JAMINAN TERHADAP PEMENUHAN HAK TENAGA KERJA KAITANNYA DENGAN LEGALISASI SISTEM PEKERJA KONTRAK UNTUK JANGKA WAKTU JANGKA PENDEK (OUTSOURCING) (ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN) TESIS Untuk Memenuhi sebagian Persayratan mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum & Kebijakan Publik DISUSUN OLEH : NIM : S OLEH : Irawan Harimurti NIM : S310208005 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEVELAS MARET SURAKARTA 2010 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kondisi perekonomian yang terpuruk telah memaksa pemerintah dan dunia usaha untuk lebih kreatif dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif agar mampu membuka peluang investasi baru dan atau mempertahankan/memajukan usaha-usaha yang telah ada. Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas dan daya saing di pasaran. Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.1 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Nomor 19 Tahun 2003), maka perjanjian kerja yang diatur dalam Bab 7 A Buku III B.W. serta yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu, sudah tidak berlaku lagi. Salah satu alasan strategis dilakukannya sistem outsourcing adalah menggunakan tenaga-tenaga yang ada untuk aktifitas yang lebih efektif dan efisien dengan mendekatkan produsen atau perusahaan dengan pasar atau konsumen. Melalui metode delegasi atau outsourcing, pihak perusahaan hanya 1 Wirawan, Rubrik Hukum Terpogong: Apa yang Dimaksud dengan Sistem Outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm memikirkan how to doing business, sedangkan untuk urusan pengadaan jasa outsourcing diserahkan pada pihak lain (perusahaan di bidang penyedia jasa outsourcing). Pihak penyedia jasa outsourcing mempunyai tanggung jawab hukum yang sangat luas, tidak hanya pada tahap pelaksanaan kontrak tetapi juga pada fase pra kontrak yaitu adanya kewajiban untuk melakukan penelitian yang mendalam terhadap para tenaga kerja yang akan dipekerjakan di luar. Bahwa maksud dari penelitian yang mendalam tersebut adalah karena sudah menjadi kewajiban mutlak bagi penyedia jasa outsourcing untuk memverifikasi segala keakuratan yang berhubungan dengan pengadaan jasa outsourcing yang diserahterimakan kepadanya oleh pihak perusahaan (penerima jasa). Hal tersebut harus dilakukan oleh penyedia jasa outsourcing untuk dapat menjamin dan memastikan bahwa pihak perusahaan sebagai penerima jasa mendapatkan pegawai outsourcing yang tepat, yang akan melakukan pekerjaan sesuai dengan bidangnya dan akan tunduk pada kontrak outsourcing tersebut. Perlindungan terhadap pekerja atau buruh merupakan suatu bentuk intervensi (campur tangan) pemerintah dalam kaitannya untuk turut serta dalam menangani permasalahan perburuhan ini dengan melalui regulasi maupun deregulasi perundang-undangan dimana dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban baik bagi pengusaha maupun bagi pekerja atau buruh. Harus diakui bahwa pekerja atau buruh sangat membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sementara perusahaan juga membutuhkan tenaga kerja yang murah agar perusahaannya tetap eksis di tengah keadaan ekonomi seperti sekarang. Hubungan saling membutuhkan itu menjadi benih perseteruan antara pekerja atau buruh dengan pengusaha, jika kedua pihak mengerti akan kebutuhan masing-masing, konflik memang tidak bermunculan. Namun ketika pekerja merasa dirugikan jaminan sosial dan kesejahteraannya, serta mengalami pemutusan hubungan kerja, perusahaan bisa berlindung dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau PKWT. Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh pengusaha secara sepihak, akan merugikan pihak pekerja, diantaranya2 : 1. Pekerja akan kehilangan mata pencahariannya yang merupakan sumber penghidupan untuk dirinya beserta keluarganya. 2. Dalam hal mencari pekerjaan lagi ia harus banyak mengeluarkan energi (keluar-masuk perusahaan), biaya surat lamaran, fotokopi surat-surat dan lain-lain. 3. Biaya hidup beserta keluarganya selama belum mendapat pekerjaan pengganti. 4. Menambah beban pemerintah, dengan bertambah banyaknya pengangguran akan menimbulkan dampak yang negatif terhadap keamanan masyarakat, bangsa dan negara Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengambil judul : Jaminan terhadap pemenuhan hak tenaga kerja kaitannya dengan legalisasi 2 Alfredo Risano, Makalah: Pengantar Ilmu Hukum: Outsourcing, Universitas Airlangga, Surabaya, 2006 sistem pekerja kontrak untuk waktu jangka pendek (outsourcing) (Analisis Yuridis Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah sinkron dengan peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan sederajat ? 2. Mengapa terjadi kontroversi bahwa Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 melanggar hak-hak tenaga kerja ? 3. Bagaimana konsep ideal untuk mengatur permasalahan ketenagakerjaan dalam rangka menjamin hak-hak tenaga kerja ? C. TUJUAN PENELITIAN Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk menginventarisasi sinkronisasi materi dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan yang lebih tinggi atau sederajat dalam kaitannya dengan sistem pekerja kontrak untuk jangka waktu jangka pendek (outsourcing) b. Untuk menganalisis faktor terjadinya kontroversi bahwa Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 melanggar hak-hak tenaga kerja c. Untuk memberikan solusi Bagaimana konsep ideal untuk mengatur permasalahan ketenagakerjaan dalam rangka menjamin hak-hak tenaga kerja 2. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Kebijakan Publik pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori hukum yang sangat berarti bagi penulis. D. MANFAAT PENELITIAN Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Merupakan salah satu sarana untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan tesis guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Kebijakan Publik pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta b. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya. c. Untuk mendalami teori-teori selama menjalani kuliah strata dua di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Surakarta serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut. d. Untuk memberikan acuan kepada peneliti selanjutnya dalam membahas materi yang berkaitan dengan tesis ini. 2. Manfaat Praktis a. Dengan penulisan tesis ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti. BAB II LANDASAN TEORI A. Kerangka Teori 1. Sinkronisasi Hukum Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Sinkronisasi berarti penyelarasan, penyesuaian, berasal dan kata sinkron yaitu, serentak, sejalan, sejajar, sesuai dan selaras.3 Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup salah satunya adalah penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.4 Dalam penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal maupun horizontal, maka yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Hal itu dapat ditinjau secara vertical, yakni apakah perundangundangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan tersebut. Mengenai penelitian ini, dapat dipergunakan sebagai titik tolak Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Memorandum Sumber Tertib Hukum DPR-GR tanggal 9 Juni 1966).5 Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum dapat dilakukan atas dasar paling sedikit dua titik tolak, yakni taraf sinkronisasi secara vertikal dan secara horisontal. Apabila titik tolak vertikal yang diambil, maka yang diteliti adalah taraf sinkronisasi peraturan atau perundang-undangan menurut hierarkinya Apabila penelitia dilakukan terhadap taraf sinkronisasi secara horizontal, maka yang diteliti adalah sampai sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan 3 Anton. M. Moeliono.Kamus besar Bahasa Indonesia. Ctk. Pertama. Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD. Graha Pustaka. Jakarta . 1989. hlm. 845 4 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Statu Tinjauan Singkat).. Ctk. Pertama PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006. hlm 14 5 ibid. hlm 17. yang mengatur bidang yang mempunyai hubungan fungsionil, adalah konsisten taraf sinkronisasi secara horisontal dan pelbagai macam tertentu.6 Mengenai penelitian terhadap taraf sinkronisasi secara horisontal, dapat dilakukan secara lebih terperinci dengan membuat inventarisasi yang sejajar. Dengan menempatkan perundang-undangan yang sederajat pada posisi yang sejajar, akan lebih mudah untuk mengadakan identifikasi terhadap taraf sinkronisasinya yang rendah, sedang atau tinggi. Taraf sinkronisasi ditelaah dengan mengkaji perundang-undangan suatu bidang kehidupan tertentu, sesuai dengan peningkatan perundang-undangan. Apabila dilakukan penelitian taraf sinkronisasi horizontal, maka yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama. 7 Taraf Sinkronisasi secara vertikal dan horizontal dalam penelitian ini adalah sinkronisasi antara UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai UU sektoral dengan Peraturan PerUndang-Undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Dikatakan sebagai sinkronisasi secara vertical atau lebih tinggi adalah dengan UUD 1945, karena UU No. No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan undang-undang organik, yaitu undang-undang yang dibuat karena perintah langsung Undang- Undang Dasar 1945 atau bisa juga disebut undang-undang pelaksana Undang-Undang Dasar 1945. Dalam No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur pokok-pokok mengenai outsourcingnya saja sebagaimana yang diperintahkan oleh UUD 1945. Sedangkan yang sikatakan dengan Peraturan PerUndang-Undangan yang sederajat, diantaranya adalah dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). 2. Tinjauan tentang Hierarki Norma Hukum (Stufenbau theorie Kelsen) 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ctk. Ketiga, Universitas Indonesia (UI-Press) Jakarta, 1986, hlm. 256 7 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Op cit. hlm 19 a. Tinjauan Umum Teori Stufenbau Hans Kelsen Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufenbau), dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan Pre-supposed8. Perlu dicatat bahwa norma dalam negara, di mana pun adanya, selalu akan berjenjang, bertingkat dan merupakan suatu "regressus". Menurut Hans Kelsen norma hukum (Legal Norm) tersebut dapat dibedakan antara general norm dan individual norm. Termasuk dalam general norm adalah Custom dan Legislation. Hukum yang diciptakan dari Custom disebut "customary law”, sedangkan hukum yang diciptakan oleh badan legislatif (law created by legislative) disebut statute. Kemudian norma-norma individual meliputi "putusan badan yudisial" disebut "judicial acts”, "putusan badan administrasi",disebut “administrative acts", dan "transaksi hukum" atau "legal transaction” yaitu berupa contract dan treaty. 9 Hans Nawiasky, salah seorang murid dan Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam 8 Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Ctk. Kedua. Kanisius, Yogyakarta, 1998, Hlm. 25 9 Rosjisi Ranggawijaya, Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandung, 1998, hlm. 27 kaitannya dengan suatu negara. Menurutnya, bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan normanorma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas: Kelompok 1 : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’) Kelompok IV : Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan Pelaksana & aturan otonom) Kelompok-kelompok norma hukum tcrsebut hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam setiap kelompoknya. Menurut Hans Nawiasky isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik yang disepakati oleh suatu bangsa. Aturan Dasar negara atau Aturan Pokok negara (Staatsgrundgeset) merupakan kelompok norma hukum dibawah Norma Fundamental negara. Norma-norma dari Aturan Dasar/Pokok negara ini merupakan aturanaturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma sekunder. Di negara kita maka Aturan Dasar Pokok negara ini tertuang dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta dalam Hukum Dasar tidak tertulis yang sering disebut Konvensi Ketatanegaraan. Aturan Dasar/Pokok negara ini merupakan landasan bagi pembentukan undang-undang (Formell Gesetz) dan peraturan lain yang lebih rendah. Kelompok norma-norma hukum yang berada dibawah Aturan Dasar/Pokok negara adalah Formell Gesetz atau diterjemahkan dengan undang-undang (‘formal’). Berbeda dengan kelompok-kelompok norma di atasnya maka norma-norma dalam suatu undang-undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-Norma hukum dalam undangundang ini tidak saja hanya norma yang bersifat tunggal, tetapi normanorma hukum itu sudah dapat ditekan oleh norma sekunder disamping norma primernya, sehingga undang-undang sudah dapat mencantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu, undang-undang ini merupakan norma-norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif. Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonom Satzung). Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini merupakan peraturanperaturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, di mana peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan otonom bersumber dan kewenangan atribusi. 10 b. Tata Susunan Norma Hukum Republik Indonesia Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusinya, maka terbentuklah sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Apabila kita bandingkan dengan teori jenjang norma (stufentheorie) dan Hans Kelson dan teori jenjang norma hukum (die 10 Maria Farida. op.cit. hlm 27-35 Theorie vom Stufenordnung der Rechtshormen) dan Hans Nawiasky terdahulu, kita dapat melihat adanya cerminan dan kedua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum Republik Indonesia Di dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan Norma Fundamental negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, yang kemudian berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta Hukum Dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar negara atau Aturan Pokok negara (staatsgrundgesetz), undang-undang (Formell Gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya.11 Di dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: (a) Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang; (c) Peraturan Pemerintah; (d) Peraturan Presiden; (e) Peraturan Daerah. 3. Tinjauan tentang Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul Perundang-undangan dan Yurisprudensi, memperkenalkan enam asas perundang-undangan yaitu: a) Undang-undang tidak berlaku surut 11 Maria Farida.op.cit. hlm. 39 Arti daripada asas ini adalah, bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap penstiwa yang disebut dalam undangundang tersebut, dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku. b) Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih. tinggi pula. c) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, jika pembuatnya sama (Lex Specialis derogat lex generalis). Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut. d) Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undangundang yang berlaku terdahulu (Lex posteriore derogate lex priori). Yang dimaksudkan dengan asas ini adalah bahwa undangundang lain (yang lebih dahulu berlaku) di mana diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut (pencabutan undang-undang secara diam-diam). e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat Asas ini dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar Sementara Pasal 95 ayat (2). Makna dan asas ini, adalah: (1). Adanya kemungkinan bahwa isi undang-undang menyimpang dan undang-undang dasar, (2). Hakim atau siapa pun juga tidak mempunyai hak uji material tcerhadap undang-undang terscbut. Artinya isi undang-undang itu tidak boleh diuji apakah bertentangan dengan undang-undang dasar atau/dan keadilan apa tidak; hak tersebut hanya dimiliki oleh pembuat undang-undang tersebut. Hak uji formil, yaitu hak untuk menyelidiki apakah undang-undang tersebut pada saat dibentuknya adalah sesuai dengan acara yang sah, tetap dimiliki oleh hakim. f) Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu. melalui pembaruan atau pelestanan (asas”Welvaartstaat” ). Dalam kaitan ini Amiroeddin Syarif menetapkan adanya lima asas perundang-undangan, yaitu: a) Asas Tingkatan Hierarki b) Undang-undang tak dapat diganggu gugat c) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undangundang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis) d) Undang-undang tidak berlaku surut e) Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat lex priori) Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan maka terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya bahwa lima asas adalah sama, dan perbedaannya bahwa Purnadi dan Soerjono Soekanto menambahkan satu asas lagi yaitu asas welvaarstaat.12 Dalam teori tata urutan (hierarki) peraturan perundangundangan sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen, terdapat asasasas atau prinsip-prinsip tata urutan, yaitu bahwa: a) Perundang-undangan mengubah atau yang rendah derajatnya mengenyampingkan tidak dapat ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya dapat. 12 Rosjidi Ranggawidjaja, op.cit.,hlm. 47 – 48 b) Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya. c) Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Ketentuan-ketentuan perundang- undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih rendah. Tetapi hal yang sebaliknya dapat.13 4. Tinjauan tentang Asas-Asas Keseimbangan Kranenburg merupakan murid sekaligus pengganti Prof. Krabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang. Dalil tersebut dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut: tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Dalil ini oleh Kranenburg dinamakan asas keseimbangan. Kranenburg melanjutkan paham Krabbe dengan mengemukakan bahwa reaksi daripadakesadaran hokum mempunyai sifat keajegan (wetmatig heid). Reaksi itu sifatnya seimbang dengan aksi yang diwujudkan dalam teorinya yang disebut ovenredigheids, postulaat. Sebagai contohnya adalah dalam hubungan jual-beli di mana untung rugi untuk untuk menuju keseimbangan. 14 13 14 Rosjidi Ranggawidjaja, op.cit.,hlm. 47 – 48 Kranenberg, Algemene Staatlehre, Tjeenk Willink and Zoon NV, hal. 19, harleem, 1960 Teori Keseimbangan ( prof. Mr. R. Kranenburg) : kesadaran hukum orang menjadi sumber hukum , hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata Kranenburg termasuk penganut teori negara kesejahteraan. Menurutnya, tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteran pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya, sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural: tujuantujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa upaya pencapaian tujuantujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata, seimbang. Prof.Mr.R.Kranenburg adalah seorang ahli hukum dari Jerman yg mengagas teori negara kesejahteraan (welfare state). Menurut dia, tujuan negara ada 3 yaitu : 1. Negara bukan sekedar pemelihara ketertiban hukum belaka,tetapi secara aktif mengupayakan kesejahteraan warga negaranya. 2. Negara harus benar-benar bertindak adil yg dapat dirasakan oleh seluruh warga negara secara merata dan seimbang 3. Negara hukum bukan hanya untuk penguasa atau golongan tertentu tetapi untuk kesejahteraan seluruh rakyat di dalam Negara.15 Sejak dahulu, manusia hidup bersama, berkelompok membentuk masyarakat tertentu, mendiami suatu tempat, dan menghasilkan kebudayaan sesuai dengan keadaan dan tempat tersebut. Manusia secara kodrati adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Tiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak sendiri. Namun dalam masyarakat manusia mengadakan 15 Kranenberg, op.cit.,hlm. 169. hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya. Setiap manusia memiliki kepentingan, dan acap kali kepentingan tersebut berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. Apabila ketidak-seimbangan perhubungan masyarakat yang menjadi perselisihan itu dibiarkan, maka mungkin akan timbul perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dari pemikiran manusia dalam masyarakat dan makhluk sosial , kelompok manusia menghasilkan suatu kebudayaan yang bernama kaidah atau aturan atau hukum tertentu yang mengatur segala tingkah lakunya agar tidak menyimpang dari hati sanubari manusia. 16 Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebudayaan Termasuk manusia perkembangan mengalami hukum. perkembangan Peradaban yang pula. semakin berkembang membuat kehidupan manusia sangat membutuhkan aturan yang dapat membatasi prilaku manusia sendiri yang telah banyak menyimpang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang semakin maju. Aturan atau hukum tersebut mengalami perubahan dan terus mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman. Untuk itu, suatu negara hukum sangat perlu memperhatikan hal tersebut. 5. Tinjauan Umum Tentang Outsourcing Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan 16 Kranenberg, op.cit.,hlm. 170 pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. Pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (Pasal 64, 65 dan 66) dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap. Outsourcing involves the transfer of the management and/or dayto-day execution of an entire business function to an external service provider.The client organization and the supplier enter into a contractual agreement that defines the transferred services. Under the agreement the supplier acquires the means of production in the form of a transfer of people, assets and other resources from the client. The client agrees to procure the services from the supplier for the term of the contract. Business segments typically outsourced include information technology, human resources, facilities, real estate management, and accounting.17 Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing18 Sementara dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 secara eksplisit tidak ada istilah outsourcing tetapi pengertian 17 Grauman, Kevin. "The Benefits of Outsourcing." CPA Journal. July 2000. http://www.openPR.com/news/10864/Invista-and-Freeborders-PLM-Partner-of-Key-Workreceived-Outsourcing-Excellence-Award.html 18 Chandra Suwondo, Outsourcing, Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta, 2003, hal. 3 outsourcing itu sendiri secara tidak langsung dapat dilihat dalam Pasal 64 yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan atau penyediaan jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis. Praktek outsourcing yang dimaksud dalam Undang-Undang ini dikenal dalam 2 (dua) bentuk yaitu : pemborongan pekerjaan dan penyediaan pekerja / buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 6619 Ahli hukum perburuhan Aloysius Uwiyono mengatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk outsourcing yang hendak diintrodusir oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bentuk pertama adalah outsourcing pekerja (Pasal 66) dan bentuk kedua adalah outsourcing pekerjaan (Pasal 65). Uwiyono menilai outsourcing bentuk pertama dapat di pandang sebagai human trafficking (perdagangan manusia). Penilaian Uwiyono didasarkan pada asumsi dengan adanya perjanjian di mana perusahaan penyedia jasa menyediakan tenaga kerja dan pengguna (user) menyerahkan sejumlah uang, maka seolah-olah terjadi penjualan tenaga kerja. Sementara untuk jenis yang kedua, Uwiyono berpandangan tidak terjadi human trafficking (perdagangan manusia). Menurutnya, dalam bentuk yang kedua ini, pekerja / buruh tetap memiliki hubungan kerja dengan perusahaan pemborong. Sedangkan hubungan yang tercipta antara user dengan perusahaan pemborong hanyalah terkait dengan pekerjaan yang diborongkan tersebut20 Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian outsourcing adalah suatu bentuk perjanjian yang dibuat antara perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan penyedia jasa (jasa pekerja maupun jasa pemborongan pekerjaan) untuk menyediakan 19 SMERU , Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya pada Era Kebebasan Berserikat Laporan Lembaga Penelitian SMERU, dengan dukungan dari USAID/PEG, 2002 20 Ridwan Khairandy, Itikad baik dalam kebebasan berkontrak, Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003. tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan pengguna jasa dengan membayar sejumlah uang gaji tetap yang dibayarkan oleh perusahaan penyedia jasa. Sedangkan menurut Richardus Eko Indrajit yang dikutip oleh Sehat Damanik, outsourcing adalah salah satu hasil samping dari Business Process Reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan oleh satu perusahaan dalam pengelolaannya, yang bukan sekedar bersifat perbaikan. BPR dilakukan untuk memberikan respon atas perkembangan ekonomi secara global dan kemajuan teknologi yang pesat, yang menimbulkan persaingan global yang sangat ketat.21 Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, dalam bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut: “Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”22 Pendapat di atas dapat diartikan bahwa Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama. Selain pendapat di atas ada beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) 21 Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, DSS Publishing, Jakarta, 2007, hal. 2-3 22 Alfredo Risano, Makalah: Pengantar Ilmu Hukum: Outsourcing, Universitas Airlangga, Surabaya, 2006 dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).23 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.24 Di Indonesia praktik outsourcing telah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Praktik ini dapat dilihat dari adanya pengaturan mengenai pemborongan pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 1601 b KUHPerdata. Dalam itu disebutkan disebutkan bahwa pemborongan pekerjaan adalah suatu kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga.25 Sedangkan di dalam Undang-Undang Keketenagakerjaan (UUK) tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi pengertian dari outsourcing ini sendiri dapat dilihat dalam ketentuan pasal 64 UUK ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada 23 Ibid. Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005. 25 Sehat Damaniik, op. cit, hal. 8 24 perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.26 Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain, atau dalam kata lain, dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B. Almost half of executives believe outsourcing will deliver innovation, higher quality, and lower costs and will increase speed to market for key services. Executives also rate the lack of internal resources and potential for reduced operating costs as the primary reasons for choosing outsourcing. Secondary reasons include access to world-class capabilities and ability to free up resources for other purposes. Healthcare executives cite the impact on employees as the top barrier to outsourcing, whereas general industry executives cite measuring the value and losing control over the work as the top barrier.27 Pengertian hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003, hubungan kerja terjadi karena adanya 26 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Stephan Manning, Silvia Massini and Arie Y. Lewin, "A Dynamic Perspective on NextGeneration Offshoring: The Global Sourcing of Science and Engineering Talent", in: Academy of Management Perspectives, Vol. 22, No.3, October 2008, 35-54. 27 perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dari dua ketentuan itu maka hubungan kerja dilakukan oleh dua subyek hukum yaitu pengusaha dan pekerja/buruh. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia28. Pengertian perusahaan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha adalah : a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian pengusaha menunjuk pada subyek hukum, sedangkan perusahaan menunjuk pada bentuk usaha. Selanjutnya pengertian pekerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angk 3 UU No. 13 Tahun 2003, adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 28 Asri Wijayanti, “Kendali alokasi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia”, 2004, Yustika Vol. 7 No. 1., hal. 70 Hubungan kerja terjadi karena ada perjanjian kerja. Pengertian perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angk 14 UU No. 13 Tahun 2003, adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Pengertian pemberi kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angk 4 UU No. 13 Tahun 2003, adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian tenaga kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angk 2 UU No. 13 Tahun 2003, adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Hubungan kerja adalah inti dari hukum perburuhan. Dikatakan oleh Philipus M Hadjon, bahwa hukum perburuhan merupakan disiplin fungsional karena memiliki karakter campuran yaitu hukum publik dan hukum privat29. Dari ketentuan Pasal 1 angka 15 jo Pasal 50 jo Pasal 1 angka 5 jo Pasal 1 angka 6 jo Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003, dapat diketahui bahwa subyek hukum hubungan kerja adalah pekerja/buruh dengan pengusaha. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1 angka 14 jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003, yang menyatakan 29 bahwa subyek hukum hubungan kerja adalah Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, UGM Press, Surabaya, 2005 hal. 41. pekerja/buruh dengan pemberi kerja. Pemberi kerja lebih luas dari pada pengusaha. Pemberi kerja meliputi subyek hukum yang memberikan pekerjaan kepada pekerja baik dalam rangka menjalankan suatu kegiatan usaha maupun tidak. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja harus memenuhi syarat materiil yaitu dibuat atas dasar : a. kesepakatan kedua belah pihak; b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Perjanjian kerja yang dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Apabila kita kaji lebih jauh sebenarnya ketentuan pasal 52 UU No 13 Tahun 2003 itu mengadopsi ketentuan pasal 1320 BW. Perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian sehingga harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan pasal 1320 BW, apabila memenuhi unsurunsur : 1. Adanya sepakat. 2. Kecakapan berbuat hukum 3. Hal tertentu 4. Causa yang dibenarkan Sepakat yang dimaksudkan adalah adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Di dalam hubungan kerja yang dijadikan dasar adalah perjanjian kerja, maka pihak-pihaknya adalah buruh dan majikan. Kesepakatan yang terjadi antara buruh dan majikan secara yuridis haruslah bebas. Dalam arti tidak terdapat cacat kehendak yang meliputi adanya dwang, dwaling dan bedrog (penipuan, paksaan dan kekhilafan). Kenyataannya dalam hubungan kerja, buruh terutama yang unskill labour tidak secara mutlak menentukan kehendaknya. Hal ini terjadi karena buruh hanya mempunyai tenaga yang melekat pada dirinya untuk kompensasi di dalam melakukan hubungan kerja. Buruh tidak mempunyai kebebasan untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan kehendaknya apabila ia tidak mempunyai skills yang memadai. Subekti menyebutkan sepakat sebagai perizinan, yaitu kedua subyek hukum yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.30 Saat terjadinya sepakat tidak diterangkan dalam BW. Hofmann menyatakan perlu 30 Subekti, Hukum Perjanjian,PT. Intermasa, Jakarta, 1987,hal. 17. pernyataan kehendak (wisverklaring) dari kedua belah pihak.31 Kehendak dinyatakan cacat apabila terdapat kekhilafan, paksaan dan penipuan pada saat terjadinya sepakat. Syarat kedua dari sahnya perjanjian adalah adanya kecakapan bertindak. Hukum perburuhan membagi usia kerja dari tenaga kerja menjadi anak-anak ( 14 tahun kebawah), orang muda ( 14 – 18 tahun) dan orang dewasa (18 tahun ke atas) Untuk orang muda dan anak – anak dapat atau boleh bekerja asalkan tidak di tempat yang dapat membahayakan jiwanya. Kenyataannya, karena alasan ekonomi, banyak anak-anak dan orang muda yang bekerja dan mungkin tempat kerjanya dapat membahayakan jiwanya . Ketentuan pasal 1320 ayat (2) BW yaitu adanya kecakapan untuk membuat perikatan. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.32. Onbekwaamheid dapat dianggap sebagai suatu cacat kehendak (wilsgebrek), akan tetapi dasarnya bukan suatu keadaan yang abnormal seperti pada paksaan, kesesatan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog), akan tetapi berdasarkan undang-undang sendiri yang karena beberapa hal tidak memberikan kekuatan yang normal kepada kehendak 31 beberapa orang tertentu.33 Di bidang Ibid, hal 55. Ibid. 33 Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan,Bina Ilmu, Surabaya , 1984, hal. 146. 32 hukum ketenagakerjaan, seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah berumur 18 tahun. Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang no. 20 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi ILO no. 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja (LN tahun 1999 no. 56), yaitu usia minimum yang telah ditetapkan ialah tidak boleh kurang dari usia tamat sekolah wajib dan paling tidak tidak boleh kurang dari 15 tahun. Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) yaitu usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja yang karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan di mana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral orang muda tidak boleh kurang dari 18 tahun. Berdasarkan ketentuan di atas maka seseorang dapat bekerja apabila usianya telah 18 tahun dan apabila terpaksa maka usia minimumnya adalah 15 tahun. Syarat ketiga adalah adanya hal tertentu, maksudnya, semua orang bebas melakukan hubungan kerja, asalkan obyek pekerjaannya jelas ada yaitu melakukan pekerjaan. Syarat keempat adalah adanya causa yang diperbolehkan. Subekti menyebutnya sebagai sebab yang halal. Soetoyo menyebutnya sebagai causa yang diperbolehkan dengan alasan istilah halal lebih mengarah kepada agama. Causa yang diperbolehkan menunjuk pada obyek hubungan kerja boleh melakukan pekerjaan apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang di perjanjian dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat subyektif tidak dipenuhi, maka akibat dari perjanjian tersebut adalah dapat dibatalkan. Pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga orang tua / wali atau pengampun bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim.34 Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Apabila dibuat secara tertulis maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat formil. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003, sekurang kurangnya memuat : a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; 34 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan 3, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.43. b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Adapun jenis perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 56 jo 58 UU No. 13 Tahun 2003, dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu dan harus dibuat secara tertulis serta tidak boleh menyaratkan adanya masa percobaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Lamanya perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja waktu tertentu berakhir apabila : a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), berdasarkan ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003 pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 64 jo Pasal 65 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis, dengan syarat : a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. Apabila syarat di atas tidak terpenuhi serta perlindungan hukum terhadap pekerjanya minimal tidak sama dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu, maka berdasarkan ketentuan Pasal 65 ayat (7), (8), dan (9) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Selain itu UU No. 13 Tahun 2003 mengenal bentuk perjanjian penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Kegiatan ini sering disebut dengan outsourcing. Definisi mengenai outsourcing adalah pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing ).35 Berdasarkan ketentuan Pasal 64 UU No. 13 tahun 2003 disebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. 35 Candra Suwondo, Outsorcing , Implementasi di Indonesia, Gramedia, 2004, hal.2. Masih terdapat syarat lainnya yang harus dipenuhi. Berdasarkan ketentuan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. Terhadap outsourcing ini ada larangan yang didasarkan pada ketentuan Pasal 66 UU no. 13 Tahun 2003, yaitu pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.36 6. Sejarah Outsourcing Pada dasarnya praktek dari prinsip-prinsip outsourcing telah diterapkan sejak zaman dahulu. Hal itu dimulai ketika Bangsa Yunani dan Romawi menyewa prajurit asing untuk bertempur dalam peperangan, serta menyewa ahli bangunan untuk membangun kota dan istana. Seiring dengan perkembangan sosial, prinsip outsourcing tersebut mulai diterapkan dalam dunia usaha. Sejak revolusi industri, perusahaan-perusahaan berusaha keras untuk menemukan suatu langkah terobosan untuk mendapatkan keuntungan kompetitif dan meningkatkan penjualan. Harapan mereka yaitu perusahaan besar terintegrasi yang dapat memiliki, mengatur dan mengontrol secara langsung semua asetnya. Pada dasarnya ada beberapa asas berkontrak, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas daya mengikatnya kontrak dan asas perjanjian hanya menciptakan perikatan diantara para pihak yang berkontrak 37. Sebelum pemerintahan Hindia Belanda, dikenal perhambaan (pandelingschap) dan peruluran (horigheid, perkhorigheid). Pada saat pemerintah Hindia Belanda dikenal adanya kerja rodi, poenale sanctie. Untuk kepentingan politik imperialisme, pembangunan sarana prasarana dilakukan dengan rodi. Contohnya Hendrik Willem Deandels (1807 – 1811) menerapkan kerja paksa untuk pembangunan 36 M Syamsudin, Pemahaman outsourching dio Indonesia, Yustitia, vol 1 no. 2 Tahun 2007. J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken verbintenissenrecht, diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, dalam Pokok-Pokok Hukum Perikatan, 1985, hal. 83. 37 jalan dari Anyer ke Panarukan (Banyuwangi). Rodi dibagi tiga yaitu rodi gubernemen (untuk kepentingan gubernemen dan pegawai), rodi perorangan (untuk kepentingan kepala atau pembesar Indonesia) dan rodi desa (untuk kepentingan desa).38 Pada tahun 1950-an dan 1960-an dalam berbagai pertemuan dilakukan berbagai himbauan untuk mengadakan diversifikasi atau penggolongan, memperbesar basis perusahaan serta mengambil keuntungan dari perkembangan ekonomi. Pelaksanaan diversifikasi perusahaan ini diharapkan dapat melindungi keuntungan walaupun untuk pengembangannya diperlukan beberapa tingkatan manajemen. Sekitar tahun 1970 dan 1980 perusahaan mengalami kesulitan dalam persaingan global. Hal ini disebabkan karena kurangnya persiapan akibat struktur manajemen yang membengkak. Hal ini mengakibatkan meningkatnya resiko usaha dalam segala hal termasuk resiko ketenagakerjaan. Oleh karenanya, mulai dilakukan pemikiran untuk menggunakan outsourcing di dalam dunia usaha39. Awal timbulnya penerapan outsourcing di dalam perusahaan yaitu untuk membagi resiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk masalah ketenagakerjaan. Ini disebabkan karena hal-hal sebagai berikut : a) Perubahan paradigma di Negara barat yang menganggap pekerja merupakan asset terbesar perusahaan dan merupakan kewajiban terbesar perusahaan untuk melindungi pekerja. b) Perubahan paradigma dari pandangan kerja tradisional di mana pekerja melayani sistem menjadi pandangan kerja modern di mana system yang seharusnya melayani pekerja. 38 Sentanoe Kertonegoro, 1999, Hubungan industrial, hubungan antara pengusaha dan pekerja ( bipartid dan pemerintah ( tripartid), YTKI, Jakarta, hal. 187-221. 39 Jan Breman , Koelies, planters enkoloniale politiek, Het arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust ( Menjinakkan sang kuli Politik Kolonial pada awal abad 20 diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer), PT Pustaka Utama Grafiti, 1997, hal i – xxxviii. c) Sistem pengembangan karir pada sistem organisasi yang ada saat ini cenderung menghasilkan sebagian orang yang terbuang. d) Keterbatasan teknologi otomatisasi. Kegiatan outsourcing yang banyak dilakukan perusahaan besar ini ditandai dengan strategi baru yang diterapkan oleh perusahaan besar yaitu berkonsentrasi pada basis inti, mengidentifikasi proses yang kritikal dan memutuskan hal-hal yang harus di-outsource-kan. Ada beberapa alasan yang mendasari suatu perusahaan melakukan outsourcing terhadap sebagian aktivitas-aktivitasnya. Alasan-alasan tersebut yaitu :40. 1) Meningkatkan focus perusahaan Dengan melakukan outsourcing, perusahaan dapat lebih memfokuskan diri pada bisnis utama atau core business-nya sehingga akan dapat menghasilkan keunggulan komparatif yang lebih cepat dan mempercepat pengembangan perusahaan. 2) Memanfaatkan kemampuan kelas dunia Spesifikasi yang dimiliki oleh para kontraktor tersebut memiliki keunggulan kelas dunia dalam bidangnya. Dengan kata lain outsourcing hanya diberikan kepada kontraktor yang betul-betul unggul di bidang pekerjaan yang akan diserahkan. 3) Membagi resiko Outsourcing memungkinkan pembagian resiko yang akan memperingan dan memperkecil resiko perusahaan. Dengan adanya pembagian resiko, perusahaan lebih dapat bergerak secara fleksibel. 4) Sumber daya sendiri dapat digunakan untuk kebutuhan yang lain Setiap perusahaan memiliki keterbatasan dalam pemilihan sumber daya. Sumber daya tersebut harus dimanfaatkan pada bidangbidang yang paling menguntungkan. Pelaksanaan outsourcing 40 Ridwan Khairandy, Itikad baik dalam kebebasan berkontrak, Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003, h. 38. memungkinkan perusahaan untuk menggunakan sumber daya yang terbatas itu untuk bidang-bidang kegiatan utama. 5) Memungkinkan tersedianya dana capital Outsourcing bermanfaat untuk mengurangi biaya pada kegiatan non core atau kegiatan penunjang. Dengan demikian dana kapital dapat digunakan pada aktivitas yang bersifat lebih utama. 6) Memperoleh sumber daya yang tidak dimiliki sendiri Pelaksanaan outsourcing terhadap suatu aktivitas tertentu disebabkan karena perusahaan tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas tersebut secara baik dan memadai. Oleh karenanya dengan melakukan outsourcing perusahaan dapat memperoleh sumber daya yang cakap untuk melakukan aktivitas tersebut. 7) Memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola Salah satu masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola adalah birokrasi ekstern yang berbelit yang harus ditaati oleh perusahaan yang dimiliki Negara, seperti dalam menjalankan fungsi pembelian barang dan jasa. Permasalahan ini dapat diatasi dengan menyerahkan pekerjaan tersebut kepada pihak ketiga yang berbentuk swasta, yang tidak terikat pada birokrasi tertentu. 7. Dasar Hukum Outsourcing di Indonesia 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang bisa disebut sebagai hukum materiil, merupakan sumber hukum yang paling awal dalam masalah outsourcing. Undang-Undang ini telah ada sejak zaman Belanda. KUHPerdata merupakan tonggal awal pengaturan pekerjaan pemborongan, yang secara khusus difokuskan pada obyek tertentu. Ketentuan KUHPerdata tersebut diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata, yang secara luas mengatur tentang perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan. Pada Pasal 1601b KUPPerdata, yang dimaksud pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Ketentuan pemborongan pekerjaan dalam KUHPerdata sedikit berbeda dengan yang ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan. Perbedaan adalah, pada pasal-pasal yang diatur dalam KUHPerdata tidak dibatasi pekerjaan-pekerjaan mana saja yang dapat diborongkan / outsource, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dibatasi, yakni hanya terdapat produk / bagian-bagian yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis utama perusahaan. 2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ketentuan mengenai outsourcing diatur dakan Pasal 64-66. Dasar dari diperbolehkannya sistem outsourcing terdapat pada Pasal 64 : “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis”. Perjanjian outsourcing dapat disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Ketentuan outsourcing di dalam UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 yang diatur dalam Pasal 65, menyatakan : (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama. b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja / buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Perubahan dan / atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja / buruh yang dipekerjakannya. (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian-perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja / buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja / buruh dengan perusahaan pemberi kerja. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja / buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7). Dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diatur mengenai beberapa hal, yaitu : (1) Pekerja / buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. (2) Penyedia jasa pekerja / buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Adanya hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh. b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan / atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh. d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja / buruh dan perusahaan penyedia pekerja / buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. (3) Penyedia jasa pekerja / buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. 3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Jasa Pekerja / Buruh Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Jasa Pekerja/Buruh dibuat untuk memenuhi perintah Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaa, pada Pasal 2 Kepmenaker ini dinyatakan bahwa : (1) Untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh perusahaan wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten / Kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh. (2) Untuk mendapatkan ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh perusahaan menyampaikan permohonan dengan melampirkan : a. Copy pengesahan sebagai badan Perseorangan Terbatas atau Koperasi hukum berbentuk b. Copy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan usaha penyedia jasa pekerja / buruh c. Copy SIUP d. Copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku. (3) Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah menerbitkan ijin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. Pada pasal 4 dinyatakan bahwa dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberian pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat : a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja / buruh dari perusahaan jasa b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja / buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syaratsyarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh. c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa / buruh bersedia menerima pekerja / buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh. Ketentuan pendaftaran perjanjian tertulis antara perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan pemberian pekerjaan, diatur pada Pasal 5 : (1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus didaftarkan pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota tempat perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh melaksanakan pekerjaan. (2) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerjaan / buruh melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu kabupaten / kota dalam satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi. (3) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. (4) Pendaftaran perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) harus melampirkan draft perjanjian kerja. Pasal 6 mengatur tentang penerbitan bukti pendaftaran sebagai berikut : (1) Dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pejabat instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan melakukan perjanjian tersebut. (2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan menerbitkan bukti pendaftaran. (3) Dalam hal terdaftar ketentuan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 4, maka pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan membuat catatan pada bukti pendaftaran bahwa perjanjian dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4. Dijelaskan pada Pasal 7 mengenai pencabutan ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh, sebagai berikut : (1) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh tidak mendaftarkan perjanjian penyedia jasa pekerja / buruh, maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh yang bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Dalam hal ijin operasional dicabut, hak-hak pekerja / buruh tetap menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh yang bersangkutan. 4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 220 / MEN / X / 2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 220 / MEN / X / 2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Hal-hal yang diatur dalam Kepmenaker ini menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi ketika perusahaan menyerahkan pekerjaannya kepada perusahaan lain. Di antara beberapa syarat tersebut adalah bahwa penyerahan pekerjaan harus dibuat dan ditandatangani kedua belah pihak secara tertulis melalui perjanjian pemborongan pekerjaan. Penerima pekerjaan yang menandatangani perjanjian pemborongan tersebut harus merupakan perusahaan yang berbadan hukum dan mempunyai izin usaha dari ketenagakerjaan. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan tersebut akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum tersebut tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak pekerja / buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum tersebut bertanggungjawab dalam memenuhi kewajiban tersebut. Dalam hal suatu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborong pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk dapat melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, pelaksanaan pekerjaan dapat maka penyerahan sebagian diserahkan pada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. Perusahaan tersebut bertanggungjawab memenuhi hak-hak pekerja / buruh yang terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang bukan berbadan hukum tersebut dengan pekerjanya / buruhnya. Kepmenaker ini juga mengharuskan adanya jaminan atas pemenuhan seluruh hak-hak pekerja. Syarat lainnya adalah penyerahan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan hanya dapat dilakukan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang bukan merupakan pekerjaan utama perusahaan, melainkan hanya berupa kegiatan penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, mengingat permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia semakin kompleks dengan berakhir pekerja menjadi korban.41. B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dapat digambarkan sebagai berikut : Jaminan terhadap pemenuhan hak tenaga kerja kaitannya dengan legalisasi sistem pekerja kontrak untuk waktu jangka pendek (outsourcing) UUD 1945 UUD 1945 : Pembukaan alinea 4, Pasal, 27 (2), 28i ayat 4, Pasal 33 ayat 1 dan 4. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 1. UU No. 13 Tahun 2003 (Ketenagaker jaan) : Pasal 88 2. UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) : Pasal 8, Pasal 11, Pasal 38. 3. UU No. 11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) : Pasal 7 Mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak 41 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 50 Sehubungan dengan masalah yang ditelusuri pada penelitian ini dapatlah dibuat alur berpikir sebagai berikut : Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila. Kemudian dalam pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. Dari amanat para pendiri Republik dapat kita pahami bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Hakikat pembangunan nasional bangsa Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan seluruh rakyat akan tercapai apabila bidang-bidang kebutuhan manusia yang hendak dibangun berjalan secara seimbang antara kebutuhan materiil dan spirituil. Pembangunan yang dilaksanakan negara Indonesia mencakup dalam segala bidang kehidupan bangsa. Pembangunan di bidang hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UndangUndang Dasar (UUD) 1945 yang mencakup pembangunan materi hukum, aparatur hukum, serta sarana prasarana hukum. Pembangunan dapat dikatakan berhasil salah satunya adalah jika keadilan dan keseimbangan ditegakkan dan tidak ada kebijakan yang bertentangan dengan masyarakat. Keadilan dikatakan dapat terwujud apabila dalam kehidupan bernegara, aspirasi masyarakat dapat terakomodir dengan baik. Suara rakta didengar. Salah satu wujudnya adalah para pembuat kebijakan, membuat perangkat hukum yang responsif, bukan represif. Kepentingan rakyat diuatamakan dan tidak mendahuluakan kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Kita bisa melihat produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, apakah regulasi yang dibuat pemerintah sudah bersifat responsif seperti amanat demokrasi. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 merupakan Undang-Undang organik yakni undang-undang yang merupakan perintah langsung dari Undang-undang Dasar 1945. Dari alur bagan diatas dapat diketahui bahwa Dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) yaitu Pasal 64, 65 dan 66 dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Peraturan peraturan per UndangUndangan yang lebih tinggi ataupun sederajat, diantaranya adalah dengan UUD 1945 pada Pembukaan alinea 4, Pasal, 27 (2), 28i ayat 4, Pasal 33 ayat 1 dan 4, : Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sehingga menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat, khususnya pada pekerja/buruh. Solusi untuk mengatasi kontroversi tersebut adalah adanya Amandemen terhadap UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pada Pasal-Pasal yang mengatur tentang outsourcing. Sehingga terdapat Jaminan terhadap pemenuhan hak tenaga kerja kaitannya dengan legalisasi sistem pekerja kontrak untuk waktu jangka pendek (outsourcing) BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah 42 . Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah berdasarkan pada metode, sistematis dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa43. Adapun metode penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. JENIS PENELITIAN Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis, dan pemilihan jenis penelitian tersebut tergantung pada perumusan masalah yang ditentukan dalam penelitian tersebut. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian doktrinal. Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian normatif yang dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek yang diteliti pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok-kelompok tertentu dalam 42 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif (Statu Tinjauan Singkat).. Ctk. Pertama PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm 91. 43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ctk. Ketiga, Universitas Indonesia (UI-Press) Jakarta, 1986, hlm. 43 masyarakat44. Jadi dari pengertian tersebut penulis berusaha untuk melukiskan keadaan dari suatu objek yang dijadikan permasalahan. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di perpustakaan antara lain Perpustakaan PascaSarjana Universitas Sebelas Maret Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret dengan melakukan studi kepustakaan untuk memperoleh bahan-bahan yang dibutuhkan, hal ini sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini, yaitu jenis penelitian normatif. 3. Jenis Data Dalam penelitian hukum, data yang digunakan dapat dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan bahan-bahan kepustakaan. Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dinamakan data primer (data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahanbahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder 45 . Berkaitan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif, maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data sekunder didapat dari sejumlah keterangan atau faktafakta yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu melalui studi kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 4. Sumber Data Sumber data adalah tempat dimana penelitian ini diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu tempat di mana diperoleh data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi : 44 ibid ; hlm. 10 45 Soerjono Soekanto, Sri Mamuji. op.cit. hlm. 12 1. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat 46 . Bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer47. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini meliputi : literatur, buku dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 3. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder 48 . Bahan hukum tertier dalam penelitian ini meliputi : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dipakai dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik Penelitian Kepustakaan yaitu teknik yang berupa studi kepustakaan terhadap buku-buku dan literatur serta peraturan perundangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti. 6. Teknik Analisis Data 46 ibid 47 ibid ibid 48 Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data 49 . Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara-cara analisis, yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif. Penganalisisan data merupakan tahap yang paling penting dalam penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis 50 Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengolahan data yang pada hakekatnya untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang dilakukan berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian dikaji dengan menggunakan norma secara materiil atau mengambil isi data disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya diambil kesimpulan/verifikasi sehingga akan diperoleh kebenaran obyektif. Sesuai dengan jenis data yang deskriptif maka yang digunakan teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. 49 Lexi J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ctk kedua, PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Hlm. 143 50 Soerjono Soekanto. 1986. op. cit. Hlm. 251 BAB IV A. HASIL PENELITIAN 1. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang lebih tinggi dan sederajat. A. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang lebih tinggi. Dalam penulisan ini, penulis mengkaji mengenai sinkronisasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UUD 1945. Dalam UUD 1945 terdapat beberapa Pasal yang dapat di sinkronkan kaitannya dengan outsourcing, Yakni : 1. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alinea 4, yang berbunyi : “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam hal ini dijelaskan bahwa Tujuan Negara adalah untuk Memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Pada Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “Tiaptiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dalam penjelasannya diakatakan bahwa Pasal ini mengatur tentang hak-hak warga Negara yang dalam hal ini adalah tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 3. Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.”, Pasal ini mengatur baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang mengenai seluruh penduduk membuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusian. substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Hak-hak tenaga kerja yang dilanggar ini berlangsung dalam kurun waktu selama Undang-Undang Ketenagakerjaan ini mulai berlaku yakni tahun 2003. Pemenuhan hak warga negara tentunya juga menjadi tanggungjawab dari pemerintah seperti tersirat dalam Pasal 28i ayat 4 UUD 1945. 4. Pada Pasal 33 ayat 1 dan 4 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. ,dijelaskan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang demikian tidaklah berwatak “free fight liberalism”, melainkan kebersamaan dan demokrasi ekonomi. B. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang sederajat 1. Sinkronisasi pengaturan outsourcing antara Pasal-Pasal dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sendiri.Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang Nomor berbunyi : 13 Tahun ”Setiap 2003 pekerja/buruh tentang berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. dijelaskan bahwa Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Dalam penjelasannya disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. 2. Pasal 64 “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” 3. Pasal 65 (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). 4. Pasal 66 (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. PENJELASAN : Ayat (1) Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. 5. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 1. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM), yang berbunyi : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”., dalam penjelasannya disebutkan Yang bahwa dimaksud dengan "perlindungan" adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia. substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Campur tangan Pemerintah termasuk legislatif sangat besar dalam memenuhi hak-hak warga negara, termasuk di dalamnya adalah tenaga kerja.lahirnya UndangUndang yang represif ini justru menimbulkan penilaian bahwa para pembuat kebijakan kurang bisa memenuhi rasa keadilan, dan kemanfaatan dalam masyarakat. 2. Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM), yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak”. substansi dalam Pasal tersebut adalah Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. 3. Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) Substansinya adalah (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil; (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama; (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya keluarganya. dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan Pasal-pasal tersebut akan dianalisis lebih lanjut dalam bab IV bagian pembahasan 6. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang No.11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), yaitu : a. Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya: i. Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya tanpa pembedaan apapun, khususnya bagi perempuan harus dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; ii. Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka; b. Keselamatan dan kesehatan kerja; c. Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan; d. Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan berkala dengan digaji maupun imbalan pada hari libur umum. Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja. Pemerintah sudah berupaya untuk mengurangi angka pengangguran dan juga meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja di Indonesia. Namun dilema pemerintah adalah antara tenaga kerja atau kepada pengusaha (si pemiliki lapangan pekerjaan). Salah satu upayanya adalah dikeluarkan undang-undang No 12 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan, kemudian pada salah satu pasalnya yaitu 64, 65 dan pasal 66 memungkinkan perusahaan melakukan outsourcing. Dalam pembukaan UUD 1945 diterangkan bahwa tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkait dengan Pasal 64, bahwa Pasal 64 menjadi dasar pelaksanaan outsourcing, dimana di dalam Pasal ini memperbolehkan dilaksanakannya outsourcing yang pada kenyataannya cenderung melanggar hakhak tenaga kerja untuk mendapatkan kejelasan mekanisme dengan siapa buruh berstatus outsourcing ini harus melakukan perundingan, apakah dengan pihak yayasan yang menyalurkan, atau dengan perusahaan. sehingga posisi buruh yang berstatus outsorcing ini lemah, sebab tidak memungkinkan baginya untuk melakukan perundingan bersama, atau terlibat dalam serikat buruh. Keadaan ini jelas merugikan buruh, di lain sisi, ini menguntungkan pengusaha. Jelas bahwa kondisi ini bertentangan dengan asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Hak-hak tenaga kerja yang dilanggar ini berlangsung dalam kurun waktu selama Undang-Undang Ketenagakerjaan ini mulai berlaku yakni tahun 2003. Pemenuhan hak warga negara tentunya juga menjadi tanggungjawab dari pemerintah seperti tersirat dalam Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 dan Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) yang substansinya bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Campur tangan Pemerintah termasuk legislatif sangat besar dalam memenuhi hak-hak warga negara, termasuk di dalamnya adalah tenaga kerja.lahirnya Undang-Undang yang represif ini justru menimbulkan penilaian bahwa para pembuat kebijakan kurang bisa memenuhi rasa keadilan, dan kemanfaatan dalam masyarakat. Kita paham bahwa tenaga kerja adalah subyek hukum yang penting di perusahaan, tanpa adanya tenaga kerja, perusahaan juga tidak bisa melakukan kegiatan usahanya. Untuk itu sudah sepatutnya tenaga kerja benar-benar dihargai, diperhatikan serta dipenuhi hak-haknya, hal ini sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di legalkannya outsourcing ini mengesankan bahwa pembuat kebijakan acuh terhadap ketentuan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945. Tenaga kerja tidak mempunyai kejelasan terhadap sampai kapan dia bekerja, dan ketika masa kerjanya sudah habis, maka dia akan kebingungan lagi untuk mencari pekerjaan baru. Kondisi ini akan berlangsung selama hidupnya karena ia tidak mempunyai suatu pekerjaan tetap. Jaminan dari negara bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.tidak didapatkan oleh tenaga outsourcing. Sistem yang dibangun dengan adanya outsourcing ini adalah suatu sistem ekonomi yang liberal, sama sekali tidak menguntungkan tenaga kerja. Ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat 1 dan 4 UUD 1945 bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang demikian tidaklah berwatak “free fight liberalism”, melainkan kebersamaan dan demokrasi ekonomi. Istilah kasarnya adalah bahwa tenaga kerja masih ”terombang-ambing” hidupnya karena belum memiliki suatu pekerjaan yang tetap, yang dapat menjamin kesejahteraan di hari tuanya. Keadaan yang terombang-ambing dan ketakutan terhadap habisnya waktu kerja bisa menyebabkan perkembangan jiwa yang tidak baik, selain itu pekerja dengan sistem outsourcing cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Keberadaan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang ketenagakerjaan yang isinya adalah mendukung outsourcing juga bertentangan dengan Pasal lain di dalam Undang-Undang yang sama yakni Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 (Ketenagakerjaan), yang bunyinya bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dan juga Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) bahwa setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Ketentuan lain yang dilanggar adalah Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil; (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama; (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. Dalam Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaza juga diatur mengenai hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, kita lihat Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) bahwa Hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan khususnya menjamin: a. Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurangkurangnya: (i)Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya tanpa pembedaan apapun, khususnya bagi perempuan harus dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; (ii)Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka; b. Keselamatan dan kesehatan kerja; c. Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan; d. Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan berkala dengan digaji maupun imbalan pada hari libur umum. Jika Analisis secara deskriptif ini diterangkan dalam sebuah tabel, maka dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel: Pasal-Pasal Yang Diingkari/Ditabrak oleh Aturan Kerja Kontrak dan Outsourcing dalam UU No. 13 Tahun 2003 No. Hukum/Peraturan yang Substansi diingkari/ditabrak 1 Pembukaan UUD 1945 Tujuan negara: Memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2 Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 dan Pasal 8 Perlindungan, pemajuan, UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) penegakkan, pemenuhan dan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. 3 Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 4 Pasal 33 ayat 1 dan 4 UUD 1945 Perekonomian disusun sebagai usaha berdasar bersama atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi demikian yang tidaklah berwatak “free liberalism”, fight melainkan kebersamaan dan demokrasi ekonomi. 5 Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 Setiap (Ketenagakerjaan) pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan 6 Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. 7 Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) (1) Setiap warga negara, sesuai dengan kecakapan, berhak bakat, kemampuan, atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syaratsyarat ketenagakerjaan yang adil; (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sebanding, sama, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama; (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. 8 Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 Hak setiap orang untuk (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak menikmati kondisi kerja Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang adil menguntungkan, dan dan khususnya menjamin: a. Imbalan memberikan pekerja, yang semua sekurang- kurangnya: (i)Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya tanpa pembedaan apapun, khususnya bagi perempuan harus dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; (ii)Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka; Keselamatan kesehatan b. dan kerja; c. Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan; Istirahat, liburan pembatasan jam d. dan kerja yang wajar dan liburan berkala dengan digaji maupun imbalan pada hari libur umum. Dalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat saat ini, maka perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing.” Atau dengan kata lain outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non--core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing. Outsourcing menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi tenaga kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing. Dalam praktek, kerja kontrak dan outsourcing bukanlah hal baru. Varian kedua model hubungan ketenagakerjaan ini telah dilakukan sejak lama meskipun aturan tentang itu belumlah cukup lengkap diatur, utamanya menyangkut aspek-aspek perlindungan terhadap buruh sebagai kaum yang berposisi lebih lemah. Dalam konteks Indonesia, hal ini telah kian diperkuat sejak awal krisis finansial melanda Asia Tenggara dan Asia Timur di tahun 1997, khususnya saat UU No. 25 Tahun 1997 disahkan. UU ini sangat kontras dan ofensif dibandingkan dengan peraturan perburuhan sebelumnya. Bandingkan dengan aturan sebelumnya, persisnya dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Perdana Menteri Sjahrir mengeluarkan UU Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, yang merupakan produk hukum perburuhan pertama yang dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri. UU membawa perubahan penting dalam politik perburuhan, karena menggantikan skema Pasal 1601-1603 BW yang lebih menyandarkan paradigma liberal antara hubungan privat buruh-pengusaha. Setahun kemudian, dikeluarkan dua undang-undang: UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan UU Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang subantsinya sangat protektif terhadap hak-hak buruh. Misalnya, dalam UU Nomor 12 Tahun 1948, ada pasal yang melarang diskriminasi kerja; jam kerja yang 40 jam dalam seminggu; kewajiban pengusaha untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi buruh/pekerja; larangan mempekerjakan anak di bawah usia 14 tahun; jaminan hak perempuan buruh untuk mengambil cuti haid dua hari dalam sebulan; dan pembatasan kerja malam bagi perempuan51 Perkembangan pembaruan hukum perburuhan di Indonesia pasca krisis finansial sebenarnya memiliki konteks yang demikian kuat mempengaruhi lahirnya sejumlah teks yang secara sistematik dan terstruktur rapi dalam politik (ekonomi) legislasi buruh. Tiga gelombang pembaruan hukum (1997-1998, 20002004, dan 2005-sekarang) telah memperlihatkan kekuatan neo-liberalisme melalui tangan-tangan multilateral development banks (Bank-bank pembangunan multilateral, semacam Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan IMF) telah terlibat mendisain arah hukum buruh. Dalam skema pembaruan tersebut, proponen neo-liberal mengusung diskursus-diskursus (baca: mantra) yang begitu gampang dipercaya oleh negara-negara di selatan yang mayoritas negara miskin dan berkembang, tak terkecuali Indonesia52. Diskursus yang melibatkan skenario kebijakan perburuhan antara lain: good governance (pemerintahan yang baik), labor market flexibility (pasar buruh lentur), dan legal framework for development (kerangka hukum untuk pembangunan). Tentu, untuk memudahkan penerimaan diskursus tersebut 51 Disampaikan pada acara Dialog Publik: Kajian Terhadap Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing, diselenggarakan oleh Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) Komite Wilayah Kabupaten Gresik, 25 Maret 2007 52 Wiratraman, R. Herlambang (2006c) “Hak Buruh, Revisi UU 13/2003 dan Imperialisme Global”, Surabaya Post, 1 Mei 2006, http://www.surabayapost.info/kolom. php?id=42555&klom=Opini&kolomid=5 (diakses 10 Maret 2007). diperlukan teknologi kekuasaan dan rasionalitas untuk menyuntikkannya, dengan cara pemenuhan persyaratan utang, bantuan teknis, dan utang itu sendiri. Turunanturunan diskursus tersebut untuk memberikan pembenaran politik hukumnya, disertakan konteks yang nyata, seperti merespon kebutuhan investasi pasca krisis, pengentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran, dan penciptaan kondusifitas hubungan industrial. Kongkritnya, dibentuklah hukum dengan pengaturanpengaturan khusus dalam reformasi kebijakan buruh yang menerjemahkan teknologi kekuasaan tersebut, seperti pengesahan 3 paket UU Buruh (UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh; UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)53. Dari sekian banyak provisi pasal-pasal yang dipaksakan untuk memenuhi persyaratan neo-liberalisme, salah satu-duanya soal kerja kontrak dan outsourcing. Tulisan berikut tidak hendak mengurai kerja kontrak dan outsourcing dalam perspektif hukum semata, melainkan membongkar mitos dan mantra yang terlampau banyak membius pembenaran kerja kontrak dan outsourcing melalui perspektif hak-hak asasi manusia54. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakekatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama,sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih rendah. Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan dan di tuangkan dalam 53 Wiratraman, R. Herlambang (2006a) Good Governance and Legal Reform in Indonesia. Thesis for Master of Arts Program in Human Rights, Mahidol University, Bangkok 54 Wiratraman, R. Herlambang (2006b) “Disain Neo-Liberalisme dan Ancaman Terhadap Hak-Hak Buruh”, Makalah Untuk Labor Law Course For Trade Unionist, Surabaya, 7-10 September 2006, Trade Union Rights Center Dan Forum Buruh Surabaya Perjanjian Kerja tertulis.Hubungan kerja tersebut pada dasarnya PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu ) atau tetap dan bukan kontrak, akan tetapi dapat pula dilakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) /kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian maka hubungan kerja pada outsouring tidak selalu dalam bentuk PKWT/Kontrak , apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan atau sama dengan PKWT. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing, harus dibedakan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (Labour Supplier). Sebagaimana diatur dalam Pasal 35, 36, 37 dan 38 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yaitu apabila tenaga kerja telah di tempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta tersebut. Dalam pelaksanaan penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh memperkerjakan pekerja /buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh di gunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan di maksud antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman/satuan pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh. Di samping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi. Pangaturan pelaksanan outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan yang di sebutkan di atas adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, sehingga adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/Kontrak sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar. Pelaksanan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam Pasal 65 ayat (6) dan (7) dan Pasal 66 ayat (2) dan (4) UU Ketenagakerjaan. Memang pada keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefinisikan/menentukan jenis pekerjaan yang dikatagorikan penunjang. Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan persepsi dan adakalanya juga dilatarbelakangi oleh kepentingan yang diwakili untuk memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut. Di samping itu bentuk-bentuk pengelolaan usaha yang sangat bervariasi dan beberapa perusahaan multi nasional dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru pola kemitraan usahanya,menambah semakin kompleksnya kerancuan tersebut.Oleh karena itu melalui Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (5) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 diharapkan mampu mengakomodir/memperjelas dan menjawab segala sesuatu yang menimbulkan kerancuan tersebut dengan mempertimbangkan masukan dari semua pihak pelaku proses produksi barang maupun jasa. Selain upaya tersebut, untuk mengurangi timbulnya kerancuan, dapat pula dilakukan dengan membuat dan menetapkan skema proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat di tentukan pekerjaan pokok/utama (core business) ; di luar itu berarti pekerjaan penunjang. Dalam hal ini untuk menyamakan persepsi perlu dikomunikasikan dengan pekerja/buruh dan SP/SB serta instansi terkait untuk kemudian dicantumkan dalam PP/PKB. Pasal-pasal tersebut menurut hemat penulis adalah bermasalah, Padahal awalnya pasal-pasal tersebut diharapkan pemerintah Indonesia mampu memberikan jawaban atas mantra “hubungan industrial yang kondusif” dan “menarik investasi”. Benarkah terjadi kondusifitas hubungan antara buruh dan pengusaha sehingga membuat para investor bersedia menanamkan investasinya di Indonesia, yang kemudian akan diharapkan banyak menyerap tenaga kerja baru. Perlu dilihat konsistensi pasal dalam UU Ketenagakerjaan tersebut dengan UUD 1945 sebagai hukum dasar, atau hukum tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan secara tegas tujuan negara, yakni salah satunya memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini jelas konstruksi dasar filsafat negara yang menjadi cita-cita pendiri bangsa di tahun 194555. 2. Kontroversi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 melanggar hak-hak tenaga kerja Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran. Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production)56. Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan 55 Sebagai contoh, outsourcing yang menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, adanya kelangsungan pekerjaan seorang buruh, karena seorang buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi di situ, akibatnya buruh akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga keberlanjutan pekerjaan menjadi persoalan bagi buruh yang menjadi tenaga outsourcing dengan perjajian kerja waktu tertentu. Kalau job security tidak terjamin, maka bertentangan dengan jaminan konstitusional mendapatkan pekerjaan yang layak. 56 Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan57. Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak58. Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja59. Pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap. Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. Menurut Robert A. Nisbet dalam bukunya: Social Change and History., bahwa dengan timbul perubahan di dalam susunan masyarakat yang disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Pengertian hak milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik dan barang juga mengalami perubahan karenanya. Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh karena sekarang “ barang siapa yang memiliki alat-alat produksi” 57 58 ibid Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 4 Agustus 2006 59 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan, bukan lagi hanya menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai buruh.60 Outsourcing can be undertaken to varying degrees, ranging from total outsourcing to selective outsourcing. Total outsourcing may involve dismantling entire departments or divisions and transferring the employees, facilities, equipment, and complete responsibility for a product or function to an outside vendor. In contrast, selective outsourcing may target a single, time-consuming task within a department, such as preparing the payroll or manufacturing a minor component, that can be handled more efficiently by an outside specialist61. Dalam perspektif hukum, menurut Satjipto Rahardjo, bahwa: Pemilik barang hanya terikat kepada barangnya saja. Ia hanya mempunyai kekuasaan atas barang yang dimilikinya, tetapi apa yang semula merupakan penguasaan serta kontrol atas barang, atas pekerja upahan. Perubahan ini terjadi setelah barang itu berubah fungsinya menjadi kapital. Orang yang disebut sebagai pemilik, membebani orang lain dengan tugas-tugas, menjadikan orang itu sebagai sasaran dari perintah-perintahnya dan setidak-tidaknya pada masa awal-awal kapitalisme mengawasi sendiri pelaksaan dari perintah-perintahnya. Seorang yang semula memiliki res, sekarang bisa “memaksakan” kehendaknya kepada personae.62 Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk 60 Robert A. Nisbet, Social Change and History - Aspects of the Western Theory of Development, London, Oxfort University Press, 1972 ; Dalam: Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, h. 97. 61 McDonald, SM and Jacobs, TJ (2005) Brand Name ‘India’: The Rise of Outsourcing, Int. J. Management Practice, Vol. 1, No. 2, pp. 152–174 62 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h. 205. keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan63. Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan. Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Berikut beberapa contoh yang menunjukkan bahwa outsourcing sangat tidak disukai oleh pelaku usaha, terutama kaum buruh : 1. Sekitar 100 buruh yang tergabung dalam Forum Pekerja Operator Head Truck melakukan unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (25/11). Mereka menolak sistem kerja outsourcing yang diterapkan di beberapa perusahan di Pelabuhan Tanjung Priok. Pengunjuk rasa menyatakan, perusahaan tempat mereka bekerja diduga melakukan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 karena akan memberlakukan outsourcing pekerja yang menjadi bagian 63 Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk dilakukan revisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan Hubungan Kerjam Perjanjian kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangon, Ijin tenaga Kerja Asing dan istirahat panjang utama dari perusahan tersebut. Mereka menuntut perusahaan menaati Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta melakukan pengawasan kerja. Mereka mengancam akan mogok kerja selama satu minggu sejak 1 Desember mendatang64. 2. Jantung Ibukota berdegub kencang. Lalu lintas di kawasan Jl.ThamrinSudirman, Silang Monas Jalan Medan Merdeka, hingga ke jalan-jalan arteri di sekitarnya, lumpuh total pada hari Rabu terakhir di bulan Maret 2006 lalu. Ribuan buruh dan pekerja kerah putih dari berbagai elemen organisasi serikat pekerja –Aliansi Buruh Menggugat— hari itu tumpah ruah ke jalan, mengepung Istana Negara, dengan mengusung satu tuntutan bersama: Menolak Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Penyebabnya menurut media massa adalah karena draft revisi undangundang ketenagakerjaan yang disusun oleh tim Bappenas , diantaranya memuat dua subtansi, oleh para pekerja dianggap sangat merugikan. Pertama, ketentuan siapa yang wajib diberi pesangon dan besaran pesangon. Kedua, pemberlakuan status pekerja kontrak atau outsourcing. Soal pesangon, dalam UU No.13 Tahun 2003 pasal 156, ditetapkan bahwa perusahaan wajib memberikan pesangon manakala terjadi PHK. Namun, ketentuan tersebut dibatasi di dalam draft revisi. Pesangon hanya diberikan kepada pekerja atau buruh yang upahnya Rp.1,2 juta ke bawah. Draft revisi pasal 156 itu berbunyi: (ayat 2), Pekerja/buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah pekerja/buruh yang mendapat upah lebih rendah atau sama dengan satu kali penghasilan kena pajak. Artinya, apabila terjadi PHK, maka hanya buruh rendahan yang diberi pesangon, sedang pekerja kantoran pada level menengah ke atas tidak mendapat pesangon. 64 http://soulofdistortion.wordpress.com/2007/07/30/gambaran-buruh-outsourcing/ Hal lain yang memicu aksi demonstrasi Aliansi Buruh Menggugat, adalah soal outsourced, atau perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Semula outsourced hanya bisa diberlakukan pada jenis pekerjaan tertentu. Pasal 59 ayat 1 UU No.13 berbunyi: (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan dalam waktu tertentu.. Yakni: (a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, (b) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun, (c) pekerjaan yang bersifat musiman, (d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Dalam draft perubahan, ketentuan pekerja outsourced diubah menjadi: “…dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan”. Revisi pasal tersebut dianggap dapat menimbulkan kerentanan terhadap pelanggaran atas hak-hak pekerja outsourced –pekerja yang bekerja untuk perusahaan namun tidak menjadi karyawan perusahaan tersebut, melainkan dipekerjakan melalui pihak ketiga, atau perusahaan jasa tenaga kerja. Kendati hak-hak pekerja outsourced ditetapkan sama dengan pekerja permanen (karyawan), namun pada prakteknya di lapangan, menurut Ira Puspadewi Director Social Community Investment Asia and India Subcontinent Gap Inc, seringkali terjadi pelanggaran. Aturan outsourcing sebelum direvisi sudah membuat merana banyak pekerja. Sebab, meski sudah bekerja bertahun-tahun, mereka tak juga mendapat kepastian untuk diangkat menjadi karyawan tetap. Dengan adanya revisi, ketentuan itu bakal memperlebar cakupan jenis pekerjaan yang boleh di- outsourcing – kan. Sehingga, mempersempit peluang terserapnya pekerja sektor informal ke dalam sektor formal. Padahal, jumlah buruh terbesar di negeri ini adalah di sektor informal, sektor dimana perlindungan dan jaminan hak-hak pekerja kerap ditelantarkan. Revisi pasal outsourcing tersebut, bakal memperbanyak jumlah buruh dan pekerja yang merana. Aksi buruh dan pekerja mengepung Istana Negara untuk menolak Revisi UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 akhir Maret lalu tak hanya melumpuhkan lalu lintas jalan di Ibukota. Tetapi, sangat disayangkan, berakhir dengan pengrusakan pot-pot kembang dan lampu lalu-lintas di sepanjang Jalan Thamrin, Jakarta. Para demonstran yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat mengancam akan melakukan mogok nasional apabila pemerintah tetap ngotot merevisi aturan perundangan yang merupakan salah satu regulasi di bidang ketenagakerjaan tersebut. Pemerintah punya alasan tersendiri saat mengajukan draft revisi UU No.13 Tahun 2003 itu. Ini terkait soal iklim investasi. Salah satu faktor lambatnya pertumbuhan ekonomi, menurut pemerintah, adalah karena rendahnya pertumbuhan investasi. Dan itu, satu diantara sebabnya, adalah karena undang-undang ketenagakerjaan dinilai “tidak ramah” dan “menakutkan” bagi para investor. Undang-undang ketenagakerjaan yang ada dianggap mengganjal masuknya investasi, menjadi sebab buruknya iklim investasi di Indonesia. Maka pemerintah menetapan untuk melakukan Revisi UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, sebagai satu dari lima kebijakan untuk memperbaiki iklim investasi. Lima kebijakan yang dimaksud, disusun dalam Inpres No.3 Tahun 2006 tentang Perbaikan Iklim Investasi, menyangkut soal: (1) reformasi birokrasi, (2) menghilangkan pungutan tak perlu, (3) percepatan perizinan, (4) perbaikan perpajakan dan bea cukai, (5) deregulasi aturan perburuhan. Inpres tersebut diluncurkan pada akhir Februari 2006, sebulan sebelum aksi demonstrasi buruh. Bagi kalangan pengusaha, revisi yang diajukan pemerintah dianggap cukup adil. Sebab, bila tak direvisi, aturan mengenai besaran nilai pesangon dan siapa saja yang wajib diberikan, dalam pasal 156 UU No.13 Tahun 2003 itu, dinilai memberatkan. Biaya menutup perusahaan bisa sama dengan biaya membuka usaha baru, karena tingginya biaya yang dikeluarkan., undangundang tersebut dinilai sebagai penyakit buat investasi di Indonesia. Besaran pesangon di Indonesia, dari data yang dikutip lembaga penelitian SMERU, untuk buruh yang sudah bekerja selama 4 tahun, diberikan 12 kali gaji. Untuk masa kerja yang sama, di Thailand diberikan 6 kali gaji, Cina 3 kali gaji, Malaysia 2,4 kali gaji, dan India 2 kali gaji. Tak ada yang mau tampak tak bersimpati terhadap kaum buruh dan pekerja. Tetapi, bila besaran pesangon tak dikurangi, maka semakin kecil peluang untuk menyerap tenaga kerja baru, termasuk pula peluang tenaga kerja di sektor informal –yang jumlahnya mencapai 66,5 juta atau 70 persen dari total angkatan kerja— untuk bisa terserap masuk ke sektor formal65. 3. Ratusan karyawan dari sejumlah perusahaan di Kota Batam menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Wali Kota (Wako) Batam, pada tanggal 8 Oktober 2009. Mereka menolak praktik outsourcing (buruh kontrak) yang diterapkan perusahaan industri. Di bawah bendera Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Batam, massa berkumpul di depan gerbang Pemko Batam dengan mengusung spanduk dan poster dengan tulisan bernada kecaman dan tuntutan. Pengunjuk rasa tak bisa masuk ke halaman Pemko karena dihadang puluhan polisi. Mereka membawa beberapa tuntutan. Antara lain, menolak praktik outsourcing, menuntut upah layak, revisi UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Mereka 65 juga pertanyakan kenapa UMK belum juga http://robeeon.net/search/Hubungan+Kerja+&+Hakhak+Normatif+Karyawan+Kontrak+Dan+Outsourcing+ dibahas-bahas. Padahal, di daerah lain sudah diputuskan.. Aksi protes praktik buruh kontrak tersebut, sudah tiga kali dilakukan. Pertama, 14 Agustus 2008, kedua 1 Mei 2009, dan kemarin aksi ketiga. Sayangnya, belum ada respon sama sekali dari pemerintah. Tak hanya pemerintah, mereka juga menilai DPRD Batam kurang aspiratif. Di saat pendemo berorasi, delegasi buruh masuk ke Kantor Wali Kota. Mereka diterima Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Batam, Rudi Sakyakirti dan jajarannya. Perundingan antara pemerintah dengan utusan buruh itu tak berlangsung lama. Setelahnya, Rudi muncul dan tampil di tengah-tengah massa lalu naik di atas mobil pengunjuk rasa. Di hadapan ratusan pekerja, Rudi berjanji akan menindaklanjuti tuntutan yang disampaikan. Di antaranya masalah outsourcing, revisi Jamsostek, upah layak, menindak pengusaha yang melanggar aturan66 4. Baru baru ini Indosat telah memberhentikan kurang lebih 2000 orang buruhnya. Khususnya buruh outsourcing di perseoran tersebut. PHK yang menimpa 2000 buruh tersebut merupakan contoh mutakhir bagaimana perbudakan modern sedang berlangsung di negeri ini. Walau ribuan buruh tersebut telah mengabdi sekian lama di perusahaan telekomunikasi terbesar itu, ternyata tak diakui sebagai bagian dari Indosat. Mereka bukan karyawan Indosat, begitu kata Harry Sasongko, CEO Indosat. Indosat hanya beurusan dengan perusahaan outsourcing-nya. Demikianlah ekses dari pasal-pasal yang mengatur tentang outsourcing dan kerja kontrak dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Ribuan buruh yang ter-PHK tersebut nyatanya bekerja di bagian bagian yang cukup vital dan merupakan bagian utama dalam bisnis komunikasi, yang artinya pekerjaan itu tak akan habis dalam waktu tertentu seperti proyek pembuatan gedung, misalnya. Bagian bagian tersebut antara lain adalah Marketing 66 communication, technical, costumer http://batampos.co.id/metro/Metro/Wako_Dikado_Ayam_Putih.html service. Sehingga, berdasarkan ketentuan UU, praktik kerja kontrak atau outsourcing tidak diperbolehkan dikasus ini. Dengan situasi keuangan yang mapan saat ini, Indosat tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mengurangi karyawanya. Dibalik ini, kemungkinan perusahaan sedang menjalankan strategi efisiensi dengan merekrut tenaga kerja baru dengan kontrak baru. Artinya, setelah 2000 buruh dikembalikan kepada perusahaan outsourcing, Indosat akan "membeli" tenaga kerja baru dengan sistem yang sama, paling tidak untuk 2 tahun mendatang. Praktek inilah yang disebut perbudakan modern, dimana tenaga kerja bisa dijual-belikan, tanpa hak-hak yang layak. Tidak adanya respon ribuan buruh yang ter-PHK ada beberapa kemungkinan antara lain; pertama, para buruh sudah terikat kontrak dan habis masa kontraknya. kedua, para buruh telah merasa mendapatkan hak-haknya. ketiga, para buruh belum terorganisasi dalam serikat buruh. Pengalaman membuktikan bahwa yang pertama dan ketigalah yang sering muncul. Dimana buruh kontrak atauoutsourcing memang lemah posisi tawarnya. Bahkan untuk ikut SB saja, mereka masih takut67. 5. Melalui aksi demo masif, tahun lalu buruh se-Indonesia yang bersatu berhasil menggagalkan upaya pengesahan draf revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dianggap tak berpihak kepada mereka. Namun, bagi sebagian besar buruh, perjuangan mereka sebenarnya belum berakhir. Beberapa tahun terakhir ini buruh bukan hanya merasakan kian menurunnya kesejahteraan mereka, akibat terus menurunnya upah riil dan daya beli 67 http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=555&Itemid=1 mereka. Namun, juga semakin menguatnya praktik eksploitasi terhadap buruh di rezim neoliberalisme, melalui apa yang disebut dengan sistem kontrak kerja dan outsourcing. Penghapusan sistem kontrak kerja dan outsourcing ini menjadi salah satu tuntutan sentral kelompok buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM) dalam aksi demo besar-besaran yang akan mereka gelar pada Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2008. Mereka juga mendesak pemerintah untuk segera menurunkan harga-harga, memperbaiki upah buruh, dan memberlakukan upah layak nasional. ABM menyatakan akan mengerahkan ratusan ribu anggotanya untuk mengepung Istana Negara hari itu. Pada hari yang sama, di Gelora Bung Karno, Senayan, rencananya juga akan digelar May Day Fiesta oleh Serikat Pekerja Nasional (SPN), Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), LEM, dan beberapa kelompok serikat pekerja lain. Acara ini rencananya akan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, dan Ketua DPR Agung Laksono. Sistem kontrak dan outsourcing yang sudah menjadi fenomena global beberapa tahun terakhir dijiwai oleh tuntutan fleksibilitas pasar kerja dari para pelaku usaha, untuk tetap kompetitif di pasar global. Sistem ini muncul dalam bentuk hubungan kerja yang lebih longgar antara pengusaha dan buruh berdasarkan sistem kontrak, dengan menghilangkan hak-hak normatif buruh. Dalam UU No 13/2003, sistem kerja kontrak dan outsourcing itu dilegalkan dengan cara diatur dalam pasal tersendiri. Dalam draf revisi UU No 13/2003, sistem kerja kontrak dan outsourcing bahkan tidak lagi dibatasi pada pekerjaan noninti, tetapi semua jenis pekerjaan dan masa kontraknya pun diperpanjang menjadi lima tahun. Kalangan pekerja/buruh menganggap ini sebagai bentuk penjajahan atau perbudakan terselubung oleh pemilik modal yang menginginkan Indonesia tetap jadi pasar buruh murah. Adanya sistem kontrak dan outsourcing ini membuat posisi tawar pekerja/buruh semakin lemah karena tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, pesangon jika di-PHK, dan tunjangan-tunjangan kesejahteraan lain. Mereka juga melihat ini sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab oleh negara untuk melindungi buruh. Kian sempitnya lapangan kerja membuat buruh tidak dihadapkan pada banyak pilihan, kecuali menerima kondisi yang ada. Tak sedikit dari mereka terpaksa membiarkan dirinya jadi obyek perdagangan manusia oleh para calo dan oknum perusahaan yang memperlakukan mereka tak lebih hanya buruh upahan atau tenaga kerja lepas. Outsourcing dan sistem kontrak melalui perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) itu sendiri merupakan dua dari empat isu paling krusial dan alot dalam proses revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang hingga sekarang belum disepakati oleh pihak buruh-pengusaha-pemerintah, selain isu pesangon dan upah pekerja. Revisi UU No 13/2003 itu sendiri dilakukan atas desakan, baik dari pihak pengusaha maupun buruh. Pengusaha menganggap beberapa pasal memberatkan dan tak kondusif bagi iklim usaha, demikian pula buruh melihat beberapa pasal lain tidak berpihak kepada mereka. Pemerintah sendiri menganggap revisi mendesak karena tanpa itu investasi tidak akan masuk dan sektor riil sulit bergerak sehingga upaya penciptaan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan juga tak terjadi. Namun, dalam perjalanannya, tidak dicapai titik temu. Karena menemui jalan buntu, pemerintah akhirnya memutuskan menunda proses revisi hingga setelah Pemilu 2009. Di satu sisi, ini menyelamatkan pemerintahan sekarang dari tanggung jawab menuntaskan proses revisi UU tersebut, tetapi di sisi lain hal tersebut memunculkan ketidakpastian, baik bagi buruh, pelaku usaha/iklim investasi, maupun perekonomian68. Sejak awal penyusunan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini, telah menuai protes dari kalangan buruh. Bukan karena pasal-pasalnya yang multi interpretasi, namun juga roh atau jiwa yang terkandung adalah jiwa neoliberalisme. UU ini harus dicabut! Selama enam tahun UU ini telah mengorbankan jutaan buruh. Maka, tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk mengkaji ulang dan memulai dari awal pembuatan UU yang berpihak pada buruh dan sekaligus mendukung industri nasional. Agar bisa tercapai harus melalui tahap tahap yang demokratis dengan melibatkan seluruh komponen serikat buruh maupun buruh secara umum, pihak pengusaha, pemerintah, juga para ahli. Namun, untuk mengatasi situasi yang mendesak tentang outsorucing dan sistem kerja kontrak, Menaker perlu mengeluarkan peraturan atau keputusan khusus. Ini sangat diperlukan agar interpretasi terhadap pasal-pasal dalam UU no 13 tidak bias dan menghindari manipulasi oleh perusahaan. Peraturan tersebut; (a) pertama menyangkut jenis pekerjaan yang boleh dikontrak kerjakan/outsoursing, (b) soal syarat-syarat hubungan industrial antara buruh dengan agen atau perusahaan outsourcing. 3. Konsep ideal untuk mengatur permasalahan ketenagakerjaan dalam rangka menjamin hak-hak tenaga kerja 68 http://apindo.or.id/index.php/kliping/aW5mbyw2ODg= Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti “alih daya”. Outsourcing mempunyai nama lain yaitu “contracting out” merupakan sebuah pemindahan operasi dari satu perusahaan ke tempat lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal lain.Di negara-negara maju seperti Amerika & Eropa, pemanfaatan Outsourcing sudah sedemikian mengglobal sehingga menjadi sarana perusahaan untuk lebih berkonsentrasi pada core businessnya sehingga lebih fokus pada keunggulan produk servicenya69. Outsourcing occurs when a company purchases products or services from an outside supplier, rather than performing the same work within its own facilities, in order to cut costs. The decision to outsource is a major strategic one for most companies, since it involves weighing the potential cost savings against the consequences of a loss in control over the product or service. Some common examples of outsourcing include manufacturing of components, computer programming services, tax compliance and other accounting functions, training administration, customer service, transportation of products, benefits and compensation planning, payroll, and other human resource functions. A relatively new trend in outsourcing is employee leasing, in which specialized vendors recruit, hire, train, and pay their clients' employees, as well as arrange health care coverage and other benefits70. Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan di Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh perusahaan. Seperti halnya di Amerika Serikat, peran pemerintah dan parlemen merupakan kata kunci dalam memaksa para pengusaha untuk mendistribusikan keuntungannya dengan adil dan merata. Sudah lazim pengusaha ingin untung, 69 70 http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html Springsteel, Ian. "Outsourcing Is Everywhere." CFO: The Magazine for Senior Financial Executives. December 1994, http://www.answers.com/ namun jika keuntungan yang diperoleh atas eksploitasi para buruh maka pemerintah dan negara wajib menghukum dengan tegas. Negara harus melindungi buruh sesuai dengan amanat Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Perburuhan. Bisa saja undang-undang ini direvisi seperti tuntutan buruh kepada capres, namun secara simultan pemerintah juga bisa melakukan upaya paksa bagi perusahaan yang memberikan pekerjaan utama proses produksinya kepada perusahaan outsourcing71. Jika Parlemen terbentuk, secepatnya Pemerintah dalam hal ini presiden terpilih berinisiatif merevisi Undang Undang No. 13 dengan menambahkan pasal pasal denda atau pajak yang tinggi bagi perusahaan yang menggunakan perusahaan outsourcing untuk kegiatan pokok proses produksi. Kekurangan Undang-Undang No. 13 tentang outsourcing adalah tiadanya sanksi bagi perusahaan pemberi kerja yang menggunakan tenaga outsourcing untuk pekerjaan utamanya. Akhirnya celah ini dipakai pengusaha untuk mengeruk kentungan sebesar-besarnya walaupun telah mengeksploitasi keringat buruh. Disinlah mulai ada pergeseran mengenai fungsi outsourcing, yang seharusnya hanya diberikan untuk pekerjaan-pekerjaan bukan inti, seperti cleaning services atau satpam. Namun dalam perkembangannya Outsourcing seringkali mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya dia dapatkan bila menjadi karyawan permanen (kesehatan, benefit dkk). Outsourcing pada umumnya menutup kesempatan karyawan menjadi permanen. Posisi outsourcing selain rawan secara sosial (kecemburuan antar rekan) juga rawan secara pragmatis (kepastian kerja, kelanjutan kontrak, jaminan pensiun). Bahkan di beberapa perusahaan justru memberikan pekerjaan inti kepada karyawan dari outsourcing seperti PT KAI, yang memperkerjakan tenaga outsourcing untuk bagian penjualan tiket, porter, administrasi dan penjaga pintu masuk. Padahal pekerjaan-pekerjaan tersebut terkait langsung dengan jasa angkutan kereta api. Kemudian banyak 71 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/10/opi01.html perusahaan lainnya yang melakukan pelanggaran seperti ini. Umumnya tenaga kerja di outsource untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan tidak berkewajiban menanggung kesejahteraan mereka. Tenaga outsource juga tidak harus diangkat sebagai karyawan tetap sehingga beban perusahaan berkurang72. Inilah yang menjadi pemikiran bagi para karyawan, dimana outsourcing hanya dianggap sebagai suatu upaya bagi perusahaan untuk melepaskan tanggungjawabnya kepada kayawan, dengan alas an efesiensi dan efektifitas pekerjaan, outsourching ini dilakukan. Maka dalam outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing73. 1. Amanat para pendiri Republik yang terkandung di dalam Pasal 27 (2) UUD 1945 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak berlaku diskriminatif terhadap pekerja outsourcing. Meskipun pada mulanya sebagai pekerja outsourcing, namun setelah itu hendaknya harus diangkat menjadi pekerja tetap dengan segala haknya untuk mendapatkan penghidupan yang layak. 72 73 http://topanz.com/2009/09/outsourcing-masih-kental-di-perusahaan-negara.html http://blogs.unpad.ac.id/ramadhan_peksos/?p=27 2. Pola perjanjian kerja outsourcing tidak dapat disamakan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Untuk PKWT sifat pekerjaan dan waktu kerjanya memang terbatas karena merupakan jenis pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, sehingga apabila pekerjaannya telah selesai dilakukan maka berakhirlah hubungan kerja itu. Di dalam PKWT pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang bersifat pokok. Pada outsourcing sifat pekerjaannya adalah pekerjaan penunjang dan bukan pekerjaan pokok perusahaan, tetapi pekerjaan tersebut dilakukan secara terus menerus (cleaning servis, petugas keamanan, petugas parkir). 3. Pekerjaan-pekerjaan outsourcing tidak saja dilakukan oleh pekerja yang memiliki pendidikan menengah dan rendah, tetapi juga dilakukan oleh pekerja yang memiliki pendidikan tinggi, seperti akuntan. 4. Pasal-pasal yang mengatur mengenai outsourcing, harusnya dapat ditinjau kembali dengan diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan amandemen, karena jiwa pasal pasal tersebut tidak sesuai dengan pasal 27 (2) UUD 1945. 5. Dibuat suatu peraturan pelaksana yang didalamnya menyebutkan secara tegas tentang kualifikasi dari suatu pekerjaan tambahan/penunjang bagi pekerja/buruh outsourcing. 6. Perusahaan-perusahaan outsourcing, hendaknya tidak bernaung di bawah perusahaan penerima jasa karena hal tersebut adalah merupakan bentuk rekayasa dari perusahaan penerima pekerja. 7. Pekerjaan-pekerjaan yang bersifat pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi hendaknya tidak dimasukkan di dalam pola kerja outsourcing. 8. Perbedaan yang terjadi antara PKWT dan outsourcing di dalam prakteknya harus dibedakan dengan jelas. Agar tidak menimbulkan suatu kebingungan dan anggapan bahwa telah melanggar aturan hukum. 9. Bagi pekerja yang berpendidikan tinggi hendaknya tidak melakukan pekerjaan outsourcing, tetapi mereka dipindahkan kepada pekerjaan- pekerjaan pokok di perusahaan sehingga tidak menimbukan pemborosan sumber daya manusia74. B. PEMBAHASAN 1. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang lebih tinggi dan sederajat. A. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang lebih tinggi. Dalam hasil penelitian diatas telah dikemukakan pasal-pasal dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana pasal-pasal tersebut mengatur mengenai sistem pekerja kontrak waktu untuk waktu jangka pendek (outsourcing) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam penulisan ini penulis hendak menganalisis substansi materi dalam Pasal tersebut untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari pasal tersebut dalam mengatur mengenai outsourcing. Pasal-Pasal yang dimaksud tersebut adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). a. Pasal 64 “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. b. Pasal 65 74 http://rizazahari.blogspot.com/2008/07/outsourcing-alih-daya-dan-pengelolaan.html (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). b. Pasal 66 (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan75. Dalam penulisan ini, penulis mengkaji mengenai sinkronisasi UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UUD 1945. Dalam UUD 1945 terdapat beberapa Pasal yang dapat di sinkronkan kaitannya dengan outsourcing, Yakni : 1. Pada Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa Tujuan Negara Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alinea 4, yang berbunyi : “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam hal ini dijelaskan bahwa Tujuan Negara adalah untuk Memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. analisisnya : 75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan, Dalam pembukaan UUD 1945 diterangkan bahwa tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkait dengan Pasal 64, bahwa Pasal 64 menjadi dasar pelaksanaan outsourcing, dimana di dalam Pasal ini memperbolehkan dilaksanakannya outsourcing yang pada kenyataannya cenderung melanggar hak-hak tenaga kerja untuk mendapatkan kejelasan mekanisme dengan siapa buruh berstatus outsourcing ini harus melakukan perundingan, apakah dengan pihak yayasan yang menyalurkan, atau dengan perusahaan. sehingga posisi buruh yang berstatus outsorcing ini lemah, sebab tidak memungkinkan baginya untuk melakukan perundingan bersama, atau terlibat dalam serikat buruh. Keadaan ini jelas merugikan buruh, di lain sisi, ini menguntungkan pengusaha. Jelas bahwa kondisi ini bertentangan dengan asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pembukaan UUD 1945 alinea 4. 2. Pada Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dalam penjelasannya diakatakan bahwa Pasal ini mengatur tentang hak-hak warga Negara yang dalam hal ini adalah tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. analisisnya : Pasal 27 ayat 2 dirumuskan: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal ini merupakan pasal hak asasi yang ditujukan pada warga negara Indonesia dan mengandung dasar etika, khususnya etika kemanusiaan. Oleh sebab itu, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah jaminan sekaligus hak konstitusional setiap warga negara. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kita paham bahwa tenaga kerja adalah subyek hukum yang penting di perusahaan, tanpa adanya tenaga kerja, perusahaan juga tidak bisa melakukan kegiatan usahanya. Untuk itu sudah sepatutnya tenaga kerja benarbenar dihargai, diperhatikan serta dipenuhi hak-haknya, hal ini sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di legalkannya outsourcing ini mengesankan bahwa pembuat kebijakan acuh terhadap ketentuan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945. Tenaga kerja tidak mempunyai kejelasan terhadap sampai kapan dia bekerja, dan ketika masa kerjanya sudah habis, maka dia akan kebingungan lagi untuk mencari pekerjaan baru. Kondisi ini akan berlangsung selama hidupnya karena ia tidak mempunyai suatu pekerjaan tetap. Jaminan dari negara bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.tidak didapatkan oleh tenaga outsourcing. Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. 3. Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.”, substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Hak-hak tenaga kerja yang dilanggar ini berlangsung dalam kurun waktu selama Undang-Undang Ketenagakerjaan ini mulai berlaku yakni tahun 2003. Pemenuhan hak warga negara tentunya juga menjadi tanggungjawab dari pemerintah seperti tersirat dalam Pasal 28i ayat 4 UUD 1945. analisisnya : substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Hak-hak tenaga kerja yang dilanggar ini berlangsung dalam kurun waktu selama Undang-Undang Ketenagakerjaan ini mulai berlaku yakni tahun 2003. Pemenuhan hak warga negara tentunya juga menjadi tanggungjawab dari pemerintah seperti tersirat dalam Pasal 28i ayat 4 UUD 1945. pemerintah harus bisa menjadi penjembatan yang adil dan objektif antara pemilik modal dan pekerja/buruh. Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 28i ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. 4. Pada Pasal 33 ayat 1 dan 4 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. ,dijelaskan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang demikian tidaklah berwatak “free fight liberalism”, melainkan kebersamaan dan demokrasi ekonomi. analisisnya : Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang demikian tidaklah berwatak “free fight liberalism”, melainkan kebersamaan dan demokrasi ekonomi. Sistem yang dibangun dengan adanya outsourcing ini adalah suatu sistem ekonomi yang liberal, sama sekali tidak menguntungkan tenaga kerja. Ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat 1 dan 4 UUD 1945 bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang demikian tidaklah berwatak “free fight liberalism”, melainkan kebersamaan dan demokrasi ekonomi. dalam pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan di ayat 1, bahwa: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang demikian tidaklah berwatak “free fight liberalism” yang mengusung kompetisi bebas tanpa mempedulikan sisi kebersamaan, kolektifitas, dan perlindungan kaum lemah. Oleh sebab itu, pondasi UUD 1945 telah memberikan kejelasan arah politik-ekonomi bangsa dan negara Indonesia yang semestinya diperkuat melalui kebijakan implementasi di lapangan. Istilah kasarnya adalah bahwa tenaga kerja masih ”terombang-ambing” hidupnya karena belum memiliki suatu pekerjaan yang tetap, yang dapat menjamin kesejahteraan di hari tuanya. Keadaan yang terombang-ambing dan ketakutan terhadap habisnya waktu kerja bisa menyebabkan perkembangan jiwa yang tidak baik, selain itu pekerja dengan sistem outsourcing cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi, ekonomi produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masya rakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonmian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang, Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 33 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945. B. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang sederajat 1. Sinkronisasi pengaturan outsourcing antara Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sendiri. Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi : ”Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. dijelaskan bahwa Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Dalam penjelasannya disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. analisisnya : Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja. Pemerintah sudah berupaya untuk mengurangi angka pengangguran dan juga meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja di Indonesia. Namun dilema pemerintah adalah antara tenaga kerja atau kepada pengusaha (si pemiliki lapangan pekerjaan). Salah satu upayanya adalah dikeluarkan undang-undang No 12 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan, kemudian pada salah satu pasalnya yaitu 64, 65 dan pasal 66 memungkinkan perusahaan melakukan outsourcing. Permasalahan timbul ketika dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi : ”Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. menjelaskan bahwa Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketika dasar hukum outsourcing disalahgunakan oleh para pelakunya, outsourcing semestinya boleh diterapkan, tetapi para pengusaha juga harus memperhatikan bagaimana kesejahteraan para pekerja/buruh, tidak secara semena-mena atau sepihak memutuskan segala sesuatu tanpa pembicaraan terlebih dahulu dengan pekerja/buruh yang akhirnya dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan para pekerja/buruh dan muaranya adalah berpengaruh pada penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sesuai yang diamanatkan pada Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003. Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). a. Pasal 64 “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. analisisnya : Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” b. Pasal 65 (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara dipekerjakannya. perusahaan lain dan pekerja/buruh yang (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). analisisnya : Pasal 65 adalah salah satu dasar dibolehkannya outsourcing. Kemudian didukung oleh Pasal 65 adalah mengatur tentang perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu salah satu jenis outsourcing yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kelemahan dalam Pasal tersbut dapat dilihat ketika dianalisis dengan membandingkan substansinya dengan Perundang- Undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. c. Pasal 66 (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. PENJELASAN : Ayat (1) Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. analisisnya : Pasal 66 mengatur : Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja; perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak; perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis. Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa : “Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”76 Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undangundang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa : ”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan 76 ] R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5. kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.” Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan. Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis.77 Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :78 1. Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan. 2. Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis. 3. Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang. 4. Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali. Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, 77 78 Ibid., hal.6. Ibid., hal.7 yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.79 2. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 1. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) yang berbunyi : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”., dalam penjelasannya disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan "perlindungan" adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia. substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Campur tangan Pemerintah termasuk legislatif sangat besar dalam memenuhi hak-hak warga negara, termasuk di dalamnya adalah tenaga kerja.lahirnya Undang-Undang yang represif ini justru menimbulkan penilaian bahwa para pembuat kebijakan kurang bisa memenuhi rasa keadilan, dan kemanfaatan dalam masyarakat. analisisnya : substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Campur tangan Pemerintah termasuk legislatif sangat besar dalam memenuhi hak-hak warga negara, termasuk di dalamnya adalah tenaga kerja.lahirnya Undang-Undang yang represif 79 Ibid., hal 8. ini justru menimbulkan penilaian bahwa para pembuat kebijakan kurang bisa memenuhi rasa keadilan, dan kemanfaatan dalam masyarakat. Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. 2. Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak”. analisisnya : substansi dalam Pasal tersebut adalah Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Sehingga penerapan outsourcing juga harus memperhatikan segi kebutuhan dan kelayakan setiap buruh/pekerja outsourcing. Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan 3. Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) Substansinya adalah (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil; (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama; (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. analisisnya : Substansinya adalah (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil; (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama; (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. Pengaturan outsourcing dalam UU ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus memberikan bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam prakteknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya itu sendiri. Hanya saja, disarankan untuk lebih memperbanyak atau memperkuat argumentasi yuridis bahwa UU ini memang dibutuhkan Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Dasar hukum outsourcing dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 3. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang No.11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), yaitu : a. Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya: i. Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya tanpa pembedaan apapun, khususnya bagi perempuan harus dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; ii. Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka; b. Keselamatan dan kesehatan kerja; c. Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan; d. Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan berkala dengan digaji maupun imbalan pada hari libur umum. analisisnya : Substansi dalam pasal tersebut adalah Hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan khususnya menjamin: a. Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurangkurangnya: (i)Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya tanpa pembedaan apapun, khususnya bagi perempuan harus dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; (ii)Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka; b. Keselamatan dan kesehatan kerja; c. Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan; d. Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan berkala dengan digaji maupun imbalan pada hari libur umum. Pekerja/buruh outsourcing selama ini gampang dipecat dan direkrut. Ini disebabkan buruh ditempatkan sebagai faktor produksi semata (alias sebagai barang dagangan) dalam skema kerja kontrak maupun outsourcing, dimana skenario kelenturan pasar buruh ditentukan oleh gampang tidaknya buruh-buruh dipecat dan direkrut lagi dengan upah murah (hiring and firing politics). Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Dasar hukum outsourcing dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini belum memiliki legitimasi yang cukup baik dalam pengaturan outsourcing, baik dari sisi yuridis maupun sosiologis. Apalagi bila di sinkronkan dengan Peraturan PerUndang-Undangan yang lebih tinggi atau sederajat, antara lain : 1. Pertama, secara ideologis, lahirnya pasal-pasal kerja kontrak dan outsourcing yang merugikan buruh adalah produk dominan neoliberalisme yang sungguh sangatlah bertentangan dengan watak ekonomi bangsa Indonesia yang dianut dalam pasal 33 UUD 1945, berdasar atas asas kekeluargaan dan kebersamaan (disebut pula sebagai “ekonomi kerakyatan”). Pasal kerja kontrak dan outsourcing yang disangkut-pautkan dengan daya kompetitif investasi (labour market flexibility) adalah bukti nyata nan jelas berbasis pada pemberian peluang kekuatan bebas para pemodal untuk mendeprivasi asas-asas ekonomi kerakyatan. Singkatnya, pertarungan ideologis antara ekonomi kerakyatan vs. ekonomi neo-liberal. 2. Kedua, dari sisi jaminan kelayakan bekerja, bahwa konsekuensi kerja kontrak dan outsourcing telah secara langsung mengurangi hak-hak buruh, utamanya menyangkut berbagai tunjangan, jaminan sosial (social security) dan keamanan bekerja secara layak (proper job security).2 Status dan hak antara pekerja tetap dengan pekerja kontrak adalah jelas berbeda, utamanya menyangkut dua hal tersebut. Banyak ditemukan fakta bahwa pementingan efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan investasi akan mendorong kebijakan upah buruh murah dan berakibat pada berkurangnya jaminan sosial dan keamanan bekerja bagi buruh (Standing 1999). Artinya, politik investasi yang represif justru berpotensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh Indonesia. 3. Ketiga, inkonsistensi penerapan hubungan kerja. Bila dilihat dari definisi Hubungan Kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003, pasal 1 ayat (15) yang menyatakan: hubungan kerja adalah hubungan hukum yang timbul antara pekerja dan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja yang memiliki ciri-ciri adanya upah, adanya perintah, dan adanyapekerjaan. Namun, dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a dinyatakan bahwa antara perusahaan penyedia jasa pekerja dipersyaratkan harus ada hubungan kerja. Padahal antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja hubungan hukumnya tidak memenuhi unsur perintah, pekerjaan dan upah. Tetapi dalam Pasal 66 ayat (2) diharuskan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan penyedia jasa pekerja. Penerapan hubungan kerja yang inkonsisten demikian sesungguhnya – sekali lagi - tidak sesuai dengan model demokrasi ekonomi dan prinsip kebersamaan sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat (4) UUD 1945. 4. Keempat, buruh gampang dipecat dan direkrut. Ini disebabkan buruh ditempatkan sebagai faktor produksi semata (alias sebagai barang dagangan) dalam skema kerja kontrak maupun outsourcing, dimana skenario kelenturan pasar buruh ditentukan oleh gampang tidaknya buruh- buruh dipecat dan direkrut lagi dengan upah murah (hiring and firing politics). 5. Kelima, jaminan hukum penjualan manusia modern (legalized modern slavery). Kalangan lain menyebutnya sebagai perbudakan zaman modern. Legalisasi “pemborongan pekerjaan” (outsourcing) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 – 66, merupakan praktek jual beli manusia yang memanfaatkan situasi keterpurukan ekonomi, sehingga buruhlah yang musti dikorbankan dalam politik investasi, paling gampang diperbudak serta diperlakukan sebagai sapi perahan para pemilik modal semata. Argumentasi bahwa dalam prakteknya outsourcing telah berlangsung dan “daripada tidak diatur lebih baik diatur” tidak bisa menjadi alasan, karena dalam prakteknya buruh Indonesia pun sejak lama sudah harus mengalami hal tersebut. 6. Keenam, paradigma konflik. Paradigma hukum seharusnya dijadikan dasar di dalam pembentukan suatu undang-undang, yaitu paradigma kemitraan (partnership), tentunya dengan landasan UUD 1945 pasal 33. Namun dalam kenyataannya, UU No. 13 Tahun 2003 justru bukan menerapkan paradigma kemitraan yang harus dijadikan landasan teoritis untuk menyusun undang-undang, melainkan paradigma konflik.80 Pengaturan outsourcing dalam UU ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus memberikan bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam prakteknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya itu sendiri. Hanya saja, disarankan untuk lebih memperbanyak atau memperkuat argumentasi yuridis bahwa UU ini memang dibutuhkan. Oleh karena itu untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga tercapai 80 tujuan untuk melindungi pekerja/buruh,diperlukan Pengawas Uwiyono, Aloysius (2003) “Keterangan sebagai Saksi Ahli”, Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta. Ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat di samping perlunya kesadaran dan itikad baik semua pihak. Sebenarnya, pertentangan ini tidak sekadar dengan konstitusi belaka, melainkan pula banyak bertabrakan dengan sejumlah peraturan perundangundangan lainnya, utamanya menyangkut hak asasi manusia. Perlu dikemukakan pula bahwa UU tersebut telah pernah diujikan ke Mahkamah Konstitusi, dimana diantara 9 hakim, hanya dua yang menentang (dissenting opinion) aturan kerja kontrak dan outsourcing dalam UU No. 13 Tahun 2003, yakni Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar dan H. M. Laica Marzuki. Menurut mereka berdua, ”Kebijakan outsourcing yang tercantum dalam Pasal 64 – 66 UU Ketenagakerjaan telah mengganggu ketenangan kerja bagi buruh/pekerja yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) dan men-downgrading-kan mereka sekedar sebagai sebuah komoditas, sehingga berwatak kurang protektif terhadap buruh/pekerja. Artinya, UU Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945” 81 Sementara 7 hakim lainnya berpendapat dengan pertimbangan bahwa keterpautan kepentingan asing dalam pembuatan hukum satu negara yang dimasukkan melalui persuasi untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi pihak yang terkena dampak satu undang-undang, tidak dapat dikatakan merupakan campur tangan dalam kedaulatan satu negara, sepanjang kewenangan untuk membentuk undang-undang itu tetap dilakukan secara bebas dan independen oleh pembuat undang undang, tanpa paksaan, tipu daya dan intervensi kekuatan secara langsung. Kepentingan modal asing wajar dipertimbangkan secara bebas dan mandiri oleh pembuat undang-undang dengan memperhatikan kepentingan nasional82. Sungguh pemikiran yang demikian absurd dan mengingkari dimensi ideologi usaha ekonomi berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 serta gagal untuk 81 82 Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor: 012/PUU-I/2003, Kamis, 28 Oktober 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor: 012/PUU-I/2003, Kamis, 28 Oktober 2004 memahami konteks paradigma kebijakan yang benar-benar merugikan hak-hak buruh. Dengan keenam argumentasi yang disebutkan sebelumnya di atas, sesungguhnya pasal-pasal tentang kerja kontrak dan outsourcing dalam UU No. 13 Tahun 2003 jelaslah bermasalah dan bertentangan dengan tidak saja dengan UUD 1945 sebagai hukum dasar dan tertinggi di Indonesia, namun juga bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Dari perspektif etika, tidak terlampau susah untuk menyatakan bahwa aturan kerja kontrak dan outsourcing yang demikian telah mereduksi nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar filsafat negara serta pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Lalu, apa arti memperlakukan secara “layak” dan “kemanusiaan” bila manusia telah dianggap seperti barang, yang diperdagangkan dan diperbudak. Hal ini jelas dapat dikatakan unjust law is not law (hukum yang tak adil bukanlah hukum), karena kehilangan esensinya hukum sebagai pelindung kaum yang lemah. Oleh karena itu tidak begitu mengherankan bila kini kita dengan mudah menyaksikan betapa ia berdampak pada tidak kondusifnya dan kontraproduktifnya masalah outsourcing di Indonesia, pun tidak pula mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran. Mantra yang keliru, inilah politik hukum perburuhan kita hari ini yang sungguh legalized and systematic human rights violation (melanggar hak asasi manusia secara sistematik dan terlegalkan). 2. Kontroversi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 melanggar hak-hak tenaga kerja Tahun 1980,angin neoliberal berhembus ke Indonesia. Kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi mulai di terapkan, mulai dengan melancarkan berbagai paket deregulasi semenjak tahun 1983. Saat itu, Indonesia sudah mulai terikat dengan IGGI, IMF dan World Bank. Kebijakan Indonesia yang berbau neoliberal mulai kentara di bidang moneter dan keuangan;bidang fiscal;bidang perdagangan;bidang investasi. Dibidang investasi, pada bulan Mei 1986, 95% pemilikan asing dimungkinkan untuk melakukan investasi berorientasi ekspor diizinkan mendistribusikan produknya di dalam negeri dan perusahaan patungan dapat memperoleh kredit ekspor dari pemerintah. Kemudian pada tanggal 23 Oktober 1993, dikeluarkan Paket Oktober ( Pakto ) 1993, yaitu paket deregulasi sector riil, diantaranya ijin investasi langsung dapat diurus di tingkat kabupaten dan kotamadya dan penghapusan berbagai surat dan persetujuan. Setelah dikeluarkannya PP No 20 Tahun 1994,tanggal 2 Juni 1994, pemilikan modal asing dibolehkan hingga 95%-100%, termasuk penguasaan atas sarana hajat hidup orang banyak, seperti pelabuhan, tenaga listrik, kereta api, pembangkit tenaga nuklir dan media massa. Tahun 1994, Indonesia belum berurusan dengan SAP (Structural Adjusment Proggrame).SAP adalah economy therapy dari IMF dan World Bank bagi negara yang menderita krisis ekonomi. Baru pada tahun 1997, pasca krisis di Thailad, Indonesia terjebak dalam SAP. Aturan pokok yang menjadi ruh dari tubuh bernama SAP ini diantaranya: 1. Aturan Pasar, membebaskan perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Kontrol harga yang diserahkan pada pergerakan modal, barang dan jasa. 2. Memotong Pengeluaran Publik dalam Hal Pelayanan Sosial, pengurangan subsidi yang terus menerus di berbagai sector, seperti pendidikan, kesehatan, safety net untuk orang miskin, dll. Tetapi akan ada alokasi untuk subsidi dan pengurangan pajak usaha, atau manfaat pajak ( tax benefit ) bagi pengusaha. 3. Deregulasi, mengurangi peraturan-peraturan pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha. 4. Privatisasi, menjual BUMN dibidang barang dan jasa kepada investor swasta. 5. Menghapus Konsep Barang Publik (Public Goods), menggantinya dengan tanggungjawab individual, yaitu menekan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas persoalan kemiskinan. SAP sendiri terdiri dari beberapa komponen; Liberalisasi impor dan fleksibilitas modal 1. Devaluasi 2. Kebijakan moneter dan fiscal dalam bentuk pembatasan kredit , peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji. Sementara paket kebijakan deregulasi, yaitu; Menghilangkan intervensi pemerintah secara perlahan, supaya tidak mendistorsi pasar. 1. Privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi, termasuk terhadap apa yang dikuasai oleh negara. 2. Liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi, termasuk penghapusan proteksi. 3. Memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar. Untuk mendapatkan profit dibutuhkan modal dan untuk selanjutnya perlu dibentuk perusahaan sebagai wadahnya, dan rupa-rupanya outsourcing sekarang menjadi salah satu metode yang diperlukan untuk mendapatkan profit tersebut. Metode untuk mendapatkan profit bisa menggunakan cara halus maupun kasar. Cara kasar telah dipraktekkan dalam sejarah industri seperti praktek di era imperialisme. Perusahaan besar (contoh: VOC) menyerobot tanah rakyat dan memaksa rakyat menjadi tenaga kerjanya tanpa upah yang memadahi. Bentuk praktek seperti itu terus berlangsung hingga kini. Hanya saja, seiring gerakan demokrasi dan gerakan penegakan HAM, praktek tersebut mengalami metamorfosa sehingga berubah sangat halus (menindas secara terselubung). Perlu disadari, bahwa para penyembah kapital (pengusaha dengan perusahaannya) itu tidaklah satu adanya. Ada sekian banyak para pengusaha lain yang sama dalam tujuannya mengeruk profit. Antara penyembah yang satu dengan yang lain, tak jarang saling kalah mengalahkan terutama bagi para penyembah profit yang bergerak di bidang yang sama, dalam produk yang sama pula. Dan terjadilah persaingan. Pada tahun 1990-an, di Indonesia dan beberapa Negara Asia mengalami krisis akumulasi profit. Dalam mekakukan usahanya, mereka mengalami kesulitan mendatangkan profit. Dalam ilmu ekonomi fenomena itu sering diartikan saat dimana modal diolah menjadi barang dan jasa ternyata tidak mampu menciptakan hasil kembalinya modal plus keuntungan. Di Indonesia peristiwa ini terjadi dikarenakan adanya utang swasta maupun utang pemerintah dan macetnya kridit bank bagi para penyembah profit. Dalam kondisi seperti ini, pundi-pundi sumber produksi sesembahan para penyembah profit berhenti mengucur. Maka, dilakukanlah segala upaya untuk mengatasi problemnya tersebut. Diuraikanlah segala faktor penghambat proses produksinya yang membebaninya. Salah satunya adalah unsur beban produksi dari tenaga kerja (upah). Upah harus ditekan. Maka, untuk bisa menang dalam persaingan, penyembah profit sepakat agar upah harus ditekan. Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing dimana dengan sistem ini, perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Selanjutnya disebutkan, Pada pelaksanaannya, menimbulkan beberapa permasalahan terutama pengalihan ini masalah ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan outsorcing yang berlaku dalam UU No 13/2003, kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi di-suplay oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsorcing). Di satu sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja. Kesepakatan mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu, baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan sebab akibat antara bekerja dan mendapatkan hasil yang dialami buruh tidak lagi mempunyai hubungan secara langsung. Bila tanpa lembaga penyalur, buruh memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja sebagai majikan, kini harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar management fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, baru ia memperoleh kucuran upah. Proses di atas menunjukkan bagaimana kerja sebagai tindakan sosial manusia dan hasilnya sebagai hak yang seharusnya bisa didapatkan secara langsung, tidak berjalan. Di satu sisi, upah yang berupa uang tak ada kaitan apa pun dengan hasil riel dari pekerjaannya di pabrik. Buruh di pabrik memproduksi apa pun, hasil yang ia dapat adalah uang yang nilai tukarnya tidak ada kaitannya dengan nilai guna dan nilai tukar yang ia ciptakan. Di sisi lain, untuk mendapatkan upah berupa sejumlah uang tersebut, buruh harus mengikuti prosedur majikan pertama dan kedua. Selain relasi buruh majikan yang semakin kompleks, buruh juga makin terasing dari hakekatnya sebagai manusia. Mematahkan Tuntutan Buruh Upaya menekan biaya tenaga kerja juga dilakukan dengan system kontrak seperti diatur dalam UU No 13/2003. Dengan system kerja tersebut, perusahaan tempat bekerja si buruh tidak perlu lagi susah-suah memikirkan dan menanggung tunjangan hari tua, tunjangan kesehatan, tunjangan istri, anak, dll. Besarnya beban tenaga kerja cukup mengikuti jumlah yang diatur, misalnya UMK yang dibuat dan dilegalkan dengan jumlah sekecil mungkin sehingga tidak memberatkan pengusaha. Sistem kontrak tentunya ditentang oleh buruh sebab membawa dirinya dalam ketidakpastian masa depan. Agar pertentangan tersebut tidak merepotkan pengusaha, maka perlu dibuat sistem dan alat untuk memperkuat berjalannya sistem kontrak. Sistem dan alat tersebut adalah system outsorcing berikut lembaganya. Setelah sistem kontrak berlaku, perusahaan utama yang akan berproduksi memerintahkan perusahaan outsorcing untuk menyediakan tenaga kerja yang nantinya harus tunduk pada sistem kontrak. Penundukkan itu dilakukan melalui kesepakatan bahwa pihak perusahaan yang membutuhkan buruh milik perusahaan outsorcing boleh mengakhiri masa kerjanya dalam waktu yang ditentukan sesuai kebutuhan (sewaktu-waktu sesuai perjanjian kontrak). Sebagai imbalannya, lembaga penyalur tersebut mendapat management fee. Selain sistem kontrak, outsorcing juga bisa mengontrol tuntutan upah tinggi oleh si buruh. Buruh bekerja mengharapkan imbalan yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya (sebesar-besarnya). Pengusaha sebisa mungkin memberikan imbalan sekecil-kecilnya untuk menekan biaya produksi. Perbedaan kepentingan menimbulkan gesekan. Antar buruh kemudian berserikat dan menentang majikan. Meladeni tuntutan itu mengakibatkan pengusaha membuang energi dan waktunya untuk mencetak keuntungan. Agar pertentangan tersebut tidak membebani pengusaha, dibutuhkan pihak ketiga untuk mengurusnya. Pihak ketiga tersebut adalah lembaga penyalur tenaga kerja. Lembaga penyalur tenaga kerja tersebut dibentuk untuk berhadaphadapan bila buruh mempermasalahkan upahnya. Namun, apabila ia mau mempermasalahkanpun, tiada ruang. Sebab, si buruh telah menandatangani sistem kontrak di awal kerjanya, ia sudah tak ada waktu lagi untuk bisa menuntut kenaikan upah. Masa kerja yang ditentukan selesai, maka tak ada relasi lagi bagi buruh untuk berharap lebih. Sistem outsorcing merupakan senjata ampuh agar buruh tidak berkutik. Kebergantungan Buruh Sejak awal, mesin pencetak profit (baca: perusahaan) membutuhkan banyak tenaga kerja untuk menjalankan mesin-mesin produksinya. Sejak itu pula, dilakukan upaya untuk menciptakan tenaga kerja. Melalui proses panjang, dilancarkanlah sistem ekonomi uang. Uang dipakai sebagai alat tukar dalam segala bidang. Dampak yang hingga kini dirasakan, adalah kebergantungan manusia terhadap uang. Uang tidak hanya telah menjadi alat untuk menukar kemewahan hidup tetapi bahkan telah menggantikan tujuan manusia untuk sekedar hidup. Untuk sekedar bisa hidup, masusia hanya membutuhkan makan, pakaian dan termpat tinggal ala kadarnya. Namun untuk memenuhi sekedarnya pun, sekarang membutuhkan duit. Di Indonesia, lahan pertanian tidak lagi bisa dilirik untuk menopang hidup karena sudah dihancurkan produk pertanian import. Lahan pertanian makin habis digusur pabrik. Home industri penenunan kain sudah hancur oleh pabrik tekstil dan garmen. Akibatnya banyak orang Indonesia bergentayangan hanya memiliki tenaga-nya untuk bisa dijual dan mendapatkan uang. Uang, lagi-lagi menjadi sumber kebergantungan. Membludaknya tenaga kerja Indonesia merupakan lahan empuk memberlakukan sistem outsourcing. Kendati seperti di awal tulisan diungkapkan, konsepnya saja sudah menindas, akan tetapi tetap laris manis dijalani oleh buruh. Entah sadar atau tidak akan kejahatan sistem outsourcing, buruh tetap saja nyemplung dalam perangkap tersebut. Jebakan itu terpaksa dipilih karena buruh sudah tergiring dan terkondisikan bergantung pada system yang dibuat oleh para penyembah profit (baca: kapitalisme). Alih-alih ingin hidup memenuhi kebutuhannya, ternyata buruh terjerat dalam perangkap penghisapan. Di sana mereka harus menjalani hari-hari penuh ketersiksaan yang menggeretakkan jiwa raganya. Persaingan bisnis saat ini semakin global dan tajam. Hal tersebut menyebabkan hanya perusahaan yang fleksibel, memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk bermutu, dan mampu menjalankan efisiensi biaya yang mampu bertahan dan tetap hidup untuk bersaing di pasaran. Oleh karena itu, perusahaan harus benar-benar menghitung berapa biaya yang dikeluarkan, terutama biaya tetap. Biaya tetap tersebut antara lain adalah gaji para karyawan yang dalam keadaan perusahaan menurun tidak dapat dipangkas. Dalam kondisi demikian, perusahaan otomatis akan berusaha meminimalkan biaya. Untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production), ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan sistem outsourcing. Fungsi outsourcing ini dapat menghemat biaya dan pengeluaran dalam hal pembiayaan sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan tersebut. Saat ini outsourcing dapat digunakan bukan saja untuk mencari karyawan yang fungsinya sebagai level clerical saja melainkan sampai pada level managerial. Oleh karena itu kita dapat melihat hal ini sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk membantu perusahaan. Dengan diperkenankannya menggunakan tenaga kerja outsourcing oleh pemerintah yang tercantum dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, keuangan perusahaan menjadi tertolong. Perusahaan dapat merencanakan keuangan lebih tepat karena kontrak yang dilakukan antara perusahaan dan perusahaan jasa outsourcing sudah dibuat dalam satu paket, yaitu untuk jangka 23 tahun. Kontrak yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kontrak antara perusahaan jasa outsourcing dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Sementara itu, kontrak karyawan yang dipekerjakan adalah dengan perusahaan outsourcing, bukan di perusahaan tempat mereka ditempatkan. Adapun argumen-argumen yang digunakan oleh perusahaan untuk melakukan outsourcing adalah karena dunia industri sangat berfluktuatif. Ada saatnya permintaan sebuah produk meningkat. Namun, di waktu lain permintaan sebuah produk menurun. Jika hal ini terjadi, karyawan tidak lagi ada pekerjaan. Jika karyawan berstatus permanen, biaya yang dikeluarkan akan tinggi. Argumen lain yang dapat dikemukakan adalah untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan. Ketika kompetitor telah mengubah praktik hubungan kerja mereka dengan memotong ongkos produksi dan meningkatkan efisiensi, otomatis sebuah perusahaan harus melakukan hal yang sama sehingga produktifitas per kapita diharapkan dapat meningkat. Selain itu, outsourcing menjadi pilihan ketika sebuah organisasi perusahaan baru berdiri dan sedang mencari pijakan. Dengan demikian, perusahaan tersebut dapat berkonsentrasi pada bisnis intinya. Perusahaan pun dapat memberikan pelayanan jasa yang lebih baik dan lebih ekonomis. Dengan berfokus pada bisnis inti, biaya pengeluaran perusahaan yang dapat dihemat sekitar 30% jika menggunakan jasa outsourcing. Namun, dengan catatan bahwa jasa outsourcing yang digunakan harus reliabel dan fleksibel untuk beradaptasi dalam perubahan bisnis. Jadi berdasarkan pemaparan di atas, tujuan menggunakan perusahaan jasa outsourcing adalah tidak lain agar lebih efisien, menekan biaya, dan perusahaan dapat fokus pada masalah bisnis intinya. Namun, untuk memutuskan menggunakan jasa outsourcing, sebuah organisasi perusahaan dipastikan akan melakukan analisis biaya. Analisis yang biasa dilakukan tersebut meliputi : 1. biaya mencari jasa penyedia outsourcing yang reliabel, 2. biaya melatih para staf, 3. biaya mengatur proses outsourcing, 4. biaya memelihara dan mempertahankan kualitas pelayanan. Dengan melakukan analisis biaya, efisiensi tidak hanya berdampak pada pengurangan biaya tiap bulannya saja, tetapi dapat juga mengurangi biaya iklan untuk rekrutmen, perekrutan karyawan itu sendiri, pelatihan karyawan, dan penilaian kinerja karyawan dalam suatu perusahaan. Apabila dalam prosesnya hal ini ditangani dengan baik oleh pihak outsourcing sesuai dengan perjanjian yang telah disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing perusahaan, maka hal ini akan sangat membantu perusahaan dalam hal efisiensi kerja dan biaya. Perusahaan tidak perlu lagi menghabiskan waktu dalam mengatur karyawan yang fungsinya sebagai pendukung kegiatan operasional perusahaan. Agar penerapan outsourcing dapat mencapai hasil optimal dengan resiko yang minimal, perusahaan perlu melakukan analisis, baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebelum membuat keputusan outsourcing. Hal paling dasar yang perlu dilihat adalah memahami rantai budaya perusahaan (value chain) dan hubungan aktivitas-aktivitas dalam value chain tersebut. Value chain adalah seperangkat aktivitas yang saling berhubungan menciptakan nilai, mulai dari basic raw material sampai dengan produk atau jasa akhir yang dikirim kepada konsumen. Konsep value chain dikemukakan oleh Porter sebagai suatu alat analisis dalam mengidentifikasi sumber-sumber dan potensi bagi keunggulan kompetitif perusahaan. Suatu perusahaan dapat mengembangkan keunggulan kompetitifnya dengan salah satu dari dua strategi, yaitu low-cost strategy dan differentiation strategy. Fokus utama dari low-cost strategy adalah mencapai cost yang lebih rendah secara relatif terhadap kompetitor (cost leadership). Cost leadership dapat dicapai dengan beberapa pendekatan antara lain economic of scale in production, experience curve effects, tight cost control, dan cost minimization dalam area R&D, sales, atau advertising. Secara umum proses outsourcing dapat dilakukan dengan planning, seleksi strategi, cost analysis, seleksi vendor outsourcing, negosiasi, transisi resource, dan hubungan manajemen. Cost analysis dalam kerangka outsourcing merupakan aktivitas pendataan main cost dari aktivitas yang di-outsource- kan sebelum dan sesudah, serta evaluasi dampak business value. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah pengelompokkan biaya yang berpengaruh/signifikan. Setelah outsource, perusahaan perlu juga menghitung ulang analisa dampak setelah outsource. Sekali lagi gunakan cost-benefit analysis untuk mendapatkan hasil dari outsourcing apakah berdampak negatif atau posifit untuk perusahaan. Biaya outsourcing memiliki struktur yang lebih sederhana dibandingkan dengan non-outsourcing sehingga meringankan perusahaan pemakai jasa outsourcing. Pada umumnya, struktur biaya outsourcing terdiri dari gaji bulanan plus THR, biaya lembur, basic benefit, asuransi atau Jamsostek, medical, biaya proses kerja, dan biaya manajemen. Sementara itu, struktur biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk karyawan non-outsourcing lebih kompleks karena perusahaan harus mengeluarkan biaya mulai dari proses rekruitmen sampai dengan biaya pensiun. Secara umum, perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk biaya rekruitmen, seperti iklan di surat kabar dan proses seleksi, biaya pelatihan dan pengembangan, gaji bulanan dan THR, upah lembur, cuti, rekreasi, insentif, asuransi, tunjangan, Jamsostek, biaya kesehatan, dan dana pensiun. Selain itu, perusahaan juga perlu mengeluarkan biaya lain yang terkait dengan resiko pekerjaan, legal issue, serta biaya terkait kententuan PHK. Karena itu, outsourcing lebih menguntungkan bila dilihat dalam paradigma jangka panjang. Sebelum menetapkan outsourcing, perusahaan harus memiliki strategi harga (pricing outsourcing). Dalam pricing outsourcing harus secara tegas dihitung apa saja biaya yang dibutuhkan agar perusahaan dapat beroperasi. Pola penghitungan management fee harus didasarkan pada komponen biaya yang jelas dan dapat menutupi operasional bisnis serta menghasilkan laba. Struktur biaya outsourcing (structure cost outsourcing)secara umum terdiri dari biaya rekruitmen (iklan, seleksi, tes, dan administrasi), biaya yang langsung diberikan kepada pekerja (gaji, makan, transportasi, Jamsostek, insentif, asuransi kesehatan), biaya pengembangan dan retention yang meliputi pelatihan, motivasi dan team building. Biaya lain yang juga penting untuk dipertimbangkan adalah biaya resiko dan penempatan (risk and replacement cost), biaya administrasi dan transfer bank, pajak penghasilan, dan management fee. Research reveals that 50 percent of outsourcing deals end up in relationship divorce. It's often because too many executives see it as a way to simply get rid of an information technology headache.83 Sebelum melakukan analisis, setiap kali perusahaan akan melakukan outsourcing, perusahaan harus melakukan perjanjian terlebih dulu dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing. Perjanjian dalam penyediaan tenaga outsoursing itu terdiri dari proses rekrutmen tenaga kerja outsourcing, seleksi, administrasi, manajemen tenaga kerja outsourcing. Pada umumnya, semua proses tersebut dilakukan oleh penyedia jasa outsourcing. Sebelum proses itu dilakukan, perusahaan terlebih dulu melakukan negosiasi dengan perusahaan penyedia outsourcing. Negosiasi menjadi faktor krusial karena pada hakekatnya perusahaan penyedia jasa outsourcing sama dengan perusahaan-perusahaan bisnis lainnya, yakni mencari keuntungan (profit oriented), sehingga perlu ada perjanjian untuk meminimalkan resiko yang dihadapi kedua belah pihak. Selain itu, perusahaan outsourcing membutuhkan dana yang tidak sedikit dan berasal dari modal sendiri, bank atau pinjaman lain yang harus dikembalikan dari penghasilan (revenue) agar dapat beroperasi. Kemudian, setiap perusahaan outsourcing harus berkembang untuk menghadapi perkembangan situasi serta kompetisi. Untuk itu, perusahaan outsourcing harus dapat mencetak laba yang cukup dan sehat. 83 Tim R. Holcomb, Michael A. Hitt. 2007. Toward a model of strategic outsourcing Journal of Operations Management, 25(2), 464–481, http://www.allbusiness.com/chief-executive-us/20040501/2989866-1.html Negosiasi perjanjian outsourcing juga penting karena setiap entitas perusahaan terkena kewajiban menjalankan undang-undang dan peraturan yang berlaku dengan baik dan benar. Misalnya, peraturan mengenai ketenagakerjaan, pajak, Jamsostek, Upah Minimum Provinsi (UMP), maupun kontrak kerja. Pada sisi yang lain, perusahaan outsourcing sebagai perusahaan yang penyedia jasa harus memiliki Pelayanan yang handal, kinerja yang baik, reputasi yang positif, perhatian terhadap manajemen mutu (pelayanan), SDM yang tersedia dengan kualitas yang baik, serta memiliki kantor yang representative, kemampuan keuangan (cashflow), manajemen yang handal, program pengembangan karyawan, dan memiliki tanggung jawab dan komitmen. Perjanjian dalam outsourcing merupakan hal penting untuk menjamin keberlangsungan perusahaan. Sebab, perusahaan outsourcing juga memiliki resiko yang akan berdampak pada perusahaan pemakai jasa outsourcing. Beberapa resiko yang dihadapi perusahaan pemakai jasa outsourcing, yakni: 1. Sakit, meninggal, atau kecelakaan; 2. Mogok kerja; 3. Tindakan kriminal; 4. Tidak sesuai dengan spesifikasi; 5. Kerusakan atau kehilangan alat dan barang; 6. Replacement; 7. Provider melalaikan kewajiban. Selain itu, perjanjian berperan penting agar standar mutu pekerjaan outsourcing tetap terjaga. Beberapa hal yang bisa menyebabkan resiko penurunan standar mutu pekerjaan outsourcing, yakni: 1. Management fee yang sangat minim atau bahkan tidak ada management fee (free) menyebabkan adanya pemotongan hak-hak karyawan yang sangat signifikan mencapai 25% Mengorbankan tingkat dan kualitas layanan, mengurangi kualitas SDM, serta menurunkan passing grade pada proses recruitment 2. Tidak sesuai (comply) dengan peraturan dan perundangan yang berlakuku 3. Tidak dapat memenuhi hak normatif dari pegawai 4. Kesulitan cashflow perusahaan. Untuk itu, materi dalam negosiasi perjanjian penyediaan jasa outsourcing tersebut minimal terdiri dari jenis kerjasama, deskripsi pekerjaan, standar kinerja, materi dan frekuensi pelatihan, prinsip negosiasi sama-sama menguntungkan (win-win solution), prinsip keadilan dalam memberikan pelayanan dan risiko, serta spesifikasi pekerjaan, misalnya pendidikan minimal pekerja adalah lulusan diploma III, memiliki kemampuan administrasi, kemampuan presentasi, kemampuan belajar, kemampuan analisis data, serta kemampuan memperhatikan hal-hal detail. A. Pendapat yang Setuju terhadap pelaksanaan outsourcing. Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan di Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh perusahaan. Salah satu kunci kesuksesan dari outsource adalah kesepakatan untuk membuat hubungan jangka panjang (long term relationship), tidak hanya kepada proyek jangka dekat. Alasannya sangat sederhana, yaitu outsourcer harus memahami proses bisnis dari perusahaan. Perusahaan juga akan menjadi sedikit tergantung kepada outsourcer. Ini seperti memilih istri. Namun ternyata hal ini tidak mudah dilakukan di Indonesia. Terlebih-lebih lagi di Indonesia ada banyak masalah dalam menentukan partner outsourcing ini. Banyak kalangan yang pro dan kontra terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan khususnya yang berkaitan dengan outsourcing. Kalangan yang pro mempunyai pendapat terhadap Undang-undang ini yakni : 1. Business owner bisa fokus pada core business. 2. Cost reduction. 3. Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja. 4. Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn over tenaga kerja.84 Dari pengertian tentang Outsourcing, dapat dikatakan di negara maju bisnis outsourcing udah bukan lahan baru lagi, ia sudah muncul sejak tahun 1900an. Namun di negara berkembang outsourcing baru unjuk gigi sejak dua dekade silam. Outsourcing hadir karena adanya keinginan dari perusahaan (perusahaan pengguna/pemesan – user/principal) untuk menyerahkan sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain (perusahaan outsourcing) agar ia dapat berkonsentrasi penuh pada proses bisnis perusahaan (core business). Biar lebih kompetitif tujuannya. Karena itu, pekerjaan yang di-outsourcing-kan bukanlah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan inti bisnis perusahaan, melainkan pekerjaan penunjang (staff level ke bawah), meski terkadang ada juga posisi manajerial yang di-outsourcing-kan, namun tetap saja hanya untuk pekerjaan dalam tenggat waktu tertentu (proyek). Dengan ‘membagi tugas’ kepada perusahaan lain itu, perusahaan pengguna outsourcing merasa mendapatkan keuntungan dari ‘kerjasama’ tersebut, karena ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan dan mengurus pekerjaanpekerjaan penunjang sehingga bisa fokus dalam bisnis operasional perusahaan. Dan hal itulah yang banyak membuat perusahaan beralih ke outsorcing. Buktinya, pertumbuhan bisnis outsourcing global tercatat mencapai 30% per tahunnya. Dari 84 Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id situ kita bisa lihat, betapa perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu sudah mempercayakan sebagian proses bisnisnya pada perusahaan outsourcing dalam hal perekrutan SDM. Karena outsourcing sudah merupakan hal yang tidak baru lagi di dunia maupun di Indonesia sendiri, karena beberapa faktor, yaitu : 1. TREND OUTSOURCING, yaitu : a. Merupakan kebutuhan dari kondisi saat ini, contohnya adalah untuk penghasil consumer goods yang memberikan semua bagian non-corenya kepada pihak lain: b. Bukanlah hal baru yang dipraktekkan tetapi merupakan praktek yang sudah dilakukan beberapa perusahaan yang berhasil dalam effisiensi yang juga dicirikan dengan minimnya masalah-masalah perburuhan; c. Outsourcing murni akan memberikan nilai tambah dari lepasnya masalah hubungan industrial, remunerasi, benefits dan hal-hal lain yang sifatnya melekat pada pekerja karena produk jasalah yang diambil dari sifat kerjanya; d. Perubahan dari kondisi sekarang menuju outsourcing merupakan langkah effisiensi yang sangat strategis untuk kelancaran usaha yang ada pada saat ini; 2. TUJUAN PROGRAM OUTSOURCING : a. Melaksanakan anjuran Pemerintah dalam mengembangkan kemitraan agar perusahaan tidak menguasai kegiatan industri dari hulu ke hilir; b. Meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat terutama di daerah sub-urban; c. Mendorong terjadinya proses pendidikan & alih teknologi dalam bidang industri & managemen pengelolaan pabrik; d. Mengurangi kegiatan pemusatan industri di perkotaan yang dapat menimbulkan gangguan kerawanan sosial, keamanan & konflik perburuhan. 3. MAMFAAT OUTSOURCING : a. BAGI PEMERINTAH: 1) Mengembangkan & mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional; 2) Pembinaan & pengembangan kegiatan koperasi & UKM; 3) Mengurangi beban Pemerintah kota dalam penyediaan fasilitas umum (transportasi, listrik, air & pelaksanaan ketertiban umum). b. BAGI MASYARAKAT & PEKERJA: 1) Aktivitas industri di daerah akan mendorong kegiatan ekonomi penunjang dilingkungan masyarakat (pasar, warung, sewa rumah/kamar, transportasi dll); 2) Mengembangkan infrastruktur sosial masyarakat, budaya kerja, disiplin & peningkatan kemampuan ekonomi; 3) Mengurangi pengangguran & mencegah terjadinya urbanisasi; 4) Meningkatkan kemampuan & budaya berusaha dilingkungan masyarakat. 4. BAGI INDUSTRI: a. Mengurangi beban keterbatasan lahan untuk pengembangan perusahaan di kawasan industri; b. Meningkatkan fleksibilitas dalam pengembangan produk baru & penyesuaian dengan perkembangan teknologi, sehingga perusahaan dapat berkonsentrasi untuk mengembangkan produk baru & teknologi; c. Produk yang sudah stabil & menggunakan teknologi lama bisa dikembangkan di perusahaan mitra (outsourcing); d. Meningkatkan daya saing perusahaan dengan effisiensi penggunaan fasilitas & teknologi yang berkembang pesat. 5. ALASAN UNTUK OUTSOURCING: a. Fokus pada core bisnis; b. Perampingan organisasi; c. Peningkatan produktivitas; d. Pekerjaan musiman; 6. KAPAN OUTSOURCING DIBUTUHKAN, yaitu ketika : a. Cara kerja yang sudah tidak efisien; b. Operation cost yang tinggi; c. Secara kualitas kemampuan kurang bersaing; d. Daya kompetisi rendah. Di institusi milik pemerintah, seperti BUMN, pemilihan penyedia layanan harus dilakukan dengan melalui tender. Akibatnya pemenang tender sulit untuk diramalkan. Demikian pula perpanjangan layanan mungkin harus ditenderkan lagi. Hubungan baik antara pengguna jasa outsourcing dan penyedia jasa outsourcing sulit terjadi. Padahal, perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu banyak yang merupakan perusahaan besar, yang sebenarnya sudah sangat kredibel menangani hal-hal semacam perekrutan. Seperti: Telkomsel, PT Pembangunan Jaya (Ancol), Unilever, Bank Niaga, Bank Mandiri, Bank ABN Amro, dll. Mengenai adanya ketidakpercayaan pada sistem outsourcing, pada kenyataannya banyak pencari kerja yang berpendapat mengenai ketidaknyaman para fresh graduated untuk mencari pekerjaan lewat perusahaan outsourcing. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena hingga kini masih ada saja perusahaan outsourcing yang berlaku tidak adil terhadap karyawannya. Di lain pihak, kalau ada perusahaan outsourcing yang berlaku ‘aneh’ seperti itu, hamper pasti bisa dipastikan perusahaan tersebut adalah perusahaan outsourcing gadungan, yang hanya mencari kesempatan di atas kesempitan. Perusahaan-perusahaan ini mencoba memanfaatkan para job seekers dengan cara yang bermacam-macam. Karena pencari kerja sangat butuh pekerjaan maka pencari kerja akan melakukan apa saja asal bisa dapat pekerjaan. Selain itu, ketidaktahuan pencari kerja akan hak-hak pekerja juga bisa menjadi celah bagi pencari kerja untuk dibodohi. Bisnis Outsourcing merupakan bisnis yang mempunyai potensi yang sangat besar yang memberikan peluang untuk pengembangannya. Tingginya persaingan telah menuntut manajemen perusahaan melakukan perhitungan pengurangan biaya, maka dilakukan outsource hal-hal yang penting bagi perusahaan akan tetapi tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan. Pasal 1601 b KUHPerdata yang mengatur mengenai Pemborongan Pekerjaan menyebutkan bahwa : ”Pemborongan Pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Legalisasi penggunaan jasa Outsourcing dengan dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : ”Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. Dengan demikian Outsourcing atau yang disebut dengan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu : 1. Penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain untuk dikerjakan di tempat di perusahaan lain tersebut; 2. Penyediaan jasa pekerja oleh perusahaan penyedia jasa pekerja, yang dipekerjakan pada perusahaan lain yang membutuhkan maka Outsourcing yang dimaksud diatas lebih menitikberatkan pada penyediaan jasa pekerja/orang perorangan yang jasanya dibutuhkan. Dalam pelaksanaannya Outsourcing berhubungan erat dengan ketenagakerjaan. B. Pendapat yang Tidak Setuju terhadap pelaksanaan outsourcing. Outsourcing menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi tenaga kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing. Kalangan yang Kontra mempunyai pendapat terhadap Undang-undang ini yakni : 1. Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja.85 2. Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal dengan karyawan outsource. 3. Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah. 4. Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan hubungan kerjasama dengan outsourcing provider dan mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh. 5. Eksploitasi manusia. 86 Pada prinsipnya outsourcing employee atau pekerja outsource atau pekerja kontrak adalah tenaga kerja yang diperbantukan didalam suatu perusahaan berskala menengah keatas tentunya dengan segala atribut kompetensinya, tetapi keberadaan mereka tidak terdapat didalam struktur organisasi perusahaan tersebut. Keuntungan yang didapat oleh suatu perusahaan yang menggunakan jasa tenaga kerja outsourcing ini, yaitu efisiensi cost pengeluaran rutin dan minimalisasi resiko perusahaan. Efisiensi cost pengeluaran rutin diantaranya adalah : 1. Pengeluaran gaji atau salary, tentu saja sangat jauh berbeda gaji yang diterima oleh karyawan yang “diakui” perusahaan dengan outsourcing employee dengan beban kerja yang rata-rata harus dipikul oleh outsource employee lebih besar dari karyawan yang “diakui” oleh perusahaan. Secara umum perbandingan atau selisih gaji yang diterima outsorce employee 85 86 Sumber: www.hukumonline.com Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com paling besar 1/4 dari gaji karyawan yang “diakui” perusahaan. Tentunya dengan asumsi segala atribut kompetensi, pengalaman, dan skill keduanya sama. Jadi apabila karyawan yang “diakui” perusahaan tersebut mendapat gaji Rp. 1.000.000,- dengan posisi yang sama, kompetensi yang sama, maka outsorce employee hanya mendapat Rp. 250.000,- saja. Dari hal ini dapat kita bayangkan berapa banyak yang dapat dihemat perusahaan dengan 1 item ini saja. 2. Tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, seluruh tunjangan tetap dan tidak tetap yang diterima sangat-sangat jauh perbedaannya yang penjelasannya hampir persis sama dengan point 1 diatas 3. Bonus/reward, bisa dikatakan outsource employee tidak bisa mendapatkan bonus apa-apa dari hasil pekerjaannya yang luarbiasa baik dibandingkan dengan karyawan yang “diakui” perusahaan yang berlimpah-limpah bonus 4. Fasilitas-fasilitas perusahaan, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dan kegiatan perusahaan seperti family gathering, perlombaan memperingati hut perusahaan dan lain sebagainya. keterlibatan outsource disini barangkali hanya sebagai pekerja yang ”kasar” dan bukan sebagai penikmat dalam artian sebenarnya. 5. Dan masih banyak lagi efisiensi cost yang bisa dihemat oleh perusahaan yang menggunakan jasa outsource ini. Berikutnya, perusahaan juga dapat melakukan minimalisasi resiko perusahaan, seperti : 1. Resiko hukum dan perundangan 2. Resiko ketidakpuasan atas keputusan yang dikeluarkan perusahaan 3. Resiko pertanggungjawaban atas kecelakaan kerja 4. Resiko non teknis atas keputusan yang harus dikerjakan oleh outsource 5. dan banyak lagi resiko yang dapat diminimalisasikan oleh perusahaan Hal ini akan ada hubungannya dengan pendapatan. Yang akan diungkapkan adalah bagaimana pengkebirian ide, motivasi, pengkerdilan citra diri, dan “peng-underestimate-nya kemampuan, serta terbentuknya feodalisme baru dilingkungan kerja tersebut. We examine the employment effects of international outsourcing by using firm-level data from the Finnish manufacturing sector. A major advantage of our data is that outsourcing is defined based on firms’ actual use of intermediate inputs from foreign trade statistics. The estimates show that intensive outsourcing (more than two times the 2-digit industry median) does not reduce employment nor have an effect on the share of low-skilled workers.87 Bagaimana tidak, dimulai dari rekrutment yang samasekali tidak jelas batasan kopetensi yang diuji, dan kemudian kopetensi pengujinya — yang belakangan baru ketahuan kualitas sebenarnya si penguji ini — Kemudian yang menguji itu samasekali tidak dari perusahaan tempat kita menginduk, tetapi perusahaan yang menggunakan jasa kita, walaupun didalam hasil rekrutment seseorang tersebut dinilai belum layak digunakan. Kemudian yang jelas juga bagi saya adalah prinsip like and dislike dalam hal penentuan penerimaan tenaga outsource. Feodalisme, itu barangkali idiom yang tepat mengenai hubungan antara pegawai yang “diakui” dengan outsource di perusahaan saya. Dalam sistem feodal, kita akan mengenal yang namanya majikan dan budak. Majikan hanya mengenal kebaikan, budak harus keburukan, jika majikan salah, maka budak sebagai kambing hitamnya, jika budak salah ya disiksa atau diperlakukan semenamena. Dan dizaman Indonesia menghirup udara segar kemerdekaan seperti saat ini, sangat banyak perilaku-perilaku perbudakan baru yang bermunculan, baik itu yang menimpa tenaga kerja yang samasekali tidak mempunyai skills sampai tenaga kerja yang mempunyai pengalaman dan skills Implikasi yang dapat terjadi akibat Outsourcing yaitu : 87 "Outsourcing: Make It Work for Your Company." Journal of Accountancy. October 2000. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/16903/ 1. Akan terjadi restrukturisasi kegiatan industri secara nasional yang akan mengakibatkan keresahan dikalangan UKM; UKM akan kehilangan kesempatan untuk berusaha karena semua kegiatan industri akan dipusatkan di perusahaan induk; Berkurangnya kesempatan kerja karena perusahaan harus menggunakan teknologi tinggi untuk meningkatkan efisiensi; Hambatan terhadap perkembangan ekonomi secara nasional. 2. Permasalahan hubungan industrial yang biasa dihadapi di lapangan. Dilibatkannya Perusahaan Pemberi Pekerjaan oleh pekerja kontraktor / kontraktor dalam perselisihan hubungan industrial mereka; Ikut campurnya oknum karyawan Perusahaan Pemberi Pekerjaan dalam penentuan pemilihan pekerja kontraktor secara langsung; Terlibatnya Perusahaan Pemberi Pekerjaan (oknum karyawan) dalam penentuan remunerasi kontraktor; Proteksi kedaerahan pekerja lokal yang berlebihan; Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dicampur-adukan dengan masalah sosial; Pemaksaan penyelesaian masalah perburuhan dengan cara politis; Kurangnya antisipasi kemungkinan terjadinya perselisihan; Perburuhan dalam kontrak dokumen. 3. Konsep ideal untuk mengatur permasalahan ketenagakerjaan dalam rangka menjamin hak-hak tenaga kerja Untuk membahas rumusan masalah ketiga mengenai Konsep Ideal untuk mengatur permasalahan ketenagakerjaan dalam rangka menjamin hak-hak tenaga kerja penulis menganalisisnya dengan menggunakan teori dari Kranenburg yang dinamakan Teori keseimbangan, yakni dengan kesadaran hukum orang menjadi sumber hukum , hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata. Dari sudut subyeknya, Kranenburg mengatakan bahwa para sarjana hukum jangan terjebak dalam optik hukum positif semata, tetapi harus membuka hati dan pikirannya terhadap perkembangan masyarakat. Sementara itu, Descartes dalam maha karyanya "Discourse on Method" mengingatkan bahwa berjubelnya hukum tanpa ketegasan justru seringkali menghalangi keadilan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan outsourcing di Indonesia ketentuan-ketentuan tentang outsourcing harus disempurnakan dengan pengaturan yang jelas dan tegas mengenai kepada siapa pekerja/buruh mempunyai hubungan kerja. Pada prinsipnya perusahaan yang menerima pekerjaan yang mempunyai hubungan kerja dengan pekerja/buruh. Demikian juga mengenai hak-hak dan kewajiban perusahaan pemberi pekerjaan maupun perusahaan yang menerima pekerjaan harus diatur secara jelas dan tegas dalam suatu "perjanjian tertulis" antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pekerjaan. Akan tetapi, penerobosan hukum yang dilakukan semata untuk mengikuti tuntutan masyarakat akan menghilangkan kepastian hukum bila hal itu tidak dibatasi. Tidak adanya kepastian hukum tentunya akan membuat jaminan perlindungan HAM warganegara tidak ada ketika mereka menghadapi suatu kasus di pengadilan. Oleh karena itu, pembatasan penerobosan hukum juga harus dilakukan agar tuntutan masyarakat dapat terpenuhi dengan tidak mengabaikan terwujudnya kepastian hukum dan aparat penegak hukum pun tidak hanya menjadi mulut undang-undang. Dengan pengaturan seperti itu diharapkan memberi peluang dunia usaha mengembangkan usahanya, namun juga memberi kepastian hak bagi pekerja yang berkaitan dengan system outsourcing. Kranenburg merupakan murid sekaligus pengganti Prof. Krabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang. Dalil tersebut dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut: tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Dalil ini oleh Kranenburg dinamakan asas keseimbangan. Kranenburg melanjutkan paham Krabbe dengan mengemukakan bahwa reaksi daripadakesadaran hokum mempunyai sifat keajegan (wetmatig heid). Reaksi itu sifatnya seimbang dengan aksi yang diwujudkan dalam teorinya yang disebut ovenredigheids, postulaat. Sebagai contohnya adalah dalam hubungan jual-beli di mana untung rugi untuk untuk menuju keseimbangan. TEORI KESEIMBANGAN ( prof. Mr. R. Kranenburg) : kesadaran hukum orang menjadi sumber hukum , hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata Kranenburg termasuk penganut teori negara kesejahteraan. Menurutnya, tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteran pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya, sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural: tujuan-tujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa upaya pencapaian tujuan-tujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata, seimbang. Prof.Mr.R.Kranenburg adalah seorang ahli hukum dari Jerman yg mengagas teori negara kesejahteraan (welfare state). Menurut dia, tujuan negara ada 3 yaitu : 1. Negara bukan sekedar pemelihara ketertiban hukum belaka,tetapi secara aktif mengupayakan kesejahteraan warga negaranya. 2. Negara harus benar-benar bertindak adil yg dapat dirasakan oleh seluruh warga negara secara merata dan seimbang 3. Negara hukum bukan hanya untuk penguasa atau golongan tertentu tetapi untuk kesejahteraan seluruh rakyat di dalam negara. Sejak dahulu, manusia hidup bersama, berkelompok membentuk masyarakat tertentu, mendiami suatu tempat, dan menghasilkan kebudayaan sesuai dengan keadaan dan tempat tersebut. Manusia secara kodrati adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Tiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak sendiri. Namun dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya. Setiap manusia memiliki kepentingan, dan acap kali kepentingan tersebut berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. Apabila ketidak-seimbangan perhubungan masyarakat yang menjadi perselisihan itu dibiarkan, maka mungkin akan timbul perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dari pemikiran manusia dalam masyarakat dan makhluk sosial , kelompok manusia menghasilkan suatu kebudayaan yang bernama kaidah atau aturan atau hukum tertentu yang mengatur segala tingkah lakunya agar tidak menyimpang dari hati sanubari manusia. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebudayaan manusia mengalami perkembangan pula. Termasuk perkembangan hukum. Peradaban yang semakin berkembang membuat kehidupan manusia sangat membutuhkan aturan yang dapat membatasi prilaku manusia sendiri yang telah banyak menyimpang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang semakin maju. Aturan atau hukum tersebut mengalami perubahan dan terus mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman. Untuk itu, suatu negara hukum sangat perlu memperhatikan hal tersebut. Dalam kaitannya dengan ekonomi, pasal 33 UUD 1945 yang telah diamandemen juga secara tegas memberikan definisi perekonomian Indonesia sebagai perekonomian yang berdasar atas demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, kekeluargaan dan keseimbangan. Maka pelayanan dalam bidang ketenagakerjaan adalah bagian dari keseimbangan. Hal ini bila dikaitkan dengan Model outsourcing, maka dapat dibandingkan dengan bentuk perjanjian pemborongan bangunan walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Pekerja/buruh dalam perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER . 06 / MEN / 1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas PHL). PHL adalah pekerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah dalam hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan atas kehadiran pekerja secara harian. Sebagai contoh adalah kuli panggul yang mengangkat barang di pelabuhan Tanjung Priok. Perjanjian pemborongan bangunan akan berakhir antara pengusaha dengan pekerja apabila obyek perjanjian telah selesai dikerjakan. Misalnya pembangunan jembatan, dalam hal jembatan telah selesai maka masa bekerjanya pun menjadi berakhir kecuali jembatan tersebut belum selesai dikerjakan. Sedangkan dalam outsourcing masa bekerja akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati antara pengusaha dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Ditinjau dari segi pengusaha adanya pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja, menguntungkan karena pengusaha dapat mengkonsentrasikan pemikirannya untuk menangani core bisnisnya sedangkan pekerjaan-pekerjaan penunjang dapat diserahkan kepada pemborong. Dengan demikian pengusaha tidak perlu memiliki organisasi yang besar dengan jumlah tenaga kerja yang banyak. Demikian juga permasalahan ketenagakerjaan dapat dieliminir dengan adanya perusahaan lain yang menangani pekerjaan penunjang, dimana hubungan kerja pekerja langsung ditangani pemborong atau penyedia jasa tenaga kerja. Ditinjau dari segi kepentingan pekerja, adanya pekerjaan pemborongan atau penyedia jasa tenaga kerja perlu adanya ketegasan hubungan kerja yang jelas sehingga pemenuhan hak-hak pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan jelas penanggungjawabnya. Untuk itu pekerja harus diikat dengan perjanjian kerja dengan perusahaan yang memperkerjakannya. Hal ini penting karena dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja (labor cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dibawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti apa yang disebutkan diatas menjadi tidak tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang dan jasa. Oleh karena itu, baik perusahaan maupun pekerja agar senantiasa dapat hidup bersama tanpa terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat ataupun pemikiran yang berbeda-beda, diperlukan pelaksanaan outsourcing yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pedoman untuk berperilaku secara formal. Pedoman tersebut yang dikenal sebagai kaidah hukum bertujuan untuk agar tercapai kedamaian didalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti keserasian antara ketertiban dan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan dan kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain daripada mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Hal ini hendaknya sejalan dengan Teori Keseimbangan R. Kranenburg yang menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat. Maka akan sangat ceroboh jika pembangnan ekonomi dinafikan, kemudian pertumbuhan ekonomi hanya dipandang dan dikonsentrasikan pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah indikator yang sesungguhnya. Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang begitu cepat telah membawa banyak perubahan di berbagai sektor, sehingga menimbulkan persaingan usaha yang begitu ketat disemua sektor usaha. Kondisi yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dirinya dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan kepada pelanggan. Atas dasar tersebut diatas, bahwa gangguan pelaksanaan outsourcing yang melindungi hak pekerja mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma didalam kaidah-kaidah bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu pelaksanaan tersebut diatas. Perubahan di berbagai sektor tersebut juga menjadi sebagai salah satu penyebab terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. pernyataan di atas, akan mengingatkan kita kepada: pertama, jiwa dari Pembukaan UUD 1945 dan pasal 27 (2) UUD 1945. Kedua, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK). Dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa: Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila. Kemudian dalam pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. Dari amanat para pendiri Republik dapat kita pahami bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Kedua, UUK sebagai penjabaran dari UUD 1945 dan TAP MPR, telah mengatur perlindungan terhadap hak-hak pekerja, antara lain: 1. perlindungan PHK; 2. jamsostek; 3. upah yang layak dan tabungan pensiun. Dalam praktek outsourcing, hak-hak tersebut merupakan sesuatu sangatlah mahal untuk didapat oleh para pekerja outsourcing. Karena status pekerja outsourcing adalah pekerja pada PT.A, tapi harus bekerja pada PT.B dengan waktu kerja: 6 bulan, 1 tahun atau 2 tahun. Sementara itu, Undang – undang Ketenagakerjaan belum menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi pengertian dari outsourcing ini sendiri dapat dilihat dalam ketentuan pasal 64 UUK ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu. Outsourcing sebenarnya adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu sesuai dengan pengaturan negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya merupakan tugas dan kewajiban negara. Menurut R. Kranenburg yang dikutip Mirriam Budihardjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik, bahwa : “negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut negara. ..... negara sebagai organisasi kekuasaan itu karena manusia hidup dalam wadah negara dan memerlukan negara karena kebutuhan manusia sangat beranekaragam, cita-cita yang beranekaragam, dan kemampuan manusia mempunyai keterbatasan, maka kekuasaan merupakan sarana untuk memudahkan terwujudkan kehendak masyarakat atau negara”. Pernyataan R. Kranenburg tersebut dalam kaitannya dengan implementasi outsourcing secara tegas menyebutkan bahwa tugas negara secara politis dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya dan untuk merealisasikan diperlukan keseimbangan bahwa negara dalam perspektif politik juga berusaha meujudkan pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui perencanaan pembangunan dan administrasi negara yang merealisasikan atau melaksanakannya. Oleh karena itu, pelaksanaan outsourcing harus melindungi hak pekerja bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan (law enforcement). faktor di atas perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan outsourcing. Hal ini dimaksudkan agar pekerja benar – benar mendapatkan perlindungan yang layak sesuai dengan hak yang mereka miliki. Disamping itu perlindungan bagi pekerja merupakan faktor yang sangat penting di dalam rangka menciptakan keseimbangan dalam hubungan kerja, sehingga terwujudlah keadilan sosial yang merata di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan landasan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Salah satu bentuk perlindungan dan kepastian hukum terutama bagi pekerja tersebut adalah melalui pelaksanaan dan penerapan perjanjian kerja. Perjanjian Kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pengusaha dan pekerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk syarat-syarat kerja, pengupahan, dan cara pembayaran. Dengan adanya perjanjian kerja diharapkan para pihak yang sepakat melakukan hubungan kerja lebih mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak dan mengetahui sendiri apakah ia sudah melaksanakan perjanjian tersebut dengan baik atau ia melanggar perjanjian tersebut. BAB V PENUTUP 1. KESIMPULAN 1. Terdapat ketidaksinkronnan baik secara horizontal maupun vertikal antara Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Peraturan Prundang-undangan yang lebih tinggi maupun sederajat. Dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak sinkron dengan Peraturan peraturan per Undang-Undangan yang lebih tinggi ataupun sederajat, diantaranya adalah dengan UUD 1945 pada Pembukaan alinea 4, Pasal, 27 (2), 28i ayat 4, Pasal 33 ayat 1 dan 4, : Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 2. Dalam praktek sehari-hari, “outsourcing” selama ini diakui lebih banyak merugikan hak pekerja. Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja dalam pelaksanaan outsourcing. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya kontroversi terhadap outsourcing yang tentunya menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya lagi bagi tenaga kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing, karena ternyata terkait dengan Pemanfaatan outsourcing di Indonesia, terdapat beberapa pendapat yang Pro dan Kontra, diantaranya yaitu, diberlakukannya outsourcing : Pendapat yang Pro dengan a. Business owner bisa fokus pada core business. b. Cost reduction. c. Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja. d. Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn over tenaga kerja ,kemudian pendapat yang Kontra terhadap diberlakukannya outsourcing diantaranya adalah : a. Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja. b. Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal dengan karyawan outsource. c. Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah. d. Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan hubungan kerjasama dengan outsourcing provider dan mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh. e. Eksploitasi manusia 3. Solusi dalam mengatasi masalah atau kontroversi outsourcing tersebut, penulis menganalisisnya dengan menggunakan teori dari Kranenburg yang dinamakan Teori keseimbangan, yakni dengan kesadaran hukum orang menjadi sumber hukum, hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata. dalam kaitannya dengan implementasi outsourcing secara tegas menyebutkan bahwa tugas negara secara politis dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya dan untuk merealisasikan diperlukan keseimbangan bahwa negara dalam perspektif politik juga berusaha meujudkan pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui perencanaan pembangunan dan administrasi negara yang merealisasikan atau melaksanakannya. Oleh karena itu, pelaksanaan outsourcing harus melindungi hak pekerja bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan (law enforcement). faktor di atas perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan outsourcing. Hal ini dimaksudkan agar pekerja benar – benar mendapatkan perlindungan yang layak sesuai dengan hak yang mereka miliki. Disamping itu perlindungan bagi pekerja merupakan faktor yang sangat penting di dalam rangka menciptakan keseimbangan dalam hubungan kerja, sehingga terwujudlah keadilan sosial yang merata di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan landasan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. 2. IMPLIKASI 1. Dikeluarkannya Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menuai permasalahan. Terdapat banyak kontroversi dan penilaian yang menyatakan bahwa pengaturan outsourcing dalam Undangundang Ketenagakerjaan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan melanggar hak-hak tenaga kerja, hal ini banyak didengungkan oleh kalangan yang tidak setuju terhadap Pengesahan Undang-Undang ini. Karena penilaian ini Implikasinya adalah terjadi banyak penolakan diantaranya adalah melalui demonstrasi dan desakan khususnya dari para pekerja/buruh outsourcing untuk menghapus sistem pekerja kontrak untuk jangka waktu jangka pendek (outsourcing). 2. Setelah mengkaji, menganilisis dan melakukan pembahasan tehadap Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa Pasal-pasal yang mengatur tentang outsourcing dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat ketidaksinkronan baik secara horizontal maupun vertikal dengan Pembukaan alinea 4, Pasal, 27 (2), 28i ayat 4, Pasal 33 ayat 1 dan 4, : Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.harus ada regulasi atau peraturan khusus yang lebih detail, responsif dan objektif dalam pengaturan outsourcing, sehingga nantinya harus ada pengertian dan kesepahaman antara Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja/buruh dalam hal pembentukan regulasi yang mengatur khusus mengenai outsourcing yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 3. SARAN 1. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 beserta paket revisinya adalah salah satu bentuk re-regulasi yang bermakna deregulasi atas hukum perburuhan yang sejati. Karena itu perlu dilakukan re-regulasi atau amandemen atas hukum perburuhan yang sudah terderegulasi yang mengatur khusus tentang outsourcing. Sebagai proteksi atas hak-hak buruh yang dirampas oleh regulasi baru. Sehingga nantinya diharapkan dapat sinkron atau paling tidak dapat meminimalisir ketidaksinkronan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang sederajat. 2. Kewajiban pengusaha atau perusahaan adalah berkomunikasi dengan buruh atau pekerja, melalui serikat buruh keputusan bisnis yang berdampak pada buruh atau pekerja outsourcing, sehingga kontroversi dapat segera diredam. 3. Kewajiban Pemerintah untuk menjembatani pengusaha dan tenaga kerja harus dipenuhi, salah satunya dengan membuat regulasi yang dapat memberiak rasa keadilan kedua belah pihak. sehingga nantinya harus ada pengertian dan kesepahaman antara Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja/buruh dalam hal pembentukan regulasi yang mengatur khusus mengenai outsourcing yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, Bandung: Citra Aditya Bhakti. Alfredo Risano, 2006, Makalah: Pengantar Ilmu Hukum: Outsourcing, Surabaya: Universitas Airlangga. Anton. M. Moeliono, 1989, Kamus besar Bahasa Indonesia. Ctk. Pertama. Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD. Jakarta : Graha Pustaka. Asri Wijayanti, 2004, Kendali alokasi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia, Jakarta: Yustika Vol. 7 No. 1. Agus Sudono. 1984. FBSI Dahulu, Sekarang, dan Yang Akan Datang. Jakarta Brugink, J.J.H, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996) hlm 213 Chandra Suwondo, 2003, Outsourcing, Implementasi di Indonesia, Jakarta: Elex Media Computindo. Sabar Sianturi, 2006, Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006, Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM. Friedman, Lawrence M, 1978, The Legal System A Social Science Prespektive, Rousel sage Foundation, NY, Iman Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan , Jakarta: Djambatan. Jan Breman , 1997, Koelies, planters enkoloniale politiek, Het arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust (Menjinakkan sang kuli Politik Kolonial pada awal abad 20 diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer), Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. J.H. Nieuwenhuis, 1985, Hoofdstukken verbintenissenrecht, diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, dalam Pokok-Pokok Hukum Perikatan. JJ. H. Bruggink alih bahasa Arief Sidarta, 1996, Refleksi tentang hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. Kranenberg. 1960, Algemene Staatlehre, Tjeenk Willink and Zoon NV, Harleem. Lala Husni. 2005. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia edisi revisi. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada __________, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan 3, Jakarta: PT. Grafindo Persada. Lexi J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ctk kedua, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Maria Farida Indarti S, 1998, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Ctk. Kedua, Yogyakarta: Kanisius. Muzni Tambusai, 2005, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005. M Syamsudin, 2007, Pemahaman outsourching dio Indonesia, Yustitia, vol 1 no. 2. Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Surabaya: UGM Press. Robert A. Nisbet, 1980, Social Change and History - Aspects of the Western Theory of Development, London, Oxfort University Press, 1972 ; Dalam: Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa. Ridwan Khairandy, 2003, Itikad baik dalam kebebasan berkontrak, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana. Sehat Damanik, 2007, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publishing. Sentanoe Kertonegoro, 1999, Hubungan industrial, hubungan antara pengusaha dan pekerja ( bipartid dan pemerintah ( tripartid), Jakarta: YTKI. SMERU , 2002, Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya pada Era Kebebasan Berserikat Laporan Lembaga Penelitian SMERU, dengan dukungan dari USAID/PEG. Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum. Ctk. Ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif (Statu Tinjauan Singkat).. Ctk. Pertama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soetojo Prawirohamidjojo, 1984, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu. Subekti, 1987 Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa. Uwiyono, Aloysius (2003) “Keterangan sebagai Saksi Ahli”, Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta. Wirawan, 2009, Rubrik Hukum Terpogong: Apa yang Dimaksud dengan Sistem Outsourcing?http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0504/31/teropong/ko menhukum.htm. Wiratraman, R. Herlambang (2006a) Good Governance and Legal Reform in Indonesia. Thesis for Master of Arts Program in Human Rights, Mahidol University, Bangkok ______________, (2006b) “Disain Neo-Liberalisme dan Ancaman Terhadap HakHak Buruh”, Makalah Untuk Labor Law Course For Trade Unionist, Surabaya, 7-10 September 2006, Trade Union Rights Center Dan Forum Buruh Surabaya _____________, (2006c) “Hak Buruh, Revisi UU 13/2003 dan Imperialisme Global”, Surabaya Post, 1 Mei 2006, http://www.surabayapost.info/kolom. php?id=42555&klom=Opini&kolomid=5 (diakses 10 Maret 2007). Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor: 012/PUU-I/2003, Kamis, 28 Oktober 2004. Internet : Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id, 21 Juli 2009, 12.00. Sumber: www.hukumonline.com, 19 Agustus 2009. Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” , http://recruitmentindonesia.wordpress.com, 19 November 2009, 10.00. http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=555 &Itemid=1, 2 Juni 2009, 13.30. http://apindo.or.id/index.php/kliping/aW5mbyw2ODg=, 11 Desember 2009, 11.30. http://blogs.unpad.ac.id/ramadhan_peksos/?p=27, 19 November 2009, 10.05. http://soulofdistortion.wordpress.com/2007/07/30/gambaran-buruhoutsourcing/,19 November 2009, 10.10. http://robeeon.net/search/Hubungan+Kerja+&+Hakhak+Normatif+Karyawan+Kontrak+Dan+Outsourcing+, 19 November 2009, 10.15. http://batampos.co.id/metro/Metro/Wako_Dikado_Ayam_Putih.html, 19 November 2009, 10.20. http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html, 20 November 2009, 19.00. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/10/opi01.html, 20 November 2009, 19.05. http://topanz.com/2009/09/outsourcing-masih-kental-di-perusahaan-negara.html, 20 November 2009, 19.10. http://rizazahari.blogspot.com/2008/07/outsourcing-alih-daya-danpengelolaan.html, 20 November 2009, 10.15. Journal International : Stephan Manning, Silvia Massini and Arie Y. Lewin, "A Dynamic Perspective on Next-Generation Offshoring: The Global Sourcing of Science and Engineering Talent", in: Academy of Management Perspectives, Vol. 22, No.3, October 2008, 35-54. http://www.allbusiness.com/company-activitiesmanagement/company-strategy-outsourcing/6549317-1.html Tim R. Holcomb, Michael A. Hitt. 2007. Toward a model of strategic outsourcing Journal of Operations Management, 25(2), 464– 481http://www.allbusiness.com/chief-executive-u-s/20040501/2989866-1.html Grauman, Kevin. "The Benefits of Outsourcing." CPA Journal. July 2000. http://www.openPR.com/news/10864/Invista-and-Freeborders-PLMPartner-of-Key-Work-received-Outsourcing-Excellence-Award.html "Outsourcing: Make It Work for Your Company." Journal of Accountancy. October 2000. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/16903/ Springsteel, Ian. "Outsourcing Is Everywhere." CFO: The Magazine for Senior Financial Executives. December 1994. http://www.answers.com/ McDonald, SM and Jacobs, TJ (2005) Brand Name ‘India’: The Rise of Outsourcing, Int. J. Management Practice, Vol. 1, No. 2, pp. 152– 174http://www.answers.com/