catatan atas hasil pemerinksaan bpk tahun anggaran 2009 atas

advertisement
ANALISA HASIL AUDIT BPK ATAS
LAPORAN KEUANGAN APBN TENTANG
UTANG LUAR NEGERI
TAHUN 2007
BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK
DAN PENGAWASAN DPD
BEKERJASAMA DENGAN TENAGA
KONSULTAN
Dr. HENDRI SAPARINI
I. Pendahuluan
Dalam lima tahun terakhir posisi utang pemerintah Indonesia meningkat
signifikan dari Rp 1.297 pada tahun 2004 menjadi Rp 1.700 triliun pada Maret 2009.
Dengan kata lain dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan utang rata-rata
100 triliun pertahun. Penambahan utang yang cukup progresif tersebut terutama
disebabkan gencarnya penerbitan Sertifikat Berharga Negara (SBN).
Peningkatan jumlah utang tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menganut fiscal deficit policy dengan menjadikan utang sebagai instrumen
utama untuk menutupi defisit tersebut selain privatisasi dan pengelolaan aset
negara. Selain itu penambahan utang yang signifikan tersebut juga dijadikan
sebagai sumber pembiayaan utang-utang pemerintah yang telah dan akan jatuh
tempo (debt refinancing).
Sayangnya peningkatan jumlah utang yang besar tersebut belum disertai
pengelolaan yang efektif dan efisien sehingga manfaatnya bagi perekonomian
nasional menjadi kurang produktif. Secara makro berbagai kebijakan fiskal yang
menyebabkan defisit anggaran seperti program peningkatan kesejahteraan rakyat
(PNPM, BOS, Jamkesmas, dll), pembangunan infrastruktur, peningkatan anggaran
pendidikan belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara optimal.
Sementara pembayaran utang beserta bunganya untuk menutupi defisit tersebut
terus menyedot APBN dalam porsi yang cukup besar.
Komposisi Belanja Pemerintah Pusat 2008
Belanja Subsidi,
275.3t, 40%
Belanja Lain-lain, Belanja Barang, 56,
30.3t, 4%
8%
Bantuan Sosial, 57.7t,
8%
Belanja Modal, 72.8t,
11%
Belanja Pegawai,
112.8t, 16%
Pembayaran Bunga
Utang, 88.3t, 13%
Secara mikro, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK terhadap Laporan
Pencatatan Utang Pemerintah masih ditemukan sejumlah persoalan baik seperti
pelanggaran terhadap aturan, lemahnya pengawasan, dan masih lemahnya sistem
operasional pencatatan utang. Akibatnya akuntabilitas dan transparansi
pengelolaan utang tersebut masih jauh dari ideal.
Oleh karena itu, kajian yang sistematis terhadap berbagai problem dan
solusinya terhadap pengeloaan utang pemerintah tersebut amat diperlukan. Atas
dasar tersebut diharapkan berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
pengelolaan utang dapat dioptimalkan dan tidak lagi membebani APBN dalam
menstimulasi, menstabilkan dan mendistribusikan perekonomian secara agregat.
II. Temuan BPK: Masalah dalam Pengelolaan Utang
2
Berdasarkan audit BPK yang memeriksa pelaksanaan dan pelaporan utang
tersebut ditemukan sejumlah kelemahan khususnya kelemahan pada sistem
administrasi dan sumberdaya manusia.
2.1. Kelemahan Organisasi
1. Lemahnya kemampuan Departemen Keuangan dalam merealisasikan
anggaran pinjaman. Realisasi Anggaran pada TA 2007 yang merupakan
Realisasi
Anggaran
Pinjaman
Luar
Negeri
hanya
sebesar
Rp2.817.327.350.699,00 (24,98%) dari pagu anggaran sebesar Rp
11.232.422.797.000,00 sebagaimana yang tercantum pada DIPA. Nilai
penyerapan ini lebih rendah dari tahun 2006 sebesar Rp. 3.557.973.958.998.
2. Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman (P3) belum melaksanakan
tugasnya dengan baik. Hal ini terlihat dari:
a. Tidak seluruhnya pinjaman direkonsiliasi baik dengan pihak debitur
maupun pihak bank penata usaha. Dari total keseluruhan 1.145 pinjaman,
Direktorat P3 hanya melakukan rekonsiliasi atas 165 pinjaman (14,41%),
yang terdiri dari 162 pinjaman BUMN dan 3 pinjaman Pemerintah Daerah.
Ditambah lagi dari uji petik atas 219 pinjaman yang dilakukan konfirmasi
kepada BUMN, ditemukan 87 pinjaman mempunyai saldo yang berbeda
dengan laporan posisi Sub Loan Agreement (SLA)/RDI per 31 Desember
2007 sebesar Rp913.778,03 juta.
b. Perhitungan saldo pinjaman SLA yang tercantum di Kartu Pinjaman tidak
sesuai dengan ketentuan di Naskah perjanjian. Sebagai contoh:
i. Direktorat P3 tidak memperhitungkan terlebih dulu adanya denda pokok
dan denda biaya administrasi atas setiap pembayaran yang dilakukan
Debitur, padahal seharusnya denda tersebut harus diprioritaskan,
ii. Mengenakan denda atas tunggakan utang pokok hanya sebesar 2%
dari saldo tunggakan dan denda terhadap biaya komitmen yang
tertunggak. Padahal semestinya 2% per tahun di atas tingkat bunga
yang berlaku.
2.2. Kelemahan Sistem Administrasi
1. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) selaku Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) tidak melaksanakan proses administrasi dan pencatatan
yang memadai. Hal ini terlihat dari dokumen-dokumen yang dijadikan
sebagai dasar pencatatan atas penyaluran pinjaman maupun
pelunasannya oleh debitur tidak tersedia secara lengkap. Dari jumlah
penerusan pinjaman sebanyak 1.145 perjanjian, hanya 165 (14,41%)
yang telah dilakukan rekonsiliasi dengan debitur dan bank penata usaha.
2. Buruknya proses adminstrasi dan pencatatan oleh Direktorat Pengelolaan
Penerusan Pinjaman (Direktorat P3). Hal ini terlihat dari:
a. proses administrasi dan pencatatan penarikan pinjaman Sub Loan
Agreement (SLA) seringkali terlambat. Hal ini karena Note of
Disbursment (NoD) yang dijadikan sebagai dasar pencatatan
seringkali terlambat diterima,
3
b. Direktorat P3 mendasarkan sumber pencatatan pembayaran tagihan
pada rekening koran BI. Padahal data di rekening koran BI yang
menampung pembayaran pengembalian penerusan pinjaman tidak
dapat diketahui rincian debitur yang melakukan pembayaran. Di sisi
lain debitur tidak mengirimkan bukti setoran pembayaran kepada
Direktorat P3. Akibatnya, pihak Direktorat P3 tidak dapat melaporkan
dengan pasti rincian utang masing-masing debitur.
c. hasil uji petik yang dilakukan oleh BPK atas 7 (tujuh) Kartu Pinjaman
ditemukan Rp. 1.649.955.355.001,42 penarikan pinjaman pada tahun
2007 yang tidak dicatat pada kartu pinjaman.
3. Data yang disajikan oleh Dirjen Pengelolaan Utang (DJPU) tidak akurat.
Salah satu penyebabnya adalah data penarikan utang yang diperoleh dari
Notice of Disbursment (NoD) tidak jelas jumlahnya. Hal ini karena NoD
sebagaimana yang diakui oleh Menteri Keuangan kerap datang setelah
melewati periode anggaran. Akibatnya jumlah NoD yang diterima di luar
masa anggaran jumlahnya tidak dapat diketahui secara pasti. Padahal
NoD
yang
merupakan
dokumen
yang
menjadi
dasar
pencatatan/pembukuan terhadap penarikan/penerimaan yang disajikan.
Akibatnya saldo outstanding Utang Luar Negeri, yaitu Bagian lancar
Utang Jangka Panjang, Accrued Interest, dan Selisih Kurs tidak dapat
diyakini kewajarannya sebagaimana yang dilaporkan oleh DJPU tidak
dapat diyakini kewajarannya.
4. Adanya kelemahan pada aplikasi Sistem Akuntansi Utang Pemerintah
(SAUP). Sebagai contoh, entri data berpotensi berubah sebab sumber
data dapat diakses oleh user yang berbeda. Sebagaimana yang diakui
pihak DJPU pada akhir pemeriksaan, nilai outstanding utang menurut
SAUP tidak dapat digunakan karena ada kesalahan dalam program
aplikasi. Disamping itu human errror kadang terjadi pada pelaporan SAUP
seperti data yang dicatat pada SAUP lebih rendah dibandingkan yang
tertera pada NoD, pencatatan data yang tidak ada sumbernya di NoD,
dan pencatatan lebih pada SAUP, baik dalam bentuk rupiah maupun
valas.
5. Rekonsiliasi data penarikan utang antara unit-unit di Departemen
Keuangan yang terkait dengan penarikan dan pembayaran utang luar
negeri serta antara Pemerintah dengan BI dan kreditur tidak dilakukan
secara periodik dan tidak berjalan secara efektif. Akibatnya terjadi selisih
dalam laporan outstanding utang Luar Negeri antara kreditur, dan yang
disajikan Pemerintah melalui SAUP. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah
bukti:
a. Berdasarkan laporan BPK yang melakukan konfirmasi kepada 37.85%
lender Luar Negeri ditemukan selisih atau kurang saji pada SAUP
sebesar Rp 8,221,089,180,708.68. (jika terjawab 100% tentu
jumlahnya lebih banyak). Sementara kurang saja DSMF sebesar Rp.
1,437,238,379,233.59
b. Berdasarkan Laporan Keuangan BA 096 tahun 2007 versi pertama
diketahui jumlah penarikan pinjaman luar negeri adalah sebesar
Rp7.944.539.338.810,00, sedangkan berdasarkan data LKPP 2007
4
unaudited jumlah penarikan pinjaman luar negeri adalah sebesar
Rp34.051.857.641.805,00. Dengan demikian terdapat selisih sebesar
Rp26.107.318.302.995,00. Perbedaan tersebut disebabkan jumlah
penarikan utang luar negeri yang disajikan di LKPP adalah
berdasarkan data yang berasal dari Dit. PKN. Penyebab lainnya
terdapat kesalahan jumlah penarikan menurut Laporan Keuangan
Bagian Anggaran 096, yang baru mencatat penarikan sampai dengan
bulan Juni 2007.
c. Terdapat selisih antara laporan Depkeu dengan BI sebesar USD.
2,195,103,710. Hal ini dapat disebabkan oleh:
-
adanya loan baru, pembatalan loan atau amandemen loan yang
belum dicatat/dilaporkan oleh salah satu pihak
-
kekuranglengkapan dokumen penarikan sehingga salah satu pihak
belum mencatat/melaporkan transaksi tersebut; Adanya loan yang
telah dibayar lunas (fully paid) yang masih dilaporkan oleh salah
satu pihak;
-
adanya konversi DMFAS versi 5.2 ke versi 5.3 di Dit. EAS
menyebabkan kegiatan validasi masih belum sempurna sehingga
harus dilakukan re-entry data.
6. Proses input data kurang kredibel karena Dirjen Anggaran (DJA) tidak lagi
melakukan verifikasi terhadap data yang diterima dari Dirjen Pengelolaan
Utang (DJPU). Disamping itu proses pengelolaan data masih
menggunakan catatan manual dalam bentuk file Ms. Excel sebagai input
Sistem Akuntansi Utang Pemerintah (SAUP). Dengan demikian tidak
adanya pengendalian aplikasi atas input yang digunakan SAUP
khususnya untuk laporan Surat Berharga Negara (SBN) sehingga
memberikan peluang kesalahan dalam penyajian data.
7. Sistem Akuntasi Utang Negara (SAUP) dan pelaporan data pembayaran
cicilan utang mengandung sejumlah kelemahan. Sebagai contoh data
yang dijadikan acuan dalam penyusunan LA BA 061 diragukan validitas.
Hal ini karena data sumber yang menjadi input masih bisa diubah-ubah,
sehingga file inputnya bisa terdiri dari beberapa versi. Hal ini disebabkan
aplikasi Sistem Akuntansi Utang Pemerintah (SAUP) ditempatkan di PC
masing-masing sub unit terkait. Sementara itu para user dapat
mengakses sampai ke data sumber. Hal ini menimbulkan potensi
kesalahan karena terdapat kemungkinan file input yang digunakan dalam
penyusunan laporan bukan file versi yang seharusnya.
8. Laporan Keuangan BA 061 tidak sesuai standar dan mekanisme yang
berlaku. Hal ini terlihat dari tidak adanya Statement Of Responsibility
yang ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pernyataan
Telah Direviu oleh APIP. Di sisi lain, penyampaian LK BA 061 Tahun
2007 revisi dilakukan secara langsung oleh DJPU, bukan DJA selaku PA.
Padahal pelanggaran ini merupakan pengulangan dari tahun-tahun
sebelumnya (2004, 2005, 2006). Akibatnya LK BA 061 Tahun 2007
unaudited yang disampaikan oleh Menteri Keuangan mengandung
sejumlah kesalahan yang baru ditemukan pada saat pemeriksaan BPK.
5
9. Penggunaan SAUP dalam penyajian cicilan Pokok Utang Dalam Negeri
memeliki sejumlah kelemahan:
a. Data sumber yang menjadi input masih bisa diubah-ubah, sehingga
file inputnya bisa terdiri dari beberapa versi. Hal ini disebabkan
aplikasi SAUP ditempatkan di PC masing-masing sub unit terkait.
Sementara para user dapat mengakses sampai ke data sumber. Hal
ini menimbulkan potensi kesalahan karena terdapat kemungkinan file
input yang digunakan dalam penyusunan laporan bukan file versi yang
seharusnya.
b. Untuk laporan SBN, SAUP belum mengakomodir adanya amortisasi
premium/discount dan selisih kurs di neraca untuk transaksi SBN
valas. Akibatnya, karena neraca yang disajikan dalam LK BA 097
adalah output SAUP, informasi terkait selisih kurs dan amortisasi
premium/discount yang disajikan di neraca tidak dapat diandalkan.
2.3. Kelemahan Sistem Pengawasan
1. Inspektorat Jendral Keuangan selaku Aparat Pengawas Intern Pemerintah
(APIP) tidak melakukan tugasnya dengan baik. Hal ini terlihat dari
keterlambatannya dalam melakukan review atas informasi yang disajikan
DJPU. Akibatnya informasi yang disajikan tidak akurat.
2. Kurangnya kedisiplinan dan rendahnya kontrol dan monitoring dalam
pelaksanaan tugas. Akibatnya sejumlah tugas tidak berjalan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku:
a. Dalam melakukan koordinasi rekonsiliasi akhir untuk penyusunan
Laporan Keuangan Bagian Anggaran 097 antara DJPU selaku Kuasa
Pengelola Anggaran (KPA) dengan Direktorat Pengelola Keuangan
Negara (PKN) selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN), dan
antara Direktorat Anggaran III DJA selaku PA dengan Dit. APK. Hal ini
terlihat pada koordinasi yang baru dilakukan pada saat proses
pembuatan laporan. Padahal seharusnya hal tersebut dilakukan secara
bulanan.
b. Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan selaku Aparat Pengawas
Intern Pemerintah (APIP) tidak menjalankan tugasnya untuk melakukan
review terhadap Laporan Keuangan BA 097. Hal ini terlihat dari laporan
tersebut yang memuat Statement Of Responsibility (SoR) yang
ditandatangani oleh Direktur Pengelolaan Utang, namun tidak memuat
pernyataan telah direviw oleh Inspektorat Jenderal Departemen
Keuangan. Padahal hal tersebut sudah berlangsung seperti tahun-tahun
sebelumnya (2004, 2005, 2006).
c. Di sisi lain, penyampaian LK BA 097 Tahun 2007 revisi dilakukan
secara langsung oleh DJPU, bukan DJA selaku PA. disamping itu
laporan tersebut tidak disertai dengan Statement Of Responsibility
(SoR) yang ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan
Pernyataan telah direviu. Hal ini mengakibatkan LK BA 097 Tahun 2007
unaudited yang yang disampaikan oleh Menteri Keuangan masih
6
terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak segera terdeteksi dan baru
ditemukan pada saat pemeriksaan BPK.
d. Monitoring atas penerimaan dokumen sumber pembukuan belum
dilaksanakan secara optimal. Hingga akhir tahun 2007 DJA belum
melaksanakan penerapan sanksi terhadap Kuasa Pengelola Anggaran
(KPA) yang belum menyampaikan dokumen sumber pembukuan
sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh BPK pada tahun
sebelumnya.
3. Lemahnya proses kontrol dan monitoring terhadap pelaksanaan tugas di
tubuh Departemen Keuangan. Akibatnya sejumlah pelaksanaan tugas tidak
sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sebagai contoh Inspektorat Jenderal
Departemen Keuangan selaku pejabat yang bertanggung jawab untuk
melakukan review atas hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan BAPP
098 tidak menjalankan tugasnya. Hal ini terlihat dari tidak adanya
pernyataan bahwa laporan tersebut telah direview oleh Aparat Pengawas
Internal Pemerintah. Padahal Direktorat Keuangan III telah memberikan
surat tugas Nomor ST-83/IJ/2008 tanggal 20 Februari 2008. Di sisi lain
Menteri Keuangan meski tanpa disertai pernyataan telah direview
menandatangani Pernyataan bertanggungjawab atas laporan tersebut.
Akibatnya validitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan tidak
dapat diyakini kebenarannya.
4. Ketidakdisiplinan dan lemahnya kontrol dan monitoring dalam pelaksanaan
tugas. Hal ini mengakibatkan penyimpangan dan kelalaian pihak yang
terkait dalam menjalankan tugasnya :
a. Keterlambatan pelaksanaan rekonsiliasi data realisasi bunga dan biaya
utang antara DJPU selaku Kuasa Pengelola Anggaran (KPA) dengan
Direktorat Pengelola Keuangan Negara (PKN) selaku Kuasa Bendahara
Umum Negara (BUN), dan antara Direktorat Anggaran III DJA selaku
PA dengan Direktorat Pengelolaan Kas Negara yang baru dilakukan
pada saat proses penyusunan Laporan Keuangan. Padahal rekonsiliasi
tersebut seharusnya sebelum proses tersebut dilaksanakan.
b. Dirjen Anggaran (DJA) tidak melakukan verifikasi atas data dan draft LK
BA 061 yang diperoleh dari DJPU sebelum menyusun laporan.
c. Monitoring atas penerimaan dokumen sumber pembukuan tidak
dilaksanakan secara optimal sebagaimana yang telah diperingatkan
oleh BPK pada tahun lalu. Bahkan petugas yang bertanggungjawab
atas hal tersebut dibiarkan tanpa diberi sanksi.
d. Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan tidak melaksanakan
tugasnya untuk melakukan kajian atas Laporan Keuangan BA 061
sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan.
e. Menteri Keuangan juga bersikap lalai terhadap penyimpangan prosedur
tersebut. Ini dibuktikan dengan pernyataan pertanggungjawanan
(Statement Of Responsibility) LK BA 061 tanpa disertai dengan bukti
Peryataan telah dikaji.
5. Laporan Keuangan BA 061 tidak sesuai standar dan mekanisme yang
berlaku. Hal ini terlihat dari tidak adanya Statement of Responsibility yang
7
ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pernyataan Telah Dikaji
oleh APIP.
2.4. Kelemahan Sumber Daya Manusia
1. Kurangnya kedisiplinan dalam rendahnya kontrol dan monitoring dalam
pelaksanaan tugas.
2. Disamping itu human error kadang terjadi pada pelaporan SAUP seperti data
yang dicatat pada SAUP lebih rendah dibandingkan yang tertera pada NoD,
pencatatan data yang tidak ada sumbernya di NoD, dan pencatatan lebih
pada SAUP, baik dalam bentuk rupiah maupun valas.
III. Analisa Tentang Utang Pemerintah
A. Aspek Mikro (Teknis-Administratif)
Dari hasil pemeriksaan BPK tersebut terdapat berbagai persoalan yang
cukup akut dalam proses pengelolaan utang luar negeri pemerintah antara lain:
a. Rendahnya kemampuan Departemen Keuangan dalam menyerap utang
yang telah dikucurkan oleh pihak kreditor. Padahal konsekuensi yang
ditimbulkan oleh utang tersebut terhadap APBN seperti bunga utang,
commitemet fee, dana pendampingan cukup signifikan.
b. Proses rekonsiliasi data penarikan utang antara unit-unit di Departemen
Keuangan yang terkait dengan penarikan dan pembayaran utang luar negeri
serta antara Pemerintah dengan BI dan kreditur tidak efektif. Akibatnya data
utang luar negeri yang betul-betul valid dan lengkap sulit untuk disajikan
tepat waktu.
c. Ketidakdisiplinan terhadap aturan yang berlaku dan lemahnya kontrol dan
monitoring di jajaran Departemen Keuangan menyebabkan proses
pengelolaan administrasi utang luar negeri tidak accountable. Hal ini terlihat
dari ditemukan berbagai kesalahan yang cukup fatal dalam penyajian
outstanding utang pemerintah dengan selisih yang cukup besar.
d. Lemahnya sistem administrasi dalam proses pencatatan utang seperti
sumber data penarikan utang yang tidak dapat terhimpun dalam suatu
periode anggaran, sistem pencatatan terhadap penarikan pinjaman dan
pembayaran oleh debitur yang menerima penerusan pinjaman belum mencover seluruh transaksi, dan akurasi Sistem Akuntansi Utang Pemerintah
(SAUP) yang belum mampu mencerminkan outstanding utang secara akurat
akibat program aplikasi yang masih lemah, sumber data yang tidak
diverifikasi ulang di samping adanya human error pada bagian pencatatan.
B. Aspek Makro
Dalam berbagai kesempatan Pemerintah selalu menegaskan Indonesia
harus segera mengurangi ketergantungan terhadap utang dan bantuan luar
negeri karena akan membebani masa depan Indonesia. Bila pengurangan
ketergantungan utang menjadi salah satu visi penting, semestinya pembiayaan
pembangunan dalam pemerintah akan semakin menjauh dari utang.
8
Namun faktanya selama dalam empat tahun terakhir, outstanding utang
pemerintah justru mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2009 bahkan
stok utang mencapai level tertinggi sepanjang sejarah. Bila pada tahun 2004
total utang pemerintah hanya sebesar Rp 1.297 triliun maka pada posisi Maret
2009 telah membengkak menjadi Rp 1.700 triliun. Artinya ada peningkatan stok
utang sebesar Rp 398 triliun atau naik 31 persen.
Perkembangan Utang Pemerintah Pusat
1,800
1,600
triliun Rupiah
1,400
1,200
1,000
662
693
743
906
968
730
732
2008
2009
(Mar)
803
652
661
655
649
583
613
570
583
637
620
559
586
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
800
502
600
100
400
200
453
438
1998
1999
238
1997
Utang LN
SBN
Sumber: Depkeu
Salah satu hal yang patut dicermati dalam pengelolaan utang pemerintah
adalah indikator yang digunakan untuk menilai beban utang tersebut (debt
burden) terhadap perekonomian.
Selama ini Pemerintah menjadikan rasio utang terhadap PDB sebagai
indikator untuk menilai tingkat solvabilitas utang negara. Padahal indikator
tersebut adalah indikator semu dalam menilai beban utang negara. Akibatnya
meski jumlah stok utang yang sangat besar tersebut, Menteri Keuangan pun
dengan tegas menyatakan utang Indonesia masih aman. Padahal dengan stok
utang tersebut telah menggerus belanja APBN. Jika pada tahun 2004 jumlah
bunga utang yang harus dibayar masih sebesar Rp 65,2 triliun, maka pada
tahun 2009 telah mencapai 110.6 triliun.
Pembayaran Bunga Utang dalam APBN
120
110.6
Triliun Rupiah
100
88.3
80
79.1
79.7
2006
2007
65.2
60
40
20
0
2005
2008
2009 (dok.
stimulus)
Sumber: Depkeu
Beban pembayaran utang tersebut akan semakin membengkak bila pokok
utang ikut diperhitungkan. Untuk tahun 2009 anggaran pembayaran pokok utang
Luar Negeri dan bunga utang mencapai Rp 182.7 triliun. Angka tersebut tentu
saja tidak kecil karena merupakan belanja pemerintah yang paling besar. Jauh
lebih besar dibanding anggaran belanja pegawai atau belanja modal yang hanya
sebesar Rp 140.2 dan Rp 72 triliun.
9
Komposisi Belanja Pemerintah Pusat 2009
Pembayaran Bunga & Pokok Utang LN
182.7
Belanja Pegawai
140.2
Subsidi
123.5
Belanja Barang
91.7
79
Bantuan Sosial
Belanja Modal
72
Belanja Lain-lain
56.8
Stimulus Fiskal
11.2
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Triliun Rupiah
Sumber: Depkeu
Namun mengapa Menteri Keuangan masih tetap menganggap utang tidak
membebani keuangan negara? Tentu saja ini dapat terjadi karena indikatorindikator yang dijadikan tolok ukur hanya indikator yang mendukung Indonesia
masih aman dan layak untuk mendapatkan tambahan utang. Tidak
mengherankan meskipun stok utang meningkat tajam, utang masih
dikategorikan ‘aman’ karena rasio utang terhadap PDB dianggap terus menurun
dari 46 persen (2004) menjadi 33 persen (2008). Namun demikian pengukuran
beban utang tidak bisa hanya diukur dari rasio tersebut.
Bila digunakan indikator-indikator lainnya, maka kesimpulan bahwa utang
Indonesia ada pada posisi ‘aman’ sangat patut dipertanyakan. Salah satu
indikator yang dapat digunakan misalnya, kemampuan pemerintah dalam
menyediakan cadangan devisa. Apabila ekspor terus menurun akibat daya
saing, maka kemampuan untuk menyediakan cadangan devisa yang diperlukan
untuk membayar cicilan utang menjadi berkurang.
Apalagi diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir cadangan devisa
Indonesia lebih banyak disokong oleh kenaikan komoditas primer di pasar
internasional dan masuknya gelombang hot money. Bila ekspor Indonesia tidak
didukung oleh pertumbuhan produktivitas dan daya saing, sementara beban
pembayaran utang semakin besar, maka tidak dapat dikatakan bahwa langkah
untuk terus menambah utang akan cukup aman. Fakta bahwa utang jangka
pendek menjadi sumber cadangan devisa ditunjukkan dengan peningkatan
porsinya yang semakin besar. Sejak 2006 utang jangka pendek meningkat lebih
dari 40 persen yakni dari 16,5 miliar dollar (2006), menjadi 23,21 miliar dollar
pada tahun 2007.
Peningkatan porsi utang jangka pendek yang cukup besar ini menunjukkan
tingkat ‘bahaya’ dari utang pemerintah karena bila terjadi pembalikan (sudden
reversal) akan menekan nilai tukar rupiah serta indikator-indikator lainnya.
Beban pinjaman luar negeri ternyata tidak hanya terjadi pada saat utang
tersebut telah dicairkan. Tetapi bahkan dimulai sejak pemerintah berkomitmen
terhadap sebuah perjanjian utang. Dalam setiap perjanjian utang, pemerintah
diwajibkan membayar comitment fee, asuransi dan bunga segera setelah
pinjaman tersebut dicairkan oleh negera peminjam. Di samping itu setiap
membuat komitmen utang untuk pembiayaan suatu proyek, pemerintah wajib
menyediakan dana dalam APBN yang disebut dana pendamping. Semakin
banyak kegiatan pembangunan yang didanai dengan utang terutama utang luar
10
negeri, semakin banyak pula dana APBN yang dialokasikan sebagai
pendamping.
Sayangnya meski banyak biaya yang telah dibayarkan untuk mendapatkan
pembiayaan utang, namun proyek yang didanai belum tentu bisa jalan. Untuk
dana pendamping misalnya, seringkali pemerintah telah membayar hingga tiga
perempat namun proyek belum berjalan. Mungkin karena persiapan
administrasinya, rusak karena bencana, dikorupsi, atau sebab lain yang
mengakibatkan utang menjadi kurang produkstif. Utang-utang seperti inilah yang
dapat dikategorikan sebagai utang najis (odious debt). Untuk kasus-kasus
seperti ini semestinya pemerintah dapat melakukan renegosiasi untuk tidak
dibayarkan. Bahkan saat ini PBB telah memberikan jalan untuk melakukan
penghapusan bagi illegitimate debt.
Faktor lain yang mengakibatkan mahalnya pembiayaan dengan utang adalah
jenis utang. Dalam beberapa tahun terakhir untuk menutup defisit pemerintah
lebih memilih mencari penjaman komersial yang nyata-nyata berbunga tinggi
makin besar. Pada tahun ini pemerintah bahkan menerbitkan Global Medium
Terms Note (GMTN) yang relatif mahal. Untuk surat utang berjangka waktu 10
tahun yang akan jatuh tempo Maret 2019 yield yang diberikan 11,75 persen.
Imbal hasil ini tentu sangat tinggi dibanding obligasi pemerintah Amerika yang
hanya sebesar 3% serta negara-negara maju lainnya.
IV.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan-temuan BPK tersebut dan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam rangka tatalaksana pemerintahan yang baik, diusulkan untuk
dilakukan langkah-langkah untuk memperbaiki berbagai kelemahan tersebut di
atas, antara lain:
Pertama, perbaikan sistem administrasi. Melihat beberapa kelemahan
seperti dibahas secara ringkas di Bagian II kajian ini, perlu dilakukan perbaikan
sistem administrasi – baik hardware maupun software yang terkait dengan
pencatatan dan pelaporan. Misalnya: Perlunya pengembangan aplikasi SAUP,
sehingga proses penyusunan LKPP dapat dilaksanakan lebih cepat dan lebih
akurat.
Kedua, perbaikan sistem pengawasan. Dalam hal ini, pengawasan juga
meliputi penegakan peraturan yang terkait dengan tata kelola utang. Termasuk
juga peraturan atau ketentuan yang diperlukan agar sistem pengelolaan utang
dapat berjalan lebih baik. Langkah-langkahnya antara lain: peningkatan
pengawasan secara internal pada DJPU dan Inspektorat Jendral Depkeu,
tindakan yang tegas dari pejabat yang lebih tinggi terhadap pelaksana yang lalai
atau tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
Ketiga, perbaikan kualitas sumber daya manusia. Sumberdaya manusia
adalah kunci penting terselenggaranya good governance. Sistem yang baik
tanpa SDM yang baik hanya menjadi senjata canggih yang sia-sia. Oleh sebab
itu, kualitas SDM yang baik tidak saja diperlukan pada tataran pembuat
kebijakan, tetapi juga pada level pelaksana teknis.
Keempat, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat diketahui akar
masalah yang sebenarnya, misalnya dalam hal keterlambatan penyerapan
11
utang. Jika utang digunakan untuk anggaran pembangunan, penyerapannya
seringkali disebabkan oleh keterlambatan pelaksanaan proyek, baik karena
proses tender, maupun implementasi di lapangan.
Kelima, Beban biaya atas utang ternyata sangat besar dan beresiko. Oleh
karenanya sudah saatnya bagi pemerintah untuk segera melakukan koreksi
terhadap berbagai utang. Apalagi jumlah komitmen utang Indonesia sudah
sangat banyak dengan value yang sangat besar. Dimulai sejak awal 1960-an
hingga akhir Juni 2008, pemerintah telah menandatangani 4.484 perjanjian
pinjaman dengan kreditor. Sedangkan total nilai pinjaman luar negeri bruto yang
telah ditandatangani mencapai 213,531 miliar dollar. Namun, banyak utang yang
telah disepakati ternyata tidak didukung dengan prinsip akuntabilitas, tertib
administrasi serta tidak jarang transaksi dilakukan secara tidak wajar. Tidak
heran bila BPK menemukan sekitar 500 surat perjanjian utang hilang akibat
pengarsipan yang belum tertib.
Disamping itu, banyak temuan BPK yang mengindikasikan besarnya
kerugian negara dalam pengelolaan utang luar negeri. Sebagai contoh,
pelaksanaan 25 proyek yang didanai pinjaman luar negeri terlambat
dilaksanakan. Akibatnya negara dibebankan Rp 2,02 triliun sebagai denda
keterlambatan pelaksanaan proyek. Kasus lain misalnya adanya 61 rekening
khusus dengan saldo Rp 74,34 miliar yang belum ditutup. Walaupun tanggal
penutupan peminjaman telah lewat. Sehingga pemerintah harus menanggung
beban bunga atas sisa dana di rekening tersebut walaupun tidak dimanfaatkan.
Terlalu banyak masalah dan beban yang ditimbulkan dari pembiayaan
pembangunan lewat utang. Sudah saatnya bagi Indonesia, siapapun pemimpin
2009 untuk melakukan koreksi terhadap berbagai beban utang. Jangan sampai
karena buruknya pengelolaan utang Indonesia akhirnya benar-benar menjadi
good boy yang bahkan tidak pernah tahu dan tidak tahu berapa semestinya
negara harus membayar cicilan utang. Jangan sampai Bank Indonesia hanya
menjadi kasir yang harus membayar berapapun tagihan dari para kreditor.
Satu syarat yang harus dilakukan dalam melakukan penataan ini yakni
merubah paradigma para pemimpin baik di legislatif maupun eksekutif. Tanpa
perubahan paradigma, tidak akan ada yang dilakukan oleh para pemimpin baru
2009. Tidak hanya kabinet, tetapi Indonesia memerlukan juga anggota Dewan
yang berani melakukan koreksi mendasar atas paradigma pembiayaan
pembangunan berbasis utang. Partai dan caleg dalam kampanye seringkali
menyatakan menolak penarikan utang-utang baru, tetapi fakta menunjukkan
selama ini tidak pernah melakukan upaya sungguh-sungguh untuk menekan
defisit. Buktinya hampir semua pengajuan utang oleh pemerintah untuk
pembiayaan defisit selalu didukung Dewan. Akhirnya, selama empat tahun
Dewan membiarkan defisit APBN terus membengkak tanpa ada kebijakan untuk
memaksa pemerintah mengurangi utang.
Harus ada langkah konkrit DPR untuk menyiapkan peraturan perundangundangan yang dapat memaksa pemerintahan baru untuk mencari alternatif
pembiayaan selain utang. Meskipun selama hiruk-pikuk kampanye berlangsung
hampir tidak ada partai yang mengangkat isu utang serta tawaran solusinya.
Sekarang saatnya caleg dan pemimpin pilihan untuk mewujudkan harapan
rakyat untuk keluar dari jerat utang.
12
Appendix
Sumber: Depkeu
Sumber: Depkeu
13
Download