BAB II DESKRIPSI OBYEK KAJIAN 2.1. Dinas Kelautan dan Perikanan 2.1.1. Pendahuluan Sumberdaya ikan berperan penting sebagai sumber protein utama masyarakat dunia, sebagai mata pencaharian dan lapangan kerja bagi banyak negara. Peningkatan jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, telah mendorong peningkatan permintaan produk perikanan. Di waktu yang akan datang negara-negara di Asia selain menjadi produsen ikan terbesar juga akan menjadi konsumen utama hasil perikanan. Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan perikanan dunia telah mampu memproduksi ikan dengan total produksi lebih dari 158 juta ton, 91,3 juta ton diantaranya hasil perikanan tangkap atau budidaya ikan menyumbang 66,6 juta ton (FAO, 2014). Dari total produksi tersebut, 136,2 juta ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi dan sisanya untuk kepentingan secara tidak langsung (indirect human consumption) seperti bahan baku pakan ikan dan ternak. Indonesia merupakan salah satu pemain kunci dalam percaturan perikanan global. Untuk perikanan tangkap, Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina sebagai produsen ikan dunia. Sementara untuk perikanan budidaya, Indonesia menempati urutan keempat setelah Cina, India, dan Vietnam. Posisi ini masih belum optimal mengingat sumberdaya perairan yang luas dan sumberdaya ikan yang besar belum dimanfaatkan secara optimal. Total produksi ikan Indonesia dari hasil budidaya sesungguhnya telah meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, tetapi sudah mulai digeser oleh negara tetangga seperti Vietnam yang mampu menggenjot produksi ikan dalam jumlah dan kecepatan yang lebih tinggi. Kecenderungan meningkatnya kontribusi perikanan budidaya juga terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan total produksi dari budidaya telah mampu melampaui produksi daging. Majalah The Economist (10 Agustus 2013) melaporkan tingkat produksi ikan pada tahun 2020 mendatang dapat mencapai 6 kali tingkat produksi tahun 1990. Peningkatan produksi ikan tidak terlepas dari meningkatnya jumlah permintaan ikan dunia karena pertumbuhan jumlah konsumen (penduduk) yang terus meningkat dan kesadaran akan pangan sehat yang semakin tinggi. Konsumsi ikan rata-rata masyarakat dunia terus 4 meningkat, dari hanya sekitar 6 kg/kapita/tahun di tahun 1950, menjadi 19,2 kg pada tahun 2012. Total konsumsi ikan meningkat dari 50 jutaan ton di awal 1960 menjadi hampir tiga kali lipatnya saat ini. Beberapa proyeksi memberikan indikasi permintaan ikan terus meningkat, dengan suplai yang lebih kecil dari demand. Total nilai ekspor produk perikanan dunia telah mencapai US$136 miliar pada tahun 2013 dengan trend yang terus meningkat, yaitu sebesar 5% (2012-2013). Net-export revenues produk perikanan (ekspor kurang impor) mengalami peningkatan dari US$5 miliar pada tahun 1985, menjadi US$22 miliar pada tahun 2005, dan menjadi US$35,3 miliar pada tahun 2012. Perkembangan nilai perdagangan komoditas perikanan tersebut jauh melampaui komoditas pertanian lainnya (kopi, karet, kakao, gula, pisang, teh, tembakau, beras, daging, dan susu). Tuna dan udang menjadi komoditas utama perdagangan tersebut. Indonesia menjadi salah satu pemain kunci dalam perdagangan dua komoditas tersebut. Untuk udang, Indonesia berperan sangat penting untuk pasar-pasar udang utama dunia seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Pada tahun 2012, Indonesia memproduksi udang sekitar 457.000 ton dan ditarget meningkat dengan tambahan produksi 200.000 ton sampai pada tahun 2014 (Shrimp – September 2013: http://www.globefish.org) (total nilai ekpor perikanan Indonesia pada tahun 2013 mencapai US2,856 juta). Data FAO Globefish terbaru (September 2014) menunjukkan masih bermasalahnya produksi udang di negara-negara penghasil utama udang selama ini seperti Cina dan Thailand, yang menjadi pesaing udang Indonesia, karena serangan penyakit EMS (early syndrome mortality). Hal ini seperti menjadi durian runtuh (windfall) bagi Indonesia, sehingga perlu mengoptimalkan pengelolaan usaha udang secara berkelanjutan. Pengelolaan usaha yang secara berkelanjutan dibutuhkan karena kecenderungan permintaan ikan dunia saat ini masih terus meningkat. Harga ikan pun secara rata-rata masih terus naik, bahkan melampaui harga komoditas pertanian lainnya. Berbasis data harga rata-rata antara tahun 2002-2004 dengan nilai 100, FAO Fish Price Index menunjukkan peningkatan pesat harga ikan dari 90 pada awal 2002 mencapai 160 pada Oktober 2013 (indek berkisar 140 antara tahun 2012-2013) (FAO 2014). Peningkatan harga tersebut berkaitan erat dengan peningkatan jumlah permintaan untuk ikan konsumsi, baik produk ikan segar maupun olahan, yang kadang melampaui peningkatan pasokannya. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menetapkan visi kelautan yang sangat kuat, dengan menetapkan kerangka dan arahan kebijakan “Among Tani menjadi Dagang Layar”. Dengan arahan kebijakan tersebut pembangunan wilayah DIY bergeser dari basis daratan ke arah pesisir dan laut. Rencana Pembangunan Jangka Menengah DIY (RPJMD) tahun 20132017 secara eksplisit menyebutkan pergeseran paradigma pembangunan “Dari Among Tani Menuju Dagang Layar” yang ditempuh melalui strategi akselerasi pengembangan wilayah 5 Pantai Selatan (Pansela). Dalam paradigma pembangunan “Dari Among Tani Menuju Dagang Layar”, DIY juga mengembangkan potensi Pansela sebagai pusat pelayanan jasa bagi kawasan Jawa bagian selatan dan sebagai hub (penghubung) bagi daerah sekitarnya dalam mengakses pasar internasional. Usaha perikanan menjadi salah satu potensi kegiatan usaha sebagai penggerak perekonomian DIY. RPJMD DIY Tahun 2013-2017 memberikan arahan kebijakan dan strategi pembangunan sektor perikanan dan kelautan, antara lain melalui upaya: (1) Percepatan pengembangan sarana-prasarana untuk mendukung peningkatan produksi perikanan tangkap sebagai basis ekonomi wilayah selatan, (2) Pengembangan perikanan budidaya secara terintegrasi berbasis kawasan, (3) Mengakselerasi terbangunnya budaya maritim dengan pengembangan sumber daya manusia berkelanjutan dan (4) Fasilitasi pengembangan agribisnis perikanan secara berkeadilan dan berkelanjutan. Kegiatan perikanan DIY telah mengalami pertumbuhan yang cukup berarti dalam dekade terakhir, dengan target produksi total yang selalu melampaui target RPJMD, seperti tertuang dalam RPJMD DIY tahun 2009-2013. Namun demikian, terdapat beberapa tantangan pengembangan sektor perikanan dan kelautan di DIY diantaranya kapasitas produksi yang belum mampu memenuhi permintaan ikan di DIY. Diperkirakan lebih dari 60% ikan yang dikonsumsi di DIY masih didatangkan dari luar DIY. Pemanfaatn sumberdaya lahan untuk budidaya perikanan juga baru sebesar 11,6% dari potensi yang ada (potensi lahan lebih dari 18.900 hektar). Potensi sumberdaya ikan Samudera Hindia selatan Jawa yang diperkirakan sebesar 320.600 ton/tahun dan Samudera Hindia mencapai 906.340 ton/tahun, juga belum dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan DIY. Pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan berbagai potensi sumberdaya ikan dapat menjadi sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah. Daerah dapat menggerakkan potensi sumberdaya ikan tersebut sebagai pendapatan asli daerah (PAD) baik melalui pengelolaan usaha perikanan tangkap, budidaya, maupun pengolahan hasil perikanan serta jasa-jasa perikanan dan kelautan. 2.1.2. Keadaan Umum Perikanan DIY Perikanan merupakan salah satu sub-sektor pertanian yang berkembang pesat dan diminati oleh masyarakat sebagai sumber penghidupan penting di DIY. Berdasarkan analisis location quotient (LQ) di DIY diketahui bahwa perikanan dapat menjadi sub-sektor unggulan/basis di beberapa wilayah seperti di Kabupaten Sleman dan Kulon Progo (Triyanto dan Dwijono 2010). Studi yang dilakukan olek Pustek Kelautan UGM (2000) di pesisir selatan DIY bahkan menunjukkan usaha perikanan tangkap dapat memberikan pendapatan yang lebih 6 tinggi dibandingkan aktivitas ekonomi lainnya di pedesaan. Hasil studi tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa masyarakat dapat sejahtera melalui usaha perikanan, jika usaha tersebut dikelola dengan bijaksana. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan DIY (Dislautkan DIY, 2010a) juga diketahui pendapatan pelaku usaha perikanan berkisar antara Rp 1,9-2,1 juta per bulan, atau dua kali lebih tinggi dibandingkan Upah Minimum Regional (UMR). Gambaran ini mengindikasikan bahwa pengembangan perikanan memiliki potensi yang sangat besar untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan DIY. Perkembangan pesat kegiatan produksi perikanan telah menarik perkembangan kegiatan perikanan terkait lainnya. Hasil studi di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa berkembangnya kegiatan perikanan di Kabupaten Sleman telah memberikan dampak positif terhadap kegiatan terkait perikanan lainnya. Dengan tingkat konsumsi ikan yang mencapai 26,73 kg/kapita/tahun, tumbuh 8,96% per tahun, Kabupaten Sleman secara total menjadi konsumen produk perikanan tertinggi di DIY yaitu mencapai 29.158,4 ton ikan per tahun (Gambar 2.1). Peningkatan produksi dan konsumsi ikan tersebut juga diikuti oleh bisnis perikanan lainnya seperti rumah makan khas ikan yang tumbuh mencapai 11,4% per tahun dan pemancingan dengan laju pertumbuhan 7,4% per tahun, serta pasar ikan kelompok yang naik rata-rata 5,4% per tahun. Dengan demikian, pengembangan usaha perikanan tidak saja penting untuk pembangunan ekonomi khususnya di wilayah pedesaan, tetapi juga peningkatan ketahanan pangan, gizi dan kesehatan masyarakat, serta hobi. 7 Gambar 2.1. Perkembangan Konsumsi Ikan dan Aktifitas Terkait Perikanan di Kabupaten Sleman, 2004 – 2011 Sumber: Suadi dkk. 2012 A. Kondisi Perikanan Tangkap DIY Usaha perikanan tangkap terdiri dari beberapa jenis usaha, antara lain: (1) Penangkapan ikan; (2) Penangkapan dan pengangkutan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan; dan (3) Pengangkutan ikan. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 18 ayat 3, menyatakan bahwa kewenangan daerah di wilayah laut meliputi (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, (2) pengaturan kepentingan administrasi, (3) pengaturan tata ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah tersebut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk tingkat provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. 1. Potensi Sumberdaya Ikan Samudra Hindia Selatan Jawa Pengelolaan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), 8 yang meliputi 10 WPP. Jika disinkronkan dengan WPP yang telah ditetapkan oleh Badan Pangan DUnia (FAO), DIY termasuk dalam wilayah pengelolaan perikanan No. 573 yang merupakan bagian dari perairan Samudera Hindia. Sehubungan dengan itu maka perlu diketahui potensi perikanan laut yang ada di Samudera Hindia seperti yang tercantum pada tabel berikut: Tabel 2.1. Potensi dan Pemanfaatan SDI di WPP 573 Kelompok Sumberdaya Ikan pelagis besar Potensi Tingkat Pemanfaatan (ton) (%) 201.400 Moderate untuk cakalang, fully exploited untuk madidihang dan albakore, serta overexploited untuk mata besar dan SBT Ikan pelagis kecil 210.600 Fully exploited, untuk D. kuroides pada tingkat moderate ikan demersal 66.200 Moderat, dan fully-exploited untuk kakap merah dan kuwe Udang penaeid 5.900 Over-exploited Cumi-cumi 2.100 Moderate Ikan karang konsumsi 4.500 Lobster 1.000 Total 491.700 TAC 80% 393.600 Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Nomor KEP.45/MEN/2011, diolah. Tabel 2.1. menunjukkan bahwa beberapa sumberdaya ikan sudah over exploited sehingga perlu adanya kehati-hatian dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap untuk menjamin keberlanjutan usaha penangkapan ikan. Dengan kelestarian sumberdaya ikan maka kegiatan perikanan tangkap akan terus berlangsung. Berlangsungnya kegiatan perikanan tangkap secara langsung dan tidak langsung memberikan dampak bagi nelayan dan pelaku usaha sektor hulu dan hilir perikanan tangkap sebagai multiplier effect pengelolaan sumberdaya alam. Tabel 2.1. juga memberikan indikasi bahwa kegiatan perikanan tangkap sesungguhnya masih dapat dikembangkan untuk beberapa jenis kegiatan usaha, seperti cumi-cumi, perikanan demersal, cakalang, dan pengembangan secara hati-hati untuk perikanan yang telah overexploited. Apabila DIY dapat memanfaatkan 5% dari potensi lestari sumberdaya ikan, maka DIY memiliki potensi produksi sebesar 19.000 ton per tahun. Pemanfaatan sumberdaya tersebut sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam wilayah perairan DIY yang sepanjang 113 km tetapi di dalam WPP 573, yang memiliki panjang pantai sekitar 1.000 km. 9 2. Pemanfaatan Potensi Perikanan Tangkap DIY Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pantai sepanjang + 113 km terletak di kawasan Samudera Hindia dan termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 yang meliputi Laut Selatan Jawa, sampai Laut Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Timor Bagian Barat yang memiliki potensi sumberdaya perikanan besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan potensi ikan di Samudera Hindia di DIY sudah mulai bekembang. Hal ini ditandai dengan berkembangnya jumlah tempat pendaratan ikan yang saat ini telah mencapai 19 titik pendaratan ikan, dari tanpa pendaratan ikan di tahun 1970an. Produksi perikanan laut di DIY juga terus meningkat, dari 134,93 ton (tahun 1994) naik menjadi 3.862 ton (tahun 2010), 3.952,9 ton (tahun 2012), dan 4.093,2 ton (tahun 2013) dengan total nelayan telah mencapai 1.126 orang. Kegiatan perikanan tangkap tersebut berkembang di tiga kabupaten yang memiliki wilayah pesisir, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan Kulonprogo, dengan panjang garis pantai sekitar 113 kilometer. Sebaran nelayan di DIY ditunjukkan pada Tabel 2.2. dan jumlah armada perikanan pada Gambar 2.2. Tabel 2.2. Jumlah Rumah Tangga Perikanan menurut Kabupaten di DIY, 2007-2011 Jumlah RTP 2007 2008 2009 1. Gunungkidul 1.164 1.179 646 2. Bantul 131 141 141 3. Kulonprogo 233 233 233 Jumlah 1.528 1.553 1.020 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2012 No. Kabupaten 2010 711 183 145 1.099 2011 771 183 172 1.126 10 Gambar 2.2. Perkembangan Jumlah Armada Perikanan Perahu Motor Tempel, 2006-2011 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap 2011, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY 2012 Tabel 2.2. menyajikan data dalam periode tahun 2007–2011, perkembangan Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di DIY sedikit berfluktuasi, terutama di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo, sedangkan di Kabupaten Bantul relatif stabil. Sementara, armada perikanan di DIY dalam lima tahun terakhir cenderung stabil atau dengan rata-rata kenaikan kecil sekitar 1% per tahun. Total jumlah armada perikanan mencapai 451 unit kapal ikan (PMT dan Kapal Motor) pada tahun 2011, atau naik dari 429 unit pada tahun 2006. Namun demikian, dari struktur armada jumlah kapal motor telah bertambah dibandingkan dekade sebelumnya. Kapal motor yang ada di DIY saat ini telah mencapai 10% dari total armada perikanan yang ada. Namun demikian, armada tersebut masih dapat dikatakan sangat kecil jumlahnya untuk memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan yang ada. Jumlah hasil tangkapan sesungguhnya mengalami perkembangan yang positif, terutama diakibatkan oleh perkembangan positif produksi ikan di PPP Sadeng, Kabupaten Gunungkidul. Gambar 2.3. menyajikan data perkembangan produksi ikan laut, yang secara mayoritas dihasilkan dari kegiatan penangkapan. 11 Gambar 2.3. Perkembangan Produksi Ikan Laut di DIY, 2006 – 2013 4,238 4,500 3,862 4,000 3,953 4,093 3,394 Produksi (ton) 3,500 3,000 2,342 2,500 2,000 2,152 1,731 1,500 1,000 500 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2013 (data diolah) Berdasarkan Gambar 2.3. terlihat bahwa produksi ikan laut di DIY dari tahun 2006 hingga tahun 2011 terus mengalami peningkatan, walaupun produksi pada tahun 2013 mengalami kontraksi dikarenakan faktor cuaca. Perkembangan jumlah produksi ikan hasil tangkapan tersebut, menunjukkan bahwa potensi sumberdaya perikanan laut di wilayah perairan DIY masih cukup besar. Hasil tangkapan ikan di laut selatan Jawa didominasi ikan cakalang dan ikan tuna. Dengan demikian kedua jenis ikan ini merupakan peluang besar bagi pengembangan perikanan ke depan. Keberadaan pelabuhan perikanan menjadi kunci perkembangan produksi perikanan di DIY. Adanya fasilitas pelabuhan yang relatif lengkap dan dilengkapi tempat bersandar kapal berupa dermaga di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng telah mendorong berkembangnya kapal motor, khususnya kapal dengan ukuran 30 GT ke bawah. PPP Sadeng saat ini merupakan fishing base kapal motor untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah selatan DIY dengan jangkauan mencapai jalur III dengan alat bantu penangkapan berupa rumpon. Hasil tangkapan ikan berupa ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol, marlin, lemadang, tengiri, dan cakalang. Secara umum, pengembangan perikanan tangkap di selatan DIY masih dapat dilakukan. Hasil perhitungan produktivitas perikanan saat ini menunjukkan kecenderungan yang meningkat, baik berdasarkan pendekatan armada perikanan maupun rumah tangga perikanan. Peningkatan tersebut didorong oleh mulai berkembangnya pengoperasian kapal ikan bermotor 12 di luar wilayah pantai (zona empat mil). Perkembangan tersebut secara umum tersaji pada Gambar 2.4. Gambar 2.4. Perkembangan RTP, Armada, Produksi dan Produktivitas Perikanan Tangkap di DIY, 2007–2011 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2012 (data diolah) Gambar 2.4. juga memberikan indikasi bahwa perubahan struktur armada perikanan yang terjadi, walaupun dalam jumlah yang kecil, telah meningkatkan produksi dan produktivitas perikanan yang cukup besar. Karena itu, untuk mendorong berkembangnya perikanan tangkap yang lebih baik di DIY adalah mendorong perubahan struktur armada perikanan. Hal ini didukung oleh temuan sebelumnya yang memberikan indikasi bahwa produktivitas perikanan jika hanya mengandalkan perahu motor tempel akan semakin menurun, walaupun jumlah armadanya terus ditambah (Suadi dkk., 2003). Perubahan tersebut tentu saja membutuhkan salah satunya adalah tempat bersandarnya kapal-kapal motor berukuran besar. Jika saat ini PPP Sadeng hanya mampu menampung kapal motor berukuran kurang dari 30 GT, maka diharapkan dengan beroperasinya pelabuhan perikanan Tanjung Adi Karto, kapal-kapal ukuran besar dapat tertampung. Aspek lain yang perlu disiapkan adalah SDM perikanan yang akan mengisi perubahan struktur tersebut. Dengan asumsi DIY memiliki kemampuan untuk memanfaatan 5% potensi lestari perikanan di Samudra Hindia, dengan melakukan pengembangan perikanan di laut teritorial dan ZEEI maka diperkirakan DIY memiliki potensi lestari sekitar 19.000 ton per tahun. Karena 13 itu, walaupun produksi perikanan laut mengalami peningkatan (seperti tersaji pada gambar 3.3.), namun pemanfaatan potensi sumberdaya ikan masih sangat rendah (jumlah produksi tahun 2013 hanya sekitar 3.394 ton). 3. Nelayan dan Armada Perikanan Tangkap Perkembangan produksi perikanan laut sangat erat kaitannya dengan jumlah nelayan, armada dan alat tangkap. Nelayan di DIY tersebar di tiga kabupaten (Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo) sepanjang pantai Selatan DIY (Tabel 2.3). Nelayan DIY telah melakukan peningkatan kemampuan adopsi dan pemanfataan teknologi dari menggunakan perahu motor tempel telah berkembang dengan menggunakan kapal motor dengan kapasitas antara 5-30 GT (Tabel 2.4). Dukungan yang diberikan pemerintah berupa bantuan kapal motor beserta alat tangkap serta pelatihan nelayan dalam pengelolaan dan pengoperasian kapal motor tersebut, sehingga mampu melakukan kegiatan produktif dalam menggali potensi perikanan tangkap di DIY. Dengan penggunaan sarana penangkapan tersebut daya jangkau nelayan DIY telah dapat menjangkau perairan lepas pantai dan perairan samudera. Tabel 2.3. Jumlah RTP/PP Menurut Kabupaten di DIY, 2007-2011 No. Kabupaten Jumlah RTP 2007 2008 2009 2010 1. Gunungkidul 1.164 1.179 646 711 2. Bantul 131 141 141 183 3. Kulonprogo 233 233 233 145 Jumlah 1.528 1.553 1.020 1.099 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2012 2011 771 183 172 1.126 14 Tabel 2.4. Jumlah Armada Penangkapan Ikan di DIY, 2008-2011 Sarana Penangkapan Dengan Perahu Motor Tempel Kapal Motor < 5 GT 5-10 GT 10-20 GT Jumlah Kapal Motor Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap Perikanan DIY Tahun, 2012 2011 2008 2009 2010 423 420 420 405 4 4 4 25 25 25 24 23 23 23 22 52 48 48 46 Tahun 2008-2011, Dinas Kelautan dan Sebagai sarana untuk memperoleh hasil perikanan, kegiatan eksploitasi perikanan menggunakan alat tangkap digunakan untuk memudahkan manusia dalam menangkap ikan. Alat tangkap di DIY sudah berkembang berbagai alat tangkap disesuaikan dengan jenis ikan dan musim penangkapan, seperti yang tersaji dalam tabel berikut ini. Tabel 2.5. Jumlah Unit Penangkapan Ikan di Laut Menurut Jenis, 2008 – 2010 (Unit) Jenis Alat Penangkapan 2008 2009 2010 Pukat cincin Jaring Insang Hanyut 249 249 242 Jaring Klitik Jaring Insang Tetep 279 279 334 Jaring Tiga Lapis 2 1 49 Serok dan Songko 35 58 Anco 5 5 Rawai Tuna 25 -Rawai Tetap 90 107 126 Rawai Tetap dasar 210 210 229 Pancing Tonda Pancing Ulur 193 193 329 Pancing Tegak 63 63 63 Perangkap Lainnya 178 193 192 Alat Pengumpul 455 481 Alat Penangkap Tripang 17 Alat Penangkap Kepiting 98 98 479 Muroami 74 Garpu dan Tombak 9 Jumlah 1.866 1.945 2.615 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2009-2011 Jumlah alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan di DIY berfluktuasi yaitu sejumlah 1.866 unit pada tahun 2008, meningkat menjadi 1.945 unit tahun 2009, dan pada 15 tahun 2010 jumlah jenis alat tangkap menjadi berjumlah 2.615 unit alat tangkap. Namun apabila dicermati terjadi peningkatan penggunaan alat pancing berupa alat pancing ulur, pancing tegak dan pancing cumi. Jumlah produksi ikan di Kabupaten Gunungkidul sangat tinggi apabila dibandingkan dengan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sarana dan prasarana yang ada di Kabupaten Gunungkidul yaitu adanya Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng dan armada penangkapan ikan berupa kapal motor dengan kapasitas 5 - <30 GT (Gambar 2.6). Armada penangkapan ikan berupa kapal motor memiliki jangkauan dan daya jelajah dalam melakukan kegiatan penangkapan mencapai 80 mil dari pantai. Sehingga pengembangan perikanan lepas pantai sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mempercepat penyelesaian pelabuhan Tanjung Adikarto untuk mendukung pembangunan perikanan tangkap di DIY. Gambar 2.6. Produksi Perikanan Tangkap menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2007-2011 (ton) 3,249.6 3500 2,831.4 3000 2,823.7 2,912.8 2,400.3 2500 1957.4 2000 1,497.5 1500 1000 500 426.5 439.5 459.8 245.1 512.5 518.1 536.7 592.5 639.0 2010 2011 2012 541.4 447.0 546.8 214.8 0 2007 528.6 2008 2009 Kab. Gunungkidul Kab. Bantul 2013 Kab. Kulon Progo Sumber: Statistik Perikanan Tangkap DIY Tahun 2007-2011, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Tahun 2008-2013 B. Kondisi Perikanan Budidaya DIY Dari aspek geografis, DIY memiliki posisi strategis untuk berkembangannya usaha perikanan budidaya. Di wilayah pesisir dan laut, DIY memiliki potensi lahan dan wilayah untuk pengembangan perikanan di beberapa titik di sepanjang pantai yang mencapai ± 113 km. Potensi sumberdaya lahan pesisir seluas kurang lebih 650 ha sangat potensial untuk 16 pengembangan tambak dan budidaya kolam. Potensi produksi perikanan budidaya di lahan pesisir ini diperkirakan dapat mencapai kurang lebih 13.000 ton per tahun. Tentu saja potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal karena usaha perikanan dapat dikategorikan usaha yang baru dikenal oleh masyarakat di DIY. Di wilayah darat, DIY dialiri oleh beberapa sungai kecil dan besar yang membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti DAS Opak-Oyo dan DAS Progo serta Bogowonto sehingga memungkinkan berkembangnya kegiatan perikanan baik di sungai maupun di wilayah sekitarnya. Adanya waduk dan telaga juga menjadi sumber air untuk kegiatan perikanan. Sementara, keberadaan Saluran Vanderweigh (Selokan Mataran) telah menghidupi ratusan pembudidaya ikan di daerah yang dilintasinya, bahkan menjadi sentra-sentra perikanan budidaya di DIY. Untuk pengembangkan perikanan budidaya DIY memiliki lahan potensial seluas 18.129 ha, bahkan angka ini dapat bertambah dengan perkembangan teknologi terkini budidaya ikan di wilayah pedesaan seperti teknologi budidaya dengan kolam terpal. Dengan demikian, untuk berkembangnya kegiatan usaha perikanan, lahan tidak lagi memiliki faktor pembatas. 1. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Budidaya Walaupun DIY memiliki luasan wilayah yang relatif sempit, demikian juga dengan lahan untuk pengembangan budidaya perikanan. Namun demikian potensi sumberdaya tersebut tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Tabel 2.5 menunjukkan bahwa dari total luas lahan potensial sejumlah 18.679 hektar untuk kegiatan budidaya perikanan baru dimanfaatkan sekitar 1.500 hektar atau hanya 8% dari luas lahan potensial. Secara total, produksi perikanan di DIY baru mencapai 17.552 ton pada tahun 2008, dan saat ini telah meningkat mencapai lebih dari 57.900 ton (Tabel 2.5). Tabel 2.5. Potensi Lahan dan Peluang Pengembangan Perikanan Budidaya Jenis Usaha /Lahan Potensi Lahan (ha) Perairan Umum (KJA) 3.133,50 Tambak 650,00 Kolam 4.630,20 Sawah / Mina Padi 10.265,60 Jumlah 18.679,30 Sumber: Statistik Perikanan Budidaya DIY, 2009 Tingkat Pemanfaatan (ha) 0,17 35,0 700,0 786,0 1.521,17 Persentase (%) 0,01 5,38 15,12 7,73 8,04 17 Tabel 2.6 menyajikan luas usaha budidaya menurut jenis budidaya berdasarkan kabupaten yang ada di wilayah DIY pada tahun 2013. Dibandingkan data tahun 2010 dan 2011, luasan lahan budidaya pada tahun 2013 mengalami peningkatan. Kenaikan tersebut disebabkan peningkatan luasan lahan budidaya tambak, kolam, dan telaga. Luasan lahan tambak meningkat dari 14,5 hektar pada tahun 2011 menjadi 66,21 hektar pada tahun 2013 atau terjadi peningkatan luasan tambak sebesar 356,62% selama periode tahun 2011-2013. Peningkatan luasan lahan tersebut terjadi karena adanya pembukaan lahan yang masif di pesisir selatan DIY oleh masyarakat karena tingginya keuntungan yang diperoleh dari budidaya tambak (udang). Walaupun tidak setinggi pertumbuhan luasan lahan tambak, luasan kolam DIY mengalami peningkatan dari 839,3 hektar pada tahun 2011 menjadi 1.006,3 hektar pada tahun 2013 (naik 19,86%). Berbeda dengan luasan lahan tambak, kolam, dan telaga yang mengalami peningkatan, luasan lahan sawah, karamba, dan jaring apung justru mengalami penurunan walaupun penurunan luasan lahan tersebut tidak signifikan. Sebagai contoh, luasan karamba pada tahun 2011 adalah sebanyak 274 unit dan pada tahun 2013 menurun menjadi hanya 146 unit. Tabel 2.6. Luas Usaha Budidaya menurut Jenis Budidaya dan Kabupaten, 2013 Sawah (ha) Karamba (unit)] Gunungkidul 1,47 36,66 0,58 Bantul 19,15 105,42 Kulonprogo 45,59 56,59 Sleman 806,39 63,85 Yogyakarta 0,97 Jumlah 66,21 1.006,03 64,43 Sumber: Statistik Perikanan Budidaya DIY, 2013 1 71 57 17 146 Kabupaten/Kota Tambak (ha) Kolam (ha) Jaring Apung (unit) Telaga (ha) 1 20 21 155,80 155,80 Peningkatan luasan lahan juga diikuti peningkatan pelaku usaha perikanan budidaya yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan rumah tangga perikanan dimana jumlah rumah tangga perikanan pada tahun 2010 adalah sebanyak 53.472 unit meningkat menjadi 67.733 unit pada tahun 2013. Peningkatan jumlah rumah tangga perikanan terbanyak terdapat pada pada rumah tangga yang melakukan usaha budidaya kolam yaitu sebanyak 14.334 unit diikuti budidaya di telaga sebanyak 139 unit, budidaya tambak sebanyak 100 unit, dan budidaya di jaring apung sebanyak 10 unit. Jika melihat pada tabel 2.7, pertumbuhan jumlah rumah tangga yang melakukan budidaya di tambak dan kolam selalu menunjukkan pertumbuhan yang positif 18 setiap tahun, sedangkan rumah tangga perikanan yang melakukan budidaya di sawah, keramba, jaring apung, dan telaga jumlahnya naik turun (fluktuatif). Jumlah rumah tangga perikanan budidaya di DIY pada periode tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Tabel 2.7. Tabel 2.7. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) Budidaya di DIY, 2010-2013 Lahan 2010 Budidaya di Tambak 29 Budidaya di Kolam 47.586 Budidaya di Sawah 5.558 Budidaya di Karamba 192 Budidaya di Jaring Apung 10 Budidaya Telaga 97 Jumlah 53.472 Sumber: Statistik Perikanan Budidaya DIY, 2010-2013 RTP (unit) 2011 2012 56 64 48.922 58.462 5.619 5.294 91 243 20 40 138 114 54.846 64.217 2013 129 61.920 5.281 146 21 236 67.733 Produksi perikanan budidaya DIY berasal dari budidaya air tawar (kolam, sawah, karamba, jaring apung) dan budidaya air payau. Produksi perikanan budidaya DIY dalam 5 tahun terakhir (2009-2013) menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan, ditunjukkan dengan data produksi pada tahun 2009 hanya sebesar 20.105,5 ton menjadi 57.900,7 ton pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan produksi perikanan budidaya DIY dalam periode waktu tersebut adalah sebesar 34,55% dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2010 dengan pertumbuhan sebesar 94,4% dan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2012 yang hanya tumbuh sebesar 12,8%. Produksi perikanan budidaya DIY selama periode tahun 2009-2013 ditampilkan pada Gambar 2.7. Produksi perikanan budidaya tersebar hampir merata di semua wilayah kabupaten dan kota di DIY, namun sebagian besar produksi perikanan budidaya DIY berasal dari Kabupaten Sleman. Pada tahun 2013, produksi perikanan budidaya Kabupaten Sleman adalah sebesar 25.710 ton (44,4%), diikuti Kabupaten Bantul sebesar 13.810 ton (23,85%), Kabupaten Kulon Progo sebesar 11.806 ton (20,39%), Kabupaten Gunungkidul sebesar 6.509 ton (11,24%) dan Kota Yogyakarta sebesar 63,55 ton (0,11%). Jenis ikan yang paling banyak diproduksi di Kabupaten Sleman adalah nila (7.940,9 ton), lele (6.768,8 ton), gurami (4.993,8 ton), bawal (4.779,4 ton), dan grass carp (826,9 ton). Produksi perikanan budidaya di setiap kabupaten dan kota di DIY ditunjukkan pada Gambar 2.8. 19 Gambar 2.7. Produksi Perikanan Budidaya DIY, 2009-2013 94.14 70,000 100 90 57,900.73 Produksi (ton) 50,000 70 50,244.28 60 44,542.00 40,000 50 39,032.99 30,000 80 36.43 40 30 20,000 20,105.46 14.11 12.80 15.24 10,000 Pertumbuhan (%) 60,000 20 10 - 2009 2010 2011 Tahun 2012 2013 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2013 20 Gambar 2.8. Produksi Perikanan Budidaya dan Persentasenya menurut Kabupaten dan Kota di DIY, 2013 30,000 50.00 Produksi (ton) 40.00 35.00 20,000 30.00 15,000 23.85 20.39 25.00 25,710.68 20.00 10,000 15.00 11.24 5,000 11,806.94 13,810.11 10.00 6,509.44 63.55 0 Gunungkidul Kulon Progo Bantul Sleman 0.11 Yogyakarta Persentase Produksi (%) 45.00 44.40 25,000 5.00 - Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2013 Pada tahun 2013, produksi perikanan sebagian besar berasal dari budidaya di kolam dengan produksi sebesar 56.787,6 ton (98,08%) diikuti budidaya tambak sebesar 816,9 ton (1,41%), dan budidaya di sawah sebesar 146,91 ton (0,25%). Terdapat 5 jenis ikan yang paling banyak dibudidayakan masyarakat DIY diantaranya adalah lele dengan produksi pada tahun 2013 sebesar 29.199,9 ton (50,43%), diikuti nila dengan produksi sebesar 11.417,87 ton (19,72%), gurami sebesar 9.794,14 ton (16,92%), bawal sebesar 5.106,52 ton (8,82%), dan grasscarp sebesar 826,88 ton (1,43%). Kabupaten Sleman merupakan produsen terbesar untuk komoditas nila, gurami, bawal, dan grass carp, sedangkan untuk lele, Kabupaten Bantul merupakan penyumbang produksi terbesar di DIY. Khusus untuk budidaya air payau di DIY, jenis komoditas yang dibudidayakan adalah udang vanamei dan bandeng, dimana sumbangan produksi terbesar dihasilkan oleh Kabupaten Bantul dan Kulon Progo. Produksi perikanan budidaya di DIY menurut jenis ditampilkan pada Gambar 2.9. 21 Gambar 2.9. Produksi Perikanan Budidaya Menurut Jenis Ikan di DIY, 2013 30,000 Produksi (ton) 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 Lele Nila Gurami Bawal Grasscrap Udang Ikan Mas Tawar Vanamei Udang Galah Tawes Patin Bandeng Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2013 Usaha perikanan budidaya di DIY mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam dekade terakhir. Sesuai dengan Renstra Kelautan dan Perikanan tahun 2009, produksi ikan untuk konsumsi di DIY tumbuh mencapai 14,7% per tahun antara 2004-2008. Pertumbuhan pesat terjadi pada usaha budidaya yaitu mencapai 18,4% pada periode yang sama (19,7% untuk tambak dan 20,4% untuk budidaya kolam). Pertumbuhan pesat pada usaha budidaya ini juga diikuti oleh permintaan benih yang melambung tinggi. Produksi benih ikan meningkat lebih dari 2 kali antara tahun 2004 dan 2009, yaitu dari 363,7 juta ekor pada tahun 2004 menjadi 807,6 juta pada tahun 2008. Statistik perikanan tahun 2013 bahkan melaporkan produksi benih ikan DIY naik menjadi lebih dari 1,2 miliar ekor (Tabel 2.8). Selain kegiatan produksi ikan untuk konsumsi, usaha ikan hias juga mengalami perkembangan yang mengembirakan yaitu ditandai dengan peningkatan produksi ikan hias mencapai 7,13% antara tahun 2010 dan 2014 (tabel 2.9). Pertumbuhan tersebut telah juga mendorong bertambahnya jumlah pelaku usaha seperti tersaji pada Tabel 2.4. 22 Tabel 2.8. Produksi Benih Ikan/Udang menurut Sumber Usaha dan Kabupaten, 2010-2013 Jumlah Produksi (ekor) 2010 2011 2012 Jumlah 1.007.515.775 1.171.875.631 1.188.581.603 Gunungkidul 16.211.050 14.154.700 15.191.234 Bantul 133.878.801 232.570.709 183.010.236 Kulonprogo 54.010.649 131.947.412 76.942.943 Sleman 785.857.500 792.983.055 913.286.653 Yogyakarta 86.650 219.755 150.537 UPTD 17.471.125 Sumber: Statistik Perikanan DIY, 2010-2013 Kabupaten 2013 1.195.081.950 9.224.615 121.621.203 95.779.312 947.330.900 174.470 20.951.450 Tabel 2.8 menyajikan produksi benih ikan/udang berdasarkan pada sumber usaha dan kabupaten pada periode tahun 2010 hingga 2013. Selama kurun periode waktu tersebut, produksi benih ikan/udang di DIY secara keseluruhan mengalami pertumbuhan produksi sebesar 6,1% dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 16,31%. Produksi benih ikan/udang di DIY disumbang dari balai benih yang dimiliki oleh pemerintah daerah (BBI/BBUG/BBIP) dan unit pembenihan rakyat (UPR). Pada tahun 2013 produksi benih ikan/udang DIY adalah sebanyak 1.195.081.950 ekor yang disumbang oleh balai benih milik pemerintah sebanyak 28.320.785 ekor dan UPR sebanyak 1.166.761.165 ekor. Statistik tersebut menunjukkan bagaimana peranan UPR dalam mendukung kegiatan perikanan budidaya di DIY. Jika dilihat perkembangan produksi benih per kabupaten, produksi benih di Kabupaten Sleman selalu menunjukkan perkembangan yang positif dengan produksi selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan pertumbuhan produksi benih ikan per tahun mencapai 6,6%. Hal tersebut berbeda dengan daerah lain di DIY yang produksinya cenderung fluktuatif. Tabel 2.9. Jumlah Produksi Ikan Hias di Kabupaten/Kota di DIY, 2010-2013 Kabupaten/Kota Jumlah Gunungkidul Bantul Kulonprogo Sleman Yogyakarta 2010 13.132.136 1.403.211 156.425 11.445.500 127.000 Jumlah Produksi (ekor) 2011 2012 13.701.496 15.646.726 1.079.437 1.932.790 489.878 415.578 11.909.300 13.219.300 222.881 79.058 2013 16.092.682 1.038.498 387.360 14.647.600 19.224 Sumber: Statistik Perikanan DIY, 2010-2013 23 Selain ikan konsumsi, usaha ikan hias juga berkembang di DIY. Tabel 2.9 menunjukkan produksi ikan hias tahun 2010 -2013, menunjukkan kenaikan jumlah produksi ikan hias di wilayah DIY. Jumlah produksi pada tahun 2010 sebanyak 13.132.136 ekor, kemudian pada tahun 2013 naik menjadi 16.092.682 ekor. Kenaikan produksi ikan hias ternyata juga didukung oleh kenaikan luas lahan produksi yang pada awalnya seluas 4,67 hektar, naik menjadi 5,51 hektar pada tahun 2013. Kabupaten yang menjadi penyumbang produksi ikan hias terbesar di wilayah DIY adalah Kabupaten Sleman dengan produksi mencapai 13.219.300 ekor pada tahun 2013. Besarnya produksi ikan hias di Kabupaten Sleman disebabkan karena memiliki lahan budidaya ikan hias terluas yaitu mencapai 4,7 hektar. Berkembangnya produksi ikan hias juga diikuti dengan berkembangnya rumah tangga perikanan yang melakukan usaha budidaya ikan hias. Jumlah rumah tangga perikanan ikan hias pada tahun 2010 adalah sebanyak 76 RTP dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 182 RTP. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha ikan hias mulai diminati masyarakat DIY karena usaha ikan hias tidak membutuhkan lahan yang luas. Kabupaten yang memiliki jumlah RTP ikan hias terbanyak adalah Kabupaten Bantul yaitu sebanyak 87 RTP. Selain itu, dari data statistik juga diketahui bahwa tidak terdapat RTP ikan hias di Kabupaten Gunungkidul. Jumlah RTP di DIY disajikan pada Tabel 2.10. Tabel 2.10. Jumlah RTP Ikan Hias di Kabupaten/kota di DIY, 2010-2013 Jumlah RTP (unit) 2010 2011 2012 Jumlah 76 163 193 Gunungkidul Bantul 13 78 101 Kulonprogo 16 16 17 Sleman 34 34 38 Yogyakarta 13 35 37 Sumber: Statistik Perikanan DIY, 2010-2013 Kabupaten/Kota 2. 2013 182 87 20 38 37 Pengembangan Perikanan Budidaya Perkembangan positif perikanan DIY ini tentu saja sangat mengembirakan. Namun demikian, peningkatan jumlah produksi perikanan (supply) belum mampu mencukupi permintaaan (demand) ikan di daerah ini. Tercatat jumlah konsumsi ikan di DIY meningkat sebesar 2,64% per tahun dalam periode 2004-2013. Jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk. Untuk memenuhi 24 kebutuhan tersebut DIY membutuhkan suplai ikan dari luar daerah. Dengan demikian, untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan di DIY perlu pengoptimalan pemanfaatan potensi sumberdaya seperti peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Peningkatan kapasitas produksi ikan, khususnya melalui kegiatan budidaya ikan, yang tentu sangat erat kaitannya dengan penyediaan jumlah dan kualitas benih yang memadai sangat perlu didorong. Melihat pemanfataan sumberdaya perikanan yang ada masih terbatas, pengembangkan usaha perikanan DIY perlu terus dilakukan. Upaya ini perlu berjalan beriringan dan mendapat dukungan program nasional, salah satunya yang dikenal dengan Program Minapolitan atau Industrialisasi perikanan. Dalam kerangka pengembangan perikanan budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislautkan) DIY telah menetapkan program Kawasan Sentra Pengembangan Perikanan (KSPP). Pemerintah daerah telah menetapkan 16 KSPP di DIY yang tersebar diseluruh kabupaten/kota. KSPP DIY menetapkan 9 komoditas unggulan dan 4 diantaranya adalah ikan nila, gurami, lele dumbo dan udang galah. C. Penanganan Pasca Panen Hasil Perikanan di DIY Penanganan pasca panen merupakan kegiatan yang berfungsi untuk menjaga kualitas hasil perikanan dari proses produksi sampai dengan terdistribusi kepada konsumen akhir dari hasil perikanan. Kegiatan penanganan pasca panen hasil perikanan mencakup kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Pengolahan dan pemasaran hasil perikanan merupakan kegiatan hilir yang memiliki nilai strategis dimana peranan yang harus dimainkan bila dapat di lakukan dengan baik dapat membawa dapak positif bagi peningkatan produktivitas usaha baik pada bidang usaha perikanan budidaya maupun usaha perikanan penangkapan. Hampir sebagian besar hasil tangkapan ikan laut di kawasan pesisir DIY dijual langsung dalam bentuk segar untuk diolah di tempat lain. Hanya sebagian kecil ikan hasil tangkapan yang dilakukan pengolahan seperti: pemindangan dan pengasinan. Jenis ikan yang diolah ini pun merupakan ikan yang nilai jualnya tidak begitu tinggi atau ikan yang merupakan hasil sampingan dari target penangkapan seperti ikan layang dan sebagainya. Dengan tersedianya SDI laut di DIY yang belum dimanfaatkan secara optimal, maka di masa mendatang produksi perikanan tangkap tentunya dapat ditingkatkan sampai lebih dari 10 ton per hari. Meningkatnya hasil tangkapan ikan laut ini harus disertai adanya kegiatan penanganan dan pengolahan ikan yang secara keseluruhan diharapkan dapat memberikan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian di wilayah DIY pada umumnya. 25 Penanganan pasca panen di sisi darat di awali dari kegiatan di TPI hingga ke pedagang atau pengolah ikan sebelum sampai kepada konsumen. Keterkaitan antar kegiatan tersebut sangat erat, masing-masing besar pengaruhnya terhadap mutu ikan yang dihasilkan. Penanganan hasil tangkapan di TPI masih belum memadai, terutama dari segi sanitasi dan higienis. Faktor utama penyebab kurang memadainya penanganan pasca panen di TPI, adalah kurangnya pasokan air bersih untuk kebutuhan pencucian, pembersihan keranjang ikan dan pembersihan lantai tempat pelelangan. Meskipun ketersediaan air bersih di PPP Sadeng cukup melimpah, namun sistem penyaluran air bersih ke lokasi TPI kurang mencukupi. Fasilitas sarana penanganan pasca panen, seperti pabrik es dan atau ruang pendingin (cold storage/cold room), yang merupakan sarana penanganan pasca panen di sisi darat belum tersedia. Satu pabrik es yang terdapat di PPP Sadeng tidak berfungsi, sehingga kebutuhan es untuk pengawetan ikan diperoleh dari penduduk setempat atau didatangkan dari luar daerah. Beberapa faktor pendukung dari pengembangan teknologi pasca panen di DIY adalah : 1. Rata-rata konsumsi ikan penduduk DIY masih rendah, belum mencapai tingkat konsumsi yang ditargetkan secara nasional, sebesar 22,06 kg/kapita/tahun. 2. Ikan merupakan protein hewani yang berkualitas tinggi, sehingga merupakan bahan pangan sumber protein hewani yang sangat diperlukan. 3. Permintaan produk ikan olahan masih cukup tinggi. 4. Teknologi pengolahan ikan yang dilakukan oleh nelayan pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga merupakan peluang bagi peningkatan produksi ikan olahan. Usaha pengelolaan dan pengawetan hasil perikanan, merupakan suatu bidang usaha yang sangat penting dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan secara optimal. Usaha ini bertujuan untuk mempertahankan mutu ikan hingga sampai ke konsumen dalam keadaan layak konsumsi. Apabila peningkatan usaha penangkapan ikan berkembang sedemikian besarnya, maka usaha pengolahan dan pengawetan merupakan suatu kebutuhan yang harus dikembangkan. Pengolahan hasil perikanan yang umumnya telah dilakukan meliputi jasa pembekuan dan penyimpanan dingin (cold storage atau frezeer), pengawetan dengan pengeringan (drying) atau penggaraman (salting), pemindangan, pengalengan (canning), Pembuatan tepung ikan (fish meal) dan usaha pengolahan lainnya. Usaha ini dikembangkan sebagai upaya diversifikasi produk sesuai permintaan pasar. Pengolahan ikan di DIY adalah pengolahan tradisional yang meliputi jenis olahan penggorengan, bubur, bakso, kripik, dan abon ikan. Namun demikian, jenis ikan olahan yang banyak ditawarkan adalah jenis penggorengan. Selain itu, keterampilan nelayan pengolah ikan 26 dan ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan ikan (pasca panen) belum memadai. Bila mutu ikan olahan dapat ditingkatkan, ketersediaannya dapat kontinyu sesuai dengan permintaan konsumen serta harganya dapat lebih murah, maka akan merupakan peluang besar untuk dipasarkan di DIY. Jenis dan jumlah unit usaha pengolahan ikan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta cukup beragam sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 2.10. Gambar 2.10. Keragaman Produk Ikan Olahan di DIY 79 73 67 80 60 41 40 20 29 1917 10 9 1 01200 01000 03 00 27 27 0 000 10000 0 87 2223 13 2 00000 023 0 kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta Sumber: Statistik P2HP Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012 Jumlah usaha pengolahan hasil perikanan paling banyak terdapat di Kabupaten Kulonprogo. Sedangkan usaha pengolahan yang banyak dilakukan oleh masyarakat berturutturut adalah pemindangan, pereduksian, pengasapan dan penanganan segar. Dari pengolahan yang dilakukan oleh masyarakat di DIY, agar diperoleh produk yang aman dengan mutu yang terjamin, proses pengolahan harus dilakukan secara baku. Standardisasi hendaknya dilakukan mulai dari bahan baku, bahan pembantu, proses pengolahan, sampai lingkungan pengolahan. Kondisi fisik dan bakterial, komposisi kimia, serta kesegaran bahan baku dan bahan pembantu harus diketahui untuk memilih proses pengolahan yang tepat. Melalui standardisasi, konsumen akan mendapatkan produk yang sesuai dan yang setara kualitasnya. Kondisi ini juga akan membuka peluang pengembangan pemasaran produk olahan tradisional. Pemilihan proses pengolahan harus didasarkan pada ciri kerusakan spesifik dan masa simpan yang diinginkan. 27 Pengolahan ikan secara tradisional masih mempunyai prospek untuk dikembangkan. Mengingat tingginya ketergantungan masyarakat terhadap produk perikanan dalam memenuhi kebutuhan gizi, belum meratanya distribusi ikan dari pusat produksi ke pusat konsumsi serta belum terpenuhinya persyaratan untuk melakukan pengolahan modern. Prospek ini didukung oleh cukup tersedianya sumberdaya ikan, khususnya di Tempat Pelelangan lkan (TPI), masih sederhananya teknologi pengolahan, dan cukup banyaknya industri rumah tangga yang melakukan pengolahan ikan secara tradisional. Keberhasilan pengembangan perlu disertai dengan upaya perbaikan berupa rasionalisasi dan standardisasi, agar sifat fungsional, mutu, nilai nutrisi, keamanan produk terjamin.Upaya perbaikan perlu diikuti dengan peningkatan industrialisasi dan komersialisasi. Pengolahan hasil perikanan di DIY masih didominasi oleh unit pengolahan tradisional berskala rumah tangga (skala mikro). Dari sekitar 487 unit usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro dan kecil, usaha pengolahan hasil perikanan yang skala mikro sebanyak 473 unit sedangkan yang skala kecil hanya berjumlah sekitar 14 unit (Gambar 2.11). Berbagai permasalahan yang terjadi pada tingkat unit pengolah seperti permodalan, teknologi dan informasi, manajemen dan pemasaran, tingkat pendidikan SDM pengolah, kualitas produk, peralatan dan kemasan yang belum memadai. Permasalahan ini menyebabkan produk olahan memiliki daya saing rendah. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY menyelenggarakan berbagai program kegiatan. 28 Gambar 2.11. Skala Usaha Pengolahan Ikan di DIY 487 473 500 400 300 200 100 178 174 111 109 2 62 60 4 101 96 34 5 2 1 35 14 0 Kulonprogo Bantul Gunungkidul Skala Mikro Sleman Skala Kecil Yogyakarta Jumlah Sumber: Statistik P2HP Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012 2.2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintah Daerah di bidang Kehutanan dan perkebunan serta kewenangan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah. Dalam melaksanakan pembangunan kehutanan dan perkebunan, maka dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di lingkungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY. Unit Pelaksana Teknis Dinas tersebut adalah: (1) Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) (2) Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH), dan (3) Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan (BSPMBPTKP). Tiga balai tersebut di atas, memiliki potensi aset daerah yang dikembangkan. Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan berfungsi untuk mensertifikasi benih-benih yang layak dan unggul setelah dilakukan pengamatan dan pengujian terhadap benih tersebut. Untuk fungsi dari Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) yaitu sebagai tempat untuk pembibitan tanaman hutan dan perkebunan serta sebagai lahan percontohan untuk semua kalangan.Sedangkan fungsi dari Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) adalah menciptakan hutan lindung. Hutan lindung yang dikelola oleh Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) ditanami tanaman pinus, dimana getah dari tanaman pinus disadap untuk dikelola menjadi karet pinus. Balai Kesatuan Pengelolan Hutan (BKPH) yang menangani hutan 29 pinus berada di Wilayah Mangunan, Kabupaten Bantul. Selain itu juga Balai Kesatuan Pengelolan Hutan (BKPH) menangani pabrik penyulingan minyak kayu putih yang berada di Wilayah Playen, Gunungkidul. Fungsi dari BKPH pengolahan minyak kayu putih ini mengolah daun dari pohon kayu putih untuk diolah menjadi minyak kayu putih. 2.3. Dinas Pertanian 2.3.1. Sub Sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta (sub sektor tanaman pangan dan hortikultura) memiliki 4 (empat) balai sebagai penyumbang PAD yaitu: Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman pangan dan Hortikultura (BPPTPH), Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP), Balai Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSMP), serta Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP). Terkait dengan kepemilikan dan pengelolaan asset. Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai beberapa aset yang berpotensi sebagai sumber PAD dalam bentuk unit kebun yang terdiri dari 7 kebun yang dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis kebun yaitu: (1) kebun benih padi, (2) kebun benih hortikultura, dan (3) kebun benih palawija. 2.3.2. Sub Sektor Peternakan A. Pendahuluan Pertumbuhan sektor peternakan meningkat secara tajam. Produksi tahunan komoditas daging sapi dunia diproyeksikan mencapai 376 juta pada tahun 2030. Komoditas peternakan meliputi daging telur dan susu meningkat sesuai dengan peningkatan kebutuhan protein hewani dunia. Peningkatan kebutuhan protein hewani terjadi karena terjadi peningkatan pendapatan secara global dan terdapat korelasi positif terhadap urbanisasi yang terjadi di beberapa negara berkembang dengan konsumsi hasil peternakan (WHO, 2014). Pertumbuhan populasi dunia dan terutama di negara berkembang terutama di daerah perkotaan menyebabkan kebutuhan akan makanan meningkat. Kesadaran dan gaya hidup untuk mengonsumsi protein hewani semakin meningkat. Indonesia dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat berbanding lurus dengan kebutuhan protein hewani. Terjadi perubahan pola konsumsi daging, dimana kebutuhan akan protein daging terus meningkat. Asosiai Pengusaha Pengimpor Daging Indonesia (Aspidi) menyatakan kebutuhan akan daging impor mencapai 98.000 ton. Pada tahun 2010 lalu, Indonesia mengimpor daging sebanyak 10.000 ton/bulan, dan meningkat menjadi 12.500-13.000 ton/bulan. Daging impor tersebut beredar di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dimana distrib usi daging 30 impor digunakan 50% untuk industri pengolahan, 30% untuk hotel dan restoran, dan sisanya untuk pasar modern dan tradisional. Kebutuhan daging yang terus meningkat di Indonesia merupakan suatu peluang sekaligus tantangan bagi sub-sektor peternakan untuk terus berkembang. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki potensi pengembangan sub-sektor peternakan. RPJMD DIY tahun 2012-2017 menyebutkan bahwa su-sektor peternakan memiliki wilayah dengan sebaran ternak besar maupun kecil pada sejumlah kabupaten dan kota. Untuk ternak besar di wilayah DIY, sebagian besar atau 99% terdiri atas jenis sapi potong, kambing, dan domba. Pertumbuhan populasi ternak menunjukkan angka positif pada tahun 2011 sebesar 7,4%. Produksi daging juga mengalami kecenderungan meningkat. Hal ini dalam rangka mendukung kebijakan strategis swasembada daging tahun 2014. Visi pembangunan peternakan DIY adalah Pengembangan Peternakan Berbasis Sumber Daya Lokal, Berdaya Saing dan Berkelanjutan untuk Mencukupi Pangan Hewani dan Meningkatkan Kesejahteraan Peternak. Misi pembangunannya adalah Menyelenggarakan dan Menggerakkan Pengembangan Perbibitan, Budidaya Ternak Ruminansia, Budidaya Ternak Non Ruminansia, Kesehatan Hewan, dan Kesehatan Masyarakat. Pembangunan sub-sektor peternakan diarahkan pada penguatan sistem agribisnis peternakan mulai dari sub sistem hulu (up-stream), budidaya (on-farm), hilir (down-stream) dan sub-sistem penunjang, secara terintegrasi dan berkelanjutan. Program dan kegiatan pembangunan sub-sektor peternakan telah dirancang, dengan tujuan antara lain: ï‚· Meningkatkan kuantitas dan kualitas bibit ternak; ï‚· Mengembangkan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas, dan produksi ternak; ï‚· Meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan hewan; ï‚· Meningkatkan jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH; ï‚· Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak; ï‚· Menurunkan angka kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat petani/peternak; dan ï‚· Meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Pengembangan sub-sektor peternakan tidak hanya penting untuk mendukung ketahanan pangan dan penguatan ekonomi masyarakat, tetapi juga untuk mendukung pembiayaan pembangunan daerah dari hasil pendapatan daerah sub-sektor peternakan. 31 B. Keadaan Umum Peternakan DIY Dalam budaya masyarakat petani di pedesaan Jawa, usaha peternakan merupakan usaha sampingan yang dilakukan sebagai investasi atau tabungan di masa yang akan datang dimana hal tersebut juga berlaku di sebagian petani/peternak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Usaha ternak yang dilakukan petani pedesaan di Jawa dan juga di DIY pada umumnya masih tradisional karena usaha ternak dianggap sebagai “ingon-ingonan” atau kepunyaan untuk memanfaatkan keadaan lingkungan sekitar yang mendukung kegiatan usaha ternak misalnya ketersediaan rumput, air, dan lahan yang cukup luas. Usaha ternak baik ternak besar, kecil, maupun unggas di DIY tersebar di semua wilayah kabupaten/kota yang ada di DIY. Pertumbuhan ternak secara keseluruhan menunjukan hasil yang positif dengan rata-rata pertumbuhan selama periode 2002-2013 sebesar 3,96% dimana populasi ternak pada tahun 2002 sebanyak 9.757.502 ekor menjadi 14.658.578 ekor pada tahun 2013. Sementara itu, untuk produksi hasil ternak seperti daging juga mengalami pertumbuhan positif dengan rata-rata pertumbuhan produksi per tahun sebesar 8,41%, untuk produksi telur tumbuh 9,13% per tahun dan susu tumbuh sebesar 2,79% per tahun. Peningkatan jumlah ternak maupun produksi hasil ternak dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan strategis swasembada produk hasil ternak terutama daging. Dalam pengembangan sektor pertanian di DIY termasuk di dalamnya sub-sektor peternakan, menurunnya nilai tukar petani di sub-sektor peternakan juga menjadi suatu tantangan. NTP peternakan berkurang dari 107,24 pada tahun 2009 menjadi 103,79 pada tahun 2012. Selain itu, terdapat beberapa tantangan yang dihadapai sesuai dengan Rencana Strategis Dinas Pertanian DIY 2012-2017 yaitu sebagai berikut: 1. Jumlah penduduk DIY yang terus meningkat membawa konsekuensi diantaranya harus terbentuk pasar yang luas bagi produk-produk pertanian. Melalui penguasaan informasi pasar, petani dapat mengusahakan komoditas sesuai dengan preferensi konsumen. Pasar bebas yang sudah mulai terasa pengaruhnya terhadap produk pertanian/peternakan, hendaknya dapat disikapi secara nyata dengan sentuhan teknologi untuk meningkatkan kualitas produk lokal serta meningkatkan efisiensi, sehingga produk lokal tetap mampu menembus pasar, baik di wilayah sendiri maupun bersaing di pasar regional dan global. 2. Budidaya pertanian di DIY tergantung pada musim yang berakibat akan selalu terjadi masa tanam dan masa panen yang hampir bersamaan. Akibatnya berlaku hukum pasar, di mana barang tersedia melimpah dengan permintaan yang tetap maka akan terjadi penurunan harga barang secara alami. Di samping itu, produk pertanian umumnya bersifat bulky dan mudah rusak (perishable), termasuk di dalamnya produk yang berasal dari ternak seperti 32 daging, telur, dan susu. Dan seperti lazimnya petani di daerah lain, para petani di Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya melakukan usaha tani turun-temurun, sehingga pilihan jenis usaha tani yang diusahakan tidak berdasarkan pada kebutuhan pasar. 3. Peluang bagi peningkatan produksi tanaman pangan, hortikultura dan peternakan melalui peningkatan produktivitas masih terbuka karena adanya perkembangan teknologi budidaya yang sesuai dengan prinsip good agriculture practices (GAP). Selain itu, berdasarkan impact point yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat penggunaan teknologi oleh petani masih belum sesuai dengan anjurannya. Oleh karena itu, jika hal ini diperbaiki akan memberikan peluang yang cukup bagi peningkatan produksi per satuan luas; 4. Peluang untuk memberikan nilai tambah bagi produk pertanian tanaman pangan, hortikultura dan peternakan di tingkat petani sangat besar, terutama teknologi bercorak good handling practices (GHP) atau good manufacturing practices (GMP). Selama ini petani di Daerah Istimewa Yogyakarta sangat banyak yang menjual produknya dalam bentuk primer tanpa memberikan sentuhan teknologi untuk menjadi bahan setengah jadi. Akibatnya nilai tambah produk pertanian tanaman pangan/peternakan dinikmati oleh pelaku yang lain, dalam hal ini bukan petani/peternak; Berdasarkan Renstra Dinas Pertaniaan DIY 2012-2017, sasaran yang terkait dengan sub-sektor peternakan tercantum dalam sasaran II (kedua) yaitu dengan meningkatkan populasi ternak, sasaran III (ketiga) yaitu meningkatkan kualitas SDM dan kelembagaan petani, dengan indikator kinerja peningkatan NTP sektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura, peternakan). Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan membahas mengenai gambaran kinerja sub-sektor peternakan DIY diantaranya terkait populasi ternak, produksi hasil ternak, ketersediaan dan konsumsi per kapita, dan jumlah rumah tangga usaha peternakan. B.1. Populasi Ternak di Daerah Istimewa Yogyakarta Ternak adalah hewan hasil domestikasi oleh manusia yang diatur segala kehidupannya (reproduksi, produksi kesehatan, pemeliharaan, dan lain-lain) oleh manusia dan dapat dimanfaatkan produk dan jasanya (daging, telur, susu, kulit, lemak, tenaga, wool, dan lain-lain) untuk kepentingan manusia. Ternak dikelompokkan ke dalam lima golongan yaitu ternak besar (sapi, kerbau, kuda), ternak kecil (babi, kambing, domba), ternak unggas (ayam, itik, angsa, puyuh, kalkun), hewan kesayangan (kucing, anjing), dan aneka satwa (ulat sutera, lebah madu, cacing tanah, burung walet). Dalam kontek DIY, pengembangan sektor peternakan diarahkan untuk pengembangan ternak besar, kecil, dan unggas. 33 Gambar 2.12. Pupulasi Ternak Besar di DIY, 2002-2013 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 - 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000 400,000 450,000 Ekor Kerbau Kuda Sapi Perah Sapi Potong Poly. (Sapi Potong) Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2003-2014 (diolah) Jenis ternak besar yang dibudidayakan masyarakat DIY adalah sapi potong, sapi perah, kerbau, dan kuda. Ternak besar yang paling banyak dibudidayakan adalah sapi potong. Perkembangan populasi sapi potong DIY mengalami peningkatan selama periode 2002-2013, walaupun populasinya pada dua tahun terakhir (2012-2013) menurun. Rata-rata pertumbuhan populasi sapi potong selama periode 2002-2o13 adalah sebesar 2,76% per tahun dengan pertumbuhan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 32,45%. Populasi sapi potong pada tahun 2002 adalah sebanyak 219.370 ekor dan mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi sebanyak 272.794 ekor. Populasi sapi potong tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan populasi sebanyak 385.370 ekor. Seperti yang telah diuraikan di atas, populasi sapi 34 potong mengalami penurunan yang signifikan dalam dua tahun terakhir dengan penurunan populasi mencapai 112.576 ekor (dibandingkan dengan populasi tahun 2013). Jumlah populasi sapi perah di DIY selama periode 2002-2013 cenderung fluktuatif walaupun secara rata-rata mengalami pertumbuhan sebesar 0,64% per tahun. Selama tahun 2002-2005, populasi sapi perah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dimana populasi sapi perah pada tahun 2002 adalah sebanyak 4.521 ekor dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 7.971 ekor (populasi sapi perah mencapai jumlah tertinggi). Jika pada periode 2002-2005 populasi sapi perah mengalami peningkatan yang signifikan, pada periode 2005-2010 justru menunjukkan hasil sebaliknya dimana populasi sapi perah di DIY mengalami penurunan setiap tahun dengan penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 36,92%. Jumlah populasi sapi perah pada tahun 2006 adalah sebanyak 6.985 ekor, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi 5.589 ekor, 2008 sebanyak 5.465 ekor, 2009 sebanyak 5.265 ekor, dan pada tahun 2010 mengalami penurunan populasi sebanyak 2.131 ekor hingga menjadi hanya sebanyak 3.134 ekor. Dalam 3 tahun terakhir (2011-2013), jumlah populasi sapi perah kembali mengalami kenaikan setiap tahunnya dengan populasi pada tahun 2013 adalah sebanyak 3.954 ekor. Melihat data statistik di atas, terdapat tiga periode perkembangan populasi sapi perah di DIY dengan peningkatan populasi terjadi pada tahun 2002-2005, kemudian populasi mengalami penurunan pada tahun 2005-2010, dan mengalami peningkatan kembali pada periode 2010-2013. Populasi kuda dan kerbau di DIY menunjukkan perkembangan yang berbeda (20022013), jika populasi kuda mengalami peningkatan jumlah, populasi kerbau justru mengalami penurunan. Selama periode 2002-2013, populasi kuda mengalami pertumbuhan populasi sebesar 6,98% per tahun (tertinggi diantara ternak besar), sedangkan populasi kerbau mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan populasi sebesar 10,9% per tahun. Jumlah populasi kuda pada tahun 2002 adalah sebanyak 929 ekor dan pada tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi sebanyak 1.776 ekor (jumlah populasi tertinggi), sedangkan jumlah populasi kerbau pada tahun 2002 adalah sebanyak 5.636 ekor (jumlah populasi tertinggi) kemudian pada tahun 2013 berkurang menjadi 980 ekor. Merujuk pada data statistik Dinas Pertanian DIY (2014), populasi kuda di DIY (2002-2013) cenderung fluktuatif walaupun secara umum mengalami peningkatan. Hal tersebut berbeda dengan populasi kerbau yang setiap tahun jumlahnya selalu bekurang dimana penurunan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 71,05% (dari 4.277 ekor pada tahun 2010 menjadi 1.238 ekor pada tahun 2011). 35 Gambar 2.13. Populasi Ternak Besar Menurut Kabupaten di DIY, 2013 Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) Pada tahun 2013, jika populasi ternak besar dirinci di tingkat kabupaten/kota di DIY, populasi sapi potong paling banyak terdapat di Kabupaten Gunungkidul (138.134 ekor), diikuti Kabupaten Bantul dan Kulon Progo dengan populasi masing-masing sebanyak 50.552 ekor dan 45.595 ekor. Sebagai kabupaten yang menyumbang populasi sapi potong terbanyak di DIY, pola perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Gunungkidul sama dengan pola perkembangan DIY dimana pada periode 2002-2011 mengalami kenaikan dan kemudian mengalami penurunan populasi pada tahun 2012 dan 2013. Populasi sapi potong di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2002 adalah sebanyak 106.273 ekor, kemudian meningkat setiap 36 tahun hingga mencapai populasi tertinggi sebanyak 181.188 ekor pada tahun 2011, mengalami penurunan populasi menjadi sebanyak 162.24o ekor pada tahun 2012, dan menurun kembali pada tahun 2013. Untuk populasi sapi perah, jumlah populasi terbanyak berada di Kabupaten Sleman yaitu sebanyak 3.954 ekor (91%) dengan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 (7.971 ekor). Tingginya populasi sapi perah di Kabupaten Sleman disebabkan kondisi alam yang mendukung untuk kegiatan peternakan sapi perah terutama di wilayah yang berada di lereng Gunung Merapi. Populasi sapi perah di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo masingmasing sebanyak 153 ekor dan 150 ekor, sedangkan di Kabupaten Gunungkidul dan Kota Yogyakarta masing-masing sebanyak 35 ekor dan 34 ekor. Berdasarkan Gambar 2.13, populasi kuda di DIY pada tahun 2013 paling banyak berada di Kabupaten Bantul yaitu sebanyak 1.387 ekor (78%), diikuti Kabupaten Sleman 347 ekor (20%), dan Kota Yogyakarta sebanyak 20 ekor (1%). Untuk populasi kerbau, kabupaten yang memiliki populasi kerbau tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebanyak 757 ekor (63%), diikuti Kabupaten Bantul sebanyak 271 ekor (23%), dan Kabupaten Kulon Progo sebanyak 120 ekor (10%). Mengikuti pola populasi kerbau DIY yang menurun selama periode 20022013, populasi kerbau di Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulon Progo juga mengalami penurunan yang signifikan. Sebagai gambaran, populasi kerbau di Kabupaten Sleman pada tahun 2002 adalah sebanyak 3.823 ekor, di Kabupaten Bantul sebanyak 988 ekor, dan Kabupaten Kulon Progo sebanyak 752 ekor, kemudian pada tahun 2013, populasi kerbau di tiga kabupaten tersebut mengalami penurunan yang signifikan seperti yang telah diuraikan pada penjelasan di atas. 37 Gambar 2.14. Pupulasi Ternak Kecil di DIY, 2002-2013 156,860 2013 13,579 2012 12,782 2011 13,056 2010 12,695 2009 12,038 369,730 151,772 331,147 132,872 2007 7,907 107,892 2006 7,861 106,137 2005 10,151 2003 10,116 2002 308,353 130,775 8,766 7,056 343,647 136,657 2008 2004 352,223 147,773 304,780 113,128 293,344 280,182 264,681 97,339 256,417 79,174 241,007 73,421 272,170 9,924 - 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000 400,000 Ekor Domba Kambing Babi Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2003-2014 (diolah) Jenis ternak kecil yang dibudidayakan masyarakat DIY adalah babi, kambing, dan kerbau. Populasi babi di DIY selama periode 2002-2013 cenderung fluktuatif walaupun secara umum mengalami pertambahan populasi (Gambar 2.14). Populasi babi pada tahun 2002 adalah sebanyak 9.924 ekor dan pada tahun 2013 bertambah menjadi 13.579 ekor (populasi tertinggi). Pertumbuhan populasi babi sepanjang periode tersebut adalah sebesar 4,93% per tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 (dari 7.056 ekor pada tahun 2004 menjadi 10.151 ekor pada tahun 2005). Populasi kambing di DIY selama periode 2002-2013 dapat dikatakan meningkat, walaupun pada tahun 2003 sempat mengalami penurunan populasi sebesar 11,45% (dari 272.170 ekor pada tahun 2002 menjadi 241.007 ekor pada tahun 2003). Jika kita melihat Gambar 2.14, dari tahun 2003 hingga 2013, populasi kambing kambing selalu bertambah setiap tahun hingga mencapai populasi tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebanyak 369.730 ekor. Pertumbuhan populasi kambing sepanjang periode 2002-2013 adalah sebesar 2,95% dengan pertumbuhan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2010 (dari 308.353 ekor pada tahun 2009 menjadi 331.147 ekor pada tahun 2010). Berbeda dengan populasi babi dan kambing yang sempat mengalami penurunan, populasi domba di DIY selama periode 200238 2013 selalu mengalami pertambahan populasi setiap tahun dimana populasi domba pada tahun 2002 adalah sebanyak 73.421 ekor menjadi 156.860 ekor pada tahun 2013 (populasi domba tertinggi). Rata-rata pertumbuhan populasi domba di DIY adalah sebesar 7,32% (tertinggi diantara ternak kecil) dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2004 (dari 79.174 ekor pada tahun 2003 menjadi 97.339 ekor pada tahun 2004). Gambar 2.15. Populasi Ternak Kecil menurut Kabupaten di DIY, 2013 71,412 33,625 Kabupaten Sleman 6,673 10,918 171,530 Kabupaten Gunungkidul 114 22,062 89,725 Kabupaten Kulon Progo 2,136 52,085 74,462 Kabupaten Bantul 4,498 383 388 158 Kota Yogyakarta - 50,000 100,000 150,000 200,000 Ekor Domba Kambing Babi Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) Gambar 2.15 menunjukkan populasi ternak kecil menurut kabupaten di DIY pada tahun 2013. Populasi babi tertinggi di DIY berturut-turut terdapat di Kabupaten Sleman sebanyak 6.673 ekor (49,14%), Kabupaten Bantul sebanyak 4.498 ekor (33,12%), dan Kabupaten Kulon Progo sebanyak 2.136 ekor (15,73%), sedangkan populasi babi terendah terdapat di Kabupaten Gunungkidul yaitu sebanyak 114 ekor (1,16%). Selama periode 2002-2013, rata-rata pertumbuhan populasi babi tertinggi terdapat di Kabupaten Kulon Progo yaitu sebesar 52,04% per tahun, sedangkan rata-rata pertumbuhan populasi terendah terdapat di Kabupaten Sleman yaitu sebesar 4,2%. Untuk populasi kambing pada tahun 2013, Kabupaten yang memiliki populasi kambing terbanyak adalah Kabupaten Gunungkidul yaitu sebanyak 171.530 ekor 39 (46,39%), diikuti Kabupaten Kulon Progo sebanyak 89.725 ekor (24,27%), dan Kabupaten Bantul sebanyak 74.462 ekor (20,14%). Rata-rata pertumbuhan populasi kambing tertinggi selama tahun 2002-2013 terdapat di Kabupaten Bantul yaitu sebesar 11,18%, sedangkan ratarata pertumbuhan terendah terdapat di Kabupaten Gunungkidul yaitu sebesar 1,3%. Populasi domba di DIY pada tahun 2013 paling banyak terdapat di Kabupaten Sleman yang memiliki populasi domba sebanyak 71.412 ekor (45,53%), diikuti Kabupaten Bantul sebanyak 52.085 ekor (33,2%), dan Kabupaten Kulon Progo sebanyak 22.062 ekor (14,06%). Walaupun memiliki populasi domba terbanyak pada urutan nomor 4 di DIY, tetapi rata-rata petumbuhan populasi domba di Kabupaten Gunungkidul selama periode 2002-2013 menempati urutan teratas dengan rata-rata pertumbuhan populasi sebesar 16,79% per tahun, sedangkan wilayah dengan rata-rata pertumbuhan populasi domba yang negatif adalah Kota Yogyakarta (-1,17% per tahun) dan Kabupaten Kulon Progo (-1,11% per tahun). Gambar 2.16. Pupulasi Ternak Unggas di DIY, 2002-2013 524.89 2013 3,274.89 529.84 2012 3,346.56 516.53 2011 3,160.70 498.24 2010 2,799.18 446.70 2009 2,933.22 421.23 2007 269.58 2004 218.55 2003 211.59 2002 - 1,000 3,813.04 2,665.54 1,389.10 2,470.52 1,418.53 2,427.20 2,000 3,000 5,276.90 3,916.64 5,128.49 4,834.54 4,226.71 3,970.67 2,391.42 1,472.38 5,435.52 3,921.18 2,471.72 377.03 2005 5,770.83 4,019.96 3,925.96 2,563.30 419.73 2006 5,814.94 4,060.72 3,861.68 3,224.11 443.20 2008 6,045.71 3,993.06 4,559.23 4,622.70 5,052.37 5,113.82 4,000 5,000 6,000 7,000 Ekor (ribu) Itik Ayam ras pedaging Ayam ras petelur Ayam buras Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2003-2014 (diolah) 40 Jenis ternak unggas yang ada di DIY diantaranya adalah ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, itik, kelinci, puyuh, merpati, dan itik manila. Populasi ayam buras di DIY selama periode 2002-2013 mengalami penurunan yang signifikan hingga mencapai 1.120.761 ekor (populasi ayam buras tahun 2002 sebanyak 5.113.816 ekor (populasi tertinggi) dan populasi ayam buras tahun 2013 sebanyak 3.993.055 ekor)). Pada periode tersebut, rata-rata penurunan populasi ayam buras di DIY adalah sebesar 2,12% per tahun dengan penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2006 (turun sebesar 12,91%). Pertumbuhan populasi selama periode 2002-2013 hanya terjadi pada tahun 2008, 2011, dan 2012. Pada tahun 2008, populasi ayam buras tumbuh sebesar 0,12% (dari 3.921.178 ekor pada tahun 2007 menjadi 2.925.958 ekor pada tahun 2008), tahun 2011 tumbuh sebesar 4,1% (dari 3.861.676 ekor pada tahun 2010 menjadi 4.019.960 ekor pada tahun 2011), dan pada tahun 2012 tumbuh sebesar 1,01% menjadi 4.060.722 ekor. Namun, pertambahan populasi tersebut tidak terjadi pada tahun 2013 dimana populasi justru mengalami penurunan sebanyak 67.667 ekor menjadi 3.993.055 ekor. Populasi ayam ras petelur selama periode 2002-2013 mengalami pertambahan populasi yang signifikan dari sebanyak 1.418.533 ekor pada tahun 2002 menjadi sebanyak 3.274.886 ekor pada tahun 2013 (Gambar 2.5). Rata-rata pertumbuhan populasi ayam ras petelur pada periode tersebut adalah sebesar 9,20% dengan pertumbuhan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 62,42% (dari 1.472.384 ekor pada tahun 2004 menjadi 2.391.416 ekor pada tahun 2005). Berdasarkan gambar 2.5, populasi ayam ras pedaging di DIY selama periode 20022013 jumlahnya selalu meningkat sepanjang tahun. Hal tersebut berbeda dengan ternak unggas lainnya yang walaupun secara umum mengalami peningkatan tetapi pada tahun tertentu mengalami penurunan populasi. Populasi ayam ras pedaging pada tahun 2002 adalah sebanyak 2.427.196 ekor kemudian pada tahun 2014 populasi meningkat menjadi sebanyak 6.045.705 ekor. Rata-rata pertumbuhan populasi ayam ras pedaging selama periode 2002-2013 adalah sebesar 9,17% per tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 43,05%, sedangkan pertumbuhan populasi terendah terjadi pada tahun 2012 yang hanya tumbuh sebesar 0,76%. Untuk itik, populasinya sepanjang periode 2002-2013 mengalami peningkatan walaupun pada tahun terakhir (2013) mengalami penurunan populasi dibandingkan tahun 2012. Populasi itik pada tahun 2002 adalah sebanyak 211.590 ekor dan mengalami peningkatan hingga mencapai populasi puncak pada tahun 2012 yaitu sebanyak 529.839 ekor, kemudian pada tahun 2013 populasi itik menurun menjadi hanya sebanyak 524.887 ekor. Rata-rata pertumbuhan populasi itik selama periode 2002-2013 adalah sebesar 9,19% per tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 39,86% 41 dan pada tahun 2013 populasi mengalami penurunan sebesar 0,94%. Pada tahun 2013, populasi kelinci di DIY adalah sebanyak 31.935 ekor, puyuh sebanyak 1.925.117 ekor, merpati sebanyak 67.440 ekor, dan itik manila sebanyak 17.642 ekor. Jika populasi ternak kecil dirinci menurut kabupaten di DIY pada tahun 2013, Kabupaten Sleman menempati urutan pertama yang memiliki populasi ternak kecil terbanyak, yang seluruhnya berjumlah 6.138.129 ekor (44,36%). Populasi ayam buras di Kabupaten Sleman sebanyak 1.541.088 ekor, ayam ras petelur sebanyak 1.672.005 ekor, ayam ras pedaging sebanyak 2.718.617 ekor, dan itik sebanyak 206.419 ekor. Populasi ayam buras terbanyak kedua berada di Kabupaten Gunungkidul (870.785 ekor), diikuti Kabupaten Kulon Progo (796.593 ekor), dan Kabupaten Bantul (719.652 ekor). Kabupaten yang memiliki populasi ayam ras petelur dan ayam ras pedaging terbanyak kedua adalah Kabupaten Kulon Progo dengan populasi masing-masing sebanyak 819.618 ekor dan 1.539.345 ekor, diikuti Kabupaten Bantul dengan populasi masing-masing sebanyak 689.988 dan 897.117 ekor, sedangkan populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Gunungkidul adalah sebanyak 89.626 ekor. Pada tahun 2013, Kota Yogyakarta tidak memiliki populasi ayam ras petelur dan ayam ras pedaging. Hal tersebut disebabkan karena usaha ayam ras petelur dan pedaging membutuhkan areal yang cukup luas dan berada di luar pemukiman penduduk sehingga dengan luasan wilayah Kota Yogyakarta yang sempit dan padatnya pemukiman penduduk membuat pengembangan ayam ras petelur dan pedaging di Kota Yogyakarta sangat tidak memungkinkan. Populasi itik berturut-turut terbanyak setelah Kabupaten Sleman adalah Kabupaten Bantul (185.735 ekor), Kabupaten Kulon Progo (123.960 ekor), Kabupaten Gunungkidul (7.147 ekor), dan Kota Yogyakarta (1.626 ekor). 42 Gambar 2.17. Populasi Ternak Unggas menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2013 3,000,000 2,718,617 2,500,000 Ekor 2,000,000 1,672,005 1,541,088 1,539,345 1,500,000 897,117 719,652 1,000,000 819,618 689,988 500,000 64,937- 185,735 - 870,785 890,626 796,593 123,960 1,626 93,275 206,419 7,147 Kota Yogyakarta Ayam buras Kabupaten Bantul Kabupaten Kulon Progo Ayam ras petelur Kabupaten Gunungkidul Ayam ras pedaging Kabupaten Sleman Itik Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) B.2. Produksi Hasil Ternak di Daerah Istimewa Yogyakarta Produksi hasil ternak di Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi daging, telur, dan susu. Untuk daging, produksi berasal dari sapi, kuda, kerbau, babi, kambing, domba, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, dan itik, sedangkan telur berasal dari ayam buras, ayam ras petelur, dan itik. Produksi daging di Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode 20022013 meningkat secara signifikan dimana produksing daging pada tahun 2002 hanya sebanyak 25.998.243 kg dan pada tahun 2013 meningkat menjadi sebanyak 55.093.859 kg. Rata-rata pertumbuhan produksi daging pada periode tersebut adalah sebesar 7,78% per tahun dengan pertumbuhan produksi daging tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 25,68%. Untuk produksi daging yang berasal dari ternak besar, jumlah produksinya dapat dikatakan meningkat selama periode 2002-2013, walaupaun pada tahun tertentu produksinya menurun (Gambar 2.7). Rata-rata pertumbuhan produksi daging yang berasal dari ternak besar selama periode tersebut adalah sebesar 6,06% per tahun. Produksi daging yang berasal dari ternak besar pada tahun 2002 adalah sebanyak 5.141.050 kg dan pada tahun 2013 produksi meningkat menjadi 8.672.655 kg. Walaupun produksi daging ternak besar meningkat, tetapi kontribusi terhadap produksi daging secara total mengalami penurunan dimana kontribusi produksi pada tahun 2002 adalah sebesar 19,77% dan pada tahun 2013 kontribusinya berkurang menjadi hanya sebesar 15,74%. Produksi daging sapi selama periode 2002-2013 meningkat 43 dari sebelumnya hanya sebanyak 4.885.350 kg pada tahun 2002 menjadi 8.636.715 kg pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan produksi daging sapi selama periode tersebut adalah sebesar 6,54% per tahun. Berbeda dengan produksi daging sapi yang mengalami peningkatan, produksi daging kuda dan kerbau justru mengalami penurunan. Produksi daging kuda dan kerbau pada tahun 2002 masing-masing sebanyak 230.100 kg dan 25.600 kg dan pada tahun 2013, produksi daging dari kedua ternak besar tersebut berkurang menjadi hanya sebanyak 35.850 kg, bahkan pada tahun 2013, DIY tidak menghasilkan daging kerbau (Gambar 2.18). Gambar 2.18. Produksi Daging Ternak Besar di DIY, 2002-2013 9,000,000 8,000,000 7,000,000 Kg 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sapi Kuda 2011 2012 2013 Kerbau Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2003-2014 (diolah) Produksi daging yang berasal dari ternak kecil mengalami peningkatan selama periode 2002-2013, walaupun pada tahun tertentu produksinya menurun. Rata-rata pertumbuhan produksi daging yang berasal dari ternak kecil selama periode tersebut adalah sebesar 5,18%. Produksi daging yang berasal dari ternak kecil pada tahun 2002 adalah sebanyak 2.678.305 kg dan pada tahun 2013 produksi meningkat menjadi 3.678.491 kg. Walaupun produksi daging ternak kecil meningkat, tetapi kontribusi terhadap produksi daging secara total mengalami penurunan dimana kontribusi produksi pada tahun 2002 adalah sebesar 10,30% dan pada tahun 2013 kontribusinya berkurang menjadi hanya sebesar 6,68%. Untuk produksi daging ternak kecil, hanya produksi daging babi yang mengalami penurunan, sedangkan produksi daging kambing dan domba mengalami peningkatan. Produksi daging babi pada tahun 2002 adalah sebanyak 231.605 kg, namun pada 2 tahun terakhir (2012-2013), DIY tidak memproduksi 44 daging babi. Produksi daging kambing selama periode 2002-2013 meningkat dari sebelumnya hanya sebanyak 926.325 kg pada tahun 2002 menjadi 1.490.284 kg pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan produksi daging kambing selama periode tersebut adalah sebesar 7,99% per tahun. Hal yang sama juga terjadi pada produksi daging domba dimana selama periode 20022013 produksi meningkat dari 1.520.375 kg pada tahun 2002 menjadi 2.188.207 kg pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan produksi daging kambing selama periode tersebut adalah sebesar 6,32% per tahun. Gambar 2.19. Produksi Daging Ternak Kecil di DIY, 2002-2013 2,500,000 2,000,000 Kg 1,500,000 1,000,000 500,000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Babi Kambing 2011 2012 2013 Domba Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2003-2014 (diolah) Produksi daging yang berasal dari ternak unggas menjadi kontributor terbesar produksi daging di DIY dengan kontribusi terhadap produksi daging pada tahun 2013 mencapai 77,58%. Produksi daging ternak unggas mengalami peningkatan selama periode 2002-2013, walaupun pada tahun tertentu produksinya menurun. Rata-rata pertumbuhan produksi daging yang berasal dari ternak unggas selama periode tersebut adalah sebesar 9,32% (pertumbuhannya tertinggi dibandingkan ternak besar dan kecil). Produksi daging yang berasal dari ternak unggas pada tahun 2002 adalah sebanyak 18.043.811 kg dan pada tahun 2013 produksi meningkat menjadi 42.742.803 kg. Dengan demikian, dalam satu dasawarsa, terjadi peningkatan produksi ternak unggas sebanyak 24,5 juta kg. 45 Gambar 2.20. Produksi Daging Ternak Unggas di DIY, 2002-2013 35,000,000 30,000,000 25,000,000 Kg 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Ayam buras Itik Ayam ras petelur Ayam ras pedaging 2012 2013 Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2003-2014 (diolah) Untuk produksi daging ayam buras, jika produksi pada tahun 2002 dibandingkan dengan tahun 2013 maka terdapat penurunan produksi dimana produksi daging ayam buras pada tahun 2002 adalah sebanyak 6.482.580 kg, sedangkan produksi pada tahun 2013 hanya sebanyak 5.797.564 kg. Namun selama periode 2002-2013, rata-rata pertumbuhan produksi daging ayam buras menunjukkan hasil yang positif yaitu sebesar 2,14% per tahun. Produksi daging ayam buras mencapai puncaknya pada tahun 2007 dengan produksi sebanyak 8.568.867 kg. Produksi daging ayam ras pedaging, ayam ras petelur, dan itik selama periode 2002-2013 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan produksi untuk masing-masing ternak tersebut adalah sebesar 50,37%, 13,65%, dan 18,54% per tahun. Sebagai contoh, produksi daging ayam ras petelur dan pedaging pada tahun 2002 adalah sebanyak 460.924 kg dan 3.111.091 kg, kemudian pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi sebanyak 1.439.066 kg dan 15.124.346 kg. 46 Gambar 2.21. Persentase Produksi Daging menurut Kabupaten di DIY, 2013 Kota Yogyakarta 4% Kabupaten Bantul 22% Kabupaten Sleman 38% Kabupaten Gunungkidul 15% Kabupaten Kulon Progo 21% Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) Jika produksi daging dirinci menurut kabupaten/kota pada tahun 2013, maka Kabupaten Sleman menempati urutan pertama dengan produksi sebanyak 20.656.440 kg (38%). Produksi daging di Kabupaten Sleman sebagian besar berasal dari daging ayam ras pedaging (15.124.346 kg), ayam buras (2.237.524 kg), ayam ras petelur (1.439.066 kg), dan sapi (1.372.720 kg). Wilayah selanjutnya yang menjadi kontributor terbesar kedua untuk produksi daging DIY adalah Kabupaten Bantul dengan produksi total sebanyak 12.176.018 kg (22%). Produksi daging di Kabupaten Bantul disumbang dari produksi daging ayam ras pedaging sebanyak 4.990.886 kg, sapi sebanyak 3.111.352 kg, domba sebanyak 1.683.195 kg, dan ayam buras sebanyak 1.044.871 kg. Produksi daging di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2013 adalah sebanyak 11.565.580 kg (21%) dimana produksi daging sebagian besar berasal dari produksi daging ayam ras pedaging sebanyak 8.563.761 kg dan ayam buras sebanyak 1.156.583 kg. Untuk produksi daging yang berasal dari sapi, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, dan itik, produksi terbesar berasal dari Kabupaten Sleman, sedangkan untuk produksi daging kuda dan domba, Kabupaten Bantul menjadi produsen terbesar, dan produksi daging kambing terbesar ditempati Kabupaten Gunungkidul. 47 Gambar 2. 22. Produksi Telur di DIY, 2002-2013 30,000,000 25,000,000 Kg 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Ayam buras Ayam ras petelur Itik Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2003-2014 (diolah) Produksi telur di DIY mengalami peningkatan dari sebelumnya pada tahun 2002 hanya sebanyak 13.219.540 kg menjadi 30.612.020 kg pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan produksi telur selama periode 2002-2013 adalah sebesar 9,13% per tahun dengan pertumbuhan produksi telur tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 51,33% (dari 13.278.042 kg pada tahun 2004 menjadi 20.093.300 kg pada tahun 2005). Produksi telur tersebut berasal dari ayam buras, ayam ras petelur, dan itik. Produksi telur ayam buras di DIY selama periode 2002-2013 mengalami pertumbuhan dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 1,37%, namun jika produksi telur ayam buras pada tahun 2002 dibandingkan dengan produksi tahun terakhir (2013), justru menunjukkan terjadinya penurunan produksi dimana produksi telur ayam buras pada tahun 2002 sebanyak 2.632.419 kg dan pada tahun 2013 berkurang menjadi sebanyak 2.585.503 kg. Pada tahun 2013, terdapat kabar yang menggembirakan dimana produksi telur ayam buras mengalami pertumbuhan produksi sebesar 31,64% (produksi telur ayam buras tahun 2012 sebanyak 1.964.089 kg). Pertumbuhan produksi telur yang berasal dari ayam ras petelur selama periode 2002-2013 menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan (produksi tahun 2002 sebanyak 9.624.723 kg dan produksi tahun 2013 sebanyak 24.659.892 kg). Walaupun pada tahun 2013 produksi telur ayam ras petelur berkurang sebesar 8,64% (dari produksi tertinggi sebanyak 26.991.447 kg), namun selama periode 2002-2013, produksi telur 48 ayam ras petelur tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan produksi sebesar 10,85%. Produksi telur itik selama periode 2002-2013 juga mengalami peningkatan. Produksi telur itik pada tahun 2002 adalah sebanyak 962.298 kg dan pada tahun 2013 meningkat menjadi sebanyak 3.366.625 kg. Sama seperti produksi telur ayam petelur, produksi telur itik juga mencapai level tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebanyak 4.207.202 kg. Rata-rata pertumbuhan produksi telur itik merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan produksi telur ayam buras dan ayam ras petelur dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 13,38%. Gambar 2.23. Produksi Telur mnurut Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Persen) Kota Yogyakarta 0% Kabupaten Bantul 22% Kabupaten Sleman 49% Kabupaten Kulon Progo 25% Kabupaten Gunungkidul 4% Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) Sama halnya dengan produksi daging, Kabupaten Sleman juga menempati urutan pertama untuk produksi telur yaitu sebanyak 14.912.023 kg (49%). Produksi telur di Kabupaten Sleman berasal dari produksi telur ayam ras petelur (12.590.198 kg), itik (1.323.971 kg), dan ayam ras buras (997.854 kg). Jika dalam produksi daging, Kabupaten Kulon Progo menempati urutan ketiga, untuk produksi telur, Kabupaten Kulon Progo menjadi kontributor terbesar kedua untuk produksi telur DIY dengan produksi total sebanyak 7.482.597 kg (25%). Produksi telur di Kabupaten Bantul disumbang dari produksi telur ayam ras petelur sebanyak 46.171.724 kg, itik sebanyak 795.079 kg, dan ayam buras sebanyak 515.794kg. Produksi telur di Kabupaten Bantul pada tahun 2013 adalah sebanyak 6.852.889 kg (22%) dimana produksi telur 49 terdiri atas produksi telur ayam ras petelur sebanyak 5.195.610 kg, itik sebanyak 1.191.304 kg, dan ayam buras sebanyak 465.975 kg. Seperti terlihat pada gambar 2.11, produksi susu di DIY selama tahun 2002 hingga tahun 2006 mengalami peningkatan yang signifikan. Produksi susu pada tahun 2002 adalah sebanyak 5.299.382 kg, meningkat setiap tahun hingga mencapai produksi tertinggi pada tahun 2006 sebanyak 11.061.486 kg. Kemudian setelah produksi mencapai level tertinggi, produksi susu mengalami penurunan hingga titik terendahnya pada tahun 2011 yang hanya memproduksi sebanyak 3.166.980 kg. Pada tahun 2012 dan 2013 produksi susu mengalami peningkatan kembali dimana produksi susu pada tahun tersebut masing-masing sebanyak 3.576.110 kg dan 4.912. 342 kg. Jika produksi susu dilihat menurut wilayah kabupaten/kota di DIY pada tahun 2013, Kabupaten Sleman menempati urutan pertama dengan produksi sebanyak 4.489.921 kg (91%). Posisi kedua dan ketiga berturut-turut ditempati Kabupaten Bantul dan Kulon Progo dengan produksi masing-masing sebanyak 173.737 kg (4%) dan 170.331 kg (3%). Gambar 2.24. Produksi Susu di DIY, 2002-2013 (Kg) 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2003-2014 (diolah) 50 B.3. Ketersediaan dan Konsumsi Per Kapita Produk Hasil Ternak di DIY Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang dimaksud dengan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil proses produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Selain itu, dalam undang-undang juga disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan dimana penyediaan tersebut diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Dalam konteks bahan pangan yang berupa hasil ternak di wilayah DIY, informasi mengenai produksi dan ketersediaan produk hasil ternak diperlukan dalam rangka perencanaan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi bagi masyarakat khususnya yang berasal dari produk hasil ternak. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, ketersediaan daging per kapita cenderung fluktuatif sepanjang periode 2005-2009. Ketersediaan daging per kapita cenderung menurun dari 6.766 gram/kapita/tahun pada tahu 2005 menjadi hanya 3.300 gram/kapita/tahun pada tahun 2009. Pada tahun 2010, ketersediaan daging per kapita meningkat menajdi 4.730 gram/kapita/tahun dan pada tahun 2011 ketersediaan per kapita mencapai level tertingginya dengan ketersediaan per kapita sebesar 7.760 gram/kapita/tahun. Untuk ketersediaan telur per kapita, terjadi penurunan tingkat ketersediaan telur per kapita dimana pada tahun 2005 ketersediaan telur per kapita mencapai level tertinggi (6.126 gram/kapita/tahun) menurun secara signifikan hingga level terendah pada tahun pada tahun 2007 (1.680 gram/kapita/tahun). Kemudian pada tahun 2008-2011, ketersediaan telur per kapita mengalami peningkatan walaupun belum melampaui titik tertinggi (meningkat dari 2.450 gram/kapita/tahun pada tahun 2008 menjadi 3.340 gram/kapita/tahun pada tahun 2011). Ketersediaan susu per kapita di DIY cenderung mengalami penurunan dimana pada tahun 2005, ketersediaan susu per kapita sebesar 1,18 gram/kapita/tahun dan pada tahun 2011 ketersediaan susu per kapita mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 0,22 gram/kapita/tahun. 51 Gambar 2.25. Ketersediaan Produk Hasil Ternak, 2005-2011 (gram/kapita/tahun) 9,000 8,000 7,760 7,000 6,766 6,126 6,000 6,710 5,620 5,060 5,000 4,730 4,000 3,000 2,000 1,000 3,440 3,300 2,450 2,330 3,340 2,520 1,680 1.18 1.74 0.08 0.11 0.19 0.22 0.22 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Daging Telur Susu Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2006-2012 (diolah) Tingkat konsumsi hasil ternak dibedakan dalam empat kategori yaitu tingkat konsumsi daging ruminansia, konsumsi daging unggas, konsumsi telur, dan konsumsi susu. Tingkat konsumsi daging ruminansia mengalami peningkatan dari sebelumnya tahun 2011 sebesar 3,8 kg/kapita/tahun menjadi 4,8 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Tingkat konsumsi daging ruminansia sempat mengalami penurunan pada tahun 2012 dengan tingkat konsumsi hanya sebesar 3,4 kg/kapita/tahun. Untuk tingkat konsumsi daging unggas, terjadi peningkatan tingkat konsumsi dari yang sebelumnya pada tahun 2011 dan 2012 hanya sebesar 6,4 kg/kapita/tahun menjadi 7,6 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Pola konsumsi telur dan susu di DIY mengikuti pola yang sama dengan tingkat konsumsi daging ruminansia dimana pada tahun 2012 mengalami penurunan dan pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan. Tingkat konsumsi telur pada tahun 2011 sebesar 7,8 kg/kapita/tahun, kemudian turun menjadi 7,5 kg/kapita/tahun pada tahun 2012, dan meningkat kembali pada tahun 2013 menjadi 8,2 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi susu di DIY sepanjang tahun 2011-2013 cenderung stagnan dimana tingkat konsumsi pada kedua tahun tersebut adalah sebesar 3,0 kg/kapita/tahun dan sempat mengalami penurunan tingkat konsumsi pada tahun 2012 yang hanya sebesar 2,7 kg/kapita per tahun. 52 Gambar 2.26. Tingkat Konsumsi Produk Hasil Ternak, 2011-2013 9.00 Kg/Kapita/Tahun 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 2011 2012 2013 Konsumsi Daging Ruminansia Konsumsi Daging Unggas Konsumsi Telur Konsumsi Susu Sumber: Bappeda DIY, 2014 (diolah) B.4. Rumah Tangga Usaha Peternakan di Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut hasil sensus pertanian yang dilakukan BPS (2013), rumah tangga usaha peternakan di Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode tahun 2003-2013 mengalami penurunan dari 445.545 unit menjadi hanya 383.555 unit pada tahun 2013. Menurut data sensus pertanian tersebut, jumlah rumah tangga usaha peternakan (RUTP) di DIY paling banyak mengusahakan komoditas ayam buras (287.689 RUTP), diikuti usaha komoditas sapi potong (169.721 RUTP), dan usaha komoditas kambing (140.790 RUTP). Jika dirinci menurut wilayah, rumah tangga usaha peternakan terbanyak berada di Kabupaten Gunungkidul yaitu sebanyak 148.569 RUTP, diikuti Kabupaten Bantul sebanyak 92.103 RUTP, Kabupaten Kulon Progo sebanyak 75.445 RUTP, Kabupaten Sleman sebanyak 65.596 RUTP, dan Kota Yogyakarta sebanyak 1.842 RUTP. Jumlah rumah tangga usaha peternakan menurut kabupaten/kota di DIY ditampilkan pada Gambar 2.27. 53 Gambar 2.27. Jumlah Rumah Tangga Usaha Peternakan menurut Kabupaten/Kota, 2013 (Persen) Sleman 17% Kulon Progo 20% Gunung Kidul 39% Kota Yogyakarta 0% Bantul 24% Sumber: Data Sensus Pertanian BPS, 2013 (diolah) 2.4. Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral merupakan salah satu dinas yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas PUP-ESDM DIY ini terletak di Jalan Bumijo No. 5 Yogyakarta. Visi dari Dinas PUP-ESDM ini adalah terwujudnya kualitas layanan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman yang memadai, peningkatan jumlah rumah layak huni, serta pengelolaan energi dan sumber daya mineral yang ramah lingkungan. Untuk mewujudkan visi tersebut, beberapa misi yang dilakukan antara lain: 1. Mewujudkan integrasi penataan ruang wilayah untuk menjamin kinerja pelayanan infrastruktur dasar. 2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan perencanaan yang berkualitas. 3. Meningkatkan pengelolaan dan pembinan bangunan gedung dan rumah negara. 4. Meningkatkan aksesibilitas wilayah dalam mendukung pengembangan kawasan budaya, kawasan pariwisata, kawasan pendidikan dan kawasan pertumbuhan ekonomi. 54 5. Menyelenggarakan pengelolaan SDA secara optimal untuk meningkatkan kelestarian fungsi sarana prasarana dan keberlanjutan pendayagunaan SDA. 6. Mengurangi resiko daya rusak air. 7. Mendukung peningkatan jumlah rumah Layak Huni. 8. Meningkatkan kualitas lingkungan permukiman. 9. Meningkatkan pembinaan dan pengendalian kegiatan energi dan sumberdaya mineral yang berkelanjutan. 10. Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap energi dan sumberdaya mineral. 11. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan konstruksi di daerah 12. Mengembangkan dan mendayagunakan pelayanan Informasi, pengujian konstruksi dan lingkungan. Dinas PUP-ESDM memiliki peran dalam PAD Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber pendapatan yang dimiliki oleh Dinas PUP-ESDM ini antara lain Balai Pengujian, Informasi Permukiman dan Bangunan, dan Pengembangan Jasa Konstruksi (PIPBPJK), penjualan drum bekas, dan Wisma PU Kaliurang. Selain itu, Dinas PUP-ESDM juga memiliki Balai IPAL sebagai salah satu objek pendapatan yang potensial, namun hingga tahun 2014 ini belum difungsikan sebagai objek pendapatan. Profil realisasi pendapatan antara tahun 2012-2013 dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 2.11. Profil Target dan Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012–2013 Objek Pendapatan Wisma Kaliurang Penjualan Drum Bekas Balai PIPBPJK JUMLAH 2.5. Target (Rp) 30.000.000 7.500.000 100.000.000 137.500.000 2012 Realisasi (Rp) 186.258.500 7.510.000 36.825.000 230.593.500 2013 Target (Rp) Realisasi (Rp) 30.000.000 34.525.000 7.500.000 8.236.500 139.700.000 286.741.000 177.200.000 329.502.500 Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika merupakan salah satu dinas yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta di bidang perhubungan, komunikasi, dan informatika. Dinas ini memiliki visi yaitu terwujudnya transportasi berkelanjutan dan terintegrasi yang 55 mendukung pariwisata, pendidikan dan budaya, serta terwujudnya Jogja Cyber Province dan masyarakat informasi menuju peradaban baru mendukung keistimewaan DIY. Untuk mewujudkan visi tersebut, beberapa misi yang dimiliki oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika ini yakni: 1. Meningkatkan sarana dan prasarana transportasi yang berkelanjutan dan terintegrasi dalam upaya meningkatkan pelayanan publik di DIY. 2. Mendukung peningkatan efisiensi dan efektifitas tata kelola pamerintahan yang transparan dan akuntabel di DIY dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi secara optimal. Sebagai salah satu dinas yang berkontribusi dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) DIY, beberapa objek pendapatan yang dimiliki antara lain ticketing Trans Jogja, denda pada Jembatan Timbang, sewa lahan parkir Bandara Adi Sutjipto, dan sewa lahan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Kabupaten Bantul. Profil realisasi pendapatan antara tahun 2010-2013 dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 2.12. Profil Target dan Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010–2013 Objek Pendapatan Ticketing Trans Jogja Jembatan Timbang Sewa Lahan Parkir Bandara Sewa Lahan PKB Bantul JUMLAH Objek Pendapatan Ticketing Trans Jogja Jembatan Timbang Sewa Lahan Parkir Bandara Sewa Lahan PKB Bantul JUMLAH 2010 16.745.057,000 2.000.250.000 Target Pendapatan (Rp) 2011 2012 18.338.870.690 17.000.000.000 2.100.000.000 1.954.800.000 2013 17.500.000.000 2.065.920.000 - - 377.040.300 461.632.675 15.000.000 20.000.000 20.000.000 20.000.000 18.760.307.000 20.458.870.690 19.351.840.300 20.047.552.675 Realisasi Pendapatan (Rp) 2011 2012 17.407.646.993 18.043.004.000 ,80 2.282.570.000 1.991.280.000 2013 18.359.146.684 ,23 2.144.810.000 2010 17.502.644.000 1.279.973.000 14.750.000 12.575.000 377.040.300 488.012.675 15.000.000 20.000.000 20.000.000 20.000.000 20.358.149.000 19.794.967.293 21.011.969.359 18.812.367.000 56 2.6. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM (Disperindagkop) DIY mempunyai fungsi melaksanakan urusan Pemerintah Daerah di bidang perindustrian, perdagangan, koperasi, dan UKM, serta kewenangan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah. Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana di atas, Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM DIY memiliki tiga unit pelaksana teknis atau balai, yaitu Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna, Balai Pelayanan Bisnis Dan Pengelolaan Intelektual, dan Balai Metrologi. Dari ketiga balai tersebut, hanya dua balai yang saat ini memberikan kontribusi pada PAD DIY, yaitu Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna dan Balai Metrologi. Berikut profil target pendapatan dalam dua tahun terakhir yang diterget pada masing-masing balai tersebut. Tabel 2.13. Profil Target Pendapatan Balai Metrologi dan Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna DIY, 2012-2013 (Rp) Nama Balai Jenis Pendapatan 2012 2013 Metrologi Retribus pelayanan tera/tera ulang 191,270,000 210,000,000 Pengembangan Penjualan produksi usaha daerah 120.000.000 140.000.000 Teknologi Tepat Guna (jasa perbengkelan dan penjualan hasil alat tepat guna) 2.6.1. Balai Metrologi Balai Metrologi Yogyakarta, terletak di Jl. Sisingamangaraja No. 1 Yogyakarta. Balai ini sangat strategis berada di pusat kota Yogyakarta, dengan akses yang cukup mudah di jangkau. Wilayah kerja Balai Metrologi Yogyakarta meliputi: Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, dan Kabupaten Sleman. Berikut gambaran layanan Balai Metrologi Yogyakarta tahun 2014, di masing-masing kabupten tersebut. 57 Tabel 2.14. Jadwal Layanan Tera/Tera Ulang pada Wilayah DIY, 2014 No Jadwal Bln Jadwal Tgl Jadwal Kabupaten Jadwal Kecamatan Tempat Layanan Tera/Tera Ulang Kab. Gunung Kidul Kec. Panggang, Purwosari, Patuk, Playen, Paliyan, dan Kec. Saptosari Kantor Lurah Pasar Panggang, Giri Sekar, Purwosari, Giripurwo, Patuk, Playen, Gading, Paliyan, Karang Asem, dan kantor lurah pasar Saptosari Kantor Lurah Pasar Kemandang, Tanjungsari, Tepus, Jepitu, Girisubo, Rongkop, Bedoyo, Semanu, Wonosari, Karangmojo, Ponjong, Semin, Ngawen, Nglipar, Gedangsari, dan kantor Lurah Pasar Mulo Kantor Lurah Pasar Piyungungan, Dlingo, Jetis, dan kantor pasar Patalan 1 Januari 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16, 17, 20, 21, 22, 23, 24, 27, dan 28 2 Februari 28, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 17, 18, 19, 20, 21, 24, 25, 26, 27, 3 Maret Kab. Bantul 4 April 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 17, 18, 19, 20, 21, 24, 25, 26, 27 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 17, 21, 22, 23, 24, 25, 28, 29, 30 5 Mei 2, 5, 6, 7, 8, 9, 12, 13, 14, 16, 19, 20, 21, 22, 23, 26, 28 Kab. Bantul Kec. Pandak, Sanden, Srandakan, Bantul, Sedayu, dan Kec. Galur 6 Juni Kab. Kulonprogo Kec. Lendah, Panjatan, Wates, Temon, dan Kec. Kokap 7 Juli 8 Agustus 9 September 30, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 25, 26, 27 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 17, 18, 21, 22 4, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 14, 20, 21, 22, 25, 26, 27, 28 2, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 16, 17, 18, 19, Kec. Tanjungsari, Tepus, Girisubo, Rongkop, Ponjong, Semanu, dan Kec. Wonosari Kab. Sleman Kec. Karangmojo, Ponjong, Semin, Ngawen, Nglipar, Gedangsari, Piyungan, Dlingo, dan Kec. Jetis Kec. Pleret, Imogiri, Pundong, Kretek, Bambanglipuro, dan Kec. Pajangan Kantor Lurah Pasar Pleret, Wonokromo, Karangtulan, Selopamioro, Pundong, Donotirto, Parangtritis, Tirtohargo, Bambanglipuro, Sumbermulyo, dan Kantor Lurah Pasar Pajangan Kantor Lurah Pasar Pandak, Wijirejo, Carurharjo, Sanden, Srigading, Srandakan, Poncosari, Palbapang, Bantul, Nomporejo, dan Kantor Lurah Pasar Sedayu Kantor Lurah Pasar Galur, Lendah, Ngentakrejo, Wahyuharjo, Panjatan, Bendungan, Kulwaru, Temon, Karangwuni, Glagah, Kokap, Hargomulyo Kec. Wates, Girimulyo, Nanggulan, Samigaluh, dan Kec. Kalibawang Kec. Pengasih, Sentolo, Moyudan, dan Kec. Minggir Wates Kota, Girimulyo, Nanggulan, Samigaluh, Banjararum, dan Kantor Lurah Pasar Kalibawang Kec. Seyegan, Godean, Gamping, Mlati, dan Tempel Kantor Lurah Pasar Seyegan, Margodadi, Godean, Sidoluhur, Sidoarum, Gamping, Trihanggo, Mlati, Kantor Lurah Pasar Pengasih, Sentolo, Demangrejo, Sumberagung, Sumbersari, Minggir, Sendangrejo 58 No Jadwal Bln 10 Oktober 11 November Jadwal Tgl Jadwal Kabupaten Jadwal Kecamatan 22, 23, 24, 25, 26 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 29 Kec. Turi, Sleman, Ngaglik, Pakem, dan Kec. Depok 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 17, 18, 19, 20, 21, 24, 25, 26, 27 Kec. Cangkringan, Ngemplak, Kalasan, Berbah, dan Kec. Prambanan Tempat Layanan Tera/Tera Ulang Tempel, dan Kantor Lurah Pasar Banyurejo Kantor Lurah Pasar Turi, Girikarto, Triharjo, Pendowoharjo, Ngaglik, Sukoharjo, Donoharjo, Sariharjo, Pakem, Purwobinangun, Condongcatur, Kantor Lurah Pasar Maguwoharjo Kantor Lurah Pasar Cangkringan, Wukirsari, Ngeplak, Binomartani, Sindumartani, Wedomartani, Selomartani, Tamanmartani, Kalasan, Berbah, Kalitirto, Prambanan, Madurejo Sumber: Data Sekunder Balai Metrologi Yogyakarta, 2014, data diolah. 2.6.2. Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna (BPTTG) merupakan instansi Pembina teknis dibidang teknologi rekayasa yang bernaung di Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM. Tugas dan fungsi BPTTG adalah melaksanakan pengembangan teknologi tepat guna dan untuk merealisasikan hal tersebut maka BPTTG mempunyai fungsi: (1). pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna, (2) pelaksanaan sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna, (3) fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna, (4) pelaksanaan produksi dan pelayanan perbaikan alat teknologi tepat guna, (5) pelaksanaan pemasaran alat tepat guna, dan (6) pelaksanaan kerjasama pengembangan teknologi tepat guna. Dalam perkembangannya, Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna yang semula hanya melayani rekayasa ATG, kemudian bertambah unit usahanya dengan adanya CFSMI (Common Fasilities Small and Medium Industry). CFSMI sendiri baru efektif beroperasi pada tahun 2012 dan bergerak dalam percetakan seperti jasa UV, laminasi dan lain-lain. Seiring dengan berkembangnya teknologi maka Bengkel produksi rekayasa ATG juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas baik berupa alat yang konfesional maupun yang digital. Fasilitas yang konvensional antara lain: mesin bubut, mesin frais, boor milling, mesin gerinda potong, mesin las listrik, mesin las argon, mesin las karbit, dan lain-lain. Sedangkan fasilitas yang digital antara lain: milling, tekuk plat, roll plat, potong plat, cutting plasma, mesin CNC. 59 Dari berbagai alat produksi yang dimiliki Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna telah menghasilkan berbagai Alat Tepat Guna untuk keperluan dan kebutuhan bagi IKM. Sampai dengan tahun 2013 BPTTG telah menghasilkan ± 100 ATG yang terdokumentasi dari berbagai jenis. Adapun alat yang dihasilkan oleh BPTTG merupakan karya sendiri dan berbagai masukan baik yang dihasilkan oleh Lomba Design ATG ataupun penelitian. Karya yang dihasilkan dari Lomba Design belum semuanya memenuhi harapan sehingga perlu penelitian serta pengamatan yang lebih dalam. Setiap tahun kurang lebih ada sekitar 30-40 design yang masuk sedang yang bisa memenuhi kriteria untuk IKM yang ada di DIY hanya sekitar 5-10%. Untuk CFSMI mempunyai peralatan untuk operasional antara lain: Mesin UV Varnis, Diecut 920, Laminasi termal, Stitching dan lain-lain. Sehingga CFSMI dapat melayani jasa berbagai jasa packaging dan finishing yang meliputi antara lain: Pond, Laminasi DoffGlossy, UV Varnis, Karton Box, Faccum Siller, Faccum Forming dan berbagai macam kebutuhan finishing percetakan. Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna merupakan salah satu bidang/balai yang mempunyai Pendapatan Asli Daerah selain Balai Metrologi. Dengan berbagai fasilitas yang ada di BPTTG maka diharapkan pengembangan teknologi/perekayasaan ATG untuk para IKM dapat lebih ditingkatkan. Hal ini dikarenakan bahwa BPTTG merupakan salah satu diantara bidang teknis Disperindagkop dan UKM di Pemda DIY yang mempunyai kewajiban serta kemampuan melaksanakan tugas perekayasaan serta alih teknologi dalam rangka peningkatan produksi dan kesejahteraan di IKM. Dengan adanya teknologi yang berkembang baik yang manual ataupun mekanik merupakan satu kesempatan bagi BPTTG untuk memperlihatkan kemampuan serta kehandalan yang diwujudkan dalam Alat Tepat Guna hasil produksinya. Hal ini dapat dilaksanakan dengan adanya program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri dengan 3 kegiatan yang mendukung terlaksananya pengembangan baik penelitian dan ujicoba serta pelayanan kepada para IKM di DIY dan sekitarnya antara lain: Pengembangan dan Pelayanan Teknologi Tepat Guna, Pengembangan dan Pelayanan Teknologi Kemasan dan Pengelolaan Bengkel Produksi dan Rekayasa. 60