T E S I S

advertisement
JAMINAN TERHADAP PEMENUHAN HAK TENAGA KERJA
KAITANNYA DENGAN LEGALISASI SISTEM PEKERJA KONTRAK
UNTUK JANGKA WAKTU JANGKA PENDEK (OUTSOURCING)
(ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN)
TESIS
Untuk Memenuhi sebagian Persayratan mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum & Kebijakan Publik
DISUSUN OLEH :
NIM : S
OLEH :
Irawan Harimurti
NIM : S310208005
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEVELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kondisi perekonomian yang terpuruk telah memaksa pemerintah dan
dunia usaha untuk lebih kreatif dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif
agar
mampu
membuka
peluang
investasi
baru
dan
atau
mempertahankan/memajukan usaha-usaha yang telah ada.
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan
harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk
dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya
konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan
sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas dan daya saing di pasaran.
Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk
melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya
adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat
menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang
bekerja di perusahaan yang bersangkutan.1
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Nomor 19 Tahun 2003), maka
perjanjian kerja yang diatur dalam Bab 7 A Buku III B.W. serta yang diatur
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER-02/MEN/1993 tentang
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu, sudah tidak berlaku lagi.
Salah satu alasan strategis dilakukannya sistem outsourcing adalah
menggunakan tenaga-tenaga yang ada untuk aktifitas yang lebih efektif dan
efisien dengan mendekatkan produsen atau perusahaan dengan pasar atau
konsumen. Melalui metode delegasi atau outsourcing, pihak perusahaan hanya
1
Wirawan, Rubrik Hukum Terpogong: Apa yang Dimaksud dengan Sistem Outsourcing?,
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm
memikirkan how to doing business, sedangkan untuk urusan pengadaan jasa
outsourcing diserahkan pada pihak lain (perusahaan di bidang penyedia jasa
outsourcing).
Pihak penyedia jasa outsourcing mempunyai tanggung jawab hukum
yang sangat luas, tidak hanya pada tahap pelaksanaan kontrak tetapi juga pada
fase pra kontrak yaitu adanya kewajiban untuk melakukan penelitian yang
mendalam terhadap para tenaga kerja yang akan dipekerjakan di luar. Bahwa
maksud dari penelitian yang mendalam tersebut adalah karena sudah menjadi
kewajiban mutlak bagi penyedia jasa outsourcing untuk memverifikasi segala
keakuratan yang berhubungan dengan pengadaan jasa outsourcing yang
diserahterimakan kepadanya oleh pihak perusahaan (penerima jasa). Hal
tersebut harus dilakukan oleh penyedia jasa outsourcing untuk dapat menjamin
dan memastikan bahwa pihak perusahaan sebagai penerima jasa mendapatkan
pegawai outsourcing yang tepat, yang akan melakukan pekerjaan sesuai
dengan bidangnya dan akan tunduk pada kontrak outsourcing tersebut.
Perlindungan terhadap pekerja atau buruh merupakan suatu bentuk
intervensi (campur tangan) pemerintah dalam kaitannya untuk turut serta
dalam menangani permasalahan perburuhan ini dengan melalui regulasi
maupun deregulasi perundang-undangan dimana dapat memberikan kepastian
hukum terhadap hak dan kewajiban baik bagi pengusaha maupun bagi pekerja
atau buruh.
Harus diakui bahwa pekerja atau buruh sangat membutuhkan pekerjaan
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,
sementara perusahaan
juga
membutuhkan tenaga kerja yang murah agar perusahaannya tetap eksis di
tengah keadaan ekonomi seperti sekarang. Hubungan saling membutuhkan itu
menjadi benih perseteruan antara pekerja atau buruh dengan pengusaha, jika
kedua pihak mengerti akan kebutuhan masing-masing, konflik memang tidak
bermunculan. Namun ketika pekerja merasa dirugikan jaminan sosial dan
kesejahteraannya, serta mengalami pemutusan hubungan kerja, perusahaan
bisa berlindung dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau PKWT.
Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh pengusaha secara sepihak,
akan merugikan pihak pekerja, diantaranya2 :
1. Pekerja akan kehilangan mata pencahariannya yang merupakan
sumber penghidupan untuk dirinya beserta keluarganya.
2. Dalam hal mencari pekerjaan lagi ia harus banyak mengeluarkan
energi (keluar-masuk perusahaan), biaya surat lamaran, fotokopi
surat-surat dan lain-lain.
3. Biaya hidup beserta keluarganya selama belum mendapat pekerjaan
pengganti.
4. Menambah beban pemerintah, dengan bertambah banyaknya
pengangguran akan menimbulkan dampak yang negatif terhadap
keamanan masyarakat, bangsa dan negara
Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi.
Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha
di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak
dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum
terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan
tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengambil judul :
Jaminan terhadap pemenuhan hak tenaga kerja kaitannya dengan legalisasi
2
Alfredo Risano, Makalah: Pengantar Ilmu Hukum: Outsourcing, Universitas Airlangga,
Surabaya, 2006
sistem pekerja kontrak untuk waktu jangka pendek (outsourcing) (Analisis
Yuridis Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah sinkron dengan
peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan sederajat ?
2. Mengapa terjadi kontroversi bahwa Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 melanggar hak-hak tenaga kerja ?
3. Bagaimana
konsep
ideal
untuk
mengatur
permasalahan
ketenagakerjaan dalam rangka menjamin hak-hak tenaga kerja ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang
hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai
oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk menginventarisasi sinkronisasi materi dalam Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan yang lebih
tinggi atau sederajat dalam kaitannya dengan sistem pekerja kontrak untuk
jangka waktu jangka pendek (outsourcing)
b. Untuk menganalisis faktor terjadinya kontroversi bahwa Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 melanggar hak-hak tenaga kerja
c. Untuk memberikan solusi Bagaimana konsep ideal untuk mengatur
permasalahan ketenagakerjaan dalam rangka menjamin hak-hak tenaga
kerja
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan
dalam meraih gelar Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi
Kebijakan Publik pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan
pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori hukum
yang sangat berarti bagi penulis.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan
yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari
penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Merupakan salah satu sarana untuk mengumpulkan data sebagai bahan
penyusunan tesis guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar
Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Kebijakan
Publik pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
b. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
c. Untuk mendalami teori-teori selama menjalani kuliah strata dua di
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Surakarta serta memberikan
landasan untuk penelitian lebih lanjut.
d. Untuk memberikan acuan kepada peneliti selanjutnya dalam membahas
materi yang berkaitan dengan tesis ini.
2. Manfaat Praktis
a. Dengan penulisan tesis ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal
untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan
sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang terkait dengan masalah
yang diteliti.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Sinkronisasi Hukum
Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
Sinkronisasi
berarti
penyelarasan, penyesuaian, berasal dan kata sinkron yaitu, serentak, sejalan,
sejajar, sesuai dan selaras.3
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup salah satunya
adalah penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.4
Dalam penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal maupun horizontal,
maka yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang
ada serasi. Hal itu dapat ditinjau secara vertical, yakni apakah perundangundangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling
bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan tersebut.
Mengenai penelitian ini, dapat dipergunakan sebagai titik tolak Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar
1945 (Memorandum Sumber Tertib Hukum DPR-GR tanggal 9 Juni 1966).5
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum dapat dilakukan atas dasar
paling sedikit dua titik tolak, yakni taraf sinkronisasi secara vertikal dan secara
horisontal. Apabila titik tolak vertikal yang diambil, maka yang diteliti adalah
taraf sinkronisasi peraturan atau perundang-undangan menurut hierarkinya
Apabila penelitia dilakukan terhadap taraf sinkronisasi secara horizontal, maka
yang diteliti adalah sampai sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan
3
Anton. M. Moeliono.Kamus besar Bahasa Indonesia. Ctk. Pertama. Tim Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD. Graha Pustaka. Jakarta . 1989. hlm. 845
4
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Statu Tinjauan Singkat).. Ctk.
Pertama PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006. hlm 14
5
ibid. hlm 17.
yang mengatur bidang yang mempunyai hubungan fungsionil, adalah
konsisten taraf sinkronisasi secara horisontal dan pelbagai macam tertentu.6
Mengenai penelitian terhadap taraf sinkronisasi secara horisontal, dapat
dilakukan secara lebih terperinci dengan membuat inventarisasi yang sejajar.
Dengan menempatkan perundang-undangan yang sederajat pada posisi yang
sejajar, akan lebih mudah untuk mengadakan identifikasi terhadap taraf
sinkronisasinya yang rendah, sedang atau tinggi.
Taraf sinkronisasi ditelaah dengan mengkaji perundang-undangan suatu
bidang kehidupan tertentu, sesuai dengan peningkatan perundang-undangan.
Apabila dilakukan penelitian taraf sinkronisasi horizontal, maka yang ditinjau
adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama. 7
Taraf Sinkronisasi secara vertikal dan horizontal dalam penelitian ini adalah
sinkronisasi antara UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai
UU sektoral dengan Peraturan PerUndang-Undangan yang lebih tinggi atau
sederajat. Dikatakan sebagai sinkronisasi secara vertical atau lebih tinggi
adalah dengan UUD 1945, karena UU No. No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan merupakan undang-undang organik, yaitu undang-undang
yang dibuat karena perintah langsung Undang- Undang Dasar
1945 atau
bisa juga disebut undang-undang pelaksana Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur pokok-pokok
mengenai outsourcingnya saja sebagaimana yang diperintahkan oleh UUD
1945. Sedangkan yang sikatakan dengan Peraturan PerUndang-Undangan
yang sederajat, diantaranya adalah dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan UU No. 11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
2. Tinjauan tentang Hierarki Norma Hukum (Stufenbau theorie Kelsen)
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ctk. Ketiga, Universitas Indonesia (UI-Press)
Jakarta, 1986, hlm. 256
7
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Op cit. hlm 19
a. Tinjauan Umum Teori Stufenbau Hans Kelsen
Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen
mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufenbau),
dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang
dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma
yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi
lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar
(Grundnorm).
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi
Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai
norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada
dibawahnya sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan Pre-supposed8.
Perlu dicatat bahwa norma dalam negara, di mana pun adanya, selalu
akan berjenjang, bertingkat dan merupakan suatu "regressus". Menurut
Hans Kelsen norma hukum (Legal Norm) tersebut dapat dibedakan antara
general norm dan individual norm. Termasuk dalam general norm adalah
Custom dan Legislation. Hukum yang diciptakan dari Custom disebut
"customary law”, sedangkan hukum yang diciptakan oleh badan legislatif
(law created by legislative) disebut statute. Kemudian norma-norma
individual meliputi "putusan badan yudisial" disebut "judicial acts”,
"putusan badan administrasi",disebut “administrative acts", dan "transaksi
hukum" atau "legal transaction” yaitu berupa contract dan treaty. 9
Hans
Nawiasky,
salah
seorang
murid
dan
Hans
Kelsen,
mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam
8
Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Ctk.
Kedua. Kanisius, Yogyakarta, 1998, Hlm. 25
9
Rosjisi Ranggawijaya, Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandung,
1998, hlm. 27
kaitannya dengan suatu negara. Menurutnya, bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu
juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan normanorma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang
terdiri atas:
Kelompok 1
: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Kelompok II
: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’)
Kelompok IV : Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan Pelaksana &
aturan otonom)
Kelompok-kelompok norma hukum tcrsebut hampir selalu ada dalam
tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah
yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam
setiap kelompoknya.
Menurut Hans Nawiasky isi Staatsfundamentalnorm ialah norma
yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang
dasar suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya.
Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya
suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum
adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl
Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan
bentuk suatu kesatuan politik yang disepakati oleh suatu bangsa.
Aturan Dasar negara atau Aturan Pokok negara (Staatsgrundgeset)
merupakan kelompok norma hukum dibawah Norma Fundamental negara.
Norma-norma dari Aturan Dasar/Pokok negara ini merupakan aturanaturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum
yang masih bersifat garis besar sehingga masih merupakan norma tunggal
dan belum disertai norma sekunder.
Di negara kita maka Aturan Dasar Pokok negara ini tertuang dalam
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, serta dalam Hukum Dasar tidak tertulis yang
sering disebut Konvensi Ketatanegaraan. Aturan Dasar/Pokok negara ini
merupakan landasan bagi pembentukan undang-undang (Formell Gesetz)
dan peraturan lain yang lebih rendah.
Kelompok norma-norma hukum yang berada dibawah Aturan
Dasar/Pokok negara adalah Formell Gesetz atau diterjemahkan dengan
undang-undang (‘formal’). Berbeda dengan kelompok-kelompok norma di
atasnya maka norma-norma dalam suatu undang-undang sudah merupakan
norma hukum yang lebih konkret dan terinci serta sudah dapat langsung
berlaku di dalam masyarakat. Norma-Norma hukum dalam undangundang ini tidak saja hanya norma yang bersifat tunggal, tetapi normanorma hukum itu sudah dapat ditekan oleh norma sekunder disamping
norma primernya, sehingga undang-undang sudah dapat mencantumkan
norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi
pemaksa. Selain itu, undang-undang ini merupakan norma-norma hukum
yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif.
Kelompok norma
hukum
yang terakhir
adalah peraturan
pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonom Satzung).
Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini merupakan peraturanperaturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, di mana
peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan
peraturan otonom bersumber dan kewenangan atribusi. 10
b. Tata Susunan Norma Hukum Republik Indonesia
Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan proklamasi
kemerdekaannya, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusinya, maka terbentuklah sistem norma hukum negara Republik
Indonesia. Apabila kita bandingkan dengan teori jenjang norma
(stufentheorie) dan Hans Kelson dan teori jenjang norma hukum (die
10
Maria Farida. op.cit. hlm 27-35
Theorie vom Stufenordnung der Rechtshormen) dan Hans Nawiasky
terdahulu, kita dapat melihat adanya cerminan dan kedua sistem norma
tersebut dalam sistem norma hukum Republik Indonesia
Di dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia,
Pancasila merupakan Norma Fundamental negara yang merupakan norma
hukum yang tertinggi, yang kemudian berturut-turut diikuti oleh Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat serta Hukum Dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi
Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar negara atau Aturan Pokok negara
(staatsgrundgesetz), undang-undang (Formell Gesetz) serta Peraturan
Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung)
yang dimulai dan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, dan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya.11
Di dalam Pasal 7 ayat (1) UU
No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan mengenai
jenis dan
hierarki
Peraturan
Perundang-undangan
adalah
sebagai
berikut:
(a) Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang;
(c) Peraturan Pemerintah;
(d) Peraturan Presiden;
(e) Peraturan Daerah.
3. Tinjauan tentang Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya yang
berjudul Perundang-undangan dan Yurisprudensi, memperkenalkan enam asas
perundang-undangan yaitu:
a) Undang-undang tidak berlaku surut
11
Maria Farida.op.cit. hlm. 39
Arti daripada asas ini adalah, bahwa undang-undang hanya
boleh dipergunakan terhadap penstiwa yang disebut dalam undangundang tersebut, dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan
berlaku.
b) Undang-undang
yang
dibuat
oleh
Penguasa
yang
lebih
tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih. tinggi pula.
c) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang
yang bersifat umum, jika pembuatnya sama (Lex Specialis derogat lex
generalis).
Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus
wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu,
walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan
undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih
umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.
d) Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undangundang yang berlaku terdahulu (Lex posteriore derogate lex priori).
Yang dimaksudkan dengan asas ini adalah bahwa undangundang lain (yang lebih dahulu berlaku) di mana diatur suatu hal
tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang
berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan
tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan
undang-undang lama tersebut (pencabutan undang-undang secara
diam-diam).
e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat
Asas ini dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang
Dasar Sementara Pasal 95 ayat (2). Makna dan asas ini, adalah:
(1). Adanya kemungkinan bahwa isi undang-undang menyimpang
dan undang-undang dasar,
(2). Hakim atau siapa pun juga tidak mempunyai hak uji material
tcerhadap undang-undang terscbut. Artinya isi undang-undang
itu tidak boleh diuji apakah bertentangan dengan undang-undang
dasar atau/dan keadilan apa tidak; hak tersebut hanya dimiliki
oleh pembuat undang-undang tersebut. Hak uji formil, yaitu hak
untuk menyelidiki apakah undang-undang tersebut pada saat
dibentuknya adalah sesuai dengan acara yang sah, tetap dimiliki
oleh hakim.
f) Undang-undang sebagai
sarana
untuk
semaksimal
mungkin
dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat
maupun
individu.
melalui
pembaruan
atau
pelestanan
(asas”Welvaartstaat” ).
Dalam kaitan ini Amiroeddin Syarif menetapkan adanya lima
asas perundang-undangan, yaitu:
a) Asas Tingkatan Hierarki
b) Undang-undang tak dapat diganggu gugat
c) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undangundang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)
d) Undang-undang tidak berlaku surut
e) Undang-undang yang baru
menyampingkan
undang-undang
yang lama (Lex posteriori derogat lex priori)
Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan maka terdapat
persamaan dan perbedaan. Persamaannya bahwa lima asas adalah
sama, dan perbedaannya bahwa Purnadi dan Soerjono Soekanto
menambahkan satu asas lagi yaitu asas welvaarstaat.12
Dalam teori tata urutan (hierarki) peraturan perundangundangan sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen, terdapat asasasas atau prinsip-prinsip tata urutan, yaitu bahwa:
a) Perundang-undangan
mengubah
atau
yang
rendah
derajatnya
mengenyampingkan
tidak
dapat
ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya
dapat.
12
Rosjidi Ranggawidjaja, op.cit.,hlm. 47 – 48
b) Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah
oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang
lebih tinggi tingkatannya.
c) Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah
tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak
mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang
lebih
tinggi
tingkatannya.
Ketentuan-ketentuan
perundang-
undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah,
diganti atau dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah.
Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih
rendah. Tetapi hal yang sebaliknya dapat.13
4. Tinjauan tentang Asas-Asas Keseimbangan
Kranenburg merupakan murid sekaligus pengganti Prof.
Krabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya
kesadaran hukum orang. Dalil tersebut dirumuskan oleh Kranenburg
sebagai berikut: tiap orang menerima keuntungan atau mendapat
kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Dalil ini oleh Kranenburg dinamakan asas keseimbangan. Kranenburg
melanjutkan paham Krabbe dengan mengemukakan bahwa reaksi
daripadakesadaran hokum mempunyai sifat keajegan (wetmatig heid).
Reaksi itu sifatnya seimbang dengan aksi yang diwujudkan dalam
teorinya yang disebut ovenredigheids, postulaat. Sebagai contohnya
adalah dalam hubungan jual-beli di mana untung rugi untuk untuk
menuju keseimbangan. 14
13
14
Rosjidi Ranggawidjaja, op.cit.,hlm. 47 – 48
Kranenberg, Algemene Staatlehre, Tjeenk Willink and Zoon NV, hal. 19, harleem, 1960
Teori Keseimbangan ( prof. Mr. R. Kranenburg) :
kesadaran hukum orang menjadi sumber hukum , hukum itu berfungsi
menurut suatu dalil yang nyata
Kranenburg termasuk penganut teori negara kesejahteraan.
Menurutnya, tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban
hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya.
Kesejahteran pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya,
sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural: tujuantujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa upaya pencapaian tujuantujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata, seimbang.
Prof.Mr.R.Kranenburg adalah seorang ahli hukum dari
Jerman yg mengagas teori negara kesejahteraan (welfare state).
Menurut dia, tujuan negara ada 3 yaitu :
1. Negara bukan sekedar pemelihara ketertiban hukum belaka,tetapi
secara aktif mengupayakan kesejahteraan warga negaranya.
2. Negara harus benar-benar bertindak adil yg dapat dirasakan oleh
seluruh warga negara secara merata dan seimbang
3. Negara hukum bukan hanya untuk penguasa atau golongan
tertentu tetapi untuk kesejahteraan seluruh rakyat di dalam
Negara.15
Sejak dahulu, manusia hidup bersama, berkelompok
membentuk masyarakat tertentu, mendiami suatu tempat, dan
menghasilkan kebudayaan sesuai dengan keadaan dan tempat tersebut.
Manusia secara kodrati adalah sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kehidupan jiwa
yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat. Tiap manusia mempunyai sifat, watak,
dan kehendak sendiri. Namun dalam masyarakat manusia mengadakan
15
Kranenberg, op.cit.,hlm. 169.
hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong menolong,
bantu membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya. Setiap
manusia memiliki kepentingan, dan acap kali kepentingan tersebut
berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat
menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.
Apabila ketidak-seimbangan perhubungan masyarakat yang menjadi
perselisihan itu dibiarkan, maka mungkin akan timbul perpecahan
dalam masyarakat. Oleh karena itu, dari pemikiran manusia dalam
masyarakat dan makhluk sosial , kelompok manusia menghasilkan
suatu kebudayaan yang bernama kaidah atau aturan atau hukum
tertentu yang mengatur segala tingkah lakunya agar tidak menyimpang
dari hati sanubari manusia. 16
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan
zaman,
kebudayaan
Termasuk
manusia
perkembangan
mengalami
hukum.
perkembangan
Peradaban
yang
pula.
semakin
berkembang membuat kehidupan manusia sangat membutuhkan aturan
yang dapat membatasi prilaku manusia sendiri yang telah banyak
menyimpang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang
semakin maju. Aturan atau hukum tersebut mengalami perubahan dan
terus mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman.
Untuk itu, suatu negara hukum sangat perlu memperhatikan hal
tersebut.
5. Tinjauan Umum Tentang Outsourcing
Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau
pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia
jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses
administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang
telah disepakati oleh para pihak. Outsourcing (Alih Daya) dalam
hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan
16
Kranenberg, op.cit.,hlm. 170
pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. Pengaturan hukum
outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (Pasal 64, 65 dan 66) dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan
Penyedia
Jasa
Pekerja/Buruh.
Pengaturan
tentang
outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang
lengkap.
Outsourcing involves the transfer of the management and/or dayto-day execution of an entire business function to an external service
provider.The client organization and the supplier enter into a
contractual agreement that defines the transferred services. Under the
agreement the supplier acquires the means of production in the form of
a transfer of people, assets and other resources from the client. The
client agrees to procure the services from the supplier for the term of
the contract. Business segments typically outsourced include
information technology, human resources, facilities, real estate
management, and accounting.17
Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen
harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia
jasa outsourcing). Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi
dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan
jasa outsourcing18
Sementara dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun
2003 secara eksplisit tidak ada istilah outsourcing tetapi pengertian
17
Grauman, Kevin. "The Benefits of Outsourcing." CPA Journal. July 2000.
http://www.openPR.com/news/10864/Invista-and-Freeborders-PLM-Partner-of-Key-Workreceived-Outsourcing-Excellence-Award.html
18
Chandra Suwondo, Outsourcing, Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta,
2003, hal. 3
outsourcing itu sendiri secara tidak langsung dapat dilihat dalam Pasal
64 yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan atau penyediaan jasa pekerja / buruh yang dibuat secara
tertulis. Praktek outsourcing yang dimaksud dalam Undang-Undang
ini dikenal dalam 2 (dua) bentuk yaitu : pemborongan pekerjaan dan
penyediaan pekerja / buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 65 dan
Pasal 6619
Ahli hukum perburuhan Aloysius Uwiyono mengatakan bahwa
pada dasarnya ada dua bentuk outsourcing yang hendak diintrodusir
oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bentuk pertama adalah
outsourcing pekerja (Pasal 66) dan bentuk kedua adalah outsourcing
pekerjaan (Pasal 65). Uwiyono menilai outsourcing bentuk pertama
dapat di pandang sebagai human trafficking (perdagangan manusia).
Penilaian Uwiyono didasarkan pada asumsi dengan adanya perjanjian
di mana perusahaan penyedia jasa menyediakan tenaga kerja dan
pengguna (user) menyerahkan sejumlah uang, maka seolah-olah terjadi
penjualan tenaga kerja. Sementara untuk jenis yang kedua, Uwiyono
berpandangan tidak terjadi human trafficking (perdagangan manusia).
Menurutnya, dalam bentuk yang kedua ini, pekerja / buruh tetap
memiliki hubungan kerja dengan perusahaan pemborong. Sedangkan
hubungan yang tercipta antara user dengan perusahaan pemborong
hanyalah terkait dengan pekerjaan yang diborongkan tersebut20
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian
outsourcing adalah suatu bentuk perjanjian yang dibuat antara
perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan penyedia jasa (jasa
pekerja maupun jasa pemborongan pekerjaan) untuk menyediakan
19
SMERU , Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya pada Era Kebebasan
Berserikat Laporan Lembaga Penelitian SMERU, dengan dukungan dari USAID/PEG, 2002
20
Ridwan Khairandy, Itikad baik dalam kebebasan berkontrak, Disertasi, Universitas Indonesia,
Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003.
tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan pengguna
jasa dengan membayar sejumlah uang gaji tetap yang dibayarkan oleh
perusahaan penyedia jasa.
Sedangkan menurut Richardus Eko Indrajit yang dikutip oleh Sehat
Damanik, outsourcing adalah salah satu hasil samping dari Business
Process Reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan
oleh satu perusahaan dalam pengelolaannya, yang bukan sekedar
bersifat perbaikan. BPR dilakukan untuk memberikan respon atas
perkembangan ekonomi secara global dan kemajuan teknologi yang
pesat, yang menimbulkan persaingan global yang sangat ketat.21
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan
oleh Maurice F Greaver II, dalam bukunya Strategic Outsourcing, A
Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives,
dijabarkan sebagai berikut:
“Strategic use of outside parties to perform activities,
traditionally handled by internal staff and respurces.”22
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa Outsourcing (Alih Daya)
dipandang
sebagai
tindakan
mengalihkan
beberapa
aktivitas
perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain
(outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak
kerjasama.
Selain pendapat di atas ada beberapa pakar serta praktisi
outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia memberikan definisi mengenai
outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya)
21
Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, DSS Publishing, Jakarta, 2007, hal. 2-3
22
Alfredo Risano, Makalah: Pengantar Ilmu Hukum: Outsourcing, Universitas Airlangga,
Surabaya, 2006
dalam
bahasa
Indonesia
disebut
sebagai
alih
daya,
adalah
pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis
kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).23 Pendapat serupa
juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang
mendefinisikan
pengertian
outsourcing
(Alih
Daya)
sebagai
memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan
yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian
disebut sebagai penerima pekerjaan.24
Di Indonesia praktik outsourcing telah dikenal sejak zaman kolonial
Belanda. Praktik ini dapat dilihat dari adanya pengaturan mengenai
pemborongan
pekerjaan
sebagaimana
diatur
dalam
pasal
1601
b
KUHPerdata. Dalam itu disebutkan disebutkan bahwa pemborongan
pekerjaan adalah suatu kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan
diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya
membayarkan sejumlah harga.25
Sedangkan di dalam Undang-Undang Keketenagakerjaan (UUK) tidak
menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi
pengertian dari outsourcing ini sendiri dapat dilihat dalam ketentuan pasal 64
UUK ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian
kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan
tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
23
Ibid.
Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum
ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip
berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005.
25
Sehat Damaniik, op. cit, hal. 8
24
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis.26
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat
persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat
penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain, atau dalam
kata lain, dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing
yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai pengguna
jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A
meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang
diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang
dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B.
Almost half of executives believe outsourcing will deliver
innovation, higher quality, and lower costs and will increase speed to
market for key services. Executives also rate the lack of internal
resources and potential for reduced operating costs as the primary
reasons for choosing outsourcing. Secondary reasons include access
to world-class capabilities and ability to free up resources for other
purposes. Healthcare executives cite the impact on employees as the
top barrier to outsourcing, whereas general industry executives cite
measuring the value and losing control over the work as the top
barrier.27
Pengertian hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 50
UU No. 13 Tahun 2003, hubungan kerja terjadi karena adanya
26
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Stephan Manning, Silvia Massini and Arie Y. Lewin, "A Dynamic Perspective on NextGeneration Offshoring: The Global Sourcing of Science and Engineering Talent", in: Academy of
Management Perspectives, Vol. 22, No.3, October 2008, 35-54.
27
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dari dua
ketentuan itu maka hubungan kerja dilakukan oleh dua subyek hukum
yaitu pengusaha dan pekerja/buruh. Berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 5 UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia28.
Pengertian perusahaan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU
No. 13 Tahun 2003, pengusaha adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pengertian pengusaha menunjuk pada subyek hukum, sedangkan
perusahaan menunjuk pada bentuk usaha. Selanjutnya pengertian
pekerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angk 3 UU No. 13 Tahun 2003,
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
28
Asri Wijayanti, “Kendali alokasi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi tenaga kerja
Indonesia”, 2004, Yustika Vol. 7 No. 1., hal. 70
Hubungan kerja terjadi karena ada perjanjian kerja. Pengertian
perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angk 14 UU No. 13
Tahun 2003, adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak. Pengertian pemberi kerja berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angk 4 UU No. 13 Tahun 2003, adalah orang perseorangan,
pengusaha,
badan
hukum,
atau
badan-badan
lainnya
yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Pengertian tenaga kerja berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angk 2 UU No. 13 Tahun 2003, adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Hubungan kerja adalah inti dari hukum perburuhan. Dikatakan oleh
Philipus M Hadjon, bahwa hukum perburuhan merupakan disiplin
fungsional karena memiliki karakter campuran yaitu hukum publik dan
hukum privat29.
Dari ketentuan Pasal 1 angka 15 jo Pasal 50 jo Pasal 1 angka 5
jo Pasal 1 angka 6 jo Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003, dapat
diketahui bahwa subyek hukum hubungan kerja adalah pekerja/buruh
dengan pengusaha. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1 angka 14
jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003, yang
menyatakan
29
bahwa
subyek
hukum
hubungan
kerja
adalah
Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, UGM Press, Surabaya, 2005
hal. 41.
pekerja/buruh dengan pemberi kerja. Pemberi kerja lebih luas dari
pada pengusaha. Pemberi kerja meliputi subyek hukum yang
memberikan pekerjaan kepada pekerja baik dalam rangka menjalankan
suatu kegiatan usaha maupun tidak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2003, perjanjian kerja harus memenuhi syarat materiil yaitu dibuat
atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang
undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja yang dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (2)
UU No. 13 Tahun 2003, tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang
undangan yang berlaku. Apabila kita kaji lebih jauh sebenarnya
ketentuan pasal 52 UU No 13 Tahun 2003 itu mengadopsi ketentuan
pasal 1320 BW. Perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian
sehingga harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian
berdasarkan ketentuan pasal 1320 BW, apabila memenuhi unsurunsur :
1. Adanya sepakat.
2. Kecakapan berbuat hukum
3. Hal tertentu
4. Causa yang dibenarkan
Sepakat yang dimaksudkan adalah adanya kesepakatan antara
pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Di dalam hubungan kerja
yang dijadikan dasar adalah perjanjian kerja, maka pihak-pihaknya
adalah buruh dan majikan. Kesepakatan yang terjadi antara buruh dan
majikan secara yuridis haruslah bebas. Dalam arti tidak terdapat cacat
kehendak yang meliputi adanya dwang, dwaling dan bedrog
(penipuan, paksaan dan kekhilafan). Kenyataannya dalam hubungan
kerja, buruh terutama yang unskill labour tidak secara mutlak
menentukan kehendaknya. Hal ini terjadi karena buruh hanya
mempunyai tenaga yang melekat pada dirinya untuk kompensasi di
dalam melakukan hubungan kerja. Buruh tidak mempunyai kebebasan
untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan kehendaknya apabila ia
tidak mempunyai skills yang memadai. Subekti menyebutkan sepakat
sebagai perizinan, yaitu kedua subyek hukum yang mengadakan
perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal
pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh
pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka
menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.30 Saat terjadinya
sepakat tidak diterangkan dalam BW. Hofmann menyatakan perlu
30
Subekti, Hukum Perjanjian,PT. Intermasa, Jakarta, 1987,hal. 17.
pernyataan kehendak (wisverklaring) dari kedua belah pihak.31
Kehendak dinyatakan cacat apabila terdapat kekhilafan, paksaan dan
penipuan pada saat terjadinya sepakat.
Syarat kedua dari sahnya perjanjian adalah adanya kecakapan
bertindak. Hukum perburuhan membagi usia kerja dari tenaga kerja
menjadi anak-anak ( 14 tahun kebawah), orang muda ( 14 – 18 tahun)
dan orang dewasa (18 tahun ke atas) Untuk orang muda dan anak –
anak dapat atau boleh bekerja asalkan tidak di tempat yang dapat
membahayakan jiwanya. Kenyataannya, karena alasan ekonomi,
banyak anak-anak dan orang muda yang bekerja dan mungkin tempat
kerjanya dapat membahayakan jiwanya . Ketentuan pasal 1320 ayat (2)
BW yaitu adanya kecakapan untuk membuat perikatan. Orang yang
membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya
setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum.32.
Onbekwaamheid dapat dianggap sebagai suatu cacat kehendak
(wilsgebrek), akan tetapi dasarnya bukan suatu keadaan yang abnormal
seperti pada paksaan, kesesatan dan penipuan (dwang, dwaling,
bedrog), akan tetapi berdasarkan undang-undang sendiri yang karena
beberapa hal tidak memberikan kekuatan yang normal kepada
kehendak
31
beberapa
orang
tertentu.33
Di
bidang
Ibid, hal 55.
Ibid.
33
Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan,Bina Ilmu, Surabaya , 1984, hal. 146.
32
hukum
ketenagakerjaan, seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah berumur
18 tahun. Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang no.
20 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi ILO no. 138 mengenai
usia minimum untuk diperbolehkan bekerja (LN tahun 1999 no. 56),
yaitu usia minimum yang telah ditetapkan ialah tidak boleh kurang dari
usia tamat sekolah wajib dan paling tidak tidak boleh kurang dari 15
tahun. Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) yaitu usia
minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau
kerja yang karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan di mana
pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral orang muda tidak boleh kurang dari 18 tahun.
Berdasarkan ketentuan di atas maka seseorang dapat bekerja apabila
usianya telah 18 tahun dan apabila terpaksa maka usia minimumnya
adalah 15 tahun.
Syarat ketiga adalah adanya hal tertentu, maksudnya, semua
orang bebas melakukan hubungan kerja, asalkan obyek pekerjaannya
jelas ada yaitu melakukan pekerjaan.
Syarat keempat adalah adanya causa yang diperbolehkan.
Subekti menyebutnya sebagai sebab yang halal. Soetoyo menyebutnya
sebagai causa yang diperbolehkan dengan alasan istilah halal lebih
mengarah kepada agama. Causa yang diperbolehkan menunjuk pada
obyek hubungan kerja boleh melakukan pekerjaan apa saja, asalkan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan
dan ketertiban umum.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus
dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut
sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan
kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum
perdata disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai
orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan
yang di perjanjian dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut
sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau
syarat subyektif tidak dipenuhi, maka akibat dari perjanjian tersebut
adalah dapat dibatalkan. Pihak-pihak yang tidak memberikan
persetujuan secara tidak bebas, demikian juga orang tua / wali atau
pengampun bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat
meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim.34
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 13
Tahun 2003, perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Apabila
dibuat secara tertulis maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat
formil. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003,
sekurang kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
34
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan 3, PT. Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hal.43.
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i.
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Adapun jenis perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 56
jo 58 UU No. 13 Tahun 2003, dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan
atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu dan harus
dibuat secara tertulis serta tidak boleh menyaratkan adanya masa
percobaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2003, perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
Lamanya perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan ketentuan Pasal
59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, dapat diadakan untuk paling lama
2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat
(1) UU No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja
waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), berdasarkan
ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003 pihak yang mengakhiri
hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 64 jo Pasal 65 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis, dengan syarat :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Apabila syarat di atas tidak terpenuhi serta perlindungan hukum
terhadap pekerjanya minimal tidak sama dengan perjanjian kerja
waktu tidak tertentu, maka berdasarkan ketentuan Pasal 65 ayat (7),
(8), dan (9) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Selain itu UU No. 13 Tahun 2003 mengenal bentuk perjanjian
penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Kegiatan
ini sering disebut dengan outsourcing. Definisi mengenai outsourcing
adalah pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses
bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing ).35
Berdasarkan ketentuan Pasal 64 UU No. 13 tahun 2003
disebutkan
bahwa
perusahaan
dapat
menyerahkan
sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang
dibuat secara tertulis.
35
Candra Suwondo, Outsorcing , Implementasi di Indonesia, Gramedia, 2004, hal.2.
Masih
terdapat
syarat
lainnya
yang
harus
dipenuhi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan
lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Terhadap outsourcing ini ada larangan yang didasarkan pada
ketentuan Pasal 66 UU no. 13 Tahun 2003, yaitu pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat
pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.36
6. Sejarah Outsourcing
Pada dasarnya praktek dari prinsip-prinsip outsourcing telah
diterapkan sejak zaman dahulu. Hal itu dimulai ketika Bangsa Yunani
dan Romawi menyewa prajurit asing untuk bertempur dalam
peperangan, serta menyewa ahli bangunan untuk membangun kota dan
istana. Seiring dengan perkembangan sosial, prinsip outsourcing
tersebut mulai diterapkan dalam dunia usaha.
Sejak revolusi industri, perusahaan-perusahaan berusaha keras
untuk menemukan suatu langkah terobosan untuk mendapatkan
keuntungan kompetitif dan meningkatkan penjualan. Harapan mereka
yaitu perusahaan besar terintegrasi yang dapat memiliki, mengatur dan
mengontrol secara langsung semua asetnya.
Pada dasarnya ada beberapa asas berkontrak, yaitu asas
kebebasan berkontrak, asas daya mengikatnya kontrak dan asas
perjanjian hanya menciptakan perikatan diantara para pihak yang
berkontrak 37.
Sebelum pemerintahan Hindia Belanda, dikenal perhambaan
(pandelingschap) dan peruluran (horigheid, perkhorigheid). Pada saat
pemerintah Hindia Belanda dikenal adanya kerja rodi, poenale sanctie.
Untuk kepentingan politik imperialisme, pembangunan sarana
prasarana dilakukan dengan rodi. Contohnya Hendrik Willem
Deandels (1807 – 1811) menerapkan kerja paksa untuk pembangunan
36
M Syamsudin, Pemahaman outsourching dio Indonesia, Yustitia, vol 1 no. 2 Tahun 2007.
J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken verbintenissenrecht, diterjemahkan oleh Djasadin Saragih,
dalam Pokok-Pokok Hukum Perikatan, 1985, hal. 83.
37
jalan dari Anyer ke Panarukan (Banyuwangi). Rodi dibagi tiga yaitu
rodi gubernemen (untuk kepentingan gubernemen dan pegawai), rodi
perorangan (untuk kepentingan kepala atau pembesar Indonesia) dan
rodi desa (untuk kepentingan desa).38
Pada tahun 1950-an dan 1960-an dalam berbagai pertemuan
dilakukan berbagai himbauan untuk mengadakan diversifikasi atau
penggolongan, memperbesar basis perusahaan serta mengambil
keuntungan dari perkembangan ekonomi. Pelaksanaan diversifikasi
perusahaan ini diharapkan dapat melindungi keuntungan walaupun
untuk pengembangannya diperlukan beberapa tingkatan manajemen.
Sekitar tahun 1970 dan 1980 perusahaan mengalami kesulitan
dalam persaingan global. Hal ini disebabkan karena kurangnya
persiapan akibat struktur manajemen yang membengkak. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya resiko usaha dalam segala hal termasuk
resiko ketenagakerjaan. Oleh karenanya, mulai dilakukan pemikiran
untuk menggunakan outsourcing di dalam dunia usaha39.
Awal timbulnya penerapan outsourcing di dalam perusahaan
yaitu untuk membagi resiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk
masalah ketenagakerjaan. Ini disebabkan karena hal-hal sebagai
berikut :
a) Perubahan paradigma di Negara barat yang menganggap pekerja
merupakan asset terbesar perusahaan dan merupakan kewajiban
terbesar perusahaan untuk melindungi pekerja.
b) Perubahan paradigma dari pandangan kerja tradisional di mana
pekerja melayani sistem menjadi pandangan kerja modern di mana
system yang seharusnya melayani pekerja.
38
Sentanoe Kertonegoro, 1999, Hubungan industrial, hubungan antara pengusaha dan pekerja
( bipartid dan pemerintah ( tripartid), YTKI, Jakarta, hal. 187-221.
39
Jan Breman , Koelies, planters enkoloniale politiek, Het arbeidsregime op de
grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust ( Menjinakkan sang kuli Politik
Kolonial pada awal abad 20 diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer), PT Pustaka Utama
Grafiti, 1997, hal i – xxxviii.
c) Sistem pengembangan karir pada sistem organisasi yang ada saat
ini cenderung menghasilkan sebagian orang yang terbuang.
d) Keterbatasan teknologi otomatisasi.
Kegiatan outsourcing yang banyak dilakukan perusahaan besar
ini ditandai dengan strategi baru yang diterapkan oleh perusahaan
besar yaitu berkonsentrasi pada basis inti, mengidentifikasi proses
yang kritikal dan memutuskan hal-hal yang harus di-outsource-kan.
Ada beberapa alasan yang mendasari suatu perusahaan
melakukan outsourcing terhadap sebagian aktivitas-aktivitasnya.
Alasan-alasan tersebut yaitu :40.
1) Meningkatkan focus perusahaan
Dengan
melakukan
outsourcing,
perusahaan
dapat
lebih
memfokuskan diri pada bisnis utama atau core business-nya
sehingga akan dapat menghasilkan keunggulan komparatif yang
lebih cepat dan mempercepat pengembangan perusahaan.
2) Memanfaatkan kemampuan kelas dunia
Spesifikasi yang dimiliki oleh para kontraktor tersebut memiliki
keunggulan kelas dunia dalam bidangnya. Dengan kata lain
outsourcing hanya diberikan kepada kontraktor yang betul-betul
unggul di bidang pekerjaan yang akan diserahkan.
3) Membagi resiko
Outsourcing
memungkinkan
pembagian
resiko
yang
akan
memperingan dan memperkecil resiko perusahaan. Dengan adanya
pembagian resiko, perusahaan lebih dapat bergerak secara
fleksibel.
4) Sumber daya sendiri dapat digunakan untuk kebutuhan yang lain
Setiap perusahaan memiliki keterbatasan dalam pemilihan sumber
daya. Sumber daya tersebut harus dimanfaatkan pada bidangbidang yang paling menguntungkan. Pelaksanaan outsourcing
40
Ridwan Khairandy, Itikad baik dalam kebebasan berkontrak, Disertasi, Universitas Indonesia,
Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003, h. 38.
memungkinkan perusahaan untuk menggunakan sumber daya yang
terbatas itu untuk bidang-bidang kegiatan utama.
5) Memungkinkan tersedianya dana capital
Outsourcing bermanfaat untuk mengurangi biaya pada kegiatan
non core atau kegiatan penunjang. Dengan demikian dana kapital
dapat digunakan pada aktivitas yang bersifat lebih utama.
6) Memperoleh sumber daya yang tidak dimiliki sendiri
Pelaksanaan
outsourcing
terhadap
suatu
aktivitas
tertentu
disebabkan karena perusahaan tidak memiliki sumber daya yang
dibutuhkan untuk melakukan aktivitas tersebut secara baik dan
memadai.
Oleh
karenanya
dengan
melakukan outsourcing
perusahaan dapat memperoleh sumber daya yang cakap untuk
melakukan aktivitas tersebut.
7) Memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola
Salah satu masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola adalah
birokrasi ekstern yang berbelit yang harus ditaati oleh perusahaan
yang dimiliki Negara, seperti dalam menjalankan fungsi pembelian
barang dan jasa. Permasalahan ini dapat
diatasi dengan
menyerahkan pekerjaan tersebut kepada pihak ketiga yang
berbentuk swasta, yang tidak terikat pada birokrasi tertentu.
7. Dasar Hukum Outsourcing di Indonesia
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang bisa disebut
sebagai hukum materiil, merupakan sumber hukum yang paling
awal dalam masalah outsourcing. Undang-Undang ini telah ada
sejak zaman Belanda.
KUHPerdata merupakan tonggal awal pengaturan pekerjaan
pemborongan, yang secara khusus difokuskan pada obyek tertentu.
Ketentuan KUHPerdata tersebut diatur dalam Pasal 1601
KUHPerdata, yang secara luas mengatur tentang perjanjian
perburuhan dan pemborongan pekerjaan.
Pada Pasal 1601b KUPPerdata, yang dimaksud pemborongan
pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si
pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan,
dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Ketentuan pemborongan pekerjaan dalam KUHPerdata
sedikit berbeda dengan yang ditemukan dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan. Perbedaan adalah,
pada pasal-pasal yang diatur dalam KUHPerdata tidak dibatasi
pekerjaan-pekerjaan mana saja yang dapat diborongkan /
outsource, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 dibatasi, yakni hanya terdapat produk / bagian-bagian yang
tidak berhubungan langsung dengan bisnis utama perusahaan.
2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan ketentuan mengenai outsourcing diatur dakan
Pasal 64-66. Dasar dari diperbolehkannya sistem outsourcing
terdapat pada Pasal 64 : “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya
melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja /
buruh yang dibuat secara tertulis”.
Perjanjian outsourcing dapat disamakan dengan perjanjian
pemborongan pekerjaan. Ketentuan outsourcing di dalam UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 yang diatur dalam
Pasal 65, menyatakan :
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut :
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama.
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan.
c. Merupakan
kegiatan
penunjang
perusahaan
secara
keseluruhan dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja / buruh
pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan / atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan
menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara
tertulis antara perusahaan lain dan pekerja / buruh yang
dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian-perjanjian kerja waktu tidak tertentu
atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan
ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja
pekerja
/
buruh
dengan
perusahaan
penerima
pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja / buruh
dengan perusahaan pemberi kerja.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka
hubungan kerja pekerja / buruh dengan pemberi pekerjaan
sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (7).
Dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, diatur mengenai beberapa hal, yaitu :
(1) Pekerja / buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh
tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan jasa penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja / buruh untuk kegiatan jasa penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja / buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh.
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja
untuk
waktu
tertentu
yang
memenuhi
persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan / atau perjanjian
kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak.
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja,
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab
perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh.
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja / buruh
dan perusahaan penyedia pekerja / buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja / buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi,
maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja / buruh
dan perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan.
3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.101/MEN/VI/2004
Tentang
Tata
Cara
Perijinan
Perusahaan Jasa Pekerja / Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
: KEP.101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Jasa Pekerja/Buruh dibuat untuk memenuhi perintah Pasal 66 ayat
(3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaa,
pada Pasal 2 Kepmenaker ini dinyatakan bahwa :
(1) Untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh
perusahaan wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten /
Kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh.
(2) Untuk mendapatkan ijin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja / buruh perusahaan menyampaikan permohonan dengan
melampirkan :
a. Copy pengesahan
sebagai
badan
Perseorangan Terbatas atau Koperasi
hukum
berbentuk
b. Copy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan
usaha penyedia jasa pekerja / buruh
c. Copy SIUP
d. Copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.
(3) Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah menerbitkan
ijin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
diterima.
Pada pasal 4 dinyatakan bahwa dalam hal perusahaan
penyedia
jasa
memperoleh
pekerjaan
dari
perusahaan
pemberian pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat
perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat :
a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja / buruh
dari perusahaan jasa
b. Penegasan
bahwa
dalam
melaksanakan
pekerjaan
sebagaimana dimaksud huruf a, hubungan kerja yang
terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan
pekerja / buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa
sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syaratsyarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi
tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh.
c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa / buruh
bersedia menerima pekerja / buruh di perusahaan penyedia
jasa pekerja / buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja
yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam
hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja /
buruh.
Ketentuan
pendaftaran
perjanjian
tertulis
antara
perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan pemberian
pekerjaan, diatur pada Pasal 5 :
(1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus
didaftarkan pada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten / kota tempat perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh melaksanakan pekerjaan.
(2) Dalam hal perusahaan penyedia
jasa pekerjaan / buruh
melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja
yang berada dalam wilayah lebih dari satu kabupaten / kota
dalam satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada
instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.
(3) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh
melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja
yang berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi, maka
pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial.
(4) Pendaftaran perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) harus melampirkan draft
perjanjian kerja.
Pasal 6 mengatur tentang penerbitan bukti pendaftaran
sebagai berikut :
(1) Dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 pejabat instansi yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan melakukan perjanjian tersebut.
(2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, maka pejabat yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan menerbitkan bukti pendaftaran.
(3) Dalam hal terdaftar ketentuan yang tidak sesuai dengan
ketentuan pasal 4, maka pejabat yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan membuat catatan pada bukti
pendaftaran bahwa perjanjian dimaksud tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 4.
Dijelaskan pada Pasal 7 mengenai pencabutan ijin
operasional perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh, sebagai
berikut :
(1) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh tidak
mendaftarkan perjanjian penyedia jasa pekerja / buruh,
maka
instansi
yang
bertanggungjawab
di
bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja / buruh yang bersangkutan setelah mendapat
rekomendasi dari instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Dalam hal ijin operasional dicabut, hak-hak pekerja / buruh
tetap menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa
pekerja / buruh yang bersangkutan.
4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor
220 / MEN / X / 2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Nomor 220 / MEN / X / 2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian
Pelaksanaan
Pekerjaan
Kepada
Perusahaan
Lain
merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003. Hal-hal yang diatur dalam Kepmenaker ini
menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi ketika perusahaan
menyerahkan pekerjaannya kepada perusahaan lain.
Di antara beberapa syarat tersebut adalah bahwa penyerahan
pekerjaan harus dibuat dan ditandatangani kedua belah pihak
secara
tertulis
melalui
perjanjian
pemborongan
pekerjaan.
Penerima pekerjaan yang menandatangani perjanjian pemborongan
tersebut harus merupakan perusahaan yang berbadan hukum dan
mempunyai izin usaha dari ketenagakerjaan.
Apabila perusahaan pemborong pekerjaan tersebut akan
menyerahkan
lagi sebagian pekerjaan
yang
diterima dari
perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat
diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan
berbadan hukum. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan yang
bukan berbadan hukum tersebut tidak melaksanakan kewajibannya
memenuhi hak-hak pekerja / buruh dalam hubungan kerja maka
perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum tersebut
bertanggungjawab dalam memenuhi kewajiban tersebut.
Dalam hal suatu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong
pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan
pemborong pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi
kualifikasi untuk dapat melaksanakan sebagian pekerjaan dari
perusahaan pemberi pekerjaan,
pelaksanaan
pekerjaan
dapat
maka penyerahan sebagian
diserahkan
pada
perusahaan
pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. Perusahaan
tersebut bertanggungjawab memenuhi hak-hak pekerja / buruh
yang terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang bukan
berbadan hukum tersebut dengan pekerjanya / buruhnya.
Kepmenaker ini juga mengharuskan adanya jaminan atas
pemenuhan seluruh hak-hak pekerja. Syarat lainnya adalah
penyerahan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan hanya
dapat
dilakukan terhadap pekerjaan-pekerjaan
yang
bukan
merupakan pekerjaan utama perusahaan, melainkan hanya berupa
kegiatan penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi, mengingat permasalahan ketenagakerjaan di
Indonesia semakin kompleks dengan berakhir pekerja menjadi
korban.41.
B. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dapat digambarkan sebagai berikut :
Jaminan
terhadap
pemenuhan hak
tenaga
kerja
kaitannya
dengan
legalisasi sistem
pekerja kontrak
untuk
waktu
jangka pendek
(outsourcing)
UUD 1945
UUD 1945 : Pembukaan
alinea 4, Pasal, 27 (2), 28i
ayat 4, Pasal 33 ayat 1 dan 4.
UU No. 13 Tahun
2003 tentang
Ketenagakerjaan
1.
UU No. 13
Tahun 2003
(Ketenagaker
jaan) : Pasal
88
2.
UU No. 39
Tahun 1999
(HAM) :
Pasal 8, Pasal
11, Pasal 38.
3. UU No. 11
Tahun 2005
(Ratifikasi
Kovenan
Internasional
Hak
Ekonomi,
Sosial dan
Budaya) :
Pasal 7
Mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang
layak
41
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, berdasarkan UU No. 13
Tahun 2003, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 50
Sehubungan dengan masalah yang ditelusuri pada penelitian ini
dapatlah dibuat alur berpikir sebagai berikut :
Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Kemudian dalam pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan “. Dari amanat para pendiri Republik dapat kita pahami bahwa
tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan
bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Hakikat pembangunan nasional bangsa Indonesia adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia.
Pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan seluruh rakyat akan tercapai
apabila bidang-bidang kebutuhan manusia yang hendak dibangun berjalan secara
seimbang antara kebutuhan materiil dan spirituil.
Pembangunan yang dilaksanakan negara Indonesia mencakup dalam segala
bidang kehidupan bangsa. Pembangunan di bidang hukum diarahkan pada makin
terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UndangUndang Dasar (UUD) 1945 yang mencakup pembangunan materi hukum,
aparatur hukum, serta sarana prasarana hukum.
Pembangunan dapat dikatakan berhasil salah satunya adalah jika keadilan
dan keseimbangan ditegakkan dan tidak ada kebijakan yang bertentangan dengan
masyarakat. Keadilan dikatakan dapat terwujud apabila dalam kehidupan
bernegara, aspirasi masyarakat dapat terakomodir dengan baik. Suara rakta
didengar. Salah satu wujudnya adalah para pembuat kebijakan, membuat
perangkat hukum yang responsif, bukan represif. Kepentingan rakyat diuatamakan
dan tidak mendahuluakan kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Kita
bisa melihat produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, apakah
regulasi yang dibuat pemerintah sudah bersifat responsif seperti amanat
demokrasi.
Undang-undang nomor 13 tahun 2003 merupakan Undang-Undang organik
yakni undang-undang yang merupakan perintah langsung dari Undang-undang
Dasar 1945.
Dari alur bagan diatas dapat diketahui bahwa Dasar hukum diberlakukannya
outsourcing (Alih Daya) yaitu Pasal 64, 65 dan 66 dalam UU No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Peraturan peraturan per UndangUndangan yang lebih tinggi ataupun sederajat, diantaranya adalah dengan UUD
1945 pada Pembukaan alinea 4, Pasal, 27 (2), 28i ayat 4, Pasal 33 ayat 1 dan 4, :
Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 8, Pasal 11,
Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 7 UU No. 11 Tahun
2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Sehingga menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat, khususnya pada
pekerja/buruh. Solusi untuk mengatasi kontroversi tersebut adalah adanya
Amandemen terhadap UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pada Pasal-Pasal
yang mengatur tentang outsourcing. Sehingga terdapat Jaminan terhadap
pemenuhan hak tenaga kerja kaitannya dengan legalisasi sistem pekerja kontrak
untuk waktu jangka pendek (outsourcing)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi
terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah 42 .
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah berdasarkan pada
metode, sistematis dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa43.
Adapun metode penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. JENIS PENELITIAN
Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis, dan
pemilihan jenis penelitian tersebut tergantung pada perumusan masalah yang
ditentukan dalam penelitian tersebut. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian hukum normatif atau penelitian doktrinal.
Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif yang
bersifat deskriptif, yaitu penelitian normatif yang dapat diartikan sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan objek atau subjek yang diteliti pada saat sekarang
berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok-kelompok tertentu dalam
42
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif (Statu Tinjauan Singkat)..
Ctk. Pertama PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm 91.
43
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ctk. Ketiga, Universitas Indonesia (UI-Press)
Jakarta, 1986, hlm. 43
masyarakat44. Jadi dari pengertian tersebut penulis berusaha untuk
melukiskan keadaan dari suatu objek yang dijadikan permasalahan.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di perpustakaan antara lain
Perpustakaan PascaSarjana Universitas Sebelas Maret Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret dan Perpustakaan Pusat Universitas
Sebelas Maret dengan melakukan studi kepustakaan untuk memperoleh
bahan-bahan yang dibutuhkan, hal ini sesuai dengan jenis penelitian yang
digunakan dalam penulisan hukum ini, yaitu jenis penelitian normatif.
3. Jenis Data
Dalam penelitian hukum, data yang digunakan dapat dibedakan antara
data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan bahan-bahan
kepustakaan. Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat
dinamakan data primer (data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahanbahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder 45 .
Berkaitan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif,
maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data
sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan. Data sekunder didapat dari sejumlah keterangan atau faktafakta yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu melalui studi kepustakaan
yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
4. Sumber Data
Sumber data adalah tempat dimana penelitian ini diperoleh. Sumber
data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu tempat di mana
diperoleh data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi :
44
ibid ; hlm. 10
45
Soerjono Soekanto, Sri Mamuji. op.cit. hlm. 12
1.
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat
mengikat
46
. Bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini yaitu
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Undang-Undang
Dasar 1945.
2.
Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer47. Bahan hukum sekunder
dalam penelitian ini meliputi : literatur, buku dan lain sebagainya yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
3.
Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
48
.
Bahan hukum tertier dalam penelitian ini meliputi : Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Kamus Hukum.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dipakai dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik
Penelitian Kepustakaan yaitu teknik yang berupa studi kepustakaan terhadap
buku-buku dan literatur serta peraturan perundangan yang berhubungan
dengan pokok permasalahan yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data
46
ibid
47
ibid
ibid
48
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data
dalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data
49
.
Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara-cara analisis, yaitu
dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan
terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang
sifatnya kualitatif.
Penganalisisan data merupakan tahap yang paling penting dalam
penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis 50
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengolahan data yang pada hakekatnya untuk mengadakan sistematisasi
terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang dilakukan
berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data
khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk
kemudian dikaji dengan menggunakan norma secara materiil atau
mengambil isi data disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan
akhirnya diambil kesimpulan/verifikasi sehingga akan diperoleh kebenaran
obyektif.
Sesuai dengan jenis data yang deskriptif maka yang digunakan teknik
analisis
data
kualitatif,
yaitu
dengan
mengumpulkan
data,
mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan
dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil
penelitian menjadi suatu laporan.
49
Lexi J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ctk kedua, PT Remaja Rosdakarya.
Bandung. Hlm. 143
50
Soerjono Soekanto. 1986. op. cit. Hlm. 251
BAB IV
A. HASIL PENELITIAN
1. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang lebih tinggi dan sederajat.
A. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang lebih tinggi.
Dalam penulisan ini, penulis mengkaji mengenai sinkronisasi Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UUD 1945.
Dalam UUD 1945 terdapat beberapa Pasal yang dapat di sinkronkan kaitannya
dengan outsourcing, Yakni :
1. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alinea 4, yang berbunyi
: “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social,
maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam
hal ini dijelaskan bahwa Tujuan Negara adalah untuk Memajukan
kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Pada Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “Tiaptiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”, dalam penjelasannya diakatakan bahwa Pasal ini mengatur
tentang hak-hak warga Negara yang dalam hal ini adalah tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3. Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi :
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.”, Pasal ini mengatur
baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang mengenai seluruh
penduduk membuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara
yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial
dan perikemanusian. substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan,
pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah. Hak-hak tenaga kerja yang dilanggar ini
berlangsung dalam kurun waktu selama Undang-Undang Ketenagakerjaan ini
mulai berlaku yakni tahun 2003. Pemenuhan hak warga negara tentunya juga
menjadi tanggungjawab dari pemerintah seperti tersirat dalam Pasal 28i ayat 4
UUD 1945.
4. Pada Pasal 33 ayat 1 dan 4 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
,dijelaskan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang demikian tidaklah
berwatak “free fight liberalism”, melainkan kebersamaan dan demokrasi
ekonomi.
B. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang sederajat
1. Sinkronisasi pengaturan outsourcing antara Pasal-Pasal dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sendiri.Pasal
88
ayat
(1)
Undang-Undang
Ketenagakerjaan,
yang
Nomor
berbunyi
:
13
Tahun
”Setiap
2003
pekerja/buruh
tentang
berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. dijelaskan bahwa Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah
penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara
wajar yang
meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan,
pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
2. Pasal 64
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan
lainnya
melalui
perjanjian
pemborongan
pekerjaan
atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64
dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
3. Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja
pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih
menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja
pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
4. Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi.
PENJELASAN :
Ayat (1)
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan
perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan
yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu
perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan
(cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh
catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha
jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
5. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
1. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM), yang berbunyi :
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”., dalam
penjelasannya
disebutkan
Yang
bahwa
dimaksud
dengan
"perlindungan" adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.
substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan,
penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah. Campur tangan Pemerintah termasuk
legislatif sangat besar dalam memenuhi hak-hak warga negara,
termasuk di dalamnya adalah tenaga kerja.lahirnya UndangUndang yang represif ini justru menimbulkan penilaian bahwa para
pembuat kebijakan kurang bisa memenuhi rasa keadilan, dan
kemanfaatan dalam masyarakat.
2. Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM), yang berbunyi : “Setiap
orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh
dan berkembang secara layak”.
substansi dalam Pasal tersebut adalah Setiap orang berhak atas
pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang
secara layak.
3. Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) Substansinya adalah (1)
Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap orang berhak dengan
bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas
syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil; (3) Setiap orang, baik pria
maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding,
setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian
kerja yang sama; (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam
melakukan
pekerjaan
yang
sepadan
dengan
martabat
kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan
prestasinya
keluarganya.
dan
dapat
menjamin
kelangsungan
kehidupan
Pasal-pasal tersebut akan dianalisis lebih lanjut dalam bab IV bagian
pembahasan
6. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang No.11
Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya).
Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya), yaitu :
a. Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya:
i.
Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan
yang sama nilainya tanpa pembedaan apapun, khususnya
bagi perempuan harus dijamin kondisi kerja yang tidak
lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan
upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
ii. Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka;
b.
Keselamatan dan kesehatan kerja;
c. Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke
jenjang yang lebih tinggi tanpa didasari pertimbangan apapun
selain senioritas dan kemampuan;
d. Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan
berkala dengan digaji maupun imbalan pada hari libur umum.
Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai
dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi
outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih
Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke
arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.
Pemerintah sudah berupaya untuk mengurangi angka pengangguran dan
juga meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja di Indonesia. Namun dilema
pemerintah adalah antara tenaga kerja atau kepada pengusaha (si pemiliki
lapangan pekerjaan). Salah satu upayanya adalah dikeluarkan undang-undang No
12 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan, kemudian pada salah satu pasalnya
yaitu 64, 65 dan pasal 66 memungkinkan perusahaan melakukan outsourcing.
Dalam pembukaan UUD 1945 diterangkan bahwa tujuan negara adalah
memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Terkait dengan Pasal 64, bahwa Pasal 64 menjadi dasar
pelaksanaan outsourcing, dimana di dalam Pasal ini memperbolehkan
dilaksanakannya outsourcing yang pada kenyataannya cenderung melanggar hakhak tenaga kerja untuk mendapatkan kejelasan mekanisme dengan siapa buruh
berstatus outsourcing ini harus melakukan perundingan, apakah dengan pihak
yayasan yang menyalurkan, atau dengan perusahaan. sehingga posisi buruh yang
berstatus outsorcing ini lemah, sebab tidak memungkinkan baginya untuk
melakukan perundingan bersama, atau terlibat dalam serikat buruh. Keadaan ini
jelas merugikan buruh, di lain sisi, ini menguntungkan pengusaha. Jelas bahwa
kondisi ini bertentangan dengan asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Hak-hak tenaga kerja yang dilanggar ini berlangsung dalam kurun waktu
selama Undang-Undang Ketenagakerjaan ini mulai berlaku yakni tahun 2003.
Pemenuhan hak warga negara tentunya juga menjadi tanggungjawab dari
pemerintah seperti tersirat dalam Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 dan Pasal 8 UU No.
39 Tahun 1999 (HAM) yang substansinya bahwa Perlindungan, pemajuan,
penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab
Pemerintah. Campur tangan Pemerintah termasuk legislatif sangat besar dalam
memenuhi hak-hak warga negara, termasuk di dalamnya adalah tenaga
kerja.lahirnya Undang-Undang yang represif ini justru menimbulkan penilaian
bahwa para pembuat kebijakan kurang bisa memenuhi rasa keadilan, dan
kemanfaatan dalam masyarakat.
Kita paham bahwa tenaga kerja adalah subyek hukum yang penting di
perusahaan, tanpa adanya tenaga kerja, perusahaan juga tidak bisa melakukan
kegiatan usahanya. Untuk itu sudah sepatutnya tenaga kerja benar-benar dihargai,
diperhatikan serta dipenuhi hak-haknya, hal ini sesuai dengan Pasal 27 ayat 2
UUD 1945 bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Di legalkannya outsourcing ini mengesankan
bahwa pembuat kebijakan acuh terhadap ketentuan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945.
Tenaga kerja tidak mempunyai kejelasan terhadap sampai kapan dia bekerja, dan
ketika masa kerjanya sudah habis, maka dia akan kebingungan lagi untuk mencari
pekerjaan baru. Kondisi ini akan berlangsung selama hidupnya karena ia tidak
mempunyai suatu pekerjaan tetap. Jaminan dari negara bahwa tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.tidak
didapatkan oleh tenaga outsourcing.
Sistem yang dibangun dengan adanya outsourcing ini adalah suatu sistem
ekonomi yang liberal, sama sekali tidak menguntungkan tenaga kerja. Ini tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat 1 dan 4 UUD 1945 bahwa Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha
ekonomi yang demikian tidaklah berwatak “free fight liberalism”, melainkan
kebersamaan dan demokrasi ekonomi.
Istilah kasarnya adalah bahwa tenaga kerja masih ”terombang-ambing”
hidupnya karena belum memiliki suatu pekerjaan yang tetap, yang dapat
menjamin kesejahteraan di hari tuanya. Keadaan yang terombang-ambing dan
ketakutan terhadap habisnya waktu kerja bisa menyebabkan perkembangan jiwa
yang tidak baik, selain itu pekerja dengan sistem outsourcing cenderung tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara
layak. Keberadaan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang ketenagakerjaan yang
isinya adalah mendukung outsourcing juga bertentangan dengan Pasal lain di
dalam Undang-Undang yang sama yakni Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003
(Ketenagakerjaan),
yang
bunyinya
bahwa
setiap
pekerja/buruh
berhak
memperoleh penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dan
juga Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) bahwa setiap orang berhak atas
pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Ketentuan lain yang dilanggar adalah Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999
(HAM) (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih
pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan
yang adil; (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan
yang sama, sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat
perjanjian kerja yang sama; (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam
melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas
upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan
kehidupan keluarganya.
Dalam Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaza
juga diatur mengenai hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil
dan menguntungkan, kita lihat Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 (Ratifikasi
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) bahwa Hak setiap
orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan
khususnya menjamin: a. Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurangkurangnya:
(i)Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya
tanpa pembedaan apapun, khususnya bagi perempuan harus dijamin kondisi kerja
yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama
untuk pekerjaan yang sama; (ii)Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga
mereka; b. Keselamatan dan kesehatan kerja; c. Kesempatan yang sama bagi
setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa didasari
pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan; d. Istirahat, liburan dan
pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan berkala dengan digaji maupun
imbalan pada hari libur umum.
Jika Analisis secara deskriptif ini diterangkan dalam sebuah tabel, maka
dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Tabel:
Pasal-Pasal Yang Diingkari/Ditabrak oleh Aturan Kerja Kontrak
dan Outsourcing dalam UU No. 13 Tahun 2003
No.
Hukum/Peraturan
yang Substansi
diingkari/ditabrak
1
Pembukaan UUD 1945
Tujuan
negara:
Memajukan kesejahteraan
umum
berdasarkan
Pancasila untuk keadilan
sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2
Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 dan Pasal 8 Perlindungan, pemajuan,
UU No. 39 Tahun 1999 (HAM)
penegakkan,
pemenuhan
dan
hak
asasi
manusia terutama menjadi
tanggung
jawab
Pemerintah.
3
Pasal 27 ayat 2 UUD 1945
Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
4
Pasal 33 ayat 1 dan 4 UUD 1945
Perekonomian
disusun
sebagai
usaha
berdasar
bersama
atas
asas
kekeluargaan. Pemikiran
usaha
ekonomi
demikian
yang
tidaklah
berwatak
“free
liberalism”,
fight
melainkan
kebersamaan
dan
demokrasi ekonomi.
5
Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 Setiap
(Ketenagakerjaan)
pekerja/buruh
berhak
memperoleh
penghasilan
dan
penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan
6
Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM)
Setiap orang berhak atas
pemenuhan
kebutuhan
dasarnya untuk tumbuh
dan berkembang secara
layak.
7
Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM)
(1) Setiap warga negara,
sesuai
dengan
kecakapan,
berhak
bakat,
kemampuan,
atas
pekerjaan
yang layak; (2) Setiap
orang
berhak
dengan
bebas memilih pekerjaan
yang
disukainya
dan
berhak pula atas syaratsyarat
ketenagakerjaan
yang
adil;
(3)
Setiap
orang, baik pria maupun
wanita yang melakukan
pekerjaan
yang
sebanding,
sama,
setara,
dan
serupa, berhak atas upah
serta
syarat-syarat
perjanjian
kerja
yang
sama; (4) Setiap orang,
baik pria maupun wanita,
dalam
melakukan
pekerjaan yang sepadan
dengan
martabat
kemanusiaannya
berhak
atas upah yang adil sesuai
dengan prestasinya dan
dapat
menjamin
kelangsungan kehidupan
keluarganya.
8
Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 Hak setiap orang untuk
(Ratifikasi Kovenan Internasional Hak menikmati kondisi kerja
Ekonomi, Sosial dan Budaya)
yang
adil
menguntungkan,
dan
dan
khususnya menjamin: a.
Imbalan
memberikan
pekerja,
yang
semua
sekurang-
kurangnya:
(i)Upah yang adil dan
imbalan yang sama untuk
pekerjaan
yang
sama
nilainya tanpa pembedaan
apapun, khususnya bagi
perempuan harus dijamin
kondisi kerja yang tidak
lebih
rendah
daripada
yang dinikmati laki-laki
dengan upah yang sama
untuk
pekerjaan
yang
sama; (ii)Kehidupan yang
layak bagi mereka dan
keluarga
mereka;
Keselamatan
kesehatan
b.
dan
kerja;
c.
Kesempatan yang sama
bagi setiap orang untuk
dipromosikan ke jenjang
yang lebih tinggi tanpa
didasari
pertimbangan
apapun selain senioritas
dan
kemampuan;
Istirahat,
liburan
pembatasan
jam
d.
dan
kerja
yang wajar dan liburan
berkala
dengan
digaji
maupun imbalan pada hari
libur umum.
Dalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat
saat ini, maka perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya
melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah dengan mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk
dapat memberi kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu
perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core
business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses
kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing.”
Atau dengan kata lain outsourcing atau alih daya merupakan proses
pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan
lain diluar perusahaan induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa
vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan
tertentu. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya mencakup
tenaga kerja pada proses pendukung (non--core business unit) atau secara praktek
semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing.
Outsourcing menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya
bagi tenaga kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan
outsourcing. Dalam praktek, kerja kontrak dan outsourcing bukanlah hal baru.
Varian kedua model hubungan ketenagakerjaan ini telah dilakukan sejak lama
meskipun aturan tentang itu belumlah cukup lengkap diatur, utamanya
menyangkut aspek-aspek perlindungan terhadap buruh sebagai kaum yang
berposisi lebih lemah. Dalam konteks Indonesia, hal ini telah kian diperkuat sejak
awal krisis finansial melanda Asia Tenggara dan Asia Timur di tahun 1997,
khususnya saat UU No. 25 Tahun 1997 disahkan. UU ini sangat kontras dan
ofensif dibandingkan dengan peraturan perburuhan sebelumnya.
Bandingkan dengan aturan sebelumnya, persisnya dua tahun setelah
proklamasi kemerdekaan, pemerintah Perdana Menteri Sjahrir mengeluarkan UU
Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, yang merupakan produk hukum
perburuhan pertama yang dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri. UU membawa
perubahan penting dalam politik perburuhan, karena menggantikan skema Pasal
1601-1603 BW yang lebih menyandarkan paradigma liberal antara hubungan
privat buruh-pengusaha.
Setahun kemudian, dikeluarkan dua undang-undang: UU Nomor 12
Tahun 1948 tentang Kerja dan UU Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan
Perburuhan, yang subantsinya sangat protektif terhadap hak-hak buruh. Misalnya,
dalam UU Nomor 12 Tahun 1948, ada pasal yang melarang diskriminasi kerja;
jam kerja yang 40 jam dalam seminggu; kewajiban pengusaha untuk menyediakan
fasilitas perumahan bagi buruh/pekerja; larangan mempekerjakan anak di bawah
usia 14 tahun; jaminan hak perempuan buruh untuk mengambil cuti haid dua hari
dalam sebulan; dan pembatasan kerja malam bagi perempuan51
Perkembangan pembaruan hukum perburuhan di Indonesia pasca krisis
finansial sebenarnya memiliki konteks yang demikian kuat mempengaruhi
lahirnya sejumlah teks yang secara sistematik dan terstruktur rapi dalam politik
(ekonomi) legislasi buruh. Tiga gelombang pembaruan hukum (1997-1998, 20002004, dan 2005-sekarang) telah memperlihatkan kekuatan neo-liberalisme melalui
tangan-tangan
multilateral development
banks (Bank-bank pembangunan
multilateral, semacam Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan IMF) telah
terlibat mendisain arah hukum buruh. Dalam skema pembaruan tersebut,
proponen neo-liberal mengusung diskursus-diskursus (baca: mantra) yang begitu
gampang dipercaya oleh negara-negara di selatan yang mayoritas negara miskin
dan berkembang, tak terkecuali Indonesia52.
Diskursus yang melibatkan skenario kebijakan perburuhan antara lain:
good governance (pemerintahan yang baik), labor market flexibility (pasar buruh
lentur), dan legal framework for development (kerangka hukum untuk
pembangunan). Tentu, untuk memudahkan penerimaan diskursus tersebut
51
Disampaikan pada acara Dialog Publik: Kajian Terhadap Sistem Kerja Kontrak dan
Outsourcing, diselenggarakan oleh Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) Komite
Wilayah Kabupaten Gresik, 25 Maret 2007
52
Wiratraman, R. Herlambang (2006c) “Hak Buruh, Revisi UU 13/2003 dan Imperialisme Global”,
Surabaya Post, 1 Mei 2006, http://www.surabayapost.info/kolom. php?id=42555&klom=Opini&kolomid=5
(diakses 10 Maret 2007).
diperlukan teknologi kekuasaan dan rasionalitas untuk menyuntikkannya, dengan
cara pemenuhan persyaratan utang, bantuan teknis, dan utang itu sendiri. Turunanturunan diskursus tersebut untuk memberikan pembenaran politik hukumnya,
disertakan konteks yang nyata, seperti merespon kebutuhan investasi pasca krisis,
pengentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran, dan penciptaan kondusifitas
hubungan industrial. Kongkritnya, dibentuklah hukum dengan pengaturanpengaturan khusus dalam reformasi kebijakan buruh yang menerjemahkan
teknologi kekuasaan tersebut, seperti pengesahan 3 paket UU Buruh (UU No. 21
Tahun 2000 tentang Serikat Buruh; UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial)53.
Dari sekian banyak provisi pasal-pasal yang dipaksakan untuk
memenuhi persyaratan neo-liberalisme, salah satu-duanya soal kerja kontrak dan
outsourcing. Tulisan berikut tidak hendak mengurai kerja kontrak dan outsourcing
dalam perspektif hukum semata, melainkan membongkar mitos dan mantra yang
terlampau banyak membius pembenaran kerja kontrak dan outsourcing melalui
perspektif hak-hak asasi manusia54.
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan penerima pekerja sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh
pada perusahaan pemberi kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap
pekerja/buruh baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima
pekerjaan karena pada hakekatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang
sama,sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih
rendah.
Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan dan di tuangkan dalam
53
Wiratraman, R. Herlambang (2006a) Good Governance and Legal Reform in Indonesia.
Thesis for Master of Arts Program in Human Rights, Mahidol University, Bangkok
54
Wiratraman, R. Herlambang (2006b) “Disain Neo-Liberalisme dan Ancaman Terhadap Hak-Hak Buruh”,
Makalah Untuk Labor Law Course For Trade Unionist, Surabaya, 7-10 September 2006, Trade Union Rights
Center Dan Forum Buruh Surabaya
Perjanjian Kerja tertulis.Hubungan kerja tersebut pada dasarnya PKWTT
(Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu ) atau tetap dan bukan kontrak, akan tetapi
dapat pula dilakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) /kontrak apabila
memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur
dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Dengan demikian maka hubungan kerja pada outsouring tidak selalu
dalam bentuk PKWT/Kontrak , apalagi akan sangat keliru kalau ada yang
beranggapan bahwa outsourcing selalu dan atau sama dengan PKWT. Perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing,
harus dibedakan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (Labour
Supplier). Sebagaimana diatur dalam Pasal 35, 36, 37 dan 38 UU Ketenagakerjaan
No. 13 Tahun 2003 yaitu apabila tenaga kerja telah di tempatkan, maka hubungan
kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
kerja bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta tersebut.
Dalam pelaksanaan penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan
pemberi kerja tidak boleh memperkerjakan pekerja /buruh untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan
hanya boleh di gunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan di
maksud antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha
penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman/satuan
pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan
serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh.
Di samping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan,
perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh bertanggung jawab dalam hal
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan
hubungan industrial yang terjadi.
Pangaturan pelaksanan outsourcing bila dilihat dari segi hukum
ketenagakerjaan yang di sebutkan di atas adalah untuk memberikan kepastian
hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan
perlindungan kepada pekerja/buruh, sehingga adanya anggapan bahwa hubungan
kerja
pada
outsourcing
selalu
menggunakan
Perjanjian
Kerja
Waktu
Tertentu/Kontrak sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar.
Pelaksanan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam Pasal
65 ayat (6) dan (7) dan Pasal 66 ayat (2) dan (4) UU Ketenagakerjaan. Memang
pada keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefinisikan/menentukan jenis
pekerjaan yang dikatagorikan penunjang. Hal tersebut dapat terjadi karena
perbedaan persepsi dan adakalanya juga dilatarbelakangi oleh kepentingan yang
diwakili untuk memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut.
Di samping itu bentuk-bentuk pengelolaan usaha yang sangat
bervariasi dan beberapa perusahaan multi nasional dalam era globalisasi ini
membawa
bentuk
baru
pola
kemitraan
usahanya,menambah
semakin
kompleksnya kerancuan tersebut.Oleh karena itu melalui Keputusan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (5) UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003 diharapkan mampu mengakomodir/memperjelas dan menjawab
segala sesuatu yang menimbulkan kerancuan tersebut dengan mempertimbangkan
masukan dari semua pihak pelaku proses produksi barang maupun jasa.
Selain upaya tersebut, untuk mengurangi timbulnya kerancuan, dapat
pula dilakukan dengan membuat dan menetapkan skema proses produksi suatu
barang maupun jasa sehingga dapat di tentukan pekerjaan pokok/utama (core
business) ; di luar itu berarti pekerjaan penunjang. Dalam hal ini untuk
menyamakan persepsi perlu dikomunikasikan dengan pekerja/buruh dan SP/SB
serta instansi terkait untuk kemudian dicantumkan dalam PP/PKB.
Pasal-pasal tersebut menurut hemat penulis adalah bermasalah,
Padahal awalnya pasal-pasal tersebut diharapkan pemerintah Indonesia mampu
memberikan jawaban atas mantra “hubungan industrial yang kondusif” dan
“menarik investasi”. Benarkah terjadi kondusifitas hubungan antara buruh dan
pengusaha sehingga membuat para investor bersedia menanamkan investasinya di
Indonesia, yang kemudian akan diharapkan banyak menyerap tenaga kerja baru.
Perlu dilihat konsistensi pasal dalam UU Ketenagakerjaan tersebut
dengan UUD 1945 sebagai hukum dasar, atau hukum tertinggi dalam hirarki
peraturan perundang-undangan.
Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan secara tegas tujuan negara,
yakni salah satunya memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini jelas konstruksi dasar filsafat
negara yang menjadi cita-cita pendiri bangsa di tahun 194555.
2. Kontroversi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 melanggar hak-hak tenaga
kerja
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan
harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan
jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi
terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan
jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha
untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production)56. Salah satu
solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan
55
Sebagai contoh, outsourcing yang menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu. Perjanjian kerja waktu
tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, adanya kelangsungan pekerjaan seorang buruh, karena
seorang buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan
putus dan tidak akan bekerja lagi di situ, akibatnya buruh akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga
keberlanjutan pekerjaan menjadi persoalan bagi buruh yang menjadi tenaga outsourcing dengan perjajian
kerja waktu tertentu. Kalau job security tidak terjamin, maka bertentangan dengan jaminan konstitusional
mendapatkan pekerjaan yang layak.
56
Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?,
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm
dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM)
yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan57.
Outsourcing
(Alih
Daya)
diartikan
sebagai
pemindahan
atau
pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana
badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen
berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak58.
Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia
diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja59.
Pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing
(Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.
Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak
disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk
di bidang hukum ketenagakerjaan. Menurut Robert A. Nisbet dalam bukunya:
Social Change and History., bahwa dengan timbul perubahan di dalam susunan
masyarakat yang disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Pengertian hak
milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik
dan barang juga mengalami perubahan karenanya. Sifat-sifat kepemilikan menjadi
berubah, oleh karena sekarang “ barang siapa yang memiliki alat-alat produksi”
57
58
ibid
Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id,
diakses tanggal 4 Agustus 2006
59
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan,
bukan lagi hanya menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia
yang hidup sebagai buruh.60
Outsourcing can be undertaken to varying degrees, ranging from total
outsourcing to selective outsourcing. Total outsourcing may involve dismantling
entire departments or divisions and transferring the employees, facilities,
equipment, and complete responsibility for a product or function to an outside
vendor. In contrast, selective outsourcing may target a single, time-consuming
task within a department, such as preparing the payroll or manufacturing a minor
component, that can be handled more efficiently by an outside specialist61.
Dalam perspektif hukum, menurut Satjipto Rahardjo, bahwa: Pemilik
barang hanya terikat kepada barangnya saja. Ia hanya mempunyai kekuasaan atas
barang yang dimilikinya, tetapi apa yang semula merupakan penguasaan serta
kontrol atas barang, atas pekerja upahan. Perubahan ini terjadi setelah barang itu
berubah fungsinya menjadi kapital. Orang yang disebut sebagai pemilik,
membebani orang lain dengan tugas-tugas, menjadikan orang itu sebagai sasaran
dari perintah-perintahnya dan setidak-tidaknya pada masa awal-awal kapitalisme
mengawasi sendiri pelaksaan dari perintah-perintahnya. Seorang yang semula
memiliki res, sekarang bisa “memaksakan” kehendaknya kepada personae.62
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi
disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus
diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk
60
Robert A. Nisbet, Social Change and History - Aspects of the Western Theory of Development,
London, Oxfort University Press, 1972 ; Dalam: Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat,
Angkasa, Bandung, 1980, h. 97.
61
McDonald, SM and Jacobs, TJ (2005) Brand Name ‘India’: The Rise of Outsourcing, Int. J.
Management Practice, Vol. 1, No. 2, pp. 152–174
62
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h. 205.
keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk
membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan63.
Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan
menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih
sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang
secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam
bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada
kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar,
dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan
kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini
juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.
Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup
bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia
usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak
dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu
memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut.
Berikut beberapa contoh yang menunjukkan bahwa outsourcing sangat
tidak disukai oleh pelaku usaha, terutama kaum buruh :
1. Sekitar 100 buruh yang tergabung dalam Forum Pekerja Operator Head
Truck melakukan unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat,
Rabu (25/11). Mereka menolak sistem kerja outsourcing yang diterapkan di
beberapa perusahan di Pelabuhan Tanjung Priok. Pengunjuk rasa
menyatakan, perusahaan tempat mereka bekerja diduga melakukan
pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003
karena akan memberlakukan outsourcing pekerja yang menjadi bagian
63
Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk dilakukan revisi
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan Hubungan Kerjam Perjanjian
kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangon, Ijin tenaga Kerja Asing dan istirahat panjang
utama dari perusahan tersebut. Mereka menuntut perusahaan menaati
Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta
melakukan pengawasan kerja. Mereka mengancam akan mogok kerja
selama satu minggu sejak 1 Desember mendatang64.
2. Jantung Ibukota berdegub kencang. Lalu lintas di kawasan Jl.ThamrinSudirman, Silang Monas Jalan Medan Merdeka, hingga ke jalan-jalan arteri
di sekitarnya, lumpuh total pada hari Rabu terakhir di bulan Maret 2006 lalu.
Ribuan buruh dan pekerja kerah putih dari berbagai elemen organisasi
serikat pekerja –Aliansi Buruh Menggugat— hari itu tumpah ruah ke jalan,
mengepung Istana Negara, dengan mengusung satu tuntutan
bersama:
Menolak Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
Penyebabnya menurut media massa adalah karena draft revisi undangundang ketenagakerjaan yang disusun oleh tim Bappenas , diantaranya
memuat dua subtansi, oleh para pekerja dianggap sangat merugikan.
Pertama, ketentuan siapa yang wajib diberi pesangon dan besaran pesangon.
Kedua, pemberlakuan status pekerja kontrak atau outsourcing. Soal
pesangon, dalam UU No.13 Tahun 2003 pasal 156, ditetapkan bahwa
perusahaan wajib memberikan pesangon manakala terjadi PHK. Namun,
ketentuan tersebut dibatasi di dalam draft revisi. Pesangon hanya diberikan
kepada pekerja atau buruh yang upahnya Rp.1,2 juta ke bawah. Draft revisi
pasal 156 itu berbunyi: (ayat 2), Pekerja/buruh yang berhak mendapatkan
pesangon adalah pekerja/buruh yang mendapat upah lebih rendah atau sama
dengan satu kali penghasilan kena pajak.
Artinya, apabila terjadi PHK, maka hanya buruh rendahan yang diberi
pesangon, sedang pekerja kantoran pada level menengah ke atas tidak
mendapat pesangon.
64
http://soulofdistortion.wordpress.com/2007/07/30/gambaran-buruh-outsourcing/
Hal lain yang memicu aksi demonstrasi Aliansi Buruh Menggugat, adalah
soal outsourced, atau perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Semula
outsourced hanya bisa diberlakukan pada jenis pekerjaan tertentu. Pasal 59
ayat 1 UU No.13 berbunyi: (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
(PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat
atau kegiatan dalam waktu tertentu.. Yakni: (a) pekerjaan yang sekali selesai
atau
yang
sementara
sifatnya,
(b)
pekerjaan
yang
diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun, (c)
pekerjaan yang bersifat musiman, (d) pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
Dalam draft perubahan, ketentuan pekerja outsourced diubah menjadi:
“…dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan”.
Revisi pasal tersebut dianggap dapat menimbulkan kerentanan terhadap
pelanggaran atas hak-hak pekerja outsourced –pekerja yang bekerja untuk
perusahaan namun tidak menjadi karyawan perusahaan tersebut, melainkan
dipekerjakan melalui pihak ketiga, atau perusahaan jasa tenaga kerja.
Kendati hak-hak pekerja outsourced ditetapkan sama dengan pekerja
permanen (karyawan), namun pada prakteknya di lapangan, menurut Ira
Puspadewi Director Social Community Investment Asia and India Subcontinent Gap Inc, seringkali terjadi pelanggaran.
Aturan outsourcing sebelum direvisi sudah membuat merana banyak
pekerja. Sebab, meski sudah bekerja bertahun-tahun, mereka tak juga
mendapat kepastian untuk diangkat menjadi karyawan tetap. Dengan
adanya revisi, ketentuan itu bakal memperlebar cakupan jenis pekerjaan
yang boleh di- outsourcing – kan. Sehingga, mempersempit peluang
terserapnya pekerja sektor informal ke dalam sektor formal. Padahal, jumlah
buruh terbesar di negeri ini adalah di sektor informal, sektor dimana
perlindungan dan jaminan hak-hak pekerja kerap ditelantarkan. Revisi pasal
outsourcing tersebut, bakal memperbanyak jumlah buruh dan pekerja yang
merana.
Aksi buruh dan pekerja mengepung Istana Negara untuk menolak Revisi UU
Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 akhir Maret lalu tak hanya
melumpuhkan lalu lintas jalan di Ibukota. Tetapi, sangat disayangkan,
berakhir dengan pengrusakan pot-pot kembang dan lampu lalu-lintas di
sepanjang Jalan Thamrin, Jakarta.
Para demonstran yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat
mengancam akan melakukan mogok nasional apabila pemerintah tetap
ngotot merevisi aturan perundangan yang merupakan salah satu regulasi di
bidang ketenagakerjaan tersebut.
Pemerintah punya alasan tersendiri saat mengajukan draft revisi UU No.13
Tahun 2003 itu. Ini terkait soal iklim investasi. Salah satu faktor lambatnya
pertumbuhan ekonomi, menurut pemerintah, adalah karena rendahnya
pertumbuhan investasi. Dan itu, satu diantara sebabnya, adalah karena
undang-undang ketenagakerjaan dinilai “tidak ramah” dan “menakutkan”
bagi para investor.
Undang-undang ketenagakerjaan yang ada dianggap mengganjal masuknya
investasi, menjadi sebab buruknya iklim investasi di Indonesia. Maka
pemerintah menetapan untuk melakukan Revisi UU Ketenagakerjaan No.13
Tahun 2003, sebagai satu dari lima kebijakan untuk memperbaiki iklim
investasi.
Lima kebijakan yang dimaksud, disusun dalam Inpres No.3 Tahun 2006
tentang Perbaikan Iklim Investasi, menyangkut soal: (1) reformasi birokrasi,
(2) menghilangkan pungutan tak perlu, (3) percepatan perizinan, (4)
perbaikan perpajakan dan bea cukai, (5) deregulasi aturan perburuhan.
Inpres tersebut diluncurkan pada akhir Februari 2006, sebulan sebelum aksi
demonstrasi buruh.
Bagi kalangan pengusaha, revisi yang diajukan pemerintah dianggap cukup
adil. Sebab, bila tak direvisi, aturan mengenai besaran nilai pesangon dan
siapa saja yang wajib diberikan, dalam pasal 156 UU No.13 Tahun 2003 itu,
dinilai memberatkan. Biaya menutup perusahaan bisa sama dengan biaya
membuka usaha baru, karena tingginya biaya yang dikeluarkan., undangundang tersebut dinilai sebagai penyakit buat investasi di Indonesia.
Besaran pesangon di Indonesia, dari data yang dikutip lembaga penelitian
SMERU, untuk buruh yang sudah bekerja selama 4 tahun, diberikan 12 kali
gaji. Untuk masa kerja yang sama, di Thailand diberikan 6 kali gaji, Cina 3
kali gaji, Malaysia 2,4 kali gaji, dan India 2 kali gaji.
Tak ada yang mau tampak tak bersimpati terhadap kaum buruh dan pekerja.
Tetapi, bila besaran pesangon tak dikurangi, maka semakin kecil peluang
untuk menyerap tenaga kerja baru, termasuk pula peluang tenaga kerja di
sektor informal –yang jumlahnya mencapai 66,5 juta atau 70 persen dari
total angkatan kerja— untuk bisa terserap masuk ke sektor formal65.
3. Ratusan karyawan dari sejumlah perusahaan di Kota Batam menggelar aksi
unjuk rasa di depan Kantor Wali Kota (Wako) Batam, pada tanggal 8
Oktober 2009. Mereka menolak praktik outsourcing (buruh kontrak) yang
diterapkan perusahaan industri. Di bawah bendera Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia (FSPMI) Kota Batam, massa berkumpul di depan gerbang
Pemko Batam dengan mengusung spanduk dan poster dengan tulisan
bernada kecaman dan tuntutan. Pengunjuk rasa tak bisa masuk ke halaman
Pemko karena dihadang puluhan polisi.
Mereka membawa beberapa tuntutan. Antara lain, menolak praktik
outsourcing, menuntut upah layak, revisi UU No.13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan. Mereka
65
juga pertanyakan kenapa UMK belum juga
http://robeeon.net/search/Hubungan+Kerja+&+Hakhak+Normatif+Karyawan+Kontrak+Dan+Outsourcing+
dibahas-bahas. Padahal, di daerah lain sudah diputuskan.. Aksi protes
praktik buruh kontrak tersebut, sudah tiga kali dilakukan. Pertama, 14
Agustus 2008, kedua 1 Mei 2009, dan kemarin aksi ketiga. Sayangnya,
belum ada respon sama sekali dari pemerintah. Tak hanya pemerintah,
mereka juga menilai DPRD Batam kurang aspiratif.
Di saat pendemo berorasi, delegasi buruh masuk ke Kantor Wali Kota.
Mereka diterima Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Batam, Rudi
Sakyakirti dan jajarannya. Perundingan antara pemerintah dengan utusan
buruh itu tak berlangsung lama. Setelahnya, Rudi muncul dan tampil di
tengah-tengah massa lalu naik di atas mobil pengunjuk rasa. Di hadapan
ratusan pekerja, Rudi berjanji akan menindaklanjuti tuntutan yang
disampaikan. Di antaranya masalah outsourcing, revisi Jamsostek, upah
layak, menindak pengusaha yang melanggar aturan66
4. Baru baru ini Indosat telah memberhentikan kurang lebih 2000 orang
buruhnya. Khususnya buruh outsourcing di perseoran tersebut. PHK yang
menimpa 2000 buruh tersebut merupakan contoh mutakhir bagaimana
perbudakan modern sedang berlangsung di negeri ini. Walau ribuan buruh
tersebut telah mengabdi sekian lama di perusahaan telekomunikasi terbesar
itu, ternyata tak diakui sebagai bagian dari Indosat. Mereka bukan karyawan
Indosat, begitu kata Harry Sasongko, CEO Indosat. Indosat hanya beurusan
dengan perusahaan outsourcing-nya. Demikianlah ekses dari pasal-pasal
yang mengatur tentang outsourcing dan kerja kontrak dalam UU Nomor 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Ribuan buruh yang ter-PHK tersebut nyatanya bekerja di bagian bagian yang
cukup vital dan merupakan bagian utama dalam bisnis komunikasi, yang
artinya pekerjaan itu tak akan habis dalam waktu tertentu seperti proyek
pembuatan gedung, misalnya. Bagian bagian tersebut antara lain adalah
Marketing
66
communication,
technical,
costumer
http://batampos.co.id/metro/Metro/Wako_Dikado_Ayam_Putih.html
service.
Sehingga,
berdasarkan ketentuan UU, praktik kerja kontrak atau outsourcing tidak
diperbolehkan dikasus ini.
Dengan situasi keuangan yang mapan saat ini, Indosat tidak mempunyai
alasan yang cukup kuat untuk mengurangi karyawanya. Dibalik ini,
kemungkinan perusahaan sedang menjalankan strategi efisiensi dengan
merekrut tenaga kerja baru dengan kontrak baru. Artinya, setelah 2000
buruh dikembalikan kepada perusahaan outsourcing, Indosat
akan
"membeli" tenaga kerja baru dengan sistem yang sama, paling tidak untuk 2
tahun mendatang. Praktek inilah yang disebut perbudakan modern, dimana
tenaga
kerja
bisa
dijual-belikan,
tanpa
hak-hak
yang
layak.
Tidak adanya respon ribuan buruh yang ter-PHK ada beberapa kemungkinan
antara lain; pertama, para buruh sudah terikat kontrak dan habis masa
kontraknya. kedua, para buruh telah merasa mendapatkan hak-haknya.
ketiga, para buruh belum terorganisasi dalam serikat buruh. Pengalaman
membuktikan bahwa yang pertama dan ketigalah yang sering muncul.
Dimana buruh kontrak atauoutsourcing memang lemah posisi tawarnya.
Bahkan untuk ikut SB saja, mereka masih takut67.
5. Melalui aksi demo masif, tahun lalu buruh se-Indonesia yang bersatu
berhasil menggagalkan upaya pengesahan draf revisi Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dianggap tak berpihak
kepada mereka. Namun, bagi sebagian besar buruh, perjuangan mereka
sebenarnya belum berakhir.
Beberapa tahun terakhir ini buruh bukan hanya merasakan kian menurunnya
kesejahteraan mereka, akibat terus menurunnya upah riil dan daya beli
67
http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=555&Itemid=1
mereka. Namun, juga semakin menguatnya praktik eksploitasi terhadap
buruh di rezim neoliberalisme, melalui apa yang disebut dengan sistem
kontrak kerja dan outsourcing.
Penghapusan sistem kontrak kerja dan outsourcing ini menjadi salah satu
tuntutan sentral kelompok buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh
Menggugat (ABM) dalam aksi demo besar-besaran yang akan mereka gelar
pada Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2008.
Mereka juga mendesak pemerintah untuk segera menurunkan harga-harga,
memperbaiki upah buruh, dan memberlakukan upah layak nasional. ABM
menyatakan akan mengerahkan ratusan ribu anggotanya untuk mengepung
Istana Negara hari itu.
Pada hari yang sama, di Gelora Bung Karno, Senayan, rencananya juga akan
digelar May Day Fiesta oleh Serikat Pekerja Nasional (SPN), Serikat
Pekerja Metal Indonesia (SPMI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI),
LEM, dan beberapa kelompok serikat pekerja lain. Acara ini rencananya
akan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua MPR Hidayat
Nur Wahid, dan Ketua DPR Agung Laksono.
Sistem kontrak dan outsourcing yang sudah menjadi fenomena global
beberapa tahun terakhir dijiwai oleh tuntutan fleksibilitas pasar kerja dari
para pelaku usaha, untuk tetap kompetitif di pasar global. Sistem ini muncul
dalam bentuk hubungan kerja yang lebih longgar antara pengusaha dan
buruh berdasarkan sistem kontrak, dengan menghilangkan hak-hak normatif
buruh.
Dalam UU No 13/2003, sistem kerja kontrak dan outsourcing itu dilegalkan
dengan cara diatur dalam pasal tersendiri. Dalam draf revisi UU No
13/2003, sistem kerja kontrak dan outsourcing bahkan tidak lagi dibatasi
pada pekerjaan noninti, tetapi semua jenis pekerjaan dan masa kontraknya
pun diperpanjang menjadi lima tahun.
Kalangan pekerja/buruh menganggap ini sebagai bentuk penjajahan atau
perbudakan terselubung oleh pemilik modal yang menginginkan Indonesia
tetap jadi pasar buruh murah.
Adanya sistem kontrak dan outsourcing ini membuat posisi tawar
pekerja/buruh semakin lemah karena tidak ada kepastian kerja, kepastian
upah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, pesangon jika di-PHK, dan
tunjangan-tunjangan kesejahteraan lain.
Mereka juga melihat ini sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab oleh
negara untuk melindungi buruh. Kian sempitnya lapangan kerja membuat
buruh tidak dihadapkan pada banyak pilihan, kecuali menerima kondisi yang
ada. Tak sedikit dari mereka terpaksa membiarkan dirinya jadi obyek
perdagangan manusia oleh para calo dan oknum perusahaan yang
memperlakukan mereka tak lebih hanya buruh upahan atau tenaga kerja
lepas.
Outsourcing dan sistem kontrak melalui perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) itu sendiri merupakan dua dari empat isu paling krusial dan alot
dalam proses revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang
hingga sekarang belum disepakati oleh pihak buruh-pengusaha-pemerintah,
selain isu pesangon dan upah pekerja.
Revisi UU No 13/2003 itu sendiri dilakukan atas desakan, baik dari pihak
pengusaha maupun buruh. Pengusaha menganggap beberapa pasal
memberatkan dan tak kondusif bagi iklim usaha, demikian pula buruh
melihat beberapa pasal lain tidak berpihak kepada mereka.
Pemerintah sendiri menganggap revisi mendesak karena tanpa itu investasi
tidak akan masuk dan sektor riil sulit bergerak sehingga upaya penciptaan
lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan juga tak terjadi.
Namun, dalam perjalanannya, tidak dicapai titik temu. Karena menemui
jalan buntu, pemerintah akhirnya memutuskan menunda proses revisi hingga
setelah Pemilu 2009. Di satu sisi, ini menyelamatkan pemerintahan sekarang
dari tanggung jawab menuntaskan proses revisi UU tersebut, tetapi di sisi
lain hal tersebut memunculkan ketidakpastian, baik bagi buruh, pelaku
usaha/iklim investasi, maupun perekonomian68.
Sejak awal penyusunan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
ini, telah menuai protes dari kalangan buruh. Bukan karena pasal-pasalnya yang
multi interpretasi, namun juga roh atau jiwa yang terkandung adalah jiwa
neoliberalisme. UU ini harus dicabut! Selama enam tahun UU ini telah
mengorbankan jutaan buruh. Maka, tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk
mengkaji ulang dan memulai dari awal pembuatan UU yang berpihak pada buruh
dan sekaligus mendukung industri nasional. Agar bisa tercapai harus melalui
tahap tahap yang demokratis dengan melibatkan seluruh komponen serikat buruh
maupun buruh secara umum, pihak pengusaha, pemerintah, juga para ahli.
Namun, untuk mengatasi situasi yang mendesak tentang outsorucing dan
sistem kerja kontrak, Menaker perlu mengeluarkan peraturan atau keputusan
khusus. Ini sangat diperlukan agar interpretasi terhadap pasal-pasal dalam UU no
13 tidak bias dan menghindari manipulasi oleh perusahaan. Peraturan tersebut; (a)
pertama menyangkut jenis pekerjaan yang boleh dikontrak kerjakan/outsoursing,
(b) soal syarat-syarat hubungan industrial antara buruh dengan agen atau
perusahaan outsourcing.
3. Konsep ideal untuk mengatur permasalahan ketenagakerjaan dalam rangka
menjamin hak-hak tenaga kerja
68
http://apindo.or.id/index.php/kliping/aW5mbyw2ODg=
Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti “alih daya”.
Outsourcing mempunyai nama lain yaitu “contracting out” merupakan sebuah
pemindahan operasi dari satu perusahaan ke tempat lain. Hal ini biasanya
dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian
kepada hal lain.Di negara-negara maju seperti Amerika & Eropa, pemanfaatan
Outsourcing sudah sedemikian mengglobal sehingga menjadi sarana perusahaan
untuk lebih berkonsentrasi pada core businessnya sehingga lebih fokus pada
keunggulan produk servicenya69.
Outsourcing occurs when a company purchases products or services from
an outside supplier, rather than performing the same work within its own
facilities, in order to cut costs. The decision to outsource is a major strategic one
for most companies, since it involves weighing the potential cost savings against
the consequences of a loss in control over the product or service. Some common
examples of outsourcing include manufacturing of components, computer
programming services, tax compliance and other accounting functions, training
administration, customer service, transportation of products, benefits and
compensation planning, payroll, and other human resource functions. A relatively
new trend in outsourcing is employee leasing, in which specialized vendors
recruit, hire, train, and pay their clients' employees, as well as arrange health
care coverage and other benefits70.
Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan
di Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing; seperti
penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan
utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak
dimiliki oleh perusahaan.
Seperti halnya di Amerika Serikat, peran pemerintah dan parlemen
merupakan kata kunci dalam memaksa para pengusaha untuk mendistribusikan
keuntungannya dengan adil dan merata. Sudah lazim pengusaha ingin untung,
69
70
http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html
Springsteel, Ian. "Outsourcing Is Everywhere." CFO: The Magazine for Senior Financial
Executives. December 1994, http://www.answers.com/
namun jika keuntungan yang diperoleh atas eksploitasi para buruh maka
pemerintah dan negara wajib menghukum dengan tegas.
Negara harus melindungi buruh sesuai dengan amanat Undang-Undang No
13 Tahun 2003 Perburuhan. Bisa saja undang-undang ini direvisi seperti tuntutan
buruh kepada capres, namun secara simultan pemerintah juga bisa melakukan
upaya paksa bagi perusahaan yang memberikan pekerjaan utama proses
produksinya kepada perusahaan outsourcing71.
Jika Parlemen terbentuk, secepatnya Pemerintah dalam hal ini presiden
terpilih berinisiatif merevisi Undang Undang No. 13 dengan menambahkan pasal
pasal denda atau pajak yang tinggi bagi perusahaan yang menggunakan
perusahaan outsourcing untuk kegiatan pokok proses produksi. Kekurangan
Undang-Undang No. 13 tentang outsourcing adalah tiadanya sanksi bagi
perusahaan pemberi kerja yang menggunakan tenaga outsourcing untuk pekerjaan
utamanya. Akhirnya celah ini dipakai pengusaha untuk mengeruk kentungan
sebesar-besarnya walaupun telah mengeksploitasi keringat buruh.
Disinlah mulai ada pergeseran mengenai fungsi outsourcing, yang
seharusnya hanya diberikan untuk pekerjaan-pekerjaan bukan inti, seperti cleaning
services atau satpam. Namun dalam perkembangannya Outsourcing seringkali
mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya dia dapatkan bila menjadi
karyawan permanen (kesehatan, benefit dkk). Outsourcing pada umumnya
menutup kesempatan karyawan menjadi permanen. Posisi outsourcing selain
rawan secara sosial (kecemburuan antar rekan) juga rawan secara pragmatis
(kepastian kerja, kelanjutan kontrak, jaminan pensiun). Bahkan di beberapa
perusahaan justru memberikan pekerjaan inti kepada karyawan dari outsourcing
seperti PT KAI, yang memperkerjakan tenaga outsourcing untuk bagian penjualan
tiket, porter, administrasi dan penjaga pintu masuk. Padahal pekerjaan-pekerjaan
tersebut terkait langsung dengan jasa angkutan kereta api. Kemudian banyak
71
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/10/opi01.html
perusahaan lainnya yang melakukan pelanggaran seperti ini. Umumnya tenaga
kerja di outsource untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan karena
perusahaan tidak berkewajiban menanggung kesejahteraan mereka. Tenaga
outsource juga tidak harus diangkat sebagai karyawan tetap sehingga beban
perusahaan berkurang72.
Inilah yang menjadi pemikiran bagi para karyawan, dimana outsourcing
hanya dianggap sebagai suatu upaya bagi perusahaan untuk melepaskan
tanggungjawabnya kepada kayawan, dengan alas an efesiensi dan efektifitas
pekerjaan, outsourching ini dilakukan.
Maka dalam outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga
kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara
pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non
core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen
perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing
bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya
diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang
jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk
kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja
dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna
outsourcing73.
1. Amanat para pendiri Republik yang terkandung di dalam Pasal 27 (2)
UUD 1945 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak
berlaku diskriminatif terhadap pekerja outsourcing. Meskipun pada
mulanya sebagai pekerja outsourcing, namun setelah itu hendaknya harus
diangkat menjadi pekerja tetap dengan segala haknya untuk mendapatkan
penghidupan yang layak.
72
73
http://topanz.com/2009/09/outsourcing-masih-kental-di-perusahaan-negara.html
http://blogs.unpad.ac.id/ramadhan_peksos/?p=27
2. Pola perjanjian kerja outsourcing tidak dapat disamakan dengan perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT). Untuk PKWT sifat pekerjaan dan waktu
kerjanya memang terbatas karena merupakan jenis pekerjaan yang sekali
selesai atau sementara sifatnya, sehingga apabila pekerjaannya telah
selesai dilakukan maka berakhirlah hubungan kerja itu. Di dalam PKWT
pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang bersifat pokok. Pada
outsourcing sifat pekerjaannya adalah pekerjaan penunjang dan bukan
pekerjaan pokok perusahaan, tetapi pekerjaan tersebut dilakukan secara
terus menerus (cleaning servis, petugas keamanan, petugas parkir).
3. Pekerjaan-pekerjaan outsourcing tidak saja dilakukan oleh pekerja yang
memiliki pendidikan menengah dan rendah, tetapi juga dilakukan oleh
pekerja yang memiliki pendidikan tinggi, seperti akuntan.
4. Pasal-pasal yang mengatur mengenai outsourcing, harusnya dapat ditinjau
kembali dengan diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan
amandemen, karena jiwa pasal pasal tersebut tidak sesuai dengan pasal 27
(2) UUD 1945.
5. Dibuat suatu peraturan pelaksana yang didalamnya menyebutkan secara
tegas tentang kualifikasi dari suatu pekerjaan tambahan/penunjang bagi
pekerja/buruh outsourcing.
6. Perusahaan-perusahaan outsourcing, hendaknya tidak bernaung di bawah
perusahaan penerima jasa karena hal tersebut adalah merupakan bentuk
rekayasa dari perusahaan penerima pekerja.
7. Pekerjaan-pekerjaan yang bersifat pokok atau yang berhubungan langsung
dengan proses produksi hendaknya tidak dimasukkan di dalam pola kerja
outsourcing.
8. Perbedaan yang terjadi antara PKWT dan outsourcing di dalam prakteknya
harus dibedakan dengan jelas. Agar tidak menimbulkan suatu kebingungan
dan anggapan bahwa telah melanggar aturan hukum.
9. Bagi pekerja yang berpendidikan tinggi hendaknya tidak melakukan
pekerjaan outsourcing, tetapi mereka dipindahkan kepada pekerjaan-
pekerjaan pokok di perusahaan sehingga tidak menimbukan pemborosan
sumber daya manusia74.
B. PEMBAHASAN
1. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang lebih tinggi dan sederajat.
A. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang lebih tinggi.
Dalam hasil penelitian diatas telah dikemukakan pasal-pasal dalam
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana pasal-pasal
tersebut mengatur mengenai sistem pekerja kontrak waktu untuk waktu jangka
pendek (outsourcing) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
Dalam penulisan ini penulis hendak menganalisis substansi materi dalam
Pasal tersebut untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari pasal tersebut
dalam mengatur mengenai outsourcing.
Pasal-Pasal yang dimaksud tersebut adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari
9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
a. Pasal 64
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.
b. Pasal 65
74
http://rizazahari.blogspot.com/2008/07/outsourcing-alih-daya-dan-pengelolaan.html
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(8),
maka
hubungan
kerja
pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
b. Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan75.
Dalam penulisan ini, penulis mengkaji mengenai sinkronisasi UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UUD
1945.
Dalam UUD 1945 terdapat beberapa Pasal yang dapat di sinkronkan
kaitannya dengan outsourcing, Yakni :
1. Pada Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa Tujuan Negara
Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alinea 4, yang
berbunyi : “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dalam hal ini dijelaskan bahwa Tujuan Negara adalah untuk
Memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
analisisnya :
75
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan,
Dalam pembukaan UUD 1945 diterangkan bahwa tujuan
negara adalah memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila
untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkait dengan
Pasal 64, bahwa Pasal 64 menjadi dasar pelaksanaan outsourcing,
dimana di dalam Pasal ini memperbolehkan dilaksanakannya
outsourcing yang pada kenyataannya cenderung melanggar hak-hak
tenaga kerja untuk mendapatkan kejelasan mekanisme dengan siapa
buruh berstatus outsourcing ini harus melakukan perundingan, apakah
dengan pihak yayasan yang menyalurkan, atau dengan perusahaan.
sehingga posisi buruh yang berstatus outsorcing ini lemah, sebab tidak
memungkinkan baginya untuk melakukan perundingan bersama, atau
terlibat dalam serikat buruh. Keadaan ini jelas merugikan buruh, di lain
sisi, ini menguntungkan pengusaha. Jelas bahwa kondisi ini
bertentangan dengan asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa
Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pembukaan UUD 1945
alinea 4.
2. Pada Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi :
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”, dalam penjelasannya diakatakan
bahwa Pasal ini mengatur tentang hak-hak warga Negara yang dalam
hal ini adalah tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
analisisnya :
Pasal 27 ayat 2 dirumuskan: Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal ini
merupakan pasal hak asasi yang ditujukan pada warga negara
Indonesia dan mengandung dasar etika, khususnya etika kemanusiaan.
Oleh sebab itu, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah
jaminan sekaligus hak konstitusional setiap warga negara. Dalam Pasal
tersebut dijelaskan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kita paham
bahwa tenaga kerja adalah subyek hukum yang penting di perusahaan,
tanpa adanya tenaga kerja, perusahaan juga tidak bisa melakukan
kegiatan usahanya. Untuk itu sudah sepatutnya tenaga kerja benarbenar dihargai, diperhatikan serta dipenuhi hak-haknya, hal ini sesuai
dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 bahwa Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Di legalkannya outsourcing ini mengesankan bahwa pembuat
kebijakan acuh terhadap ketentuan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945. Tenaga
kerja tidak mempunyai kejelasan terhadap sampai kapan dia bekerja,
dan ketika masa kerjanya sudah habis, maka dia akan kebingungan lagi
untuk mencari pekerjaan baru. Kondisi ini akan berlangsung selama
hidupnya karena ia tidak mempunyai suatu pekerjaan tetap. Jaminan
dari negara bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.tidak didapatkan oleh
tenaga outsourcing.
Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa
Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 27 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945.
3. Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945, yang
berbunyi : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama
pemerintah.”, substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan,
pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama
menjadi tanggung jawab Pemerintah. Hak-hak tenaga kerja yang
dilanggar ini berlangsung dalam kurun waktu selama Undang-Undang
Ketenagakerjaan ini mulai berlaku yakni tahun 2003. Pemenuhan hak
warga negara tentunya juga menjadi tanggungjawab dari pemerintah
seperti tersirat dalam Pasal 28i ayat 4 UUD 1945.
analisisnya :
substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan,
penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah. Hak-hak tenaga kerja yang dilanggar ini
berlangsung
dalam
kurun
waktu
selama
Undang-Undang
Ketenagakerjaan ini mulai berlaku yakni tahun 2003. Pemenuhan hak
warga negara tentunya juga menjadi tanggungjawab dari pemerintah
seperti tersirat dalam Pasal 28i ayat 4 UUD 1945. pemerintah harus
bisa menjadi penjembatan yang adil dan objektif antara pemilik modal
dan pekerja/buruh.
Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa
Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 28i ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945.
4. Pada Pasal 33 ayat 1 dan 4 Undang-Undang Dasar 1945, yang
berbunyi :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
,dijelaskan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang
demikian tidaklah berwatak “free fight liberalism”, melainkan
kebersamaan dan demokrasi ekonomi.
analisisnya :
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha
ekonomi yang demikian tidaklah berwatak “free fight liberalism”,
melainkan kebersamaan dan demokrasi ekonomi. Sistem yang
dibangun dengan adanya outsourcing ini adalah suatu sistem ekonomi
yang liberal, sama sekali tidak menguntungkan tenaga kerja. Ini tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat 1 dan 4 UUD 1945 bahwa
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang demikian tidaklah
berwatak “free fight liberalism”, melainkan kebersamaan dan
demokrasi ekonomi. dalam pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan di
ayat 1, bahwa: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan. Pemikiran usaha ekonomi yang demikian
tidaklah berwatak “free fight liberalism” yang mengusung kompetisi
bebas tanpa mempedulikan sisi kebersamaan, kolektifitas, dan
perlindungan kaum lemah. Oleh sebab itu, pondasi UUD 1945 telah
memberikan kejelasan arah politik-ekonomi bangsa dan negara
Indonesia yang semestinya diperkuat melalui kebijakan implementasi
di lapangan.
Istilah kasarnya adalah bahwa tenaga kerja masih ”terombang-ambing”
hidupnya karena belum memiliki suatu pekerjaan yang tetap, yang
dapat menjamin kesejahteraan di hari tuanya. Keadaan yang
terombang-ambing dan ketakutan terhadap habisnya waktu kerja bisa
menyebabkan perkembangan jiwa yang tidak baik, selain itu pekerja
dengan sistem outsourcing cenderung tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi, ekonomi produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masya rakat. Kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan,
bukan
kemakmuran
orang-seorang.
Sebab
itu
perekonmian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah
koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi
semua orang, Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh
negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang seorang
yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa
Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 33 ayat (1) dan
(4) Undang-Undang Dasar 1945.
B. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan Per UndangUndangan yang sederajat
1. Sinkronisasi pengaturan outsourcing
antara Pasal-Pasal dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu
sendiri. Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi : ”Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. dijelaskan bahwa Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah
penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara
wajar yang
meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan,
pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
analisisnya :
Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia,
membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan
pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam
draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan,
karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan
dengan tenaga kerja.
Pemerintah sudah berupaya untuk mengurangi angka pengangguran
dan juga meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja di Indonesia. Namun
dilema pemerintah adalah antara tenaga kerja atau kepada pengusaha (si
pemiliki lapangan pekerjaan). Salah satu upayanya adalah dikeluarkan
undang-undang No 12 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan, kemudian
pada salah satu pasalnya yaitu 64, 65 dan pasal 66 memungkinkan
perusahaan melakukan outsourcing. Permasalahan timbul ketika dalam Pasal
88
ayat
(1)
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, yang berbunyi : ”Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
menjelaskan bahwa Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Ketika dasar hukum outsourcing disalahgunakan oleh para
pelakunya, outsourcing semestinya boleh diterapkan, tetapi para pengusaha
juga harus memperhatikan bagaimana kesejahteraan para pekerja/buruh,
tidak secara semena-mena atau sepihak memutuskan segala sesuatu tanpa
pembicaraan terlebih dahulu dengan pekerja/buruh yang akhirnya dapat
mempengaruhi kondisi kejiwaan para pekerja/buruh dan muaranya adalah
berpengaruh pada penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sesuai yang
diamanatkan pada Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal
64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003.
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing
(Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih
dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU
No.13 tahun 2003. Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing
(Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66
(terdiri dari 4 ayat).
a. Pasal 64
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis”.
analisisnya :
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam
pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian
pemborongan
pekerjaan
atau
penyediaan
jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
b. Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan
kegiatan
penunjang
perusahaan
secara
keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh
pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara
tertulis
antara
dipekerjakannya.
perusahaan
lain
dan
pekerja/buruh
yang
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau
perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih
menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan
kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
analisisnya :
Pasal
65
adalah
salah
satu
dasar
dibolehkannya
outsourcing. Kemudian didukung oleh Pasal 65 adalah mengatur
tentang perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu salah satu jenis
outsourcing yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Kelemahan dalam Pasal tersbut dapat dilihat ketika dianalisis
dengan
membandingkan
substansinya
dengan
Perundang-
Undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
c. Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
PENJELASAN :
Ayat (1)
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh
dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core
business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha
pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan
makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman
(security/satuan
pengamanan),
usaha
jasa
penunjang
di
pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan
pekerja/buruh.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja
untuk
waktu
tertentu
yang
memenuhi
persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian
kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja,
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh
dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib
memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
analisisnya :
Pasal 66 mengatur :
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh
dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan
jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain: adanya hubungan kerja antara pekerja dengan
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja; perjanjian kerja yang berlaku
antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian
kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis
dan ditandatangani kedua belah pihak; perlindungan upah, kesejahteraan,
syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; perjanjian antara perusahaan
pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dibuat secara tertulis.
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya)
dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara
usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan
pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu
bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah
kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok
(core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan
oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul.
Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak
undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan
di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama
mengenai istilah-istilah tersebut.”76
Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undangundang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan
jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66
UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah
kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business)
suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan
76
] R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan
(Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and
Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5.
kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi
pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan
pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas
dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana
penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai
lini kegiatan perusahaan.
Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan
kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang
berubah dan berkembang secara dinamis.77 Oleh karena itu tidak
heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada
empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core
business. Keempat pengertian itu ialah :78
1.
Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
2.
Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
3.
Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang
maupun di waktu yang akan datang.
4.
Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang,
inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan
UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama,
dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas
berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan
menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya)
pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis,
77
78
Ibid., hal.6.
Ibid., hal.7
yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi
persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.79
2. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
1. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) yang berbunyi :
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”., dalam
penjelasannya disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan "perlindungan"
adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.
substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan,
penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah. Campur tangan Pemerintah termasuk
legislatif sangat besar dalam memenuhi hak-hak warga negara, termasuk
di dalamnya adalah tenaga kerja.lahirnya Undang-Undang yang represif
ini justru menimbulkan penilaian bahwa para pembuat kebijakan kurang
bisa memenuhi rasa keadilan, dan kemanfaatan dalam masyarakat.
analisisnya :
substansi dalam Pasal tersebut adalah perlindungan, pemajuan,
penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah. Campur tangan Pemerintah termasuk
legislatif sangat besar dalam memenuhi hak-hak warga negara, termasuk
di dalamnya adalah tenaga kerja.lahirnya Undang-Undang yang represif
79
Ibid., hal 8.
ini justru menimbulkan penilaian bahwa para pembuat kebijakan kurang
bisa memenuhi rasa keadilan, dan kemanfaatan dalam masyarakat.
Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64,
Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM.
2. Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) yang berbunyi : “Setiap orang
berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan
berkembang secara layak”.
analisisnya :
substansi dalam Pasal tersebut adalah Setiap orang berhak atas
pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara
layak. Sehingga penerapan outsourcing juga harus memperhatikan segi
kebutuhan dan kelayakan setiap buruh/pekerja outsourcing. Berdasarkan
analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64, Pasal 65 dan
Pasal
66
Undang-Undang
Nomor
13
tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan
3. Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 (HAM) Substansinya adalah (1)
Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap orang berhak dengan bebas
memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat
ketenagakerjaan yang adil; (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita
yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara, dan serupa,
berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama; (4)
Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan
yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang
adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan
kehidupan keluarganya.
analisisnya :
Substansinya adalah (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat,
kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap
orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan
berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil; (3) Setiap
orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama,
sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat
perjanjian kerja yang sama; (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita,
dalam
melakukan
pekerjaan
yang
sepadan
dengan
martabat
kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya
dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. Pengaturan
outsourcing
dalam
UU
ketenagakerjaan
berikut
peraturan
pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan
sekaligus memberikan bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam prakteknya ada
yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan
bukan karena aturannya itu sendiri. Hanya saja, disarankan untuk lebih
memperbanyak atau memperkuat argumentasi yuridis bahwa UU ini
memang dibutuhkan
Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64,
Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Dasar hukum outsourcing dalam
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. Sinkronisasi pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang No.11
Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya). Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), yaitu :
a. Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya:
i.
Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang
sama nilainya tanpa pembedaan apapun, khususnya bagi
perempuan harus dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah
daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama
untuk pekerjaan yang sama;
ii. Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka;
b.
Keselamatan dan kesehatan kerja;
c. Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang
yang lebih tinggi tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan
kemampuan;
d. Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan berkala
dengan digaji maupun imbalan pada hari libur umum.
analisisnya :
Substansi dalam pasal tersebut adalah Hak setiap orang untuk
menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan khususnya
menjamin: a. Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurangkurangnya:
(i)Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang sama
nilainya tanpa pembedaan apapun, khususnya bagi perempuan harus
dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati
laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
(ii)Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka; b.
Keselamatan dan kesehatan kerja; c. Kesempatan yang sama bagi setiap
orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa didasari
pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan; d. Istirahat,
liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan berkala dengan
digaji maupun imbalan pada hari libur umum. Pekerja/buruh outsourcing
selama ini gampang dipecat dan direkrut. Ini disebabkan buruh
ditempatkan sebagai faktor produksi semata (alias sebagai barang
dagangan) dalam skema kerja kontrak maupun outsourcing, dimana
skenario kelenturan pasar buruh ditentukan oleh gampang tidaknya
buruh-buruh dipecat dan direkrut lagi dengan upah murah (hiring and
firing politics).
Berdasarkan analisis diatas maka dapat dikemukakan bahwa Pasal 64,
Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak sinkron dengan Dasar hukum outsourcing dalam
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan ini belum memiliki legitimasi yang cukup baik dalam
pengaturan outsourcing, baik dari sisi yuridis maupun sosiologis. Apalagi bila di
sinkronkan dengan Peraturan PerUndang-Undangan yang lebih tinggi atau
sederajat, antara lain :
1. Pertama, secara ideologis, lahirnya pasal-pasal kerja kontrak dan
outsourcing yang merugikan buruh adalah produk dominan neoliberalisme yang sungguh sangatlah bertentangan dengan watak ekonomi
bangsa Indonesia yang dianut dalam pasal 33 UUD 1945, berdasar atas
asas kekeluargaan dan kebersamaan (disebut pula sebagai “ekonomi
kerakyatan”). Pasal kerja kontrak dan outsourcing yang disangkut-pautkan
dengan daya kompetitif investasi (labour market flexibility) adalah bukti
nyata nan jelas berbasis pada pemberian peluang kekuatan bebas para
pemodal untuk mendeprivasi asas-asas ekonomi kerakyatan. Singkatnya,
pertarungan ideologis antara ekonomi kerakyatan vs. ekonomi neo-liberal.
2. Kedua, dari sisi jaminan kelayakan bekerja, bahwa konsekuensi kerja
kontrak dan outsourcing telah secara langsung mengurangi hak-hak buruh,
utamanya menyangkut berbagai tunjangan, jaminan sosial (social security)
dan keamanan bekerja secara layak (proper job security).2 Status dan hak
antara pekerja tetap dengan pekerja kontrak adalah jelas berbeda,
utamanya menyangkut dua hal tersebut. Banyak ditemukan fakta bahwa
pementingan efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan
investasi akan mendorong kebijakan upah buruh murah dan berakibat pada
berkurangnya jaminan sosial dan keamanan bekerja bagi buruh (Standing
1999). Artinya, politik investasi yang represif justru berpotensial
menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh Indonesia.
3. Ketiga, inkonsistensi penerapan hubungan kerja. Bila dilihat dari definisi
Hubungan Kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003, pasal 1 ayat (15) yang
menyatakan: hubungan kerja adalah hubungan hukum yang timbul antara
pekerja dan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja yang memiliki ciri-ciri
adanya upah, adanya perintah, dan adanyapekerjaan. Namun, dalam Pasal
66 ayat (2) huruf a dinyatakan bahwa antara perusahaan penyedia jasa
pekerja dipersyaratkan harus ada hubungan kerja. Padahal antara
perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja hubungan hukumnya
tidak memenuhi unsur perintah, pekerjaan dan upah. Tetapi dalam Pasal
66 ayat (2) diharuskan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan
penyedia jasa pekerja. Penerapan hubungan kerja yang inkonsisten
demikian sesungguhnya – sekali lagi - tidak sesuai dengan model
demokrasi ekonomi dan prinsip kebersamaan sebagaimana tercantum
dalam pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
4. Keempat, buruh gampang dipecat dan direkrut. Ini disebabkan buruh
ditempatkan sebagai faktor produksi semata (alias sebagai barang
dagangan) dalam skema kerja kontrak maupun outsourcing, dimana
skenario kelenturan pasar buruh ditentukan oleh gampang tidaknya buruh-
buruh dipecat dan direkrut lagi dengan upah murah (hiring and firing
politics).
5. Kelima, jaminan hukum penjualan manusia modern (legalized modern
slavery). Kalangan lain menyebutnya sebagai perbudakan zaman modern.
Legalisasi “pemborongan pekerjaan” (outsourcing) sebagaimana diatur
dalam Pasal 64 – 66, merupakan praktek jual beli manusia yang
memanfaatkan situasi keterpurukan ekonomi, sehingga buruhlah yang
musti dikorbankan dalam politik investasi, paling gampang diperbudak
serta diperlakukan sebagai sapi perahan para pemilik modal semata.
Argumentasi bahwa dalam prakteknya outsourcing telah berlangsung dan
“daripada tidak diatur lebih baik diatur” tidak bisa menjadi alasan, karena
dalam prakteknya buruh Indonesia pun sejak lama sudah harus mengalami
hal tersebut.
6. Keenam, paradigma konflik. Paradigma hukum seharusnya dijadikan dasar
di dalam pembentukan suatu undang-undang, yaitu paradigma kemitraan
(partnership), tentunya dengan landasan UUD 1945 pasal 33. Namun
dalam kenyataannya, UU No. 13 Tahun 2003 justru bukan menerapkan
paradigma kemitraan yang harus dijadikan landasan teoritis untuk
menyusun undang-undang, melainkan paradigma konflik.80
Pengaturan outsourcing dalam UU ketenagakerjaan berikut peraturan
pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus
memberikan bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam prakteknya ada yang belum
terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya
itu sendiri. Hanya saja, disarankan untuk lebih memperbanyak atau memperkuat
argumentasi yuridis bahwa UU ini memang dibutuhkan.
Oleh karena itu untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga
tercapai
80
tujuan
untuk
melindungi
pekerja/buruh,diperlukan
Pengawas
Uwiyono, Aloysius (2003) “Keterangan sebagai Saksi Ahli”, Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Judicial
Review UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta.
Ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat di samping perlunya kesadaran dan
itikad baik semua pihak.
Sebenarnya, pertentangan ini tidak sekadar dengan konstitusi belaka,
melainkan pula banyak bertabrakan dengan sejumlah peraturan perundangundangan lainnya, utamanya menyangkut hak asasi manusia.
Perlu dikemukakan pula bahwa UU tersebut telah pernah diujikan ke
Mahkamah Konstitusi, dimana diantara 9 hakim, hanya dua yang menentang
(dissenting opinion) aturan kerja kontrak dan outsourcing dalam UU No. 13
Tahun 2003, yakni Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar dan H. M. Laica Marzuki.
Menurut mereka berdua,
”Kebijakan outsourcing yang tercantum dalam Pasal 64 – 66 UU Ketenagakerjaan
telah mengganggu ketenangan kerja bagi buruh/pekerja yang sewaktu-waktu
dapat terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) dan men-downgrading-kan
mereka sekedar sebagai sebuah komoditas, sehingga berwatak kurang protektif
terhadap buruh/pekerja. Artinya, UU Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan
paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945” 81
Sementara 7 hakim lainnya berpendapat dengan pertimbangan bahwa
keterpautan kepentingan asing dalam pembuatan hukum satu negara yang
dimasukkan melalui persuasi untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi pihak
yang terkena dampak satu undang-undang, tidak dapat dikatakan merupakan
campur tangan dalam kedaulatan satu negara, sepanjang kewenangan untuk
membentuk undang-undang itu tetap dilakukan secara bebas dan independen oleh
pembuat undang undang, tanpa paksaan, tipu daya dan intervensi kekuatan secara
langsung. Kepentingan modal asing wajar dipertimbangkan secara bebas dan
mandiri oleh pembuat undang-undang dengan memperhatikan kepentingan
nasional82. Sungguh pemikiran yang demikian absurd dan mengingkari dimensi
ideologi usaha ekonomi berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 serta gagal untuk
81
82
Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor: 012/PUU-I/2003, Kamis, 28 Oktober 2004.
Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor: 012/PUU-I/2003, Kamis, 28 Oktober 2004
memahami konteks paradigma kebijakan yang benar-benar merugikan hak-hak
buruh.
Dengan keenam argumentasi yang disebutkan sebelumnya di atas,
sesungguhnya pasal-pasal tentang kerja kontrak dan outsourcing dalam UU No.
13 Tahun 2003 jelaslah bermasalah dan bertentangan dengan tidak saja dengan
UUD 1945 sebagai hukum dasar dan tertinggi di Indonesia, namun juga
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Dari perspektif etika, tidak terlampau
susah untuk menyatakan bahwa aturan kerja kontrak dan outsourcing yang
demikian telah mereduksi nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar filsafat negara
serta pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Lalu, apa arti memperlakukan secara “layak”
dan “kemanusiaan” bila manusia telah dianggap seperti barang, yang
diperdagangkan dan diperbudak. Hal ini jelas dapat dikatakan unjust law is not
law (hukum yang tak adil bukanlah hukum), karena kehilangan esensinya hukum
sebagai pelindung kaum yang lemah.
Oleh karena itu tidak begitu mengherankan bila kini kita dengan mudah
menyaksikan betapa ia berdampak pada tidak kondusifnya dan kontraproduktifnya
masalah outsourcing di Indonesia, pun tidak pula mengurangi tingkat kemiskinan
dan pengangguran. Mantra yang keliru, inilah politik hukum perburuhan kita hari
ini yang sungguh legalized and systematic human rights violation (melanggar hak
asasi manusia secara sistematik dan terlegalkan).
2. Kontroversi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 melanggar hak-hak
tenaga kerja
Tahun 1980,angin neoliberal berhembus ke Indonesia. Kebijakan
liberalisasi keuangan dan ekonomi mulai di terapkan, mulai dengan melancarkan
berbagai paket deregulasi semenjak tahun 1983. Saat itu, Indonesia sudah mulai
terikat dengan IGGI, IMF dan World Bank. Kebijakan Indonesia yang berbau
neoliberal mulai kentara di bidang moneter dan keuangan;bidang fiscal;bidang
perdagangan;bidang investasi.
Dibidang investasi, pada bulan Mei 1986, 95% pemilikan asing
dimungkinkan untuk
melakukan
investasi
berorientasi ekspor
diizinkan
mendistribusikan produknya di dalam negeri dan perusahaan patungan dapat
memperoleh kredit ekspor dari pemerintah. Kemudian pada tanggal 23 Oktober
1993, dikeluarkan Paket Oktober ( Pakto ) 1993, yaitu paket deregulasi sector riil,
diantaranya ijin investasi langsung dapat diurus di tingkat kabupaten dan
kotamadya
dan
penghapusan
berbagai
surat
dan
persetujuan.
Setelah
dikeluarkannya PP No 20 Tahun 1994,tanggal 2 Juni 1994, pemilikan modal asing
dibolehkan hingga 95%-100%, termasuk penguasaan atas sarana hajat hidup
orang banyak, seperti pelabuhan, tenaga listrik, kereta api, pembangkit tenaga
nuklir dan media massa.
Tahun 1994, Indonesia belum berurusan dengan SAP (Structural
Adjusment Proggrame).SAP adalah economy therapy dari IMF dan World Bank
bagi negara yang menderita krisis ekonomi. Baru pada tahun 1997, pasca krisis di
Thailad, Indonesia terjebak dalam SAP.
Aturan pokok yang menjadi ruh dari tubuh bernama SAP ini
diantaranya:
1. Aturan Pasar, membebaskan perusahaan swasta dari setiap keterikatan
yang
dipaksakan
pemerintah.
Keterbukaan
sebesar-besarnya
atas
perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat
pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Kontrol harga
yang diserahkan pada pergerakan modal, barang dan jasa.
2. Memotong Pengeluaran Publik dalam Hal Pelayanan Sosial,
pengurangan subsidi yang terus menerus di berbagai sector, seperti
pendidikan, kesehatan, safety net untuk orang miskin, dll. Tetapi akan ada
alokasi untuk subsidi dan pengurangan pajak usaha, atau manfaat pajak (
tax benefit ) bagi pengusaha.
3. Deregulasi, mengurangi peraturan-peraturan pemerintah yang bisa
mengurangi keuntungan pengusaha.
4. Privatisasi, menjual BUMN dibidang barang dan jasa kepada investor
swasta.
5. Menghapus Konsep Barang Publik (Public Goods), menggantinya
dengan tanggungjawab individual, yaitu menekan rakyat miskin untuk
mencari sendiri solusinya atas persoalan kemiskinan.
SAP sendiri terdiri dari beberapa komponen;
Liberalisasi impor dan fleksibilitas modal
1. Devaluasi
2. Kebijakan moneter dan fiscal dalam bentuk pembatasan kredit ,
peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak,
kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan
upah dan gaji.
Sementara paket kebijakan deregulasi, yaitu;
Menghilangkan intervensi pemerintah secara perlahan, supaya tidak mendistorsi
pasar.
1. Privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi, termasuk terhadap apa
yang dikuasai oleh negara.
2. Liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi, termasuk penghapusan proteksi.
3. Memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan
fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar.
Untuk mendapatkan profit dibutuhkan modal dan untuk selanjutnya
perlu dibentuk perusahaan sebagai wadahnya, dan rupa-rupanya outsourcing
sekarang menjadi salah satu metode yang diperlukan untuk mendapatkan profit
tersebut. Metode untuk mendapatkan profit bisa menggunakan cara halus maupun
kasar.
Cara kasar telah dipraktekkan dalam sejarah industri seperti praktek di
era imperialisme. Perusahaan besar (contoh: VOC) menyerobot tanah rakyat dan
memaksa rakyat menjadi tenaga kerjanya tanpa upah yang memadahi. Bentuk
praktek seperti itu terus berlangsung hingga kini. Hanya saja, seiring gerakan
demokrasi dan gerakan penegakan HAM,
praktek tersebut
mengalami
metamorfosa sehingga berubah sangat halus (menindas secara terselubung). Perlu
disadari, bahwa para penyembah kapital (pengusaha dengan perusahaannya) itu
tidaklah satu adanya. Ada sekian banyak para pengusaha lain yang sama dalam
tujuannya mengeruk profit. Antara penyembah yang satu dengan yang lain, tak
jarang saling kalah mengalahkan terutama bagi para penyembah profit yang
bergerak di bidang yang sama, dalam produk yang sama pula. Dan terjadilah
persaingan.
Pada tahun 1990-an, di Indonesia dan beberapa Negara Asia
mengalami krisis akumulasi profit. Dalam mekakukan usahanya, mereka
mengalami kesulitan mendatangkan profit. Dalam ilmu ekonomi fenomena itu
sering diartikan saat dimana modal diolah menjadi barang dan jasa ternyata tidak
mampu menciptakan hasil kembalinya modal plus keuntungan. Di Indonesia
peristiwa ini terjadi dikarenakan adanya utang swasta maupun utang pemerintah
dan macetnya kridit bank bagi para penyembah profit. Dalam kondisi seperti ini,
pundi-pundi sumber produksi sesembahan para penyembah profit berhenti
mengucur. Maka, dilakukanlah segala upaya untuk mengatasi problemnya
tersebut.
Diuraikanlah segala faktor penghambat proses produksinya yang
membebaninya. Salah satunya adalah unsur beban produksi dari tenaga kerja
(upah). Upah harus ditekan. Maka, untuk bisa menang dalam persaingan,
penyembah profit sepakat agar upah harus ditekan. Dalam iklim persaingan usaha
yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi
(cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing
dimana dengan sistem ini, perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam
membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang
bersangkutan.
Selanjutnya
disebutkan,
Pada
pelaksanaannya,
menimbulkan beberapa permasalahan terutama
pengalihan
ini
masalah ketenagakerjaan.
Berdasarkan ketentuan outsorcing yang berlaku dalam UU No 13/2003,
kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi di-suplay oleh perusahaan
penyalur tenaga kerja (outsorcing). Di satu sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk
dengan perusahaan penyalur, di sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan
tempat ia bekerja. Kesepakatan mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur
dan buruh tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu,
di perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target
produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu, baru ia
bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur.
Hubungan sebab akibat antara bekerja dan mendapatkan hasil yang
dialami buruh tidak lagi mempunyai hubungan secara langsung. Bila tanpa
lembaga penyalur, buruh memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja
sebagai majikan, kini harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar
management fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, baru ia
memperoleh kucuran upah. Proses di atas menunjukkan bagaimana kerja sebagai
tindakan sosial manusia dan hasilnya sebagai hak yang seharusnya bisa
didapatkan secara langsung, tidak berjalan.
Di satu sisi, upah yang berupa uang tak ada kaitan apa pun dengan
hasil riel dari pekerjaannya di pabrik. Buruh di pabrik memproduksi apa pun, hasil
yang ia dapat adalah uang yang nilai tukarnya tidak ada kaitannya dengan nilai
guna dan nilai tukar yang ia ciptakan. Di sisi lain, untuk mendapatkan upah
berupa sejumlah uang tersebut, buruh harus mengikuti prosedur majikan pertama
dan kedua.
Selain relasi buruh majikan yang semakin kompleks, buruh juga makin
terasing dari hakekatnya sebagai manusia. Mematahkan Tuntutan Buruh Upaya
menekan biaya tenaga kerja juga dilakukan dengan system kontrak seperti diatur
dalam UU No 13/2003. Dengan system kerja tersebut, perusahaan tempat bekerja
si buruh tidak perlu lagi susah-suah memikirkan dan menanggung tunjangan hari
tua, tunjangan kesehatan, tunjangan istri, anak, dll. Besarnya beban tenaga kerja
cukup mengikuti jumlah yang diatur, misalnya UMK yang dibuat dan dilegalkan
dengan jumlah sekecil mungkin sehingga tidak memberatkan pengusaha.
Sistem kontrak tentunya ditentang oleh buruh sebab membawa dirinya
dalam ketidakpastian masa depan. Agar pertentangan tersebut tidak merepotkan
pengusaha, maka perlu dibuat sistem dan alat untuk memperkuat berjalannya
sistem kontrak. Sistem dan alat tersebut adalah system outsorcing berikut
lembaganya. Setelah sistem kontrak berlaku, perusahaan utama yang akan
berproduksi memerintahkan perusahaan outsorcing untuk menyediakan tenaga
kerja yang nantinya harus tunduk pada sistem kontrak. Penundukkan itu dilakukan
melalui kesepakatan bahwa pihak perusahaan yang membutuhkan buruh milik
perusahaan outsorcing boleh mengakhiri masa kerjanya dalam waktu yang
ditentukan sesuai kebutuhan (sewaktu-waktu sesuai perjanjian kontrak). Sebagai
imbalannya, lembaga penyalur tersebut mendapat management fee.
Selain sistem kontrak, outsorcing juga bisa mengontrol tuntutan upah
tinggi oleh si buruh. Buruh bekerja mengharapkan imbalan yang bisa mencukupi
kebutuhan hidupnya (sebesar-besarnya). Pengusaha sebisa mungkin memberikan
imbalan sekecil-kecilnya untuk menekan biaya produksi. Perbedaan kepentingan
menimbulkan gesekan. Antar buruh kemudian berserikat dan menentang majikan.
Meladeni tuntutan itu mengakibatkan pengusaha membuang energi dan waktunya
untuk mencetak keuntungan. Agar pertentangan tersebut tidak membebani
pengusaha, dibutuhkan pihak ketiga untuk mengurusnya. Pihak ketiga tersebut
adalah lembaga penyalur tenaga kerja.
Lembaga penyalur tenaga kerja tersebut dibentuk untuk berhadaphadapan bila buruh mempermasalahkan upahnya. Namun, apabila ia mau
mempermasalahkanpun, tiada ruang. Sebab, si buruh telah menandatangani sistem
kontrak di awal kerjanya, ia sudah tak ada waktu lagi untuk bisa menuntut
kenaikan upah. Masa kerja yang ditentukan selesai, maka tak ada relasi lagi bagi
buruh untuk berharap lebih.
Sistem outsorcing merupakan senjata ampuh agar buruh tidak
berkutik. Kebergantungan Buruh Sejak awal, mesin pencetak profit (baca:
perusahaan) membutuhkan banyak tenaga kerja untuk menjalankan mesin-mesin
produksinya. Sejak itu pula, dilakukan upaya untuk menciptakan tenaga kerja.
Melalui proses panjang, dilancarkanlah sistem ekonomi uang. Uang dipakai
sebagai alat tukar dalam segala bidang. Dampak yang hingga kini dirasakan,
adalah kebergantungan manusia terhadap uang. Uang tidak hanya telah menjadi
alat untuk menukar kemewahan hidup tetapi bahkan telah menggantikan tujuan
manusia untuk sekedar hidup. Untuk sekedar bisa hidup, masusia hanya
membutuhkan makan, pakaian dan termpat tinggal ala kadarnya. Namun untuk
memenuhi sekedarnya pun, sekarang membutuhkan duit.
Di Indonesia, lahan pertanian tidak lagi bisa dilirik untuk menopang
hidup karena sudah dihancurkan produk pertanian import. Lahan pertanian makin
habis digusur pabrik. Home industri penenunan kain sudah hancur oleh pabrik
tekstil dan garmen. Akibatnya banyak orang Indonesia bergentayangan hanya
memiliki tenaga-nya untuk bisa dijual dan mendapatkan uang. Uang, lagi-lagi
menjadi sumber kebergantungan. Membludaknya tenaga kerja Indonesia
merupakan lahan empuk memberlakukan sistem outsourcing. Kendati seperti di
awal tulisan diungkapkan, konsepnya saja sudah menindas, akan tetapi tetap laris
manis dijalani oleh buruh. Entah sadar atau tidak akan kejahatan sistem
outsourcing, buruh tetap saja nyemplung dalam perangkap tersebut. Jebakan itu
terpaksa dipilih karena buruh sudah tergiring dan terkondisikan bergantung pada
system yang dibuat oleh para penyembah profit (baca: kapitalisme). Alih-alih
ingin hidup memenuhi kebutuhannya, ternyata buruh terjerat dalam perangkap
penghisapan. Di sana mereka harus menjalani hari-hari penuh ketersiksaan yang
menggeretakkan jiwa raganya.
Persaingan bisnis saat ini semakin global dan tajam. Hal tersebut
menyebabkan hanya perusahaan yang fleksibel, memiliki kemampuan untuk
menghasilkan produk bermutu, dan mampu menjalankan efisiensi biaya yang
mampu bertahan dan tetap hidup untuk bersaing di pasaran. Oleh karena itu,
perusahaan harus benar-benar menghitung berapa biaya yang dikeluarkan,
terutama biaya tetap. Biaya tetap tersebut antara lain adalah gaji para karyawan
yang dalam keadaan perusahaan menurun tidak dapat dipangkas.
Dalam kondisi demikian, perusahaan otomatis akan berusaha
meminimalkan biaya. Untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of
production), ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Salah satu caranya adalah
dengan sistem outsourcing. Fungsi outsourcing ini dapat menghemat biaya dan
pengeluaran dalam hal pembiayaan sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di
perusahaan tersebut. Saat ini outsourcing dapat digunakan bukan saja untuk
mencari karyawan yang fungsinya sebagai level clerical saja melainkan sampai
pada level managerial. Oleh karena itu kita dapat melihat hal ini sebagai salah satu
alternatif yang dapat digunakan untuk membantu perusahaan.
Dengan diperkenankannya menggunakan tenaga kerja outsourcing
oleh pemerintah yang tercantum dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan,
keuangan perusahaan menjadi tertolong. Perusahaan dapat merencanakan
keuangan lebih tepat karena kontrak yang dilakukan antara perusahaan dan
perusahaan jasa outsourcing sudah dibuat dalam satu paket, yaitu untuk jangka 23 tahun. Kontrak yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kontrak antara
perusahaan jasa outsourcing dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja.
Sementara itu, kontrak karyawan yang dipekerjakan adalah dengan perusahaan
outsourcing, bukan di perusahaan tempat mereka ditempatkan.
Adapun argumen-argumen yang digunakan oleh perusahaan untuk
melakukan outsourcing adalah karena dunia industri sangat berfluktuatif. Ada
saatnya permintaan sebuah produk meningkat. Namun, di waktu lain permintaan
sebuah produk menurun. Jika hal ini terjadi, karyawan tidak lagi ada pekerjaan.
Jika karyawan berstatus permanen, biaya yang dikeluarkan akan tinggi. Argumen
lain yang dapat dikemukakan adalah untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing
perusahaan. Ketika kompetitor telah mengubah praktik hubungan kerja mereka
dengan memotong ongkos produksi dan meningkatkan efisiensi, otomatis sebuah
perusahaan harus melakukan hal yang sama sehingga produktifitas per kapita
diharapkan dapat meningkat.
Selain itu, outsourcing menjadi pilihan ketika sebuah organisasi
perusahaan baru berdiri dan sedang mencari pijakan. Dengan demikian,
perusahaan tersebut dapat berkonsentrasi pada bisnis intinya. Perusahaan pun
dapat memberikan pelayanan jasa yang lebih baik dan lebih ekonomis. Dengan
berfokus pada bisnis inti, biaya pengeluaran perusahaan yang dapat dihemat
sekitar 30% jika menggunakan jasa outsourcing. Namun, dengan catatan bahwa
jasa outsourcing yang digunakan harus reliabel dan fleksibel untuk beradaptasi
dalam perubahan bisnis.
Jadi berdasarkan pemaparan di atas, tujuan menggunakan perusahaan
jasa outsourcing adalah tidak lain agar lebih efisien, menekan biaya, dan
perusahaan dapat fokus pada masalah bisnis intinya. Namun, untuk memutuskan
menggunakan jasa outsourcing, sebuah organisasi perusahaan dipastikan akan
melakukan analisis biaya. Analisis yang biasa dilakukan tersebut meliputi :
1. biaya mencari jasa penyedia outsourcing yang reliabel,
2. biaya melatih para staf,
3. biaya mengatur proses outsourcing,
4. biaya memelihara dan mempertahankan kualitas pelayanan.
Dengan melakukan analisis biaya, efisiensi tidak hanya berdampak pada
pengurangan biaya tiap bulannya saja, tetapi dapat juga mengurangi biaya iklan
untuk rekrutmen, perekrutan karyawan itu sendiri, pelatihan karyawan, dan
penilaian kinerja karyawan dalam suatu perusahaan. Apabila dalam prosesnya hal
ini ditangani dengan baik oleh pihak outsourcing sesuai dengan perjanjian yang
telah disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing perusahaan, maka hal ini
akan sangat membantu perusahaan dalam hal efisiensi kerja dan biaya. Perusahaan
tidak perlu lagi menghabiskan waktu dalam mengatur karyawan yang fungsinya
sebagai pendukung kegiatan operasional perusahaan.
Agar penerapan outsourcing dapat mencapai hasil optimal dengan
resiko yang minimal, perusahaan perlu melakukan analisis, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif sebelum membuat keputusan outsourcing. Hal paling dasar
yang perlu dilihat adalah memahami rantai budaya perusahaan (value chain) dan
hubungan aktivitas-aktivitas dalam value chain tersebut. Value chain adalah
seperangkat aktivitas yang saling berhubungan menciptakan nilai, mulai dari basic
raw material sampai dengan produk atau jasa akhir yang dikirim kepada
konsumen. Konsep value chain dikemukakan oleh Porter sebagai suatu alat
analisis dalam mengidentifikasi sumber-sumber dan potensi bagi keunggulan
kompetitif perusahaan.
Suatu perusahaan dapat mengembangkan keunggulan kompetitifnya
dengan salah satu dari dua strategi, yaitu low-cost strategy dan differentiation
strategy. Fokus utama dari low-cost strategy adalah mencapai cost yang lebih
rendah secara relatif terhadap kompetitor (cost leadership). Cost leadership dapat
dicapai dengan beberapa pendekatan antara lain economic of scale in production,
experience curve effects, tight cost control, dan cost minimization dalam area
R&D, sales, atau advertising.
Secara umum proses outsourcing dapat dilakukan dengan planning,
seleksi strategi, cost analysis, seleksi vendor outsourcing, negosiasi, transisi
resource, dan hubungan manajemen. Cost analysis dalam kerangka outsourcing
merupakan aktivitas pendataan main cost dari aktivitas yang di-outsource- kan
sebelum dan sesudah, serta evaluasi dampak business value. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah pengelompokkan biaya yang berpengaruh/signifikan.
Setelah outsource, perusahaan perlu juga menghitung ulang analisa dampak
setelah outsource. Sekali lagi gunakan cost-benefit analysis untuk mendapatkan
hasil dari outsourcing apakah berdampak negatif atau posifit untuk perusahaan.
Biaya
outsourcing
memiliki
struktur
yang
lebih
sederhana
dibandingkan dengan non-outsourcing sehingga meringankan perusahaan pemakai
jasa outsourcing. Pada umumnya, struktur biaya outsourcing terdiri dari gaji
bulanan plus THR, biaya lembur, basic benefit, asuransi atau Jamsostek, medical,
biaya proses kerja, dan biaya manajemen.
Sementara itu, struktur biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk
karyawan non-outsourcing lebih kompleks karena perusahaan harus mengeluarkan
biaya mulai dari proses rekruitmen sampai dengan biaya pensiun. Secara umum,
perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk biaya rekruitmen, seperti iklan di
surat kabar dan proses seleksi, biaya pelatihan dan pengembangan, gaji bulanan
dan THR, upah lembur, cuti, rekreasi, insentif, asuransi, tunjangan, Jamsostek,
biaya kesehatan, dan dana pensiun. Selain itu, perusahaan juga perlu
mengeluarkan biaya lain yang terkait dengan resiko pekerjaan, legal issue, serta
biaya terkait kententuan PHK. Karena itu, outsourcing lebih menguntungkan bila
dilihat dalam paradigma jangka panjang.
Sebelum menetapkan outsourcing, perusahaan harus memiliki strategi
harga (pricing outsourcing). Dalam pricing outsourcing harus secara tegas
dihitung apa saja biaya yang dibutuhkan agar perusahaan dapat beroperasi. Pola
penghitungan management fee harus didasarkan pada komponen biaya yang jelas
dan dapat menutupi operasional bisnis serta menghasilkan laba. Struktur biaya
outsourcing (structure cost outsourcing)secara umum terdiri dari biaya rekruitmen
(iklan, seleksi, tes, dan administrasi), biaya yang langsung diberikan kepada
pekerja (gaji, makan, transportasi, Jamsostek, insentif, asuransi kesehatan), biaya
pengembangan dan retention yang meliputi pelatihan, motivasi dan team building.
Biaya lain yang juga penting untuk dipertimbangkan adalah biaya resiko dan
penempatan (risk and replacement cost), biaya administrasi dan transfer bank,
pajak penghasilan, dan management fee.
Research reveals that 50 percent of outsourcing deals end up in
relationship divorce. It's often because too many executives see it as a way to
simply get rid of an information technology headache.83
Sebelum melakukan analisis, setiap kali perusahaan akan melakukan
outsourcing, perusahaan harus melakukan perjanjian terlebih dulu dengan
perusahaan penyedia jasa outsourcing. Perjanjian dalam penyediaan tenaga
outsoursing itu terdiri dari proses rekrutmen tenaga kerja outsourcing, seleksi,
administrasi, manajemen tenaga kerja outsourcing. Pada umumnya, semua proses
tersebut dilakukan oleh penyedia jasa outsourcing.
Sebelum proses itu dilakukan, perusahaan terlebih dulu melakukan
negosiasi dengan perusahaan penyedia outsourcing. Negosiasi menjadi faktor
krusial karena pada hakekatnya perusahaan penyedia jasa outsourcing sama
dengan perusahaan-perusahaan bisnis lainnya, yakni mencari keuntungan (profit
oriented), sehingga perlu ada perjanjian untuk meminimalkan resiko yang
dihadapi kedua belah pihak.
Selain itu, perusahaan outsourcing membutuhkan dana yang tidak
sedikit dan berasal dari modal sendiri, bank atau pinjaman lain yang harus
dikembalikan dari penghasilan (revenue) agar dapat beroperasi. Kemudian, setiap
perusahaan outsourcing harus berkembang untuk menghadapi perkembangan
situasi serta kompetisi. Untuk itu, perusahaan outsourcing harus dapat mencetak
laba yang cukup dan sehat.
83
Tim R. Holcomb, Michael A. Hitt. 2007. Toward a model of strategic outsourcing Journal of
Operations Management, 25(2), 464–481, http://www.allbusiness.com/chief-executive-us/20040501/2989866-1.html
Negosiasi perjanjian outsourcing juga penting karena setiap entitas
perusahaan terkena kewajiban menjalankan undang-undang dan peraturan yang
berlaku dengan baik dan benar. Misalnya, peraturan mengenai ketenagakerjaan,
pajak, Jamsostek, Upah Minimum Provinsi (UMP), maupun kontrak kerja.
Pada sisi yang lain, perusahaan outsourcing sebagai perusahaan yang
penyedia jasa harus memiliki Pelayanan yang handal, kinerja yang baik, reputasi
yang positif, perhatian terhadap manajemen mutu (pelayanan), SDM yang tersedia
dengan kualitas yang baik, serta memiliki kantor yang representative, kemampuan
keuangan (cashflow), manajemen yang handal, program pengembangan
karyawan, dan memiliki tanggung jawab dan komitmen.
Perjanjian dalam outsourcing merupakan hal penting untuk menjamin
keberlangsungan perusahaan. Sebab, perusahaan outsourcing juga memiliki resiko
yang akan berdampak pada perusahaan pemakai jasa outsourcing. Beberapa
resiko yang dihadapi perusahaan pemakai jasa outsourcing, yakni:
1. Sakit, meninggal, atau kecelakaan;
2. Mogok kerja;
3. Tindakan kriminal;
4. Tidak sesuai dengan spesifikasi;
5. Kerusakan atau kehilangan alat dan barang;
6. Replacement;
7. Provider melalaikan kewajiban.
Selain itu, perjanjian berperan penting agar standar mutu pekerjaan
outsourcing tetap terjaga. Beberapa hal yang bisa menyebabkan resiko
penurunan standar mutu pekerjaan outsourcing, yakni:
1. Management fee yang sangat minim atau bahkan tidak ada
management fee (free) menyebabkan adanya pemotongan hak-hak
karyawan yang sangat signifikan mencapai 25% Mengorbankan
tingkat dan kualitas layanan, mengurangi kualitas SDM, serta
menurunkan passing grade pada proses recruitment
2. Tidak sesuai (comply) dengan peraturan dan perundangan yang
berlakuku
3. Tidak dapat memenuhi hak normatif dari pegawai
4. Kesulitan cashflow perusahaan.
Untuk itu, materi dalam negosiasi perjanjian penyediaan jasa outsourcing
tersebut minimal terdiri dari jenis kerjasama, deskripsi pekerjaan, standar
kinerja, materi dan frekuensi pelatihan, prinsip negosiasi sama-sama
menguntungkan (win-win solution), prinsip keadilan dalam memberikan
pelayanan dan risiko, serta spesifikasi pekerjaan, misalnya pendidikan
minimal pekerja adalah lulusan diploma III, memiliki kemampuan
administrasi, kemampuan presentasi, kemampuan belajar, kemampuan
analisis data, serta kemampuan memperhatikan hal-hal detail.
A. Pendapat yang Setuju terhadap pelaksanaan outsourcing.
Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh
perusahaan di Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan
outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa
memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business), dan akses kepada
sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh perusahaan. Salah satu kunci
kesuksesan dari outsource adalah kesepakatan untuk membuat hubungan jangka
panjang (long term relationship), tidak hanya kepada proyek jangka dekat.
Alasannya sangat sederhana, yaitu outsourcer harus memahami proses bisnis dari
perusahaan. Perusahaan juga akan menjadi sedikit tergantung kepada outsourcer.
Ini seperti memilih istri. Namun ternyata hal ini tidak mudah dilakukan di
Indonesia. Terlebih-lebih lagi di Indonesia ada banyak masalah dalam
menentukan partner outsourcing ini.
Banyak kalangan yang pro dan kontra terhadap Undang-Undang
Ketenagakerjaan khususnya yang berkaitan dengan outsourcing. Kalangan yang
pro mempunyai pendapat terhadap Undang-undang ini yakni :
1. Business owner bisa fokus pada core business.
2. Cost reduction.
3. Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja.
4. Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn over tenaga kerja.84
Dari pengertian tentang Outsourcing, dapat dikatakan di negara maju
bisnis outsourcing udah bukan lahan baru lagi, ia sudah muncul sejak tahun 1900an. Namun di negara berkembang outsourcing baru unjuk gigi sejak dua dekade
silam. Outsourcing hadir karena adanya keinginan dari perusahaan (perusahaan
pengguna/pemesan – user/principal) untuk menyerahkan sebagian kegiatan
perusahaan kepada pihak lain (perusahaan outsourcing) agar ia dapat
berkonsentrasi penuh pada proses bisnis perusahaan (core business). Biar lebih
kompetitif tujuannya. Karena itu, pekerjaan yang di-outsourcing-kan bukanlah
pekerjaan yang berhubungan langsung dengan inti bisnis perusahaan, melainkan
pekerjaan penunjang (staff level ke bawah), meski terkadang ada juga posisi
manajerial yang di-outsourcing-kan, namun tetap saja hanya untuk pekerjaan
dalam tenggat waktu tertentu (proyek).
Dengan ‘membagi tugas’ kepada perusahaan lain itu, perusahaan
pengguna outsourcing merasa mendapatkan keuntungan dari ‘kerjasama’ tersebut,
karena ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan dan mengurus pekerjaanpekerjaan penunjang sehingga bisa fokus dalam bisnis operasional perusahaan.
Dan hal itulah yang banyak membuat perusahaan beralih ke outsorcing. Buktinya,
pertumbuhan bisnis outsourcing global tercatat mencapai 30% per tahunnya. Dari
84
Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id
situ kita bisa lihat, betapa perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu sudah
mempercayakan sebagian proses bisnisnya pada perusahaan outsourcing dalam
hal perekrutan SDM. Karena outsourcing sudah merupakan hal yang tidak baru
lagi di dunia maupun di Indonesia sendiri, karena beberapa faktor, yaitu :
1.
TREND OUTSOURCING, yaitu :
a.
Merupakan kebutuhan dari kondisi saat ini, contohnya adalah
untuk penghasil consumer goods yang memberikan semua bagian
non-corenya kepada pihak lain:
b. Bukanlah hal baru yang dipraktekkan tetapi merupakan praktek
yang sudah dilakukan beberapa perusahaan yang berhasil dalam
effisiensi yang juga dicirikan dengan minimnya masalah-masalah
perburuhan;
c. Outsourcing murni akan memberikan nilai tambah dari lepasnya
masalah hubungan industrial, remunerasi, benefits dan hal-hal
lain yang sifatnya melekat pada pekerja karena produk jasalah
yang diambil dari sifat kerjanya;
d. Perubahan dari kondisi sekarang menuju outsourcing merupakan
langkah effisiensi yang sangat strategis untuk kelancaran usaha
yang ada pada saat ini;
2. TUJUAN PROGRAM OUTSOURCING :
a. Melaksanakan anjuran Pemerintah dalam mengembangkan
kemitraan agar perusahaan tidak menguasai kegiatan industri dari
hulu ke hilir;
b. Meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat terutama di
daerah sub-urban;
c. Mendorong terjadinya proses pendidikan & alih teknologi dalam
bidang industri & managemen pengelolaan pabrik;
d. Mengurangi kegiatan pemusatan industri di perkotaan yang dapat
menimbulkan gangguan kerawanan sosial, keamanan & konflik
perburuhan.
3. MAMFAAT OUTSOURCING :
a. BAGI PEMERINTAH:
1) Mengembangkan & mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional;
2) Pembinaan & pengembangan kegiatan koperasi & UKM;
3) Mengurangi beban Pemerintah kota dalam penyediaan
fasilitas umum (transportasi, listrik, air & pelaksanaan
ketertiban umum).
b. BAGI MASYARAKAT & PEKERJA:
1) Aktivitas industri di daerah akan mendorong kegiatan
ekonomi penunjang dilingkungan masyarakat (pasar, warung,
sewa rumah/kamar, transportasi dll);
2) Mengembangkan infrastruktur sosial masyarakat, budaya
kerja, disiplin & peningkatan kemampuan ekonomi;
3) Mengurangi pengangguran & mencegah terjadinya urbanisasi;
4) Meningkatkan kemampuan & budaya berusaha dilingkungan
masyarakat.
4. BAGI INDUSTRI:
a. Mengurangi beban keterbatasan lahan untuk pengembangan
perusahaan di kawasan industri;
b. Meningkatkan fleksibilitas dalam pengembangan produk baru &
penyesuaian
dengan
perkembangan
teknologi,
sehingga
perusahaan dapat berkonsentrasi untuk mengembangkan produk
baru & teknologi;
c. Produk yang sudah stabil & menggunakan teknologi lama bisa
dikembangkan di perusahaan mitra (outsourcing);
d. Meningkatkan
daya
saing
perusahaan
dengan
effisiensi
penggunaan fasilitas & teknologi yang berkembang pesat.
5. ALASAN UNTUK OUTSOURCING:
a. Fokus pada core bisnis;
b. Perampingan organisasi;
c. Peningkatan produktivitas;
d. Pekerjaan musiman;
6. KAPAN OUTSOURCING DIBUTUHKAN, yaitu ketika :
a. Cara kerja yang sudah tidak efisien;
b. Operation cost yang tinggi;
c. Secara kualitas kemampuan kurang bersaing;
d. Daya kompetisi rendah.
Di institusi milik pemerintah, seperti BUMN, pemilihan penyedia
layanan harus dilakukan dengan melalui tender. Akibatnya pemenang tender sulit
untuk diramalkan. Demikian pula perpanjangan layanan mungkin harus
ditenderkan lagi. Hubungan baik antara pengguna jasa outsourcing dan penyedia
jasa outsourcing sulit terjadi.
Padahal, perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu banyak
yang merupakan perusahaan besar, yang sebenarnya sudah sangat kredibel
menangani hal-hal semacam perekrutan. Seperti: Telkomsel, PT Pembangunan
Jaya (Ancol), Unilever, Bank Niaga, Bank Mandiri, Bank ABN Amro, dll.
Mengenai adanya ketidakpercayaan pada sistem outsourcing, pada kenyataannya
banyak pencari kerja yang berpendapat mengenai ketidaknyaman para fresh
graduated untuk mencari pekerjaan lewat perusahaan outsourcing. Hal tersebut
mungkin saja terjadi karena hingga kini masih ada saja perusahaan outsourcing
yang berlaku tidak adil terhadap karyawannya. Di lain pihak, kalau ada
perusahaan outsourcing yang berlaku ‘aneh’ seperti itu, hamper pasti bisa
dipastikan perusahaan tersebut adalah perusahaan outsourcing gadungan, yang
hanya mencari kesempatan di atas kesempitan. Perusahaan-perusahaan ini
mencoba memanfaatkan para job seekers dengan cara yang bermacam-macam.
Karena pencari kerja sangat butuh pekerjaan maka pencari kerja akan melakukan
apa saja asal bisa dapat pekerjaan. Selain itu, ketidaktahuan pencari kerja akan
hak-hak pekerja juga bisa menjadi celah bagi pencari kerja untuk dibodohi.
Bisnis Outsourcing merupakan bisnis yang mempunyai potensi yang
sangat besar yang memberikan peluang untuk pengembangannya. Tingginya
persaingan telah menuntut manajemen perusahaan melakukan perhitungan
pengurangan biaya, maka dilakukan outsource hal-hal yang penting bagi
perusahaan akan tetapi tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan.
Pasal 1601 b KUHPerdata yang mengatur mengenai Pemborongan
Pekerjaan menyebutkan bahwa :
”Pemborongan Pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang
satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan
bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga
yang ditentukan”.
Legalisasi penggunaan jasa Outsourcing dengan dikeluarkannya UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :
”Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.
Dengan demikian Outsourcing atau yang disebut dengan Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :
1. Penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada
perusahaan lain untuk dikerjakan di tempat di perusahaan lain
tersebut;
2. Penyediaan jasa pekerja oleh perusahaan penyedia jasa pekerja,
yang dipekerjakan pada perusahaan lain yang membutuhkan
maka Outsourcing yang dimaksud diatas lebih menitikberatkan pada
penyediaan jasa pekerja/orang perorangan yang jasanya dibutuhkan. Dalam
pelaksanaannya Outsourcing berhubungan erat dengan ketenagakerjaan.
B. Pendapat yang Tidak Setuju terhadap pelaksanaan outsourcing.
Outsourcing menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi
tenaga kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing.
Kalangan yang Kontra mempunyai pendapat terhadap Undang-undang ini yakni :
1. Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga
kerja.85
2. Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal
dengan karyawan outsource.
3. Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah.
4. Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan hubungan
kerjasama dengan outsourcing provider dan mengakibatkan ketidakjelasan
status kerja buruh.
5. Eksploitasi manusia. 86
Pada prinsipnya outsourcing employee atau pekerja outsource atau
pekerja kontrak adalah tenaga kerja yang diperbantukan didalam suatu perusahaan
berskala menengah keatas tentunya dengan segala atribut kompetensinya, tetapi
keberadaan mereka tidak terdapat didalam struktur organisasi perusahaan tersebut.
Keuntungan yang didapat oleh suatu perusahaan yang menggunakan jasa tenaga
kerja outsourcing ini, yaitu efisiensi cost pengeluaran rutin dan minimalisasi
resiko perusahaan. Efisiensi cost pengeluaran rutin diantaranya adalah :
1. Pengeluaran gaji atau salary, tentu saja sangat jauh berbeda gaji yang
diterima oleh karyawan yang “diakui” perusahaan dengan outsourcing
employee dengan beban kerja yang rata-rata harus dipikul oleh outsource
employee lebih besar dari karyawan yang “diakui” oleh perusahaan. Secara
umum perbandingan atau selisih gaji yang diterima outsorce employee
85
86
Sumber: www.hukumonline.com
Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com
paling besar 1/4 dari gaji karyawan yang “diakui” perusahaan. Tentunya
dengan asumsi segala atribut kompetensi, pengalaman, dan skill keduanya
sama. Jadi apabila karyawan yang “diakui” perusahaan tersebut mendapat
gaji Rp. 1.000.000,- dengan posisi yang sama, kompetensi yang sama,
maka outsorce employee hanya mendapat Rp. 250.000,- saja. Dari hal ini
dapat kita bayangkan berapa banyak yang dapat dihemat perusahaan
dengan 1 item ini saja.
2. Tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, seluruh tunjangan tetap dan
tidak tetap yang diterima sangat-sangat jauh perbedaannya yang
penjelasannya hampir persis sama dengan point 1 diatas
3. Bonus/reward, bisa dikatakan outsource employee tidak bisa mendapatkan
bonus apa-apa dari hasil pekerjaannya yang luarbiasa baik dibandingkan
dengan karyawan yang “diakui” perusahaan yang berlimpah-limpah bonus
4. Fasilitas-fasilitas perusahaan, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan
sosial kemasyarakatan dan kegiatan perusahaan seperti family gathering,
perlombaan
memperingati
hut
perusahaan
dan
lain
sebagainya.
keterlibatan outsource disini barangkali hanya sebagai pekerja yang
”kasar” dan bukan sebagai penikmat dalam artian sebenarnya.
5. Dan masih banyak lagi efisiensi cost yang bisa dihemat oleh perusahaan
yang menggunakan jasa outsource ini.
Berikutnya, perusahaan juga dapat melakukan minimalisasi resiko perusahaan,
seperti :
1. Resiko hukum dan perundangan
2. Resiko ketidakpuasan atas keputusan yang dikeluarkan perusahaan
3. Resiko pertanggungjawaban atas kecelakaan kerja
4. Resiko non teknis atas keputusan yang harus dikerjakan oleh outsource
5. dan banyak lagi resiko yang dapat diminimalisasikan oleh perusahaan
Hal ini akan ada hubungannya dengan pendapatan. Yang akan
diungkapkan adalah bagaimana pengkebirian ide, motivasi, pengkerdilan citra
diri, dan “peng-underestimate-nya kemampuan, serta terbentuknya feodalisme
baru dilingkungan kerja tersebut.
We examine the employment effects of international outsourcing by
using firm-level data from the Finnish manufacturing sector. A major advantage
of our data is that outsourcing is defined based on firms’ actual use of
intermediate inputs from foreign trade statistics. The estimates show that intensive
outsourcing (more than two times the 2-digit industry median) does not reduce
employment nor have an effect on the share of low-skilled workers.87
Bagaimana tidak, dimulai dari rekrutment yang samasekali tidak jelas
batasan kopetensi yang diuji, dan kemudian kopetensi pengujinya — yang
belakangan baru ketahuan kualitas sebenarnya si penguji ini — Kemudian yang
menguji itu samasekali tidak dari perusahaan tempat kita menginduk, tetapi
perusahaan yang menggunakan jasa kita, walaupun didalam hasil rekrutment
seseorang tersebut dinilai belum layak digunakan. Kemudian yang jelas juga bagi
saya adalah prinsip like and dislike dalam hal penentuan penerimaan tenaga
outsource.
Feodalisme, itu barangkali idiom yang tepat mengenai hubungan
antara pegawai yang “diakui” dengan outsource di perusahaan saya. Dalam sistem
feodal, kita akan mengenal yang namanya majikan dan budak. Majikan hanya
mengenal kebaikan, budak harus keburukan, jika majikan salah, maka budak
sebagai kambing hitamnya, jika budak salah ya disiksa atau diperlakukan semenamena. Dan dizaman Indonesia menghirup udara segar kemerdekaan seperti saat
ini, sangat banyak perilaku-perilaku perbudakan baru yang bermunculan, baik itu
yang menimpa tenaga kerja yang samasekali tidak mempunyai skills sampai
tenaga kerja yang mempunyai pengalaman dan skills
Implikasi yang dapat terjadi akibat Outsourcing yaitu :
87
"Outsourcing: Make It Work for Your Company." Journal of Accountancy. October 2000.
http://mpra.ub.uni-muenchen.de/16903/
1.
Akan terjadi restrukturisasi kegiatan industri secara nasional yang akan
mengakibatkan keresahan dikalangan UKM; UKM akan kehilangan
kesempatan untuk berusaha karena semua kegiatan industri akan
dipusatkan di perusahaan induk; Berkurangnya kesempatan kerja karena
perusahaan harus menggunakan teknologi tinggi untuk meningkatkan
efisiensi; Hambatan terhadap perkembangan ekonomi secara nasional.
2. Permasalahan hubungan industrial yang biasa dihadapi di lapangan.
Dilibatkannya Perusahaan Pemberi Pekerjaan oleh pekerja kontraktor /
kontraktor
dalam
perselisihan
hubungan
industrial
mereka;
Ikut
campurnya oknum karyawan Perusahaan Pemberi Pekerjaan dalam
penentuan pemilihan pekerja kontraktor secara langsung; Terlibatnya
Perusahaan Pemberi Pekerjaan (oknum karyawan) dalam penentuan
remunerasi kontraktor; Proteksi kedaerahan pekerja lokal yang berlebihan;
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dicampur-adukan dengan
masalah sosial; Pemaksaan penyelesaian masalah perburuhan dengan cara
politis; Kurangnya antisipasi kemungkinan terjadinya perselisihan;
Perburuhan dalam kontrak dokumen.
3. Konsep ideal untuk mengatur permasalahan ketenagakerjaan dalam
rangka menjamin hak-hak tenaga kerja
Untuk membahas rumusan masalah ketiga mengenai Konsep Ideal
untuk mengatur permasalahan ketenagakerjaan dalam rangka menjamin hak-hak
tenaga kerja penulis menganalisisnya dengan menggunakan teori dari Kranenburg
yang dinamakan Teori keseimbangan, yakni dengan kesadaran hukum orang
menjadi sumber hukum , hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata.
Dari sudut subyeknya, Kranenburg mengatakan bahwa para sarjana
hukum jangan terjebak dalam optik hukum positif semata, tetapi harus membuka
hati dan pikirannya terhadap perkembangan masyarakat. Sementara itu, Descartes
dalam maha karyanya "Discourse on Method" mengingatkan bahwa berjubelnya
hukum tanpa ketegasan justru seringkali menghalangi keadilan. Dalam kaitannya
dengan pelaksanaan outsourcing di Indonesia ketentuan-ketentuan tentang
outsourcing harus disempurnakan dengan pengaturan yang jelas dan tegas
mengenai kepada siapa pekerja/buruh mempunyai hubungan kerja. Pada
prinsipnya perusahaan yang menerima pekerjaan yang mempunyai hubungan
kerja dengan pekerja/buruh. Demikian juga mengenai hak-hak dan kewajiban
perusahaan pemberi pekerjaan maupun perusahaan yang menerima pekerjaan
harus diatur secara jelas dan tegas dalam suatu "perjanjian tertulis" antara
perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pekerjaan.
Akan tetapi, penerobosan hukum yang dilakukan semata untuk
mengikuti tuntutan masyarakat akan menghilangkan kepastian hukum bila hal itu
tidak dibatasi. Tidak adanya kepastian hukum tentunya akan membuat jaminan
perlindungan HAM warganegara tidak ada ketika mereka menghadapi suatu kasus
di pengadilan. Oleh karena itu, pembatasan penerobosan hukum juga harus
dilakukan agar tuntutan masyarakat dapat terpenuhi dengan tidak mengabaikan
terwujudnya kepastian hukum dan aparat penegak hukum pun tidak hanya
menjadi mulut undang-undang. Dengan pengaturan seperti itu diharapkan
memberi peluang dunia usaha mengembangkan usahanya, namun juga memberi
kepastian hak bagi pekerja yang berkaitan dengan system outsourcing.
Kranenburg merupakan murid sekaligus pengganti Prof. Krabbe
berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang.
Dalil tersebut dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut: tiap orang menerima
keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan
terlebih dahulu. Dalil ini oleh Kranenburg dinamakan asas keseimbangan.
Kranenburg melanjutkan paham Krabbe dengan mengemukakan
bahwa reaksi daripadakesadaran hokum mempunyai sifat keajegan (wetmatig
heid). Reaksi itu sifatnya seimbang dengan aksi yang diwujudkan dalam teorinya
yang disebut ovenredigheids, postulaat. Sebagai contohnya adalah dalam
hubungan jual-beli di mana untung rugi untuk untuk menuju keseimbangan.
TEORI KESEIMBANGAN ( prof. Mr. R. Kranenburg) : kesadaran
hukum orang menjadi sumber hukum , hukum itu berfungsi menurut suatu dalil
yang nyata
Kranenburg
termasuk
penganut
teori
negara
kesejahteraan.
Menurutnya, tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum,
melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteran pun
meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya, sehingga selayaknya tujuan
negara itu disebut secara plural: tujuan-tujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa
upaya pencapaian tujuan-tujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata,
seimbang.
Prof.Mr.R.Kranenburg adalah seorang ahli hukum dari Jerman yg
mengagas teori negara kesejahteraan (welfare state). Menurut dia, tujuan negara
ada 3 yaitu :
1. Negara bukan sekedar pemelihara ketertiban hukum belaka,tetapi
secara aktif mengupayakan kesejahteraan warga negaranya.
2. Negara harus benar-benar bertindak adil yg dapat dirasakan oleh
seluruh warga negara secara merata dan seimbang
3. Negara hukum bukan hanya untuk penguasa atau golongan tertentu
tetapi untuk kesejahteraan seluruh rakyat di dalam negara.
Sejak dahulu, manusia hidup bersama, berkelompok membentuk
masyarakat tertentu, mendiami suatu tempat, dan menghasilkan kebudayaan
sesuai dengan keadaan dan tempat tersebut. Manusia secara kodrati adalah sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu
mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk
sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Tiap manusia mempunyai sifat,
watak, dan kehendak sendiri. Namun dalam masyarakat manusia mengadakan
hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu
membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya. Setiap manusia memiliki
kepentingan, dan acap kali kepentingan tersebut berlainan bahkan ada juga yang
bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu
keserasian hidup bersama.
Apabila ketidak-seimbangan perhubungan masyarakat yang menjadi
perselisihan itu dibiarkan, maka mungkin akan timbul perpecahan dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dari pemikiran manusia dalam masyarakat dan
makhluk sosial , kelompok manusia menghasilkan suatu kebudayaan yang
bernama kaidah atau aturan atau hukum tertentu yang mengatur segala tingkah
lakunya agar tidak menyimpang dari hati sanubari manusia.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman,
kebudayaan manusia mengalami perkembangan pula. Termasuk perkembangan
hukum. Peradaban yang semakin berkembang membuat kehidupan manusia
sangat membutuhkan aturan yang dapat membatasi prilaku manusia sendiri yang
telah banyak menyimpang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang
semakin maju. Aturan atau hukum tersebut mengalami perubahan dan terus
mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman. Untuk itu, suatu
negara hukum sangat perlu memperhatikan hal tersebut.
Dalam kaitannya dengan ekonomi, pasal 33 UUD 1945 yang telah
diamandemen juga secara tegas memberikan definisi perekonomian Indonesia
sebagai perekonomian yang berdasar atas demokrasi ekonomi, prinsip
kebersamaan, kekeluargaan dan keseimbangan. Maka pelayanan dalam bidang
ketenagakerjaan adalah bagian dari keseimbangan. Hal ini bila dikaitkan dengan
Model outsourcing, maka dapat dibandingkan dengan bentuk perjanjian
pemborongan bangunan walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian
pemborongan bangunan dapat disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan
outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Pekerja/buruh dalam perjanjian
pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas seperti yang
diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER . 06 / MEN / 1985
tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas PHL). PHL adalah pekerja yang
bekerja pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat
berubah-ubah dalam hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah
yang didasarkan atas kehadiran pekerja secara harian. Sebagai contoh adalah kuli
panggul yang mengangkat barang di pelabuhan Tanjung Priok.
Perjanjian pemborongan bangunan akan berakhir antara pengusaha
dengan pekerja apabila obyek perjanjian telah selesai dikerjakan. Misalnya
pembangunan jembatan, dalam hal jembatan telah selesai maka masa bekerjanya
pun menjadi berakhir kecuali jembatan tersebut belum selesai dikerjakan.
Sedangkan dalam outsourcing masa bekerja akan berakhir sesuai dengan waktu
yang telah disepakati antara pengusaha dengan perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja.
Ditinjau dari segi pengusaha adanya pemborongan pekerjaan atau
penyedia
jasa
tenaga
kerja,
menguntungkan
karena
pengusaha
dapat
mengkonsentrasikan pemikirannya untuk menangani core bisnisnya sedangkan
pekerjaan-pekerjaan penunjang dapat diserahkan kepada pemborong. Dengan
demikian pengusaha tidak perlu memiliki organisasi yang besar dengan jumlah
tenaga kerja yang banyak. Demikian juga permasalahan ketenagakerjaan dapat
dieliminir dengan adanya perusahaan lain yang menangani pekerjaan penunjang,
dimana hubungan kerja pekerja langsung ditangani pemborong atau penyedia jasa
tenaga kerja.
Ditinjau dari segi kepentingan pekerja, adanya pekerjaan pemborongan
atau penyedia jasa tenaga kerja perlu adanya ketegasan hubungan kerja yang jelas
sehingga pemenuhan hak-hak pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan jelas penanggungjawabnya. Untuk itu pekerja harus diikat
dengan perjanjian kerja dengan perusahaan yang memperkerjakannya.
Hal ini penting karena dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan
outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja
(labor cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dibawah
dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja.
Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan
pekerja dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud
diadakannya outsourcing seperti apa yang disebutkan diatas menjadi tidak
tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang dan jasa.
Oleh karena itu, baik perusahaan maupun pekerja agar senantiasa dapat
hidup bersama tanpa terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari
pendapat ataupun pemikiran yang berbeda-beda, diperlukan pelaksanaan
outsourcing yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sebagai pedoman untuk berperilaku secara formal.
Pedoman tersebut yang dikenal sebagai kaidah hukum bertujuan untuk
agar tercapai kedamaian didalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti
keserasian antara ketertiban dan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan
dan kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah
tidak lain daripada mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan
kesebandingan hukum.
Hal ini hendaknya sejalan dengan Teori Keseimbangan R. Kranenburg
yang menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan,
bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan
seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat. Maka
akan sangat ceroboh jika pembangnan ekonomi dinafikan, kemudian pertumbuhan
ekonomi hanya dipandang dan dikonsentrasikan pada angka persentase belaka.
Kesejahteraan rakyat adalah indikator yang sesungguhnya. Perkembangan
ekonomi global dan kemajuan teknologi yang begitu cepat telah membawa
banyak perubahan di berbagai sektor, sehingga menimbulkan persaingan usaha
yang begitu ketat disemua sektor usaha. Kondisi yang sangat kompetitif ini
menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dirinya dengan tuntutan pasar yang
memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan
kepada pelanggan.
Atas dasar tersebut diatas, bahwa gangguan pelaksanaan
outsourcing yang melindungi hak pekerja mungkin terjadi, apabila ada
ketidakserasian antara nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi
apabila ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma
didalam kaidah-kaidah bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang
mengganggu pelaksanaan tersebut diatas.
Perubahan di berbagai sektor tersebut juga menjadi sebagai salah satu
penyebab
terjadinya
perubahan
sosial,
termasuk
di
bidang
hukum
ketenagakerjaan. pernyataan di atas, akan mengingatkan kita kepada: pertama,
jiwa dari Pembukaan UUD 1945 dan pasal 27 (2) UUD 1945. Kedua, UU No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK). Dalam Pembukaan UUD 1945
menyatakan bahwa:
Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Kemudian dalam pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan “. Dari amanat para pendiri Republik dapat kita pahami bahwa
tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan
bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Kedua, UUK sebagai penjabaran dari UUD 1945 dan TAP MPR, telah
mengatur perlindungan terhadap hak-hak pekerja, antara lain: 1. perlindungan
PHK; 2. jamsostek; 3. upah yang layak dan tabungan pensiun. Dalam praktek
outsourcing, hak-hak tersebut merupakan sesuatu sangatlah mahal untuk didapat
oleh para pekerja outsourcing. Karena status pekerja outsourcing adalah pekerja
pada PT.A, tapi harus bekerja pada PT.B dengan waktu kerja: 6 bulan, 1 tahun
atau 2 tahun.
Sementara itu, Undang – undang Ketenagakerjaan belum menyebutkan
secara tegas mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi pengertian dari outsourcing
ini sendiri dapat dilihat dalam ketentuan pasal 64 UUK ini, yang isinya
menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara
pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan
perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu
perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu
bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak
yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan
kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Outsourcing sebenarnya adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan
sendiri. Tetapi outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh
melebihi itu sesuai dengan pengaturan negara dalam memenuhi kebutuhan
rakyatnya merupakan tugas dan kewajiban negara. Menurut R. Kranenburg yang
dikutip Mirriam Budihardjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik, bahwa :
“negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok
manusia yang disebut negara. ..... negara sebagai organisasi kekuasaan itu karena
manusia hidup dalam wadah negara dan memerlukan negara karena kebutuhan
manusia sangat beranekaragam, cita-cita yang beranekaragam, dan kemampuan
manusia mempunyai keterbatasan, maka kekuasaan merupakan sarana untuk
memudahkan terwujudkan kehendak masyarakat atau negara”.
Pernyataan R.
Kranenburg tersebut
dalam
kaitannya dengan
implementasi outsourcing secara tegas menyebutkan bahwa tugas negara secara
politis dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya dan untuk merealisasikan
diperlukan keseimbangan bahwa negara dalam perspektif politik juga berusaha
meujudkan pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui perencanaan pembangunan
dan administrasi negara yang merealisasikan atau melaksanakannya. Oleh karena
itu, pelaksanaan outsourcing harus melindungi hak pekerja bukan semata-mata
pelaksanaan perundang-undangan (law enforcement). faktor di atas perlu
mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan outsourcing. Hal ini dimaksudkan agar
pekerja benar – benar mendapatkan perlindungan yang layak sesuai dengan hak
yang mereka miliki. Disamping itu perlindungan bagi pekerja merupakan faktor
yang sangat penting di dalam rangka menciptakan keseimbangan dalam hubungan
kerja,
sehingga
terwujudlah
keadilan
sosial
yang
merata
di
bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan landasan pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
Salah satu bentuk perlindungan dan kepastian hukum terutama bagi
pekerja tersebut adalah melalui pelaksanaan dan penerapan perjanjian kerja.
Perjanjian Kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pengusaha dan pekerja yang
memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk syarat-syarat kerja,
pengupahan, dan cara pembayaran. Dengan adanya perjanjian kerja diharapkan
para pihak yang sepakat melakukan hubungan kerja lebih mengetahui hak dan
kewajiban masing-masing pihak dan mengetahui sendiri apakah ia sudah
melaksanakan perjanjian tersebut dengan baik atau ia melanggar perjanjian
tersebut.
BAB V
PENUTUP
1. KESIMPULAN
1. Terdapat ketidaksinkronnan baik secara horizontal maupun vertikal
antara
Undang-Undang
No.
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan dengan Peraturan Prundang-undangan yang lebih
tinggi
maupun
sederajat.
Dasar
hukum
diberlakukannya
outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, tidak sinkron dengan Peraturan peraturan per
Undang-Undangan yang lebih tinggi ataupun sederajat, diantaranya
adalah dengan UUD 1945 pada Pembukaan alinea 4, Pasal, 27 (2),
28i ayat 4, Pasal 33 ayat 1 dan 4, : Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 38 UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya.
2. Dalam praktek sehari-hari, “outsourcing” selama ini diakui lebih
banyak merugikan hak pekerja. Hal tersebut dapat terjadi karena
sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak
ada
satupun
peraturan
perundang-undangan
dibidang
ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja
dalam pelaksanaan outsourcing. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya kontroversi terhadap outsourcing yang tentunya menjadi
masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya lagi bagi tenaga
kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan
outsourcing,
karena
ternyata
terkait
dengan
Pemanfaatan
outsourcing di Indonesia, terdapat beberapa pendapat yang Pro dan
Kontra,
diantaranya
yaitu,
diberlakukannya outsourcing :
Pendapat
yang
Pro
dengan
a. Business owner bisa fokus pada core business.
b. Cost reduction.
c. Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja.
d. Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn over tenaga kerja
,kemudian pendapat yang Kontra terhadap diberlakukannya
outsourcing diantaranya adalah :
a. Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK
bagi tenaga kerja.
b. Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara
karyawan internal dengan karyawan outsource.
c. Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan
terarah.
d. Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan
hubungan kerjasama dengan outsourcing provider dan
mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh.
e. Eksploitasi manusia
3. Solusi dalam mengatasi masalah atau kontroversi outsourcing
tersebut, penulis menganalisisnya dengan menggunakan teori dari
Kranenburg yang dinamakan Teori keseimbangan, yakni dengan
kesadaran hukum orang menjadi sumber hukum, hukum itu
berfungsi menurut suatu dalil yang nyata. dalam kaitannya dengan
implementasi outsourcing secara tegas menyebutkan bahwa tugas
negara secara politis dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya dan
untuk merealisasikan diperlukan keseimbangan bahwa negara
dalam perspektif politik juga berusaha meujudkan pemenuhan
kebutuhan masyarakat melalui perencanaan pembangunan dan
administrasi negara yang merealisasikan atau melaksanakannya.
Oleh karena itu, pelaksanaan outsourcing harus melindungi hak
pekerja bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan (law
enforcement). faktor di atas perlu mendapatkan perhatian dalam
pelaksanaan outsourcing. Hal ini dimaksudkan agar pekerja benar –
benar mendapatkan perlindungan yang layak sesuai dengan hak
yang mereka miliki. Disamping itu perlindungan bagi pekerja
merupakan faktor yang sangat
penting di dalam rangka
menciptakan keseimbangan dalam hubungan kerja, sehingga
terwujudlah keadilan sosial yang merata di bidang ketenagakerjaan
sesuai dengan landasan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
2. IMPLIKASI
1. Dikeluarkannya
Undang-Undang
No.13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan menuai permasalahan. Terdapat banyak kontroversi dan
penilaian yang menyatakan bahwa pengaturan outsourcing dalam Undangundang Ketenagakerjaan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan
melanggar hak-hak tenaga kerja, hal ini
banyak didengungkan oleh
kalangan yang tidak setuju terhadap Pengesahan Undang-Undang ini.
Karena penilaian ini Implikasinya adalah terjadi banyak penolakan
diantaranya adalah melalui demonstrasi dan desakan khususnya dari para
pekerja/buruh outsourcing untuk menghapus sistem pekerja kontrak untuk
jangka waktu jangka pendek (outsourcing).
2. Setelah mengkaji, menganilisis dan melakukan pembahasan tehadap
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan akhirnya
diperoleh kesimpulan bahwa Pasal-pasal yang mengatur tentang
outsourcing
dalam
Undang-Undang
No.13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan terdapat ketidaksinkronan baik secara horizontal maupun
vertikal dengan Pembukaan alinea 4, Pasal, 27 (2), 28i ayat 4, Pasal 33
ayat 1 dan 4, : Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Pasal 8, Pasal 11, Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan
Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.harus ada regulasi atau peraturan khusus
yang lebih detail, responsif dan objektif dalam pengaturan outsourcing,
sehingga nantinya harus ada pengertian dan kesepahaman antara
Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja/buruh dalam hal pembentukan
regulasi yang mengatur khusus mengenai outsourcing yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. SARAN
1. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 beserta paket revisinya adalah salah
satu bentuk re-regulasi yang bermakna deregulasi atas hukum perburuhan
yang sejati. Karena itu perlu dilakukan re-regulasi atau amandemen atas
hukum perburuhan yang sudah terderegulasi yang mengatur khusus
tentang outsourcing. Sebagai proteksi atas hak-hak buruh yang dirampas
oleh regulasi baru. Sehingga nantinya diharapkan dapat sinkron atau
paling tidak dapat meminimalisir ketidaksinkronan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang sederajat.
2. Kewajiban pengusaha atau perusahaan adalah berkomunikasi dengan
buruh atau pekerja, melalui serikat buruh keputusan bisnis yang
berdampak pada buruh atau pekerja outsourcing, sehingga kontroversi
dapat segera diredam.
3. Kewajiban Pemerintah untuk menjembatani pengusaha dan tenaga kerja
harus dipenuhi, salah satunya dengan membuat regulasi yang dapat
memberiak rasa keadilan kedua belah pihak. sehingga nantinya harus ada
pengertian dan kesepahaman antara Pemerintah,
Pengusaha dan
Pekerja/buruh dalam hal pembentukan regulasi yang mengatur khusus
mengenai outsourcing yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, berdasarkan UU
No. 13 Tahun 2003, Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Alfredo Risano, 2006, Makalah: Pengantar Ilmu Hukum: Outsourcing, Surabaya:
Universitas Airlangga.
Anton. M. Moeliono, 1989, Kamus besar Bahasa Indonesia. Ctk. Pertama. Tim
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD. Jakarta :
Graha Pustaka.
Asri Wijayanti, 2004, Kendali alokasi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi
tenaga kerja Indonesia, Jakarta: Yustika Vol. 7 No. 1.
Agus Sudono. 1984. FBSI Dahulu, Sekarang, dan Yang Akan Datang. Jakarta
Brugink, J.J.H, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung,
Citra Aditya Bakti, 1996) hlm 213
Chandra Suwondo, 2003, Outsourcing, Implementasi di Indonesia, Jakarta: Elex
Media Computindo.
Sabar Sianturi, 2006, Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar
tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006,
Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM.
Friedman, Lawrence M, 1978, The Legal System A Social Science Prespektive,
Rousel sage Foundation, NY,
Iman Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan , Jakarta: Djambatan.
Jan Breman , 1997, Koelies, planters enkoloniale politiek, Het arbeidsregime op
de
grootlandbouwondernemingen
aan
Sumatra’s
Oostkust
(Menjinakkan sang kuli Politik Kolonial pada awal abad 20
diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer), Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti.
J.H. Nieuwenhuis, 1985, Hoofdstukken verbintenissenrecht, diterjemahkan oleh
Djasadin Saragih, dalam Pokok-Pokok Hukum Perikatan.
JJ. H. Bruggink alih bahasa Arief Sidarta, 1996, Refleksi tentang hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Kranenberg. 1960, Algemene Staatlehre, Tjeenk Willink and Zoon NV, Harleem.
Lala Husni. 2005. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia edisi revisi. Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada
__________, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan 3,
Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Lexi J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ctk kedua, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Maria Farida Indarti S, 1998, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan
pembentukannya, Ctk. Kedua, Yogyakarta: Kanisius.
Muzni Tambusai, 2005, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek
hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial,
http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei
2005.
M Syamsudin, 2007, Pemahaman outsourching dio Indonesia, Yustitia, vol 1 no.
2.
Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum,
Surabaya: UGM Press.
Robert A. Nisbet, 1980, Social Change and History - Aspects of the Western
Theory of Development, London, Oxfort University Press, 1972 ;
Dalam:
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung:
Angkasa.
Ridwan Khairandy, 2003, Itikad baik dalam kebebasan berkontrak, Disertasi,
Universitas Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana.
Sehat Damanik, 2007, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut UU No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publishing.
Sentanoe Kertonegoro, 1999, Hubungan industrial, hubungan antara pengusaha
dan pekerja ( bipartid dan pemerintah ( tripartid), Jakarta: YTKI.
SMERU , 2002, Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya pada
Era Kebebasan Berserikat Laporan Lembaga Penelitian SMERU,
dengan dukungan dari USAID/PEG.
Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum. Ctk. Ketiga. Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press).
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif (Statu
Tinjauan Singkat).. Ctk. Pertama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soetojo Prawirohamidjojo, 1984, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu.
Subekti, 1987 Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa.
Uwiyono, Aloysius (2003) “Keterangan sebagai Saksi Ahli”, Sidang Mahkamah
Konstitusi dalam Judicial Review UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Jakarta.
Wirawan, 2009, Rubrik Hukum Terpogong: Apa yang Dimaksud dengan Sistem
Outsourcing?http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0504/31/teropong/ko
menhukum.htm.
Wiratraman, R. Herlambang (2006a) Good Governance and Legal Reform in
Indonesia. Thesis for Master of Arts Program in Human Rights,
Mahidol University, Bangkok
______________, (2006b) “Disain Neo-Liberalisme dan Ancaman Terhadap HakHak Buruh”, Makalah Untuk Labor Law Course For Trade Unionist,
Surabaya, 7-10 September 2006, Trade Union Rights Center Dan
Forum Buruh Surabaya
_____________, (2006c) “Hak Buruh, Revisi UU 13/2003 dan Imperialisme
Global”,
Surabaya
Post,
1
Mei
2006,
http://www.surabayapost.info/kolom.
php?id=42555&klom=Opini&kolomid=5 (diakses 10 Maret 2007).
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional
Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor: 012/PUU-I/2003, Kamis, 28
Oktober 2004.
Internet :
Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id,
21 Juli 2009, 12.00.
Sumber: www.hukumonline.com, 19 Agustus 2009.
Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” ,
http://recruitmentindonesia.wordpress.com, 19 November 2009, 10.00.
http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=555
&Itemid=1, 2 Juni 2009, 13.30.
http://apindo.or.id/index.php/kliping/aW5mbyw2ODg=, 11 Desember 2009,
11.30.
http://blogs.unpad.ac.id/ramadhan_peksos/?p=27, 19 November 2009, 10.05.
http://soulofdistortion.wordpress.com/2007/07/30/gambaran-buruhoutsourcing/,19 November 2009, 10.10.
http://robeeon.net/search/Hubungan+Kerja+&+Hakhak+Normatif+Karyawan+Kontrak+Dan+Outsourcing+, 19 November
2009, 10.15.
http://batampos.co.id/metro/Metro/Wako_Dikado_Ayam_Putih.html, 19
November 2009, 10.20.
http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html, 20
November 2009, 19.00.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/10/opi01.html, 20 November 2009,
19.05.
http://topanz.com/2009/09/outsourcing-masih-kental-di-perusahaan-negara.html,
20 November 2009, 19.10.
http://rizazahari.blogspot.com/2008/07/outsourcing-alih-daya-danpengelolaan.html, 20 November 2009, 10.15.
Journal International :
Stephan Manning, Silvia Massini and Arie Y. Lewin, "A Dynamic
Perspective on Next-Generation Offshoring: The Global Sourcing of Science and
Engineering Talent", in: Academy of Management Perspectives, Vol. 22, No.3,
October
2008,
35-54.
http://www.allbusiness.com/company-activitiesmanagement/company-strategy-outsourcing/6549317-1.html
Tim R. Holcomb, Michael A. Hitt. 2007. Toward a model of strategic
outsourcing
Journal
of
Operations
Management,
25(2),
464–
481http://www.allbusiness.com/chief-executive-u-s/20040501/2989866-1.html
Grauman, Kevin. "The Benefits of Outsourcing." CPA Journal. July
2000.
http://www.openPR.com/news/10864/Invista-and-Freeborders-PLMPartner-of-Key-Work-received-Outsourcing-Excellence-Award.html
"Outsourcing: Make It Work for Your Company." Journal of
Accountancy. October 2000. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/16903/
Springsteel, Ian. "Outsourcing Is Everywhere." CFO: The Magazine
for Senior Financial Executives. December 1994. http://www.answers.com/
McDonald, SM and Jacobs, TJ (2005) Brand Name ‘India’: The Rise
of Outsourcing, Int. J. Management Practice, Vol. 1, No. 2, pp. 152–
174http://www.answers.com/
Download