18 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ex post facto a. Pengertian Asas Retroaktif Dalam istilah hukum, retroaktif atau berlaku surut (Bahasa Latin: ex post facto yang berarti "dari sesuatu yang dilakukan setelahnya"), adalah suatu hukum yang mengubah konsekuensi hukum terhadap tindakan yang dilakukan atau status hukum fakta-fakta dan hubungan yang ada sebelum suatu hukum diberlakukan atau diundangkan. Dalam kaitannya dengan hukum kriminal, hukum retroaktif dapat diterapkan pada suatu tindakan yang legal atau memiliki hukuman yang lebih ringan sewaktu dilakukan.Penerapan hukum ini dapat mengubah aturan bukti-bukti yang ditemukan untuk memperbesar kemungkinan pemberian hukuman pada seorang terdakwa. Sebaliknya, penerapan hukum jenis ini dapat pula mengurangi atau bahkan membebaskan seorang terhukum. (Wikipedia, htttp://id.wikipedia.org/wiki/retroaktif). Prinsip berlakunya asas non retroaktif adalah menjamin kepastian hukum, namun ada sisi lain dari tujuan hukum yang juga sangat penting yaitu keadilan. Untuk mencapai suatu keadilan, maka kepastian hukum kadang perlu dikecualikan, dan hal ini telah dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”. Untuk memberlakukan asas retroaktif menurut Pasal 1 ayat (2) harus memenuhi 3 syarat, yakni: 1) harus ada perubahan perundang-undangan mengenai suatu perbuatan; Mengenai pengertian perundang-undangan yang berubah dikenal ada 3 pandangan yakni: a) Paham formil 18 19 Menurut pandangan paham formil, perubahan perundangundangan itu adalah terbatas pada perubahan redaksi rumusan suatu ketentuan dalam perundangan hukum pidana saja, dan tidak termasuk perubahan dalam perundangan diluar hukum pidana. Pandangan ini disebut juga dengan pandangan sempit. b) Paham materiil terbatas Menurut pandangan materiil terbatas, bahwa perubahan perundangan yang dimaksud ayat (2) adalah berupa perubahan keyakinan hukum pembentuk Undang-Undang. Sedangkan perubahan pandangan karena keadaan-keadaan atau zaman tidak termasuk kedalam pengertian perubahan perundang-undangan menurut ayat (2). Jadi, menurut pandangan ini bukan hanya perubahan perundangundangan dalam bidang hukum pidana saja, tetapi lebih luas karena perubahan keyakinan hukum pembentuk Undang-Undang akibat dari adanya perubahan kesadaran hukum masyarakat juga masuk dalam pengertian perubahan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. c) Paham materiil tidak terbatas Menurut Paham materiil tidak terbatas, bahwa yang dimaksud perubahan perundang-undangan adalah juga termasuk perubahan yang disebabkan oleh berubahnya suatu keadaan atau karena zaman/waktu yang mempengaruhi hukum pidana. 2) perubahan itu terjadi adalah setelah perbuatan dilakukan; 3) dimana peraturan yang baru itu lebih menguntungkan atau meringankan bagi pelaku perbuatan itu. Undang-Undang tidak memberikan keterangan yang lebih jelas dan sempurna mengenai kalimat lebih menguntungkan atau lebih meringankan terdakwa dalam Pasal 1 ayat (2). Menurut Prof. Sudarto sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi dalam buku Pelajaran Hukum 20 Pidana Bagian I, mengatakan bahwa “pengertian paling ringan harus diartikan seluas-luasnya, dan tidak mengenai pidananya saja melainkan mengenai segala sesuatunya dari peraturan itu yang mempunyai pengaruh terhadap penilaian sesuatu tindak pidana. Dalam berbagai pandangan para ahli hukum, dapat disimpulkan bahwa mengenai apa yang dimaksud dengan lebih meringankan terdakwa ini antara lain ialah mengenai hal: a) lebih ringan dalam hal ancaman pidana; b) lebih ringan dalam hal jenis pidana; c) lebih ringan dalam hal tenggang daluarsa; d) pengaduan untuk penuntutan pidana; e) lebih ringan dalam arti tidak dapat dipidananya perbuatan; f) lebih ringan dalam arti pertanggungan jawab pidana; g) lebih ringan dalam hal tidak dapatnya dituntut pidana perbuatan; h) lebih ringan dalam arti sistem penjatuhan pidananya menjadi pidana dengan syarat. Menurut Indriyanto Seno Adji eksistensi asas retroaktif harus memenuhi kriteria yang rigid dan limitatif, yaitu: (1) adanya korelasi antara hukum tata negara darurat (staatsnoodrech) dengan hukum pidana, artinya asas retroaktif hanya dapat diberlakukan apabila negara dalam keadaan darurat (abnormal) dengan prinsip hukum darurat (abnormal recht), sehingga eksistensitas retroaktif seharusnya temporer dan dalam wilayah hukum yang limitatif; (2) sifat darurat eksistensi asa retroaktif tidak berada dalam keadaan yang merugikan tersangka atau terdakwa; (3) tetap memerhatikan asas lex certa, yaitu penempatan substanstif suatu aturan yang tidak menimbulkan multi-interpretasi sehingga tidak dijadikan sarana penguasa melakukan abuse of power. 21 b. Asas Retroaktif dalam Instrumen Hukum Internasional Pengaturan mengenai diperbolehkannnya penerapan asas retroaktif dan instrumen hukum internasional antara lain: - Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang dirumuskan sama, yaitu: Non-retroactivity of treaties “Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, its provisions do not bind a party in relation to any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the date of the entry into force of the treaty with Respect to that party”. - Pasal 64 Konvensi Wina 1969 Emergence of a new peremptory norm of general international law (jus cogens) “If a new peremptory norm of general international law emerges, any existing treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminates”. - Pasal 53 Konvensi Wina 1986 Treaties conflicting with a peremptory norm of general international law (jus cogens) “A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. For the purposes of the present Convention, a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character”. - Pasal 103 Piagam PBB “In the event of a conflict between the obligations of the Members of the United Nations under the present Charter and their obligations under any other international agreement, their obligations under the present Charter shall prevail”. 22 - Pasal 15 ayat (2) International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR), telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. “ Tidak sesuatu pun dalam Pasal ini yang boleh mengurangi pemeriksaan atas dan hukuman bagi seseorang karena melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang pada saat dilakukan atau tidak dilakukannya, merupakan kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. c. Pengertian Asas Non Retroaktif Asas non retroaktif merupakan turunan dari asas legalitas. Asas legalitas pada hakekatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur didalam suatu UndangUndang pidana nasional. Selama suatu perbuatan belum atau tidak dinyatakan sebagai tindak pidana di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan pidana nasional suatu negara, maka selama itu pula negara tidak dapat meminta pertanggungjawaban pidana terhadap pelakunya. Dalam arti negatif, peraturan Undang-Undang tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perbuatanperbuatan yang sama yang terjadi sebelum berlakunya peraturan perundangundangan itu. Asas non retoaktif merupakan lawan dari asas retoaktif, asas ini dalam hukum pidana Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang merumuskan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada terlebih dahulu”. Dalam ketentuan Pasal 1 (1) KUHP tersebut ada 3 (tiga) pengertian dasar dalam asas legalitas yaitu: 1) Ketentuan hukum pidana harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis Pengertian bahwa Ketentuan hukum pidana harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis baru kemudian diberlakukan, terdapat dalam kalimat wettelijk strafbepaling (aturan pidana dalam perundang- 23 undangan). Ketentuan pidana yang tertulis tersebut bukan hanya yang berbentuk Undang-Undang tetapi juga peraturan perundangan lain dibawah Undang-Undang. Asas legalitas ini ini berlatar belakang pada kepastian hukum yang berkaitan dengan perlindungan yang lebih konkrit terhadap hak-hak warga yang berhadapan dengan kekuasaan pemerintahan negara. Namun asas ini juga memiliki kelemahan yaitu hukum pidana menjadi kaku, tidak dapat dengan cepat mengikuti perkembangan masyarakat. 2) Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi. Analogi adalah penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum (pidana) dengan cara memperluas berlakunya aturan hukum tersebut dengan mengabstraksikan ratio ketentuan itu sedemikian rupa luasnya pada kejadian konkrit tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya tidak masuk kedalam ketentuan itu menjadi masuk kedalam isi atau pengertian ketentuan hukum tersebut. (Adami Chazawi, 2002: 174). Analogi dilarang digunakan dalam hukum pidana karena tidak menjamin kepastian hukum. 3) Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut. Hukum pidana tidak berlaku surut tetapi berlaku kedepan, artinya ketika perbuatan dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tersebut. Untuk itu maka aturan pidana harus dibuat dan dipersiapkan serta diberlakukan terlebih dahulu, barulah dapat dipidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang sesuai dengan apa yang dilarang dalam aturan itu. Menurut Profesor Simons merumuskan “strafbaar feit” sebagai “suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu 24 “tindakan yang dapat dihukum”. Alasan dari Profesor Simons bahwa “strafbaar feit” harus dirumuskan seperti diatas adalah karena: a) untuk adanya suatu “strafbaar feit” itu disyaratkan bahwa harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh Undang-Undang,dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum; b) agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan didalam Undang-Undang; c) setiap “strafbaar feit” sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige handeling”. d. Asas Nonretroaktif dalam instrumen HAM internasional Secara normatif, substansi asas nonretroaktif sebagaimana yang terkandung pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan perundang-undangan yang telah ada”, dapat ditemukan dalam Pasal 12 Piagam HAM (UDHR) PBB, yang membatasi bahwa pemberlakuan surut suatu perundang-undangan (ex post facto law) tidak diperkenankan apabila hal tersebut : 1) Pertama, menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; 2) Kedua, menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. 25 Pasal 11 ayat (2) Deklarasi Universal Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran pidana menurut Undang-Undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) Deklarasi Universal tersebut sama seperti rumusan dalam Pasal 15 ayat (1) Konvensi Internasional tentang hakhak sipil dan politik (International Convention on Civil and Political Rigths/ICCPR), namun dalam kalimat terakhir ditambahkan .....”Jikalau sesudah dilakukan pelanggaran dikeluarkan ketentuan undang-undang untuk mengenakan yang lebih ringan, maka si pelanggar harus mendapat manfaat dari hal demikian”. Tujuan ketentuan ini adalah bahwa tidak seorang pun boleh dihukum karena suatu perbuatan atas alasan dan prosedur yang tidak ditetapkan oleh Undang-Undang sebelum perbuatan tersebut berlangsung; atau tidak boleh dihukum dengan hukuman yang lebih berat daripada yang biasa diterapkan sebelumnya. Pasal 27 Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia mengatur: a) Di waktu perang, malapetaka, atau keadaan darurat lain yang mengancam kemerdekaan atau keamanan, suatu negara Peserta boleh mengambil tindakan-tindakan yang melanggar kewajibankewajibannya menurut Konvensi ini sampai sejauh untuk jangka waktu yang sepenuhnya diperlukan asalkan tindakan-tindakan tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-keajiban yang lain menurut hukum internasional, dan tidak melibatkan diskriminasi atas alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. 26 b) Ketentuan yang terdahulu tidak mengizinkan penundaan apa pun pasal-pasal berikut: Pasal 3 (hak atas pribadi yuridis), Pasal 4 (hak untuk hidup), Pasal 5 (hak atas perlakuan yang manusiawi), Pasal 6 (bebas dari perbudakan), Pasal 9 (bebas dari Undang-Undang “ex post facto”), Pasal 12 (kebebasan hati nurani dan agama), Pasal 17 (hak-hak keluarga), Pasal 18 (hak atas suatu nama), Pasal 19 (hakhak anak), Pasal 20 (hak atas kewarganegaraan), dan Pasal 23 (hak untuk turut serta dalam pemerintahan), atau jaminan-jaminan utama dari pengadilan untuk perlindungan hak-hak tersebut. Dalam Statuta Roma 1998 larangan berlakunya asas retroaktif diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) yang merumuskan sebagai berikut: Pasal 22 ayat (1) “Seseorang tidakdapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta ini kecuali jika tindakan tersebut pada waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana di dalam yurisdiksi di dalam Mahkamah ini”. Pasal 24 ayat (1) “Tidak ada seorang pun bisa bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta ini untuk suatu tindakan sebelum berlakunya Statuta ini”. 2. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi manusia a. Pengertian Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 1 BAB I tentang Ketentuan Umum, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep hak-hak 27 asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar. Pertama, bahwa hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga yang tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama. b. Hak-hak yang diproklamasikan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Hak-hak dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dapat dibagi dalam dua macam hak, yaitu: 1) Hak-hak yang berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik termasuk hak untuk hidup, kebebasan, keamanan pribadi kebebasan dari penganiayaan dan perbudakan, partisipasi politik, hak-hak atas harta benda, perkawinan dan kebebasan dasar untuk menyatakan pendapat, ungkapan, pikiran, suara hati dan agama, kebebasan untuk berkumpul dan bersidang. 2) Hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang berhubungan dengan pekerjaan, tingkat kehidupan yang pantas, pendidikan, kebebasan hidup berbudaya. Selain itu, pasal pertama dari Deklarasi menyatakan kemutlakan hak-hak itu dipandang dari sudut persamaan martabat manusia, Pasal 2 menyatakan hak semua orang atas hak yang telah ditetapkan tanpa diskriminasi apapun. Prioritas yang mendasari hak-hak yang diumumkan dalam deklarasi itu dimuat dalam Mukadimah Deklarasi, dimulai dengan pengakuan martabat dan 28 hak yang sama dan yang tidak dapat dicabut dari semua anggota umat manusia. 3) Hak-hak yang bersifat Derogable Rights dan Non derogable rights Istilah derogable rights diartikan sebagai hak-hak yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu. Sementara itu istilah non derogable rights maksudnya adalah ada hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi(dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun. Dua kovenan penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yaitu Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOSBUD) sesungguhnya memuat jenis-jenis hak yang memiliki sifat berbeda dalam pelaksanaannya. Kovenan Hak SIPOL yang tergolong dalam non derogable rights diantaranya memuat hak-hak seperti: a) hak hidup; b) hak bebas dari perbudakan dan penghambaan; c) hak untuk tidak dijadikan obyek dari perlakuan penyiksaan-perlakuan atau penghukuman keji; d) hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia; e) hak untuk mendapatkan pemulihan menurut hukum; f) hak untuk dilindungi dari penerapan hukum pidana karena hutang; g) hak untuk bebas dari penerapan hukum pidana yang berlaku surut; dan h) hak diakui sebagai pribadi didepan hukum; kebebasan berpikir dan berkeyakinan agama. Dengan demikian, tidak dibernarkan suatu negara manapun mengurangi, membatasi atau bahkan mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak di atas. Jika pembatasan terpaksa harus dilakukan, hanya dan bila hanya syarat-syarat 29 komulatif yang ditentukan oleh Kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang bersangkutan. Syarat komulatif yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara; (2) penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial; dan (3) pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB). Sementara itu yang dimaksudkan sebagai hak yang bersifat dapat ditangguhkan atau dibatasi oleh negara pemenuhannya adalah yang dimuat dalam Kovenan kedua, yaitu Kovenan Hak EKOSOSBUD. Diantaranya yang dimaksud sebagai derobagle rights adalah: (a) hak untuk bekerja; (b) hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik; (c) hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi; (d) hak mendapatkan pendidikan; (e) hak berpartisipasi dan berbudaya. Namun sama halnya seperti hak SIPOL, penangguhan atau pembatasan juga diperketat yaitu dalam hal pembatasan tersebut harus diatur oleh hukum dan dengan maksud semata-mata untuk memajukan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (Pasal 4 Kovenan Hak Ekososbud).Oleh karena dua Kovenan di atas merupakan bagian dari The Internasional Bill of Rights yang bersifat universal dan berlaku sebagai hukum yang mengikat semua negara, maka suatu negara tidak bisa mengabaikan hak-hak warga negaranya hanya dengan dalih demi melindungi kepentingan umum, tanpa adanya aturan yang sudah dinyatakan sebelumnya dalam suatu Undang-Undang yang berlaku efektif di negara tersebut. Terlebih 30 lagi pemenuhan hak-hak SIPOL, dimana jika salah satu atau dua syarat saja yang dijelaskan di atas terpenuhi, masih belum cukup kuat untuk dijadikan dasar bagi negara melakukan pembatasan dan penangguhan. d. Dimensi Absolut dan Relatif Hak Asasi Manusia 1) Pandangan Universal Absolut Pandangan ini melihat HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM Internasional, seperti The Internatinal Bill of Human Rights. Dalam hal ini profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan. Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju dan bagi negaranegara berkembang mereka dinilai eksploitatif, karena menerpkan HAM sebagai alat penekan dan sebagai instrumen penilai. 2) Pandangan Universal Relatif Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal, namun demikian perkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asasasas hukum internasional tetap diakui keberadaannnya. Sebagai contoh adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat 2 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menegaskan bahwa: “ In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitation as are determined by law solely for the purpose of the securing due recognition and respect for the rights and freedom of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society”. Untuk menjabarkan makna dari Pasal 29 ayat 2 UDHR ini, PBB telah melakukan pembahasan dalam The San Fransisco Conference, Commission on Human Rights dan The Third Committee of the General Assembly, yang semuanya memberi peringatan dini bahwa negara-negara 31 anggota PBB dilarang untuk menyalahgunakan batasan-batasan yang diberikan untuk tujuan-tujuan yang tidak tepat. 3) Pandangan Partikularistis Absolut Pandangan ini melihat HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini seringkali menimbulkan kesan chauvinist, egois, defensif dan pasif tentang HAM. 4) Pandangan Partikularistis Relatif Dalam Pandangan ini, HAM dilihat disamping sebagai masalah universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakunya dokumen-dokumen HAM internasional harus diselaraskan, diserasikan dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan budaya bangsa. Pandangan ini tidak hanya menjadikan kekhusussan yang ada pada masing-masing bangsa sebagai sasaran untuk bersikap defensif, tetapi di lain pihak juga aktif mencari perumusan dan pembenaran terhadap karakteristik HAM yang dianutnya. 3. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat a. Pengertian Pelanggaran HAM berat Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 6, dinyatakan bahwa Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang 32 Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 2, yang dimaksud Pelangggaran Hak Asasi Manusia yang Berat adalah pelanggaran hak asasi mnusia sebagimana dimaksud dalam undang-undang ini, kemudian dalam pasal 7 dinyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. b. Macam-macam Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Macam-macam pelanggaran HAM berat dalam hukum positif nasional dan yang diatur dalam Statuta Roma 1998 terdapat perbedaaan, hal ini terjadi karena Indonesia belum meraitfikasi Statuta Roma 1998, serta mengenai kejahatan perang dan kejahatan agresi masih terdapat perbedaan pendapat diantara negara-negara anggota mengenai pengaturannnya. 1) Jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dapat diketahui dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9. Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok ; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Jika diuraikan ketentuan tersebut terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut: a) setiap perbuatan 33 Yang dimaksud dengan unsur “perbuatan” adalah baik perbuatan yang bersifat positif (=berbuat) maupun yang bersifat negatif (=tidak berbuat). Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara: (1) membunuh anggota kelompok Penjelasan Pasal 8 huruf a menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “anggota kelompok” adalah seorang atau lebih anggota kelompok. Berpedoman pada “Elements of Crimes”, dari Penjelasan Pasal 8 huruf a tersebut, dapat diketahui bahwa perbuatan dari pelaku pelanggaran HAM yang berat ini adalah: (a) membunuh satu orang atau lebih; (b) orang yang dibunuh tersebut adalah anggota kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu; (c) pembunuhan itu dilakukan secara jelas dalam polapola tertentu yang ditujukan kepada kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu yang dapat menyebabkan kehancuran atau kemusnahan. Dengan demikian, yang dibunuh tidak perlu seluruh atau sebagian dari anggota kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu, tetapi sudah cukup jika yang dibunuh itu seorang atau lebih dari anggota kelompok tersebut. (2) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok Penderitaan fisik atau mental sebagimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b tidak sekedar hanya penderitaan fisik atau 34 mental yang biasa, tetapi adalah penderitaan fisik atau mental yang berat atau serius terhadap anggota kelompok lain. Berpedoman pada “Elements of Crimes”, perbuatan dari pelaku pelanggaran HAM yang berat ini berupa: (a) melakukan perbuatan yang menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat pada satu orang atau lebih; (b) orang yang mengalami penderitaan fisik atau mental tersebut adalah anggota kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama tertentu; (c) perbuatan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat tersebut dilakukan secara jelas dalam pola-pola tertentu yang ditujukan pada kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, atau kelompok agama tertentu yang dapat menyebabkan kehancuran atau kemusnahan. Dalam “Elements of Crimes” diberikan catatan bahwa penderitaan ini tidak terbatas pada penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan seksual dan perbuatan yang tidak manusiawi. (3) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; Berpedoman pada “Elements of Crimes”, perbuatan dari pelaku pelanggaran HAM yang berat ini berupa: (a) pelaku melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kondisi-kondisi kehidupan tertentu pada satu orang atau lebih; (b) orang tersebut adalah merupakan anggota kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu; 35 (c) kondisi kehidupan semacam itu dapat mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian kelompok; (d) perbuatan yang menimbulkan kondisi-kondisi kehidupan tertentu tersebut dilakukan secara jelas dalam pola-pola tertentu yang ditujukan kepada kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu yang dapat menyebabkan kehancuran atau kemusnahan. Dalam “Elements of Crime” diberikan catatan bahwa kondisi ini tidak terbatas pada pemutusan jalur/persediaan makanan atau obat-obatan atau sandang, pangan, dan tempat tinggal. (4) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau Berpedoman pada “Elements of Crimes”, perbuatan dari pelaku pelanggaran HAM yang berat ini berupa: (a) Pelaku dengan memaksa melakukan tindakan-tindakan tertentu terhadap satu orang atau lebih; (b) Orang tersebut adalah merupakan kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu; (c) Tindakan dengan memaksa tersebut adalah adalah tindakan untuk mencegah kehamilan dalam kelompok; (d) Dilakukan secara jelas dalam pola-pola tertentu yang ditujukan kepada kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu yang dapat menyebabkan kehancuran atau kemusnahan. (5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. 36 Berpedoman pada “Elements of Crimes”, perbuatan dari pelaku pelanggaran HAM yang berat ini berupa: (a) Pelaku dengan memaksa memindahkan satu orang atau lebih; (b) Orang tersebut adalah merupakan anggota kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu; (c) Pemindahan dilakukan dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain; (d) Orang yang dipindahkan berumur di bawah 18 tahun; (e) Pelaku mengetahui atau secara wajar dianggap mengetahui bahwa oarang yang dipindahkan tersebut berumur di bawah 18 tahun; dan (f) Pemindahan secara paksa dilakukan secara kelas dalam pola-pola tertentu yang ditujukan kepada anggota kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu yang dapat menyebabkan kehancuran dan kemusnahan. Dalam “Elements of Crime” diberikan catatan bahwa paksaan tidak terbatas pada paksaan fisik, tetapi termasuk pula ancaman secara fisik yang menyebabkan ketakutan akan kekerasan, ancaman hukuman, paksaan psikologis atau penyalahgunaan wewenang atas manusia tersebut atau mengambil kesempatan pada saat berlangsungnya kondisi tersebut. b) Dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Berpedoman pada “Elements of Crime” setiap perbuatan yang dilakukan masing-masing dengan cara seperti yang disebutkan 37 pada angka 1 tersebut dilakukan “dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama” yang merupakan unsur subjektif dari tindak pidana yang berupa kejahatan genosida. Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid. Jika diuraikan ketentuan tersebut terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut: (1) Melakukan salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari serangan. Pengertian “serangan” tidak mutlak harus dilakukan secara langsung (berhubungan dengan fisik korban) oleh unsur penguasa 38 atau organisasi yang mengeluarkan kebijaksanaan tersebut. Namun perbuatan yang dilakukan oleh sesama warga sipil dalam konflik sipil akibat suatu desain konflik yang terpola dari kebijakan penguasa atau organisasi, sudah memenuhi syarat terpenuhinya kualitas suatu perbuatan. Kualitas serangan tidak mutlak bersifat militer dengan senjata organik dan juga tidak diartikan terbatas hanya serangan yang sifatnya langsung kepda fisik korban dari penguasa atau organisasi. Masing-masing perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah sebagai berikut: (a) pembunuhan Yang dimaksud “pembunuhan” adalah sebagimana tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan rencana. Dalam “Elements of Crime” disebutkan pembunuhan tersebur dilakukan terhadap satu orang atau lebih. (b) pemusnahan Penjelasan Pasal 9 huruf b menyebutkan bahwa “pemusnahan meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan ada sebagian penduduk. Pada “Elements of Crime” disebutkan bahwa perbuatan tersebut berupa; (i) Pelaku melakukan pembunuhan terhadap satu orang atau lebih, menyebabkan penduduk. termasuk melakukan kehancuran sebagian kegiatan atau yang seluruh 39 (ii) Perbuatan tersebut merupakan atau menjadi bagioan dari pembunuhan massal penduduk sipil. (c) perbudakan Penjelasan Pasal 9 huruf b menyebutkan bahwa yang dimaksud perbudakan adalah termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak. Berpedoman pada “Elements of Crime” perbuatan dari pelaku berupa pelaksanaan sebagian atau semua kekuasaan yang melekat dengan hak kepemilikan terhadap seseorang termasuk memperjualbelikan, mempertukarkan manusia atau menyewakan, melalui atau perbuatan denganmerampas kebebasan. (d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyebutkan bahwa yang dimaksud pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah diaman mereka bertempat tinggal secara sah tanpa didasari alasan yang diizinkan oleh hukum internasional. Berpedoman pada “Elements of Crime” dapat diketahui perbuatan dari pelaku berupa: (i) Melakukan pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal ke daerah lain tanpa didasari alasan yang diizinkan oleh hukum internasional. (ii) Orang-orang tersebut secara hukum diakui bertempat tinggal di daerah dimana ia dipindahkan. 40 (iii)Pelaku secara sadar mengetahui bahwa keberadaan orang didaerah dimana ia dipindahkan adalah menurut hukum. (e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional Dalam ““Elements of Crime” dapat diketahui perbuatan dari pelaku berupa: (i) Pelaku merampas kemerdekaan atau kebebasan fisik satu orang atau lebih. (ii) Perampasan tersebut adalah merupakan pelanggaran ketentuan pokok hukum internasional. (iii)Pelaku secara sadar mengetahui bahwa perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik tersebut adalah melanggar ketentuan pokok hukum internasional. (f) penyiksaan Penjelasan Pasal 9 huruf h menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyiksaan adalah dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan. Dalam “ Elements of Crime” dinyatakan bahwa perbuatan dari pelaku pelanggaran HAM yang berat ini adalah: (i) Pelaku dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental terhadap seorang atau lebih. (ii) Orang tersebut berada dalam tahanan atau pengawasan dari pelaku. 41 (iii)Kesakitan atau penderitaan yang berat tersebut tidak termasuk kesakitan atau penderitaan yang melekat atau sebagai akibat dari sanksi yang sah. (g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; Penjelasan Pasal 9 huruf g dinyatakan “cukup jelas” demikian juga dalam penjelasan Statuta Roma hanya memberi penjelasan mengenai ketentuan “pemaksaan kehamilan”. Dalam “ Elements of Crime” diberikan penjelsanan sebagai berikut: (i) perkosaan Perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat berupa: (i).1 Pelaku memasuki wilayah tubuh dari seseorang dengan melakukan penetrasi sekecil apapun terhadap bagian tubuh korban dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya dari pelaku. (i).2 Perbuatan sebagaimana diterangkan dalam angka 1 dilakukan dengan kekerasan atau kekerasan penggunaan atau ancaman paksaan seperti ketakutan akan kekerasan, dibawah paksaan, penahanan, penyalahgunaan tekanan kekuasaan psikologis atau atau mengambil keuntungan dari keadaan tersebut atau perbuatan itu dilakukan terhadap orang yang tidak mampu memberi persetujuan. 42 (ii) perbudakan seksual Perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat berupa: (ii).1 Pelaku melaksanakan sebagian atau seluruh kekuasaan yang melekat dengan hak kepemilikan terhadap seseorang, termasuk memperjualbelikan, menyewakan atau mempertukarkan manusia atau melalui perbuatan dengan merampas kebebasan. (ii).2 Perbuatan tersebut menyebabkan satu orang atau lebih terlibat dalam melakukan perbuatan seksual. (iii) pelacuran secara paksa Perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat berupa: (iii).1 Pelaku menyebabkan satu orang atau lebih untuk melakukan hubungan seksual yang didasarkan atas kekerasan ancaman kekerasan atau penggunaan paksaan ketakutan akan kekerasan, dibawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau mengambil keuntungan dari keadaan tersebut atau perbuatan itu dilakukan terhadap orang yang tidak mampu memberi persetujuan. (iii).2 Pelaku atau orang lain yang menarik atau mengharapkan keuntungan dari perbuatan seksual tersebut. (iv) pemaksaan kehamilan, Pasal 7 ayat (2) huruf f Statuta Roma maupun dalam “ Elements of Crime” ditentukan bahwa yang dimaksud dengan “pemaksaan kehamilan” adalah penahanan tidak sah terhadap seorang perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud 43 memengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum internasional. (v) pemandulan atau sterilisasi secara paksa Berdasarkan “Element of Crimes” perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat ini berupa: (v).1 Pelaku menghilangkan kemampuan reproduksi biologis dari salah satu orang atau lebih. (v).2 Perbuatan tersebut bukan perbuatan yang diizinkan oleh dokter atau rumah sakit atau tanpa persetujuan dari yang bersangkutan. (vi) bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara Berdasarkan “Element of Crimes” perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat ini berupa: (vi).1 Melakukan perbuatan seksual terhadap satu orang atau lebih atau memerintahkan satu orang atau lebih untuk melakukan perbuatan seksual dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau penggunaan paksaan seperti ketakuatan atau kekerasan, dibawah paksaan penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil keuntungan dari perbuatan tersebut atau perbuatan itu dilakukan terhadap orang yang tidak mampu memberi persetujuan. (vi).2 Perbuatan tersebut adalah sebanding dengan perbuatan lain yang terdapat dalam Pasal 7 huruf g, yaitu Statuta Roma. (vi).3 pelaku mengetahui tentang keadaan faktual yang tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatannya 44 merupakan bentuk kekerasan seksual yang cukup berat. (h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional Dengan berpedoman pada “Element of Crimes”, perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat ini adalah: (i) merampas dengan kejam dari seorang atau lebih hakhak dasarnya yang bertentangan dengan hukum internasional; (ii) perampasan hak-hak dasar tersebut dilakukan dengan meniadakan identitas kelompok atau kumpulan dari orang tersebut. (iii)kelompok atau kumpulan dari orang tersebut didasari atas persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. (i) penghilangan orang secara paksa Berpedoman pada “Element of Crimes”, perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat ini adalah: (i).a pelaku melakukan: (i).a.1Penangkapan, penahanan, atau penculikan terhadap satu oarang atau lebih. (i).a.1Penolakan untuk memberikan alasan dari penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut 45 atau menolak memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut. (i) b.1 Penangkapan, penahanan atau penculikan itu diikuti dengan penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan tersebut atau memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut. b.2 Penolakan didahului atau dibarengi dengan perampasan kebebasan. (i) c. pelaku sadar bahwa: (i) c.1 Penangkapan, penahanan atau penculikan akan diikuti dengan suatu rangkaian tindakan yang biasanya dilakukan dengan penolakan untuk mengakui adanya perampasan kebebasan atau memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut. (i) c.2 Penolakan didahului atau dibarengi dengan perampasan kebebasan. (i) d. Penangkapan, penahanan atau penculikan dilakukan oleh atau dengan hak, dukungan atau dukungan diamdiam dari negara atau suatu organisasi politik. (i) e. Penolakan untuk memberi hak kebebasan atau memberi informasi tersebut dilakukan oleh atau dengan hak atau dengan dukungan negara atau suatu organisasi politik. (i) f. Pelaku mempunyai maksud untuk melepaskan orang tersebut dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang. (g) kejahatan apartheid. 46 Berpedoman pada “Elements of Crime” diketahui bahwa perbuatan pelaku pelanggaran HAM berat ini adalah: (i) pelaku melakukan perbuatan yang tidak manusiawi terhadap satu orang atau lebih. (ii) perbuatan yang tidak manusiawi tersebut adalah perbuatan dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam Pasal 8 atau merupakan suatu tindakan yang berkarakter sama dengan tindakan yang dimaksudkan itu. (iii)pelaku secara sadar mengetahui keadaan faktual yang turut menentukan kadar keseriusan tindakan tersebut. (iv) pelaku melakukan perbuatan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi suatu kelompok rasial atas kelompok atau kelompokkelompok ras lain. (v) dalam melakukan perbuatannya, pelaku mempunyai maksud untuk mempertahankan rezim itu. (2) Perbuatan tersebut adalah merupakan bagian dari serangan yang dilakukan secara meluas atau sistematik. (3) Serangan tersebut diketahui ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. b. Jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma 1998 (Rome Statute of the International Criminal Court), yang termasuk kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat (the most serious crimes) ada 4 macam, yaitu: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan; c. kejahatan perang; d. kejahatan agresi. 47 Mengenai “Elements of Crime” dalam kejahatan genosida dan kejahatan kemanusian dalam Statuta Roma adalah sama dengan dengan “elements of crime” yang telah dijelaskan sebelumnya, karena Indonesia hanya mengadopsi ketentuan tersebut dari Statuta Roma 1998. 4. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan HAM AD HOC a. Pengertian Pengadilan HAM Pengertian Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM dalam Pasal 1 angka 3 adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Jika pengertian Pengadilan HAM pada Pasal 1 angka 3 dikaitkan dengan Pasal 2 yang menentukan bahwa Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum, dan Pasal 4 yang menentukan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, maka menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan HAM adalah pengadilan yang berada dilingkungan Peradilan umum yang hanya bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat saja. (R. Wiyono, 2006:9). Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa dibentuknya Pengadilan HAM dilaksanakan atas pertimbangan sebagai berikut: 1. Pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crimes dan berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, 48 ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. 2. Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkahlangkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus, yaitu: a. diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc, penyidikan ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc. b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM, sedangkan penyidik tidak berwenangmenerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP. c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. d. diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi. e. diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagim pelanggaran HAM yang berat. b. Pengertian Pengadilan HAM Ad hoc Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak ada ketentuan yang menyebutkan pengertian dari Pengadilan HAM Ad hoc, tetapi jika ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 dikaitakan dengan Pasal 43 ayat (1) yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad hoc. Dengan demikian dapat dikethui bahwa yang dimaksud Pengadilan HAM Ad hoc adalah pengadilan khusus yang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pada tanggal 23 November 2000. 49 c. Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM Ad hoc 1. Kewenangan Absolut a. Memeriksa dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakukanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pada tanggal 23 November 2000. b. Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Pengadilan HAM yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Undang-undang Pengadilan HAM tidak memuat seluruh jenis pelanggaran HAM yang terdapat dalam Statuta Roma 1998, Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra (yang pada tahun 2001 masih menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI) memberikan penjelasan mengenai beberapa pertimbangan yang ditempuh Pemerintah Indonesia: 1. Pertama, dua jenis pelanggaran HAM lainnya ( kejahatan perang dan agresi) sampai saat ini masih dalam perdebatan negara anggota PBB dan Indonesia belum menentukan sikapnya secara tegas terhadap keduanya. 2. Kedua, Statuta Roma 1998 sudah diadopsi dalam Konferensi Diplomatik di Roma namun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998 sehingga tidak ada kewajiban pemerintah Indonesia untuk memenuhi seluruh ketentuan dalam Statuta Roma tersebut. Jika Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 mengadopsi sebagian ketentuan dalam Statuta Roma tersebut adalah dilatarbelakangi kepentingan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. 3. Ketiga, kepentingan pemerintah untuk mengundangkan UU nomor 26 tahun2000 didorong oleh kehendak untuk 50 memenuhi prinsip Komplementaritas (complementarity principles) yang dianut oleh Statuta Roma 1998 tersebut sehingga dengan cara demikian Undang-undang nasional Indonesia (UU Nomor 26 tahun 2000) mengenai peradilan atas perkara Pelanggaran HAM Berat sudah memenuhi standar minimum hukum internasional tersebut. 4. Keempat, karena Statuta Roma 1998 tersebut merupakan perjanjian internasional yang tidak boleh direservasi sama sekal maka ratifikasi terhadap Statuta Roma tersebut berdampak mengikat secara penuh negara peratifikasi sehingga pemerintah Indonesia masih harus berhati-hati untuk meratifikasinya. Untuk kepentingan Indonesia kebijakan pemerintah yang telah mengadopsi beberapa prinsip dan ketentuan dalam Statuta Roma tersebut merupakan kebijakan yang dianggap tepat untuk saat ini dan tidak akan membahayakan kedaulatan negara RI. 2. Kewenangan relatif Kompetensi relatif atau wewenang relatif, menjawab pertanyaan Pengadilan Negeri mana yang berwenang untuk mengadili perkara. Kewenangan Relatif atau kompetensi relatif dari Pengadilan HAM ad hoc adalah seperti yang ditentukan dalam Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, misalnya Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2000 yang diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 telah dibentuk Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam Keppres tersebut ditentukan bahwa Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli dan Soae pada bulan April 1999 51 dan bulan September 1999 dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Secara terinci berikut adalah pengadilan negeri yang memiliki kewenangan relatif mengadili pelanggaran HAM, yaitu: a. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta pusat dengan daerah hukum meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. b. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan daerah hukum meliputi: Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. c. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makasar dengan daerah hukum meliputi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya. d. Proses Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc Mekanisme pembentukan Pengadilan HAM ad hoc adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1), KOMNAS HAM melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. 2. Hasil penyelidikan KOMNAS HAM diserahkan kepada Jaksa Agung dan jika sudah lengkap, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Jaksa Agung selaku penyidik menindaklanjuti hasil penyelidikan tersebut dengan melakukan penyidikan. 3. Jika hasil penyidikan menunjukkan adanya cukup alat-alat bukti bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya 52 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, maka oleh Jaksa Agung diberitahukan kepada DPR dengan permintaan agar DPR mengajukan usul kepada Presiden agar membentuk Pengadilan HAM ad hoc. 4. Jika DPR setuju atau sependapat dengan permintaan dari Jaksa Agung, maka berdasarkan Pasal 43 ayat (2) DPR mengajukan usul kepada Presiden agar dikelurakan Keputusan Presiden tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. 53 B. Kerangka Pemikiran Pelanggaran HAM Berat Timor Timur Indonesia unwillingness dan/atau inability Indonesia willing dan able International Tribunal atau International Criminal Court Mekanisme Pengadilan Nasional Melalui Pengadilan HAM ad hoc Timor Timur Non Derogable Rights Belaku hukum Ex Post Facto TUJUAN Implikasi Bagi Hukum Indonesia Gambar 1 Bagan Kerangka Berpikir 54 The founding fathers ketika mendirikan Negara Republik Indonesia, merumuskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Oleh karena itu, hukum hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagaimana diketahui bahwa hak asasi manusia melekat pada setiap individu tanpa memandang perbedaan atas dasar etnis, golongan, asal-usul, warna kulit atau rambut, agama, paham politik dan sebagainya, agar hak asasi manusia itu menjadi jelas bagi setiap orang maka perlu dirumuskan dalam bentuk tertulis dalam kerangka hukum positif. Pada tataran internasional kaidah hukum tentang HAM sebagian besar berupa perjanjian-perjanjian internasional tentang HAM, sedangkan pada tataran nasional berupa peraturan perundang-undangan nasional tentang HAM. Dalam praktek atau penerapannya, apabila ada individu yang melakukan pelanggaran atas hak asasi manusia yang dipandang sebagai kejahatan maka akan diancam dengan sanksi pidana. Salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang tergolong kejahatan atau tindak pidana yang pernah terjadi di Indonesia adalah Pelanggaran HAM berat Timor Timur. Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Dalam sejarah perkembangan Hukum internasional, kejahatan tersebut juga merupakan bagian dari kejahatan internasional. Concern pemerintah Indonesia terhadap perkembangan masalahmasalah internasional terutama masalah kejahatan terhadap kemanusiaan melalui pembentukan pengadilan HAM menjadi sangan urgen dan mendesak untuk direalisasikan, jika tidak ingin terkucil dan dikucilkan dalam pergaulan internasional. Dalam menghadapi desakan dari dunia internasional dan menghindari intervensi PBB untuk membentuk pengadilan Tribunal atau membawa masalah 55 Timor Timur ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC), kemudian Pemerintah Indonesai merumuskan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pada tanggal 23 September 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada tanggal 23 November 2000, sebagai payung hukum untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Hal ini sejalan dengan prinsip ‘complementary’ yang menghendaki mekanisme penyelesaian secara hukum atas pelanggaran berat HAM pada prinsip exhaustion of local remedies yang mengutamakan penyelesaian secara hukum di forum pengadilan nasional. Dengan demikian, kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur diselesaikan dengan menggunakan aturan hukum yang berlaku surut atau menggunakan asas retroaktif atau ex post facto law. Persoalannya adalah penerapan hukum ex post facto masih menjadi polemik baik di Indonesia maupun dalam tataran internasional karena dianggap melanggar hak-hak asasi manusia yang bersifat non derogable rights. Berbagai pendapat yang memperkenankan atau melarang penerapan hukum hukum ex post facto memiliki dasar yang samasama kuat dan mungkin sama-sama tidak terbantahkan, sehingga meskipun hukum ex post facto telah dipraktikkan di berbagai negara namun tetap saja masih diperdebatkan, tidak terkecuali di Indonesia. Oleh karena itu, pada penulisan hukum ini penelulis akan menguraikan mengenai latar belakang penerapan hukum ex post facto dengan non derogable rights dalam putusan pengadilan HAM ad hoc dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur, dan tujuan penerapan hukum ex post facto dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur serta implikasinya terhadap hukum di Indonesia.