BAB II TINJAUAN LITERATUR A. Status Gizi dan Pembangunan Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi, yang dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Almatsier, 2003; Supariasa, 2002). Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian bayi, dan balita serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu dampak kekurangan gizi juga terlihat pada rendahnya partisipasi sekolah, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya mempengaruhi pembangunan bangsa. Pembangunan bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Keberhasilan pembangunan bangsa akan ditentukan oleh ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, sementara status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah dan mutu asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi pula oleh pola asuh, keterssediaan pangan, faktor sosial-ekonomi, budaya dan politik (UNICEF, 1990). Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi maka akan dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Saat ini diperkirakan sekitar 50 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka 11 masalah kekurangan gizi. Masalah gizi kurang sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa sehingga sering kali tidak cepat ditanggulangi, padahal dapat memunculkan masalah besar. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengungkapkan pentingnya penanggulangan kekurangan gizi dalam kaitannya dengan pembangunan suatu bangsa. Keberhasilan pembangunan ditentukan oleh ketersediaan SDM yang sehat dan berkualitas. Beberapa dampak buruk karena kurang gizi yaitu: 1) rendahnya produktivitas kerja, 2) kehilangan kesempatan sekolah dan 3) kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi (World Bank, 2006). Kekurangan gizi, dapat berupa zat gizi makro maupun mikro, antara lain dapat diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil. Implikasi masalah gizi pada kedua kelompok tersebut sangat luas, antara lain: 1. Tingginya prevalensi Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) akibat tingginya prevalensi Kurang Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil. BBLR dapat meningkatkan angka kematian bayi dan balita, gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak, serta penurunan kecerdasan. Anak bergizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10-15 poin. Gangguan kurang Yodium pada saat janin atau gagal dalam pertumbuhan anak sampai usia dua tahun dapat berdampak buruk pada kecerdasan secara permanen. 2. Kurang zat besi (anemi gizi besi) pada ibu hamil dapat meningkatkan resiko kematian waktu melahirkan, meningkatkan resiko bayi yang dilahirkan kurang zat besi, dan berdampak buruk pada pertumbuhan sel-sel otak anak, sehingga secara konsisten dapat 12 mengurangi kecerdasan anak. Pada orang dewasa kekurangan gizi dapat menurunkan produktivitas sebesar 20-30 persen. 3. Kurang vitamin A pada anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan resiko kebutaan, dan meningkatkan resiko kematian akibat infeksi. 4. Meluasnya kekurangan gizi pada anak balita dan wanita hamil akan memicu kenaikan biaya kesehatan baik pengeluaran rumah tangga maupun pemerintah. Di samping itu, kekurangan gizi juga menyebabkan menurunnya produktivitas dan pada gilirannya dapat menurunkan ekonomi nasional. Implikasinya adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga. Ketika kurangnya kebutuhan pangan melanda pada anak balita maka akan berakibat pada kekurangan gizi yang berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Apabila masalah ini tidak cepat diatasi maka dalam jangka menengah dan panjang akan terjadi ”kehilangan generasi” yang dapat mengganggu kelangsungan bangsa, negara dan pembangunan. Upaya Pemerintah untuk menjamin kecukupan pangan dan gizi semata-mata guna mendukung komitmen pencapaian Millennium Development Goals (MDGs), terutama pada sasaran-sasaran: 1) menanggulang kemiskinan dan kelaparan, 2) menurunkan angka kematian anak dan 3) meningkatkan kesehatan ibu pada tahun 2015. Komitmen global lain sebagai landasan pembangunan pangan dan gizi adalah: the Global Strategy for Health for All 1981, The World Summit for Children 1990, The Forty–eight World health Assembly 1995, World Food Summit 1996 and Health for All in the Twenty- 13 first Century 1998. Pada tingkat nasional, kebijakan dan langkah terpadu bidang pangan dan gizi untuk mendukung pembangunan SDM berkualitas juga telah disusun dalam bentuk Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006 – 2010. B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Kerangka pemikiran teoritis faktor yang mempengaruhi status gizi, yang selama ini banyak dianut merupakan adaptasi dari UNICEF (1990), seperti yang terdapat pada Gambar 2.1. Status gizi, atau juga malnutrisi, disebabkan oleh masalah yang kompleks, multidimensional dan saling berkaitan. Kerangka teoritis penyebab malnutrisi anak adalah komprehensif baik dari masalah biologik maupun sosioekonomi. Terdapat tiga tingkatan kausalitas yang berkaitan dengan determinan dekat sebagai penyebab langsung, determinan pokok sebagai penyebab tidak langsung dan determinan mendasar atau akar masalah dari malnutrisi anak (UNICEF, 1990 dan 1998; Engle and Lhotska, 1999). Determinan dekat status gizi anak yaitu asupan makanan dan penyakit, seperti yang terlihat pada Gambar 2.1. Determinan dekat tersebut termanifestasi pada tingkat masingmasing individu manusia, meliputi asupan makanan serta status kesehatan. Faktor-faktor ini bersifat interdependen, yakni seorang anak dengan asupan makanan yang kurang mencukupi diduga lebih rentan penyakit (UNICEF, 1998). Penyakit akan menekan nafsu makan, juga dapat menghalangi absorbsi nutrisi. Asupan makanan harus mencukupi baik secara kuantitas dan kualitas. Determinan dekat dari status gizi anak selanjutnya dipengaruhi oleh tiga determinan pokok yang termanifestasi pada tingkat rumah tangga. Termasuk dalam determinan ini 14 adalah keamanan pangan, kecukupan perawatan kesehatan, serta lingkungan kesehatan yang layak, termasuk akses layanan kesehatan. Keamanan pangan dicapai ketika seseorang memiliki akses terhadap makanan yang cukup untuk hidup sehat dan aktif (World Bank, 1996). Sumber daya yang penting untuk meningkatkan akses terhadap pangan adalah produksi pangan dan pendapatan untuk membeli makanan. Pola asuh, yang merupakan determinan pokok yang kedua, didefinisikan sebagai perilaku-perilaku dan praktekpraktek pemberi perawatan (ibu, saudara sedarah, ayah dan penyedia layanan perawatan anak) untuk menyediakan makanan, perawatan kesehatan, stimulasi dan dukungan semangat yang penting bagi tumbuh kembang anak yang sehat (Engle and Lhotska, 1999). Determinan pokok yang ketiga dari status nutrisi anak adalah lingkungan yang sehat dan layanan yang bersandar pada ketersediaan air yang aman, sanitasi, perawatan kesehatan dan keamanan lingkungan, termasuk tempat berlindung. Prevalensi dan penyakit karena infeksi akut dipengaruhi oleh kondisi sanitasi, kualitas dan kuantitas air yang tersedia, akses terhadap layanan kesehatan primer, perilaku anggota dan individu rumah tangga, asupan sumber energi dan protein, pemberian ASI, dan praktek penyapihan. 15 Gambar 2.1: Kerangka pemikiran teoritis faktor yang mempengaruhi status gizi anak Budaya, politik, ekonomi, sosial, beserta perubahannya Determinan dasar (Akar Masalah) Daya Beli, Akses Pangan, Akses Informasi, Akses Pelayanan Ketersediaan dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Pola Asuh Asupan Makanan Pelayanan Kesehatan dan Kesehatan Lingkungan Penyakit/Status Infeksi Status Gizi Sumber: Adaptasi dari UNICEF 1990 dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006 - 2010 16 Determinan pokok (Penyebab Tidak Lansung) Determinan dekat (Penyebab langsung) Outcome Determinan yang mendasar adalah sumber daya potensial yang ada bagi suatu negara atau masyarakat, yang terbatas oleh lingkungan alam, akses terhadap teknologi, dan kualitas sumber daya manusia. Faktor politik, ekonomi, budaya dan sosial berpengaruh terhadap pemanfaatan potensi sumber daya yang ada dan bagaimana mereka diubah menjadi sumber daya bagi keamanan pangan, perawatan dan lingkungan serta layanan kesehatan (UNICEF, 1990). Contoh faktor-faktor dalam determinan mendasar ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor politik: misalnya yang berkaitan dengan ketahanan dan keamanan suatu negara akan berdampak pada segala bidang kehidupan masyarakatnya, termasuk mempengaruhi tingkat ekonomi, daya beli, pendidikan, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, sehingga pada akhirnya berdampak pada status gizi masyarakatnya. 2. Faktor budaya: sebagai contoh adalah adanya ekspansi dari berbagai jenis makanan yang berkaitan dengan pola konsumsi makanan, yaitu dengan menjamurnya restoran makanan junk food, yang kemudian banyak disukai oleh masyarakat terutama kaum muda. Atau dengan adanya tradisi-tradisi, kepercayaan, norma, nilai dan kebiasaankebiasaan yang masih terus dipertahankan yang merugikan masyarakat ditinjau dari pemanfaatan maksimal ketersediaan makanan, sebagai contoh adanya selamatan sedekah bumi yang dilakukan setiap tahun oleh masyarakat disalah satu desa di Kecamatan Demak dengan cara bersama-sama membuat hantaran makanan yang kemudian pada akhirnya digunakan untuk sawuran (ditaburtaburkan) dengan maksud untuk menghilangkan ketidak beruntungan dan melepaskan segala amarah yang terpendam. 3. Faktor sosial yang ada di masyarakat yang dapat merupakan faktor yang menguntungkan atau mendukung 17 terbentuknya status gizi yang baik, tetapi dapat juga merupakan faktor yang merugikan, misal adanya hubungan kedekatan, gotong royong pada masyarakat desa khususnya merupakan hal yang dapat dimanfaatkan untuk saling mendukung kesehatan lingkungan yang ada di daerahnya, dan kemudian dapat mempengaruhi status kesehatan rumahtangga, masyarakat termasuk status gizinya. Menurut Behrman and Deolalikar (1989), serta Strauss and Thomos (1995), rumah tangga merupakan fungsi pengguna yang menentukan dalam hal kesehatan dan status gizi masingmasing anggota keluarga. Teori lain yang ada saat ini menyatakan status gizi yang baik untuk anak usia pra sekolah bergantung pada keamanan rumah tangga, lingkungan yang cukup sehat dan perawatan kelahiran dan jumlah anak (ACC/SCN, 1992). Sekalipun demikian, status gizi tersebut tidak hanya hasil dari ketiga faktor tersebut, tetapi juga interaksi antara ketiganya (Blau et al. 1996; Haddad et al. 1996; Smit and Haddad, 1999; ACC/SCN/IFPRI, 2000;). Faktor yang mempengaruhi status gizi lainnya yang perlu diperhatikan adalah: 1. Faktor Lingkungan Bagi manusia, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda hidup, benda mati, benda nyata ataupun abstrak, termasuk manusia lainnya, serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi diantara elemen-elemen dialam tersebut. Lingkungan memiliki cakrawala yang sangat luas, sehingga untuk memudahkan pemahaman tentang lingkungan, seringkali diklasifikasikan sesuai kebutuhan, yakni: a. Lingkungan yang hidup (biotis) dan lingkungan tidak hidup (abiotis). 18 Lingkungan alamiah dan lingkungan buatan. Lingkungan prenatal dan lingkungan postnatal. Lingkungan biofisis dan lingkungan psikososial. Lingkungan air (hydrosfir), lingkungan udara (atmosfir), lingkungan tanah (litosfir), lingkungan biologis (biosfir) dan lingkugan sosial (sosiosfir) f. Kombinasi dari klasifikasi-klasifikasi tersebut. (Slamet, 2002: 35-38). b. c. d. e. Menurut undang-undang RI Nomor 23 tahun 1997, tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka yang disebut lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan juga dapat berupa lingkungan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Lingkungan-lingkungan yang dekat dan berhubungan dengan masalah gizi masyarakat adalah sebagai berikut: 1) lingkungan ekonomi yang mengakibatkan daya beli terhadap ketersediaan pangan rumah tangga rendah, 2) lingkungan politik yang tak mendukung tersedianya bahan makanan yang mencukupi, 3) lingkungan sosial dan budaya yang tak mendukung usaha perbaikan gizi, misalnya hubungan antar kelompok masyarakat yang tak harmonis, tak adanya budaya perilaku hidup sehat di masyarakat akan mempengaruhi status gizi masyarakat yang ada di daerah lingkungan hidup tersebut. Menurut Bassett (1992), kualitas lingkungan memiliki hubungan dengan proses patofisiologis, yang kemudian menentukan keadaan kesehatan seseorang dan masyarakat, sebagai contoh 1) gas yang dihasilkan dari industri dan reaktor tenaga nuklir, 2) stabilitas ekonomi, 3) pertumbuhan penduduk, 3) peningkatan polusi udara, 4) usaha-usaha penghijauan yang 19 dilakukan, yang semuanya dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan baik yang bersifat lokal maupun global. Lingkungan air, udara dan tanah merupakan lingkungan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Lingkungan biologis yang terdiri dari flora dan fauna juga merupakan lingkungan yang diperlukan manusia, meski memiliki efek positif dan negatif untuk kesehatan manusia. Jika manusia tak mampu memelihara lingkungan tersebut maka akan dapat menimbulkan masalah kesehatan yang dapat bersifat langsung maupun tak langsung. Pengaruh langsung oleh karena lingkungan banyak mengandung bakteri atau kandungan lain yang tak sesuai dengan standar bagi kesehatan manusia. Sedangkan pengaruh tak langsung adalah pengaruh yang timbul sebagai akibat pendayagunaan, misalnya air yang dipergunakan untuk industri yang menimbulkan pencemaran air sehingga dapat mengganggu kesehatan. Lingkungan sosial atau sosiosfir adalah lingkungan yang tercipta akibat terjadinya interaksi antar manusia. Interaksi tersebut memungkinkan tersalurnya budaya dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Misalnya pengalaman yang didapat masyarakat atau perseorangan ditularkan pada orang lain dan pada generasi penerusnya yang kemudian menumbuhkan adat dan budaya khusus pada masyarakat. Orangtua juga mewariskan berbagai kepercayaan pada anak-anaknya, dan masyarakat menentukan berbagai nilai ataupun norma sebagai pegangan bersosialisasi. Perpaduan antara pengetahuan, kepercayaan dan norma akhirnya akan membentuk bagaimana seorang berfikir, dan berperasaan, yang selanjutnya menentukan perilakunya dan pada akhirnya menentukan kesehatan lingkungannya. 20 Tabel 2.1: Taraf budaya, pola kesehatan lingkungan, pola penyakit, mortalitas dan fertilitas, tujuan pelayanan kesehatan dan status nutrisi Status masyara kat Tradisional Transisional awal Transisional akhir Moderen Masalah kesehatan lingku ngan Tipe pedesaan, kontaminsi air, makanan, banyak insekta Idem dan mulai ada pemalsuan makanan, obat Rural tradisional, urban moderen Sebagian besar urban, pencema ran udara, oir, rokok, minuman keras, makanan sintetis Pola penyakit, mortalitas fertilitas Tujuan pelayanan kesehatan Status gizi Endemis infeksi, parasitik, CDR, CBR tinggi Sistem tradisional Banyak malnutrisi Endemis infeksi dan parasitik, CDR sedang, dan CBR tinggi Penyakit infeksi berkurang, dikota penyakit tidak menular, CDR rendah, CBR sedang Penyakit kardiovaskular, degenerasi, keganasan, CDR dan CBR rendah Pelayanan yang baik didapat didaerah tertentu saja Sistem nasional pencegahan komprehensif, pelayanan merata Potensi perbaikan besar Sistem nasinal menyeluruh, komplex Nutrisi berlebih Perbaikan gizi dan perbaikan pendapa tan Sumber: Slamet (2002) CDR : Crude Death Rate : angka kematian kasar CBR : Crude Birth Rate : angka kelahiran kasar 21 Lingkungan sosial dapat dipandang sebagai lingkungan yang paling penting dalam menentukan kesehatan lingkungan. Penyakit dapat disebabkan oleh unsur fisis seperti temperatur, radiasi, tekanan, kebisingan, atau unsur kimia seperti arsen, merkuri, insektisida, makanan, atau unsur biologis seperti mikroba patogen. Tetapi penyakit hanya dapat terjadi apabila norma serta budaya manusianya ”mengizinkan”. Misalnya, manusia ”mengizinkan” insektisida, logam berat, dan kotoran manusia dimasukkan ke dalam sungai dan manusia pula yang ”mengizinkan” air sungai itu digunakan sebagai air minum. Norma, perilaku dan adat kebiasaan yang menyimpang dari standar sehat tersebut bisa jadi karena ketidak tahuan, atau ketidak pedulian masyarakat terhadap kesehatan, tetapi hasil akhirnya adalah sama, yaitu terjadi pencemaran lingkungan, terganggunya kesehatan, yang kemudian dapat mengakibatkan gangguan status gizi. Higiene lingkungan sangat ditentukan oleh norma atau kebiasaan masyarakat. Norma-norma masyarakat, misalnya buang air besar di sungai dan mandi di sungai yang sama dianggap normal atau dapat diterima secara sosial budaya. Membuang sampah di saluran atau sungai juga merupakan kebiasaan yang sudah dianggap normal. Dengan demikian, atas dasar perilaku tersebut, akan timbul penyakit yang setara dengan norma atau kebiasaan yang dilakukan termasuk juga cara-cara pengobatannya. Apabila kesehatan lingkungan buruk, dan agent yang ada di dalam lingkungan bersifat infektif, maka akan terdapat banyak penderita berpenyakit menular, seperti kolera, tipus, disentri dan lain-lainya. Tetapi apabila agent didalam lingkungan itu bersifat tidak menular, maka penyakit yang akan terjadi juga bersifat tidak menular, seperti kanker, penyakit minamata, penyakit jantung. Kesemuanya ditentukan oleh budaya masyarakat setempat yang mereka dapat dari 22 lingkungan sosial atau sosiosfir. Menurut Slamet (2002), taraf budaya (status masyarakat) dapat menentukan pola kesehatan lingkungan (masalah kesehatan lingkungan yang ada), pola penyakit, mortalitas dan fertilitas, yang dapat berakibat gambaran status gizi yang terjadi, begitu juga menentukan pelayanan kesehatan yang memungkinkan harus dilakukan (lihat Tabel 2.1). 2. Faktor Sosiokultural Sosiokultural atau sosial-budaya merupakan hubungan antar manusia dengan manusia, hubungan antar manusia dengan kelompoknya dan sebaliknya, yang menekankan saling ketergantungan antara pola-pola budaya, masyarakat sebagai suatu sistem interaksi, dan kepribadian individual, atau merupakan perwujudan dari sumbu yang berputar ditengah batas sosial dan budaya (Storey, 2008). Sedangkan kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, serta lain-lain kenyataan dan kebiasaankebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat (Ahmadi, 2003). Sehingga dalam melakukan praktek hidup sehari-hari yang merupakan budaya akan dipengaruhi atau berlatar belakang kebudayaan yang ada di masyarakat. Menurut Horton et al. (1984), kebudayaan (culture) adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisir yang menjadi pegangan bagi masyarakat. Kebudayaan adalah komplek keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan disebut juga sebagai segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Kebudayaan bersifat normative , 23 yang merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa kebudayaan menentukan standar perilaku, misalnya untuk bersalaman kita mengulurkan tangan kanan, ini adalah pantas dalam kebudayaan kita. Setiap kebudayaan adalah sebagai jalan atau arah didalam bertindak dan berpikir, sehubungan dengan pengalamanpengalaman yang fundamental, oleh karena itu kebudayaan tak dapat dilepaskan dengan individu dan masyarakat. Unsur-unsur dalam kebudayaan terdiri dari: 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencarian hidup, 7) sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat 1979). Unsur-unsur tersebut diwujudkan dalam bentuk: a. Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, konsep-konsep, nilai-nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak pernah lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem, yang disebut sistem budaya. Sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang dalam Bahasa Indonesia lebih lazim disebut adat istiadat. Fungsi dari sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkahlaku manusia. b. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, yang sisebut sebagai sistem sosial, yang terdiri dari aktivitasaktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lainnya, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sistem sosial ini bersifat konkret , terjadi disekeliling masyarakat seharihari, dapat diobservasi, di foto dan didokumentasi. 24 c. Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. (Koentjaraningrat, 1990). Sosiokultural yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup unsur-unsur yang diwujudkan dalam bentuk: 1) Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, konsep-konsep, nilai-nilai, norma, peraturan, kepercayaan, kebiasaan, tradisi, mitos, dan sebagainya yang disebut sebagai sistem budaya. 2) Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut sebagai sistem sosial (Koentjaraningrat, 1990). Sistem budaya dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk yaitu: a. Nilai Nilai adalah gagasan mengenai apakah pengalaman berarti atau tidak berarti. Nilai mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, misal orang yang sangat menghargai kesegaran jasmani akan berlatih secara teratur dan mengawasi makanan dan minuman mereka. Dalam setiap masyarakat beberapa nilai memiliki penghargaan yang lebih tinggi dari nilai-nilai lainnya, nilai dapat berubah dari waktu ke waktu. Pergeseran nilai-nilai juga mempengaruhi kebiasaan dan tata kelakuan (Horton and Hunt, 1984). Theodorson dalam Pelly (1994), mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkahlaku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai relative sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Clydl Kluckhohn dalam Pelly (1994), juga mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisir yang mempengaruhi perilaku, berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal- 25 hal yang diinginkan dan tidak diinginkan yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia. Nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat. Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun justru karena sifatnya yang umum, luas dan tidak konkrit, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Kecuali itu, para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat, dengan cara mendiskusikannya secara rasional (Koentjaraningrat, 1990). Menurut Siregar (2003), latar belakang sosial yang berbeda, tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat, atau kebudayaan suatu kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan, menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak. Sedangkan yang dimaksud dengan persepsi nilai anak 26 atau balita oleh orang tua adalah merupakan tanggapan dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu pendapat untuk memiliki diantara pilihan-pilihan yang berorientasi pada suatu hal yang pada dasarnya terbuka dalam situasi yang datangnya dari luar. Pada negara berkembang, terutama di daerah pedesaan beban ekonomi yang ditanggung keluarga akan jauh lebih rendah bila anak tidak sekolah. Hal ini dapat terjadi oleh karena anak yang tak sekolah dapat menyokong penghasilan keluarga pada usia yang sangat dini dengan cara bekerja di sawah, menggembala ternak dan mengerjakan pekerjaan lain. Dengan bertambahnya usia orang tua, maka anak-anak dapat memberikan bantuan ekonomi, mungkin dengan bekerja disawah milik orang tuanya. Hal ini dapat dikatakan di negara maju, kekayaan mengalir dari orang tua ke anak, sedangkan di negara berkembang sebaliknya kekayaan mengalir dari anak ke orang tua. Penelitian-penelitian tentang nilai anak, termasuk yang merupakan proyek nilai anak internasional atau Value of Children (VOC) yang dilakukan di Jawa, didapatkan hasil sebagai berikut: (i) Nilai positif umum (a) Manfaat emosional Anak membawa kegembiraan dan kebahagiaan ke dalam hidup orang tuanya. Anak adalah sasaran cinta kasih, dan sahabat bagi orang tuanya. (b) Manfaat ekonomi dan ketenagaan Anak dapat membantu ekonomi orang tuanya dengan bekerja di sawah atau diperusahaan keluarga lainnya, atau dengan menyumbangkan 27 upah yang mereka dapat dari tempat lain. Mereka dapat mengerjakan banyak tugas di rumah (sehingga ibu mereka dapat melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang). (c) Memperkaya dan mengembangkan diri sendiri Memperkaya memelihara anak adalah suatu pengalaman belajar bagi orang tua. Anak membuat orang tua lebih matang, lebih bertanggung jawab. Tanpa anak, orang yang telah menikah tidak selalu dapat diterima sebagai orang dewasa dan anggota masyarakat sepenuhnya. (d) Mengenali anak Orang tua memperoleh kebanggaan dan kegembiraan dari mengawasi anak-anak mereka tumbuh dan mengajari mereka hal-hal baru, mereka bangga kalau dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya. (e) Kerukunan dan kelanjutan keluarga Anak bisa membantu memperkuat ikatan perkawinan antar suami istri dan mengisi kebutuhan suatu perkawinan. Mereka meneruskan garis keluarga, nama keluarga dan tradisi keluarga. (ii) Nilai negatif umum (a) Beban emosional Orang tua sangat mengkhawatirkan anakanaknya terutama tentang perilaku anak, keamanan dan kesehatan. Dengan adanya anakanak, rumah akan ramai dan kurang rapi. Kadang-kadang anak itu menjengkelkan. (b) Beban ekonomi 28 Ongkos yang harus dikeluarkan untuk memberi makan dan pakaian anak-anak cukup besar. (c) Keterbatasan gerak Setelah mempunyai anak kebebasan orang tua berkurang. (d) Beban fisik Begitu banyak pekerjaan rumah tambahan yang diperlukan untuk mengasuh anak, orang tua menjadi lebih lelah. (e) Pengorbanan kehidupan pribadi suami istri Waktu untuk dinikmati oleh orang tua menjadi berkurang dan terjadi perdebatan tentang pengasuhan anak oleh orang tua. Nilai positif anak yang paling sering diungkapkan adalah bantuan ekonomis dalam bentuk kerja (baik di rumah, dalam pekerjaan orang tua, atau pertanian) dan juga jaminan di hari tua. Nilai positif lain yang penting bagi sub kelompok tertentu adalah perbaikan dalam ikatan perkawinan dan kelangsungan keturunan. Adapun nilai negatif yang paling menonjol adalah beban ekonomi termasuk uang sekolah. Khususnya bagi orang pedesaan Jawa, seluruh biaya yang berhubungan dengan upacara perkawinan anak mereka juga termasuk dalam beban ekonomi. Oleh kebanyakan sub kelompok beban emosional seperti kekawatiran akan kesehatan anak dan pengaruh negatif dari teman-teman sebaya digolongkan sebagai beban kedua (Singarimbun, 1977; Siregar, 2003). Menurut Nauck (2007), dalam teori nilai anak secara sosial, seseorang berharap memperoleh kepercayaan diri dan kondisi kesehatan yang baik secara maksimal, apabila orang tersebut memperoleh respon positif terhadap keluarganya yang berasal dari 29 lingkungannya. Kondisi kesehatan yang baik, berarti orang tersebut dapat bertahan hidup dengan layak sebagai hasil dari kenyamanan fisik dan mental. b. Norma Norma merupakan aturan-aturan untuk bertindak, bersifat khusus, sedangkan perumusannya biasanya bersifat amat terperinci, jelas, tegas dan tak meragukan. Jika perumusan yang ada bersifat terlampau umum dan luas ruang lingkupnya, serta terlampau kabur perumusannya, maka norma tersebut tidak dapat mengatur tindakan individu dan membingungkan individu bersangkutan mengenai prosedur serta cara bagaimanakah suatu tindakan itu sebaiknya dilaksanakan (Koentjaraningrat, 1990). Norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok di masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima sehingga setiap warga masyarakat harus menaatinya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001; Liliweri, 2002). Norma budaya adalah suatu konsep yang diharapkan ada atau seperangkat perilaku yang bercitra kebudayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap. Sehingga Kebudayaan bersifat normative , yang merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa kebudayaan tercermin dalam standar perilaku. Contoh dalam budaya di Indonesia, untuk bersalaman kita mengulurkan tangan kanan, ini adalah pantas. Dapat dikatakan kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisir yang menjadi pegangan bagi masyarakat (Horton and Hunt, 1984). 30 c. Kepercayaan Adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata (misalnya kepercayaan terhadap makhluk halus), sesuatu yang dipercayai (misalnya rakyat kepada para pemimpinnya), harapan dan keyakinan misalnya pada kejujuran dan kebaikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001). d. Kebiasaan Kebiasaan adalah suatu cara yang lazim, yang wajar dan diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Sebagai contoh berjabatan tangan, makan dengan sendok dan garpu, makan nasi adalah beberapa kebiasaan orang Indonesia. Melalui cobacoba, situasi kebetulan, atau beberapa pengaruh yang tidak disadari, sekelompok orang sampai pada salah satu kemungkinan ini, mengulang dan menerimanya sebagai cara yang wajar untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Kejadian ini diturunkan pada generasi berikutnya dan menjadi salah satu kebiasaan. Ada dua golongan kebiasaan (1) hal yang seharusnya di ikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang harus di ikuti karena yakin kebiasaan itu penting untuk kesejahteraan masyarakat (Horton and Hunt, 1984). Kebiasaan yang kemudian memunculkan pola kebiasaan makan berasal dari perspektif multidimensi yang menjadi dasar yaitu, parameter sosiokultural, kepercayaan terhadap makanan, pilihan makanan dan konsumsi makanan (Sanjur, 1982). e. Tradisi Adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat, 31 dengan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar, misalnya perayaan yang berkaitan dengan hari-hari besar agama (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001). f. Mitos Menurut Huxley (dalam Satrapratedja et al. 1986), mitos adalah rasionalisasi, yang merupakan suatu kerangka penunjang yang dibuat oleh akal manusia guna memelihara eksistensinya. Ilmu pengetahuan memang mungkin tidak bisa memberi penjelasan yang tuntas, namun dengan berjalannya waktu dan bertambahnya pengetahuan, akan dapat memberikan pengertian yang rasional dan mitos pada akhirnya akan digantikan dengan diskripsi ilmiah. Huxley juga berpendapat bahwa mitos hanya terbatas dalam tahap-tahap awal perkembangan alam pikiran manusia. Beberapa mitos, seperti mitos tentang “progress”, memang adalah gejala mutakhir. Namun begitu pada akhirnya, bukan saja suatu doktrin ilmiah tentang “progress” tersebut, melainkan juga mitosmitos lain mengenai nasib atau hari depan umat manusia didunia. Jadi mitos-mitos kuno dapat dihindari, akan tetapi manusia modern dapat terjangkit mitos baru, walaupun mitos inipun dapat dilenyapkan. Bagi Huxley, mitos mengandung nilai negatif, oleh karena itu pada akhirnya harus diganti dengan ilmu pengetahuan. Bagi George Sorel dan Rudolf Bultmann (dalam Satrapratedja, 1986), mitos tidak dinilainya serba jelek, manfaatnya ada juga, dalam mitodologi terkandung unsur-unsur kebenaran 32 walaupun kebenaran itu dinyatakan dalam bentuknya yang ketinggalan jaman. Mitos adalah suatu himpunan gagasan-gagasan yang merasukkan makna-makna transcendental ke dalam hidup manusia. Melalui mitos-mitos, manusia diangkat diatas kapasitasnya yang biasa, menjangkau visi yang jauh ke masa depan dan menjadikan manusia mampu mewujudkan tindakan bersama guna mencapai cita-cita dimasa depan. Keadaan di Indonesia, disamping mitos-mitos lama mitos barupun masih hidup subur. Mitos-mitos baru itu berkaitan dalam makna maupun fungsinya dengan mitos-mitos lama. Dapat dikatakan bahwa mitosmitos lama dan baru bercampur aduk dalam warna kehidupan yang nampaknya modern. Banyak dijumpai orang-orang yang terpelajar, pemimpin, pejabat, anggota pamong praja, bahkan juga sarjana dan teknisi, orang-orang yang merasa dirinya modern atau nampaknya modern, ternyata secara sadar atau tidak sadar percaya pada mitos-mitos, bahkan turut serta menciptakan mitos-mitos baru. Masyarakat yang tampaknya serba logis dan serba praktis, kerapkali juga bisa berbuat yang tidak logis dan tidak praktis. Mitos-mitos yang ternyata bisa dipercayai oleh orangorang modern itu ada kalanya adalah mitos-mitos tradisional, bisa pula mitos-mitos baru yang mungkin saja tidak disadari dan diakui sebagai mitos-mitos, tetapi dalam kenyataannya, dalam pengamatan para ahli, hal-hal yang dipercaya itu adalah mitos-mitos juga adanya. Ada kalanya mitos-mitos yang dipersangkakan dipercayai oleh orang-orang modern sebenarnya lebih menyerupai dogma atau mitos-mitos 33 yang dipergunakan dalam ungkapan. Misalnya beberapa teori disekitar masalah kemiskinan, adanya kelangkaan pangan di dunia atau jumlah penduduk yang berlebihan sebagai sumber kelaparan. Hal ini mendapatkan suatu mitos bahwa kelangkaan pangan di dunia itu hanya karena dalam kenyataannya dunia telah menghasilkan pangan yang berlebihan dan karena itu kelangkaan pangan tidak bisa dijadikan alasan timbulnya kelaparan. Demikian pula kelebihan penduduk tidak bisa dijadikan alasan, karena jumlah pangan di dunia dapat memenuhi kebutuhan pangan mereka yang kelaparan. Teori-teori yang salah itu telah dijadikan mitos-mitos untuk menutupi kebenaran yang disembunyikan mengenai sebabsebab kelaparan, misalnya adanya monopoli dan manipulasi bahan pangan oleh kekuatan ekonomi dan politik dominan yang resmi atau tak resmi (Joyomartono, 2004). Menurut Sajur (1982), sikap, kepercayaan, tradisi dan mitos dapat dikatakan sebagai food ideology yang mempengaruhi diet dan konsumsi gizi. Food ideology ini berkaitan dengan dua sudut pandang yaitu, (1) pandangan specifik seseorang terutama yang memiliki kontrol pemilihan makanan dalam rumah tangga terhadap system yang dianutnya, dan (2) interprestasi yang jelas terhadap konsekuensi kesehatan dan makanan dari kepercayaan yang dianutnya. Sistem sosial yang dalam penelitian ini berfokus pada keakraban sosial (kohesi sosial) dan kelembagaan (organisasi kemasyarakatan) yang tak lepas dari proses-proses sosial dan berakar pada interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tidak akan ada kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan proses 34 dasar dan pokok dalam setiap masyarakat, dan sifat-sifat masyarakat sangat dipengaruhi oleh tipe-tipe utama interaksi yang berlangsung di dalamnya. Tipe-tipe interaksi yang banyak muncul itu sangat ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat itu dan berkaitan dengan peran-peran sosial, status dan nilai. Bentuk interaksi sosial sangat beragam, dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition) dan dapat pula berupa pertikaian atau conflict. Dalam hal kerjasama, maka kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingankepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerjasama, kesadaran akan adanya kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna. Kerjasama timbul karena orientasi orang per orang terhadap kelompoknya dan kelompok lainnya. Orientasi ini berupa: a. Motivasi pribadi, ini berarti tujuan-tujuan pribadi dihimpun dalam usaha-usaha bersama untuk mencapainya. Keuntungan pribadi dapat dicapai dengan kerjasama. b. Kepentingan umum atau kepentingan bersama, berdasarkan tujuan-tujuan yang dianggap bernilai tinggi,dapat pula memberi motivasi kepada orang-orang atau berbagai kelompok dan organisasi untuk bekerjasama. c. Motivasi altruistik, motivasi ini bersumber dari keinginan seseorang untuk menolong pihak lain, karena panggilan hati. d. Tuntutan situasi, misalnya karena musibah banjir orang tergerak untuk menanggulangi bersama berbagai akibatnya. 35 Menurut Koentjaraningrat (1979), di Indonesia dikenal bentuk kerjasama dengan nama gotong royong. Di dalam sistem pendidikan Indonesia yang tradisional, sejak kecil kedalam jiwa seseorang ditanamkan suatu pola perikelakuan agar selalu rukun, terutama dengan keluarganya dan masyarakat yang lebih luas. Hal ini muncul oleh sebab adanya pandangan hidup, bahwa seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kerjasama. Bentuk- bentuk kerjasama mencakup: a. Kerjasama yang merupakan hasil dari kesetiaan atau ketaatan terhadap tujuan yang sama. b. Kerjasam antagonistik, yang dapat terjadi dalam hubungan kerja majikan-buruh. c. Kerjasama yang merupakan hasil dari saling bantumembantu, saling tergantung. d. Kerjasama yang merupakan hasil dari usaha-usaha dalam rangka bersaing dalam mencapai tujuan paling dulu atau dengan cara paling baik. e. Kerjasama yang dipaksakan sebagai hasil dari subordinasi, yang satu takluk pada yang lain. Pihak yang takluk tidak mempunyai alternative lain kecuali bekerjasama dengan pihak penakluk. Di masyarakat pedesaan di Indonesia, perwujudan kerjasama yang menonjol dapat di lihat dari kegiatan-kegiatan tolong-menolong dan gotong-royong. Kegiatan-kegiatan tolong-menolong ini hidup dalam berbagai macam bentuk masyarakat di Indonesia. Kecuali dalam pekerjaan pertanian (kroyokan, grojogan) kegiatan tolong menolong Nampak dalam bidang lain kehidupan masyarakat, misalnya dalam kehidupan kekerabatan (rerukun alur waris), dalam menyiapkan pesta dan upacara (sambatan, rencang) dan dalam hal kecelakaan dan kematian. Antara beragam tipe tolong menolong tersebut biasanya dibedakan dengan tajam oleh masyarakat para warga desa. Menurut observasi Koentjaraningrat di desa-desa di Jawa 36 Tengah bagian selatan, sikap dan kerelaan menolong orangorang desa di dalam satu-tipe tolong menolong berbeda dari yang didapati dalam lembaga tipe lain. Dalam keadaan kecelakaan dan kematian, orang desa akan segera rela menolong sesamanya tanpa berfikir kemungkinan untuk mendapat pertolongan balasan, tetapi misalnya dalam usaha-usaha pertanian, orang akan bersifat lebih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan imbalan atau balas jasa. Gotong royong berbeda dengan tolong menolong, oleh karena gotong royong merupakan kegiatan bekerjasama antara sejumlah warga-warga desa untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan (proyek) tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan bersama. Sedangkan tolong menolong lebih bersifat timbal balik, orang memberi pertolongan dengan melihat imbalan atau peluang untuk memperoleh pertolongan yang sama dikemudian hari. Interaksi dalam sistem sosial memungkinkan timbulnya masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat manusia tidak sama antara satu dengan lainnya. Perbedaanperbedaan itu disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan kebudayaan dan masyarakatnya, dan keadaan lingkungan alamnya dimana masyarakat itu hidup. Masalahmasalah sosial adalah sesuatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai sesuatu yang tidak di inginkan atau tidak disukai dan yang karenanya dirasakan perlu untuk diatasi atau diperbaiki (Ahmadi, 2003). Dengan demikian masalah sosial ditekankan pada adanya kondisi atau sesuatu keadaan tertentu dalam kehidupan sosial warga masyarakat yang bersangkutan. Kondisi atau keadaan sosial tertentu, sebenarnya merupakan proses hasil dari proses kehidupan manusia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmaniahnya, kebutuhan sosial dan kebutuhan kejiwaan. 37 Dalam usaha-usaha untuk pemenuhan kebutuhankebutuhan tersebut, manusia menggunakan kebudayaan sebagai model-model petunjuk didalam menggunakan lingkungan alamnya dan sosialnya di masyarakat. Perwujudan ini adalah suatu kondisi atau keadaan dimana manusia itu hidup di dalam masyarakat. Kondisi-kondisi itu bukan suatu yang tetap tetapi selalu dalam proses perubahan. Setiap kehidupan masyarakat senantiasa mengalami suatu perubahan. Perubahan-perubahan pada kehidupan masyarakat tersebut merupakan fenomena sosial yang wajar, oleh karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tak terbatas. Menurut Gillin and Gillin (dalam Abdulsyani, 2007), perubahan-perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi, berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahanperubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Abdulsyani, 2007). Pola perilaku merupakan budaya yang kemudian dapat menggambarkan hubungan antar individu, individu dengan masyarakat. Pola perilaku masyarakat merupakan gabungan dari pola perilaku rumah tangga yang ada. Pola asuh juga merupakan pola perilaku atau praktek pemberi perawatan yang dapat dilakukan baik oleh orang tua atau tenaga perawat yang berkaitan dengan status gizi, sehingga pola asuh gizi juga dipengaruhi oleh sosiokultural didalam masyarakat di lingkungannya. Misalnya adanya hubungan diantara 38 masyarakat yang saling tolong menolong dipergunakan untuk melakukan pertukaran bahan pangan yang dihasilkan oleh anggota masyarakat, mereka yang menghasilkan padi menukarnya dengan anggota masyarakat lain yang menghasilkan ikan. Sehingga kebutuhan zat makanan protein dalam keluarga terpenuhi. Walaupun perilaku ini juga ditentukan oleh adanya daya beli, akses pangan, akses informasi dan akses pelayanan kesehatan yang diterima. Daya beli dan akses pangan menentukan keputusan melakukan pertukaran bahan pangan. Akses informasi menentukan perlu atau tidaknya dan pilihan pertukaran bahan pangan yang dilakukan, yang tergantung juga dari pengetahuan perawat dalam rumah tangga tentang susunan bahan makanan yang sehat yang diperlukan oleh anggota keluarganya. Akses pelayanan kesehatan mempengaruhi pengetahuan tentang kesehatan termasuk tentang gizi dan mempengaruhi status kesehatan keluarga yang kemudian menentukan pola asuh gizi yang dilakukan. Kekurangan pemenuhan kebutuhan pangan akan berdampak pada status gizi. Banyak dari masalah kekurangan gizi berasal dari ketidak mampuan negara- non industri untuk menghasilkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan penduduk mereka yang berkembang. Hanya peningkatanpeningkatan yang besar dalam produksi makanan didunia, melalui metode-metode pertanian yang lebih baik saja yang dapat mengurangi gizi buruk dan kekurangan gizi yang berasal dari kekurangan kalori dan protein yang menyolok. Namun masalah juga banyak ditimbulkan akibat mitos, kepercayaankepercayaan yang keliru mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan, pantangan-pantangan dan upacara-upacara, yang mencegah orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka. Kekurangan gizi disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan makan yang buruk, yang tidak terbatas 39 pada dunia ketiga saja tetapi ditemukan juga di Amerika (Foster et al. 2006: 311). Pengakuan bahwa masalah gizi diseluruh dunia didasarkan atas bentuk-bentuk kepercayaan, budaya maupun karena kurang berhasilnya pertanian, maka organisasiorganisasi internasional maupun nasional yang menaruh perhatian pada masalah pangan, mengusahakan tidak sematamata pada pertambahan produksi makanan melainkan juga pada kebiasaan makanan tradisional, untuk mendapatkan keuntungan maksimal yang berasal dari makanan yang tersedia. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan terhadap imigran Latin yang mempunyai pengetahuan tentang kesehatan yang baik, dan menemukan adanya kecenderungan berperilaku tidak sehat oleh karena berbagai halangan non struktural seperti ketiadaan waktu, tradisi dan penundaan, sedangkan halangan struktural seperti kurangnya transportasi, tak adanya asuransi kesehatan, perbedaan bahasa, serta kurang baiknya pelayanan kesehatan yang tersedia. Akibatnya perawatan kesehatan termasuk pola asuh dalam keluarga lebih berpihak pada tradisi, kepercayaan yang selama ini sudah berjalan (Garces, 2006). Tradisi dan kebiasaan makanan pada masyarakat yang didalamnya sarat akan keyakinan dan kepercayaan sangat sukar untuk di ubah, sebab telah ditanamkan sejak usia muda. Penanggalan terhadap ikatan sosial, ritual, kepercayaan yang menghasilkan kebiasaan makanan sesuai teori kesehatan merupakan pekerjaan yang susah, namun harus dapat dilakukan demi kesehatan. Hanya dengan sangat susah payah orang dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan makan sejak usia muda, untuk memulai dengan makanan yang sama sekali berlainan (Foster, 2006). Penelitian yang mendukung yaitu penelitian yang dilakukan oleh Oninla et al. (2006), pada anakanak di Nigeria mendapatkan hasil status gizi anak kota lebih baik dari anak desa. Hal ini terjadi oleh karena adanya 40 perbedaan mengenai ketidaksamaan makanan yang dimakan di masyarakat desa dan kota dan kepercayaan tradisional dan praktik-praktik yang lebih berakar di masyarakat pedesaan daripada perkotaan yang mempengaruhi status gizinya. Kebiasaan makan sehari-hari adalah produk dari proses adaptasi. Adaptasi adalah proses penyesuaian dan perubahan yang memungkinkan manusia mempertahankan diri dalam suatu lingkungan yang dihadapi. Proses ini berjalan berkesinambungan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya. Sehingga dapat dikatakan kebiasaan makan adalah bersifat tradisional. Kebiasaan makan tergantung pada kombinasi dari faktor-faktor psikologi, sosial, kebudayaan dan biochemical. Masyarakat dalam memilih makanan sering mempertimbangkan apa yang ia sukai dan mempunyai nilai yang baik untuk dirinya. Pola makan masyarakat banyak dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan, sebagian juga dipengaruhi oleh advertensi. Kebiasaan makan berbeda dari suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Karena masing-masing kelompok pendukung kebudayaan itu telah melalui sejarah perkembangannya sendiri-sendiri. Individuindividu dalam kelompok itu telah mengembangkan perilaku dalam merespon lingkungannya, menyeleksi dan mengkonsumsi serta menggunakan makanan yang disediakan oleh lingkungannya (Joyomartono, 2004). Setiap kelompok meneruskan kebiasaan makanan ke anak-anaknya dengan melalui latihan sedemikian rupa sehingga anaknya tahu bahwa bahan makanan apa yang dapat dipertimbangkan baik untuk dimakan. Pendapat Jacues May (dalam Joyomartono, 2004), mengatakan bahwa“ manusia makan apa yang dapat mereka dapatkan dari lingkungannya dan mereka makan apa yang oleh nenek moyangnya dahulu telah dimakan”. Jadi sikap dan kebiasaan anak dalam menghadapi makanan hasil dari proses 41 sosialisasi ini akan berpengaruh terhadap kebiasaan makan anak yang bersangkutan, sekarang dan kelak kemudian hari. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan sosiokultural dan praktek pemberian makanan atau pola asuh gizi juga sudah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Muller (1999), di Rwanda, Afrika, mengenai komposisi produksi Petani mempengaruhi perilaku (budaya) makan atau pola asuh gizi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang sudah berjalan, yang dilakukan oleh Singhth (1986), dimana didapatkan kesimpulan bahwa tingkat produk pertanian yang berasal dari rumah tangga petani di negara-negara berkembang dapat mempengaruhi status gizi mereka secara langsung. Petani mengkonsumsi sebagian besar produk pertanian mereka. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Franzini et al. (2009), tentang pengaruh dari lingkungan fisik dan sosial disekitar tempat tinggal terhadap status gizi anak di UK (United Kingdom). Adanya norma-norma yang sehat yang terdapat pada jaringan dari orangtua yang saling mengenal dan bersedia menjaga anak-anak dilingkungannya yang mempengaruhi obesitas atau status gizi anak di UK. Keakraban sosial telah terbukti mempengaruhi kesehatan pada tingkat lingkungan tempat tinggal, dimana peningkatan kontak sosial dan transaksi sosial antar masyarakat dapat membantu penerapan perilaku yang lebih sehat. Salehi et al. (2004), menyimpulkan bahwa budaya berpengaruh terhadap bagaimana seorang ibu memberikan makan/zat gizi atau melakukan pola asuh gizi bagi bayinya, seperti tradisi menyusui, memberi makan bayi dan perawatan anaknya. Pada penelitian yang lain Gay et al. (2004), mendapatkan bahwa pada orang Africo-Amerika perawatan diri atau juga pola asuh pada umumnya berbasis pada budaya dan tradisi, misalnya pada cara pemberian obat-obatan yang biasa diberikan oleh orang tua pada anaknya yang masih banyak 42 menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan dan bersifat tradisional. Perawatan kesehatan ini akan mempengaruhi status kesehatan atau derajat infeksi anak yang pada akhirnya berdampak pada status gizi anak. Obisesan et al. (2006), juga menemukan bahwa pada orang-orang Eropa dan MexicoAmerika, yang rajin datang ke acara keagamaan (Agama Katolik), dimana mereka mengajarkan untuk mengkonsumsi ikan, menyimpulkan bahwa pola konsumsi makan atau pola asuh gizi masyarakatnya lebih banyak mengkonsumsi ikan setiap minggunya. Penelitian yang dilakukan oleh Michael and Richa (2008), tentang status sosial dan budaya makan menyimpulkan bahwa daging merah menyimbolkan kedudukan sosial yang kuat atau tinggi. Sementara biji-bijian, sayur dan buah menyimbolkan sebaliknya. Walaupun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, preferensi dan pemilihan makanan dapat terjadi oleh karena: (1) citra dalam kehidupan yang mempengaruhi penilaian terhadap rasa makan, (2) sosiokultural mempengaruhi preferensi pemilihan rasa. Rasa yang mengenakan bisa digemari bila sesuai dengan budaya setempat, (3) dalam beberapa kebudayaan, makanan dan minuman dipergunakan untuk menegakan peran sosial dan pada akhirnya mempengaruhi preferensi seseorang, contohnya orang tua memberi steak daging pada anak laki-laki untuk mengajarkan maskulinitas, (4) kesesuaian dengan nilai-nilai yang berlaku dan adanya kepercayaan yang diakuinya. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Schimd et al. (2006), menyimpulkan bahwa konsumsi materi makanan Dalit tradisional di Medak daerah Andra Pradesh yang mencakup gandum, kacang-kacangan, sayur-mayur, akar, akar umbi, telur, produk susu dan dan susu berkolerasi negatif dengan kelaziman dari Calori Energy Deficiency (CED) dan gejala kekurangan vitamin A secara klinis para ibu. Serta penelitian yang dilakukan oleh Yudi (2007), di 43 Medan, yang mendapatkan hasil adanya faktor sosialbudaya yang berupa pendidikan, pengetahuan dan pekerjaan ibu yang sangat berpengaruh pada perawatan anak yang berkaitan dengan status kesehatan dan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut menggambarkan bahwa penyebab ketidakamanan pangan dan status gizi buruk sering kali merupakan masalah yang kompleks dan sangat lokasi spesifik, yang menyebabkan usaha-usaha perbaikan status gizi belum berhasil maksimal. Masalahnya dapat berbeda-beda pada daerah, lokasi, kelompok populasi yang berbeda walaupun pada negara yang sama, yang berkaitan dengan perilaku dalam hal ini pola asuh gizi, dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan tersebut dapat berupa lingkungan pendidikan, pendapatan, ketersediaan pangan, termasuk juga lingkungan sosiokultural yang ada. Di Indonesia masyarakat rentan gizi terutama berada di daerah pedesaan dengan lingkungan sosial ekonomi yang rendah yaitu dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, pendapatan, dan budaya yang tidak mendukung terjadinya status gizi masyarakat yang baik. Masyarakat Indonesia yang banyak tinggal di daerah pedesaan tersebut dengan pekerjaan dan mata pencahariannya sebagai petani, dimana konsumsi makanan keluarga tergantung dari hasil panennya. Hasil panen ini dipergunakan langsung untuk konsumsi makanan keluarga atau melalui transaksi keuangan (perdagangan) terlebih dahulu kemudian baru dipergunakan untuk biaya konsumsi makanan keluarga. Hal ini dapat dikatakan merupakan budaya atau praktek transaksi keuangan dalam pemenuhan konsumsi makanan keluarga, dan dapat dikatakan juga merupakan gambaran hubungan di masyarakat (sosiokultural) yang ada di daerah tersebut, dimana konsumsi makanan keluarga merupakan salah satu bentuk dari pola asuh gizi. 44 Konsumsi makanan keluarga pada masyarakat yang terisolir atau yang dengan biaya transportasi ke kota mahal, menyebabkan pemanfaatan produksi pertanian secara langsung untuk keluarga, oleh karena itu tergantung dari komposisi produksi pertanian yang dihasilkan yang ditinjau dari zat gizi makro dan mikro yang terkandung, seperti yang terjadi pada keluarga di Dalith, Andraprades dimana produksi pertaniannya yang berupa gandum, padi-padian, kacang-kacangan dan sayur hijau. Produksi pertanian ini kemudian diolah menjadi makanan tradisional yang dapat dikatakan merupakan budaya mereka. Makanan tersebut mengandung keseluruhan dari zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga merupakan suatu potensi dari masyarakat untuk dapat survive mendukung status gizi keluarga. Potensi yang ada di masyarakat dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008), yang mendapatkan adanya daerah dengan lingkungan rentan gizi, tetapi mempunyai gambaran status gizi masyarakat yang relatif baik. Hal ini menunjukan adanya potensi daerah tersebut yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna mendukung status gizi mereka. Lingkungan rentan gizi yang sudah dinilai adalah mengenai lingkungan pendidikan, pendapatan dan ketersediaan pangan, sehingga perlu dipikirkan lingkungan lain yang mempunyai kontribusi dalam mendukung status gizi pada masyarakat tersebut yaitu potensi dari aspek sosiokultural., yang dapat berupa 1) Sistem budaya, yang merupakan kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai, norma, kepercayaan, kebiasaan, tradisi, mitos dan 2) Sistem sosial yang merupakan komplek aktivitas serta tindakan yang berpola dari manusia dalam masyarakat, yang dapat berupa keakraban sosial serta kelembagaan atau organisasi kemasyarakatan. 45 C. Kerangka Teori Dalam Konteks Sosiokultural Dari berbagai teori dan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan usaha-usaha perbaikan status gizi, maka dapat disusun kerangka teori dalam konteks sosiokultural seperti terlihat pada Gambar 2.2. Kerangka pikir teoritis ini bersifat tentatif atau sementara dan akan berkembang setelah didapat data-data dilapangan, serta tidak bertujuan untuk membuktikannya dilapangan. Perspektif kerangka pikir teoritis ini berfungsi sebagai bekal, untuk bisa memahami konteks sosiokultural secara lebih luas dan mendalam dalam penggalian data berdasarkan apa yang terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh informan sebagai sumber data. Determinan dasar yang berupa: 1) Kebijakan di bidang ekonomi akan mempengaruhi status sosial ekonomi masyarakat atau pendapatan rumahtangga yang kemudian mempengaruhi daya beli. 2) Kebijakan bidang politik akan menghasilkan suatu kebijakan publik yang mempengaruhi akses pangan, akses informasi dan akses pelayanan, sedangkan determinan dasar lainnya yaitu 3) Bidang sosiokultural yang terdiri dari (1) sistem budaya, yang merupakan kompleks dari ide-ide, gagasangagasan, nilai, norma, kepercayaan, kebiasaan, tradisi, mitos dan (2) sistem sosial yang merupakan komplek aktivitas serta tindakan yang berpola dari manusia dalam masyarakat, yang dapat berupa keakraban sosial/kohesi sosial serta kelembagaan atau organisasi kemasyarakatan, merupakan potensi masyarakat yang akan berkaitan dengan daya beli, akses pangan, akses informasi, akses pelayanan dan pengetahuan akan mempengaruhi pola asuh gizi yang merupakan determinan pokok dan akan mempengaruhi determinan dekat yang pada akhirnya akan menentukan status gizi anggota keluarga. 46 Gambar 2.2: Kerangka teori status gizi balita dalam konteks sosiokultural EKONOMI POLITIK SOSIOKULTURAL 1.Sistem budaya (nilai, norma, kepercayaan, kebiasaan, mitos, tradisi) 2. Sistem sosial (keakraban sosial, kelembagaan atau organisasi kemasyarakatan) KEBIJAKAN PUBLIK DAYA BELI AKSES PANGAN AKSES INFORMASI AKSES PELAYANAN PENGETAHUAN POLA ASUH GIZI ASUPAN MAKANAN PENYAKIT / STATUS INFEKSI STATUS GIZI Determinan dasar (Akar Masalah) Determinan pokok (Penyebab Tidak Lansung) Determinan dekat (Penyebab langsung) Outcome 47 D. Instrumen Penilaian yang Berkaitan Dengan Status Gizi Departemen Kesehatan sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam hal kesehatan, telah menyusun beberapa instrumen penilaian yang berkaitan dengan status gizi, antara lain penilaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), keluarga sadar gizi (Kadarzi), pos pelayanan terpadu (Posyandu) dan penentuan status gizi. 1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Program PHBS adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku melalui pendekatan pimpinan, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat agar dapat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri dalam tatanan rumahtangga, institusi pendidikan dan tempat ibadah, agar dapat menerapkan hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Dinas Kesehatan Prov. Jateng, 2006). PHBS merupakan wujud keberadaan masyarakat yang sadar, mau dan mampu mempraktikan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes RI, 2000). Sasaran program PHBS dipisahkan menjadi beberapa tatanan, yaitu tatanan rumahtangga, tempat ibadah, instansi pendidikan, warung makan, pasar dan sebagainya. Dari sejumlah tatanan yang ada, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah memfokuskan pada 3 jenis tatanan yaitu tatanan rumahtangga, instansi pendidikan dan tempat iabadah.. Pemilihan pada 3 jenis tatanan tersebut didasarkan pada 48 pertimbangan bahwa ketiga tatanan tersebut mempunyai daya ungkit yang besar dalam pencapaian derajat kesehatan. a. Tatanan rumahtangga Rumahtangga adalah wahana atau wadah dimana orangtua (bapak dan ibu), anak, serta anggota keluarga lainnya dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Bertolak dari pengertian tersebut maka PHBS di tatanan rumahtangga adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam berperilaku hidup bersih dan sehat. Tujuan program PHBS di tatanan rumahtangga secara umum adalah peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku dan kemandirian keluarga dalam mengatasi kesehatan. Tujuan khusus dari PHBS adalah meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku anggota keluarga ditatanan rumahtangga terhadap program kesehatan ibu dan anak, gizi, kesehatan lingkungan, gaya hidup sehat dan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2004). b. Tatanan institusi pendidikan Institusi pendidikan adalah tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar secara formal, dimana terjadi transformasi ilmu pengetahuan dari para guru atau pengajar kepada anak didiknya. PHBS di Institusi pendidikan berarti suatu upaya yang dilakukan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan pengajar maupun anak didiknya dalam berperilaku hidup bersih dan sehat. Institusi pendidikan yang dimaksud adalah tingkat SD atau MI, SLTP atau MTS, SLTA atau MA. c. Tatanan tempat ibadah Tempat ibadah adalah sarana yang digunakan untuk kegiatan keagamaan atau ibadah bagi masyarakat sesuai dengan agama yang dianut. PHBS ditempat ibadah adalah merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan pengurus 49 maupun pengunjung dalam berperilaku hidup bersih dan sehat. Dalam setiap tatanan PHBS dilengkapi dengan indikatorindikator, dimana indikator PHBS merupakan petunjuk yang membatasi fokus perhatian. Indikator yang digunakan di Jawa Tengah yang meliputi 3 tatanan adalah sebagai berikut: (1) tatanan rumah tangga ada 16 indikator, (2) tatanan institusi pendidikan ada 12 indikator dan (3) tatanan tempat ibadah ada 8 indikator (Dinkes Prov. Jateng, 2003). Indikator diperlukan untuk menilai apakah aktivitas pokok telah sesuai dengan rencana dan menghasilkan dampak yang diharapkan. Indikator PHBS tatanan rumahtangga yaitu suatu alat ukur atau suatu petunjuk yang membatasi fokus perhatian untuk menilai keadaan atau permasalahan kesehatan rumahtangga. PHBS tatanan rumahtangga diarahkan pada aspek program prioritas kesehatan ibu dan anak, gizi kesehatan lingkungan, gaya hidup dan upaya kesehatan masyarakat. Ke 16 indikator di Jawa Tengah menggunakan 10 indikator nasional ditambah dengan 6 indikator lokal (Dinas Kesehatan Prov. Jawa Tengah, 2006), yang terdiri dari: a. b. c. d. Persalinan dengan tenaga kesehatan Pemberian ASI eksklusif pada bayi Penimbangan balita Mengkonsumsi beraneka ragam makanan dalam jumlah yang seimbang. e. Memanfaatkan air bersih untuk keperluan sehari-hari. f. Menggunakan jamban sehat. g. Membuang sampah pada tempatnya. h. Setiap anggota rumahtangga menempati ruangan rumah minimal 9 meter persegi. i. Lantai rumah kedap air j. Anggota rumahtangga berumur 10 tahun keatas melakukan olahraga atau aktivitas fisik 30 menit perhari, dilakukan 3 – 5 kali perminggu 50 k. Anggota keluarga tidak merokok l. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar m. Menggosok gigi minimal 2 kali sehari n. Tidak minum miras dan tidak menyalah gunakan narkoba o. Menjadi peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) p. Melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) minimal seminggu sekali Berdasarkan indikator tersebut dapat ditentukan klasifikasi PHBS yang ditunjukan melalui nilai Indeks Potensi Keluarga Sehat (IPKS) yaitu: a. Sehat pratama (warna merah): indikator rumahtangga memenuhi antara 0-5 b. Sehat madya (warna kuning): indikator rumahtangga memenuhi antara 6-10 c. Sehat utama (warna hijau): indikator rumahtangga memenuhi antara11-15 d. Sehat paripurna (warna biru): indikator rumahtangga memenuhi antara 6-10 yang yang yang yang Berdasarkan strata PHBS tersebut maka tatanan rumahtangga dapat dirumuskan secara kelompok (RT, RW, desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota) yaitu: a. Sehat pratama (warna merah), apabila jumlah rumahtangga yang mencapai sehat utama dan paripurna mencapai 024,4%. b. Sehat madya (warna kuning), apabila jumlah rumahtangga yang mencapai sehat utama dan paripurna mencapai 24,5%49,4%. c. Sehat utama (warna hijau), apabila jumlah rumahtangga yang mencapai sehat utama dan paripurna mencapai 49,5-74,4%. d. Sehat paripurna (warna biru), apabila jumlah rumahtangga yang mencapai sehat utama dan paripurna mencapai 74,5%. (Dinas Kesehatan Prov. Jateng, 2004). 51 2. Keluarga Prasejahtera Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Sekitar 56% keluarga di Indonesia masih berada dalam tingkat prasejahtera dan sejahtera I. Pada strata ini, keluarga digambarkan belum tergolong miskin, tetapi baru dapat memenuhi kebutuhan fisik minimal, dan keluarga mudah sekali jatuh menjadi miskin (Gemari, 2006). Undang-undang No. 10 tahun 1992 menyebutkan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota serta antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Nursasi (2009), mengklasifikasikan strata keluarga sejahtera dalam lima tingkatan yaitu: a. Keluarga prasejahtera Keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimum, seperti pengajaran, agama, sandang, pangan, papan dan kesehatan. b. Keluarga sejahtera tahap 1 Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal (sesuai kebutuhan dasar pada keluarga prasejahtera) tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologis keluarga seperti pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan. c. Keluarga sejahtera tahap 2 Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan psikologis, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan perkembangan (menabung dan memperoleh informasi). 52 d. Keluarga sejahtera tahap 3 Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan pada tahapan 1 dan 2 namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) maksimal terhadap masyarakat dan berperan secara aktif dalam masyarakat. e. Keluarga sejahtera tahap 3 plus Keluarga yang dapat memenuhi semua kebutuhan keluarga pada tahap 1 sampai dengan 3. Untuk dapat mengukur sejauhmana keluarga tersebut berada, maka terdapat 23 indikator yang menggambarkan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, kebutuhan sosial, psikologis dan kebutuhan pengembangan keluarga sebagai berikut: a. Indikator keluarga prasejahtera, bila keluarga belum mampu: (1) Melaksanakan ibadah menurut agama yang dianutnya masing-masing. (2) Makan 2 kali sehari atau lebih (3) Memiliki pakaian berbeda untuk berbagai keperluan (4) Memiliki rumah yang sebagian besar lantainya bukan dari tanah (5) Membawa anggota keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan b. Indikator keluarga sejahtera 1, bila keluarga sudah mampu melaksanakan indikator 1 sampai dengan 5, tapi belum mampu melaksanakan indikator sebagai berikut: (6) Anggota keluaraga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang di anut masingmasing. (7) Makan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk paling kurang sekali dalam seminggu (8) Memperoleh pakaian baru dalam satu tahun terakhir 53 (9) (10) (11) (12) (13) (14) Luas lantai tiap penghuni rumah 8 m² Anggota keluarga sehat dalam 3 bulan terakhir sehingga dapat melaksnakan fungsi masingmasing Paling kurang satu anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap Bisa baca tulis latin bagi seluruh anggota keluarga yang berumur 10 sampai dengan 60 tahun Anak usia sekolah (7 sampai dengan 15 tahun) bersekolah Anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur (PUS) saat ini memakai alat kontrasepsi c. Indikator keluarga sejahtera 2, bila keluarga sudah mampu melaksanakan indikator 1 sampai dengan 14 tetapi belum mampu melaksanakan indikator sebagai berikut: (15) Upaya keluarga meningkatkan/menambah pengetahuan agama (16) Keluarga mempunyai tabungan (17) Makan bersama paling kurang sekali sehari (18) Ikut serta dalam kegiatan masyarakat (19) Rekreasi bersama/penyegaran paling kurang sekali dalam sebulan (20) Memperoleh berita dari surat kabar, radio, televisi, majalah (21) Anggota keluarga mampu menggunakan transportasi d. Indikator keluarga sejahtera 3, bila keluarga sudah mampu melaksanakan indikator 1 sampai dengan 21 tetapi belum mampu melaksnakan indikator sebagai berikut: 54 (22) (23) Memberikan sumbangan secara teratur (dalam waktu tertentu) secara sukarela dalam bentuk materi kepada masyarakat Aktif sebagai pengurus yayasan/institusi dalam kegiatan kemasyarakatan e. Indikator sejahtera 3 plus, bila keluarga sudah mampu melaksnakan seluruh indikator keluarga sejahtera 3. Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dapat didefinisikan sebagai keluarga yang seluruh anggota keluarganya melakukan perilaku gizi seimbang, mampu mengenali masalah kesehatan dan gizi bagi tiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil langkahlangkah untuk mengatasi masalah gizi yang dijumpai oleh tiap anggota keluarganya (Depkes RI, 2002:3). Ada lima indikator Kadarzi yang sudah disepakati, yaitu sebagai berikut: a. Keluarga biasa mengkonsumsi aneka ragam makanan. b. Keluarga selalu memantau kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarganya, khususnya balita dan ibu hamil. c. Keluarga hanya menggunakan garam beryodium untuk memasak makanannya. d. Keluarga memberi dukungan pada ibu melahirkan untuk memberikan ASI eksklusif. e. Keluarga biasa sarapan/makan pagi (Depkes RI, 2002:5). Berdasarkan hal tersebut maka untuk menentukan suatu keluarga telah sadar gizi adalah dengan penilaian-penilaian yang terdiri dari: a. Status seluruh anggota keluarga khususnya ibu dan anak baik. b. Tidak ada lagi bayi berat lahir rendah pada keluarga. c. Semua anggota keluarga mengkonsumsi garam beryodium. 55 d. Ibu hanya memberikan ASI saja pada bayi sampai usia 6 bulan. e. Semua balita dalam keluarga yang ditimbang naik berat badannya sesuai umur. f. Tidak ada masalah gizi lebih dalam keluarga (Depkes RI, 2004:5). Tahap awal strategi pemberdayaan Kadarzi dimulai dari melibatkan secara aktif keluarga dalam pemetaan Kadarzi untuk identifikasi masalah perilaku dan gizi keluarga dan identifikasi potensi keluarga. Hasil pemetaan dibahas bersama masyarakat untuk merencanakan tindak lanjut. Apabila masalah tersebut dapat diselesaikan langsung oleh keluarga maka perlu dilakukan pembinaan, akan tetapi bila ditemui masalah kesehatan dan masalah lain maka perlu dirujuk ke petugas kesehatan dan petugas sektor lain. Strategi yang dilakukan dalam mewujudkan Kadarzi adalah: a. Pemberdayaan keluarga dengan menitik beratkan pada peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku gizi seimbang, misalnya melalui pengembangan konseling dan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) sesuai kebutuhan setempat. b. Malakukan advokasi, sosialisasi dan mobilisasi para pengambil keputusan, pejabat pemerintah diberbagai tingkat administrasi, penyandang dana dan pengusaha dengan tujuan meningkatkan kepedulian atau komitmen terhadap masalah gizi ditingkat keluarga. c. Mengembangkan jaring kemitraan diberbagai perguruan tinggi, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, tokoh agama dan media masa, kelompok profesi lainnya untuk mendukung tercapainyta tujuan Kadarzi. d. Menerapkan berbagai teknik pendekatan pemberdayaan petugas yang ditunjukan untuk mempercepat 56 perubahan perilaku (Depkes RI, 2002). dalam mewujudkan Kadarzi 4. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Kegiatan Posyandu adalah perwujudan dari peran serta masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan. Upaya masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan sudah dikenal sejak lama, tetapi biasanya dalam bentuk perorangan atau keluarga. Dalam kegiatan posyandu, masyarakat mempunyai peran pokok dalam upaya menjaga dan meningkatkan kesehatan, sedangkan peran petugas kesehatan adalah untuk membantu upaya yang pada dasarnya merupakan kegiatan masyarakat sendiri (Depkes RI, 1989). Sasaran posyandu adalah balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan pasangan usia subur. Posyandu diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Mempercepat penurunan angka kematian bayi, anak balita dan angka kelahiran. 2) Mempercepat penerimaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS), sebagai salah satu upaya mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal yang merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. 3) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatankegiatan lain yang menunjang sesuai dengan kebutuhan. Posyandu direncanakan dan dikembangkan oleh kader bersama Kepala Desa dan LKMD (seksi KB-Kes dan PKK) dengan bimbingan Tim Pembina LKMD tingkat Kecamatan, mereka adalah warga masyarakat yang tidak mendapat imbalan berupa gaji dari pemerintah, melainkan bekerja secara sukarela (Depkes RI, 1989). Kegiatan posyandu diselenggarakan sekali dalam sebulan selama kurang lebih 3 jam, pada tempat yang mudah didatangi oleh masyarakat dan ditentukan oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian tempat kegiatan posyandu dapat dilaksanakan di pos pelayanan yang telah ada, rumah penduduk, balai desa, 57 tempat pertemuan RT atau ditempat khusus yang dibangun masyarakat. Pelaksanaan kegiatan posyandu terdiri dari 5 program utama yaitu KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), KB, imunisasi, gizi dan penanggulangan diare yang dilakukan dengan sistem lima meja, yaitu: Meja I Meja II Meja III Meja IV : pendaftaran : penimbangan bayi dan balita : pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat) : penyuluhan perorangan yang meliputi : a. Penyuluhan balita berdasar hasil penimbangan berat badannya, naik atau tidak naik, di ikuti dengan pemberian makanan tambahan, oralit dan vitamin A b. Penyuluhan ibu hamil dengan resiko tinggi, diikuti dengan pemberian tablet besi. c. Penyuluhan PUS agar menjadi peserta KB lestari, diikuti dengan pemberian kondom. Meja V : pelayanan oleh tenaga profesional yang meliputi pelayanan KIA, imunisasi dan pengobatan serta pelayanan lain yang sesuai dengan kebutuhan setempat (Depkes RI, 1986). Sejak tahun 1987 jumlah posyandu di Indonesia mengalami peningkatan hampir 3 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1986 yaitu sejumlah 185.660 posyandu, yang kemudian meningkat terus dari tahun ke tahun. Makin banyaknya jumlah posyandu mendorong terjadinya variasi tingkat perkembangan yang beragam. Ada sebagian posyandu telah mencapai tingkat perkembangan yang sangat maju, disisi lain masih banyak posyandu yang berjalan tersendat bahkan kemudian tinggal papan nama. Semua posyandu didata tingkat pencapaiannya, baik dari segi pengorganisasian maupun pencapaian programnya. Berdasarkan data pencapaian dan program yang terlaksana, maka posyandu dikategorikan dalam 4 tingkat, yaitu: 58 a. Posyandu Pratama (warna merah) Posyandu pratama adalah poyandu yang belum mantap. Kegiatan yang dilakukan belum rutin setiap bulan, dan dengan jumlah kader aktifnya yang terbatas. Keadaan ini dinilai gawat, sehingga intervensinya adalah pelatihan kader ulang. Artinya kader yang ada perlu ditambah dan dilakukan pelatihan dasar lagi. b. Posyandu Madya (warna kuning) Posyandu madya adalah posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali pertahun, dengan rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih, akan tatapi cakupan program utamanya masih rendah, yaitu kurang dari 50%. Ini berarti, kelestarian kegiatan posyandu sudah baik tetapi dengan cakupan yang masih rendah. c. Posyandu Purnama (warna hijau) Posyandu purnama adalah posyandu yang mempunyai frekuensi kegiatan lebih dari 8 kali pertahun, rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih dengan cakupan 5 program utama lebih dari 50%, serta sudah ada program tambahan, bahkan mungkin sudah mempunyai dana sehat, walaupun masih dalam bentuk yang sederhana. d. Posyandu mandiri (warna biru) Posyandu pada tingkat ini sudah dapat melakukan kegiatan secara teratur, cakupan 5 program utama sudah bagus, ada program tambahan dan mempunyai dana sehat yang telah menjangkau lebih dari 50% KK. Selain peringkat posyandu yang ada, maka terdapat beberapa indikator yang digunakan sebagai penentu tingkat kemandirian posyandu, yaitu : 59 a. Frekuensi penimbangan pertahun Seharusnya posyandu menyelenggarakan kegiatan setiap bulan, sehingga apabila teratur maka akan ada 12 kali penimbangan setiap tahun. Dalam kenyataannya, tidak semua posyandu dapat melakukan kegiatan setiap bulan, sehingga frekuensinya kurang dari 12 kali setahun, untuk ini diambil batasan 8 kali. Posyandu yang frekuensi penimbangannya kurang dari 8 kali pertahun dianggap masih rawan, sedangkan bila frekuensinya sudah 8 kali lebih dianggap sudah cukup mapan. b. Rata-rata jumlah kader tugas pada hari H posyandu Jumlah kader yang bertugas pada hari H posyandu dapat dijadikan indikasi lancar tidaknya posyandu. Hari H merupakan puncak kegiatan posyandu, oleh karena itu banyaknya kader yang bertugas pada hari itu amat menentukan kelancaran posyandu. Pengalaman selama ini menunjukan bahwa kegiatan di posyandu dapat tertangani dengan baik bila jumlah kader 5 orang atau lebih. Bila kurang dari 5 orang, biasanya kader kewalahan melayani sasaran yang datang ke posyandu. c. Cakupan D/S Cakupan D/S dapat dijadikan sebagai tolok ukur peran serta masyarakat dan aktivitas kader atau tokoh masyarakat dalam menggerakkan masyarakat setempat untuk memanfaatkan posyandu. D/S dianggap baik bila mencapai 50% atau lebih, sedangkan bila kurang dari 50% dapat dikatakan bahwa posyandu ini belum mantap. d. Cakupan imunisasi Cakupan imunisasi dihitung secara kumulatif selama satu tahun. Cakupan kumulatif dianggap baik bila mencapai 50% ke atas, sedangkan bila kurang dari 50% dianggap posyandunya belum mantap. 60 e. Cakupan ibu hamil Cakupan pemeriksaan ibu hamil juga dihitung secara kumulatif selama satu tahun. Batas mantap tidaknya posyandu digunakan angka serupa yaitu 50%. f. Cakupan KB Cakupan peserta KB juga dihitung secara kumulatif selama satu tahun. Pencapaian 50% keatas dikatakan mantap, sedangkan kurang dari 50% berarti belum mantap (Depkes RI, 1997). Berjalannya kegiatan posyandu tidak lepas dari peran kadernya. Walaupun berstatus sukarela, kader posyandu harus memenuhi kriteria: 1) Dipilih dari dan oleh masyarakat setempat yang disetujui dan dibina oleh LKMD. 2) Dalam melaksanakan kegiatan bertanggung jawab pada masyarakat melalui LKMD. 3) Mau dan mampu bekerja secara sukarela. 4) Sebaiknya dapat membaca dan menulis huruf latin. 5) Masih mempunyai cukup waktu untuk bekerja bagi masyarakat disamping usahanya mencari nafkah (Depkas RI, 1987). Kader posyandu bertugas untuk mempersiapkan pelaksanaan kegiatan bulanan di posyandu dengan cara 1) Sehari sebelumnya semua ibu hamil, ibu menyusui, ibu balita diber informasi akan ada kegiatan di posyandu dan mencatat sasaran kegiatan posyandu, 2) Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan seperti meja, dacin, sarung timbangan, Kartu Menuju Sehat, sistem informasi posyandu, oralit dan vitamin A, 3) Pembagian tugas diantara para kader, dibantu ibu-ibu yang lain (Depkes RI, 1994). Partisipasi kader dalam kegiatan posyandu adalah keikutsertaan kader dalam suatu kegiatan kelompok, masyarakat atau pemerintah, yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor: a. Faktor masyarakat pada umumnya (i) Manfaat kegiatan yang dilakukan Jika kegiatan yang diselenggarakan memberikan manfaat yang nyata dan jelas bagi kader, maka 61 kesediaan kader untuk berpartisipasi menjadi lebih besar. (ii) Adanya kesempatan untuk berperan serta Kesediaan berpartisipasi juga dipengaruhi oleh adanya kesempatan atau ajakan untuk berpartisipasi dan kader melihat bahwa memang ada hal-hal yang berguna dalam kegiatan itu. (iii) Memiliki ketrampilan tertentu yang dapat disumbangkan Jika kegiatan yang dilaksanakan membuktikan orang-orang dengan memiliki ketrampilan tertentu, maka hal ini akan menarik bagi orang-orang yang memiliki ketrampilan trsebut untuk ikut berpartisipasi. (iv) Rasa memiliki Rasa memiliki suatu kegiatan akan tumbuh jika sejak awaal kegiatan masyarakat sudah diikutsertakan. Jika rasa memiliki bisa ditumbuhkan dengan baik, maka partisipasi kader dalam kegiatan di desa akan dapat dilestarikan. b. Faktor tokoh masyarakat Jika dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat melihat bahwa tokoh-tokoh masyarakat yang disegani ikut serta, maka mereka akan tertarik juga untuk berpartisipasi c. Faktor petugas Petugas yang memiliki sikap yang baik seperti akrab dengan masyarakat, menunjukan perhatian pada kegiatan masyarakat dan mampu mendekati para tokoh masyarakat untuk berpartisipasi (Depkes RI, 1989). 62 5. Penentuan Status Gizi Penentuan status gizi digunakan untuk memperoleh gambaran status gizi seseorang maupun masyarakat, yang dapat dinilai secara langsung dan tidak langsung. a. Penentuan status gizi secara langsung dapat dinilai melalui pemeriksaan: (i) Antropometri Dilihat secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Sedangkan antropometri ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sendiri secara umum digunakan untuk melihat keseimbangan asupan protein dan energi, sehingga keseimbangannya tergambarkan pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Jenis parameter yang digunakan adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia yaitu, umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit. Antropometri digunakan dalam penentuan status gizi berdasarkan BB/U, TB/U, BB/TB, LLA/U, LLA/TB beserta jenis kelamin, dimana status gizi dinilai berdasarkan pada rujukan WHO-NCHS (Supariasa, 2002). (a) Berat badan menurut umur (BB/U) Berat badan merupakan parameter mengenai masa tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan mendadak karena penyakit infeksi, nafsu makan ataupun jumlah 63 makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan sifat dan karakteristik BB yang mudah berubahubah, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini. Kelebihan penilaian status gizi berdasarkan berat badan menurut umur yaitu, lebih mudah dan lebih cepat, baik untuk mengukur status gizi akut maupun kronis. Sedangkan kelemahannya adalah mengakibatkan interprestasi status gizi yang keliru dan memerlukan data umur yang akurat, sehingga dapat terjadi kesalahan dalam pengukuran oleh karena adanya hambatan sosial. (b) Tinggi badan menurut umur (TB/U) Tinggi badan adalah indeks antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Tinggi badan lebih identik dengan berat badan, karena tinggi badan merupakan masalah yang kurang sensitif terhadap perubahan gizi dalam jangka pendek. Pengaruh zat gizi terhadap tinggi badan dapat terlihat dalam jangka waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik tinggi badan, maka indeks antropometri ini menggambarkan status gizi pada masa lalu. Kelebihan penilaian status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur yaitu, baik untuk menilai status gizi masa lampau, alat ukur panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya adalah, tinggi badan tidak cepat naik, pengukuran relatif sulit dilakukan, karena anak harus berdiri tegak dan ketepatan umur sulit didapat. 64 (c) Berat badan menurut tinggi badan (BB//TB) Berat badan memiliki hubungan secara seimbang dengan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indeks antropometri yang mempengaruhi umur. Dalam keadaan normal seseorang mengalami perkembangan yang searah antara berat badan dengan tinggi badan pada kurun waktu tertentu. Indeks antropometri ini lebih peka digunakan dari pada berdasarkan berat badan menurut umur. Keuntungan penilaian status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan yaitu, tidak memerlukan data umur, dapat membedakan proporsi badan. Sedangkan kelemahannya adalah, tidak dapat memberikan gambaran perkembangan status gizi masa lalu. Dalam paktek sering mengalami kesulitan oleh karena membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih lama dan membutuhkan dua orang untuk melakukannya serta sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran bila dilakukan oleh bukan tenaga profesional. (d) Lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U) Lingkar lengan atas merupakan gambaran keadaan jaringan otot dan jaringan lemak dibawah kulit seseorang. LILA hampir memiliki sifat yang sama dengan berat badan, yang memiliki sifat lebih labil dan dapat berubahubah, sehingga pengukuran indeks antropometri menggunakan LILA sulit untuk melihat perkembangan anak. Keuntungannya adalah, merupakan indikator yang baik untuk menilai KEP (kurang energi protein) berat, alat ukur murah dan dapat dibuat sendiri serta alat dapat 65 diberi kode warna untuk menentukan tingkat keadaan gizi. Sedangkan kelemahannya yaitu hanya mengidentifikasi anak dengan KEP berat, sulit menentukan ambang batas, sulit digunakan untuk menilai pertumbuhan anak umur 2 sampai dengan 5 tahun. (ii) Klinis Penentuan status gizi melalui pemeriksaan klinis didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi dengan ketidak cukupan zat gizi seperti pada jaringan epitel kulit, mata, rambut, mukosa mulut atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid). (iii) Biokimia Penilaian status gizi secara biokimia adalah menggunakan pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah dan dapat dipakai untuk menolong dalam menentukan kekurangan gizi yang spesifik. Bahan yang dipakai dalam pemeriksaan ini dapat berupa darah, urin , faeces maupun jaringan lainnya. (iv) Biofisik Biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi sistem tubuh, misalnya sistem kardiovaskular, respirasi dan fungsi indera penglihatan. 66 b. Penentuan status gizi secara tidak langsung, yaitu melalui : (i) Survei konsumsi makanan Pada dasarnya metode ini adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penggunaan survei konsumsi makanan digunakan untuk memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu, serta survei tersebut dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi. Ada dua metode yang berkaitan dengan jenis data yang diperoleh, yaitu metode kuantitatif (food frequency, dietary history, food list, metode telepon) dan metode kualitatif (food fecall, estimated food records, food weighing, food account, inventory method dan household food records). Khusus untuk food recall dilakukan selama 24 jam, sebaiknya dilakukan berulang-ulang, minimum dua kali recall 24 jam dan harinya tidak berturut-turut supaya dapat menggambarkan kebiasaan makan individu. Pada penelitian ini food recall dilakukan untuk tiga hari yang telah dilampaui secara berturut-turut. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan informan akan lebih mudah mengingatnya dan minimum dua kali recall 24 jam dengan hari yang tidak berturutan pun terpenuhi. Recall pada penelitian ini dilakukan pada balita yang berumur satu sampai dengan dua tahun agar mendapatkan data konsumsi makanan yang lebih bervariasi. (ii) Statistik vital Pengukuran status gizi dengan menggunakan statistik vital digunakan untuk menganalisis data 67 statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tertentu dan data lain yang berhubungan dengan gizi. Statistik vital dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat. (iii) Penilaian faktor ekologi Penilaian tentang gambaran faktor ekologi dapat digunakan untuk penentuan status gizi masyarakat, oleh karena malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah dan macam makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim tanah dan irigasi. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Supariasa, 2002). E. Perilaku Jajan Dipandang dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakikatnya ialah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya, sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati dari luar (Notoatmodjo, 2007). 68 Respon merupakan perilaku yang dapat bersifat pasif atau tidak dapat diamati dari luar seperti berfikir, berpendapat, dan bersikap, maupun respon yang bersifat aktif yang dapat diamati yaitu melakukan tindakan. Sesuai batasan ini, perilaku kesehatan dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan (Sarwono, 1997). Depkes (2000), merumuskan perilaku sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berperan dalam gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku konsumsi makan yang menunjang status gizi, merupakan salah satu perilaku sehat. Menurut Susanto (1993), perilaku konsumsi makan atau gizi dipengaruhi oleh wawasan atau cara pandang seseorang atau satu keluarga terhadap ancaman rasa lapar atau kurang gizi. Wawasan ini erat berkaitan dengan pengetahuan dan sikap mental (emosi dan kesungguhan), baik berasal dari proses sosialisasi dalam sistem sosial keluarga yang dilakukan melalui proses pendidikan, maupun sebagai dampak penyebaran informasi. Perilaku sehat termasuk juga perilaku konsumsi makan yang berhubungan dengan kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yaitu: 1. Faktor predisposisi, mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, demografi dan unsurunsur lain yang terdapat dalam diri individu maupun masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. 2. Faktor pendukung, ialah sumber daya atau potensi masyarakat serta kemudahan atau fasilitas. 3. Faktor pendorong, yaitu sikap dan perilaku orang lain (panutan), misalnya sikap orang tua, guru, teman sebaya, suami, tokoh masyarakat atau petugas kesehatan ( Notoatmodjo, 2007). 69 Menurut Sanjur (1982), konsumsi makan seseorang juga ditentukan dari pilihan terhadap makanan yang merupakan tingkat (derajat) kesukaan atau ketidaksukaan seseorang terhadap makanan. Faktor yang mempengaruhi pilihan terhadap makanan adalah: (1) Karakteristik makanan, setiap orang memiliki pilihan terhadap makanannya sendiri-sendiri, misalnya beberapa orang lebih memilih makanan kentang goreng dari pada kentang panggang atau beberapa lebih memilih makan nasi daripada makan roti. (2) Karakteristik individu, yang memepengaruhi pilihan terhadap makanan. Karakteristik tersebut dapat berupa umur, jenis kelamin, pendapatan, tingkat pendidikan, orientasi terhadap kesehatan dan status kesehatan. (3) Karakteristik lingkungan, seperti musim, lokasi geografis, tempat asal dan derajat urbanisasi. Menurut Gibney (2009), pemilihan makananan pada manusia melibatkan banyak interaksi kompleks yang mencakup berbagai bidang, mulai dari mekanisme biologis pengendalian selera makan, psikologi perilaku makan, nilai-nilai sosial dan budaya, sampai berbagai upaya kesehatan masyarakat dan komersial untuk mengubah asupan makanan pada populasi tertentu. Pengalaman dalam perjalanan hidup seseorang akan mempengaruhi faktor-faktor utama yang berpengaruh juga terhadap pemilihan makanan. Faktor-faktor tersebut mencakup idealisme, faktor personal, sumber daya, konteks sosial dan konteks makanan. Pada umumnya perilaku makan yang sering menjadi masalah adalah kebiasaan makan di kantin , di warung sekitar sekolah atau kebiasaan jajan. Menurut Susanto (1993), yang mengamati mengapa anak-anak senang jajan di sekolah, menemukan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Anak tidak sempat makan pagi di rumah, keadaan ini berkaitan dengan kesibukan ibu yang tidak sempat menyiapkan makanan. 70 2. Anak tidak ada nafsu makan dan lebih suka jajan dari pada makan di rumah. 3. Anak dengan alasan psikologis, jika anak tidak jajan di sekolah ia merasa tidak mempunyai kawan, gengsi dan merasa malu. 4. Anak tidak sempat disiapkan makanan untuk bekal di sekolah oleh ibunya. 5. Anak biasanya mendapat uang saku dari orang tua 6. Anak masih memerlukan kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Walaupun di rumah sudah makan, tetapi tambahan makanan dari jajanan tetap masih diperlukan oleh anak karena kegiatan fisik di sekolah yang memerlukan tambahan energi. Kebiasaan jajan merupakan kegiatan membeli makanan jajan meliputi jenis, frekuensi, dan jumlah kandungan zat gizi dari makanan jajanan setiap hari. Selain kebiasaan makan, makanan jajanan mempunyai beberapa fungsi antara lain: 1. Bagi anak sekolah, ada kalanya makanan jajanan dapat berfungsi sebagai sarapan pagi. 2. Bagi segolongan orang, makanan jajanan dapat berfungsi sebagai makanan selingan yang dimakan diantara makanan utama. 3. Bagi penjaja makanan, makanan jajanan juga mempunyai fungsi sosial ekonomi yang penting, dalam artian pengembangan usaha makanan jajanan. 4. Bagi Konsumen tertentu, makanan jajanan memberikan kontribusi gizi yang nyata terhadap kelompok konsumen misalnya pelajar yang tidak sempat makan di rumah atau sebab lain. Peranan makanan jajanan dalam menyumbangkan energi atau zat tenaga dan protein sangat berarti. Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima atau street food menurut FAO didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima 71 di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. Jajanan kaki lima dapat menjawab tantangan masyarakat terhadap makanan yang murah, mudah, menarik dan bervariasi (Judarwanto 2006). Hal ini juga diungkapkan Winarno (1997), perihal makanan jajanan yang juga dikenal sebagai street food, adalah jenis makanan yang dijual dikaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Penelitian tentang makanan jajanan atau sering juga disebut makanan jalanan yang dilakukan di Asia, Afrika dan Amerika Latin, memperoleh kesimpulan bahwa pembelian makanan jalanan akan menurun seiring dengan naiknya pendapatan. Sedangkan penelitian-penelitian sejenis lainnya adalah sebagai berikut: 1) Di Yunani, dimana fokus penelitian adalah pada perspektif persiapan, pemasakan, dan polusi lingkungan, maka didapatkan hasil penelitian sebagai berikut: (1) adanya debu yang mengandung logam berat yang mencemari makanan, (2) para penjaja makanan memperoleh penghasilan diatas upah minimum dan (3) makanan tersebut dibeli dengan pertimbangan rasa dan kepraktisan bukan karena nilai gizinya. 2) Di Amerika, hasil penelitian mendapatkan bahwa makanan jajanan sama bahayanya dengan makanan komersial lainnya, karena daging sapi, babi dan ayam yang dijual secara komersialpun dilaporkan menjadi banyak sumber kasus keracunan. Pedagang jalanan di New York yang kebanyakan adalah laki-laki menjajakan dagangannya tanpa ijin dan kelayakan. Dilain pihak makanan jalanan biasanya dibeli karena rasa, aroma, harganya murah, tampilan yang menarik dan praktis. 3) Penelitian makanan jajanan di Afrika, memfokuskan pada penyediaan es batu yang dicampur dalam minuman, dimana sumber air yang digunakan tidak jelas sehingga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan. 4) Sementara itu di Mexico, penelitian tentang makanan jalanan yang berupa ”Tortila Jagung”, merupakan makanan yang 72 dikonsumsi secara rutin setiap hari. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat bawah telah memiliki kekebalan tubuh terhadap bakteri patogen yang mungkin ada di dalamnya. Resiko tinggi justru diderita oleh kalangan atas atau para turis yang hanya sekali-kali saja mengkonsumsinya. 5) Penelitian lainnya menyatakan bahwa tradisi makan di depan umum di Israel yang sudah berjalan sejak tahun 1940 berangsur-angsur menghilang, karena bertentangan dengan agama dan budaya. Tradisi makan berubah menjadi makan makanan jajanan yang dikenal sebagai makanan rakyat dan dijual melalui bazar, tempat hiburan, pekan raya, even olahraga dan vending machine ( Simopoulos and Bhat, 2000). Makanan jajanan atau makanan jalanan banyak dikonsumsi dibelahan dunia manapun, baik sebagai makanan utama maupun makanan selingan, yang memberikan energi dan nutrisi yang signifikan. Dikonsumsi oleh semua kalangan, kaya atau miskin, namun nilai gizi dan nutrisinya seringkali diabaikan oleh para ahli. Makanan jalanan juga berpotensi terkontaminasi timbal dan logam berat lain akibat angin di jalanan dan debu membawa bakteri yang mencemari makanan, bahaya lain berasal dari bahan makanan itu sendiri bila tidak higienis. Makanan jajanan banyak sekali jenisnya dan sangat bervariasi dalam bentuk, keperluan dan harga, serta pada umumnya dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1. Makanan utama atau main dish contohnya nasi rames, nasi rawon, nasi pecel dan sebagainya. 2. Penganan atau snacks contohnya kue-kue, onde-onde, pisang goreng dan sejenisnya. 3. Minuman contohnya es teler, es buah, teh, kopi, dawet dan lain sebagainya. 4. Buah-buahan segar (Winarno, 1997). 73 Menurut Widya Karya Pangan dan Gizi Nasional (1993), jenis makanan jajanan dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu: 1. Makanan jajanan yang berbentuk, misalnya kue-kue kecil, pisang goreng, kue putu dan sebagainya. 2. Makanan jajanan yang diporsi, misalnya pecel, mie bakso dan sebagainya. 3. Makanan jajanan dalam bentuk minuman seperti es krim, es sirup dan sebagainya. Menurut Notoatmodjo (2007), banyak hal yang berhubungan dengan perilaku makan, termasuk makan makanan jajan, yang berkaitan dengan makanan dan minuman dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang. Sebaliknya makanan juga dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut. Hampir semua kalangan di Indonesia, baik anak sekolah, orang kantoran di kota besar, apalagi yang dipedesaan, rata-rata sudah tercemar oleh beragam bahan kimiawi berbahaya dalam makanan, kudapan atau penganan jajanan mereka. Melihat kondisi seperti itu, semakin murah meriah suatu jajanan, boleh disimpulkan semakin besar beresiko membahayakan kesehatan (Nadesul, 2006). Seringkali anak-anak tertarik dengan jajanan dipinggir jalan hanya karena warnanya yang menarik, rasanya yang menggugah selera, serta harganya yang terjangkau. Makanan ringan, sirup, bakso, mie ayam dan sebagainya menjadi makanan jajanan sehari-hari anak-anak. Padahal makanan seperti ini belum tentu memenuhi standar gizi, bahkan seringkali makanan jajanan seperti ini mengandung zatzat tambahan yang dapat merusak kesehatan (Hermanto, 2006). Bahaya makanan jajanan, umumnya bisa muncul untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka pendek dapat berupa keracunan makanan oleh karena tercemar 74 mikroorganisme, parasit atau bahan racun kimiawi (pestisida). Muntah dan diare sehabis mengkonsumsi jajanan paling sering ditemukan. Bahaya jangka panjang dari jajanan yang tidak menyehatkan dapat terjadi , misalnya apabila bahan tambahan dalam makanan dan minuman bersifat pemantik kanker atau bila jajanan tercemar cacing (Nadesul, 2006). 75 76