mengandung beberapa nutrisi
yang dibutuhkan tubuh, antara lain protein (4,01%), serat (12,36%), lemak
(12,02%), kandungan air (46,01%), kandungan abu (12,93%), dan
karbohidrat (7,67%). Selain adanya kandungan nutrisi dalam daun johar,
Smith (2009) juga menemukan adanya kandungan mineral antara lain Fe,
Mg, Mn, K, Ca, Na, Cu, Pb, dan P.
Hasil dari skrining fitokimia yang dilakukan Smith (2009),
didapatkan bahwa daun johar mengandung saponin, antrakuinon,
fitobatanin, dan alkaloid. Selain itu, dalam daun johar juga terdapat
kandungan β-sitosterol, barakol, apigenin, cassia chromone, 5,7dihidroksi-3´,4´-metilendioksi flavon, dan 2,4´,5´,7-tetrahidroksi-8-Cglukosil isoflavon (Ganatapy dkk., 2002).
f. Manfaat
Daun johar banyak digunakan dalam pengobatan tradisional antara
lain sebagai obat malaria, gatal, kudis, kencing manis, demam, luka, dan
dimanfaatkan sebagai tonik karena memiliki kandungan flavonoid dan
karotenoid yang cukup tinggi (Yuniarti, 2008). Selain itu, daun johar juga
digunakan
sebagai
laksatif,
penginduksi
kantuk,
antipiretik,
dan
8
antihipersensitif. Di Indonesia daun johar banyak digunakan untuk
antipiretik (Singhaburta, 1992).
Ekstrak air dari daun johar dapat direkomendasikan untuk
mengatasi gangguan tidur atau insomnia (Thongsaard dkk., 1996). Efek
kantuk berasal dari senyawa barakol yang merupakan salah satu
kandungan kimia terbesar dalam daun johar. Sediaan daun johar telah
diproduksi di Thailand dalam bentuk kapsul untuk mengurangi kesulitan
tidur, dengan berat 400 mg serbuk daun johar per kapsul yang setara
dengan 10 mg anhidrobarakol (Teangpook dkk., 2011).
2. Barakol
Barakol merupakan salah satu kandungan aktif dalam bunga dan daun
muda johar yang telah diidentifikasi sebagai 3,4-hidro-3,8-dihidroksi-2,5dimetil-1,4-dioksapenalen dan juga diketahui sebagai 2,5-dimetil-3 H piran[2,3,4-de]-1-benzopiran-3a,8-diol. Barakol (C13H10O3) tersusun dari tiga ring
siklik yang tidak stabil (Thongsaard dkk., 2001).
Gambar 2. Struktur kimia barakol (Thongsaard dkk., 2001)
Senyawa ini dapat terdegradasi menjadi anhidrobarakol akibat
hilangnya satu molekul H2O. Barakol dapat dibuat menjadi bentuk garam
9
yang stabil (anhidrobarakol hidroklorida) dengan penambahan asam klorida ke
dalam larutan barakol (Thongsaard dkk., 2001).
Gambar 3. Reaksi perubahan barakol, anhidrobarakol, dan
anhidrobarakol hidroklorida (Thongsaard dkk., 2001)
Perbedaan
sifat
kimia
antara
barakol,
anhidrobarakol,
dan
anhidrobarakol hidroklorida menurut Thongsaard dkk. (2001), dapat dilihat
pada Tabel I.
Tabel I. Perbedaan sifat kimia barakol, anhidrobarakol, dan
anhidrobarakol hidroklorida
Anhidrobarakol
Sifat
Barakol
Anhidrobarakol
C13H10O3
hidroklorida
Rumus molekul
C13H12O4
Warna
Kuning kehijauan Hijau gelap
Kuning lemon
Titik lebur
166-170°C
208-210°C
163°C
C13H12ClO3
3. Ekstraksi
Penyarian atau ekstraksi yaitu proses pemisahan zat aktif yang terdapat
dalam tumbuhan atau hewan, dari zat pengotor lainnya dengan menggunakan
pelarut tertentu (Handa dkk, 2008). Menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (1986), proses penyarian dapat dibagi menjadi:
10
a. Pembuatan serbuk
Simplisia adalah bahan alami yang belum mengalami pengolahan
apapun digunakan sebagai obat, kecuali dinyatakan lain simplisia
merupakan bahan yang dikeringkan (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1985). Pada umumnya semakin halus serbuk simplisia, proses
penyarian akan semakin baik karena permukaan simplisia yang
bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas (Handa, dkk., 2008).
Tetapi dalam pelaksanaannya tidak selalu demikian, karena penyarian
tergantung pada sifat fisik dan kimia simplisia tersebut (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Dalam penyarian secara perkolasi, serbuk yang terlalu halus dapat
menghambat proses penyarian karena ruang antarsel terlalu rapat sehingga
mengakibatkan cairan penyari tidak dapat turun. Selain itu, serbuk yang
terlalu halus dapat mempersulit penyaringan karena terbentuk suspensi
yang sulit untuk dipisahkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1986).
Pembuatan serbuk yang terlalu halus menyebabkan organ, jaringan,
dan sel rusak (Handa, dkk., 2008). Dinding sel adalah salah satu organ
tumbuhan, merupakan saringan untuk menjaga zat yang tidak larut tetap
berada di dalam sel, jika dinding sel pecah maka zat yang tidak diinginkan
akan keluar dan dapat mengotori hasil penyarian (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1986).
11
b. Pembasahan
Pembasahan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan sebesarbesarnya kepada cairan penyari memasuki seluruh pori-pori dalam
simplisia sehingga mempermudah penyarian selanjutnya (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
c. Penyarian
Peristiwa yang berperan pada proses penyarian adalah difusi
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Difusi merupakan
suatu perpindahan massa dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah
melalui suatu membran. Untuk ekstraksi bahan aktif dari simplisia, pelarut
harus berdifusi ke dalam sel dan selanjutnya zat aktif harus cukup larut
dalam pelarut. Dengan demikian, akan dicapai kesetimbangan antara solut
dan solven (Agoes, 2007).
Jarak antara cairan penyari dengan zat aktif yang terdapat dalam
serbuk disebut dengan lapisan batas. Kecepatan dalam melintasi lapisan
batas tersebut dipengaruhi oleh derajat perbedaan konsentrasi, tebal
lapisan batas, serta koefisien difusi (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986).
Perbedaan konsentrasi antara cairan penyari dan zat aktif dalam
serbuk akan mempengaruhi daya dorong zat aktif untuk keluar dari serbuk
sehingga proses penyarian berjalan lebih cepat. Jarak lapisan batas
berbanding lurus dengan ukuran serbuk, semakin besar ukuran serbuk
maka semakin besar pula jarak lapisan batas sehingga proses penyarian
12
akan berjalan lambat. Tetapi serbuk yang terlalu halus akan merusak sel
sehingga dapat mengotori hasil penyarian, oleh karena itu pemilihan
derajat kehalusan serbuk harus optimal (Agoes, 2007). Selain itu, cairan
penyari harus dapat mencapai seluruh serbuk dan secara terus-menerus
mendesak larutan yang memiliki konsentrai tinggi untuk keluar
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Pemahaman tentang kandungan senyawa dalam simplisia yang
akan disari dapat mempermudah proses penyarian karena setiap golongan
senyawa memiliki struktur kimia yang berbeda-beda, sehingga akan
mempengaruhi kelarutan serta stabilitas terhadap pemanasan, logam berat,
udara, cahaya, dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya zat aktif yang
terkandung dalam suatu simplisia akan mempermudah pemilihan cairan
penyari dan metode penyarian yang tepat (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1986).
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor.
Kriteria cairan penyari yang baik yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil
secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak
mudah terbakar, tidak mempengaruhi zat yang berkhasiat, dan
diperbolehkan oleh peraturan, selektif (hanya menarik zat berkhasiat yang
dikehendaki) (Agoes, 2007).
Berikut adalah tabel jenis cairan penyari dengan jenis senyawa
yang terlarut didalamnya menurut Pramono (2013).
13
Tabel II. Jenis pelarut dan jenis senyawa terlarut (Pramono, 2013)
No.
Jenis Pelarut
Jenis Senyawa Terlarut
1.
Heksan, petroleum eter
Lemak, terpenoid atau minyak
atsiri,
steroid
triterpen,
flavonoid
atau
aglikon
aglikon
antrakuinon,
polimetil,
resin,
klorofil.
2.
Toluen,
kloroform, Semua senyawa di atas, isoflavon,
diklorometan
alkaloid bebas (bukan garam),
kurkumin, fenil propan, fenol
sederhana.
3.
Dietil eter
Semua senyawa di atas, flavonoid
polihidroksi, asam fenolat.
4.
Etil asetat
Semua senyawa di atas, flavonoid
monoglikosida,
glikosida,
steroid
antrakuinon
glikosida,
kumarin glikosida.
5.
Etanol, metanol
Semua senyawa di atas, flavonoid
glikosida, tanin, saponin.
6.
Air panas
Semua senyawa yang larut dalam
penyari dietil eter sampai etanol,
alkaloid
garam,
karbohidrat,
protein, asam amino.
Berdasarkan Farmakope Indonesia, penyari yang dapat digunakan
untuk penyarian antara lain air, etanol, campuran etanol-air, atau eter.
Penyarian pada perusahaan obat tradisional terbatas pada penyari air,
etanol, atau campuran etanol-air (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986).
14
Air banyak dipakai sebagai larutan penyari karena murah, mudah
didapat, stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak
beracun, dan alamiah. Kerugian penggunaan air sebagai penyari adalah
tidak selektif, sari dapat ditumbuhi kapang dan kuman sehingga cepat
rusak, dan untuk pengeringan diperlukan waktu yang lama (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Penyari etanol juga banyak digunakan dalam proses penyarian
karena memiliki keuntungan antara lain kapang dan kuman sulit tumbuh
dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, etanol dapat campur
dengan air pada segala perbandingan, dan panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih sedikit. Kerugian dari etanol adalah harganya yang mahal
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Disamping pemilihan pelarut, pemilihan metode penyarian
merupakan faktor lain yang harus dipertimbangkan. Metode ekstraksi
dapat dibedakan menjadi:
1) Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan penyari air pada
suhu 90° C menggunakan panci infusa. Hasil penyarian secara infudasi
dapat dibagi menjadi dua yaitu infusa dan dekokta. Perbedaan
keduanya terletak pada waktu pemanasan, pemanasan pada dekokta
lebih lama yaitu 30 menit sedangkan pada infusa 15 menit (Agoes,
2007). Pada umumnya infundasi digunakan untuk menyari zat aktif
yang larut dalam air. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari
15
yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
2) Maserasi
Maserasi dilakukan dengan menempatkan simplisia dalam
wadah tertutup dengan pelarut tertentu dan dibiarkan pada suhu kamar
selama 3 hari dengan pengadukan (Handa dkk, 2008). Cairan penyari
yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain.
Keuntungan maserasi adalah cara pengerjaan mudah serta peralatan
yang digunakan sederhana dan mudah didapat. Kerugian dari cara ini
adalah pengerjaannya membutuhkan waktu yang lama dan penyarian
kurang sempurna (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Pada proses penyarian maserasi perlu dilakukan pengadukan
untuk meratakan konsentrasi larutan di luar serbuk sehingga derajat
perbedaan konsentrasi dapat terjaga (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986).
3) Digesti
Digesti merupakan cara maserasi dengan menggunakan
pemanasan (Handa dkk, 2008) suhu 40°-50° C. Cara ini hanya dapat
digunakan untuk penyarian simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap
pemanasan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Keuntungan adanya pemanasan menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (1986) antara lain:
16
a) Kekentalan pelarut berkurang sehingga dapat meningkatkan daya
penetrasi.
b) Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga
pemanasan tersebut memiliki pengaruh yang sama dengan
pengadukan.
c) Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolut dan
berbanding terbalik dengan kekentalan, sehingga kenaikan suhu
akan berpengaruh pada kecepatan difusi.
4) Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan
mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah
dibasahi. Cara ini lebih baik dibandingkan cara maserasi karena
adanya aliran cairan penyari menyebabkan pergantian larutan sehingga
meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1986).
Penyarian dalam skala besar perlu memperhatikan alat, waktu,
jumlah pelarut, jenis pelarut, ruangan penyarian, dan lain-lain sehingga
proses penyarian dapat berlangsung aman dan dapat menghemat biaya
yang dikeluarkan. Cairan penyari dipilih yang ekonomis, tidak merusak zat
aktif, dan menguntungkan (dalam jumlah kecil dapat melarutkan banyak
zat aktif sehingga waktu untuk pemekatan dapat dikurangi dan dapat
mengurangi biaya produksi) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1986).
17
d. Penguapan
Penguapan adalah proses terbentuknya uap dari permukaan cairan
sehingga didapatkan ekstrak yang lebih pekat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penguapan antara lain:
1) Suhu
Suhu berpengaruh pada kecepatan penguapan, semakin tinggi
suhu semakin cepat penguapan. Akan tetapi, suhu juga berperan dalam
kerusakan bahan yang diuapkan. Oleh karena itu, pengaturan suhu
sangat penting agar penguapan dapat berjalan cepat dan kemungkinan
terjadinya peruraian dapat dihindari (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986).
2) Waktu
Penggunaan suhu yang relatif tinggi untuk waktu yang singkat
dapat mengurangi kerusakan dibandingkan dengan penggunaan suhu
rendah dengan waktu yang lama (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986).
3) Kelembaban
Beberapa
senyawa
kimia
lebih
mudah
terurai
bila
kelembabannya tinggi. Reaksi peruraian seperti hidrolisis memerlukan
air sebagai medium untuk berlangsungnya reaksi tersebut (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
18
4. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan
fisikokimia (Stahl, 1985) berbentuk kromatografi planar dengan fase diam
berupa lapisan tipis pada permukaan bidang datar yang didukung oleh
lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik (Gandjar & Rohman, 2010).
Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau
pita (Stahl, 1985).
a. Fase diam
Fase diam yang banyak digunakan pada KLT adalah silika dan
selulosa. Ukuran partikel fase diam akan mempengaruhi proses elusi pada
KLT, semakin kecil ukuran rata-rata partikel dan kisaran ukuran partikel
fase diam, maka proses KLT lebih efisien serta hasil resolusinya semakin
baik. Mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi
(Gandjar & Rohman, 2010).
Silika gel merupakan silika amorf yang terdiri dari globula-globula
SiO4 tertrahedral yang tersusun secara tidak teratur dan beragregasi
membentuk kerangka tiga dimensi yang lebih besar. Rumus silika gel
secara umum adalah SiO2.xH2O (Sriyanti dkk., 2005).
Gambar 4. Penataan SiO4 tetrahedral silika gel (Sriyanti dkk., 2005)
19
Ikatan antara silikon dan oksigen disebut dengan kelompok
siloksan (Si-O-Si), sedangkan ikatan antara silikon dan hidroksi (Si-OH)
disebut dengan kelompok silanol. Pemisahan pada silika terjadi karena
adanya migrasi molekul sampel yang disebabkan oleh ikatan hidrogen,
ikatan dipol-dipol, dan ikatan elektrostatik dengan permukaan silanol.
Kekuatan adsorpsi ini tergantung pada jumlah kelompok silanol yang
aktif, sifat kimia molekul sampel yang akan dipisahkan, dan kekuatan elusi
dari fase gerak (Hajnos dkk., 2008).
Silika gel sangat higroskopis, pada kelembaban relatif 45-75%
dapat mengikat air hingga 7-20%. Masalah aktivasi silika gel tidak begitu
mempengaruhi kebanyakan jenis pemisahan, tetapi deaktivasi silika gel
merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Derajat deaktivasi ditentukan
oleh kelembaban relatif kamar tempat pemisahan dilakukan dan lempeng
silika gel disimpan (Sudjadi, 1986).
Menurut Sudjadi (1986), terdapat beberapa jenis silika gel,
diantaranya:
1) Silika gel dengan pengikat. Umumnya menggunakan gipsum (CaSO4
5-15%) sebagai pengikat, disebut dengan silika gel G, sedangkan
untuk silika yang menggunakan pati sebagai pengikatnya disebut
dengan silika gel S.
2) Silika gel dengan pengikat dan indikator fluoresensi. Jenis silika gel ini
biasanya berfluoresensi kehijauan jika dilihat pada sinar ultraviolet
panjang gelombang pendek. Sebagai indikator digunakan timah
20
kadmium sulfida atau mangan timah silikat aktif. Lapisan ini
digunakan untuk memudahkan deteksi senyawa yang menyerap pada
panjang gelombang 254 nm dan membentuk zona pada latar belakang
yang terang (Hajnos dkk., 2008). Jenis ini dikenal dengan silika gel
GF254.
3) Silika gel tanpa pengikat. Lapisan ini lebih stabil jika dibandingkan
dengan silika gel yang mengandung CaSO4. Beberapa produk ini
dinamakan silika gel H atau silika gel N.
b. Fase gerak
Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh
kapiler pada pengembangan secara menaik atau karena pengaruh gravitasi
pada pengembangan secara menurun. Fase gerak pada KLT dapat dipilih
dari pustaka atau dari hasil orientasi (Gandjar & Rohman, 2010).
Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak adalah pelarut dengan
mutu analitik (p.a). Penggunaan fase gerak sebaiknya dalam bentuk
tunggal, jika menggunakan sistem multikomponen, sedapat mungkin
menggunakan campuran sederhana dan maksimal tiga komponen (Stahl,
1985). Fase gerak multikomponen tidak boleh digunakan berulang-ulang
karena volatilitas pelarut dapat merubah komposisi dari fase gerak
sehingga dapat mempengaruhi pengulangan kromatografi (Hajnos dkk.,
2008).
21
Tabel III. Deret elusi fase gerak menurut Stahl (1985)
Tetapan dielektrik
Viskositas
pada 20° C
pada 20°C
n-heksan
1,890
0,326
Heptana
1,924
0,409
Sikloheksana
2,023
1,02
Karbontetraklorida
2,238
0,969
Benzen
2,284
0,652
Kloroform
4,806
0,580
Eter (dietil eter)
4,34
0,233
Etil asetat
6,02
+
0,455
Piridin
12,3+
0,974
Aseton
20,7+
0,316+
Etanol
24,30+
1,2
Metanol
33,62+
0,597
Air
80,37+
1,005
Pelarut pengembang
+
Pada 25° C
Fase gerak dapat diurutkan berdasarkan efek elusinya. Efek elusi
naik seiring dengan kenaikan kepolaran fase gerak. Kepolaraan suatu
senyawa dapat dilihat dari angka tetapan dielektrik sedangkan laju rambat
tergantung pada viskositas fase gerak yang digunakan (Stahl, 1985).
Fase gerak yang digunakan untuk KLT harus memenuhi berbagai
persyaratan antara lain: memiliki kemurnian yang tinggi, viskositas
rendah, tidak merusak fase diam, tidak bereaksi dengan senyawa yang
akan dipisahkan, mudah dihilangkan dari lapisan fase diam, dan harus
sesuai dengan metode deteksi (Hajnos dkk., 2008).
22
c. Penotolan dan pengamatan
Penotolan bercak atau sampel biasanya sebanyak 1-10 µL dengan
konsentrasi 0,1-1%. Penotolan disarankan menggunakan mikropipet
berujung runcing dengan skala 1-10 µL. Lapisan fase diam tidak boleh
rusak selama penotolan sampel. Jarak antara bercak dengan tepi lempeng
fase diam sekurang-kurangnya 10 mm (Stahl, 1985).
Pengamatan KLT dilakukan dengan cara membandingkan nilai Rf
solut dengan nilai Rf senyawa baku (Gandjar & Rohman, 2010). Nilai Rf
yang diperoleh hanya spesifik pada fase gerak dan fase diam yang
digunakan (Sastrohamidjojo, 2002).
Rf =
jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal
jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal
Menurut Sastrohamidjojo (2002), faktor yang mempengaruhi
gerakan bercak dalam KLT yang juga mempengaruhi harga Rf antara lain:
1) Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan.
2) Sifat dari penjerap dan derajat aktivasinya. Aktivasi dicapai dengan
pemanasan menggunakan oven, hal ini akan mengeringkan molekulmolekul air yang menempati pusat-pusat serapan dari penjerap.
3) Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap.
4) Fase gerak (Gandjar & Rohman, 2010)
a) Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena
KLT merupakan teknik yang sensitif.
b) Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga
Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
23
c) Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti
silika, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi
solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut
yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut
nonpolar seperti metil benzen akan meningkatkan nilai Rf secara
signifikan.
5) Derajat kejenuhan uap dalam bejana.
6) Teknik percobaan, arah pelarut bergerak pada pelat.
7) Jumlah sampel yang digunakan. Jumlah sampel yang berlebihan
memberikan tendensi penyebaran noda-noda dengan kemungkinan
terbentuknya ekor.
8) Suhu. Proses pemisahan dikerjakan pada suhu tetap untuk mencegah
adanya perubahan komposisi fase gerak yang disebabkan oleh
penguapan.
9) Kesetimbangan. Atmosfer dalam bejana harus jenuh dengan uap fase
gerak, bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan uap fase gerak,
akan terjadi pengembangan berbentuk cekung.
Deteksi KLT paling sederhana untuk senyawa yang memiliki
serapan pada daerah UV gelombang pendek yaitu radiasi pada panjang
gelombang 254 nm dan 366 nm. Senyawa yang tidak memiliki serapan di
daerah UV dapat dilakukan penyemprotan dengan pereaksi kimia yang
sesuai. Selain itu, deteksi biologi juga dapat digunakan untuk mendeteksi
senyawa hasil KLT (Stahl, 1985).
24
d. Kegunaan
KLT dapat digunakan untuk berbagai analisis, antara lain:
1) Analisis kualitatif
KLT dapat digunakan untuk pemeriksaan identitas dan
kemurnian suatu senyawa, pemeriksaan simplisia, pemeriksaan
komposisi dan komponen aktif dari suatu sediaan (Roth & Blaschke,
1981). Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang
sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama. Untuk meyakinkan,
identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu fase
gerak dan jenis pereaksi semprot (Gandjar & Rohman, 2010).
2) Analisis kuantitatif
Ada dua cara yang digunakan untuk analisis kuantitatif dengan
KLT. Pertama, bercak diukur langsung pada lempang dengan
menggunakan ukuran luas atau dengan teknik densitometri. Kedua,
dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang
terdapat dalam bercak tersebut dengan metode spektrofotometri. Pada
cara pertama, tidak terjadi kesalahan yang disebabkan oleh
pemindahan bercak atau kesalahan ekstraksi, sementara pada cara
kedua sangat mungkin terjadi kesalahan karena pengambilan atau
karena ekstraksi (Gandjar & Rohman, 2010).
3) Analisis preparatif
Analisis preparatif ditujukan untuk memisahkan analit dalam
jumlah yang banyak. Pada KLT ini, sampel ditotolkan pada lempeng
25
dengan lapisan yang besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan
cara yang non-destruktif. Bercak yang mengandung analit selanjutnya
dikerok dan dilakukan analisis lebih lanjut (Gandjar & Rohman, 2010).
Keuntungan dari KLT adalah mudah, murah, dan peralatan yang
digunakan sederhana. Selain itu, KLT dapat digunakan untuk tujuan analisis,
identifikasi komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi,
atau dengan radiasi menggunakan sinar UV. KLT memiliki ketepatan
penentuan kadar yang baik karena komponen yang akan ditentukan berupa
bercak yang tidak bergerak (Gandjar & Rohman, 2010). Menurut
Sastrohamidjojo (2002), KLT hanya membutuhkan penjerap dan cuplikan
dalam jumlah yang sedikit, waktu yang dibutuhkan untuk elusi juga lebih
singkat (tergantung jenis fase gerak yang digunakan).
5. Densitometri
Analisis kuantitatif KLT biasanya dilakukan dengan densitometer
langsung pada lempeng KLT. Kebanyakan densitometer mempunyai sumber
cahaya, monokromator untuk memilih panjang gelombang yang cocok, sistem
untuk memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder.
Densitometer dapat bekerja secara serapan atau fluoresensi (Gandjar &
Rohman, 2010).
a. Sistem serapan dapat dilakukan dengan metode pantulan atau transmisi.
1. Cara pantulan, yang diukur adalah sinar yang dipantulkan, dapat
menggunakan baik sinar tampak maupun sinar ultraviolet.
26
2. Cara transmisi, dilakukan dengan menyinari bercak dari satu sisi dan
mengukur sinar yang diteruskan pada sisi lain.
Gangguan pada sistem ini adalah adanya fluktuasi latar belakang
yang dapat dikurangi dengan beberapa cara, misalnya menggunakan alat
berkas ganda (sistem pantulan dan transmisi secara bersamaan) atau
dengan sistem dua panjang gelombang (Gandjar & Rohman, 2010).
b. Sistem fluoresensi lebih dipilih untuk senyawa yang dapat dibuat
berfluoresensi. Batas deteksi sistem ini lebih rendah, kelinieran respon dan
selektivitasnya lebih tinggi. Selain itu, gangguan fluktuasi latar belakang
juga lebih rendah.
Bercak yang diukur dengan sistem fluoresensi, serapan ultraviolet, atau
sinar tampak dapat ditetapkan lebih teliti daripada bercak yang disemprot
dengan pereaksi warna karena keseragaman penyemprotan merupakan hal
yang sangat menentukan (Gandjar & Rohman, 2010). Kurva baku dalam
densitometri dibuat untuk setiap lempeng dan kadar senyawa dihitung seperti
pada metode spektrofotometri (Sudjadi, 1986).
Faktor yang menyebabkan ketidaksuksesan dalam densitometri antara
lain pemisahan sampel yang tidak sempurna, penggunaan standar terlalu kecil
sehingga tidak dapat dibaca, aplikasi reagen semprot tidak seragam, dan
rapuhnya lempeng KLT. Masalah-masalah tersebut dapat diminimalisir, oleh
karena itu, metode densitometri ini dapat diterima sebagai metode kuantitatif
untuk KLT (Stahl, 1985).
27
F.
Landasan Teori
Barakol merupakan salah satu kandungan terbesar dalam daun johar yang
memiliki aktivitas ansiolitik untuk mengurangi kesulitan tidur (Padumanonda
dkk.,
2007).
Barakol
atau
3a-4-dihidro-3a,8-dihidroksi-2,5-dimetil-1,4-
dioksafenalen (Hassanali dkk., 1969) larut dalam metanol, etanol, dan aseton,
cukup larut dalam kloroform dan diklorometan, dan mudah larut dalam karbon
tetraklorida, etil eter, dan air (Thongsaard, 1998). Berdasarkan sifat kelarutan
tersebut, barakol dapat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut
etanol dan infundasi dengan pelarut akuades.
Berdasarkan hasil penelitian Padumanonda & Gritsanapan (2006),
didapatkan kadar barakol dalam rebusan daun johar segar sebesar 0,4035% b/b,
sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sakunpak dkk. (2014), didapatkan
kadar barakol dalam ekstrak metanol daun johar sebesar 2,6% b/b. Kedua
penelitian tersebut menggunakan metode KLT-densitometri untuk menghitung
kadar barakol.
Barakol memiliki cincin trisiklik yang tidak stabil dan dapat berubah
menjadi anhidrobarakol. Dalam suasana asam, anhidrobarakol berubah menjadi
bentuk garam yang stabil (Thongsaard, 1998). Struktur barakol memiliki banyak
ikatan C-C, karenanya barakol bersifat nonpolar yang larut dalam pelarut
nonpolar. Bentuk garam barakol yaitu anhidrobarakol hidroklorid berbentuk ion
yang larut dalam air.
Pelarut etanol merupakan pelarut semipolar dengan struktur C2H5OH.
Etanol memiliki gugus hidroksi (OH) yang bersifat polar dan gugus etil (C2H5)
28
yang bersifat nonpolar. Oleh sebab itu, etanol dapat melarutkan baik senyawa
polar (garam) maupun nonpolar (barakol dan anhidrobarakol). Berbeda dengan
akuades (H2O) hanya memiliki gugus OH yang bersifat polar. Berdasarkan sifat
tersebut etanol dapat melarutkan berbagai bentuk ubahan barakol, sedangkan air
hanya dapat melarutkan barakol yang berbentuk garam. Dengan demikian, diduga
ekstraksi daun johar secara maserasi menghasilkan ekstrak dengan kadar relatif
barakol lebih tinggi dibandingkan ekstraksi secara infundasi.
Fraksinasi merupakan upaya untuk menghilangkan senyawa-senyawa
tidak berguna yang ikut tersari sehingga kadar senyawa aktif dapat diperoleh
dengan kadar lebih tinggi. n-Heksan dapat melarutkan senyawa pengganggu
seperti klorofil yang terdapat dalam daun. Fraksinasi dengan etanol terhadap
ekstrak hasil infundasi dapat menghilangkan polisakarida yang menyebabkan
gelatinisasi pada ekstrak dekokta karena polisakarida tidak larut dalam etanol.
Oleh karena itu, proses fraksinasi ekstrak maserasi dan ekstrak dekokta dapat
berpengaruh terhadap kandungan barakol.
G.
Hipotesis
1. Ekstraksi daun johar secara maserasi lebih efektif dalam menyari
kandungan barakol dibandingkan ekstraksi secara infundasi.
2. Proses fraksinasi dari kedua metode ekstraksi memiliki pengaruh
terhadap kadar relatif barakol yang tersari.
Download