revolusi mental melalui pembelajaran bahasa dan sastra

advertisement
REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA
Riyadi Santosa
FIB UNS Surakarta
PENDAHULUAN
Slogan ‗Revolusi Mental‘ yang didengungkan oleh pemerintahan Jokowi-Kala telah
memperoleh sambutan dari rakyat bak gayung bersambut. Sambutan rakyat ada yang bersifat
positif, setuju dengan slogan itu dan berharap diimplementasikan ke dalam program-program
pemerintah. Sebaliknya, ada pula sambutan yang sinis dan ironis karena menurut mereka
hanya berhenti pada slogan saja dan belum diimplementasikan dengan baik ke dalam program
pemerintah. Salah satu sambutan yang baik terhadap slogan ‗Revolusi Mental‘ ini berasal dari
dunia pendidikan. Salah satu sambutan baik dari dunia pendidikan ialah seminar nasional ini
yang diselenggaran UNWIDHA Klaten dengan tema ‗Revolusi Mental melalui Pembelajaran
Bahasa dan Sastra‘.
Menurut saya, agak sedikit berlebihan dengan munculnya kata ‗revolusi‘, yang
merupakan kata pinjaman dari Bahasa Inggris „revolution‟ yang salah satu artinya adalah „a
sudden, vast change in a situation, discipline, or the way of thinking or behaving‟. Saya kira
saya setuju kalau yang dimaksud istilah itu adalah perubahan suatu keadaan, pengetahuan,
atau cara berpikir dan bertindak. Akan tetapi, istilah revolusi di dalam definisi itu „a sudden,
vast change...‟ mengindikasikan perubahan yang cepat, mendadak dan berimplikasi luas.
Dengan demikian, istilah revolusi ini tentu tidak seperti yang kita maksudkan di dalam diskusi
kita ini. Apalagi yang ‗direvolusi‘ adalah mental. Tentu saja, hal ini sulit sekali untuk
direalisasikan di dalam dunia pendidikan yang memerlukan proses yang terstruktur, intensif
dan fokus. Oleh karena itu, pengertian istilah ‗Revolusi Mental‘ di dalam diskusi ini, menurut
saya, intinya ialah pendidikan sikap mental anak didik melalui pendidikan terutama melalui
pembelajaran bahasa dan sastra.
Menurut saya, pendidikan sikap harus dibarengi dengan pemahaman pengetahuan
yang baik dan keterampilan yang memadai untuk mengekspresikan pengetahuan beserta
sikapnya tersebut. Dengan kata lain, pendidikan sikap tidak dapat diajarkan secara diskrit atau
terpisah dari pembelajaran pengetahuan dan keterampilan. Sikap tidak bisa diajarkan secara
pasif dan terpisah, layaknya orang tua menasihati anak untuk harus begini dan tidak boleh
begitu. Hasil pembelajaran seperti ini hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang sikap
yang baik, tetapi anak tidak tahu dalam hal atau kondisi apa dan mengapa mereka harus
berbuat dan tidak boleh berbuat. Di samping itu, anak juga tidak mempunyai keterampilan
yang tepat dan sesuai dengan hal dan kondisi tersebut. Oleh karena itu, bagi saya, pendidikan
sikap harus dikemas di dalam pembelajaran literasi yang holistik yang melibatkan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
3
„REVOLUSI MENTAL‟ DALAM WADAH PENDIDIKAN LITERASI
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa revolusi mental dalam
pembelajaran bahasa dan sastra harus diletakkan di dalam wadah pendidikan literasi.
Mengubah mental siswa tidak dapat dilakukan melalui nasehat baik oleh guru secara langsung
atau contoh-contoh di dalam pelajaran bahasa dan sastra saja. Akan tetapi mengubah mental
siswa harus bersifat holistik dalam bentuk pendidikan literasi yang memuat pengetahuan,
sikap dan keterampilan di dalam berperilaku sosial verbal. Untuk memperoleh konsep yang
utuh mengenai literasi, perlu kiranya kita melihat kembali perkembangan konsep literasi
seutuhnya.
Istilah literasi sudah menjalar ke pelbagai sudut kehidupan. Di dunia ilmu
pengetahuan, tehnologi, dan seni, istilah literasi dengan kata sifatnya literate digunakan untuk
menunjukkan pemahaman orang terhadap pengetahuan, tehnologi, dan seni. Di dalam
pembelajaran bahasa, Kern (2000) melihat perjalanan konsep literasi dengan komprehensif.
Literasi secara tradisional dipandang sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis.
Pandangan ini umumnya masih berfokus pada kemampuan memahami teks. Oleh karena itu,
pandangan ini masih sangat bersifat ‗text-centered‟ yang berorientasi pada keakuratan dan
konvensi. Topik yang sering digunakan di dalam pembelajaran literasi seperti ini sebetulnnya
cukup bervariasi, seperti teks-teks iklan, laporan cuaca, jadwal, menu makanan, teks-teks
berita dan lain sebagainya. Sayangnya, yang diajarkan di kelas umumnya sering terperangkap
pada pengetahuan mengenai norma standar kebahasaan seperti tatabahasa, ejaan, aturan
penggunaan yang sering bersifat mekanik. Dengan demikian, literasi seperti ini sering gagal
mengajarkan tujuan komunikasi teks-teks yang dipakai sebagai materi ajar.
Setelah itu, literasi meningkat pada pemahaman pada level kultural. Pada konteks ini
literasi mengantarkan pengetahuan kultural, perkembangan apresiasi estetis, serta sensitivitas
terhadap masalah-maslah sosio-kultural. Oleh karena itu literasi seperti ini sering
menggunakan karya sastra kanon untuk memasukkan pengetahuan kultural tersebut. Sering
kali, konsep literasi ini dilanjutkan dengan ‗cognitive centered‟ yang memungkinkan siswa
untuk mengembangkan analisis tekstual dan berpikir kritis terhadap masalah sosial dan
budaya yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Dengan demikian, perkembangan konsep
literasi dari „text-centered, cultural-centered dan cognitive-centered‟ digunakan untuk
membedakan tingkat kesulitan di dalam pembelajaran.
Akan tetapi, ketiga jenis konsep literasi tersebut masih mempunyai kelemahan.
Pertama, konsep literasi seperti ini masih melihat literasi sebagai produk akhir, bukan proses
yang mestinya terkait dalam menghasilkan teks tersebut. Oleh karena itu, sering kali, para
pendidik berusaha mencari batas yang tepat dan kriteria minimum untuk masing-masing level.
Kedua, konsep literasi ini membatasi kita untuk melihat bahwa orang lain menggunakan teks
secara berbeda. Hal ini disebabkan karena pendidik sibuk mencari keseragaman yang harus
dipelajari siswa. Ketiga, sering kali pendidikan literasi seperti ini sering terjebak pada
pengajaran bahasa secara preskriptif dan lupa akan pengajaran bahasa yang berfokus pada
‗appropriateness‘ peggunaan bahasa. Jadi, menurut Kern (ibid) di dalam konsep seperti ini
literasi hanya dilihat sebagai proses pembelajaran pengetahuan kepada siswa yang bersifat
4
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
diskrit dan parsial, belum integratif. Mereka masih belum dibekali dengan sikap dan
keterampilan yang digunakan untuk berproses soial dengan kelompok lain.
Saya setuju dengan pendapat Kern (ibid) bahwa literasi adalah proses pembelajaran
proses sosial yang di dalamnya terdapat pengetahuan sekaligus sikap dan keterampilan yang
diperlukan di dalam pengetahuan tersebut supaya siswa dapat bersikap dan bertindak dengan
tepat dan seseuai tujuan proses sosial tersebut (ligat juga Cook-Gumperz, 1986). Di dalam
konsep literasi ini siswa tidak hanya diberi penghetahuan tetapi mereka juga diajak untuk
mengungkapkan sikap mereka terhadap realitas sosial dan alam demi perkembangan ilmu
pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, di dalam konsep ini siswa juga diajari keterampilan
mengenai cara bersikap dan bertindak dengan tepat terhadap realitas sosial dan alam tersebut.
Jadi, dalam konsep ini, literasi tidak hanya sekadar pengetahuan mengenai „text, cultural,
maupun cognitive centered‟, yang bergelut dengan akurasi, konvensi, pengetahuan kultural,
dan berpikir kritis saja. Akan tetapi, konsep ini juga memberikan pengalaman belajar
bagaimana bersikap dan bertindak yang tepat dengan cara yang tepat sesuai dengan situasi
atau keadaan di dalam suatu proses sosial. Oleh karena itu, yang diajarkan di dalam konsep
literasi ini bukan semata-mata bahasa melainkan proses sosial itu sendiri dengan aspek
pengetahuan, sikap dan keterampilannya.
Pengertian literasi ini pula yang diambil untuk mendasari Kurikulum Bahasa 2013
(K13) yang mengajarkan sikap (attitude) (agama dan sosial) yang dibungkus di dalam
pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills) (lihat Mahsun, 2014). Pengertian literasi
yang diajukan oleh Cook-Gumperz (1986) ini searah dengan konsep kebahasaan yang
dicetuskan oleh Halliday (1985; Halliday & Matthiessen, 2014) yang dilanjutkan oleh Martin
(1992); Martin, Matthiessen, & Painter, (2010) dalam pendekatan Linguistik Sistemik
Fungsional (LSF) bahwa bahasa selalu hadir dalam bentuk teks (lisan maupun tulis) yang
merealisasikan konteks situasi (register) dan konteks kultual (genre).
Sistem
Kepercayaan: nilai
dan norma kultural
Konteks Kultural
Proses Sosial
(Genre)
(Genre)
Konteks Situasi (Register)
Bahasa Sebagai Teks:
Uniti: Struktur Teks dan Tekstur.
(Gambar 1: Bahasa dalam Konsep Literasi Konstruksi Sosial )
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
5
Berdasarkan model bahasa dalam konsep literasi konstruksi sosial ini, bahasa tidak
berdiri sendiri. Keberadaannya yang berupa simbol selalu di dalam konteks penggunaan untuk
merealisasikan konteks situasi (register) dan sekaligus konteks kultural. Di dalam konteks
kultural terdapat sistem kepercayaan yang mempercayai adanya sesuatu serta nilai-nilai
benar-salah, baik-buruk, serta norma mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Di
dalam konteks kultural inilah pengetahuan dan sikap dibangun oleh masyarakat. Sistem
kepercayaan tentang sesuatu dengan nilai dan normanya ini menghasilkan prototipe proses
sosial yang berorientasi pada tujuan yang dicapai secara bertahap, yang disebut genre (Martin,
1992).
Genre masih berupa cetak biru proses sosial, yang berisi tahapan yang harus ditempuh
dan tahapan yang bersifat pilihan untuk mencapai tujuan sosial dengan aspek pengetahuan
dan sikapnya. Melalui konteks situasi, yang merupakan konfigurasi kontekstual atau
konfigurasi makna yang berasal dari pergayutan antara aspek medan (field), pelibat (tenor),
dan sarana (mode), proses sosial atau genre tersebut direalisasikan ke dalam bahasa dalam
bentuk teks. Jadi, jelas sekali bahwa yang diajarkan bukan semata-mata bahasa, melainkan
proses sosial itu sendiri. Akan tetapi, sistem kepercayaan, nilai, norma, dan tujuan sosial dan
tahapannya tersebut tidak bisa diajarkan tanpa melalui bahasa yang merealisasikannya. Ini
disebabkan seluruh sistem semiotika pada tataran kultural dan situasi tersebut seluruhnya
direalisasikan di dalam sistem dan fungsi kebahasaan melalui metafungsi bahasa (ideasional,
interpersonal, dan tekstual) serta melalui sistem bahasanya itu sendiri (semantik wacana,
leksikogramatika, fonologi/grafologi). Setiap titik pertemuan antara tataran sistem dan
metafungsi tersebut menghasilkan sistem dan struktur sendiri-sendiri yang merealisasikan
pengetahuan dan sikap.
Register
FungsiBahasa
SemantikWacana
Tatabahasa
Leksis
Field
Ideasional
Ideasi/CR
Transitiviti/Cl.Comp
Deskriptif
Fonologi/
Grafologi
Urutan tone
Tenor
Mode
Interpersonal
Teksual
Appraisal
Periodisitas
Mood
Atitudinal
Tema/OldNew
Kongruen&Inkongruen
emoticons, warna,
tone, voice, dll.
tonaliti tonisiti
Tandabaca,dll
(diadaptasidari Martin Mattiiessen, Painter, 2010: 295)
(Gambar 2: Titik potong sistem dan Struktur Dan Metafungsi Bahasa)
Metafungsi bahasa ideasional yang merepresentasikan makna pengalaman
/pengetahuan dan logika direalisasikan berbeda-beda pada setiap tataran sistemiknya. Makna
ideasional ini pada tataran semantik wacana direalisasikan dengan sistem ideasi dan sistem
hubungan konjungtif. Di tingkat tatabahasa, makna ideasional direalisasikan melalui
transitivitas, klausa kompleks, kelompok kata. Kemudian di tingkat leksis, makna ideasional
6
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
direalisasikan dengan sistem leksis deskriptif sedangkan di tingkat fonologi/grafologi
direalisasikan dengan urutan suara. Sementara itu, metafungsi interpersonal yang
merepresentasikan realitas sosial dengan segala nilai-nilainya direalisasikan ke dalam sistem
appraisal di tingkat semantik wacana. Kemudian, makna interpersonal juga direalisasikan ke
dalam sistem dan struktur mood ke dalam tatabahasa, serta ke dalam sistem leksis atitudinal
pada tataran leksis. Akhirnya, makna interpersonal ini direalisasikan ke dalam
emotikon,warna suara dan lainnya di dalam sistem fonologinya. Makna tekstual yang
merepresentasikan sistem simbol direalisasikan ke dalam sistem periodisitas pada semantik
wacana, struktur tema dan struktur informasi di dalam tatabahasa, dan sistem kongruensi di
dalam sistem leksisnya, serta tonaliti dan tonisiti dan lain-lain di dalam sistem fonologinya.
Berdasarkan pendekatan ini, pendidikan literasi juga melibatkan pembelajaran pada
tataran tekstual, kultural, kognitif, serta tujuan komunikatif / sosial, yang melibatkan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
APA DAN BAGAIMANA PROSES PEMBELAJARAN LITERASI
Jelas sekali yang diajarkan di dalam pembelajaran literasi ini meliputi pengetahuan
(sistem kultural: kepercayaan, tata nilai, norma, tujuan sosial, dan tahapannya), sikap terhadap
tata nilai dan norma, serta keterampilan (menginternalisasikan pengetahuan dan sikap menjadi
perilaku). Tetapi kemudian pertanyaannya adalah materi apa yang tepat yang dapat
mengajarkan ketiga aspek literasi tersebut. LSF menyarankan materi pembelajaran yang
berbasis genre.
Mengapa pembelajaran berbasis genre? Jawabannya bahwa genre merupakan sistem
semiotika yang merepresentasikan prototipe proses sosial yang mampu membawa
pengetahuan, sikap dan keterampilan secara integral ke dalam teks. Dengan pembelajaran
berbasis genre, pembelajar dapat memperoleh pengetahuan tentang berbagai tipe proses sosial
yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka juga dapat merespons tipe-tipe proses
sosial tersebut melalui sikap dan tindakan yang tepat sesuai dengan harapan masyarakat.
Dengan demikian pembelajaran sikap dan keterampilan dapat terpenuhi.
Akan tetapi, konsep literasi ini memerlukan desain mengenai apa dan bagaimana
pengetahuan, sikap, dan keterampilan itu diajarkan.
 Genre yang diajarkan
Banyak saran dari berbagai linguis pendidik mengenai genre apa yang tepat yang
diajarkan kepada siswa. Akan tetapi, K13 sudah memilih materi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan melalui genre mikro dan genre makro. Genre mikro bersifat generik dan genre
makro merupakan genre kompleks, gabungan dari beberapa genre mikro untuk merealisasikan
satu tujuan sosial (Santosa, 2010; 2011). Genre mikro umumnya diberikan kepada siswa kelas
rendah mulai dari sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas berdasarkan
kompleksitas tahapan dan tujuan sosial genrenya. Genre makro umumnya diberikan kepada
siswa sekolah menengah atas.
Genre mikro dapat dibedakan menjadi dua, faktual dan cerita. Genre faktual dapat
dibagi menjadi delapan jenis genre: rekon, laporan, deskripsi, prosedur, eksplanasi, eksposisi,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
7
diskusi, dan eksplorasi. Masing-masing genre mempunyai fungsi sosial, urutan aktivitasnya,
serta nilai-nilai yang melekat pada genre tersebut.
Tabel 1: Genre Faktual
aktivitas
tak
terstruktur
aktivitas
terstruktur
generalisasi
+generalisasi:
dokumen
menjelaskan/
memecahkan
debat
deskripsi
Laporan
eksposisi
diskusi
rekon
Prosedur
eksplanasi
eksplorasi
(Diambil dari Martin 1992 dengan Modifikasi)
Genre deskripsi menggambarkan sesuatu, baik itu benda hidup maupun mati. secara
unik. Dengan demikian, genre ini tidak digunakan untuk menggeneralisasikan benda sejenis
yang lain. Ini berarti bahwa deskripsi tidak hanya menggambarkan fakta tetapi juga dapat
melibatkan opini penulis atau pembicara terhadap objek yang dideskripsikan. Dengan
demikian, genre ini dapat menyuguhkan pendapat siswa terhadap objek yang
dideskripsikannya, misalnya suka-tidak suka, keindahan, dan kualitas objek. Hal ini berbeda
dengan genre laporan yang menggambarkan sesuatu baik yang punah atau yang masih hidup
yang digunakan untuk menggeneralisasikan sesuatu itu secara umum. Kegiatan di dalam
laporan ini utamanya adalah mendokumentasikan keadaan dan peristiwa alam atau sosial.
Oleh karena itu, di dalam genre laporan hanya ada fakta, tidak ada opini. Hanya fakta yang
dapat digeneralisasikan sementara opini tidak dapat digeneralisasikan. Hasil laporan ini
biasanya menjadi dokumen yang bersifat generik. Oleh karena itu, nilai kejujuran dan
komitmen akan kebenaran yang menempel lekat pada genre ini dapat digunakan untuk
mengajarkan sikap mental siswa.
Sementara itu, genre rekon digunakan untuk menceriterakan kejadian yang telah
berlalu; kejadian ini bersifat unik. Oleh karena itu, genre ini dapat digali nilai-nilai tentang
suka-tidak suka, baik buruk suatu kejadian, dan lain sebagainya. Sebaliknya, genre prosedur
digunakan untuk menjelaskan urut-urutan aktivitas yang harus dilalui untuk mencapai suatu
tujuannya. Dengan demikian, prosedur merupakan dokumen langkah-langkah yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan. Tidak ada opini dalam genre ini, maka kejujuran dan
komitmen akan kebenaran yang bersifat generik yang diutamakan.
Genre eksplanasi digunakan untuk menjelaskan proses suatu kejadian atau suatu
fenomena. Ini sama seperti genre laporan dan prosedur mempunyai nilai generisitas. Hasilnya
juga berupa dokumen mengenai penjelasan suatu fenomena alam atau sosial. Sementara itu,
genre eksposisi digunakan untuk mengajukan suatu pendapat secara sepihak. Dengan
demikian, jelas bahwa genre ini merupakan salah satu genre yang digunakan untuk
membangun sikap atau karakter. Karena argumennya hanya satu sisi, maka kekuatan sikap
8
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
atau karakter ditentukan melalui argumennya yang kuat. Artinya, kuat atau lemahnya sikap
yang dibangun tergantung pada kuat atau lemahnya argumen. Oleh karena itu, genre eksposisi
ini juga dapat digunakan menyelesaikan masalah sosial atau masalah alam. Namun, genre ini
sering juga digunakan untuk menunjukkan keberpihakan yang hanya satu sisi.
Genre diskusi digunakan untuk membahas suatu isu sosial atau alam yang sedang
terjadi dengan dua sisi atau berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, dengan menggunakan
genre diskusi ini, siswa diajak untuk melihat fenomena sosial atau alam ini secara
proporsional sebelum mereka memutuskan sesuatu untuk berpihak. Dengan melihat
kelemahan atau kekurangan di salah satu sisi serta melihat keunggulan atau kelebihan di sisi
yang lain, siswa diajak menentukan sikap dan tindakan yang harus diambil. Yang terakhir,
eksplorasi berfungsi untuk mencari sesuatu yang masih dalam teoretis oleh karena itu di
dalam genre ini harus ada rencana yang matang sebagai hasil diskusi yang kuat sebelum siswa
menjelajah untuk mengeksplorasi alam atau masyarakat yang belum diketahui.
Demikian halnya genre cerita juga mempunyai keunikan sendiri di dalam
menampilkan nilai atau sikap yang kita inginkan untuk diajarkan. Genre cerita adalah genre
yang digunakan untuk bercerita baik itu berdasarkan kenyataan maupun benar-benar fiksi.
Tabel 2: Genre Cerita
Jenis Genre
Rekon
Anekdot
Eksemplum
Narasi
Orientasi
Orientasi
Orientasi
Orientasi
Urutan Aktifitas
rekaman kejadian
krisis
reaksi
insiden
interpretasi
komplikasi
evaluasi
resolusi
(Diambil dari Martin 1992 dengan Modifikasi)
Rekon umunya berupa rekaman kejadian atau suatu fenomena sosial. Bedanya dengan
yang lain: anekdot, eksemplum, dan narasi, rekon tidak mempunyai kejadian yang tak lazim
di dalam kejadian tersebut. Dengan demikian, rekon sama seperti genre faktual dapat
digunakan untuk mengeksplorasi nilai-nilai umum tentang suatu cerita. Sementara itu, genre
cerita yang lain mempunyai kejadian yang lazim terjadi.
Di dalam anekdot kejadian yang tak lazim tersebut dilihat sebagai suatu krisis yang
kemudian diberi reaksi afektif. Reaksi afektif tersebut dapat berupa rasa tidak ada kesesuaian,
tidak aman, frustasi, kepuasan, aman, terpenuhi kebutuhannya, rasa simpati, antipati,
termasuk di dalamnya reaksi yang menimbulkan humor. Eksemplum melihat sesuatu yang tak
lazim tersebut sebagai suatu insiden atau kejadian buruk yang menimpa. Kemudian insiden
tersebut diinterpretasi sebagai sesuatu atau kejadian yang mungkin perlu atau tidak perlu
terjadi. Sementara itu, narasi melihat kejadian yang tak lazim tersebut sebagai komplikasi
yang menimbulkan masalah untuk direnungkan atau dievaluasi sebelum akhirnya dicari jalan
keluarnya atau resolusi (Martin, 1992). Secara gamblang Martin menggambarkan makna
interpersonal dan sikap diambil dari genre cerita ini dalam Tabel 3 sebagai berikut.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
9
Tabel 3: Makna Interpersonal di dalam Genre Cerita
Rekon
Anekdot
Eksemplum
Narasi
Modalisasi
usuality
unsuality
unsuality
unsuality
Modulasi
obligasi
inklinasi
Sikap
afek prosodi
variasi afek
afek negatif
dari afek negatif
ke positif
(Diambil dari Martin, 1992 dengan Modifikasi)
Sementara itu, genre makro mempunyai tatanan tersendiri. Genre makro dalam dunia
jurnalistik, misalnya, mempunyai genre kompleks yang berbeda-beda. Berita, pada dasarnya
berupa rekon. Akan tetapi, dalam perkembangannya, berita juga dapat berupa eksposisi
dengan mengelompokkan fakta-fakta dalam kelompok argumen satu sisi. Sementara itu, leadnya merepresentasikan sebuah pendapat. Dengan demikian, berita tidak lagi berupa rekaman
kejadian, melainkan sebuah argumen dari jurnalisnya (lihat Santosa, 2011; Santosa et al,
2011).
Genre makro feature juga merupakan sebuah genre kompleks yang dapat terdiri dari
deskripsi, rekon, eksplanasi, dan sering ditambah dengan argumentasi. Oleh karena itu,
feature ini juga sangat bagus sebagai materi ajar menggali sikap dan perilaku yang yang
diharapkan masyarakat (Santosa, 2011).
Masih banyak lagi genre makro yang dapat digunakan untuk menggali sikap dan
perilaku siswa untuk menanggapi dan bertindak dengan tepat sesuai dengan harapan
masyarakat. Editorial, interview (Santosa, et al 2014), seminar, negosiasi, dan lain sebagainya
sangat memungkinkan untuk ‗merevolusi‘ mental anak didik untuk menjadi manusia yang
berkarakter kuat, jujur, berkomitmen tinggi, bervisi masa depan, berorientasi pada prestasi,
kerjasama, bahkan kewirausahaan, dan lain sebagainya. Namun, yang penting untuk
diperhatikan ialah ‗apa yang diajarkan‘ memiliki implikasi terhadap ‗bagaimana cara
mengajarkannya‘. Materi ajar berbasis genre tidak mungkin diajarkan dengan cara mengajar
yang hanya berorientasi pada pengetahuan ‗text-centered, cultural-centered, atau cognitivecentered‟ saja. Ini hanya memenuhi aspek pengetahuan saja belum termasuk membangun
sikap serta mengajarinya dengan bertindak dengan tepat. Oleh karena itu, pembelajaran
berbasis genre ini menyarankan pembelajaran berdasarkan siklus pemodelan, membangun
teks bersama, serta membangun teks mandiri (MEDSP, 1989; Rothery, 1996; Rose & Martin,
2012; Martin, 2015).
 Proses Pembelajaran berbasis Genre
Pembelajaran berbasis seperti ini sering lebih tepat disebut dengan program
pengenalan literasi bukan sekadar pembelajaran bahasa biasa. Berdasarkan siklus pemodelan,
membangun teks bersama, dan membangun teks mandiri ini, para pendidik menamakan
proses scaffolding.
10
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
Tabel 4: Proses Scaffolding dalam Pembelajaran Literasi Berbasis Genre
Pemodelan
Kegiatan membantu siswa
mengenal pengetahuan
dan sikap melalui
dekonstruksi tekstual
(tujuan sosial, struktur
teks dan tekstur),
dekonstruksi kultural dan
kognitif.
Membangun Teks Bersama
Kegiatan membantu siswa
membangun pengetahuan
dan sikap melalui
rekonstruksi tekstual,
kultural, dan kognitif
bersama teman dan guru di
kelas maupun observasi di
lapangan
Membangun Teks Mandiri
Kegiatan membantu siswa
membangun ilmu pengetahuan
dan melalui rekontruksi
tekstual, kultural, dan kognitif
secara mandiri berdasarkan
observasi di lapangan dan
belajar mandiri

Pemodelan
Pemodelan adalah proses scaffolding atau membantu siswa mengenal pengetahuan dan
sikap seperti yang direpresentasikan secara tekstual, kultural, dan kognitif di dalam bahasa
melalui tujuan sosial, struktur teks, dan teksturnya.
Pemodelan merupakan tahap awal pengenalan model teks yang diberikan. Biasanya,
siswa diperkenalkan model genre atau tipe teks tertentu yang ideal, lengkap dengan tujuan
sosial (termasuk nilai dan norma sosialnya), struktur teks, dan teksturnya (ciri-ciri
kebahasaan). Di dalam tahap ini pemodelan dilaksanakan dalam sejumlah kegiatan
dekonstruksi tujuan sosial, tahapan, dan ciri kebahasaan untuk teks ini. Kegiatan dekonstruktif
ini bersifat top-down dari level teks, semantik wacana, gramatika, leksis, dan
fonologi/grafologi. Sebagian metode ilmiah dapat diterapkan: mengamati, menanya,
menganalisis, menyimpulkan.
Metode ilmiah yang dapat diterapkan pada tahap ini termasuk mengamati sikap,
pengetahuan, dan bahasa yang digunakan (struktur teks, kohesi, konjungsi, kalimat, kelompok
kata, kata) di dalam teks yang diajarkan. Kedua, menanyakan sikap, pengetahuan, dan bahasa
yang digunakan di dalam teks yang diajarkan. Ketiga, menganalisis sikap, pengetahuan, dan
bahasa yang digunakan di dalam teks yang diajarkan. Keempat, menyimpulkan sikap,
pengetahuan, dan bahasa yang digunakan sebagai pengetahuan menyeluruh mengenai teks
yang diajarkan.

Membangun Teks Bersama
Tujuan utama tahap membangun teks bersama ialah membantu siswa merangkai
elemen-elemen pengetahuan dan sikap yang masih berserakan di dalam pemahaman siswa
sehingga membentuk konstruk pengetahuan dan sikap yang utuh.
Pada tahap ini siswa diajak merekonstruksi pengetahuan dan sikap melalui teks
dengan tujuan sosial, struktur teks, dan ciri-ciri kebahasaan dari level semantik wacana
sampai dengan fonologi/grafologi. Yang tidak kalah pentingnya ialah siswa diajak
menentukan sikapnya di dalam teks tersebut. Kegiatan ini sangat sulit terutama untuk
menangkap struktur teks dan ciri-ciri kebahasaan yang sesuai yang merepresentasikan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
11
pengetahuan dan sikap. Oleh karena itu, untuk membangun teks bersama ini, siswa perlu
dibantu melalui kelompok-kelompok siswa yang disupervisi guru (Christie, 2005).
Kegiatan pembelajarannya harus lebih produktif untuk membangun teks secara
bersama-sama. Yang paling penting di dalam kegiatan ini adalah proses bagaimana siswa
mengalami cara membangun teks secara bersama-sama dengan teman dan gurunya. Di dalam
kegiatan ini terdapat kegiatan ‗learning how to learn‟ atau belajar strategi belajar agar siswa
nantinya dapat membangun teks secara mandiri.
Oleh karena itu, kegiatan membangun teks bersama ini harus dikerjakan secara
berulang mencari sumber di perpustakaan, media, internet, observasi lapangan, dan
wawancara dengan narasumber secara kelompok. Kegiatan ini akan menghasilkan catatan
kepustakaan, catatan lapangan, dan wawancara yang akan ditulis menjadi sebuah teks dengan
genre yang utuh serta sikap religius dan sosial di dalamnya.
Di dalam tahap ini terjadi apa yang disebut ―discovery learning‖ yang dibangun secara
induktif dengan metode ilmiah: observasi (mengamati, menanya, mencoba), mengolah data
(menentukan domin, mengklasifikasi), menyajikan (menghubungkan antar ketegori),
menyimpulkan dan mencipta teks (membuat laporan) untuk bersikap dan bertindak dengan
tepat.

Membangun Teks Mandiri
Membangun teks mandiri ini merupakan puncak dari seluruh kegiatan yang
mengakumulasikan antara kegiatan-kegiatan membangun teks dengan segala isinya. Secara
prosedural ini merupakan kegiatan yang sama dengan kegiatan membangun teks bersama,
hanya kali ini siswa diminta untuk bekerja secara mandiri. Siswa akan bekerja secara mandiri
mulai mencari sumber di perpustakaan, media, internet, observasi di lapangan, interview nara
sumber untuk memperoleh data yang akurat untuk membangun teks secara mandiri ini.
Kemudian, catatan kepustakaan, catatan lapangan, dan hasil interview ditulis menjadi sebuah
teks dengan genre yang utuh secara mandiri. Proses belajar dengan metode ilmiah berjalan
secara mandiri. Demikian pula, siswa juga diminta untuk mempunyai sikap dan tindakan yang
tepat terhadap lingkungan sosial maupun alam sebelum dituangkan ke dalam bentuk teks.
Proses scaffolding pemodelan, membangun teks bersama, dan membangun teks
mandiri ini memerlukan waktu jauh lebih banyak dari waktu yang umumnya digunakan untuk
menyelesaikan satu pelajaran bahasa. Umumnya, untuk menyelesaikan pengenalan satu genre
ini membutuhkan 10 sampai dengan 12 jam pelajaran @ 45 menit. Dengan demikian satu
tahun kurang lebih hanya menyelesaikan lima sampai enam jenis genre.
PENUTUP
Yang perlu digarisbawahi dalam diskusi ini ialah perubahan sikap mental siswa yang
kita inginkan tidak akan pernah tercapai dengan seketika. Kemudian perubahan sikap mental
melalui pembelajaran bahasa dan sastra juga tidak bisa dicapai hanya dengan memberikan
saran atau contoh sikap mental yang baik saja, melainkan, perubahan itu harus dicapai secara
terencana dan terstruktur di dalam proses pembelajaran mulai dari pemodelan pengetahuan
dan sikap, merekonstruksi pengetahuan dan sikap serta keterampilan bersama guru dan murid.
12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
Kemudian, siswa juga diajak untuk merekonstruksi pengetahuan, sikap dan keterampilan
secara mandiri. Supaya mereka dapat bersikap dan bertindak dengan tepat dan sesuai seperti
harapan kita semua. Dengan demikian, mereka suatu saat nanti akan membangun ‗stance‟
atau sudut pandang dan ‗voice‘ pilihan sikap (Guinda & Hyland, 2012) yang didasari
kebenaran dan kesantunan. Jika dapat berjalan seperti yang direncanakan maka rata-rata
angka literasi kita di tingkat internasional akan merangkak naik dari sekadar tingkat literasi
hafalan dengan nilai 3. ‗Revolusi Mental‘ yang dicita-citakan juga akan tercapai melalui
pembelajaran bahasa dan sastra.
BIBLIOGRAFI
Christie, Francis (2005) Science and Apprenticeship: Pedagogic Discourse, in Martin and
Veel (Eds.), Reading Science: Critical and Functional Perspective on Discourse of
Science, Taylor & Francis e-Library
Cook-Gumperz, J. 1986 the Social Construction of Literacy, Cambridge: Cambridge
University Press.
Guinda, C.S. & Hyland, K. 2012. Introduction: A Context-Sensitive Approach to Stance and
Voice. In Hyland, K. & Guinda, S.C. Stance and Voice in Written Academic Genres.
New York: Palgrave McMillan.
Halliday, M.A.K. 1985. Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold.
Halliday, M.A.K & Matthiessen, C.M.M. 2014. Halliday‟s Introduction to Functional
Grammar, London and New York: Routledge.
Kern, Richard. 2000 Literacy and Language Teaching, Oxford: Oxford University Press.
Mahsun. 2014 Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Martin, J.R. 1992. English Text: System and Structure. Amsterdam: John Bejamins Co. Ltd.
Martin, J.R. (2015) Modeling and Mentoring:Genre-based Literacy Program and ―The
Sydney School‖, power point dipresentasikan di dalam Seminar and Workshop on
Genre Based Literacy Program UPI Bandung.
MEDSP, (1989). A Brief Introduction to Genre: Example of Six Factual Genres and Their
Generic Structure. Sydney.
Martin, J.R., Matthiessen, C.M.I.M. 2010. Deploying Functional Grammar. Beijing The
Commercial Press.
Santosa, Riyadi. 2010. Posisi semiotik genre Mikro dan Makro. Hasil penelitian belum
dipublikasikan. Surakarta: Fakultas Sastra dan Senirupa UNS.
Santosa, Riyadi. 2011. Logika Wacana: Analisis Hubungan Konjungtif dengan Pendekatan
Linguistik Sistemik Fungsional. Surakarta: UNS Press.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
13
Santosa, R., Priyanto, A.D., Nuraeni. 2011. Bahasa Demokratis di Media Masa Indonesia.
Lingua, Volume 6, Nomor 3, p.p 227-240.
Santosa, R. Priyanto, A.D., Nuraeni, A. 2014. Genre and Register of Antagonist Language in
Media: An Appraisal Study of Indonesian Newspapers. Kata Volume 16, Nomor 1,
p.p 23- 36.
Rose, David & Martin, J.R. (2012) Learning to Write, Reading to Learn, Bristol: Equinox
Publishing Ltd.
Rothery, Joan (1996) Making Changes: Developing an Educational Linguistics, in Hasan and
Williams (Eds.), Literacy in Society, London and New York: Longman.
14
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
Download