Skripsi Gagasan Islamisasi Ilmu - UIN Repository

advertisement
1
“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas”.
Oleh :
Abdul Gofur
NIM : 104011000083
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
1429 H/2008 M
“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas”.
2
Skripsi :
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Syarat-syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Strata I
Dalam Bidang Pendidikan Agama Islam
Oleh :
Abdul Gofur
NIM : 104011000083
Dibawah Bimbingan :
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA
NIP : 150222550
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
1429 H/2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Pencipta alam semesta,
Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah
3
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang
penulis ajukan adalah:
“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed
Muhammad Naquib Al-Attas)”.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW semoga tercurah pula kepada keluarga dan pengikutnya yang menjadi
Pendidik umat manusia.
Penullis sangat menyadari keterbatasan kemampuan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, juga penulis menyadari bahwa setiap manusia pasti sangat
memerlukan bantuan dari sesamamnya. Oleh sebab itu dengan ketulusan hati dan
kerendahan hati ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada semua yang telah membantu penulis, antara lain:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Fattah Wibisono, MA, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan
Drs. Syafiudin Siddiq, sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta
3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA,
Dosen Pembimbing utama Penulis dalam
menyelesaikan skripsi, yang telah meluangkan waktu dan pikiran disela-sela
kesibukannya
untuk
memberikan
bimbingan
kepada
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Orang tuaku yang tercinta, Ibunda Hj. Aisyah dan Ayahanda H. Rochmani yang
dengan sabar memberikan dukungan moril maupun materil, dan kepada saudarasaudaraku yang tercinta.
5. Sahabat dan teman-temanku dari jurusan PAI angkatan 2004, Humaidi, Amin
Rahman, Faishil Qibthiyah, Melati Triksiana, khusus kepada Muhammad
Muyasser yang telah membantu dengan memberikan perhatian serta memberikan
bantuan moril, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan
6. Kepada teman-teman Nurul Hikmah yang mau menemani berdiskusi di waktu
senggang untuk sekedar “memuntahkan” unek-unek akibat banyak buku yang
diacak-acak, sehingga skripsi ini terselesaikan.
4
Akhirnya hanya kepada Allah Jualah penulis berharap dan memanjatka do’a
semoga amal baik semua pihak da termasuk daripada Shodaqoh Jariyah yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini senantiasa mendapat balasan yang
berlipat dari Allah SWT, dan semoga ilmu yang penulis dapatkan termasuk ilmu
yang bermanfa’at.
Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Jakarta, 20 Agustus 2008
5
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………...….….. 1
A. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ……………………………..……...13
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………..….……. 15
C. Metodologi Penelitian
1.
Jenis Penelitian …………………………………………………...15
2.
Sumber Data …………………………………………...………....16
3.
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ……………………....…16
4.
Pedoman Penelitian ……………………………………………....17
D. Sistematika Pembahasan ……………………………………………... …17
BAB II : OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
A. Riwayat Hidup dan Kariernya …………………………….……………18
B. Situasi Sosial Keagamaan ………………………………….……………20
C. Karya-karya Intelektualnya ……………………………………….…….26
BAB III : PARADIGMA ISLAMISASI ILMU
A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu ……………………............……32
B. Ruang Lingkup Islamisasi Ilmu………………………………………….36
1. Klasifikasi Ilmu………………………………………………….. 38
2. Sumber Ilmu………………………………………………………46
3. Metode Ilmu………………………………………………………47
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Islamisasi Ilmu…………………….53
6
BAB IV : PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
DALAM MENJAJAKI KEMUNGKINAN ISLAMISASI ILMU
A. Latar Belakang Tujuan…………………………………………………..55
B. Konsep Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas……………70
C. Karakteristik Islam dan Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas………83
D. Pengaruh Islamisasi Naquib al-Attas Terhadap Pendidikan……………..89
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………93
B. Saran-saran……………………………………………………………….94
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..95
7
BAB I
PENDAHULUAN
E. Latar belakang masalah
Terdapat Fenomena menarik mengusung abad ke-21, kemajuan peradaban Barat
menjadi suatu kiblat utama peradaban bangsa lain. Kemajuan teknologi tak terbatas
jangkaunnya. Barat menjadi ikon kemajuan peradaban abad 21, kemajuan peradaban
Barat tidak disertai dengan nilai-nilai pada aspek pendidikan, pemaksaan hak akan
negara lain tentang suatu model negara terlihat pada penyerbuan besar-besaran
negara Adidaya bersama para sekutunya terhadap negara kecil penghasil minyak,
pemaksaan ideology menjadi model utama baik itu bermadzhab sosialis komunis,
kapitalis, bahkan agamis, ideology diperankan sebagai mesin kekuatan yang
diharapkan dapat mengangkat martabat para pengusung ideology mereka, satusatunya perahu yang dapat mengantarkan pada tujuan yaitu tentang konsepsi
pendidikan.
Aneka panorama ini pada satu sisi mengikuti pendapatnya Zeno pada 2500
yang lalu bahwa seluruh benda_ baik benda yang hidup maupun yang mati_
bergerak kepada arah kehancuran sedangkan pada sisi lain bahwa neraca pendidikan
tak jelas arahnya pada satu ideology yang di tawarkan oleh negara-negara maju, hal
ini berimplikasi pada apakah sesungguhnya konsep pendidikan yang sesuai tujuan
utama penciptaan manusia dimuka bumi ini sebagai Kholifah Fil ‘ardhi. Selain
daripada itu pendidikan yang bermutu merupakan wahana SDM yang mampu
menerapkan, mengembangkan dan menguasai IPTEK dengan tetap dilandasi nilai-
8
nilai agama, moral dan budaya luhur bangsa, sedangkan kualitas SDM terbukti
menjadi factor cerminan kemajuan suatu bangsa1.
Pendidikan memiliki andil yang sangat besar dalam membangun suatu
peradaban yang luhur. Dilihat dalam segi obyek formalnya, pendidikan memang
menjadikan sarana kemampuan manusia untuk
dibahas dan dikembangkannya.
Dalam persoalan kemajuan pendidikan dan umat, kemampuan manusia ini harus
menjadi perhatian utama, karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian
pendidikan berhubungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia
yang belakangan ini diyakini lebih mampu mengalahkan kemajuan peradaban
daripada sumberdaya alam. Ada banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi
potensi sumberdaya manusianya besar mampu mengalahkan kemampuan negara
yang sumber alamnya besar tetapi sumber daya manusianya kecil seperti Indonesia.
Nilai-nilai etika sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan,
keurgensian reinternalisasi nilai-nilai pendidikan sudah tidak lagi melahirkan
manusia yang ‘’baik’’, tetapi justru melahirkan destroyer bagi kesejahteraan umat
manusia dan alam semesta. Mungkin karena fenomena ini Mangunwijaya
(Tholkhah,2004:129 )mengatakan bahwa ‘’ ……. Apa guna kita memiliki seribu
alumni sekolah yang cerdas, tetapi masyarakat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum
sekolah itu akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka………
Di dalam kacamata sejarah, umat Islam pernah mencapai masa keemasan
peradaban ditandai dengan kemajuan diberbagai aspek, ekonomi, sastra, politik,
geografi yang menjadi sentral peradaban, penyerapan ilmu-ilmu yang berkembang
1
Manshur Isha, Diskursus Pendidikan Islam. ( Yogyakarta : Global Pustaka Utama 2001)
cet I, hal 1
9
diIslamisasikan menjadi ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, perhatian para
penguasa terhadap pendidikan mengantarkan peradaban umat Islam tak tertandingi,
dan banyak melahirkan tokoh-tokoh handal sepanjang sejarah, seperti, Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ibnu Rusydy, Al-Faraby, Ibnu Maskawaih
dan masih banyak tokoh lainnya2.
Kekalahan Islam akibat penghancuran yang dilakukan oleh Hulagu Khan
terhadap kota Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1258 M
mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik
ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, umat Islam
seakan-akan sudah kehilangan semangat dalam menggali ilmu pengetahuan umum
yang bersifat ilmiah. Pembahasan-pembahasan serius dalam bidang kebudayaan
(sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para Ilmuwan yang hidup
pada zaman kejayaan peradaban Islam, hilang tak membekas.
Kemiskinan intelektual ini tidak bisa pulih, meskipun terdapat penyatuan
kembali hampir seluruh wilayah Islam pada abad ke-16 dibawah dinasti Turki
Utsmani. Penguasa baru ini sama sekali tak mampu melindungi kebudayaan Islam
yang luhur, kendatipun dibatas wilayah-wilayah kekuasaanya sendiri. Sementara itu
sistem pendidikan dalam periode ini, sebagaimana dilaporkan oleh Nikki R. Keddie,
dikuasai oleh para pemimpin agama, yaitu Ulama3.
Kondisi seperti ini berlangsung sangat lama, sehingga pendidikan Islam
berada dalam keterbelakangan. Pendidikan Islam tidak lagi memberikan perspektif
2
C.A.Qadir Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta,Yayasan obor
Indonesia,2002) h.75
3
Nikki R. Keddie (ed), Scholars, saints and Sufism: Muslim Religioon Institutions in The
Middle East Since 1500, (Berkeley dan Los Angeles, 1972) bab I.
10
masa depan yang cerah. Keadaan demikian berlaku di semua negara Islam.
Beriringan dengan masa ini, negara-negara Islam sedang menjadi obyek jajahan bagi
bangsa Eropa, sementara itu Napoleon mendarat dimesir pada tahun 1798 M.
Namun, ekspedisi ini datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga
untuk keperluan ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang,
tampaknya kedatangan Napoleon ini direspon oleh para pemikir Islam dengan
perlawanan baik fisik maupun intelektual4.
Umat Islam setelah mengalami masa kejayaan, memasuki masa-masa
kemunduran, hal ini diakibatkan banyak faktor tetapi faktor yang paling mendasar
ialah kurangnya perhatian para penguasa pada pendidikan, umat Islam mulai
mengalami kerancuan berfikir yang dahulu diperankan oleh para pendahulunya,
umat Islam sudah tidak lagi menggunakan rasionalitas berubah menjadi pola pikir
yang cenderung eksklusif, konservatif dalam memandang kehidupannya 5, di satu sisi
para
penguasa
tidak
menggunakan
nuraninya
lagi
dalam
menjalankan
pemerintahannya.
Pendidikan diberbagai dunia bahkan di Indonesia hanya diartikan Transfer of
Knowledge, nilai-nilai moralitas tak lagi menjadi perhatian serius, hal ini berakibat
pada lahirnya robot-robot yang tak bermoral. Hilangnya sosok Nabi Muhammad saw
sebagi Public Figure mengantarkan kebobrokan moral umat manusia mencapai
klimaksnya.
4
Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik,( Surabaya, Erlangga. 2005) hal. 209
5
Poeradisastra, Sumbangan IslamTerhadap Perkembangan Modern. (Jakarta, P3M,1985)
h.35
11
Dalam hal ini Syed Muhammad Naquib al-Attas berkomentar bahwa
pengalaman keruntuhan dan perpecahan kekuatan dan masyarakat Islam membuat
masyarakat Islam, terutama tokoh reformernya, menilik kembali konsep-konsep
Ibnu Khaldun tentang Ummah dan Negara dalam Islam sehingga sebagai usaha
dikerahkan kepada pembangunan kembali konsep-konsep tersebut. Dengan
demikian,
perhatian
terhadap
konsep-konsep
individu
dan
peranan
yang
dimainkannya dalam mewujudkan dan membina umat dan negara Islam dan
membina umat dan negara Islam itu sudah terabaikan sama sekali. Namun,
bagaimana suatau umat dan negara Islam dapat dibangun dan ditegakkan sementara
umat Uslam secara individual, yang menjadi sel-selnya, berada dalam keadaan
bingung dan tidak mengerti apa-apa tentang Islam dan ajaran-ajarannya? 6
Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia tak terlepas dari
pendidikan dalam aspek epistemology ilmu yang telah di bangun oleh para pakar
pendidikan baik ahli di Barat maupun di timur.
Epistemologi secara umum dapat diartikan dengan filsafat yang membahas
tentang pengetahuan. Banyak hal menarik yang dibahas dalam epistemology, seperti
apakah seputar akal atau indera yang menjadi alat utama untuk mendapatkan
pengetahuan atau dalam bentuk pertanyaan lain apakah pengetahuan yang shohih,
semata-mata dihasilkan dari hasil logika atau observasi ketat saja.
Epistemologi Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian
yang sangat dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif
lainnya. Bahkan sesungguhnya seluruh planet ini dibentuk dengan citra manusia
6
Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, [Ed.], Aims and Objectives of Islamic Education
(Jeddah : Hodder and Stoughton, King Abdul Aziz University, 1979), hal 5-6
12
Barat, imperalisme tersebut menunjukkan tanda-tanda akan terus merambah, jika hal
ini dibiarkan, maka perilaku utilitarinisme, hedonisme, sekulerisasi bahkan cara
pandang materialisme akan melanda masyarakat muslim dan hal ini sebahagiannya
disebabkan oleh factor-faktor epistemologis.
Selain itu epistemologi Barat cenderung mengarah kepada authopocentris,
artinya epistemologinya didasarkan pada tradisi budaya yang dikuatkan kembali
melalui premis-premis filosofis ketat berdasarkan pada spekulasi-spekulasi yang
hanya di dasarkan yang hanya mencakup hazanah sekuler atas manusia sebagai
entitas fisik7 dan hewan rasional dengan menggantungkan diri pada kemampuan
intelektual manusia untuk menyingkap materi dan lingkungan eksistensinya
sehingga nilai moral dan etisnya menjadi penuntun dan pengatur, tidak ada kepastian
dalam proyeksi pandangan dunia dan pengarahan kehidupan mereka, dikarenakan
nilai-nilai pengetahuan mereka selalu bergantung pada tinjauan dan perubahan akal
semata8.bahkan tokoh sekaliber Sigment Freud meyakini bahwa eksistensi diluar
relitas adalah ilusi atau non sense, bahkan menurut lingkaran Wina, jika tidak
diverifikasi secara empirik Tuhan hanyalah hipotesis yang tak diperlukan dalam
kerja ilmiah.
Epistemologi Barat yang digencarkan oleh Rene Descartes yang mengarah
kepada antroposentrisme. Ungkapan Rene Descartes, menurut Mujammil Qomar,
bahwa saya pikir saya ada tidak semata-mata menunjukkan pemberdayaan potensi
manusia, tetapi ungkapan itu sekaligus berusaha untuk membalikkan kondisi dan
7
Yudi Lathief dan Subandi Ibrahim. Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat pasca
Modern.Jurnal Ulumul Qur’an No 3 Vol V,1994,h.77, Lihat pula Mulyadi Kertanegara, Menyibak
Tirai Kejahilan.Pengantar Epistemologi Islam ( Bandung, Mizan, 2002,Cet.I) h.8-15
8
Seyyed Hussei Naser, Islam dan Krisi Lingkungan,Terj. Abbas al-Jauhari dan Ihsan Ali
Fauzi, dalam jurnal islamika, no 3 januari- maret. 1994.h.10
13
tradisi sebelumnya yang mendasarkan kebenaran pada sumber-sumber kekuasaan
diluar manusia, seperti kekuasaan gereja, kitab suci, tradisi atau negara. Pada
Descartes yang kemudian diikuti oleh para filosof dan ilmuwan berikutnya manusia
diangkat derajatnya pada posisi yang menentukan sesuatu kebenaran. Manusia
berdasarkan “Ijtihad’’ pemikirannya dapat membuat kriteria sendiri untuk mengukur
dan menentukan kebenaran. Manusia berdasarkan kewenangannya itu, tidak perlu
lagi menunggu petunjuk-petunjuk yang datang dari luar kekuatan dirinya hanya
untuk menentukan kebenara, apalagi kebenaran pengetahuan.
Perkembangan ilmu yang begitu pesat telah melahirkan berbagai teknologi
sering factor manusia terabaikan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang
seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun manusianyalah yang
seharusnya menyesuaikan diri dengan teknologi, dewasa ini, ilmu bahkan diambang
kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi
ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi9. Pada tahap inilah masalah
moral muncul kepermukaan, jika dalam masalah kontemplasi masalah moral
berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka pada tahap praksis inilah masalah
moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filosofis
dapat dikatakan, dalam tahap pembangunan konsep terdapat masalah moral yang
ditinjau dari segi ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan10
9
Rodhiyah Khuza’i, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles
S.Peirce.(Bandung. PT. Refika Aditama. 2007) hal.45
10
Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, cet.
VI. 1990) hal. 234
14
Hegemoni Barat terhadap terknologi Barat atas negara-negara diseluruh
dunia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan
kehidupan masyarakat. Mereka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola
pemikiran dari sains Barat, sehingga cara-cara pemikirannya, cara pandangannya
dan persepsinya terhadap sains dan hal-hal terkait yang menjadi implikasinya
menjadi terBaratkan. Dalam konteks sejarahnya, bahwa saints Barat modern
dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran
Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola pikir yang berlawanan dengan
tradisi pemikiran agama, (Kristen) sebagai antitesis. Misi yang paling mencolok
yang disisipkan kedalam sains Barat modern itu adalah sekulerisasi, konsep
sekulerisasi disosialisasikan dan dipropagandakan sedemikian rupa dikalangan para
ilmuwan,
mahasiswa,
pelajar,
kelompok-kelompok
ilmuwan
lainnya,
dan
masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pembenaran-pembenaran secara
ilmiah. Pada akhirnya, konsep sekulerisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini
publik pada tingkat global.
Ada beberapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat penerapan
sekulerisasi pengetahuan Barat modern itu. Mereka adalah kelompok yang
berpegang teguh pada ajaran yang yang tingkat kebenarannya absolut dan memiliki
ikatan moral dengan ajaran agamanya, terutama masyarakat muslim. Ketika
mengikuti arus perkembangan sains modern Barat, mereka secara sadar maupun
‘’terpaksa’’ harus menggantikan nilai-nilai religius mereka dengan nilai-nilai sekuler
yang sangat bertentangan dengan ajaran agamanya yang selama ini agama Islam
dipedomani sebagai satu-satunya jembatan yang dapat mengantarkan umat manusia
15
untuk selamat dunia dan akhirat, dan juga agama sebagai basic bangunan ilmu
pengetahuan, kondisi inilah yang menjadi perhatian muslim, sebab dapat
membahayakan keimanan (akidah) Islam termasuk tokoh Muslim abad modern Syed
Muhammad Naquib al-Attas serta R.Isma’il al-faruqi.
Berhadapan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi, para ilmuwan terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang
menghendaki, bahwa ilmu itu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara
ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, tugas ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada penggunaannya. Kedua, netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai
hanyalah
terbatas
pada
metafisik
keilmuan,
sedangkan
pada
penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, kegiatan keilmuan harus
berlandaskan pada asas-asas moral11.
Agama sebagai basis epistemology satu hal yang tak dapat ditawar-tawar
lagi. Terlebih lagi sumber ajaran Islam, Al Qur’an dan Sunnah mengajarkan untuk
mencari Ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan
pada derajat yang tinggi. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat kata al-‘Ilmi dan katakata jadiannya sebanyak 780 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kajian
ilmu dalam agama (Islam).
Islam agama yang memacu umatnya untuk terus secara berkesinambungan
untuk belajar dalam memahami pendidikan, terdapat makna utama antara lain yaitu12
: Ta’dib, salah satu konsep kunci utama yang merujuk pada hakikat dari inti makna
pendidikan adalah istilah ta’dib yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap
11
Jujun S. Sumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. hal. 235
Mujammil Komar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik. Hal 104
12
16
dapat mewakili makna utama pendidkan Islam. Istilah ini menurut Naquib al-attas
sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam. Adab adalah disiplin
tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat
yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniyah, intelektual
dan ruhaniyah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud
ditata secara hierarkis sesuai dengan tingkat derajatnya. Dalam adab akan tercermin
keadilan dan kearifan. Adab meliputi kehidupan material dan spiritual. Adab juga
bermakna undangan kepada perjamuan yang bisa membawa kepada kenikmatan
ruhaniyah, adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa, tindakan yang betul dan aspek
kehormatan. Penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan
ilmu dan amal serta adab secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan
dalam kenyataannya adalah ta’dib, karena adab sebagaimana didefinikasikan
mencakup ilmu dan amal sekaligus.13
Prof. Dr. H. Abudin Nata berpendapat mengenai akar kata pendidikan
didalam Islam yang bersumberkan dari al-Qur’an bahwa selain kata tarbiyah
terdapat pula kata ta’lim, kata ini oleh para penerjemah sering diartikan
pengajaran14. Dalam hubungan ini jusuf A faisal, pakar dalam bidang pendidikan
mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar
kata) sering digunakan istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata ‘allama dan
rabba yang dipergunakan didalam al-Qur’an, sekalipun kata tarbiyah lebih luas
konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik
sekaligus mengandung makna mengajar (‘allama).selanjutnya Faisal megutip
13
Muhammad al-Naquib al-attas, Konsep Pendidkan dalam Islam ( Bandung,: Mizan,1994)
hal. 52-60
14
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta, PT Wacana Ilmu Logos, 1997) hal.5
17
pendapat Naquib Alatas dalam bukunya yang berjudul Islam and Seculerism yag
mengatakan bahwa selain kata tarbiyah dan ta’lim sebagaimana tersebut diatas
terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yag berarti
susunan15
Istilah ini dalam kaitannya dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan
oleh Syed Muhammad Naquib al-attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib
merupakan istilah yang sangat tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam.
Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan
menanamkan adab pada manusia16, disamping alasan makna kebahasan lainnya.
Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran yang absolut.
Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm, karena
memiliki dua komponen. Pertama : bahwa seluruh sumber asli pengetahuan adalah
wahyu atau al qur’an yang mengandung kebenaran yang absolut. Kedua : bahwa
metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama
valid; semua memiliki bagian dari satu kebenaran dan realitas-bagian yang sangat
bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dua komponen ini
menunjukkan, bahwa al’ilm memiliki akar sandaran yang lebih kuat dibanding sains
dalam versi Barat, akar sandaran al-‘ilm justru berasal langsung dari sang maha
berilmu dan sang pencipta. Tuhan yang secara teologis diyakini sebagai sang
penguasa segala-galanya17
15
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an.( Bandung: Mizan, 1992) cet. Ke-2. hal156
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ter. Karsido Djoyoswarno (Jakarta:
Pustaka,1991) hal. 222
17
Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik. hal 105
16
18
Realitas ini selanjutnya memiliki perbedaan bobot kualitas kebenaran.
Pengetahuan yang bersumber pada wahyu, sebagaimana disebut al-ilm tersebut
memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi daripada sains. Keunggulan ini akan
semakin kokoh dengan dukungan
penggunaan metode yang valid, sehingaga
pengetahuan yang dihasilkan tidak secara keseluruhan apriori terhadap wahyu, tetapi
juga melalui tahapan-tahapan mekanisme kerja ilmiah. Banyak ayat al-qur’an yang
berkenaan dengan fenomena alam dan secara ilmiah terbuktikan kebenarannya.
Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung pada karakteristik
materinya itu sendiri, apakah ia berada dalam pengalaman manusia yang empiris
(sensual), rasional, atau hermeneutis. Jika karakteristik materinya adalah empiris
(sensual), maka metode yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif
inferensial. Jika karakteristik materinya adalah rasional/aksiomatik, maka metode
analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya adalah
hermeneutis, maka metode yang digunakan adalah verstehen, yakni untuk
menangkap makna yang lebih dalam, sehingga diperoleh kesimpulan kasus, atau
metode reflektif, yakni metode analitis yang prosesnya mondar-mandir antara yang
empirik dengan yang abstrak18.
Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam bisa menggunakan metode
penelitian ilmiah (saintifik), metode penelitian filosofis ( kefilsafatan ), dan juga bisa
menguinakan metode penelitian mistik ( sufistik ). Hal ini tergantung pada apa yang
menjadi objek penelitian. Agaknya ilmu pendidikan Islam tidak mungkin hanya
berisi ilmu (sains) pendidkan Islam, tetapi pada bagian-bagian tertentu memerlukan
18
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan.
(Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006 ) hal. 34
19
teori-teori filosofis, sehingga pada pengembangannya menggunakan metode
penelitian filosofis. Kadang-kadang juga menggunakan teori-teori yang non empirik
atau tidak terjangkau oleh logika. Sehingga perlu menggunakan metode penelitian
mistik-sufistik.
Menguaknya gagasan “Islamisasi Pengetahuan’’ abad modern, yang
dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang dengan gencarnya
mengkritik gagasan-gagasan para tokoh muslim sebelumnya yang terjebak pada
konsep sekularisasi, karena menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa
tantangan yang terbesar yang dialami umat bukanlah kebodohan tetapi pengetahuan
yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh pelosok dunia oleh peradaban Barat. Hal
ini sejalan dengan Isma’il Al-Faruqi (1984) bahwa system pendidikan telah dicetak
dalam sebuah karikatur, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan
yang dialami umat19.
Terinspirasi oleh gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan oleh
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Penulis dalam menyelesaikan kelengkapan kajian
ilmiah strata I, serta untuk mencapai ridho Allah SWT. Penulis mengajukan judul
“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study
Pemikiran Pendidikan Syed
Muhammad Naquib. Al-Attas)”.
19
h.38
Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan.
20
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Permasalahasn pokok yang akan dibahas didalam penelitian ini adalah
konsep Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-attas dan factor-faktor
yang melatar belakangi munculnya konsep tersebut.
Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya refleksi
pendidikan Islam tentang Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Sebagai pijakan dalam penelitian ini akan dijabarkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Faktor apakah yang melatar belakangi munculnya gagasan Islamisasi Ilmu?
2. Bagaimana pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas terhadap
Epistemology Islam dengan Barat ?
3. Bagaimana pengaruh Islamisasi Ilmu terhadap gerakan kependidikan yang
dilakukan Syed Muhammad Naquib al-Attas ?
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas
1. Untuk mengetahui gerakan kependidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas
2. Dapat menggali gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad
Naquib Al-attas
Adapun Signifikansi penelitian sebagai berikut untuk :
1. Memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran pendidikan Islam di
Indonesia.
21
2. Memberikan sumbangan bagi pengembangan kepustakaan Islam dan
khazanah intelektual Islam Indonesia.
3. Memperoleh bahan-bahan serta cara melakukan reorientasi pendidikan,
sehingga dapat dijadikan bahan-bahan perbandingan dengan reorientasi
pendidikan yang dilakukan di Indonesia.
D. Metodologi Penelitian.
Sebagai suatu kajian terhadap pemikiran tokoh, dalam hal ini penulis
menggunakan pendekatan filosofos,20 yaitu pendekatan yang menggunakan
argumen-argumen, pemikiran dan logika dalam analisis data. Selanjutnya karena
penelitiannya
terhadap
kehidupan
seseorang
dalam
hubungannya
dengan
masyarakat, sifa-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya serta pembentukan
watak tokoh tersebut selama hidupnya, maka sebagai pendekatannya adalah
pendekatan sejarah (historical approach).
`
Adapun secara metodologis penelitian ini menggunakan metode penelitian
deskriptif, serta diskursus. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam
pencarian data adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan cara
melacak lalu menyeleksinya kemudian menelaah dan terakhir mengklasifikasi data
yang ada korelasinya dengan obyek penelitian.
Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi sumber primer dan
sekunder dari karya-karya tulis yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang
20
Metode penelitian filosofis ini dilakukan dengan cara metodis umum yang berlaku bagi
pemikiran filsafat. Selanjutnya Anton barke merinci langkah-langkah metode tersebut menjadi 12
langkah, lihat Anton barker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian filsafat
(Yogya:Kanisius,1990) h.63-65
22
terdapat dalam penelitian ini baik buku, jurnal, makalah serta website yang ada
hubungannya. Adapun sumber-sumber data primer, antara lain : (1) Syed
Muhammad Naquib Al-attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan,
1983), cet, ke-3. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam dan Sekularisme,
(Bandung: Pustaka, 1981), cet, ke-1. (3) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam
dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet, ke-1. (4) Syed Muhammad Naquib
Al-attas, Prolegomena to the Methaphysics of Islam an Exposition of the
Fundamental Elemens of The World View of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)
cet, ke-2.
Adapun sumber data sekunder, antara lain, (1) Wan Mohd Nor Daud, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-attas (Bandung: Mizan,
2003), cet, ke-1. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Risalah untuk kaum
Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001). Adapun untuk menganalisis data,
digunakan metode analisis isi (Content Analysis). Analisis isi disini dimaksudkan
untuk menganalisis makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Syed
Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam proposal skripsi ini, penulis
membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing terdiri dari sub-bab, yaitu
sebagai berikut :
Bab I
: Pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan,
tujuan penelitian, metodelogi penelitian, dan sistematika pembahasan.
23
Bab II : Otobiografi Syed Muhammad Naquib Al-attas, meliputi riwayat hidup
dan karier hidup serta karya-karyanya.
Bab III : Paradigma keilmuan, meliputi pengertian dan tujuan Islamisasi Ilmu,
Ruang lingkup Islamisasi Ilmu, factor pendukung dan penghambat
Islamisasi Ilmu.
Bab IV : Menjajaki kemungkinan Islamisasi Ilmu,meliputi: latar belakang
tujuan, konsep Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas, konkluvistik
Islamisasi Ilmu Naquib al-Alatas, Pengaruh Islamisasi Ilmu Naquib
al-Attas terhadap Pendidikan.
Bab V
: Penutup, Kesimpulan dan Saran.
24
BAB II
OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
A. Riwayat Hidup dan Kariernya
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 september
1931 M. nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah
ibn Muhsin al-Attas silsilah keluarganya melalui silsilah sayyid dalam keluarga
Ba’lawi di sampai kepada Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW21. Moyang
Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman) diantara leluhurnya ada yang menjadi
ulama’ besar, yaitu Syed Muhammad ‘Alaydrus(dari silsilah Ibu), guru dan
pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba Syaiban yang berhasil mengantarkan
Nur al-Din al-Raniri, seorang Ulama terkemuka di dunia melayu- ke tarekat
Rifa’iyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib al-Attas, yaitu Syarifah Raguan A,
berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan-keturunan dari raja-raja
Sunda Sukaparna22.
Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan cucu dari seorang wali yang
bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas, yang sangat terkenal
tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab, neneknya Ruqoyyah
Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku
Abdul Majid. Adik Sultan Abu Bakar johor( W. 1895) yang menikah dengan adik
Ruqoyah Hanum, Khodijah. Yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku
Abdul Majid wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah menikah untuk
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,
( Bandung, Mizan,2003) cet. Ke-1, h. 45
22
Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib alAttas’’ dalam jurnal al-hikmah. ( No.3 edisi Juli – Oktober 1991 ), h.90
25
kedua kalinya dengan syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed
Ali al-Attas, yaitu bapak dari Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli Sosiologi dan mantan
Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid seorang
Insinyur kimia dan mantan Dosen Institut Teknologi MARA. Sepupu Neneknya
dari pihak ayah, bernama Ungku Abdul Aziz – anak dari Ungku Abdul Madjid –
berasal dari keluarga bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk Onn Jafar,
ayah dari Datuk Hussein Onn yang merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia
dan tokoh pendiri sekaligus Presiden pertama UMNO (United Malaya National
Organisation), yaitu sebuah Partai Politik yang menjadi tumpuan kerajaan
Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris.
Melihat latar belakang keluarga al-Attas yang telah penulis ketengahkan,
Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah sosok yang dapat dikategorikan yang
tergolong berdarah biru, yang bukan berasal dari keluarga biasa secara sosio
kultural, akan tetapi dari golongan ningrat, didalam dirinya mengalir tidak hanya
darah biru tetapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam
hirarki spiritualitas Islam, yakni keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang
diajarkan dalam ajaran tasawuf.
26
B. Situasi Sosial Keagamaannya
Dalam usia yang relatif muda al-Attas telah mendapatkan pendidikan dari
keluarganya, dari keluarga yang berasal dari Bogor. Ia memperoleh pendidikan
dalam Ilmu- ilmu keislaman. Sedangkan dari keluarganya yang berada di Johor, ia
memperoleh pendidikan kesusastraan , bahasa dan budaya Melayu. Tampaknya
kedua orang tuanya menginginkan al-Attas untuk mendalami ilmu di Negeri Jiran
Malaysia. Disinilah ia mendapatkan pendidikan dasar di Ngee Primary School
(1936-1941)23.
Namun pada pertengahan tahun 1940-an Jepang menduduki Malaysia, alAttas kembali dikirim ketanah air tempat beliau dilahirkan untuk meneruskan
pendidikannya di Madrasah al’Urwatul Wutsqo, Sukabumi, belajar Bahasa Arab
dan agama Islam.
Setelah perang Dunia ke II tepatnya pada tahun 1946, al-Attas kembali ke
Malaysia melanjutkan kembali pendidikannya dibukit Zahroh School dan
selanjutnya
di
English
College
(
1046-1951).
Selama
menyelesaikan
pendidikannya, al-Attas tinggal bersama pamannya yang bernama Ungku Abdul
Aziz ibn Ungku Abdul Madjid. Pamannya ini yang mempunyai perpustakaan yang
sangat bagus, terutama manuskrip sastra dan kesejarahan Melayu. Fasilitas
perpustakaan ini tidak disia-siakan oleh al-Attas. Beliau banyak menghabiskan
masa mudanya untuk membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip yang
tersedia diperpustakaan tersebut. Lingkungan intelektual inilah yang kemudian
23
Syaidul Muzani, Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, h.91
27
banyak mempengaruhi pola pikir, tulisan dan tutur bahasa al-Attas dikemudian
hari.
Pada tahun 195 setelah al-Attas selesai menyelesaikan pendidikannya di
Englis college. Ia kemudian masuk dinas militer dan karena prestasinya yang
sangat mengagumkan ia berkesempatan mengikuti pendidikan militer di Eton Hall,
Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris, Inggris
(1952-1955). Selama di Inggris, ia menyempatkan diri untuk memahami aspekaspek yang memahami aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup
masyarakat Inggris24.
Setelah selesai mengikuti pendidikan militer di Sandurst, al-Attas
ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Malaya, yang pada
saat itu disibukkan oleh perlawanan kaum komunis yang bersarang dihutan.
namun, tampaknya jiwa intelektualnya telah mendarah daging didalam dirinya,
sehingga ia mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia kemiliteran dan
menjatuhkan pilihan pada dunia akademik, walaupun pada saat itu ia telah
berpangkat Letnan.
Karier akademiknya setelah keluar dari dinas militer, ia masuk ke
Universitas of Malay, Singapura, 1957-195925. ketika di Universiatas ini
kecemerlangan intelektualnya kembali terbukti, dengan menulis dua buah buku.
Buku yang pertama adalah Ruba’iyat. Sedangkan buku yang kedua adalah some
Aspects of shufism as Understood and practised Among the Malays, yang
24
Syaidul Muzani. Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, H.
25
A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar), cet.ke-
92
1, h. 251
28
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada 1963, buku yang
kedua ini sangat bagus, sehingga ia mendapatkan tawaran beasiswa oleh
pemerintahan Kanada melalui Canada Council Foollowship untuk belajar di
Institud of Islamic Studies, Universitas McGill, Monteral Kanada, Kesempatan itu
ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kurun waktu 3 tahun ia berhasil
meraih gelar M.A. setelah tesisnya yang berjudul Raniri and the Wujudiyyah of
17th
Century Acheh, lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, selama di
Universitas McGill, al-Attas banyak berkenalan dengan pemikir-pemikir dunia,
seperti : Fazlur Rahman, Sir Hamilton Gibb, Syed Husein Naser, dan Toshihiko
Izutsu.
Karier akademik al-Attas tidak hanya berhenti di Universitas McGill,
akan tetapi, al-Attas kemudian menempuh program doktor di School of Oriental
and African Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap
sebagai pusat kaum Orientalis26. Disini al-Attas menekuni teologi dan metafisika
dan menulis disertasi dengan judul The Mysticm of Hamzah Fanshuri yang juga
lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
Sekembali dari London pada tahun 1965. al-Attas langsung dilantik menjadi
ketua jurusan sastra di fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur.
Dari tahun 1968-1970, al-Attas menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra dikampus
yang sama. Kariernya terus menanjak dan dilembaga ini al-Attas berusaha
menjadikan bahasa melayu sebagai pengantar Fakultas dan Universitas. Namun
26
A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.256
29
usaha itu mendapat tantangan dosen-dosen lain yang tidak sepakat dengan idenya
tersebut.
Pada tahun 1970 al-Attas termasuk salah seorang pendiri Universitas
Kebangsaan Melayu (UKM), dan menjabat sebagai Dekan pertama dari institut
bahasa, kesusastraan dan Kebudayaan Melayu di UKM. Pada tanggal 24 januari
1972 beliau diangkat profesor dalam bidang bahasa dan kesusastraan Melayu di
Universitas yang sama, dengan pidato pengukuhan “ Islam dalam Sejarah
Kebudayaan Melayu”
Berkat semangat dan prestasinya dalam bidang pemikiran sastra dan
kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, sehingga beliau menerima
beberapa penghargaan, diantaranya yaitu, menerima penghargaan dari pemerintah
Iran pada tahun 1975 sebagai “Sarjana Akademi Falsafah Maharaja Iran” ( Fellow
Of The Imperal Iranian Academi of Filosophy), penghargaan dari pemerintah
Pakistan, tahun 1979, atas kajian-kajiannya yang mendalam tentang pemikiran
Iqbal ( Iqbal centenary Commemorative medal), sebagai anggota American
Philoshopical Assosiation ( World of Islam Festival) yang diadakan di London
pada tahun pada 1976.
Al-Attas
telah
melanglang
buana
keberbagai
Negara,
menjadi
Narasumber atau peserta pada acara-acara yang bertaraf Internasional, diantaranya
seperti, memimpin Komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan Islam
pada Konferensi Dunia pertama mengenai pendidikan yang berlangsung di
Mekkah pada tahun 1997.
30
Pada tahun 1978, al-Attas meminta UNESCO untuk memimpin
pertemuan para Ahli Sejarah Islam yang diselenggarakan di Allepo, Suriah
Didalam Negeri sendiri al-Attas telah menjadi Icon bagi bangsa Malaysia,
karena kapasitas intelektualnya tidak di ragukan lagi, sehingga berbagai
penghargaan dan jabatan juga diberikan kepada beliau, diantaranya: al-Attas
dipilih menjadi ketua lembaga Tun Abdul Razak untuk studi Asia Tenggara ( Tun
Abdul Razak Khair of Shouteast Asian Studiers) di Universitas Ohio, Amerika
Serikat, pada tahun 1980-1982. Al-attas juga yang mendirikan ISTAC seklaligus
Rektor ISTAC ( Interantional Institut of Islamic Thought and Civization),
Malaysia sejak 1987. pada tahun 1993, Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam
kapasitasnya sebagai presiden ISTAC dan universitas Islam Malaysia Internasional
( International Islamic University Malaysia) menunjuk al-Attas sebagai pemegang
pertama kursi kehormatan Abu Hamid al-Ghazali dalam studi pemikiran Islam (
Abu Hamid al-Ghazali Chair of Islamic Thought) di ISTAC. Kemudian pada
tahun 1994 Raja Husein dari Yordania juga mengangkatnya sebagai anggota Royal
Academy of Yordan27.
Al-Attas adalah sebagai pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti
Teologi, filsafat, Metafisika, sejarah dan sastra, selain itu, beliau rupanya juga
memiliki keahlian dalam bidang seni, seperti kaligrafi. Dalam bidang ini, al-Attas
pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum Tropen, Amsterdam, pada tahun
1954. Al-Attas jugalah yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus
ISTAC pada tahun 1991. Pada tahun 1993, al-Attas diminta menyusun tulisan
27
A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.257-258
31
klasik yang unik untuk kursi kehormatan al-Ghazali. Pada tahun 1994 al-Attas
diminta menggambar Auditorium dan Masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan
dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam
sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan.
Melihat prestasi dan aktivitas al-Attas di atas, tidak heran kalau Fazrul Rahman
memuji al-Attas dan menyebutnya sebagai “seorang pemikir jenius”. Al-Attas
datang dengan menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan
oleh sebagaian orang dan disalahpahami oleh sebagian yang lain. Kemudian,beliau
mengklarifikasikan, menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan
lingkungan intelektual dan dinamika budaya umat Islam kontemporer. Tidak
hanya itu beliau juga aktif memberikan solusi terhadap permasalahan yang
berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam di
gugusan pulau rumpun Melayu. Misalnya beliau berhasil memecahkan misteri
tanggal Inkskripsi Trengganu dan menghitungnya dengan tepat, setelah lebih dari
setengah abad membingungkan para Orientalis.
Pemikiran dan tulisan-tulisan al-Attas mengenai agama Islam dan
hubungannya dengan identitas kebudayaan dan sejarah telah menyedot perhatian
bagi khalayak ramai., khususnya para mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa yang di
bawah bimbingannya ini kemudian membentuk ABIM (Angkatan Belia Islam
Malaysia), GAPIM (Gabungan Penulis Islam Malaysia), dan ASASI (Akademi
Sains Islam). Sehingga banyak kalangan yang berpendapat bahwa al-Attas
merupakan salah seorang tokoh yang ikut berperan membuka pintu bagi
kebangkitan Islam di Malaysia sejak tahun 1970.
32
C. Karya-karya Intelektual Syed Muhammad Naquib al-Attas
1. Buku dan Monograf
Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat,
ia juga sangat produktif dalam menulis, berbagai buku dan monograf, baik dalam
bahasa Inggris maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak
diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Undu,
Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan
Albania.28 Dalam karyanya itu al-Attas mengupas berbagai masalah seperti,
bahasa, sejarah, tasawuf, filsafat, pendidikan dan lain sebagainya. Diantara
karya-karya al-Attas telah diterbitkan adalah sebagai berikut:
1.
Rangkaian Rubu’iyat, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala
Lumpur, 1959. Dalam buku al-Attas mengkontribusikan bentuk-bentuk baru dan
syair-sayair orisinil yang terdapat di dunia Melayu. Di samping itu, al-Attas
juga memaparkan pemikiran-pemikiran sufi yang muncul dari kesadarannya
tehadap tuhan melalui pandangan batin dan rasa (dzauq).
2.
Some Aspect of Shufism as Understood and Practised Among The Malays,
terbitan Malaysian Sosiological Research Institute, Singapura, 1963. buku ini
membahas tentang berbagai persoalan dari berbagai aspek pemahaman yang
terkandung dalam pokok-pokok ajaran sufi, serta melihat pula penerapannya
yang dipraktekkan di Malaysia.
3. Preliminary Statenment on The General Theory of the Islamization of the
Malay-Indonesia Archipelago, terbitan DBP, Kuala Lumpur, 1968. dalam buku
28
A. Khudhori Shoeh. Wacana Baru Filsafat Islam h.55
33
ini al-Attas mengemukakan argumen-argumen yang menolak pendapat para ahli
sejarah yang menyatakan bahwa kedatangan Islam di kepulauan Melayu dan
Nusantara secara langsung dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat, India ke
Pasai dan Gresik. Menurut al-Attas untuk membuktikan kedatangan Islam ke
Nusantara adalah harus dilakukan dengan penelitian yang mendalam
karakteristik internal Islam di kedua wilayah tersebut. Untuk menguatkan
pendapatnya al-Attas mengajukan teori umum tentang proses Islamisasi di
kepulauan Melayu dan Nusantara yang didasarkan pada sejarah literatur Islam
Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan dunia muslim seperti terlihat dalam
perubahan-perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur
Melayu-Indonesia.
4.
Islam: The Concep of Religion and the Foundation of Ethics and Morality,
terbitan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976. Telah
diterjemahkan kedalam bahasa Korea, Jepang dan Turki. Karya ini menjelaskan
konsep Islam sebagai suatu agama (din), dalam uraiannya al-Attas secara
singkat menjelaskan arti din yang saling berkaitan yang menunjuk kepada
iman., kepercayaan-kepercayaan, praktek-praktek dan ajaran-ajaran yang dianut
oleh orang-orang muslim baik secara individu mapun kolektif sebagai suatu
komunitas. Kemudian merangkumnya secara keseluruhan sebagai suatu
kesatuan pengertian yang obyektif sebagai agama yang disebut dengan Islam.
Disamping itu, dalam buku ini al-Attas juga menegaskan bahwa tantangan ilmu
pengetahuan merupakan tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini.
34
5. Islam dan Sekularisme, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia,
Turki, Arab, dan Rusia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual
Muslim. Di dalamnya al-Attas membahas konsep sekularisasi atau
sekularisme dalam perspektif bahasa dan asal-usul serta sejarah kelahirannya.
Kesimpulannya bahwa konsep sekulerisasi atau sekularisme tidak dapat
diterima karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
6. (Ed.) Ains and Objectives of Islamic Education: Islamic Education Series,
terbitan Hodder and Stoughton dan King Abdul Aziz University, Londong:
1979., diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. Buku ini merupakan editan dari
kumpulan makalah-makalah yang di presentasikan oleh para pembicara
dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam yang
diadakan di Makkah pada tanggal 30 Maret – 8 April 1977. Dalam
konferensi
itu
al-Attas
dipilih
sebagai
pembicara
utama
dengan
mempresentasikan makalah kunci yang berjudul; Preliminary Thoughts on
the Nature of Knoeledge and the Definition and Aims of Educational. AlAttas dalam makalah tersebut memaparkan gagasan-gagasan awal yang di
ajukan Al-Attas mengenai sifat-sifat ilmu pengetahuan, serta definisi dan
tujuan-tujuan pendidikan.
7. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy
of Education, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1980., diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, Persia, dan Arab. Buku ini merupakan materi yang
dipersiapkan al-Attas selaku pembicara pada Konferensi Internasional Kedua
35
tentang Pendidikan Islam yang berlangsung di Islamabad pada tanggal 15 20 Maret 1980. buku ini sebagai lanjutan gagasan-gagasan yang telah
disampaikannya pada Konferensi Internasional Pertama di Makkah.
Kandungan buku ini, menjelaskan tentang definisi yang berhubungan dengan
unsur-unsur esensial dalam konsep pendidikan serta konsep kependidikan
dalam Islam yang berlandaskan atas beberapa konsep pokok tertentu yaitu
konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep ilmu (‘ilm dan
ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), serta konsep lainnya yang berkaitan.
8. Islam and the Philosophy of Science, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur 1989.
buku ini telah diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia,
Bosnia, Persia, dan Turki. Karya ini memaparkan masalah penting yang
dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah ilmu yang kemudian menjadi
faktor penyebab dari masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, al-Attas berusaha
mengungkap kembali sistem metafisika yang pernah terbangun dalam tradisi
Islam. Sebagai langkah praktisnya adalah perencanaan sebuah universitas
yang memiliki struktur yang berasas pada pandangan dunia Islam dan
merupakan medium penyampaian hikmah dalam tradisi Islam.
9. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, terbitan ISTAC,
Kuala Lumpur, 1990. buku telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Isi
buku ini merupakan kelanjutan dari gagasan al-Attas dalam menjelaskan
kembali tentang metafisika Islam sebagaimana yang dituangkan dalam
bukunya yang pertama seri metafisika Islam, yaitu Islam and the Philosophy
of Science.
36
10. The Degrees of the Existence, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. inti dari
buku ini adalah kesimpulan-kesimpulan akhir tentang metafisika Islam,
karena buku ini sangat ringkas, penulis berupaya menguraikan kembali
kesimpulan-kesimpulan metafisika Islam yang telah dicapai oleh para
intelektual muslim beberapa abad yang silam.
11. Prolegomena to the Metaphysics of Islam, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur,
1995, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Isi buku ini
memuat kumpulan yang merupakan titik kulminasi gagasan dan pemikiran
al-Attas tentang perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.
Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang mendalam terhadap dampak
negatif yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer.
2. Artikel
Al-Attas sebagai seorang pemikir yang jenius, tidak hanya
mencurahkan pikiran cerdasnya melalui buku, tapi juga dalam bentuk
artikel, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalis,
Kuala Lumpur, 1966.
2. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti
Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.
3. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of
Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.
4. “Konsep Baru Mengenai Rencana serta Cara-Gaya Penelitian
Ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu”,
37
Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Melayu, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972.
5. “Islam
in
Malaysia”,
Malaysia
Panorama,
Edisi
Spesial,
Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974.
6. “Islam dan Kebudayaan Malaysia” Syarahan Tun Sri Lanang, seri
kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur,
1976.
7. “Some Reflection on the Philosophical Aspects of Iqbal’s Thought”,
International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal,
Lahore, 1977.
8. The Concept of Education in Islam: Its Form, Method, and System of
Implementation”, World Symposium of al-Isra’, Ammam, 1979.
9. ASEAN – Kemana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?”
Diskusi, jil. 4, no. 11 – 12, November – Desember, 1979.
10. “Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.
11. “Knowledge and Non-Knowlwdge”, Readings in Islam, No. 8, First
Quarter, Kuala Lumpur, 1980.
12. “The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on
Muslim Education, Islamabad, 1980.
13. “Religion and Secularity”, Congress of the world’s Religions, New
York, 1985.
38
BAB III
PARADIGMA KEILMUAN
A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu
Islam adalah agama yang mengarahkan memerintahkan umatnya
untuk menjadikan ajaran agama islam dengan sumber utamanya sebagai rahmatan
lil’alamin. Bagi komunitas Muslim Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan,
dan peradban secra menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh
setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas
manusia, termasuk dadalamnya ilmu pengetahuan29. Sedang kejaian pemiskinan
intelektual spiritual Barat, menurut Sayyed Husein Naser, itu disebabkan karena
Barat telah menduniawikan ( mensekulerkan) pengetahuan dan kehilangan kontak
dengan yang kudus30. Sehingga, tampak keduanya memposisikan paradigma yang
berbeda.
Salah satu implikasi diatas yang muncul kemudian adlah menurut banyak
pihak, ilmu pengetahuan modern menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi
kalangan pendidkan Islam, kemudian, hal ini menjadi
Isu yang besar: yakni Islamisasi Ilmu pengetahuan (Islamization of
Knowledge). Isu ini hanya akan berarti jika dipandang dalam konteks bangkitnya
kesadaran dikalangan dunia Islam yangg dihadapkan dengan ilmu pengetahuan
modern. Yakni model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh filosof dan
1
Nasim Butt, “ Scince and Muslim Society”, diterjemahkan Masdar Hilmi: Sanins dam
masyarakat Islam, (Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-1 hal 69
30
39
Ilmuwan Barat sejak abad ke tujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya di
wilayah teknologi31.
Istilah Islamisasi untuk pertma kalinya sangat populer ketika konfrensi Dunia
yang pertama kalinya tentang Pendidikan Islam yang dilangsungkan di Makkah pada
April 1977. Islamisasi adalah konsep pembebasan manusia dari tradisi-tradisi yang
bersifat magnis-sekuler. Yang membelenggu pikiran dan prilakunya32. Islamisasi
dalam pengertian ini meniscayakan pada pendestruksian terhadap kekuatan-kekuatan
tradisi yang tidak mempunyai kerangka argumentasi yang jelas.
Sedang Islamisasi dalam kontek pengetahuan adalah suatau upaya integrasi
wawasan ilmu pengetahuan yang harus ditempuh sebagai awal proses integrasi
kehidupan kaum Muslimin33. Bagi al-Faruqi, pengintegrasian pengetahuan tersebut
dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan
melakukan
Eliminasi,
perubahan,
reintrepetasi,
dan
penyesuaian
terhadap
komponen-komponennya sebagai pandangan Dunia Islam (Wolrd view Islam), serta
menetapkan nilai-nilainya. Dengan demikian usaha Islamisasi ini, bagi umat Islam
tidak perlu berbuat dari kerangka pengetahuan modern, dan mampu memanfaatkan
khazanah Islam klasik dengan tidak harus mempertahankannya secara mutlak karena
terdapat beberapa kecenderungan yang kurang relevan dengan perkembangan
modern.
31
Osman Bakar, “Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic
science”. Diterjemahkan oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay tentang Sejarah dan Filsafat
Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet. Ke-1 hal.214
32
Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1990),
hal 867.
33
A.M. Saefudin. Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990),
hal.86
40
Bagi Osman Bakar, Islamisasi Ilmu pengetahuan diterjemahkan
sebagai usaha untuk menyediakan sebuah model alternatif bagi ilmu pengetahuan
modern. Usaha ini dilangsungkan guna merumuskan kajian yang mencakup alam
semesta, bersama aplikasi teknologinya yang didasarkan pada prinsip-prinsip
Islam34.
Beberapa prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam diantaranya sebagai berikut
:
1. Ilmu pengetahuan tidak ditujukan kepada kepentingan praktis partrikular, tetapi
didelegasi untuk tujuan-tujuan memahami eksistensi alam dan manusia. Dengan
ini ilmu pengetahuan akan mampu menghantarkan umat pada peningkatan iman
kepada Tuhan yang menciptakan ilmu sekaligus sebagai sumber ilmu tersebut.
2.
melepaskan ikatan-ikatan ilmu pengetahuan dari pengaruh sekulerisme.
Desekulerisasi ini akan menghadirkan pada keniscayaan kebenaran religius
secara diferensial.
3.
Ilmu pengetahuan didasarkan pada sumber ayat-ayat al-qur’an disamping
fenomena alam.35
Dalam ketiga inilah terjadi hubungan simultan dan saling
melengkapi (complentary), yang pada tahap selanjutnya membutuhkan
pada susunan langkah-langkah praktis dalam usaha Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
Isma’il Raji al-Faruqi menawarkan 12 ( dua belas) tahapan, yaitu : (1)
penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian katagoris;(2) survei
34
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic
science h. 214-235
35
Mulyanto, “ Islamisasi Ilmu pengetahuan”, Ulumul Qur’an, no.9, vol. II/1991 hal 58
41
displin ilmu pengetahuan, (3) penguasaan khazanah Islam sebuah
ontologi;(4) penguasaan khazanah ilmiah islami, tahap analisa ; (5)
penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu modern,
tingkat perkembangannya dimasa ini; (7) penilaian krits terhadap
khazanah Islam, tingkat perkembangan dewasa ini; (8) survei
permasalahan yang dihadapi umat Islam (9) survei permasalahan yang
dihadapi umt manusia (10) analisis kreatif dan sintesis; (11) penuangan
kembali
disiplin
ilmu
modern
kedalam
kerangka
Islam;
(12)
penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah di Islamisasi.
Al-Faruqi mementingkan konsep Tauhid sebagai kerangka yang
harus dipahami secara utuh sehingga mempunyai implikasi terhadap
keseluruhan aspek kehidupan umat Islam, tak terkecuali ilmu pengetahuan.
Tauhid dipahami bahwa Tuhan tidak hanya sebagai absolut dan penyebab
utama, tetapi juga menjadi inti dari ajaran-ajaran normatif, prinsip ini
menyatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang memerintah. Gerakan,
gagasan, dan tindakan Tuhan adalah realitas yang tidak bisa diragukan, tetapi
hal itu bagi manusia merupakan nilai36. Konsep ini bukan hanya sekedar
sebagai sumber atau penyebab utama ilmu pengetahuan, maka empirisme
absolut tidak dapat diterima bukan hanya karena prinsip positivistiknya yang
mutlak, tetapi juga karena relitas itu sendiri merupakan gerakan, gagasan dan
tindakan Tuhan.
36
Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: : Its Implication for thought and life” diterjemahkan oleh Rahmani
Astuti, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1995), cet. Ke-2, hal.2
42
Impilikasi
pandangan
tauhid
diatas
dapat
ditemukan
pada
pandangannya tentang alam semesta (universe) yang menjadi materi ilmu
pengetahuan modern. Bagi al-Faruqi, sistem alam raya tidak hanya sebagai
sistem material dari sebab akibat, tetapi juga bersifat teologikal yang
keseluruhan elemennya mempunyai tujuan dan fungsi masing-masing yang
teratur. Bahkan alam raya ini diciptakan sebagai miniatur bagi manusia untuk
memperoleh kebahagiaan dari Tuhan. Prinsip demikian memberikan
pengaruh pada ilmu pengetahuan bahwa alam semesta tidak hanya cukup
dipahami secara fosifistik, tetapi juga harus memahami tujuan dari pola
hubungan harmonis alam itu, sehingga memberi manfaat bagi umat manusia.
Prinsip ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak semata-mata bersifat
saintifik an sich, tetapi juga merupakan pengetahuan tentang keteraturan
alam secara menyeluruh.
B. Ruang lingkup Islamisasi Ilmu
Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah
sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk.
Menurut Dr. Zubaedi M.Ag. M.pd. dalam bukunya Islam Benturan dan antar
Peradaban, membagi dua masaah tersebut menjadi dua, yakni sekulerisasi obyektif
dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi obyektif bersifat konkret dan radikal,
biasanya ditandai dengan pemisahan urusan/bidang agama ruhaniah dengan
urusan/bidang material jasmaniah. Praktik ini mudah kita temukan dalam sejarah
43
kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai
pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan37.
Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan
perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pegalaman pragmatis
sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari
kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampaisampai orang yang mempraktikannya kadang-kadang kurang menyadarinya.
Barangkali pernah dalam sanubari kita bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja
untuk mencari uang, dan meraih prestasi atas dasar kemampuannya sendiri.
Semuanya steril dari campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan
hanya sampai disitu, maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif.
Fenomena sekuleristik ini telah menjadi kecenderungan umum masyarakat
modern. James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis buku The Human
Direction, adalah sebagai ilmuan yang bependapat seperti itu, menurut keduanya,
masa depan manusia adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses dimana Tuhan
menjadi impersonal.
Jika dilacak, munculnya kecenderungan masyarakat modern kearah
sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Kontruksi Iptek modern yang
kurang mengakomodasi dimensi religiutas bersumber dari paradigma yang
diandalkan oleh para ilmuan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak
rasionalistik, positivistik, dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan
hal-hal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak
37
Zubaedi. Islam Benturan dan Antar Peradaban, (Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007)
cet.I hal 216
44
sadar telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fitrah tidak bisa lepas dari
hal-hal mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada
jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis.
Jika sudah demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasasn
moral dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai
Ilahiyah (Transenden)38.
Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberikan pelajaran
berharga akan hal ini. Masyarakat yang kini memasuki Era Post-Industrial
Society_dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi
yang serba mekanis dan otomatis_ bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup,
namun, justru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa
kebermaknaan hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup
yang dihasilkan iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang
bersumber
dari
ajaran
wahyu
kian
ditinggalkan.
Akibatnya,
kehidupan
keagamaannya meluncur pada post- Cristian Era dengan mengembangkan pola
hidup sekulerisasi. Mereka berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan pada
“ disini dan sekarang ini”. Karena mereka memuja kemakmuran material yang
disimbolkan dengan penguasaan uang, maka agama paling dominan dalam
kehidupannya diistilahkan dengan The Religion of Money39.
Kita akui fenomena keberagamaan
sebagian pemeluk Islam belum
mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai
Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolak ukur
38
39
.Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 217
. Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban , l. 218
45
dan rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat
Islam mengeksploitasi ajarannya demi memuluskan kepentingan pribadi maupun
golongannya sendiri. Islam diidentikkan dalam sebuah simbol, slogan, dan aliran
pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat
Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam
diluar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini
berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lil’alamin
dan pemersatu umat menjadi tereduksi.
Adapun ruang lingkup Islamisasi ilmu diantaranya:
1. Klasifikasi ilmu
Al-Attas mengklasifikasikan ilmu, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh para filosofis, pakar, dan orang bijak khususnya para sufi. Pengklasifikasian ini
dilakukan al-Attas tidak terlepas dari tiga unsur: ketidak terbatasan ilmu
pengetahuan, kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup
manusia.
Klasifikasi ilmu pengetahuan kedalam beberapa kategori umum bergantung
pada pelbagai pertimbangan. Misalnya berdasarkan metode mempelajarnya, kita
akan mengenal pengetahuan Iluminatif atau Gnostik dan ilmu sains. Ilmuwan
menamakan dua kategori ini sebagai Ilmu Naqliyah dan Ilmu Aqliyah (rasional)
ataupun Tajribiyah (empiris). Berdasarkan dari aspek kewajiban manusia
mempelajarinya, pengetahuan dibagi menjadi Fardlu Ain dan Fardlu Kifayah.
Setiap bagian ini sudah pasti memiliki tingkat yang berbeda-beda. Klasifikasi
diatas tidak bisa dianggap sebagai dualitas karena tidak memiliki validitas yang
46
sama ataupun ekslusitas yang setara. Sebagai contoh, walaupun lebih tinggi
dibandingkan ilmu-ilmu intelektual ( al-‘Ulum al-Aqliyyah), ilmu-ilmu agama (al‘Ulum al-Naqliyyah) tidak dapat dijelaskan tanpa ilmu-ilmu intelektual, terutama
pada zaman kita sekarang ini. Ilmu-ilmu intelektual tanpa ilmu-ilmu agamaakan
menyesatkan dan sangat sofistik. Disamping itu, klasifikasi ilmu tidak mengingkari
validitas dan status yang satu terhadap yang lain, melainkan mengakui legitimasi dan
status ilmiah masing-masing ilmu tersebut.40
Al-attas
mengklasifikasikan
ilmu
berdasarkan
cara-cara
untuk
mempelajarinya terbagi mejadi 2 (dua), yaitu ilmu Iluminasi (Ma’rifah) dan ilmu
sains (ilmu Pengetahuan). Pengklasifikasian ini dilakukan untuk mewujudkan
keadilan dalam menempatkan dua kubu yang berbeda, yaitu kubu si pengenal dan
kubu yang dikenal atau antara subyek dan obyek.41
1. Ilmu Iluminasi (Ma’rifat)
Iluminasi (Ma’rifah) adalah ilmu yang diberkan Allah SWT. Sebagai
karunia-Nya kepada insan. Ilmu ini diperoleh oleh insan yang melakukan amal
ibadah serta kesucian hidupnya yakni dengan keihsanannya beribadah kepada Allah
SWT. Berdasarkan ilmu yang benar42. Manusia menerima ilmu ini melalui dzauq
dan kasf. Dzauq yaitu pandangan batin atau rasa ruhani yang dialami secara
langsung. Sedagkan kasf yaitu penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki
40
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta:UIN Jakarta Press,
2003), cet. Ke-1, h.1
41
A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet, ke-1 h. 19
42
Sesorang apabla ingin memperoleh ilmu ini, maka ia wajib mempelajari dan memiliki
ilmu syarat utma ini, yaitu diantaranya ia wajib memahami dengan sempurna rukun-rukun Islam dan
Iman. Wajib mengenai tauhid. Wajib mengerjakan amal ibadah kepada Allah swt. (Untuk lebih
lengkapnya lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, op.cit., h. 80)
47
kandungan ilmu ini dengan sekejap alam ruhani dapat dilihat oleh penglihatan
ruhani.
Ilmu ini merupakan yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu yang
diterima oleh Nabi kemudian diikuti intuisi orang-orang bijak, para wali, dan
ilmuwan. Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup yang melibatkan orang
yang ingin mengetahui (Knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known)
melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang bisa dipahami dengan jelas, setelah
terlebih dahulu ada rasa saling mngenal dan memercayai diantara keduanya dan
keinginan untuk dipahami oleh diri yang ingin berbagi rahasia-rahasia dan kondisi
batinnya. Jika benar-benar ingin mendekatkan diri pada objek ilmunya, dia dengan
sendirinys mengharuskan orang yang ingin mengetahui itu mengenal dan mengakui
sesuatu yang ingin diketahuinya dengan cara yang tepat, sesuai dengan personalitas
dan tingkat yang ingin diketahuinya.
Objek iluminasi bersifat non-fisik. Ilmu ini merupakan konsumsi bagi jiwa
manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad sebagaimana yang disinggung di atas,
ilmu ini diberikan dalam bentuk al-Qur’an, yang kemudian dipahami dan diamalkan
oleh Nabi sebagai sunnah. Dalam perspektif hukum al-Qur’an dan sunnah ini disebut
dengan syari’at, sedangkan dalam perspektif spiritualitas disebut dengan ilmu
Ladunni dan Hikmah. Oleh sebab itu, ilmu iluminasi yang diperoleh Nabi
merupakan ilmu tertinggi dan selalu menjadi referensi dan petunjuk dalam semua
formulasi sains dan aktivitas umat.
2.Ilmu Sains (Ilmu Pengetahuan)
48
Ilmu sains adalah ilmu yang diperoleh oleh insans berdasarkan daya usaha
akliyahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hiidup, penelitian, dan
pegkajian indera jasmani43 terhadap obyek-obyek yang bersifat materi.
Pengamatan indera terhadap objek-objek tersebut tentu saja tidak cukup untuk
memberi atau menerapkan objek-objek fisik itu sebagaimana adanya, karena
sering terjadi bahwa informasi yang ditangkap oleh pengamatan indera
konvensional adalah keliru. Misalnya suara gemuruh dari halilintar yang kita
dengar belum tentu terjadi pada saat kita mendengarnya. Dengan demikian
diperlukan cara-cara tertentu untuk membuat pengalaman inderawi mwnjadi
obyektif. Karena kebutuhan yang semacam inilah yang pertama kali metode
observasi inderawi. Metode ini adalah yang paling sering dipakai oleh
pengetahuan jenis apapun44.
Beberapa langkah bisa ditempuh untuk menyempurnakan pengamatan
inderawi, yaitu: Pertama, pengukuran (Measurement) adalah cara yang efektif
untuk menentukan ukuran yang lebih akurat tentang sebuah jarak atau besarnya
objek. Kedua, menggunakan alat bantu, seperti mikroskop, teleskop, dan
sebagainya. Ketiga, mengadakan eksperimen-eksperimen (tajribat) tentang halhal yang belum jelas oleh pengamatan inderwi. Misalnya eksperimen yang
dilakukan oleh al-Biruni untuk mengukur keliling bumi cukup mengesankan
dengan memanfaatkan rumus-rumus trigonometri, dia memperoleh nilai keliling
bumi yang sangat akurat bahkan dibandingkan dengan ukuran modern.
43
44
1,h.97
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat sains,., h.78
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), cet. Ke-
49
Tetapi, betapapun canggihnya metode pengamatan indrwai yang kita miliki,
pengamatan indra tetap saja tidak memadai, karena sehebat-hebatnya
pengamatan indra, ia tidak akan mampunmenembus objek-objek non fisik karena
sifatnya yang indrawi. Padahal objek-objek no-indrawi tersebut tidak sedikit.
Nah, disinilah keterlibatan ilmu iluminasi dengan sains, untuk menutupi
kelemahan-kelemahan ilmu sains tersebut.
Ilmu sains bersifat empiris atau acak dan pencapaiannya menempuh jalanjalan yang betingkat-tingkat imu pegetahuan sebagai sifat Allah swt. Yang Maha
Qadim adalah tidak terbatas. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas bahwa keterlibatan ilmu pengetahuan, kemudian tanggung jawab untuk
mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Dengan demikian, konsekuensi
logisnya kemudian adalah manusia harus membatasi keinginanya dalam mencari
ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi
manusia untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang setiap saat terus
berubah dan berkembang. Walaupun demikian, al-Attas mengajak umat Islam
untuk tidak boleh tertinggal dari bangsa lain, oleh karenanya umat Islam harus
mampu
membangun
dan
mengatur
sistem
pendidikan
yang
mampu
mengakomodir ilmu-ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Kemudian jika ditinjau dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, ilmu
dikalsifikasilan menjadi Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah.45 Ilmu iluminasi
(Ma’rifat) merupakan ilmu Fardhu ‘Ain.
45
46
artinya ilmu yang harus dipelajari
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas, h. 270
46
Konsep ini bukan berarti umat Islam harus mempelajari ilmu iluminasi saja, sebab ada
keterkaitan antara ilmu iluminasi dan sains. Misalnya walaupun ilmu iluminasi statusnya lebih tinggi
50
oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka setiap individu akan
menanggung beban apabila meninggalkan kewajiban ini.47 Sedangkan ilmu
pengetahuan merupakan ilmu Fardhu Kifayah. Maksudnya yaitu ilmu
pengetahuan yang hanya wajib diketahui dan dipelajari oleh beberapa orang saja,
maka apabila sebagian atau beberapa orang menunaikan kewajiban itu, gugurlah
kewajiban bagi yang lain.
Konsep ilmu Fardhu ‘AIn dan Fardhu Kifayah harus dipahami secara lebih
mendalam, agar tidak keliru dalam tatarn praktis. Konsep al-Attas tentang itu
jangan dipahami bahwa Al-Attas telah membangun dinding yang membatasi
umat Islam dlam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena
seperti yang diungkapkan di atas bahwa ilmu pengetahuan memiliki batasanbatasan yang berbeda-beda. Akan tetapi, justru pandangan seperti itu akan sangat
mebantu dalam mengarahkan pendidikan untuk lebih jujur, praktis, dan lebih
bermakna bagi orang yang sedang menjalaninya. Jadi, pendapat yang
mengatakan bahwa ilmu itu tidak perlu dipisah-pisahkan48 tidaklah tepat.
Untuk lebih mudah memahami konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah dalam
konsep al-Attas, berikut akan diuraikan secara lebih terperinci:
dari ilmu sains, namun ilmu iluminasi tidak bisa dijelaskan tanpa ilmu-ilmu sains. Dengan demikian
umat Islam juga wajb mempelajari ilmu sains sebagai sarana pendukung dalam mempelajari ilmu
iluminasi tersebut.
47
Ilmu ini bisa dipelajari oleh umat Islam, misalnya yang termasuk dlam ilmu ini salah satu
diantaranya, adalah al-Quran yang harus dipelajari oleh setiap umat Islam baik laki-laki maupun
perempuan. (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Ibid,.h.157)
48
Yaitu adanya pemahaman sebagian ulama nbahwa menuntut ilmu agama tergolong fardhu
‘ain, sementara ilmu non-agama termasuk fardhu kifayah, lihat Abd. Rachman Assegaf, Membangun
Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), cet. Ke-1, h. 18
51
1. Fardhu ‘Ain
Al-Attas menyatakan bahwa fardhu ‘ain bukanlah kumpulan ilmu
yang kaku dan tertutup.49 Ruang lingkup fardhu ‘ain sangat luas sesuai
dengan
perkembangan
dan
tanggung
jawab
spiritual,
sosial,
dan
profesionalisme seseorang.50 Dengan demikian, karena Islam mewajibkan
mencari ilmu tingkat tinggi, maka fasilitas untuk mencapainya merupakan
sesuatu yang diisyaratkan. Oleh sebabitu, seorang muslim diwajibkan
menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu-ilmu yang lebih
tinggi tersebut, seperti ilmu keterampilan membaca, menulis dan
menghitung.
Adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori fardhu ‘ain adalah
ilmu-ilmu agama yaitu sebagai berikut:
a) Al-Quran; pembacaan dan penafsiran (Tafsir dan Ta’wil)
b) As-Sunnah; kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul
sebelumnya, hadis dan riwayat-riwayat otoritasnya.
c) Asy-Syari’ah;
undang-undang
hukum,
prinsip-prinsip,
dan
praktek-praktek Islam (Islam, Iman, dan Ihsan).
d) Teologi; Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya serta
tindakan-tindakan-Nya (at-Tauhid).
49
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas., h.273
50
Misalnya di ISTAC meskipun ditawarkan beberapa mata kuliah dalam bidang hukum dan
fiqih Islam namun tidak diwajibkan, kecuali dalam kasus-kasus yang bersifat individual, yaitu jika
pembimbing mahasiswa merekomendasikannya atau jika mahasiswa itu belajar bidang kebudayaan
Islam.
52
e) Metafisika Islam (at-Tashawuf), Psikologi, Kosmologi, dan
Ontologi; unsur-unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk
doktrin-doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan
tingkatan-tingkatan wujud).51
f) Ilmu Linguistik; bahasa Arab, tata bahasa leksikografi, dan
kesusasteraannya.
Perlu ditekankan kembali disini karena kategorisasi fardhu ‘ain
bukanlah suatu hal yang statis. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan ia
harus dipelajari harus mempertimbangkan keadaan peserta didik, tidak mesti
diketahui dalam waktu yang sama. Akan tetapi untuk memudahkan dapat
dilakukan dengan cara bertahap (gradual). Di samping itu, ilmu fardhu ‘ain
bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan kemapuan intelektual dan
spiritual seseorang serta keadaan masyarakatnya.
2. Fardhu Kifayah
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ilmu fardhu kifayah
tidak diwajibkan kepada setiap indvidu muslim untuk mempelajarinya.
Kewajiban itu gugur apabila telah ada sebagian atau beberapa orang telah
memnuhi kewajiban tersebut. Namun, tidak ada di antara umat Islam yang
memnuhi kewajiban itu, maka seluruh umat Islam harus turut bertanggng
51
Menurut al-Attas mata kuliah ini merupakan yang paling fundamental dalam kurikulum
pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam pandangan
Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaiman yang diterangkn dalam al-Quran, hadis, teologi,
dan filsafat, serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa ilmu ini harus dipelajari oleh setiap mahasiswa yang belajar di ISTAC. Lihat Wan Mohd Nor
Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas., h. 277
53
jawab dan menanggung resiko atas segala kesuatu yang ditimbulkannya.
Sudah tentu kategorisasi ini sangat urgen karena akan memberikan landasan
teoritis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk mempelajarinya
dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan untuk
kemakmuran umat Islam. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu fardhu kifayah
manjdi:52
a. Ilmu-ilmu kemanusiaan,
b. Ilmu-ilmu alam,
c. Ilmu-ilmu terapan,
d. Ilmu-ilmu teknologi,
e. Perbandingan agama,
f. Kebudayaan dan peradaban Barat,
g. Ilmu-ilmu linguistik: bahasa-bahasa Islam,
h. Sejarah Islam,
Dari klasifikasi ilmu fardhu kifayah di atas, al-Attas tidaklah
bermaksud untuk membatasi cakupan ilmu pengetahuan yang harus
dipelajari dan dikuasi oleh umat Islam. Karena seperti yang diungkapkan
oleh Al-Attas bahwa semua ilmu datang dari Allah,53 yang tidak terhitung
jumlahnya. Di samping itu, sebagaiaman halnya ilmu fardhu ‘ain bersifat
dinamis, sudah barang tentu ilmu fardhu kifayah juga bahkan lebih bersifat
dinamis, yang terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan
kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman.
52
Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 90-91
Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42, lihat juga Abudin Nata, et al. ntegrasi
Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 80
54
2. Sumber dan Metode Ilmu
1. Sumber Ilmu
Menurut al-Attas, ilmu datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan
oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga pengetahuan yang dimiliki
manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Dengan konsep ini, dari
sisi sumbernya, pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan kedalam
jiwa manusia; sebaliknya dari sisi subyek manusianya, pengetahuan adalah
sampainya jiwa pada makna sesuatu obyek pengetahuan54.
Dengan pemaknaan yang demikian, bagi al-Attas, objek pengetahuan
bukan ada-nya melainkan makna dari ada-nya, atau makna dari realitas objek.
Artinya, subjek (manusia) yang memegang peranan yang lebih penting dalam
menentukan apa yang ada pada objek. Makna objek ada dalam persepsi manusia
bukan dalam diri objek55.konsep ini tentu sangat kontradiksi dengan epistemologi
Barat yang positivistik, materialistik, dan empiris. Dunia Barat meyakini bahwa
makna pengetahuan sebenarnya ada dalam diri objek (in-self) itu sendiri secara
objektif, dan otonom, dan tanpa ada intervensi dari manusia (subjek). Artinya,
manusia bersikap pasif, yang diisi objek materal melalui pengalaman inderawi56.
2. Metode Ilmu
Dalam menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna
objek pengetahuan, menurut al-Attas, manusia dapat menggunakan kekuatan
fakultas-fakultas yang telah dianugerahkan kepada setiap manusia, yaitu melalui
54
Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42, lihat juga Abudin Nata, et al.,
Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN jakarta Press, 2003), cet.ke-1,h. 80
55
(Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h.44).
56
A. Khudlori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet.
Ke-1, h.261
55
panca indra (al-khawass ai-khamsah), akal sehat (al-‘aql as-Salim), berita yang
benar (al-Khabar as-Shadiq), dan intuisi (Ilham).57 Panca indera (al-Khawass alKamsah) menurut al-Attas sepakat dengan Iqbal yang menyatakan bahwa Islam
tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang pada dasarnya merupakan saluran
yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris.
Bahkan al-Attas juga menganggap bahwa indra sebagai instrumen pokok bagi jiwa
dalam mengetahui aspek-aspek tertentu dari sifat-sifat dan ilmu Allah swt, indra
disini mengacu pada pengamatan dan persepsi lima indra lahir, yakni perasaan
tubuh, pencium perasa lidah, penglihatan, dan pendengaran, yang semua berfungsi
mempersepsikan hal-hal partikular dalam alam lahir. Namun, terkait dengan panca
indra lahir ini ada lima indra batin yang secara bathiniyyah mempersepsikan cita-cita
indrawi dan maknanya, menyatukan, atau memilahkan, mengkonsepsi gagasan
tentangnya,
menyimpan
hasil-hasil
pencerapan
dan
melakukan
interaksi
terhadapnya. Kelima indra batin ini adalah indera umum, representasi, estimasi,
pengingat kembali dan imajinasi. Dalam hal ini persepsi adalah rupa (form) dari
objek lahiriyah, yakni representasi realitas atau inderawi, bukan realitas itu sendiri.
Apa yang disebut realitas lahir atau objek lahir adalah sesuatu yang diabstraksikan
oleh indra, yang disebut ‘rupa’ (form), bukan realitas itu sesungguhnya dalam
dirinya sendiri yang disebut ‘makna’. Perbedaan antara rupa dan makna objek-objek
indrawi adalah bahwa ‘rupa’ merupakan apa yang pertama kali dipersepsi oleh indra
57
Al-Attas membuktikan kekuatan fakultas-fakultas ini setelah menelti pendapat Para
Filosof dan Teolog Muslim, seperti Ibnu Sina, al-Ghazali, al-Nasafi, al-Taftazani, dan Al-Raniri
(Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. h,
158)
56
lahir dan kemudian oleh indra batin, sedang ‘makna’ adalah apa yang dipersepsi
indra batin dari objek tanpa terlebih dahulu dipersepsi indra lahir58.
Adapun mengenai masalah akal, al-Attas meambah dengan kata shifat
“sehat” setelah perkataan akal (Sound Reason). Hal ini disebabkan akal manusia
memiliki tendensi menghasilkan pemikiran yang tidak benar atau tidak tepat.
Disamping itu, akal manusia dipengaruhi oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa
salah atau kurang tepat ketika akal menegasikan kemampuannya untuk memahami
realitas spiritual melalui daya lain yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.
Akal sehat bukan sekedar unsur-unsur indrawi atau fakultas mental yang
secara logis mensistemasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman indrawi menjadi
citra akliyah yang dapat dipahami, atau yang melakukan kerja abstraksi fakta-fakta
dan data indrawi serta hubungan keduanya. Lebih dari itu, akal disini adalah
substansi ruhaniyah yang melekat dalam organ pemahaman yang disebut hati (qalb)
yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Jadi, apa yang disebutkan diatas baru
merupakan bagian dari aspek akal.
Kemudian mengenai berita yang benar merupakan sumber lain dari ilmu
pengetahuan
yang dapat diklsifikasikan menjadi 2 (dua) jenis. Pertama adalah
berita yang terbukti secara berkesinambungan (continue) oleh orang-orang yang
memilki ahlak yang mulia, yang tidak mungkin menimbulkan pemikiran bagi orang
bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan . contoh hadits
mutawatir. Kedua, berita absolut yang dibawa oleh Nabi yang berdasarkan wahyu.
58
Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h. 35-36
57
Berkenaan dengan intuisi itu sendiri, al-Attas tidak membatasi pada pengenalan
langsung tanpa perantara, oleh subjek yang mengenali tentang dirinya sendiri,
keadaan sadarnya, diri-diri lain yang seperti dirinya, dunia lahiriyah, hal-hal
universal nilai-nilai atau kebenaran-kebenaran rasional. Intuisi juga mencakup
pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi
Tuhan, serta realitas eksistensi sebagai lawan essensi; bahkan dalam tingkat yang
lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri59.
Intuisi tidak datang pada sembarang orang, tapi ia diperoleh oleh orang-orang yang
hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut60.
Kemampuan menerima secara langsung itu diperoleh melalui latihan, yang
dalam Islam disebut riyadhah. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa
melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam ghaib
lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai
pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu
diperoleh bukan lewat indra dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati61. Intuisi ini
datang pada orang yang merenungkan secara terus menerus hakekat realitas, untuk
kemudian selam pereenungan mendalam ini dan dengan kehendak-Nya, kesadaran
akan dirinya dan kesadaran subjektifnya terhapuskan, lalu masuk kedalam kedirian
yang lebuih tinggi, baqa’ dalam Tuhan. Ketika kembali kepada keadaan manusiawi
dan subyektifnya, yang bersangkutan kehilangan apa yang ditemukan, tetapi ilmu
59
Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains.h. 37
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) cet, ke-2, h. 108
61
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, akal, dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002) h. 58
60
58
tentang apa yang ia temukan, pengalaman ruhani yang dialami selama baqa’, tetap
ada pada dirinya62.
Meskipun pengalaman intuitif tidak bisa dikomunikasikan, akan tetapi pemahaman
mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang berasal darinya dapat
transformasikan. Intuisi terdiri pelbagai jenis dan tingkat, yang terendah adalah yang
dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka,
sedangkan yang tertinggi dialami oleh para Nabi. Dan perlu diketahui bahwa semua
ilmu pengetahuan ketika untuk pertama kalinya diperhatikan oleh pemeerhatinya
adalah sesuatau yang dicapai melalui intuisi,.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Islamisasi Ilmu
Usaha-usaha yang dilakukan para pakar ilmuwan muslim dengan
berbagai upaya yang dilakukan menghasilkan berbagai gagasan yang
terkonsentrasikan pada usaha Islamisasi ilmu pengetahuan. Berbagai macam
faktor pendukung diupayakan pengamatan dan penelitian tentang berbagai faktor
yang ditimbulkan seiring dengan semakin pesatnya kemajuan peradaban Barat.
Makin banyak saja orang yang yakin bahwa apa yang disebut sebagai
peradaban modern, yang di dalamnya kita hidup sekarang ini, sedang berada
dalam krisis. Padahal, berbicara tentang peradaban modern adalah berbicara
tentang sains modern dan penerapannya, demikian kata seorang penulis sejarah
sains Barat. Memang, kedengarannya agak berlebihan, tapi dalam kenyataannya
sains modern bisa menerangkan berbagai persoalan modern – tepatnya krisis
global – masa kini. Tentang alienasi individual, rusaknya lingkungan manusia,
62
Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains. h. 38
59
dan sebagainya. Masalah-masalah inilah – bersama masalah-masalah lain – yang
saling mempengaruhi dan terakumulasi dalam apa yang sekarang sering disebut
krisis global. Dan jika disebut peradaban modern, itu artinya bagian terbesar dari
negara-negara di dunia; karena hampir seluruh negara – kecil atau besar –
dengan sadar atau terpaksa sedang atau telah berjalan ke arahnya. Dengarlah
Gregory Bateson:
63
“Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya
mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistimologi Barat. Mulai
insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya
topi es antariksa. Di atas segalanya, dorongan fantastik kita untuk
menyelamatkan
kehidupan-kehidupan
perorangan
telah
menciptakan
kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masan mendatang.”
Kalau krisis-krisis ini didaftar secara lebih terinci, maka akan didapatkan
daftar yang amat panjang. Contoh pertama – dan mungkin yang terbesar – adalah
krisis lingkungan. Ekosistem alam kita berada dalam keadaan yang amat labil.
Karena terlalu banyaknya campur tangan manusia di dalamnya, baik
direncanakan maupun tidak. Efek rumah kaca akibat banyaknya gas
karbondioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya mengancam
sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan
ozon atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada penggunaan penyegar,
misalnya “deodoran” dan “aerosol”. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta
bagian, ozon sangat penting untuk melindungi kehidupan dari serangan sinar
ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon bisa mengakibatkan bencana bagi
63
Dikutip dari Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Pustaka Salman), 1987, hal.88.
60
kesehatan manusia maupun makhluk lainnya. Ada perkiraan yang menyebutkan
bahwa pengurangan ozon akan mencapai tiga persen pada tahun 2000, dan lebih
dari sepuluh persen pada tahun 2050. pada 1986 telah ditemukan lubang ozon di
atmosfer di atas antartika yang ternyata meluasnya lebih cepat dari dugaan
semula. Lalu, atmosfer di Eropa saat ini mendapat tambahan sulfur satu gram
lebih tiap satu meter persegi sebagai polusi udara. Ini bisa mengakibatkan hujan
asam yang merusakkan hutan-hutan dan perairan. Tanah-tanah produktif di
Dunia Ketiga berubah menjadi gurun dengan kecepatan yang mencengankan.
Setiap tahunnya, enam juta hektar tanah produktif berubah menjadi gurun. Tiga
dasawarsa mendatang berarti gurun telah bertambah seluas Saudi Arabia.
Keadaan ini tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu
melahirkan peradaban Islami64.
Kemudian secara rinci Mujammil Qomar mengatakan bahawa yang
diakibatkan oleh dikotomi pendidikan menyebabkan :
1. Kegagalan merumuskan Tauhid dan bertauhid
2. Lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam.
3. Adanya dikotomi kurikulum
4. Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan
5. Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality
ganda dalam arti kemuyrikan, kemunafikan, kemunafikan yang
melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran , sikap, citacita dan perilaku yang disebut sekulerisme.
64
Amrullah Ahmad, Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam
Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta, ( Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 1991), hal. 94
61
6. Rusaknya sistem pengelolaan lembaga pendidikan
7. Lembaga pendidikan melahirkan manusia yang berkepribadian
ganda, yang justru menimbulkan dan memperkokoh sistem kehidupan
umat
yang
sekuleristik,
rasionalistik-empiristik-intuitif
dan
materealistik.
8. Lahirnya peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam.
9. Lahirnya Da’i yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentuknya
yang
memisahkan
kehidupan
sosial
politik-ekonomi
ilmu
pengetahuan, teknologi dengan ajaran Islam, agama urusan dan
berkaitan dengan akhirat dan ilmu-ilmu teknologi untuk urusan
dunia65.
Demikian bahaya yang selalu mengancam dan terisolir kandasnya Islamisasi
Ilmu sebagai upaya pendidikan dalam membebaskan kekuatan pendidikan
dominasi Barat yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Akibatakibat yang harus disadari adalah dengan penerapan pendidikan yang dikotomik
itu pihak yang mengalami kerusakan atau kerugian bukan sekedar sistem dan
lembaga pendidikan Islam saja, melainkan juga merugikan alumni pendidikan
Islam, peradaban Islam, dan suasana kehidupan umat. Semua komponen ini
tertimpa penderitaan yang berkepanjangan.
65
Amrullah Ahmad. Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih
Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta, h. 95
62
BAB IV
PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
DALAM
MENJAJAKI KEMUNGKINAN ISLAMISASI ILMU
A. Latar Belakang Tujuan
Sejak mengalami masa Renaisanc beberapa abad silam, telah berhasil
mengantarkan Barat kepuncak kejayaan. Para Ahli Sains dan Cendekiawan Barat
mengembangkan
pendekatannya
dan
bersifat
menguasai
rasionalistik
pelbagai
disiplin
(Aqliyah).
Lahir
ilmu-ilmu
dari
yang
lingkungan
Sekulerisme, Ulitirianisme, Materialisme, dan Hedonisme, secara otomatis akan
mempengaruhi konsep, penafsiran dan makna ilmu itu sendiri. Hal ini terjadi
karena seperti yang dikemukakan oleh Richard Tarnas bahwa didepan mata
manusia itu ada “lensa” yang memfilter penglihatan, “lensa” itu dipengaruhi
nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma, dan harapan66. Hal ini juga berlaku bagi
ilmuwan muslim, namun juga jangan sampai menggiring kita pada
subyektivisme dan relativisme murni, karena Tuhan merupakan sumber ilmu
yang sebenarnya- yang bebas dari keraguan dan kebingungan- adalah obyektif,
yakni wujudnya tidak tergantung pada imajinasi manusia67. Dengan demikian
ilmu yang diperoleh tidak terikat dengan batasan nasional, etnik, dan gender.
Sekulerisasi yang melibatkan tiga komponen terpadu, yaitu
tidak mengakui adanya unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan
66
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet, ke-1, h.54-55
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas, (Bandung Mizan, 2003), cet: ke-1, h.332
67
63
agama dari dunia politik dan nilai yang tidak mutlak atau relatif. Ketiga
komponen tersebut dilihat dari kaca mata Islam bukan saja bertentangan dengan
fitrah manusia, tetapi juga telah memutuskan ilmu dari pondasinya dan
menggesernya dari tujuannya yang hakiki. Oleh karena itu, konsep ilmu Barat
menimbulkan krisis dari pada melahirkan keharmonisan, kebaikan dan keadilan.
Krisis tersebut dapat didiagnosa paling tidak, dari dua sisi. Sisi pertama yang
melekat sempurna pada subyek manusianya yang dicirikan oleh gejala
disorientasi dan alieniasi, dan disisi lain, pada peradaban modern yag
dibagunnya sendiri yang ditandai eksploitasi dan disfungsionalisasi68.
Al-attas dengan tepat dan berani menyatakan bahwa:
“Tantangan terbesar yang secara diam-diam telah timbul
tantangan pengetahuan, memang, tidak sebagai tantangan terhadap kebodohan,
tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh
peradaban Barat. Pengetahuan barat itu sifatnya telah menjadi penuh
permasalahan karena ia telah kehilangan maksud yang sebenarnya sebagai
akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ia juga telah menyebabkan kekacauan
dalam kehidupan manusia, dan bukannya perdamaian dan keadilan.
Pengetahuan Barat tersebut berdalih betul, namun hanya memberi hasil
kebingungan dan skeptisisme69.
Apa yang dirumuskan dan disebarkan oleh Barat adalah ilmu
pengetahuan yang telah dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat
68
Moefich Hasbullah, Proyek Islamisasi Sains: Dekonstruksi Modernitas Dan Rekontruksi
Alternatif Islam. (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), cet. Ke-1, h. xxviii
69
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan sekulerisme, (Bandung: Pustaka, 1981), cet.
Ke-1. h. 195
64
itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang disebarkan itu hanyalah pegetahuan semu
yang dilebur secara halus dengan yang sejati sehingga orang-orang yang
mengambil dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati.
Peradaban Barat yang dimaksudkan al-Attas disini adalah peradaban yang telah
tumbuh dari peleburan historis dari kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi
Yunani, dan Romawi kuno beserta perpaduannya dengan ajaran Yahudi dan
Kristen yang kemudian yang dikembangkan lebih jauh oleh rakyat latin,
Jermania, Kelitik dan Nordik. Dari Yunani kuo diperoleh unsur-unsur filosofis
dan epistemologis dan landasan-landasan pendidikan dan etika serta estetika,
dari Romawi unsur-unsur hukum dan ilmu tata negara serta pemerintahan, dari
ajaran Yahudi dan Kristen unsur-unsur kepercayaan religius dari rakyat Latin,
Jermania. Keltik dan Nordik nilai-nilai semangat dan tradisional mereka yang
bebas dan nasional70. Sebenarnya Islam juga punya andil yang sangat signifikan
dalam bidang pengetahuan dan didalam menanamkan semangat rasional dan
ilmiah, yang kemudian telah dimodifikasi kembali agar selaras dengan pola
kebudayaan dan peradaban Barat.
Pemahaman ilmu dan pandangan hidup ( selanjutnya disebut Worldview)
Barat ini menular dinegara Islam setelah berlngsungnya penjajahan dimana
banyak negara Islam dijajah Barat seperti Inggris dan Perancis. Barat melakukan
westernisasi ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang mereka dirikan
dinegara-negara jajahan mereka. Pendidikan yang mereka dirikan juga didukung
70
Syed Muhammad Naquib al-Attas Islam dan sekulerisme, h. 197
65
oleh worldview Barat yang mulai mempengaruhi pandangan mereka. Ini
mengakibatkan kekeliruan, dan manusia muslim kehilangan adab.
Dalam pandangan al-Attas, westernisasi ilmu adalah hasil dari
kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi telah mengangkat keraguan dan
dugaan ketahap metodologis ‘ilmiah’. Bukan hanya itu, westernisasi juga telah
menjadikan skeptisisme ketingkat sebagai alat epistemologi yang syah dalam
keilmuwan. Namun demikian, bukan berarti al-Attas menolak keraguan dan
skepisime sama sekali; ia menolak keraguan dan skeptisisme per se, sehingga ia
setuju dengan pendapat filosof dan epistemolog muslim kenamaan, al-Ghazali
(1508- 1111 M), yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa sungguh-sungguh
percaya sampai ia merasa ragu, dan bahwa skeptisisme yang sehat adalah
penting utuk kemajuan intelektual. Yang ditolak adalah keraguan dan
skeptisisme keilmuan Barat yang -sampai- mengorbankan atau mengabaikan
nilai-nilai sosial dan kultural71.
Tambahnya lagi, ilmu Barat tidak dibangun diatas landasan wahyu dan
kepercayaan agama. Akan tetapi dibangun diatas tradisi budaya yang diperkuat
dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang
menjadikan manusia sebagai makhluk rasional. Konsekuensinya kemudian
adalah ilmu ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh
rasio manusia, terus menerus mengalami perubahan. Bahkan, pengetahuan barat,
telah mengukir sejarah dengan mengakibatkan kerusakan pada tiga kerajaan
alam: satwa, nabati dan tambang.
71
h.43
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998)
66
Yang lebih dahsyat lagi, setelah peneliti sains memiliki kemampuan
untuk menciptakan bentuk kehidupan baru lewat rekayasa genetika, pada April
1987 Kantor Hak Cipta Amerika Serikat mengumumkan bahwa organisme
hidupini-termasuk binatang- dapat diberikan hak paten. Memang terjadi
perdebatan atas keputusan ini, tetapi tidak sedikit juga ilmuwan yang
mendukung keputusan tersebut. Kalau memang manusia telah mampu
menciptakan suatu organisme hidup baru, lalu dimanakah peran sang pencipta?
Ini juga manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya yang sudah
keluar dari lingkup ilmu pengetahuan.
Ada dampak lain yag ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer,
yaitu dampak psikologis, misalnya. Termasuk meningkat pesatnya statistik
penderita depresi, kegeisahan, psikosis dan sebagainya. Sebagaimana halnya
pada abad ke-17, sekali lagi kita mengalami destabilisasi dan keterpecahan ,
ketika paradigma keagamaan digugat. Ujung-ujungnya: tingkat penderita jiwa
dan pelaku bunuh diri terus meningkat. Inilah akibat langsung pemisahan antara
manusia sebagai ilmu pengetahuan kontemporer dengan obyeknya yang
menandai filsafat sains Barat sekarang ini. Oleh karena itu, al-Attas berpendapat
ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya diterapkan didunia Muslim.
Ilmu bisa dijadikla alat yang sangat halus dan tajam bagi penyebarluasan cara
dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan72. Sebabnya, ilmu bukan bebas nilai (
Value-Free), tetapi sarat nilai ( Value Laden)73.
72
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ( Kuala Lumpur : ISTAC,
2001)h, 49
73
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin h. 134
67
Para Ilmuwan Muslim berusaha untuk menggali khazanah ilmu yang sudah
lama dikumandangkan, diantaranya adalah cendekiawan Muslim yaitu Syed
Muhammad Naquib al-Attas sebagai “Mega Proyek” gagasan tersebut mengandung
tujuan yang sangat penting yang akan dicapai.
Adapun Tujuan yang hendak dicapai dengan terealisasinya gagasan
Islamisasi ilmu, diantaranya74:
1. Mengeluarkan Ilmu pengetahuan kontemporer penafsiran-penafsiran yang
berlandaskan ideologi, makna dan ungkapan sekuler yang bertentangan dengan
ajaran Islam
2. Menjadikan Islam sebagai alternatif epistemologi Barat
3. Mengembangkan ilmu yang hakiki untuk membangun pemikiran dan
rohani pribadi muslim yang dapat meningkatkan keimanannya dan keteakwaannya
kepada Allah SWT.
4. Islamisasi Ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan
kekuatan keimanan.75
5. Menghilangkan konsep dikotomi ilmu yang berakibat pada pemisahan
antara ilmu agama dan ilmu umum, karena pada hakekatnya ilmu bersumber dari
yang maha tunggal yaitu Allah SWT
B. Konsep Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas
Membandingkan antara Islam dengan filsafat dan ilmu
pengetahuan kontemporer, sebagaimana yang disadari oleh al-Attas terdapat
persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode
74
Roshnani Hashim, gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer, Islamia,1,6, (juliseptember,2005)h.31
75
Roshnani hashim. gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer. h 31
68
ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi
realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagai filsafat
sains; proses dan filsafat sains. Bagaimana, ia menegaskan bahwa terdapat
sejumlah perbedaan sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup
(divergent worldviews).76wolrdview Islam menurut al-Attas merupakan
pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang tampak oleh mata hati
kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan
Islam adalah wujud yang total maka wolrdview Islam berarti pandangan
Islam tentang wujud (ru’yat al-Islam lil-wujud).77
No Elemen
Worldview Islam
Woeldview Barat
1
Prinsip
Tauhidi
Dikotomik
2
Asas
Wahyu,
3
Sifat
Hadits,
akal, Rasio,
spekulasi,
Pengalaman, dan intuisi
filosofis
Otensitas dan kajian
Rasionalitas, terbuka
dan selalu berubah
4
Makna Realitas dan Berdasarkan
5
kajian Pandangan
sosial,
kebenaran
metafisis
kultural, empiris
Obyek kajian
Visible dan invisible
Tata
masyarakat
76
Syed Muhammad Naquib al-Attas Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet.
Ke-1, h.189
77
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and
Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam ( Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), cet.
Ke-2, h.2
nilai
69
Dari tabel diatas jelas sekali bahwa antara worldview Islam
dan Barat terdapat perbedaan yang sangat fundamental yang tidak mungkin
dikompromikan. Worldview Islam tidak berdasarkan dikotomis seperti
obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual. Akan tetapi,
realitas dan kebenaran dipahami dengan metode tauhidi dimana terdapat
kesatuan antara kaedah empiris, rasional, deduktif dan induktif, sebagaiman
para sarjana pada masa silam menggunakan berbagai metode dalam
penyelidikan mereka. Realitas dan kebenaran dalam konsep Islam bukan
semata-mata fikiran tentang alam inderawi dan peranan manusia dalam
sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada dalam konsep Barat
sekuler mengenai dunia yang hanya menaruh perhatian terhadap dunia
empiris saja. Tetapi lebih dari itu, memaknai realitas dan kebenaran
berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang empiris dan non empiris.
Dengan demikian, wolrdview Islam mencakup dunia akhirat, yang mana
aspek dunia tidak boleh terpisah dan harus dikorelasikan dengan cara yang
sangat mendalam kepada aspek akhirat, dengan keyakinan bahwa aspek
akhirat merupakan yang terakhir dan final. Worldview Islam bersumber
kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi keimanan dan
pengamalan ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam
wahyu dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW .
Permasalahan yang sangat krusial yang dihadapi umat Islam adalah
bagaimana menemukan kembali konsep dasar Islam dalam menghadapi ilmu
pengetahuan yang sekuleristik menjadi Islami.
70
Naquib al-Attas beranggapan bahwa solusi dari permasalahan yang
kita (Umat Islam) hadapi adalah Islamisasi Ilmu pengetahuan. Menurut
beliau, pada awalnya semua ilmu ada pada bentuknya yang Islami. Namun
seiring dengan perkembangan zaman, bentuk fithrah ilmu sedidit demi
sedikit berubah. Perubahan itu terjadi bersamaan dengan proses sekulerisasi
masyarakat yang terjadi di Eropa yang beberapa ratus kemudian diekspor
kedunia Islam. Definisi sekulerisasi yang menurut Naquib al-Attas paling
sesuai adalah definisi yang diberikan oleh seorang teolog Belanda,
Coernelius Van Peursen yang pernah menduduki kursi filsafat di universitas
Leiden. Van peursen mendefinisikan sekulerisasi sebagai “ Pembebasan
seseorang, pertama dari kontrol religius dan kemudian metafisis, terhadap
pemikiran dan bahasanya”.78 Berarti menurut Van peursen ada dua aspek
yang sangat penting dalam isu sekulerisasi ini : pemikiran dan bahasa.
Mengapa demikian? Tentu kita dapat mengerti aspek sekulerisasi pemikiran
karena seseorang melakukan segala sesuatunya sesuai dengan pemikirannya.
Berarti, jika pemikirannya sudah sekuler, pandangan-hidupnya juga akan
sekuler. Jika ia sudah sampai pada tigkat ini, maka ia akan berpendapat
bahwa dirinya adalah segalanya, dan tidak ada otoritas yang lebih tinggi lagi
adri dirinya. Dengan demikian, amal-amalnya pun akan dikerjakan sesuai
dengan hatinya sendiri. Inilah proses pergantian fokus dari tuhan kepada
manusia seperti yang telah termaktub dalam inti filsafat Humanisme.79
78
79
Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekulerisme. Hal 17
Ismail Fajrie Alatas, Konsep Ilmu dalam Islam, (jakarta Diwani Publissing 2006), h. 278
71
Setelah berangkat dari pemikiran kemudian dari bahasa menurut isu
sekulerisasi yang berkembang, mengapa demikian? Bahasa adalah sebuah
fenomena kultural dimana bahasa terbentuk berdasarkan pengalaman historis
dan kultural sebuah bangsa,. Karena adanya perbedaan pengalaman antara
satu bangsa dengan bangsa yang lainnya, maka bahasanya pun juga banyak
berbeda. Yang dimaksud perbedaan disini adalah
dari segi semantik,
sehingga banyak kita jumpai konsep-konsep serta terminologi yang terdapat
disatu bahasa, namun tidak terdapat ibahasa yang lain. Salah satu contoh
adalah kesulitan yang dihadapi oleh para penerjemah bahasa Arab menuju
Bahasa Inggris. Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat metafisis akibat
keberadaan al-Qur’an, sedangkan bahasa Inggris telah berubah menjadi
bahasa yang sangat teknis,
mekanis dan anti-metafisis. Oleh karena itu
banyak kata-kata kunci dari bahasa Arab yang tidak dapat diterjemahkan
kedalam bahasa inggris karena ketiadaan konsep yang sama. Salah satu
contoh yang paling konkret adalah kata qalb, fu’ad dan lubb. Seseorang yang
akan menerjemahkan kata ini kedalam bahasa Inggris akan sangat kesulitan
untuk melakukannya karena ketiadaan perbedaan antara terminologi tersebut.
Kata yang dapat mendeskripsikan ketiganya hanyalah heart atau hati.
Sedangkan dalam bahasa Arab, ketiga terminolog itu mendeskripkan
tingkatan hati yang berbeda-beda.
Namun karena ketiadaan terminologi
yang sama dalam bahasa Inggris, maka ketiga kata tersebut hanya dapat
diterjemahkan dengan satu kata: heart. Akibat dari ketidak tepatan
72
penerjemahan, maka pemahaman seseorang akan suatu hal juga akan tidak
tepat.
“ Atas dasar inilah,sayyidi naquib mendefinisikan Islamisasi sebagai :
“ Pembebasan manusia dari tradsi magis, mitologis, animistis, kulturnasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler
terhadap pemikiran dan bahasanya “ juga pembebasan dari kontrol dorongan
fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau
jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadapa
hakikat dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang
sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya, Islamisasi adalah suatu
proses menuju bentuk asalnya ( Fithrah) yang tidak sekuat proses evolusi
dan devolusi….80
Dalam definisi Islamisasi diatas, terdapat dua aspek yang perlu
diungkapkan lebih lanjut. Yang pertama, pada tingkat individu, konsekuensi
dari islamisasi adalah pengakuan terhadap Nabi (saw) sebagai pemimpin dan
pribadi teladan bagi pria maupun wanita baik pada tingkat kolektif, sosial
dan historis81. Pengakuan terhadap derajat dari tingkat Nabi (saw) yang
begitu tinggi, akan diresapinya dan dipikirkannya, sehingga tidak akan
mungkin terlontar dari lisannya bahwa “Nabi (saw) adalah manusia biasa”.
Seseorang yang terdidik secara Islami tidak akan berani melontarkan katakata yang seperti ini. Sebaliknya, dengan penuh kerendahan hati dan diri, dia
akan mengakui ketinggian posisi Nabi yang juga telah diakui oleh Allah Swt.
80
81
Syed. Muhammad Naquib al-Attas , Islam and Sekulerism. hal 45
Syed. Muhammad Naquib al-Attas Islam dan sekulerisme, Hal 45
73
Pada saat pengakuan itu sudah terpatri, maka dengan sendirinya, pribadi dan
kehidupan beliau (saw) akan menjadi simbol dan realisasi kesempurnaan
moralitas dan etika82. Dengan demikian ia akan menyontoh kesempurnaan
tersebut, dalam upayanya untuk menyempurnakan dirinya sendiri.
Pengertian Islamisasi pada tingkat individu ini, sangat berhubungan
dengan konsep adab. Sayyidi Naquib beranggapan bahwa dilema yang
dihadapi umat Islam telah membentuk lingkaran setan yang didahului dengan
sekulerisasi ilmu pengetahuan.
Pada aspek yang kedua terjadi setelah proses pertama selesai, yaitu
memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci kesetiap
cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan83. Proses inilah yang
kemudian dikenal dengan The Islamisation of Knowledge . perlu ditegskan
bahwa dmesteernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah kerja-kerja
kognitif dan spiritual yang terjadi secara bersamaan. Tanpa ada celah waktu.
Sebelum “memisahkan “dan “mengeluarkan” ide-ide dan konsep-konsep
yang
tidak
Islami,
seseorang
pertama-tama
harus
mampu
mengidentifikasikan semua itu dan memiliki pemahaman yang mendalam
mengenai pandangan dunia Islam berikut semua elemen dan konsep
kuncinya84. Proses ini menurut Ismail Fajrie Alatas senada dengan kalimat
La Ilaha Illallah (Tiada Tuhan Selain Allah) yang berisi dua klaus yang
tersambung dalam satu kalimat. Klaus yang pertama La Ilaha (Tiada Tuhan)
adalah sebuah penolakan dari konsep-konsep serta elemen ketuhanan yang
82
Syed. Muhammad Naquib al-Attas ,Islam dan sekulerisme , Hal 45
Syed. Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
84
Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas, hal 339
83
74
ada dialam semesta ini. Sedangkan klaus yang kedua Illallah (Selain Allah)
adalah afirmasi bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang ada dan
yang diakui. Kedua aksi ini, penolakan dan afirmasi terjadi secara simultan
sehingga tidak terdapat celah yang kosong antara kedua aksi tersebut.
Dengan demikian, Islamisasi ilmu pengetahuan juga bekerja secara simultan.
Setelah mengetaui secara mendalam mengenai pandangan hidup
Islam dan Barat, maka proses Islamisasi ilmu baru bisa dilaksanakan.
Adapun metodologi yang digunakan al-Attas dalam proses Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemptorer, terdiri dari dua proses atau langkah yang saling
berkaitan, yaitu:
1. Proses Verifikasi, yaitu mengenali dan memisahkan unsur-unsur (4 unsur
yang telah disebutkan sebelumnya) yang dibentuk oleh budaya dan
peradaban Barat, kemudian dipisahkan dan diasingkan dari tubuh
pengetahuan
kontemporer85
khususnya
dalam
ilmu
pengetahuan
humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, ilmu-ilmu terapan
juga harus dislamkan, khusunya dalam penafsiran-penafsiran akan faktafakta dalam formulasi teori-teori.
Menurut al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam,
maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus
diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol,
dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris, dan rasional, dan yang
berdampak kepada nilai-nilai dan etika, penafsiran historis ilmu tersebut,
85
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sukelarisme, h. 202
75
bangunan teori ilmunya, praduga berkaitan dengan dunia dan rasionalitas
proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta,
klasifikasinya, batasannya, hubungan dan keterkaitannya dengan ilmuilmu lainnya serta hubungan dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.86
2. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep kunci ke dalam setiap
cabang Ilmu pengetahuan kontemporer yang relevan.87 Dengan
masuknya itu, maka akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran
konseptual isi pengetahuan. Selanjutnya, al-Attas juga merincikan dan
beberapa konsep dasar Islam yang harus dituangkan ke dalam setiap
cabang ilmu apa pun yang dipelajari oleh umat Islam adalah seperti
berikut ini :88
a. Konsep agama (Din)
b. Konsep manusia (Insan)
c. Konsep ilmu (‘Ilm dan Ma’rifah)
d. Konsep kearifan (Hikmah)
e. Konsep keadilan (‘Adl)
f. Konsep prbuatan yang benar (‘Amal sebagai adab)
g. Konsep universitas (Kulliyah-Jami’ah)
Dalam penerapan prktisnya sangat terkait dengan dubnia pendidikan.
Konsep agama (din) menunjukkan kepada maksud mencari pengetahuan dan
keterlibatan dalam prose pendidikan. Konsep manusia (insan) kepada ruang
86
Syed Muhammad Naquib al-Attas Prolegomena to the Methaphisics of Islam and
Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam h. 114
87
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib AlAttas h. 337
88
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sukelarisme, h. 233
76
lingkup. Konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifah) mengacu kepada isi.89 Konsep
kearifan (hikmah) kepada kreteria dalam hubungannya dengan konsep
manusia (insan) dan ilmu (ilm dan ma’rifah). Konsep keadilan (‘adl) kepada
pengembangan dalam hubungannya dengan konsep kearifan (hikmah).
Konsep perbuatan yang benar (‘amal sebagai adab) kepada metode dalam
hununggannya dengan konsep agama (din) – konsep keadilan (‘adl). Konsep
universitas (kulliyah-jami’ah) dianggap penting karena berfungsi sebagai
implementasi semua konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan untuk
tingkat rendah.
Untuk lebih memahami, penulis akan memberikan sebuah study
kasus berkenaan dengan metodologi Islamisasi ilmu diatas dalam salah satu
aspek dari disiplin ilmu psikologi.
Psikologi merupakan bidang yang cukup menarik, karena kedudukannya
yang istimewa antara fisik dan metafisik. Ilmu psikologi yang sekarang
berkembang dengan subur didunia, tak terkecuali dunia Islam adalah
psikologi yang dibangun oleh peradaban Barat. Oleh karena itu, sesuai
dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, maka psikologi
harus diislamkan.
1. Proses Verifikasi
89
Proses memasukkan konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifat) ke dalam ilmu Barat yang telah
diverifikasi dalam aplikasinya terkait dengan dunia pendidikan. Ilmu yang telah di Islamkan ini isinya
harus disesuaikan dengan saaran ilmu itu ditujukan. Tentunya siswa sekolah lanjutan dengan
mahasiswa dari isi ilmu yamh mereka terima tidak sama. Oleh sebab itu, guru dan pihak lain yang
telibat dalam pendidikan (stakeholder) harus mampu mendesain kurikulum yang sesuai dengan
kapasitas intelektual dan psikologis orang yang menerima ilmu tersebut.
77
Dalam kajian ilmiah modern Barat, “Jiwa” tidak lagi
dipandang sebagai substansi immaterial yang berkaitan dengan dunia
metafisik, tetapi semata-mata sebagai fungsi otak yang bersifat fisik dengan
sisitem neorilogisnya yang canggih. Psikologi telah mengalami reduksi dan
degradasi yang parah. Dengan keinginannya untuk diakui sebagai disiplin
ilmiah, psikologi harus rela tunduk pada paradigma positivistik, dengan
membatasi kajiannya hanya pada bidang-bidang empiris dengan resiko ia
harus kehilangan dimensi metafisiknya. Misalnya dalam Behavourisme90,
jiwa dipandang tidak lebih dari fungsi neurologis otak, yang mengatur
tindakan atau langkah manusia sebagai respon terhadap stimulus yang datang
dari luar. Manuasia sering tidak bisa dibedakandai hewan biasa, seperti
anjing dan tikus, yang bertindak hanya sebagai respon titik terhadap stimulus
dari luar dirinya. Akhirnya jiwa manusia atau pikirannya dipandang hanya
ebagai fungsi neurologis otak. Bahkan pandangan bahwa jiwa merupakan
fungsi otak itu pun masih terlalu dualistik, sehingga yang tersisah sekarang
ini hanyalah otak. Jiwa atau akal telah diidentik dengan otak sebagai organ
tubuh.
Ini tentu saja akan menimbulkan masalah yang besar dalam tradisi
intelektual muslim, karena jiwa itu sama saja dengan otak, maka kelangsngan
hidup setelah kematian atau konsep apapun yang terkait dengan hari akhir
90
Peletak dasar Behaviorisme adalah Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) dan William
McDougall (1871-1938). Aliran ini mengemukakan bahwa obyek psikologi hanyalah perilaku
manusia yang kelihatan nyata dan menolak mempelajari tingkah laku yang tidak tampak dari luar.
Peletak dasar/ sari teori ini adalah Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) dan William McDougall (18711938). Lihat Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-2, h. 26
78
(akhirat) tidak akan mempunyai arti apapun.91 Padahal kita ketahui
kepercayan kepada hari akhir marupakan pilar kepercayaan yang pokok,
yang membedakan orang yang briman dan orang kafir. Tradisi keilmuan
yang dilandasi ajaran Islam tidak akan mendukung pandangan materialistik
jiwa seperti yang diajukan oleh Ilmuwan Barat. Dengan demikian konsep
jiwa menurut Barat harus ditolak atau dibuang dalam ilmu psikologi,
kemudian harus dimasukkan konsep jiwa yang sesuai dengan ajaran Isalam.
2. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep kunci Islam
Konsep “jiwa” dalam Islam berbeda dengan konsep yang selama ini
diyakini Barat. Jiwa dalam Islam bersifat immaterialitas. Miskawaihi dalam
karya
monumentalnya,
Tahdzib
al-Akhlaq,
mencoba
membuktikan
immaterialitas jiwa dengan mengajukan argumen sebagai berikut: “sudah
menjadi tabiat benda-benda fisik untuk menerima hanya satu bentuk saja pada
satu saat”. Misalnya meja, kalau pun kita bisa memisahkan kai meja dari
daunnya, lalu kita menggantungkan daunnya itu di dinding maka pada saat itu ia
tidak bisa lagi disebut meja melainkan papan tulis. Jadi ketika ia menerima
bentuk baru yaitu papan tulis maka ia berhenti menjadi meja. Dengan demikian
benda fisik hanya mampu menerima satu bentuk saja pada satu saat, tidak bisa
lebih dari itu. Tetapi menurut Miskawaih manusia mampu menerima berbagai
bentuk – dalam bentuk ratusan bahkan ribuan konsep abstrak – tanpa mengubah
atau merusak bentuk aslinya.
91
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta:UIN
Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1., h. 149
79
Ketika konsep immaterialitas jiwa ini masuk ke dalam psikologi
sebagaimana diuraikan di atas, maka akan merubah dengan drastis teori-teori
yang telah dirumuskan. Tadinya, teori psikologi mengakui bahwa jiwa manusia
bersifat materi, akan melahirkan pengingkaran terhadap hari akhir. Maka dengan
konsep jiwa immaterial, jiwa manusia dapat meneruskan perjalanan hidupnya
setelah kematian untuk kembali kepada asalnya, yang tidak lain adalah Allah
swt.
Setelah
konsep
psikologi
yang
Islami
dirumuskan,
tugas
selanjutnya manurut al-Attas memasukkan konsep kunci Islam, misalnya konsep
universitas (kulliyah-jami’ah) yaitu harus ditransformasikan kepada para
mahasiswa yang belajar di Universitas.
Al-attas menolak pandangan yang menyatakan bahwa Islamisasi
ilmu bisa tercapai dengan melakukan stempelan Islami pada ilmu
pengetahuan. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan
tidak berfaedah sebab unsur asing atau kuman penyakit itu masih terdapat
pada tubuh ilmu itu. Ia Cuma akan menghasilkan ilmu yang Islam pun bukan
dan sekuler pun bukan.92
92
Rosnani Hashim, gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer h. 35
80
C. Karakteristik Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas
Bagi Sayyidi Naquib al-Attas, kehancuran pendidikan islam
karena ketiadaan adab yang menjadi pondasi utama pendidikan Islam yang
menghasilkan banyak problematika yang selanjutnya berimplikasi pada
permasalahan yang sangat kompleks yang kita hadapi saat ini. Menurut beliau:
1. Kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai
Ilmu
pengetahuan yang selanjutnya menciptakan:
2. Ketiadaan adab dari masyarakat. Akibat dari kedua hal
tersebut adalah:
3. Munculnya pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin
umat, melainkan juga tidak memiliki akhlak yang luhur dan
kapasitas intelektual dan spiritual yang memadai, yang sangat
diperlukan dalam kepemimpinan
Islam. Mereka akan
mempertahankan kondisi yang telah disebutkan pada point
pertama akan terus mengontrol permasalahan-permasalahan
sosial kemasyarakatan melalui tangan para pemimpin lain
yang berwatak sama dengan mereka dan mendominasi
pelbagai sektor kehidupan93
Oleh karena itu, pada tingkat individu, proses Islamisasi berhubungan
langsung dengan pengenalan kembali adab. Dari zaman Rasul (saw), adab sudah
merupakan bagian penting dari pendidikan Islam. Hal ini dapat dilihat dari
perintah guna mengemulasi sunnah Nabi (saw) yang secara konseptual disatukan
93
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal 137-138
81
dengan ilmu dan amal. Para sahabat beliau (saw) telah diperintahkan langsung
oleh Allah (swt) guna mengikuti dan mencontoh sang Nabi. Perintah ini tertulis
dalam Al-Qur’an yang berbunyi “Sungguh pada diri Rsulullah itu teladan yang
baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian
dan banyak mengingat Allah (swt) ( Q.S al-Ahzab: 21)”
Oleh karena itu, Islamisasi pada tingkat individu menekankan
sebagian derajat Rasul (saw) sehingga guna mencapai kesempurnaan seseorang
harus mencoba mengikutinya.
Pada tingkat epistemologis, Islamisasi berkaitan dengan
pembebasan akal manusia dari keraguan (syakk), prasangka (dzann) dan
argumentasi kosong ( mira’) menuju pencapaian keyakinan (yaqin) dan
kebenaran (haqq) mengenai realitas-realitas spiritual, penalaran dan material94.
Ia akan membersihkan dirinya dari segala ilmu yang berbau negatif serta ilmuilmu palsu. Sebaliknya, dirinya akan dipenuhi dengan ilmu-ilmu yang dibangun
diatas keyakinan adalah: ”keadaan dimana sesuatu yang diketahuinya,
menampakkan dirinya tanpa meninggalkan ruang keraguan ataupun posibilitas
kesalahan dan ilusi, dan hatinya tidak akan memperbolehkan posibilitas yang
demikian terjadi95.
Oleh karena itu, ilmu yang dibangun diats keyakinan bersifat positif, dan
karenanya pandangan hidup seseorang yang memilikinya juga positif.
Pada tingkat linguistk, Islamisasi berarti membersihkan dan
merehabilitasi kata-kata kunci yang penting bagi pembahasan ilmu dari sisa-sisa
94
95
Al-Ghazali, al-Munqidz. Hal 26
Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal 7-12
82
efek sekulerisasi yang ada. Islamisasi akan mengembalikan betuk semantik katakata kunci tersebut, kepada bentuk asalnya sehingga pemahaman yang
didapatkan darinya akan sesuai dengan pandangan hidup serta pengalaman
historis dan kultural dimana kata-kata itu terbentuk. Jikalau kata-kata itu
terbentuk. Jikalau bahasa telah terIslamisasi, maka pemikiran seseorangpun akan
dengan mudah terislamisasi, karena bahasa dan keberadaan kata-kata kunci dan
terminologi inilah yang sesungguhnya mengatur daya pikiran seseorang.
Setelah
mendefinikan
Islamisasi,
Sayyidi
Naquib
lantas
mencoba
mengaplikasikan konsep tersebut dalam tingkat praktis. Didalam Islam and
Secularism, Sayyidi Naquib menjelaskan bahwa Islamisasi Pengetahuan dalam
masa kini melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Yang pertama adalah
pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk
kebudayaan dan peradaban Barat dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini,
khususnya ilmu-ilmu humaniora. Beliau menyebut proses ini dengan
Dewesternization of Knowledge. Adapun elemen-elemen yang ‘asing’ harus
dipisahkan dan dieliminasi dari ilmu pada umumnya mempunyai lima karakter
yang saling berhubungan:
1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia dalam
mengarungi kehidupan.
Berbicara mengenai rasionalitas dalam konteks peradaban modern
Barat, tentu kita tak bisa melupakan salah seorang tokoh utama, seorang filosof
kenamaan dari perancis Rene Descartes. Ungkapannya yang sangat populuer
83
yaitu cogito ergo sum ( saya berpikir, maka saya ada)96. Telah menjadikan rasio
satu-satunya kriteria untuk mengukur suatu kebenaran. Pemikiran Rene
Descartes telah mengilhami gerakan-gerakan rasionalitas, khususnya apa yang
dikenal sebagai gerakan “pencerahan’ (aufklarung) di Perancis dan Jerman yang
melibatkan tokoh-tokoh besar Barat termasuk Immanel Kant (w. 1804) dan
Hegel (w. 1831). Akibat dari penekanan yang kuat terhadap rasionalitas oleh
masyarakat Barat modern munculnya paham-paham yang menolak unsur-unsur
non-rasional seperti yang banyak terdapat pada agama dan mistisme cenderung
ditolak sebagai ilusi dan halusinasi. Wahyu yang pada dasarnya diterima melalui
intuisi juga tidak diterima oleh masyarakat Barat. Bahkan Nabi sering dianggap
sebagai Psikopat yang mengalami gangguan kejiwaan, khususnya epilepsi97.
2. Mengikuti dengan Setia Validitas Pandangan Dualistis mengenai Realitas dan
Kebenaran.
Pandangan mengenai hakikat dan kebenaran semata-mata berdasarkan pada
alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya.
Artinya hanya dibatasi pada dunia yang dilihat. Disamping itu, pandangan hidup
Barat berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif,
historis dan normatif. Tentu ini sangat bertentangan dengan Islam yang
96
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2003), cet. Ke-1, h.xvi
97
Konsep Kenabian oleh psikolog modern tidak dianggap sebagai pengalaman normal, melainkan
sebagai penyakit mental. Bahkan Danah Zohar dan Ian Marshal, ketika berbicara mengenai
kecerdasan spiritual, mengadopsinya sebagai contoh-contoh dari pengalaman parab pasien epilepsi.
Untuk lebih lengkapnya lihat Danah Zohar dan Ian Manrshall, SQ: memanfaatkan Kecerdasan
Spiritual dan berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan, (Bandung: Mizan,
2001),h.81
84
memandang dunia berdasarkan kajian metafisis terhadap yang nampak dan tidak
nampak, serta tidak mengenal adanya dikotomis terhadap hakikat dan kebenaran.
3. Membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan
dunia sekuler.
Epistemologi Barat Modern-sekulern semakin bergulir dengan
munculnya filsafat dialektika Hegel (w. 1831) yang terpengaruh oleh Kant.
Menurut Hegel, pengetahuan adalah on going process, dimana apa yang aku
ketahui dan aku mengetahui terus berkembang:
tahap yang sudah tercapai
“disangkal” atau di “negasi” oleh tahapan baru. Bukan dalam arti bahwa tahap
lama itu tidak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu tidak berlaku lagi, tetapi tahap
lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap
kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan98.
Sedangkan dalam Islam dalam hal-hal yang sudah jelas dan final tidak bersifat
temporal dan tidak memerlukan perkembangan dan perubahan.
4.
4. Pembelaan Terhadap Doktrin Humanisme.
Humanisme merupakan paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusi
mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul sejak zaman Yunani
Lama (Yunani Kuno). Paham ini meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan
untuk membuat aturan yang mengatur manusia dan alam. Peraturan ini haru
berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia, yang tak lain
adalah akal. Akal diyakini oleh Humanisme mampu menciptakan peraturanperaturan yang cocok untuk manusia tanpa ada intervensi dari unsur lain selain
98
Faranz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari sosialisme ke Utopis Perselisihan
Revisionisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)h, 56
85
manusia itu sendiri. Dengan demikian Humanisme meminggirkan
atau tidak
mengakui peranan Tuhan dalam mengatur kehidupan manusia.
Karena ilmu pengetahuan dalam kebudayaan dan peradaban Barat itu justru
menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, sebagaiman yang telah
dikemukakan diatas. Oleh sebab itu, al-Attas sangat khawatir terhadap masuknya
aspek-aspek yang berasal dari pandangan filsafat barat kedalam pikiran elit terdidik
umat Islam tersebuit sangat berpengaruh dalam menimbulkan sebuah fenomena
yang oleh al-Attas diidentifisikasikan sebagai “deislamisasi pikiran umat Islam”
yang begitu merusak dan membahayakan. Al-Attas menegaskan lagi bahwa ilmu
yang dikembangkan Barat bukanlah bersifat sejagat tetapi umumnya sifatnya
etnosentrik dan Eurosentrik khususnya. Maka ilmu itun tidak boleh digunakan apa
adanya disemua tempat dan keadaan, khususnya masyarakat Islam yang mempunyai
nilai dan kepercayaan yang berbeda dengan peradaban barat. Ilmu bisa dijadikan alat
yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup
sesuatu kebudayaan. Karena ilmu tidaklah netral. Hal ini terjadi, menurut al-Attas
karena ilmu sifat (shifah) jiwa yang rasional (al-nafs al-nathiqah) ketika jiwa itu
memahami makna suatu objek pengetahuan, yaitu pada saat orang mengetahui dapat
meletakkan obyek itu secara benar atau menghubungkannya secara tepat dengan
elemen-elemen kunci pandangan hidupnya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan
berada dalam otak, apa yang berada dalam luarn otak hanyalah obyek pengetahuan
(al-ma’lumat).99 Bukti yang menunjukkan ilmu berada dalam otak adalah mengapa
terdapat perbedaan daya tangkap antara seseorang siswa dengan siswa yang lainnya
99
Wan Mohd Nor Wan Da8ud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas h.
330-331
86
dalam merespon pelajaran yang disampaikan oleh guru yang sama dan dengan
materi pelajaran yang sama, padahal mereka sama-sama memiliki otak.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya dalam membedah virus yang
terkandung dalam ilmu Barat, al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. AlAttas menegaskan bahwa Islamisasi diawali dengan Islamisasi ilmu. Al-Attas
menegaskan bahwa Islamisasi diawali dengan bahasa sebagaimana yang dibuktikan
oleh al-Qur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Salah satu contoh Islamisasi
bahasa yang dilakukan oleh al-qur’an adalah kata karim. Pada masa jahiliyah, kata
ini berarti kemulyaan garis keturunan yang dengan kedermawanan, sehingga kata
karim merupakan lawan kata darikata bukhl (pelit). Al-qur’an kemudian mengganti
bidang semantik karama menjadi kemuliaan berdasarkan taqwa, sehingga
menghasilkan suatau medan semantik yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya.100
5. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas
universal dalam kehidupan spiritual, atau transendental, atau kehidupan batin
manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan
dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia101.
D. Pengaruh Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas Terhadap Pendidikan
Didalam sejarah perjalanan intelektual muslim, kita dapat melacak dan
membuktikan bahwa gagasan Islamisasi Ilmu sebenarnya bukanlah suatu hal yang
asing bagi umat Islam, sebab pernah dilakukan oleh para intelektual muslim pada
saat itu. Pada abad ke III H, misalnya sejarah menunjukkan pesatnya terjadinya
pengislamisasian ilmu-ilmu yunani. Intelektual muslim telah memahami masalah
100
101
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan sekulerisme,. h. 63
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal 44-45
87
dikotomi yang ada pada saat itu dan berusaha bukan saja untuk mengislamikan ilmu
asing akan tetapi juga melahirkan ilmu baru melalui penyelidikan. Karya al-Ghazali
, Thahafatul al-Falasifah yang sangat monumental dan fenomenal merupakan salah
satu contoh unggul tentang usaha Islamisasi ilmu asing pada zaman tersebut. Dalam
karyanya itu al-Ghazali menonjolkan 20 ide dalam pandangan Islam 102, yang
diadopsi oleh pemikir Islam dari falsafah Yunani dan menyatakan empat,
diantaranya tidak bisa diterima, karena bertentangan dengan aqidah Islam yang
benar103. Memang secara terminologi beliau tidak menggunakan Islamisasi, namun
aktivitas yang beliau lakukan substansinya adalah sama dengan Islamisasi ilmu
kontemporer. Sayyed Hosen Nasr, seorang sarjana falsafah dan sejarah sains Islam
dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an.
Pengaruh gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang disosialisasikan oleh
Syed Muhammad Naquib al-Attas masih sangat terbatas, hal ini yang juga diujarkan
oleh al-Attas dalam sambutannya ketika dilantik sebagai ketua dewan kursi AlGhazali pada tahun 1993. gagasan ini masih terlalu dini untuk dinilai secara
terperinci mengenai pengeruh Islamisasi Ilmu pengetahuan terhadap pendidikan dari
mereka yang bekerja tanpa ada sokongan bantuan dana dari organisasi-organisasi
dan tanpa dorongan dari media masa. Keterbatasan penilaian ini semakin tersa
karena umat Islam termasuk dan disebabkan, oleh para eit dan para pemimpin
mereka yang berpendidikan, “ masih berada dalam lautan kekagetan dan
102
Pertama, kemestin sebab akibat, kedua, jiwa manusia adalah jauhar (substance) yang
berdiri sendiri. Tidak terpatri (muntabi’ah) dalam jisim. Ketiga, jiwa-jiwa itu tidak abadi. Keempat,
mustahil jiwa-jiwa itu dikembalikan kepada jasad. (Lihat Ahmad Daudy, segi-segi pemikiran Falsafi
dalam Islam, (jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet. Ke-1, h.73
103
A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (yogykarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet
ke-1, h.241
88
kebimbangan terhadap diri mereka,”pandangan semacam ini telah bercokol terlebih
dahulu sebelum akibat-akibatnya sempat dievaluasi. Namun, terlepas dari
keterbatasan yang ada, harus diakui bahwa ide-ide al-Attas telah memancing banyak
reaksi, yang diantaranya menghasilkan perkembangan yang signifikan dalam
pemikiran dan praktik Islam kontemporer.
Dengan menampilkan figur, seperti Shadr Al-Din Al-Syairazi atau Mulla
Shadra (w. 1641 M). Falzur Rahman, salah seorang sarjana Islam terkemuka,
memberikan kriteria utama yang membuat seseorang itu layak disebut sebagai
seorang pemikir besar dan orisinal:
Pemikir besar dan orisinal itu adalah yang menemukan gagasan
pokok (master idea), yaitu prinsip dasar yang mengandung semua realitas lalu
memahaminya sehingga menjadi sesuatu yang baru dan penting. Gagasan pokok itu
mengubah dasar-dasar perspektif kita dalam melihat realitas bahkan memberikan
solusi yang segar dan jitu terhadap permasalahan-permasalahan lama yang
menganggu pikiran manusia.104
Meskipun layak untuk diperhatikan, terdapat beberapa catatan yang perlu
dipertimbangkan mengenai kriteria yang dikemukakan Rahman diatas. Pertama,
kriteria itu menepikan manusia-manusia agung yang telah memberkahi permukaan
bumi ini, yaitu para nabi. Tidak satupun diantara mereka yang megklaim telah
menemukan gagasan pokok, sebab, sebagaimana yang sering dikatakan al-Attas
dalam pelbagai kesempatan, sebagian besar gagasan pokok - seperti gagasan
mengenai keuniversalan Tuhan dalam agama, nasib manusia, dan prinsip-prinsip
104
Fazlur Rahman, The Philoshopy of Mulla Shadra ( Albany: Newyork: SUNY press,
1975), h. 13
89
moral-pada hakekatnya tidak ditemukan oleh akal manusia yang tidak dipersiapkan.
Para nabi sudah tentu bukan sekedar para pemikir seperti yang telah mereka ajarkan
sangat banyak menyentuh perkara-perkara mendasar yang selama ini menghantui
pemikiran manusia. Berdasarkan hal ini, kriteria lain yang lebih inklusif mengenai
seseorang yang bisa disebut sebagai pemikir besar sangat diperlukan.105
Seorang pemikir besar tidak harus menemukan master idea. Sebaliknya, ia
harus mampu menemukan kembali dan mengafirmasikan sebuah kebenaran yang
terlupakan, terabaikan, atau tersalah pahami, dan menerjemahkan dalam pelbagai
aspek pemikiran denga cara yang berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya
secara mantap dan konsisten, walaupun dalam melakukan hal ini ia dikelilingi oleh
pelbagai kebodohan dan penolakan.
Dalam konteks al-Attas, beliau sangat layak dianggap sebagai seorang
pemikir besar dan orisinal didunia Islam kontemporer, karena selama ini dia telah
menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan oleh sebagian
orang dan disalah pahami oleh sebagian yang lain. Kemudian dia megklarifikasikan,
menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan lingkungan intelektual dan
dinamikan budaya umat Islam kontemporer. Dia juga datang dengan membawa
beberapa solusi terhadap pelbagai permasalahan yang berkaitan dengan aspek-aspek
sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam digugusan pulau rumpun Melayu. Tidak
heran jika Fazlur Rahman memuji al-Attas dan menyebutnya sebagai “pemikir
Jenius”.
105
Attas. H. 60
Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-
90
Gagasan-gagasan dan tulisan-tulisan al-Attas dalam disiplin filsafat islam
yang menyentuh pelbagai disiplin ilmu agama, pendidikan dan sains termasuk
diantara yang terbaik dan paling kreatif dalam khazanah pemikiran Islam
kontemporer. Dia adalah orang pertama di Dunia Islam kontemporer yang
mendefinisikan, mengonseptualsaskan, dan menjabarkan arti, arti dan muatan
pendidikan Islam, ide dan metode islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, hakikat
dan pendirian universitas Islam, serta formulasi dan sitematisasi metafisika Islam
dan filsafat sains dalam bentuk yang sangat sistematis dan filosofis. Semua ide ini
merupakan sesuatu yanng fundamental untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama, yang 900 tahun lalu berusaha dicapai al-Ghazali..
Wan Mohd Daud mengatakan adalah kalau dikatakan bahwa kita
memerlukan versi terbaru dari peradaban Barat yang sama untuk menghadapi
rentetan permasalahan yang disebabkan oleh peradaban modern dan sekuler Barat.
Sebaliknya, yang kita perlukan adalah suatu peradaban yang berbeda secara
mendasar dari peradaban Barat, yang berakar dalam dan dibimbing oleh ide dan
tujuan agama yang benar. Ide dasar dan metode yang dipakai al-Attas sebagai
sintesis yang kreatif dari ide-ide besar yang dikenal dan diakkui slema ini. Insya
allah, hal ini kedepan akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
kehidupan Intelektual dan kebudayaan Muslim pada masa sekarang dan yang akan
datang.
Al-Attas pernah terlibat dalam polemik yang serius dengan beberapa
orientalis Belanda yang berpengaruh, seperti profesor G.W.J.Drewes,P.Voorhoeve,
dan A. Teeuw mengenai kajian sejarah Islam, filologi dan sejarah kesusastraan
91
Melayu, suatu polemik yang memberikan titik terang dan nuansu baru dalam dunia
penelitian dan kajian yang selama ini masih terasa samar-samar Dia adalah orang
pertama yang dengan jelas menggagas teori umum mengenai proses Islamisasi di
kepulauan Melayu-Indonesia, sebuah teori yang turut membidani lahirnya kesadaran
untuk melakukan penafsiran ulang terhadap sejarah Islam di Asia Tenggara106.
Selain itu al-Attas juga merupakan sarjana pertama yang menemukan dan
meghitung tanggal yang tepat mengenai inskripsi trengganu dan dengan demikian
telah berhasil menjawab teka-teki yang selama lebih dari setengah abad
membingungkan para orientalis. Ini adalah karya yang sangat penting. Yang telah
memberikan sumbangan yang penting dalam penulisan sejarah Islam di Asia
Tenggara. Karya-karyanya yang lain juga memberikan catatan yang jelas mengenai
asal mula syair, gubahan bahsa dalam kesusastraan bahasa Melayu, dan menetapkan
Hamzah Fanshuri sebagai orang pertama yang melahirkan syair Melayu.
Komentar al-Attas mengenai pandangan-pandangan Fanshuri dan Al-Raniri
merupakan karya kajian manuskrip ( abad ke-16 dan ke-17) pertama yang
membahas
tasawuf-Melayu.
Pada
kenyataannya,
selain
menemukan
dan
menerbitkan penelitiannya yang sangat cermat mengenai manuskrip Melayu tertua
ini, dia juga berhasil memecahkan teka-teki penyusunan kalender melayu-Islam
dengan benar..
Al-Attas
juga
merupakan
orang
yang
bertanggung
jawab
dalam
memformulasikan dan mengonseptualisasikan peranan bahasa Melayu dalam
pembangunan bangsa (nation building) dalam sejumlah diskusi dengan para
106
Attas h. 62.
Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-
92
pemimpin politik pada tahun 1968. formulasi dan konseptualisasi ini merupakan
salah satu faktor terpenting yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi
negara Malaysia. Sebagai dekan fakultas sastra, Universitas Malaya, dia secara
pribadi terjun untuk menerapkan dan memobilisasikan fakultas dan organisasiorganisasi
mahasiswa kearah penerapan bahasa Melayu secara lebih sistematik
sebagai bahasa intelektual dan akademis.
Tulisan-tulisan al-Attas berbahasa Melayu mengenai agama Islam memiliki
bentuk prosa yang unik dan bisa dijadikan contoh literer bagi sarjana dan penulis
malaysia yang berorientasi Islam. Sebagai seorang pemilir, filosof dan konseptor
untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa Nasional Malaysia, dapat
dikatakan bahwa tulisan-tulisannya yang berbahasa Melayu diatas bisa dianggap
sebagai aplikasi pertama pemakaian bahasa Melayu modern dalam wacana
intelektual dan filsafat, hal ini dengan sendirinya menimbulkan gaya bahasa yang
baru107. Syed Nasir Ismail, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Dewan Bahasa
dan Pustaka, menulis dalam kata pengantarnya untuk buku al-Attas, Rangkaian
Ruba’iyat, bahwasanya al-Attas tidak hanya mengontribusikan bentuk-bentuk baru
dan orisinal syair Melayu, tetapi juga telah mempreentasikan pemikiran-pemikiran
tinggi dan beradab yang didasarkan pada filsafat.108 Zainal Abidin ibn Ahmad ,
seorang ahli linguistik bahasa Melayu modern terkenal yang lebih sering dipanggil
dengan ZAABA, dalam kata pengantarnya untuk buku yang sama mengatakan bahwa
(Rangkaian Ruba’iyat)…. Adalah sebuah karya yang berkaitan dengan pemikiran
dan perasan yang muncul dari kesadaran seorang hamba terhadap Tuhannya melalui
107
I Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-
Attas h. 63
108
Al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat, (KL: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1959)h.i
93
pandangan batin dan dzauq (rasa) sebagaimana yang terjadi pada kalangan
cendekiawan sufi.109
Menurut Prof. Wan Mohd Nor Daud dalam bukunya Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas mengatakan
“Meskipun belum ada kajian yang memadai mengenai sumber pemikiran dan
dasar-dasar kebangkitan Islam di Malaysia sejak 1970, banyak yang berpendapat
bahwasanya al-Attas merupakan salah seorang tokoh yang memainkan peran penting
dalam hal itu. Perlu diketahui bahwa yang terdapat dalam logo ABIM (Angkatan
Belia Islam Malaysia) dan ASASI (Akademi Sains Islam) adalah kaligrafi buatan alAttas yang sangat imaginatif. Dialah orang yang mengusulkan agar majalah ABIM
diberi nama Risalah, yang pada dekade 70-an dan awal 80-an menginspirasikan
karakter pergerakan ABIM untuk lebih mementingkan pendidikan daripada politik,
penciptaan masyarakata Islam daripada negara atau undang-undang Islam, dan tetap
mengadakan rangkaian seminar mengenai pemikiran ilmu-ilmu keislaman yang telah
dibawa oleh, diantaranya Imam Syafi’I, Al- Ghazali, Ibnu Khaldun, Syah
Waliyyullh dan Muhammad Iqbal. Elemen dan aktivitas ini merupakan dampak
yang ditimbulkan dari ide-ide yang dikembangkan oleh Al-Attas, meskipun dia
mungkin tidak setuju dengan perincian
implementasi gagasannya secara
keseluruhan. Disamping itu, perkembangan intelektualitas dan spiritualitas beberapa
tokoh politik dan intelektual Malaysia sekarang, seperti Dato’ Seri Anwar Ibrahim,
Osman Bakar, Sidek Fadil, Muhammad Affandi Hasan, dan Fuad Hasan bisa
dikatakan sangat dipengaruhi ajaran dan tulisan al-Attas. Melaluinyalah kalangan
109
Al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat h.iii
94
terdidik Malaysia diperkenalkan kepada sarjana-sarjana, seperti Ismail Al-Faruqi
dan Sayyed Husein Naser110.
Menghidupkan kembali konsepsi ilmu menurut perspektif Islam, yng diikuti
dengan penyebaran dan penerapannya yang tepat dan efektif, akan memberikan
kontribusi yag rill dalam upaya mengembalikan agama Islam sebagai sebuah al-Din
yang, sebagaimana disebutkan al-Attas dalam pelbagai tulisannya, tidak hanya sarat
dengan muatan-muatan keruhanian, tetapi juga, sebagai akibat dari aspek keruhanian
itu, datang sebagai sebuah peradaban yang luhur. Sebagaimana yang sering
disampaikannya dalam aktivitas ceramah malam minggu ( Saturday Night Lecture)
di ISTAC sejak 1991, peradaban Barat modern perlu meninjau kembali cara-cara
dialognya dengan Islam, karena hanya peradaban Islamlah yang bisa menjadi cermin
sejati dan berguna bagi Barat, yang dengannya mereka bisa melihat kesalahankesalahan mereka bahkan bisa dijadikan sandaran untuk keluar ranjau-ranjau tragedi,
kehampaan, dan penderitaan hidup yang berkepanjangan yang sekarang masih
menyelimuti mereka.
110
Al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat h. 65
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana yang telah diuraikan pada babbab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Al-Attas adalah seorang ilmuwan muslim kontemporer yang menguasai pelbagai
disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat, metafisika, sejarah sastra dan kaligrafi.
2. Ilmu tidak didefinisikan secara hadd, tetapi hanya didefiniisikan secara rasm,
karena ilmu bersifat tidak terbatas (limitless) dan tidak memiliki ciri-ciri
yang spesifik.
3. Menurut al-Attas, pada hakikatnya semua ilmu pengetahuan berasal dari Tuhan
yang ditafsirkan oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, yaitu melalui.
Panca indera, akal sehat, berita yang benar, dan intuisi. Dengan demikian,
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia merupakan hasil tafsiran terhadap
pengetahuan Tuhan. Ilmu tersebut dapat diperoleh melalui dua cara:
pertama, sebagai sesuatu yang datang dari Allah swt, bisa dikatakan bahwa
ilmu itu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau objek ilmu kedalam
jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif
dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada makna
sesuatu atau objek ilmu.
4. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu kedalam dua kelompok, yaitu ilmu iluminasi
(ma’rifat) dan ilmu sains. Ilmu iluminasi merupakan ilmu fardhu ‘ain.
96
Sedangkan ilmu sains teramsuk kelompok ilmu fardhu kifayah. Klasifikasi
ini tidaklah statis, tapi dinamis yang dapat disesuaikan dengan kemampuan
intelektual dan spiritual serta kebutuhan masyarakat. Disamping itu,
klasifikasi ini juga akan membantu mengarahkan pendidikan untuk lebih
jujur, praktis, dan lebih bermakna.
5. Tantangan terbesar Umat Islam saat ini adalah tantangan terhadap pengetahuan
yang ditransformasikan oleh Barat keseluruh dunia termasuk dunia Islam.
Pengetahuan Barat tidak semestinya diterapkan didunia Islam begitu saja,
karena pengetahuan itu telah kehilangan maksud yang sebenarnya sebagai
akibat dari pemahaman yang tidak adil, ia juga telah menyebabkan
kekacauan tiga kerajaan alam; satwa, nabati, dan tambang, bukannya
mendatangkan perdamaian dan keadilan.
6. Ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai (netral), tetapi sarat nlai yang dapat
dipengaruhi dan disusupi oleh nilai-nilai budaya, agama, psikologis,
pengalaman, pandangan dunia pelaku. Oleh karena itu, intuk membersihkan
ilmu pengetahuan kontemporer dari nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Ilam
yang terkandung dalam ilmu, al-Attas menawarkan strategi yang disebut
dengan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Islmaisasi ilmu dalam
dalam konsep al-Attas hanya ditujukkan kepada ilmu pengetahuan
kontemporer saja, sebab turats Islamyy telah diislamkan oleh para
cendekiawan muslim yang memiliki otoritas pada zaman dahulu, seperti;
yang telah dilakukan oleh Imam Al-Ghazali terhadap filsafat.
97
7. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang diformulasikan oleh al-Attas
merupakan “revolusi episthemologi” sebagai jawaban terhadap krisis
epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam akan tetapi juga
budaya dan peradaban Barat. Dalam operasionalisasi gagasan ini melibatkan
dua langkah, yaitu; pertama, mengenali dan memisahkan unsur-unsur yang
dibentuk oleh budaya dan peradaban Barat, kemudian dippisahkan dan
diasingkan dari tubuh pengetahuan modern, khususnya dalam pengetahuan
humaniora. Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dari konsep kunci
kedalam setiap cabang ilmu pegetahuan mas kini yang relevan. Proses
Islamisasi ilmi pengetahuan kontemporer ini tidakah mudah, menurut orangorang yang terlibat didalamnya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang
mendalam terhadap peradaban Islam dan Barat.
8. Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer bukanlah suatu evolusi tetapi
pengembalian manusia kepada fitrahnya. Artinya Islamisasi ilmu ini dapat
melindungi manusia khususnya umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar
dan menyesatkan yang dapat menimbulkan kerusakan terhadap kehidupan
umat manusia.
B. Saran-saran
Sebagai upaya untuk mensukseskan usaha “Mega Proyek” Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer, penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Kepada cendekiawan
yang berinteraksi
dengan
filsafat
ilmu,
penulis
menghimbau untuk beroartisipasi dalam menyambut, memahami, dan
mengembangkan mega proyek Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer
98
sebagaimana yang telah digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Karena islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer sangat penting sekali,
untuk menyelamatkan umat Islam dari nilai-nilai yang bertentangan dengan
Islam.
2.
Kepada pihak Universitas Islam yang notabene Lembaga Pendidikan Tinggi
Islam yang terlibat langsung dalam upaya besar gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer, diharapkan mampu menjadi “motor” dalam
melakukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Memang saat ini
sudah ada upaya kearah itu, seperti mengadakan seminar tentang reintegrasi
ilmu agama dan umum, penerbitan buku, dan sebagainya. Akan tetapi usaha
tersebut harus lebih ditingkatkan lagi dengan memformulasikan model
“Pendidikan Integral” antara ilmu agama dan ilmu umum dalam
penyelenggaraan pendidikan di UIN yang mampu menghilangkan nuansa
pendidikan dikotomis.
3.
Untuk mensukseskan Mega Proyek ini juga tidak dapat dipisahkan dari
pengaruh Political Will, sebab ia melibatkan institusi pendidikan dibawah
kendali pemerintah yang berkuasa. Reformasi pendidikan yang selama ini
cenderung bernuansa politis sudah saatnya dihilangkan, kemudian lebih
diarahkan kepada kebijakan pendidikan yang mendukung pembangunan
epistemologis yang sesuai dengan pandangan hidup Islam. Disamping itu,
untuk merealisasi program ini membutuhkan banyk tenaga dan waktu, sudah
pasti akan menelan biaya yang tidak sedikit, maka bantuan pemerintah dan
organisasi-organisasi besar sangat dibutuhkan.
99
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Ismail Fajrie, Konsep Ilmu dalam Islam. Jakarta: Diwani Publissing,
2006
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam.
Bandung: Mizan, 1994.
________________,
Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur:
ISTAC, 2001
________________, Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan, 1995, cet.
Ke-2
________________, Aims and Objectives of Islamics Education. Jeddah:
Hodder and Stoughton, King Abdul Azis University, 1979
________________, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and
Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam.
Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, cet. ke-2.
al-Faruqi, Ismail Rajie, Tawhid: Its Implication for Thought and Life,
diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Tauhid. Bandung: Pustaka,
1995, cet. Ke-2.
Assegaf, Abdur Rahman, Membangun Format Pendidikan Islam di Era
Globalisasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004. cet. Ke-1
Bachtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, cet.
Ke-2.
Barker, Anton dan Zubair, Charris, Ahmad, Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogya: Kanisius, 1990
Bakar, Osman, Tawhid and Science: Essay on the History and Philosophy of
Islamic Science diterj. Yulianto Liputo, Tauhid dan Sains: Essay
Tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Bandung: Pustaka
Hidayah, 1994, cet. Ke-1
Daudy, Ahmad, Segi-segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1984, cet. Ke-1
Fauzi, Ahmad, Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia, 1991. cet. Ke-2
100
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung, Mizan,
1998. cet. Ke 10.
Hasbullah, Muflich, Proyek Islamisasi Sains: Dekonstruksi Modernitas dan
Rekonstruksi Alternatif Islam. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000. cet.
Ke-1
Isha, Manshur, Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka
Utama, 2001. cet. Ke-1
Keraf, Sony dan Dua, Mikhael, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan
Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001, cet. ke-1
Kartanegara, Mulyadi, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999
Lathief, Yudi dan Ibrahim, Subandi, Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat
Pasca Modern. Jurnal ‘Ulumul Qur’an, no.3. Vol. V, 1994
Khuza’I, Rodhiyah: Dialog Epistemologi Muhammad Iqbal dan Charles S.
Peirce. Bandung: PT. Refika Aditama, 2007
Keddie, Nikki R, (ed), Scholar, Sains and Sufisme: Muslim Religion
Institution in The Middle East Since 1500. Berkeley dan Los Angeles,
1972.
Mahdi, Muhsin“ Religious Belief and Scientific Belief”, The American
Journal of Islamic Social Science jil. 11, no.2, musim panas 1994
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999
Mizan, Syaiful, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad
Naquib al-Attas. Dalam Jurnal Al-Hikmah no.3. 1991.
Mughal dan Rais, Amien, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta.
Bandung: Mizan. 1990
Mulyanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Ulumul Qur’an. No. 9, Vol II/
1991.
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006
101
Nasser, Seyed Husein, Islam dan Krisis Lingkungan. Terj. Al-Abbas AlJauhari dan Ihsan Ali Fauzi. Jurnal Islamika. No,3. 1994
Nowothny, Helga, Knowledge Without Science. Science Without Knowledge.
The Touch of Midas. Mancester University Press, 1984.
Nata, Abudin, et, al, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2003, cet. Ke-1
Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap Perkembangan Modern. Jakarta:
P3M, 1985.
Qadir, C.A, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2002.
Qomar, Mujammil, Epistemologi Pendidikan Islam, Dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik. Surabaya: Erlangga, 2005.
Rahman, Fazlur, The Philosophy of Mulla Shadra. Albany, Newyork: Sunny
Press, 1975.
____________, “ Some Reflection on the Recontruction of Muslim society in
Pakistan”, Islamic Studies, jil.6, no.2, juni 1967.
Saefuddin, AM, Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung:
Mizan, 1990
Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-Parameter Sains
Islam, editor dan terj. Ae Priyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Rauzz
Media, 2005, cet. Ke-1
Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992
Sumantri, Jujun.S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1990, cet. Ke-VI
Sholeh, A. Khudhori, Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004. cet, ke-1
Sholeh, Munawwar, Cita-cita Realita Pendidikan, Pemikiran dan Aksi
Pendidikan di Indonesia. Depok: Institut For Public Education, 2007.
cet. Ke-1.
102
Suseno, Frans Magnis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme ke Utopis
Perselisiham Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004, cet.
Ke-1
_____________, Filsafat Umum. Akal dan Hati, sejak Thales sampai Capra.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002
Usa, Muslih, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta.
Jogjakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1991.
Wan Daud, Nor Wan Mohd, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
Muhammad Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan, 2001, cet. Ke-1
Zubaedy, Islam: Benturan dan Antarperadaban. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2007. cet ke-1
Download