18 18 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan

advertisement
18
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ex post facto
a. Pengertian Asas Retroaktif
Dalam istilah hukum, retroaktif atau berlaku surut (Bahasa Latin: ex post
facto yang berarti "dari sesuatu yang dilakukan setelahnya"), adalah suatu
hukum yang mengubah konsekuensi hukum terhadap tindakan yang dilakukan
atau status hukum fakta-fakta dan hubungan yang ada sebelum suatu hukum
diberlakukan atau diundangkan. Dalam kaitannya dengan hukum kriminal,
hukum retroaktif dapat diterapkan pada suatu tindakan yang legal atau memiliki
hukuman yang lebih ringan sewaktu dilakukan.Penerapan hukum ini dapat
mengubah aturan bukti-bukti yang ditemukan untuk memperbesar kemungkinan
pemberian hukuman pada seorang terdakwa. Sebaliknya, penerapan hukum
jenis ini dapat pula mengurangi atau bahkan membebaskan seorang terhukum.
(Wikipedia, htttp://id.wikipedia.org/wiki/retroaktif).
Prinsip berlakunya asas non retroaktif adalah menjamin kepastian hukum,
namun ada sisi lain dari tujuan hukum yang juga sangat penting yaitu keadilan.
Untuk mencapai suatu keadilan, maka kepastian hukum kadang perlu
dikecualikan, dan hal ini telah dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2)
yang menyatakan “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan
yang paling menguntungkan”.
Untuk memberlakukan asas retroaktif menurut Pasal 1 ayat (2) harus
memenuhi 3 syarat, yakni:
1) harus ada perubahan perundang-undangan mengenai suatu perbuatan;
Mengenai pengertian perundang-undangan yang berubah dikenal
ada 3 pandangan yakni:
a) Paham formil
18
19
Menurut pandangan paham formil, perubahan perundangundangan itu adalah terbatas pada perubahan redaksi rumusan suatu
ketentuan dalam perundangan hukum pidana saja, dan tidak termasuk
perubahan dalam perundangan diluar hukum pidana. Pandangan ini
disebut juga dengan pandangan sempit.
b) Paham materiil terbatas
Menurut
pandangan
materiil
terbatas,
bahwa
perubahan
perundangan yang dimaksud ayat (2) adalah berupa perubahan
keyakinan hukum pembentuk Undang-Undang. Sedangkan perubahan
pandangan karena keadaan-keadaan atau zaman tidak termasuk
kedalam pengertian perubahan perundang-undangan menurut ayat (2).
Jadi, menurut pandangan ini bukan hanya perubahan perundangundangan dalam bidang hukum pidana saja, tetapi lebih luas karena
perubahan keyakinan hukum pembentuk Undang-Undang akibat dari
adanya perubahan kesadaran hukum masyarakat juga masuk dalam
pengertian perubahan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP.
c) Paham materiil tidak terbatas
Menurut Paham materiil tidak terbatas, bahwa yang dimaksud
perubahan perundang-undangan adalah juga termasuk perubahan yang
disebabkan oleh berubahnya suatu keadaan atau karena zaman/waktu
yang mempengaruhi hukum pidana.
2) perubahan itu terjadi adalah setelah perbuatan dilakukan;
3) dimana
peraturan
yang
baru
itu
lebih
menguntungkan
atau
meringankan bagi pelaku perbuatan itu.
Undang-Undang tidak memberikan keterangan yang lebih jelas dan
sempurna
mengenai
kalimat
lebih
menguntungkan
atau
lebih
meringankan terdakwa dalam Pasal 1 ayat (2). Menurut Prof. Sudarto
sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi dalam buku Pelajaran Hukum
20
Pidana Bagian I, mengatakan bahwa “pengertian paling ringan harus
diartikan seluas-luasnya, dan tidak mengenai pidananya saja melainkan
mengenai segala sesuatunya dari peraturan itu yang mempunyai
pengaruh terhadap penilaian sesuatu tindak pidana.
Dalam berbagai pandangan para ahli hukum, dapat disimpulkan bahwa
mengenai apa yang dimaksud dengan lebih meringankan terdakwa ini
antara lain ialah mengenai hal:
a) lebih ringan dalam hal ancaman pidana;
b) lebih ringan dalam hal jenis pidana;
c) lebih ringan dalam hal tenggang daluarsa;
d) pengaduan untuk penuntutan pidana;
e) lebih ringan dalam arti tidak dapat dipidananya perbuatan;
f) lebih ringan dalam arti pertanggungan jawab pidana;
g) lebih ringan dalam hal tidak dapatnya dituntut pidana perbuatan;
h) lebih ringan dalam arti sistem penjatuhan pidananya menjadi
pidana dengan syarat.
Menurut Indriyanto Seno Adji eksistensi asas retroaktif harus memenuhi
kriteria yang rigid dan limitatif, yaitu:
(1) adanya korelasi antara hukum tata negara darurat (staatsnoodrech) dengan hukum pidana, artinya asas retroaktif hanya
dapat diberlakukan apabila negara dalam keadaan darurat
(abnormal) dengan prinsip hukum darurat (abnormal recht),
sehingga eksistensitas retroaktif seharusnya temporer dan dalam
wilayah hukum yang limitatif;
(2) sifat darurat eksistensi asa retroaktif tidak berada dalam keadaan
yang merugikan tersangka atau terdakwa;
(3) tetap memerhatikan asas lex certa, yaitu penempatan substanstif
suatu aturan yang tidak menimbulkan multi-interpretasi sehingga
tidak dijadikan sarana penguasa melakukan abuse of power.
21
b. Asas Retroaktif dalam Instrumen Hukum Internasional
Pengaturan mengenai diperbolehkannnya penerapan asas retroaktif dan
instrumen hukum internasional antara lain:
- Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang
dirumuskan sama, yaitu:
Non-retroactivity of treaties
“Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise
established, its provisions do not bind a party in relation to any act or fact
which took place or any situation which ceased to exist before the date of
the entry into force of the treaty with Respect to that party”.
- Pasal 64 Konvensi Wina 1969
Emergence of a new peremptory norm of general
international law (jus cogens)
“If a new peremptory norm of general international law emerges, any
existing treaty which is in conflict with that norm becomes void and
terminates”.
- Pasal 53 Konvensi Wina 1986
Treaties conflicting with a peremptory norm of general international law
(jus cogens)
“A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a
peremptory norm of general international law. For the purposes of the
present Convention, a peremptory norm of general international law is a
norm accepted and recognized by the international community of States as
a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can
be modified only by a subsequent norm of general international law
having the same character”.
- Pasal 103 Piagam PBB
“In the event of a conflict between the obligations of the Members of the
United Nations under the present Charter and their obligations under any
other international agreement, their obligations under the present Charter
shall prevail”.
22
- Pasal 15 ayat (2) International Covenan on Civil and Political Rights
(ICCPR), telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005.
“ Tidak sesuatu pun dalam Pasal ini yang boleh mengurangi pemeriksaan
atas dan hukuman bagi seseorang karena melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan yang pada saat dilakukan atau tidak dilakukannya,
merupakan kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui oleh
masyarakat bangsa-bangsa”.
c. Pengertian Asas Non Retroaktif
Asas non retroaktif merupakan turunan dari asas legalitas. Asas legalitas
pada hakekatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana
apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur didalam suatu UndangUndang pidana nasional. Selama suatu perbuatan belum atau tidak dinyatakan
sebagai tindak pidana di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan
pidana nasional suatu negara, maka selama itu pula negara tidak dapat
meminta pertanggungjawaban pidana terhadap pelakunya. Dalam arti negatif,
peraturan Undang-Undang tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perbuatanperbuatan yang sama yang terjadi sebelum berlakunya peraturan perundangundangan itu. Asas non retoaktif merupakan lawan dari asas retoaktif, asas ini
dalam hukum pidana Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang merumuskan “Suatu perbuatan tidak
dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada terlebih dahulu”.
Dalam ketentuan Pasal 1 (1) KUHP tersebut ada 3 (tiga) pengertian dasar
dalam asas legalitas yaitu:
1) Ketentuan hukum pidana harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis
Pengertian bahwa Ketentuan hukum pidana harus ditetapkan lebih
dahulu secara tertulis baru kemudian diberlakukan, terdapat dalam
kalimat wettelijk strafbepaling (aturan pidana dalam perundang-
23
undangan). Ketentuan pidana yang tertulis tersebut bukan hanya yang
berbentuk Undang-Undang tetapi juga peraturan perundangan lain
dibawah Undang-Undang. Asas legalitas ini ini berlatar belakang pada
kepastian hukum yang berkaitan dengan perlindungan yang lebih
konkrit terhadap hak-hak warga yang berhadapan dengan kekuasaan
pemerintahan negara. Namun asas ini juga memiliki kelemahan yaitu
hukum pidana menjadi kaku, tidak dapat dengan cepat mengikuti
perkembangan masyarakat.
2) Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak
pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi.
Analogi adalah penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum
(pidana) dengan cara memperluas berlakunya aturan hukum tersebut
dengan mengabstraksikan ratio ketentuan itu sedemikian rupa luasnya
pada kejadian konkrit tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya
tidak masuk kedalam ketentuan itu menjadi masuk kedalam isi atau
pengertian ketentuan hukum tersebut. (Adami Chazawi, 2002: 174).
Analogi dilarang digunakan dalam hukum pidana karena tidak
menjamin kepastian hukum.
3) Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut.
Hukum pidana tidak berlaku surut tetapi berlaku kedepan, artinya
ketika perbuatan dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang
melarang melakukan perbuatan tersebut. Untuk itu maka aturan pidana
harus dibuat dan dipersiapkan serta diberlakukan terlebih dahulu,
barulah dapat dipidana terhadap orang yang melakukan perbuatan
yang sesuai dengan apa yang dilarang dalam aturan itu.
Menurut Profesor Simons merumuskan “strafbaar feit” sebagai “suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu
24
“tindakan yang dapat dihukum”. Alasan dari Profesor Simons bahwa
“strafbaar feit” harus dirumuskan seperti diatas adalah karena:
a) untuk adanya suatu “strafbaar feit” itu disyaratkan bahwa harus
terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh
Undang-Undang,dimana
pelanggaran
terhadap
larangan
atau
kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang
dapat dihukum;
b) agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan didalam
Undang-Undang;
c) setiap “strafbaar feit” sebagai pelanggaran terhadap larangan atau
kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan
suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige
handeling”.
d. Asas Nonretroaktif dalam instrumen HAM internasional
Secara normatif, substansi asas nonretroaktif sebagaimana yang
terkandung pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “suatu perbuatan tidak
dapat dipidana, kecuali berdasarkan perundang-undangan yang telah ada”,
dapat ditemukan dalam Pasal 12 Piagam HAM (UDHR) PBB, yang
membatasi bahwa pemberlakuan surut suatu perundang-undangan (ex post
facto law) tidak diperkenankan apabila hal tersebut :
1)
Pertama, menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu
perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan
perbuatan yang dapat dipidana;
2) Kedua, menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada
hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
25
Pasal 11 ayat (2) Deklarasi Universal
Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran
pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan
suatu pelanggaran pidana menurut Undang-Undang nasional atau
internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak
diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada
hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu
dilakukan.
Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) Deklarasi Universal tersebut sama
seperti rumusan dalam Pasal 15 ayat (1) Konvensi Internasional tentang hakhak sipil dan politik (International Convention on Civil and Political
Rigths/ICCPR), namun dalam kalimat terakhir ditambahkan .....”Jikalau
sesudah dilakukan pelanggaran dikeluarkan ketentuan undang-undang untuk
mengenakan yang lebih ringan, maka si pelanggar harus mendapat manfaat
dari hal demikian”. Tujuan ketentuan ini adalah bahwa tidak seorang pun
boleh dihukum karena suatu perbuatan atas alasan dan prosedur yang tidak
ditetapkan oleh Undang-Undang sebelum perbuatan tersebut berlangsung;
atau tidak boleh dihukum dengan hukuman yang lebih berat daripada yang
biasa diterapkan sebelumnya.
Pasal 27 Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia mengatur:
a) Di waktu perang, malapetaka, atau keadaan darurat lain yang
mengancam kemerdekaan atau keamanan, suatu negara Peserta
boleh mengambil tindakan-tindakan yang melanggar kewajibankewajibannya menurut Konvensi ini sampai sejauh untuk jangka
waktu yang sepenuhnya diperlukan asalkan tindakan-tindakan
tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-keajiban yang lain
menurut hukum internasional, dan tidak melibatkan diskriminasi atas
alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul
sosial.
26
b) Ketentuan yang terdahulu tidak mengizinkan penundaan apa pun
pasal-pasal berikut: Pasal 3 (hak atas pribadi yuridis), Pasal 4 (hak
untuk hidup), Pasal 5 (hak atas perlakuan yang manusiawi), Pasal 6
(bebas dari perbudakan), Pasal 9 (bebas dari Undang-Undang “ex
post facto”), Pasal 12 (kebebasan hati nurani dan agama), Pasal 17
(hak-hak keluarga), Pasal 18 (hak atas suatu nama), Pasal 19 (hakhak anak), Pasal 20 (hak atas kewarganegaraan), dan Pasal 23 (hak
untuk turut serta dalam pemerintahan), atau jaminan-jaminan utama
dari pengadilan untuk perlindungan hak-hak tersebut.
Dalam Statuta Roma 1998 larangan berlakunya asas retroaktif diatur dalam
Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) yang merumuskan sebagai berikut:
Pasal 22 ayat (1)
“Seseorang tidakdapat bertanggung jawab secara pidana
berdasarkan Statuta ini kecuali jika tindakan tersebut pada waktu
dilakukan merupakan suatu tindak pidana di dalam yurisdiksi di
dalam Mahkamah ini”.
Pasal 24 ayat (1)
“Tidak ada seorang pun bisa bertanggung jawab secara pidana
berdasarkan Statuta ini untuk suatu tindakan sebelum berlakunya
Statuta ini”.
2. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi manusia
a. Pengertian Hak Asasi Manusia
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia pada Pasal 1 angka 1 BAB I tentang Ketentuan Umum, yang
dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep hak-hak
27
asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar. Pertama, bahwa hak-hak
yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia seorang
manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan
setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap
manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum yang dibuat sesuai dengan proses
pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun
internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah,
yaitu persetujuan dari para warga yang tunduk kepada hak-hak itu dan tidak
hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama.
b. Hak-hak yang diproklamasikan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak
Asasi Manusia
Hak-hak dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dapat
dibagi dalam dua macam hak, yaitu:
1)
Hak-hak yang berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik
termasuk hak untuk hidup, kebebasan, keamanan pribadi kebebasan
dari penganiayaan dan perbudakan, partisipasi politik, hak-hak atas
harta benda, perkawinan dan kebebasan dasar untuk menyatakan
pendapat, ungkapan, pikiran, suara hati dan agama, kebebasan untuk
berkumpul dan bersidang.
2) Hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang berhubungan dengan
pekerjaan, tingkat kehidupan yang pantas, pendidikan, kebebasan
hidup berbudaya.
Selain itu, pasal pertama dari Deklarasi menyatakan kemutlakan hak-hak
itu dipandang dari sudut persamaan martabat manusia, Pasal 2 menyatakan
hak semua orang atas hak yang telah ditetapkan tanpa diskriminasi apapun.
Prioritas yang mendasari hak-hak yang diumumkan dalam deklarasi itu
dimuat dalam Mukadimah Deklarasi, dimulai dengan pengakuan martabat dan
28
hak yang sama dan yang tidak dapat dicabut dari semua anggota umat
manusia.
3) Hak-hak yang bersifat Derogable Rights dan Non derogable rights
Istilah derogable rights diartikan sebagai hak-hak yang masih dapat
ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam
kondisi tertentu. Sementara itu istilah non derogable rights maksudnya adalah
ada hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi(dikurangi)
pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun. Dua
kovenan penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yaitu
Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan Kovenan Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (EKOSOSBUD) sesungguhnya memuat jenis-jenis hak
yang memiliki sifat berbeda dalam pelaksanaannya. Kovenan Hak SIPOL
yang tergolong dalam non derogable rights diantaranya memuat hak-hak
seperti:
a) hak hidup;
b) hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
c) hak untuk tidak dijadikan obyek dari perlakuan penyiksaan-perlakuan
atau penghukuman keji;
d) hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak direndahkan
martabatnya sebagai manusia;
e) hak untuk mendapatkan pemulihan menurut hukum;
f) hak untuk dilindungi dari penerapan hukum pidana karena hutang;
g) hak untuk bebas dari penerapan hukum pidana yang berlaku surut; dan
h) hak diakui sebagai pribadi didepan hukum; kebebasan berpikir dan
berkeyakinan agama.
Dengan demikian, tidak dibernarkan suatu negara manapun mengurangi,
membatasi atau bahkan mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak di atas.
Jika pembatasan terpaksa harus dilakukan, hanya dan bila hanya syarat-syarat
29
komulatif yang ditentukan oleh Kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang
bersangkutan.
Syarat komulatif yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan
sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara;
(2) penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan
pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama
atau asal-usul sosial; dan
(3) pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan
kepada Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB).
Sementara itu yang dimaksudkan sebagai hak yang bersifat dapat
ditangguhkan atau dibatasi oleh negara pemenuhannya adalah yang dimuat
dalam Kovenan kedua, yaitu Kovenan Hak EKOSOSBUD. Diantaranya yang
dimaksud sebagai derobagle rights adalah:
(a) hak untuk bekerja;
(b) hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik;
(c) hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi;
(d) hak mendapatkan pendidikan;
(e) hak berpartisipasi dan berbudaya.
Namun sama halnya seperti hak SIPOL, penangguhan atau pembatasan
juga diperketat yaitu dalam hal pembatasan tersebut harus diatur oleh hukum
dan dengan maksud semata-mata untuk memajukan kesejahteraan umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis (Pasal 4 Kovenan Hak
Ekososbud).Oleh karena dua Kovenan di atas merupakan bagian dari The
Internasional Bill of Rights yang bersifat universal dan berlaku sebagai
hukum yang mengikat semua negara, maka suatu negara tidak bisa
mengabaikan hak-hak warga negaranya hanya dengan dalih demi melindungi
kepentingan umum, tanpa adanya aturan yang sudah dinyatakan sebelumnya
dalam suatu Undang-Undang yang berlaku efektif di negara tersebut. Terlebih
30
lagi pemenuhan hak-hak SIPOL, dimana jika salah satu atau dua syarat saja
yang dijelaskan di atas terpenuhi, masih belum cukup kuat untuk dijadikan
dasar bagi negara melakukan pembatasan dan penangguhan.
d. Dimensi Absolut dan Relatif Hak Asasi Manusia
1) Pandangan Universal Absolut
Pandangan
ini
melihat
HAM
sebagai
nilai-nilai
universal
sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM Internasional,
seperti The Internatinal Bill of Human Rights. Dalam hal ini profil sosial
budaya yang melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan.
Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju dan bagi negaranegara berkembang mereka dinilai eksploitatif, karena menerpkan HAM
sebagai alat penekan dan sebagai instrumen penilai.
2) Pandangan Universal Relatif
Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal,
namun demikian perkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asasasas hukum internasional tetap diakui keberadaannnya. Sebagai contoh
adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat 2 Universal Declaration
of Human Rights (UDHR) yang menegaskan bahwa:
“ In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject
only to such limitation as are determined by law solely for the purpose
of the securing due recognition and respect for the rights and freedom
of others and of meeting the just requirements of morality, public
order and the general welfare in a democratic society”.
Untuk menjabarkan makna dari Pasal 29 ayat 2 UDHR ini, PBB telah
melakukan
pembahasan
dalam
The
San
Fransisco
Conference,
Commission on Human Rights dan The Third Committee of the General
Assembly, yang semuanya memberi peringatan dini bahwa negara-negara
31
anggota PBB dilarang untuk menyalahgunakan batasan-batasan yang
diberikan untuk tujuan-tujuan yang tidak tepat.
3) Pandangan Partikularistis Absolut
Pandangan ini melihat HAM sebagai persoalan masing-masing
bangsa, tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan
penolakan
terhadap
berlakunya
dokumen-dokumen
internasional.
Pandangan ini seringkali menimbulkan kesan chauvinist, egois, defensif
dan pasif tentang HAM.
4) Pandangan Partikularistis Relatif
Dalam Pandangan ini, HAM dilihat disamping sebagai masalah
universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa.
Berlakunya dokumen-dokumen HAM internasional harus diselaraskan,
diserasikan dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan budaya
bangsa. Pandangan ini tidak hanya menjadikan kekhusussan yang ada
pada masing-masing bangsa sebagai sasaran untuk bersikap defensif,
tetapi di lain pihak juga aktif mencari perumusan dan pembenaran
terhadap karakteristik HAM yang dianutnya.
3. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat
a. Pengertian Pelanggaran HAM berat
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia pada Pasal 1 angka 6, dinyatakan bahwa Pelanggaran hak asasi
manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
32
Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 2, yang dimaksud
Pelangggaran Hak Asasi Manusia yang Berat adalah pelanggaran hak asasi
mnusia sebagimana dimaksud dalam undang-undang ini, kemudian dalam
pasal 7 dinyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
b. Macam-macam Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat
Macam-macam pelanggaran HAM berat dalam hukum positif nasional
dan yang diatur dalam Statuta Roma 1998 terdapat perbedaaan, hal ini terjadi
karena Indonesia belum meraitfikasi Statuta Roma 1998, serta mengenai
kejahatan perang dan kejahatan agresi masih terdapat perbedaan pendapat
diantara negara-negara anggota mengenai pengaturannnya.
1) Jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia menurut Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dapat
diketahui dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9.
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota-anggota kelompok ;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu
ke kelompok lain.
Jika diuraikan ketentuan tersebut terdiri dari beberapa unsur sebagai
berikut:
a) setiap perbuatan
33
Yang dimaksud dengan unsur “perbuatan” adalah baik perbuatan
yang bersifat positif (=berbuat) maupun yang bersifat negatif
(=tidak berbuat).
Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara:
(1)
membunuh anggota kelompok
Penjelasan Pasal 8 huruf a menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “anggota kelompok” adalah seorang atau
lebih anggota kelompok. Berpedoman pada “Elements of
Crimes”, dari Penjelasan Pasal 8 huruf a tersebut, dapat
diketahui bahwa perbuatan dari pelaku pelanggaran HAM
yang berat ini adalah:
(a) membunuh satu orang atau lebih;
(b) orang yang dibunuh tersebut adalah anggota kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama
tertentu;
(c) pembunuhan itu dilakukan secara jelas dalam polapola tertentu yang ditujukan kepada kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu
yang
dapat
menyebabkan
kehancuran
atau
kemusnahan.
Dengan demikian, yang dibunuh tidak perlu seluruh atau
sebagian dari anggota kelompok bangsa, ras, kelompok etnis
atau kelompok agama tertentu, tetapi sudah cukup jika yang
dibunuh itu seorang atau lebih dari anggota kelompok
tersebut.
(2) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok
Penderitaan fisik atau mental sebagimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf b tidak sekedar hanya penderitaan fisik atau
34
mental yang biasa, tetapi adalah penderitaan fisik atau mental
yang berat atau serius terhadap anggota kelompok lain.
Berpedoman pada “Elements of Crimes”, perbuatan dari
pelaku pelanggaran HAM yang berat ini berupa:
(a) melakukan perbuatan yang menyebabkan penderitaan
fisik atau mental yang berat pada satu orang atau lebih;
(b) orang yang mengalami penderitaan fisik atau mental
tersebut adalah anggota kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, kelompok agama tertentu;
(c) perbuatan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau
mental yang berat tersebut dilakukan secara jelas dalam
pola-pola tertentu yang ditujukan pada kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, atau kelompok agama
tertentu yang dapat menyebabkan kehancuran atau
kemusnahan.
Dalam “Elements of Crimes” diberikan catatan bahwa
penderitaan ini tidak terbatas pada penyiksaan, pemerkosaan,
kekerasan seksual dan perbuatan yang tidak manusiawi.
(3) menciptakan
kondisi
kehidupan
kelompok
yang
akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya;
Berpedoman pada “Elements of Crimes”, perbuatan dari
pelaku pelanggaran HAM yang berat ini berupa:
(a) pelaku melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
kondisi-kondisi kehidupan tertentu pada satu orang atau
lebih;
(b) orang tersebut adalah merupakan anggota kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama
tertentu;
35
(c) kondisi kehidupan semacam itu dapat mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian
kelompok;
(d) perbuatan
yang
menimbulkan
kondisi-kondisi
kehidupan tertentu tersebut dilakukan secara jelas
dalam pola-pola tertentu yang ditujukan kepada
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok
agama tertentu yang dapat menyebabkan kehancuran
atau kemusnahan.
Dalam “Elements of Crime” diberikan catatan bahwa
kondisi ini tidak terbatas pada pemutusan jalur/persediaan
makanan atau obat-obatan atau sandang, pangan, dan tempat
tinggal.
(4) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok; atau
Berpedoman pada “Elements of Crimes”, perbuatan dari
pelaku pelanggaran HAM yang berat ini berupa:
(a) Pelaku dengan memaksa melakukan tindakan-tindakan
tertentu terhadap satu orang atau lebih;
(b) Orang tersebut adalah merupakan kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu;
(c) Tindakan dengan memaksa tersebut adalah adalah
tindakan untuk mencegah kehamilan dalam kelompok;
(d) Dilakukan secara jelas dalam pola-pola tertentu yang
ditujukan kepada kelompok bangsa, ras, kelompok etnis
atau
kelompok
agama
tertentu
yang
dapat
menyebabkan kehancuran atau kemusnahan.
(5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok
tertentu ke kelompok lain.
36
Berpedoman pada “Elements of Crimes”, perbuatan dari
pelaku pelanggaran HAM yang berat ini berupa:
(a) Pelaku dengan memaksa memindahkan satu orang
atau lebih;
(b) Orang tersebut adalah merupakan anggota kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama
tertentu;
(c) Pemindahan dilakukan dari kelompok yang satu ke
kelompok yang lain;
(d) Orang yang dipindahkan berumur di bawah 18 tahun;
(e) Pelaku mengetahui atau secara wajar dianggap
mengetahui bahwa oarang yang dipindahkan tersebut
berumur di bawah 18 tahun; dan
(f)
Pemindahan secara paksa dilakukan secara kelas
dalam pola-pola tertentu yang ditujukan kepada
anggota kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau
kelompok agama tertentu yang dapat menyebabkan
kehancuran dan kemusnahan.
Dalam “Elements of Crime” diberikan catatan bahwa paksaan
tidak terbatas pada paksaan fisik, tetapi termasuk pula ancaman
secara fisik yang menyebabkan ketakutan akan kekerasan,
ancaman hukuman, paksaan psikologis atau penyalahgunaan
wewenang atas manusia tersebut atau mengambil kesempatan pada
saat berlangsungnya kondisi tersebut.
b) Dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh
atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok
agama.
Berpedoman pada “Elements of Crime” setiap perbuatan yang
dilakukan masing-masing dengan cara seperti yang disebutkan
37
pada angka 1 tersebut dilakukan “dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama” yang
merupakan unsur subjektif dari tindak pidana yang berupa
kejahatan genosida.
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa:
a.
pembunuhan;
b.
pemusnahan;
c.
perbudakan;
d.
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional;
f.
penyiksaan;
g.
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h.
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan
lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional;
i.
penghilangan orang secara paksa; atau
j.
kejahatan apartheid.
Jika diuraikan ketentuan tersebut terdiri dari beberapa unsur
sebagai berikut:
(1) Melakukan salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari
serangan.
Pengertian “serangan” tidak mutlak harus dilakukan secara
langsung (berhubungan dengan fisik korban) oleh unsur penguasa
38
atau organisasi yang mengeluarkan kebijaksanaan tersebut. Namun
perbuatan yang dilakukan oleh sesama warga sipil dalam konflik
sipil akibat suatu desain konflik yang terpola dari kebijakan
penguasa atau organisasi, sudah memenuhi syarat terpenuhinya
kualitas suatu perbuatan. Kualitas serangan tidak mutlak bersifat
militer dengan senjata organik dan juga tidak diartikan terbatas
hanya serangan yang sifatnya langsung kepda fisik korban dari
penguasa atau organisasi.
Masing-masing perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
adalah sebagai berikut:
(a) pembunuhan
Yang dimaksud
“pembunuhan”
adalah
sebagimana
tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan
rencana.
Dalam
“Elements
of
Crime”
disebutkan
pembunuhan tersebur dilakukan terhadap satu orang atau
lebih.
(b) pemusnahan
Penjelasan Pasal 9 huruf b menyebutkan bahwa
“pemusnahan
meliputi
perbuatan
yang
menimbulkan
penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain
berupa perbuatan menghambat pemasokan makanan dan
obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan ada
sebagian penduduk. Pada “Elements of Crime” disebutkan
bahwa perbuatan tersebut berupa;
(i) Pelaku melakukan pembunuhan terhadap satu orang
atau
lebih,
menyebabkan
penduduk.
termasuk
melakukan
kehancuran
sebagian
kegiatan
atau
yang
seluruh
39
(ii) Perbuatan tersebut merupakan atau menjadi bagioan
dari pembunuhan massal penduduk sipil.
(c) perbudakan
Penjelasan Pasal 9 huruf b menyebutkan bahwa yang
dimaksud
perbudakan
adalah
termasuk
perdagangan
manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
Berpedoman pada “Elements of Crime” perbuatan dari
pelaku berupa pelaksanaan sebagian atau semua kekuasaan
yang melekat dengan hak kepemilikan terhadap seseorang
termasuk
memperjualbelikan,
mempertukarkan
manusia
atau
menyewakan,
melalui
atau
perbuatan
denganmerampas kebebasan.
(d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
Penjelasan Pasal 9 huruf b menyebutkan bahwa yang
dimaksud pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan
cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari
daerah diaman mereka bertempat tinggal secara sah tanpa
didasari alasan yang diizinkan oleh hukum internasional.
Berpedoman pada “Elements of Crime” dapat diketahui
perbuatan dari pelaku berupa:
(i) Melakukan pemindahan orang-orang secara paksa
dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan lain
dari daerah dimana mereka bertempat tinggal ke daerah
lain tanpa didasari alasan yang diizinkan oleh hukum
internasional.
(ii) Orang-orang tersebut secara hukum diakui bertempat
tinggal di daerah dimana ia dipindahkan.
40
(iii)Pelaku secara sadar mengetahui bahwa keberadaan
orang didaerah dimana ia dipindahkan adalah menurut
hukum.
(e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional
Dalam ““Elements of Crime” dapat diketahui perbuatan
dari pelaku berupa:
(i) Pelaku merampas kemerdekaan atau kebebasan fisik
satu orang atau lebih.
(ii) Perampasan tersebut adalah merupakan pelanggaran
ketentuan pokok hukum internasional.
(iii)Pelaku secara sadar mengetahui bahwa perampasan
kemerdekaan atau kebebasan fisik tersebut adalah
melanggar ketentuan pokok hukum internasional.
(f) penyiksaan
Penjelasan Pasal 9 huruf h menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan penyiksaan adalah dengan sengaja dan
melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan
yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seorang
tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan.
Dalam “ Elements of Crime” dinyatakan bahwa perbuatan
dari pelaku pelanggaran HAM yang berat ini adalah:
(i) Pelaku
dengan
sengaja
dan
melawan
hukum
menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat
baik fisik maupun mental terhadap seorang atau lebih.
(ii) Orang tersebut berada dalam tahanan atau pengawasan
dari pelaku.
41
(iii)Kesakitan atau penderitaan yang berat tersebut tidak
termasuk kesakitan atau penderitaan yang melekat atau
sebagai akibat dari sanksi yang sah.
(g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
Penjelasan Pasal 9 huruf g dinyatakan “cukup jelas”
demikian juga dalam penjelasan Statuta Roma hanya
memberi
penjelasan
mengenai
ketentuan
“pemaksaan
kehamilan”.
Dalam “ Elements of Crime” diberikan penjelsanan
sebagai berikut:
(i) perkosaan
Perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat berupa:
(i).1 Pelaku memasuki wilayah tubuh dari seseorang
dengan melakukan penetrasi sekecil apapun
terhadap bagian tubuh korban dengan alat kelamin
atau bagian tubuh lainnya dari pelaku.
(i).2 Perbuatan sebagaimana diterangkan dalam angka 1
dilakukan
dengan
kekerasan
atau
kekerasan
penggunaan
atau
ancaman
paksaan
seperti
ketakutan akan kekerasan, dibawah paksaan,
penahanan,
penyalahgunaan
tekanan
kekuasaan
psikologis
atau
atau
mengambil
keuntungan dari keadaan tersebut atau perbuatan
itu dilakukan terhadap orang yang tidak mampu
memberi persetujuan.
42
(ii) perbudakan seksual
Perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat berupa:
(ii).1
Pelaku
melaksanakan sebagian atau
seluruh
kekuasaan yang melekat dengan hak kepemilikan
terhadap seseorang, termasuk memperjualbelikan,
menyewakan atau mempertukarkan manusia atau
melalui perbuatan dengan merampas kebebasan.
(ii).2 Perbuatan tersebut menyebabkan satu orang atau
lebih terlibat dalam melakukan perbuatan seksual.
(iii) pelacuran secara paksa
Perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat berupa:
(iii).1 Pelaku menyebabkan satu orang atau lebih untuk
melakukan hubungan seksual yang didasarkan
atas
kekerasan
ancaman
kekerasan
atau
penggunaan paksaan ketakutan akan kekerasan,
dibawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis
atau penyalahgunaan kekuasaan atau mengambil
keuntungan dari keadaan tersebut atau perbuatan
itu dilakukan terhadap orang yang tidak mampu
memberi persetujuan.
(iii).2 Pelaku atau orang lain yang menarik atau
mengharapkan
keuntungan
dari
perbuatan
seksual tersebut.
(iv) pemaksaan kehamilan,
Pasal 7 ayat (2) huruf f Statuta Roma maupun
dalam “ Elements of Crime” ditentukan bahwa yang
dimaksud dengan “pemaksaan kehamilan” adalah
penahanan tidak sah terhadap seorang perempuan yang
secara
paksa
dibuat
hamil,
dengan
maksud
43
memengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok
penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat
terhadap hukum internasional.
(v) pemandulan atau sterilisasi secara paksa
Berdasarkan “Element of Crimes” perbuatan pelaku
pelanggaran HAM berat ini berupa:
(v).1 Pelaku menghilangkan kemampuan reproduksi
biologis dari salah satu orang atau lebih.
(v).2
Perbuatan
tersebut
bukan
perbuatan
yang
diizinkan oleh dokter atau rumah sakit atau tanpa
persetujuan dari yang bersangkutan.
(vi) bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
Berdasarkan “Element of Crimes” perbuatan pelaku
pelanggaran HAM berat ini berupa:
(vi).1 Melakukan perbuatan seksual terhadap satu orang
atau lebih atau memerintahkan satu orang atau
lebih untuk melakukan perbuatan seksual dengan
kekerasan
atau
ancaman
kekerasan
atau
penggunaan paksaan seperti ketakuatan atau
kekerasan, dibawah paksaan penahanan, tekanan
psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau
dengan mengambil keuntungan dari perbuatan
tersebut atau perbuatan itu dilakukan terhadap
orang yang tidak mampu memberi persetujuan.
(vi).2 Perbuatan tersebut adalah sebanding dengan
perbuatan lain yang terdapat dalam Pasal 7 huruf
g, yaitu Statuta Roma.
(vi).3 pelaku mengetahui tentang keadaan faktual yang
tidak
dapat
dipungkiri
bahwa
perbuatannya
44
merupakan bentuk kekerasan seksual yang cukup
berat.
(h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional
Dengan berpedoman pada “Element of Crimes”,
perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat ini adalah:
(i) merampas dengan kejam dari seorang atau lebih hakhak dasarnya yang bertentangan dengan hukum
internasional;
(ii) perampasan hak-hak dasar tersebut dilakukan dengan
meniadakan identitas kelompok atau kumpulan dari
orang tersebut.
(iii)kelompok atau kumpulan dari orang tersebut didasari
atas persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional.
(i) penghilangan orang secara paksa
Berpedoman pada “Element of Crimes”, perbuatan
pelaku pelanggaran HAM berat ini adalah:
(i).a pelaku melakukan:
(i).a.1Penangkapan, penahanan, atau penculikan terhadap
satu oarang atau lebih.
(i).a.1Penolakan
untuk
memberikan
alasan
dari
penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut
45
atau menolak memberikan informasi tentang nasib
atau keberadaan orang tersebut.
(i) b.1 Penangkapan, penahanan atau penculikan itu diikuti
dengan penolakan untuk mengakui perampasan
kebebasan tersebut atau memberikan informasi
tentang nasib atau keberadaan orang tersebut.
b.2
Penolakan
didahului
atau
dibarengi
dengan
perampasan kebebasan.
(i) c. pelaku sadar bahwa:
(i) c.1 Penangkapan, penahanan atau penculikan akan
diikuti dengan suatu rangkaian tindakan yang
biasanya dilakukan dengan penolakan untuk
mengakui adanya perampasan kebebasan atau
memberikan informasi tentang nasib atau
keberadaan orang tersebut.
(i) c.2 Penolakan didahului atau dibarengi dengan
perampasan kebebasan.
(i) d. Penangkapan, penahanan atau penculikan dilakukan
oleh atau dengan hak, dukungan atau dukungan diamdiam dari negara atau suatu organisasi politik.
(i) e. Penolakan untuk memberi hak kebebasan atau memberi
informasi tersebut dilakukan oleh atau dengan hak atau
dengan dukungan negara atau suatu organisasi politik.
(i) f. Pelaku mempunyai maksud untuk melepaskan orang
tersebut dari perlindungan hukum dalam jangka waktu
yang panjang.
(g) kejahatan apartheid.
46
Berpedoman pada “Elements of Crime” diketahui bahwa
perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat ini adalah:
(i) pelaku melakukan perbuatan yang tidak manusiawi
terhadap satu orang atau lebih.
(ii) perbuatan yang tidak manusiawi tersebut adalah
perbuatan dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat
yang disebutkan dalam Pasal 8 atau merupakan suatu
tindakan yang berkarakter sama dengan tindakan
yang dimaksudkan itu.
(iii)pelaku secara sadar mengetahui keadaan faktual yang
turut menentukan kadar keseriusan tindakan tersebut.
(iv) pelaku melakukan perbuatan dalam konteks suatu
rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi
suatu kelompok rasial atas kelompok atau kelompokkelompok ras lain.
(v) dalam melakukan perbuatannya, pelaku mempunyai
maksud untuk mempertahankan rezim itu.
(2) Perbuatan tersebut adalah merupakan bagian dari serangan yang
dilakukan secara meluas atau sistematik.
(3) Serangan tersebut diketahui ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil.
b. Jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 5 Statuta
Roma 1998 (Rome Statute of the International Criminal Court), yang
termasuk kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat (the most serious
crimes) ada 4 macam, yaitu:
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusiaan;
c. kejahatan perang;
d. kejahatan agresi.
47
Mengenai “Elements of Crime” dalam kejahatan genosida dan
kejahatan kemanusian dalam Statuta Roma adalah sama dengan
dengan “elements of crime” yang telah dijelaskan sebelumnya, karena
Indonesia hanya mengadopsi ketentuan tersebut dari Statuta Roma
1998.
4. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan HAM AD HOC
a. Pengertian Pengadilan HAM
Pengertian Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM dalam
Pasal 1 angka 3 adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang
berat. Jika pengertian Pengadilan HAM pada Pasal 1 angka 3 dikaitkan dengan
Pasal 2 yang menentukan bahwa Pengadilan HAM merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan peradilan umum, dan Pasal 4 yang
menentukan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, maka menjadi jelas bahwa
yang dimaksud dengan Pengadilan HAM adalah pengadilan yang berada
dilingkungan Peradilan umum yang hanya bertugas dan berwenang untuk
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat saja. (R.
Wiyono, 2006:9).
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
disebutkan
bahwa
dibentuknya
Pengadilan
HAM
dilaksanakan
atas
pertimbangan sebagai berikut:
1. Pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crimes dan
berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun
internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam
KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun
immateriil yang mengakibatkan perasan tidak aman, baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan
dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian,
48
ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
2. Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkahlangkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang
bersifat khusus, yaitu:
a. diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc,
penyidikan ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc.
b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan
oleh
Komnas
HAM,
sedangkan
penyidik
tidak
berwenangmenerima laporan atau pengaduan sebagaimana
diatur dalam KUHAP.
c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk
melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
pengadilan.
d. diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
e. diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa
bagim pelanggaran HAM yang berat.
b. Pengertian Pengadilan HAM Ad hoc
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak ada ketentuan
yang menyebutkan pengertian dari Pengadilan HAM Ad hoc, tetapi jika
ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 dikaitakan dengan Pasal 43 ayat (1) yang
menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan HAM Ad hoc. Dengan demikian dapat dikethui
bahwa yang dimaksud Pengadilan HAM Ad hoc adalah pengadilan khusus
yang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat,
yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 pada tanggal 23 November 2000.
49
c. Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM Ad hoc
1. Kewenangan Absolut
a. Memeriksa dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang
terjadi sebelum berlakukanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 pada tanggal 23 November 2000.
b. Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat sesuai
Pasal 7 Undang-Undang Pengadilan HAM yaitu kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Undang-undang Pengadilan HAM tidak memuat seluruh jenis
pelanggaran HAM yang terdapat dalam Statuta Roma 1998,
Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra (yang pada tahun 2001 masih
menjabat
sebagai
Menteri
Kehakiman
RI)
memberikan
penjelasan mengenai beberapa pertimbangan yang ditempuh
Pemerintah Indonesia:
1. Pertama, dua jenis pelanggaran HAM lainnya ( kejahatan
perang dan agresi) sampai saat ini masih dalam perdebatan
negara anggota PBB dan Indonesia belum menentukan
sikapnya secara tegas terhadap keduanya.
2. Kedua, Statuta Roma 1998 sudah diadopsi dalam Konferensi
Diplomatik di Roma namun Indonesia belum meratifikasi
Statuta Roma 1998 sehingga tidak ada kewajiban
pemerintah Indonesia untuk memenuhi seluruh ketentuan
dalam Statuta Roma tersebut. Jika Undang-undang Nomor
26 tahun 2000 mengadopsi sebagian ketentuan dalam
Statuta Roma tersebut adalah dilatarbelakangi kepentingan
Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
3. Ketiga, kepentingan pemerintah untuk mengundangkan UU
nomor 26 tahun2000 didorong oleh kehendak untuk
50
memenuhi prinsip Komplementaritas (complementarity
principles) yang dianut oleh Statuta Roma 1998 tersebut
sehingga dengan cara demikian Undang-undang nasional
Indonesia (UU Nomor 26 tahun 2000) mengenai peradilan
atas perkara Pelanggaran HAM Berat sudah memenuhi
standar minimum hukum internasional tersebut.
4. Keempat, karena Statuta Roma 1998 tersebut merupakan
perjanjian internasional yang tidak boleh direservasi sama
sekal maka ratifikasi terhadap Statuta Roma tersebut
berdampak mengikat secara penuh negara peratifikasi
sehingga pemerintah Indonesia masih harus berhati-hati
untuk meratifikasinya. Untuk kepentingan Indonesia
kebijakan pemerintah yang telah mengadopsi beberapa
prinsip dan ketentuan dalam Statuta Roma tersebut
merupakan kebijakan yang dianggap tepat untuk saat ini
dan tidak akan membahayakan kedaulatan negara RI.
2. Kewenangan relatif
Kompetensi relatif atau wewenang relatif, menjawab pertanyaan
Pengadilan Negeri mana yang berwenang untuk mengadili perkara.
Kewenangan Relatif atau kompetensi relatif dari Pengadilan HAM
ad hoc adalah seperti yang ditentukan dalam Keputusan Presiden
tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, misalnya Keputusan
Presiden Nomor 53 Tahun 2000 yang diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 96 Tahun 2001 telah dibentuk Pengadilan HAM ad
hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam Keppres tersebut
ditentukan bahwa Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur
dalam wilayah hukum Liquica, Dilli dan Soae pada bulan April 1999
51
dan bulan September 1999 dan yang terjadi di Tanjung Priok pada
bulan September 1984.
Secara terinci berikut adalah pengadilan negeri yang memiliki
kewenangan relatif mengadili pelanggaran HAM, yaitu:
a. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta pusat
dengan daerah hukum meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat,
Banten, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah.
b. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan
daerah hukum meliputi: Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara
Barat,
Nusa
Tenggara Timur
dan Daerah
Istimewa
Yogyakarta.
c. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makasar dengan
daerah
hukum
meliputi:
Sulawesi
Selatan,
Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Irian
Jaya.
d. Proses Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc
Mekanisme pembentukan Pengadilan HAM ad hoc adalah sebagai
berikut:
1. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1), KOMNAS HAM melakukan
penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
2. Hasil penyelidikan KOMNAS HAM diserahkan kepada Jaksa Agung
dan jika sudah lengkap, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Jaksa Agung
selaku penyidik menindaklanjuti hasil penyelidikan tersebut dengan
melakukan penyidikan.
3. Jika hasil penyidikan menunjukkan adanya cukup alat-alat bukti
bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya
52
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, maka oleh Jaksa Agung
diberitahukan kepada DPR dengan permintaan agar DPR mengajukan
usul kepada Presiden agar membentuk Pengadilan HAM ad hoc.
4. Jika DPR setuju atau sependapat dengan permintaan dari Jaksa Agung,
maka berdasarkan Pasal 43 ayat (2) DPR mengajukan usul kepada
Presiden agar dikelurakan Keputusan Presiden tentang pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc.
53
B. Kerangka Pemikiran
Pelanggaran HAM
Berat Timor Timur
Indonesia
unwillingness
dan/atau inability
Indonesia willing
dan able
International
Tribunal atau
International
Criminal Court
Mekanisme
Pengadilan Nasional
Melalui Pengadilan
HAM ad hoc Timor
Timur
Non Derogable
Rights
Belaku hukum
Ex Post Facto
TUJUAN
Implikasi Bagi Hukum
Indonesia
Gambar 1
Bagan Kerangka Berpikir
54
The founding fathers ketika mendirikan Negara Republik Indonesia,
merumuskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan
bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Oleh
karena itu, hukum hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur
dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagaimana diketahui bahwa hak
asasi manusia melekat pada setiap individu tanpa memandang perbedaan atas
dasar etnis, golongan, asal-usul, warna kulit atau rambut, agama, paham politik
dan sebagainya, agar hak asasi manusia itu menjadi jelas bagi setiap orang maka
perlu dirumuskan dalam bentuk tertulis dalam kerangka hukum positif. Pada
tataran internasional kaidah hukum tentang HAM sebagian besar berupa
perjanjian-perjanjian internasional tentang HAM, sedangkan pada tataran nasional
berupa peraturan perundang-undangan nasional tentang HAM.
Dalam praktek atau penerapannya, apabila ada individu yang melakukan
pelanggaran atas hak asasi manusia yang dipandang sebagai kejahatan maka akan
diancam dengan sanksi pidana. Salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang
tergolong kejahatan atau tindak pidana yang pernah terjadi di Indonesia adalah
Pelanggaran HAM berat Timor Timur. Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
di Timor Timur pasca jajak pendapat dapat dikategorikan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Dalam sejarah perkembangan
Hukum internasional, kejahatan tersebut juga merupakan bagian dari kejahatan
internasional. Concern pemerintah Indonesia terhadap perkembangan masalahmasalah internasional terutama masalah kejahatan terhadap kemanusiaan melalui
pembentukan pengadilan HAM menjadi sangan urgen dan mendesak untuk
direalisasikan, jika tidak ingin terkucil dan dikucilkan dalam pergaulan
internasional.
Dalam menghadapi desakan dari dunia internasional dan menghindari
intervensi PBB untuk membentuk pengadilan Tribunal atau membawa masalah
55
Timor Timur ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC), kemudian Pemerintah
Indonesai merumuskan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM pada tanggal 23 September 1999 dan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada tanggal 23 November 2000,
sebagai payung hukum untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat di Timor
Timur. Hal ini sejalan dengan prinsip ‘complementary’ yang menghendaki
mekanisme penyelesaian secara hukum atas pelanggaran berat HAM pada prinsip
exhaustion of local remedies yang mengutamakan penyelesaian secara hukum di
forum pengadilan nasional. Dengan demikian, kasus pelanggaran HAM berat
Timor Timur diselesaikan dengan menggunakan aturan hukum yang berlaku surut
atau menggunakan asas retroaktif atau ex post facto law. Persoalannya adalah
penerapan hukum ex post facto masih menjadi polemik baik di Indonesia maupun
dalam tataran internasional karena dianggap melanggar hak-hak asasi manusia
yang bersifat non derogable rights. Berbagai pendapat yang memperkenankan
atau melarang penerapan hukum hukum ex post facto memiliki dasar yang samasama kuat dan mungkin sama-sama tidak terbantahkan, sehingga meskipun
hukum ex post facto telah dipraktikkan di berbagai negara namun tetap saja masih
diperdebatkan, tidak terkecuali di Indonesia.
Oleh karena itu, pada penulisan hukum ini penelulis akan menguraikan
mengenai latar belakang penerapan hukum ex post facto dengan non derogable
rights dalam putusan pengadilan HAM ad hoc dalam penyelesaian kasus
pelanggaran HAM berat Timor Timur, dan tujuan penerapan hukum ex post facto
dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur serta
implikasinya terhadap hukum di Indonesia.
Download