BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL 2.1. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang Dilakukan oleh Mantan Presiden Laurent Gbagbo di Pantai Gading Kejahatan terhadap kemanusiaan kerap kali terjadi di berbagai negara dengan tidak melihat sasaran dari kejahatan tersebut misalnya penduduk sipil atau militer. Tindakan ini dianggap menakutkan dan menyeramkan bagi masyarakat internasional. Dalam hal ini ada beberapa kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi, salah satunya adalah kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Mantan Presiden Laurent Gbagbo di Pantai Gading pada tahun 2010. 2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Konsep Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul pada tahun 1915 untuk menggambarkan suatu kejahatan luar biasa berupa pembunuhan besar-besaran di Kerajaan Ottoman. Pada saat itu muncul permasalahan yuridis berhubungan dengan berlakunya asas non-retroaktif dalam hukum pidana dimana asas tersebut tidak memungkinkan mengadili suatu tindak pidana yang mana tindak pidana tersebut belum ada hukum yang mengatur. 1 Pada tanggal 28 Mei 1915 pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia memutuskan untuk melakukan deklarasi terakit kasus pembunuhan massal terhadap orang-orang Armenia di Kerajaan Ottoman. Deklarasi bersama tiga negara tersebut melahirkan istilah kejahatan terhadap kemanusiaan, namun istilah tersebut hanya mendapatkan perhatian jangka pendek 1 I Made Pasek Diantha, 2014, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 165 dalam menyelesaikan permasalahan politik, Hal ini terlihat setelah deklarasi tersebut yang tidak ada upaya yang konkret dari deklarasi bersama tersebut. 2 Pada tahun 1945 perdebatan mengenai pemberlakuan asas retroaktif kembali terjadi ketika dilakukannya pembahasan mengenai rancangan Statuta Pengadilan Nuremberg. Akhirnya perdebatan tersebut diakhiri dengan penerimaan asas retroaktif dalam pemberlakuannya yurisdiksi material. 3 Perkembangan paling siginifikan mengenai konsep kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi di awal era tahun 1990-an ketika dilakukan pembentukan ICTY, ICTR, dan ICC. Mengenai pengaturan dan yurisdiksi lembaga-lembaga tersebut akan dibahas pada subbab 2.1.2 dan Bab III. 2.1.2. Pengaturan dan Jenis- Jenis Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di era pasca Perang Dunia II, pengaturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg Pasal 6 (c) yang memberikan penjelasan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai berikut: “Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan”. 4 Selanjutnya, Pasal 5 huruf c International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) atau yang dikenal dengan Tokyo Tribunal menyatakan bahwa: “Yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras, sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk 2 Tolib Effendi, 2014, Hukum Pidana Internasional, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 100. William A. Schabas, 2011, An Introduction to International Criminal Court, dalam I Made Pasek Diantha, 2014, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 165 4 Anis Widyawati, Op.Cit., h. 93. 3 kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak.” Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Konvensi tentang Ketidakberlakuan Pembatasan Aturan Hukum untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2392 (XXIII), 26 November 1968, tercantum dalam Pasal 1 (b) yang mengatakan bahwa: “Kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dalam waktu perang maupun dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan resolusiresolusi Majelis Umum PBB, 3 (1) 13 Februari 1946 dan 95 (1) 11 Desember 1946, pengusiran dengan bersenjata, atau pendudukan dan apartheid dan kejahatan genosida, seperti didefinisikan dalam Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap hukum domestik dari negara tempat kejahatankejahatan dilakukan”. 5 Kejahatan terhadap Kemanusiaan juga diatur dalam statuta lainnya yaitu, ICTY (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia), ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan Statuta Roma 1998. Pasal 5 Statuta ICTY, tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan mengatakan bahwa: “pengadilan Internasional memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan selama konflik bersenjata berlangsung, yang bersifat internasional mauoun internal dan ditujukan langsung terhadap penduduk sipil: a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pendeportasian; e. Penahanan; f. Penyiksaan; g. Pemerkosaan; h. Penindasan berdasarkan politik, ras dan agama; i. Tindakan tidak manusiawi lainnya.” 6 5 6 Eddy Omar Sharif Hiariej, 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, h. 38. Tolib Effendi, Op.Cit., h. 102. Pengaturan yang paling lengkap mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Statuta Roma 1998. Secara substantif isi dari statuta ini hampir sama dengan dua statuta sebelumnya, namun dalam Statuta ini pengaturan mengenai Kejahatan terhadap Kemanusiaan lebih diperjelas dan lengkap. Di dalam Statuta Roma 1998 Kejahatan terhadap Kemanusiaan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) mengatur mengenai jenis-jenis perbuatan yang termasuk dalam kualifikasi Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Penjelasan mengenai jenis-jenis kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut terdapat dalam Pasal 7 ayat (2), yaitu: 7 (a) Serangan yang terdiri dari tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut. (b) Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk diantaranya penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja, antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan, yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk; (c) Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang, termasuk tindakan mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak; (d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lainnya dari tempat dimana penduduk tersebut secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional; (e) Penyiksaan diartikan tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan dibawah kekuasaan pelaku. Kecuali itu, bahwa penyiksaan tersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya muncul secara inheren atau incidental dari pengenaan sanksi yang sah; (f) Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud memengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau merupakan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional terkait kehamilan; (g) Penindasan diartikan penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak-hak dasar dengan cara bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas sebuah kelompok atau kolektif; (h) Kejahatan apartheid diartikan tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan tindakan-tindakan yang disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam konteks penindasan sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan 7 Tolib Effendi, Op.Cit., h. 104. dominasi satu kelompok ras tertentu dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim tesebut; 8 (i) Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama; Dalam Pasal 7 ayat (3) Statuta Roma dijelaskan mengenai istilah gender yang merujuk pada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat. 2.1.3. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Suatu Tindak Pidana Internasional Hukum pidana internasional adalah sekumpulan aturan hukum internasional yang melarang kejahatan-kejahatan internasional dan membebankan kewajiban kepada negaranegara untuk menuntut dan menghukum sekurang-kurangnya beberapa bagian dari kejahatankejahatan itu. 9 Di dalamnya juga mengatur prosedur untuk menuntut dan mengadili orangorang yang dituduh melakukan kejahatan itu. 10 Adapun hukum pidana internasional dalam arti kata materiel (substansial) yang disebutkan oleh G. Schwarzenberger yang dikutip oleh R. Atmasasmita yang terdiri dari ketentuan-ketentuan internasional yang ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan “de iure gentium” yaitu piracy, agresi, kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, narkotika, dll. 11 Menurut penulis kejahatan agresi, kejahatan perang, genosida, kejahatan tehadap kemanusiaan adalah materi hukum pidana internasional yang sebenarnya karena pada tingkat terakhir para pelakunya dapat diadili pada pengadilan pidana internasional yang dibentuk oleh PBB atau oleh kumpulan besar negaranegara anggota PBB. 8 Ketentuan mengenai Apartheid dapat dilihat secara lebih rinci dalam dokumen International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid, yang diterima Majelis Umum PBB dengan Resolusi Nomor 3068 (XXVIII) tahun 1973. Lihat Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. h. 64 9 Antonio Cassese, 2006, dalam I Made Pasek Diantha, 2014, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 1 10 Ibid. 11 I Made Pasek Diantha, 2014, , Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 6. Manurut Bassiouni dalam Barda Nawawi Arief kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki pengertian yang sistematis dan meluas. Sistematis tersebut memiliki arti bahwa adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku di luar negara. Sedangkan meluas juga merujuk pada maksud dari sistematik, akan tetapi untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau sasaran (targetnya) secara acak. Korban tersebut memiliki karakteristik tertentu misalnya agama, politik, ras, etnik, atau gender. 12 Hukum pidana internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut bersifat tertulis dan terkodifikasi di dalam aturan hukum yaitu hukum positif. Selain yang dimaksudkan dalam kebiasaan dan prinsip hukum umum, kejahatan terhadap kemanusiaan juga sudah diterima dalam perjanjian internasional yaitu Statuta Roma 1998 dan juga dengan terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Terdapat beberapa prinsip dasar yang dimiliki dalam mengatur mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain: 13 1. Prinsip Tidak Berlaku Surut (Non Retroactive) dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Adapun prinsip Non Retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku surut untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan alasan-alasan sebagai berikut: - Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber tersebut, pelaku kejahatan yang melakukan suatu tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secara commissioner maupun ommisioner dapat dihukum secara retroaktif. 12 13 Anis Widyawati, 2014, Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta Timur, h. 94. Anis Widyawati, Ibid. h. 96 - Pasal 15 (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) memungkinkan pengecualian atas asas non retroaktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan menurut prinsip-prinsip umum. 2. Pertanggungjawaban Komando (commander responsibility) Prinsip ini diberlakukan bagi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dengan melakukan penuntutan kepada penanggung jawab komando. Secara konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas perbuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada di bawah kendalinya untuk melakukan perbuatan yang salah satu atau beberapa perbuatannya merupakan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan (by commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun terhadap pasukan dibawahnya (by omission). 14 3. Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) Pengaturan mengenai prinsip praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 66 Statuta Roma tahun 1998. Prinsip ini mengharuskan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang meyakinkan bahwa perbuatan yang terjadi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dengan berbagai alat bukti yang diajukan ke dalam persidangan. 2.1.4. Tindakan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang Dilakukan oleh Mantan Presiden Laurent Gbagbo Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma 1998 disebutkan tindakan-tindakan yang termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Beberapa tindakan tersebut telah terjadi pada konflik tahun 2010 yang dilakukan oleh Mantan Presiden Pantai Gading Laurent 14 Ibid. Gbagbo di wilayah tersebut. Tindakan tersebut diawali dengan kekalahan Laurent Gbagbo dalam pemilu yang memicu kemarahan pasukan Gabgbo yang menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan kekerasan kepada penduduk sipil dan para penduduk Allasane Outtarra. Adapun tindakan kekerasan tersebut antara lain pembunuhan, pemerkosaan, tindak kekerasan yang diarahkan langsung kepada masyarakat yang sedang melakukan aksi demonstrasi yang menewaskan banyak warga sipil, penghilangan sejumlah pasukan pendukung Outtara, dan juga penyiksaan. ICC menemukan indikasi bahwa kubu Gbagbo membayar dan mempersenjatai sekitar 4,500 milisi, termasuk yang didatangkan dari negara tetangga, Liberia. 2.2. Penegakan Hak Asasi Manusia Internasional Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang dibawa sejak lahir oleh setiap manusia, hak tersebut tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap dan setiap orang berhak untuk menjalankan kehidupan dan apa yang di kehendakinya selama tidak melanggar norma dan tata nilai dalam masyarakat. 15 Setiap orang memiliki harkat dan martabat yang sama antara yang satu dengan yang lainnya dan hak-hak tersebut wajib untuk dilindungi. Adapun teori-teori perjanjian yang pada intinya mengamanahkan adanya perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara yang harus dijamin oleh negara, bentuk jaminan tersebut tertuang dalam konstitusi suatu negara maupun perjanjian bernegara. Dalam teori perjanjian negara terdapat adanya Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis. Pactum Subjectionis merupakan perjanjian antara inividu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk suatu negara, sedangkan Pactum Unionis adalah perjanjian antar warga negara dengan penguasa yang dipilih oleh warga Negara tersebut untuk 15 Artikel, Pengertian HAM atau Hak Asasi Manusia (Human Rights) , URL: https://www.academia.edu/7931028/Pengertian_HAM_atau_Hak_Asasi_Manusia_Human_Rights_Pengertian_HAM _atau_Hak_Asasi_Manusia_Human_Rights , diakses pada tanggal: 12 Maret 2015. membentuk suatu negara. Pada intinya teori tersebut mengamanahkan adanya perlindungan HAM warganegara yang harus diajamin oleh penguasa. 2.2.1. Hukum Hak Asasi Manusia Internasional Sebagai Cabang dari Hukum Internasional Secara internasional, HAM termasuk ke dalam sistem hukum internasional yang dibentuk oleh masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara. Negara mempunyai peranan penting dalam membentuk sistem hukum tersebut melalui praktik umum negaranegara secara konsisten dan berulang-ulang yang dirasa sangat urgen karena adanya suatu kebutuhan, melalui perjanjian internasional, maupun deklarasi. Kemudian negara menyatakan persetujuannya dan terikat pada hukum internasional tersebut. HAM yang dilindungi dapat berupa individu, kelompok atau harta benda. Negara atau pejabat negara sebagai bagian dari negara mempunyai kewajiban dalam lingkup internasional untuk melindungi warga negara beserta harta bendanya. 16 Hak asasi manusia yang dirujuk saat ini adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak berakhirnya Perang Dunia II yang tidak mengenal batasan-batasan kenegaraan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah negara-negara tidak dapat menolak untuk melindungi hak asasi manusia warga negaranya ataupun bukan warga negaranya. Maka dari itu setiap negara memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan hak asasi manusia yang terdapat pada yurisdiksi Negara masing-masing termasuk hak asasi manusia yang bukan warga negaranya. 17 Atas dasar tersebut maka HAM menjadi bagian dari kajian hukum internasional, yang menyebabkan komunitas internasional memiliki kepedulian terhadap isu-isu mengenai hak asasi manusia secara domestik maupun internasional. Peran komunitas internasional dalam 16 17 Ibid. Ibid. hal pemenuhan hak asasi manusia sangat penting dimana komunitas internasional tersebut merupakan salah satu mekanisme pertahanan dan perlindungan pada hak asasi manusia setiap individu terhadap kekuasaan negara yang kerap kali disalahgunakan. 1.2.2. Ruang Lingkup Hukum Hak Asasi Manusia Internasional Hak asasi manusia (HAM) memiliki ruang lingkup yang luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Ruang lingkup HAM mencakup apa yang tercantum dalam dokumen atau instrumen HAM dan meliputi fungsi lembaga internasional di bidang HAM. Ruang lingkup berdasarkan dokumen atau instrumen HAM biasanya tercantum dalam sebuah konvensi ataupun deklarasi. Ruang lingkup HAM terdapat dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini, tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Selanjutnya, pembedaan ini tidak dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum nasional atau internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, apakah itu independen, kepercayaan, non-pemerintahan sendiri, atau berada di bawah batasan kedaulatan. 18 Ruang lingkup berdasarkan Lembaga Internasional HAM mencakup Treaty Based Body dan Charter Based Body. Pertama, Charter Based Body mencakup institusi-institusi yang pembentukannya secara langsung merupakan amanat dari Piagam. 19 Institusi-institusi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Komisi HAM PBB atau Dewan HAM PBB dan 18 Artikel, The Universal Declaration of Human Rights, URL: http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml#a26, diakses pada tanggal: 13 Maret 2015. 19 Pranoto Iskandar, 2012, Hukum Hak Asasi Manusia Internasional : Sebuah Pengantar Kontekstual, IMR Press, Jakarta, h.338. Komisi Status Perempuan yang memiliki otorisasi dari institusi yang membentuknya secara langsung dari Piagam yang dalam hal ini adalah ECOSOC. 20 Kedua, Treaty Based Body adalah organ- organ yang pembentukannya didasarkan pada konvensi HAM tertentu. Misal, IESCR yang pembentukannya didasarkan ICESCR. Charter Based Body memiliki ruang lingkup kewenangan yang sangat luas terhadap berbagai permasalahan HAM di dunia. Tetapi pada dasarnya keputusan mereka tidak memiliki kekuatan mengikat atau memaksa. Sedangkan Treaty Based Body memiliki ruang lingkup yang terbatas. Atau dengan kata lain hanya berwenang terhadap para negara-negara peserta konvensi dimana institusi tersebut bernaung. Tetapi dibalik itu keputusan organorgan ini memiliki kekuatan mengikat yang lebih mengikat terhadap para peserta-peserta konvensi. 21 1.2.3. Pengaturan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional Pasca Perang Dunia II, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (Commission of Human Rights) yang menghasilkan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi A/RES/217. Sekitar separuh abad kemudian, Majelis Umum PBB membentuk Dewan Hak Asasi Manusia melalui Resolusi A/RES/60/251 di tahun 2006. Dalam perkembangannya, ada sejumlah perjanjian internasional di bidang HAM yang telah dihasilkan, yaitu: a. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). b. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights). 20 21 Pasal 28 ICCPR yang berbunyi “there shall be established a Human Rights Committe…..” Loc.cit, h. 339. c. Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide). d. Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). e. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination). f. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women). g. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). h. Konvensi Mengenai Status Pengungsi (The Convention Relating to the Status of Refugee). 1.2.4. Penegakan Hukum HAM Internasional dalam Konsep dan Praktek HAM termasuk ke dalam sistem hukum internasional yang dibentuk oleh masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara. Negara mempunyai peranan penting dalam membentuk sistem hukum tersebut melalui kebiasaan, perjanjian internasional, atau bentuk lainnya seperti deklarasi maupun petunjuk teknis. Kemudian negara menyatakan persetujuannya dan terikat pada hukum internasional tersebut. Menurut Jimmly Asshidiqie persoalan HAM tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal tapi juga dalam hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal misalnya antar kelompok masyarakat, antar golongan rakyat atau golongan masyarakat, antar suatu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain. 22 Dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara anggota diundang untuk melakukan persiapan dan negosiasi terkait dengan pembentukan standar HAM internasional. Hal tersebut dilakukan untuk mengakomodasi semua pandangan-pandangan negara-negara anggota dalam sebuah perjanjian atau deklarasi. 23 Piagam PBB pada dasarnya mengandung sejumlah kaidah hukum HAM yang meletakkan sejumlah kewajiban yang bersifat mengikat setiap negara anggota. Ketentuan yang mengatur, antara lain, terdapat di dalam Pasal 55 (c) “universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion.”(penghormatan menyeluruh atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan tanpa perbedaan ras, jenis kelamin,bahasa atau agama.) Berkaitan dengan pasal tersebut maka negara-negara anggota PBB memiliki kewjiban untuk menegakkan HAM sebagaimana yang diatur dalam pasal di atas. Namun, apabila suatu negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban tersebut maka dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB dan secara tegas akan dikenakkan sanksi terhadap pelanggaran tersebut. 24 Adapun lembaga Internasional yang berwenang untuk menangani persoalan kejahatan Internasional ialah: 25 22 Artikel, Hukum dan Hak Asasi Manusia, URL: https://www.academia.edu/6432078/Catatan_Kuliah_-_Hukum_Internasional, diakses pada tanggal: 17 Maret 2015. 23 Ibid. Ibid. 25 Ibid. 24 1. Mahkamah Internasional di Den Haag yang berwenang untuk mengadili perkara hukum yang di persengketakan antarnegara dan memberikan pertimbangan hukum atas berbagai kasus yang diserahkan kepadanya. 2. Mahkamah Militer Internasional yang bertugas untuk mengadili tindak kejahatan perang. 3. Mahkamah Pidana Internasional yang bertugas untuk mengadili tindak kejahatan kemanusiaan dan memutus rantai kekebalan hukum.