PERAN POLITIK ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) DI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.sos.) Oleh SUPRIYADI NIM. 202033201148 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/ 2008 M PERAN POLITIK ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) DI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.sos.) Oleh Supriyadi NIM. 202033201148 Di Bawah Bimbingan Ahmad Bakir Ihsan, M.Si. NIP. 150 326 915 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/ 2008 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul Peran Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 1 Desember 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 1 Desember 2008 Sidang Munaqasah Ketua/Merangkap Anggota Sekretaris/Merangkap Anggota Drs. H. Harun Rasyid, MA NIP. 150 232 921 Drs. H. Rifqi Muchtar NIP. 150 282 120 Anggota, Dr. Amin Nurdin, MA NIP. 150 232 919 Nawiruddin, MA NIP. 150 317 965 Pembimbing Ahmad Bakir Ihsan, M.Si NIP. 150 326 915 PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi yang digunakan dalam skripsi ini adalah pedoman transliterasi berdasarkan Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006/2007. ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ = = = = = = = = = = = = = = = = = = = tidak dilambangkan b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z ‘ gh ف ق ك ل م ن و ه ء ي = = = = = = = = = = f q k l m n w h ' y Untuk Mad dan Diftong ā = a panjang ī = i panjang ū = u panjang = أوaw = ُأ ْوuw ي ْ = َأai ي ْ = ِاiy DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR ............................................................................................ i PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... v DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Studi Pustaka ........................................................................................ 5 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7 D. Metode Penelitian ................................................................................ 8 E. Sistematika Penulisan ........................................................................... 8 BAB II. SELAYANG PANDANG TENTANG ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) ........................................................................................................... 11 A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ......................................................... 11 B. Latar Belakang dan Aktivitas Sosial Politik ..................................... 18 C. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid ............................................ 26 BAB III. MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) ........... 35 A. Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ............. 35 B. Visi, Misi, dan Struktur Kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) .................................................................................................. 41 C. Karakteristik dan Arah Perjuangan Politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) .................................................................................................. 44 BAB IV.ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) DAN DINAMIKA POLITIK PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) ............................... 46 A. Gus Dur dan PKB .......................................................................... 46 B. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 1999 ................................................... 51 1. Masa Pemilu 1999 ................................................................. 51 2. Gus Dur Jadi Presiden ........................................................... 56 3. Sidang Istimewa 2001 dan Konflik PKB ............................... 57 C. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 2004 ............................................... 61 1. Masa Pemilu 2004 ................................................................. 61 2. Konflik II dan Muktamar II PKB .......................................... 64 3. Dinamika Pasca-Muktamar II PKB dan Menjelang Pemilu 2009 ...................................................................................... 65 D. Dinamika Peran dan Pengauh Politik Gus Dur di PKB ............... 69 BAB V. PENUTUP .......................................................................................... 74 A. Kesimpulan ....................................................................................... 74 B. Kritik dan Saran ................................................................................ 75 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 78 LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN D. Latar Belakang Masalah Pembahasan mengenai Abdurrahman Wahid, yang selanjutnya disebut Gus Dur, dalam keterlibatannya secara langsung dengan dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebuah partai yang pernah membawanya kepada kursi kekuasaan pada 1999, adalah sebuah pekerjaan yang sulit dan membutuhkan analisis yang tajam tentu dengan data yang akurat dan referensi yang cukup banyak. Hal ini disebabkan sepak terjang politiknya yang sangat sulit untuk diprediksi. Gus Dur merupakan tokoh yang fenomenal dan disegani, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional. Hal ini tentu dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan pendidikannya. Kehadiran kedua kakek yang sekaligus pendiri organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan kedua orang tuanya yang juga merupakan tokoh bangsa yang disegani dan dikagumi oleh banyak orang sangat berpengaruh terhadap kepribadian Gus Dur di kemudian hari. Di samping itu, latar belakang pendidikan Gus Dur yang diperoleh di dalam maupun di luar negeri juga sangat membentuk karakter berpikir Gus Dur. Kehadiran Gus Dur di organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh kakeknya sendiri itu tentunya sangat memberikan efek yang luar biasa terhadap dirinya. Gus Dur, seperti kakek dan kedua orang tuanya, sangat disegani dan dihormati tidak hanya oleh jam’iyyah NU tetapi juga oleh golongan-golongan lain di luar organisasi yang membesarkannya. Ia kemudian menjadi panutan dan rujukan oleh banyak orang dalam menyelesaikan segala persoalan-persoalan umat dan bangsa, baik itu yang menyangkut persoalan agama, budaya, kehidupan sosial maupun persoalan-persoalan politik, kebangsaan, dan kekuasaan. Keterlibatan Gus Dur di sebuah partai besar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), merupakan bentuk nyata dari kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan politik, kebangsaan, dan kekuasaan. Kehadiran Gus Dur di dunia politik dengan semua gagasan-gagasan cemerlangnya ternyata dapat diterima oleh berbagai kalangan masyarakat, sekaligus menjadikannya tokoh alternatif dalam suksesi kepemimpinan nasional pada Sidang Umum MPR RI memimpin bangsa ini tahun 1999 untuk dengan legitimasi yang sangat kuat. Sebab, pemerintahannya adalah hasil Pemilu 1999 yang terbilang relatif demokratis, dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.1 Kemenangan Gus Dur menjadi Presiden RI pada sidang umum yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada waktu itu secara langsung memberikan efek yang sangat luar biasa terhadap kebesaran eksistensi PKB. Gus Dur, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam dirinya, telah dijadikan sebagai tokoh sentral partai yang dipuja-puja oleh konstituennya, apa yang dikatakan dan dilakukannya menjadi panutan dan rujukan bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 1 Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia (Jakarta: Republika, 2004), h. 102. Bayangan Gus Dur dalam visi, misi, dan perilaku politik PKB sangat dominan. Pandangan, gagasan, sikap, kebijakan, dan manuver-manuver politik Gus Dur sangat kentara mempengaruhi gerak langkah PKB di pentas percaturan politik nasional sejak Partai ini berdiri, masa kampanye Pemilu 1999, 2004 dan pastinya pada masa-masa berikutnya.2 Visi, misi, dan kebijakan-kebijakan politik PKB akan selalu berada di bawah bayang-bayang Gus Dur. Gus Dur-lah yang pada hakikatnya mengarahkan dan bahkan menentukan keputusan-keputusan politik yang telah dan akan diambil oleh PKB. Selain sebagai pengayom dan pemberi restu bagi berdirinya PKB, Gus Dur secara struktural memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengarahkan kebijakan atau keputusan-keputusan politik yang harus diambil oleh PKB.3 Dapat diduga bahwa setidak-tidaknya setiap keputusan dan kebijakan politik yang akan diambil oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan jajaran pimpinannya akan selalu dikonsultasikan dengan Gus Dur terlebih dahulu.4 Gus Dur diakui sebagai pembela kebebasan, demokrasi, dan HAM yang memiliki reputasi bagus di tingkat nasional dan internasional, hal ini tentu saja memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi PKB. Di bawah pijar-pijar bayangan Gus Dur, PKB tumbuh dan berkembang menjadi partai besar walaupun masih muda belia. Sementara itu, partai-partai baru yang seusia dengan PKB 2 Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999), Cet. I, h. 151. 3 Faisal, NU, Gus Durisme, h. 151. 4 Faisal, NU, Gus Durisme, h. 151. memperoleh suara yang sangat jauh dengan PKB. Tanpa Gus Dur, PKB tidak mungkin menjadi besar. Karena pengaruh Gus Dur dalam PKB sangat dominan, Gus Dur akan selalu menjadi pola anutan dan acuan PKB dalam mengambil kebijakan-kebijakan dan keputusan politiknya.5 Kenyataan di atas lah yang kemudian memunculkan opini bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah milik Gus Dur, dan bukan sebaliknya, Gus Dur milik PKB. Opini ini kemudian meluas sampai pada sebuah perdebatan di kalangan publik, banyak orang beranggapan bahwa peran politik Gus Dur di PKB dikarenakan integritas dan kapabilitasnya sebagai politisi yang memiliki posisi tawar yang tinggi di pentas politik nasional. Ada pula yang beranggapan bahwa peran politiknya yang cukup kental di PKB dikarenakan posisi strukturalnya sebagai Dewan Syuro. Terlepas dari itu semua, pada kenyataannya Gus Dur telah menjadi icon bagi PKB. Jika demikian, bagaimanakah nasib dan arah pergerakan politik PKB masa depan (pasca-Gus Dur), bukankah sikap ketergantungan yang berlebihan terhadap satu sosok kepemimpinan sangat membahayakan bagi keberlangsungan kaderisasi dan eksistensi suatu partai? Menurut Efendi Ghazali, “Figur seorang yang ditokohkan bisa menjadi bomerang bagi partai itu sendiri.” Jika dilihat bagaimana Megawati di PDI-P begitu ditokohkan, akhirnya PDI-P pecah.6 Golkar berada diambang kehancuran ketika tokoh yang dijadikan sebagai iconnya, Soeharto, hancur pada 1998. 17. 5 Faisal, NU, Gus Durisme, h. 153. 6 “Demokrat – SBY Pisah Ranjang,” Opini Indonesia, 29 Januari – 4 Februari 2007, h. Keberanian partai-partai, seperti PAN yang dulunya sangat bergantung pada popularitas Amien Rais, sekarang sudah berani memasang muka-muka baru sebagai icon partainya. Demikian pula, PBR tidak lagi menjadikan sosok Zaenuddin M.Z. sebagai panutannya. Keberanian partai-partai itu lepas dari figur tokoh karena dipengaruhi oleh kesadaran akan pentingnya proses regenerasi internal. Secara alamiah, partai perlu regenerasi seiring dengan menurunnya kredibilitas dan popularitas tokoh-tokoh lama. Partai Thai Rak di Thailand adalah contoh partai yang begitu bergantung pada ketokohan Taksin (mantan Perdana Menteri Thailand), setelah Taksin dikudeta maka partai tersebut ikut bubar.7 Lalu pertanyaannya, apakah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan mengalami hal yang sama, kredibitas dan popularitasnya akan menurun atau bahkan hancur seiring dengan menurun dan hancurnya tingkat popularitas tokohnya? dan apakah PKB juga sadar akan pentingnya proses regenerasi demi menyelamatkan eksistensi Partai dengan melepaskan diri dari figur Gus Dur, seperti yang sudah dilakukan oleh partai-partai pesaingnya? Dalam tulisan ini, penulis mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu dengan berdasarkan analisis dan kajian historis yang lengkap dan akurat, sehingga jawaban yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan. E. Studi Pustaka Kajian tentang Peran Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara spesifik dapat dikatakan belum ada. Namun, 7 “Demokrat – SBY Pisah Ranjang,” Opini, h. 17. penulis menemukan satu kajian tentang “Nahdlatul Ulama (NU) dan Politik: Sebuah Telaah Terhadap Gerakan Politik NU di Era Reformasi” yang ditulis oleh Zaenal Agus Sugiarto, mahasiswa UIN Jakarta, tahun 2002/2003. Di sini, ia hanya membahas secara umum bagaimana NU sebagai organisasi besar Islam kembali di kancah perpolitikan nasional pasca runtuhnya rezim Orde Baru (Reformasi) dengan melihat PKB sebagai jalan tengah politik NU dan Gus Dur dipandang sebagai bagian terkecil dari sub pembahasan. Berbeda dengan kajian di atas, di sini penulis mencoba melihat sisi lain dari dinamika politik Gus Dur di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara spesifik dan lebih fokus. Hal ini dikarenakan, penulis berasumsi bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sangat bergantung terhadap ketokohan seorang Gus Dur. Artinya, segala aktifitas dan kebijakan-kebijakan politik PKB akan selalu berada di bawah bayang-bayang Gus Dur, dan hal ini yang dipandang oleh banyak tokoh politik sebagai sesuatu yang sangat membahayakan terhadap eksistensi partai, khususnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). C. Batasan dan Perumusan Masalah Dalam tulisan ini, penulis memberikan objek khusus mengkaji tentang tokoh yang fenomenal dan sering kontroversial, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dalam keterlibatan dan pengaruhnya terhadap dinamika politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Seperti dikatakan, Peran politik Gus Dur secara struktural dengan kewenangan yang begitu luas di PKB membuat Gus Dur begitu bebas dalam menentukan dan mengarahkan kebijakan atau keputusan-keputusan politik PKB. Di samping itu, Gus Dur adalah sosok yang sangat sulit untuk dipahami. Beliau tidak hanya dipandang sebagai politikus handal, tetapi juga sebagai tokoh agama, sosial, dan budaya. Sehingga apa yang dikatakan dan dilakukannya tidak bisa ditafsirkan begitu saja, harus dilihat kapan, di mana, dan posisi sebagai apa beliau pada saat itu, jika tidak maka kesalahpahaman-lah yang akan muncul. Oleh sebab itu, untuk tidak terjebak dalam kesalahpahaman yang sama, penulis mencoba membatasi kajian ini dengan melihat beliau (Gus Dur) sebagai seorang politikus yang memiliki peran dan pengaruh dalam dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang dirumuskan dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimanakah peran dan pengaruh politik Gus Dur dalam dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari sejak partai ini dideklarasikan sampai menjelang pemilu 2009 pasca dikeluarkannya keputusan MK tentang konflik internal PKB?” D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sebagaimana layaknya karya tulis, tentu saja Skripsi ini memiliki beberapa tujuan yang mudah-mudahan bermanfaat. Adapun tujuan dalam penulisan Skripsi ini diantaranya adalah: D.1. Tujuan Penelitian Menambah wacana perpolitikan nasional. Memahami secara konprehensif sejauh mana peran dan pengaruh politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari sejak partai ini didirikan, tahun 1998, sampai menjelang Pemilu 2009 pasca dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penyelesaian konflik dualisme di internal PKB. D.2. Manfaat Penelitian Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang politik, khususnya tentang Partai Kebangkitan Bangsa. Sebagai tambahan wacana politik bagi kita dalam turut serta membangun perpolitikan nasional. Dari hasil penelitian ini, diharapkan nantinya dapat dimanfaatkan untuk menjawab permasalahan serupa yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. E. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data yang berbentuk dokumenter, berupa: buku, majalah, koran, dan artikel yang berhubungan dengan peran politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pembahasan penelitian ini menggunakan tehnik deskriptif-analisis, yaitu menggambarkan bagaimana peran politik Abdurrahman Wahid di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan menganalisis berbagai macam data yang tentunya diperkuat oleh pemikiran-pemikiran dan statement yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh yang berkompeten di bidang politik, baik lewat media massa, elektronik, maupun dalam berbagai seminar. Untuk pedoman penulisan ini, penulis menggunakan buku Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Ceqda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. F. Sistematika Penulisan Skripsi ini, disusun berdasarkan bab per bab, kemudian dijelaskan dalam sub-sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian, penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: Pada bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang menjelaskan latar belakang masalah, studi pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab kedua, akan dibahas selayang pandang tentang Abdurrahman Wahid dengan sub-subbab yang terdiri dari riwayat hidup dan pendidikan, latar belakang dan aktifitas sosial politik, serta pemikiran politiknya. Pada bab ketiga, akan dibahas mengenal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan sub-sub judul: latar belakang lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), struktur kepengurusan, serta visi, misi, dan arah gerakan politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada bab keempat, penulis mencoba mengungkap bagaimana sebenarnya hubungan antara Abdurrahman Wahid dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan melihat bagaimana peran dan pengaruh Gus Dur dalam dinamika politik Partai Kebangkitan Bangsa, kemudian bagaimana keterlibatan Gus Dur di PKB pada Pemilu 1999, bagaimana ketika Gus Dur jadi Presiden RI yang berakhir pada Sidang Istimewa 2001 yang kemudian berujung terjadinya konflik internal di tubuh PKB dan kita akan melihat bagaimana pula peran politik Gus Dur di PKB pada masa Pemilu 2004, pada saat terjadinya konflik II dan Muktamar II PKB, serta dinamika pasca-Muktamar II PKB dalam rangka menyambut Pemilu 2009 pasca dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang konflik dualisme di internal PKB. Pada bab kelima, akan ditulis kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah di atas, serta kritik dan saran. BAB II SELAYANG PANDANG TENTANG ABDURRAHMAN WAHID A. Riwayat Hidup dan Pendidikan Abdurrahman, kata yang sering kita dengar, dan tidak jarang setiap orang yang memakai nama itu tergolong orang-orang yang tumbuh dengan kebesaran dan keagungan. Di antaranya, Syaikh Abdurrahmān al-Akhdori, pengarang kitab klasik Jauhār al-Maknūn, Abdurrahmān al-Dakkhil penakluk kota Spanyol seorang Khalifah Islam di Andalusia, Spanyol, dan mungkin masih banyak lagi.8 Dan, tidak berbeda pula dengan kiai yang satu ini, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang lahir pada bulan Sya‘ban, bulan kedelapan. Tepatnya 4 Sya‘ban 1940 atau 7 September. Akan tetapi, ulang tahunnya sendiri lebih sering dirayakan pada tanggal 4 Agustus. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri. Kedua kakek Gus Dur, yakni Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy‘ari adalah ulama yang sangat berpengaruh dan dihormati. Keduanya adalah tokoh pendiri NU. 9 Kiai Hasyim Asy‘ari, kakek Gus Dur dari pihak ayah, merupakan tokoh pendiri NU pada tahun 1926. Sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan yang tradisional, beliau juga dikenal sebagai seorang Nasionalis yang teguh pendirian. Banyak dari temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka 8 Achmad Mufid A.R., Ada Apa Dengan Gus Dur,(Yogyakarta: Kutub, 2005), h. 3. 9 Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 26-27. gerakan Nasionalis pada periode sebelum perang. Setelah NU didirikan, kakek Gus Dur ini diangkat sebagai Ra’is Akbar yang secara harfiah berarti Ketua Agung. Dalam posisi ini, beliau menjadi Kepala Penasihat Agama dalam organisasi NU. Gelar lain dari kakek Gus Dur ini adalah Guru Agung atau Hadrat al-Syaikh.10 Sedangkan kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri, juga merupakan tokoh kunci organisasi NU bersama dengan Kiai Hasyim Asy‘ari. Selain itu beliau juga aktif dalam pergerakan nasional. Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, tumbuh besar dan belajar di madrasah ayahnya, Hasyim Asy‘ari. Sedangkan ibu dari Wahid Hasyim (nenek Gus Dur) adalah puteri dari keluarga ningrat Jawa. Wahid Hasyim dibesarkan dengan perlengkapan untuk menjadi bagian dari masyarakat elit perkotaan. Setelah mengenyam dua tahun pendidikan di Mekah, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengembangkan gagasannya, yakni mengawinkan pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik di Tebuireng. Pada tahun 1938, Wahid Hasyim mulai bergabung dalam organisasi NU untuk menyalurkan hasratnya ikut ambil bagian dalam kancah politik serta gerakan Nasionalis.11 Ibu kandung Gus Dur bernama Solichah. Ayah Gus Dur menikahi ibunya saat usianya baru menginjak enam belas tahun. Karena usianya yang masih begitu muda saat menikah, maka Solichah tidak mengenyam banyak pendidikan, akan tetapi ia selalu ingin tahu dan memiliki pikiran aktif dan keinginan kuat. Solichah 10 Barton, Biografi Gus Dur, h. 26-28. 11 Barton, Biografi Gus Dur, h. 31. muda mengenyam banyak pendidikan di madrasah milik ayahnya (Kiai Bisri Syansuri). Setelah menikah Solichah mendapatkan bimbingan dari suaminya. Sebagaimana kebiasan santri Jawa dan kaum muslim ortodoks, Gus Dur menggunakan nama ayahnya setelah namanya sendiri, yakni menjadi Abdurrahman Wahid (Abdurrahman putera Wahid). Akan tetapi, nama resminya lain lagi, yakni Abdurrahman ad-Dakhil. Gus Dur adalah anak pertama dari Wahid Hasyim dan Solichah.12 Pada akhir tahun 1944, Gus Dur yang baru berusia empat tahun diajak ayahnya untuk menetap di Jakarta, sedangkan ibu dan adik-adiknya tetap berada di Jombang. Gus Dur bersama dengan ayahnya menetap di Menteng, Jakarta Pusat, yang saat itu merupakan tempat bermukimnya para pengusaha terkemuka, para profesional, dan politikus. Daerah Menteng saat itu merupakan pusat kegiatan sehingga dengan mudah Wahid Hasyim dan putera sulungnya setelah selesai melaksanakan ibadah salat di masjid Matraman, secara teratur dapat bertemu dengan pemimpin-pemimpin Nasionalis seperti Moh. Hatta. Ayah Gus Dur juga membina hubungan baik dengan bagian-bagian masyarakat lainnya, termasuk Tan Malaka. Bahkan menurut ingatan Gus Dur, seorang laki-laki asing sering berkunjung untuk menemui ayahnya dan bercakap-cakap berjam-jam lamanya. Atas permintaan orang asing tersebut Gus Dur memanggilnya Paman Husein. Setelah beberapa tahun kemudian Gus Dur kecil baru tahu bahwa tamu asing tersebut adalah Tan Malaka, seorang tokoh Komunis.13 12 Barton, Biografi Gus Dur, h. 33. 13 Barton, Biografi Gus Dur, h. 35. Pada tahun 1949, Gus Dur beserta seluruh keluarganya pindah ke Jakarta, ayahnya memangku jabatan Menteri Agama. Wahid Hasyim menduduki jabatan selama lima kabinet dan baru melepaskan jabatan pada tahun 1952. Pada tahap ini pendidikan Gus Dur bersifat sekuler. Gus Dur memulai sekolah dasarnya di SD KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga, kemudian di kelas empat. Lalu pindah ke SD Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Di rumahnya, di Jakarta Pusat tersebut, Gus Dur banyak berjumpa dengan tamu-tamu asing yang datang untuk menemui ayahnya, berbicara dalam berbagai bahasa. Di rumah ini pula banyak terdapat buku, majalah dan koran dalam jumlah yang besar. Dalam tahun-tahun di Jakarta ini pula Gus Dur sering menemani ayahnya pergi ke pertemuanpertemuan, hingga ia dapat menyaksikan bagaimana ayahnya hidup dalam dunianya dengan cara yang sederhana.14 Pada tanggal 18 April 1953, kecelakaan mobil yang terjadi di jalan antara Cimahi dan Bandung merenggut nyawa Wahid Hasyim, ayah Gus Dur. Saat kecelakaan terjadi Gus Dur ikut dalam mobil ayahnya tersebut. Besarnya kecintaan dan penghormatan masyarakat terhadap ayahnya yang ditunjukkan dengan kesabaran orang-orang yang menunggu untuk menyaksikan perjalanan terakhir seorang Wahid Hasyim ke Jawa Timur, baik di Jakarta maupun di desa, menyadarkan Gus Dur betapa masyarakat mencintai dan menghormati ayahnya. Hal ini menjadi titik tolak bagi Gus Dur untuk memahami “Apa yang mungkin 14 Barton, Biografi Gus Dur, h. 37-41. dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik dari pada hal ini dalam hidup?”15 Pada Tahun 1953 – 1957, Gus Dur belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogya.16 Ia tinggal di rumah K.H. Junaid, beliau adalah seorang ulama yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah, posisinya adalah sebagai anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasihat.17 Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur, maka diatur pula agar ia pergi ke Pesantren Al-Munawwir di Krapyak, tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak sedikit di luar Yogyakarta. Gus Dur belajar bahasa Arab di sini dengan Kiai Haji Ali Ma‘shum. Kiai Haji Ali Ma‘syum memiliki pergaulan yang luas, baik dengan pejabat pemerintah, pemimpin-pemimpin Muhammadiyah, serta kerabat keraton Yogyakarta. Yogyakarta saat itu telah menjadi kota universitas, banyak tokohtokoh yang menjual buku yang semakin merangsang dan mengembangkan kecintaan membaca.18 Gus Dur menamatkan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta, tahun 1957. Sejak saat itu, ia mulai mengikuti pelajaran di pesantren secara penuh. Hingga tahun 1959, Gus Dur bergabung dengan Pesantren Tegalrejo di Magelang di bawah bimbingan Kiai Khudhori, yang merupakan salah satu pemuka NU. Di saat yang sama, Gus Dur juga belajar di Pesantren Denanyar 15 Barton, Biografi Gus Dur, h. 42-44. 16 Mufid A.R., Ada Apa Dengan Gus Dur, h. 9. 17 Barton, Biografi Gus Dur, h. 47. 18 Barton, Biografi Gus Dur, h. 49. di Jombang dengan kakeknya Kiai Bisri Syansuri. Kemudian, di tahun ini pula, Gus Dur pindah ke Jombang dan belajar secara penuh di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan Kiai Wahab Khasbullah, hingga tahun 1963. Pada saat itu, Gus Dur sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam tradisional, dan juga telah membiasakan diri untuk secara teratur berziarah ke makam-makam untuk berdoa dan meditasi pada tengah malam. Pada masa ini juga Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.19 Sejak di Yogyakarta Gus Dur sangat menggandrungi wayang kulit, filmfilm di bioskop, dan cerita silat. Ketika ia pindah dari Yogyakarta ke Magelang, yakni memasuki usia remaja, ia mulai serius memasuki dua macam dunia bacaan: pikiran sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Prancis, dan Rusia. Di Magelang, ia mulai membaca tulisan-tulisan ahli-ahli teori sosial Eropa yang terkemuka. Di masa remajanya, Gus Dur juga sudah mulai memahami tulisantulisan Plato dan Aristoteles, Das Kapital oleh Marx, dan What is to be done (Apa yang Harus Dikerjakan) oleh Lenin. Gus Dur juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal seperti dalam Infantile Communism (Kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Red Book-Mao (Kutipan Kata-Kata Ketua Mao). Tetapi, dari apa yang dibacanya bukan politik dan filsafat yang menarik perhatiannya, melainkan bagaimana mempunyai sifat yang manusiawi.20 19 Barton, Biografi Gus Dur, h. 49-50. 20 Barton, Biografi Gus Dur, h. 51-54. Walaupun Gus Dur memiliki ketertarikan akan ide-ide baru dan minat yang besar akan teori sosial Barat liberal juga ide-ide menarik dalam pikiran kaum Marxis, ia tetap merasa terganggu dengan antagonisme Marxisme dengan agama. Gus Dur berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. Maka, Gus Dur mulai membaca karya-karya Sayyid Qutb, Sa‘id Ramadan, Hasan al-Banna serta ide-ide di balik organisasi Islam terkemuka di dunia Arab, seperti Ikhwanul Muslimin, dengan harapan dapat memperoleh visi politik yang komprehensif dan padu.21 Tahun 1963 sampai dengan 1971, Gus Dur menghabiskan waktunya di luar negeri. Kota pertama yang menjadi tempat pembelajarannya yang pertama adalah Kairo. Di sana, Gus Dur menempuh studinya di Al-Azhar. Akan tetapi, studi formal Gus Dur mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan metode perkuliahan yang dirasakannya membosankan membuatnya jarang masuk kelas, hal ini mempengaruhi nilai-nilainya. Karena prestasinya yang tidak baik di AlAzhar, Gus Dur kembali menerima beasiswa untuk studinya di Baghdad. Di sini menjadi tempat berkembangnya intelektual Gus Dur secara mantap. Universitas Baghdad telah menjadi lingkungan yang membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai cendikiawan.22 Pertengahan tahun 1970-an, Gus Dur menyelesaikan studi empat tahunnya di Universitas Baghdad dan pindah ke Eropa. Karena ijazah dari 21 Barton, Biografi Gus Dur, h. 54-55. 22 Barton, Biografi Gus Dur, h. 83-99. Universitas Baghdad hampir tidak memperoleh pengakuan di Eropa, maka Gus Dur menghabiskan waktunya di Eropa tanpa menjalankan studi formal dan kembali ke Jawa, tahun 1971.23 Gus Dur yang asli orang Jawa memang berwatak kalem. Di samping itu, Gus Dur punya kebiasaan mendengarkan musik klasik Beethoven, yang mungkin di kalangan para kiai termasuk hobi yang nyeleneh. Dalam segi perjuangan, Gus Dur menggunakan jalan kultural dengan semangat membumikan nilai-nilai Islam, karena dalam pandangan pemikirannya yang pokok untuk ditanamkan bukanlah simbol-simbol Islam melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika partai yang dideklarasikannya tidak berasaskan Islam melainkan Pancasila, karena Pancasila merupakan cerminan dari nilai-nilai keislaman.24 B. Latar Belakang dan Aktivitas Sosial Politik Sejak aktif sebagai mahasiswa di luar negeri, Gus Dur mulai aktif dalam aktifitas sosial dan politik. Sebagaimana diketahui bahwa Gus Dur sejak masa kecilnya adalah seorang anak yang hidup dalam sebuah lingkungan sosial religius sekaligus lingkungan sosial politik. Aktifitas sosial politik kakek dan ayahnya mau tidak mau turut membentuk cakrawala berpikir Gus Dur, bahkan secara sadar membentuk karakter serta menjadi fondasi bagi cita-cita Gus Dur di masa mendatang. 23 Barton, Biografi Gus Dur, h. 106-107. 24 Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur, h. 54. Di Kairo, walaupun Gus Dur gagal dalam pencapaian akademisinya, akan tetapi, di sinilah Gus Dur mulai aktif mengasah jiwa sosialnya dalam organisasi kemahasiswaan Indonesia di Kairo. Gus Dur menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia, di mana organisasi ini berperan sebagai penghubung para Mahasiswa yang belajar di Timur Tengah.25 Tahun 1964 di Kairo, Gus Dur mulai menulis secara teratur untuk Majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia, sebagaimana juga ia menulis untuk majalah-majalah seperti Horison dan Budaya Jaya ketika ia masih di Jember.26 Gus Dur juga secara teratur menyampaikan pidato dalam pertemuanpertemuan mahasiswa Indonesia. Topik-topik yang disenanginya adalah politik Indonesia, masa depan Indonesia, serta Islam dan modernitas. Selama di Kairo, Gus Dur merasa ragu mengenai NU, ia merasa was-was mengenai pemikiran terbatas banyak ulama NU. Ia juga merasa khawatir ketika melihat tanda-tanda bahwa masyarakat Indonesia berangsur-angsur terbelah menjadi dua. Presiden Soekarno makin beralih ke kiri dan bersatu dengan Partai Komunis Indonesia, sedangkan unsur-unsur konservatif Indonesia, termasuk NU, makin bergerak ke kanan. Tahun 1965, ketegangan antara kaum kiri dan kaum kanan di Indonesia memuncak. Bertepatan pada tahun ini, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia untuk Kairo. Tugas Gus Dur di kedutaan besar adalah menerjemahkan laporan-laporan serta berita teks mengenai situasi di Jakarta. Selama masa kekerasan di Indonesia ini, Gus Dur diminta untuk memberikan laporan tentang 25 Barton, Biografi Gus Dur, h. 87. 26 Barton, Biografi Gus Dur, h. 87. mahasiswa Indonesia di Kairo, kalau-kalau di antara mereka dicurigai menganut paham Marxis. Pada masa-masa ini pula, Gus Dur mulai bertanya-tanya mengenai hubungan yang sumbang antara agama dan negara. Pengalamannya di Mesir adalah salah satu alasan mengapa ia merasa putus asa bahwa masyarakat muslim akan berhasil menghindari polarisasi dan ekstrimisme. Karena hal inilah, Gus Dur mengikuti dengan penuh minat bagaimana Mesir sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid Qutb. Gus Dur telah membaca karya-karya pemikir Islam seperti Hasan al-Banna, Ali Syari‘ati, Sayyid Qutb dan penulis Islam lainnya, dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa pemikiran Islam bersifat ekstrimis dan naif. Bagi Gus Dur, para pemikirpemikir Islam ini kurang memiliki sikap terbuka terhadap kebenaran yang berasal dari sumber-sumber lain yang tidak mereka izinkan. Baginya Islamisme seperti juga Komunisme gagal memberikan jawaban yang lengkap dan manusiawi terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, terlepas dari ketulusan pendukungnya.27 Tahun 1971, Gus Dur kembali ke tanah air. Kepulangannya saat itu cukup membuat dirinya tersentak. Gus Dur dikejutkan oleh tingkat kemiskinan yang dilihatnya dalam banyak komunitas kecil sekitar pesantren-pesantren NU. Bertepatan dengan tahun kepulangannya ke Indonesia tersebut, Indonesia sedang menyelenggarakan Pemilu 1971. Sebagaimana diketahui sejak 1967 Soeharto telah bergerak untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan melakukan serangkaian perubahan kelembagaan. Golkar memiliki sumber daya yang besar 27 Barton, Biografi Gus Dur, h. 90-95. yang dapat memaksa para pemilih untuk mendukung mereka. Golkar juga dibantu oleh adanya jaringan pengamatan dan kendali yang dilakukan pihak militer secara berjenjang. Jaringan ini memberikan gambaran mengenai birokrasi sipil dari tingkat desa ke atas dan beroperasi seperti badan pengamat lingkungan fantastik.28 Atas permintaan kakeknya, Kiai Bisri Syansuri, Gus Dur menjadi anggota Dewan Syuriah NU. Pada mulanya Gus Dur enggan mengikuti kemauan kakeknya tersebut, akan tetapi ibunya Gus Dur mendorong Gus Dur untuk memenuhi panggilan tersebut. Saat Gus Dur mulai menapakkan langkahnya dalam dunia NU, kakeknya (Kiai Bisri Syansuri) saat itu tengah menjabat sebagai Ketua Dewan Syuriah atau Ra’is ‘Aam. Pengalaman menjadi anggota Dewan Syuriah membuat Gus Dur melihat lebih jelas cakupan dan sifat masalah-masalah yang dihadapi oleh NU dan juga memperkokoh reputasinya sebagai pemimpin muda yang penuh harapan.29 Sejak Muktamar Situbondo 1984, ia menjadi Ketua Umum PBNU hingga tahun 1999. Tulisannya tersebar di berbagai media massa, aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Selain menjadi pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia, Gus Dur juga terkenal sebagai Ketua Pokja Forum Demokrasi. Ia dikenal sebagai tokoh pemikir Islam yang oleh banyak pengamat digolongkan sebagai tokoh neo-modernis.30 Naiknya Gus Dur bersama dengan Ahmad Shiddiq adalah akibat adanya kontroversi dalam tubuh NU, serta sebagai usaha untuk mereformasi NU yang 28 29 30 Barton, Biografi Gus Dur, h. 109-113. Barton, Biografi Gus Dur, h. 121-122. Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur, h. 53-54. dirasakan semenjak kepemimpinan Idham Khalid telah jauh dari tujuan utama organisasi NU. Idham Khalid dianggap tidak dapat mengaktualisasikan NU sebagai sebuah organisasi keagamaan yang dijalankan oleh ulama dan untuk ulama. Idham Khalid juga dinilai enggan untuk melawan marjinalisasi terhadap NU dalam tubuh PPP, sehingga hal ini membuat marah banyak ulama. Berdasarkan keadaan NU tersebut, Gus Dur, sebagai Ketua yang baru, memandang penting bagi NU untuk memisahkan diri dari PPP karena dua alasan yang saling berhubungan. Pertama, Gus Dur merasa bahwa mengingat perlakuan yang diterima oleh NU dari rezim yang berkuasa seperti terlihat dari apa yang terjadi dalam PPP dan tekad pemerintah untuk menghalangi semua pembangkangan politik, tak ada gunanya bagi NU untuk memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan civil society. Kedua, Gus Dur yakin bahwa tidaklah sehat bila perhimpunan agama mempunyai hubungan langsung dengan partai politik. Hal ini bukanlah disebabkan Islam (agama lainnya di Indonesia) tidak boleh mencoba mempengaruhi perkembangan politik, tetapi keterlibatan langsung badan-badan keagamaan dalam politik partai akan membatasi kebebasan beragama para anggota dan mendorong sektarianisme dalam politik.31 Kebijakan Gus Dur tersebut di atas kemudian dikenal dengan “kembali ke Khittah 1926.” Konsekuensi logis dari Khittah 1926 adalah, warga NU tidak punya hubungan istimewa atau hubungan famili dengan partai politik tertentu, yang mana saja. Sejak itu, Gus Dur menjaga jarak dengan pemerintah, bahkan Gus Dur lebih dari itu memperlihatkan sikap yang keras dan seringkali 31 Barton, Biografi Gus Dur, h. 167. melemparkan kritikan tajam kepada pemerintahan Soeharto. Sampai-sampai, tanpa segan-segan ia menyebut Soeharto sebagai “orang yang bodoh” dalam wawancaranya dengan Adam Scwartz, penulis buku A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990’s. Pada masa ini pula, Gus Dur menggandeng Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDI, yang seringkali mendapatkan tekanan dari pemerintahan Soeharto. Gus Dur sebenarnya lebih dikenal sebagai budayawan ketimbang agamawan atau kiai. Namun, atas restu K.H. As‘ad Syamsul Arifin, maka Gus Dur lolos menjadi Ketua Umum. Selama menjabat sebagai Ketua Umum NU, aktivitas sosial politik Gus Dur banyak yang mengundang polemik di kalangan NU sendiri. Kiai As‘ad yang pada mulanya memberikan restu kepada Gus Dur untuk menduduki kursi ketua umum, lima tahun kemudian mencoba untuk menjegal langkah Gus Dur untuk terpilih kembali pada Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta. Saat itu, Kiai As‘ad menyebutnya “imam yang sudah kentut,” sehingga tidak boleh lagi dimakmumi. Hal ini dikarenakan, Kiai As‘ad tidak menyukai ide “pribumisasi Islam” yang dilontarkan Gus Dur di berbagai kesempatan. Antara lain berupa penggantian Assalamu‘alaikum dengan “selamat pagi atau apa kabar,” yang mana hal ini merupakan kesalahpahaman belaka. Kiai As‘ad juga tidak suka atas ulah Gus Dur yang membeberkan “kemiskinan” umat Islam dalam pidatonya di hadapan Sidang Raya Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, di Surabaya, Oktober 1989. Karena hal ini, Kiai As‘ad menjuluki Gus Dur sebagai “Ketua Ketoprak.” Tetapi Gus Dur dengan kepiawaiannya berpolitik mampu untuk membuat muktamirin untuk memilihnya kembali menjadi Ketua NU. Karena hal ini, Kiai As‘ad pun mewujudkan janjinya untuk mengasingkan diri dari komunitas NU. Gus Dur juga sempat memicu polemik di kalangan NU ketika ia menandatangani surat permohonan bantuan dana kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), pengelola Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Wakil Ra’is ‘Aam Syuriah saat itu, K.H. Ali Yafie, mengancam akan undur diri jika Gus Dur dan Sekretaris Jenderal PBNU Gaffar Rahman tidak dipecat. Tetapi, setelah Gus Dur mengaku khilaf dan minta maaf, Ali Yafie mengalah. Gus Dur hanya diberi peringatan keras, sedangkan Gaffar dipecat. Gus Dur juga pernah dituduh sebagai agen Zionisme. Hal ini disebabkan, pada tahun 1994, Gus Dur mengunjungi Israel. Tetapi warga NU tidak mempermasalahkan langkahnya. Perjalanan Gus Dur itu dianggap urusan “diplomatis” dan pribadi. Sebaliknya, kalangan Islam di luar NU meradang menyaksikan kunjungan diplomatis Gus Dur ke negeri Yahudi itu. Bahkan, karena kunjungan itu pula, Gus Dur dicap anti umat Islam. Cap anti Islam sebenarnya sudah melekat pada Gus Dur sejak dirinya mendorong NU menerima konsep Asas Tunggal Pancasila. Sedangkan pada saat konsep itu diluncurkan pada 1983, hampir semua ormas Islam menentangnya. Selain itu, Gus Dur juga dikecam habis-habisan oleh banyak kelompok Islam karena persahabatannya dengan Menhankam/Pangab saat itu, Jenderal L.B. Moerdani. Cap pengkhianat juga pernah distempelkan kepada Gus Dur, terutama ketika Gus Dur berakrab-akraban dengan Golkar. Terlebih lagi ketika Gus Dur bersedia menjadi anggota MPR dari Fraksi Karya Pembangunan untuk periode 1987-1992. Gus Dur juga menunjukkan sikap anti “gerakan kanan” dengan menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990. Pada saat itu, Gus Dur mencurigai ICMI sebagai kelompok sektarian yang berniat membawa Indonesia menuju negara Islam. Di samping itu, Alasan Gus Dur atas sikapnya itu berdasarkan anggapan bahwa banyak orang-orang yang terlibat di dalamnya hanya sekedar untuk mencari-cari kedudukan, bukan untuk kepentingan bangsa, “Saya tidak masuk ICMI justru karena saya tidak mau ikut berebut pangkat, sebab, di sana banyak orang yang begitu. Saya nggak mau ikut-ikutan. Apapun pendapat yang saya kemukakan itukan kapasitas pribadi.”32 Lalu Gus Dur menghadang ICMI dengan Forum Demokrasi (Fordem), manuver terakhir Gus Dur ini nyaris membuat Gus Dur celaka dalam Muktamar NU ke-30 di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994. Saat itu, kursi ketua nyaris lepas ke tangan Abu Hasan yang meraih 46% suara. Menjelang Pemilu 1997, Gus Dur ‘menggandeng’ Mbak Tutut tanpa meninggalkan Mbak Mega. Kedekatan Gus Dur dengan Mbak Tutut tercermin pada kesediaan Gus Dur mengantar Tutut mengunjungi pesantren-pesantren NU. Menurut Gus Dur, keinginan untuk mengajak Mbak Tutut ke pesantren-pesantren NU sudah ada dalam benak pikirannya jauh sebelum menjelang pelaksanaan Pemilu 1997. Gus Dur selama ini mendapat kritik-kritik dari berbagai pihak yang mengatakan bahwa sikapnya tidak fair karena terlalu condong ke Megawati. 32 Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur, h. 299. Kemudian, untuk bersikap fair dia memberikan kesempatan yang sama terhadap Tutut untuk bertatap muka dengan warga NU, antara lain, dengan cara mengunjungi pesantren-pesantren NU. Di samping itu, Gus Dur berpendapat bahwa Tutut adalah merupakan tokoh masa depan yang harus dikenal oleh warga NU.33 Kemudian, pasca-Reformasi 1998 dengan ditandai runtuhnya kekuasaan Orde Baru, pada saat yang bersamaan, Gus Dur masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, mendapat masukan dan dorongan yang kuat dari warga NU untuk ikut serta ambil bagian dalam pemerintahan guna mengisi dan sekaligus mengawal agenda-agenda reformasi dengan membentuk sebuah Partai Politik. Atas dorongan dan keinginan yang kuat dari warga Nahdiyyin itulah kemudian ia merestui lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai resmi warga NU. Walaupun secara formal organisatoris, Matori Abdul Djalil adalah Ketua Umum PKB, namun begitu, tokoh utama yang memainkan peran sangat penting dan signifikan dalam seluruh proses gerak percaturan politik PKB di pentas nasional adalah Gus Dur. Pemilu 1999, yang dipandang sebagai pemilu paling demokratis dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, menghantarkan Gus Dur pada kursi kekuasaan melalui sidang MPR, walaupun kekuasaannya tidak sampai akhir masa jabatan sebagaimana semestinya. Pada Pemilu 2004, Gus Dur kembali dicalonkan sebagai Capres dari PKB, akan tetapi Gus Dur harus mengalami kegagalan mengikuti pencalonannya setelah ia ditolak oleh KPU karena alasan kesehatan. 33 Faisal Ismail, NU, Gus Durisme dan Politik Kiai (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), Cet. I, h. 51. Dan terakhir, ia mendeklarasikan diri sebagai Capres 2009, namun lagi-lagi keinginan itu harus kembali surut dengan munculnya kasus dualisme kepengurusan di tubuh PKB. Walaupun belakangan prestasi politiknya tidak begitu memuaskan, paling tidak Gus Dur telah menunjukkan kepiawaianya dalam berpolitik. Dengan segala sepak terjangnya sering dianggap “nyeleneh” dan kontroversial itu, Gus Dur benar-benar menjadi sosok kiai yang mewarnai panggung politik sekaligus langit intelektual bebas di tanah air. Selama ini, ia memang telah memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap negara. Tidak heran jika kemudian ia dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial-politik paling independen di Indonesia. C. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid Abdurrahman Wahid, sejak 1980-an, merupakan tokoh yang paling populer di kalangan NU, Indonesia, bahkan dunia internasional karena pertumbuhan dan perkembangan pemikirannya yang unik dan sering kontroversial. Pemikiran politik Gus Dur mulai berkembang pada awal 1980-an yang bukan hanya disebabkan oleh faktor bacaan ilmu politiknya yang cukup luas, melainkan juga pergaulannya yang baik dan fleksibel dengan berbagai kalangan pejabat negara maupun para aktivis pergerakan. Kedekatannya dengan pemerintah dan kelompok-kelompok agama minoritas semakin menguatkan citra Gus Dur sebagai tokoh Islam yang paling akomodatif terhadap negara disamping menguatnya citra pluralisme dan humanisme yang menghantarkan Gus Dur mewacanakan akan pentingnya terselenggara kehidupan negara yang demokratis serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Islam dan Wacana Negara Salah satu persoalan krusial yang telah cukup lama memancing debat dan kontroversi baik di dalam literatur-literatur pemikiran keislaman sendiri maupun dalam kajian politik mengenai Islam dalam dinamika kekuasaan adalah yang berkaitan dengan hubungan antara agama dan politik. Paling tidak dalam isu politik Islam Indonesia terdapat dua kelompok, walaupun dalam kenyataannya nanti akan berkembang varian-varian yang beragam dan seringkali berlawanan. Dua kelompok itu adalah kelompok simbolik dan kelompok substantif. Kalangan Islam politik simbolik meyakini bahwa Islam harus diwujudkan secara simbolik dalam politik dengan melegalformalkan Islam sebagai sebuah negara. Golongan ini berpendapat bahwa Islam adalah agama yang integratif, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, antara dunia dan akhirat dan pemisahan dalam bentuk apa pun. Sedangkan kelompok substantif adalah golongan yang menolak seluruh bentuk perjuangan yang hendak melegalformalkan Islam dalam politik. Bagi kelompok ini, usaha simbolisasi syari'at akan mengancam integrasi dan sekaligus mencemarkan makna hakiki agama. Pencampuran antara agama dengan politik, tidak saja keliru dan salah tetapi juga agama hanya sekedar dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik kaum elit.34 34 Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khalifah, Masyarakat Madani dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 199-200. Peta persoalan semacam ini, oleh kalangan intelektual muslim, coba diamati, dikaji, dan disikapi sesuai dengan perspektif keislaman mereka masingmasing. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu intelektual muslim yang juga terus berupaya mencari pijakan-pijakan teologis; Bagaimana sesunguhnya Islam bisa “dibumikan” sebagai ajaran moral yang mampu memberikan makna di dalam proses perubahan sosial-politik yang tengah berlangsung dalam dinamika politik bangsa. Salah satu isu pokok yang menjadi wacana (discourse) yang menarik adalah, bagaimana kaitan Islam dengan negara; dan bagaimana konsep Islam tentang negara? Dalam pandangan Gus Dur, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mengatakan bahwa “Dalam Islam, Negara itu adalah hukum, al-hukmu, dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara.” Bagi Gus Dur tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah “Negara Islam.” Tetapi, ada perintah dalam Alquran untuk membentuk suatu masyarakat yang mengacu pada nilai-nilai keutamaan (viruies) yang menjalankan amar ma‘rūf (membangun kebaikan) dan nahī munkar (mencegah keburukan), untuk menegakkan iman dan keadilan di muka bumi. Karena itu, Islam tidak boleh direduksi menjadi negara Islam, melainkan dikembalikan sebagai agama. Yang penting bagi Islam adalah etika kemasyarakatan dan komunitas, alasannya, ialah karena Islam tidak mengenal konsep pemerintah yang difenitif. Dalam persoalan pokok, misalnya, suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsinten; terkadang memakai ikhtilaf, bai'at dan terkadang ahl halli wal ‘aqdi.35 35 Pahrurroji M. Bulkhori, Membebaskan Agama dari Negara: Pemikiran Abdurrahman “Kita tidak usah mencari-cari (negara yang ideal) karena memang tidak ada yang ideal. Islam tidak menyebutkan tentang soal negara ideal, dan juga tidak mengharuskan. Allah meridhai Islam sebagai agamamu, bukan sebagai sistem pemerintahan. Islam menjadi besar kalau ia tidak menampakkan wajah politik melainkan mengutamakan wajah moralnya. Atau dengan kata lain Islam mengutamakan politik sebagai institusi. Saya lebih melihat kepada pencapaian cita-cita Islam yang sebenarnya, yakni keadilan dan kemakmuran; kesamaan di antara semua umat manusia. Kalau kita masih berpikiran bahwa Islam harus lebih dari yang lain, itu tidaklah islami. Justru bertentangan dengan Islam.”36 Bahkan lebih jauh lagi Gus Dur menyatakan, para teoritas politik besar dalam Islam –dengan merujuk pada pandangan Munawir Syadzali– bukanlah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang “Islami,” melainkan justru menekankan penggunaan bentuk kenegaraan yang sudah ada. Selama kaum muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran. Atas dasar kerangka berpikir inilah, dibawah aksi politik yang dimotori Gus Dur dengan mendapat “persetujuan” hierarkial keulamaan dalam organisasi yang dipimpinnya, tak heran NU secara sadar menerima Asas Tunggal Pancasila. Gus Dur sendiri berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk “negara damai” (dār al-sulh) yang harus dipertahankan, karena umat Islam masih bisa melaksanakan syari'ah –dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat– sekalipun hal itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undangundang negara. Bila etika masyarakat Islam bisa dijalankan, di dalam pemerintahan yang beriedologi Pancasila, maka tidak ada alasan lain lagi bagi umat Islam selain mempertahankan sebagai kewajiban agama. Dari sanalah, Wahid dan 'Ali 'Abd ar-Raziq (Bantul: Pondok Edukasi, 2003), h. 113. 36 Abdurrahman Wahid, Tabayyun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural (Yogyakarta: LkiS, 1998), h. 235. menurut Gus Dur, timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah. Dan atas dasar itulah Gus Dur menerima sepenuhnya Pancasila sebagai dasar negara.37 “Negara kita mengakui legitimasi peranan agama dalam kehidupan masyarakat, kalau perlu melalui jalur pemerintahan. Secara eksplisit Pancasila tidak menyebutkan landasan keagamaan dalam kehidupan bernegara, tetapi secara implisit ia mendukung pemerintahan yang menunjang kehidupan beragama.”38 F. Demokrasi, Civil Society, dan Pluralisme Dalam konteks kebangsaan, persoalan mendesak yang harus segera dijawab adalah bagaimana melakukan upaya untuk mencari bentuk kenegaraan yang lebih pasti akan memberikan tempat kepada agama tetapi tidak mematikan yang lain. Pada umumnya jawaban terhadap persoalan ini sangat vulgar. Namun dalam perjalanan terakhir telah tercapai bentuk yang sangat baik, yaitu proses demokratisasi. Isu demokratisasi inilah yang dapat mempersatukan baragam arah dan kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Ia dapat mengubah keterceraiberaian arah masing-masing kelompok menjadi sebuah kekuatan menuju arah kedewasaan, kemajuan, dan integrasi bangsa.39 Dalam pandangan Gus Dur, Demokrasi adalah keadaan tertentu yang memiliki beberapa ciri, antara lain harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama pada semua warga negara di hadapan undangundang. Ini harus ditunjang oleh kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir dan 37 Lihat kata pengantar Abdurrahman Wahid dalam buku Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 10. 38 39 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 94. Abdurrahman Wahid, “NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang”, dalam M. Imam Aziz, dkk, ed., Agama, Demokrasi dan Keadilan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1993), h. 224-225. sikap menghormati pluralitas pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan memelihara dan melindungi hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, semua hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu kepentingan bersama sebagai bangsa dan negara.40 Dengan demikian, menurut Gus Dur, demokrasi yang dimaksud bukan demokrasi proporsional yang melihat, misalnya, karena orang Islam mayoritas, maka kursi untuk orang Islam harus mayoritas. Tetapi betul-betul demokrasi yang berdasarkan pada prinsip kesamaan (egalitarianisme), rule of law (supremasi hukum), accountability (pertanggungjawaban), dan lain sebagainya.41 Dalam studi kontemporer tentang demokrasi, faktor penunjang akan tumbuh dan berkembangnya demokrasi adalah ada-tidaknya “civil society”. Civil society sendiri memiliki peristilahan yang beragam seperti masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat sipil dan masyarakat kewargaan. Secara umum, civil society diartikan sebagai pengelompokan masyarakat yang mandiri, mematuhi aturan dan memiliki daya tawar ketika berhadapan dengan negara. Menurut Gus Dur, Civil Society sebenarnya telah terbentuk di kalangan masyrakat Indonesia, yaitu dengan lahirnya paguyuban-paguyuban yang ada di tengah-tengah masyarakat. Khususnya di kalangan umat Islam, secara embrional kelahiran Muhammadiyah, Syarikat Islam, NU, dan berbagai pergerakan Islam di tingkat lokal itu adalah bentuk civil society yang cair, yakni memperkuat posisi rakyat terhadap negara. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara 40 Abdurrahman Wahid, “Demokrasi dan Demokratisasi Indonesia”, diakses 31 Oktober 2008 dari http://www.GusDur.Net. 41 Tim INCReS, Beyond The Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: INCReS dan PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 134. negara dan masyarakat (civil society). Karena dalam pandangan Gus Dur, posisi imbang itu yang dapat mencegah terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang. Dalam pengertian demikian, civil society mempunyai relasi yang saling melengkapi dengan demokrasi. Sebab, civil society hanya bisa berkembang dalam iklim negara yang demokratis.42 Di samping itu, dalam kehidupan yang demokratis perlu adanya kesadaran tentang pentingnya Pluralisme yang didasarkan pada pandangan dan kenyataan bahwa manusia lahir dan hadir dalam suatu tatanan dunia yang sebut dengan “Negara” dalam kondisi yang berbeda-beda, baik itu beda suku, budaya, agama, maupun warna kulit. Hanya saja dalam wacana pluralisme, perbedaan antar komunitas tersebut bukan untuk saling merugikan, melainkan agar perbedaan tersebut bisa menjadi potensi untuk merealisasikan kebajikan. Kenyataan akan akan adanya perbedaan suku, budaya, agama, ras, dan golongan tersebut justru harus dikemas dalam bingkai saling menghormati, menghargai, dan saling menolong guna terciptanya masyarakat yang aman dan sejahtera. Islam sendiri memberikan jaminan dan toleransinya dalam memelihara hubungan bersama dengan meletakkan nilai-nilai universal, seperti prinsip-prinsip keadilan, kebersamaan, dan kejujuran dalam upaya mempertahankan kehidupan bersama dengan tidak mengingkari adanya perbedaan. Dalam wawasan demikian, tata hubungan dalam ikatan kebangsaan dan kenegaraan harus meliputi hal-hal yang bersifat kemasyarakatan, dimana sebagai sesama warga negara memiliki kesamaan derajat dan tanggung jawab untuk mengupayakan kesejahteraan dalam 42 1997. Gus Dur, “NU tidak Menghendaki Status Quo,” dalam Kompas, Senin, 24 November kehidupan bersama tanpa memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa, dan jenis kelamin. Konsekuensinya, menurut Gus Dur, politik umat Islam di indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusivisme, sektarianisme, dan privilege-privilege politik harus dijauhi. Termasuk ide pembentukan masyarakat dan negara Islam, karena tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berlawanan dengan asas kesetaraan (egalitarianism) bagi warga negara.43 Menurut Gus Dur, umat Islam Indonesia, sebagai rakyat yang beragama Islam, sebetulnya sudah lama hidup dalam tradisi yang sejalan dengan nilai-nilai pluralisme. Tapi para pemimpinnya tidak bisa menangkap isyarat itu, sehingga yang dilakukan justru membuat isu yang sebetulnya berwawasan sempit, tidak melebarkan wawasan umat Islam. Karena itu wajar jika sementara orang menyatakan bahwa pertumbuhan Islam kini menuju kepada “kelompok” yang sektarian. Menjadi sesuatu yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Isu semacam pri-nonpri maupun kristenisasi, sebenarnya muncul dari semangat sektarianisme. Padahal mereka hidup dalam pluralisme. Pluralisme akan terjaga jika ada demokrasi. Bangsa ini kaya dan kuat karena menjaga jiwa pluralisme.44 Dengan demikian, bagi Gus Dur, bentuk negara Indonesia yang demokratis dengan berasaskan Pancasila adalah suatu bentuk negara yang final. Karena ideologi Pancasila sejalan dengan nilai-nilai universalisme Islam dengan memberikan lima jaminan dasar bagi semua masyarakat Indonesia, baik 43 Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 164. 44 Abdurrahman Wahid, “NU, Pluralisme, dan Demokratisasi Jangka Panjang”, h. 225-226. perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan itu adalah; keselamatan fisik masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum, dan keselamatan profesi (Abdurrahman Wahid, 1998) Tidak heran jika kemudian dalam aksi-aksi politiknya Gus Dur terkadang bersebrangan tidak hanya dengan para aktivis elit dan politisi Islam yang menginginkan agama dijadikan sebagai institusi formal kenegaraan, bahkan dengan tokoh-tokoh di kalangan NU sendiri pun terkadang ia dianggap sebagai musuh dan rival politik. Hal ini terbukti ketika Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bersifat terbuka dengan berasaskan Pancasila, banyak kalangan tokoh NU yang menolak PKB dan mendirikan partai lain yang berasaskan Islam. Akan tetapi, terlepas dari itu, konsistensi pemikiran semacam inilah yang menempatkan Gus Dur sebagai tokoh Demokrasi dan Bapak Pluralisme di negeri ini. BAB III MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Setelah lebih dari tiga dasawarsa lamanya, pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, sebuah pemerintahan yang berjalan dengan melaksanakan tatanan kehidupan kenegaraan di mana negara memiliki dominasi peran yang sangat kuat dan mampu men-subordinatkan kekuatan rakyat dan berbagai macam elemen yang ada di dalamnya, begitu pula termasuk partai politik, akhirnya jatuh tepat pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan kuat arus Reformasi.45 Arus Reformasi yang bergerak kuat dan berhasil mendesak mundur Presiden Soeharto dari kekuasaannya adalah merupakan titik terang terciptanya negara Indonesia yang lebih demokratis. Terbukanya ‘kran’ demokrasi yang telah lama mampat, kebebasan masyarakat yang telah lama tertutup rapat dan pulihnya bangunan civil society yang telah luluh-lantak adalah merupakan harapan dan citacita segenap rakyat Indonesia yang telah lama terkubur. Dengan rubuhnya kekuasaan otoritarian Soeharto dan telah terbukanya ‘kran’ demokrasi dan kebebasan, termasuk kebebasan untuk membentuk partai politik, maka pada saat yang hampir bersamaan lahirlah puluhan partai politik baru dengan flatform yang 45 Mohammad Tohadi dan Zainal Abidin, Orientasi Pemenangan Pemilu Partai Kebangkitan Bangsa (Jakarta: LPP-DPP PKB, 2002), h. 48. berbeda-beda, sebagai bentuk ekspresi politik rakyat Indonesia, yang muncul bagaikan jamur di musim hujan. Salah satu organisasi Islam terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU), yang telah lama mengubur hasrat politiknya sejak NU menyatakan tidak lagi terikat secara organisatoris dengan organisasi politik manapun dalam Muktamar ke-27 di Situbondo dengan mendeklarasikan diri kembali ke Khittah 1926, kembali tergerak nafsu politiknya untuk ikut serta ambil bagian dalam memperbaiki bangsa yang telah lama terpuruk dalam kubangan politik Orde Baru selama hampir 32 tahun lamanya. Munculnya kembali gairah euforia politik warga Nahdhiyyin ini tentu bukanlah sekedar ingin ikut-ikutan atau tanpa sadar. Secara internal organisasi, keinginan warga NU tersebut pada umumnya didasari oleh tiga hal. Pertama, bermotif berdakwah dalam rangka menjalankan amar ma'rūf nahī munkar yang sudah lama menjadi doktrin ajaran politik NU. Kedua, potensi sosiologis dan historis dimana solidaritas dan emosionalitas ke-NU-an yang sangat potensial untuk menjadi kekuatan politik. Dan ketiga, dalam sejarah, peran polik warga NU selama hampir tiga dasawarsa termarjinalisasi dalam politik dan seolah tidak habis-habisnya mendapat perlakuan yang tidak adil, baik dari negara maupun dari kelompok Islam lainnya.46 Hingga tahun 1997, pemilu terakhir sebelum Reformasi, berarti sudah tiga kali warga NU diberi kebebasan memilih, yaitu Pemilu 1987, 1992, dan 1997. Karena, pemilu sebelumnya yakni Pemilu 1955 dan 1971 NU tampil langsung 46 168. A. Efendi Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002), h. menjadi salah satu peserta pemilu, dan pada Pemilu 1977 dan 1982, NU menitipkan aspirasi politiknya pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP).47 Kini setelah kekuasaan rezim Soeharto tumbang dan gerakan Reformasi diluncurkan, sehari setelah peristiwa bersejarah itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai dibanjiri usulan dari warga NU di seluruh pelosok tanah air. Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam, dan usulan yang paling santer terdengar adalah keinginan warga NU untuk segera mendirikan Partai Politik sendiri sebagai wadah aspirasi politik masyarakat Nahdhiyyin. Keseriusan masyarakat NU untuk terlibat secara politik praktis ini dibuktikan dengan banyaknya usulan yang masuk ke kantong PBNU, ada yang mengusulkan Visi dan Misi Parpol, AD/ART Parpol, nama Parpol bahkan sampai nama-nama pengurus Parpol. Mulanya, Gus Dur merasa prihatin bahwa kelompok-kelompok NU ingin mendirikan Partai Politik NU, karena hal ini berarti akan menciderai komitmen kembali ke khitah 1926 yang ia perjuangkan di muktamar Situbondo tahun 1984 dengan mengaitkan kembali NU dengan dunia politik partai. Namun menjelang Juli, sikapnya mulai mengendur dan tampaknya hampir pasti akan ada semacam partai NU, dengan atau tanpa restunya. Jika NU ingin memberikan kontribusi yang serius pada perpolitikan negeri ini, maka hal itu harus disalurkan lewat satu partai yang berbasiskan keanggotaan NU yang luas.48 47 Achmad Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur (Yogyakarta: Kutub, 2005), Cet. I, h. 48 Greg Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. IV, h. 310. 99. Sepanjang bulan Juni, Gus Dur masih saja tidak yakin mengenai arah yang harus ditempuhnya. Akan tetapi, ia merasa sangat khawatir bahwa jika dalam kekosongan situasi setelah masa Soeharto, Golkar mempunyai posisi baik untuk melakukan konsolidasi dan melaksanakan kampanye pemilu secara profesional, tidak menutup kemungkinan Golkar akan keluar sebagai pemenang, apalagi jika PPP bersedia untuk membentuk koalisi dengan Golkar. Secara bersama-sama, kedua partai yang besar ini mungkin bisa mengumpulkan cukup suara yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan, khususnya jika sebagian dari banyak partai-partai Islam baru juga bergabung.49 Dari rasa kekhawatiran Gus Dur itu, maka pada akhirnya PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU pada tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh K.H. Ma‘ruf Amin (Ra’is Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, K.H. M. Dawam Anwar (Katib ‘Aam PBNU), Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib ‘Aam PBNU), H.M. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan Organisatoris, Tim Lima itu dibekali Surat Keputusan.50 Selanjutnya, untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima dalam mewujudkan keinginan warga NU untuk membentuk partai politik sendiri, maka dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen 49 50 Barton, Biografi Gus Dur, h. 312. Ahmad Hakim Jaily dan Mohammad Tohadi, PKB dan Pemilu 2004 (Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu PKB, 2003), h. 4. PBNU) dengan anggota H. Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma‘ruf, Lc., Drs. H. Abdul Aziz, M.A., Drs. H. Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H. Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam menginventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk partai baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU.51 Setelah Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya pada tanggal 22 Juni 1998 yang kemudian disusul dengan mengadakan konsinyering di Cipanas untuk merancang pembentukan parpol dengan menghasilkan lima rancangan, yaitu: Pokok-pokok pikiran NU mengenai Reformasi Politik, Mabda’ Siyasiy, hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART, dan naskah Deklarasi. Maka, tepat pada tanggal 23 Juli 1998 dideklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ciganjur, Jakarta Selatan, dengan terpilihnya Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz. Dengan demikian, maka lahirlah secara resmi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah aspirasi politik warga NU pada khususnya dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya, dengan berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.52 Hal ini kemudian dikokohkan 51 Jaily dan Tohadi, PKB dan Pemilu 2004, h. 4. 52 Lihat Anggaran Dasar (AD) PKB, Pasal 3 dalam prinsip perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa yakni pengabdian kepada Allah SWT., menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlussunah Waljama‘ah.53 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dengan lambang “sembilan bintang melingkari bola peta Indonesia” adalah merupakan bentuk komitmen Partai dalam memperjuangkan idealismenya, yaitu menciptakan bangsa yang memiliki kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kejujuran, kerakyatan, persamaan, kesederhanaan, keseimbangan, dan persaudaraan di atas tanah air Indonesia. Tulisan Nama Partai, bermakna identitas diri Partai yang siap memperjuangkan aspirasi politik rakyat Indonesia yang memiliki kesamaan kehendak menciptakan tatanan kehidupan yang demokratis. Sedangkan Bingkai Segi Empat dengan garis ganda yang sejajar, melambangkan garis perjuangan Partai yang berorientasi terhadap kehidupan duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, lahir dan batin, secara seimbang dan sejajar. Arti Warna, melambangkan; Putih berarti kesucian, ketulusan, dan kebenaran yang menjadi etos perjuangan Partai; Hijau berarti melambangkan kemakmuran lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia yang kemudian menjadi tujuan perjuangan Partai; Kuning bermakna kebangkitan bangsa yang menjadi nuansa pembaruan dan berpijak kepada kemaslahatan umat manusia. Berikutnya, setelah terbentuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan segala atribut dan simbol serta susunan kepengurusan Partai yang telah 53 Lihat Anggaran Dasar (AD) PKB, Pasal 4 ditetapkan, bukan berarti warga NU sudah selesai dari persoalan. Kini, warga NU kembali dihadapkan dengan beberapa persoalan baru. Dari soal siapakah yang pantas untuk dicalonkan sebagai presiden dari Partai yang baru seumur jagung ini, sampai pada soal perebutan dukungan. Di sisi ketegangan antara PKB dan berbagai partai yang memperebutkan dukungan anggota-anggota NU, misalnya Partai NU dan Partai Kebangkitan Umat, terdapat juga ketegangan besar antara anggota-anggota PKB dan penyokong-penyokong PPP. Banyak kiai NU tetap aktif di PPP lama setelah NU secara resmi menarik diri dari Partai itu pada tahun 1994. Kebijakan NU di bawah Gus Dur adalah membiarkan seseorang terlibat dalam parpol yang menjadi pilihannya, dengan syarat bahwa mereka yang memegang jabatan dalam kepengurusan NU tidak boleh secara bersamaan memegang jabatan dalam suatu parpol. PKB didirikan dengan harapan bahwa banyak dari mereka yang sebelumnya bergabung dengan PPP akan beralih ke Partai yang didirikan dengan persetujuan PBNU. Salah satu contoh, adalah pindahnya Khofifah Indar Parawangsa, seorang anggota DPR yang bersuara lantang dari fraksi PPP, ke PKB setelah jatuhnya Soeharto dan memainkan peran penting di Partai ini.54 B. Visi, Misi, dan Struktur Kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa 1) Visi dan Misi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai terbuka dan hadir dalam suatu bangsa yang pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama, 54 Barton, Biografi Gus Dur, h. 326. dan ras, sangat menyadari bahwa tatanan kehidupan bangsa Indonesia harus senantiasa berpijak pada nilai-nilai: ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penerapan nilai-nilai Pancasila tersebut dimanifestasikan oleh Partai Kebangkitan Bangsa dalam bentuk visi, misi, dan garis perjuangan Partai dalam rangka menciptakan tatanan politik yang demokratis, bebas korupsi, berkeadilan, dan mensejahterakan kehidupan rakyat. Dalam rangka mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Partai tersebut, Misi utama yang dijalankan Partai Kebangkitan Bangsa adalah upaya menciptakan tatanan masyarakat beradab yang sejahtera lahir dan batin, yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaannya, meliputi; terpeliharanya jiwa raga; terpenuhinya kemerdekaan; terpenuhinya hak-hak dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan; hak atas penghidupan atau perlindungan pekerjaan; hak mendapatkan keselamatan dan bebas dari penganiayaan (Hifdzu al-Nafs); terpeliharanya agama dan larangan adanya pemaksaan agama (Hifdzu al-Dīn); terpeliharanya akal dan jaminan atas kebebasan berekspresi serta berpendapat (Hifdzu al-‘Aql); terpeliharanya keturunan; jaminan atas perlindungan masa depan generasi penerus (Hifdzu alNasl); dan terpeliharanya harta benda (Hifdzu al-Māl). Misi ini ditempuh dengan pendekatan amar ma‘rūf Nahī Munkar, yakni menyerukan kebajikan serta mencegah segala kemungkinan dan kenyataan yang mengandung kemungkaran. Penjabaran dari misi yang diemban, guna mencapai terwujudnya masyarakat yang dicitakan tersebut, harus dicapai melalui keterlibatan penetapan kebijakan publik. Jalur kekuasan menjadi amat penting ditempuh dalam proses mempengaruhi pembuatan kebijakan publik melalui perjuangan pemberdayaan terhadap masyarakat lemah, terpinggirkan dan tertindas, memberikan rasa aman, tentram dan terlindungi terhadap kelompok masyarakat minoritas dan membongkar sistem politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya yang memasung kedaulatan rakyat. Bagi Partai Kebangkitan Bangsa, upaya mengartikulasikan garis perjuangan politiknya dalam jalur kekuasaan menjadi hal yang niscaya dan dapat dipertanggungjawabkan.55 2) Struktur Kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Struktur kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terdiri dari: (1) Dewan Syura, (2) Dewan Tanfidz (Pasal 16 AD PKB). Dewan Syura adalah pimpinan tertinggi Partai PKB, yang menjadi rujukan utama kebijakan-kebijakan umum Partai. Sedangkan Dewan Tanfidz, yakni pimpinan eksekutif Partai yang menjalankan kebijakan-kebijakan strategis, mengelola organisasi dan program Partai (pasal 17 AD PKB). Pasal di atas menunjukkan bahwa Dewan Syura adalah institusi tertinggi di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa. Hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar PKB pasal 17 ayat 1 dan Anggaran Rumah Tangga pasal 20 ayat 1 yang 55 Lihat Mabda’ Siyasiy Partai Kebangkitan Bangsa. menyebutkan bahwa Dewan Syura adalah pimpinan tertinggi Partai. Dengan demikian, seluruh pengurus dan anggota Partai harus patuh dan tunduk terhadap semua kebijakan dan keputusan Dewan Syura. Hal ini tercantum dalam Anggaran Rumah Tangga pasal 9 ayat (3) dijelaskan bahwa, “Anggota atau pengurus Partai harus tunduk kepada pimpinan struktur organisasi Partai yang lebih tinggi dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.” Dewan Tanfidz, sebagai pimpinan eksekutif Partai adalah merupakan perpanjangan tangan Dewan Syura yang harus menjalankan dan melaksanakan AD dan ART, keputusan-keputusan Partai, dan kebijakan Dewan Syura. Hal ini dijelaskan dalam ART PKB pasal 21 yang berbunyi, “Ketua umum Dewan Tanfidz harus melaksanakan AD, ART, keputusan forum-forum musyawarah Partai, dan kebijakan Dewan Syura.” G. Karakteristik dan Arah Perjuangan Politik PKB Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah aspirasi dan perjuangan politik NU adalah merupakan keniscayaan bahwa karakter Partai didasari oleh karakter dan garis perjuangan tempat di mana Partai ini dilahirkan. Sebagai Jam‘iyyah Diniyyah yang berkewajiban amar ma’rūf nahī munkar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik secara pribadi maupun kelompok, NU tidak dapat mengelak tanggung jawab dalam berperan serta membangun kehidupan politik bangsa Indonesia yang adil, demokratis dan berakhlak mulia di atas landasan-landasan ketaqwaan kepada Allah SWT. Bagi Partai kebangkitan Bangsa, wujud dari bangsa yang dicitakan itu adalah masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya, mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan bersumber pada hati nurani (al-Sidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji, mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi (al-Amānah wa al-Wafā’u bi al-‘Ahdi), bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-‘Adalah), tolong menolong dalam kebajikan (al-Ta‘awwūn) dan konsisten menjalankan ketentuan yang telah disepakati bersama (al-Istiqāmah), musyawarah dalam menyelesaikan persoalan sosial (al-Syurā) yang menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya, dan persamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al-Musawwa’) adalah prinsip dasar yang harus selalu ditegakkan.56 Dalam mewujudkan tata kehidupan politik yang demikian, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah menetapkan pandangan dan sikap politik yang didasarkan pada prinsip dasar perjuangan. Dasar perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa bertumpu pada nilai-nilai kebangsaan yang dilandasi dan dipadukan oleh dan dengan nilai-nilai kebenaran, kebebasan, keterbukaan, kemerdekaan, kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan, kejujuran, persamaan, persaudaraan, nondiskriminasi, dan kesetaraan gender. Partai menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Partai mencita-citakan terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang bersatu, adil, demokratis, dan egaliter, dimana seluruh warga 56 Lihat Mabda’ Siyasiy Partai Kebangkitan Bangsa negara memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan kepribadiannya secara bebas. BAB IV ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) DAN DINAMIKA POLITIK PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) H. Gus Dur dan PKB Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sepertinya sangat sulit dan mungkin tidak bisa dipisahkan dengan sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini lebih disebabkan oleh peran dan pengaruh politik Gus Dur yang sangat luar biasa besar di PKB. Begitu besarnya peran dan pengaruh politik Gus Dur di PKB setidaknya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, menyangkut persoalan kekerabatan (geneologis). Sistem kekerabatan ini merupakan ciri-ciri pengorganisasian yang hadir dalam tubuh NU seperti pada kegiatan pendidikan pesantren dan lembaga sosial lainnya. Dalam dinamika politik NU, sistem kekerabatan atau geneologis ini dapat menjadi faktor yang turut menentukan signifikan-tidaknya perolehan suara sebuah partai politik yang berbasis massa NU.57 Kekerabatan (geneologis) di lingkungan NU perlu diperhatikan secara cermat dan akurat karena ia dapat mengungkap pola patronase58 antara elite partai politik di lingkungan NU, dan pola sentralisasi kekuasaannya pun terlihat sangat jelas. Otoritas dan kekuasaan elite di lingkungan NU dalam kehidupan masyarakat 57 Ali Anwar, Avonturisme NU: Menjejaki Akar Konflik Kepentingan Politik Kaum Nahdhiyyin (Bandung: Humaniora, 2004), Cet. I, h. 61. 58 Patronase dilihat sebagai sumber (tokoh) yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan material dan spiritual para pengikutnya dan pada gilirannya menuntut adanya penghormatan dari mereka. memunculkan asumsi bahwa tidak hanya terbatas pada interaksi sosial, tetapi juga dapat diterapkan dalam bidang politik. Asumsi ini dibuktikan oleh fakta bahwa selama Pemilu 1999, misalnya, partai-partai NU peserta pemilu berupaya memanfaatkan kekuasaan ke-NU-annya untuk meningkatkan perolehan suara mereka.59 Gus Dur, yang secara geneologis, sebagai seorang cucu langsung dari kiai besar pendiri NU tentu merupakan satu kelebihan, sehingga di manapun ia berada dan dalam posisi apapun kharisma seorang cucu dan anak dari kiai besar selalu muncul dalam dirinya. Kharisma itu yang kemudian memposisikan Gus Dur sebagai seorang kiai yang juga sangat dihormati dan disegani tidak hanya oleh pengikut fanatiknya tetapi juga orang-orang yang pernah kenal dan dekat dengan dirinya. Pada gilirannya, ia memperoleh apa yang disebut oleh Jackson sebagai “otoritas tradisional.”60 Otoritas ini adalah otoritas61 patron yang mempengaruhi dan membangkitkan emosi para pengikutnya. Dalam situasi dan kondisi apapun para pengikutnya akan tetap mempertahankan patron mereka sekuat tenaga. Pola hubungan seperti ini sangat mengakar di kalangan warga tradisional Nahdhiyyin dan sering dimanfaatkan untuk melayani kepentingan-kepentingan politik elite karena massa pengikutnya dapat dengan mudah dimobilisasi melalui mobilisasi 59 Ali Anwar, Avonturisme NU, h. 62. 60 Ali Anwar, Avonturisme NU, h. 62. 61 Temuan Jackson berlaku juga untuk hubungan yang lebih umum antara dua orang yang berbeda. Ia tidak hanya terbatas pada tokoh-tokoh seperti kyai dan pengikutnya. Sifat ”otoritas tradisional” juga muncul pada seorang klien yang mungkin meminjam uang kepada seseorang yang kemudian menjadi patronnya. Klien itu secara moral akan merasa harus berbuat baik (lebih dari sekedar memberi uang) untuk menjaga integritas patronnya. lapisan patron yang lebih tinggi. Perubahan apapun dalam sikap politik yang dibuat oleh patron akan dapat menyebabkan perubahan serupa dalam sikap politik para pengikutnya. Dengan pola seperti ini, pengikut yang setia akan memenuhi permintaan dukungan apapun dari elite politik mereka. Sebagian pengikut akan melakukan hal ini tanpa berpikir panjang karena mereka yakin bahwa para elite partai politik di lingkungan NU mengetahui apa yang tidak dapat diketahui oleh warga NU biasa.62 Tidak heran, jika kemudian kehadiran Gus Dur dengan faktor geneologisnya itu sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan pola kepemimpinannya di Partai Kebangkitan Bangsa, sebuah Partai yang juga berbasis massa NU. Kedua, adanya kultur pesantren yang mempunyai hubungan unik antara kiai dan santrinya. Sebab, di pesantren santri akan merasa takut dan patuh terhadap kiai atau patronnya. Dalam budaya pesantren, para kiai dipandang sebagai pemimpin spiritual para santri yang memiliki hubungan yang erat dan diikat dalam ikatan budaya paternalistik. Petuah-petuah mereka akan selalu didengar, diikuti, dan dilaksanakan. Dengan demikian, dalam konteks politik, ajakan dan fatwa politik para kiai yang mereka sampaikan dalam kampanyekampanye pemilu akan selalu diikuti dan dan dilaksanakan oleh para santri yang dipimpinnya.63 62 63 Ali Anwar, Avonturisme NU, h. 62-63. Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999), Cet. I, h. 39. Budaya pesantren ini tentu sangat memberikan keuntungan bagi Gus Dur, karena ia adalah representasi ”darah biru” pesantren kaum Nahdhiyyin. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang notabene-nya memiliki basis massa yang kental dengan budaya pesantren itu juga akan sangat diuntungkan dengan kehadiran Gus Dur di PKB, karena dengan demikian kepatuhan warga NU terhadap Gus Dur akan berpengaruh terhadap eksistensi dan besarnya dukungan warga NU terhadap PKB. Ketiga, pandangan dan pemikiran-pemikiran yang selalu muncul dari bangunan intelektual Gus Dur yang kokoh, menempatkan Gus Dur sebagai “Guru Bangsa” yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam mencari solusi terhadap segala persoalan bangsa, adalah merupakan salah satu faktor dominan mengapa Gus Dur menjadi salah satu orang yang paling berpengaruh, tidak hanya di PKB tetapi di negeri ini. Harus diakui bahwa kontribusi Gus Dur kepada wacana nasional, tanpa memandang basis institusional dan sejarah keluarganya, adalah suatu kekuatan intelektual yang besar. Greg Barton, dalam bukunya The Impact of Neo-Modernism on Indonesia Islamic Thought: the Emergence of New Pluralism, mengatakan bahwa:64 “Pemikiran Abdurrahman Wahid jarang ditelaah dengan serius oleh para komentator luar dan terdapat kesan bahwa dia dianggap penting hanya karena koneksi-koneksinya, jaringan akar rumputnya dan ketajaman politisnya, bukan karena gagasan-gagasannya. Jarang para ilmuan luar mempelajari, apalagi menganggap penting, gagasangagasannya, namun pada akhirnya tampaklah bahwa pemikirannya adalah kontribusi yang paling penting dari semua kontribusi lainnya.” 64 Douglas E. Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), Cet. I, h. 84. Di samping itu, kepemimpinan Gus Dur, selama tiga periode di dalam NU (1984 – 1999), dengan memberikan sumbangan yang sangat penting dalam membangun dan mengembangkan intelektual dan civil society di negeri ini adalah merupakan salah satu bukti tingginya kecerdasan intelektual Gus Dur. Selama periode kepemimpinan Gus Dur, NU telah berhasil menciptakan suatu periode yang paling cemerlang dalam sejarah NU bagi perkembangan diskursus intelektualitas dan civil society. Keterlibatan aktivis-aktivis dan kalangan intelektual NU dalam gerakan-gerakan pro demokrasi dan hak asasi manusia, munculnya pelbagai lembaga swadaya masyarakat, dan jaringan-jaringan civil society, serta kebangkitan pesantren dalam kerja-kerja civil society merupakan contoh kesuksesan NU dalam mengawal gerakan intelektual dan civil society. Perkembangan yang sangat baik itu tidak lepas dari model kepemimpinan Gus Dur yang didasarkan pada pemikiran yang kritis dan nonkompromis. Keberhasilan Gus Dur memimpin NU selama tiga periode lamanya dengan gagasan-gasan cemerlangnya itulah yang kemudian menambah keyakinan dan kepercayaan warga Nahdiyyin bahwa Gus Dur akan mampu membawa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebagai partai yang lahir dari perut NU, sesukses dan secemerlang pada waktu ia memimpin NU. Kecerdasan intelektual dan kepiawaian Gus Dur dalam memimpin organisasi, telah menjadikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi sebuah partai besar dan sangat diperhitungkan walaupun usianya masih relatif muda. Kebesaran nama PKB tentu tidaklah terlepas dari kebesaran nama Gus Dur. Hal ini terbukti, walaupun pada saat partai ini didirikan ikut bermunculan partai-partai lain yang berbasis NU, tetapi hal ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kebesaran nama PKB dan Gus Dur. Dalam sebuah talkshow di TPI, menjelang Pemilu 1999, Gus Dur mengeluarkan sebuah pernyataan yang sangat kontroversial berkenaan dengan hubungan partai-partai yang berbasis NU, sebab pada saat itu ada tiga lebih partai yang mengidentikkan diri sebagai partai NU. Ia mengibaratkan partai politik di lingkungan NU dengan sesuatu yang keluar dari ‘anus ayam’. Menurutnya, PKB ibarat telur dan partai yang lain, yaitu PKU, PNU dan SUNI ibarat ‘kotoran ayam’.65 Pernyataan ini kemudian mendapat reaksi yang sangat kencang dari para pendiri dan kiai pendukung partai di luar PKB dengan menciptakan manuver-manuver politik untuk menghancurkan dukungan warga NU terhadap PKB dan Gus Dur. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, nama PKB dan Gus Dur kian membesar dan dukungan warga NU semakin solid. Keempat, faktor yang membuat besarnya peran politik Gus Dur di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah faktor struktural. Posisi Dewan Syura, sebuah lembaga tertinggi Partai yang ia duduki dalam struktur PKB dengan kewenangan yang begitu luas sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Dasar Partai, menambah besar pengaruh Gus Dur di PKB.66 Dengan kewenangannya yang begitu luas, tidak heran jika kemudian semua pandangan, gagasan, sikap, kebijakan, dan manuver-manuver politik Gus Dur sangat kentara mempengaruhi gerak langkah PKB. 65 Shalahuddin Wahid, Negeri di Balik Kabut Sejarah (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet. I, h. 17. 66 Lihat Anggaran Dasar (AD) PKB, Pasal 17 Sekarang, mari kita lihat sejauh mana peran dan pengaruh politik Gus Dur dalam membesarkan eksistensi PKB di panggung politik nasional. I. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 1999 1. Masa Pemilu 1999 Keberadaan PKB, pada awalnya, sebagai partai baru diduga oleh banyak pengamat tidak akan memperoleh suara yang signifikan pada Pemilu 1999. Kesulitan PKB dalam memperoleh suara, khususnya suara dari massa NU, disebabkan dalam tubuh NU sendiri, yang dianggap menjadi basis suara PKB, bukan hanya dimiliki oleh PKB, tetapi ada juga PNU, PKU, dan SUNI yang juga memiliki tokoh-tokoh yang cukup populer seperti Syukron Makmun dan Yusuf Hasyim. Di samping itu, warga NU –terutama kalangan pesantren– sejak Orde Baru, secara politis, banyak terkooptasi oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah partai yang dulu pernah menjadi rumah politik NU. Dan secara ekonomi-politis sudah menjadi bagian dari pendukung Golkar, dan hal ini tidak mudah untuk mengalihkan suaranya bagi kemenangan PKB. Atas dasar itu, sekalipun dianggap memiliki basis massa NU, tidak berarti PKB akan mendapatkan suara anggota NU secara signifikan. Akan tetapi, hasil Pemilihan Umum 1999 berbicara lain. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperlihatkan fenomena yang menarik dalam Pemilu 1999. Walaupun diperkirakan oleh banyak orang bahwa PKB, dengan segala macam persoalan yang sedang dihadapi, akan mengalami kegagalan dalam pemilu perdananya, namun PKB mampu menempati posisi urutan ketiga dalam total perolehan suara dengan jumlah 13.336.963 suara atau 12,6% dari total suara sah dalam pemilu. Urutan pertama dan kedua ditempati oleh PDI-P dengan 35.706.609 suara (33,7%) dan Golkar diurutan kedua dengan 23.742.112 suara atau sekitar 22,4%. Sedangkan untuk perolehan kursi di DPR, PKB berada di urutan keempat setelah PDI-P, Golkar, dan PPP.67 Kesuksesan PKB dalam memperoleh suara dalam Pemilu 1999 ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, pengakuan dan pemberian restu oleh PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) terhadap berdirinya PKB. PKB adalah satu-satunya partai politik di kalangan warga NU yang mendapat pengakuan dan restu dari Ketua Umum PBNU (Gus Dur). Partaipartai lain yang didirikan oleh beberapa tokoh dan warga NU, yaitu PNU (Partai Nahdlatul Umat), PKU (Partai Kebangkitan Umat), dan Partai SUNI tidak diakui secara resmi dan tidak direstui oleh PBNU. Dengan mengakui dan merestui PKB, maka mayoritas jamaah NU di seluruh tanah air (khususnya di Jawa) di bawah kepemimpinan dan komando PBNU mudah digerakkan dan dimobilisasi untuk mendukung PKB. Pimpinan wilayah, cabang, dan ranting NU di seluruh Tanah Air di bawah koordinasi PBNU bisa menggerakkan dan mengerahkan massa NU untuk mendukung PKB. Akibatnya, PNU, PKU, dan SUNI menjadi terkucil dan terpencil sehingga tidak mendapatkan dukungan luas dari jamaah NU. Terbukti dalam Pemilu 67 Ahmad Hakim Jaily dan Mohammad Tohadi, PKB dan Pemilu 2004 (Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu PKB, 2003), h. 40-41. 1999, PNU, PKU, dan SUNI hanya memperoleh puluhan atau ratusan ribu suara dan sangat jauh jumlahnya dengan perolehan suara PKB.68 Kedua, peranan pesantren. Pesantren-pesantren NU (berikut para kiai pengasuhnya) berperan sebagai jaringan komunikasi politik yang sangat efektif bagi PKB. Walaupun PKB secara formal organisatoris masih belia, namun PKB secara tradisional dan kultural telah begitu lama berakar dan berbasis di pesantren-pesantren. Antara NU, pesantren, dan PKB hampir tidak bisa dipisahkan. Sosialisasi PKB melalui saluran pesantren-pesantren dan para kiai NU berjalan cukup efektif. Hubungan geneologis dan perkawinan antar kiai pengasuh pesantren, hubungan kiai-santri, dan hubungan kiai-masyarakat lingkungan pesantren menjadi jaringan komunikasi politik yang efektif. Komunikasi politik secara vertikal dan horisontal dapat berjalan cukup lancar melalui peran dan jalur pesantren serta para kiai pengasuhnya yang tersebar di masyarakat lapisan bawah. Hal ini, mengingatkan keberhasilan partai NU dalam Pemilu 1955. Walaupun persiapannya hanya berlangsung dua tahun (NU keluar dari Masyumi tahun 1952), namun NU dalam Pemilu 1955 itu muncul sebagai partai besar ketiga setelah PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Masyumi. Keadaan yang relatif sukses ini tampaknya diulang kembali oleh PKB. Ketiga, faktor yang membuat PKB sukses dalam perolehan suara pada Pemilu 1999 adalah ketokohan seorang Gus Dur. Sosok dan peran Gus 68 Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai, h. 142-143. Dur yang memiliki reputasi yang baik ternyata mampu menarik simpati mayoritas warga NU untuk mendukung dan memilih PKB. Sebelum menjadi deklarator PKB, Gus Dur telah dikenal luas oleh masyarakat, baik sebagai sosok intelektual maupun sebagai tokoh nasional. Bahkan, ia juga dikenal di luar negeri dan berpartisipasi dalam berbagai diskusi, seminar, konferensi, dan organisasi internasional. Dengan perangkat ketokohan, intelektualitas, dan reputasi baik semacam itu ia mampu membesarkan nama PKB. 69 Di samping itu, kekuatan tawar-menawar politik Gus Dur juga sangat dipertimbangkan dan diperhitungkan. Gus Dur bersama Megawati Soekarno Putri (Ketua Umum DPP PDI Perjuangan) dan Amien Rais (Ketua Umum DPP PAN) beberapa hari sebelum Pemilu 1999 dilaksanakan membuat komunike yang dikenal sebagai “Komunike Paso".70 Di sini ada fenomena yang sangat menarik. Justru, yang tampil bersama Mega dan Amien adalah Gus Dur, bukan Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum DPP PKB. Sedangkan PAN dan PDI-P diwakili oleh ketua umum partainya masing-masing.71 Kemudian Akbar Tanjung (Ketua Umum Partai Golkar) berkunjung ke rumah Gus Dur mengadakan kesepakatan untuk mengamankan jalannya Sidang Umum MPR dan mencari kemungkinan-kemungkinan perlunya koalisi antara PKB dan Golkar. Hamzah Haz (Ketua Umum PPP) juga berniat 69 Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai, h. 141-145. 70 Komunike ini mempertegas komitmen kekuatan reformis untuk menghadang kekuatan status quo. 71 Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai, h. 149-150. bertemu dengan Gus Dur untuk kepentingan yang sama.72 Di sini, sekali lagi, muncul fenomena yang sama. Justru, yang ditemui oleh Akbar Tanjung dan Hamzah Haz, bukan Ketua Umum PKB (Matori Abdul Djalil) melainkan Gus Dur. Hal ini, mengisyaratkan bahwa Gus Dur dipandang sebagai tokoh penting di pentas politik nasional yang memiliki kekuatan tawar-menawar politik yang patut diperhitungkan oleh partai-partai lain. Secara kekuatan politik, ketokohan Gus Dur mampu dijadikan sebagai alat komunikasi politik PKB dalam memperoleh dukungan di parlemen. Tidak heran jika kemudian PKB, walaupun bukan sebagai partai pemenang pemilu, mampu menghantarkan Gus Dur ke kursi kekuasaan, melalui dukungan dan kekuatan “poros tengah”. Gus Dur Jadi Presiden Siapa pun sepakat, rezim Gus Dur punya legitimasi yang kukuh. Hal ini disebabkan karena secara materiil pemerintahannya adalah hasil Pemilu 1999 yang terbilang relatif demokratis. Pemilu itu, menghasilkan MPR baru yang pada Sidang Umum 1999 memilih Gus Dur-Mega lewat proses yang demokratis pula, meski di luar parlemen ada “ancaman” kerusuhan. Ancaman kerusuhan di luar parlemen yang dilakukan oleh massa PDI-P pada waktu itu dapat dipahami, karena pada pemilu kali ini PDI-P berada pada posisi teratas dalam perolehan suara kalah dari Gus Dur saat pemilihan presiden. Jajak pendapat pascapemilu menunjukkan Megawati 72 Harian Kompas, 18 Juni 1999. berada pada urutan teratas dari beberapa calon presiden, Amien Rais, Habibie, Gus Dur, dan lain-lain. Hal ini, menunjukkan Megawati besar kemungkinan akan menjadi presiden bila dilakukan pemilihan langsung. Namun, sistem politik pada waktu itu punya jawaban lain, bahwa pemilu bukan untuk memilih seorang presiden tetapi memilih wakil rakyat yang akan memilih presiden. Partai pemenang pemilu tidak berarti secara otomatis bisa meloloskan calonnya sebagi presiden. Isu penolakan Megawati sebagai calon presiden dilontarkan Gus Dur di Singapura saat berbicara di forum yang diselenggarakan Institut Pertahanan dan Studi Singapura, 24 Maret 1999. Gus Dur menyatakan bahwa peluang Megawati menjadi Presiden RI kecil. Hal ini, disebabkan pandangan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak menerima tampilnya seorang presiden wanita. Dalam kesempatan lain, Gus Dur menyatakan bahwa dalam tubuh PKB ada banyak orang, terutama para kiai yang berpikir bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin atau presiden.73 Isu penolakan terhadap Megawati mengharuskan beberapa elit politik seperti Gus Dur, Amien Rais, Hamzah Haz, dan Nur Mahmudi Ismail melakukan penjajagan awal mencari tokoh alternatif untuk menghindari dead lock atau jalan buntu. Akhirnya, muncul nama Abdurrahman Wahid sebagai tokoh alternatif untuk menghindari jalan buntu itu. Fraksi Reformasi (PAN dan PK) secara resmi mencalonkan Gus Dur. Reputasi dan kemampuan 73 236. Achmad Mufid, Ada Apa dengan Gus Dur (Yogyakarta: Kutub, 2005), Cet. I, h. 235- berpolitik yang telah lama dibinanya menjadikan Gus Dur dapat diterima oleh hampir semua pihak, dan menjadi pilihan yang amat menarik. Wibawa dan pengaruhnya yang diakui secara nasional dan internasional membuat semua pihak merasa aman jika Gus Dur yang muncul sebagai Presiden RI. Dengan munculnya dukungan dari partai-partai Islam dan Reformasi yang kemudian disebut sebagai “poros tengah” di dalam sidang umum parlemen, menghantarkan Gus Dur ke kursi kekuasaan, dan Megawati harus puas duduk sebagai orang nomor dua. Kemenangan Gus Dur memperoleh kekuasaan dengan dukungan yang begitu kuat di dalam pemerintahannya, menempatkan Partai Kebangkitan Bangsa sebagai partai yang besar dan diperhitungkan dalam pergaulan politik nasional. Sidang Istimewa MPR 2001 dan Konflik PKB Kemenangan Abdurrahman Wahid dalam perebutan kursi nomor satu di negeri ini hanya mampu dinikmati secara nyaman tidak lebih dari satu tahun. Karena ketika memasuki pertengahan tahun 2000 ia harus dihadapkan pada isu impeachment. Walaupun dalam berbagai kesempatan Gus Dur menegaskan bahwa tidak mungkin ada impeachment pada Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Menurut Gus Dur, telah ada kesepahaman politik antara dirinya dengan Megawati, Akbar Tanjung, Amien Rais, dan Matori. Akan tetapi, yang harus disadari betul adalah bahwa menjelang Sidang Tahunan MPR itu Gus Dur masih harus menghadapi berbagai persoalan politik yang dapat mengancam kedudukannya. Pertama, karena di balik pernyataannya yang selalu optimis, Gus Dur menemukan kenyataan bahwa kinerja timnya masih saja jeblok dan dipertanyakan kapabilitasnya untuk mengatasi krisis. Kedua, ada fakta bahwa pemerintahan Gus Dur belum mampu mengendalikan situasi dan memerintah. Ketiga, perkembangan politik yang cenderung terus-menerus membuat Gus Dur terserang dan terpojok. Berbagai kasus, seperti Buloggate, Bruneigate, perseteruan dengan Syahril Sabirin, kasus Maluku, Kongres Rakyat Papua, dan disetujuinya penggunaan hak interpelasi DPR untuk kasus pencopotan Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla, benar-benar membuat Gus Dur terpaksa menukar Confident-nya dengan kepanikan. Belum lagi dengan akan digunakannya hak angket yang dipelopori PPP untuk kasus Bulog dan bantuan Sultan Bolkiah.74 Dalam keadaan politik yang tidak kondusif pada waktu itu menyebabkan PKB tidak berdaya harus berhadapan dengan desakan poros tengah, yang awalnya sebagai partai pendukung pemerintah. Ditambah lagi dengan tidak solidnya PKB menambah lemahnya dukungan pemerintahan Gus Dur. Sehingga pada tanggal 30 Mei 2001, melalui Sidang Istimewa MPR, Gus Dur harus merelakan kursi kekuasaannya diduduki oleh Megawati. Bersamaan dengan turunnya Gus Dur dari kekuasaan pada tanggal 30 Juli 2001, Rapat Pleno DPP PKB yang dihadiri anggota FKB MPR, 74 Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia (Jakarta: Republika, 2004), Cet. I, h. 117. memutuskan untuk menghentikan Matori Abdul Djalil dari jabatannya sebagai Ketua Umum PKB. Dan sekaligus menetapkan Alwi Shihab sebagai pejabat sementara Ketua Umum DPP PKB. Keputusan ini diambil karena Matori dianggap secara sengaja tidak menjalankan kewajibannya sebagai anggota Partai dan melanggar disiplin Partai. Paling tidak terdapat tiga tindakan indisipliner Matori yang menyebabkan ia harus diberhentikan dan dikeluarkan dari Partai.75 Pertama, Matori Abdul Djalil hadir dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 1 Februari 2001 yang menjatuhkan Memo I terhadap K.H. Abdurrahman Wahid. Padahal, dalam rapat gabungan DPP PKB dan FKB DPR sebelumnya yang juga dihadiri Matori, diputuskan bahwa seluruh anggota FKB akan walk out apabila Sidang Paripurna menjatuhkan Memo I. Matori yang menolak hasil rapat dan menyatakan tidak akan hadir dalam Sidang Paripurna DPR, ternyata hadir. Kedua, Matori menghadiri Sidang Paripurna DPR tanggal 30 Mei 2001 yang memutuskan menggelar Sidang Istimewa. Kembali, Matori menolak keputusan rapat FKB sebelumnya, yang memutuskan untuk walk out dan menyatakan tidak bertanggung jawab atas keputusan DPR. Ketiga, berpuncak pada Sidang Istimewa tanggal 21 Juli 2001 yang menggulingkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan. Meskipun FKB MPR menginstruksikan anggotanya untuk tidak hadir dalam SI itu, namun Matori hadir dan menyetujui hasil SI. 75 Bambang Setiawan dan Bestian Nainggolan, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009 (Jakarta: Kompas, 2004), Cet. I, h. 256. Babak baru PKB dimulai. Konflik yang berujung pada dualisme kepemimpinan di PKB tidak dapat dihindari. Masyarakat mengenal dua macam PKB, yaitu PKB Kuningan yang dipimpin Alwi Shihab dan PKB Batutulis pimpinan Matori Abdul Djalil. Perang ‘urat Syaraf’ kedua kubu semakin meruncing. Jalur musyawarah tidak dapat mempertemukan keduanya. Akhirnya, jalur hukum ditempuh untuk membuktikan siapa yang paling berhak menjadi pimpinan PKB. Selama proses hukum itulah terjadi saling klaim dan fenomena tandingan pun muncul. PKB Matori mengadakan Muktamar Luar Biasa (MLB) tanggal 14 – 16 Januari 2002, di Jakarta. Sementara itu, kubu Alwi Shihab menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) di Yogyakarta, pada tanggal 17 – 19 Januari 2002. Kedua MLB mengesahkan pimpinan kubu masingmasing.76 MLB Jakarta menetapkan Matori Abdul Jalil sebagai Ketua Umum, dan MLB Yogyakarta menetapkan Alwi Shihab sebagai Ketua Umum DPP PKB dengan Gus Dur sebagai Dewan Syura-nya. Dalam situasi dualisme ini Gus Dur, dengan sumberdaya yang ada dalam dirinya dan dengan kedekatannya dengan para Kiai Langitan NU, meminta Kiai Langitan untuk mendukung kepengurusan Alwi dan dirinya di PKB. Selanjutnya, Forum Kiai Langitan, sebagai forum kiai berpengaruh di NU, menyerukan Nahdhiyyin untuk mendukung pengurus PKB yang dipimpin K.H. Abdurrahman Wahid dan Alwi Shihab. Hampir dua tahun konflik internal PKB berlangsung. Tepatnya bulan 76 Bambang dan Nainggolan, Partai-partai Politik Indonesia, h. 256-257. Juni 2003, Mahkamah Agung (MA) memenangkan PKB Kuningan yang dipimpin oleh Gus Dur dan Alwi Shihab. Konflik yang selama ini terjadi ternyata tidak berpengaruh terhadap dukungan warga Nahdhiyyin kepada PKB. Hal ini, lebih disebabkan oleh ketokohan, Kharisma, dan kedekatan Gus Dur yang mampu meraup dukungan dari Kiai Langitan di NU. Ini dapat dibuktikan pada hasil Pemilu 2004. J. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 2004 K. Masa Pemilu 2004 Dengan berakhirnya konflik internal, PKB mengalihkan pandangannya pada persiapan menghadapi Pemilu 2004. Sebagai partai politik yang masuk electoral threshold, PKB akan tetap ikut Pemilu 2004. Sejak Muktamar I PKB yang diselenggarakan di Surabaya pada tahun 2000 telah ditetapkan Strategi dan Program Pemenangan Partai dalam Pemilu 2004. Kemudian, ketetapan itu dibahas kembali dan dipertajam dalam forum Muktamar Luar Biasa di Yogyakarta, dan ditetapkan sebagai Keputusan Permusyawaratan dengan ketetapan No. VI/MLB/I/2002 tertanggal 19 Januari 2002.77 Menjelang Pemilu 2004, kendala-kendala lama masih harus dihadapi oleh PKB, misalnya warga NU (sebagai basis pemilih) yang masih setia di PPP, Partai Golkar, PNU, bahkan PDI-P. Hal ini karena tokoh-tokoh yang ada di partai tersebut masih belum memperlihatkan kemungkinan perubahan 77 Jaily dan Tohadi, PKB dan Pemilu 2004, h. 65. orientasi politik. Disamping itu, secara internal imbas pemecatan beberapa pengurus Partai yang dianggap tidak disiplin pasca-Sidang Istimewa MPR RI 2001 masih berpengaruh terhadap konsolidasi Partai. Lepas dari konflik kepemimpinan PKB, muncul kabar tidak sedap mengenai perseteruan antara elite NU dan PKB. Gesekan terjadi sehubungan dengan perbedaan calon presiden. Sebetulnya, friksi antara NU dan PKB itu muncul berbarengan dengan lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan. Sebagai Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi dinilai tidak all out membela Gus Dur. Namun, penetapan figur calon presiden di tubuh PKB bukan sesuatu yang mudah. Pasalnya, di dalam partai sendiri masih terjadi perbedaan pandangan soal menetapkan calon presiden. Ada pihak yang tetap menjagokan Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur. Namun ada pihak yang menginginkan calon baru yang lebih segar, seperti Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadi atau cendikiawan Nurcholish Madjid. Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKB bulan Mei 2003 merekomendasikan tentang kriteria calon presiden yang akan diajukan oleh PKB. Nama K.H. Abdurrahman Wahid masih kuat terdengar di arena Mukernas PKB. Oleh karena itu, tidak heran kalau peserta Mukernas PKB sepakat menyebut Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden utama PKB. 78 Gus Dur, yang sempat menjadi Presiden RI ini, masih berkharisma di kalangan PKB. Terhadap Gus Dur, PKB melihatnya sebagai kekuatan dan kelemahan. Disebut kekuatan karena figur Gus Dur merupakan solidaririty 78 Bambang dan Nainggolan , Partai-partai Politik Indonesia, h. 259-260. maker. Dengan demikian, pencalonan Gus Dur sebagai calon presiden akan berpengaruh terhadap besarnya dukungan suara bagi PKB. Dan disebut kelemahan, karena PKB masih akan terus bersikap ketergantungan pada figur Gus Dur. Namun, pandangan yang terakhir ini tidak dijadikan soal mendasar terhadap pencalonan Gus Dur. Karena, dalam kondisi internal Partai yang dilanda konflik, belakangan ini, PKB harus mengambil risiko ini untuk tetap mempertahankan dukungan yang besar bagi PKB. Namun sayang, pencalonan Gus Dur harus terhalang dengan aturan yang dikeluarkan oleh KPU menyangkut kesehatan fisik calon Presiden RI. Dengan dikeluarkannya keputusan KPU yang tidak meloloskan pencalonan Gus Dur membuat konstituen dan kader PKB merasa kebingungan harus mengalihkan suara kemana. Sementara itu Hasyim Muzadi Ketua Umum PBNU, Organisasi yang selama ini menjadi basis massa terbesar PKB, mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden bersama Megawati Soekarno Putri, dari PDI-P. Namun, pencalonan Hasyim tidak didukung oleh PKB karena Hasyim tidak memperoleh restu dari Gus Dur. Dalam situasi kebingungan politik ini, Gus Dur secara tegas menginstruksikan suara PKB mengarah pada pencalonan adiknya, Shalahuddin Wahid, sebagai wakil presiden bersama Wiranto dari Partai Golkar. Dalam kesempatan ini, perseteruan antara NU dan PKB kembali mencuat. Kharisma dan ketokohan kembali dipertaruhkan dalam perebutan massa warga Nahdhiyyin pada Pemilu 2004. L. Konflik II dan Muktamar II PKB Konflik internal yang kedua ini hampir sama dengan modus dalam konflik PKB dengan Matori Abdul Djalil. Konflik diawali dari pemecatan terhadap Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf dari posisi Ketua Umum dan Sekjen DPP PKB. Namun, keputusan tersebut kemudian melebar menjadi sebuah konflik institusional. Alwi Shihab juga membawa kasus ini ke pengadilan melalui sebuah gugatan perdata, sama seperti yang dilakukan Matori.79 Pada saat proses hukum ini sedang berjalan, DPP PKB menyelenggarakan Muktamar II PKB di Semarang pada tanggal 16 – 18 April 2005. Muktamar ini diikuti oleh seluruh jajaran pengurus PKB dari tingkat Kabupaten/Kota, termasuk diikuti juga oleh aktifis-aktifis PKB. Dan dalam muktamar itu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar keluar sebagai pemenang. Kemenangan Gus Dur dan Muhaimin secara demokratis dalam pemilihan Ketua Umum Dewan Syura dan Ketua Umum Dewan Tanfidz pada muktamar tersebut ternyata tidak dapat diterima oleh para pesaingnya, terutama kubu Choirul Anam. Mereka selanjutnya mempersatukan diri untuk menggugat hasil-hasil muktamar. Untuk memperkuat posisi, dimanfaatkanlah kasus pemecatan Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf sebagai alasan atas pembenaran gerakan mereka.80 Namun lagi-lagi, melalui proses hukum yang panjang, Gus Dur memenangkan pertarungan kali ini. Putusan kasasi Mahkamah Agung RI No. 79 Ahsanul Minan, dkk., Khidmat Kami Bagimu Negeri, Laporan Kinerja FKB DPR RI 2005-2006 (Jakarta: FKB DPR RI, 2007), Cet. I, h. 122-123. 80 Ahsanul Minan, dkk., Khidmat Kami Bagimu Negeri, h. 123. 1896 K/PDT/2005 tertanggal 15 Nopember 2005 ternyata tidak dapat menolong kedudukan Alwi sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz di PKB. Hal ini dikarenakan sudah ada perbuatan hukum lain yang menggantikannya, yaitu Muktamar II PKB di Semarang yang telah diselenggarakan sesuai dengan ketentuan AD/ART PKB dan UU No. 31/2002 tentang Partai Politik. Dan putusan MA No. 02K/PARPOL/2006 yang berisi penolakan terhadap seluruh permohonan kasasi Choirul Anam, menutup konflik PKB. Kemudian putusan MA ini, ditindaklanjuti dengan pencabutan SK pendaftaran kepengurusan DPP PKB versi Choirul Anam oleh Menkumham melalui SK nomor M.14-UM.06.08 tahun 2006. Dengan adanya pencabutan ini, maka dualisme kepengurusan DPP PKB telah berakhir. Kepengurusan DPP PKB hanya satu yaitu kepengurusan hasil Muktamar II Semarang yang dipimpin oleh K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Dewan Syura dan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz.81 M. Dinamika Pasca Muktamar II PKB dan Menyambut Pemilu 2009 Berakhirnya konflik internal PKB pasca dikeluarkannya putusan MA No. 02K/PARPOL/2006 dan SK Menkumham No. M.14-UM.06.08, dengan menetapkan Gus Dur dan Muhaimin sebagai kubu yang sah, kian memantapkan kesiapan PKB untuk menghadapi Pemilu 2009. Optimisme PKB tampak secara jelas dalam pelaksanaan Rapat Kerja DPP PKB pada tanggal 20 – 21 September 2006 di Wisma DPR RI Cikoko, Bogor. Rapat 81 Ahsanul Minan, dkk., Khidmat Kami Bagimu Negeri, h. 123-126. Kerja DPP PKB yang juga dihadiri oleh Ketua DPW PKB seluruh Indonesia ini menetapkan target perjuangan PKB dalam Pemilu 2009. Namun harapan tinggal harapan, Pemilu 2009 kembali disambut oleh PKB dengan konflik internal. Konflik kali ini, walaupun kasusnya berbeda, namun modusnya tetap sama dengan konflik yang terjadi sebelumnya. Konflik dimulai dari pemecatan Ketua Umum Muhaimin Iskandar oleh Ketua Umum Dewan Syura Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Peristiwa pemecatan itu berawal dari kemarahan Gus Dur terhadap Muhaimin. Ada beberapa alasan mengapa Gus Dur menjadi sangat marah kepada Muhaimin. Pertama, Gus Dur beranggapan bahwa Muhaimin telah bersikap double standard, menjadi alat Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mendongkel Gus Dur dari posisinya sebagai Ketua Umum Dewan Syuro. Gus Dur menuding Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla adalah orang yang menyebabkan terjadinya konflik di internal PKB melalui tangan Muhaimin. Hal ini dibuktikan dengan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Muhaimin. Menurut Gus Dur, ketika diputuskan untuk mundur, sebetulnya Muhaimin awalnya bersikap menerima. Namun, Gus Dur merasa bingung mengapa belakangan Muhaimin berubah dan menolak pemberhentian tersebut. Karenanya, Gus Dur bertekat untuk tetap tidak mau ishlah dengan Muhaimin karena ia beranggapan bahwa Muhaimin sudah tidak jujur.82 Kedua, pengangkatan Lukman Edy sebagai Menteri Daerah Tertinggal tidak 82 “Konflik PKB dan Telunjuk Gus Dur,” artikel diakses tanggal 16 April 2008 dari http://www.politikindonesia.com terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Gus Dur dan dimusyawarahkan di internal PKB. Ketiga, Gus Dur mensinyalir Muhaimin telah digunakan oleh pihak ketiga sehingga gagal meloloskan Calon Gubernur DKI Jakarta dari PKB. Gus Dur sudah memberi surat peringatan kedua kepada Muhaimin dan mengancam akan menggelar Muktamar Luar Biasa. Sementara itu, Muhaimin sendiri mengklarifikasi semua tuduhan Gus Dur, pada saat berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya, dengan mengatakan, “Saya melawan Gus Dur? Saya ini siapa?83 Akhirnya pada Maret 2008, rapat pleno memutuskan untuk meminta Muhaimin mengundurkan diri. Namun, Muhaimin tidak terima dengan hasil putusan rapat pleno itu dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Jakarta Selatan dan dikabulkan. Gugatan yang diajukan oleh Muhaimin yang kemudian dikabulkan itu ditanggapi oleh Gus Dur dengan mengajukan kasasi ke MA, namun di tolak. MA juga menolak legalitas Musyawarah Luar Biasa (MLB) yang diselenggarakan oleh kubu Gus Dur di Parung dan MLB Ancol yang diselenggarakan kubu Muhaimin. Hasil putusan MA mengembalikan DPP PKB hasil Muktamar Semarang. Muhaimin sebagai Ketua Umum dan Lukman Edy sebagai Sekjennya.84 Akan tetapi, putusan MA itu tidak kemudian dapat menyelesaikan persoalan di tubuh PKB secara keseluruhan. Hal ini terlihat belakangan ketika Gus Dur melaporkan Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum Dewan 83 84 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/07/16/id.html “Konflik PKB 2008,” artikel diakses tanggal 22 Agustus 2008 dari http://www. therifqibiru.com Tanfidz PKB dan Lukman Edy selaku Sekjen ke Bareskrim Mabes Polri. Keduanya dianggap tidak pernah mengajak Gus Dur dalam segala kebijakan Partai. “Tidak, sama sekali saya tidak dilibatkan. Bahkan Muhaimin di mana-mana mengatakan saya tidak lagi menjadi Ketua Dewan Syuro, tapi hanya penasihat. Kapan perubahan itu terjadi? Seenaknya saja. Ini melanggar keputusan MA dan PTUN Jakarta. Semua dilanggar.”85 Menurut Gus Dur, dia mengadukan Muhaimin dan Luman Edy sebagai pihak yang melanggar AD/ART. Bentuk pelanggarannya ada dalam setiap Surat Keputusan dan sejenisnya, termasuk penetapan anggota legislatif, yang seharusnya ditandatangani dua pihak, yakni Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz. "Saya ketuanya, dan Muhidin Sekretaris Dewan Syuro. Ketua Tanfidz Muhaimin dan Lukman Edy. Ini dilanggar oleh mereka. Mereka tidak mengajak saya tandatangan," ucap Gus Dur usai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta, Selasa 16 September 2008.86 Di sisi lain, Ketua DPP PKB versi Muhaimin, Marwan Ja'far, mengatakan bahwa konflik internal PKB telah selesai setelah dikeluarkannya keputusan MA yang mengakui bahwa kepemimpinan yang sah adalah PKB di bawah pimpinan Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy, dengan Ketua Dewan Syuro Aziz Mansyur. 85 Yessi Siti Hajar, “Dijadikan Penasihat PKB, Gus Dur Geram,” artikel diakses tanggal 17 Oktober 2008 dari http://www.inilah.com 86 Yessi, “Dijadikan Penasihat PKB, Gus Dur Geram.” “Tidak ada lagi kubu-kubuan. KPU sudah selesai. Nggak ada dualisme lagi. Keputusan MA terang-benderang. Tak ada satu kata pun dari putusan MA yang menyatakan kembali pada muktamar semarang. Yang ada, Muktamar Parung tidak sah dan pemecatan Muhaimin tidak sah, titik”.31 Ketua Lakum HAM DPP PKB kubu Muhaimin, Ikhsan Abdullah, juga berpendapat bahwa keputusan Mahkamah Agung terkait persoalan internal PKB. Sudah tegas bahwa PKB yang diakui sebagai peserta Pemilu 2009 adalah PKB yang dipimpin oleh Ketua Umum Muhaimin Iskandar dan Sekjen Lukman Edy. Menyangkut masalah pencalonan anggota legislatif, Ikhsan mengatakan bahwa pihak yang sah dalam mengajukan daftar calon legislatif adalah ketua umum dan sekjen sebagaimana yang diamanatkan UU No.10/2008 yang menyatakan bahwa pengajuan calon legislatif ditandatangani Ketua Umum, Sekjen atau sebutan apapun. Depkum HAM telah menetapkan dan mengakui alamat PKB yang sah adalah PKB yang beralamatkan di JL. Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat. KPU juga mengeluarkan pernyataan bahwa surat menyurat yang sah dilayangkan ke JL. Sukabumi.32 Putusan ini tentu saja membuat Gus Dur geram dan langsung melayangkan gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat dengan No. 313/PDT.G/2008/PNJKTPST. Dengan tergugat Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Depkum HAM, KPU, dan sekaligus Ketua Umum dan Sekjen 31 “MA Hapus Pertimbangan, MLB Ancol yang Sah,” artikel diakses pada 16 April 2008 dari http://www.detiknews.com 32 “Gugatan Gus Dur di PTUN Tak Ganggu Proses Pencalegan,” artikel diakses pada 16 April 2008 dari http://www.detiknews.com PKB.33 Gus Dur merasa bahwa dirinya telah dizalimi. Dan kini, proses itu sedang berjalan. D. Dinamika Peran dan Pengaruh Politik Gus Dur di PKB Kekuasaan dapat dilihat dari sumber-sumber yang melekat padanya. Konsepsi mengenai sumber kekuasaan yang telah diterima secara luas adalah dikotomi antara “position power” (kekuasaan karena kedudukan) dan ”personal power” (Kekuasaan pribadi). Menurut konsep tersebut, kekuasaan sebagian diperoleh dari peluang yang melekat pada posisi seseorang dalam organisasi dan sebagian lagi disebabkan oleh atribut-atribut pemimpin tersebut serta dari hubungan pemimpin-pengikut. Termasuk dalam position power adalah kewenangan formal, kontrol terhadap sumber daya dan imbalan, kontrol terhadap hukuman, kontrol terhadap informasi, kontrol ekologis. Sedangkan personal power berasal dari keahlian dalam tugas, persahabatan, kesetiaan, kemampuan persuasif dan kharismatik dari seorang pemimpin (Gary Yukl, 1996:167-175). Sejarah telah menunjukkan bahwa pemimpin yang mempunyai position power yang terlalu kuat cenderung menggunakannya untuk mendominasi dan mengeksploitasi pengikut. Sebaliknya, seorang pemimpin yang tidak mempunyai position power yang cukup akan mengalami kesukaran dalam mengembangkan kelompok yang berkinerja tinggi dalam organisasi. Sedangkan dalam personal power, seorang pemimpin yang mempunyai expert power atau daya tarik 33 “KPU Siap Layani Gugatan Gus Dur,” artikel diakses pada 16 April 2008 dari http//www.detiknews.com kharismatik sering tergoda untuk bertindak dengan cara-cara yang pada akhirnya akan mengakibatkan kegagalan.87 Perjalanan politik Abdurrahman wahid (Gus Dur) dalam membesarkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebagaimana yang telah dipaparkan, ternyata memiliki kedua sumber kekuasaan itu yaitu position power dan personal power. Gus Dur dengan “position Power” yang ia peroleh dari posisinya sebagai ketua Dewan Syuro di PKB, memiliki konsekuensi positif dan sekaligus negatif. Dikatakan positif, karena dengan kewenangan yang begitu luas yang diberikan partai terhadap posisi seorang Dewan Syura ternyata berimplikasi terhadap kekeluasaan Gus Dur dalam melakukan manuver dan komunikasi politiknya secara efektif, bebas, dan tidak terikat. Dengan demikian keputusan dan kebijakan partai dapat diambil dengan cepat dan dapat dengan segera bisa langsung di implementasikan tanpa ada banyak halangan dan kesulitan. Hal inilah yang dapat menjadikan eksistensi dan pergaulan politik PKB di panggung politik nasional dapat berjalan cepat dan efektif. Dan adapun konsekuensi negatifnya adalah dengan kewenangan yang besar itu Gus Dur cenderung mempergunakannya sebagai alat untuk mendominasi dan mengeksploitasi pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan politik PKB, masalah suksesi kepemimpinan selalu saja diwarnai oleh konflik yang berujung pada dualisme kepemimpinan, dari kasus Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab dan terakhir dengan Muhaimin Iskandar. Di samping itu, pemecatan beberapa pengurus dan pembekuan kepengurusan di beberapa wilayah secara 87 Fuad Anwar, Melawan Gus Dur, (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), h. 135 sepihak adalah bukti lain dari konsekuensi negatif itu. Semua ini bisa terjadi karena lebih disebabkan peran politik Gus Dur yang begitu besar, sehingga semua keputusan harus sesuai dengan keinginan dan hitungan-hitungan politiknya saja, tanpa mau mendengarkan masukan dan kritikan dari berbagai pihak. Ketokohan dan kharisma yang luar biasa, yang muncul dari dalam diri seorang Gus Dur adalah merupakan “personal power”. Hal ini yang ternyata mampu menjadi daya tarik yang luar biasa besar, paling tidak sejak PKB didirikan, Pemilu 1999, dan Pemilu 2004. Tidak heran jika kemudian PKB, walaupun merupakan salah satu partai baru yang berdiri sejak Reformasi 1998, menempati posisi ketiga dalam perolehan suara pada Pemilu 1999 dan 2004. sesuatu yang menakjubkan dan fenomenal. Hanya masalahnya pasca-Pemilu 2004 dan menjelang Pemilu 2009, peran dan pengaruh Gus Dur, yang besar itu, tiba-tiba merosot. Banyak kalangan elemen NU, baik yang berada di lingkungan PKB maupun yang berada di dalam NU sendiri melakukan perlawanan terhadap sikap politik dan keputusan-keputusan politik yang diambil Gus Dur. Kecenderungan adanya perlawanan terhadap sikap dan keputusan politik Gus Dur, dinilai KH. Yusuf Hasyim sebagai pertanda baik. Ia mengatakan bahwa, “dulu kalau Gus Dur punya kemauan tidak ada yang berani mengingatkan walaupun itu menyimpang.” Padahal menurut KH. Wahid Hasyim, “organisasi kalau ditentukan oleh hanya satu orang, ini tidak sehat.” Tetapi, sekarang Gus Dur sebagai penentu satu-satunya di PKB sudah mulai menyusut dan mulai digugat.88 88 Fuad Anwar, Melawan Gus Dur, h. 139 Dari fenomena penolakan dan perlawanan elemen PKB terhadap sikap dan atau keputusan politik Gus Dur, dapat disimpulkan bahwa ada kemerosotan kewibawaan Gus Dur, hal ini dapat dipahami dari adanya kecendrungan semakin menipis dan melemahnya ketaatan warga PKB terhadap kepemimpinan Gus Dur, paling tidak mulai ada yang berani beda sikap dengan Gus Dur. Dalam kasus pemecatan Ketua Umum Dewan Tanfidz, Muhaimin Iskandar, yang telah menimbulkan dualisme kepemimpinan di internal PKB, ternyata membuat Gus Dur semakin terpojok dan ditinggalkan. Peran secara struktural yang selama ini menjadi bagian dari kekuatan kekuasaannya di PKB tidak mampu lagi ia kendalikan. Begitu juga pengaruh ketokohan dan kharisma Gus Dur, kini tidak sebesar dulu lagi. Terlepas dari dinamika merosotnya peran dan pengaruh Gus Dur di PKB, ia adalah sosok tokoh yang fenomenal. Membuang sama sekali sosok Gus Dur di PKB adalah merupakan dilema etis bagi PKB sendiri. Betapa tidak, walaupun secara struktural peran Gus Dur sudah terpojok dan pengaruhnya sudah mulai merosot, namun peristiwa ini masih saja meninggalkan kekhawatiran. PKB merasa khawatir jika Gus Dur benar-benar meninggalkan PKB dan kemudian pindah ke partai lain akan sangat berefek terhadap surutnya dukugan bagi PKB pada Pemilu 2009. Karena pada kenyataannya, Gus Dur oleh sebagian kalangan masih dipandang memiliki pengaruh yang sangat luar biasa besar dalam meraup simpati dan dukungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, sejak terjadinya konflik dualisme di internal PKB dimenangkan oleh kubu Muhaimin, banyak partai yang gencar melamar Gus Dur. Artinya, ia masih dipandang sebagai tokoh penting di panggung politik negeri ini. Kedua, walaupun kini ketokohan dan kharisma Gus Dur mulai merosot, namun harus diakui bahwa dukungan masyarakat fanatiknya masih begitu signifikan. Kedua hal inilah yang menyebabkan PKB pantas khawatir ditinggalkan Gus Dur. Disamping itu, Gus Dur masih dianggap sebagai jendela publik PKB. Jadi, jika tidak ada Gus Dur nantinya di PKB, tidak akan ada yang dapat menyaring berbagai bentuk persoalan dan masukan. Di sinilah signifikansi Gus Dur bagi PKB. BAB V PENUTUP Kesimpulan Luasnya dukungan yang diperoleh PKB dibandingkan dengan partaipartai lain, yang seusia dengannya, sangat dipengaruhi oleh “ketokohan dan kharisma” yang terdapat dalam diri Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Walaupun PKB merupakan salah satu partai baru di panggung politik nasional, ternyata mampu menjadi partai besar dan sangat diperhitungkan. Hal ini tentu tidak terlepas dari kemahiran dan kelihaian seorang Gus Dur dalam memainkan “position power” dan “personal power”-nya, sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Keterlibatan Gus Dur dalam dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sangat berpengaruh terhadap kebesaran eksistensi PKB di tengahtengah dinamika politik nasional. Besarnya peran dan pengaruh Gus Dur di PKB sebagai kekuatan struktural (position power) dan kekuatan personal (personal Power)-nya adalah sebagai berikut. Pertama, Faktor Geneologis, bahwa Gus Dur merupakan keturunan “darah biru” para kiai besar pendiri NU. Kedua, Faktor Budaya Pesantren, yakni budaya patuh dan taat kepada kiai, yang selama ini dipegang oleh kaum santri warga Nahdiyyin sangat memberikan keuntungan tersendiri bagi Gus Dur karena ia adalah merupakan tokoh dan kiai besar. Ketiga, Faktor Intelektualitas, Gus Dur yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik, ternyata sangat berpengaruh terhadap karakter berfikir Gus Dur. Daya intelektual yang dimiliki Gus Dur tidak hanya diakui tetapi dijadikan sebagai rujukan dalam mencari solusi terhadap berbagai persoalan bangsa. Dan yang keempat, faktor yang membuat peran politik Gus Dur dalam dinamika politik PKB cukup dominan adalah Faktor Struktural. Posisi struktural yang menempatkan Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syura, lembaga tertinggi dalam struktur PKB, dengan wewenang yang cukup luas membuat Gus Dur bebas melakukan manuver-manuver politik. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya, Gus Dur telah menjadi icon partai, sejak pembentukannya sampai hari ini. Dikatakan sebagai kelebihan, karena posisi Gus Dur yang sangat strategis dalam dinamika politik nasional, sangat memberikan nilai plus terhadap eksistensi dan kebesaran PKB. Dan, dikatakan kelemahan, dikarenakan sikap ketergantungan partai yang berlebihan terhadap ketokohan Gus Dur akan sangat menghambat proses regenerasi dan eksistensi partai pasca-Gus Dur. B. Kritik dan Saran Ketokohan dan kharisma seseorang dalam sebuah organisasi seperti partai politik, di satu sisi sangat menguntungkan tetapi di sisi lain sangat mengkhawatirkan. Menguntungkan, karena dengan ketokohan dan kharisma seseorang akan mampu menyerap perhatian dan dukungan yang lebih besar terhadap partai di mana tokoh yang kharismatik itu berada. Namun, hal ini bisa menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan, jika kemudian partai sangat bergantung terhadap ketokohan dan kharisma seseorang. Sikap ketergantungan yang berlebihan itu pada akhirnya akan membuat proses regenerasi partai mandek dan eksistensinya akan menurun dan bahkan hancur sejalan dengan menurun dan hancurnya popularitas tokohnya. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dan besar akibat kebesaran dan kharisma tokohnya yakni Abdurrahman Wahid, atau yang sering disapa Gus Dur ini, harus segera sadar diri. Dominasi peran yang selama ini dilakukan oleh Gus Dur dalam memimpin PKB sangat dikhawatirkan akan berefek terhadap mandeknya proses regenerasi dan menurunnya tingkat popularitas PKB pasca kepemimpinan Gus Dur. Keberanian partai dalam melepaskan sikap ketergantungan yang berlebihan terhadap ketokohan Gus Dur akan sangat efektif sebagai langkah penyelamatan eksistensi partai. Kewenangan yang begitu luas, sebagaimana yang telah diberikan partai terhadap Gus Dur di Dewan Syura pada akhirnya akan membuat sulitnya membendung dominasi peran yang dimainkan Gus Dur dalam melakukan manuver-manuver politik. Konflik yang berujung pada dualisme yang sering terjadi dalam suksesi kepemimpinan di PKB, dipandang lebih disebabkan oleh sulitnya membendung dominasi peran politik Gus Dur. Sejarah mencatat sudah beberapa kali PKB dilanda konflik internal yang sempat menggoyahkan pilar-pilar penyangga partai. Kita mungkin masih ingat waktu Matori Abdul Djalil menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz, kepengurusannya berujung pada dualisme kepemimpinan, yaitu PKB Kuningan yang dipimpin oleh Alwi Shihab dan PKB Batutulis pimpinan Matori Abdul Djalil. Kemudian, konflik dengan Chirul Anam pasca pemecatan Alwi Syihab dan Syaifullah Yusuf dari posisi Ketua Umum dan Sekjen PKB dan Muktamar II Semarang. Dan hari ini, kembali kita dihadapkan pada konflik yang sama pasca pemecatan Muhaimin dari kursi Ketua Umum yang berujung pada dualisme kepemimpinan di PKB, yaitu PKB Ancol, pimpinan Muhaimin dengan PKB Parung, di bawah pimpinan Ali Masykur Musa. Dan, tidak menutup kemungkinan, ke depannya konflik-konflik ini akan terus terjadi jika PKB tidak cepat-cepat menyadari akan kelemahannya selama ini. Walaupun belakangan kubu Muhaimin memenangkan pertarungan dualisme ini, dengan keinginan untuk mengubah gaya dan manajemen kepemimpinan PKB yang selama ini didominasi oleh Gus Dur, namun secara objektif harus diakui bahwa, ketokohan dan kharisma seorang Gus Dur masih sangat penting untuk menyerap dukungan yang luas bagi PKB. Di samping itu, pemikiran-pemikiran Gus Dur masih sangat dibutuhkan oleh PKB dalam rangka memperbaiki dan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, sebagai agenda politik partai. Akan tetapi, kenyataan ini juga harus dibarengi oleh sikap legowo Gus Dur untuk memberikan keleluasaan bagi pengurus partai untuk menentukan kebijakan-kebijakan dan sikap partai secara mandiri. Gus Dur juga harus segera merubah image buruk yang terlanjur melekat pada dirinya tentang sikap otoriter dalam menjalankan roda kepengurusan partai, yang selama ini dikritik oleh banyak kalangan. Karena, harus disadari betul bahwa kesemuanya itu akan berefek buruk terhadap ketokohan dan kharisma seorang Gus Dur, dan pada akhirnya berimbas terhadap eksistensi dan kebesaran PKB. Kini, publik terlanjur menilai bahwa sumber konflik yang terjadi selama ini di tubuh internal PKB ternyata lebih disebabkan oleh sikap otoriter Gus Dur dalam memimpin partai. Dengan sikap yang demikian, diharapkan ketokohan dan kharisma seorang Gus Dur akan tetap terjaga dalam meraup simpati yang sebesar-besarnya untuk kepentingan politik PKB, sehingga eksistensi partai akan tetap kokoh berdiri dan yang terpenting proses regenerasi akan berjalan normal. DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Anwar, Ali. Avonturisme NU: Menjejaki Akar Konflik Kaum Nahdhiyyin. Bandung: HUMANIORA, 2004. Anwar, Fuad. Melawan Gus Dur. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004. Aritoga, Diro. Runtuhnya Rezim daripada Soeharto: Pengalaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Aziz, M. Imam, dkk. Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1993. Barton, Greg. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LKIS,2004. Bulkhori, M. Pahrurroji. Membebaskan Agama dari Negara: Pemikiran Abdurrahman Wahid dan 'Ali 'Abd ar-Raziq. Bantul: Pondok Edukasi, 2003. Choirie, Effendy. PKB Politik Jalan Tengah UN. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002. Djalil, Matori Abdul. Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa. Jakarta: Grasindo, 1999. Feillard, Andree. NU Vis-a-Vis Negara. Yogyakarta: LkiS, 1999. Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi-Politik Indonesia PascaSoeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005. Herman, Eman. dkk. Partai Advokasi: Wacana Keberpihakan dan Gerakan. Yogyakarta: Kerjasama Sekretariat Jenderal DPP PKB dan KLIK_R, 2005. Hikam, Muhammad A.S. Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga, 2000. Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995. Ismail, Faisal. NU, Gus Durisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999. Jaily, Ahmad Hakim dan Tohadi, Muhammad. PKB dan Pemilu 2004. Jakarta: LPP-PKB, 2003. Jurdi, Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khalifah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Jurdi, Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khalifah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Kazhim, Musa dan Hamzah, Alfian. 5 Partai Dalam Timbangan. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Lane, Max. Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform Institute, 2007. Minan, Ahsanul. dkk. Khidmat Kami Bagimu Negeri: Laporan Kinerja Fraksi Kebangkitan Bangsa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2005-2006. Jakarta: FKB DPR RI, 2007. Mufid AR, Achmad. Ada Apa Dengan Gus Dur. Yogyakarta: Kutub 2005. Ramage, Douglas E. Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002. Sanit, Arbi. Partai, Pemilu dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Setiawan, Bambang dan Nainggolan, Bastian. Partai-partai Politik Indonesia: Idiologi dan Program 2004-2009. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. Sitompul, Einar Martahan. NU dan Pancasila. Jakarta: Sinar Harapan, 1989. Sudjatmiko, Budiman. Transisi Demokrasi: Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999. Jakarta: KIPP, 1999. Tim INCReS, Beyond The Symbol: Jejak antropologis pemikiran dan gerakan Gus Dur. Bandung: INCReS dan PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Tohadi, Muhammad dan Abidin, Zaenal. Orientasi Pemenangan Pemilu Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta: LPP-DPP PKB, 2002. Urbaningrum, Anas. Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia. Jakarta: Republika, 2004. Wahid, Abdurrahman. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 Republik Indonesia. Jakarta: Kompas, 1999. Wahid, Abdurrahman. Tabayyun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural. Yogyakarta: LkiS, 1998. Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LkiS, 1999. Wahid, Salahuddin. Negeri Di Balik Kabut Sejarah: Catatan-Catatan Pendek Salahuddin Wahid. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000. Widodo. “Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi.” Jakarta: Magna Script, 2004. Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKIS, 2004. B. Berita Dalam Koran dan Dokumen Elektronik “Demokrat-SBY Pisah Ranjang.” Opini Indonesia, 29 Januari-4 Februari 2007. “Konflik PKB 2008.” Artikel diakses tanggal 22 Agustus 2008 dari www. therifqibiru.com. “Konflik PKB dan telunjuk Gus Dur.” Artikel diakses tanggal 16 April 2008 dari www.politikIndonesia.com, Gus Dur, “NU tidak menghendaki status quo,” dalam Kompas, Senin, 24 November 1997. Hajar,Yessi Siti. “Dijadikan Penasihat PKB, Gus Dur Geram.” Artikel diakses tanggal 17 Oktober 2008 dari http://www.inilah.com http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/07/16/brk,20070716103813,id,html. Muhammad, Djibril. “Babak PKB tanpa Gus Dur, Gelap!.” Artikel diakses tanggal 17 Oktober 2008 dari http://www.inilah.com Wahid, Abdurrahman. “Demokrasi dan Demokratisasi Indonesia”, diakses 31 Oktober 2008 dari http://www.Gusdur.Net NASKAH DEKLARASI Bismillāhirrahmānirrahīm Bahwa cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil, dan makmur, serta untuk mewujudkan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Bahwa wujud dari bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat beradab dan sejahtera, yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan yang bersumber dari hati nurani; bisa dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah sosial yang bertumpu pada kekuatan sendiri; bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi; tolong menolong dalam kebajikan; serta konsisten menjalankan garis/ketentuan yang telah disepakati bersama. Bahwa dalam kurun tiga dasawarsa terakhir ini, perjuangan bangsa mencapai citacita tersebut terasa semakin jauh dari yang diharapkan. Pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya telah mengabaikan faktor rakyat sebagai pemegang kedaulatan, pengingkaran terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut telah melahirkan praktik kekuasaan tidak terbatas dan tidak terkendali, yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Bahwa untuk mewujudkan nilai-nilai dan prinsip tersebut serta mencegah terulangnya kesalahan serupa di masa mendatang, diperlukan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Di dalam tatanan kehidupan yang demokratis itu warga Jam‘iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari bangsa Indonesia bertekad untuk bersama komponen bangsa lain mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, berakhlak mulia, dan bermartabat melalui suatu wadah partai politik. Maka dengan memohon rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah Allah Swt., serta didorong oleh semangat keagamaan, kebangsaan dan demokrasi, kami warga Jam‘iyyah Nahdlatul Ulama dengan ini menyatakan berdirinya partai politik yang bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka dan demokratis yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta, 29 Rabi‘ul Awwal 1419 H/23 Juli 1998 M Para Deklarator Munasir Ali Ilyas Ruchyat Abdurrahman Wahid A. Mustofa Bisri A. Muhith Muzadi ANGGARAN RUMAH TANGGA PKB BAB I LAMBANG Pasal 1 Makna Lambang (1) Arti Gambar adalah sebagai berikut: a. Bumi dan peta Indonesia, bermakna tanah air Indonesia yang merupakan basis perjuangan Partai dalam usahanya untuk mencapai tujuan Partai sebagaimana termaktub dalam pasal 7 Anggaran Dasar; b. Sembilan bintang, bermakna idealisme Partai yang memuat 9 (sembilan) nilai, yaitu kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kejujuran, kerakyatan, persamaan, kesederhanaan, keseimbangan, dan persaudaraan. c. Tulisan nama Partai dan singkatannya, bermakna identitas diri Partai yang berfungsi sebagai sarana perjuangan aspirasi politik rakyat Indonesia yang memiliki kehendak menciptakan tatanan kehidupan bangsa yang demokratis; d. Bingkai segi empat dengan garis ganda yang sejajar, bermakna garis perjuangan Partai yang menempatkan orientasi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, lahir dan batin, secara sejajar. (2) Arti warna adalah sebagai berikut : a. Putih, bermakna kesucian, ketulusan, dan kebenaran yang menjadi etos perjuangan Partai; b. Hijau, bermakna kemakmuran lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tujuan perjuangan c. Kuning, bermakna kebangkitan Bangsa yang menjadi nuansa pembaharuan dan berpijak pada kemaslahatan umat manusia; Pasal 2 Penggunaan Lambang Lambang Partai digunakan pada atribut-atribut Partai yang ketentuan penggunaannya akan diatur lebih lanjut oleh Dewan Pengurus Pusat dalam Peraturan Partai. BAB II KEANGGOTAAN Pasal 3 Jenis Keanggotaan (1) Anggota langsung adalah setiap warga negara Indonesia yang telah terdaftar secara sah menjadi anggota Partai pada Dewan Pengurus Cabang setempat dan secara aktif melakukan tugas-tugas kePartaian serta mengikuti kegiatankegiatan Partai; (2) Anggota tak langsung adalah warga negara Indonesia yang belum/tidak terdaftar secara sah menjadi anggota Partai pada Dewan Pengurus Cabang setempat dan secara aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Partai; (3) Anggota kehormatan adalah setiap orang yang dianggap telah berjasa kepada Partai atau orang-orang tertentu yang dipilih dan disetujui penetapannya dalam Rapat Pleno Dewan Pengurus Pusat Partai. Pasal 4 Persyaratan Menjadi Anggota Persyaratan menjadi anggota Partai adalah sebagai berikut : a. Warga negara Indonesia yang telah berumur 17 tahun dan/atau telah menikah; b. Dapat membaca dan menulis; c. Menyetujui dan menerima Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan platform Partai. Pasal 5 Tata Cara Pendaftaran Anggota Tata cara pendaftaran untuk menjadi anggota Partai adalah sebagai berikut : a. Mengajukan permintaan menjadi anggota kepada Dewan Pengurus Cabang melalui Dewan Pengurus Ranting setempat, disertai pernyataan persetujuan terhadap Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, platform Partai, dan membayar uang pangkal; b. Apabila permintaan itu diluluskan, maka yang bersangkutan berstatus sebagai calon anggota selama 3 (tiga) bulan dengan hak menghadiri kegiatan-kegiatan Partai yang dilakukan secara terbuka; c. Apabila selama menjadi calon anggota yang bersangkutan menunjukkan halhal positif maka ia diterima menjadi anggota secara penuh dan kepadanya diberikan Kartu Anggota Partai yang dikeluarkan oleh Dewan Pengurus Cabang; d. Permintaan menjadi anggota dapat ditolak apabila terdapat alasan-alasan yang kuat secara organisatoris dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Pasal 6 (1) Anggota kehormatan dapat diterima pada tingkat Cabang keatas; (2) Usulan agar seseorang diterima sebagai anggota kehormatan dapat diajukan melalui Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai; (3) Surat pengesahan anggota kehormatan dikeluarkan oleh Dewan Pengurus Pusat. Pasal 7 Kewajiban Anggota Setiap Anggota berkewajiban : a. Mentaati Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan seluruh keputusan Partai; b. Setia dan tunduk kepada disiplin Partai; c. Aktif dalam kegiatan-kegiatan Partai serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya; d. Menjunjung tinggi kehormatan dan nama baik Partai serta menentang setiap upaya dan tindakan yang merugikan Partai dengan cara yang berakhlak; e. Memupuk persatuan dan solidaritas di antara sesama anggota Partai ; f. Membayar uang iuran anggota; Pasal 8 Hak-hak Anggota Setiap anggota Partai berhak : a. Mendapatkan perlakuan yang sama dari Partai; b. Memperoleh informasi atas seluruh aktivitas dan keputusan Partai; c. Memperoleh bimbingan, pelatihan, dan pendidikan politik dari Partai; d. Mendapatkan perlindungan dan pembelaaan dari Partai; e. Mengeluarkan pendapat serta mengajukan usul, saran, dan kritik; f. Memilih dan dipilih; g. Hak-hak lainnya yang diatur dalam Peraturan Partai. Pasal 9 Disiplin Partai (1) Anggota Partai dilarang merangkap sebagai anggota Partai lain; (2) Anggota Partai dilarang menjadi anggota organisasi sosial kemasyarakatan yang mempunyai asas dan/atau tujuan yang bertentangan dengan asas dan/atau tujuan Partai; (3) Anggota atau kepengurusan Partai harus tunduk kepada pimpinan struktur organisasi Partai yang lebih tinggi di dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan disiplin Partai lainnya yang diatur dalam Peraturan Partai. Pasal 10 Gugurnya Keanggotaan Seseorang anggota Partai dinyatakan gugur keanggotaannya dikarenakan: a. Permintaan sendiri untuk berhenti menjadi anggota Partai yang disampaikan secara tertulis kepada Dewan Pengurus Cabang Partai dan disertai sekurangkurangnya satu orang saksi; b. Meninggal dunia; c. Diberhentikan. Pasal 11 Tata Cara Pemberhentian Anggota (1) Seorang anggota dapat diberhentikan sementara atau diberhentikan karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai atau dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban sebagai anggota Partai, atau melanggar disiplin Partai dan/ atau mencemarkan kehormatan dan nama baik Partai; (2) Sebelum diberhentikan anggota yang bersangkutan diberi peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali oleh Dewan Pengurus Partai dimana ia terdaftar sebagai anggota. Tenggang waktu dari pengeluaran peringatan tertulis pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari; (3) Apabila dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah peringatan terakhir tidak diperhatikan, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara selama 3 (tiga) bulan; (4) Bilamana dalam jangka waktu pemberhentian sementara yang bersangkutan tidak melakukan klarifikasi dan kembali kepada Partai, maka status kenggotaannya gugur dengan sendirinya; (5) Surat Pemberhentian sebagai anggota diterbitkan oleh dan atas keputusan Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai di mana ia terdaftar sebagai anggota; (6) Dalam hal seorang anggota yang menjabat suatu jabatan tertentu di dalam Partai, maka keputusan pemberhentian sementara atau pemberhentian ditetapkan oleh Dewan Pengurus Partai yang setingkat di atasnya berdasarkan usulan Dewan Pengurus Partai di mana ia terdaftar sebagai anggota, setelah melakukan Rapat Pleno; (7) Anggota yang diberhentikan sementara atau diberhentikan dapat membela diri dengan mengajukan permintaan peninjauan kembali atas keputusan tersebut kepada forum permusyawaratan tertinggi di lingkungannya dan/atau Dewan Pengurus Partai yang lebih tinggi. Selanjutnya Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai dapat mengambil putusan atas permintaan itu. BAB III STRUKTUR ORGANISASI PARTAI Pasal 12 Dewan Pengurus Pusat (1) Dewan Pengurus Pusat (DPP) adalah pimpinan tertinggi Partai yang bersifat kolektif; (2) DPP memiliki wewenang: a. Menetapkan kebijakan Partai di Tingkat Nasional sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional, serta Peraturan Partai; b. Mengesahkan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Wilayah (DPW) dan Dewan Pengurus Cabang (DPC); c. Membekukan kepengurusan Dewan Pengurus Wilayah dan Dewan Pengurus Cabang dengan prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 24 Anggaran Rumah Tangga ini. (3) DPP berkewajiban: a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional serta Peraturan Partai; b. Menyampaikan Laporan Pertanggung Jawaban kepada Muktamar. Pasal 13 Dewan Pengurus Wilayah (1) Dewan Pengurus Wilayah (DPW) adalah pimpinan Partai yang bersifat kolektif di Daerah Propinsi (2) DPW memiliki wewenang: a. Menetapkan kebijaksanaan Partai di Daerah Propinsi sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional maupun Daerah Propinsi serta Peraturan Partai; b. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengurus Pusat untuk pengesahan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Cabang (DPC) serta pembekuan Dewan Pengurus Cabang (DPC) c. Mengesahkan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) dengan sungguh-sungguh memperhatikan rekomendasi Dewan Pengurus Cabang (DPC) yang bersangkutan; d. Membekukan kepengurusan Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) dengan prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 24 Anggaran Rumah Tangga ini. (3) DPW berkewajiban: a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebikjasanaan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional maupun Daerah Propinsi serta Peraturan Partai. b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Pusat (DPP); c. Menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada Musyawarah Wilayah; Pasal 14 Dewan Pengurus Cabang Dewan Pengurus Cabang (DPC) adalah pimpinan Partai yang bersifat kolektif di Daerah Kabupaten/Kota; DPC memiliki wewenang : a. Menetapkan kebijaksanaan Partai di Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional maupun Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota serta Peraturan Partai; b. Mengesahkan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Ranting (DPRt) dengan sungguh-sungguh memperhatikan rekomendasi Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC), dan mengesahkan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) dengan sungguh-sungguh memperhatikan rekomendasi Dewan Pengurus Ranting (DPRt); c. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengurus Wilayah (DPW) untuk pengesahan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) serta pembekuan Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC). d. Membekukan kepengurusan Dewan Pengurus Ranting (DPRt) dan Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) dengan prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 24 Anggaran Rumah Tangga ini. DPC berkewajiban : a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional maupun Propinsi dan Kabupaten/ kota serta Peraturan Partai; b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Wilayah (DPW); c. Menyampaikan laporan pertanggung jawaban pada Musyawarah Cabang. Pasal 15 Dewan Pengurus Anak Cabang Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) adalah pimpinan Partai yang bersifat kolektif di tingkat kecamatan; DPAC memiliki wewenang: a. Menetapkan kebijaksanaan Partai di tingkat kecamatan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional, Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten/Kota, dan Tingkat Kecamatan serta Peraturan Partai; b. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengurus Cabang (DPC) untuk pengesahan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Ranting (DPRt) serta pembekuan Dewan Pengurus Ranting (DPRt); DPAC berkewajiban : a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional, Daerah Propinsi, Tingkat Kabupaten/Kota, dan tingkat Kecamatan, serta Peraturan Partai; b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Cabang (DPC); c. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada Musyawarah Anak Cabang; Pasal 16 Dewan Pengurs Ranting Dewan Pengurus Ranting (DPRt) adalah pimpinan Partai yang bersifat kolektif di tingkat Desa/Kelurahan; DPRt memiliki wewenang: a. Menetapkan kebijaksanaan Partai di Tingkat Desa/Kelurahan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional, Daerah Propinsi, Tingkat Kabupaten/Kota, Tingkat Kecamatan dan Tingkat Desa/Kelurahan serta Peraturan Partai; b. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengurus Cabang (DPC) melalui Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) untuk mengesahkan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) serta pembekuan Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt); c. Menerima pendaftaran calon anggota Partai disampaikan pada Dewan Pimpinan Cabang (DPC). DPRt berkewajiban : a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional, Daerah Propinsi, Tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Kecamatan, dan tingkat Desa/Kelurahan, serta Peraturan Partai; b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC); c. Menyampaikan laporan pertanggung jawaban pada Musyawarah Ranting; Pasal 17 Dewan Pengurus Anak Ranting Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) adalah pimpinan Partai yang bersifat kolektif di tingkat Dusun/ lingkungan/ kawasan pemukiman; DPARt memiliki wewenang: a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan Anggaran dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/kota, Tingkat Kecamatan, Tingkat Desa/ Kelurahan, dan Tingkat Dusun/lingkungan/kawasan pemukiman, serta Peraturan Partai; b. Menetapkan dan memberhentikan komisaris/ koordinator lapangan Partai pada tingkat dusun/ lingkungan/ kawasan pemukiman berdasarkan Rapat Pleno; DPARt berkewajiban: a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Ting kat Nasional, Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten/ Kota, Tingkat Kecamatan, Tingkat Desa/ Kelurahan, Tingkat Dusun/ lingkungan/ kawasan pemukiman, serta Peraturan Partai; b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Ranting (DPRt); c. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada Musyawarh Anak Ranting. Pasal 18 Struktur Organisasi Kepengurusan Partai mengikuti struktur administratif pemerintahan. Pasal 19 Ketentuan mengenai Dewan Pengurus Cabang (DPC) sebagaimana diatur dalam pasal 14 ART ini berlaku juga untuk perwakilan Partai di luar negeri. BAB IV KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG KEPENGURUSAN PARTAI Pasal 20 Dewan Syura adalah dewan pimpinan kolektif yang terdiri dari para ulama dan para ahli serta mencerminkan representasi daerah, sebagai pemegang amanah kepemimpinan Partai tertinggi di setiap tingkatan. Dewan Syura Dewan Pengurus Pusat (DPP) beranggotakan beberapa orang sesuai dengan kebutuhan. Dewan Syura Dewan Pengurus Wilayah (DPW) beranggotakan beberapa orang sesuai dengan kebutuhan. Dewan Syura Dewan Pengurus Cabang (DPC) beranggotakan beberapa orang sesuai dengan kebutuhan. Dewan Syura Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) beranggotakan beberapa orang sesuai dengan kebutuhan. Dewan Syura Dewan Pengurus Ranting (DPRt) beranggotakan beberapa orang sesuai dengan kebutuhan. Dewan Syura Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) beranggotakan beberapa orang sesuai dengan kebutuhan. Susunan Dewan Syura Dewan Pengurus Pusat (DPP) terdiri dari seorang Ketua Umum, beberapa orang Ketua, seorang Sekretaris, beberapa orang Wakil Sekretaris dan beberapa orang anggota. Sedangkan susunan Dewan Syura Dewan Pengurus Wilayah (DPW), Dewan Pengurus Cabang (DPC), Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC), Dewan Pengurus Ranting (DPRt) dan Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) terdiri dari seorang Ketua, beberapa orang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, beberapa orang Wakil Sekretaris dan beberapa orang anggota. Dewan Syura Dewan Pengurus Pusat (DPP) memiliki tugas: a. Memelihara kemurnian perjuangan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai dan peraturan Partai; b. Membuat dan menetapkan pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forumforum permusyawaratan Partai dan peraturan Partai; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pedoman umum kebijakan utama Partai oleh Dewan Tanfidz; d. Menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada Forum Permusyawaratan Tertinggi Partai di tingkatannya masing-masing. Dewan Syura Dewan Pengurus Wilayah (DPW) sampai Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) memiliki tugas: a. Memelihara kemurnian perjuangan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai dan peraturan Partai; b. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pedoman umum kebijakan utama Partai oleh Dewan Tanfidz; c. Menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada forum permusyawaratan tertinggi Partai di tingkatannya masing-masing. Dewan Syura Dewan Pengurus Pusat (DPP) sampai Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) memiliki wewenang untuk mengawasi dan memberikan pertimbangan terhadap pedoman umum kebijakan utama Partai yang dilaksanakan dan dijalankan oleh Dewan Tanfidz berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai dan peraturan Partai. Tata cara pengambilan keputusan Dewan Syura adalah sebagai berikut: a. Putusan Dewan Syura diambil dalam Rapat Dewan Syura yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) anggota Dewan Syura; b. Pengambilan keputusan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat; c. Dalam hal tidak dapat dicapai mufakat, putusan dianggap sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) peserta rapat; d. Putusan Dewan Syura ditetapkan melalui surat keputusan Dewan Syura. Di setiap tingkatan kepengurusan Dewan Syura diharuskan mengakomodir unsur perempuan dengan quota 30%. Pasal 21 Dewan Tanfidz adalah Dewan Pelaksana Harian yang bertugas mengelola organisasi dan program Partai di setiap tingkatan; Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Pusat (DPP) dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Muktamar untuk masa jabatan lima tahun. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Wilayah (DPW) dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Musyawarah Wilayah untuk masa jabatan lima tahun. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Cabang (DPC) dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Musyawarah Cabang untuk masa jabatan lima tahun. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Musyawarah Anak Cabang untuk masa jabatan lima tahun. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Ranting (DPRt) dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Musyawarah Ranting untuk masa jabatan lima tahun. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Musyawarah Anak Ranting untuk masa jabatan lima tahun. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Pusat (DPP) terdiri dari Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, beberapa Ketua, Sekretaris Jenderal, beberapa Wakil Sekretaris Jenderal, Bendahara dan beberapa Wakil Bendahara. Dewan Tanfidz mulai dari Dewan Pengurus Wilayah (DPW) sampai Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) terdiri dari Ketua, beberapa Wakil Ketua, Sekretaris, beberapa Wakil Sekretaris, Bendahara, dan beberapa Wakil Bendahara. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Pusat (DPP) memiliki tugas: a. Melaksanakan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forumforum permusyawaratan Partai, dan peraturan Partai. b. Menjalankan pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Syura. c. Mengelola kebijaksanaan, program, dan kegiatan Partai secara efektif dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan Partai. d. Bersama Dewan Syuro Menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada forum permusyawaratan tertinggi Partai di tingkatannya masing-masing. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Wilayah (DPW) sampai Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) memiliki tugas: a. Melaksanakan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forumforum permusyawaratan Partai, dan peraturan Partai. b. Menjalankan pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai dengan merujuk kepada Dewan Syura. c. Mengelola kebijaksanaan, program, dan kegiatan Partai secara efektif dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan Partai. d. Bersama Dewan Syuro menyampaikan laporan pertangungjawaban kepada forum permusyawaratan tertinggi Partai di tingkatannya masing-masing. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Pusat (DPP) memiliki wewenang : a. Membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan strategis Partai sebagai penerjemahan dari pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Syura. b. Menentukan pola pengelolaan kebijaksanaan, program, dan kegiatan Partai sesuai dengan pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Syura serta berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai, dan peraturan Partai. c. Membentuk kelengkapan dan perangkat Partai sesuai dengan kebutuhan dan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Wilayah (DPW) sampai Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) memiliki wewenang : a. Membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan strategis Partai sebagai penerjemahan dari pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai yang merujuk kepada Dewan Syura. b. Menentukan pola pengelolaan kebijaksanaan, program, dan kegiatan Partai sesuai dengan pedoman umum kebijakan-kebijakan Utama Partai dengan merujuk kepada Dewan Syura serta berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai, dan peraturan Partai. c. Membentuk kelengkapan dan perangkat Partai di tingkatannya masingmasing sesuai dengan kebutuhan dan berdasarkan ketentuan yang berlaku. d. Di setiap tingkatan kepengurusan Dewan Tanfidz diharuskan mengakomodir unsur perempuan dengan memenuhi quota 30%. BAB V LOWONGAN ANTAR WAKTU Pasal 22 Lowongan antar waktu personalia Dewan Pengurus Partai terjadi karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. diberhentikan. Pemberhentian Sementara Personalia Dewan Pengurus Partai hanya dapat dilakukan melalui Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai berdasarkan alasan-alasan yang kuat secara organisatoris dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai dan Peraturan Partai. Pemberhentian secara tetap atau permanen Personalia Dewan Pengurus Partai yang dipilih secara langsung dalam forum permusyawaratan tertinggi Partai hanya dapat dilakukan melalui forum permusyawaratan tertinggi luar biasa sesuai tingkatannya. Mekanisme dan tata cara mengenai pemberhentian Personalia Dewan Pengurus Partai akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Partai. Pasal 23 Pengisian lowongan antar waktu personalia Dewan Pengurus Partai dilakukan oleh Rapat Pleno Dewan Pengurus. Pengisian lowongan antar waktu Personalia Dewan Pengurus Partai yang dipilih secara langsung dalam forum permusyawaratan tertinggi Partai hanya dapat dilakukan melalui forum permusyawaratan tertinggi luar biasa atau forum permusyawaratan tertinggi khusus sesuai tingkatannya. Sebelum ada keputusan pengisian lowongan antar waktu, maka Dewan Pengurus Partai dapat mengisi lowongan tersebut dengan menunjuk pejabat sementara yang disahkan melalui surat keputusan Dewan Pengurus Partai pada tingkatan masingmasing melalui Rapat Pleno. BAB VI PEMBEKUAN KEPENGURUSAN PARTAI Pasal 24 Dewan Pengurus Pusat (DPP) dapat membekukan Dewan Pengurus Wilayah (DPW), Dewan Pengurus Pusat (DPP) dapat membekukan Dewan Pengurus Cabang (DPC) dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengurus Wilayah (DPW); Dewan Pengurus Wilayah (DPW) dapat membekukan Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengurus Cabang (DPC); Dewan Pengurus Cabang (DPC) dapat membekukan Dewan Pengurus Ranting (DPRt) dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC), Dewan Pengurus Cabang DPC dapat membekukan Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengurus Ranting (DPRt) ; Pengambilan keputusan pembekuan oleh Dewan Pengurus Partai kepada Dewan Pengurus Partai di tingkat bawahnya sebagaimana dalam ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan sekurang-kurangnya melalui Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai; Alasan pembekuan harus kuat secara organisatoris dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai, dan peraturan Partai; Sebelum pembekuan terlebih dahulu diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali selambat-lambatnya 14 hari untuk memperbaiki pelanggarannya; Setelah pembekuan terjadi, maka kepengurusan Dewan Pengurus Partai dipegang oleh kepengurusan setingkat lebih tinggi, atau membentuk caretaker sebagai pengurus sementara; Pengurus sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) pasal ini, bertugas mempersiapkan penyelenggaraan forum permusyawaratan tertinggi luar biasa menurut tingkatan yang akan memilih kepengurusan baru; Selambat-lambatnya tiga (3) bulan setelah pembekuan, harus sudah terselenggara forum permusyawaratan tertinggi luar biasa menurut tingkatannya untuk memilih kepengurusan baru. Pasal 25 Ketentuan tentang mekanisme dan tata cara pembekuan pengurus di atas akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Partai. BAB VII KELENGKAPAN DAN PERANGKAT PARTAI Pasal 26 Departemen – Departemen Departemen adalah kelengkapan Partai di tingkat Pusat yang berfungsi sebagai unit pelaksana program-program Dewan Pengurus Pusat (DPP); Departemen-departemen dibentuk dan dikoordinasikan oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP). Pasal 27 Biro - Biro Biro adalah kelengkapan Partai di Daerah Propinsi yang berfungsi sebagai unit pelaksana program-program Dewan Pengurus Wilayah (DPW); Biro-biro dibentuk dan dikoordinasikan oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW). Pasal 28 Divisi – Divisi Divisi-divisi adalah kelengkapan Partai di Daerah Kabupaten/ Kota yang berfungsi sebagai unit pelaksana program-program Dewan Pengurus Cabang (DPC); Divisi-divisi dibentuk dan dikoordinasikan oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC). Pasal 29 Seksi – Seksi Seksi adalah kelengkapan Partai di tingkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan yang berfungsi sebagai unit pelaksana program-program Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) atau Dewan Pengurus Ranting (DPRt); Seksi dibentuk dan dikoordinasikan oleh Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) atau Dewan Pengurus Ranting (DPRt). Pasal 30 Lembaga – Lembaga Lembaga adalah perangkat khusus Partai yang merupakan alat pengabdian dan perjuangan Partai dalam bidang-bidang agama, politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan, dan pertahanan; Lembaga dibentuk oleh Dewan Pengurus Partai sesuai kebutuhan; Lembaga memiliki struktur organisasi sendiri dari tingkat Dewan Pengurus Pusat (DPP) sampai ke tingkat Dewan Pengurus Cabang (DPC) disesuaikan dengan potensi Dewan Pengurus Partai masing-masing tingkatan; Lembaga berada dibawah koordinasi dan bertanggung jawab kepada Dewan Pengurus Partai menurut tingkatannya. Pasal 31 Badan Otonom Badan otonom adalah perangkat Partai yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Partai, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan merupakan basis massa serta sumber kader Partai di berbagai segmen dan/atau lapisan sosial masyarakat; Badan Otonom dapat dibentuk berdasarkan kepentingan perjuangan Partai yang berkaitan dengan bidang politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan, dan pertahanan, yang pelaksanaan dan pencapaiannya memerlukan garis instruksi dan/ atau konsolidasi dan/ atau koordinasi secara mudah, cepat, efektif, dan efisien; Badan otonom untuk segmen pemuda ialah Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa yang disingkat GARDA BANGSA; Badan otonom untuk kaum perempuan ialah Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa yang disingkat PPKB; Badan otonom untuk kepentingan perjuangan Partai yang berkaitan dengan bidang hukum dan hak asasi manusia ialah Lembaga Advokasi Hukum dan HAM yang disingkat LAKUMHAM; Badan Otonom untuk kepentingan perjuangan Partai selain yang dimaksud dalam ayat (3), (4), dan ayat (5) Pasal ini, dapat dibentuk menurut kebutuhan Partai dan diputuskan oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP) serta disahkan oleh Muktamar. Pimpinan Badan Otonom adalah salah satu dari anggota pengurus Harian Anggota Pleno Harian pada tingkatan masing-masing. Pasal 32 Susunan organisasi dan kepengurusan Badan Otonom diatur di dalam Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga masing-masing; Badan Otonom berkewajiban menyesuaikan asas, tujuan, dan usahanya dengan Partai; Keputusan permusyawaratan tertinggi Badan Otonom yang menyangkut Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga harus mendapat persetujuan Dewan Pengurus Pusat, baik secara keseluruhan maupun dengan perubahan; Keputusan permusyawaratan tertinggi Badan Otonom yang tidak menyangkut Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga harus dilaporkan kepada Dewan Pengurus Partai menurut tingkatan masing-masing. Dewan Pengurus Partai berhak mengadakan perubahan, jika terdapat hal-hal yang bertentangan dan/ atau tidak sesuai dengan garis kebijakan dan platform Partai. Pasal 33 Perangkat Partai Lainnya Untuk meningkatkan optimalisasi peran dan fungsi Partai, maka dapat dibentuk Dewan Pertimbangan, Dewan Pakar, Badan Pengawas Keuangan, dan lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan. DPP PKB Membentuk Badan kehormatan untuk melakukan Arbitrase BAB VIII FRAKSI Pasal 34 Partai membentuk Fraksi di setiap Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan rakyat dan disebut Fraksi Kebangkitan Bangsa, disingkat FKB; Fraksi merupakan perangkat Partai yang berfungsi sebagai organ pelaksana kebijaksanaan Partai untuk memperjuangkan cita-cita dan tujuan Partai di dalam Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat; Fraksi bertanggung jawab kepada Dewan Pengurus Partai sesuai tingkatannya; Pimpinan Fraksi menyampaikan laporan kegiatannya secara berkala kepada Dewan Pengurus Partai sesuai dengan tingkatannya. Pasal 35 Fraksi Kebangkitan Bangsa di Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat; Fraksi Kebangkitan Bangsa di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah I ditetapkan oleh Dewan Pengurus Wilayah; Fraksi Kebangkitan Bangsa di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah II ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang; Tata kerja Fraksi Kebangkitan Bangsa diatur dalam Peraturan Partai. Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa di semua tingkatan masing-masing hanya dibatasi sampai dengan 2 (dua) periode berturut-turut yang diatur dalam peraturan Partai. Dalam hal-hal tertentu Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa dapat membuat kebijakan yang lain dan diatur dalam peraturan Partai. BAB IX PERMUSYAWARATAN Pasal 36 Muktamar Muktamar merupakan forum permusyawaratan tertinggi Partai yang berfungsi sebagai representasi dari pemegang kedaulatan Partai dan diadakan setiap 5 (lima) tahun sekali; Muktamar memiliki wewenang : a. Menilai laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Pusat; b. Menetapkan dan/ atau merubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; c. Menetapkan Platform PKB untuk 5 (lima) tahun ke depan; d. Menetapkan Garis-Garis Besar Program Perjuangan Partai untuk 5 (lima) tahun ke depan; e. Memilih dan menetapkan Ketua Umum Dewan Syura; f. Memilih dan menetapkan Ketua Umum Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan persetujuan Ketua Umum Dewan Syura terpilih; g. Calon Ketua Umum Dewan Tanfidz yang mendapat persetujuan Ketua Umum Dewan Syura terpilih sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. h. Apabila terdapat calon Ketua Umum Dewan Tanfidz yang tidak disetujui oleh Ketua Umum Dewan Syura terpilih, maka harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari lebih separuh jumlah suara yang sah. i. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua Umum Dewan Syura dan Ketua Umum Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi susunan Dewan Pengurus Partai; j. Membuat dan menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu. k. Muktamar diselenggarkan oleh Dewan Pengurus Pusat; l. Peraturan tata tertib Muktamar ditetapkan oleh Muktamar. Pasal 37 Peserta Muktamar adalah : a. Anggota Dewan Pengurus Pusat, Ketua Departemen, Ketua Lembaga, dan Ketua Badan Otonom Tingkat Pusat; b. Utusan Dewan Pengurus Wilayah yang terdiri dari Ketua dan Sekretaris Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Wilayah; c. Utusan Dewan Pengurus Cabang terdiri dari Ketua dan Sekretaris Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz dan seorang lainnya dari unsur perempuan. d. Pengurus Fraksi Partai di lembaga Perwakilan Rakyat di tingkat Pusat. Setiap peserta Muktamar mempunyai hak bicara; Setiap DPC, DPCP Luar Negeri dan DPW memiliki 1 (satu) hak suara; Dewan Pengurus Pusat secara kolektif mempunyai hak 1 (satu) suara Pasal 38 Muktamar adalah sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnnya dua pertiga (2/3) jumlah wilayah dan cabang yang sah; Sidang-sidang Muktamar sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir; Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir. Keputusan Muktamar tentang perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) jumlah peserta yang hadir; Pemilihan mengenai orang dalam Muktamar dilakukan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis. Pasal 39 Rancangan materi Muktamar disiapkan oleh Dewan Pengurus Pusat dan disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Wilayah dan Dewan Pengurus Cabang selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum Muktamar berlangsung; Muktamar dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat. Pasal 40 Muktamar Luar Biasa Muktamar Luar Biasa dapat diselenggarakan: a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan hidup Partai; b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Umum Dewan Syura dan/ atau Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB; c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Umum Dewan Syura dan/ atau Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB; Muktamar Luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Cabang yang sah yang berasal dari lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Wilayah yang sah. Ketentuan-ketentuan mengenai Muktamar berlaku pada Muktamar Luar Biasa kecuali ketentuan tentang rancangan materi Muktamar, yaitu harus disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Wilayah dan Dewan Pengurus Cabang selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Muktamar Luar Biasa berlangsung. Pasal 41 Musyawarah Kerja Nasional Musyawarah Kerja Nasional merupakan forum permusyawaratan pada tingkat Nasional untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program Partai, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-keputusan Muktamar dan masalah-masalah lainnya yang dianggap penting; Musyawarah Kerja Nasional diadakan Dewan Pengurus Pusat sekurangkurangnya 2 (dua) kali dalam satu periode; Peraturan tata tertib Musyawarah Kerja Nasional ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat. Pasal 42 Peserta Musyawarah Kerja Nasional adalah anggota Dewan Pengurus Pusat dan Utusan Dewan Pengurus Wilayah Partai; Musyawarah Kerja Nasional adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta Musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara; Musyawarah Kerja Nasional dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat. Pasal 43 Musyawarah Pimpinan Nasional Musyawarah Pimpinan merupakan forum permusyawaratan untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan situasi Partai dan kehidupan nasional yang dinilai strategis; Musyawarah pimpinan dapat diadakan sewaktu-waktu oleh Dewan Pengurus Pusat sesuai dengan kebutuhan; Peraturan Tata Tertib Musyawarah Pimpinan ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat. Pasal 44 Peserta Musyawarah Pimpinan adalah anggota Dewan Pengurus Pusat dan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Wilayah; Musyawarah Pimpinan adalah sah bila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara; Musyawarah Pimpinan dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat. Pasal 45 MusyawarahWilayah Musyawarah Wilayah merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat Wilayah yang diadakan oleh Dewan Pengurus Wilayah setiap 5 (lima) tahun sekali. Musyawarah Wilayah memiliki wewenang : a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Wilayah; b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Wilayah untuk 5 (lima) tahun ke depan; c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura; d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih; e. Calon Ketua Dewan Tanfidz yang mendapat persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. f. Apabila terdapat calon Ketua Dewan Tanfidz yang tidak disetujui oleh Ketua Dewan Syura terpilih, maka harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari lebih separuh jumlah suara yang sah. g. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi susunan Dewan Pengurus Partai; h. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu. i. Peraturan Tata Tertib Musyawarah Wilayah ditetapkan oleh Musyawarah Wilayah. Pasal 46 Peserta Musyawarah Wilayah adalah : a. Anggota Dewan Pengurus Wilayah, Ketua Biro, Ketua Lembaga, dan Ketua Badan Otonom tingkat Wilayah; b. Utusan Dewan Pengurus Cabang yang terdiri dari Ketua dan Sekretaris Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Cabang; c. Bagi Dewan Pengurus Wilayah yang mempunyai Dewan Pengurus Cabang 10 (sepuluh) ke bawah, maka peserta musyawarah ditambah dengan Dewan Pengurus Anak Cabang yang terdiri dari Ketua Dewan Syura, Ketua Dewan Tanfidz dan seorang lainnya dari unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Anak Cabang, dengan 1 (satu) hak suara. d. Pimpinan Fraksi Partai di Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah. e. Setiap peserta Musyawarah Wilayah mempunyai hak bicara. f. Setiap DPC memiliki 1 (satu) hak suara; g. Dewan Pengurus Wilayah secara kolektif mempunyai hak 1 (satu) suara. Pasal 47 Musyawarah Wilayah adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) jumlah Cabang Partai yang sah; Sidang-sidang Musyawarah Wilayah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir; Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir; Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Wilayah dilakukan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis. Pasal 48 Rancangan materi Musyawarah Wilayah disiapkan oleh Dewan Pengurus Wilayah dan disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Cabang selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Wilayah berlangsung; Musyawarah Wilayah dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah. Pasal 49 Musyawarah Wilayah Luar Biasa Musyawarah Wilayah Luar Biasa dapat diselenggarakan: a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan hidup Dewan Pengurus Wilayah (DPW); b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPW; c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPW; Musyawarah Wilayah Luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Cabang yang sah; Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Wilayah berlaku pada Musyawarah Wilayah Luar Biasa kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah Wilayah, yaitu harus disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Cabang selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Wilayah Luar Biasa berlangsung. Pasal 50 Musyawarah Kerja Wilayah Musyawarah Kerja Wilayah merupakan forum permusyawaratan pada tingkat Wilayah untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program Dewan Pengurus Wilayah, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-keputusan Musyawarah Wilayah, dan masalah-masalah lain yang dianggap penting; Musyawarah kerja wilayah diadakan oleh Dewan Pengurus Wilayah sekurang- kurangnya dua (2) kali dalam (1) satu periode; Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Wilayah ditetapkan oleh Dewan Pengurus Wilayah. Pasal 51 Peserta Musyawarah Kerja Wilayah adalah anggota Dewan Pengurus Wilayah dan utusan dari Dewan Pengurus Cabang Partai; Musyawarah Kerja Wilayah adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara; Musyawarah kerja wilayah dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah. Pasal 52 Musyawarah Pimpinan Wilayah Musyawarah Pimpinan Wilayah merupakan forum permusyawaratan untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan situasi Partai dan kehidupan di Daerah Propinsi yang dinilai strategis; Musyawarah Pimpinan Wilayah dapat diadakan sewaktu-waktu oleh Dewan Pengurus Wilayah sesuai dengan kebutuhan; Peraturan Tata Tertib Musyawarah Pimpinan Wilayah ditetapkan oleh Dewan Pengurus Wilayah. Pasal 53 Peserta Musyawarah Pimpinan Wilayah adalah anggota Dewan Pengurus Wilayah dan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Cabang; Musyawarah Pimpinan Wilayah adalah sah bila dihadiri oleh lebih dari seperdua(1/2) jumlah peserta. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara; Musyawarah Pimpinan Wilayah dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah. Pasal 54 Musyawarah Cabang Musyawarah Cabang merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat Cabang yang diadakan oleh Dewan Pengurus Cabang setiap 5 (lima) tahun sekali; Musyawarah Cabang memiliki wewenang : a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Cabang; b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Cabang untuk 5 (lima) tahun ke depan; c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura DPC PKB; d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz DPC PKB yang telah mendapatkan persetujuan Ketua Dewan Syura DPC PKB terpilih; e. Calon Ketua Dewan Tanfidz yang mendapat persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih sekurang-kurangnya 2 (dua) orang f. Apabila terdapat calon Ketua Dewan Tanfidz yang tidak disetujui oleh Ketua Dewan Syura terpilih, maka harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari lebih separuh jumlah suara yang sah. g. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz DPC PKB terpilih bertugas untuk melengkapi susunan Dewan Pengurus Partai; h. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu. Peraturan Tata Tertib Musyawarah Cabang ditetapkan oleh Musyawarah Cabang. Pasal 55 Peserta Musyawarah Cabang adalah : a. Anggota Dewan Pengurus Cabang, Ketua Divisi, Ketua Lembaga, dan Ketua Badan Otonom tingkat Cabang; b. Utusan Dewan Pengurus Anak Cabang yang terdiri Ketua dan Sekretaris Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Anak Cabang; c. Pimpinan Fraksi Partai di Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk DPC yang jumlah DPAC-nya 4 (empat) atau kurang dari 4 (empat) maka peserta Musyawarah Cabang ditambah dengan utusan dari seluruh DPRt (Dewan Pengurus Ranting) dan memiliki hak yang sama dengan utusan DPAC. Setiap peserta Musyawarah Cabang mempunyai hak bicara; Setiap Dewan Pengurus Anak Cabang mempunyai 1 (satu) hak suara; Dewan Pengurus Cabang secara kolektif mempunyai hak 1 (satu) suara. Pasal 56 Musyawarah Cabang adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) jumlah Anak Cabang Partai dan Ranting yang sah; Sidang-sidang Musyawarah Cabang sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir; Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir; Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Cabang dilakukan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis. Pasal 57 Rancangan materi Musyawarah Cabang disiapkan oleh Dewan Pengurus Cabang dan disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Anak Cabang selambatlambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Cabang berlangsung; Musyawarah Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang. Pasal 58 Musyawarah Cabang Luar Biasa Musyawarah Cabang Luar Biasa dapat diselenggarakan: a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan hidup Dewan Pengurus Cabang (DPC); b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPC; c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPC; Musyawarah Cabang Luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Anak Cabang yang sah; Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Cabang berlaku pada Musyawarah Cabang Khusus kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah Cabang, yaitu harus disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Anak Cabang selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Cabang Luar Biasa berlangsung. Pasal 59 Musyawarah Kerja Cabang Musyawarah Kerja Cabang merupakan forum permusyawaratan pada tingkat Cabang untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program Dewan Pengurus Cabang, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-keputusan Musyawarah Cabang, dan masalah-masalah lain yang dianggap penting; Musyawarah Kerja Cabang diadakan oleh Dewan Pengurus Cabang sekurangkurangnya dua (2) kali dalam satu periode; Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Cabang ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang. Pasal 60 Peserta Musyawarah Kerja Cabang adalah anggota Dewan Pengurus Cabang dan utusan dari Dewan Pengurus Anak Cabang Partai; Musyawarah Kerja Cabang adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara; Musyawarah Kerja Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang. Pasal 61 Musyawarah Pimpinan Cabang Musyawarah Pimpinan Cabang merupakan forum permusyawaratan untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan situasi Partai dan kehidupan di Daerah Kabupaten/Kota yang dinilai strategis; Musyawarah Pimpinan Cabang dapat diadakan sewaktu-waktu oleh Dewan Pengurus Cabang sesuai dengan kebutuhan; Peraturan Tata Tertib Musyawarah Pimpinan Cabang ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang. Pasal 62 Peserta Musyawarah Pimpinan Cabang adalah anggota Dewan Pengurus Cabang dan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Anak Cabang; Musyawarah Pimpinan Cabang adalah sah bila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara; Musyawarah Pimpinan Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang. Pasal 63 Musyawarah Anak Cabang Musyawarah Anak Cabang merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat Anak Cabang yang diadakan oleh Dewan Pengurus Anak Cabang setiap (5) tahun sekali. Musyawarah Anak Cabang memiliki wewenang : a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Anak Cabang; b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Anak Cabang untuk 5 (lima) tahun ke depan; c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura; d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih; e. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi susunan Dewan Pengurus Partai; f. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu. Peraturan Tata Tertib Musyawarah Anak Cabang ditetapkan oleh Musyawarah Anak Cabang; Pasal 64 Peserta Musyawarah Anak Cabang adalah : a. Pengurus Anak Cabang, Ketua Seksi dan Ketua Badan Otonom tingkat Anak Cabang; b. Utusan Dewan Pengurus Ranting yang terdiri dari Ketua dan Sekretaris Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Ranting. Setiap peserta Musyawarah Anak Cabang mempunyai hak bicara; Setiap Dewan Pengurus Ranting mempunyai 1 (satu) hak suara; Dewan Pengurus Anak Cabang secara kolektif mempunyai 1 (satu) hak suara. Pasal 65 Musyawarah Anak Cabang adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) jumlah Dewan Pengurus Ranting Partai yang sah; Sidang-sidang Musyawarah Anak Cabang sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang sah; Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua(1/2) jumlah peserta yang hadir; Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Anak Cabang dilakukan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis. Pasal 66 Rancangan materi Musyawarah Anak Cabang disiapkan oleh Dewan Pengurus Anak Cabang dan disampaikan kepada seluruh Pengurus Ranting selambatlambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Anak Cabang berlangsung; Musyawarah Anak Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Anak Cabang. Pasal 67 Musywarah Anak Cabang Luar Biasa Musyawarah Anak Cabang luar Biasa dapat diselenggarakan: a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan hidup Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC); b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPAC; c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPAC; Musyawarah Anak Cabang luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Ranting yang sah; Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Anak Cabang berlaku pada Musyawarah Anak Cabang Luar Biasa kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah Anak Cabang, yaitu harus disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Anak Cabang selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Anak Cabang luar Biasa berlangsung. Pasal 68 Musyawarah Kerja Anak Cabang Musyawarah Kerja Anak Cabang merupakan forum permusyawaratan pada tingkat Anak Cabang untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan programprogram Dewan Pengurus Anak Cabang, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-keputusan Musyawarah Anak Cabang, dan masalahmasalah lain yang dianggap penting; Musyawarah Kerja Anak Cabang diadakan oleh Dewan Pengurus Anak Cabang sekurang-kurangnya dua kali dalam satu periode; Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Anak Cabang ditetapkan oleh Dewan Pengurus Anak Cabang. Pasal 69 Peserta Musyawarah Kerja Anak Cabang adalah anggota Dewan Pengurus Anak Cabang dan utusan dari Dewan Pengurus Ranting Partai; Musyawarah Kerja Anak Cabang adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara; Musyawarah Kerja Anak Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Anak Cabang. Pasal 70 Musyawarah Ranting Musyawarah Ranting merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat Ranting yang diadakan oleh Dewan Pengurus Ranting setiap 5 (lima) tahun sekali. Musyawarah Ranting memiliki wewenang : a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Ranting; b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Ranting untuk 5 (lima) tahun ke depan; c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura; d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih; e. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi susunan Dewan Pengurus Partai; f. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu. Peraturan Tata Tertib Musyawarah Ranting ditetapkan oleh Musyawarah Ranting. Pasal 71 Peserta Musyawarah Ranting adalah: a. Anggota Dewan Pengurus Ranting, Ketua Seksi dan Ketua Badan Otonom Tingkat Ranting. b. Utusan Dewan Pengurus Anak Ranting yang terdiri dari Ketua dan Sekretaris Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Anak Ranting; c. Dalam keadaan tertentu di mana Dewan Pengurus Anak Ranting belum terbentuk, maka peserta Musyawarah Ranting adalah anggota Ranting Partai yang sah; Setiap peserta Musyawarah Ranting mempunyai hak bicara; Setiap peserta Musyawarah Ranting mempunyai satu hak suara. Pasal 72 Musyawarah Ranting adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) jumlah Dewan Pengurus Anak Ranting Partai dan/atau anggota Ranting yang sah; Sidang-sidang Musyawarah Ranting sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua(1/2) jumlah peserta yang hadir; Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir; Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Ranting dilakukan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis. Pasal 73 Rancangan materi Musyawarah Ranting disiapkan oleh Dewan Pengurus Ranting dan disampaikan kepada Dewan pengurus Anak Ranting dan/atau seluruh anggota Ranting selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Ranting berlangsung; Musyawarah Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Ranting. Pasal 74 Musyawarah Ranting Luar Biasa Musyawarah Ranting luar Biasa dapat diselenggarakan: a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan hidup Dewan Pengurus Ranting (DPRt); b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPRt; c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPRt; Musyawarah Ranting Khusus dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Anak Ranting yang sah; Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Ranting berlaku pada Musyawarah Ranting Khusus kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah Ranting, yaitu harus disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Anak Ranting selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Ranting luar Biasa berlangsung. Pasal 75 Musyawarah Kerja Ranting Musyawarah Kerja Ranting merupakan forum permusyawaratan pada tingkat Ranting untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program Dewan Pengurus Ranting, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-keputusan Musyawarah Ranting, dan masalah-masalah lain yang dianggap penting; Musyawarah Kerja Ranting diadakan oleh Dewan Pengurus Ranting sekurangkurangnya 2 (dua) kali dalam satu periode; Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Ranting ditetapkan oleh Dewan Pengurus Ranting. Pasal 76 Peserta Musyawarah Kerja Ranting adalah anggota Dewan Pengurus Ranting dan utusan dari Dewan Pengurus Anak Ranting dan/atau beberapa orang anggota yang dipilih oleh Dewan Pengurus Ranting Partai; Musyawarah Kerja Ranting adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara; Musyawarah Kerja Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Ranting. Pasal 77 Musyawarah Anak Ranting Musyawarah Anak Ranting merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat Anak Ranting yang diadakan oleh Dewan Pengurus Anak Ranting setiap 5 (lima) tahun sekali. Musyawarah Anak Ranting memiliki wewenang : a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Anak Ranting; b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Anak Ranting untuk 5 (lima) tahun ke depan; c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura; d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih; e. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi susunan Dewan Pengurus Partai; f. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu. g. Peraturan Tata Tertib Musyawarah Anak Ranting ditetapkan oleh Musyawarah Anak Ranting. Pasal 78 Peserta Musyawarah Anak Ranting adalah anggota Dewan Pengurus Anak Ranting, Ketua Badan Otonom tingkat Anak Ranting dan seluruh anggota yang sah. Setiap peserta Musyawarah Anak Ranting mempunyai hak bicara; Setiap peserta Musyawarah Anak Ranting mempunyai satu hak suara. Pasal 79 Musyawarah Anak Ranting adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) jumlah anggota yang sah; Sidang-sidang Musyawarah Anak Ranting sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir; Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir; Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Anak Ranting dilakukan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis. Pasal 80 Rancangan materi Musyawarah Anak Ranting disiapkan oleh Dewan Pengurus Anak Ranting dan disampaikan kepada seluruh anggota selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Anak Ranting berlangsung; Musyawarah Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Ranting. Pasal 81 Musyawarah Anak Ranting Luar Biasa Musyawarah Anak Ranting Khusus dapat diselenggarakan: a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan hidup Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt); b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPARt; c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPARt; Musyawarah Anak Ranting luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih dari setengah jumlah anggota Dewan Pengurus Anak Ranting yang sah; Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Anak Ranting berlaku pada Musyawarah Anak Ranting Khusus kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah Anak Ranting, yaitu harus disampaikan kepada seluruh anggota Dewan Pengurus Anak Ranting selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Anak Ranting luar Biasa berlangsung. Pasal 82 Musyawarah Kerja Anak Ranting Musyawarah Kerja Anak Ranting merupakan forum permusyawaratan pada tingkat Anak Ranting untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan programprogram Dewan Pengurus Anak Ranting, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-keputusan Musyawarah Anak Ranting, dan masalahmasalah lain yang dianggap penting; Musyawarah Kerja Anak Ranting diadakan oleh Dewan Pengurus Ranting sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam satu periode; Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Anak Ranting ditetapkan oleh Dewan Pengurus Anak Ranting. Pasal 83 Peserta Musyawarah Kerja Ranting adalah anggota Dewan Pengurus Anak Ranting dan beberapa orang anggota yang dipilih oleh Dewan Pengurus Anak Ranting Partai; Musyawarah Kerja Anak Ranting adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara; Musyawarah Kerja Anak Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Anak Ranting. BAB X RAPAT – RAPAT Pasal 83 Jenis-jenis Rapat Partai adalah sebagai berikut : a. Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Pengurus Partai sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu bila dipandang perlu dan dihadiri oleh unsur Ketua Umum/Ketua, unsur Sekretaris dan Anggota Dewan Syura; unsur Ketua Umum/Ketua, unsur Sekretaris, dan unsur Bendahara Dewan Tanfidz; Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom; b. Rapat Gabungan Dewan Pengurus Partai: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Syura atau Dewan Tanfidz yang diselenggarakan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan dan dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris dan Anggota Dewan Syura; unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris, dan unsur Bendahara Dewan Tanfidz; Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom; c. Rapat Dewan Syura: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Syura dan dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris dan Anggota Dewan Syura, yang diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan, dan bila dipandang perlu dapat pula dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris, dan unsur Bendahara Dewan Tanfidz; dan Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom; d. Rapat Dewan Tanfidz : yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Tanfidz dan dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris, unsur Bendahara Dewan Tanfidz; Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom; yang diselenggarakan sekurangkurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan ; e. Rapat Pengurus Harian: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Tanfidz dan hanya dihadiri oleh Pengurus Harian Dewan Tanfidz; f. Rapat-rapat lain bila dipandang perlu. Pengambilan keputusan dalam rapat-rapat Partai ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat, dan dalam hal tidak dapat dicapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak; Ketentuan mengenai mekanisme, quorum, pengambilan keputusan, dan hal lainnya berkaitan dengan jenis-jenis rapat Partai akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Partai; BAB XI KEUANGAN Pasal 84 Besar uang pangkal angggota ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat; Besarnya uang iuran anggota ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang; Uang pangkal dan uang iuran anggota ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang dan dialokasikan sebagai berikut : a. Dewan Pengurus Pusat memperoleh 10 (sepuluh) persen; b. Dewan Pengurus Wilayah memperoleh 20 (dua puluh) persen; c. Dewan Pengurus Cabang memperoleh 70 (tujuh puluh) persen. Hal-hal yang menyangkut keuangan Partai dilaporkan secara tertulis oleh Bendahara Partai kepada seluruh Dewan Pengurus Partai menurut tingkatannya sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam tahun buku yang bersangkutan. Tahun buku Partai dimulai setelah terpilihnya Dewan Pengurus Partai yang baru pada setiap tingkatan dan berakhir pada tahun berikutnya. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 85 Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini akan diatur lebih lanjut oleh Dewan Pengurus Pusat melalui Peraturan-peraturan Partai; Anggaran Rumah Tangga ini hanya dapat dirubah oleh muktamar; Anggaran Rumah Tangga ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Semarang Pada tanggal : 18 April 2005 MUKTAMAR II PARTAI KEBANGKITAN BANGSA PIMPINAN SIDANG PARIPURNA KE III dr. H. Sugiat Ahmad Sumadi, SKM. Ketua Hj. Zunatul Mafruchah Sekretaris