BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi sejumlah teori terkait yang digunakan dalam penelitian. Teori yang akan dipaparkan yakni teori Segitiga Cinta yang termasuk teori komponen-komponen cinta serta orientasi masa depan dan teori homoseksual yang nantinya merupakan unsur penting dari subjek penelitian. Selain itu Bab ini juga akan menguraikan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian. 2.1. Pengertian Cinta Menurut Sternberg (1987) Cinta merupakan ekspresi emosi manusia yang paling hebat dan paling diinginkan setiap orang. Sternberg (1987) memformulasikan sebuah model berkenaan dengan cinta. Teori ini dinamakan sebagai Triangular Theory of Love atau teori segitiga cinta yang menjelaskan bahwa cinta dapat dipahami melalui tiga komponen yaitu intimacy, passion dan commitment. Dalam Kamus Lengkap Psikologi J.P. Chaplin (1968) love (cinta) adalah satu perasaan kuat penuh kasih sayang atau kecintaan terhadap seseorang, biasanya disertai satu komponen seksual. Sedangkan Kelley (dalam Sternberg, 1987) mendefinisikan cinta sebagai berikut : “positive feeling and behaviors and commitment to the stability of the force that affect an ongoing relationship” 7 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Menurut definisi di atas, cinta adalah suatu perasaan dan tingkah laku yang positif serta komitmen yang dimiliki seseorang guna menjaga kestabilan perasaan dan tingkah lakunya yang dapat mempengaruhi hubungan yang sedang dijalani. Unuk memahami dan menguraikan cinta secara mendalam. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa cinta adalah suatu perasaan emosi yang kuat penuh kasih sayang terhadap seseorang yang bersifat positif serta memiliki pengaruh positif (apabila individu mengimplementasikan cinta sesuai makna yang sebenarnya) bagi individu yang merupakan gabungan dari berbagai perasaan, hasrat, dan pikiran yang terjadi secara bersamaan. 2.1.1. Komponen Intimacy “Intimacy refer to those feelings in a relationship that promote closeness, bondedness and connectedness.” Menurut Sternberg (1987), keintiman mengacu pada perasaan–perasaan dalam suatu hubungan yang dapat meningkatkan kedekatan, keterikatan dan pertalian antara orang-orang di dalamnya. Komponen keintiman meliputi juga perasaan yang dapat menimbulkan kehangatan dalam hubungan percintaan. Sternberg & Grajek (dalam Sternberg 1987) mengindentifikasikan sepuluh komponen intimacy dalam cinta : 1) Memiliki keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan pasangan. 8 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2) Merasa bahagia dan menikmati saat-saat menyenangkan dengan orang yang dicintai. 3) Menghormati dan menghargai pasangan dengan baik. 4) Dapat mengharapkan dan mengandalkan pasangan saat dibutuhkan. 5) Saling mengerti dan memahami kelebihan atau kekurangan satu sama lain 6) Berbagi diri, waktu, kepemilikan dan rahasia bersama dengan orang yang dicintai. 7) Merasa mendapat dukungan dan dorongan dari pasangan. 8) Berempati dan memberikan dukungan emosional pada orang yang dicintai kapanpun dibutuhkan. 9) Dapat berkomunikasi secara intim, mendalam dan terbuka mengenai perasaan-perasaan terdalam dengan orang yang dicintai. 10) Menilai dan menganggap penting orang yang dicintai. Selain itu, berdasarkan penelitian mengenai sejumlah tingkah laku yang tergolong dalam cinta romantis, Sternberg dan Barnes (dalam Sternberg, 1987) menemukan tiga subdimensi yang dapat lebih menjelaskan komponen intimacy. Ketiga subdimensi ini mengacu pada perbedaan level keintiman. Subdimensi pertama mengacu pada semua perilaku yang umumnya muncul dalam hubungan intim, sementara subdimensi kedua mengacu pada aspek-aspek khusus yang baik bagi individu. Selanjutnya, pada subdimensi ketiga mengacu pada hal yang lebih dalam lagi, yaitu aspek-aspek pada intimacy yang dapat menjadikan suatu hubungan special 9 http://digilib.mercubuana.ac.id/ atau unik, dimana suatu pasangan sudah sangat dekat dan selalu merasakan kebersamaan meskipun terpisah jauh. Dari tiga subdimensi di atas, Sternberg dan Barnes (dalam Sternberg, 1987) membedakan tiga level keintiman : Aspek yang baik untuk siapapun dalam hubungan; Aspek yang terutama baik untuk individu (saya); Aspek yang dapat menjadikan pasangan special atau unik. 2.1.2. Komponen Passion Passion adalah suatu kondisi yang secara intens membuat kita selalu ingin bersatu dengan orang yang dicintai (Hatfield & Walster, dalam Sternberg 1987). Menurut Sternberg (1987), passion is largely the expression of desires and needssuch as for self esteem, nurturance, affiliation, dominance, submission and sexual fulfillment. Passion merupakan ekspresi dari berbagai keinginan dan kebutuhan seperti penghargaan diri, kedewasaan, kebutuhan dalam pertalian, keinginan untuk berkuasa dan menuruti kehendak penguasa, serta pemenuhan kebutuhan seksual. Secara sederhana, komponen ini mengacu pada dorongan yang mengarah pada romansa, ketertarikan fisik dan kepuasan seksual. Ekspresi dari berbagai keburuhan ini berbeda antara satu individu dengan individu yang lain, sehingga passion antara dua individu yang bercinta mungkin akan berbeda pula. Kebanyakan orang hanya menghubungkan passion dengan kebutuhan seksual, padahal tidak hanya sekedar itu. Kebutuhan lain seperti harga diri, afiliasi, dominasi 10 http://digilib.mercubuana.ac.id/ dan lain sebagainya juga berkontribusi dalam passion. Tidak dapat dipungkiri bahwa passion dalam cinta cenderung berhubungan dengan intimacy. Sebagai contoh, hasrat seksual yang baik akan menghasilkan keintiman. Dengan demikian, kedua komponen ini hampir selalu berinteraksi satu sama lain dalam hubungan dekat. 2.1.3. Komponen Commitment Harolf Kelley (dalam Sternberg, 1987) mendefinisikan komitmen sebagai “the extent to which a person is likely to stick with something or someone and see it (or him or her) through to finish”. Komitmen merupakan tingkat yang memungkinkan seseorang untuk ‘melekat’ atau ‘terpaut’ pada sesuatu atau seseorang dan menjaga hal tersebut hingga selesai. Seseorang yang menjalankan sesuatu diharapkan terus melakukannya hingga sasarannya tercapai. Permasalahan yang mungkin terjadi adalah bahwa pasangan yang bercinta memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang harus dicapai, sehingga dapat terjadi komitmen yang berbeda antara satu individu dengan pasangannya. Sternberg menyebutkan bahwa komponen keputusan/komitmen memiliki dua aspek yaitu short-term (keputusan) dan long-term (komitmen). Aspek short-term adalah keputusan untuk mencintai orang tertentu, sedangkan long-term adalah komitmen untuk mempertahankan cinta tersebut. Kedua aspek dari komponen keputusan/komitmen ini tidak harus terjadi bersamaan. Keputusan untuk bercinta 11 http://digilib.mercubuana.ac.id/ tidak harus mengimplikasikan komitmen dalam bercinta dan sebaliknya komitmen tidak mengimplikasikan keputusan. Namun demikian, keputusan hendaknya mendahului komitmen. Aspek long-term pada komponen komitmen erat kaitannya dengan adanya orientasi masa depan seseorang. Gjesme (dalam Oner, 2000a;2000b) mendefinisikan orientasi masa depan sebagai “the ability to foresee and anticipate, to make plans and organize future possibilities”. Orientasi masa depan merupakan suatu kemampuan untuk meramalkan dan mengantisipasi, serta membuat perancanaan dan mengorganisasikan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Gjesme (dalam Oner, 2000a) menyebutkan tentang empat faktor dalam orientasi masa depan secara umum yaitu involvement, anticipation, occupation dan speed. Involvement merupakan derajat di mana individu fokus pada suatu peristiwa tertentu. Anticipation menentukan seberapa mantap kesiapan individu menghadapi kejadian di masa depan. Occupation adalah jumlah waktu yang diluangkan individu untuk memikirkan masa depannya. Speed merupakan kecepatan individu dalam mempersepsikan pendekatan yang dilakukan untuk mencapai masa depan (Gjesme dalam Chak, 2007). Dalam memahami konteks yang digunakan dalam orientasi masa depan, Gjesme mengemukakan perbedaan antara orientasi masa depan seseorang secara umum dengan orientasi masa depan seseorang pada situasi tertentu. Menurut Gjesme, 12 http://digilib.mercubuana.ac.id/ tinggi atau rendahnya skor orientasi masa depan seseorang yang diukur pada situasi tertentu, tidak selalu menunjukkan posisi orang tersebut dalam istilah orientasi masa depan. Skor ini mungkin hanya merefleksikan orientasi individu pada situasi tertentu saja. Berdasarkan hal tersebut, Gjesme menegaskan pentingnya penggunaan acuan umum dalam memahami orientasi masa depan. Di lain pihak, pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Oner (2000a). Menurutnya, pengukuran orientasi masa depan dapat dilakukan pada situasi tertentu. Beberapa aspek pada konsepsi orientasi masa depan tidak selalu bisa diamati dalam analisis umum saja, melainkan perlu adanya analisis pada konteks tertentu. Salah satu konteks pada situasi tertentu adalah orientasi masa depan pada hubungan romatis. Oner mengemukakan bahwa orientasi masa depan pada hubungan romantis berbeda dari orientasi masa depan pada umumnya. Orientasi masa depan pada hubungan romantis atau Future Time Orientation In Romantic Relationship (selanjutnya akan disebutt FTORR) merupakan kecenderungan untuk mencari hubungan sementara atau permanen. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oner (2000b), ditemukan dua skala faktor, yaitu permanent relationship seeking dan future relationship focus. Faktor permanent relationship seeking mengacu pada kecenderungan seseorang untuk menikmati dan mencari hubungan yang sementara atau permanen. Skor tinggi pada faktor ini mencerminkan kecenderungan pada hubungan permanen, sedangkan skor rendah mencerminkan kecenderungan pada hubungan yang sementara. 13 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Selanjutnya, faktor future relationship focus mengindikasikan pada investasi dan keterlibatan individu dalam menentukan masa depan hubungan yang dijalani. Skor tinggi pada faktor ini mencerminkan perhatian atau kepentingan yang tinggi pada masa depan hubungan, sedangkan skor rencah mencerminkan rendahnya perhatian individu pada masa depan hubungan yang sedang dijalani. Selain kedua faktor di atas,menurut Oner terdapat pula beberapa hal lain yang juga dapat mempengaruhi FTORR, diantaranya pengalaman berpacaran, kepuasan dalam hubungan, kecemburuan dan gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah orientasi masa depan pada konteks yang lebih khusus yaitu pada hubungan romantis. 2.1.4 Kombinasi Komponen Cinta Kombinasi dari tiga dimensi cinta utama, menghasilkan adanya 8 tipe cinta berbeda. Satu tipe adalah nonlove, berarti tidak ada cinta. Kebanyakan hubungan antar manusia merupakan nonlove, misalnya antara guru dan murid, antara penumpang dan sopit taksi, antara pembeli dan penjual, dan sebagainya. Oleh karena itu sebenarnya hanya ada 7 tipe cinta yang benar-benar mengandung cinta. 1) Liking (intimacy). Hubungan secara esensial dimaknai sebagai persahabatan. Tipe cinta ini mengandung kehangatan, keintiman, kedekatan, dan emosi positif lainnya, akan tetapi kurang adanya hasrat (passion) dan commitment. 14 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2) Infatuation (Passion). Dalam tipe cinta ini ‘cinta pada pandangan pertama’ menjadi cerita yang paling menonjol. Daya tarik satu sama lain sangat kelihatan dan menggetarkan. Gelora dan hasrat sangat tampak. 3) Empty love (Commitment). Dalam cinta ini, antar pasangan memiliki komitmen untuk saling setia dan setia pula terhadap hubungan itu. Akan tetapi mereka kurang memiliki keterhubungan emosi yang dalam dan tidak pula memiliki hasrat yang mendalam. 4) Romantic love (Intimacy + passion). Pasangan memiliki rasa dekat dan keterhubungan serta daya tarik fisik yang kuat. Mereka memiliki hasrat yang menyala dan memiliki kedekatan emosional. Mereka yang memiliki tpe cinta ini tidak memiliki komitmen untuk setia terhadap hubungan dan terhadap pasangan. 5) Companionate love (intimacy + commitment). Dalam hubungan cinta tipe ini terdapat persahabatan yang stabil dan jangka panjang. Mereka yang memiliki tipe cinta ini memiliki kedekatan emosional yang tinggi, berkeputusan untuk mencintai pasangan, dan komitmen untuk selamanya dalam hubungan itu. Tipe hubungan ini sering disebut ‘persahabatan terbaik, dimana tidak ada ketertarikan seksual ataupun kalau ada dalam pernikahan jangka panjang daya tarik seksual akan memudar dan tidak diangggap penting. 6) Fatuous love (passion + commitment). Hubungannya penuh gelora dan hangat. Akan tetapi biasanya hubungan seperti ini tidak stabil dan berisiko cepat berakhir. 15 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 7) Consummate love (intimacy + passion + commitment). Ini adalah cinta yang lengkap dimana setiap orang ingin mencapainya. Dalam tipe cinta ini terdapat hasrat, terdapat keintiman, dan sekaligus terdapat komitmen. Inilah tipe cinta yang diidealkan. 2.2. Homoseksual Homoseksual menurut Kartono (1989) adalah relasi seksual dengan jenis kelamin yang sama atau rasa ketertarikan dan mencintai jenis kelamin yang sama. Pengertian ini lebih menekankan adanya hubungan fisik sesama jenis sehingga pengertian tersebut lebih berdimensi fisik. Sedangkan menurut Rathus dan Nevid (1991) homoseksual merupakan orientasi seks yang melibatkan perilaku seksual dengan jenis kelamin yang sama. Pengertian homoseksual juga dapat memiliki pengertian yang lain. Menurut PPDGJ II (Depkes, RI,1983) homoseksual memiliki makna rasa ketertarikan perasaan (kasih sayang, hubungan emosional dan atau secara erotik, baik secara ekskusif terhadap orang – orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik. Dalam pengertian yang disusun oleh para ahli kedokteran dan psikologi homoseksual dimaknai bukan sebagai perilaku seksual semata akan tetapi juga melibatkan adanya unsur emosi atau perasaan. 16 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Pengertian yang lain tentang homoseksual dapat dilihat dari Dede Oetomo (2001) yang mendefinisikan homoseksual sebagai orang – orang yang orientasi atau pilihan seks pokok atau dasarnya, entah diwujudkan atau dilakukan maupun tidak, diarahkan sesama jenis kelaminnya. Dalam memahami pengertian homoseksual dikenal istilah gay dan lesbian, gay digunakan unuk homoseksual laki – laki, sedangkan lesbian digunakan untuk menunjukkan adanya homoseksual pada perempuan. Pengertian tentang homoseksual juga dapat dilihat dengan mengetahui orientasi seseorang. Hal ini dapat diketahui dengan adanya pendapat dari Kinsey (1953:PPDGJ II, 1983) yang lebih dikenal dengan skala Kinsey, yang digunakan untuk mengukur ketertarikan seksual antara manusia heteroseksual dan homoseksual. Skala Kinsey ini menjabarkan tentang adanya gradasi seksual manusia, yaitu sebagai berikut : 0 = heteroseksual eksklusif, 1 = heteroseksual kadang – kadang, 3 = heteroseksual dan homoseksual seimbang (biseksual), 4 = homoseksual predominan lebih dari kadang – kadang, 5 = heteroseksual predominan atau heteroseksual cuma kadang – kadang, 6 = homoseksual ekskusif. Homoseksual menurut Kartono (1989) dapat digolongkan dalam tiga bagian yaitu : 1) Homoseksual yang aktif, yaitu homoseksual yang bertindak sebagai pria agresif; 17 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2) Homoseksual yang pasif, yang bertingkah laku lebih dominan sebagai wanita dan memiliki kecenderungan feminim; 3) Homoseksual yang bergantian peranan, kadang-kadang memerankan laki-laki dan dilain waktu memerankan wanita. Pendapat lain diungkapkan oleh Coleman, Bucher dan Carson dalam (Supratiknya, 1995) yang menggolongkan homoseksual dalam beberapa jenis yaitu : 1) Homoseksual tulen : jenis ini memenuhi gambaran streotip tentang laki – laki yang mengidentifikasi perempuan atau sebaliknya 2) Homoseksual malu – malu : homoseksual ini yaitu laki – laki yang memiliki hasrat homoseksual akan tetapi tidak berani menjalin hubungan personal yang intim dengan orang lain untuk melaksanakan kegiatan homoseksual. 3) Homoseksual tersembunyi : biasanya berasal dari golongan menengah ke atas dan memiliki status sosial yang tinggi, sehingga biasanya hanya diketahui oleh teman atau sahabat dekatnya. 4) Homoseksual situasional : homoseksual jenis ini diantaranya ditemui pada situasi khusus seperti perang dan penjara. 5) Biseksual : jenis ini mempraktekan kegiatan homoseksual dan heteroseksual secara sekaligus. 6) Homoseksual mapan : homoseksual yang tergolong dalam jenis ini dapat menerima homoseksualitas mereka, memenuhi peran kemasyarakatan secara bertanggung jawab dan mengikatkan diri pada suatu komunitas. 18 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Berbeda dengan penggolongan di atas, berdasarkan PPDGJ II (Depkes,RI,1983) yang disusun oleh psikolog dan psikiater di Indonesia mengelompokkan homoseksual dalam dua jenis yaitu homoseksual ego sentonik dan homoseksual ego distonik. Homoseksual ego sintonik adalah homoseksual yang merasa tidak terganggu oleh orientasi seksualnya, sedangkan homoseksual ego distonik merasa selalu terganggu akibat timbulnya konflik psikis, konflik psikis internal individu ini akan menimbulkan perasaan bersalah, malu bahkan depresi (Adib, A.dkk, 2005). Mengenai hubungan seks homoseksual mengambil imitasi dari hubungan heterokseksual. Dimana ada yang berperan sebagai laki-laki dan ada yang berperan sebagai perempuan. Kartono (1989) menjelaskan pola dalam hubungan dan perilaku homoseksual dalam 3 bentuk hubungan seksual, yaitu : 1) Oral Eratism Oral (segala sesuatu yang berhubungan dengan mulut), stimulan oral pada penis disebut Fellatio (fellare : mengisap). Fellatio yaitu mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara mengisap alat kelamin partnernya yang dimasukkan ke dalam mulut. Fellatio umumnya dilakukan homoseksual remaja dan dewasa. Fellatio dapat dilakukan dengan tunggal atau ganda. Fellatio tunggal bila hanya dilakukan salah seorang partner, sedangkan fellatio ganda atau dikenal hubungan 69 dilakukan dengan saling mengisap alat kelamin pasangan pada saat yang bersamaan. 19 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2) Body Contact Body contact mengambil bentuk onani atau menggesekkan tubuh atau dengan cara senggama sela paha. Salah satu partner memanipulasi pahanya sedemikian segingga alat kelamin pasangannya dapat masuk di sela pahanya. 3) Anal Seks Anal seks (seks yang berhubungan dengan anus), dalam dunia homoseksual terkenal dengan sebutan sodomi. Sodomi mengacu pada hubungan seks dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam anus partnernya. Dalam hubungan sodomi tersebut salah satu partner bertindak aktif sedang yang lain bertindak pasif menerima. 2.2.1. Faktor Penyebab Homoseksual Kemudian mengenai faktor – faktor penyebab terjadinya homoseksual sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli. Hal ini dikarenakan faktor terjadinya homoseksual sangat beragam, tidak mutlak dikarenakan oleh satu faktor. Sehingga kalau dipahami tidak ada faktor tunggal penyebab terjadinya homoseksual. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Mc Whiter, Reinisch & Sanders, 1989;Money,1987,1993 (Santrock,2002) dikatakan bahwa penyebab terjadinya homoseksual merupakan kombinasi antara faktor genetik, hormonal, kognitif dan lingkungan. 20 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Menurut Kartono (1989) penyebab terjadinya homoseksual adalah faktor herediter, pengaruh lingkungan, pengalaman traumatis dan adanya keinginan untuk mencari kepuasan relasi homoseksual. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut dapat direduksi faktor- faktor penyebab terjadinya homoseksual dalam tiga bagian yaitu : faktor genetik atau sering disebut faktor biogenik, faktor psikodinamik atau disebut juga psikogenetik, dan yang terakhir adalah faktor lingkungan atau disebut sosiogenetik. Penjelasan mengenai faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1) Biogenik, yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau kelainan genetik. Hal ini senada dengan pendapat Ellis & Ames dalam (Santrock, 2002) faktor biologis yang dipercaya berpengaruh dalam homoseksual adalah karena keadaan hormon prenatal. Ellis dan Ames juga mengungkapkan bahwa pada bulan kedua sampai kelima terjadinya konsepsi, penampakan fetus kepada tingkat hormon yang berkarakter perempuan menyebabkan individu (laki-laki atau perempuan) tertarik kepada laki-laki. 2) Psikogenetik, yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kesalahan dalam pola asuh atau pengalaman dalam hidupnya yang memperngaruhi orientasi seksualnya di kemudian hari. Kesalahan pola asuh yang dimaksud adalah ketidaktegasan dalam mengorientasikan sejak dini kecenderungan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Freud (1992,Mayasari,2002) menjelaskan bahwa pengalaman hubungan orang tua dan anak pada masa kanak-kanak sangat berpengaruh terhadap kecenderungan homoseksual. Kurangnya kasih sayang 21 http://digilib.mercubuana.ac.id/ ibu, hubungan yang buruk dengan ayahnya menjadi pola yang dapat menyebabkan seseorang menjadi homoseksual. Hal ini senada dengan penelitian Bieber dalam (Fatimah,2003), bahwa faktor psikologis amat penting dalam perkembangan kepribadian anak. Faktor-faktor tersebut ialah harmonisnya keluarga,hubungan ayah-ibu-anak, sikap orang tua yang penuh perhatian dan toleransi dengan kebijaksanaan merupakan suatu jaminan terhadap tidak berkembangnya kecenderungan homoseksual. 3) Sosiogenetik, yaitu orientasi seksual yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, misal kaum Nabi Luth yang homoseksual adalah contoh dalam sejarah umat manusia tentang bagaimana faktor sosial-budaya homosexual oriented mempengaruhi orang yang ada dalam lingkungan tersebut untuk berperilaku yang sama. Hal ini senada dengan pendapat Kartono (1989) yang menyebutkan bahwa terjadinya homoseksual, karena pada proses perkembangan seseorang saat pubertas mendapat pengaruh dari luar (bisa dari lingkungan atau budaya). Lingkungan sebagai penyebab munculnya homoseksual juga dikuatkan oleh pendapat yang dikemukakan oleh Sullivan (PPDGJ,1983); terjadinya perilaku homoseksual, karena hubungan antar manusia yang tidak serasi sehingga mereka dekat dengan lawan jenisnya tetapi lebih dekat dengan sesama jenisnya. Teori ini misalnya bisa muncul ketika seseorang mengalami kekeceaan karena patah hati.Hal itu dapat menyebabkan seseorang menjadi membenci lawan jenis dan memiliki kedekatan yang lebih pada sesama jenis. 22 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2.2.2. Tipe Relationship pada Homoseksual Sama halnya seperti hubungan heteroseksual, hubungan homoseksual juga memiliki beberapa tipe dalam hubungannya yang dikategorikan menjadi monogami (close relationship) dan non-monogami (open relationship). 1) Monogami (close relationship) Menurut Preble (1962) Monogami adalah bentuk hubungan di mana seorang individu hanya memiliki satu pasangan selama hidup atau pada satu kurun waktu tertentu. Pada pasangan homoseksual istilah monogami atau close relationship lebih mengacu pada dua orang yang hidup bersama, berhubungan seks satu sama lain, dan tidak memiliki pasangan seks di luar serta bekerja sama dalam memperoleh sumber daya dasar seperti tempat tinggal, makanan, dan uang. (Reichard, Ulrich H. 2003) 2) Non-monogami (open relationship) Kathy Labriola (2005) menyatakan “Non-monogamy is a type of interpersonal relationship in which an individual forms multiple and simultaneous sexual or romantic bonds”, yang dapat diartikan bahwa non monogami adalah tipe hubungan interpersonal dimana seorang individu menjalani lebih dari satu hubungan romantis secara simultan. Dalam kaitannya dengan pasangan homoseksual, perlu digaris bawahi bahwa hubungan nonmonogami ini terjadi karena adanya komitmen kedua belah pihak untuk bersama 23 http://digilib.mercubuana.ac.id/ tapi setuju untuk bentuk hubungan non-monogami. Hal ini memiliki arti bahwa mereka setuju bahwa hubungan romantis atau intim dengan orang lain diterima, diizinkan, atau ditoleransi . Umumnya, pada sebuah hubungan non monogami (open relationship), pihak yang terlibat memiliki lebih dari satu hubungan romantis atau seksual terjadi pada saat yang sama. Beberapa tipe dari hubungan terbuka antara lain : a) Multipartner relationship, terjadi ketika ada tiga atau lebih personil dalam sebuah pasangan namun hubungan seksual tidak terjadi antara semua pihak yang terlibat. b) Hybrid Relationship, ketika salah satu pasangan adalah non-monogami dan yang lainnya adalah monogami (setia pada satu pasangan). c) Swinging, di mana semua pihak dalam sebuah pasangan/hubungan berkomitmen terlibat dalam kegiatan seksual dengan orang lain sebagai kegiatan rekreasi (fun). 24 http://digilib.mercubuana.ac.id/