Nilai Anak dan Jajanan dalam Konteks Sosiokultural Studi Tentang

advertisement
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
A. Status Gizi dan Pembangunan
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi, yang dibedakan antara
status gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Almatsier, 2003;
Supariasa, 2002). Secara perlahan kekurangan gizi akan
berdampak pada tingginya angka kematian bayi, dan balita
serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu dampak
kekurangan gizi juga terlihat pada rendahnya partisipasi
sekolah, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi yang pada
akhirnya mempengaruhi pembangunan bangsa.
Pembangunan bangsa bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan setiap warga negara. Keberhasilan pembangunan
bangsa akan ditentukan oleh ketersediaan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki
fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima,
serta cerdas. Bukti empiris menunjukan bahwa hal ini sangat
ditentukan oleh status gizi yang baik, sementara status gizi yang
baik ditentukan oleh jumlah dan mutu asupan pangan yang
dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi
langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi.
Secara tidak langsung dipengaruhi pula oleh pola asuh,
keterssediaan pangan, faktor sosial-ekonomi, budaya dan politik
(UNICEF, 1990). Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus
terjadi maka akan dapat menjadi faktor penghambat dalam
pembangunan nasional.
Saat ini diperkirakan sekitar 50 persen penduduk
Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka
11
masalah kekurangan gizi. Masalah gizi kurang sering luput dari
penglihatan atau pengamatan biasa sehingga sering kali tidak
cepat ditanggulangi, padahal dapat memunculkan masalah
besar.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengungkapkan
pentingnya penanggulangan kekurangan gizi dalam kaitannya
dengan
pembangunan
suatu
bangsa.
Keberhasilan
pembangunan ditentukan oleh ketersediaan SDM yang sehat
dan berkualitas. Beberapa dampak buruk karena kurang gizi
yaitu: 1) rendahnya produktivitas kerja, 2) kehilangan
kesempatan sekolah dan 3) kehilangan sumberdaya karena
biaya kesehatan yang tinggi (World Bank, 2006).
Kekurangan gizi, dapat berupa zat gizi makro maupun
mikro, antara lain dapat diindikasikan dari status gizi anak
balita dan wanita hamil. Implikasi masalah gizi pada kedua
kelompok tersebut sangat luas, antara lain:
1. Tingginya prevalensi Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
akibat tingginya prevalensi Kurang Energi Kronik
(KEK) pada ibu hamil. BBLR dapat meningkatkan
angka kematian bayi dan balita, gangguan
pertumbuhan fisik dan mental anak, serta penurunan
kecerdasan. Anak bergizi buruk mempunyai resiko
kehilangan IQ 10-15 poin. Gangguan kurang Yodium
pada saat janin atau gagal dalam pertumbuhan anak
sampai usia dua tahun dapat berdampak buruk pada
kecerdasan secara permanen.
2. Kurang zat besi (anemi gizi besi) pada ibu hamil dapat
meningkatkan resiko kematian waktu melahirkan,
meningkatkan resiko bayi yang dilahirkan kurang zat
besi, dan berdampak buruk pada pertumbuhan sel-sel
otak anak, sehingga secara konsisten dapat
12
mengurangi kecerdasan anak. Pada orang dewasa
kekurangan gizi dapat menurunkan produktivitas
sebesar 20-30 persen.
3. Kurang vitamin A pada anak balita dapat menurunkan
daya tahan tubuh, meningkatkan resiko kebutaan, dan
meningkatkan resiko kematian akibat infeksi.
4. Meluasnya kekurangan gizi pada anak balita dan wanita
hamil akan memicu kenaikan biaya kesehatan baik
pengeluaran rumah tangga maupun pemerintah. Di
samping itu, kekurangan gizi juga menyebabkan
menurunnya produktivitas dan pada gilirannya dapat
menurunkan ekonomi nasional. Implikasinya adalah
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan
dalam rumah tangga. Ketika kurangnya kebutuhan
pangan melanda pada anak balita maka akan berakibat
pada kekurangan gizi yang berdampak pada lahirnya
generasi muda yang tidak berkualitas. Apabila masalah
ini tidak cepat diatasi maka dalam jangka menengah
dan panjang akan terjadi ”kehilangan generasi” yang
dapat mengganggu kelangsungan bangsa, negara dan
pembangunan.
Upaya Pemerintah untuk menjamin kecukupan pangan
dan gizi semata-mata guna mendukung komitmen pencapaian
Millennium Development Goals (MDGs), terutama pada
sasaran-sasaran: 1) menanggulang kemiskinan dan kelaparan, 2)
menurunkan angka kematian anak dan 3) meningkatkan
kesehatan ibu pada tahun 2015. Komitmen global lain sebagai
landasan pembangunan pangan dan gizi adalah: the Global
Strategy for Health for All 1981, The World Summit for
Children 1990, The Forty–eight World health Assembly 1995,
World Food Summit 1996 and Health for All in the Twenty-
13
first Century 1998. Pada tingkat nasional, kebijakan dan
langkah terpadu bidang pangan dan gizi untuk mendukung
pembangunan SDM berkualitas juga telah disusun dalam bentuk
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006 – 2010.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Kerangka pemikiran teoritis faktor yang mempengaruhi
status gizi, yang selama ini banyak dianut merupakan adaptasi
dari UNICEF (1990), seperti yang terdapat pada Gambar 2.1.
Status gizi, atau juga malnutrisi, disebabkan oleh masalah yang
kompleks, multidimensional dan saling berkaitan. Kerangka
teoritis penyebab malnutrisi anak adalah komprehensif baik
dari masalah biologik maupun sosioekonomi. Terdapat tiga
tingkatan kausalitas yang berkaitan dengan determinan dekat
sebagai penyebab langsung, determinan pokok sebagai
penyebab tidak langsung dan determinan mendasar atau akar
masalah dari malnutrisi anak (UNICEF, 1990 dan 1998; Engle
and Lhotska, 1999).
Determinan dekat status gizi anak yaitu asupan makanan
dan penyakit, seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.
Determinan dekat tersebut termanifestasi pada tingkat masingmasing individu manusia, meliputi asupan makanan serta status
kesehatan. Faktor-faktor ini bersifat interdependen, yakni
seorang anak dengan asupan makanan yang kurang mencukupi
diduga lebih rentan penyakit (UNICEF, 1998). Penyakit akan
menekan nafsu makan, juga dapat menghalangi absorbsi nutrisi.
Asupan makanan harus mencukupi baik secara kuantitas dan
kualitas.
Determinan dekat dari status gizi anak selanjutnya
dipengaruhi oleh tiga determinan pokok yang termanifestasi
pada tingkat rumah tangga. Termasuk dalam determinan ini
14
adalah keamanan pangan, kecukupan perawatan kesehatan,
serta lingkungan kesehatan yang layak, termasuk akses layanan
kesehatan. Keamanan pangan dicapai ketika seseorang memiliki
akses terhadap makanan yang cukup untuk hidup sehat dan
aktif (World Bank, 1996). Sumber daya yang penting untuk
meningkatkan akses terhadap pangan adalah produksi pangan
dan pendapatan untuk membeli makanan.
Pola asuh, yang merupakan determinan pokok yang
kedua, didefinisikan sebagai perilaku-perilaku dan praktekpraktek pemberi perawatan (ibu, saudara sedarah, ayah dan
penyedia layanan perawatan anak) untuk menyediakan
makanan, perawatan kesehatan, stimulasi dan dukungan
semangat yang penting bagi tumbuh kembang anak yang sehat
(Engle and Lhotska, 1999).
Determinan pokok yang ketiga dari status nutrisi anak
adalah lingkungan yang sehat dan layanan yang bersandar pada
ketersediaan air yang aman, sanitasi, perawatan kesehatan dan
keamanan lingkungan, termasuk tempat berlindung. Prevalensi
dan penyakit karena infeksi akut dipengaruhi oleh kondisi
sanitasi, kualitas dan kuantitas air yang tersedia, akses terhadap
layanan kesehatan primer, perilaku anggota dan individu rumah
tangga, asupan sumber energi dan protein, pemberian ASI, dan
praktek penyapihan.
15
Gambar 2.1:
Kerangka pemikiran teoritis faktor yang
mempengaruhi status gizi anak
Budaya, politik, ekonomi, sosial, beserta perubahannya
Determinan
dasar (Akar
Masalah)
Daya Beli, Akses Pangan, Akses Informasi, Akses Pelayanan
Ketersediaan
dan Pola
Konsumsi
Rumah
Tangga
Pola
Asuh
Asupan Makanan
Pelayanan
Kesehatan
dan
Kesehatan
Lingkungan
Penyakit/Status Infeksi
Status Gizi
Sumber: Adaptasi dari UNICEF 1990 dan Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi 2006 - 2010
16
Determinan
pokok
(Penyebab
Tidak
Lansung)
Determinan
dekat
(Penyebab
langsung)
Outcome
Determinan yang mendasar adalah sumber daya potensial
yang ada bagi suatu negara atau masyarakat, yang terbatas oleh
lingkungan alam, akses terhadap teknologi, dan kualitas sumber
daya manusia. Faktor politik, ekonomi, budaya dan sosial
berpengaruh terhadap pemanfaatan potensi sumber daya yang
ada dan bagaimana mereka diubah menjadi sumber daya bagi
keamanan pangan, perawatan dan lingkungan serta layanan
kesehatan (UNICEF, 1990). Contoh faktor-faktor dalam
determinan mendasar ini adalah sebagai berikut:
1. Faktor politik: misalnya yang berkaitan dengan ketahanan
dan keamanan suatu negara akan berdampak pada segala
bidang kehidupan masyarakatnya, termasuk mempengaruhi
tingkat ekonomi, daya beli, pendidikan, pelayanan
kesehatan, ketersediaan pangan, sehingga pada akhirnya
berdampak pada status gizi masyarakatnya.
2. Faktor budaya: sebagai contoh adalah adanya ekspansi dari
berbagai jenis makanan yang berkaitan dengan pola
konsumsi makanan, yaitu dengan menjamurnya restoran
makanan junk food, yang kemudian banyak disukai oleh
masyarakat terutama kaum muda. Atau dengan adanya
tradisi-tradisi, kepercayaan, norma, nilai dan kebiasaankebiasaan yang masih terus dipertahankan yang merugikan
masyarakat
ditinjau
dari
pemanfaatan
maksimal
ketersediaan makanan, sebagai contoh adanya selamatan
sedekah bumi yang dilakukan setiap tahun oleh masyarakat
disalah satu desa di Kecamatan Demak dengan cara
bersama-sama membuat hantaran makanan yang kemudian
pada akhirnya digunakan untuk sawuran (ditaburtaburkan) dengan maksud untuk menghilangkan ketidak
beruntungan dan melepaskan segala amarah yang
terpendam.
3. Faktor sosial yang ada di masyarakat yang dapat merupakan
faktor
yang
menguntungkan
atau
mendukung
17
terbentuknya status gizi yang baik, tetapi dapat juga
merupakan faktor yang merugikan, misal adanya hubungan
kedekatan, gotong royong pada masyarakat desa khususnya
merupakan hal yang dapat dimanfaatkan untuk saling
mendukung kesehatan lingkungan yang ada di daerahnya,
dan kemudian dapat mempengaruhi status kesehatan
rumahtangga, masyarakat termasuk status gizinya.
Menurut Behrman and Deolalikar (1989), serta Strauss
and Thomos (1995), rumah tangga merupakan fungsi pengguna
yang menentukan dalam hal kesehatan dan status gizi masingmasing anggota keluarga. Teori lain yang ada saat ini
menyatakan status gizi yang baik untuk anak usia pra sekolah
bergantung pada keamanan rumah tangga, lingkungan yang
cukup sehat dan perawatan kelahiran dan jumlah anak
(ACC/SCN, 1992). Sekalipun demikian, status gizi tersebut tidak
hanya hasil dari ketiga faktor tersebut, tetapi juga interaksi
antara ketiganya (Blau et al. 1996; Haddad et al. 1996; Smit and
Haddad, 1999; ACC/SCN/IFPRI, 2000;).
Faktor yang mempengaruhi status gizi lainnya yang perlu
diperhatikan adalah:
1.
Faktor Lingkungan
Bagi manusia, lingkungan adalah segala sesuatu yang
ada disekitarnya, baik berupa benda hidup, benda mati,
benda nyata ataupun abstrak, termasuk manusia lainnya,
serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi
diantara elemen-elemen dialam tersebut. Lingkungan
memiliki cakrawala yang sangat luas, sehingga untuk
memudahkan pemahaman tentang lingkungan, seringkali
diklasifikasikan sesuai kebutuhan, yakni:
a. Lingkungan yang hidup (biotis) dan lingkungan tidak
hidup (abiotis).
18
Lingkungan alamiah dan lingkungan buatan.
Lingkungan prenatal dan lingkungan postnatal.
Lingkungan biofisis dan lingkungan psikososial.
Lingkungan air (hydrosfir), lingkungan udara (atmosfir),
lingkungan tanah (litosfir), lingkungan biologis (biosfir)
dan lingkugan sosial (sosiosfir)
f. Kombinasi dari klasifikasi-klasifikasi tersebut.
(Slamet, 2002: 35-38).
b.
c.
d.
e.
Menurut undang-undang RI Nomor 23 tahun 1997,
tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka yang disebut
lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Lingkungan juga dapat berupa lingkungan ekonomi, politik,
sosial dan budaya. Lingkungan-lingkungan yang dekat dan
berhubungan dengan masalah gizi masyarakat adalah sebagai
berikut: 1) lingkungan ekonomi yang mengakibatkan daya beli
terhadap ketersediaan pangan rumah tangga rendah, 2)
lingkungan politik yang tak mendukung tersedianya bahan
makanan yang mencukupi, 3) lingkungan sosial dan budaya
yang tak mendukung usaha perbaikan gizi, misalnya hubungan
antar kelompok masyarakat yang tak harmonis, tak adanya
budaya perilaku hidup sehat di masyarakat akan mempengaruhi
status gizi masyarakat yang ada di daerah lingkungan hidup
tersebut.
Menurut Bassett (1992), kualitas lingkungan memiliki
hubungan dengan proses patofisiologis, yang kemudian
menentukan keadaan kesehatan seseorang dan masyarakat,
sebagai contoh 1) gas yang dihasilkan dari industri dan reaktor
tenaga nuklir, 2) stabilitas ekonomi, 3) pertumbuhan penduduk,
3) peningkatan polusi udara, 4) usaha-usaha penghijauan yang
19
dilakukan, yang semuanya dapat mengakibatkan pencemaran
lingkungan baik yang bersifat lokal maupun global.
Lingkungan air, udara dan tanah merupakan lingkungan
yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Lingkungan biologis
yang terdiri dari flora dan fauna juga merupakan lingkungan
yang diperlukan manusia, meski memiliki efek positif dan
negatif untuk kesehatan manusia. Jika manusia tak mampu
memelihara lingkungan tersebut maka akan dapat
menimbulkan masalah kesehatan yang dapat bersifat langsung
maupun tak langsung. Pengaruh langsung oleh karena
lingkungan banyak mengandung bakteri atau kandungan lain
yang tak sesuai dengan standar bagi kesehatan manusia.
Sedangkan pengaruh tak langsung adalah pengaruh yang timbul
sebagai akibat pendayagunaan, misalnya air yang dipergunakan
untuk industri yang menimbulkan pencemaran air sehingga
dapat mengganggu kesehatan.
Lingkungan sosial atau sosiosfir adalah lingkungan yang
tercipta akibat terjadinya interaksi antar manusia. Interaksi
tersebut memungkinkan tersalurnya budaya dari satu orang ke
orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Misalnya pengalaman yang didapat masyarakat atau
perseorangan ditularkan pada orang lain dan pada generasi
penerusnya yang kemudian menumbuhkan adat dan budaya
khusus pada masyarakat. Orangtua juga mewariskan berbagai
kepercayaan pada anak-anaknya, dan masyarakat menentukan
berbagai nilai ataupun norma sebagai pegangan bersosialisasi.
Perpaduan antara pengetahuan, kepercayaan dan norma
akhirnya akan membentuk bagaimana seorang berfikir, dan
berperasaan, yang selanjutnya menentukan perilakunya dan
pada akhirnya menentukan kesehatan lingkungannya.
20
Tabel 2.1: Taraf budaya, pola kesehatan lingkungan, pola
penyakit, mortalitas dan fertilitas, tujuan
pelayanan kesehatan dan status nutrisi
Status
masyara
kat
Tradisional
Transisional
awal
Transisional
akhir
Moderen
Masalah
kesehatan
lingku
ngan
Tipe
pedesaan,
kontaminsi
air,
makanan,
banyak
insekta
Idem dan
mulai ada
pemalsuan
makanan,
obat
Rural
tradisional,
urban
moderen
Sebagian
besar
urban,
pencema
ran udara,
oir, rokok,
minuman
keras,
makanan
sintetis
Pola penyakit,
mortalitas
fertilitas
Tujuan
pelayanan
kesehatan
Status
gizi
Endemis
infeksi,
parasitik, CDR,
CBR tinggi
Sistem
tradisional
Banyak
malnutrisi
Endemis
infeksi
dan
parasitik, CDR
sedang,
dan
CBR tinggi
Penyakit
infeksi
berkurang,
dikota penyakit
tidak menular,
CDR rendah,
CBR sedang
Penyakit
kardiovaskular,
degenerasi,
keganasan,
CDR dan CBR
rendah
Pelayanan
yang
baik
didapat
didaerah
tertentu saja
Sistem
nasional
pencegahan
komprehensif,
pelayanan
merata
Potensi
perbaikan
besar
Sistem
nasinal
menyeluruh,
komplex
Nutrisi
berlebih
Perbaikan
gizi dan
perbaikan
pendapa
tan
Sumber: Slamet (2002)
CDR : Crude Death Rate : angka kematian kasar
CBR : Crude Birth Rate : angka kelahiran kasar
21
Lingkungan sosial dapat dipandang sebagai lingkungan
yang paling penting dalam menentukan kesehatan lingkungan.
Penyakit dapat disebabkan oleh unsur fisis seperti temperatur,
radiasi, tekanan, kebisingan, atau unsur kimia seperti arsen,
merkuri, insektisida, makanan, atau unsur biologis seperti
mikroba patogen. Tetapi penyakit hanya dapat terjadi apabila
norma serta budaya manusianya ”mengizinkan”. Misalnya,
manusia ”mengizinkan” insektisida, logam berat, dan kotoran
manusia dimasukkan ke dalam sungai dan manusia pula yang
”mengizinkan” air sungai itu digunakan sebagai air minum.
Norma, perilaku dan adat kebiasaan yang menyimpang dari
standar sehat tersebut bisa jadi karena ketidak tahuan, atau
ketidak pedulian masyarakat terhadap kesehatan, tetapi hasil
akhirnya adalah sama, yaitu terjadi pencemaran lingkungan,
terganggunya kesehatan, yang kemudian dapat mengakibatkan
gangguan status gizi.
Higiene lingkungan sangat ditentukan oleh norma atau
kebiasaan masyarakat. Norma-norma masyarakat, misalnya
buang air besar di sungai dan mandi di sungai yang sama
dianggap normal atau dapat diterima secara sosial budaya.
Membuang sampah di saluran atau sungai juga merupakan
kebiasaan yang sudah dianggap normal. Dengan demikian, atas
dasar perilaku tersebut, akan timbul penyakit yang setara
dengan norma atau kebiasaan yang dilakukan termasuk juga
cara-cara pengobatannya.
Apabila kesehatan lingkungan buruk, dan agent yang
ada di dalam lingkungan bersifat infektif, maka akan terdapat
banyak penderita berpenyakit menular, seperti kolera, tipus,
disentri dan lain-lainya. Tetapi apabila agent didalam
lingkungan itu bersifat tidak menular, maka penyakit yang akan
terjadi juga bersifat tidak menular, seperti kanker, penyakit
minamata, penyakit jantung. Kesemuanya ditentukan oleh
budaya masyarakat setempat yang mereka dapat dari
22
lingkungan sosial atau sosiosfir. Menurut Slamet (2002), taraf
budaya (status masyarakat) dapat menentukan pola kesehatan
lingkungan (masalah kesehatan lingkungan yang ada), pola
penyakit, mortalitas dan fertilitas, yang dapat berakibat
gambaran status gizi yang terjadi, begitu juga menentukan
pelayanan kesehatan yang memungkinkan harus dilakukan
(lihat Tabel 2.1).
2. Faktor Sosiokultural
Sosiokultural atau sosial-budaya merupakan hubungan
antar manusia dengan manusia, hubungan antar manusia
dengan kelompoknya dan sebaliknya, yang menekankan saling
ketergantungan antara pola-pola budaya, masyarakat sebagai
suatu sistem interaksi, dan kepribadian individual, atau
merupakan perwujudan dari sumbu yang berputar ditengah
batas sosial dan budaya (Storey, 2008). Sedangkan kebudayaan
adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi,
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan,
hukum, adat istiadat, serta lain-lain kenyataan dan kebiasaankebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat
(Ahmadi, 2003). Sehingga dalam melakukan praktek hidup
sehari-hari yang merupakan budaya akan dipengaruhi atau
berlatar belakang kebudayaan yang ada di masyarakat.
Menurut Horton et al. (1984), kebudayaan (culture)
adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisir yang
menjadi pegangan bagi masyarakat. Kebudayaan adalah
komplek keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota
masyarakat. Kebudayaan disebut juga sebagai segala sesuatu
yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para
anggota suatu masyarakat. Kebudayaan bersifat normative ,
23
yang merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa
kebudayaan menentukan standar perilaku, misalnya untuk
bersalaman kita mengulurkan tangan kanan, ini adalah pantas
dalam kebudayaan kita.
Setiap kebudayaan adalah sebagai jalan atau arah didalam
bertindak dan berpikir, sehubungan dengan pengalamanpengalaman yang fundamental, oleh karena itu kebudayaan tak
dapat dilepaskan dengan individu dan masyarakat. Unsur-unsur
dalam kebudayaan terdiri dari: 1) sistem religi dan upacara
keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem
pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencarian
hidup, 7) sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat
1979). Unsur-unsur tersebut diwujudkan dalam bentuk:
a.
Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
konsep-konsep, nilai-nilai, norma, peraturan dan
sebagainya. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak
yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi
jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak
pernah lepas satu dari yang lain, melainkan selalu
berkaitan, menjadi suatu sistem, yang disebut sistem
budaya. Sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan
yang dalam Bahasa Indonesia lebih lazim disebut adat
istiadat. Fungsi dari sistem budaya adalah menata dan
memantapkan tindakan-tindakan serta tingkahlaku
manusia.
b. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, yang
sisebut sebagai sistem sosial, yang terdiri dari aktivitasaktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta
bergaul satu dengan lainnya, selalu menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sistem sosial
ini bersifat konkret , terjadi disekeliling masyarakat seharihari, dapat diobservasi, di foto dan didokumentasi.
24
c.
Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
(Koentjaraningrat, 1990).
Sosiokultural yang dimaksud dalam penelitian ini
mencakup unsur-unsur yang diwujudkan dalam bentuk:
1) Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
konsep-konsep, nilai-nilai, norma, peraturan, kepercayaan,
kebiasaan, tradisi, mitos, dan sebagainya yang disebut sebagai
sistem budaya. 2) Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat yang
disebut sebagai sistem sosial (Koentjaraningrat, 1990). Sistem
budaya dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk yaitu:
a. Nilai
Nilai adalah gagasan mengenai apakah pengalaman
berarti atau tidak berarti. Nilai mengarahkan perilaku
dan pertimbangan seseorang, misal orang yang sangat
menghargai kesegaran jasmani akan berlatih secara
teratur dan mengawasi makanan dan minuman mereka.
Dalam setiap masyarakat beberapa nilai memiliki
penghargaan yang lebih tinggi dari nilai-nilai lainnya,
nilai dapat berubah dari waktu ke waktu. Pergeseran
nilai-nilai juga mempengaruhi kebiasaan dan tata
kelakuan (Horton and Hunt, 1984).
Theodorson dalam Pelly (1994), mengemukakan bahwa
nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan
pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak
dan bertingkahlaku. Keterikatan orang atau kelompok
terhadap nilai relative sangat kuat dan bahkan bersifat
emosional. Clydl Kluckhohn dalam Pelly (1994), juga
mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum
yang terorganisir yang mempengaruhi perilaku,
berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam
alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-
25
hal yang diinginkan dan tidak diinginkan yang mungkin
bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan
dan sesama manusia.
Nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep
mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang
mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam
hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman
yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan
para warga masyarakat. Walaupun nilai-nilai budaya
berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam
masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu
bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara
rasional dan nyata. Namun justru karena sifatnya yang
umum, luas dan tidak konkrit, maka nilai-nilai budaya
dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah
emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi
warga dari kebudayaan bersangkutan. Kecuali itu, para
individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai
budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga
konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam
jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam
suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai
budaya yang lain dalam waktu yang singkat, dengan
cara
mendiskusikannya
secara
rasional
(Koentjaraningrat, 1990).
Menurut Siregar (2003), latar belakang sosial yang
berbeda, tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat,
atau kebudayaan suatu kelompok sosial serta
penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan,
menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak.
Sedangkan yang dimaksud dengan persepsi nilai anak
26
atau balita oleh orang tua adalah merupakan tanggapan
dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu
pendapat untuk memiliki diantara pilihan-pilihan yang
berorientasi pada suatu hal yang pada dasarnya terbuka
dalam situasi yang datangnya dari luar.
Pada negara berkembang, terutama di daerah pedesaan
beban ekonomi yang ditanggung keluarga akan jauh
lebih rendah bila anak tidak sekolah. Hal ini dapat
terjadi oleh karena anak yang tak sekolah dapat
menyokong penghasilan keluarga pada usia yang sangat
dini dengan cara bekerja di sawah, menggembala ternak
dan mengerjakan pekerjaan lain. Dengan bertambahnya
usia orang tua, maka anak-anak dapat memberikan
bantuan ekonomi, mungkin dengan bekerja disawah
milik orang tuanya. Hal ini dapat dikatakan di negara
maju, kekayaan mengalir dari orang tua ke anak,
sedangkan di negara berkembang sebaliknya kekayaan
mengalir dari anak ke orang tua.
Penelitian-penelitian tentang nilai anak, termasuk yang
merupakan proyek nilai anak internasional atau Value
of Children (VOC) yang dilakukan di Jawa, didapatkan
hasil sebagai berikut:
(i) Nilai positif umum
(a) Manfaat emosional
Anak membawa kegembiraan dan kebahagiaan
ke dalam hidup orang tuanya. Anak adalah
sasaran cinta kasih, dan sahabat bagi orang
tuanya.
(b) Manfaat ekonomi dan ketenagaan
Anak dapat membantu ekonomi orang tuanya
dengan bekerja di sawah atau diperusahaan
keluarga lainnya, atau dengan menyumbangkan
27
upah yang mereka dapat dari tempat lain.
Mereka dapat mengerjakan banyak tugas di
rumah (sehingga ibu mereka dapat melakukan
pekerjaan yang menghasilkan uang).
(c) Memperkaya dan mengembangkan diri sendiri
Memperkaya memelihara anak adalah suatu
pengalaman belajar bagi orang tua. Anak
membuat orang tua lebih matang, lebih
bertanggung jawab. Tanpa anak, orang yang
telah menikah tidak selalu dapat diterima
sebagai orang dewasa dan anggota masyarakat
sepenuhnya.
(d) Mengenali anak
Orang tua memperoleh kebanggaan dan
kegembiraan dari mengawasi anak-anak mereka
tumbuh dan mengajari mereka hal-hal baru,
mereka bangga kalau dapat memenuhi
kebutuhan anak-anaknya.
(e) Kerukunan dan kelanjutan keluarga
Anak bisa membantu memperkuat ikatan
perkawinan antar suami istri dan mengisi
kebutuhan
suatu
perkawinan.
Mereka
meneruskan garis keluarga, nama keluarga dan
tradisi keluarga.
(ii) Nilai negatif umum
(a) Beban emosional
Orang tua sangat mengkhawatirkan anakanaknya terutama tentang perilaku anak,
keamanan dan kesehatan. Dengan adanya anakanak, rumah akan ramai dan kurang rapi.
Kadang-kadang anak itu menjengkelkan.
(b) Beban ekonomi
28
Ongkos yang harus dikeluarkan untuk memberi
makan dan pakaian anak-anak cukup besar.
(c) Keterbatasan gerak
Setelah mempunyai anak kebebasan orang tua
berkurang.
(d) Beban fisik
Begitu banyak pekerjaan rumah tambahan yang
diperlukan untuk mengasuh anak, orang tua
menjadi lebih lelah.
(e) Pengorbanan kehidupan pribadi suami istri
Waktu untuk dinikmati oleh orang tua menjadi
berkurang dan terjadi perdebatan tentang
pengasuhan anak oleh orang tua.
Nilai positif anak yang paling sering diungkapkan
adalah bantuan ekonomis dalam bentuk kerja (baik di
rumah, dalam pekerjaan orang tua, atau pertanian)
dan juga jaminan di hari tua. Nilai positif lain yang
penting bagi sub kelompok tertentu adalah perbaikan
dalam ikatan perkawinan dan kelangsungan
keturunan. Adapun nilai negatif yang paling menonjol
adalah beban ekonomi termasuk uang sekolah.
Khususnya bagi orang pedesaan Jawa, seluruh biaya
yang berhubungan dengan upacara perkawinan anak
mereka juga termasuk dalam beban ekonomi. Oleh
kebanyakan sub kelompok beban emosional seperti
kekawatiran akan kesehatan anak dan pengaruh
negatif dari teman-teman sebaya digolongkan sebagai
beban kedua (Singarimbun, 1977; Siregar, 2003).
Menurut Nauck (2007), dalam teori nilai anak secara
sosial, seseorang berharap memperoleh kepercayaan
diri dan kondisi kesehatan yang baik secara maksimal,
apabila orang tersebut memperoleh respon positif
terhadap
keluarganya
yang
berasal
dari
29
lingkungannya. Kondisi kesehatan yang baik, berarti
orang tersebut dapat bertahan hidup dengan layak
sebagai hasil dari kenyamanan fisik dan mental.
b. Norma
Norma merupakan aturan-aturan untuk bertindak,
bersifat khusus, sedangkan perumusannya biasanya
bersifat amat terperinci, jelas, tegas dan tak
meragukan. Jika perumusan yang ada bersifat
terlampau umum dan luas ruang lingkupnya, serta
terlampau kabur perumusannya, maka norma tersebut
tidak dapat mengatur tindakan individu dan
membingungkan individu bersangkutan mengenai
prosedur serta cara bagaimanakah suatu tindakan itu
sebaiknya dilaksanakan (Koentjaraningrat, 1990).
Norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat
warga kelompok di masyarakat, dipakai sebagai
panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang
sesuai dan diterima sehingga setiap warga masyarakat
harus menaatinya (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 2001; Liliweri, 2002).
Norma budaya adalah suatu konsep yang diharapkan
ada atau seperangkat perilaku yang bercitra
kebudayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang
bersikap. Sehingga Kebudayaan bersifat normative ,
yang merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa
kebudayaan tercermin dalam standar perilaku.
Contoh dalam budaya di Indonesia, untuk bersalaman
kita mengulurkan tangan kanan, ini adalah pantas.
Dapat dikatakan kebudayaan adalah suatu sistem
norma dan nilai yang terorganisir yang menjadi
pegangan bagi masyarakat (Horton and Hunt, 1984).
30
c. Kepercayaan
Adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang
dipercayai itu benar atau nyata (misalnya kepercayaan
terhadap makhluk halus), sesuatu yang dipercayai
(misalnya rakyat kepada para pemimpinnya), harapan
dan keyakinan misalnya pada kejujuran dan kebaikan
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001).
d. Kebiasaan
Kebiasaan adalah suatu cara yang lazim, yang wajar
dan diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh
sekelompok orang. Sebagai contoh berjabatan tangan,
makan dengan sendok dan garpu, makan nasi adalah
beberapa kebiasaan orang Indonesia. Melalui cobacoba, situasi kebetulan, atau beberapa pengaruh yang
tidak disadari, sekelompok orang sampai pada salah
satu kemungkinan ini, mengulang dan menerimanya
sebagai cara yang wajar untuk memenuhi kebutuhan
tertentu. Kejadian ini diturunkan pada generasi
berikutnya dan menjadi salah satu kebiasaan. Ada dua
golongan kebiasaan (1) hal yang seharusnya di ikuti
sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal
yang harus di ikuti karena yakin kebiasaan itu penting
untuk kesejahteraan masyarakat (Horton and Hunt,
1984). Kebiasaan yang kemudian memunculkan pola
kebiasaan makan berasal dari perspektif multidimensi
yang menjadi dasar yaitu, parameter sosiokultural,
kepercayaan terhadap makanan, pilihan makanan dan
konsumsi makanan (Sanjur, 1982).
e. Tradisi
Adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek
moyang) yang masih dijalankan di masyarakat,
31
dengan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang
telah ada merupakan yang paling baik dan benar,
misalnya perayaan yang berkaitan dengan hari-hari
besar
agama
(Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan, 2001).
f.
Mitos
Menurut Huxley (dalam Satrapratedja et al. 1986),
mitos adalah rasionalisasi, yang merupakan suatu
kerangka penunjang yang dibuat oleh akal manusia
guna memelihara eksistensinya. Ilmu pengetahuan
memang mungkin tidak bisa memberi penjelasan yang
tuntas, namun dengan berjalannya waktu dan
bertambahnya pengetahuan, akan dapat memberikan
pengertian yang rasional dan mitos pada akhirnya
akan digantikan dengan diskripsi ilmiah.
Huxley juga berpendapat bahwa mitos hanya terbatas
dalam tahap-tahap awal perkembangan alam pikiran
manusia. Beberapa mitos, seperti mitos tentang
“progress”, memang adalah gejala mutakhir. Namun
begitu pada akhirnya, bukan saja suatu doktrin ilmiah
tentang “progress” tersebut, melainkan juga mitosmitos lain mengenai nasib atau hari depan umat
manusia didunia. Jadi mitos-mitos kuno dapat
dihindari, akan tetapi manusia modern dapat
terjangkit mitos baru, walaupun mitos inipun dapat
dilenyapkan. Bagi Huxley, mitos mengandung nilai
negatif, oleh karena itu pada akhirnya harus diganti
dengan ilmu pengetahuan. Bagi George Sorel dan
Rudolf Bultmann (dalam Satrapratedja, 1986), mitos
tidak dinilainya serba jelek, manfaatnya ada juga,
dalam mitodologi terkandung unsur-unsur kebenaran
32
walaupun kebenaran itu dinyatakan dalam bentuknya
yang ketinggalan jaman.
Mitos adalah suatu himpunan gagasan-gagasan yang
merasukkan makna-makna transcendental ke dalam
hidup manusia. Melalui mitos-mitos, manusia
diangkat diatas kapasitasnya yang biasa, menjangkau
visi yang jauh ke masa depan dan menjadikan manusia
mampu mewujudkan tindakan bersama guna
mencapai cita-cita dimasa depan.
Keadaan di Indonesia, disamping mitos-mitos lama
mitos barupun masih hidup subur. Mitos-mitos baru
itu berkaitan dalam makna maupun fungsinya dengan
mitos-mitos lama. Dapat dikatakan bahwa mitosmitos lama dan baru bercampur aduk dalam warna
kehidupan yang nampaknya modern. Banyak
dijumpai orang-orang yang terpelajar, pemimpin,
pejabat, anggota pamong praja, bahkan juga sarjana
dan teknisi, orang-orang yang merasa dirinya modern
atau nampaknya modern, ternyata secara sadar atau
tidak sadar percaya pada mitos-mitos, bahkan turut
serta menciptakan mitos-mitos baru. Masyarakat yang
tampaknya serba logis dan serba praktis, kerapkali
juga bisa berbuat yang tidak logis dan tidak praktis.
Mitos-mitos yang ternyata bisa dipercayai oleh orangorang modern itu ada kalanya adalah mitos-mitos
tradisional, bisa pula mitos-mitos baru yang mungkin
saja tidak disadari dan diakui sebagai mitos-mitos,
tetapi dalam kenyataannya, dalam pengamatan para
ahli, hal-hal yang dipercaya itu adalah mitos-mitos
juga adanya. Ada kalanya mitos-mitos yang
dipersangkakan dipercayai oleh orang-orang modern
sebenarnya lebih menyerupai dogma atau mitos-mitos
33
yang dipergunakan dalam ungkapan. Misalnya
beberapa teori disekitar masalah kemiskinan, adanya
kelangkaan pangan di dunia atau jumlah penduduk
yang berlebihan sebagai sumber kelaparan. Hal ini
mendapatkan suatu mitos bahwa kelangkaan pangan
di dunia itu hanya karena dalam kenyataannya dunia
telah menghasilkan pangan yang berlebihan dan
karena itu kelangkaan pangan tidak bisa dijadikan
alasan timbulnya kelaparan. Demikian pula kelebihan
penduduk tidak bisa dijadikan alasan, karena jumlah
pangan di dunia dapat memenuhi kebutuhan pangan
mereka yang kelaparan. Teori-teori yang salah itu
telah dijadikan mitos-mitos untuk menutupi
kebenaran yang disembunyikan mengenai sebabsebab kelaparan, misalnya adanya monopoli dan
manipulasi bahan pangan oleh kekuatan ekonomi dan
politik dominan yang resmi atau tak resmi
(Joyomartono, 2004).
Menurut Sajur (1982), sikap, kepercayaan, tradisi dan
mitos dapat dikatakan sebagai food ideology yang
mempengaruhi diet dan konsumsi gizi. Food ideology
ini berkaitan dengan dua sudut pandang yaitu, (1)
pandangan specifik seseorang terutama yang memiliki
kontrol pemilihan makanan dalam rumah tangga
terhadap system yang dianutnya, dan (2) interprestasi
yang jelas terhadap konsekuensi kesehatan dan
makanan dari kepercayaan yang dianutnya.
Sistem sosial yang dalam penelitian ini berfokus pada
keakraban sosial (kohesi sosial) dan kelembagaan (organisasi
kemasyarakatan) yang tak lepas dari proses-proses sosial dan
berakar pada interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan kunci
dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tidak
akan ada kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan proses
34
dasar dan pokok dalam setiap masyarakat, dan sifat-sifat
masyarakat sangat dipengaruhi oleh tipe-tipe utama interaksi
yang berlangsung di dalamnya. Tipe-tipe interaksi yang banyak
muncul itu sangat ditentukan oleh norma-norma dalam
masyarakat itu dan berkaitan dengan peran-peran sosial, status
dan nilai. Bentuk interaksi sosial sangat beragam, dapat berupa
kerjasama (cooperation), persaingan (competition) dan dapat
pula berupa pertikaian atau conflict.
Dalam hal kerjasama, maka kerjasama timbul apabila
orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingankepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan
mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri sendiri
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui
kerjasama, kesadaran akan adanya kepentingan yang sama dan
adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam
kerjasama yang berguna. Kerjasama timbul karena orientasi
orang per orang terhadap kelompoknya dan kelompok lainnya.
Orientasi ini berupa:
a. Motivasi pribadi, ini berarti tujuan-tujuan pribadi
dihimpun dalam usaha-usaha bersama untuk
mencapainya. Keuntungan pribadi dapat dicapai dengan
kerjasama.
b. Kepentingan umum atau kepentingan bersama,
berdasarkan tujuan-tujuan yang dianggap bernilai
tinggi,dapat pula memberi motivasi kepada orang-orang
atau berbagai kelompok dan organisasi untuk
bekerjasama.
c. Motivasi altruistik, motivasi ini bersumber dari
keinginan seseorang untuk menolong pihak lain, karena
panggilan hati.
d. Tuntutan situasi, misalnya karena musibah banjir orang
tergerak untuk menanggulangi bersama berbagai
akibatnya.
35
Menurut Koentjaraningrat (1979), di Indonesia dikenal
bentuk kerjasama dengan nama gotong royong. Di dalam sistem
pendidikan Indonesia yang tradisional, sejak kecil kedalam jiwa
seseorang ditanamkan suatu pola perikelakuan agar selalu
rukun, terutama dengan keluarganya dan masyarakat yang lebih
luas. Hal ini muncul oleh sebab adanya pandangan hidup,
bahwa seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kerjasama.
Bentuk- bentuk kerjasama mencakup:
a. Kerjasama yang merupakan hasil dari kesetiaan atau
ketaatan terhadap tujuan yang sama.
b. Kerjasam antagonistik, yang dapat terjadi dalam
hubungan kerja majikan-buruh.
c. Kerjasama yang merupakan hasil dari saling bantumembantu, saling tergantung.
d. Kerjasama yang merupakan hasil dari usaha-usaha
dalam rangka bersaing dalam mencapai tujuan paling
dulu atau dengan cara paling baik.
e. Kerjasama yang dipaksakan sebagai hasil dari
subordinasi, yang satu takluk pada yang lain. Pihak yang
takluk tidak mempunyai alternative lain kecuali
bekerjasama dengan pihak penakluk.
Di masyarakat pedesaan di Indonesia, perwujudan
kerjasama yang menonjol dapat di lihat dari kegiatan-kegiatan
tolong-menolong dan gotong-royong. Kegiatan-kegiatan
tolong-menolong ini hidup dalam berbagai macam bentuk
masyarakat di Indonesia. Kecuali dalam pekerjaan pertanian
(kroyokan, grojogan) kegiatan tolong menolong Nampak dalam
bidang lain kehidupan masyarakat, misalnya dalam kehidupan
kekerabatan (rerukun alur waris), dalam menyiapkan pesta dan
upacara (sambatan, rencang) dan dalam hal kecelakaan dan
kematian. Antara beragam tipe tolong menolong tersebut
biasanya dibedakan dengan tajam oleh masyarakat para warga
desa. Menurut observasi Koentjaraningrat di desa-desa di Jawa
36
Tengah bagian selatan, sikap dan kerelaan menolong orangorang desa di dalam satu-tipe tolong menolong berbeda dari
yang didapati dalam lembaga tipe lain. Dalam keadaan
kecelakaan dan kematian, orang desa akan segera rela menolong
sesamanya tanpa berfikir kemungkinan untuk mendapat
pertolongan balasan, tetapi misalnya dalam usaha-usaha
pertanian, orang akan bersifat lebih memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan imbalan atau
balas jasa. Gotong royong berbeda dengan tolong menolong,
oleh karena gotong royong merupakan kegiatan bekerjasama
antara sejumlah warga-warga desa untuk menyelesaikan sesuatu
pekerjaan (proyek) tertentu yang dianggap berguna bagi
kepentingan bersama. Sedangkan tolong menolong lebih
bersifat timbal balik, orang memberi pertolongan dengan
melihat imbalan atau peluang untuk memperoleh pertolongan
yang sama dikemudian hari.
Interaksi dalam sistem sosial memungkinkan timbulnya
masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat
manusia tidak sama antara satu dengan lainnya. Perbedaanperbedaan
itu
disebabkan
oleh
perbedaan
tingkat
perkembangan kebudayaan dan masyarakatnya, dan keadaan
lingkungan alamnya dimana masyarakat itu hidup. Masalahmasalah sosial adalah sesuatu kondisi yang mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat
sebagai sesuatu yang tidak di inginkan atau tidak disukai dan
yang karenanya dirasakan perlu untuk diatasi atau diperbaiki
(Ahmadi, 2003). Dengan demikian masalah sosial ditekankan
pada adanya kondisi atau sesuatu keadaan tertentu dalam
kehidupan sosial warga masyarakat yang bersangkutan. Kondisi
atau keadaan sosial tertentu, sebenarnya merupakan proses hasil
dari proses kehidupan manusia yang berusaha untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan jasmaniahnya, kebutuhan sosial dan
kebutuhan kejiwaan.
37
Dalam usaha-usaha untuk pemenuhan kebutuhankebutuhan tersebut, manusia menggunakan kebudayaan sebagai
model-model petunjuk didalam menggunakan lingkungan
alamnya dan sosialnya di masyarakat. Perwujudan ini adalah
suatu kondisi atau keadaan dimana manusia itu hidup di dalam
masyarakat. Kondisi-kondisi itu bukan suatu yang tetap tetapi
selalu dalam proses perubahan. Setiap kehidupan masyarakat
senantiasa mengalami suatu perubahan. Perubahan-perubahan
pada kehidupan masyarakat tersebut merupakan fenomena
sosial yang wajar, oleh karena setiap manusia mempunyai
kepentingan yang tak terbatas.
Menurut Gillin and Gillin (dalam Abdulsyani, 2007),
perubahan-perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara
hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena
perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,
komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi
ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut.
Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi, berpendapat bahwa
perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahanperubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam
suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya
termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku
diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Abdulsyani,
2007).
Pola perilaku merupakan budaya yang kemudian dapat
menggambarkan hubungan antar individu, individu dengan
masyarakat. Pola perilaku masyarakat merupakan gabungan dari
pola perilaku rumah tangga yang ada. Pola asuh juga merupakan
pola perilaku atau praktek pemberi perawatan yang dapat
dilakukan baik oleh orang tua atau tenaga perawat yang
berkaitan dengan status gizi, sehingga pola asuh gizi juga
dipengaruhi oleh sosiokultural didalam masyarakat di
lingkungannya. Misalnya adanya hubungan diantara
38
masyarakat yang saling tolong menolong dipergunakan untuk
melakukan pertukaran bahan pangan yang dihasilkan oleh
anggota masyarakat, mereka yang menghasilkan padi
menukarnya dengan anggota masyarakat lain yang
menghasilkan ikan. Sehingga kebutuhan zat makanan protein
dalam keluarga terpenuhi. Walaupun perilaku ini juga
ditentukan oleh adanya daya beli, akses pangan, akses informasi
dan akses pelayanan kesehatan yang diterima.
Daya beli dan akses pangan menentukan keputusan
melakukan pertukaran bahan pangan. Akses informasi
menentukan perlu atau tidaknya dan pilihan pertukaran bahan
pangan yang dilakukan, yang tergantung juga dari pengetahuan
perawat dalam rumah tangga tentang susunan bahan makanan
yang sehat yang diperlukan oleh anggota keluarganya. Akses
pelayanan kesehatan mempengaruhi pengetahuan tentang
kesehatan termasuk tentang gizi dan mempengaruhi status
kesehatan keluarga yang kemudian menentukan pola asuh gizi
yang dilakukan.
Kekurangan pemenuhan kebutuhan pangan akan
berdampak pada status gizi. Banyak dari masalah kekurangan
gizi berasal dari ketidak mampuan negara- non industri untuk
menghasilkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk mereka yang berkembang. Hanya peningkatanpeningkatan yang besar dalam produksi makanan didunia,
melalui metode-metode pertanian yang lebih baik saja yang
dapat mengurangi gizi buruk dan kekurangan gizi yang berasal
dari kekurangan kalori dan protein yang menyolok. Namun
masalah juga banyak ditimbulkan akibat mitos, kepercayaankepercayaan yang keliru mengenai hubungan antara makanan
dan kesehatan, pantangan-pantangan dan upacara-upacara,
yang mencegah orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan
yang tersedia bagi mereka. Kekurangan gizi disebabkan oleh
kebiasaan-kebiasaan makan yang buruk, yang tidak terbatas
39
pada dunia ketiga saja tetapi ditemukan juga di Amerika (Foster
et al. 2006: 311).
Pengakuan bahwa masalah gizi diseluruh dunia
didasarkan atas bentuk-bentuk kepercayaan, budaya maupun
karena kurang berhasilnya pertanian, maka organisasiorganisasi internasional maupun nasional yang menaruh
perhatian pada masalah pangan, mengusahakan tidak sematamata pada pertambahan produksi makanan melainkan juga pada
kebiasaan
makanan
tradisional,
untuk
mendapatkan
keuntungan maksimal yang berasal dari makanan yang tersedia.
Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan terhadap
imigran Latin yang mempunyai pengetahuan tentang kesehatan
yang baik, dan menemukan adanya kecenderungan berperilaku
tidak sehat oleh karena berbagai halangan non struktural seperti
ketiadaan waktu, tradisi dan penundaan, sedangkan halangan
struktural seperti kurangnya transportasi, tak adanya asuransi
kesehatan, perbedaan bahasa, serta kurang baiknya pelayanan
kesehatan yang tersedia. Akibatnya perawatan kesehatan
termasuk pola asuh dalam keluarga lebih berpihak pada tradisi,
kepercayaan yang selama ini sudah berjalan (Garces, 2006).
Tradisi dan kebiasaan makanan pada masyarakat yang
didalamnya sarat akan keyakinan dan kepercayaan sangat sukar
untuk di ubah, sebab telah ditanamkan sejak usia muda.
Penanggalan terhadap ikatan sosial, ritual, kepercayaan yang
menghasilkan kebiasaan makanan sesuai teori kesehatan
merupakan pekerjaan yang susah, namun harus dapat dilakukan
demi kesehatan. Hanya dengan sangat susah payah orang dapat
melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan makan sejak usia
muda, untuk memulai dengan makanan yang sama sekali
berlainan (Foster, 2006). Penelitian yang mendukung yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Oninla et al. (2006), pada anakanak di Nigeria mendapatkan hasil status gizi anak kota lebih
baik dari anak desa. Hal ini terjadi oleh karena adanya
40
perbedaan mengenai ketidaksamaan makanan yang dimakan di
masyarakat desa dan kota dan kepercayaan tradisional dan
praktik-praktik yang lebih berakar di masyarakat pedesaan
daripada perkotaan yang mempengaruhi status gizinya.
Kebiasaan makan sehari-hari adalah produk dari proses
adaptasi. Adaptasi adalah proses penyesuaian dan perubahan
yang memungkinkan manusia mempertahankan diri dalam
suatu lingkungan yang dihadapi. Proses ini berjalan
berkesinambungan dari satu generasi ke generasi yang
berikutnya. Sehingga dapat dikatakan kebiasaan makan adalah
bersifat tradisional.
Kebiasaan makan tergantung pada
kombinasi dari faktor-faktor psikologi, sosial, kebudayaan dan
biochemical.
Masyarakat
dalam
memilih
makanan
sering
mempertimbangkan apa yang ia sukai dan mempunyai nilai
yang baik untuk dirinya. Pola makan masyarakat banyak
dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan, sebagian juga
dipengaruhi oleh advertensi. Kebiasaan makan berbeda dari
suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Karena
masing-masing kelompok pendukung kebudayaan itu telah
melalui sejarah perkembangannya sendiri-sendiri. Individuindividu dalam kelompok itu telah mengembangkan perilaku
dalam
merespon
lingkungannya,
menyeleksi
dan
mengkonsumsi serta menggunakan makanan yang disediakan
oleh lingkungannya (Joyomartono, 2004). Setiap kelompok
meneruskan kebiasaan makanan ke anak-anaknya dengan
melalui latihan sedemikian rupa sehingga anaknya tahu bahwa
bahan makanan apa yang dapat dipertimbangkan baik untuk
dimakan. Pendapat Jacues May (dalam Joyomartono, 2004),
mengatakan bahwa“ manusia makan apa yang dapat mereka
dapatkan dari lingkungannya dan mereka makan apa yang oleh
nenek moyangnya dahulu telah dimakan”. Jadi sikap dan
kebiasaan anak dalam menghadapi makanan hasil dari proses
41
sosialisasi ini akan berpengaruh terhadap kebiasaan makan anak
yang bersangkutan, sekarang dan kelak kemudian hari.
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan sosiokultural
dan praktek pemberian makanan atau pola asuh gizi juga sudah
banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Muller
(1999), di Rwanda, Afrika, mengenai komposisi produksi Petani
mempengaruhi perilaku (budaya) makan atau pola asuh gizi.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang sudah
berjalan, yang dilakukan oleh Singhth (1986), dimana
didapatkan kesimpulan bahwa tingkat produk pertanian yang
berasal dari rumah tangga petani di negara-negara berkembang
dapat mempengaruhi status gizi mereka secara langsung. Petani
mengkonsumsi sebagian besar produk pertanian mereka.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Franzini et al.
(2009), tentang pengaruh dari lingkungan fisik dan sosial
disekitar tempat tinggal terhadap status gizi anak di UK (United
Kingdom). Adanya norma-norma yang sehat yang terdapat pada
jaringan dari orangtua yang saling mengenal dan bersedia
menjaga anak-anak dilingkungannya yang mempengaruhi
obesitas atau status gizi anak di UK. Keakraban sosial telah
terbukti mempengaruhi kesehatan pada tingkat lingkungan
tempat tinggal, dimana peningkatan kontak sosial dan transaksi
sosial antar masyarakat dapat membantu penerapan perilaku
yang lebih sehat.
Salehi et al. (2004), menyimpulkan bahwa budaya
berpengaruh terhadap bagaimana seorang ibu memberikan
makan/zat gizi atau melakukan pola asuh gizi bagi bayinya,
seperti tradisi menyusui, memberi makan bayi dan perawatan
anaknya. Pada penelitian yang lain Gay et al. (2004),
mendapatkan bahwa pada orang Africo-Amerika perawatan diri
atau juga pola asuh pada umumnya berbasis pada budaya dan
tradisi, misalnya pada cara pemberian obat-obatan yang biasa
diberikan oleh orang tua pada anaknya yang masih banyak
42
menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan dan bersifat
tradisional. Perawatan kesehatan ini akan mempengaruhi status
kesehatan atau derajat infeksi anak yang pada akhirnya
berdampak pada status gizi anak. Obisesan et al. (2006), juga
menemukan bahwa pada orang-orang Eropa dan MexicoAmerika, yang rajin datang ke acara keagamaan (Agama
Katolik), dimana mereka mengajarkan untuk mengkonsumsi
ikan, menyimpulkan bahwa pola konsumsi makan atau pola
asuh gizi masyarakatnya lebih banyak mengkonsumsi ikan
setiap minggunya.
Penelitian yang dilakukan oleh Michael and Richa (2008),
tentang status sosial dan budaya makan menyimpulkan bahwa
daging merah menyimbolkan kedudukan sosial yang kuat atau
tinggi. Sementara biji-bijian, sayur dan buah menyimbolkan
sebaliknya. Walaupun faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi, preferensi dan pemilihan makanan dapat terjadi oleh
karena: (1) citra dalam kehidupan yang mempengaruhi
penilaian terhadap rasa makan, (2) sosiokultural mempengaruhi
preferensi pemilihan rasa. Rasa yang mengenakan bisa digemari
bila sesuai dengan budaya setempat, (3) dalam beberapa
kebudayaan, makanan dan minuman dipergunakan untuk
menegakan peran sosial dan pada akhirnya mempengaruhi
preferensi seseorang, contohnya orang tua memberi steak
daging pada anak laki-laki untuk mengajarkan maskulinitas, (4)
kesesuaian dengan nilai-nilai yang berlaku dan adanya
kepercayaan yang diakuinya. Demikian pula penelitian yang
dilakukan oleh Schimd et al. (2006), menyimpulkan bahwa
konsumsi materi makanan Dalit tradisional di Medak daerah
Andra Pradesh yang mencakup gandum, kacang-kacangan,
sayur-mayur, akar, akar umbi, telur, produk susu dan dan susu
berkolerasi negatif dengan kelaziman dari Calori Energy
Deficiency (CED) dan gejala kekurangan vitamin A secara klinis
para ibu. Serta penelitian yang dilakukan oleh Yudi (2007), di
43
Medan, yang mendapatkan hasil adanya faktor sosialbudaya
yang berupa pendidikan, pengetahuan dan pekerjaan ibu yang
sangat berpengaruh pada perawatan anak yang berkaitan
dengan status kesehatan dan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.
Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut
menggambarkan bahwa penyebab ketidakamanan pangan dan
status gizi buruk sering kali merupakan masalah yang kompleks
dan sangat lokasi spesifik, yang menyebabkan usaha-usaha
perbaikan status gizi belum berhasil maksimal. Masalahnya
dapat berbeda-beda pada daerah, lokasi, kelompok populasi
yang berbeda walaupun pada negara yang sama, yang berkaitan
dengan perilaku dalam hal ini pola asuh gizi, dan dipengaruhi
oleh lingkungannya. Lingkungan tersebut dapat berupa
lingkungan pendidikan, pendapatan, ketersediaan pangan,
termasuk juga lingkungan sosiokultural yang ada.
Di Indonesia masyarakat rentan gizi terutama berada di
daerah pedesaan dengan lingkungan sosial ekonomi yang
rendah yaitu dengan tingkat pendidikan, pengetahuan,
pendapatan, dan budaya yang tidak mendukung terjadinya
status gizi masyarakat yang baik. Masyarakat Indonesia yang
banyak tinggal di daerah pedesaan tersebut dengan pekerjaan
dan mata pencahariannya sebagai petani, dimana konsumsi
makanan keluarga tergantung dari hasil panennya. Hasil panen
ini dipergunakan langsung untuk konsumsi makanan keluarga
atau melalui transaksi keuangan (perdagangan) terlebih dahulu
kemudian baru dipergunakan untuk biaya konsumsi makanan
keluarga. Hal ini dapat dikatakan merupakan budaya atau
praktek transaksi keuangan dalam pemenuhan konsumsi
makanan keluarga, dan dapat dikatakan juga merupakan
gambaran hubungan di masyarakat (sosiokultural) yang ada di
daerah tersebut, dimana konsumsi makanan keluarga
merupakan salah satu bentuk dari pola asuh gizi.
44
Konsumsi makanan keluarga pada masyarakat yang
terisolir atau yang dengan biaya transportasi ke kota mahal,
menyebabkan pemanfaatan produksi pertanian secara langsung
untuk keluarga, oleh karena itu tergantung dari komposisi
produksi pertanian yang dihasilkan yang ditinjau dari zat gizi
makro dan mikro yang terkandung, seperti yang terjadi pada
keluarga di Dalith, Andraprades dimana produksi pertaniannya
yang berupa gandum, padi-padian, kacang-kacangan dan sayur
hijau. Produksi pertanian ini kemudian diolah menjadi
makanan tradisional yang dapat dikatakan merupakan budaya
mereka. Makanan tersebut mengandung keseluruhan dari zat
gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga merupakan suatu
potensi dari masyarakat untuk dapat survive mendukung status
gizi keluarga.
Potensi yang ada di masyarakat dapat dilihat dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008), yang
mendapatkan adanya daerah dengan lingkungan rentan gizi,
tetapi mempunyai gambaran status gizi masyarakat yang relatif
baik. Hal ini menunjukan adanya potensi daerah tersebut yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna mendukung status
gizi mereka. Lingkungan rentan gizi yang sudah dinilai adalah
mengenai lingkungan pendidikan, pendapatan dan ketersediaan
pangan, sehingga perlu dipikirkan lingkungan lain yang
mempunyai kontribusi dalam mendukung status gizi pada
masyarakat tersebut yaitu potensi dari aspek sosiokultural., yang
dapat berupa 1) Sistem budaya, yang merupakan kompleks dari
ide-ide, gagasan-gagasan, nilai, norma, kepercayaan, kebiasaan,
tradisi, mitos dan 2) Sistem sosial yang merupakan komplek
aktivitas serta tindakan yang berpola dari manusia dalam
masyarakat, yang dapat berupa keakraban sosial serta
kelembagaan atau organisasi kemasyarakatan.
45
C. Kerangka Teori Dalam Konteks Sosiokultural
Dari berbagai teori dan hasil penelitian sebelumnya yang
berkaitan usaha-usaha perbaikan status gizi, maka dapat disusun
kerangka teori dalam konteks sosiokultural seperti terlihat pada
Gambar 2.2. Kerangka pikir teoritis ini bersifat tentatif atau
sementara dan akan berkembang setelah didapat data-data
dilapangan, serta tidak bertujuan untuk membuktikannya
dilapangan. Perspektif kerangka pikir teoritis ini berfungsi
sebagai bekal, untuk bisa memahami konteks sosiokultural
secara lebih luas dan mendalam dalam penggalian data
berdasarkan apa yang terjadi di lapangan, yang dialami,
dirasakan, dan dipikirkan oleh informan sebagai sumber data.
Determinan dasar yang berupa: 1) Kebijakan di bidang
ekonomi akan mempengaruhi status sosial ekonomi masyarakat
atau pendapatan rumahtangga yang kemudian mempengaruhi
daya beli. 2) Kebijakan bidang politik akan menghasilkan suatu
kebijakan publik yang mempengaruhi akses pangan, akses
informasi dan akses pelayanan, sedangkan determinan dasar
lainnya yaitu 3) Bidang sosiokultural yang terdiri dari (1) sistem
budaya, yang merupakan kompleks dari ide-ide, gagasangagasan, nilai, norma, kepercayaan, kebiasaan, tradisi, mitos dan
(2) sistem sosial yang merupakan komplek aktivitas serta
tindakan yang berpola dari manusia dalam masyarakat, yang
dapat berupa keakraban sosial/kohesi sosial serta kelembagaan
atau organisasi kemasyarakatan, merupakan potensi masyarakat
yang akan berkaitan dengan daya beli, akses pangan, akses
informasi, akses pelayanan dan pengetahuan akan
mempengaruhi pola asuh gizi yang merupakan determinan
pokok dan akan mempengaruhi determinan dekat yang pada
akhirnya akan menentukan status gizi anggota keluarga.
46
Gambar 2.2: Kerangka teori status gizi balita dalam konteks
sosiokultural
EKONOMI
POLITIK
SOSIOKULTURAL
1.Sistem budaya (nilai,
norma, kepercayaan,
kebiasaan, mitos, tradisi)
2. Sistem sosial (keakraban
sosial, kelembagaan atau
organisasi kemasyarakatan)
KEBIJAKAN PUBLIK
DAYA BELI
AKSES PANGAN
AKSES
INFORMASI
AKSES
PELAYANAN
PENGETAHUAN
POLA ASUH GIZI
ASUPAN MAKANAN
PENYAKIT / STATUS INFEKSI
STATUS
GIZI
Determinan
dasar (Akar
Masalah)
Determinan
pokok
(Penyebab
Tidak
Lansung)
Determinan
dekat
(Penyebab
langsung)
Outcome
47
D. Instrumen Penilaian yang Berkaitan Dengan Status Gizi
Departemen Kesehatan sebagai institusi yang
bertanggung jawab dalam hal kesehatan, telah menyusun
beberapa instrumen penilaian yang berkaitan dengan status gizi,
antara lain penilaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS),
keluarga sadar gizi (Kadarzi), pos pelayanan terpadu (Posyandu)
dan penentuan status gizi.
1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Program PHBS adalah upaya untuk memberikan
pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi
perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan
membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan
melakukan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap, perilaku melalui pendekatan pimpinan, bina suasana dan
pemberdayaan masyarakat agar dapat mengenali dan mengatasi
masalahnya sendiri dalam tatanan rumahtangga, institusi
pendidikan dan tempat ibadah, agar dapat menerapkan hidup
sehat dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan
kesehatannya (Dinas Kesehatan Prov. Jateng, 2006). PHBS
merupakan wujud keberadaan masyarakat yang sadar, mau dan
mampu mempraktikan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes
RI, 2000).
Sasaran program PHBS dipisahkan menjadi beberapa
tatanan, yaitu tatanan rumahtangga, tempat ibadah, instansi
pendidikan, warung makan, pasar dan sebagainya. Dari
sejumlah tatanan yang ada, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah memfokuskan pada 3 jenis tatanan yaitu tatanan
rumahtangga, instansi pendidikan dan tempat iabadah..
Pemilihan pada 3 jenis tatanan tersebut didasarkan pada
48
pertimbangan bahwa ketiga tatanan tersebut mempunyai daya
ungkit yang besar dalam pencapaian derajat kesehatan.
a. Tatanan rumahtangga
Rumahtangga adalah wahana atau wadah dimana orangtua
(bapak dan ibu), anak, serta anggota keluarga lainnya dalam
melaksanakan kehidupan sehari-hari. Bertolak dari
pengertian tersebut maka PHBS di tatanan rumahtangga
adalah
suatu
upaya
yang
dilaksanakan
untuk
memberdayakan dan meningkatkan kemampuan keluarga
dalam berperilaku hidup bersih dan sehat. Tujuan program
PHBS di tatanan rumahtangga secara umum adalah
peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku dan kemandirian
keluarga dalam mengatasi kesehatan. Tujuan khusus dari
PHBS adalah meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku
anggota keluarga ditatanan rumahtangga terhadap program
kesehatan ibu dan anak, gizi, kesehatan lingkungan, gaya
hidup sehat dan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat
(Depkes RI, 2004).
b. Tatanan institusi pendidikan
Institusi pendidikan adalah tempat diselenggarakannya
proses belajar mengajar secara formal, dimana terjadi
transformasi ilmu pengetahuan dari para guru atau pengajar
kepada anak didiknya. PHBS di Institusi pendidikan berarti
suatu upaya yang dilakukan untuk memberdayakan dan
meningkatkan kemampuan pengajar maupun anak didiknya
dalam berperilaku hidup bersih dan sehat. Institusi
pendidikan yang dimaksud adalah tingkat SD atau MI, SLTP
atau MTS, SLTA atau MA.
c. Tatanan tempat ibadah
Tempat ibadah adalah sarana yang digunakan untuk
kegiatan keagamaan atau ibadah bagi masyarakat sesuai
dengan agama yang dianut. PHBS ditempat ibadah adalah
merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk
memberdayakan dan meningkatkan kemampuan pengurus
49
maupun pengunjung dalam berperilaku hidup bersih dan
sehat.
Dalam setiap tatanan PHBS dilengkapi dengan indikatorindikator, dimana indikator PHBS merupakan petunjuk yang
membatasi fokus perhatian. Indikator yang digunakan di Jawa
Tengah yang meliputi 3 tatanan adalah sebagai berikut: (1)
tatanan rumah tangga ada 16 indikator, (2) tatanan institusi
pendidikan ada 12 indikator dan (3) tatanan tempat ibadah ada
8 indikator (Dinkes Prov. Jateng, 2003). Indikator diperlukan
untuk menilai apakah aktivitas pokok telah sesuai dengan
rencana dan menghasilkan dampak yang diharapkan. Indikator
PHBS tatanan rumahtangga yaitu suatu alat ukur atau suatu
petunjuk yang membatasi fokus perhatian untuk menilai
keadaan atau permasalahan kesehatan rumahtangga. PHBS
tatanan rumahtangga diarahkan pada aspek program prioritas
kesehatan ibu dan anak, gizi kesehatan lingkungan, gaya hidup
dan upaya kesehatan masyarakat. Ke 16 indikator di Jawa
Tengah menggunakan 10 indikator nasional ditambah dengan 6
indikator lokal (Dinas Kesehatan Prov. Jawa Tengah, 2006),
yang terdiri dari:
a.
b.
c.
d.
Persalinan dengan tenaga kesehatan
Pemberian ASI eksklusif pada bayi
Penimbangan balita
Mengkonsumsi beraneka ragam makanan dalam jumlah yang
seimbang.
e. Memanfaatkan air bersih untuk keperluan sehari-hari.
f. Menggunakan jamban sehat.
g. Membuang sampah pada tempatnya.
h. Setiap anggota rumahtangga menempati ruangan rumah
minimal 9 meter persegi.
i. Lantai rumah kedap air
j. Anggota rumahtangga berumur 10 tahun keatas melakukan
olahraga atau aktivitas fisik 30 menit perhari, dilakukan 3 – 5
kali perminggu
50
k. Anggota keluarga tidak merokok
l. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
m. Menggosok gigi minimal 2 kali sehari
n. Tidak minum miras dan tidak menyalah gunakan narkoba
o. Menjadi peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
p. Melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) minimal
seminggu sekali
Berdasarkan indikator tersebut dapat ditentukan
klasifikasi PHBS yang ditunjukan melalui nilai Indeks Potensi
Keluarga Sehat (IPKS) yaitu:
a. Sehat pratama (warna merah): indikator rumahtangga
memenuhi antara 0-5
b. Sehat madya (warna kuning): indikator rumahtangga
memenuhi antara 6-10
c. Sehat utama (warna hijau): indikator rumahtangga
memenuhi antara11-15
d. Sehat paripurna (warna biru): indikator rumahtangga
memenuhi antara 6-10
yang
yang
yang
yang
Berdasarkan strata PHBS tersebut maka tatanan
rumahtangga dapat dirumuskan secara kelompok (RT, RW, desa
atau kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota) yaitu:
a. Sehat pratama (warna merah), apabila jumlah rumahtangga
yang mencapai sehat utama dan paripurna mencapai 024,4%.
b. Sehat madya (warna kuning), apabila jumlah rumahtangga
yang mencapai sehat utama dan paripurna mencapai 24,5%49,4%.
c. Sehat utama (warna hijau), apabila jumlah rumahtangga yang
mencapai sehat utama dan paripurna mencapai 49,5-74,4%.
d. Sehat paripurna (warna biru), apabila jumlah rumahtangga
yang mencapai sehat
utama dan paripurna mencapai
74,5%. (Dinas Kesehatan Prov. Jateng, 2004).
51
2. Keluarga Prasejahtera
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari suami-istri atau suami-istri dan anaknya, atau ayah
dan anaknya atau ibu dan anaknya. Sekitar 56% keluarga di
Indonesia masih berada dalam tingkat prasejahtera dan
sejahtera I. Pada strata ini, keluarga digambarkan belum
tergolong miskin, tetapi baru dapat memenuhi kebutuhan fisik
minimal, dan keluarga mudah sekali jatuh menjadi miskin
(Gemari, 2006). Undang-undang No. 10 tahun 1992
menyebutkan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang
dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi,
selaras dan seimbang antar anggota serta antara keluarga dengan
masyarakat
dan
lingkungannya.
Nursasi
(2009),
mengklasifikasikan strata keluarga sejahtera dalam lima
tingkatan yaitu:
a. Keluarga prasejahtera
Keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar
secara minimum, seperti pengajaran, agama, sandang,
pangan, papan dan kesehatan.
b. Keluarga sejahtera tahap 1
Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara
minimal (sesuai kebutuhan dasar pada keluarga
prasejahtera) tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan
kebutuhan sosial psikologis keluarga seperti pendidikan,
KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan
lingkungan.
c. Keluarga sejahtera tahap 2
Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar,
kebutuhan psikologis, tetapi belum dapat memenuhi
kebutuhan perkembangan (menabung dan memperoleh
informasi).
52
d. Keluarga sejahtera tahap 3
Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan pada
tahapan 1 dan 2 namun belum dapat memberikan
sumbangan (kontribusi) maksimal terhadap masyarakat
dan berperan secara aktif dalam masyarakat.
e. Keluarga sejahtera tahap 3 plus
Keluarga yang dapat memenuhi semua kebutuhan
keluarga pada tahap 1 sampai dengan 3.
Untuk dapat mengukur sejauhmana keluarga tersebut
berada, maka terdapat 23 indikator yang menggambarkan
tingkat pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, kebutuhan
sosial, psikologis dan kebutuhan pengembangan keluarga
sebagai berikut:
a. Indikator keluarga prasejahtera, bila keluarga belum
mampu:
(1)
Melaksanakan ibadah menurut agama yang
dianutnya masing-masing.
(2)
Makan 2 kali sehari atau lebih
(3)
Memiliki pakaian berbeda untuk berbagai
keperluan
(4)
Memiliki rumah yang sebagian besar lantainya
bukan dari tanah
(5)
Membawa anggota keluarga yang sakit ke
pelayanan kesehatan
b. Indikator keluarga sejahtera 1, bila keluarga sudah
mampu melaksanakan indikator 1 sampai dengan 5, tapi
belum mampu melaksanakan indikator sebagai berikut:
(6)
Anggota keluaraga melaksanakan ibadah secara
teratur menurut agama yang di anut masingmasing.
(7)
Makan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk
paling kurang sekali dalam seminggu
(8)
Memperoleh pakaian baru dalam satu tahun
terakhir
53
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
Luas lantai tiap penghuni rumah 8 m²
Anggota keluarga sehat dalam 3 bulan terakhir
sehingga dapat melaksnakan fungsi masingmasing
Paling kurang satu anggota keluarga yang
berumur 15 tahun ke atas mempunyai
penghasilan tetap
Bisa baca tulis latin bagi seluruh anggota
keluarga yang berumur 10 sampai dengan 60
tahun
Anak usia sekolah (7 sampai dengan 15 tahun)
bersekolah
Anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih
pasangan usia subur (PUS) saat ini memakai alat
kontrasepsi
c. Indikator keluarga sejahtera 2, bila keluarga sudah
mampu melaksanakan indikator 1 sampai dengan 14
tetapi belum mampu melaksanakan indikator sebagai
berikut:
(15)
Upaya
keluarga
meningkatkan/menambah
pengetahuan agama
(16)
Keluarga mempunyai tabungan
(17)
Makan bersama paling kurang sekali sehari
(18)
Ikut serta dalam kegiatan masyarakat
(19)
Rekreasi bersama/penyegaran paling kurang
sekali dalam sebulan
(20)
Memperoleh berita dari surat kabar, radio,
televisi, majalah
(21)
Anggota keluarga mampu menggunakan
transportasi
d. Indikator keluarga sejahtera 3, bila keluarga sudah
mampu melaksanakan indikator 1 sampai dengan 21
tetapi belum mampu melaksnakan indikator sebagai
berikut:
54
(22)
(23)
Memberikan sumbangan secara teratur (dalam
waktu tertentu) secara sukarela dalam bentuk
materi kepada masyarakat
Aktif sebagai pengurus yayasan/institusi dalam
kegiatan kemasyarakatan
e. Indikator sejahtera 3 plus, bila keluarga sudah mampu
melaksnakan seluruh indikator keluarga sejahtera
3. Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dapat didefinisikan sebagai
keluarga yang seluruh anggota keluarganya melakukan perilaku
gizi seimbang, mampu mengenali masalah kesehatan dan gizi
bagi tiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil langkahlangkah untuk mengatasi masalah gizi yang dijumpai oleh tiap
anggota keluarganya (Depkes RI, 2002:3). Ada lima indikator
Kadarzi yang sudah disepakati, yaitu sebagai berikut:
a. Keluarga biasa mengkonsumsi aneka ragam makanan.
b. Keluarga selalu memantau kesehatan dan pertumbuhan
anggota keluarganya, khususnya balita dan ibu hamil.
c. Keluarga hanya menggunakan garam beryodium untuk
memasak makanannya.
d. Keluarga memberi dukungan pada ibu melahirkan
untuk memberikan ASI eksklusif.
e. Keluarga biasa sarapan/makan pagi (Depkes RI, 2002:5).
Berdasarkan hal tersebut maka untuk menentukan suatu
keluarga telah sadar gizi adalah dengan penilaian-penilaian
yang terdiri dari:
a. Status seluruh anggota keluarga khususnya ibu dan anak
baik.
b. Tidak ada lagi bayi berat lahir rendah pada keluarga.
c. Semua anggota keluarga mengkonsumsi garam
beryodium.
55
d. Ibu hanya memberikan ASI saja pada bayi sampai usia 6
bulan.
e. Semua balita dalam keluarga yang ditimbang naik berat
badannya sesuai umur.
f. Tidak ada masalah gizi lebih dalam keluarga (Depkes RI,
2004:5).
Tahap awal strategi pemberdayaan Kadarzi dimulai dari
melibatkan secara aktif keluarga dalam pemetaan Kadarzi untuk
identifikasi masalah perilaku dan gizi keluarga dan identifikasi
potensi keluarga. Hasil pemetaan dibahas bersama masyarakat
untuk merencanakan tindak lanjut. Apabila masalah tersebut
dapat diselesaikan langsung oleh keluarga maka perlu dilakukan
pembinaan, akan tetapi bila ditemui masalah kesehatan dan
masalah lain maka perlu dirujuk ke petugas kesehatan dan
petugas sektor lain. Strategi yang dilakukan dalam mewujudkan
Kadarzi adalah:
a. Pemberdayaan keluarga dengan menitik beratkan pada
peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku gizi
seimbang, misalnya melalui pengembangan konseling
dan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) sesuai
kebutuhan setempat.
b. Malakukan advokasi, sosialisasi dan mobilisasi para
pengambil keputusan, pejabat pemerintah diberbagai
tingkat administrasi, penyandang dana dan pengusaha
dengan tujuan meningkatkan kepedulian atau
komitmen terhadap masalah gizi ditingkat keluarga.
c. Mengembangkan
jaring
kemitraan
diberbagai
perguruan tinggi, tokoh masyarakat, organisasi
masyarakat, tokoh agama dan media masa, kelompok
profesi lainnya untuk mendukung tercapainyta tujuan
Kadarzi.
d. Menerapkan berbagai teknik pendekatan pemberdayaan
petugas yang ditunjukan untuk mempercepat
56
perubahan perilaku
(Depkes RI, 2002).
dalam
mewujudkan
Kadarzi
4. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
Kegiatan Posyandu adalah perwujudan dari peran serta
masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan derajat
kesehatan. Upaya masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan
kesehatan sudah dikenal sejak lama, tetapi biasanya dalam
bentuk perorangan atau keluarga. Dalam kegiatan posyandu,
masyarakat mempunyai peran pokok dalam upaya menjaga dan
meningkatkan kesehatan, sedangkan peran petugas kesehatan
adalah untuk membantu upaya yang pada dasarnya merupakan
kegiatan masyarakat sendiri (Depkes RI, 1989). Sasaran
posyandu adalah balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan pasangan
usia subur. Posyandu diselenggarakan dengan tujuan sebagai
berikut: 1) Mempercepat penurunan angka kematian bayi, anak
balita dan angka kelahiran. 2) Mempercepat penerimaan Norma
Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS), sebagai salah
satu upaya mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
optimal yang merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum
dari tujuan nasional. 3) Meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatankegiatan lain yang menunjang sesuai dengan kebutuhan.
Posyandu direncanakan dan dikembangkan oleh kader bersama
Kepala Desa dan LKMD (seksi KB-Kes dan PKK) dengan
bimbingan Tim Pembina LKMD tingkat Kecamatan, mereka
adalah warga masyarakat yang tidak mendapat imbalan berupa
gaji dari pemerintah, melainkan bekerja secara sukarela (Depkes
RI, 1989).
Kegiatan posyandu diselenggarakan sekali dalam sebulan
selama kurang lebih 3 jam, pada tempat yang mudah didatangi
oleh masyarakat dan ditentukan oleh masyarakat sendiri.
Dengan demikian tempat kegiatan posyandu dapat dilaksanakan
di pos pelayanan yang telah ada, rumah penduduk, balai desa,
57
tempat pertemuan RT atau ditempat khusus yang dibangun
masyarakat. Pelaksanaan kegiatan posyandu terdiri dari 5
program utama yaitu KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), KB,
imunisasi, gizi dan penanggulangan diare yang dilakukan
dengan sistem lima meja, yaitu:
Meja I
Meja II
Meja III
Meja IV
: pendaftaran
: penimbangan bayi dan balita
: pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat)
: penyuluhan perorangan yang meliputi :
a. Penyuluhan balita berdasar hasil penimbangan
berat badannya, naik atau tidak naik, di ikuti
dengan pemberian makanan tambahan, oralit
dan vitamin A
b. Penyuluhan ibu hamil dengan resiko tinggi,
diikuti dengan pemberian tablet besi.
c. Penyuluhan PUS agar menjadi peserta KB
lestari, diikuti dengan pemberian kondom.
Meja V :
pelayanan oleh tenaga profesional yang meliputi
pelayanan KIA, imunisasi dan pengobatan serta
pelayanan lain yang sesuai dengan kebutuhan
setempat (Depkes RI, 1986).
Sejak tahun 1987 jumlah posyandu di Indonesia
mengalami peningkatan hampir 3 kali lipat dibandingkan
dengan tahun 1986 yaitu sejumlah 185.660 posyandu, yang
kemudian meningkat terus dari tahun ke tahun. Makin
banyaknya jumlah posyandu mendorong terjadinya variasi
tingkat perkembangan yang beragam. Ada sebagian posyandu
telah mencapai tingkat perkembangan yang sangat maju, disisi
lain masih banyak posyandu yang berjalan tersendat bahkan
kemudian tinggal papan nama. Semua posyandu didata tingkat
pencapaiannya, baik dari segi pengorganisasian maupun
pencapaian programnya. Berdasarkan data pencapaian dan
program yang terlaksana, maka posyandu dikategorikan dalam 4
tingkat, yaitu:
58
a. Posyandu Pratama (warna merah)
Posyandu pratama adalah poyandu yang belum mantap.
Kegiatan yang dilakukan belum rutin setiap bulan, dan
dengan jumlah kader aktifnya yang terbatas. Keadaan
ini dinilai gawat, sehingga intervensinya adalah
pelatihan kader ulang. Artinya kader yang ada perlu
ditambah dan dilakukan pelatihan dasar lagi.
b. Posyandu Madya (warna kuning)
Posyandu madya adalah posyandu yang sudah dapat
melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali pertahun,
dengan rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih,
akan tatapi cakupan program utamanya masih rendah,
yaitu kurang dari 50%. Ini berarti, kelestarian kegiatan
posyandu sudah baik tetapi dengan cakupan yang masih
rendah.
c. Posyandu Purnama (warna hijau)
Posyandu purnama adalah posyandu yang mempunyai
frekuensi kegiatan lebih dari 8 kali pertahun, rata-rata
jumlah kader tugas 5 orang atau lebih dengan cakupan 5
program utama lebih dari 50%, serta sudah ada program
tambahan, bahkan mungkin sudah mempunyai dana
sehat, walaupun masih dalam bentuk yang sederhana.
d. Posyandu mandiri (warna biru)
Posyandu pada tingkat ini sudah dapat melakukan
kegiatan secara teratur, cakupan 5 program utama sudah
bagus, ada program tambahan dan mempunyai dana
sehat yang telah menjangkau lebih dari 50% KK.
Selain peringkat posyandu yang ada, maka terdapat
beberapa indikator yang digunakan sebagai penentu tingkat
kemandirian posyandu, yaitu :
59
a. Frekuensi penimbangan pertahun
Seharusnya posyandu menyelenggarakan kegiatan
setiap bulan, sehingga apabila teratur maka akan ada 12
kali penimbangan setiap tahun. Dalam kenyataannya,
tidak semua posyandu dapat melakukan kegiatan setiap
bulan, sehingga frekuensinya kurang dari 12 kali
setahun, untuk ini diambil batasan 8 kali. Posyandu
yang frekuensi penimbangannya kurang dari 8 kali
pertahun dianggap masih rawan, sedangkan bila
frekuensinya sudah 8 kali lebih dianggap sudah cukup
mapan.
b. Rata-rata jumlah kader tugas pada hari H posyandu
Jumlah kader yang bertugas pada hari H posyandu dapat
dijadikan indikasi lancar tidaknya posyandu. Hari H
merupakan puncak kegiatan posyandu, oleh karena itu
banyaknya kader yang bertugas pada hari itu amat
menentukan kelancaran posyandu. Pengalaman selama
ini menunjukan bahwa kegiatan di posyandu dapat
tertangani dengan baik bila jumlah kader 5 orang atau
lebih. Bila kurang dari 5 orang, biasanya kader
kewalahan melayani sasaran yang datang ke posyandu.
c. Cakupan D/S
Cakupan D/S dapat dijadikan sebagai tolok ukur peran
serta masyarakat dan aktivitas kader atau tokoh
masyarakat dalam menggerakkan masyarakat setempat
untuk memanfaatkan posyandu. D/S dianggap baik bila
mencapai 50% atau lebih, sedangkan bila kurang dari
50% dapat dikatakan bahwa posyandu ini belum
mantap.
d. Cakupan imunisasi
Cakupan imunisasi dihitung secara kumulatif selama
satu tahun. Cakupan kumulatif dianggap baik bila
mencapai 50% ke atas, sedangkan bila kurang dari 50%
dianggap posyandunya belum mantap.
60
e. Cakupan ibu hamil
Cakupan pemeriksaan ibu hamil juga dihitung secara
kumulatif selama satu tahun. Batas mantap tidaknya
posyandu digunakan angka serupa yaitu 50%.
f.
Cakupan KB
Cakupan peserta KB juga dihitung secara kumulatif
selama satu tahun. Pencapaian 50% keatas dikatakan
mantap, sedangkan kurang dari 50% berarti belum
mantap (Depkes RI, 1997).
Berjalannya kegiatan posyandu tidak lepas dari peran
kadernya. Walaupun berstatus sukarela, kader posyandu harus
memenuhi kriteria: 1) Dipilih dari dan oleh masyarakat
setempat yang disetujui dan dibina oleh LKMD. 2) Dalam
melaksanakan kegiatan bertanggung jawab pada masyarakat
melalui LKMD. 3) Mau dan mampu bekerja secara sukarela. 4)
Sebaiknya dapat membaca dan menulis huruf latin. 5) Masih
mempunyai cukup waktu untuk bekerja bagi masyarakat
disamping usahanya mencari nafkah (Depkas RI, 1987). Kader
posyandu bertugas untuk mempersiapkan pelaksanaan kegiatan
bulanan di posyandu dengan cara 1) Sehari sebelumnya semua
ibu hamil, ibu menyusui, ibu balita diber informasi akan ada
kegiatan di posyandu dan mencatat sasaran kegiatan posyandu,
2) Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan seperti meja,
dacin, sarung timbangan, Kartu Menuju Sehat, sistem informasi
posyandu, oralit dan vitamin A, 3) Pembagian tugas diantara
para kader, dibantu ibu-ibu yang lain (Depkes RI, 1994).
Partisipasi kader dalam kegiatan posyandu adalah
keikutsertaan kader dalam suatu kegiatan kelompok,
masyarakat atau pemerintah, yang dipengaruhi oleh sejumlah
faktor:
a. Faktor masyarakat pada umumnya
(i) Manfaat kegiatan yang dilakukan
Jika kegiatan yang diselenggarakan memberikan
manfaat yang nyata dan jelas bagi kader, maka
61
kesediaan kader untuk berpartisipasi menjadi lebih
besar.
(ii) Adanya kesempatan untuk berperan serta
Kesediaan berpartisipasi juga dipengaruhi oleh
adanya kesempatan atau ajakan untuk berpartisipasi
dan kader melihat bahwa memang ada hal-hal yang
berguna dalam kegiatan itu.
(iii) Memiliki ketrampilan tertentu yang dapat
disumbangkan
Jika kegiatan yang dilaksanakan membuktikan
orang-orang dengan memiliki ketrampilan tertentu,
maka hal ini akan menarik bagi orang-orang yang
memiliki ketrampilan trsebut untuk
ikut
berpartisipasi.
(iv) Rasa memiliki
Rasa memiliki suatu kegiatan akan tumbuh jika
sejak
awaal
kegiatan
masyarakat
sudah
diikutsertakan. Jika rasa memiliki bisa ditumbuhkan
dengan baik, maka partisipasi kader dalam kegiatan
di desa akan dapat dilestarikan.
b. Faktor tokoh masyarakat
Jika dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat
melihat bahwa tokoh-tokoh masyarakat yang disegani
ikut serta, maka mereka akan tertarik juga untuk
berpartisipasi
c. Faktor petugas
Petugas yang memiliki sikap yang baik seperti akrab
dengan masyarakat, menunjukan perhatian pada
kegiatan masyarakat dan mampu mendekati para tokoh
masyarakat untuk berpartisipasi (Depkes RI, 1989).
62
5. Penentuan Status Gizi
Penentuan status gizi digunakan untuk memperoleh gambaran
status gizi seseorang maupun masyarakat, yang dapat dinilai
secara langsung dan tidak langsung.
a. Penentuan status gizi secara langsung dapat dinilai
melalui pemeriksaan:
(i) Antropometri
Dilihat secara umum antropometri adalah ukuran
tubuh manusia. Sedangkan antropometri ditinjau
dari sudut pandang gizi, maka antropometri
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sendiri
secara
umum
digunakan
untuk
melihat
keseimbangan asupan protein dan energi, sehingga
keseimbangannya
tergambarkan
pada
pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
Jenis parameter yang digunakan adalah ukuran
tunggal dari tubuh manusia yaitu, umur, berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar
kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal
lemak dibawah kulit. Antropometri digunakan
dalam penentuan status gizi berdasarkan BB/U,
TB/U, BB/TB, LLA/U, LLA/TB beserta jenis kelamin,
dimana status gizi dinilai berdasarkan pada rujukan
WHO-NCHS (Supariasa, 2002).
(a) Berat badan menurut umur (BB/U)
Berat badan merupakan parameter mengenai
masa tubuh yang sangat sensitif terhadap
perubahan-perubahan
mendadak
karena
penyakit infeksi, nafsu makan ataupun jumlah
63
makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan sifat
dan karakteristik BB yang mudah berubahubah, maka indeks BB/U lebih menggambarkan
status gizi seseorang saat ini. Kelebihan
penilaian status gizi berdasarkan berat badan
menurut umur yaitu, lebih mudah dan lebih
cepat, baik untuk mengukur status gizi akut
maupun kronis. Sedangkan kelemahannya
adalah mengakibatkan interprestasi status gizi
yang keliru dan memerlukan data umur yang
akurat, sehingga dapat terjadi kesalahan dalam
pengukuran oleh karena adanya hambatan
sosial.
(b) Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Tinggi badan adalah indeks antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal.
Tinggi badan lebih identik dengan berat badan,
karena tinggi badan merupakan masalah yang
kurang sensitif terhadap perubahan gizi dalam
jangka pendek. Pengaruh zat gizi terhadap
tinggi badan dapat terlihat dalam jangka waktu
yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik
tinggi badan, maka indeks antropometri ini
menggambarkan status gizi pada masa lalu.
Kelebihan penilaian status gizi berdasarkan
tinggi badan menurut umur yaitu, baik untuk
menilai status gizi masa lampau, alat ukur
panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah
dibawa. Sedangkan kelemahannya adalah, tinggi
badan tidak cepat naik, pengukuran relatif sulit
dilakukan, karena anak harus berdiri tegak dan
ketepatan umur sulit didapat.
64
(c) Berat badan menurut tinggi badan (BB//TB)
Berat badan memiliki hubungan secara
seimbang dengan tinggi badan. Indeks BB/TB
merupakan
indeks
antropometri
yang
mempengaruhi umur. Dalam keadaan normal
seseorang mengalami perkembangan yang
searah antara berat badan dengan tinggi badan
pada
kurun
waktu
tertentu.
Indeks
antropometri ini lebih peka digunakan dari pada
berdasarkan berat badan menurut umur.
Keuntungan penilaian status gizi berdasarkan
berat badan menurut tinggi badan yaitu, tidak
memerlukan data umur, dapat membedakan
proporsi badan. Sedangkan kelemahannya
adalah, tidak dapat memberikan gambaran
perkembangan status gizi masa lalu. Dalam
paktek sering mengalami kesulitan oleh karena
membutuhkan dua macam alat ukur,
pengukuran
relatif
lebih
lama
dan
membutuhkan dua orang untuk melakukannya
serta sering terjadi kesalahan dalam pembacaan
hasil pengukuran bila dilakukan oleh bukan
tenaga profesional.
(d) Lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U)
Lingkar lengan atas merupakan gambaran
keadaan jaringan otot dan jaringan lemak
dibawah kulit seseorang. LILA hampir memiliki
sifat yang sama dengan berat badan, yang
memiliki sifat lebih labil dan dapat berubahubah, sehingga pengukuran indeks antropometri
menggunakan LILA sulit untuk melihat
perkembangan anak. Keuntungannya adalah,
merupakan indikator yang baik untuk menilai
KEP (kurang energi protein) berat, alat ukur
murah dan dapat dibuat sendiri serta alat dapat
65
diberi kode warna untuk menentukan tingkat
keadaan gizi. Sedangkan kelemahannya yaitu
hanya mengidentifikasi anak dengan KEP berat,
sulit menentukan ambang batas, sulit digunakan
untuk menilai pertumbuhan anak umur 2
sampai dengan 5 tahun.
(ii) Klinis
Penentuan status gizi melalui pemeriksaan klinis
didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi
dengan ketidak cukupan zat gizi seperti pada
jaringan epitel kulit, mata, rambut, mukosa mulut
atau pada organ-organ yang dekat dengan
permukaan tubuh (kelenjar tiroid).
(iii) Biokimia
Penilaian status gizi secara biokimia adalah
menggunakan pemeriksaan spesimen yang diuji
secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh. Metode ini digunakan untuk
suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi
keadaan malnutrisi yang lebih parah dan dapat
dipakai untuk menolong dalam menentukan
kekurangan gizi yang spesifik. Bahan yang dipakai
dalam pemeriksaan ini dapat berupa darah, urin ,
faeces maupun jaringan lainnya.
(iv) Biofisik
Biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi sistem tubuh, misalnya
sistem kardiovaskular, respirasi dan fungsi indera
penglihatan.
66
b. Penentuan status gizi secara tidak langsung, yaitu
melalui :
(i) Survei konsumsi makanan
Pada dasarnya metode ini adalah metode penentuan
status gizi secara tidak langsung dengan melihat
jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Penggunaan survei konsumsi makanan digunakan
untuk memberikan gambaran tentang konsumsi
berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan
individu,
serta
survei
tersebut
dapat
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.
Ada dua metode yang berkaitan dengan jenis data
yang diperoleh, yaitu metode kuantitatif (food
frequency, dietary history, food list, metode
telepon)
dan metode kualitatif (food fecall,
estimated food records, food weighing, food
account, inventory method dan household food
records). Khusus untuk food recall dilakukan selama
24 jam, sebaiknya dilakukan berulang-ulang,
minimum dua kali recall 24 jam dan harinya tidak
berturut-turut supaya dapat menggambarkan
kebiasaan makan individu. Pada penelitian ini food
recall dilakukan untuk tiga hari yang telah
dilampaui secara berturut-turut. Hal ini dilakukan
dengan pertimbangan informan akan lebih mudah
mengingatnya dan minimum dua kali recall 24 jam
dengan hari yang tidak berturutan pun terpenuhi.
Recall pada penelitian ini dilakukan pada balita
yang berumur satu sampai dengan dua tahun agar
mendapatkan data konsumsi makanan yang lebih
bervariasi.
(ii) Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan menggunakan
statistik vital digunakan untuk menganalisis data
67
statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit tertentu dan data lain yang
berhubungan
dengan
gizi.
Statistik
vital
dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak
langsung pengukuran status gizi masyarakat.
(iii) Penilaian faktor ekologi
Penilaian tentang gambaran faktor ekologi dapat
digunakan untuk penentuan status gizi masyarakat,
oleh karena malnutrisi merupakan masalah ekologi
sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis
dan lingkungan budaya. Jumlah dan macam
makanan yang tersedia sangat tergantung dari
keadaan ekologi seperti iklim tanah dan irigasi.
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat
penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di
masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program
intervensi gizi (Supariasa, 2002).
E. Perilaku Jajan
Dipandang dari segi biologis, perilaku adalah suatu
kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang
sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka
mempunyai aktivitas. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku
manusia pada hakikatnya ialah tindakan atau aktivitas dari
manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat
luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja,
kuliah, menulis, membaca dan sebagainya, sehingga dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah
semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati dari luar
(Notoatmodjo, 2007).
68
Respon merupakan perilaku yang dapat bersifat pasif atau
tidak dapat diamati dari luar seperti berfikir, berpendapat, dan
bersikap, maupun respon yang bersifat aktif yang dapat diamati
yaitu melakukan tindakan. Sesuai batasan ini, perilaku
kesehatan dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan
interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya
menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan
(Sarwono, 1997). Depkes (2000), merumuskan perilaku sehat
adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi
diri dari ancaman penyakit, serta berperan dalam gerakan
kesehatan masyarakat.
Perilaku konsumsi makan yang
menunjang status gizi, merupakan salah satu perilaku sehat.
Menurut Susanto (1993), perilaku konsumsi makan atau gizi
dipengaruhi oleh wawasan atau cara pandang seseorang atau
satu keluarga terhadap ancaman rasa lapar atau kurang gizi.
Wawasan ini erat berkaitan dengan pengetahuan dan sikap
mental (emosi dan kesungguhan), baik berasal dari proses
sosialisasi dalam sistem sosial keluarga yang dilakukan melalui
proses pendidikan, maupun sebagai dampak penyebaran
informasi.
Perilaku sehat termasuk juga perilaku konsumsi makan
yang berhubungan dengan kesehatan individu atau masyarakat
dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yaitu:
1. Faktor predisposisi, mencakup pengetahuan, sikap,
kepercayaan, tradisi, norma sosial, demografi dan unsurunsur lain yang terdapat dalam diri individu maupun
masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan.
2. Faktor pendukung, ialah sumber daya atau potensi
masyarakat serta kemudahan atau fasilitas.
3. Faktor pendorong, yaitu sikap dan perilaku orang lain
(panutan), misalnya sikap orang tua, guru, teman
sebaya, suami, tokoh masyarakat atau petugas kesehatan
( Notoatmodjo, 2007).
69
Menurut Sanjur (1982), konsumsi makan seseorang juga
ditentukan dari pilihan terhadap makanan yang merupakan
tingkat (derajat) kesukaan atau ketidaksukaan seseorang
terhadap makanan. Faktor yang mempengaruhi pilihan
terhadap makanan adalah: (1) Karakteristik makanan, setiap
orang memiliki pilihan terhadap makanannya sendiri-sendiri,
misalnya beberapa orang lebih memilih makanan kentang
goreng dari pada kentang panggang atau beberapa lebih
memilih makan nasi daripada makan roti. (2) Karakteristik
individu, yang memepengaruhi pilihan terhadap makanan.
Karakteristik tersebut dapat berupa umur, jenis kelamin,
pendapatan, tingkat pendidikan, orientasi terhadap kesehatan
dan status kesehatan. (3) Karakteristik lingkungan, seperti
musim, lokasi geografis, tempat asal dan derajat urbanisasi.
Menurut Gibney (2009), pemilihan makananan pada
manusia melibatkan banyak interaksi kompleks yang mencakup
berbagai bidang, mulai dari mekanisme biologis pengendalian
selera makan, psikologi perilaku makan, nilai-nilai sosial dan
budaya, sampai berbagai upaya kesehatan masyarakat dan
komersial untuk mengubah asupan makanan pada populasi
tertentu. Pengalaman dalam perjalanan hidup seseorang akan
mempengaruhi faktor-faktor utama yang berpengaruh juga
terhadap pemilihan makanan. Faktor-faktor tersebut mencakup
idealisme, faktor personal, sumber daya, konteks sosial dan
konteks makanan.
Pada umumnya perilaku makan yang sering menjadi
masalah adalah kebiasaan makan di kantin , di warung sekitar
sekolah atau kebiasaan jajan. Menurut Susanto (1993), yang
mengamati mengapa anak-anak senang jajan di sekolah,
menemukan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Anak tidak sempat makan pagi di rumah, keadaan ini
berkaitan dengan kesibukan ibu yang tidak sempat
menyiapkan makanan.
70
2. Anak tidak ada nafsu makan dan lebih suka jajan dari
pada makan di rumah.
3. Anak dengan alasan psikologis, jika anak tidak jajan di
sekolah ia merasa tidak mempunyai kawan, gengsi dan
merasa malu.
4. Anak tidak sempat disiapkan makanan untuk bekal di
sekolah oleh ibunya.
5. Anak biasanya mendapat uang saku dari orang tua
6. Anak masih memerlukan kebutuhan biologis yang
harus dipenuhi. Walaupun di rumah sudah makan,
tetapi tambahan makanan dari jajanan tetap masih
diperlukan oleh anak karena kegiatan fisik di sekolah
yang memerlukan tambahan energi.
Kebiasaan jajan merupakan kegiatan membeli makanan
jajan meliputi jenis, frekuensi, dan jumlah kandungan zat gizi
dari makanan jajanan setiap hari. Selain kebiasaan makan,
makanan jajanan mempunyai beberapa fungsi antara lain:
1. Bagi anak sekolah, ada kalanya makanan jajanan dapat
berfungsi sebagai sarapan pagi.
2. Bagi segolongan orang, makanan jajanan dapat berfungsi
sebagai makanan selingan yang dimakan diantara
makanan utama.
3. Bagi penjaja makanan, makanan jajanan juga
mempunyai fungsi sosial ekonomi yang penting, dalam
artian pengembangan usaha makanan jajanan.
4. Bagi Konsumen tertentu, makanan jajanan memberikan
kontribusi gizi yang nyata terhadap kelompok
konsumen misalnya pelajar yang tidak sempat makan di
rumah atau sebab lain. Peranan makanan jajanan dalam
menyumbangkan energi atau zat tenaga dan protein
sangat berarti.
Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima atau
street food menurut FAO didefinisikan sebagai makanan dan
minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima
71
di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang
langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau
persiapan lebih lanjut. Jajanan kaki lima dapat menjawab
tantangan masyarakat terhadap makanan yang murah, mudah,
menarik dan bervariasi (Judarwanto 2006). Hal ini juga
diungkapkan Winarno (1997), perihal makanan jajanan yang
juga dikenal sebagai street food, adalah jenis makanan yang
dijual dikaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat
pemukiman serta lokasi yang sejenis.
Penelitian tentang makanan jajanan atau sering juga
disebut makanan jalanan yang dilakukan di Asia, Afrika dan
Amerika Latin, memperoleh kesimpulan bahwa pembelian
makanan jalanan akan menurun seiring dengan naiknya
pendapatan. Sedangkan penelitian-penelitian sejenis lainnya
adalah sebagai berikut: 1) Di Yunani, dimana fokus penelitian
adalah pada perspektif persiapan, pemasakan, dan polusi
lingkungan, maka didapatkan hasil penelitian sebagai berikut:
(1) adanya debu yang mengandung logam berat yang
mencemari makanan, (2) para penjaja makanan memperoleh
penghasilan diatas upah minimum dan (3) makanan tersebut
dibeli dengan pertimbangan rasa dan kepraktisan bukan karena
nilai gizinya. 2) Di Amerika, hasil penelitian mendapatkan
bahwa makanan jajanan sama bahayanya dengan makanan
komersial lainnya, karena daging sapi, babi dan ayam yang
dijual secara komersialpun dilaporkan menjadi banyak sumber
kasus keracunan. Pedagang jalanan di New York yang
kebanyakan adalah laki-laki menjajakan dagangannya tanpa ijin
dan kelayakan. Dilain pihak makanan jalanan biasanya dibeli
karena rasa, aroma, harganya murah, tampilan yang menarik
dan praktis. 3) Penelitian makanan jajanan di Afrika,
memfokuskan pada penyediaan es batu yang dicampur dalam
minuman, dimana sumber air yang digunakan tidak jelas
sehingga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan. 4)
Sementara itu di Mexico, penelitian tentang makanan jalanan
yang berupa ”Tortila Jagung”, merupakan makanan yang
72
dikonsumsi secara rutin setiap hari. Hasil penelitian
menunjukan bahwa
masyarakat bawah telah memiliki
kekebalan tubuh terhadap bakteri patogen yang mungkin ada di
dalamnya. Resiko tinggi justru diderita oleh kalangan atas atau
para turis yang hanya sekali-kali saja mengkonsumsinya. 5)
Penelitian lainnya menyatakan bahwa tradisi makan di depan
umum di Israel yang sudah berjalan sejak tahun 1940
berangsur-angsur menghilang, karena bertentangan dengan
agama dan budaya. Tradisi makan berubah menjadi makan
makanan jajanan yang dikenal sebagai makanan rakyat dan
dijual melalui bazar, tempat hiburan, pekan raya, even olahraga
dan vending machine ( Simopoulos and Bhat, 2000).
Makanan jajanan atau makanan jalanan banyak
dikonsumsi dibelahan dunia manapun, baik sebagai makanan
utama maupun makanan selingan, yang memberikan energi dan
nutrisi yang signifikan. Dikonsumsi oleh semua kalangan, kaya
atau miskin, namun nilai gizi dan nutrisinya seringkali
diabaikan oleh para ahli. Makanan jalanan juga berpotensi
terkontaminasi timbal dan logam berat lain akibat angin di
jalanan dan debu membawa bakteri yang mencemari makanan,
bahaya lain berasal dari bahan makanan itu sendiri bila tidak
higienis.
Makanan jajanan banyak sekali jenisnya dan sangat
bervariasi dalam bentuk, keperluan dan harga, serta pada
umumnya dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Makanan utama atau main dish contohnya nasi rames,
nasi rawon, nasi pecel dan sebagainya.
2. Penganan atau snacks contohnya kue-kue, onde-onde,
pisang goreng dan sejenisnya.
3. Minuman contohnya es teler, es buah, teh, kopi, dawet
dan lain sebagainya.
4. Buah-buahan segar (Winarno, 1997).
73
Menurut Widya Karya Pangan dan Gizi Nasional (1993),
jenis makanan jajanan dapat digolongkan menjadi tiga golongan
yaitu:
1. Makanan jajanan yang berbentuk, misalnya kue-kue
kecil, pisang goreng, kue putu dan sebagainya.
2. Makanan jajanan yang diporsi, misalnya pecel, mie
bakso dan sebagainya.
3. Makanan jajanan dalam bentuk minuman seperti es
krim, es sirup dan sebagainya.
Menurut Notoatmodjo (2007), banyak hal yang
berhubungan dengan perilaku makan, termasuk makan
makanan jajan, yang berkaitan dengan makanan dan minuman
dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang.
Sebaliknya makanan juga dapat menjadi penyebab menurunnya
kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal
ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan
dan minuman tersebut.
Hampir semua kalangan di Indonesia, baik anak sekolah,
orang kantoran di kota besar, apalagi yang dipedesaan, rata-rata
sudah tercemar oleh beragam bahan kimiawi berbahaya dalam
makanan, kudapan atau penganan jajanan mereka. Melihat
kondisi seperti itu, semakin murah meriah suatu jajanan, boleh
disimpulkan semakin besar beresiko membahayakan kesehatan
(Nadesul, 2006). Seringkali anak-anak tertarik dengan jajanan
dipinggir jalan hanya karena warnanya yang menarik, rasanya
yang menggugah selera, serta harganya yang terjangkau.
Makanan ringan, sirup, bakso, mie ayam dan sebagainya
menjadi makanan jajanan sehari-hari anak-anak. Padahal
makanan seperti ini belum tentu memenuhi standar gizi,
bahkan seringkali makanan jajanan seperti ini mengandung zatzat tambahan yang dapat merusak kesehatan (Hermanto, 2006).
Bahaya makanan jajanan, umumnya bisa muncul untuk
jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka pendek dapat
berupa keracunan makanan oleh karena tercemar
74
mikroorganisme, parasit atau bahan racun kimiawi (pestisida).
Muntah dan diare sehabis mengkonsumsi jajanan paling sering
ditemukan. Bahaya jangka panjang dari jajanan yang tidak
menyehatkan dapat terjadi , misalnya apabila bahan tambahan
dalam makanan dan minuman bersifat pemantik kanker atau
bila jajanan tercemar cacing (Nadesul, 2006).
75
76
Download