DISKUSI PANEL PADA RAKORNAS IUU FISHING PENDEKATAN HUKUM YANG BERKEADILAN DAN MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP NELAYAN KECIL JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM Hotel Grand Sahid Jaya, 12 Juli 2017 P E SALAH SATU ARAH PERUBAHAN UURI NO. 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN: N D A H U L U A N KEBERPIHAKAN KEPADA NELAYAN KECIL DAN PEMBUDI DAYA-IKAN KECIL ANTARA LAIN DALAM ASPEK PERIZINAN, KEWAJIBAN PENERAPAN KETENTUAN MENGENAI SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN, PUNGUTAN PERIKANAN, DAN PENGENAAN SANKSI PIDANA P E N KATEGORI NELAYAN KECIL Mengacu kepada Pasal 1 angka 10 UURI No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UURI No. 45 Tahun 2009 D A H U MENANGKAP IKAN UNTUK KEBUTUHAN SEHARI-HARI L U A N MENGGUNAKAN KAPAL PERIKANAN PALING BESAR 5 GT P E N D UNDANG-UNDANG YANG PUNYA KEBERPIHAKAN KEPADA NELAYAN KECIL DAN PEMBUDI DAYA-IKAN KECIL TIDAK SERTA MERTA MENJADIKAN NELAYAN KECIL DIMAKSUD KEBAL HUKUM (EQUALITY BEFORE THE LAW) A H NAMUN TERDAPAT BEBERAPA U KEWAJIBAN YANG TIDAK DIBEBANKAN L KEPADA MEREKA, DAN ADA PULA BERBENTUK U A N PERINGANAN SANKSI PIDANA /DENDA. DI SISI LAIN, TERKAIT BARANG BUKTI KAPAL MILIK NELAYAN KECIL TIDAK DIATUR PENINDAKAN SECARA KHUSUS. PENUNTUTAN MEMPERHATIKAN….. UU 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UU 45 TAHUN 2009, BESERTA PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN DI BAWAHNYA. PENEGAKAN HUKUM: UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN, KEMANFAATAN DAN KEPASTIAN HUKUM KEBIJAKAN/CONCERN SATGAS 115 KHUSUSNYA MENGENAI TUNTUTAN TERHADAP BARANG BUKTI KAPAL ASAS FIKSI HUKUM - PRESUMPTIO IURES DE IURE - IGNORANTIA JURIST NON EXCUSAT KENDALA DALAM PELAKSANAAN PENUNTUTAN KETENTUAN HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG YANG BERKAITAN ERAT DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAHNYA SEPERTI HALNYA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN ADA KALANYA BERTENTANGAN DENGAN KEBIASAAN PARA NELAYAN DALAM MENANGKAP IKAN MAUPUN KEBIASAAN YANG DITURUNKAN OLEH NENEK MOYANGNYA, SEHINGGA NELAYAN LEBIH MEMILIH MENGIKUTI KEBIASAAN SELAMA INI. ADANYA KEBIJAKAN SATGAS 115 YANG PERNAH DI-SOUNDING SATGAS 115 AGAR KAPAL-KAPAL YANG MENJADI BARANG BUKTI TINDAK PIDANA PERIKANAN, DIMUSNAHKAN. SELAIN ITU, ADANYA PENGELOMPOKAN TINDAK PIDANA PERIKANAN SEBAGAI PELANGGARAN DAN KEJAHATAN TIDAK DIBARENGI KETEGASAN PENGATURAN KETENTUAN PENINDAKAN BARANG BUKTI (KHUSUSNYA KAPAL). …..misalnya apakah terhadap pelanggaran kapal dikembalikan…? TINGKAT PENDIDIKAN DAN PEMAHAMAN HUKUM NELAYAN KECIL YANG TERBATAS, SEHINGGA DI DALAM KETERANGANNYA TERDAKWA MENGATAKAN TIDAK MENGETAHUI ADANYA PERATURAN SEPERTI ITU, PADAHAL HUKUM INDONESIA MENGANUT ASAS FIKSI HUKUM KEBIJAKAN PENUNTUTAN TERKAIT SANKSI PIDANA BADAN/DENDA DAN SIKAP JPU TERHADAP BARANG BUKTI (KHUSUSNYA KAPAL) NELAYAN KECIL 1. Agar satu suara, Kejaksaan Agung selaku Pimpinan Pusat Kejaksaan seluruh Indonesia mewajibkan hierarki rencana tuntutan dari Cabang Kejaksaan Negeri/Kejaksaan Negeri ke Kejaksaan Tinggi diteruskan ke Kejaksaan Agung, dengan harapan penerapan tuntutan pidana badan dan/atau denda maupun sikap terhadap barang bukti kapal telah mempertimbangkan pelaksanaan terhadap kepatuhan hukum maupun upaya perwujudan rasa keadilan di tengahtengah masyarakat; 2. Kejaksaan mematuhi kekhususan pemidanaan terhadap nelayan kecil, seperti peringanan hukuman sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Namun demikian, Kejaksaan tidak hanya mempertimbangkan ukuran Kapal yang dibatasi undang-undang maksimal 5 GT, tetapi juga mempertimbangkan apakah penangkapan ikan dimaksud untuk hajat hidup kelompok nelayan kecil yang tergabung dalam suatu koperasi nelayan, sehingga memang kapal yang digunakan ada kalanya melebihi 5 GT. 3. Kejaksaan mempertimbangkan untuk mengembalikan barang bukti kapal kepada nelayan kecil, apabila terhadap dirinya tidak terdapat pemberatan pidana, misalnya residivis, dan di dalam pembuktian diketahui bahwa penangkapan ikan dimaksud bermotifkan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dengan salah satu bahan pertimbangan adalah jumlah ikan tangkapan. KEBIJAKAN PENUNTUTAN TERKAIT SANKSI PIDANA BADAN/DENDA DAN SIKAP JPU TERHADAP BARANG BUKTI (KHUSUSNYA KAPAL) NELAYAN KECIL 3. Kejaksaan tetap menghormati asas fiksi hukum, sehingga ketidaktahuan pelaku terhadap ketentuan hukum yang berlaku tidak menghapus pidana pada dirinya. Namun demikian, dengan memahami bahwa nelayan kecil pada umumnya minim pendidikan, tidak memiliki akses dan kemampuan untuk meng-update informasi hukum, dan pelaksanaan penyuluhan maupun penerangan hukum yang belum menjangkau seluruh wilayah perkampungan nelayan secara utuh, maka “ketidaktahuan/ketidakpahaman” nelayan terhadap ketentuan hukum menjadi pertimbangan Jaksa meringankan tuntutan terhadap dirinya didukung data latar belakang pelaku yang valid, sehingga kebijakan demikian tidak serta merta dijadikan tolok ukur perkara lain dengan kondisi yang berbeda. 4. Selain aktif melaksanakan dan mengikuti kegiatan seminar, in house training, workshop baik secara internal maupun bersama-sama dengan anggota Satgas 115, bidang pidana umum kejaksaan juga aktif memberi masukan dan materi kepada bidang intelijen kejaksaan untuk disampaikan dalam penyuluhan dan penerangan hukum, sehingga mampu menjangkau masyarakat nelayan, bahkan yang dipelosok sekalipun, sehingga penerapan hukum kepada mereka telah sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan mampu memberi manfaat maupun kepastian hukum. BERBAGAI PERMASALAHAN LAIN DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERIKANAN 1. SINERGITAS ANGGOTA SATGAS 115 Masih ada mindset bahwa setiap perkara yang ditangani oleh Penyidik, wajib dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum, meskipun syarat formil maupun materil berkas perkara tidak lengkap. Beberapa perkara tindak pidana perikanan telah disidik selama 1-2 tahun, padahal semangat keberadaan Satgas 115 (satu atap) ialah untuk mempercepat dan memudahkan penanganan perkara; Masih ada tindak pidana perikanan yang disidik oleh Penyidik dengan kewenangan yang tidak tepat . 2. SUBSTANSI PERUBAHAN UU NO.45 TAHUN 2009 TERHADAP UU NO. 31 TAHUN 2004 INKONSISTEN: PASAL 28 (4) UU 45 TAHUN 2009 Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIKPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil. PASAL 100B UU 45TAHUN 2009 Pasal 100B Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudi dayaikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). INKONSISTEN Di Pasal 28 ayat (4), Nelayan Kecil/pembudi daya ikan kecil tidak dapat dipidana dengan dasar Pasal 28 ayat (1) , (3) VS Di Pasal 100B, Nelayan Kecil/pembudi daya ikan kecil dapat dipidana dengan dasar Pasal 28 ayat (1) , (3), dengan peringanan pidana badan dan dendanya. 2. SUBSTANSI PERUBAHAN UU NO.45 TAHUN 2009 TERHADAP UU NO. 31 TAHUN 2004 INKONSISTEN: Perubahan Pasal Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIKPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil. PASAL 100B UU 45TAHUN 2009 Pasal 100B Pasal 94 UU 31/2004 sebagai ketentuan pidana dari Pasal 28 ayat (1) UU 31/2004 tidak mengalami (1) Setiap orang yang memiliki perubahan, sehingga Pasal 28 ayat (2) dan/atau mengoperasikan kapal UU 45/2009 tidak diatur ketentuan pengangkut ikan berbendera pidananya. Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara “Setiap orang yang memiliki dan/atau Republik Indonesia wajib mengoperasikan kapal pengangkut memiliki SIKPI. ikan di wilayah pengelolaan (2) Setiap orang yang memiliki perikanan Republik Indonesia yang dan/atau mengoperasikan kapal melakukan pengangkutan ikan atau pengangkut ikan berbendera kegiatan yang terkait yang tidak asing yang digunakan untuk memiliki SIKPI sebagaimana melakukan pengangkutan ikan dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), di wilayah pengelolaan dipidana dengan pidana penjara perikanan Negara Republik paling lama 5 (lima) tahun dan denda Indonesia wajib memiliki SIKPI paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). “ BERBAGAI PERMASALAHAN LAIN DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERIKANAN 3. KEBULATAN PEMAHAMAN TERKAIT PENENTUAN TINDAKAN TERHADAP BARANG BUKTI KAPAL Adanya kebijakan di KKP bahwa kapal-kapal yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana perikanan agar dirampas untuk dimusnahkan, sedangkan UU Perikanan masih memberi alternatif pilihan, apakah BB Kapal dirampas untuk negara atau dimusnahkan (vide Pasal 76A UU Perikanan). Hal ini menjadi kendala ketika TP Perikanan terjadi di ZEEI dimana mengacu Pasal 102 UU Perikanan, pelaku tidak dapat dikenai sanksi pidana badan, hanya dapat dikenai denda saja dan pelaku cenderung tidak sanggup membayar denda dimaksud. Adanya kualifikasi ketentuan pidana di dalam UU Perikanan sebagai PELANGGARAN maupun KEJAHATAN sebagaimana Pasal 103 UU Perikanan, namun hal ini tidak diikuti dengan apa konsekuensi terkait penindakan terhadap barang bukti yang dipergunakan melakukan TP. Perikanan tersebut terutama BB Kapal. KESIMPULAN 1. Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan Negara melaksanakan tupoksinya dengan memperhatikan asas Equality Before The Law, sehingga status sosial seseorang tidak menjadi alasan pemaaf/pembenar yang menghapus pidana, termasuk status pelaku tindak pidana sebagai nelayan kecil; 2. Fakta penanganan perkara menunjukkan bahwa secara umum nelayan kecil belum memahami perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga pelaksanaan luhkum dan penkum perlu/segera dimaksimalkan; 3. Adanya ketentuan hukum yang telah mengatur secara khusus penghapusan kewajiban terkait pengelolaan perikanan oleh Nelayan Kecil maupun peringanan sanksi pidana/denda yang sudah ditegaskan di dalam UU Perikanan dilaksanakan secara konsisten; 4. Perlu regulasi khusus yang mengatur secara jelas terhadap penentuan barang bukti khususnya Kapal yang dipergunakan oleh Nelayan Kecil melakukan tindak pidana, maupun kapal yang digunakan pelaku TP Perikanan dalam bentuk pelanggaran (menyikapi Pasal 103 UU Perikanan).