(gus dur) di partai kebangkitan bangsa (pkb)

advertisement
PERAN POLITIK ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
DI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)
Oleh
SUPRIYADI
NIM. 202033201148
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M
PERAN POLITIK ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
DI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)
Oleh
Supriyadi
NIM. 202033201148
Di Bawah Bimbingan
Ahmad Bakir Ihsan, M.Si.
NIP. 150 326 915
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Peran Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini telah diujikan dalam Sidang Munaqasah
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 1
Desember 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada jurusan Pemikiran Politik
Islam.
Jakarta, 1 Desember 2008
Sidang Munaqasah
Ketua/Merangkap Anggota
Sekretaris/Merangkap Anggota
Drs. H. Harun Rasyid, MA
NIP. 150 232 921
Drs. H. Rifqi Muchtar
NIP. 150 282 120
Anggota,
Dr. Amin Nurdin, MA
NIP. 150 232 919
Nawiruddin, MA
NIP. 150 317 965
Pembimbing
Ahmad Bakir Ihsan, M.Si
NIP. 150 326 915
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi yang digunakan dalam skripsi ini adalah pedoman
transliterasi berdasarkan Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006/2007.
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
tidak dilambangkan
b
t
ts
j
h
kh
d
dz
r
z
s
sy
s
d
t
z
‘
gh
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ه‬
‫ء‬
‫ي‬
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
f
q
k
l
m
n
w
h
'
y
Untuk Mad dan Diftong
ā = a panjang
ī = i panjang
ū = u panjang
‫ = أو‬aw
‫ = ُأ ْو‬uw
‫ي‬
ْ ‫ = َأ‬ai
‫ي‬
ْ ‫ = ِا‬iy
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Studi Pustaka ........................................................................................ 5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7
D. Metode Penelitian ................................................................................ 8
E. Sistematika Penulisan ........................................................................... 8
BAB II. SELAYANG PANDANG TENTANG ABDURRAHMAN WAHID
(GUS DUR) ........................................................................................................... 11
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ......................................................... 11
B. Latar Belakang dan Aktivitas Sosial Politik ..................................... 18
C. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid ............................................ 26
BAB III. MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) ........... 35
A. Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ............. 35
B. Visi, Misi, dan Struktur Kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) .................................................................................................. 41
C. Karakteristik dan Arah Perjuangan Politik Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) .................................................................................................. 44
BAB IV.ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) DAN DINAMIKA
POLITIK PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) ............................... 46
A. Gus Dur dan PKB .......................................................................... 46
B. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 1999 ................................................... 51
1. Masa Pemilu 1999 ................................................................. 51
2. Gus Dur Jadi Presiden ........................................................... 56
3. Sidang Istimewa 2001 dan Konflik PKB ............................... 57
C. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 2004 ............................................... 61
1. Masa Pemilu 2004 ................................................................. 61
2. Konflik II dan Muktamar II PKB .......................................... 64
3. Dinamika Pasca-Muktamar II PKB dan Menjelang Pemilu
2009 ...................................................................................... 65
D. Dinamika Peran dan Pengauh Politik Gus Dur di PKB ............... 69
BAB V. PENUTUP .......................................................................................... 74
A. Kesimpulan ....................................................................................... 74
B. Kritik dan Saran ................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 78
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
D. Latar Belakang Masalah
Pembahasan mengenai Abdurrahman Wahid, yang selanjutnya disebut
Gus Dur, dalam keterlibatannya secara langsung dengan dinamika perpolitikan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebuah partai yang pernah membawanya
kepada kursi kekuasaan pada 1999, adalah sebuah pekerjaan yang sulit dan
membutuhkan analisis yang tajam tentu dengan data yang akurat dan referensi
yang cukup banyak. Hal ini disebabkan sepak terjang politiknya yang sangat sulit
untuk diprediksi.
Gus Dur merupakan tokoh yang fenomenal dan disegani, tidak hanya di
tingkat nasional tetapi juga internasional. Hal ini tentu dipengaruhi oleh latar
belakang keluarga dan pendidikannya. Kehadiran kedua kakek yang sekaligus
pendiri organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan kedua orang tuanya
yang juga merupakan tokoh bangsa yang disegani dan dikagumi oleh banyak
orang sangat berpengaruh terhadap kepribadian Gus Dur di kemudian hari. Di
samping itu, latar belakang pendidikan Gus Dur yang diperoleh di dalam maupun
di luar negeri juga sangat membentuk karakter berpikir Gus Dur.
Kehadiran Gus Dur di organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama (NU)
yang didirikan oleh kakeknya sendiri itu tentunya sangat memberikan efek yang
luar biasa terhadap dirinya. Gus Dur, seperti kakek dan kedua orang tuanya,
sangat disegani dan dihormati tidak hanya oleh jam’iyyah NU tetapi juga oleh
golongan-golongan lain di luar organisasi yang membesarkannya. Ia kemudian
menjadi panutan dan rujukan oleh banyak orang dalam menyelesaikan segala
persoalan-persoalan umat dan bangsa, baik itu yang menyangkut persoalan agama,
budaya, kehidupan sosial maupun persoalan-persoalan politik, kebangsaan, dan
kekuasaan.
Keterlibatan Gus Dur di sebuah partai besar, Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), merupakan bentuk nyata dari kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan
politik, kebangsaan, dan kekuasaan. Kehadiran Gus Dur di dunia politik dengan
semua gagasan-gagasan cemerlangnya ternyata dapat diterima oleh berbagai
kalangan masyarakat, sekaligus menjadikannya tokoh alternatif dalam suksesi
kepemimpinan nasional pada Sidang Umum MPR RI
memimpin bangsa ini
tahun 1999 untuk
dengan legitimasi yang sangat kuat. Sebab,
pemerintahannya adalah hasil Pemilu 1999 yang terbilang relatif demokratis,
dibandingkan dengan
pemilu-pemilu sebelumnya.1 Kemenangan Gus Dur
menjadi Presiden RI pada sidang umum yang diselenggarakan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada waktu itu secara langsung memberikan
efek yang sangat luar biasa terhadap kebesaran eksistensi PKB.
Gus Dur, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam
dirinya, telah dijadikan sebagai
tokoh sentral partai yang dipuja-puja oleh
konstituennya, apa yang dikatakan dan dilakukannya menjadi panutan
dan
rujukan bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
1
Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia (Jakarta:
Republika, 2004), h. 102.
Bayangan Gus Dur dalam visi, misi, dan perilaku politik PKB sangat
dominan. Pandangan, gagasan, sikap, kebijakan, dan manuver-manuver politik
Gus Dur sangat kentara mempengaruhi gerak langkah PKB di pentas percaturan
politik nasional sejak Partai ini berdiri, masa kampanye Pemilu 1999, 2004 dan
pastinya pada masa-masa berikutnya.2
Visi, misi, dan kebijakan-kebijakan politik PKB akan selalu berada di
bawah bayang-bayang Gus Dur. Gus Dur-lah yang pada hakikatnya mengarahkan
dan bahkan menentukan keputusan-keputusan politik yang telah dan akan diambil
oleh PKB. Selain sebagai pengayom dan pemberi restu bagi berdirinya PKB, Gus
Dur secara struktural memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengarahkan
kebijakan atau keputusan-keputusan politik yang harus diambil oleh PKB.3
Dapat diduga bahwa setidak-tidaknya setiap keputusan dan kebijakan
politik yang akan diambil oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
dan jajaran pimpinannya akan selalu dikonsultasikan dengan Gus Dur terlebih
dahulu.4
Gus Dur diakui sebagai pembela kebebasan, demokrasi, dan HAM yang
memiliki reputasi bagus di tingkat nasional dan internasional, hal ini tentu saja
memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi PKB. Di bawah pijar-pijar
bayangan Gus Dur, PKB tumbuh dan berkembang menjadi partai besar walaupun
masih muda belia. Sementara itu, partai-partai baru yang seusia dengan PKB
2
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,
1999), Cet. I, h. 151.
3
Faisal, NU, Gus Durisme, h. 151.
4
Faisal, NU, Gus Durisme, h. 151.
memperoleh suara yang sangat jauh dengan PKB. Tanpa Gus Dur, PKB tidak
mungkin menjadi besar. Karena pengaruh Gus Dur dalam PKB sangat dominan,
Gus Dur akan selalu menjadi pola anutan dan acuan PKB dalam mengambil
kebijakan-kebijakan dan keputusan politiknya.5
Kenyataan di atas lah yang kemudian memunculkan opini bahwa Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah milik Gus Dur, dan bukan sebaliknya, Gus
Dur milik PKB. Opini ini kemudian meluas sampai pada sebuah perdebatan di
kalangan publik, banyak orang beranggapan bahwa peran politik Gus Dur di PKB
dikarenakan integritas dan kapabilitasnya sebagai politisi yang memiliki posisi
tawar yang tinggi di pentas politik nasional. Ada pula yang beranggapan bahwa
peran politiknya yang cukup kental di PKB dikarenakan posisi strukturalnya
sebagai Dewan Syuro. Terlepas dari itu semua, pada kenyataannya Gus Dur telah
menjadi icon bagi PKB.
Jika demikian, bagaimanakah nasib dan arah pergerakan politik PKB
masa depan (pasca-Gus Dur), bukankah sikap ketergantungan yang berlebihan
terhadap satu sosok kepemimpinan sangat membahayakan bagi keberlangsungan
kaderisasi dan eksistensi suatu partai? Menurut Efendi Ghazali, “Figur seorang
yang ditokohkan bisa menjadi bomerang bagi partai itu sendiri.” Jika dilihat
bagaimana Megawati di PDI-P begitu ditokohkan, akhirnya PDI-P pecah.6 Golkar
berada diambang kehancuran ketika tokoh yang dijadikan sebagai iconnya,
Soeharto, hancur pada 1998.
17.
5
Faisal, NU, Gus Durisme, h. 153.
6
“Demokrat – SBY Pisah Ranjang,” Opini Indonesia, 29 Januari – 4 Februari 2007, h.
Keberanian partai-partai, seperti PAN yang dulunya sangat bergantung
pada popularitas Amien Rais, sekarang sudah berani memasang muka-muka baru
sebagai icon partainya. Demikian pula, PBR tidak lagi menjadikan sosok
Zaenuddin M.Z. sebagai panutannya. Keberanian partai-partai itu lepas dari figur
tokoh karena dipengaruhi oleh kesadaran akan pentingnya proses regenerasi
internal. Secara alamiah, partai perlu regenerasi seiring dengan menurunnya
kredibilitas dan popularitas tokoh-tokoh lama. Partai Thai Rak di Thailand adalah
contoh partai yang begitu bergantung pada ketokohan Taksin (mantan Perdana
Menteri Thailand), setelah Taksin dikudeta maka partai tersebut ikut bubar.7 Lalu
pertanyaannya, apakah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan mengalami hal
yang sama, kredibitas dan popularitasnya akan menurun atau bahkan hancur
seiring dengan menurun dan hancurnya tingkat popularitas tokohnya? dan apakah
PKB juga sadar akan pentingnya proses regenerasi demi menyelamatkan
eksistensi Partai dengan melepaskan diri dari figur Gus Dur, seperti yang sudah
dilakukan oleh partai-partai pesaingnya?
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di
atas, tentu dengan berdasarkan analisis dan kajian historis yang lengkap dan
akurat, sehingga jawaban yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan.
E. Studi Pustaka
Kajian tentang Peran Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) secara spesifik dapat dikatakan belum ada. Namun,
7
“Demokrat – SBY Pisah Ranjang,” Opini, h. 17.
penulis menemukan satu kajian tentang “Nahdlatul Ulama (NU) dan Politik:
Sebuah Telaah Terhadap Gerakan Politik NU di Era Reformasi” yang ditulis oleh
Zaenal Agus Sugiarto, mahasiswa UIN Jakarta, tahun 2002/2003. Di sini, ia hanya
membahas secara umum bagaimana NU sebagai organisasi besar Islam kembali di
kancah perpolitikan nasional pasca runtuhnya rezim Orde Baru (Reformasi)
dengan melihat PKB sebagai jalan tengah politik NU dan Gus Dur dipandang
sebagai bagian terkecil dari sub pembahasan.
Berbeda dengan kajian di atas, di sini penulis mencoba melihat sisi lain
dari dinamika politik Gus Dur di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara
spesifik dan lebih fokus. Hal ini dikarenakan, penulis berasumsi bahwa Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) sangat bergantung terhadap ketokohan seorang Gus
Dur. Artinya, segala aktifitas dan kebijakan-kebijakan politik PKB akan selalu
berada di bawah bayang-bayang Gus Dur, dan hal ini yang dipandang oleh banyak
tokoh politik sebagai sesuatu yang sangat membahayakan terhadap eksistensi
partai, khususnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
C. Batasan dan Perumusan Masalah
Dalam tulisan ini, penulis memberikan objek khusus mengkaji tentang
tokoh yang fenomenal dan sering kontroversial, Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
dalam keterlibatan dan pengaruhnya terhadap dinamika politik Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB). Seperti dikatakan, Peran politik Gus Dur secara struktural dengan
kewenangan yang begitu luas di PKB membuat Gus Dur begitu bebas dalam
menentukan dan mengarahkan kebijakan atau keputusan-keputusan politik PKB.
Di samping itu, Gus Dur adalah sosok yang sangat sulit untuk dipahami. Beliau
tidak hanya dipandang sebagai politikus handal, tetapi juga sebagai tokoh agama,
sosial, dan budaya. Sehingga apa yang dikatakan dan dilakukannya tidak bisa
ditafsirkan begitu saja, harus dilihat kapan, di mana, dan posisi sebagai apa beliau
pada saat itu, jika tidak maka kesalahpahaman-lah yang akan muncul.
Oleh sebab itu, untuk tidak terjebak dalam kesalahpahaman yang sama,
penulis mencoba membatasi kajian ini dengan melihat beliau (Gus Dur) sebagai
seorang politikus yang memiliki peran dan pengaruh dalam dinamika perpolitikan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang dirumuskan dalam sebuah pertanyaan
sebagai berikut: “Bagaimanakah peran dan pengaruh politik Gus Dur dalam
dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari sejak partai ini
dideklarasikan sampai menjelang pemilu 2009 pasca dikeluarkannya keputusan
MK tentang konflik internal PKB?”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagaimana layaknya karya tulis, tentu saja Skripsi
ini memiliki
beberapa tujuan yang mudah-mudahan bermanfaat. Adapun tujuan dalam
penulisan Skripsi ini diantaranya adalah:
D.1. Tujuan Penelitian
Menambah wacana perpolitikan nasional.
Memahami secara konprehensif sejauh mana peran dan pengaruh politik
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam dinamika perpolitikan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dari sejak partai ini didirikan, tahun
1998, sampai menjelang Pemilu 2009 pasca dikeluarkannya
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penyelesaian konflik
dualisme di internal PKB.
D.2. Manfaat Penelitian
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang politik, khususnya
tentang Partai Kebangkitan Bangsa.
Sebagai tambahan wacana politik bagi kita dalam turut serta
membangun perpolitikan nasional.
Dari hasil penelitian ini, diharapkan nantinya dapat dimanfaatkan untuk
menjawab permasalahan serupa yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data
yang berbentuk dokumenter, berupa: buku, majalah, koran, dan artikel yang
berhubungan dengan peran politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pembahasan penelitian ini menggunakan tehnik deskriptif-analisis, yaitu
menggambarkan bagaimana peran politik Abdurrahman Wahid di Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan menganalisis berbagai macam data yang
tentunya diperkuat oleh pemikiran-pemikiran dan statement yang dikemukakan
oleh tokoh-tokoh yang berkompeten di bidang politik, baik lewat media massa,
elektronik, maupun dalam berbagai seminar.
Untuk pedoman penulisan ini, penulis menggunakan buku Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Ceqda UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini, disusun berdasarkan bab per bab, kemudian dijelaskan dalam
sub-sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian, penulis menyusun
sistematikanya sebagai berikut:
Pada bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang
menjelaskan latar belakang masalah, studi pustaka, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Pada bab kedua, akan dibahas selayang pandang tentang Abdurrahman
Wahid dengan sub-subbab yang terdiri dari riwayat hidup dan pendidikan, latar
belakang dan aktifitas sosial politik, serta pemikiran politiknya.
Pada bab ketiga, akan dibahas mengenal Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) dengan sub-sub judul: latar belakang lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), struktur kepengurusan, serta visi, misi, dan arah gerakan politik Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pada bab keempat, penulis mencoba mengungkap bagaimana sebenarnya
hubungan antara Abdurrahman Wahid dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
dengan melihat bagaimana peran dan pengaruh Gus Dur dalam dinamika politik
Partai Kebangkitan Bangsa, kemudian bagaimana keterlibatan Gus Dur di PKB
pada Pemilu 1999, bagaimana ketika Gus Dur jadi Presiden RI yang berakhir pada
Sidang Istimewa 2001 yang kemudian berujung terjadinya konflik internal di
tubuh PKB dan kita akan melihat bagaimana pula peran politik Gus Dur di PKB
pada masa Pemilu 2004, pada saat terjadinya konflik II dan Muktamar II PKB,
serta dinamika pasca-Muktamar II PKB dalam rangka menyambut Pemilu 2009
pasca dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang konflik
dualisme di internal PKB.
Pada bab kelima, akan ditulis kesimpulan yang merupakan jawaban dari
rumusan masalah di atas, serta kritik dan saran.
BAB II
SELAYANG PANDANG TENTANG ABDURRAHMAN WAHID
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Abdurrahman, kata yang sering kita dengar, dan tidak jarang setiap orang
yang memakai nama itu tergolong orang-orang yang tumbuh dengan kebesaran
dan keagungan. Di antaranya, Syaikh Abdurrahmān al-Akhdori, pengarang kitab
klasik Jauhār al-Maknūn, Abdurrahmān al-Dakkhil penakluk kota Spanyol
seorang Khalifah Islam di Andalusia, Spanyol, dan mungkin masih banyak lagi.8
Dan, tidak berbeda pula dengan kiai yang satu ini, Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), yang lahir pada bulan Sya‘ban, bulan kedelapan. Tepatnya 4 Sya‘ban
1940 atau 7 September. Akan tetapi, ulang tahunnya sendiri lebih sering dirayakan
pada tanggal 4 Agustus. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang,
Jawa Timur, dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri
Syansuri. Kedua kakek Gus Dur, yakni Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim
Asy‘ari adalah ulama yang sangat berpengaruh dan dihormati. Keduanya adalah
tokoh pendiri NU. 9
Kiai Hasyim Asy‘ari, kakek Gus Dur dari pihak ayah, merupakan tokoh
pendiri NU pada tahun 1926. Sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat
pedesaan yang tradisional, beliau juga dikenal sebagai seorang Nasionalis yang
teguh pendirian. Banyak dari temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka
8
Achmad Mufid A.R., Ada Apa Dengan Gus Dur,(Yogyakarta: Kutub, 2005), h. 3.
9
Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 26-27.
gerakan Nasionalis pada periode sebelum perang. Setelah NU didirikan, kakek
Gus Dur ini diangkat sebagai Ra’is Akbar yang secara harfiah berarti Ketua
Agung. Dalam posisi ini, beliau menjadi Kepala Penasihat Agama dalam
organisasi NU. Gelar lain dari kakek Gus Dur ini adalah Guru Agung atau Hadrat
al-Syaikh.10 Sedangkan kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri, juga
merupakan tokoh kunci organisasi NU bersama dengan Kiai Hasyim Asy‘ari.
Selain itu beliau juga aktif dalam pergerakan nasional.
Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, tumbuh besar dan belajar di madrasah
ayahnya, Hasyim Asy‘ari. Sedangkan ibu dari Wahid Hasyim (nenek Gus Dur)
adalah puteri dari keluarga ningrat Jawa. Wahid Hasyim dibesarkan dengan
perlengkapan untuk menjadi bagian dari masyarakat elit perkotaan. Setelah
mengenyam dua tahun pendidikan di Mekah, Wahid Hasyim kembali ke
Indonesia untuk mengembangkan gagasannya, yakni mengawinkan pendidikan
modern dengan pengajaran Islam klasik di Tebuireng. Pada tahun 1938, Wahid
Hasyim mulai bergabung dalam organisasi NU untuk menyalurkan hasratnya ikut
ambil bagian dalam kancah politik serta gerakan Nasionalis.11
Ibu kandung Gus Dur bernama Solichah. Ayah Gus Dur menikahi ibunya
saat usianya baru menginjak enam belas tahun. Karena usianya yang masih begitu
muda saat menikah, maka Solichah tidak mengenyam banyak pendidikan, akan
tetapi ia selalu ingin tahu dan memiliki pikiran aktif dan keinginan kuat. Solichah
10
Barton, Biografi Gus Dur, h. 26-28.
11
Barton, Biografi Gus Dur, h. 31.
muda mengenyam banyak pendidikan di madrasah milik ayahnya (Kiai Bisri
Syansuri). Setelah menikah Solichah mendapatkan bimbingan dari suaminya.
Sebagaimana kebiasan santri Jawa dan kaum muslim ortodoks, Gus Dur
menggunakan
nama
ayahnya
setelah
namanya
sendiri,
yakni
menjadi
Abdurrahman Wahid (Abdurrahman putera Wahid). Akan tetapi, nama resminya
lain lagi, yakni Abdurrahman ad-Dakhil. Gus Dur adalah anak pertama dari
Wahid Hasyim dan Solichah.12
Pada akhir tahun 1944, Gus Dur yang baru berusia empat tahun diajak
ayahnya untuk menetap di Jakarta, sedangkan ibu dan adik-adiknya tetap berada
di Jombang. Gus Dur bersama dengan ayahnya menetap di Menteng, Jakarta
Pusat, yang saat itu merupakan tempat bermukimnya para pengusaha terkemuka,
para profesional, dan politikus. Daerah Menteng saat itu merupakan pusat
kegiatan sehingga dengan mudah Wahid Hasyim dan putera sulungnya setelah
selesai melaksanakan ibadah salat di masjid Matraman, secara teratur dapat
bertemu dengan pemimpin-pemimpin Nasionalis seperti Moh. Hatta. Ayah Gus
Dur juga membina hubungan baik dengan bagian-bagian masyarakat lainnya,
termasuk Tan Malaka. Bahkan menurut ingatan Gus Dur, seorang laki-laki asing
sering berkunjung untuk menemui ayahnya dan bercakap-cakap berjam-jam
lamanya. Atas permintaan orang asing tersebut Gus Dur memanggilnya Paman
Husein. Setelah beberapa tahun kemudian Gus Dur kecil baru tahu bahwa tamu
asing tersebut adalah Tan Malaka, seorang tokoh Komunis.13
12
Barton, Biografi Gus Dur, h. 33.
13
Barton, Biografi Gus Dur, h. 35.
Pada tahun 1949, Gus Dur beserta seluruh keluarganya pindah ke Jakarta,
ayahnya memangku jabatan Menteri Agama. Wahid Hasyim menduduki jabatan
selama lima kabinet dan baru melepaskan jabatan pada tahun 1952. Pada tahap ini
pendidikan Gus Dur bersifat sekuler. Gus Dur memulai sekolah dasarnya di SD
KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga, kemudian di kelas
empat. Lalu pindah ke SD Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah
keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Di rumahnya, di Jakarta Pusat
tersebut, Gus Dur banyak berjumpa dengan tamu-tamu asing yang datang untuk
menemui ayahnya, berbicara dalam berbagai bahasa. Di rumah ini pula banyak
terdapat buku, majalah dan koran dalam jumlah yang besar. Dalam tahun-tahun di
Jakarta ini pula Gus Dur sering menemani ayahnya pergi ke pertemuanpertemuan, hingga ia dapat menyaksikan bagaimana ayahnya hidup dalam
dunianya dengan cara yang sederhana.14
Pada tanggal 18 April 1953, kecelakaan mobil yang terjadi di jalan antara
Cimahi dan Bandung merenggut nyawa Wahid Hasyim, ayah Gus Dur. Saat
kecelakaan terjadi Gus Dur ikut dalam mobil ayahnya tersebut. Besarnya
kecintaan dan penghormatan masyarakat terhadap ayahnya yang ditunjukkan
dengan kesabaran orang-orang yang menunggu untuk menyaksikan perjalanan
terakhir seorang Wahid Hasyim ke Jawa Timur, baik di Jakarta maupun di desa,
menyadarkan Gus Dur betapa masyarakat mencintai dan menghormati ayahnya.
Hal ini menjadi titik tolak bagi Gus Dur untuk memahami “Apa yang mungkin
14
Barton, Biografi Gus Dur, h. 37-41.
dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya?
Apakah ada prestasi yang lebih baik dari pada hal ini dalam hidup?”15
Pada Tahun 1953 – 1957, Gus Dur belajar di Sekolah Menengah
Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogya.16 Ia tinggal di rumah K.H. Junaid, beliau
adalah seorang ulama yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah, posisinya
adalah sebagai anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasihat.17
Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur, maka diatur pula agar ia pergi ke
Pesantren Al-Munawwir di Krapyak, tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak
sedikit di luar Yogyakarta. Gus Dur belajar bahasa Arab di sini dengan Kiai Haji
Ali Ma‘shum. Kiai Haji Ali Ma‘syum memiliki pergaulan yang luas, baik dengan
pejabat pemerintah, pemimpin-pemimpin Muhammadiyah, serta kerabat keraton
Yogyakarta. Yogyakarta saat itu telah menjadi kota universitas, banyak tokohtokoh yang menjual buku yang semakin merangsang dan mengembangkan
kecintaan membaca.18
Gus Dur menamatkan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di
Yogyakarta, tahun 1957. Sejak saat itu, ia mulai mengikuti pelajaran di pesantren
secara penuh. Hingga tahun 1959, Gus Dur bergabung dengan Pesantren
Tegalrejo di Magelang di bawah bimbingan Kiai Khudhori, yang merupakan salah
satu pemuka NU. Di saat yang sama, Gus Dur juga belajar di Pesantren Denanyar
15
Barton, Biografi Gus Dur, h. 42-44.
16
Mufid A.R., Ada Apa Dengan Gus Dur, h. 9.
17
Barton, Biografi Gus Dur, h. 47.
18
Barton, Biografi Gus Dur, h. 49.
di Jombang dengan kakeknya Kiai Bisri Syansuri. Kemudian, di tahun ini pula,
Gus Dur pindah ke Jombang dan belajar secara penuh di Pesantren Tambak Beras
di bawah bimbingan Kiai Wahab Khasbullah, hingga tahun 1963. Pada saat itu,
Gus Dur sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam
tradisional, dan juga telah membiasakan diri untuk secara teratur berziarah ke
makam-makam untuk berdoa dan meditasi pada tengah malam. Pada masa ini
juga Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan
sastra Arab klasik.19
Sejak di Yogyakarta Gus Dur sangat menggandrungi wayang kulit, filmfilm di bioskop, dan cerita silat. Ketika ia pindah dari Yogyakarta ke Magelang,
yakni memasuki usia remaja, ia mulai serius memasuki dua macam dunia bacaan:
pikiran sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Prancis, dan Rusia. Di
Magelang, ia mulai membaca tulisan-tulisan ahli-ahli teori sosial Eropa yang
terkemuka. Di masa remajanya, Gus Dur juga sudah mulai memahami tulisantulisan Plato dan Aristoteles, Das Kapital oleh Marx, dan What is to be done (Apa
yang Harus Dikerjakan) oleh Lenin. Gus Dur juga banyak tertarik pada ide Lenin
tentang keterlibatan sosial secara radikal seperti dalam Infantile Communism
(Kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Red Book-Mao
(Kutipan Kata-Kata Ketua Mao). Tetapi, dari apa yang dibacanya bukan politik
dan filsafat yang menarik perhatiannya, melainkan bagaimana mempunyai sifat
yang manusiawi.20
19
Barton, Biografi Gus Dur, h. 49-50.
20
Barton, Biografi Gus Dur, h. 51-54.
Walaupun Gus Dur memiliki ketertarikan akan ide-ide baru dan minat
yang besar akan teori sosial Barat liberal juga ide-ide menarik dalam pikiran kaum
Marxis, ia tetap merasa terganggu dengan antagonisme Marxisme dengan agama.
Gus Dur berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi
masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. Maka, Gus Dur
mulai membaca karya-karya Sayyid Qutb, Sa‘id Ramadan, Hasan al-Banna serta
ide-ide di balik organisasi Islam terkemuka di dunia Arab, seperti Ikhwanul
Muslimin, dengan harapan dapat memperoleh visi politik yang komprehensif dan
padu.21
Tahun 1963 sampai dengan 1971, Gus Dur menghabiskan waktunya di
luar negeri. Kota pertama yang menjadi tempat pembelajarannya yang pertama
adalah Kairo. Di sana, Gus Dur menempuh studinya di Al-Azhar. Akan tetapi,
studi formal Gus Dur mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan metode
perkuliahan yang dirasakannya membosankan membuatnya jarang masuk kelas,
hal ini mempengaruhi nilai-nilainya. Karena prestasinya yang tidak baik di AlAzhar, Gus Dur kembali menerima beasiswa untuk studinya di Baghdad. Di sini
menjadi tempat berkembangnya intelektual Gus Dur secara mantap. Universitas
Baghdad telah menjadi lingkungan yang membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai
cendikiawan.22
Pertengahan tahun 1970-an, Gus Dur menyelesaikan studi empat
tahunnya di Universitas Baghdad dan pindah ke Eropa. Karena ijazah dari
21
Barton, Biografi Gus Dur, h. 54-55.
22
Barton, Biografi Gus Dur, h. 83-99.
Universitas Baghdad hampir tidak memperoleh pengakuan di Eropa, maka Gus
Dur menghabiskan waktunya di Eropa tanpa menjalankan studi formal dan
kembali ke Jawa, tahun 1971.23
Gus Dur yang asli orang Jawa memang berwatak kalem. Di samping itu,
Gus Dur punya kebiasaan mendengarkan musik klasik Beethoven, yang mungkin
di kalangan para kiai termasuk hobi yang nyeleneh. Dalam segi perjuangan, Gus
Dur menggunakan jalan kultural dengan semangat membumikan nilai-nilai Islam,
karena dalam pandangan pemikirannya yang pokok untuk ditanamkan bukanlah
simbol-simbol Islam melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam itu
sendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika partai yang dideklarasikannya tidak
berasaskan Islam melainkan Pancasila, karena Pancasila merupakan cerminan dari
nilai-nilai keislaman.24
B. Latar Belakang dan Aktivitas Sosial Politik
Sejak aktif sebagai mahasiswa di luar negeri, Gus Dur mulai aktif dalam
aktifitas sosial dan politik. Sebagaimana diketahui bahwa Gus Dur sejak masa
kecilnya adalah seorang anak yang hidup dalam sebuah lingkungan sosial religius
sekaligus lingkungan sosial politik. Aktifitas sosial politik kakek dan ayahnya
mau tidak mau turut membentuk cakrawala berpikir Gus Dur, bahkan secara sadar
membentuk karakter serta menjadi fondasi bagi cita-cita Gus Dur di masa
mendatang.
23
Barton, Biografi Gus Dur, h. 106-107.
24
Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur, h. 54.
Di Kairo, walaupun Gus Dur gagal dalam pencapaian akademisinya,
akan tetapi, di sinilah Gus Dur mulai aktif mengasah jiwa sosialnya dalam
organisasi kemahasiswaan Indonesia di Kairo. Gus Dur menjadi Ketua
Perhimpunan Pelajar Indonesia, di mana organisasi ini berperan sebagai
penghubung para Mahasiswa yang belajar di Timur Tengah.25
Tahun 1964 di Kairo, Gus Dur mulai menulis secara teratur untuk
Majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia, sebagaimana juga ia menulis untuk
majalah-majalah seperti Horison dan Budaya Jaya ketika ia masih di Jember.26
Gus Dur juga secara teratur menyampaikan pidato dalam pertemuanpertemuan mahasiswa Indonesia. Topik-topik yang disenanginya adalah politik
Indonesia, masa depan Indonesia, serta Islam dan modernitas. Selama di Kairo,
Gus Dur merasa ragu mengenai NU, ia merasa was-was mengenai pemikiran
terbatas banyak ulama NU. Ia juga merasa khawatir ketika melihat tanda-tanda
bahwa masyarakat Indonesia berangsur-angsur terbelah menjadi dua. Presiden
Soekarno makin beralih ke kiri dan bersatu dengan Partai Komunis Indonesia,
sedangkan unsur-unsur konservatif Indonesia, termasuk NU, makin bergerak ke
kanan.
Tahun 1965, ketegangan antara kaum kiri dan kaum kanan di Indonesia
memuncak. Bertepatan pada tahun ini, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar
Indonesia untuk Kairo. Tugas Gus Dur di kedutaan besar adalah menerjemahkan
laporan-laporan serta berita teks mengenai situasi di Jakarta. Selama masa
kekerasan di Indonesia ini, Gus Dur diminta untuk memberikan laporan tentang
25
Barton, Biografi Gus Dur, h. 87.
26
Barton, Biografi Gus Dur, h. 87.
mahasiswa Indonesia di Kairo, kalau-kalau di antara mereka dicurigai menganut
paham Marxis. Pada masa-masa ini pula, Gus Dur mulai bertanya-tanya mengenai
hubungan yang sumbang antara agama dan negara.
Pengalamannya di Mesir adalah salah satu alasan mengapa ia merasa
putus asa bahwa masyarakat muslim akan berhasil menghindari polarisasi dan
ekstrimisme. Karena hal inilah, Gus Dur mengikuti dengan penuh minat
bagaimana Mesir sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid Qutb. Gus
Dur telah membaca karya-karya pemikir Islam seperti Hasan al-Banna, Ali
Syari‘ati, Sayyid Qutb dan penulis Islam lainnya, dan akhirnya ia berkesimpulan
bahwa pemikiran Islam bersifat ekstrimis dan naif. Bagi Gus Dur, para pemikirpemikir Islam ini kurang memiliki sikap terbuka terhadap kebenaran yang berasal
dari sumber-sumber lain yang tidak mereka izinkan. Baginya Islamisme seperti
juga Komunisme gagal memberikan jawaban yang lengkap dan manusiawi
terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, terlepas dari ketulusan
pendukungnya.27
Tahun 1971, Gus Dur kembali ke tanah air. Kepulangannya saat itu
cukup membuat dirinya tersentak. Gus Dur dikejutkan oleh tingkat kemiskinan
yang dilihatnya dalam banyak komunitas kecil sekitar pesantren-pesantren NU.
Bertepatan dengan tahun kepulangannya ke Indonesia tersebut, Indonesia sedang
menyelenggarakan Pemilu 1971. Sebagaimana diketahui sejak 1967 Soeharto
telah bergerak untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan melakukan
serangkaian perubahan kelembagaan. Golkar memiliki sumber daya yang besar
27
Barton, Biografi Gus Dur, h. 90-95.
yang dapat memaksa para pemilih untuk mendukung mereka. Golkar juga dibantu
oleh adanya jaringan pengamatan dan kendali yang dilakukan pihak militer secara
berjenjang. Jaringan ini memberikan gambaran mengenai birokrasi sipil dari
tingkat desa ke atas dan beroperasi seperti badan pengamat lingkungan fantastik.28
Atas permintaan kakeknya, Kiai Bisri Syansuri, Gus Dur menjadi
anggota Dewan Syuriah NU. Pada mulanya Gus Dur enggan mengikuti kemauan
kakeknya tersebut, akan tetapi ibunya Gus Dur mendorong Gus Dur untuk
memenuhi panggilan tersebut. Saat Gus Dur mulai menapakkan langkahnya
dalam dunia NU, kakeknya (Kiai Bisri Syansuri) saat itu tengah menjabat sebagai
Ketua Dewan Syuriah atau Ra’is ‘Aam. Pengalaman menjadi anggota Dewan
Syuriah membuat Gus Dur melihat lebih jelas cakupan dan sifat masalah-masalah
yang dihadapi oleh NU dan juga memperkokoh reputasinya sebagai pemimpin
muda yang penuh harapan.29
Sejak Muktamar Situbondo 1984, ia menjadi Ketua Umum PBNU hingga
tahun 1999. Tulisannya tersebar di berbagai media massa, aktif mengikuti seminar
di dalam dan luar negeri. Selain menjadi pimpinan ormas Islam terbesar di
Indonesia, Gus Dur juga terkenal sebagai Ketua Pokja Forum Demokrasi. Ia
dikenal sebagai tokoh pemikir Islam yang oleh banyak pengamat digolongkan
sebagai tokoh neo-modernis.30
Naiknya Gus Dur bersama dengan Ahmad Shiddiq adalah akibat adanya
kontroversi dalam tubuh NU, serta sebagai usaha untuk mereformasi NU yang
28
29
30
Barton, Biografi Gus Dur, h. 109-113.
Barton, Biografi Gus Dur, h. 121-122.
Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur, h. 53-54.
dirasakan semenjak kepemimpinan Idham Khalid telah jauh dari tujuan utama
organisasi NU. Idham Khalid dianggap tidak dapat mengaktualisasikan NU
sebagai sebuah organisasi keagamaan yang dijalankan oleh ulama dan untuk
ulama. Idham Khalid juga dinilai enggan untuk melawan marjinalisasi terhadap
NU dalam tubuh PPP, sehingga hal ini membuat marah banyak ulama.
Berdasarkan keadaan NU tersebut, Gus Dur, sebagai Ketua yang baru,
memandang penting bagi NU untuk memisahkan diri dari PPP karena dua alasan
yang saling berhubungan. Pertama, Gus Dur merasa bahwa mengingat perlakuan
yang diterima oleh NU dari rezim yang berkuasa seperti terlihat dari apa yang
terjadi
dalam
PPP
dan
tekad
pemerintah
untuk
menghalangi
semua
pembangkangan politik, tak ada gunanya bagi NU untuk memfokuskan diri pada
kegiatan-kegiatan civil society. Kedua, Gus Dur yakin bahwa tidaklah sehat bila
perhimpunan agama mempunyai hubungan langsung dengan partai politik. Hal ini
bukanlah disebabkan Islam (agama lainnya di Indonesia) tidak boleh mencoba
mempengaruhi perkembangan politik, tetapi keterlibatan langsung badan-badan
keagamaan dalam politik partai akan membatasi kebebasan beragama para
anggota dan mendorong sektarianisme dalam politik.31
Kebijakan Gus Dur tersebut di atas kemudian dikenal dengan “kembali
ke Khittah 1926.” Konsekuensi logis dari Khittah 1926 adalah, warga NU tidak
punya hubungan istimewa atau hubungan famili dengan partai politik tertentu,
yang mana saja. Sejak itu, Gus Dur menjaga jarak dengan pemerintah, bahkan
Gus Dur lebih dari itu memperlihatkan sikap yang keras dan seringkali
31
Barton, Biografi Gus Dur, h. 167.
melemparkan kritikan tajam kepada pemerintahan Soeharto. Sampai-sampai,
tanpa segan-segan ia menyebut Soeharto sebagai “orang yang bodoh” dalam
wawancaranya dengan Adam Scwartz, penulis buku A Nation in Waiting,
Indonesia in the 1990’s. Pada masa ini pula, Gus Dur menggandeng Megawati
Soekarno Putri, Ketua Umum PDI, yang seringkali mendapatkan tekanan dari
pemerintahan Soeharto.
Gus Dur sebenarnya lebih dikenal sebagai budayawan ketimbang
agamawan atau kiai. Namun, atas restu K.H. As‘ad Syamsul Arifin, maka Gus
Dur lolos menjadi Ketua Umum. Selama menjabat sebagai Ketua Umum NU,
aktivitas sosial politik Gus Dur banyak yang mengundang polemik di kalangan
NU sendiri. Kiai As‘ad yang pada mulanya memberikan restu kepada Gus Dur
untuk menduduki kursi ketua umum, lima tahun kemudian mencoba untuk
menjegal langkah Gus Dur untuk terpilih kembali pada Muktamar NU ke-28 di
Krapyak, Yogyakarta. Saat itu, Kiai As‘ad menyebutnya “imam yang sudah
kentut,” sehingga tidak boleh lagi dimakmumi. Hal ini dikarenakan, Kiai As‘ad
tidak menyukai ide “pribumisasi Islam” yang dilontarkan Gus Dur di berbagai
kesempatan. Antara lain berupa penggantian Assalamu‘alaikum dengan “selamat
pagi atau apa kabar,” yang mana hal ini merupakan kesalahpahaman belaka. Kiai
As‘ad juga tidak suka atas ulah Gus Dur yang membeberkan “kemiskinan” umat
Islam dalam pidatonya di hadapan Sidang Raya Persekutuan Gereja-Gereja
Indonesia, di Surabaya, Oktober 1989. Karena hal ini, Kiai As‘ad menjuluki Gus
Dur sebagai “Ketua Ketoprak.” Tetapi Gus Dur dengan kepiawaiannya berpolitik
mampu untuk membuat muktamirin untuk memilihnya kembali menjadi Ketua
NU. Karena hal ini, Kiai As‘ad pun mewujudkan janjinya untuk mengasingkan
diri dari komunitas NU.
Gus Dur juga sempat memicu polemik di kalangan NU ketika ia
menandatangani surat permohonan bantuan dana kepada Yayasan Dana Bhakti
Kesejahteraan Sosial (YDBKS), pengelola Sumbangan Dana Sosial Berhadiah
(SDSB). Wakil Ra’is ‘Aam Syuriah saat itu, K.H. Ali Yafie, mengancam akan
undur diri jika Gus Dur dan Sekretaris Jenderal PBNU Gaffar Rahman tidak
dipecat. Tetapi, setelah Gus Dur mengaku khilaf dan minta maaf, Ali Yafie
mengalah. Gus Dur hanya diberi peringatan keras, sedangkan Gaffar dipecat.
Gus Dur juga pernah dituduh sebagai agen Zionisme. Hal ini disebabkan,
pada tahun 1994, Gus Dur mengunjungi Israel. Tetapi warga NU tidak
mempermasalahkan langkahnya. Perjalanan Gus Dur itu dianggap urusan
“diplomatis” dan pribadi. Sebaliknya, kalangan Islam di luar NU meradang
menyaksikan kunjungan diplomatis Gus Dur ke negeri Yahudi itu. Bahkan, karena
kunjungan itu pula, Gus Dur dicap anti umat Islam. Cap anti Islam sebenarnya
sudah melekat pada Gus Dur sejak dirinya mendorong NU menerima konsep Asas
Tunggal Pancasila. Sedangkan pada saat konsep itu diluncurkan pada 1983,
hampir semua ormas Islam menentangnya.
Selain itu, Gus Dur juga dikecam habis-habisan oleh banyak kelompok
Islam karena persahabatannya dengan Menhankam/Pangab saat itu, Jenderal L.B.
Moerdani. Cap pengkhianat juga pernah distempelkan kepada Gus Dur, terutama
ketika Gus Dur berakrab-akraban dengan Golkar. Terlebih lagi ketika Gus Dur
bersedia menjadi anggota MPR dari Fraksi Karya Pembangunan untuk periode
1987-1992.
Gus Dur juga menunjukkan sikap anti “gerakan kanan” dengan menolak
bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990.
Pada saat itu, Gus Dur mencurigai ICMI sebagai kelompok sektarian yang berniat
membawa Indonesia menuju negara Islam. Di samping itu, Alasan Gus Dur atas
sikapnya itu berdasarkan anggapan bahwa banyak orang-orang yang terlibat di
dalamnya hanya sekedar untuk mencari-cari kedudukan, bukan untuk kepentingan
bangsa, “Saya tidak masuk ICMI justru karena saya tidak mau ikut berebut
pangkat, sebab, di sana banyak orang yang begitu. Saya nggak mau ikut-ikutan.
Apapun pendapat yang saya kemukakan itukan kapasitas pribadi.”32 Lalu Gus Dur
menghadang ICMI dengan Forum Demokrasi (Fordem), manuver terakhir Gus
Dur ini nyaris membuat Gus Dur celaka dalam Muktamar NU ke-30 di Cipasung,
Jawa Barat, tahun 1994. Saat itu, kursi ketua nyaris lepas ke tangan Abu Hasan
yang meraih 46% suara.
Menjelang Pemilu 1997, Gus Dur ‘menggandeng’ Mbak Tutut tanpa
meninggalkan Mbak Mega. Kedekatan Gus Dur dengan Mbak Tutut tercermin
pada kesediaan Gus Dur mengantar Tutut mengunjungi pesantren-pesantren NU.
Menurut Gus Dur, keinginan untuk mengajak Mbak Tutut ke pesantren-pesantren
NU sudah ada dalam benak pikirannya jauh sebelum menjelang pelaksanaan
Pemilu 1997.
Gus Dur selama ini mendapat kritik-kritik dari berbagai pihak yang
mengatakan bahwa sikapnya tidak fair karena terlalu condong ke Megawati.
32
Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur, h. 299.
Kemudian, untuk bersikap fair dia memberikan kesempatan yang sama terhadap
Tutut untuk bertatap muka dengan warga NU, antara lain, dengan cara
mengunjungi pesantren-pesantren NU. Di samping itu, Gus Dur berpendapat
bahwa Tutut adalah merupakan tokoh masa depan yang harus dikenal oleh warga
NU.33
Kemudian, pasca-Reformasi 1998 dengan ditandai runtuhnya kekuasaan
Orde Baru, pada saat yang bersamaan, Gus Dur masih menjabat sebagai Ketua
Umum PBNU, mendapat masukan dan dorongan yang kuat dari warga NU untuk
ikut serta ambil bagian dalam pemerintahan guna mengisi dan sekaligus
mengawal agenda-agenda reformasi dengan membentuk sebuah Partai Politik.
Atas dorongan dan keinginan yang kuat dari warga Nahdiyyin itulah kemudian ia
merestui lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai resmi warga
NU. Walaupun secara formal organisatoris, Matori Abdul Djalil adalah Ketua
Umum PKB, namun begitu, tokoh utama yang memainkan peran sangat penting
dan signifikan dalam seluruh proses gerak percaturan politik PKB di pentas
nasional adalah Gus Dur.
Pemilu 1999, yang dipandang
sebagai pemilu paling demokratis
dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, menghantarkan Gus Dur pada kursi
kekuasaan melalui sidang MPR, walaupun kekuasaannya tidak sampai akhir masa
jabatan sebagaimana semestinya. Pada Pemilu 2004, Gus Dur kembali dicalonkan
sebagai Capres dari PKB, akan tetapi Gus Dur harus mengalami kegagalan
mengikuti pencalonannya setelah ia ditolak oleh KPU karena alasan kesehatan.
33
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme dan Politik Kiai (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999),
Cet. I, h. 51.
Dan terakhir, ia mendeklarasikan diri sebagai Capres 2009, namun lagi-lagi
keinginan itu harus kembali surut dengan munculnya kasus dualisme
kepengurusan di tubuh PKB. Walaupun belakangan prestasi politiknya tidak
begitu memuaskan, paling tidak Gus Dur telah menunjukkan kepiawaianya dalam
berpolitik.
Dengan segala sepak terjangnya sering dianggap “nyeleneh” dan
kontroversial
itu, Gus Dur benar-benar menjadi sosok kiai yang mewarnai
panggung politik sekaligus langit intelektual bebas di tanah air. Selama ini, ia
memang telah memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap negara. Tidak
heran jika kemudian ia dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial-politik
paling independen di Indonesia.
C. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid, sejak 1980-an, merupakan tokoh yang paling
populer di kalangan NU, Indonesia, bahkan dunia internasional karena
pertumbuhan
dan
perkembangan
pemikirannya
yang
unik
dan
sering
kontroversial. Pemikiran politik Gus Dur mulai berkembang pada awal 1980-an
yang bukan hanya disebabkan oleh faktor bacaan ilmu politiknya yang cukup luas,
melainkan juga pergaulannya yang baik dan fleksibel dengan berbagai kalangan
pejabat negara maupun para aktivis pergerakan.
Kedekatannya dengan pemerintah dan kelompok-kelompok agama
minoritas semakin menguatkan citra Gus Dur sebagai tokoh Islam yang paling
akomodatif terhadap negara disamping menguatnya citra pluralisme dan
humanisme yang menghantarkan Gus Dur mewacanakan akan pentingnya
terselenggara kehidupan negara yang demokratis serta menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia.
Islam dan Wacana Negara
Salah satu persoalan krusial yang telah cukup lama memancing debat dan
kontroversi baik di dalam literatur-literatur pemikiran keislaman sendiri maupun
dalam kajian politik mengenai Islam dalam dinamika kekuasaan adalah yang
berkaitan dengan hubungan antara agama dan politik. Paling tidak dalam isu
politik Islam Indonesia terdapat dua kelompok, walaupun dalam kenyataannya
nanti akan berkembang varian-varian yang beragam dan seringkali berlawanan.
Dua kelompok itu adalah kelompok simbolik dan kelompok substantif. Kalangan
Islam politik simbolik meyakini bahwa Islam harus diwujudkan secara simbolik
dalam politik dengan melegalformalkan Islam sebagai sebuah negara. Golongan
ini berpendapat bahwa Islam adalah agama yang integratif, Islam tidak mengenal
pemisahan antara agama dan negara, antara dunia dan akhirat dan pemisahan
dalam bentuk apa pun. Sedangkan kelompok substantif adalah golongan yang
menolak seluruh bentuk perjuangan yang hendak melegalformalkan Islam dalam
politik. Bagi kelompok ini, usaha simbolisasi syari'at akan mengancam integrasi
dan sekaligus mencemarkan makna hakiki agama. Pencampuran antara agama
dengan politik, tidak saja keliru dan salah tetapi juga agama hanya sekedar
dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik kaum elit.34
34
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khalifah,
Masyarakat Madani dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 199-200.
Peta persoalan semacam ini, oleh kalangan intelektual muslim, coba
diamati, dikaji, dan disikapi sesuai dengan perspektif keislaman mereka masingmasing. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu intelektual muslim
yang juga terus berupaya mencari pijakan-pijakan teologis; Bagaimana
sesunguhnya Islam bisa “dibumikan” sebagai ajaran moral yang mampu
memberikan makna di dalam proses perubahan sosial-politik yang tengah
berlangsung dalam dinamika politik bangsa. Salah satu isu pokok yang menjadi
wacana (discourse) yang menarik adalah, bagaimana kaitan Islam dengan negara;
dan bagaimana konsep Islam tentang negara?
Dalam pandangan Gus Dur, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di
atas, mengatakan bahwa “Dalam Islam, Negara itu adalah hukum, al-hukmu, dan
sama sekali tidak memiliki bentuk negara.” Bagi Gus Dur tidak ada kewajiban
bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah “Negara Islam.” Tetapi, ada perintah
dalam Alquran untuk membentuk suatu masyarakat yang mengacu pada nilai-nilai
keutamaan (viruies) yang menjalankan amar ma‘rūf (membangun kebaikan) dan
nahī munkar (mencegah keburukan), untuk menegakkan iman dan keadilan di
muka bumi. Karena itu, Islam tidak boleh direduksi menjadi negara Islam,
melainkan dikembalikan sebagai agama. Yang penting bagi Islam adalah etika
kemasyarakatan dan komunitas, alasannya, ialah karena Islam tidak mengenal
konsep pemerintah yang difenitif. Dalam persoalan pokok, misalnya, suksesi
kekuasaan, ternyata Islam tidak konsinten; terkadang memakai ikhtilaf, bai'at dan
terkadang ahl halli wal ‘aqdi.35
35
Pahrurroji M. Bulkhori, Membebaskan Agama dari Negara: Pemikiran Abdurrahman
“Kita tidak usah mencari-cari (negara yang ideal) karena memang
tidak ada yang ideal. Islam tidak menyebutkan tentang soal negara ideal,
dan juga tidak mengharuskan. Allah meridhai Islam sebagai agamamu,
bukan sebagai sistem pemerintahan. Islam menjadi besar kalau ia tidak
menampakkan wajah politik melainkan mengutamakan wajah moralnya.
Atau dengan kata lain Islam mengutamakan politik sebagai institusi.
Saya lebih melihat kepada pencapaian cita-cita Islam yang sebenarnya,
yakni keadilan dan kemakmuran; kesamaan di antara semua umat
manusia. Kalau kita masih berpikiran bahwa Islam harus lebih dari yang
lain, itu tidaklah islami. Justru bertentangan dengan Islam.”36
Bahkan lebih jauh lagi Gus Dur menyatakan, para teoritas politik besar
dalam Islam –dengan merujuk pada pandangan Munawir Syadzali– bukanlah
mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang “Islami,” melainkan justru
menekankan penggunaan bentuk kenegaraan yang sudah ada. Selama kaum
muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh,
maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran. Atas dasar
kerangka berpikir inilah, dibawah aksi politik yang dimotori Gus Dur dengan
mendapat “persetujuan” hierarkial keulamaan dalam organisasi yang dipimpinnya,
tak heran NU secara sadar menerima Asas Tunggal Pancasila. Gus Dur sendiri
berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk “negara
damai” (dār al-sulh) yang harus dipertahankan, karena umat Islam masih bisa
melaksanakan syari'ah –dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat–
sekalipun hal itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undangundang negara. Bila etika masyarakat Islam bisa dijalankan, di dalam
pemerintahan yang beriedologi Pancasila, maka tidak ada alasan lain lagi bagi
umat Islam selain mempertahankan sebagai kewajiban agama. Dari sanalah,
Wahid dan 'Ali 'Abd ar-Raziq (Bantul: Pondok Edukasi, 2003), h. 113.
36
Abdurrahman Wahid, Tabayyun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi
Kultural (Yogyakarta: LkiS, 1998), h. 235.
menurut Gus Dur, timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah. Dan atas
dasar itulah Gus Dur menerima sepenuhnya Pancasila sebagai dasar negara.37
“Negara kita mengakui legitimasi peranan agama dalam kehidupan
masyarakat, kalau perlu melalui jalur pemerintahan. Secara eksplisit
Pancasila tidak menyebutkan landasan keagamaan dalam kehidupan
bernegara, tetapi secara implisit ia mendukung pemerintahan yang
menunjang kehidupan beragama.”38
F. Demokrasi, Civil Society, dan Pluralisme
Dalam konteks kebangsaan, persoalan mendesak yang
harus segera
dijawab adalah bagaimana melakukan upaya untuk mencari bentuk kenegaraan
yang lebih pasti akan memberikan tempat kepada agama tetapi tidak mematikan
yang lain. Pada umumnya jawaban terhadap persoalan ini sangat vulgar. Namun
dalam perjalanan terakhir telah tercapai bentuk yang sangat baik, yaitu proses
demokratisasi. Isu demokratisasi inilah yang dapat mempersatukan baragam arah
dan
kecenderungan
kekuatan-kekuatan
bangsa.
Ia
dapat
mengubah
keterceraiberaian arah masing-masing kelompok menjadi sebuah kekuatan menuju
arah kedewasaan, kemajuan, dan integrasi bangsa.39
Dalam pandangan Gus Dur, Demokrasi adalah keadaan tertentu yang
memiliki beberapa ciri, antara lain harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan
memberikan perlakuan yang sama pada semua warga negara di hadapan undangundang. Ini harus ditunjang oleh kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir dan
37
Lihat kata pengantar Abdurrahman Wahid dalam buku Einar Martahan Sitompul, NU
dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 10.
38
39
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 94.
Abdurrahman Wahid, “NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang”, dalam M.
Imam Aziz, dkk, ed., Agama, Demokrasi dan Keadilan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama,1993), h. 224-225.
sikap menghormati pluralitas pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan
memelihara dan melindungi hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Jadi, semua hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu
kepentingan bersama sebagai bangsa dan negara.40
Dengan demikian, menurut Gus Dur, demokrasi yang dimaksud bukan
demokrasi proporsional yang melihat, misalnya, karena orang Islam mayoritas,
maka kursi untuk orang Islam harus mayoritas. Tetapi betul-betul demokrasi yang
berdasarkan pada prinsip kesamaan (egalitarianisme), rule of law (supremasi
hukum), accountability (pertanggungjawaban), dan lain sebagainya.41
Dalam studi kontemporer tentang demokrasi, faktor penunjang akan
tumbuh dan berkembangnya demokrasi adalah ada-tidaknya “civil society”. Civil
society sendiri memiliki peristilahan yang beragam seperti masyarakat madani,
masyarakat warga, masyarakat sipil dan masyarakat kewargaan. Secara umum,
civil society diartikan sebagai pengelompokan masyarakat yang mandiri,
mematuhi aturan dan memiliki daya tawar ketika berhadapan dengan negara.
Menurut Gus Dur, Civil Society sebenarnya telah terbentuk di kalangan
masyrakat Indonesia, yaitu dengan lahirnya paguyuban-paguyuban yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Khususnya di kalangan umat Islam, secara embrional
kelahiran Muhammadiyah, Syarikat Islam, NU, dan berbagai pergerakan Islam di
tingkat lokal itu adalah bentuk civil society yang cair, yakni memperkuat posisi
rakyat terhadap negara. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara
40
Abdurrahman Wahid, “Demokrasi dan Demokratisasi Indonesia”, diakses 31 Oktober
2008 dari http://www.GusDur.Net.
41
Tim INCReS, Beyond The Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur
(Bandung: INCReS dan PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 134.
negara dan masyarakat (civil society). Karena dalam pandangan Gus Dur, posisi
imbang itu yang dapat mencegah terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, dan
penyalahgunaan wewenang. Dalam pengertian demikian, civil society mempunyai
relasi yang saling melengkapi dengan demokrasi. Sebab, civil society hanya bisa
berkembang dalam iklim negara yang demokratis.42
Di samping itu, dalam kehidupan yang demokratis perlu adanya
kesadaran tentang pentingnya Pluralisme yang didasarkan pada pandangan dan
kenyataan bahwa manusia lahir dan hadir dalam suatu tatanan dunia yang sebut
dengan “Negara” dalam kondisi yang berbeda-beda, baik itu beda suku, budaya,
agama, maupun warna kulit. Hanya saja dalam wacana pluralisme, perbedaan
antar komunitas tersebut bukan untuk saling merugikan, melainkan agar
perbedaan tersebut bisa menjadi potensi untuk merealisasikan kebajikan.
Kenyataan akan akan adanya perbedaan suku, budaya, agama, ras, dan golongan
tersebut justru harus dikemas dalam bingkai saling menghormati, menghargai, dan
saling menolong guna terciptanya masyarakat yang aman dan sejahtera.
Islam sendiri memberikan jaminan dan toleransinya dalam memelihara
hubungan bersama dengan meletakkan nilai-nilai universal, seperti prinsip-prinsip
keadilan, kebersamaan, dan kejujuran dalam upaya mempertahankan kehidupan
bersama dengan tidak mengingkari adanya perbedaan. Dalam wawasan demikian,
tata hubungan dalam ikatan kebangsaan dan kenegaraan harus meliputi hal-hal
yang bersifat kemasyarakatan, dimana sebagai sesama warga negara memiliki
kesamaan derajat dan tanggung jawab untuk mengupayakan kesejahteraan dalam
42
1997.
Gus Dur, “NU tidak Menghendaki Status Quo,” dalam Kompas, Senin, 24 November
kehidupan bersama tanpa memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa, dan
jenis kelamin. Konsekuensinya, menurut Gus Dur, politik umat Islam di indonesia
pun
terikat
dengan
komitmen
tersebut.
Segala
bentuk
eksklusivisme,
sektarianisme, dan privilege-privilege politik harus dijauhi. Termasuk ide
pembentukan masyarakat dan negara Islam, karena tuntutan-tuntutan semacam
ini jelas berlawanan dengan asas kesetaraan (egalitarianism) bagi warga negara.43
Menurut Gus Dur, umat Islam Indonesia, sebagai rakyat yang beragama
Islam, sebetulnya sudah lama hidup dalam tradisi yang sejalan dengan nilai-nilai
pluralisme. Tapi para pemimpinnya tidak bisa menangkap isyarat itu, sehingga
yang dilakukan justru membuat isu yang sebetulnya berwawasan sempit, tidak
melebarkan wawasan umat Islam. Karena itu wajar jika sementara orang
menyatakan bahwa pertumbuhan Islam kini menuju kepada “kelompok” yang
sektarian. Menjadi sesuatu yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan
orang lain. Isu semacam pri-nonpri maupun kristenisasi, sebenarnya muncul dari
semangat sektarianisme. Padahal mereka hidup dalam pluralisme. Pluralisme akan
terjaga jika ada demokrasi. Bangsa ini kaya dan kuat karena menjaga jiwa
pluralisme.44
Dengan demikian, bagi Gus Dur, bentuk negara Indonesia yang
demokratis dengan berasaskan Pancasila adalah suatu bentuk negara yang final.
Karena ideologi Pancasila sejalan dengan nilai-nilai universalisme Islam dengan
memberikan lima jaminan dasar bagi semua masyarakat Indonesia, baik
43
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society (Jakarta:
Erlangga, 2000), h. 164.
44
Abdurrahman Wahid, “NU, Pluralisme, dan Demokratisasi Jangka Panjang”, h. 225-226.
perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan itu adalah; keselamatan fisik
masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keyakinan
agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, keselamatan
keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar
prosedur hukum, dan keselamatan profesi (Abdurrahman Wahid, 1998)
Tidak heran jika kemudian dalam aksi-aksi politiknya Gus Dur
terkadang bersebrangan tidak hanya dengan para aktivis elit dan politisi Islam
yang menginginkan agama dijadikan sebagai institusi formal kenegaraan, bahkan
dengan tokoh-tokoh di kalangan NU sendiri pun terkadang ia dianggap sebagai
musuh dan rival politik. Hal ini terbukti ketika Gus Dur mendirikan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bersifat terbuka dengan berasaskan Pancasila,
banyak kalangan tokoh NU yang menolak PKB dan mendirikan partai lain yang
berasaskan Islam. Akan tetapi, terlepas dari itu, konsistensi pemikiran semacam
inilah yang menempatkan Gus Dur sebagai tokoh Demokrasi dan Bapak
Pluralisme di negeri ini.
BAB III
MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Setelah lebih dari tiga dasawarsa lamanya, pemerintahan Orde Baru di
bawah pimpinan Presiden Soeharto, sebuah pemerintahan yang berjalan dengan
melaksanakan tatanan kehidupan kenegaraan di mana negara memiliki dominasi
peran yang sangat kuat dan mampu men-subordinatkan kekuatan rakyat dan
berbagai macam elemen yang ada di dalamnya, begitu pula termasuk partai
politik, akhirnya jatuh tepat pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan kuat arus
Reformasi.45
Arus Reformasi yang bergerak kuat dan berhasil mendesak mundur
Presiden Soeharto dari kekuasaannya adalah merupakan titik terang terciptanya
negara Indonesia yang lebih demokratis. Terbukanya ‘kran’ demokrasi yang telah
lama mampat, kebebasan masyarakat yang telah lama tertutup rapat dan pulihnya
bangunan civil society yang telah luluh-lantak adalah merupakan harapan dan citacita segenap rakyat Indonesia yang telah lama terkubur. Dengan rubuhnya
kekuasaan otoritarian Soeharto dan telah terbukanya ‘kran’ demokrasi dan
kebebasan, termasuk kebebasan untuk membentuk partai politik, maka pada saat
yang hampir bersamaan lahirlah puluhan partai politik baru dengan flatform yang
45
Mohammad Tohadi dan Zainal Abidin, Orientasi Pemenangan Pemilu Partai
Kebangkitan Bangsa (Jakarta: LPP-DPP PKB, 2002), h. 48.
berbeda-beda, sebagai bentuk ekspresi politik rakyat Indonesia, yang muncul
bagaikan jamur di musim hujan.
Salah satu organisasi Islam terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU),
yang telah lama mengubur hasrat politiknya sejak NU menyatakan tidak lagi
terikat secara organisatoris dengan organisasi politik manapun dalam Muktamar
ke-27 di Situbondo dengan mendeklarasikan diri kembali ke Khittah 1926,
kembali tergerak nafsu politiknya untuk ikut serta ambil bagian dalam
memperbaiki bangsa yang telah lama terpuruk dalam kubangan politik Orde Baru
selama hampir 32 tahun lamanya.
Munculnya kembali gairah euforia politik warga Nahdhiyyin ini tentu
bukanlah sekedar ingin ikut-ikutan atau tanpa sadar. Secara internal organisasi,
keinginan warga NU tersebut pada umumnya didasari oleh tiga hal. Pertama,
bermotif berdakwah dalam rangka menjalankan amar ma'rūf nahī munkar yang
sudah lama menjadi doktrin ajaran politik NU. Kedua, potensi sosiologis dan
historis dimana solidaritas dan emosionalitas ke-NU-an yang sangat potensial
untuk menjadi kekuatan politik. Dan ketiga, dalam sejarah, peran polik warga NU
selama hampir tiga dasawarsa termarjinalisasi dalam politik dan seolah tidak
habis-habisnya mendapat perlakuan yang tidak adil, baik dari negara maupun dari
kelompok Islam lainnya.46
Hingga tahun 1997, pemilu terakhir sebelum Reformasi, berarti sudah
tiga kali warga NU diberi kebebasan memilih, yaitu Pemilu 1987, 1992, dan 1997.
Karena, pemilu sebelumnya yakni Pemilu 1955 dan 1971 NU tampil langsung
46
168.
A. Efendi Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002), h.
menjadi salah satu peserta pemilu, dan pada Pemilu 1977 dan 1982, NU
menitipkan aspirasi politiknya pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP).47
Kini setelah kekuasaan rezim Soeharto tumbang dan gerakan Reformasi
diluncurkan, sehari setelah peristiwa bersejarah itu, Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) mulai dibanjiri usulan dari warga NU di seluruh pelosok tanah air.
Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam, dan usulan yang paling santer
terdengar adalah keinginan warga NU untuk segera mendirikan Partai Politik
sendiri sebagai wadah aspirasi politik masyarakat Nahdhiyyin. Keseriusan
masyarakat NU untuk terlibat secara politik praktis ini dibuktikan dengan
banyaknya usulan yang masuk ke kantong PBNU, ada yang mengusulkan Visi
dan Misi Parpol, AD/ART Parpol, nama Parpol bahkan sampai nama-nama
pengurus Parpol.
Mulanya, Gus Dur merasa prihatin bahwa kelompok-kelompok NU ingin
mendirikan Partai Politik NU, karena hal ini berarti akan menciderai komitmen
kembali ke khitah 1926 yang ia perjuangkan di muktamar Situbondo tahun 1984
dengan mengaitkan kembali NU dengan dunia politik partai. Namun menjelang
Juli, sikapnya mulai mengendur dan tampaknya hampir pasti akan ada semacam
partai NU, dengan atau tanpa restunya. Jika NU ingin memberikan kontribusi
yang serius pada perpolitikan negeri ini, maka hal itu harus disalurkan lewat satu
partai yang berbasiskan keanggotaan NU yang luas.48
47
Achmad Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur (Yogyakarta: Kutub, 2005), Cet. I, h.
48
Greg Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. IV, h. 310.
99.
Sepanjang bulan Juni, Gus Dur masih saja tidak yakin mengenai arah
yang harus ditempuhnya. Akan tetapi, ia merasa sangat khawatir bahwa jika
dalam kekosongan situasi setelah masa Soeharto, Golkar mempunyai posisi baik
untuk melakukan konsolidasi dan melaksanakan kampanye pemilu secara
profesional, tidak menutup kemungkinan Golkar akan keluar sebagai pemenang,
apalagi jika PPP bersedia untuk membentuk koalisi dengan Golkar. Secara
bersama-sama, kedua partai yang besar ini mungkin bisa mengumpulkan cukup
suara yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan, khususnya jika sebagian
dari banyak partai-partai Islam baru juga bergabung.49
Dari rasa kekhawatiran Gus Dur itu, maka pada akhirnya PBNU
mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU pada tanggal 3 Juni
1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi
tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh K.H. Ma‘ruf
Amin (Ra’is Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, K.H. M.
Dawam Anwar (Katib ‘Aam PBNU), Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil
Katib ‘Aam PBNU), H.M. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad
Bagja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan Organisatoris, Tim
Lima itu dibekali Surat Keputusan.50
Selanjutnya, untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima
dalam mewujudkan keinginan warga NU untuk membentuk partai politik sendiri,
maka dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen
49
50
Barton, Biografi Gus Dur, h. 312.
Ahmad Hakim Jaily dan Mohammad Tohadi, PKB dan Pemilu 2004 (Jakarta: Lembaga
Pemenangan Pemilu PKB, 2003), h. 4.
PBNU) dengan anggota H. Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma‘ruf,
Lc., Drs. H. Abdul Aziz, M.A., Drs. H. Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin
Hasan, H. Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar. Tim
Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam menginventarisasi dan merangkum
usulan yang ingin membentuk partai baru, dan membantu warga NU dalam
melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU.51
Setelah Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk
mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya pada tanggal 22 Juni 1998
yang kemudian disusul dengan mengadakan konsinyering di Cipanas untuk
merancang pembentukan parpol dengan menghasilkan lima rancangan, yaitu:
Pokok-pokok pikiran NU mengenai Reformasi Politik, Mabda’ Siyasiy, hubungan
Partai Politik dengan NU, AD/ART, dan naskah Deklarasi. Maka, tepat pada
tanggal 23 Juli 1998 dideklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di
kediaman K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ciganjur, Jakarta Selatan, dengan
terpilihnya Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz.
Dengan demikian, maka lahirlah secara resmi Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) sebagai wadah aspirasi politik warga NU pada khususnya dan seluruh
rakyat Indonesia pada umumnya, dengan berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.52 Hal ini kemudian dikokohkan
51
Jaily dan Tohadi, PKB dan Pemilu 2004, h. 4.
52
Lihat Anggaran Dasar (AD) PKB, Pasal 3
dalam prinsip perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa yakni pengabdian kepada
Allah SWT., menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan,
menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan
nilai-nilai Islam Ahlussunah Waljama‘ah.53
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dengan lambang “sembilan
bintang melingkari bola peta Indonesia” adalah merupakan bentuk komitmen
Partai dalam memperjuangkan idealismenya, yaitu menciptakan bangsa yang
memiliki kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kejujuran, kerakyatan, persamaan,
kesederhanaan, keseimbangan, dan persaudaraan di atas tanah air Indonesia.
Tulisan Nama Partai, bermakna identitas diri Partai yang siap
memperjuangkan aspirasi politik rakyat Indonesia yang memiliki kesamaan
kehendak menciptakan tatanan kehidupan yang demokratis. Sedangkan Bingkai
Segi Empat dengan garis ganda yang sejajar, melambangkan garis perjuangan
Partai yang berorientasi terhadap kehidupan duniawi dan ukhrawi, material dan
spiritual, lahir dan batin, secara seimbang dan sejajar. Arti Warna,
melambangkan; Putih berarti kesucian, ketulusan, dan kebenaran yang menjadi
etos perjuangan Partai; Hijau berarti melambangkan kemakmuran lahir dan batin
seluruh rakyat Indonesia yang kemudian menjadi tujuan perjuangan Partai;
Kuning bermakna kebangkitan bangsa yang menjadi nuansa pembaruan dan
berpijak kepada kemaslahatan umat manusia.
Berikutnya, setelah terbentuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
dengan segala atribut dan simbol serta susunan kepengurusan Partai yang telah
53
Lihat Anggaran Dasar (AD) PKB, Pasal 4
ditetapkan, bukan berarti warga NU sudah selesai dari persoalan. Kini, warga NU
kembali dihadapkan dengan beberapa persoalan baru. Dari soal siapakah yang
pantas untuk dicalonkan sebagai presiden dari Partai yang baru seumur jagung ini,
sampai pada soal perebutan dukungan.
Di sisi ketegangan antara PKB dan berbagai partai yang memperebutkan
dukungan anggota-anggota NU, misalnya Partai NU dan Partai Kebangkitan
Umat, terdapat juga ketegangan besar antara anggota-anggota PKB dan
penyokong-penyokong PPP. Banyak kiai NU tetap aktif di PPP lama setelah NU
secara resmi menarik diri dari Partai itu pada tahun 1994. Kebijakan NU di bawah
Gus Dur adalah membiarkan seseorang terlibat dalam parpol yang menjadi
pilihannya, dengan syarat bahwa mereka yang memegang jabatan dalam
kepengurusan NU tidak boleh secara bersamaan memegang jabatan dalam suatu
parpol. PKB didirikan dengan harapan bahwa banyak dari mereka yang
sebelumnya bergabung dengan PPP akan beralih ke Partai yang didirikan dengan
persetujuan PBNU. Salah satu contoh, adalah pindahnya Khofifah Indar
Parawangsa, seorang anggota DPR yang bersuara lantang dari fraksi PPP, ke PKB
setelah jatuhnya Soeharto dan memainkan peran penting di Partai ini.54
B. Visi, Misi, dan Struktur Kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa
1) Visi dan Misi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai terbuka dan hadir
dalam suatu bangsa yang pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama,
54
Barton, Biografi Gus Dur, h. 326.
dan ras, sangat menyadari bahwa tatanan kehidupan bangsa Indonesia harus
senantiasa berpijak pada nilai-nilai: ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Penerapan nilai-nilai Pancasila tersebut
dimanifestasikan oleh Partai Kebangkitan Bangsa dalam bentuk visi, misi, dan
garis perjuangan Partai
dalam rangka menciptakan tatanan politik yang
demokratis, bebas korupsi, berkeadilan, dan mensejahterakan kehidupan
rakyat.
Dalam rangka mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bangsa dan
Partai tersebut, Misi utama yang dijalankan Partai Kebangkitan Bangsa adalah
upaya menciptakan tatanan masyarakat beradab yang sejahtera lahir dan batin,
yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaannya, meliputi;
terpeliharanya jiwa raga; terpenuhinya kemerdekaan; terpenuhinya hak-hak
dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan; hak atas penghidupan atau
perlindungan pekerjaan; hak mendapatkan keselamatan dan bebas dari
penganiayaan (Hifdzu al-Nafs); terpeliharanya agama dan larangan adanya
pemaksaan agama (Hifdzu al-Dīn); terpeliharanya akal dan jaminan atas
kebebasan berekspresi serta berpendapat (Hifdzu al-‘Aql); terpeliharanya
keturunan; jaminan atas perlindungan masa depan generasi penerus (Hifdzu alNasl); dan terpeliharanya harta benda (Hifdzu al-Māl). Misi ini ditempuh
dengan pendekatan amar ma‘rūf Nahī Munkar, yakni menyerukan kebajikan
serta mencegah segala kemungkinan dan kenyataan yang mengandung
kemungkaran.
Penjabaran dari misi yang diemban, guna mencapai terwujudnya
masyarakat yang dicitakan tersebut, harus dicapai melalui keterlibatan
penetapan kebijakan publik. Jalur kekuasan menjadi amat penting ditempuh
dalam proses mempengaruhi pembuatan kebijakan publik melalui perjuangan
pemberdayaan terhadap masyarakat lemah, terpinggirkan dan tertindas,
memberikan rasa aman, tentram dan terlindungi terhadap kelompok
masyarakat minoritas dan membongkar sistem politik, ekonomi, hukum, dan
sosial budaya yang memasung kedaulatan rakyat. Bagi Partai Kebangkitan
Bangsa, upaya mengartikulasikan garis perjuangan politiknya dalam jalur
kekuasaan menjadi hal yang niscaya dan dapat dipertanggungjawabkan.55
2) Struktur Kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Struktur kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terdiri dari:
(1) Dewan Syura, (2) Dewan Tanfidz (Pasal 16 AD PKB).
Dewan Syura adalah pimpinan tertinggi Partai PKB, yang menjadi
rujukan utama kebijakan-kebijakan umum Partai. Sedangkan Dewan Tanfidz,
yakni pimpinan eksekutif Partai yang menjalankan kebijakan-kebijakan
strategis, mengelola organisasi dan program Partai (pasal 17 AD PKB).
Pasal di atas menunjukkan bahwa Dewan Syura adalah institusi
tertinggi di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa. Hal ini sesuai dengan Anggaran
Dasar PKB pasal 17 ayat 1 dan Anggaran Rumah Tangga pasal 20 ayat 1 yang
55
Lihat Mabda’ Siyasiy Partai Kebangkitan Bangsa.
menyebutkan bahwa Dewan Syura adalah pimpinan tertinggi Partai.
Dengan demikian, seluruh pengurus dan anggota Partai harus patuh
dan tunduk terhadap semua kebijakan dan keputusan Dewan Syura. Hal ini
tercantum dalam Anggaran Rumah Tangga pasal 9 ayat (3) dijelaskan bahwa,
“Anggota atau pengurus Partai harus tunduk kepada pimpinan struktur
organisasi Partai yang lebih tinggi dalam hal-hal yang tidak bertentangan
dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.”
Dewan Tanfidz, sebagai pimpinan eksekutif Partai adalah merupakan
perpanjangan tangan Dewan Syura yang harus menjalankan dan melaksanakan
AD dan ART, keputusan-keputusan Partai, dan kebijakan Dewan Syura. Hal
ini dijelaskan dalam ART PKB pasal 21 yang berbunyi, “Ketua umum Dewan
Tanfidz harus melaksanakan AD, ART, keputusan forum-forum musyawarah
Partai, dan kebijakan Dewan Syura.”
G. Karakteristik dan Arah Perjuangan Politik PKB
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah aspirasi dan
perjuangan politik NU adalah merupakan keniscayaan bahwa karakter Partai
didasari oleh karakter dan garis perjuangan tempat di mana Partai ini dilahirkan.
Sebagai Jam‘iyyah Diniyyah yang berkewajiban amar ma’rūf nahī munkar dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik secara pribadi maupun
kelompok, NU tidak dapat mengelak tanggung jawab dalam berperan serta
membangun kehidupan politik bangsa Indonesia yang adil, demokratis dan
berakhlak mulia di atas landasan-landasan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Bagi Partai kebangkitan Bangsa, wujud dari bangsa yang dicitakan itu
adalah masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya, mengejawantahkan
nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan bersumber pada
hati nurani (al-Sidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji, mampu memecahkan
masalah-masalah sosial yang dihadapi (al-Amānah wa al-Wafā’u bi al-‘Ahdi),
bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-‘Adalah), tolong menolong
dalam kebajikan (al-Ta‘awwūn) dan konsisten menjalankan ketentuan yang telah
disepakati bersama (al-Istiqāmah), musyawarah dalam menyelesaikan persoalan
sosial (al-Syurā) yang menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya, dan
persamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al-Musawwa’) adalah
prinsip dasar yang harus selalu ditegakkan.56
Dalam mewujudkan tata kehidupan politik yang demikian, Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) telah menetapkan pandangan dan sikap politik yang
didasarkan pada prinsip dasar perjuangan.
Dasar perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa bertumpu pada nilai-nilai
kebangsaan yang dilandasi dan dipadukan oleh dan dengan nilai-nilai kebenaran,
kebebasan, keterbukaan, kemerdekaan, kemanusiaan yang adil dan beradab,
keadilan, kejujuran, persamaan, persaudaraan, nondiskriminasi, dan kesetaraan
gender. Partai menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, memperjuangkan
kedaulatan rakyat, demokrasi, keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran
seluruh rakyat Indonesia. Partai mencita-citakan terwujudnya suatu tatanan
masyarakat yang bersatu, adil, demokratis, dan egaliter, dimana seluruh warga
56
Lihat Mabda’ Siyasiy Partai Kebangkitan Bangsa
negara memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan kepribadiannya
secara bebas.
BAB IV
ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) DAN DINAMIKA POLITIK
PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
H. Gus Dur dan PKB
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sepertinya sangat sulit dan mungkin
tidak bisa dipisahkan dengan sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini lebih
disebabkan oleh peran dan pengaruh politik Gus Dur yang sangat luar biasa besar
di PKB. Begitu besarnya peran dan pengaruh politik Gus Dur di PKB setidaknya
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, menyangkut persoalan kekerabatan
(geneologis). Sistem kekerabatan ini merupakan ciri-ciri pengorganisasian yang
hadir dalam tubuh NU seperti pada kegiatan pendidikan pesantren dan lembaga
sosial lainnya. Dalam dinamika politik NU, sistem kekerabatan atau geneologis
ini dapat menjadi faktor yang turut menentukan signifikan-tidaknya perolehan
suara sebuah partai politik yang berbasis massa NU.57
Kekerabatan (geneologis) di lingkungan NU perlu diperhatikan secara
cermat dan akurat karena ia dapat mengungkap pola patronase58 antara elite partai
politik di lingkungan NU, dan pola sentralisasi kekuasaannya pun terlihat sangat
jelas. Otoritas dan kekuasaan elite di lingkungan NU dalam kehidupan masyarakat
57
Ali Anwar, Avonturisme NU: Menjejaki Akar Konflik Kepentingan Politik Kaum
Nahdhiyyin (Bandung: Humaniora, 2004), Cet. I, h. 61.
58
Patronase dilihat sebagai sumber (tokoh) yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
material dan spiritual para pengikutnya dan pada gilirannya menuntut adanya penghormatan dari
mereka.
memunculkan asumsi bahwa tidak hanya terbatas pada interaksi sosial, tetapi juga
dapat diterapkan dalam bidang politik. Asumsi ini dibuktikan oleh fakta bahwa
selama Pemilu 1999, misalnya, partai-partai NU peserta pemilu berupaya
memanfaatkan kekuasaan ke-NU-annya untuk meningkatkan perolehan suara
mereka.59
Gus Dur, yang secara geneologis, sebagai seorang cucu langsung dari
kiai besar pendiri NU tentu merupakan satu kelebihan, sehingga di manapun ia
berada dan dalam posisi apapun kharisma seorang cucu dan anak dari kiai besar
selalu muncul dalam dirinya. Kharisma itu yang kemudian memposisikan Gus
Dur sebagai seorang kiai yang juga sangat dihormati dan disegani tidak hanya
oleh pengikut fanatiknya tetapi juga orang-orang yang pernah kenal dan dekat
dengan dirinya. Pada gilirannya, ia memperoleh apa yang disebut oleh Jackson
sebagai “otoritas tradisional.”60
Otoritas
ini
adalah
otoritas61
patron
yang
mempengaruhi
dan
membangkitkan emosi para pengikutnya. Dalam situasi dan kondisi apapun para
pengikutnya akan tetap mempertahankan patron mereka sekuat tenaga. Pola
hubungan seperti ini sangat mengakar di kalangan warga tradisional Nahdhiyyin
dan sering dimanfaatkan untuk melayani kepentingan-kepentingan politik elite
karena massa pengikutnya dapat dengan mudah dimobilisasi melalui mobilisasi
59
Ali Anwar, Avonturisme NU, h. 62.
60
Ali Anwar, Avonturisme NU, h. 62.
61
Temuan Jackson berlaku juga untuk hubungan yang lebih umum antara dua orang yang
berbeda. Ia tidak hanya terbatas pada tokoh-tokoh seperti kyai dan pengikutnya. Sifat ”otoritas
tradisional” juga muncul pada seorang klien yang mungkin meminjam uang kepada seseorang
yang kemudian menjadi patronnya. Klien itu secara moral akan merasa harus berbuat baik (lebih
dari sekedar memberi uang) untuk menjaga integritas patronnya.
lapisan patron yang lebih tinggi. Perubahan apapun dalam sikap politik yang
dibuat oleh patron akan dapat menyebabkan perubahan serupa dalam sikap politik
para pengikutnya. Dengan pola seperti ini, pengikut yang setia akan memenuhi
permintaan dukungan apapun dari elite politik mereka. Sebagian pengikut akan
melakukan hal ini tanpa berpikir panjang karena mereka yakin bahwa para elite
partai politik di lingkungan NU mengetahui apa yang tidak dapat diketahui oleh
warga NU biasa.62
Tidak heran, jika kemudian kehadiran Gus Dur dengan faktor
geneologisnya
itu
sangat
berpengaruh
terhadap
eksistensi
dan
pola
kepemimpinannya di Partai Kebangkitan Bangsa, sebuah Partai yang juga
berbasis massa NU.
Kedua, adanya kultur pesantren yang mempunyai hubungan unik antara
kiai dan santrinya. Sebab, di pesantren santri akan merasa takut dan patuh
terhadap kiai atau patronnya. Dalam budaya pesantren, para kiai dipandang
sebagai pemimpin spiritual para santri yang memiliki hubungan yang erat dan
diikat dalam ikatan budaya paternalistik. Petuah-petuah mereka akan selalu
didengar, diikuti, dan dilaksanakan. Dengan demikian, dalam konteks politik,
ajakan dan fatwa politik para kiai yang mereka sampaikan dalam kampanyekampanye pemilu akan selalu diikuti dan dan dilaksanakan oleh para santri yang
dipimpinnya.63
62
63
Ali Anwar, Avonturisme NU, h. 62-63.
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,
1999), Cet. I, h. 39.
Budaya pesantren ini tentu sangat memberikan keuntungan bagi Gus
Dur, karena ia adalah representasi ”darah biru” pesantren kaum Nahdhiyyin. Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang notabene-nya memiliki basis massa yang kental
dengan budaya pesantren itu juga akan sangat diuntungkan dengan kehadiran Gus
Dur di PKB, karena dengan demikian kepatuhan warga NU terhadap Gus Dur
akan berpengaruh terhadap eksistensi dan besarnya dukungan warga NU terhadap
PKB.
Ketiga, pandangan dan pemikiran-pemikiran yang selalu muncul dari
bangunan intelektual Gus Dur yang kokoh, menempatkan Gus Dur sebagai “Guru
Bangsa” yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam mencari solusi terhadap
segala persoalan bangsa, adalah merupakan salah satu faktor dominan mengapa
Gus Dur menjadi salah satu orang yang paling berpengaruh, tidak hanya di PKB
tetapi di negeri ini. Harus diakui bahwa kontribusi Gus Dur kepada wacana
nasional, tanpa memandang basis institusional dan sejarah keluarganya, adalah
suatu kekuatan intelektual yang besar. Greg Barton, dalam bukunya The Impact of
Neo-Modernism on Indonesia Islamic Thought: the Emergence of New Pluralism,
mengatakan bahwa:64
“Pemikiran Abdurrahman Wahid jarang ditelaah dengan serius
oleh para komentator luar dan terdapat kesan bahwa dia dianggap penting
hanya karena koneksi-koneksinya, jaringan akar rumputnya dan
ketajaman politisnya, bukan karena gagasan-gagasannya. Jarang para
ilmuan luar mempelajari, apalagi menganggap penting, gagasangagasannya, namun pada akhirnya tampaklah bahwa pemikirannya
adalah kontribusi yang paling penting dari semua kontribusi lainnya.”
64
Douglas E. Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi
Toleransi (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), Cet. I, h. 84.
Di samping itu, kepemimpinan Gus Dur, selama tiga periode di dalam
NU (1984 – 1999), dengan memberikan sumbangan yang sangat penting dalam
membangun dan mengembangkan intelektual dan civil society di negeri ini adalah
merupakan salah satu bukti tingginya kecerdasan intelektual Gus Dur. Selama
periode kepemimpinan Gus Dur, NU telah berhasil menciptakan suatu periode
yang paling cemerlang dalam sejarah NU bagi perkembangan diskursus
intelektualitas dan civil society. Keterlibatan aktivis-aktivis dan kalangan
intelektual NU dalam gerakan-gerakan pro demokrasi dan hak asasi manusia,
munculnya pelbagai lembaga swadaya masyarakat, dan jaringan-jaringan civil
society, serta kebangkitan pesantren dalam kerja-kerja civil society merupakan
contoh kesuksesan NU dalam mengawal gerakan intelektual dan civil society.
Perkembangan yang sangat baik itu tidak lepas dari model kepemimpinan Gus
Dur yang didasarkan pada pemikiran yang kritis dan nonkompromis.
Keberhasilan Gus Dur memimpin NU selama tiga periode lamanya dengan
gagasan-gasan cemerlangnya itulah yang kemudian menambah keyakinan dan
kepercayaan warga Nahdiyyin bahwa Gus Dur akan mampu membawa Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), sebagai partai yang lahir dari perut NU, sesukses dan
secemerlang pada waktu ia memimpin NU.
Kecerdasan intelektual dan kepiawaian Gus Dur dalam memimpin
organisasi, telah menjadikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi sebuah
partai besar dan sangat diperhitungkan walaupun usianya masih relatif muda.
Kebesaran nama PKB tentu tidaklah terlepas dari kebesaran nama Gus Dur. Hal
ini terbukti, walaupun pada saat partai ini didirikan ikut bermunculan partai-partai
lain yang berbasis NU, tetapi hal ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
kebesaran nama PKB dan Gus Dur. Dalam sebuah talkshow di TPI, menjelang
Pemilu 1999, Gus Dur mengeluarkan sebuah pernyataan yang sangat
kontroversial berkenaan dengan hubungan partai-partai yang berbasis NU, sebab
pada saat itu ada tiga lebih partai yang mengidentikkan diri sebagai partai NU. Ia
mengibaratkan partai politik di lingkungan NU dengan sesuatu yang keluar dari
‘anus ayam’. Menurutnya, PKB ibarat telur dan partai yang lain, yaitu PKU, PNU
dan SUNI ibarat ‘kotoran ayam’.65 Pernyataan ini kemudian mendapat reaksi yang
sangat kencang dari para pendiri dan kiai pendukung partai di luar PKB dengan
menciptakan manuver-manuver politik untuk menghancurkan dukungan warga
NU terhadap PKB dan Gus Dur. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, nama
PKB dan Gus Dur kian membesar dan dukungan warga NU semakin solid.
Keempat, faktor yang membuat besarnya peran politik Gus Dur di Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah faktor struktural. Posisi Dewan Syura, sebuah
lembaga tertinggi Partai yang ia duduki dalam struktur PKB dengan kewenangan
yang begitu luas sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Dasar Partai,
menambah besar pengaruh Gus Dur di PKB.66 Dengan kewenangannya yang
begitu luas, tidak heran jika kemudian semua pandangan, gagasan, sikap,
kebijakan, dan manuver-manuver politik Gus Dur sangat kentara mempengaruhi
gerak langkah PKB.
65
Shalahuddin Wahid, Negeri di Balik Kabut Sejarah (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2000), Cet. I, h. 17.
66
Lihat Anggaran Dasar (AD) PKB, Pasal 17
Sekarang, mari kita lihat sejauh mana peran dan pengaruh politik Gus
Dur dalam membesarkan eksistensi PKB di panggung politik nasional.
I. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 1999
1. Masa Pemilu 1999
Keberadaan PKB, pada awalnya, sebagai partai baru diduga oleh
banyak pengamat tidak akan memperoleh suara yang signifikan pada Pemilu
1999. Kesulitan PKB dalam memperoleh suara, khususnya suara dari massa
NU, disebabkan dalam tubuh NU sendiri, yang dianggap menjadi basis suara
PKB, bukan hanya dimiliki oleh PKB, tetapi ada juga PNU, PKU, dan SUNI
yang juga memiliki tokoh-tokoh yang cukup populer seperti Syukron
Makmun dan Yusuf Hasyim. Di samping itu, warga NU –terutama kalangan
pesantren– sejak Orde Baru, secara politis, banyak terkooptasi oleh Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah partai yang dulu pernah menjadi
rumah politik NU. Dan secara ekonomi-politis sudah menjadi bagian dari
pendukung Golkar, dan hal ini tidak mudah untuk mengalihkan suaranya bagi
kemenangan PKB. Atas dasar itu, sekalipun dianggap memiliki basis massa
NU, tidak berarti PKB akan mendapatkan suara anggota NU secara
signifikan.
Akan tetapi, hasil Pemilihan Umum 1999 berbicara lain. Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) memperlihatkan fenomena yang menarik dalam
Pemilu 1999. Walaupun diperkirakan oleh banyak orang bahwa PKB, dengan
segala macam persoalan yang sedang dihadapi, akan mengalami kegagalan
dalam pemilu perdananya, namun PKB mampu menempati posisi urutan
ketiga dalam total perolehan suara dengan jumlah 13.336.963 suara atau
12,6% dari total suara sah dalam pemilu. Urutan pertama dan kedua ditempati
oleh PDI-P dengan 35.706.609 suara (33,7%) dan Golkar diurutan kedua
dengan 23.742.112 suara atau sekitar 22,4%. Sedangkan untuk perolehan
kursi di DPR, PKB berada di urutan keempat setelah PDI-P, Golkar, dan
PPP.67
Kesuksesan PKB dalam memperoleh suara dalam Pemilu 1999 ini
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, pengakuan dan pemberian
restu oleh PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) terhadap berdirinya
PKB. PKB adalah satu-satunya partai politik di kalangan warga NU yang
mendapat pengakuan dan restu dari Ketua Umum PBNU (Gus Dur). Partaipartai lain yang didirikan oleh beberapa tokoh dan warga NU, yaitu PNU
(Partai Nahdlatul Umat), PKU (Partai Kebangkitan Umat), dan Partai SUNI
tidak diakui secara resmi dan tidak direstui oleh PBNU. Dengan mengakui
dan merestui PKB, maka mayoritas jamaah NU di seluruh tanah air
(khususnya di Jawa) di bawah kepemimpinan dan komando PBNU mudah
digerakkan dan dimobilisasi untuk mendukung PKB. Pimpinan wilayah,
cabang, dan ranting NU di seluruh Tanah Air di bawah koordinasi PBNU bisa
menggerakkan dan mengerahkan massa NU untuk mendukung PKB.
Akibatnya, PNU, PKU, dan SUNI menjadi terkucil dan terpencil sehingga
tidak mendapatkan dukungan luas dari jamaah NU. Terbukti dalam Pemilu
67
Ahmad Hakim Jaily dan Mohammad Tohadi, PKB dan Pemilu 2004 (Jakarta: Lembaga
Pemenangan Pemilu PKB, 2003), h. 40-41.
1999, PNU, PKU, dan SUNI hanya memperoleh puluhan atau ratusan ribu
suara dan sangat jauh jumlahnya dengan perolehan suara PKB.68
Kedua, peranan pesantren. Pesantren-pesantren NU (berikut para kiai
pengasuhnya) berperan sebagai jaringan komunikasi politik yang sangat
efektif bagi PKB. Walaupun PKB secara formal organisatoris masih belia,
namun PKB secara tradisional dan kultural telah begitu lama berakar dan
berbasis di pesantren-pesantren. Antara NU, pesantren, dan PKB hampir tidak
bisa dipisahkan.
Sosialisasi PKB melalui saluran pesantren-pesantren dan para kiai
NU berjalan cukup efektif. Hubungan geneologis dan perkawinan antar kiai
pengasuh pesantren, hubungan kiai-santri, dan hubungan kiai-masyarakat
lingkungan pesantren menjadi jaringan komunikasi politik yang efektif.
Komunikasi politik secara vertikal dan horisontal dapat berjalan cukup lancar
melalui peran dan jalur pesantren serta para kiai pengasuhnya yang tersebar di
masyarakat lapisan bawah.
Hal ini, mengingatkan keberhasilan partai NU dalam Pemilu 1955.
Walaupun persiapannya hanya berlangsung dua tahun (NU keluar dari
Masyumi tahun 1952), namun NU dalam Pemilu 1955 itu muncul sebagai
partai besar ketiga setelah PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Masyumi.
Keadaan yang relatif sukses ini tampaknya diulang kembali oleh PKB.
Ketiga, faktor yang membuat PKB sukses dalam perolehan suara
pada Pemilu 1999 adalah ketokohan seorang Gus Dur. Sosok dan peran Gus
68
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai, h. 142-143.
Dur yang memiliki reputasi yang baik ternyata mampu menarik simpati
mayoritas warga NU untuk mendukung dan memilih PKB. Sebelum menjadi
deklarator PKB, Gus Dur telah dikenal luas oleh masyarakat, baik sebagai
sosok intelektual maupun sebagai tokoh nasional. Bahkan, ia juga dikenal di
luar negeri dan berpartisipasi dalam berbagai diskusi, seminar, konferensi,
dan organisasi internasional. Dengan perangkat ketokohan, intelektualitas,
dan reputasi baik semacam itu ia mampu membesarkan nama PKB. 69
Di samping itu, kekuatan tawar-menawar politik Gus Dur juga
sangat dipertimbangkan dan diperhitungkan. Gus Dur bersama Megawati
Soekarno Putri (Ketua Umum DPP PDI Perjuangan) dan Amien Rais (Ketua
Umum DPP PAN) beberapa hari sebelum Pemilu 1999 dilaksanakan
membuat komunike yang dikenal sebagai “Komunike Paso".70 Di sini ada
fenomena yang sangat menarik. Justru, yang tampil bersama Mega dan
Amien adalah Gus Dur, bukan Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum
DPP PKB. Sedangkan PAN dan PDI-P diwakili oleh ketua umum partainya
masing-masing.71
Kemudian Akbar Tanjung (Ketua Umum Partai Golkar) berkunjung
ke rumah Gus Dur mengadakan kesepakatan untuk mengamankan jalannya
Sidang Umum
MPR dan mencari kemungkinan-kemungkinan perlunya
koalisi antara PKB dan Golkar. Hamzah Haz (Ketua Umum PPP) juga berniat
69
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai, h. 141-145.
70
Komunike ini mempertegas komitmen kekuatan reformis untuk menghadang kekuatan
status quo.
71
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai, h. 149-150.
bertemu dengan Gus Dur untuk kepentingan yang sama.72 Di sini, sekali lagi,
muncul fenomena yang sama. Justru, yang ditemui oleh Akbar Tanjung dan
Hamzah Haz, bukan Ketua Umum PKB (Matori Abdul Djalil) melainkan Gus
Dur. Hal ini, mengisyaratkan bahwa Gus Dur dipandang sebagai tokoh
penting di pentas politik nasional yang memiliki kekuatan tawar-menawar
politik yang patut diperhitungkan oleh partai-partai lain.
Secara kekuatan politik, ketokohan Gus Dur mampu dijadikan
sebagai alat komunikasi politik PKB dalam memperoleh dukungan di
parlemen. Tidak heran jika kemudian PKB, walaupun bukan sebagai partai
pemenang pemilu, mampu menghantarkan Gus Dur ke kursi kekuasaan,
melalui dukungan dan kekuatan “poros tengah”.
Gus Dur Jadi Presiden
Siapa pun sepakat, rezim Gus Dur punya legitimasi yang kukuh. Hal
ini disebabkan karena secara materiil pemerintahannya adalah hasil Pemilu
1999 yang terbilang relatif demokratis. Pemilu itu, menghasilkan MPR baru
yang pada Sidang Umum 1999 memilih Gus Dur-Mega lewat proses yang
demokratis pula, meski di luar parlemen ada “ancaman” kerusuhan.
Ancaman kerusuhan di luar parlemen yang dilakukan oleh massa
PDI-P pada waktu itu dapat dipahami, karena pada pemilu kali ini PDI-P
berada pada posisi teratas dalam perolehan suara kalah dari Gus Dur saat
pemilihan presiden. Jajak pendapat pascapemilu menunjukkan Megawati
72
Harian Kompas, 18 Juni 1999.
berada pada urutan teratas dari beberapa calon presiden, Amien Rais,
Habibie, Gus Dur, dan lain-lain. Hal ini, menunjukkan Megawati besar
kemungkinan akan menjadi presiden bila dilakukan pemilihan langsung.
Namun, sistem politik pada waktu itu punya jawaban lain, bahwa pemilu
bukan untuk memilih seorang presiden tetapi memilih wakil rakyat yang akan
memilih presiden. Partai pemenang pemilu tidak berarti secara otomatis bisa
meloloskan calonnya sebagi presiden.
Isu penolakan Megawati sebagai calon presiden dilontarkan Gus Dur
di Singapura saat berbicara di forum yang diselenggarakan Institut Pertahanan
dan Studi Singapura, 24 Maret 1999. Gus Dur menyatakan bahwa peluang
Megawati menjadi Presiden RI kecil. Hal ini, disebabkan pandangan
mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak menerima
tampilnya seorang presiden wanita. Dalam kesempatan lain, Gus Dur
menyatakan bahwa dalam tubuh PKB ada banyak orang, terutama para kiai
yang berpikir bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin atau
presiden.73
Isu penolakan terhadap Megawati mengharuskan beberapa elit
politik seperti Gus Dur, Amien Rais, Hamzah Haz, dan Nur Mahmudi Ismail
melakukan penjajagan awal mencari tokoh alternatif untuk menghindari dead
lock atau jalan buntu. Akhirnya, muncul nama Abdurrahman Wahid sebagai
tokoh alternatif untuk menghindari jalan buntu itu. Fraksi Reformasi (PAN
dan PK) secara resmi mencalonkan Gus Dur. Reputasi dan kemampuan
73
236.
Achmad Mufid, Ada Apa dengan Gus Dur (Yogyakarta: Kutub, 2005), Cet. I, h. 235-
berpolitik yang telah lama dibinanya menjadikan Gus Dur dapat diterima oleh
hampir semua pihak, dan menjadi pilihan yang amat menarik. Wibawa dan
pengaruhnya yang diakui secara nasional dan internasional membuat semua
pihak merasa aman jika Gus Dur yang muncul sebagai Presiden RI.
Dengan munculnya dukungan dari partai-partai Islam dan Reformasi
yang kemudian disebut sebagai “poros tengah” di dalam sidang umum
parlemen, menghantarkan Gus Dur ke kursi kekuasaan, dan Megawati harus
puas duduk sebagai orang nomor dua.
Kemenangan Gus Dur memperoleh kekuasaan dengan dukungan
yang begitu kuat di dalam pemerintahannya, menempatkan Partai
Kebangkitan Bangsa sebagai partai yang besar dan diperhitungkan dalam
pergaulan politik nasional.
Sidang Istimewa MPR 2001 dan Konflik PKB
Kemenangan Abdurrahman Wahid dalam perebutan kursi nomor
satu di negeri ini hanya mampu dinikmati secara nyaman tidak lebih dari satu
tahun. Karena ketika memasuki pertengahan tahun 2000 ia harus dihadapkan
pada isu impeachment. Walaupun dalam berbagai kesempatan Gus Dur
menegaskan bahwa tidak mungkin ada impeachment pada Sidang Tahunan
MPR Agustus 2000. Menurut Gus Dur, telah ada kesepahaman politik antara
dirinya dengan Megawati, Akbar Tanjung, Amien Rais, dan Matori. Akan
tetapi, yang harus disadari betul adalah bahwa menjelang Sidang Tahunan
MPR itu Gus Dur masih harus menghadapi berbagai persoalan politik yang
dapat mengancam kedudukannya.
Pertama, karena di balik pernyataannya yang selalu optimis, Gus
Dur menemukan kenyataan bahwa kinerja timnya masih saja jeblok dan
dipertanyakan kapabilitasnya untuk mengatasi krisis. Kedua, ada fakta bahwa
pemerintahan Gus Dur belum mampu mengendalikan situasi dan memerintah.
Ketiga, perkembangan politik yang cenderung terus-menerus membuat Gus
Dur terserang dan terpojok. Berbagai kasus, seperti Buloggate, Bruneigate,
perseteruan dengan Syahril Sabirin, kasus Maluku, Kongres Rakyat Papua,
dan disetujuinya penggunaan hak interpelasi DPR untuk kasus pencopotan
Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla, benar-benar membuat Gus Dur terpaksa
menukar Confident-nya dengan kepanikan. Belum lagi dengan akan
digunakannya hak angket yang dipelopori PPP untuk kasus Bulog dan
bantuan Sultan Bolkiah.74
Dalam keadaan politik yang tidak kondusif pada waktu itu
menyebabkan PKB tidak berdaya harus berhadapan dengan desakan poros
tengah, yang awalnya sebagai partai pendukung pemerintah. Ditambah lagi
dengan tidak solidnya PKB menambah lemahnya dukungan pemerintahan
Gus Dur. Sehingga pada tanggal 30 Mei 2001, melalui Sidang Istimewa
MPR, Gus Dur harus merelakan kursi kekuasaannya diduduki oleh Megawati.
Bersamaan dengan turunnya Gus Dur dari kekuasaan pada tanggal
30 Juli 2001, Rapat Pleno DPP PKB yang dihadiri anggota FKB MPR,
74
Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia (Jakarta:
Republika, 2004), Cet. I, h. 117.
memutuskan untuk menghentikan
Matori Abdul Djalil dari jabatannya
sebagai Ketua Umum PKB. Dan sekaligus menetapkan Alwi Shihab sebagai
pejabat sementara Ketua Umum DPP PKB. Keputusan ini diambil karena
Matori dianggap secara sengaja tidak menjalankan kewajibannya sebagai
anggota Partai dan melanggar disiplin Partai.
Paling tidak terdapat tiga tindakan indisipliner Matori yang
menyebabkan ia harus diberhentikan dan dikeluarkan dari Partai.75 Pertama,
Matori Abdul Djalil hadir dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 1 Februari
2001 yang menjatuhkan Memo I terhadap K.H. Abdurrahman Wahid.
Padahal, dalam rapat gabungan DPP PKB dan FKB DPR sebelumnya yang
juga dihadiri Matori, diputuskan bahwa seluruh anggota FKB akan walk out
apabila Sidang Paripurna menjatuhkan Memo I. Matori yang menolak hasil
rapat dan menyatakan tidak akan hadir dalam Sidang Paripurna DPR, ternyata
hadir.
Kedua, Matori menghadiri Sidang Paripurna DPR tanggal 30 Mei
2001 yang memutuskan menggelar Sidang Istimewa. Kembali, Matori
menolak keputusan rapat FKB sebelumnya, yang memutuskan untuk walk out
dan menyatakan tidak bertanggung jawab atas keputusan DPR.
Ketiga, berpuncak pada Sidang Istimewa tanggal 21 Juli 2001 yang
menggulingkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan. Meskipun FKB
MPR menginstruksikan anggotanya untuk tidak hadir dalam SI itu, namun
Matori hadir dan menyetujui hasil SI.
75
Bambang Setiawan dan Bestian Nainggolan, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi
dan Program 2004-2009 (Jakarta: Kompas, 2004), Cet. I, h. 256.
Babak baru PKB dimulai. Konflik yang berujung pada dualisme
kepemimpinan di PKB tidak dapat dihindari. Masyarakat mengenal dua
macam PKB, yaitu PKB Kuningan yang dipimpin Alwi Shihab dan PKB
Batutulis pimpinan Matori Abdul Djalil. Perang ‘urat Syaraf’ kedua kubu
semakin meruncing. Jalur musyawarah tidak dapat mempertemukan
keduanya. Akhirnya, jalur hukum ditempuh untuk membuktikan siapa yang
paling berhak menjadi pimpinan PKB.
Selama proses hukum itulah terjadi saling klaim dan fenomena
tandingan pun muncul. PKB Matori mengadakan Muktamar Luar Biasa
(MLB) tanggal 14 – 16 Januari 2002, di Jakarta. Sementara itu, kubu Alwi
Shihab menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) di Yogyakarta, pada tanggal
17 – 19 Januari 2002. Kedua MLB mengesahkan pimpinan kubu masingmasing.76 MLB Jakarta menetapkan Matori Abdul Jalil sebagai Ketua Umum,
dan MLB Yogyakarta menetapkan Alwi Shihab sebagai Ketua Umum DPP
PKB dengan Gus Dur sebagai Dewan Syura-nya.
Dalam situasi dualisme ini Gus Dur, dengan sumberdaya yang ada
dalam dirinya dan dengan kedekatannya dengan para Kiai Langitan NU,
meminta Kiai Langitan untuk mendukung kepengurusan Alwi dan dirinya di
PKB. Selanjutnya, Forum Kiai Langitan, sebagai forum kiai berpengaruh di
NU, menyerukan Nahdhiyyin untuk mendukung pengurus PKB yang
dipimpin K.H. Abdurrahman Wahid dan Alwi Shihab.
Hampir dua tahun konflik internal PKB berlangsung. Tepatnya bulan
76
Bambang dan Nainggolan, Partai-partai Politik Indonesia, h. 256-257.
Juni 2003, Mahkamah Agung (MA) memenangkan PKB Kuningan yang
dipimpin oleh Gus Dur dan Alwi Shihab. Konflik yang selama ini terjadi
ternyata tidak berpengaruh terhadap dukungan warga Nahdhiyyin kepada
PKB. Hal ini, lebih disebabkan oleh ketokohan, Kharisma, dan kedekatan
Gus Dur yang mampu meraup dukungan dari Kiai Langitan di NU. Ini dapat
dibuktikan pada hasil Pemilu 2004.
J. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 2004
K. Masa Pemilu 2004
Dengan
berakhirnya
konflik
internal,
PKB
mengalihkan
pandangannya pada persiapan menghadapi Pemilu 2004. Sebagai partai
politik yang masuk electoral threshold, PKB akan tetap ikut Pemilu 2004.
Sejak Muktamar I PKB yang diselenggarakan di Surabaya pada tahun 2000
telah ditetapkan Strategi dan Program Pemenangan Partai dalam Pemilu
2004. Kemudian, ketetapan itu dibahas kembali dan dipertajam dalam forum
Muktamar Luar Biasa di Yogyakarta, dan ditetapkan sebagai Keputusan
Permusyawaratan dengan ketetapan No. VI/MLB/I/2002 tertanggal 19
Januari 2002.77
Menjelang Pemilu 2004, kendala-kendala lama masih harus dihadapi
oleh PKB, misalnya warga NU (sebagai basis pemilih) yang masih setia di
PPP, Partai Golkar, PNU, bahkan PDI-P. Hal ini karena tokoh-tokoh yang
ada di partai tersebut masih belum memperlihatkan kemungkinan perubahan
77
Jaily dan Tohadi, PKB dan Pemilu 2004, h. 65.
orientasi politik. Disamping itu, secara internal imbas pemecatan beberapa
pengurus Partai yang dianggap tidak disiplin pasca-Sidang Istimewa MPR RI
2001 masih berpengaruh terhadap konsolidasi Partai.
Lepas dari konflik kepemimpinan PKB, muncul kabar tidak sedap
mengenai perseteruan antara elite NU dan PKB. Gesekan terjadi sehubungan
dengan perbedaan calon presiden. Sebetulnya, friksi antara NU dan PKB itu
muncul berbarengan dengan lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Sebagai Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi dinilai tidak all out membela
Gus Dur. Namun, penetapan figur calon presiden di tubuh PKB bukan sesuatu
yang mudah. Pasalnya, di dalam partai sendiri masih terjadi perbedaan
pandangan soal menetapkan calon presiden. Ada pihak yang tetap
menjagokan Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur. Namun ada pihak yang
menginginkan calon baru yang lebih segar, seperti Ketua Umum PBNU K.H.
Hasyim Muzadi atau cendikiawan Nurcholish Madjid.
Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKB bulan Mei 2003
merekomendasikan tentang kriteria calon presiden yang akan diajukan oleh
PKB. Nama K.H. Abdurrahman Wahid masih kuat terdengar di arena
Mukernas PKB. Oleh karena itu, tidak heran kalau peserta Mukernas PKB
sepakat menyebut Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden utama PKB. 78
Gus Dur, yang sempat menjadi Presiden RI ini, masih berkharisma
di kalangan PKB. Terhadap Gus Dur, PKB melihatnya sebagai kekuatan dan
kelemahan. Disebut kekuatan karena figur Gus Dur merupakan solidaririty
78
Bambang dan Nainggolan , Partai-partai Politik Indonesia, h. 259-260.
maker. Dengan demikian, pencalonan Gus Dur sebagai calon presiden akan
berpengaruh terhadap besarnya dukungan suara bagi PKB. Dan disebut
kelemahan, karena PKB masih akan terus bersikap ketergantungan pada figur
Gus Dur. Namun, pandangan yang terakhir ini tidak dijadikan soal mendasar
terhadap pencalonan Gus Dur. Karena, dalam kondisi internal Partai yang
dilanda konflik, belakangan ini, PKB harus mengambil risiko ini untuk tetap
mempertahankan dukungan yang besar bagi PKB.
Namun sayang, pencalonan Gus Dur harus terhalang dengan aturan
yang dikeluarkan oleh KPU menyangkut kesehatan fisik calon Presiden RI.
Dengan dikeluarkannya keputusan KPU yang tidak meloloskan pencalonan
Gus Dur membuat konstituen dan kader PKB merasa kebingungan harus
mengalihkan suara kemana. Sementara itu Hasyim Muzadi Ketua Umum
PBNU, Organisasi yang selama ini menjadi basis massa terbesar PKB,
mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden bersama Megawati Soekarno
Putri, dari PDI-P. Namun, pencalonan Hasyim tidak didukung oleh PKB
karena Hasyim tidak memperoleh restu dari Gus Dur. Dalam situasi
kebingungan politik ini, Gus Dur secara tegas menginstruksikan suara PKB
mengarah pada pencalonan adiknya, Shalahuddin Wahid, sebagai wakil
presiden bersama Wiranto dari Partai Golkar.
Dalam kesempatan ini, perseteruan antara NU dan PKB kembali
mencuat. Kharisma dan ketokohan kembali dipertaruhkan dalam perebutan
massa warga Nahdhiyyin pada Pemilu 2004.
L. Konflik II dan Muktamar II PKB
Konflik internal yang kedua ini hampir sama dengan modus dalam
konflik PKB dengan Matori Abdul Djalil. Konflik diawali dari pemecatan
terhadap Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf dari posisi Ketua Umum dan
Sekjen DPP PKB. Namun, keputusan tersebut kemudian melebar menjadi
sebuah konflik institusional. Alwi Shihab juga membawa kasus ini ke
pengadilan melalui sebuah gugatan perdata, sama seperti yang dilakukan
Matori.79
Pada saat proses hukum ini sedang berjalan, DPP PKB
menyelenggarakan Muktamar II PKB di Semarang pada tanggal 16 – 18 April
2005. Muktamar ini diikuti oleh seluruh jajaran pengurus PKB dari tingkat
Kabupaten/Kota, termasuk diikuti juga oleh aktifis-aktifis PKB. Dan dalam
muktamar itu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar keluar sebagai pemenang.
Kemenangan Gus Dur dan Muhaimin secara demokratis dalam pemilihan
Ketua Umum Dewan Syura dan Ketua Umum Dewan Tanfidz pada
muktamar tersebut ternyata tidak dapat diterima oleh para pesaingnya,
terutama kubu Choirul Anam. Mereka selanjutnya mempersatukan diri untuk
menggugat hasil-hasil muktamar. Untuk memperkuat posisi, dimanfaatkanlah
kasus pemecatan Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf sebagai alasan atas
pembenaran gerakan mereka.80
Namun lagi-lagi, melalui proses hukum yang panjang, Gus Dur
memenangkan pertarungan kali ini. Putusan kasasi Mahkamah Agung RI No.
79
Ahsanul Minan, dkk., Khidmat Kami Bagimu Negeri, Laporan Kinerja FKB DPR RI
2005-2006 (Jakarta: FKB DPR RI, 2007), Cet. I, h. 122-123.
80
Ahsanul Minan, dkk., Khidmat Kami Bagimu Negeri, h. 123.
1896 K/PDT/2005 tertanggal 15 Nopember 2005 ternyata tidak dapat
menolong kedudukan Alwi sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz di PKB.
Hal ini dikarenakan sudah ada perbuatan hukum lain yang menggantikannya,
yaitu Muktamar II PKB di Semarang yang telah diselenggarakan sesuai
dengan ketentuan AD/ART PKB dan UU No. 31/2002 tentang Partai Politik.
Dan putusan MA No. 02K/PARPOL/2006 yang berisi penolakan terhadap
seluruh permohonan kasasi Choirul Anam, menutup konflik PKB. Kemudian
putusan MA ini, ditindaklanjuti dengan pencabutan SK pendaftaran
kepengurusan DPP PKB versi Choirul Anam oleh Menkumham melalui SK
nomor M.14-UM.06.08 tahun 2006. Dengan adanya pencabutan ini, maka
dualisme kepengurusan DPP PKB telah berakhir. Kepengurusan DPP PKB
hanya satu yaitu kepengurusan hasil Muktamar II Semarang yang dipimpin
oleh K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Dewan Syura dan Muhaimin
Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz.81
M. Dinamika Pasca Muktamar II PKB dan Menyambut Pemilu 2009
Berakhirnya konflik internal PKB pasca dikeluarkannya putusan MA
No. 02K/PARPOL/2006 dan SK Menkumham No. M.14-UM.06.08, dengan
menetapkan Gus Dur dan Muhaimin sebagai kubu yang sah, kian
memantapkan kesiapan PKB untuk menghadapi Pemilu 2009. Optimisme
PKB tampak secara jelas dalam pelaksanaan Rapat Kerja DPP PKB pada
tanggal 20 – 21 September 2006 di Wisma DPR RI Cikoko, Bogor. Rapat
81
Ahsanul Minan, dkk., Khidmat Kami Bagimu Negeri, h. 123-126.
Kerja DPP PKB yang juga dihadiri oleh Ketua DPW PKB seluruh Indonesia
ini menetapkan target perjuangan PKB dalam Pemilu 2009.
Namun harapan tinggal harapan, Pemilu 2009 kembali disambut oleh
PKB dengan konflik internal. Konflik kali ini, walaupun kasusnya berbeda,
namun modusnya tetap sama dengan konflik yang terjadi sebelumnya.
Konflik dimulai dari pemecatan Ketua Umum Muhaimin Iskandar oleh Ketua
Umum Dewan Syura Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Peristiwa pemecatan itu berawal dari kemarahan Gus Dur terhadap
Muhaimin. Ada beberapa alasan mengapa Gus Dur menjadi sangat marah
kepada Muhaimin. Pertama, Gus Dur beranggapan bahwa Muhaimin telah
bersikap double standard, menjadi alat Presiden Susilo Bambang Yudoyono
untuk mendongkel Gus Dur dari posisinya sebagai Ketua Umum Dewan
Syuro. Gus Dur menuding Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla adalah
orang yang menyebabkan terjadinya konflik di internal PKB melalui tangan
Muhaimin. Hal ini dibuktikan dengan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh
Muhaimin. Menurut Gus Dur, ketika diputuskan untuk mundur, sebetulnya
Muhaimin awalnya bersikap menerima. Namun, Gus Dur merasa bingung
mengapa belakangan Muhaimin berubah dan menolak pemberhentian
tersebut. Karenanya, Gus Dur bertekat untuk tetap tidak mau ishlah dengan
Muhaimin karena ia beranggapan bahwa Muhaimin sudah tidak jujur.82
Kedua, pengangkatan Lukman Edy sebagai Menteri Daerah Tertinggal tidak
82
“Konflik PKB dan Telunjuk Gus Dur,” artikel diakses tanggal 16 April 2008 dari
http://www.politikindonesia.com
terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Gus Dur dan dimusyawarahkan di
internal PKB. Ketiga, Gus Dur mensinyalir Muhaimin telah digunakan oleh
pihak ketiga sehingga gagal meloloskan Calon Gubernur DKI Jakarta dari
PKB. Gus Dur sudah memberi surat peringatan kedua kepada Muhaimin dan
mengancam akan menggelar Muktamar Luar Biasa. Sementara itu, Muhaimin
sendiri mengklarifikasi semua tuduhan Gus Dur, pada saat berziarah ke
makam Sunan Ampel di Surabaya, dengan mengatakan, “Saya melawan Gus
Dur? Saya ini siapa?83
Akhirnya pada Maret 2008, rapat pleno memutuskan untuk meminta
Muhaimin mengundurkan diri. Namun, Muhaimin tidak terima dengan hasil
putusan rapat pleno itu dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Jakarta
Selatan dan dikabulkan. Gugatan yang diajukan oleh Muhaimin yang
kemudian dikabulkan itu ditanggapi oleh Gus Dur dengan mengajukan kasasi
ke MA, namun di tolak. MA juga menolak legalitas Musyawarah Luar Biasa
(MLB) yang diselenggarakan oleh kubu Gus Dur di Parung dan MLB Ancol
yang diselenggarakan kubu Muhaimin. Hasil putusan MA mengembalikan
DPP PKB hasil Muktamar Semarang. Muhaimin sebagai Ketua Umum dan
Lukman Edy sebagai Sekjennya.84
Akan tetapi, putusan MA itu tidak kemudian dapat menyelesaikan
persoalan di tubuh PKB secara keseluruhan. Hal ini terlihat belakangan ketika
Gus Dur melaporkan Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum Dewan
83
84
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/07/16/id.html
“Konflik PKB 2008,” artikel diakses tanggal 22 Agustus 2008 dari http://www.
therifqibiru.com
Tanfidz PKB dan Lukman Edy selaku Sekjen ke Bareskrim Mabes Polri.
Keduanya dianggap tidak pernah mengajak Gus Dur dalam segala kebijakan
Partai.
“Tidak, sama sekali saya tidak dilibatkan. Bahkan
Muhaimin di mana-mana mengatakan saya tidak lagi menjadi Ketua
Dewan Syuro, tapi hanya penasihat. Kapan perubahan itu terjadi?
Seenaknya saja. Ini melanggar keputusan MA dan PTUN Jakarta.
Semua dilanggar.”85
Menurut Gus Dur, dia mengadukan Muhaimin dan Luman Edy
sebagai pihak yang melanggar AD/ART. Bentuk pelanggarannya ada dalam
setiap Surat Keputusan dan sejenisnya, termasuk penetapan anggota legislatif,
yang seharusnya ditandatangani dua pihak, yakni Dewan Syuro dan Dewan
Tanfidz.
"Saya ketuanya, dan Muhidin Sekretaris Dewan Syuro. Ketua
Tanfidz Muhaimin dan Lukman Edy. Ini dilanggar oleh mereka. Mereka tidak
mengajak saya tandatangan," ucap Gus Dur usai menjalani pemeriksaan di
Mabes Polri, Jakarta, Selasa 16 September 2008.86
Di sisi lain, Ketua DPP PKB versi Muhaimin, Marwan Ja'far,
mengatakan bahwa konflik internal PKB telah selesai setelah dikeluarkannya
keputusan MA yang mengakui bahwa kepemimpinan yang sah adalah PKB di
bawah pimpinan Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy, dengan Ketua Dewan
Syuro Aziz Mansyur.
85
Yessi Siti Hajar, “Dijadikan Penasihat PKB, Gus Dur Geram,” artikel diakses tanggal
17 Oktober 2008 dari http://www.inilah.com
86
Yessi, “Dijadikan Penasihat PKB, Gus Dur Geram.”
“Tidak ada lagi kubu-kubuan. KPU sudah selesai. Nggak
ada dualisme lagi. Keputusan MA terang-benderang. Tak ada satu
kata pun dari putusan MA yang menyatakan kembali pada muktamar
semarang. Yang ada, Muktamar Parung tidak sah dan pemecatan
Muhaimin tidak sah, titik”.31
Ketua Lakum HAM DPP PKB kubu Muhaimin, Ikhsan Abdullah,
juga berpendapat bahwa keputusan Mahkamah Agung terkait persoalan
internal PKB. Sudah tegas bahwa PKB yang diakui sebagai peserta Pemilu
2009 adalah PKB yang dipimpin oleh Ketua Umum Muhaimin Iskandar dan
Sekjen Lukman Edy. Menyangkut masalah pencalonan anggota legislatif,
Ikhsan mengatakan bahwa pihak yang sah dalam mengajukan daftar calon
legislatif adalah ketua umum dan sekjen sebagaimana yang diamanatkan UU
No.10/2008
yang
menyatakan
bahwa
pengajuan
calon
legislatif
ditandatangani Ketua Umum, Sekjen atau sebutan apapun. Depkum HAM
telah menetapkan dan mengakui alamat PKB yang sah adalah PKB yang
beralamatkan di JL. Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat. KPU juga
mengeluarkan pernyataan bahwa surat menyurat yang sah dilayangkan ke JL.
Sukabumi.32
Putusan ini tentu saja membuat Gus Dur geram dan langsung
melayangkan
gugatan
ke
Pengadilan
Jakarta
Pusat
dengan
No.
313/PDT.G/2008/PNJKTPST. Dengan tergugat Presiden Susilo Bambang
Yudoyono, Depkum HAM, KPU, dan sekaligus Ketua Umum dan Sekjen
31
“MA Hapus Pertimbangan, MLB Ancol yang Sah,” artikel diakses pada 16 April 2008
dari http://www.detiknews.com
32
“Gugatan Gus Dur di PTUN Tak Ganggu Proses Pencalegan,” artikel diakses pada 16
April 2008 dari http://www.detiknews.com
PKB.33 Gus Dur merasa bahwa dirinya telah dizalimi. Dan kini, proses itu
sedang berjalan.
D. Dinamika Peran dan Pengaruh Politik Gus Dur di PKB
Kekuasaan dapat dilihat dari sumber-sumber yang melekat padanya.
Konsepsi mengenai sumber kekuasaan yang telah diterima secara luas adalah
dikotomi antara “position power” (kekuasaan karena kedudukan) dan ”personal
power” (Kekuasaan pribadi). Menurut konsep tersebut, kekuasaan sebagian
diperoleh dari peluang yang melekat pada posisi seseorang dalam organisasi dan
sebagian lagi disebabkan oleh atribut-atribut pemimpin tersebut serta dari
hubungan
pemimpin-pengikut.
Termasuk
dalam
position
power
adalah
kewenangan formal, kontrol terhadap sumber daya dan imbalan, kontrol terhadap
hukuman, kontrol terhadap informasi, kontrol ekologis. Sedangkan personal
power berasal dari keahlian dalam tugas, persahabatan, kesetiaan, kemampuan
persuasif dan kharismatik dari seorang pemimpin (Gary Yukl, 1996:167-175).
Sejarah telah menunjukkan bahwa pemimpin yang mempunyai position
power yang terlalu kuat cenderung menggunakannya untuk mendominasi dan
mengeksploitasi pengikut. Sebaliknya, seorang pemimpin yang tidak mempunyai
position power yang cukup akan mengalami kesukaran dalam mengembangkan
kelompok yang berkinerja tinggi dalam organisasi. Sedangkan dalam personal
power, seorang pemimpin yang mempunyai expert power atau daya tarik
33
“KPU Siap Layani Gugatan Gus Dur,” artikel diakses pada 16 April 2008 dari
http//www.detiknews.com
kharismatik sering tergoda untuk bertindak dengan cara-cara yang pada akhirnya
akan mengakibatkan kegagalan.87
Perjalanan politik Abdurrahman wahid (Gus Dur) dalam membesarkan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebagaimana yang telah dipaparkan, ternyata
memiliki kedua sumber kekuasaan itu yaitu position power dan personal power.
Gus Dur dengan “position Power” yang ia peroleh dari posisinya sebagai ketua
Dewan Syuro di PKB, memiliki konsekuensi positif dan sekaligus negatif.
Dikatakan positif, karena dengan kewenangan yang begitu luas yang diberikan
partai terhadap posisi seorang Dewan Syura ternyata berimplikasi terhadap
kekeluasaan Gus Dur dalam melakukan manuver dan komunikasi politiknya
secara efektif, bebas, dan tidak terikat. Dengan demikian keputusan dan kebijakan
partai dapat diambil dengan cepat dan dapat dengan segera bisa langsung di
implementasikan tanpa ada banyak halangan dan kesulitan. Hal inilah yang dapat
menjadikan eksistensi dan pergaulan politik PKB di panggung politik nasional
dapat berjalan cepat dan efektif.
Dan adapun konsekuensi negatifnya adalah dengan kewenangan yang
besar itu Gus Dur cenderung mempergunakannya sebagai alat untuk mendominasi
dan mengeksploitasi pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan
politik PKB, masalah suksesi kepemimpinan selalu saja diwarnai oleh konflik
yang berujung pada dualisme kepemimpinan, dari kasus Matori Abdul Djalil,
Alwi Shihab dan terakhir dengan Muhaimin Iskandar. Di samping itu, pemecatan
beberapa pengurus dan pembekuan kepengurusan di beberapa wilayah secara
87
Fuad Anwar, Melawan Gus Dur, (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), h. 135
sepihak adalah bukti lain dari konsekuensi negatif itu. Semua ini bisa terjadi
karena lebih disebabkan peran politik Gus Dur yang begitu besar, sehingga semua
keputusan harus sesuai dengan keinginan dan hitungan-hitungan politiknya saja,
tanpa mau mendengarkan masukan dan kritikan dari berbagai pihak.
Ketokohan dan kharisma yang luar biasa, yang muncul dari dalam diri
seorang Gus Dur adalah merupakan “personal power”. Hal ini yang ternyata
mampu menjadi daya tarik yang luar biasa besar, paling tidak sejak PKB
didirikan, Pemilu 1999, dan Pemilu 2004. Tidak heran jika kemudian PKB,
walaupun merupakan salah satu partai baru yang berdiri sejak Reformasi 1998,
menempati posisi ketiga dalam perolehan suara pada Pemilu 1999 dan 2004.
sesuatu yang menakjubkan dan fenomenal.
Hanya masalahnya pasca-Pemilu 2004 dan menjelang Pemilu 2009, peran
dan pengaruh Gus Dur, yang besar itu, tiba-tiba merosot. Banyak kalangan elemen
NU, baik yang berada di lingkungan PKB maupun yang berada di dalam NU
sendiri melakukan perlawanan terhadap sikap politik dan keputusan-keputusan
politik yang diambil Gus Dur. Kecenderungan adanya perlawanan terhadap sikap
dan keputusan politik Gus Dur, dinilai KH. Yusuf Hasyim sebagai pertanda baik.
Ia mengatakan bahwa, “dulu kalau Gus Dur punya kemauan tidak ada yang berani
mengingatkan walaupun itu menyimpang.” Padahal menurut KH. Wahid Hasyim,
“organisasi kalau ditentukan oleh hanya satu orang, ini tidak sehat.” Tetapi,
sekarang Gus Dur sebagai penentu satu-satunya di PKB sudah mulai menyusut
dan mulai digugat.88
88
Fuad Anwar, Melawan Gus Dur, h. 139
Dari fenomena penolakan dan perlawanan elemen PKB terhadap sikap dan
atau keputusan politik Gus Dur, dapat disimpulkan bahwa ada kemerosotan
kewibawaan Gus Dur, hal ini dapat dipahami dari adanya kecendrungan semakin
menipis dan melemahnya ketaatan warga PKB terhadap kepemimpinan Gus Dur,
paling tidak mulai ada yang berani beda sikap dengan Gus Dur.
Dalam kasus pemecatan Ketua Umum Dewan Tanfidz, Muhaimin
Iskandar, yang telah menimbulkan dualisme kepemimpinan di internal PKB,
ternyata membuat Gus Dur semakin terpojok dan ditinggalkan. Peran secara
struktural yang selama ini menjadi bagian dari kekuatan kekuasaannya di PKB
tidak mampu lagi ia kendalikan. Begitu juga pengaruh ketokohan dan kharisma
Gus Dur, kini tidak sebesar dulu lagi.
Terlepas dari dinamika merosotnya peran dan pengaruh Gus Dur di PKB,
ia adalah sosok tokoh yang fenomenal. Membuang sama sekali sosok Gus Dur di
PKB adalah merupakan dilema etis bagi PKB sendiri. Betapa tidak, walaupun
secara struktural peran Gus Dur sudah terpojok dan pengaruhnya sudah mulai
merosot, namun peristiwa ini masih saja meninggalkan kekhawatiran. PKB
merasa khawatir jika Gus Dur benar-benar meninggalkan PKB dan kemudian
pindah ke partai lain akan sangat berefek terhadap surutnya dukugan bagi PKB
pada Pemilu 2009. Karena pada kenyataannya, Gus Dur oleh sebagian kalangan
masih dipandang memiliki pengaruh yang sangat luar biasa besar dalam meraup
simpati dan dukungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, sejak
terjadinya konflik dualisme di internal PKB dimenangkan oleh kubu Muhaimin,
banyak partai yang gencar melamar Gus Dur. Artinya, ia masih dipandang sebagai
tokoh penting di panggung politik negeri ini. Kedua, walaupun kini ketokohan
dan kharisma Gus Dur mulai merosot, namun harus diakui bahwa dukungan
masyarakat fanatiknya masih begitu signifikan.
Kedua hal inilah yang menyebabkan PKB pantas khawatir ditinggalkan
Gus Dur. Disamping itu, Gus Dur masih dianggap sebagai jendela publik PKB.
Jadi, jika tidak ada Gus Dur nantinya di PKB, tidak akan ada yang dapat
menyaring berbagai bentuk persoalan dan masukan. Di sinilah signifikansi Gus
Dur bagi PKB.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Luasnya dukungan yang diperoleh PKB dibandingkan dengan partaipartai lain, yang seusia dengannya, sangat dipengaruhi oleh “ketokohan dan
kharisma” yang terdapat dalam diri Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Walaupun
PKB merupakan salah satu partai baru di panggung politik nasional, ternyata
mampu menjadi partai besar dan sangat diperhitungkan. Hal ini tentu tidak
terlepas dari kemahiran dan kelihaian seorang Gus Dur dalam memainkan
“position power” dan “personal power”-nya, sebagaimana yang telah dipaparkan
pada bab sebelumnya.
Keterlibatan Gus Dur dalam dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) sangat berpengaruh terhadap kebesaran eksistensi PKB di tengahtengah dinamika politik nasional. Besarnya peran dan pengaruh Gus Dur di PKB
sebagai kekuatan struktural (position power) dan kekuatan personal (personal
Power)-nya adalah sebagai berikut.
Pertama,
Faktor Geneologis, bahwa Gus Dur merupakan keturunan
“darah biru” para kiai besar pendiri NU. Kedua, Faktor Budaya Pesantren, yakni
budaya patuh dan taat kepada kiai, yang selama ini dipegang oleh kaum santri
warga Nahdiyyin sangat memberikan keuntungan tersendiri bagi Gus Dur karena
ia adalah merupakan tokoh dan kiai besar. Ketiga, Faktor Intelektualitas, Gus Dur
yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik, ternyata sangat
berpengaruh terhadap karakter berfikir Gus Dur. Daya intelektual yang dimiliki
Gus Dur tidak hanya diakui tetapi dijadikan sebagai rujukan dalam mencari solusi
terhadap berbagai persoalan bangsa. Dan yang keempat, faktor yang membuat
peran politik Gus Dur dalam dinamika politik PKB cukup dominan adalah Faktor
Struktural. Posisi struktural yang menempatkan Gus Dur sebagai Ketua Umum
Dewan Syura, lembaga tertinggi dalam struktur PKB, dengan wewenang yang
cukup luas membuat Gus Dur bebas melakukan manuver-manuver politik.
Dengan segala kelemahan dan kelebihannya, Gus Dur telah menjadi icon
partai, sejak pembentukannya sampai hari ini. Dikatakan sebagai kelebihan,
karena posisi Gus Dur yang sangat strategis dalam dinamika politik nasional,
sangat memberikan nilai plus terhadap eksistensi dan kebesaran PKB. Dan,
dikatakan kelemahan, dikarenakan sikap ketergantungan partai yang berlebihan
terhadap ketokohan Gus Dur akan sangat menghambat proses regenerasi dan
eksistensi partai pasca-Gus Dur.
B. Kritik dan Saran
Ketokohan dan kharisma seseorang dalam sebuah organisasi seperti
partai politik, di satu sisi sangat menguntungkan tetapi di sisi lain sangat
mengkhawatirkan. Menguntungkan, karena dengan ketokohan dan kharisma
seseorang akan mampu menyerap perhatian dan dukungan yang lebih besar
terhadap partai di mana tokoh yang kharismatik itu berada. Namun, hal ini bisa
menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan, jika kemudian partai sangat
bergantung terhadap ketokohan dan kharisma seseorang. Sikap ketergantungan
yang berlebihan itu pada akhirnya akan membuat proses regenerasi partai mandek
dan eksistensinya akan menurun dan bahkan hancur sejalan dengan menurun dan
hancurnya popularitas tokohnya.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dan besar akibat kebesaran
dan kharisma tokohnya yakni Abdurrahman Wahid, atau yang sering disapa Gus
Dur ini, harus segera sadar diri. Dominasi peran yang selama ini dilakukan oleh
Gus Dur dalam memimpin PKB sangat dikhawatirkan akan berefek terhadap
mandeknya proses regenerasi dan menurunnya tingkat popularitas PKB pasca
kepemimpinan
Gus
Dur.
Keberanian
partai
dalam
melepaskan
sikap
ketergantungan yang berlebihan terhadap ketokohan Gus Dur akan sangat efektif
sebagai langkah penyelamatan eksistensi partai.
Kewenangan yang begitu luas, sebagaimana yang telah diberikan partai
terhadap Gus Dur di Dewan Syura pada akhirnya akan membuat sulitnya
membendung dominasi peran yang dimainkan Gus Dur dalam melakukan
manuver-manuver politik. Konflik yang berujung pada dualisme yang sering
terjadi dalam suksesi kepemimpinan di PKB, dipandang lebih disebabkan oleh
sulitnya membendung dominasi peran politik Gus Dur. Sejarah mencatat sudah
beberapa kali PKB dilanda konflik internal yang sempat menggoyahkan pilar-pilar
penyangga partai. Kita mungkin masih ingat waktu Matori Abdul Djalil menjabat
sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz, kepengurusannya berujung pada dualisme
kepemimpinan, yaitu PKB Kuningan yang dipimpin oleh Alwi Shihab dan PKB
Batutulis pimpinan Matori Abdul Djalil. Kemudian, konflik dengan Chirul Anam
pasca pemecatan Alwi Syihab dan Syaifullah Yusuf dari posisi Ketua Umum dan
Sekjen PKB dan Muktamar II Semarang. Dan hari ini, kembali kita dihadapkan
pada konflik yang sama pasca pemecatan Muhaimin dari kursi Ketua Umum yang
berujung pada dualisme kepemimpinan di PKB, yaitu PKB Ancol, pimpinan
Muhaimin dengan PKB Parung, di bawah pimpinan Ali Masykur Musa. Dan,
tidak menutup kemungkinan, ke depannya konflik-konflik ini akan terus terjadi
jika PKB tidak cepat-cepat menyadari akan kelemahannya selama ini.
Walaupun belakangan kubu Muhaimin memenangkan pertarungan
dualisme ini, dengan keinginan untuk mengubah gaya dan manajemen
kepemimpinan PKB yang selama ini didominasi oleh Gus Dur, namun secara
objektif harus diakui bahwa, ketokohan dan kharisma seorang Gus Dur masih
sangat penting untuk menyerap dukungan yang luas bagi PKB. Di samping itu,
pemikiran-pemikiran Gus Dur masih sangat dibutuhkan oleh PKB dalam rangka
memperbaiki dan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, sebagai agenda
politik partai. Akan tetapi, kenyataan ini juga harus dibarengi oleh sikap legowo
Gus Dur untuk memberikan keleluasaan bagi pengurus partai untuk menentukan
kebijakan-kebijakan dan sikap partai secara mandiri. Gus Dur juga harus segera
merubah image buruk yang terlanjur melekat pada dirinya tentang sikap otoriter
dalam menjalankan roda kepengurusan partai, yang selama ini dikritik oleh
banyak kalangan. Karena, harus disadari betul bahwa kesemuanya itu akan
berefek buruk terhadap ketokohan dan kharisma seorang Gus Dur, dan pada
akhirnya berimbas terhadap eksistensi dan kebesaran PKB. Kini, publik terlanjur
menilai bahwa sumber konflik yang terjadi selama ini di tubuh internal PKB
ternyata lebih disebabkan oleh sikap otoriter Gus Dur dalam memimpin partai.
Dengan sikap yang demikian, diharapkan ketokohan dan kharisma
seorang Gus Dur akan tetap terjaga dalam meraup simpati yang sebesar-besarnya
untuk kepentingan politik PKB, sehingga eksistensi partai akan tetap kokoh
berdiri dan yang terpenting proses regenerasi akan berjalan normal.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Anwar, Ali. Avonturisme NU: Menjejaki Akar Konflik Kaum Nahdhiyyin.
Bandung: HUMANIORA, 2004.
Anwar, Fuad. Melawan Gus Dur. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004.
Aritoga, Diro. Runtuhnya Rezim daripada Soeharto: Pengalaman Perjuangan
Mahasiswa Indonesia 1998. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Aziz, M. Imam, dkk. Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama,1993.
Barton, Greg. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LKIS,2004.
Bulkhori, M. Pahrurroji. Membebaskan Agama dari Negara: Pemikiran
Abdurrahman Wahid dan 'Ali 'Abd ar-Raziq. Bantul: Pondok
Edukasi, 2003.
Choirie, Effendy. PKB Politik Jalan Tengah UN. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002.
Djalil, Matori Abdul. Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa. Jakarta: Grasindo,
1999.
Feillard, Andree. NU Vis-a-Vis Negara. Yogyakarta: LkiS, 1999.
Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi-Politik Indonesia PascaSoeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.
Herman, Eman. dkk. Partai Advokasi: Wacana Keberpihakan dan Gerakan.
Yogyakarta: Kerjasama Sekretariat Jenderal DPP PKB dan KLIK_R,
2005.
Hikam, Muhammad A.S. Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society.
Jakarta: Erlangga, 2000.
Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1995.
Ismail, Faisal. NU, Gus Durisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya, 1999.
Jaily, Ahmad Hakim dan Tohadi, Muhammad. PKB dan Pemilu 2004. Jakarta:
LPP-PKB, 2003.
Jurdi, Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara,
Khalifah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Jurdi, Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara,
Khalifah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Kazhim, Musa dan Hamzah, Alfian. 5 Partai Dalam Timbangan. Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999.
Lane, Max. Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Soeharto. Jakarta: Reform Institute, 2007.
Minan, Ahsanul. dkk. Khidmat Kami Bagimu Negeri: Laporan Kinerja Fraksi
Kebangkitan Bangsa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Tahun 2005-2006. Jakarta: FKB DPR RI, 2007.
Mufid AR, Achmad. Ada Apa Dengan Gus Dur. Yogyakarta: Kutub 2005.
Ramage, Douglas E. Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan
Ideologi Toleransi. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.
Sanit, Arbi. Partai, Pemilu dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997.
Setiawan, Bambang dan Nainggolan, Bastian. Partai-partai Politik Indonesia:
Idiologi dan Program 2004-2009. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Sitompul, Einar Martahan. NU dan Pancasila. Jakarta: Sinar Harapan, 1989.
Sudjatmiko, Budiman. Transisi Demokrasi: Evaluasi Kritis Penyelenggaraan
Pemilu 1999. Jakarta: KIPP, 1999.
Tim INCReS, Beyond The Symbol: Jejak antropologis pemikiran dan gerakan
Gus Dur. Bandung: INCReS dan PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Tohadi, Muhammad dan Abidin, Zaenal. Orientasi Pemenangan Pemilu Partai
Kebangkitan Bangsa. Jakarta: LPP-DPP PKB, 2002.
Urbaningrum, Anas. Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia. Jakarta:
Republika, 2004.
Wahid, Abdurrahman. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan
Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 Republik Indonesia.
Jakarta: Kompas, 1999.
Wahid, Abdurrahman. Tabayyun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas,
Reformasi Kultural. Yogyakarta: LkiS, 1998.
Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LkiS, 1999.
Wahid, Salahuddin. Negeri Di Balik Kabut Sejarah: Catatan-Catatan Pendek
Salahuddin Wahid. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000.
Widodo. “Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi.”
Jakarta: Magna Script, 2004.
Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKIS, 2004.
B. Berita Dalam Koran dan Dokumen Elektronik
“Demokrat-SBY Pisah Ranjang.” Opini Indonesia, 29 Januari-4 Februari 2007.
“Konflik PKB 2008.” Artikel diakses tanggal 22 Agustus 2008 dari www.
therifqibiru.com.
“Konflik PKB dan telunjuk Gus Dur.” Artikel diakses tanggal 16 April 2008 dari
www.politikIndonesia.com,
Gus Dur, “NU tidak menghendaki status quo,” dalam Kompas, Senin, 24
November 1997.
Hajar,Yessi Siti. “Dijadikan Penasihat PKB, Gus Dur Geram.” Artikel
diakses tanggal 17 Oktober 2008 dari http://www.inilah.com
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/07/16/brk,20070716103813,id,html.
Muhammad, Djibril. “Babak PKB tanpa Gus Dur, Gelap!.” Artikel diakses
tanggal 17 Oktober 2008 dari http://www.inilah.com
Wahid, Abdurrahman. “Demokrasi dan Demokratisasi Indonesia”, diakses
31 Oktober 2008 dari http://www.Gusdur.Net
NASKAH DEKLARASI
Bismillāhirrahmānirrahīm
Bahwa cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah terwujudnya
suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil, dan makmur, serta untuk mewujudkan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bahwa wujud dari bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat beradab dan
sejahtera, yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan,
dan keterbukaan yang bersumber dari hati nurani; bisa dipercaya, setia dan tepat
janji serta mampu memecahkan masalah sosial yang bertumpu pada kekuatan
sendiri; bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi; tolong menolong dalam
kebajikan; serta konsisten menjalankan garis/ketentuan yang telah disepakati
bersama.
Bahwa dalam kurun tiga dasawarsa terakhir ini, perjuangan bangsa mencapai citacita tersebut terasa semakin jauh dari yang diharapkan. Pembangunan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya telah mengabaikan faktor rakyat sebagai pemegang
kedaulatan, pengingkaran terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut telah
melahirkan praktik kekuasaan tidak terbatas dan tidak terkendali, yang
mengakibatkan kesengsaraan rakyat.
Bahwa untuk mewujudkan nilai-nilai dan prinsip tersebut serta mencegah
terulangnya kesalahan serupa di masa mendatang, diperlukan tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Di dalam tatanan
kehidupan yang demokratis itu warga Jam‘iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian
dari bangsa Indonesia bertekad untuk bersama komponen bangsa lain
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, berakhlak mulia, dan
bermartabat melalui suatu wadah partai politik.
Maka dengan memohon rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah Allah Swt., serta
didorong oleh semangat keagamaan, kebangsaan dan demokrasi, kami warga
Jam‘iyyah Nahdlatul Ulama dengan ini menyatakan berdirinya partai politik yang
bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka dan demokratis yang diberi nama Partai
Kebangkitan Bangsa.
Jakarta, 29 Rabi‘ul Awwal 1419 H/23 Juli 1998 M
Para Deklarator
Munasir Ali
Ilyas Ruchyat
Abdurrahman Wahid
A. Mustofa Bisri
A. Muhith Muzadi
ANGGARAN RUMAH TANGGA PKB
BAB I
LAMBANG
Pasal 1
Makna Lambang
(1) Arti Gambar adalah sebagai berikut:
a. Bumi dan peta Indonesia, bermakna tanah air Indonesia yang merupakan
basis perjuangan Partai dalam usahanya untuk mencapai tujuan Partai
sebagaimana termaktub dalam pasal 7 Anggaran Dasar;
b. Sembilan bintang, bermakna idealisme Partai yang memuat 9 (sembilan)
nilai, yaitu kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kejujuran, kerakyatan,
persamaan, kesederhanaan, keseimbangan, dan persaudaraan.
c. Tulisan nama Partai dan singkatannya, bermakna identitas diri Partai yang
berfungsi sebagai sarana perjuangan aspirasi politik rakyat Indonesia yang
memiliki kehendak menciptakan tatanan kehidupan bangsa yang
demokratis;
d. Bingkai segi empat dengan garis ganda yang sejajar, bermakna garis
perjuangan Partai yang menempatkan orientasi duniawi dan ukhrawi,
material dan spiritual, lahir dan batin, secara sejajar.
(2) Arti warna adalah sebagai berikut :
a. Putih, bermakna kesucian, ketulusan, dan kebenaran yang menjadi etos
perjuangan Partai;
b. Hijau, bermakna kemakmuran lahir dan batin bagi seluruh rakyat
Indonesia yang menjadi tujuan perjuangan
c. Kuning, bermakna kebangkitan Bangsa yang menjadi nuansa
pembaharuan dan berpijak pada kemaslahatan umat manusia;
Pasal 2
Penggunaan Lambang
Lambang Partai digunakan pada atribut-atribut Partai yang ketentuan
penggunaannya akan diatur lebih lanjut oleh Dewan Pengurus Pusat dalam
Peraturan Partai.
BAB II
KEANGGOTAAN
Pasal 3
Jenis Keanggotaan
(1) Anggota langsung adalah setiap warga negara Indonesia yang telah terdaftar
secara sah menjadi anggota Partai pada Dewan Pengurus Cabang setempat
dan secara aktif melakukan tugas-tugas kePartaian serta mengikuti kegiatankegiatan Partai;
(2) Anggota tak langsung adalah warga negara Indonesia yang belum/tidak
terdaftar secara sah menjadi anggota Partai pada Dewan Pengurus Cabang
setempat dan secara aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Partai;
(3) Anggota kehormatan adalah setiap orang yang dianggap telah berjasa kepada
Partai atau orang-orang tertentu yang dipilih dan disetujui penetapannya
dalam
Rapat
Pleno
Dewan
Pengurus
Pusat
Partai.
Pasal 4
Persyaratan Menjadi Anggota
Persyaratan menjadi anggota Partai adalah sebagai berikut :
a. Warga negara Indonesia yang telah berumur 17 tahun dan/atau telah menikah;
b. Dapat membaca dan menulis;
c. Menyetujui dan menerima Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan
platform Partai.
Pasal 5
Tata Cara Pendaftaran Anggota
Tata cara pendaftaran untuk menjadi anggota Partai adalah sebagai berikut :
a. Mengajukan permintaan menjadi anggota kepada Dewan Pengurus Cabang
melalui Dewan Pengurus Ranting setempat, disertai pernyataan persetujuan
terhadap Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, platform Partai, dan
membayar uang pangkal;
b. Apabila permintaan itu diluluskan, maka yang bersangkutan berstatus sebagai
calon anggota selama 3 (tiga) bulan dengan hak menghadiri kegiatan-kegiatan
Partai yang dilakukan secara terbuka;
c. Apabila selama menjadi calon anggota yang bersangkutan menunjukkan halhal positif maka ia diterima menjadi anggota secara penuh dan kepadanya
diberikan Kartu Anggota Partai yang dikeluarkan oleh Dewan Pengurus
Cabang;
d. Permintaan menjadi anggota dapat ditolak apabila terdapat alasan-alasan yang
kuat secara organisatoris dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 6
(1) Anggota kehormatan dapat diterima pada tingkat Cabang keatas;
(2) Usulan agar seseorang diterima sebagai anggota kehormatan dapat diajukan
melalui Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai;
(3) Surat pengesahan anggota kehormatan dikeluarkan oleh Dewan Pengurus
Pusat.
Pasal 7
Kewajiban Anggota
Setiap Anggota berkewajiban :
a. Mentaati Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan seluruh keputusan
Partai;
b. Setia dan tunduk kepada disiplin Partai;
c. Aktif dalam kegiatan-kegiatan Partai serta bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang diamanatkan kepadanya;
d. Menjunjung tinggi kehormatan dan nama baik Partai serta menentang setiap
upaya dan tindakan yang merugikan Partai dengan cara yang berakhlak;
e. Memupuk persatuan dan solidaritas di antara sesama anggota Partai ;
f. Membayar uang iuran anggota;
Pasal 8
Hak-hak Anggota
Setiap anggota Partai berhak :
a. Mendapatkan perlakuan yang sama dari Partai;
b. Memperoleh informasi atas seluruh aktivitas dan keputusan Partai;
c. Memperoleh bimbingan, pelatihan, dan pendidikan politik dari Partai;
d. Mendapatkan perlindungan dan pembelaaan dari Partai;
e. Mengeluarkan pendapat serta mengajukan usul, saran, dan kritik;
f. Memilih dan dipilih;
g. Hak-hak lainnya yang diatur dalam Peraturan Partai.
Pasal 9
Disiplin Partai
(1) Anggota Partai dilarang merangkap sebagai anggota Partai lain;
(2) Anggota Partai dilarang menjadi anggota organisasi sosial kemasyarakatan
yang mempunyai asas dan/atau tujuan yang bertentangan dengan asas
dan/atau tujuan Partai;
(3) Anggota atau kepengurusan Partai harus tunduk kepada pimpinan struktur
organisasi Partai yang lebih tinggi di dalam hal-hal yang tidak bertentangan
dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan disiplin Partai
lainnya yang diatur dalam Peraturan Partai.
Pasal 10
Gugurnya Keanggotaan
Seseorang anggota Partai dinyatakan gugur keanggotaannya dikarenakan:
a. Permintaan sendiri untuk berhenti menjadi anggota Partai yang disampaikan
secara tertulis kepada Dewan Pengurus Cabang Partai dan disertai sekurangkurangnya satu orang saksi;
b. Meninggal dunia;
c. Diberhentikan.
Pasal 11
Tata Cara Pemberhentian Anggota
(1) Seorang anggota dapat diberhentikan sementara atau diberhentikan karena
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga Partai atau dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban
sebagai anggota Partai, atau melanggar disiplin Partai dan/ atau mencemarkan
kehormatan dan nama baik Partai;
(2) Sebelum diberhentikan anggota yang bersangkutan diberi peringatan tertulis
sebanyak 3 (tiga) kali oleh Dewan Pengurus Partai dimana ia terdaftar sebagai
anggota. Tenggang waktu dari pengeluaran peringatan tertulis pertama dan
selanjutnya sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari;
(3) Apabila dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah peringatan terakhir tidak
diperhatikan, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara selama
3 (tiga) bulan;
(4) Bilamana dalam jangka waktu pemberhentian sementara yang bersangkutan
tidak melakukan klarifikasi dan kembali kepada Partai, maka status
kenggotaannya gugur dengan sendirinya;
(5) Surat Pemberhentian sebagai anggota diterbitkan oleh dan atas keputusan
Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai di mana ia terdaftar sebagai anggota;
(6) Dalam hal seorang anggota yang menjabat suatu jabatan tertentu di dalam
Partai, maka keputusan pemberhentian sementara atau pemberhentian
ditetapkan oleh Dewan Pengurus Partai yang setingkat di atasnya berdasarkan
usulan Dewan Pengurus Partai di mana ia terdaftar sebagai anggota, setelah
melakukan Rapat Pleno;
(7) Anggota yang diberhentikan sementara atau diberhentikan dapat membela
diri dengan mengajukan permintaan peninjauan kembali atas keputusan
tersebut kepada forum permusyawaratan tertinggi di lingkungannya dan/atau
Dewan Pengurus Partai yang lebih tinggi. Selanjutnya Rapat Pleno Dewan
Pengurus Partai dapat mengambil putusan atas permintaan itu.
BAB III
STRUKTUR ORGANISASI PARTAI
Pasal 12
Dewan Pengurus Pusat
(1) Dewan Pengurus Pusat (DPP) adalah pimpinan tertinggi Partai yang bersifat
kolektif;
(2) DPP memiliki wewenang:
a. Menetapkan kebijakan Partai di Tingkat Nasional sesuai dengan Anggaran
Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional, serta Peraturan Partai;
b. Mengesahkan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Wilayah (DPW)
dan Dewan Pengurus Cabang (DPC);
c. Membekukan kepengurusan Dewan Pengurus Wilayah dan Dewan
Pengurus Cabang dengan prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 24
Anggaran Rumah Tangga ini.
(3) DPP berkewajiban:
a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah
Tingkat Nasional serta Peraturan Partai;
b. Menyampaikan Laporan Pertanggung Jawaban kepada Muktamar.
Pasal 13
Dewan Pengurus Wilayah
(1) Dewan Pengurus Wilayah (DPW) adalah pimpinan Partai yang bersifat
kolektif di Daerah Propinsi
(2) DPW memiliki wewenang:
a. Menetapkan kebijaksanaan Partai di Daerah Propinsi sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah
Tingkat Nasional maupun Daerah Propinsi serta Peraturan Partai;
b. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengurus Pusat untuk
pengesahan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Cabang (DPC)
serta pembekuan Dewan Pengurus Cabang (DPC)
c. Mengesahkan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Anak Cabang
(DPAC) dengan sungguh-sungguh memperhatikan rekomendasi Dewan
Pengurus Cabang (DPC) yang bersangkutan;
d. Membekukan kepengurusan Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC)
dengan prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 24 Anggaran Rumah
Tangga ini.
(3) DPW berkewajiban:
a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebikjasanaan Partai sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah
Tingkat Nasional maupun Daerah Propinsi serta Peraturan Partai.
b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Pusat (DPP);
c. Menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada Musyawarah
Wilayah;
Pasal 14
Dewan Pengurus Cabang
Dewan Pengurus Cabang (DPC) adalah pimpinan Partai yang bersifat kolektif di
Daerah Kabupaten/Kota;
DPC memiliki wewenang :
a. Menetapkan kebijaksanaan Partai di Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional maupun Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota serta
Peraturan Partai;
b. Mengesahkan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Ranting (DPRt)
dengan sungguh-sungguh memperhatikan rekomendasi Dewan Pengurus
Anak Cabang (DPAC), dan mengesahkan komposisi dan personalia Dewan
Pengurus Anak Ranting (DPARt) dengan sungguh-sungguh memperhatikan
rekomendasi Dewan Pengurus Ranting (DPRt);
c. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengurus Wilayah (DPW) untuk
pengesahan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Anak Cabang
(DPAC) serta pembekuan Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC).
d. Membekukan kepengurusan Dewan Pengurus Ranting (DPRt) dan Dewan
Pengurus Anak Ranting (DPARt) dengan prosedur sebagaimana diatur dalam
pasal 24 Anggaran Rumah Tangga ini.
DPC berkewajiban :
a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional maupun Propinsi dan Kabupaten/ kota serta Peraturan Partai;
b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Wilayah (DPW);
c. Menyampaikan laporan pertanggung jawaban pada Musyawarah Cabang.
Pasal 15
Dewan Pengurus Anak Cabang
Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) adalah pimpinan Partai yang bersifat
kolektif di tingkat kecamatan;
DPAC memiliki wewenang:
a. Menetapkan kebijaksanaan Partai di tingkat kecamatan sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional, Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten/Kota, dan Tingkat Kecamatan
serta Peraturan Partai;
b. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengurus Cabang (DPC) untuk
pengesahan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Ranting (DPRt) serta
pembekuan Dewan Pengurus Ranting (DPRt);
DPAC berkewajiban :
a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional, Daerah Propinsi, Tingkat Kabupaten/Kota, dan tingkat Kecamatan,
serta Peraturan Partai;
b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Cabang (DPC);
c. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada Musyawarah Anak
Cabang;
Pasal 16
Dewan Pengurs Ranting
Dewan Pengurus Ranting (DPRt) adalah pimpinan Partai yang bersifat kolektif di
tingkat Desa/Kelurahan;
DPRt memiliki wewenang:
a. Menetapkan kebijaksanaan Partai di Tingkat Desa/Kelurahan sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional, Daerah Propinsi, Tingkat Kabupaten/Kota, Tingkat Kecamatan dan
Tingkat Desa/Kelurahan serta Peraturan Partai;
b. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengurus Cabang (DPC) melalui
Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) untuk mengesahkan komposisi dan
personalia Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) serta pembekuan Dewan
Pengurus Anak Ranting (DPARt);
c. Menerima pendaftaran calon anggota Partai disampaikan pada Dewan
Pimpinan Cabang (DPC).
DPRt berkewajiban :
a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional, Daerah Propinsi, Tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Kecamatan, dan
tingkat Desa/Kelurahan, serta Peraturan Partai;
b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Anak Cabang
(DPAC);
c. Menyampaikan laporan pertanggung jawaban pada Musyawarah Ranting;
Pasal 17
Dewan Pengurus Anak Ranting
Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) adalah pimpinan Partai yang bersifat
kolektif di tingkat Dusun/ lingkungan/ kawasan pemukiman;
DPARt memiliki wewenang:
a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan
Anggaran dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional, Propinsi, Kabupaten/kota, Tingkat Kecamatan, Tingkat Desa/
Kelurahan, dan Tingkat Dusun/lingkungan/kawasan pemukiman, serta
Peraturan Partai;
b. Menetapkan dan memberhentikan komisaris/ koordinator lapangan Partai
pada tingkat dusun/ lingkungan/ kawasan pemukiman berdasarkan Rapat
Pleno;
DPARt berkewajiban:
a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijaksanaan Partai sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Ting kat
Nasional, Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten/ Kota, Tingkat Kecamatan,
Tingkat Desa/ Kelurahan, Tingkat Dusun/ lingkungan/ kawasan pemukiman,
serta Peraturan Partai;
b. Membuat laporan secara berkala kepada Dewan Pengurus Ranting (DPRt);
c. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada Musyawarh Anak Ranting.
Pasal 18
Struktur Organisasi Kepengurusan Partai mengikuti struktur administratif
pemerintahan.
Pasal 19
Ketentuan mengenai Dewan Pengurus Cabang (DPC) sebagaimana diatur dalam
pasal 14 ART ini berlaku juga untuk perwakilan Partai di luar negeri.
BAB IV
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG KEPENGURUSAN PARTAI
Pasal 20
Dewan Syura adalah dewan pimpinan kolektif yang terdiri dari para ulama dan
para ahli serta mencerminkan representasi daerah, sebagai pemegang amanah
kepemimpinan Partai tertinggi di setiap tingkatan.
Dewan Syura Dewan Pengurus Pusat (DPP) beranggotakan beberapa orang sesuai
dengan kebutuhan.
Dewan Syura Dewan Pengurus Wilayah (DPW) beranggotakan beberapa orang
sesuai dengan kebutuhan.
Dewan Syura Dewan Pengurus Cabang (DPC) beranggotakan beberapa orang
sesuai dengan kebutuhan.
Dewan Syura Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) beranggotakan beberapa
orang sesuai dengan kebutuhan.
Dewan Syura Dewan Pengurus Ranting (DPRt) beranggotakan beberapa orang
sesuai dengan kebutuhan.
Dewan Syura Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) beranggotakan beberapa
orang sesuai dengan kebutuhan.
Susunan Dewan Syura Dewan Pengurus Pusat (DPP) terdiri dari seorang Ketua
Umum, beberapa orang Ketua, seorang Sekretaris, beberapa orang Wakil
Sekretaris dan beberapa orang anggota. Sedangkan susunan Dewan Syura Dewan
Pengurus Wilayah (DPW), Dewan Pengurus Cabang (DPC), Dewan Pengurus
Anak Cabang (DPAC), Dewan Pengurus Ranting (DPRt) dan Dewan Pengurus
Anak Ranting (DPARt) terdiri dari seorang Ketua, beberapa orang Wakil Ketua,
seorang Sekretaris, beberapa orang Wakil Sekretaris dan beberapa orang anggota.
Dewan Syura Dewan Pengurus Pusat (DPP) memiliki tugas:
a. Memelihara kemurnian perjuangan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai dan
peraturan Partai;
b. Membuat dan menetapkan pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai
berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forumforum permusyawaratan Partai dan peraturan Partai;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pedoman umum kebijakan
utama Partai oleh Dewan Tanfidz;
d. Menyampaikan
laporan
pertanggung
jawaban
kepada
Forum
Permusyawaratan Tertinggi Partai di tingkatannya masing-masing.
Dewan Syura Dewan Pengurus Wilayah (DPW) sampai Dewan Pengurus Anak
Ranting (DPARt) memiliki tugas:
a. Memelihara kemurnian perjuangan Partai sesuai dengan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai dan
peraturan Partai;
b. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pedoman umum kebijakan
utama Partai oleh Dewan Tanfidz;
c. Menyampaikan
laporan
pertanggung
jawaban
kepada
forum
permusyawaratan tertinggi Partai di tingkatannya masing-masing.
Dewan Syura Dewan Pengurus Pusat (DPP) sampai Dewan Pengurus Anak
Ranting (DPARt) memiliki wewenang untuk mengawasi dan memberikan
pertimbangan terhadap pedoman umum kebijakan utama Partai yang dilaksanakan
dan dijalankan oleh Dewan Tanfidz berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai dan peraturan
Partai.
Tata cara pengambilan keputusan Dewan Syura adalah sebagai berikut:
a. Putusan Dewan Syura diambil dalam Rapat Dewan Syura yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) anggota Dewan Syura;
b. Pengambilan keputusan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat;
c. Dalam hal tidak dapat dicapai mufakat, putusan dianggap sah apabila
disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) peserta rapat;
d. Putusan Dewan Syura ditetapkan melalui surat keputusan Dewan Syura.
Di setiap tingkatan kepengurusan Dewan Syura diharuskan mengakomodir unsur
perempuan dengan quota 30%.
Pasal 21
Dewan Tanfidz adalah Dewan Pelaksana Harian yang bertugas mengelola
organisasi dan program Partai di setiap tingkatan;
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Pusat (DPP) dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada Muktamar untuk masa jabatan lima tahun.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Wilayah (DPW) dipilih oleh dan bertanggung
jawab kepada Musyawarah Wilayah untuk masa jabatan lima tahun.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Cabang (DPC) dipilih oleh dan bertanggung
jawab kepada Musyawarah Cabang untuk masa jabatan lima tahun.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada Musyawarah Anak Cabang untuk masa jabatan lima
tahun.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Ranting (DPRt) dipilih oleh dan bertanggung
jawab kepada Musyawarah Ranting untuk masa jabatan lima tahun.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt) dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada Musyawarah Anak Ranting untuk masa jabatan lima
tahun.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Pusat (DPP) terdiri dari Ketua Umum, Wakil
Ketua Umum, beberapa Ketua, Sekretaris Jenderal, beberapa Wakil Sekretaris
Jenderal, Bendahara dan beberapa Wakil Bendahara.
Dewan Tanfidz mulai dari Dewan Pengurus Wilayah (DPW) sampai Dewan
Pengurus Anak Ranting (DPARt) terdiri dari Ketua, beberapa Wakil Ketua,
Sekretaris, beberapa Wakil Sekretaris, Bendahara, dan beberapa Wakil
Bendahara.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Pusat (DPP) memiliki tugas:
a. Melaksanakan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forumforum permusyawaratan Partai, dan peraturan Partai.
b. Menjalankan pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai yang telah
dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Syura.
c. Mengelola kebijaksanaan, program, dan kegiatan Partai secara efektif dan
efisien dalam rangka pencapaian tujuan Partai.
d. Bersama Dewan Syuro Menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada
forum permusyawaratan tertinggi Partai di tingkatannya masing-masing.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Wilayah (DPW) sampai Dewan Pengurus Anak
Ranting (DPARt) memiliki tugas:
a. Melaksanakan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forumforum permusyawaratan Partai, dan peraturan Partai.
b. Menjalankan pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai dengan
merujuk kepada Dewan Syura.
c. Mengelola kebijaksanaan, program, dan kegiatan Partai secara efektif dan
efisien dalam rangka pencapaian tujuan Partai.
d. Bersama Dewan Syuro menyampaikan laporan pertangungjawaban kepada
forum permusyawaratan tertinggi Partai di tingkatannya masing-masing.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Pusat (DPP) memiliki wewenang :
a. Membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan strategis Partai sebagai
penerjemahan dari pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai yang
telah dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Syura.
b. Menentukan pola pengelolaan kebijaksanaan, program, dan kegiatan Partai
sesuai dengan pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai yang telah
dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Syura serta berdasarkan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai, dan
peraturan Partai.
c. Membentuk kelengkapan dan perangkat Partai sesuai dengan kebutuhan dan
berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Wilayah (DPW) sampai Dewan Pengurus Anak
Ranting (DPARt) memiliki wewenang :
a. Membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan strategis Partai sebagai
penerjemahan dari pedoman umum kebijakan-kebijakan utama Partai yang
merujuk kepada Dewan Syura.
b. Menentukan pola pengelolaan kebijaksanaan, program, dan kegiatan Partai
sesuai dengan pedoman umum kebijakan-kebijakan Utama Partai dengan
merujuk kepada Dewan Syura serta berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai, dan peraturan
Partai.
c. Membentuk kelengkapan dan perangkat Partai di tingkatannya masingmasing sesuai dengan kebutuhan dan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
d. Di setiap tingkatan kepengurusan Dewan Tanfidz diharuskan mengakomodir
unsur perempuan dengan memenuhi quota 30%.
BAB V
LOWONGAN ANTAR WAKTU
Pasal 22
Lowongan antar waktu personalia Dewan Pengurus Partai terjadi karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. diberhentikan.
Pemberhentian Sementara Personalia Dewan Pengurus Partai hanya dapat
dilakukan melalui Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai berdasarkan alasan-alasan
yang kuat secara organisatoris dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum permusyawaratan Partai dan
Peraturan Partai.
Pemberhentian secara tetap atau permanen Personalia Dewan Pengurus Partai
yang dipilih secara langsung dalam forum permusyawaratan tertinggi Partai hanya
dapat dilakukan melalui forum permusyawaratan tertinggi luar biasa sesuai
tingkatannya.
Mekanisme dan tata cara mengenai pemberhentian Personalia Dewan Pengurus
Partai akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Partai.
Pasal 23
Pengisian lowongan antar waktu personalia Dewan Pengurus Partai dilakukan
oleh Rapat Pleno Dewan Pengurus.
Pengisian lowongan antar waktu Personalia Dewan Pengurus Partai yang dipilih
secara langsung dalam forum permusyawaratan tertinggi Partai hanya dapat
dilakukan melalui forum permusyawaratan tertinggi luar biasa atau forum
permusyawaratan tertinggi khusus sesuai tingkatannya.
Sebelum ada keputusan pengisian lowongan antar waktu, maka Dewan Pengurus
Partai dapat mengisi lowongan tersebut dengan menunjuk pejabat sementara yang
disahkan melalui surat keputusan Dewan Pengurus Partai pada tingkatan masingmasing melalui Rapat Pleno.
BAB VI
PEMBEKUAN KEPENGURUSAN PARTAI
Pasal 24
Dewan Pengurus Pusat (DPP) dapat membekukan Dewan Pengurus Wilayah
(DPW), Dewan Pengurus Pusat (DPP) dapat membekukan Dewan Pengurus
Cabang (DPC) dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengurus
Wilayah (DPW);
Dewan Pengurus Wilayah (DPW) dapat membekukan Dewan Pengurus Anak
Cabang (DPAC) dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengurus Cabang
(DPC);
Dewan Pengurus Cabang (DPC) dapat membekukan Dewan Pengurus Ranting
(DPRt) dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengurus Anak Cabang
(DPAC), Dewan Pengurus Cabang DPC dapat membekukan Dewan Pengurus
Anak Ranting (DPARt) dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengurus
Ranting (DPRt) ;
Pengambilan keputusan pembekuan oleh Dewan Pengurus Partai kepada Dewan
Pengurus Partai di tingkat bawahnya sebagaimana dalam ayat (1), (2), dan (3)
ditetapkan sekurang-kurangnya melalui Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai;
Alasan pembekuan harus kuat secara organisatoris dan tidak bertentangan dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, putusan forum-forum
permusyawaratan Partai, dan peraturan Partai;
Sebelum pembekuan terlebih dahulu diberikan peringatan tertulis sebanyak 3
(tiga) kali selambat-lambatnya 14 hari untuk memperbaiki pelanggarannya;
Setelah pembekuan terjadi, maka kepengurusan Dewan Pengurus Partai dipegang
oleh kepengurusan setingkat lebih tinggi, atau membentuk caretaker sebagai
pengurus sementara;
Pengurus sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) pasal ini, bertugas
mempersiapkan penyelenggaraan forum permusyawaratan tertinggi luar biasa
menurut tingkatan yang akan memilih kepengurusan baru;
Selambat-lambatnya tiga (3) bulan setelah pembekuan, harus sudah terselenggara
forum permusyawaratan tertinggi luar biasa menurut tingkatannya untuk memilih
kepengurusan baru.
Pasal 25
Ketentuan tentang mekanisme dan tata cara pembekuan pengurus di atas akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Partai.
BAB VII
KELENGKAPAN DAN PERANGKAT PARTAI
Pasal 26
Departemen – Departemen
Departemen adalah kelengkapan Partai di tingkat Pusat yang berfungsi sebagai
unit pelaksana program-program Dewan Pengurus Pusat (DPP);
Departemen-departemen dibentuk dan dikoordinasikan oleh Dewan Pengurus
Pusat (DPP).
Pasal 27
Biro - Biro
Biro adalah kelengkapan Partai di Daerah Propinsi yang berfungsi sebagai unit
pelaksana program-program Dewan Pengurus Wilayah (DPW);
Biro-biro dibentuk dan dikoordinasikan oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW).
Pasal 28
Divisi – Divisi
Divisi-divisi adalah kelengkapan Partai di Daerah Kabupaten/ Kota yang
berfungsi sebagai unit pelaksana program-program Dewan Pengurus Cabang
(DPC);
Divisi-divisi dibentuk dan dikoordinasikan oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC).
Pasal 29
Seksi – Seksi
Seksi adalah kelengkapan Partai di tingkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan yang
berfungsi sebagai unit pelaksana program-program Dewan Pengurus Anak
Cabang (DPAC) atau Dewan Pengurus Ranting (DPRt);
Seksi dibentuk dan dikoordinasikan oleh Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC)
atau Dewan Pengurus Ranting (DPRt).
Pasal 30
Lembaga – Lembaga
Lembaga adalah perangkat khusus Partai yang merupakan alat pengabdian dan
perjuangan Partai dalam bidang-bidang agama, politik, ekonomi, hukum, sosial
budaya, pendidikan, dan pertahanan;
Lembaga dibentuk oleh Dewan Pengurus Partai sesuai kebutuhan;
Lembaga memiliki struktur organisasi sendiri dari tingkat Dewan Pengurus Pusat
(DPP) sampai ke tingkat Dewan Pengurus Cabang (DPC) disesuaikan dengan
potensi Dewan Pengurus Partai masing-masing tingkatan;
Lembaga berada dibawah koordinasi dan bertanggung jawab kepada Dewan
Pengurus Partai menurut tingkatannya.
Pasal 31
Badan Otonom
Badan otonom adalah perangkat Partai yang berfungsi membantu melaksanakan
kebijakan Partai, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu
dan merupakan basis massa serta sumber kader Partai di berbagai segmen
dan/atau lapisan sosial masyarakat;
Badan Otonom dapat dibentuk berdasarkan kepentingan perjuangan Partai yang
berkaitan dengan bidang politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan, dan
pertahanan, yang pelaksanaan dan pencapaiannya memerlukan garis instruksi dan/
atau konsolidasi dan/ atau koordinasi secara mudah, cepat, efektif, dan efisien;
Badan otonom untuk segmen pemuda ialah Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa
yang disingkat GARDA BANGSA;
Badan otonom untuk kaum perempuan ialah Pergerakan Perempuan Kebangkitan
Bangsa yang disingkat PPKB;
Badan otonom untuk kepentingan perjuangan Partai yang berkaitan dengan bidang
hukum dan hak asasi manusia ialah Lembaga Advokasi Hukum dan HAM yang
disingkat LAKUMHAM;
Badan Otonom untuk kepentingan perjuangan Partai selain yang dimaksud dalam
ayat (3), (4), dan ayat (5) Pasal ini, dapat dibentuk menurut kebutuhan Partai dan
diputuskan oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP) serta disahkan oleh Muktamar.
Pimpinan Badan Otonom adalah salah satu dari anggota pengurus Harian Anggota
Pleno Harian pada tingkatan masing-masing.
Pasal 32
Susunan organisasi dan kepengurusan Badan Otonom diatur di dalam Peraturan
Dasar dan Peraturan Rumah Tangga masing-masing;
Badan Otonom berkewajiban menyesuaikan asas, tujuan, dan usahanya dengan
Partai;
Keputusan permusyawaratan tertinggi Badan Otonom yang menyangkut Peraturan
Dasar dan Peraturan Rumah Tangga harus mendapat persetujuan Dewan Pengurus
Pusat, baik secara keseluruhan maupun dengan perubahan;
Keputusan permusyawaratan tertinggi Badan Otonom yang tidak menyangkut
Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga harus dilaporkan kepada Dewan
Pengurus Partai menurut tingkatan masing-masing. Dewan Pengurus Partai
berhak mengadakan perubahan, jika terdapat hal-hal yang bertentangan dan/ atau
tidak sesuai dengan garis kebijakan dan platform Partai.
Pasal 33
Perangkat Partai Lainnya
Untuk meningkatkan optimalisasi peran dan fungsi Partai, maka dapat dibentuk
Dewan Pertimbangan, Dewan Pakar, Badan Pengawas Keuangan, dan lembaga
lainnya sesuai dengan kebutuhan.
DPP PKB Membentuk Badan kehormatan untuk melakukan Arbitrase
BAB VIII
FRAKSI
Pasal 34
Partai membentuk Fraksi di setiap Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan rakyat
dan disebut Fraksi Kebangkitan Bangsa, disingkat FKB;
Fraksi merupakan perangkat Partai yang berfungsi sebagai organ pelaksana
kebijaksanaan Partai untuk memperjuangkan cita-cita dan tujuan Partai di dalam
Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat;
Fraksi bertanggung jawab kepada Dewan Pengurus Partai sesuai tingkatannya;
Pimpinan Fraksi menyampaikan laporan kegiatannya secara berkala kepada
Dewan Pengurus Partai sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 35
Fraksi Kebangkitan Bangsa di Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat;
Fraksi Kebangkitan Bangsa di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah I ditetapkan
oleh Dewan Pengurus Wilayah;
Fraksi Kebangkitan Bangsa di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah II ditetapkan
oleh Dewan Pengurus Cabang;
Tata kerja Fraksi Kebangkitan Bangsa diatur dalam Peraturan Partai.
Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa di semua tingkatan masing-masing hanya
dibatasi sampai dengan 2 (dua) periode berturut-turut yang diatur dalam peraturan
Partai.
Dalam hal-hal tertentu Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa
dapat membuat kebijakan yang lain dan diatur dalam peraturan Partai.
BAB IX
PERMUSYAWARATAN
Pasal 36
Muktamar
Muktamar merupakan forum permusyawaratan tertinggi Partai yang berfungsi
sebagai representasi dari pemegang kedaulatan Partai dan diadakan setiap 5 (lima)
tahun sekali;
Muktamar memiliki wewenang :
a. Menilai laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Pusat;
b. Menetapkan dan/ atau merubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga;
c. Menetapkan Platform PKB untuk 5 (lima) tahun ke depan;
d. Menetapkan Garis-Garis Besar Program Perjuangan Partai untuk 5 (lima)
tahun ke depan;
e. Memilih dan menetapkan Ketua Umum Dewan Syura;
f. Memilih dan menetapkan Ketua Umum Dewan Tanfidz yang telah
mendapatkan persetujuan Ketua Umum Dewan Syura terpilih;
g. Calon Ketua Umum Dewan Tanfidz yang mendapat persetujuan Ketua
Umum Dewan Syura terpilih sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.
h. Apabila terdapat calon Ketua Umum Dewan Tanfidz yang tidak disetujui oleh
Ketua Umum Dewan Syura terpilih, maka harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari lebih separuh jumlah suara yang sah.
i. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua
Umum Dewan Syura dan Ketua Umum Dewan Tanfidz terpilih bertugas
untuk melengkapi susunan Dewan Pengurus Partai;
j. Membuat dan menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu.
k. Muktamar diselenggarkan oleh Dewan Pengurus Pusat;
l. Peraturan tata tertib Muktamar ditetapkan oleh Muktamar.
Pasal 37
Peserta Muktamar adalah :
a. Anggota Dewan Pengurus Pusat, Ketua Departemen, Ketua Lembaga, dan
Ketua Badan Otonom Tingkat Pusat;
b. Utusan Dewan Pengurus Wilayah yang terdiri dari Ketua dan Sekretaris
Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari
unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Wilayah;
c. Utusan Dewan Pengurus Cabang terdiri dari Ketua dan Sekretaris Dewan
Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz dan seorang lainnya dari unsur
perempuan.
d. Pengurus Fraksi Partai di lembaga Perwakilan Rakyat di tingkat Pusat.
Setiap peserta Muktamar mempunyai hak bicara;
Setiap DPC, DPCP Luar Negeri dan DPW memiliki 1 (satu) hak suara;
Dewan Pengurus Pusat secara kolektif mempunyai hak 1 (satu) suara
Pasal 38
Muktamar adalah sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnnya dua pertiga (2/3)
jumlah wilayah dan cabang yang sah;
Sidang-sidang Muktamar sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2)
jumlah peserta yang hadir;
Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang
hadir.
Keputusan Muktamar tentang perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Partai sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3)
jumlah peserta yang hadir;
Pemilihan mengenai orang dalam Muktamar dilakukan secara langsung, bebas,
rahasia, jujur, adil, dan demokratis.
Pasal 39
Rancangan materi Muktamar disiapkan oleh Dewan Pengurus Pusat dan
disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Wilayah dan Dewan Pengurus
Cabang selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum Muktamar berlangsung;
Muktamar dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat.
Pasal 40
Muktamar Luar Biasa
Muktamar Luar Biasa dapat diselenggarakan:
a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan
hidup Partai;
b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Umum
Dewan Syura dan/ atau Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB;
c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Umum Dewan
Syura dan/ atau Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB;
Muktamar Luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih dari
setengah jumlah Dewan Pengurus Cabang yang sah yang berasal dari lebih dari
setengah jumlah Dewan Pengurus Wilayah yang sah.
Ketentuan-ketentuan mengenai Muktamar berlaku pada Muktamar Luar Biasa
kecuali ketentuan tentang rancangan materi Muktamar, yaitu harus disampaikan
kepada seluruh Dewan Pengurus Wilayah dan Dewan Pengurus Cabang selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Muktamar Luar Biasa berlangsung.
Pasal 41
Musyawarah Kerja Nasional
Musyawarah Kerja Nasional merupakan forum permusyawaratan pada tingkat
Nasional untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program
Partai, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-keputusan
Muktamar dan masalah-masalah lainnya yang dianggap penting;
Musyawarah Kerja Nasional diadakan Dewan Pengurus Pusat sekurangkurangnya 2 (dua) kali dalam satu periode;
Peraturan tata tertib Musyawarah Kerja Nasional ditetapkan oleh Dewan Pengurus
Pusat.
Pasal 42
Peserta Musyawarah Kerja Nasional adalah anggota Dewan Pengurus Pusat dan
Utusan Dewan Pengurus Wilayah Partai;
Musyawarah Kerja Nasional adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua
(1/2) jumlah peserta Musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta
mempunyai satu hak suara;
Musyawarah Kerja Nasional dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat.
Pasal 43
Musyawarah Pimpinan Nasional
Musyawarah Pimpinan merupakan forum permusyawaratan untuk membahas
masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan situasi Partai dan
kehidupan nasional yang dinilai strategis;
Musyawarah pimpinan dapat diadakan sewaktu-waktu oleh Dewan Pengurus
Pusat sesuai dengan kebutuhan;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Pimpinan ditetapkan oleh Dewan Pengurus
Pusat.
Pasal 44
Peserta Musyawarah Pimpinan adalah anggota Dewan Pengurus Pusat dan Ketua
Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Wilayah;
Musyawarah Pimpinan adalah sah bila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2)
jumlah peserta. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak
suara;
Musyawarah Pimpinan dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat.
Pasal 45
MusyawarahWilayah
Musyawarah Wilayah merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat
Wilayah yang diadakan oleh Dewan Pengurus Wilayah setiap 5 (lima) tahun
sekali.
Musyawarah Wilayah memiliki wewenang :
a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Wilayah;
b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Wilayah untuk 5 (lima)
tahun ke depan;
c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura;
d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan
persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih;
e. Calon Ketua Dewan Tanfidz yang mendapat persetujuan Ketua Dewan Syura
terpilih sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.
f. Apabila terdapat calon Ketua Dewan Tanfidz yang tidak disetujui oleh Ketua
Dewan Syura terpilih, maka harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
lebih separuh jumlah suara yang sah.
g. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua
Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi
susunan Dewan Pengurus Partai;
h. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu.
i. Peraturan Tata Tertib Musyawarah Wilayah ditetapkan oleh Musyawarah
Wilayah.
Pasal 46
Peserta Musyawarah Wilayah adalah :
a. Anggota Dewan Pengurus Wilayah, Ketua Biro, Ketua Lembaga, dan Ketua
Badan Otonom tingkat Wilayah;
b. Utusan Dewan Pengurus Cabang yang terdiri dari Ketua dan Sekretaris
Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari
unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Cabang;
c. Bagi Dewan Pengurus Wilayah yang mempunyai Dewan Pengurus Cabang
10 (sepuluh) ke bawah, maka peserta musyawarah ditambah dengan Dewan
Pengurus Anak Cabang yang terdiri dari Ketua Dewan Syura, Ketua Dewan
Tanfidz dan seorang lainnya dari unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari
Dewan Pengurus Anak Cabang, dengan 1 (satu) hak suara.
d. Pimpinan Fraksi Partai di Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah.
e. Setiap peserta Musyawarah Wilayah mempunyai hak bicara.
f. Setiap DPC memiliki 1 (satu) hak suara;
g. Dewan Pengurus Wilayah secara kolektif mempunyai hak 1 (satu) suara.
Pasal 47
Musyawarah Wilayah adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga
(2/3) jumlah Cabang Partai yang sah;
Sidang-sidang Musyawarah Wilayah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua
(1/2) jumlah peserta yang hadir;
Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang
hadir;
Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Wilayah dilakukan secara
langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis.
Pasal 48
Rancangan materi Musyawarah Wilayah disiapkan oleh Dewan Pengurus Wilayah
dan disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Cabang selambat-lambatnya 1
(satu) bulan sebelum Musyawarah Wilayah berlangsung;
Musyawarah Wilayah dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah.
Pasal 49
Musyawarah Wilayah Luar Biasa
Musyawarah Wilayah Luar Biasa dapat diselenggarakan:
a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan
hidup Dewan Pengurus Wilayah (DPW);
b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan
Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPW;
c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/
atau Ketua Dewan Tanfidz DPW;
Musyawarah Wilayah Luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari
lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Cabang yang sah;
Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Wilayah berlaku pada Musyawarah
Wilayah Luar Biasa kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah
Wilayah, yaitu harus disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Cabang
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Wilayah Luar Biasa
berlangsung.
Pasal 50
Musyawarah Kerja Wilayah
Musyawarah Kerja Wilayah merupakan forum permusyawaratan pada tingkat
Wilayah untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program
Dewan Pengurus Wilayah, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
keputusan-keputusan Musyawarah Wilayah, dan masalah-masalah lain yang
dianggap penting;
Musyawarah kerja wilayah diadakan oleh Dewan Pengurus Wilayah sekurang-
kurangnya dua (2) kali dalam (1) satu periode;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Wilayah ditetapkan oleh Dewan
Pengurus Wilayah.
Pasal 51
Peserta Musyawarah Kerja Wilayah adalah anggota Dewan Pengurus Wilayah dan
utusan dari Dewan Pengurus Cabang Partai;
Musyawarah Kerja Wilayah adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua
(1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta
mempunyai satu hak suara;
Musyawarah kerja wilayah dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah.
Pasal 52
Musyawarah Pimpinan Wilayah
Musyawarah Pimpinan Wilayah merupakan forum permusyawaratan untuk
membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan situasi Partai
dan kehidupan di Daerah Propinsi yang dinilai strategis;
Musyawarah Pimpinan Wilayah dapat diadakan sewaktu-waktu oleh Dewan
Pengurus Wilayah sesuai dengan kebutuhan;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Pimpinan Wilayah ditetapkan oleh Dewan
Pengurus Wilayah.
Pasal 53
Peserta Musyawarah Pimpinan Wilayah adalah anggota Dewan Pengurus Wilayah
dan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Cabang;
Musyawarah Pimpinan Wilayah adalah sah bila dihadiri oleh lebih dari
seperdua(1/2) jumlah peserta. Dalam pengambilan putusan setiap peserta
mempunyai satu hak suara;
Musyawarah Pimpinan Wilayah dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah.
Pasal 54
Musyawarah Cabang
Musyawarah Cabang merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat
Cabang yang diadakan oleh Dewan Pengurus Cabang setiap 5 (lima) tahun sekali;
Musyawarah Cabang memiliki wewenang :
a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Cabang;
b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Cabang untuk 5 (lima)
tahun ke depan;
c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura DPC PKB;
d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz DPC PKB yang telah
mendapatkan persetujuan Ketua Dewan Syura DPC PKB terpilih;
e. Calon Ketua Dewan Tanfidz yang mendapat persetujuan Ketua Dewan Syura
terpilih sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
f. Apabila terdapat calon Ketua Dewan Tanfidz yang tidak disetujui oleh Ketua
Dewan Syura terpilih, maka harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
lebih separuh jumlah suara yang sah.
g. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua
Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz DPC PKB terpilih bertugas untuk
melengkapi susunan Dewan Pengurus Partai;
h. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu.
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Cabang ditetapkan oleh Musyawarah Cabang.
Pasal 55
Peserta Musyawarah Cabang adalah :
a. Anggota Dewan Pengurus Cabang, Ketua Divisi, Ketua Lembaga, dan Ketua
Badan Otonom tingkat Cabang;
b. Utusan Dewan Pengurus Anak Cabang yang terdiri Ketua dan Sekretaris
Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari
unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Anak Cabang;
c. Pimpinan Fraksi Partai di Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah.
Untuk DPC yang jumlah DPAC-nya 4 (empat) atau kurang dari 4 (empat) maka
peserta Musyawarah Cabang ditambah dengan utusan dari seluruh DPRt (Dewan
Pengurus Ranting) dan memiliki hak yang sama dengan utusan DPAC.
Setiap peserta Musyawarah Cabang mempunyai hak bicara;
Setiap Dewan Pengurus Anak Cabang mempunyai 1 (satu) hak suara;
Dewan Pengurus Cabang secara kolektif mempunyai hak 1 (satu) suara.
Pasal 56
Musyawarah Cabang adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga
(2/3) jumlah Anak Cabang Partai dan Ranting yang sah;
Sidang-sidang Musyawarah Cabang sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua
(1/2) jumlah peserta yang hadir;
Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang
hadir;
Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Cabang dilakukan secara
langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis.
Pasal 57
Rancangan materi Musyawarah Cabang disiapkan oleh Dewan Pengurus Cabang
dan disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Anak Cabang selambatlambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Cabang berlangsung;
Musyawarah Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang.
Pasal 58
Musyawarah Cabang Luar Biasa
Musyawarah Cabang Luar Biasa dapat diselenggarakan:
a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan
hidup Dewan Pengurus Cabang (DPC);
b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan
Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPC;
c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/
atau Ketua Dewan Tanfidz DPC;
Musyawarah Cabang Luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari
lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Anak Cabang yang sah;
Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Cabang berlaku pada Musyawarah
Cabang Khusus kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah Cabang,
yaitu harus disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Anak Cabang selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Cabang Luar Biasa berlangsung.
Pasal 59
Musyawarah Kerja Cabang
Musyawarah Kerja Cabang merupakan forum permusyawaratan pada tingkat
Cabang untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program
Dewan Pengurus Cabang, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
keputusan-keputusan Musyawarah Cabang, dan masalah-masalah lain yang
dianggap penting;
Musyawarah Kerja Cabang diadakan oleh Dewan Pengurus Cabang sekurangkurangnya dua (2) kali dalam satu periode;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Cabang ditetapkan oleh Dewan
Pengurus Cabang.
Pasal 60
Peserta Musyawarah Kerja Cabang adalah anggota Dewan Pengurus Cabang dan
utusan dari Dewan Pengurus Anak Cabang Partai;
Musyawarah Kerja Cabang adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua
(1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta
mempunyai satu hak suara;
Musyawarah Kerja Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang.
Pasal 61
Musyawarah Pimpinan Cabang
Musyawarah Pimpinan Cabang merupakan forum permusyawaratan untuk
membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan situasi Partai
dan kehidupan di Daerah Kabupaten/Kota yang dinilai strategis;
Musyawarah Pimpinan Cabang dapat diadakan sewaktu-waktu oleh Dewan
Pengurus Cabang sesuai dengan kebutuhan;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Pimpinan Cabang ditetapkan oleh Dewan
Pengurus Cabang.
Pasal 62
Peserta Musyawarah Pimpinan Cabang adalah anggota Dewan Pengurus Cabang
dan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz Dewan Pengurus Anak
Cabang;
Musyawarah Pimpinan Cabang adalah sah bila dihadiri oleh lebih dari seperdua
(1/2) jumlah peserta. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu
hak suara;
Musyawarah Pimpinan Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang.
Pasal 63
Musyawarah Anak Cabang
Musyawarah Anak Cabang merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada
tingkat Anak Cabang yang diadakan oleh Dewan Pengurus Anak Cabang setiap
(5) tahun sekali.
Musyawarah Anak Cabang memiliki wewenang :
a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Anak Cabang;
b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Anak Cabang untuk 5
(lima) tahun ke depan;
c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura;
d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan
persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih;
e. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua
Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi
susunan Dewan Pengurus Partai;
f. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu.
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Anak Cabang ditetapkan oleh Musyawarah
Anak Cabang;
Pasal 64
Peserta Musyawarah Anak Cabang adalah :
a. Pengurus Anak Cabang, Ketua Seksi dan Ketua Badan Otonom tingkat Anak
Cabang;
b. Utusan Dewan Pengurus Ranting yang terdiri dari Ketua dan Sekretaris
Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari
unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Ranting.
Setiap peserta Musyawarah Anak Cabang mempunyai hak bicara;
Setiap Dewan Pengurus Ranting mempunyai 1 (satu) hak suara;
Dewan Pengurus Anak Cabang secara kolektif mempunyai 1 (satu) hak suara.
Pasal 65
Musyawarah Anak Cabang adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua
pertiga (2/3) jumlah Dewan Pengurus Ranting Partai yang sah;
Sidang-sidang Musyawarah Anak Cabang sah apabila dihadiri oleh lebih dari
seperdua (1/2) jumlah peserta yang sah;
Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua(1/2) jumlah peserta yang
hadir;
Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Anak Cabang dilakukan secara
langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis.
Pasal 66
Rancangan materi Musyawarah Anak Cabang disiapkan oleh Dewan Pengurus
Anak Cabang dan disampaikan kepada seluruh Pengurus Ranting selambatlambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Anak Cabang berlangsung;
Musyawarah Anak Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Anak Cabang.
Pasal 67
Musywarah Anak Cabang Luar Biasa
Musyawarah Anak Cabang luar Biasa dapat diselenggarakan:
a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan
hidup Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC);
b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan
Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPAC;
c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/
atau Ketua Dewan Tanfidz DPAC;
Musyawarah Anak Cabang luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari
lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Ranting yang sah;
Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Anak Cabang berlaku pada
Musyawarah Anak Cabang Luar Biasa kecuali ketentuan tentang rancangan
materi Musyawarah Anak Cabang, yaitu harus disampaikan kepada seluruh
Dewan Pengurus Anak Cabang selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum
Musyawarah Anak Cabang luar Biasa berlangsung.
Pasal 68
Musyawarah Kerja Anak Cabang
Musyawarah Kerja Anak Cabang merupakan forum permusyawaratan pada
tingkat Anak Cabang untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan programprogram Dewan Pengurus Anak Cabang, membahas masalah-masalah yang
berkaitan dengan keputusan-keputusan Musyawarah Anak Cabang, dan masalahmasalah lain yang dianggap penting;
Musyawarah Kerja Anak Cabang diadakan oleh Dewan Pengurus Anak Cabang
sekurang-kurangnya dua kali dalam satu periode;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Anak Cabang ditetapkan oleh Dewan
Pengurus Anak Cabang.
Pasal 69
Peserta Musyawarah Kerja Anak Cabang adalah anggota Dewan Pengurus Anak
Cabang dan utusan dari Dewan Pengurus Ranting Partai;
Musyawarah Kerja Anak Cabang adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari
seperdua (1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap
peserta mempunyai satu hak suara;
Musyawarah Kerja Anak Cabang dipimpin oleh Dewan Pengurus Anak Cabang.
Pasal 70
Musyawarah Ranting
Musyawarah Ranting merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat
Ranting yang diadakan oleh Dewan Pengurus Ranting setiap 5 (lima) tahun sekali.
Musyawarah Ranting memiliki wewenang :
a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Ranting;
b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Ranting untuk 5 (lima)
tahun ke depan;
c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura;
d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan
persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih;
e. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua
Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi
susunan Dewan Pengurus Partai;
f. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu.
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Ranting ditetapkan oleh Musyawarah Ranting.
Pasal 71
Peserta Musyawarah Ranting adalah:
a. Anggota Dewan Pengurus Ranting, Ketua Seksi dan Ketua Badan Otonom
Tingkat Ranting.
b. Utusan Dewan Pengurus Anak Ranting yang terdiri dari Ketua dan Sekretaris
Dewan Syura, Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari
unsur perempuan yang dipilih oleh dan dari Dewan Pengurus Anak Ranting;
c. Dalam keadaan tertentu di mana Dewan Pengurus Anak Ranting belum
terbentuk, maka peserta Musyawarah Ranting adalah anggota Ranting Partai
yang sah;
Setiap peserta Musyawarah Ranting mempunyai hak bicara;
Setiap peserta Musyawarah Ranting mempunyai satu hak suara.
Pasal 72
Musyawarah Ranting adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga
(2/3) jumlah Dewan Pengurus Anak Ranting Partai dan/atau anggota Ranting
yang sah;
Sidang-sidang Musyawarah Ranting sah apabila dihadiri oleh lebih dari
seperdua(1/2) jumlah peserta yang hadir;
Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang
hadir;
Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Ranting dilakukan secara
langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis.
Pasal 73
Rancangan materi Musyawarah Ranting disiapkan oleh Dewan Pengurus Ranting
dan disampaikan kepada Dewan pengurus Anak Ranting dan/atau seluruh anggota
Ranting selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Ranting
berlangsung;
Musyawarah Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Ranting.
Pasal 74
Musyawarah Ranting Luar Biasa
Musyawarah Ranting luar Biasa dapat diselenggarakan:
a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan
hidup Dewan Pengurus Ranting (DPRt);
b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan
Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPRt;
c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/
atau Ketua Dewan Tanfidz DPRt;
Musyawarah Ranting Khusus dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih
dari setengah jumlah Dewan Pengurus Anak Ranting yang sah;
Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Ranting berlaku pada Musyawarah
Ranting Khusus kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah
Ranting, yaitu harus disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Anak Ranting
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Ranting luar Biasa
berlangsung.
Pasal 75
Musyawarah Kerja Ranting
Musyawarah Kerja Ranting merupakan forum permusyawaratan pada tingkat
Ranting untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program
Dewan Pengurus Ranting, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
keputusan-keputusan Musyawarah Ranting, dan masalah-masalah lain yang
dianggap penting;
Musyawarah Kerja Ranting diadakan oleh Dewan Pengurus Ranting sekurangkurangnya 2 (dua) kali dalam satu periode;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Ranting ditetapkan oleh Dewan
Pengurus Ranting.
Pasal 76
Peserta Musyawarah Kerja Ranting adalah anggota Dewan Pengurus Ranting dan
utusan dari Dewan Pengurus Anak Ranting dan/atau beberapa orang anggota yang
dipilih oleh Dewan Pengurus Ranting Partai;
Musyawarah Kerja Ranting adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua
(1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta
mempunyai satu hak suara;
Musyawarah Kerja Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Ranting.
Pasal 77
Musyawarah Anak Ranting
Musyawarah Anak Ranting merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada
tingkat Anak Ranting yang diadakan oleh Dewan Pengurus Anak Ranting setiap 5
(lima) tahun sekali.
Musyawarah Anak Ranting memiliki wewenang :
a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Anak Ranting;
b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Anak Ranting untuk 5
(lima) tahun ke depan;
c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura;
d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan
persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih;
e. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua
Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi
susunan Dewan Pengurus Partai;
f. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu.
g. Peraturan Tata Tertib Musyawarah Anak Ranting ditetapkan oleh
Musyawarah Anak Ranting.
Pasal 78
Peserta Musyawarah Anak Ranting adalah anggota Dewan Pengurus Anak
Ranting, Ketua Badan Otonom tingkat Anak Ranting dan seluruh anggota yang
sah.
Setiap peserta Musyawarah Anak Ranting mempunyai hak bicara;
Setiap peserta Musyawarah Anak Ranting mempunyai satu hak suara.
Pasal 79
Musyawarah Anak Ranting adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua
pertiga (2/3) jumlah anggota yang sah;
Sidang-sidang Musyawarah Anak Ranting sah apabila dihadiri oleh lebih dari
seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir;
Keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang
hadir;
Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Anak Ranting dilakukan secara
langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis.
Pasal 80
Rancangan materi Musyawarah Anak Ranting disiapkan oleh Dewan Pengurus
Anak Ranting dan disampaikan kepada seluruh anggota selambat-lambatnya 1
(satu) bulan sebelum Musyawarah Anak Ranting berlangsung;
Musyawarah Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Ranting.
Pasal 81
Musyawarah Anak Ranting Luar Biasa
Musyawarah Anak Ranting Khusus dapat diselenggarakan:
a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan
hidup Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt);
b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan
Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPARt;
c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/
atau Ketua Dewan Tanfidz DPARt;
Musyawarah Anak Ranting luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan
dari lebih dari setengah jumlah anggota Dewan Pengurus Anak Ranting yang sah;
Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Anak Ranting berlaku pada
Musyawarah Anak Ranting Khusus kecuali ketentuan tentang rancangan materi
Musyawarah Anak Ranting, yaitu harus disampaikan kepada seluruh anggota
Dewan Pengurus Anak Ranting selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum
Musyawarah Anak Ranting luar Biasa berlangsung.
Pasal 82
Musyawarah Kerja Anak Ranting
Musyawarah Kerja Anak Ranting merupakan forum permusyawaratan pada
tingkat Anak Ranting untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan programprogram Dewan Pengurus Anak Ranting, membahas masalah-masalah yang
berkaitan dengan keputusan-keputusan Musyawarah Anak Ranting, dan masalahmasalah lain yang dianggap penting;
Musyawarah Kerja Anak Ranting diadakan oleh Dewan Pengurus Ranting
sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam satu periode;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Anak Ranting ditetapkan oleh Dewan
Pengurus Anak Ranting.
Pasal 83
Peserta Musyawarah Kerja Ranting adalah anggota Dewan Pengurus Anak
Ranting dan beberapa orang anggota yang dipilih oleh Dewan Pengurus Anak
Ranting Partai;
Musyawarah Kerja Anak Ranting adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari
seperdua (1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap
peserta mempunyai satu hak suara;
Musyawarah Kerja Anak Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Anak Ranting.
BAB X
RAPAT – RAPAT
Pasal 83
Jenis-jenis Rapat Partai adalah sebagai berikut :
a. Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan
Pengurus Partai sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan atau
sewaktu-waktu bila dipandang perlu dan dihadiri oleh unsur Ketua
Umum/Ketua, unsur Sekretaris dan Anggota Dewan Syura; unsur Ketua
Umum/Ketua, unsur Sekretaris, dan unsur Bendahara Dewan Tanfidz;
Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus
Badan Otonom;
b. Rapat Gabungan Dewan Pengurus Partai: yaitu rapat yang diadakan oleh
Dewan Syura atau Dewan Tanfidz yang diselenggarakan sewaktu-waktu
sesuai dengan kebutuhan dan dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur
Sekretaris dan Anggota Dewan Syura; unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur
Sekretaris, dan unsur Bendahara Dewan Tanfidz; Pengurus Departemen/
Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom;
c. Rapat Dewan Syura: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Syura dan
dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris dan Anggota
Dewan Syura, yang diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam 3
(tiga) bulan, dan bila dipandang perlu dapat pula dihadiri oleh unsur Ketua
Umum/ Ketua, unsur Sekretaris, dan unsur Bendahara Dewan Tanfidz; dan
Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus
Badan Otonom;
d. Rapat Dewan Tanfidz : yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Tanfidz dan
dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris, unsur Bendahara
Dewan Tanfidz; Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus
Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom; yang diselenggarakan sekurangkurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan ;
e. Rapat Pengurus Harian: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Tanfidz dan
hanya dihadiri oleh Pengurus Harian Dewan Tanfidz;
f. Rapat-rapat lain bila dipandang perlu.
Pengambilan keputusan dalam rapat-rapat Partai ditempuh melalui musyawarah
untuk mufakat, dan dalam hal tidak dapat dicapai kata mufakat, maka keputusan
diambil berdasarkan suara terbanyak;
Ketentuan mengenai mekanisme, quorum, pengambilan keputusan, dan hal
lainnya berkaitan dengan jenis-jenis rapat Partai akan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Partai;
BAB XI
KEUANGAN
Pasal 84
Besar uang pangkal angggota ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat;
Besarnya uang iuran anggota ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang;
Uang pangkal dan uang iuran anggota ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang
dan dialokasikan sebagai berikut :
a. Dewan Pengurus Pusat memperoleh 10 (sepuluh) persen;
b. Dewan Pengurus Wilayah memperoleh 20 (dua puluh) persen;
c. Dewan Pengurus Cabang memperoleh 70 (tujuh puluh) persen.
Hal-hal yang menyangkut keuangan Partai dilaporkan secara tertulis oleh
Bendahara Partai kepada seluruh Dewan Pengurus Partai menurut tingkatannya
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam tahun buku yang bersangkutan.
Tahun buku Partai dimulai setelah terpilihnya Dewan Pengurus Partai yang baru
pada setiap tingkatan dan berakhir pada tahun berikutnya.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 85
Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini akan diatur lebih
lanjut oleh Dewan Pengurus Pusat melalui Peraturan-peraturan Partai;
Anggaran Rumah Tangga ini hanya dapat dirubah oleh muktamar;
Anggaran Rumah Tangga ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Semarang
Pada tanggal : 18 April 2005
MUKTAMAR II
PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
PIMPINAN SIDANG PARIPURNA KE III
dr. H. Sugiat Ahmad Sumadi, SKM.
Ketua
Hj. Zunatul Mafruchah
Sekretaris
Download