1 “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas”. Oleh : Abdul Gofur NIM : 104011000083 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1429 H/2008 M “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas”. 2 Skripsi : Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat-syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Strata I Dalam Bidang Pendidikan Agama Islam Oleh : Abdul Gofur NIM : 104011000083 Dibawah Bimbingan : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA NIP : 150222550 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1429 H/2008 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Pencipta alam semesta, Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah 3 dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang penulis ajukan adalah: “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas)”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW semoga tercurah pula kepada keluarga dan pengikutnya yang menjadi Pendidik umat manusia. Penullis sangat menyadari keterbatasan kemampuan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, juga penulis menyadari bahwa setiap manusia pasti sangat memerlukan bantuan dari sesamamnya. Oleh sebab itu dengan ketulusan hati dan kerendahan hati ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada semua yang telah membantu penulis, antara lain: 1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Abdul Fattah Wibisono, MA, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Drs. Syafiudin Siddiq, sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta 3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Dosen Pembimbing utama Penulis dalam menyelesaikan skripsi, yang telah meluangkan waktu dan pikiran disela-sela kesibukannya untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Orang tuaku yang tercinta, Ibunda Hj. Aisyah dan Ayahanda H. Rochmani yang dengan sabar memberikan dukungan moril maupun materil, dan kepada saudarasaudaraku yang tercinta. 5. Sahabat dan teman-temanku dari jurusan PAI angkatan 2004, Humaidi, Amin Rahman, Faishil Qibthiyah, Melati Triksiana, khusus kepada Muhammad Muyasser yang telah membantu dengan memberikan perhatian serta memberikan bantuan moril, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan 6. Kepada teman-teman Nurul Hikmah yang mau menemani berdiskusi di waktu senggang untuk sekedar “memuntahkan” unek-unek akibat banyak buku yang diacak-acak, sehingga skripsi ini terselesaikan. 4 Akhirnya hanya kepada Allah Jualah penulis berharap dan memanjatka do’a semoga amal baik semua pihak da termasuk daripada Shodaqoh Jariyah yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini senantiasa mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT, dan semoga ilmu yang penulis dapatkan termasuk ilmu yang bermanfa’at. Amien Ya Rabbal ‘Alamin Jakarta, 20 Agustus 2008 5 DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………...….….. 1 A. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ……………………………..……...13 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………..….……. 15 C. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian …………………………………………………...15 2. Sumber Data …………………………………………...………....16 3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ……………………....…16 4. Pedoman Penelitian ……………………………………………....17 D. Sistematika Pembahasan ……………………………………………... …17 BAB II : OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS A. Riwayat Hidup dan Kariernya …………………………….……………18 B. Situasi Sosial Keagamaan ………………………………….……………20 C. Karya-karya Intelektualnya ……………………………………….…….26 BAB III : PARADIGMA ISLAMISASI ILMU A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu ……………………............……32 B. Ruang Lingkup Islamisasi Ilmu………………………………………….36 1. Klasifikasi Ilmu………………………………………………….. 38 2. Sumber Ilmu………………………………………………………46 3. Metode Ilmu………………………………………………………47 C. Faktor Pendukung dan Penghambat Islamisasi Ilmu…………………….53 6 BAB IV : PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DALAM MENJAJAKI KEMUNGKINAN ISLAMISASI ILMU A. Latar Belakang Tujuan…………………………………………………..55 B. Konsep Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas……………70 C. Karakteristik Islam dan Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas………83 D. Pengaruh Islamisasi Naquib al-Attas Terhadap Pendidikan……………..89 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………………93 B. Saran-saran……………………………………………………………….94 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..95 7 BAB I PENDAHULUAN E. Latar belakang masalah Terdapat Fenomena menarik mengusung abad ke-21, kemajuan peradaban Barat menjadi suatu kiblat utama peradaban bangsa lain. Kemajuan teknologi tak terbatas jangkaunnya. Barat menjadi ikon kemajuan peradaban abad 21, kemajuan peradaban Barat tidak disertai dengan nilai-nilai pada aspek pendidikan, pemaksaan hak akan negara lain tentang suatu model negara terlihat pada penyerbuan besar-besaran negara Adidaya bersama para sekutunya terhadap negara kecil penghasil minyak, pemaksaan ideology menjadi model utama baik itu bermadzhab sosialis komunis, kapitalis, bahkan agamis, ideology diperankan sebagai mesin kekuatan yang diharapkan dapat mengangkat martabat para pengusung ideology mereka, satusatunya perahu yang dapat mengantarkan pada tujuan yaitu tentang konsepsi pendidikan. Aneka panorama ini pada satu sisi mengikuti pendapatnya Zeno pada 2500 yang lalu bahwa seluruh benda_ baik benda yang hidup maupun yang mati_ bergerak kepada arah kehancuran sedangkan pada sisi lain bahwa neraca pendidikan tak jelas arahnya pada satu ideology yang di tawarkan oleh negara-negara maju, hal ini berimplikasi pada apakah sesungguhnya konsep pendidikan yang sesuai tujuan utama penciptaan manusia dimuka bumi ini sebagai Kholifah Fil ‘ardhi. Selain daripada itu pendidikan yang bermutu merupakan wahana SDM yang mampu menerapkan, mengembangkan dan menguasai IPTEK dengan tetap dilandasi nilai- 8 nilai agama, moral dan budaya luhur bangsa, sedangkan kualitas SDM terbukti menjadi factor cerminan kemajuan suatu bangsa1. Pendidikan memiliki andil yang sangat besar dalam membangun suatu peradaban yang luhur. Dilihat dalam segi obyek formalnya, pendidikan memang menjadikan sarana kemampuan manusia untuk dibahas dan dikembangkannya. Dalam persoalan kemajuan pendidikan dan umat, kemampuan manusia ini harus menjadi perhatian utama, karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian pendidikan berhubungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia yang belakangan ini diyakini lebih mampu mengalahkan kemajuan peradaban daripada sumberdaya alam. Ada banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi potensi sumberdaya manusianya besar mampu mengalahkan kemampuan negara yang sumber alamnya besar tetapi sumber daya manusianya kecil seperti Indonesia. Nilai-nilai etika sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan, keurgensian reinternalisasi nilai-nilai pendidikan sudah tidak lagi melahirkan manusia yang ‘’baik’’, tetapi justru melahirkan destroyer bagi kesejahteraan umat manusia dan alam semesta. Mungkin karena fenomena ini Mangunwijaya (Tholkhah,2004:129 )mengatakan bahwa ‘’ ……. Apa guna kita memiliki seribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi masyarakat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka……… Di dalam kacamata sejarah, umat Islam pernah mencapai masa keemasan peradaban ditandai dengan kemajuan diberbagai aspek, ekonomi, sastra, politik, geografi yang menjadi sentral peradaban, penyerapan ilmu-ilmu yang berkembang 1 Manshur Isha, Diskursus Pendidikan Islam. ( Yogyakarta : Global Pustaka Utama 2001) cet I, hal 1 9 diIslamisasikan menjadi ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, perhatian para penguasa terhadap pendidikan mengantarkan peradaban umat Islam tak tertandingi, dan banyak melahirkan tokoh-tokoh handal sepanjang sejarah, seperti, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ibnu Rusydy, Al-Faraby, Ibnu Maskawaih dan masih banyak tokoh lainnya2. Kekalahan Islam akibat penghancuran yang dilakukan oleh Hulagu Khan terhadap kota Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1258 M mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, umat Islam seakan-akan sudah kehilangan semangat dalam menggali ilmu pengetahuan umum yang bersifat ilmiah. Pembahasan-pembahasan serius dalam bidang kebudayaan (sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para Ilmuwan yang hidup pada zaman kejayaan peradaban Islam, hilang tak membekas. Kemiskinan intelektual ini tidak bisa pulih, meskipun terdapat penyatuan kembali hampir seluruh wilayah Islam pada abad ke-16 dibawah dinasti Turki Utsmani. Penguasa baru ini sama sekali tak mampu melindungi kebudayaan Islam yang luhur, kendatipun dibatas wilayah-wilayah kekuasaanya sendiri. Sementara itu sistem pendidikan dalam periode ini, sebagaimana dilaporkan oleh Nikki R. Keddie, dikuasai oleh para pemimpin agama, yaitu Ulama3. Kondisi seperti ini berlangsung sangat lama, sehingga pendidikan Islam berada dalam keterbelakangan. Pendidikan Islam tidak lagi memberikan perspektif 2 C.A.Qadir Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta,Yayasan obor Indonesia,2002) h.75 3 Nikki R. Keddie (ed), Scholars, saints and Sufism: Muslim Religioon Institutions in The Middle East Since 1500, (Berkeley dan Los Angeles, 1972) bab I. 10 masa depan yang cerah. Keadaan demikian berlaku di semua negara Islam. Beriringan dengan masa ini, negara-negara Islam sedang menjadi obyek jajahan bagi bangsa Eropa, sementara itu Napoleon mendarat dimesir pada tahun 1798 M. Namun, ekspedisi ini datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang, tampaknya kedatangan Napoleon ini direspon oleh para pemikir Islam dengan perlawanan baik fisik maupun intelektual4. Umat Islam setelah mengalami masa kejayaan, memasuki masa-masa kemunduran, hal ini diakibatkan banyak faktor tetapi faktor yang paling mendasar ialah kurangnya perhatian para penguasa pada pendidikan, umat Islam mulai mengalami kerancuan berfikir yang dahulu diperankan oleh para pendahulunya, umat Islam sudah tidak lagi menggunakan rasionalitas berubah menjadi pola pikir yang cenderung eksklusif, konservatif dalam memandang kehidupannya 5, di satu sisi para penguasa tidak menggunakan nuraninya lagi dalam menjalankan pemerintahannya. Pendidikan diberbagai dunia bahkan di Indonesia hanya diartikan Transfer of Knowledge, nilai-nilai moralitas tak lagi menjadi perhatian serius, hal ini berakibat pada lahirnya robot-robot yang tak bermoral. Hilangnya sosok Nabi Muhammad saw sebagi Public Figure mengantarkan kebobrokan moral umat manusia mencapai klimaksnya. 4 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik,( Surabaya, Erlangga. 2005) hal. 209 5 Poeradisastra, Sumbangan IslamTerhadap Perkembangan Modern. (Jakarta, P3M,1985) h.35 11 Dalam hal ini Syed Muhammad Naquib al-Attas berkomentar bahwa pengalaman keruntuhan dan perpecahan kekuatan dan masyarakat Islam membuat masyarakat Islam, terutama tokoh reformernya, menilik kembali konsep-konsep Ibnu Khaldun tentang Ummah dan Negara dalam Islam sehingga sebagai usaha dikerahkan kepada pembangunan kembali konsep-konsep tersebut. Dengan demikian, perhatian terhadap konsep-konsep individu dan peranan yang dimainkannya dalam mewujudkan dan membina umat dan negara Islam dan membina umat dan negara Islam itu sudah terabaikan sama sekali. Namun, bagaimana suatau umat dan negara Islam dapat dibangun dan ditegakkan sementara umat Uslam secara individual, yang menjadi sel-selnya, berada dalam keadaan bingung dan tidak mengerti apa-apa tentang Islam dan ajaran-ajarannya? 6 Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia tak terlepas dari pendidikan dalam aspek epistemology ilmu yang telah di bangun oleh para pakar pendidikan baik ahli di Barat maupun di timur. Epistemologi secara umum dapat diartikan dengan filsafat yang membahas tentang pengetahuan. Banyak hal menarik yang dibahas dalam epistemology, seperti apakah seputar akal atau indera yang menjadi alat utama untuk mendapatkan pengetahuan atau dalam bentuk pertanyaan lain apakah pengetahuan yang shohih, semata-mata dihasilkan dari hasil logika atau observasi ketat saja. Epistemologi Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang sangat dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lainnya. Bahkan sesungguhnya seluruh planet ini dibentuk dengan citra manusia 6 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, [Ed.], Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah : Hodder and Stoughton, King Abdul Aziz University, 1979), hal 5-6 12 Barat, imperalisme tersebut menunjukkan tanda-tanda akan terus merambah, jika hal ini dibiarkan, maka perilaku utilitarinisme, hedonisme, sekulerisasi bahkan cara pandang materialisme akan melanda masyarakat muslim dan hal ini sebahagiannya disebabkan oleh factor-faktor epistemologis. Selain itu epistemologi Barat cenderung mengarah kepada authopocentris, artinya epistemologinya didasarkan pada tradisi budaya yang dikuatkan kembali melalui premis-premis filosofis ketat berdasarkan pada spekulasi-spekulasi yang hanya di dasarkan yang hanya mencakup hazanah sekuler atas manusia sebagai entitas fisik7 dan hewan rasional dengan menggantungkan diri pada kemampuan intelektual manusia untuk menyingkap materi dan lingkungan eksistensinya sehingga nilai moral dan etisnya menjadi penuntun dan pengatur, tidak ada kepastian dalam proyeksi pandangan dunia dan pengarahan kehidupan mereka, dikarenakan nilai-nilai pengetahuan mereka selalu bergantung pada tinjauan dan perubahan akal semata8.bahkan tokoh sekaliber Sigment Freud meyakini bahwa eksistensi diluar relitas adalah ilusi atau non sense, bahkan menurut lingkaran Wina, jika tidak diverifikasi secara empirik Tuhan hanyalah hipotesis yang tak diperlukan dalam kerja ilmiah. Epistemologi Barat yang digencarkan oleh Rene Descartes yang mengarah kepada antroposentrisme. Ungkapan Rene Descartes, menurut Mujammil Qomar, bahwa saya pikir saya ada tidak semata-mata menunjukkan pemberdayaan potensi manusia, tetapi ungkapan itu sekaligus berusaha untuk membalikkan kondisi dan 7 Yudi Lathief dan Subandi Ibrahim. Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat pasca Modern.Jurnal Ulumul Qur’an No 3 Vol V,1994,h.77, Lihat pula Mulyadi Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan.Pengantar Epistemologi Islam ( Bandung, Mizan, 2002,Cet.I) h.8-15 8 Seyyed Hussei Naser, Islam dan Krisi Lingkungan,Terj. Abbas al-Jauhari dan Ihsan Ali Fauzi, dalam jurnal islamika, no 3 januari- maret. 1994.h.10 13 tradisi sebelumnya yang mendasarkan kebenaran pada sumber-sumber kekuasaan diluar manusia, seperti kekuasaan gereja, kitab suci, tradisi atau negara. Pada Descartes yang kemudian diikuti oleh para filosof dan ilmuwan berikutnya manusia diangkat derajatnya pada posisi yang menentukan sesuatu kebenaran. Manusia berdasarkan “Ijtihad’’ pemikirannya dapat membuat kriteria sendiri untuk mengukur dan menentukan kebenaran. Manusia berdasarkan kewenangannya itu, tidak perlu lagi menunggu petunjuk-petunjuk yang datang dari luar kekuatan dirinya hanya untuk menentukan kebenara, apalagi kebenaran pengetahuan. Perkembangan ilmu yang begitu pesat telah melahirkan berbagai teknologi sering factor manusia terabaikan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun manusianyalah yang seharusnya menyesuaikan diri dengan teknologi, dewasa ini, ilmu bahkan diambang kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi9. Pada tahap inilah masalah moral muncul kepermukaan, jika dalam masalah kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka pada tahap praksis inilah masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filosofis dapat dikatakan, dalam tahap pembangunan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan10 9 Rodhiyah Khuza’i, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S.Peirce.(Bandung. PT. Refika Aditama. 2007) hal.45 10 Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, cet. VI. 1990) hal. 234 14 Hegemoni Barat terhadap terknologi Barat atas negara-negara diseluruh dunia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan kehidupan masyarakat. Mereka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola pemikiran dari sains Barat, sehingga cara-cara pemikirannya, cara pandangannya dan persepsinya terhadap sains dan hal-hal terkait yang menjadi implikasinya menjadi terBaratkan. Dalam konteks sejarahnya, bahwa saints Barat modern dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola pikir yang berlawanan dengan tradisi pemikiran agama, (Kristen) sebagai antitesis. Misi yang paling mencolok yang disisipkan kedalam sains Barat modern itu adalah sekulerisasi, konsep sekulerisasi disosialisasikan dan dipropagandakan sedemikian rupa dikalangan para ilmuwan, mahasiswa, pelajar, kelompok-kelompok ilmuwan lainnya, dan masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pembenaran-pembenaran secara ilmiah. Pada akhirnya, konsep sekulerisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini publik pada tingkat global. Ada beberapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat penerapan sekulerisasi pengetahuan Barat modern itu. Mereka adalah kelompok yang berpegang teguh pada ajaran yang yang tingkat kebenarannya absolut dan memiliki ikatan moral dengan ajaran agamanya, terutama masyarakat muslim. Ketika mengikuti arus perkembangan sains modern Barat, mereka secara sadar maupun ‘’terpaksa’’ harus menggantikan nilai-nilai religius mereka dengan nilai-nilai sekuler yang sangat bertentangan dengan ajaran agamanya yang selama ini agama Islam dipedomani sebagai satu-satunya jembatan yang dapat mengantarkan umat manusia 15 untuk selamat dunia dan akhirat, dan juga agama sebagai basic bangunan ilmu pengetahuan, kondisi inilah yang menjadi perhatian muslim, sebab dapat membahayakan keimanan (akidah) Islam termasuk tokoh Muslim abad modern Syed Muhammad Naquib al-Attas serta R.Isma’il al-faruqi. Berhadapan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi, para ilmuwan terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang menghendaki, bahwa ilmu itu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada penggunaannya. Kedua, netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan pada penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan pada asas-asas moral11. Agama sebagai basis epistemology satu hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Terlebih lagi sumber ajaran Islam, Al Qur’an dan Sunnah mengajarkan untuk mencari Ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat kata al-‘Ilmi dan katakata jadiannya sebanyak 780 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kajian ilmu dalam agama (Islam). Islam agama yang memacu umatnya untuk terus secara berkesinambungan untuk belajar dalam memahami pendidikan, terdapat makna utama antara lain yaitu12 : Ta’dib, salah satu konsep kunci utama yang merujuk pada hakikat dari inti makna pendidikan adalah istilah ta’dib yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap 11 Jujun S. Sumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. hal. 235 Mujammil Komar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Hal 104 12 16 dapat mewakili makna utama pendidkan Islam. Istilah ini menurut Naquib al-attas sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam. Adab adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniyah, intelektual dan ruhaniyah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai dengan tingkat derajatnya. Dalam adab akan tercermin keadilan dan kearifan. Adab meliputi kehidupan material dan spiritual. Adab juga bermakna undangan kepada perjamuan yang bisa membawa kepada kenikmatan ruhaniyah, adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa, tindakan yang betul dan aspek kehormatan. Penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan ilmu dan amal serta adab secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dalam kenyataannya adalah ta’dib, karena adab sebagaimana didefinikasikan mencakup ilmu dan amal sekaligus.13 Prof. Dr. H. Abudin Nata berpendapat mengenai akar kata pendidikan didalam Islam yang bersumberkan dari al-Qur’an bahwa selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim, kata ini oleh para penerjemah sering diartikan pengajaran14. Dalam hubungan ini jusuf A faisal, pakar dalam bidang pendidikan mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar kata) sering digunakan istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata ‘allama dan rabba yang dipergunakan didalam al-Qur’an, sekalipun kata tarbiyah lebih luas konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik sekaligus mengandung makna mengajar (‘allama).selanjutnya Faisal megutip 13 Muhammad al-Naquib al-attas, Konsep Pendidkan dalam Islam ( Bandung,: Mizan,1994) hal. 52-60 14 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta, PT Wacana Ilmu Logos, 1997) hal.5 17 pendapat Naquib Alatas dalam bukunya yang berjudul Islam and Seculerism yag mengatakan bahwa selain kata tarbiyah dan ta’lim sebagaimana tersebut diatas terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yag berarti susunan15 Istilah ini dalam kaitannya dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib merupakan istilah yang sangat tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia16, disamping alasan makna kebahasan lainnya. Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran yang absolut. Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm, karena memiliki dua komponen. Pertama : bahwa seluruh sumber asli pengetahuan adalah wahyu atau al qur’an yang mengandung kebenaran yang absolut. Kedua : bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama valid; semua memiliki bagian dari satu kebenaran dan realitas-bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dua komponen ini menunjukkan, bahwa al’ilm memiliki akar sandaran yang lebih kuat dibanding sains dalam versi Barat, akar sandaran al-‘ilm justru berasal langsung dari sang maha berilmu dan sang pencipta. Tuhan yang secara teologis diyakini sebagai sang penguasa segala-galanya17 15 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an.( Bandung: Mizan, 1992) cet. Ke-2. hal156 Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ter. Karsido Djoyoswarno (Jakarta: Pustaka,1991) hal. 222 17 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. hal 105 16 18 Realitas ini selanjutnya memiliki perbedaan bobot kualitas kebenaran. Pengetahuan yang bersumber pada wahyu, sebagaimana disebut al-ilm tersebut memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi daripada sains. Keunggulan ini akan semakin kokoh dengan dukungan penggunaan metode yang valid, sehingaga pengetahuan yang dihasilkan tidak secara keseluruhan apriori terhadap wahyu, tetapi juga melalui tahapan-tahapan mekanisme kerja ilmiah. Banyak ayat al-qur’an yang berkenaan dengan fenomena alam dan secara ilmiah terbuktikan kebenarannya. Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung pada karakteristik materinya itu sendiri, apakah ia berada dalam pengalaman manusia yang empiris (sensual), rasional, atau hermeneutis. Jika karakteristik materinya adalah empiris (sensual), maka metode yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif inferensial. Jika karakteristik materinya adalah rasional/aksiomatik, maka metode analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya adalah hermeneutis, maka metode yang digunakan adalah verstehen, yakni untuk menangkap makna yang lebih dalam, sehingga diperoleh kesimpulan kasus, atau metode reflektif, yakni metode analitis yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik dengan yang abstrak18. Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam bisa menggunakan metode penelitian ilmiah (saintifik), metode penelitian filosofis ( kefilsafatan ), dan juga bisa menguinakan metode penelitian mistik ( sufistik ). Hal ini tergantung pada apa yang menjadi objek penelitian. Agaknya ilmu pendidikan Islam tidak mungkin hanya berisi ilmu (sains) pendidkan Islam, tetapi pada bagian-bagian tertentu memerlukan 18 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan. (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006 ) hal. 34 19 teori-teori filosofis, sehingga pada pengembangannya menggunakan metode penelitian filosofis. Kadang-kadang juga menggunakan teori-teori yang non empirik atau tidak terjangkau oleh logika. Sehingga perlu menggunakan metode penelitian mistik-sufistik. Menguaknya gagasan “Islamisasi Pengetahuan’’ abad modern, yang dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang dengan gencarnya mengkritik gagasan-gagasan para tokoh muslim sebelumnya yang terjebak pada konsep sekularisasi, karena menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa tantangan yang terbesar yang dialami umat bukanlah kebodohan tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh pelosok dunia oleh peradaban Barat. Hal ini sejalan dengan Isma’il Al-Faruqi (1984) bahwa system pendidikan telah dicetak dalam sebuah karikatur, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat19. Terinspirasi oleh gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, Penulis dalam menyelesaikan kelengkapan kajian ilmiah strata I, serta untuk mencapai ridho Allah SWT. Penulis mengajukan judul “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib. Al-Attas)”. 19 h.38 Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan. 20 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Permasalahasn pokok yang akan dibahas didalam penelitian ini adalah konsep Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-attas dan factor-faktor yang melatar belakangi munculnya konsep tersebut. Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya refleksi pendidikan Islam tentang Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Sebagai pijakan dalam penelitian ini akan dijabarkan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Faktor apakah yang melatar belakangi munculnya gagasan Islamisasi Ilmu? 2. Bagaimana pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas terhadap Epistemology Islam dengan Barat ? 3. Bagaimana pengaruh Islamisasi Ilmu terhadap gerakan kependidikan yang dilakukan Syed Muhammad Naquib al-Attas ? C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas 1. Untuk mengetahui gerakan kependidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas 2. Dapat menggali gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-attas Adapun Signifikansi penelitian sebagai berikut untuk : 1. Memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran pendidikan Islam di Indonesia. 21 2. Memberikan sumbangan bagi pengembangan kepustakaan Islam dan khazanah intelektual Islam Indonesia. 3. Memperoleh bahan-bahan serta cara melakukan reorientasi pendidikan, sehingga dapat dijadikan bahan-bahan perbandingan dengan reorientasi pendidikan yang dilakukan di Indonesia. D. Metodologi Penelitian. Sebagai suatu kajian terhadap pemikiran tokoh, dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan filosofos,20 yaitu pendekatan yang menggunakan argumen-argumen, pemikiran dan logika dalam analisis data. Selanjutnya karena penelitiannya terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat, sifa-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hidupnya, maka sebagai pendekatannya adalah pendekatan sejarah (historical approach). ` Adapun secara metodologis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, serta diskursus. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam pencarian data adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan cara melacak lalu menyeleksinya kemudian menelaah dan terakhir mengklasifikasi data yang ada korelasinya dengan obyek penelitian. Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi sumber primer dan sekunder dari karya-karya tulis yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang 20 Metode penelitian filosofis ini dilakukan dengan cara metodis umum yang berlaku bagi pemikiran filsafat. Selanjutnya Anton barke merinci langkah-langkah metode tersebut menjadi 12 langkah, lihat Anton barker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian filsafat (Yogya:Kanisius,1990) h.63-65 22 terdapat dalam penelitian ini baik buku, jurnal, makalah serta website yang ada hubungannya. Adapun sumber-sumber data primer, antara lain : (1) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1983), cet, ke-3. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka, 1981), cet, ke-1. (3) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet, ke-1. (4) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Prolegomena to the Methaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Elemens of The World View of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001) cet, ke-2. Adapun sumber data sekunder, antara lain, (1) Wan Mohd Nor Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-attas (Bandung: Mizan, 2003), cet, ke-1. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Risalah untuk kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001). Adapun untuk menganalisis data, digunakan metode analisis isi (Content Analysis). Analisis isi disini dimaksudkan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan. E. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam proposal skripsi ini, penulis membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing terdiri dari sub-bab, yaitu sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, metodelogi penelitian, dan sistematika pembahasan. 23 Bab II : Otobiografi Syed Muhammad Naquib Al-attas, meliputi riwayat hidup dan karier hidup serta karya-karyanya. Bab III : Paradigma keilmuan, meliputi pengertian dan tujuan Islamisasi Ilmu, Ruang lingkup Islamisasi Ilmu, factor pendukung dan penghambat Islamisasi Ilmu. Bab IV : Menjajaki kemungkinan Islamisasi Ilmu,meliputi: latar belakang tujuan, konsep Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas, konkluvistik Islamisasi Ilmu Naquib al-Alatas, Pengaruh Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas terhadap Pendidikan. Bab V : Penutup, Kesimpulan dan Saran. 24 BAB II OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS A. Riwayat Hidup dan Kariernya Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 september 1931 M. nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas silsilah keluarganya melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’lawi di sampai kepada Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW21. Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman) diantara leluhurnya ada yang menjadi ulama’ besar, yaitu Syed Muhammad ‘Alaydrus(dari silsilah Ibu), guru dan pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba Syaiban yang berhasil mengantarkan Nur al-Din al-Raniri, seorang Ulama terkemuka di dunia melayu- ke tarekat Rifa’iyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib al-Attas, yaitu Syarifah Raguan A, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan-keturunan dari raja-raja Sunda Sukaparna22. Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan cucu dari seorang wali yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas, yang sangat terkenal tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab, neneknya Ruqoyyah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid. Adik Sultan Abu Bakar johor( W. 1895) yang menikah dengan adik Ruqoyah Hanum, Khodijah. Yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah menikah untuk Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, ( Bandung, Mizan,2003) cet. Ke-1, h. 45 22 Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib alAttas’’ dalam jurnal al-hikmah. ( No.3 edisi Juli – Oktober 1991 ), h.90 25 kedua kalinya dengan syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali al-Attas, yaitu bapak dari Syed Muhammad Naquib al-Attas. Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli Sosiologi dan mantan Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid seorang Insinyur kimia dan mantan Dosen Institut Teknologi MARA. Sepupu Neneknya dari pihak ayah, bernama Ungku Abdul Aziz – anak dari Ungku Abdul Madjid – berasal dari keluarga bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk Onn Jafar, ayah dari Datuk Hussein Onn yang merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia dan tokoh pendiri sekaligus Presiden pertama UMNO (United Malaya National Organisation), yaitu sebuah Partai Politik yang menjadi tumpuan kerajaan Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris. Melihat latar belakang keluarga al-Attas yang telah penulis ketengahkan, Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah sosok yang dapat dikategorikan yang tergolong berdarah biru, yang bukan berasal dari keluarga biasa secara sosio kultural, akan tetapi dari golongan ningrat, didalam dirinya mengalir tidak hanya darah biru tetapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam hirarki spiritualitas Islam, yakni keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang diajarkan dalam ajaran tasawuf. 26 B. Situasi Sosial Keagamaannya Dalam usia yang relatif muda al-Attas telah mendapatkan pendidikan dari keluarganya, dari keluarga yang berasal dari Bogor. Ia memperoleh pendidikan dalam Ilmu- ilmu keislaman. Sedangkan dari keluarganya yang berada di Johor, ia memperoleh pendidikan kesusastraan , bahasa dan budaya Melayu. Tampaknya kedua orang tuanya menginginkan al-Attas untuk mendalami ilmu di Negeri Jiran Malaysia. Disinilah ia mendapatkan pendidikan dasar di Ngee Primary School (1936-1941)23. Namun pada pertengahan tahun 1940-an Jepang menduduki Malaysia, alAttas kembali dikirim ketanah air tempat beliau dilahirkan untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah al’Urwatul Wutsqo, Sukabumi, belajar Bahasa Arab dan agama Islam. Setelah perang Dunia ke II tepatnya pada tahun 1946, al-Attas kembali ke Malaysia melanjutkan kembali pendidikannya dibukit Zahroh School dan selanjutnya di English College ( 1046-1951). Selama menyelesaikan pendidikannya, al-Attas tinggal bersama pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz ibn Ungku Abdul Madjid. Pamannya ini yang mempunyai perpustakaan yang sangat bagus, terutama manuskrip sastra dan kesejarahan Melayu. Fasilitas perpustakaan ini tidak disia-siakan oleh al-Attas. Beliau banyak menghabiskan masa mudanya untuk membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip yang tersedia diperpustakaan tersebut. Lingkungan intelektual inilah yang kemudian 23 Syaidul Muzani, Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, h.91 27 banyak mempengaruhi pola pikir, tulisan dan tutur bahasa al-Attas dikemudian hari. Pada tahun 195 setelah al-Attas selesai menyelesaikan pendidikannya di Englis college. Ia kemudian masuk dinas militer dan karena prestasinya yang sangat mengagumkan ia berkesempatan mengikuti pendidikan militer di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris, Inggris (1952-1955). Selama di Inggris, ia menyempatkan diri untuk memahami aspekaspek yang memahami aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris24. Setelah selesai mengikuti pendidikan militer di Sandurst, al-Attas ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Malaya, yang pada saat itu disibukkan oleh perlawanan kaum komunis yang bersarang dihutan. namun, tampaknya jiwa intelektualnya telah mendarah daging didalam dirinya, sehingga ia mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia kemiliteran dan menjatuhkan pilihan pada dunia akademik, walaupun pada saat itu ia telah berpangkat Letnan. Karier akademiknya setelah keluar dari dinas militer, ia masuk ke Universitas of Malay, Singapura, 1957-195925. ketika di Universiatas ini kecemerlangan intelektualnya kembali terbukti, dengan menulis dua buah buku. Buku yang pertama adalah Ruba’iyat. Sedangkan buku yang kedua adalah some Aspects of shufism as Understood and practised Among the Malays, yang 24 Syaidul Muzani. Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, H. 25 A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar), cet.ke- 92 1, h. 251 28 diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada 1963, buku yang kedua ini sangat bagus, sehingga ia mendapatkan tawaran beasiswa oleh pemerintahan Kanada melalui Canada Council Foollowship untuk belajar di Institud of Islamic Studies, Universitas McGill, Monteral Kanada, Kesempatan itu ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kurun waktu 3 tahun ia berhasil meraih gelar M.A. setelah tesisnya yang berjudul Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, selama di Universitas McGill, al-Attas banyak berkenalan dengan pemikir-pemikir dunia, seperti : Fazlur Rahman, Sir Hamilton Gibb, Syed Husein Naser, dan Toshihiko Izutsu. Karier akademik al-Attas tidak hanya berhenti di Universitas McGill, akan tetapi, al-Attas kemudian menempuh program doktor di School of Oriental and African Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum Orientalis26. Disini al-Attas menekuni teologi dan metafisika dan menulis disertasi dengan judul The Mysticm of Hamzah Fanshuri yang juga lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Sekembali dari London pada tahun 1965. al-Attas langsung dilantik menjadi ketua jurusan sastra di fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Dari tahun 1968-1970, al-Attas menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra dikampus yang sama. Kariernya terus menanjak dan dilembaga ini al-Attas berusaha menjadikan bahasa melayu sebagai pengantar Fakultas dan Universitas. Namun 26 A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.256 29 usaha itu mendapat tantangan dosen-dosen lain yang tidak sepakat dengan idenya tersebut. Pada tahun 1970 al-Attas termasuk salah seorang pendiri Universitas Kebangsaan Melayu (UKM), dan menjabat sebagai Dekan pertama dari institut bahasa, kesusastraan dan Kebudayaan Melayu di UKM. Pada tanggal 24 januari 1972 beliau diangkat profesor dalam bidang bahasa dan kesusastraan Melayu di Universitas yang sama, dengan pidato pengukuhan “ Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu” Berkat semangat dan prestasinya dalam bidang pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, sehingga beliau menerima beberapa penghargaan, diantaranya yaitu, menerima penghargaan dari pemerintah Iran pada tahun 1975 sebagai “Sarjana Akademi Falsafah Maharaja Iran” ( Fellow Of The Imperal Iranian Academi of Filosophy), penghargaan dari pemerintah Pakistan, tahun 1979, atas kajian-kajiannya yang mendalam tentang pemikiran Iqbal ( Iqbal centenary Commemorative medal), sebagai anggota American Philoshopical Assosiation ( World of Islam Festival) yang diadakan di London pada tahun pada 1976. Al-Attas telah melanglang buana keberbagai Negara, menjadi Narasumber atau peserta pada acara-acara yang bertaraf Internasional, diantaranya seperti, memimpin Komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan Islam pada Konferensi Dunia pertama mengenai pendidikan yang berlangsung di Mekkah pada tahun 1997. 30 Pada tahun 1978, al-Attas meminta UNESCO untuk memimpin pertemuan para Ahli Sejarah Islam yang diselenggarakan di Allepo, Suriah Didalam Negeri sendiri al-Attas telah menjadi Icon bagi bangsa Malaysia, karena kapasitas intelektualnya tidak di ragukan lagi, sehingga berbagai penghargaan dan jabatan juga diberikan kepada beliau, diantaranya: al-Attas dipilih menjadi ketua lembaga Tun Abdul Razak untuk studi Asia Tenggara ( Tun Abdul Razak Khair of Shouteast Asian Studiers) di Universitas Ohio, Amerika Serikat, pada tahun 1980-1982. Al-attas juga yang mendirikan ISTAC seklaligus Rektor ISTAC ( Interantional Institut of Islamic Thought and Civization), Malaysia sejak 1987. pada tahun 1993, Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai presiden ISTAC dan universitas Islam Malaysia Internasional ( International Islamic University Malaysia) menunjuk al-Attas sebagai pemegang pertama kursi kehormatan Abu Hamid al-Ghazali dalam studi pemikiran Islam ( Abu Hamid al-Ghazali Chair of Islamic Thought) di ISTAC. Kemudian pada tahun 1994 Raja Husein dari Yordania juga mengangkatnya sebagai anggota Royal Academy of Yordan27. Al-Attas adalah sebagai pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti Teologi, filsafat, Metafisika, sejarah dan sastra, selain itu, beliau rupanya juga memiliki keahlian dalam bidang seni, seperti kaligrafi. Dalam bidang ini, al-Attas pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum Tropen, Amsterdam, pada tahun 1954. Al-Attas jugalah yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC pada tahun 1991. Pada tahun 1993, al-Attas diminta menyusun tulisan 27 A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.257-258 31 klasik yang unik untuk kursi kehormatan al-Ghazali. Pada tahun 1994 al-Attas diminta menggambar Auditorium dan Masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan. Melihat prestasi dan aktivitas al-Attas di atas, tidak heran kalau Fazrul Rahman memuji al-Attas dan menyebutnya sebagai “seorang pemikir jenius”. Al-Attas datang dengan menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan oleh sebagaian orang dan disalahpahami oleh sebagian yang lain. Kemudian,beliau mengklarifikasikan, menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan lingkungan intelektual dan dinamika budaya umat Islam kontemporer. Tidak hanya itu beliau juga aktif memberikan solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam di gugusan pulau rumpun Melayu. Misalnya beliau berhasil memecahkan misteri tanggal Inkskripsi Trengganu dan menghitungnya dengan tepat, setelah lebih dari setengah abad membingungkan para Orientalis. Pemikiran dan tulisan-tulisan al-Attas mengenai agama Islam dan hubungannya dengan identitas kebudayaan dan sejarah telah menyedot perhatian bagi khalayak ramai., khususnya para mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa yang di bawah bimbingannya ini kemudian membentuk ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), GAPIM (Gabungan Penulis Islam Malaysia), dan ASASI (Akademi Sains Islam). Sehingga banyak kalangan yang berpendapat bahwa al-Attas merupakan salah seorang tokoh yang ikut berperan membuka pintu bagi kebangkitan Islam di Malaysia sejak tahun 1970. 32 C. Karya-karya Intelektual Syed Muhammad Naquib al-Attas 1. Buku dan Monograf Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat, ia juga sangat produktif dalam menulis, berbagai buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Undu, Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan Albania.28 Dalam karyanya itu al-Attas mengupas berbagai masalah seperti, bahasa, sejarah, tasawuf, filsafat, pendidikan dan lain sebagainya. Diantara karya-karya al-Attas telah diterbitkan adalah sebagai berikut: 1. Rangkaian Rubu’iyat, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala Lumpur, 1959. Dalam buku al-Attas mengkontribusikan bentuk-bentuk baru dan syair-sayair orisinil yang terdapat di dunia Melayu. Di samping itu, al-Attas juga memaparkan pemikiran-pemikiran sufi yang muncul dari kesadarannya tehadap tuhan melalui pandangan batin dan rasa (dzauq). 2. Some Aspect of Shufism as Understood and Practised Among The Malays, terbitan Malaysian Sosiological Research Institute, Singapura, 1963. buku ini membahas tentang berbagai persoalan dari berbagai aspek pemahaman yang terkandung dalam pokok-pokok ajaran sufi, serta melihat pula penerapannya yang dipraktekkan di Malaysia. 3. Preliminary Statenment on The General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, terbitan DBP, Kuala Lumpur, 1968. dalam buku 28 A. Khudhori Shoeh. Wacana Baru Filsafat Islam h.55 33 ini al-Attas mengemukakan argumen-argumen yang menolak pendapat para ahli sejarah yang menyatakan bahwa kedatangan Islam di kepulauan Melayu dan Nusantara secara langsung dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat, India ke Pasai dan Gresik. Menurut al-Attas untuk membuktikan kedatangan Islam ke Nusantara adalah harus dilakukan dengan penelitian yang mendalam karakteristik internal Islam di kedua wilayah tersebut. Untuk menguatkan pendapatnya al-Attas mengajukan teori umum tentang proses Islamisasi di kepulauan Melayu dan Nusantara yang didasarkan pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan dunia muslim seperti terlihat dalam perubahan-perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia. 4. Islam: The Concep of Religion and the Foundation of Ethics and Morality, terbitan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976. Telah diterjemahkan kedalam bahasa Korea, Jepang dan Turki. Karya ini menjelaskan konsep Islam sebagai suatu agama (din), dalam uraiannya al-Attas secara singkat menjelaskan arti din yang saling berkaitan yang menunjuk kepada iman., kepercayaan-kepercayaan, praktek-praktek dan ajaran-ajaran yang dianut oleh orang-orang muslim baik secara individu mapun kolektif sebagai suatu komunitas. Kemudian merangkumnya secara keseluruhan sebagai suatu kesatuan pengertian yang obyektif sebagai agama yang disebut dengan Islam. Disamping itu, dalam buku ini al-Attas juga menegaskan bahwa tantangan ilmu pengetahuan merupakan tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini. 34 5. Islam dan Sekularisme, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia, Turki, Arab, dan Rusia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual Muslim. Di dalamnya al-Attas membahas konsep sekularisasi atau sekularisme dalam perspektif bahasa dan asal-usul serta sejarah kelahirannya. Kesimpulannya bahwa konsep sekulerisasi atau sekularisme tidak dapat diterima karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam. 6. (Ed.) Ains and Objectives of Islamic Education: Islamic Education Series, terbitan Hodder and Stoughton dan King Abdul Aziz University, Londong: 1979., diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. Buku ini merupakan editan dari kumpulan makalah-makalah yang di presentasikan oleh para pembicara dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam yang diadakan di Makkah pada tanggal 30 Maret – 8 April 1977. Dalam konferensi itu al-Attas dipilih sebagai pembicara utama dengan mempresentasikan makalah kunci yang berjudul; Preliminary Thoughts on the Nature of Knoeledge and the Definition and Aims of Educational. AlAttas dalam makalah tersebut memaparkan gagasan-gagasan awal yang di ajukan Al-Attas mengenai sifat-sifat ilmu pengetahuan, serta definisi dan tujuan-tujuan pendidikan. 7. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1980., diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Persia, dan Arab. Buku ini merupakan materi yang dipersiapkan al-Attas selaku pembicara pada Konferensi Internasional Kedua 35 tentang Pendidikan Islam yang berlangsung di Islamabad pada tanggal 15 20 Maret 1980. buku ini sebagai lanjutan gagasan-gagasan yang telah disampaikannya pada Konferensi Internasional Pertama di Makkah. Kandungan buku ini, menjelaskan tentang definisi yang berhubungan dengan unsur-unsur esensial dalam konsep pendidikan serta konsep kependidikan dalam Islam yang berlandaskan atas beberapa konsep pokok tertentu yaitu konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), serta konsep lainnya yang berkaitan. 8. Islam and the Philosophy of Science, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur 1989. buku ini telah diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki. Karya ini memaparkan masalah penting yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah ilmu yang kemudian menjadi faktor penyebab dari masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, al-Attas berusaha mengungkap kembali sistem metafisika yang pernah terbangun dalam tradisi Islam. Sebagai langkah praktisnya adalah perencanaan sebuah universitas yang memiliki struktur yang berasas pada pandangan dunia Islam dan merupakan medium penyampaian hikmah dalam tradisi Islam. 9. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. buku telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Isi buku ini merupakan kelanjutan dari gagasan al-Attas dalam menjelaskan kembali tentang metafisika Islam sebagaimana yang dituangkan dalam bukunya yang pertama seri metafisika Islam, yaitu Islam and the Philosophy of Science. 36 10. The Degrees of the Existence, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. inti dari buku ini adalah kesimpulan-kesimpulan akhir tentang metafisika Islam, karena buku ini sangat ringkas, penulis berupaya menguraikan kembali kesimpulan-kesimpulan metafisika Islam yang telah dicapai oleh para intelektual muslim beberapa abad yang silam. 11. Prolegomena to the Metaphysics of Islam, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur, 1995, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Isi buku ini memuat kumpulan yang merupakan titik kulminasi gagasan dan pemikiran al-Attas tentang perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang mendalam terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer. 2. Artikel Al-Attas sebagai seorang pemikir yang jenius, tidak hanya mencurahkan pikiran cerdasnya melalui buku, tapi juga dalam bentuk artikel, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalis, Kuala Lumpur, 1966. 2. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968. 3. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971. 4. “Konsep Baru Mengenai Rencana serta Cara-Gaya Penelitian Ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu”, 37 Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972. 5. “Islam in Malaysia”, Malaysia Panorama, Edisi Spesial, Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974. 6. “Islam dan Kebudayaan Malaysia” Syarahan Tun Sri Lanang, seri kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976. 7. “Some Reflection on the Philosophical Aspects of Iqbal’s Thought”, International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore, 1977. 8. The Concept of Education in Islam: Its Form, Method, and System of Implementation”, World Symposium of al-Isra’, Ammam, 1979. 9. ASEAN – Kemana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?” Diskusi, jil. 4, no. 11 – 12, November – Desember, 1979. 10. “Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979. 11. “Knowledge and Non-Knowlwdge”, Readings in Islam, No. 8, First Quarter, Kuala Lumpur, 1980. 12. “The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on Muslim Education, Islamabad, 1980. 13. “Religion and Secularity”, Congress of the world’s Religions, New York, 1985. 38 BAB III PARADIGMA KEILMUAN A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu Islam adalah agama yang mengarahkan memerintahkan umatnya untuk menjadikan ajaran agama islam dengan sumber utamanya sebagai rahmatan lil’alamin. Bagi komunitas Muslim Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan, dan peradban secra menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas manusia, termasuk dadalamnya ilmu pengetahuan29. Sedang kejaian pemiskinan intelektual spiritual Barat, menurut Sayyed Husein Naser, itu disebabkan karena Barat telah menduniawikan ( mensekulerkan) pengetahuan dan kehilangan kontak dengan yang kudus30. Sehingga, tampak keduanya memposisikan paradigma yang berbeda. Salah satu implikasi diatas yang muncul kemudian adlah menurut banyak pihak, ilmu pengetahuan modern menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi kalangan pendidkan Islam, kemudian, hal ini menjadi Isu yang besar: yakni Islamisasi Ilmu pengetahuan (Islamization of Knowledge). Isu ini hanya akan berarti jika dipandang dalam konteks bangkitnya kesadaran dikalangan dunia Islam yangg dihadapkan dengan ilmu pengetahuan modern. Yakni model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh filosof dan 1 Nasim Butt, “ Scince and Muslim Society”, diterjemahkan Masdar Hilmi: Sanins dam masyarakat Islam, (Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-1 hal 69 30 39 Ilmuwan Barat sejak abad ke tujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya di wilayah teknologi31. Istilah Islamisasi untuk pertma kalinya sangat populer ketika konfrensi Dunia yang pertama kalinya tentang Pendidikan Islam yang dilangsungkan di Makkah pada April 1977. Islamisasi adalah konsep pembebasan manusia dari tradisi-tradisi yang bersifat magnis-sekuler. Yang membelenggu pikiran dan prilakunya32. Islamisasi dalam pengertian ini meniscayakan pada pendestruksian terhadap kekuatan-kekuatan tradisi yang tidak mempunyai kerangka argumentasi yang jelas. Sedang Islamisasi dalam kontek pengetahuan adalah suatau upaya integrasi wawasan ilmu pengetahuan yang harus ditempuh sebagai awal proses integrasi kehidupan kaum Muslimin33. Bagi al-Faruqi, pengintegrasian pengetahuan tersebut dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan melakukan Eliminasi, perubahan, reintrepetasi, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai pandangan Dunia Islam (Wolrd view Islam), serta menetapkan nilai-nilainya. Dengan demikian usaha Islamisasi ini, bagi umat Islam tidak perlu berbuat dari kerangka pengetahuan modern, dan mampu memanfaatkan khazanah Islam klasik dengan tidak harus mempertahankannya secara mutlak karena terdapat beberapa kecenderungan yang kurang relevan dengan perkembangan modern. 31 Osman Bakar, “Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science”. Diterjemahkan oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet. Ke-1 hal.214 32 Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1990), hal 867. 33 A.M. Saefudin. Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), hal.86 40 Bagi Osman Bakar, Islamisasi Ilmu pengetahuan diterjemahkan sebagai usaha untuk menyediakan sebuah model alternatif bagi ilmu pengetahuan modern. Usaha ini dilangsungkan guna merumuskan kajian yang mencakup alam semesta, bersama aplikasi teknologinya yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam34. Beberapa prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam diantaranya sebagai berikut : 1. Ilmu pengetahuan tidak ditujukan kepada kepentingan praktis partrikular, tetapi didelegasi untuk tujuan-tujuan memahami eksistensi alam dan manusia. Dengan ini ilmu pengetahuan akan mampu menghantarkan umat pada peningkatan iman kepada Tuhan yang menciptakan ilmu sekaligus sebagai sumber ilmu tersebut. 2. melepaskan ikatan-ikatan ilmu pengetahuan dari pengaruh sekulerisme. Desekulerisasi ini akan menghadirkan pada keniscayaan kebenaran religius secara diferensial. 3. Ilmu pengetahuan didasarkan pada sumber ayat-ayat al-qur’an disamping fenomena alam.35 Dalam ketiga inilah terjadi hubungan simultan dan saling melengkapi (complentary), yang pada tahap selanjutnya membutuhkan pada susunan langkah-langkah praktis dalam usaha Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Isma’il Raji al-Faruqi menawarkan 12 ( dua belas) tahapan, yaitu : (1) penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian katagoris;(2) survei 34 Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science h. 214-235 35 Mulyanto, “ Islamisasi Ilmu pengetahuan”, Ulumul Qur’an, no.9, vol. II/1991 hal 58 41 displin ilmu pengetahuan, (3) penguasaan khazanah Islam sebuah ontologi;(4) penguasaan khazanah ilmiah islami, tahap analisa ; (5) penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu modern, tingkat perkembangannya dimasa ini; (7) penilaian krits terhadap khazanah Islam, tingkat perkembangan dewasa ini; (8) survei permasalahan yang dihadapi umat Islam (9) survei permasalahan yang dihadapi umt manusia (10) analisis kreatif dan sintesis; (11) penuangan kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam; (12) penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah di Islamisasi. Al-Faruqi mementingkan konsep Tauhid sebagai kerangka yang harus dipahami secara utuh sehingga mempunyai implikasi terhadap keseluruhan aspek kehidupan umat Islam, tak terkecuali ilmu pengetahuan. Tauhid dipahami bahwa Tuhan tidak hanya sebagai absolut dan penyebab utama, tetapi juga menjadi inti dari ajaran-ajaran normatif, prinsip ini menyatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang memerintah. Gerakan, gagasan, dan tindakan Tuhan adalah realitas yang tidak bisa diragukan, tetapi hal itu bagi manusia merupakan nilai36. Konsep ini bukan hanya sekedar sebagai sumber atau penyebab utama ilmu pengetahuan, maka empirisme absolut tidak dapat diterima bukan hanya karena prinsip positivistiknya yang mutlak, tetapi juga karena relitas itu sendiri merupakan gerakan, gagasan dan tindakan Tuhan. 36 Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: : Its Implication for thought and life” diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1995), cet. Ke-2, hal.2 42 Impilikasi pandangan tauhid diatas dapat ditemukan pada pandangannya tentang alam semesta (universe) yang menjadi materi ilmu pengetahuan modern. Bagi al-Faruqi, sistem alam raya tidak hanya sebagai sistem material dari sebab akibat, tetapi juga bersifat teologikal yang keseluruhan elemennya mempunyai tujuan dan fungsi masing-masing yang teratur. Bahkan alam raya ini diciptakan sebagai miniatur bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan dari Tuhan. Prinsip demikian memberikan pengaruh pada ilmu pengetahuan bahwa alam semesta tidak hanya cukup dipahami secara fosifistik, tetapi juga harus memahami tujuan dari pola hubungan harmonis alam itu, sehingga memberi manfaat bagi umat manusia. Prinsip ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak semata-mata bersifat saintifik an sich, tetapi juga merupakan pengetahuan tentang keteraturan alam secara menyeluruh. B. Ruang lingkup Islamisasi Ilmu Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk. Menurut Dr. Zubaedi M.Ag. M.pd. dalam bukunya Islam Benturan dan antar Peradaban, membagi dua masaah tersebut menjadi dua, yakni sekulerisasi obyektif dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi obyektif bersifat konkret dan radikal, biasanya ditandai dengan pemisahan urusan/bidang agama ruhaniah dengan urusan/bidang material jasmaniah. Praktik ini mudah kita temukan dalam sejarah 43 kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan37. Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pegalaman pragmatis sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampaisampai orang yang mempraktikannya kadang-kadang kurang menyadarinya. Barangkali pernah dalam sanubari kita bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja untuk mencari uang, dan meraih prestasi atas dasar kemampuannya sendiri. Semuanya steril dari campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan hanya sampai disitu, maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif. Fenomena sekuleristik ini telah menjadi kecenderungan umum masyarakat modern. James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis buku The Human Direction, adalah sebagai ilmuan yang bependapat seperti itu, menurut keduanya, masa depan manusia adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses dimana Tuhan menjadi impersonal. Jika dilacak, munculnya kecenderungan masyarakat modern kearah sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Kontruksi Iptek modern yang kurang mengakomodasi dimensi religiutas bersumber dari paradigma yang diandalkan oleh para ilmuan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak rasionalistik, positivistik, dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan hal-hal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak 37 Zubaedi. Islam Benturan dan Antar Peradaban, (Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007) cet.I hal 216 44 sadar telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fitrah tidak bisa lepas dari hal-hal mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis. Jika sudah demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasasn moral dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai Ilahiyah (Transenden)38. Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberikan pelajaran berharga akan hal ini. Masyarakat yang kini memasuki Era Post-Industrial Society_dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis_ bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, namun, justru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa kebermaknaan hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup yang dihasilkan iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber dari ajaran wahyu kian ditinggalkan. Akibatnya, kehidupan keagamaannya meluncur pada post- Cristian Era dengan mengembangkan pola hidup sekulerisasi. Mereka berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan pada “ disini dan sekarang ini”. Karena mereka memuja kemakmuran material yang disimbolkan dengan penguasaan uang, maka agama paling dominan dalam kehidupannya diistilahkan dengan The Religion of Money39. Kita akui fenomena keberagamaan sebagian pemeluk Islam belum mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolak ukur 38 39 .Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 217 . Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban , l. 218 45 dan rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat Islam mengeksploitasi ajarannya demi memuluskan kepentingan pribadi maupun golongannya sendiri. Islam diidentikkan dalam sebuah simbol, slogan, dan aliran pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam diluar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lil’alamin dan pemersatu umat menjadi tereduksi. Adapun ruang lingkup Islamisasi ilmu diantaranya: 1. Klasifikasi ilmu Al-Attas mengklasifikasikan ilmu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para filosofis, pakar, dan orang bijak khususnya para sufi. Pengklasifikasian ini dilakukan al-Attas tidak terlepas dari tiga unsur: ketidak terbatasan ilmu pengetahuan, kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Klasifikasi ilmu pengetahuan kedalam beberapa kategori umum bergantung pada pelbagai pertimbangan. Misalnya berdasarkan metode mempelajarnya, kita akan mengenal pengetahuan Iluminatif atau Gnostik dan ilmu sains. Ilmuwan menamakan dua kategori ini sebagai Ilmu Naqliyah dan Ilmu Aqliyah (rasional) ataupun Tajribiyah (empiris). Berdasarkan dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, pengetahuan dibagi menjadi Fardlu Ain dan Fardlu Kifayah. Setiap bagian ini sudah pasti memiliki tingkat yang berbeda-beda. Klasifikasi diatas tidak bisa dianggap sebagai dualitas karena tidak memiliki validitas yang 46 sama ataupun ekslusitas yang setara. Sebagai contoh, walaupun lebih tinggi dibandingkan ilmu-ilmu intelektual ( al-‘Ulum al-Aqliyyah), ilmu-ilmu agama (al‘Ulum al-Naqliyyah) tidak dapat dijelaskan tanpa ilmu-ilmu intelektual, terutama pada zaman kita sekarang ini. Ilmu-ilmu intelektual tanpa ilmu-ilmu agamaakan menyesatkan dan sangat sofistik. Disamping itu, klasifikasi ilmu tidak mengingkari validitas dan status yang satu terhadap yang lain, melainkan mengakui legitimasi dan status ilmiah masing-masing ilmu tersebut.40 Al-attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan cara-cara untuk mempelajarinya terbagi mejadi 2 (dua), yaitu ilmu Iluminasi (Ma’rifah) dan ilmu sains (ilmu Pengetahuan). Pengklasifikasian ini dilakukan untuk mewujudkan keadilan dalam menempatkan dua kubu yang berbeda, yaitu kubu si pengenal dan kubu yang dikenal atau antara subyek dan obyek.41 1. Ilmu Iluminasi (Ma’rifat) Iluminasi (Ma’rifah) adalah ilmu yang diberkan Allah SWT. Sebagai karunia-Nya kepada insan. Ilmu ini diperoleh oleh insan yang melakukan amal ibadah serta kesucian hidupnya yakni dengan keihsanannya beribadah kepada Allah SWT. Berdasarkan ilmu yang benar42. Manusia menerima ilmu ini melalui dzauq dan kasf. Dzauq yaitu pandangan batin atau rasa ruhani yang dialami secara langsung. Sedagkan kasf yaitu penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki 40 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1, h.1 41 A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet, ke-1 h. 19 42 Sesorang apabla ingin memperoleh ilmu ini, maka ia wajib mempelajari dan memiliki ilmu syarat utma ini, yaitu diantaranya ia wajib memahami dengan sempurna rukun-rukun Islam dan Iman. Wajib mengenai tauhid. Wajib mengerjakan amal ibadah kepada Allah swt. (Untuk lebih lengkapnya lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, op.cit., h. 80) 47 kandungan ilmu ini dengan sekejap alam ruhani dapat dilihat oleh penglihatan ruhani. Ilmu ini merupakan yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu yang diterima oleh Nabi kemudian diikuti intuisi orang-orang bijak, para wali, dan ilmuwan. Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup yang melibatkan orang yang ingin mengetahui (Knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known) melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang bisa dipahami dengan jelas, setelah terlebih dahulu ada rasa saling mngenal dan memercayai diantara keduanya dan keinginan untuk dipahami oleh diri yang ingin berbagi rahasia-rahasia dan kondisi batinnya. Jika benar-benar ingin mendekatkan diri pada objek ilmunya, dia dengan sendirinys mengharuskan orang yang ingin mengetahui itu mengenal dan mengakui sesuatu yang ingin diketahuinya dengan cara yang tepat, sesuai dengan personalitas dan tingkat yang ingin diketahuinya. Objek iluminasi bersifat non-fisik. Ilmu ini merupakan konsumsi bagi jiwa manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad sebagaimana yang disinggung di atas, ilmu ini diberikan dalam bentuk al-Qur’an, yang kemudian dipahami dan diamalkan oleh Nabi sebagai sunnah. Dalam perspektif hukum al-Qur’an dan sunnah ini disebut dengan syari’at, sedangkan dalam perspektif spiritualitas disebut dengan ilmu Ladunni dan Hikmah. Oleh sebab itu, ilmu iluminasi yang diperoleh Nabi merupakan ilmu tertinggi dan selalu menjadi referensi dan petunjuk dalam semua formulasi sains dan aktivitas umat. 2.Ilmu Sains (Ilmu Pengetahuan) 48 Ilmu sains adalah ilmu yang diperoleh oleh insans berdasarkan daya usaha akliyahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hiidup, penelitian, dan pegkajian indera jasmani43 terhadap obyek-obyek yang bersifat materi. Pengamatan indera terhadap objek-objek tersebut tentu saja tidak cukup untuk memberi atau menerapkan objek-objek fisik itu sebagaimana adanya, karena sering terjadi bahwa informasi yang ditangkap oleh pengamatan indera konvensional adalah keliru. Misalnya suara gemuruh dari halilintar yang kita dengar belum tentu terjadi pada saat kita mendengarnya. Dengan demikian diperlukan cara-cara tertentu untuk membuat pengalaman inderawi mwnjadi obyektif. Karena kebutuhan yang semacam inilah yang pertama kali metode observasi inderawi. Metode ini adalah yang paling sering dipakai oleh pengetahuan jenis apapun44. Beberapa langkah bisa ditempuh untuk menyempurnakan pengamatan inderawi, yaitu: Pertama, pengukuran (Measurement) adalah cara yang efektif untuk menentukan ukuran yang lebih akurat tentang sebuah jarak atau besarnya objek. Kedua, menggunakan alat bantu, seperti mikroskop, teleskop, dan sebagainya. Ketiga, mengadakan eksperimen-eksperimen (tajribat) tentang halhal yang belum jelas oleh pengamatan inderwi. Misalnya eksperimen yang dilakukan oleh al-Biruni untuk mengukur keliling bumi cukup mengesankan dengan memanfaatkan rumus-rumus trigonometri, dia memperoleh nilai keliling bumi yang sangat akurat bahkan dibandingkan dengan ukuran modern. 43 44 1,h.97 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat sains,., h.78 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), cet. Ke- 49 Tetapi, betapapun canggihnya metode pengamatan indrwai yang kita miliki, pengamatan indra tetap saja tidak memadai, karena sehebat-hebatnya pengamatan indra, ia tidak akan mampunmenembus objek-objek non fisik karena sifatnya yang indrawi. Padahal objek-objek no-indrawi tersebut tidak sedikit. Nah, disinilah keterlibatan ilmu iluminasi dengan sains, untuk menutupi kelemahan-kelemahan ilmu sains tersebut. Ilmu sains bersifat empiris atau acak dan pencapaiannya menempuh jalanjalan yang betingkat-tingkat imu pegetahuan sebagai sifat Allah swt. Yang Maha Qadim adalah tidak terbatas. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa keterlibatan ilmu pengetahuan, kemudian tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Dengan demikian, konsekuensi logisnya kemudian adalah manusia harus membatasi keinginanya dalam mencari ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi manusia untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Walaupun demikian, al-Attas mengajak umat Islam untuk tidak boleh tertinggal dari bangsa lain, oleh karenanya umat Islam harus mampu membangun dan mengatur sistem pendidikan yang mampu mengakomodir ilmu-ilmu pengetahuan yang diperlukan. Kemudian jika ditinjau dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, ilmu dikalsifikasilan menjadi Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah.45 Ilmu iluminasi (Ma’rifat) merupakan ilmu Fardhu ‘Ain. 45 46 artinya ilmu yang harus dipelajari Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas, h. 270 46 Konsep ini bukan berarti umat Islam harus mempelajari ilmu iluminasi saja, sebab ada keterkaitan antara ilmu iluminasi dan sains. Misalnya walaupun ilmu iluminasi statusnya lebih tinggi 50 oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka setiap individu akan menanggung beban apabila meninggalkan kewajiban ini.47 Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan ilmu Fardhu Kifayah. Maksudnya yaitu ilmu pengetahuan yang hanya wajib diketahui dan dipelajari oleh beberapa orang saja, maka apabila sebagian atau beberapa orang menunaikan kewajiban itu, gugurlah kewajiban bagi yang lain. Konsep ilmu Fardhu ‘AIn dan Fardhu Kifayah harus dipahami secara lebih mendalam, agar tidak keliru dalam tatarn praktis. Konsep al-Attas tentang itu jangan dipahami bahwa Al-Attas telah membangun dinding yang membatasi umat Islam dlam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena seperti yang diungkapkan di atas bahwa ilmu pengetahuan memiliki batasanbatasan yang berbeda-beda. Akan tetapi, justru pandangan seperti itu akan sangat mebantu dalam mengarahkan pendidikan untuk lebih jujur, praktis, dan lebih bermakna bagi orang yang sedang menjalaninya. Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa ilmu itu tidak perlu dipisah-pisahkan48 tidaklah tepat. Untuk lebih mudah memahami konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah dalam konsep al-Attas, berikut akan diuraikan secara lebih terperinci: dari ilmu sains, namun ilmu iluminasi tidak bisa dijelaskan tanpa ilmu-ilmu sains. Dengan demikian umat Islam juga wajb mempelajari ilmu sains sebagai sarana pendukung dalam mempelajari ilmu iluminasi tersebut. 47 Ilmu ini bisa dipelajari oleh umat Islam, misalnya yang termasuk dlam ilmu ini salah satu diantaranya, adalah al-Quran yang harus dipelajari oleh setiap umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Ibid,.h.157) 48 Yaitu adanya pemahaman sebagian ulama nbahwa menuntut ilmu agama tergolong fardhu ‘ain, sementara ilmu non-agama termasuk fardhu kifayah, lihat Abd. Rachman Assegaf, Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), cet. Ke-1, h. 18 51 1. Fardhu ‘Ain Al-Attas menyatakan bahwa fardhu ‘ain bukanlah kumpulan ilmu yang kaku dan tertutup.49 Ruang lingkup fardhu ‘ain sangat luas sesuai dengan perkembangan dan tanggung jawab spiritual, sosial, dan profesionalisme seseorang.50 Dengan demikian, karena Islam mewajibkan mencari ilmu tingkat tinggi, maka fasilitas untuk mencapainya merupakan sesuatu yang diisyaratkan. Oleh sebabitu, seorang muslim diwajibkan menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi tersebut, seperti ilmu keterampilan membaca, menulis dan menghitung. Adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori fardhu ‘ain adalah ilmu-ilmu agama yaitu sebagai berikut: a) Al-Quran; pembacaan dan penafsiran (Tafsir dan Ta’wil) b) As-Sunnah; kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul sebelumnya, hadis dan riwayat-riwayat otoritasnya. c) Asy-Syari’ah; undang-undang hukum, prinsip-prinsip, dan praktek-praktek Islam (Islam, Iman, dan Ihsan). d) Teologi; Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya serta tindakan-tindakan-Nya (at-Tauhid). 49 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas., h.273 50 Misalnya di ISTAC meskipun ditawarkan beberapa mata kuliah dalam bidang hukum dan fiqih Islam namun tidak diwajibkan, kecuali dalam kasus-kasus yang bersifat individual, yaitu jika pembimbing mahasiswa merekomendasikannya atau jika mahasiswa itu belajar bidang kebudayaan Islam. 52 e) Metafisika Islam (at-Tashawuf), Psikologi, Kosmologi, dan Ontologi; unsur-unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk doktrin-doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan tingkatan-tingkatan wujud).51 f) Ilmu Linguistik; bahasa Arab, tata bahasa leksikografi, dan kesusasteraannya. Perlu ditekankan kembali disini karena kategorisasi fardhu ‘ain bukanlah suatu hal yang statis. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan ia harus dipelajari harus mempertimbangkan keadaan peserta didik, tidak mesti diketahui dalam waktu yang sama. Akan tetapi untuk memudahkan dapat dilakukan dengan cara bertahap (gradual). Di samping itu, ilmu fardhu ‘ain bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan kemapuan intelektual dan spiritual seseorang serta keadaan masyarakatnya. 2. Fardhu Kifayah Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ilmu fardhu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap indvidu muslim untuk mempelajarinya. Kewajiban itu gugur apabila telah ada sebagian atau beberapa orang telah memnuhi kewajiban tersebut. Namun, tidak ada di antara umat Islam yang memnuhi kewajiban itu, maka seluruh umat Islam harus turut bertanggng 51 Menurut al-Attas mata kuliah ini merupakan yang paling fundamental dalam kurikulum pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaiman yang diterangkn dalam al-Quran, hadis, teologi, dan filsafat, serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu ini harus dipelajari oleh setiap mahasiswa yang belajar di ISTAC. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas., h. 277 53 jawab dan menanggung resiko atas segala kesuatu yang ditimbulkannya. Sudah tentu kategorisasi ini sangat urgen karena akan memberikan landasan teoritis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk mempelajarinya dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran umat Islam. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu fardhu kifayah manjdi:52 a. Ilmu-ilmu kemanusiaan, b. Ilmu-ilmu alam, c. Ilmu-ilmu terapan, d. Ilmu-ilmu teknologi, e. Perbandingan agama, f. Kebudayaan dan peradaban Barat, g. Ilmu-ilmu linguistik: bahasa-bahasa Islam, h. Sejarah Islam, Dari klasifikasi ilmu fardhu kifayah di atas, al-Attas tidaklah bermaksud untuk membatasi cakupan ilmu pengetahuan yang harus dipelajari dan dikuasi oleh umat Islam. Karena seperti yang diungkapkan oleh Al-Attas bahwa semua ilmu datang dari Allah,53 yang tidak terhitung jumlahnya. Di samping itu, sebagaiaman halnya ilmu fardhu ‘ain bersifat dinamis, sudah barang tentu ilmu fardhu kifayah juga bahkan lebih bersifat dinamis, yang terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman. 52 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 90-91 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42, lihat juga Abudin Nata, et al. ntegrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 80 54 2. Sumber dan Metode Ilmu 1. Sumber Ilmu Menurut al-Attas, ilmu datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga pengetahuan yang dimiliki manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Dengan konsep ini, dari sisi sumbernya, pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan kedalam jiwa manusia; sebaliknya dari sisi subyek manusianya, pengetahuan adalah sampainya jiwa pada makna sesuatu obyek pengetahuan54. Dengan pemaknaan yang demikian, bagi al-Attas, objek pengetahuan bukan ada-nya melainkan makna dari ada-nya, atau makna dari realitas objek. Artinya, subjek (manusia) yang memegang peranan yang lebih penting dalam menentukan apa yang ada pada objek. Makna objek ada dalam persepsi manusia bukan dalam diri objek55.konsep ini tentu sangat kontradiksi dengan epistemologi Barat yang positivistik, materialistik, dan empiris. Dunia Barat meyakini bahwa makna pengetahuan sebenarnya ada dalam diri objek (in-self) itu sendiri secara objektif, dan otonom, dan tanpa ada intervensi dari manusia (subjek). Artinya, manusia bersikap pasif, yang diisi objek materal melalui pengalaman inderawi56. 2. Metode Ilmu Dalam menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna objek pengetahuan, menurut al-Attas, manusia dapat menggunakan kekuatan fakultas-fakultas yang telah dianugerahkan kepada setiap manusia, yaitu melalui 54 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42, lihat juga Abudin Nata, et al., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN jakarta Press, 2003), cet.ke-1,h. 80 55 (Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h.44). 56 A. Khudlori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. Ke-1, h.261 55 panca indra (al-khawass ai-khamsah), akal sehat (al-‘aql as-Salim), berita yang benar (al-Khabar as-Shadiq), dan intuisi (Ilham).57 Panca indera (al-Khawass alKamsah) menurut al-Attas sepakat dengan Iqbal yang menyatakan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang pada dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Bahkan al-Attas juga menganggap bahwa indra sebagai instrumen pokok bagi jiwa dalam mengetahui aspek-aspek tertentu dari sifat-sifat dan ilmu Allah swt, indra disini mengacu pada pengamatan dan persepsi lima indra lahir, yakni perasaan tubuh, pencium perasa lidah, penglihatan, dan pendengaran, yang semua berfungsi mempersepsikan hal-hal partikular dalam alam lahir. Namun, terkait dengan panca indra lahir ini ada lima indra batin yang secara bathiniyyah mempersepsikan cita-cita indrawi dan maknanya, menyatukan, atau memilahkan, mengkonsepsi gagasan tentangnya, menyimpan hasil-hasil pencerapan dan melakukan interaksi terhadapnya. Kelima indra batin ini adalah indera umum, representasi, estimasi, pengingat kembali dan imajinasi. Dalam hal ini persepsi adalah rupa (form) dari objek lahiriyah, yakni representasi realitas atau inderawi, bukan realitas itu sendiri. Apa yang disebut realitas lahir atau objek lahir adalah sesuatu yang diabstraksikan oleh indra, yang disebut ‘rupa’ (form), bukan realitas itu sesungguhnya dalam dirinya sendiri yang disebut ‘makna’. Perbedaan antara rupa dan makna objek-objek indrawi adalah bahwa ‘rupa’ merupakan apa yang pertama kali dipersepsi oleh indra 57 Al-Attas membuktikan kekuatan fakultas-fakultas ini setelah menelti pendapat Para Filosof dan Teolog Muslim, seperti Ibnu Sina, al-Ghazali, al-Nasafi, al-Taftazani, dan Al-Raniri (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. h, 158) 56 lahir dan kemudian oleh indra batin, sedang ‘makna’ adalah apa yang dipersepsi indra batin dari objek tanpa terlebih dahulu dipersepsi indra lahir58. Adapun mengenai masalah akal, al-Attas meambah dengan kata shifat “sehat” setelah perkataan akal (Sound Reason). Hal ini disebabkan akal manusia memiliki tendensi menghasilkan pemikiran yang tidak benar atau tidak tepat. Disamping itu, akal manusia dipengaruhi oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa salah atau kurang tepat ketika akal menegasikan kemampuannya untuk memahami realitas spiritual melalui daya lain yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Akal sehat bukan sekedar unsur-unsur indrawi atau fakultas mental yang secara logis mensistemasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman indrawi menjadi citra akliyah yang dapat dipahami, atau yang melakukan kerja abstraksi fakta-fakta dan data indrawi serta hubungan keduanya. Lebih dari itu, akal disini adalah substansi ruhaniyah yang melekat dalam organ pemahaman yang disebut hati (qalb) yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Jadi, apa yang disebutkan diatas baru merupakan bagian dari aspek akal. Kemudian mengenai berita yang benar merupakan sumber lain dari ilmu pengetahuan yang dapat diklsifikasikan menjadi 2 (dua) jenis. Pertama adalah berita yang terbukti secara berkesinambungan (continue) oleh orang-orang yang memilki ahlak yang mulia, yang tidak mungkin menimbulkan pemikiran bagi orang bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan . contoh hadits mutawatir. Kedua, berita absolut yang dibawa oleh Nabi yang berdasarkan wahyu. 58 Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h. 35-36 57 Berkenaan dengan intuisi itu sendiri, al-Attas tidak membatasi pada pengenalan langsung tanpa perantara, oleh subjek yang mengenali tentang dirinya sendiri, keadaan sadarnya, diri-diri lain yang seperti dirinya, dunia lahiriyah, hal-hal universal nilai-nilai atau kebenaran-kebenaran rasional. Intuisi juga mencakup pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, serta realitas eksistensi sebagai lawan essensi; bahkan dalam tingkat yang lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri59. Intuisi tidak datang pada sembarang orang, tapi ia diperoleh oleh orang-orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut60. Kemampuan menerima secara langsung itu diperoleh melalui latihan, yang dalam Islam disebut riyadhah. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam ghaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indra dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati61. Intuisi ini datang pada orang yang merenungkan secara terus menerus hakekat realitas, untuk kemudian selam pereenungan mendalam ini dan dengan kehendak-Nya, kesadaran akan dirinya dan kesadaran subjektifnya terhapuskan, lalu masuk kedalam kedirian yang lebuih tinggi, baqa’ dalam Tuhan. Ketika kembali kepada keadaan manusiawi dan subyektifnya, yang bersangkutan kehilangan apa yang ditemukan, tetapi ilmu 59 Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains.h. 37 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) cet, ke-2, h. 108 61 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, akal, dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) h. 58 60 58 tentang apa yang ia temukan, pengalaman ruhani yang dialami selama baqa’, tetap ada pada dirinya62. Meskipun pengalaman intuitif tidak bisa dikomunikasikan, akan tetapi pemahaman mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang berasal darinya dapat transformasikan. Intuisi terdiri pelbagai jenis dan tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka, sedangkan yang tertinggi dialami oleh para Nabi. Dan perlu diketahui bahwa semua ilmu pengetahuan ketika untuk pertama kalinya diperhatikan oleh pemeerhatinya adalah sesuatau yang dicapai melalui intuisi,. C. Faktor Pendukung dan Penghambat Islamisasi Ilmu Usaha-usaha yang dilakukan para pakar ilmuwan muslim dengan berbagai upaya yang dilakukan menghasilkan berbagai gagasan yang terkonsentrasikan pada usaha Islamisasi ilmu pengetahuan. Berbagai macam faktor pendukung diupayakan pengamatan dan penelitian tentang berbagai faktor yang ditimbulkan seiring dengan semakin pesatnya kemajuan peradaban Barat. Makin banyak saja orang yang yakin bahwa apa yang disebut sebagai peradaban modern, yang di dalamnya kita hidup sekarang ini, sedang berada dalam krisis. Padahal, berbicara tentang peradaban modern adalah berbicara tentang sains modern dan penerapannya, demikian kata seorang penulis sejarah sains Barat. Memang, kedengarannya agak berlebihan, tapi dalam kenyataannya sains modern bisa menerangkan berbagai persoalan modern – tepatnya krisis global – masa kini. Tentang alienasi individual, rusaknya lingkungan manusia, 62 Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains. h. 38 59 dan sebagainya. Masalah-masalah inilah – bersama masalah-masalah lain – yang saling mempengaruhi dan terakumulasi dalam apa yang sekarang sering disebut krisis global. Dan jika disebut peradaban modern, itu artinya bagian terbesar dari negara-negara di dunia; karena hampir seluruh negara – kecil atau besar – dengan sadar atau terpaksa sedang atau telah berjalan ke arahnya. Dengarlah Gregory Bateson: 63 “Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistimologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa. Di atas segalanya, dorongan fantastik kita untuk menyelamatkan kehidupan-kehidupan perorangan telah menciptakan kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masan mendatang.” Kalau krisis-krisis ini didaftar secara lebih terinci, maka akan didapatkan daftar yang amat panjang. Contoh pertama – dan mungkin yang terbesar – adalah krisis lingkungan. Ekosistem alam kita berada dalam keadaan yang amat labil. Karena terlalu banyaknya campur tangan manusia di dalamnya, baik direncanakan maupun tidak. Efek rumah kaca akibat banyaknya gas karbondioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya mengancam sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan ozon atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada penggunaan penyegar, misalnya “deodoran” dan “aerosol”. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta bagian, ozon sangat penting untuk melindungi kehidupan dari serangan sinar ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon bisa mengakibatkan bencana bagi 63 Dikutip dari Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Pustaka Salman), 1987, hal.88. 60 kesehatan manusia maupun makhluk lainnya. Ada perkiraan yang menyebutkan bahwa pengurangan ozon akan mencapai tiga persen pada tahun 2000, dan lebih dari sepuluh persen pada tahun 2050. pada 1986 telah ditemukan lubang ozon di atmosfer di atas antartika yang ternyata meluasnya lebih cepat dari dugaan semula. Lalu, atmosfer di Eropa saat ini mendapat tambahan sulfur satu gram lebih tiap satu meter persegi sebagai polusi udara. Ini bisa mengakibatkan hujan asam yang merusakkan hutan-hutan dan perairan. Tanah-tanah produktif di Dunia Ketiga berubah menjadi gurun dengan kecepatan yang mencengankan. Setiap tahunnya, enam juta hektar tanah produktif berubah menjadi gurun. Tiga dasawarsa mendatang berarti gurun telah bertambah seluas Saudi Arabia. Keadaan ini tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami64. Kemudian secara rinci Mujammil Qomar mengatakan bahawa yang diakibatkan oleh dikotomi pendidikan menyebabkan : 1. Kegagalan merumuskan Tauhid dan bertauhid 2. Lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam. 3. Adanya dikotomi kurikulum 4. Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan 5. Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality ganda dalam arti kemuyrikan, kemunafikan, kemunafikan yang melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran , sikap, citacita dan perilaku yang disebut sekulerisme. 64 Amrullah Ahmad, Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta, ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hal. 94 61 6. Rusaknya sistem pengelolaan lembaga pendidikan 7. Lembaga pendidikan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda, yang justru menimbulkan dan memperkokoh sistem kehidupan umat yang sekuleristik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan materealistik. 8. Lahirnya peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam. 9. Lahirnya Da’i yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentuknya yang memisahkan kehidupan sosial politik-ekonomi ilmu pengetahuan, teknologi dengan ajaran Islam, agama urusan dan berkaitan dengan akhirat dan ilmu-ilmu teknologi untuk urusan dunia65. Demikian bahaya yang selalu mengancam dan terisolir kandasnya Islamisasi Ilmu sebagai upaya pendidikan dalam membebaskan kekuatan pendidikan dominasi Barat yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Akibatakibat yang harus disadari adalah dengan penerapan pendidikan yang dikotomik itu pihak yang mengalami kerusakan atau kerugian bukan sekedar sistem dan lembaga pendidikan Islam saja, melainkan juga merugikan alumni pendidikan Islam, peradaban Islam, dan suasana kehidupan umat. Semua komponen ini tertimpa penderitaan yang berkepanjangan. 65 Amrullah Ahmad. Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta, h. 95 62 BAB IV PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DALAM MENJAJAKI KEMUNGKINAN ISLAMISASI ILMU A. Latar Belakang Tujuan Sejak mengalami masa Renaisanc beberapa abad silam, telah berhasil mengantarkan Barat kepuncak kejayaan. Para Ahli Sains dan Cendekiawan Barat mengembangkan pendekatannya dan bersifat menguasai rasionalistik pelbagai disiplin (Aqliyah). Lahir ilmu-ilmu dari yang lingkungan Sekulerisme, Ulitirianisme, Materialisme, dan Hedonisme, secara otomatis akan mempengaruhi konsep, penafsiran dan makna ilmu itu sendiri. Hal ini terjadi karena seperti yang dikemukakan oleh Richard Tarnas bahwa didepan mata manusia itu ada “lensa” yang memfilter penglihatan, “lensa” itu dipengaruhi nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma, dan harapan66. Hal ini juga berlaku bagi ilmuwan muslim, namun juga jangan sampai menggiring kita pada subyektivisme dan relativisme murni, karena Tuhan merupakan sumber ilmu yang sebenarnya- yang bebas dari keraguan dan kebingungan- adalah obyektif, yakni wujudnya tidak tergantung pada imajinasi manusia67. Dengan demikian ilmu yang diperoleh tidak terikat dengan batasan nasional, etnik, dan gender. Sekulerisasi yang melibatkan tiga komponen terpadu, yaitu tidak mengakui adanya unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan 66 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet, ke-1, h.54-55 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas, (Bandung Mizan, 2003), cet: ke-1, h.332 67 63 agama dari dunia politik dan nilai yang tidak mutlak atau relatif. Ketiga komponen tersebut dilihat dari kaca mata Islam bukan saja bertentangan dengan fitrah manusia, tetapi juga telah memutuskan ilmu dari pondasinya dan menggesernya dari tujuannya yang hakiki. Oleh karena itu, konsep ilmu Barat menimbulkan krisis dari pada melahirkan keharmonisan, kebaikan dan keadilan. Krisis tersebut dapat didiagnosa paling tidak, dari dua sisi. Sisi pertama yang melekat sempurna pada subyek manusianya yang dicirikan oleh gejala disorientasi dan alieniasi, dan disisi lain, pada peradaban modern yag dibagunnya sendiri yang ditandai eksploitasi dan disfungsionalisasi68. Al-attas dengan tepat dan berani menyatakan bahwa: “Tantangan terbesar yang secara diam-diam telah timbul tantangan pengetahuan, memang, tidak sebagai tantangan terhadap kebodohan, tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh peradaban Barat. Pengetahuan barat itu sifatnya telah menjadi penuh permasalahan karena ia telah kehilangan maksud yang sebenarnya sebagai akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ia juga telah menyebabkan kekacauan dalam kehidupan manusia, dan bukannya perdamaian dan keadilan. Pengetahuan Barat tersebut berdalih betul, namun hanya memberi hasil kebingungan dan skeptisisme69. Apa yang dirumuskan dan disebarkan oleh Barat adalah ilmu pengetahuan yang telah dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat 68 Moefich Hasbullah, Proyek Islamisasi Sains: Dekonstruksi Modernitas Dan Rekontruksi Alternatif Islam. (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), cet. Ke-1, h. xxviii 69 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan sekulerisme, (Bandung: Pustaka, 1981), cet. Ke-1. h. 195 64 itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang disebarkan itu hanyalah pegetahuan semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati sehingga orang-orang yang mengambil dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Peradaban Barat yang dimaksudkan al-Attas disini adalah peradaban yang telah tumbuh dari peleburan historis dari kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani, dan Romawi kuno beserta perpaduannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen yang kemudian yang dikembangkan lebih jauh oleh rakyat latin, Jermania, Kelitik dan Nordik. Dari Yunani kuo diperoleh unsur-unsur filosofis dan epistemologis dan landasan-landasan pendidikan dan etika serta estetika, dari Romawi unsur-unsur hukum dan ilmu tata negara serta pemerintahan, dari ajaran Yahudi dan Kristen unsur-unsur kepercayaan religius dari rakyat Latin, Jermania. Keltik dan Nordik nilai-nilai semangat dan tradisional mereka yang bebas dan nasional70. Sebenarnya Islam juga punya andil yang sangat signifikan dalam bidang pengetahuan dan didalam menanamkan semangat rasional dan ilmiah, yang kemudian telah dimodifikasi kembali agar selaras dengan pola kebudayaan dan peradaban Barat. Pemahaman ilmu dan pandangan hidup ( selanjutnya disebut Worldview) Barat ini menular dinegara Islam setelah berlngsungnya penjajahan dimana banyak negara Islam dijajah Barat seperti Inggris dan Perancis. Barat melakukan westernisasi ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang mereka dirikan dinegara-negara jajahan mereka. Pendidikan yang mereka dirikan juga didukung 70 Syed Muhammad Naquib al-Attas Islam dan sekulerisme, h. 197 65 oleh worldview Barat yang mulai mempengaruhi pandangan mereka. Ini mengakibatkan kekeliruan, dan manusia muslim kehilangan adab. Dalam pandangan al-Attas, westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi telah mengangkat keraguan dan dugaan ketahap metodologis ‘ilmiah’. Bukan hanya itu, westernisasi juga telah menjadikan skeptisisme ketingkat sebagai alat epistemologi yang syah dalam keilmuwan. Namun demikian, bukan berarti al-Attas menolak keraguan dan skepisime sama sekali; ia menolak keraguan dan skeptisisme per se, sehingga ia setuju dengan pendapat filosof dan epistemolog muslim kenamaan, al-Ghazali (1508- 1111 M), yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa sungguh-sungguh percaya sampai ia merasa ragu, dan bahwa skeptisisme yang sehat adalah penting utuk kemajuan intelektual. Yang ditolak adalah keraguan dan skeptisisme keilmuan Barat yang -sampai- mengorbankan atau mengabaikan nilai-nilai sosial dan kultural71. Tambahnya lagi, ilmu Barat tidak dibangun diatas landasan wahyu dan kepercayaan agama. Akan tetapi dibangun diatas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang menjadikan manusia sebagai makhluk rasional. Konsekuensinya kemudian adalah ilmu ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus mengalami perubahan. Bahkan, pengetahuan barat, telah mengukir sejarah dengan mengakibatkan kerusakan pada tiga kerajaan alam: satwa, nabati dan tambang. 71 h.43 Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998) 66 Yang lebih dahsyat lagi, setelah peneliti sains memiliki kemampuan untuk menciptakan bentuk kehidupan baru lewat rekayasa genetika, pada April 1987 Kantor Hak Cipta Amerika Serikat mengumumkan bahwa organisme hidupini-termasuk binatang- dapat diberikan hak paten. Memang terjadi perdebatan atas keputusan ini, tetapi tidak sedikit juga ilmuwan yang mendukung keputusan tersebut. Kalau memang manusia telah mampu menciptakan suatu organisme hidup baru, lalu dimanakah peran sang pencipta? Ini juga manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya yang sudah keluar dari lingkup ilmu pengetahuan. Ada dampak lain yag ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu dampak psikologis, misalnya. Termasuk meningkat pesatnya statistik penderita depresi, kegeisahan, psikosis dan sebagainya. Sebagaimana halnya pada abad ke-17, sekali lagi kita mengalami destabilisasi dan keterpecahan , ketika paradigma keagamaan digugat. Ujung-ujungnya: tingkat penderita jiwa dan pelaku bunuh diri terus meningkat. Inilah akibat langsung pemisahan antara manusia sebagai ilmu pengetahuan kontemporer dengan obyeknya yang menandai filsafat sains Barat sekarang ini. Oleh karena itu, al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya diterapkan didunia Muslim. Ilmu bisa dijadikla alat yang sangat halus dan tajam bagi penyebarluasan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan72. Sebabnya, ilmu bukan bebas nilai ( Value-Free), tetapi sarat nilai ( Value Laden)73. 72 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ( Kuala Lumpur : ISTAC, 2001)h, 49 73 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin h. 134 67 Para Ilmuwan Muslim berusaha untuk menggali khazanah ilmu yang sudah lama dikumandangkan, diantaranya adalah cendekiawan Muslim yaitu Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai “Mega Proyek” gagasan tersebut mengandung tujuan yang sangat penting yang akan dicapai. Adapun Tujuan yang hendak dicapai dengan terealisasinya gagasan Islamisasi ilmu, diantaranya74: 1. Mengeluarkan Ilmu pengetahuan kontemporer penafsiran-penafsiran yang berlandaskan ideologi, makna dan ungkapan sekuler yang bertentangan dengan ajaran Islam 2. Menjadikan Islam sebagai alternatif epistemologi Barat 3. Mengembangkan ilmu yang hakiki untuk membangun pemikiran dan rohani pribadi muslim yang dapat meningkatkan keimanannya dan keteakwaannya kepada Allah SWT. 4. Islamisasi Ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan keimanan.75 5. Menghilangkan konsep dikotomi ilmu yang berakibat pada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, karena pada hakekatnya ilmu bersumber dari yang maha tunggal yaitu Allah SWT B. Konsep Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas Membandingkan antara Islam dengan filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer, sebagaimana yang disadari oleh al-Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode 74 Roshnani Hashim, gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer, Islamia,1,6, (juliseptember,2005)h.31 75 Roshnani hashim. gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer. h 31 68 ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagai filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimana, ia menegaskan bahwa terdapat sejumlah perbedaan sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews).76wolrdview Islam menurut al-Attas merupakan pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang tampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka wolrdview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-Islam lil-wujud).77 No Elemen Worldview Islam Woeldview Barat 1 Prinsip Tauhidi Dikotomik 2 Asas Wahyu, 3 Sifat Hadits, akal, Rasio, spekulasi, Pengalaman, dan intuisi filosofis Otensitas dan kajian Rasionalitas, terbuka dan selalu berubah 4 Makna Realitas dan Berdasarkan 5 kajian Pandangan sosial, kebenaran metafisis kultural, empiris Obyek kajian Visible dan invisible Tata masyarakat 76 Syed Muhammad Naquib al-Attas Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-1, h.189 77 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam ( Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), cet. Ke-2, h.2 nilai 69 Dari tabel diatas jelas sekali bahwa antara worldview Islam dan Barat terdapat perbedaan yang sangat fundamental yang tidak mungkin dikompromikan. Worldview Islam tidak berdasarkan dikotomis seperti obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual. Akan tetapi, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode tauhidi dimana terdapat kesatuan antara kaedah empiris, rasional, deduktif dan induktif, sebagaiman para sarjana pada masa silam menggunakan berbagai metode dalam penyelidikan mereka. Realitas dan kebenaran dalam konsep Islam bukan semata-mata fikiran tentang alam inderawi dan peranan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia yang hanya menaruh perhatian terhadap dunia empiris saja. Tetapi lebih dari itu, memaknai realitas dan kebenaran berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang empiris dan non empiris. Dengan demikian, wolrdview Islam mencakup dunia akhirat, yang mana aspek dunia tidak boleh terpisah dan harus dikorelasikan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dengan keyakinan bahwa aspek akhirat merupakan yang terakhir dan final. Worldview Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi keimanan dan pengamalan ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW . Permasalahan yang sangat krusial yang dihadapi umat Islam adalah bagaimana menemukan kembali konsep dasar Islam dalam menghadapi ilmu pengetahuan yang sekuleristik menjadi Islami. 70 Naquib al-Attas beranggapan bahwa solusi dari permasalahan yang kita (Umat Islam) hadapi adalah Islamisasi Ilmu pengetahuan. Menurut beliau, pada awalnya semua ilmu ada pada bentuknya yang Islami. Namun seiring dengan perkembangan zaman, bentuk fithrah ilmu sedidit demi sedikit berubah. Perubahan itu terjadi bersamaan dengan proses sekulerisasi masyarakat yang terjadi di Eropa yang beberapa ratus kemudian diekspor kedunia Islam. Definisi sekulerisasi yang menurut Naquib al-Attas paling sesuai adalah definisi yang diberikan oleh seorang teolog Belanda, Coernelius Van Peursen yang pernah menduduki kursi filsafat di universitas Leiden. Van peursen mendefinisikan sekulerisasi sebagai “ Pembebasan seseorang, pertama dari kontrol religius dan kemudian metafisis, terhadap pemikiran dan bahasanya”.78 Berarti menurut Van peursen ada dua aspek yang sangat penting dalam isu sekulerisasi ini : pemikiran dan bahasa. Mengapa demikian? Tentu kita dapat mengerti aspek sekulerisasi pemikiran karena seseorang melakukan segala sesuatunya sesuai dengan pemikirannya. Berarti, jika pemikirannya sudah sekuler, pandangan-hidupnya juga akan sekuler. Jika ia sudah sampai pada tigkat ini, maka ia akan berpendapat bahwa dirinya adalah segalanya, dan tidak ada otoritas yang lebih tinggi lagi adri dirinya. Dengan demikian, amal-amalnya pun akan dikerjakan sesuai dengan hatinya sendiri. Inilah proses pergantian fokus dari tuhan kepada manusia seperti yang telah termaktub dalam inti filsafat Humanisme.79 78 79 Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekulerisme. Hal 17 Ismail Fajrie Alatas, Konsep Ilmu dalam Islam, (jakarta Diwani Publissing 2006), h. 278 71 Setelah berangkat dari pemikiran kemudian dari bahasa menurut isu sekulerisasi yang berkembang, mengapa demikian? Bahasa adalah sebuah fenomena kultural dimana bahasa terbentuk berdasarkan pengalaman historis dan kultural sebuah bangsa,. Karena adanya perbedaan pengalaman antara satu bangsa dengan bangsa yang lainnya, maka bahasanya pun juga banyak berbeda. Yang dimaksud perbedaan disini adalah dari segi semantik, sehingga banyak kita jumpai konsep-konsep serta terminologi yang terdapat disatu bahasa, namun tidak terdapat ibahasa yang lain. Salah satu contoh adalah kesulitan yang dihadapi oleh para penerjemah bahasa Arab menuju Bahasa Inggris. Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat metafisis akibat keberadaan al-Qur’an, sedangkan bahasa Inggris telah berubah menjadi bahasa yang sangat teknis, mekanis dan anti-metafisis. Oleh karena itu banyak kata-kata kunci dari bahasa Arab yang tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa inggris karena ketiadaan konsep yang sama. Salah satu contoh yang paling konkret adalah kata qalb, fu’ad dan lubb. Seseorang yang akan menerjemahkan kata ini kedalam bahasa Inggris akan sangat kesulitan untuk melakukannya karena ketiadaan perbedaan antara terminologi tersebut. Kata yang dapat mendeskripsikan ketiganya hanyalah heart atau hati. Sedangkan dalam bahasa Arab, ketiga terminolog itu mendeskripkan tingkatan hati yang berbeda-beda. Namun karena ketiadaan terminologi yang sama dalam bahasa Inggris, maka ketiga kata tersebut hanya dapat diterjemahkan dengan satu kata: heart. Akibat dari ketidak tepatan 72 penerjemahan, maka pemahaman seseorang akan suatu hal juga akan tidak tepat. “ Atas dasar inilah,sayyidi naquib mendefinisikan Islamisasi sebagai : “ Pembebasan manusia dari tradsi magis, mitologis, animistis, kulturnasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasanya “ juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadapa hakikat dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya, Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya ( Fithrah) yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi….80 Dalam definisi Islamisasi diatas, terdapat dua aspek yang perlu diungkapkan lebih lanjut. Yang pertama, pada tingkat individu, konsekuensi dari islamisasi adalah pengakuan terhadap Nabi (saw) sebagai pemimpin dan pribadi teladan bagi pria maupun wanita baik pada tingkat kolektif, sosial dan historis81. Pengakuan terhadap derajat dari tingkat Nabi (saw) yang begitu tinggi, akan diresapinya dan dipikirkannya, sehingga tidak akan mungkin terlontar dari lisannya bahwa “Nabi (saw) adalah manusia biasa”. Seseorang yang terdidik secara Islami tidak akan berani melontarkan katakata yang seperti ini. Sebaliknya, dengan penuh kerendahan hati dan diri, dia akan mengakui ketinggian posisi Nabi yang juga telah diakui oleh Allah Swt. 80 81 Syed. Muhammad Naquib al-Attas , Islam and Sekulerism. hal 45 Syed. Muhammad Naquib al-Attas Islam dan sekulerisme, Hal 45 73 Pada saat pengakuan itu sudah terpatri, maka dengan sendirinya, pribadi dan kehidupan beliau (saw) akan menjadi simbol dan realisasi kesempurnaan moralitas dan etika82. Dengan demikian ia akan menyontoh kesempurnaan tersebut, dalam upayanya untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Pengertian Islamisasi pada tingkat individu ini, sangat berhubungan dengan konsep adab. Sayyidi Naquib beranggapan bahwa dilema yang dihadapi umat Islam telah membentuk lingkaran setan yang didahului dengan sekulerisasi ilmu pengetahuan. Pada aspek yang kedua terjadi setelah proses pertama selesai, yaitu memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci kesetiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan83. Proses inilah yang kemudian dikenal dengan The Islamisation of Knowledge . perlu ditegskan bahwa dmesteernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah kerja-kerja kognitif dan spiritual yang terjadi secara bersamaan. Tanpa ada celah waktu. Sebelum “memisahkan “dan “mengeluarkan” ide-ide dan konsep-konsep yang tidak Islami, seseorang pertama-tama harus mampu mengidentifikasikan semua itu dan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai pandangan dunia Islam berikut semua elemen dan konsep kuncinya84. Proses ini menurut Ismail Fajrie Alatas senada dengan kalimat La Ilaha Illallah (Tiada Tuhan Selain Allah) yang berisi dua klaus yang tersambung dalam satu kalimat. Klaus yang pertama La Ilaha (Tiada Tuhan) adalah sebuah penolakan dari konsep-konsep serta elemen ketuhanan yang 82 Syed. Muhammad Naquib al-Attas ,Islam dan sekulerisme , Hal 45 Syed. Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam 84 Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas, hal 339 83 74 ada dialam semesta ini. Sedangkan klaus yang kedua Illallah (Selain Allah) adalah afirmasi bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang ada dan yang diakui. Kedua aksi ini, penolakan dan afirmasi terjadi secara simultan sehingga tidak terdapat celah yang kosong antara kedua aksi tersebut. Dengan demikian, Islamisasi ilmu pengetahuan juga bekerja secara simultan. Setelah mengetaui secara mendalam mengenai pandangan hidup Islam dan Barat, maka proses Islamisasi ilmu baru bisa dilaksanakan. Adapun metodologi yang digunakan al-Attas dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan kontemptorer, terdiri dari dua proses atau langkah yang saling berkaitan, yaitu: 1. Proses Verifikasi, yaitu mengenali dan memisahkan unsur-unsur (4 unsur yang telah disebutkan sebelumnya) yang dibentuk oleh budaya dan peradaban Barat, kemudian dipisahkan dan diasingkan dari tubuh pengetahuan kontemporer85 khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, ilmu-ilmu terapan juga harus dislamkan, khusunya dalam penafsiran-penafsiran akan faktafakta dalam formulasi teori-teori. Menurut al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris, dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai-nilai dan etika, penafsiran historis ilmu tersebut, 85 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sukelarisme, h. 202 75 bangunan teori ilmunya, praduga berkaitan dengan dunia dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubungan dan keterkaitannya dengan ilmuilmu lainnya serta hubungan dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.86 2. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep kunci ke dalam setiap cabang Ilmu pengetahuan kontemporer yang relevan.87 Dengan masuknya itu, maka akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan. Selanjutnya, al-Attas juga merincikan dan beberapa konsep dasar Islam yang harus dituangkan ke dalam setiap cabang ilmu apa pun yang dipelajari oleh umat Islam adalah seperti berikut ini :88 a. Konsep agama (Din) b. Konsep manusia (Insan) c. Konsep ilmu (‘Ilm dan Ma’rifah) d. Konsep kearifan (Hikmah) e. Konsep keadilan (‘Adl) f. Konsep prbuatan yang benar (‘Amal sebagai adab) g. Konsep universitas (Kulliyah-Jami’ah) Dalam penerapan prktisnya sangat terkait dengan dubnia pendidikan. Konsep agama (din) menunjukkan kepada maksud mencari pengetahuan dan keterlibatan dalam prose pendidikan. Konsep manusia (insan) kepada ruang 86 Syed Muhammad Naquib al-Attas Prolegomena to the Methaphisics of Islam and Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam h. 114 87 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib AlAttas h. 337 88 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sukelarisme, h. 233 76 lingkup. Konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifah) mengacu kepada isi.89 Konsep kearifan (hikmah) kepada kreteria dalam hubungannya dengan konsep manusia (insan) dan ilmu (ilm dan ma’rifah). Konsep keadilan (‘adl) kepada pengembangan dalam hubungannya dengan konsep kearifan (hikmah). Konsep perbuatan yang benar (‘amal sebagai adab) kepada metode dalam hununggannya dengan konsep agama (din) – konsep keadilan (‘adl). Konsep universitas (kulliyah-jami’ah) dianggap penting karena berfungsi sebagai implementasi semua konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan untuk tingkat rendah. Untuk lebih memahami, penulis akan memberikan sebuah study kasus berkenaan dengan metodologi Islamisasi ilmu diatas dalam salah satu aspek dari disiplin ilmu psikologi. Psikologi merupakan bidang yang cukup menarik, karena kedudukannya yang istimewa antara fisik dan metafisik. Ilmu psikologi yang sekarang berkembang dengan subur didunia, tak terkecuali dunia Islam adalah psikologi yang dibangun oleh peradaban Barat. Oleh karena itu, sesuai dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, maka psikologi harus diislamkan. 1. Proses Verifikasi 89 Proses memasukkan konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifat) ke dalam ilmu Barat yang telah diverifikasi dalam aplikasinya terkait dengan dunia pendidikan. Ilmu yang telah di Islamkan ini isinya harus disesuaikan dengan saaran ilmu itu ditujukan. Tentunya siswa sekolah lanjutan dengan mahasiswa dari isi ilmu yamh mereka terima tidak sama. Oleh sebab itu, guru dan pihak lain yang telibat dalam pendidikan (stakeholder) harus mampu mendesain kurikulum yang sesuai dengan kapasitas intelektual dan psikologis orang yang menerima ilmu tersebut. 77 Dalam kajian ilmiah modern Barat, “Jiwa” tidak lagi dipandang sebagai substansi immaterial yang berkaitan dengan dunia metafisik, tetapi semata-mata sebagai fungsi otak yang bersifat fisik dengan sisitem neorilogisnya yang canggih. Psikologi telah mengalami reduksi dan degradasi yang parah. Dengan keinginannya untuk diakui sebagai disiplin ilmiah, psikologi harus rela tunduk pada paradigma positivistik, dengan membatasi kajiannya hanya pada bidang-bidang empiris dengan resiko ia harus kehilangan dimensi metafisiknya. Misalnya dalam Behavourisme90, jiwa dipandang tidak lebih dari fungsi neurologis otak, yang mengatur tindakan atau langkah manusia sebagai respon terhadap stimulus yang datang dari luar. Manuasia sering tidak bisa dibedakandai hewan biasa, seperti anjing dan tikus, yang bertindak hanya sebagai respon titik terhadap stimulus dari luar dirinya. Akhirnya jiwa manusia atau pikirannya dipandang hanya ebagai fungsi neurologis otak. Bahkan pandangan bahwa jiwa merupakan fungsi otak itu pun masih terlalu dualistik, sehingga yang tersisah sekarang ini hanyalah otak. Jiwa atau akal telah diidentik dengan otak sebagai organ tubuh. Ini tentu saja akan menimbulkan masalah yang besar dalam tradisi intelektual muslim, karena jiwa itu sama saja dengan otak, maka kelangsngan hidup setelah kematian atau konsep apapun yang terkait dengan hari akhir 90 Peletak dasar Behaviorisme adalah Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) dan William McDougall (1871-1938). Aliran ini mengemukakan bahwa obyek psikologi hanyalah perilaku manusia yang kelihatan nyata dan menolak mempelajari tingkah laku yang tidak tampak dari luar. Peletak dasar/ sari teori ini adalah Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) dan William McDougall (18711938). Lihat Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-2, h. 26 78 (akhirat) tidak akan mempunyai arti apapun.91 Padahal kita ketahui kepercayan kepada hari akhir marupakan pilar kepercayaan yang pokok, yang membedakan orang yang briman dan orang kafir. Tradisi keilmuan yang dilandasi ajaran Islam tidak akan mendukung pandangan materialistik jiwa seperti yang diajukan oleh Ilmuwan Barat. Dengan demikian konsep jiwa menurut Barat harus ditolak atau dibuang dalam ilmu psikologi, kemudian harus dimasukkan konsep jiwa yang sesuai dengan ajaran Isalam. 2. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep kunci Islam Konsep “jiwa” dalam Islam berbeda dengan konsep yang selama ini diyakini Barat. Jiwa dalam Islam bersifat immaterialitas. Miskawaihi dalam karya monumentalnya, Tahdzib al-Akhlaq, mencoba membuktikan immaterialitas jiwa dengan mengajukan argumen sebagai berikut: “sudah menjadi tabiat benda-benda fisik untuk menerima hanya satu bentuk saja pada satu saat”. Misalnya meja, kalau pun kita bisa memisahkan kai meja dari daunnya, lalu kita menggantungkan daunnya itu di dinding maka pada saat itu ia tidak bisa lagi disebut meja melainkan papan tulis. Jadi ketika ia menerima bentuk baru yaitu papan tulis maka ia berhenti menjadi meja. Dengan demikian benda fisik hanya mampu menerima satu bentuk saja pada satu saat, tidak bisa lebih dari itu. Tetapi menurut Miskawaih manusia mampu menerima berbagai bentuk – dalam bentuk ratusan bahkan ribuan konsep abstrak – tanpa mengubah atau merusak bentuk aslinya. 91 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1., h. 149 79 Ketika konsep immaterialitas jiwa ini masuk ke dalam psikologi sebagaimana diuraikan di atas, maka akan merubah dengan drastis teori-teori yang telah dirumuskan. Tadinya, teori psikologi mengakui bahwa jiwa manusia bersifat materi, akan melahirkan pengingkaran terhadap hari akhir. Maka dengan konsep jiwa immaterial, jiwa manusia dapat meneruskan perjalanan hidupnya setelah kematian untuk kembali kepada asalnya, yang tidak lain adalah Allah swt. Setelah konsep psikologi yang Islami dirumuskan, tugas selanjutnya manurut al-Attas memasukkan konsep kunci Islam, misalnya konsep universitas (kulliyah-jami’ah) yaitu harus ditransformasikan kepada para mahasiswa yang belajar di Universitas. Al-attas menolak pandangan yang menyatakan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai dengan melakukan stempelan Islami pada ilmu pengetahuan. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak berfaedah sebab unsur asing atau kuman penyakit itu masih terdapat pada tubuh ilmu itu. Ia Cuma akan menghasilkan ilmu yang Islam pun bukan dan sekuler pun bukan.92 92 Rosnani Hashim, gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer h. 35 80 C. Karakteristik Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas Bagi Sayyidi Naquib al-Attas, kehancuran pendidikan islam karena ketiadaan adab yang menjadi pondasi utama pendidikan Islam yang menghasilkan banyak problematika yang selanjutnya berimplikasi pada permasalahan yang sangat kompleks yang kita hadapi saat ini. Menurut beliau: 1. Kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai Ilmu pengetahuan yang selanjutnya menciptakan: 2. Ketiadaan adab dari masyarakat. Akibat dari kedua hal tersebut adalah: 3. Munculnya pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin umat, melainkan juga tidak memiliki akhlak yang luhur dan kapasitas intelektual dan spiritual yang memadai, yang sangat diperlukan dalam kepemimpinan Islam. Mereka akan mempertahankan kondisi yang telah disebutkan pada point pertama akan terus mengontrol permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan melalui tangan para pemimpin lain yang berwatak sama dengan mereka dan mendominasi pelbagai sektor kehidupan93 Oleh karena itu, pada tingkat individu, proses Islamisasi berhubungan langsung dengan pengenalan kembali adab. Dari zaman Rasul (saw), adab sudah merupakan bagian penting dari pendidikan Islam. Hal ini dapat dilihat dari perintah guna mengemulasi sunnah Nabi (saw) yang secara konseptual disatukan 93 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal 137-138 81 dengan ilmu dan amal. Para sahabat beliau (saw) telah diperintahkan langsung oleh Allah (swt) guna mengikuti dan mencontoh sang Nabi. Perintah ini tertulis dalam Al-Qur’an yang berbunyi “Sungguh pada diri Rsulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah (swt) ( Q.S al-Ahzab: 21)” Oleh karena itu, Islamisasi pada tingkat individu menekankan sebagian derajat Rasul (saw) sehingga guna mencapai kesempurnaan seseorang harus mencoba mengikutinya. Pada tingkat epistemologis, Islamisasi berkaitan dengan pembebasan akal manusia dari keraguan (syakk), prasangka (dzann) dan argumentasi kosong ( mira’) menuju pencapaian keyakinan (yaqin) dan kebenaran (haqq) mengenai realitas-realitas spiritual, penalaran dan material94. Ia akan membersihkan dirinya dari segala ilmu yang berbau negatif serta ilmuilmu palsu. Sebaliknya, dirinya akan dipenuhi dengan ilmu-ilmu yang dibangun diatas keyakinan adalah: ”keadaan dimana sesuatu yang diketahuinya, menampakkan dirinya tanpa meninggalkan ruang keraguan ataupun posibilitas kesalahan dan ilusi, dan hatinya tidak akan memperbolehkan posibilitas yang demikian terjadi95. Oleh karena itu, ilmu yang dibangun diats keyakinan bersifat positif, dan karenanya pandangan hidup seseorang yang memilikinya juga positif. Pada tingkat linguistk, Islamisasi berarti membersihkan dan merehabilitasi kata-kata kunci yang penting bagi pembahasan ilmu dari sisa-sisa 94 95 Al-Ghazali, al-Munqidz. Hal 26 Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal 7-12 82 efek sekulerisasi yang ada. Islamisasi akan mengembalikan betuk semantik katakata kunci tersebut, kepada bentuk asalnya sehingga pemahaman yang didapatkan darinya akan sesuai dengan pandangan hidup serta pengalaman historis dan kultural dimana kata-kata itu terbentuk. Jikalau kata-kata itu terbentuk. Jikalau bahasa telah terIslamisasi, maka pemikiran seseorangpun akan dengan mudah terislamisasi, karena bahasa dan keberadaan kata-kata kunci dan terminologi inilah yang sesungguhnya mengatur daya pikiran seseorang. Setelah mendefinikan Islamisasi, Sayyidi Naquib lantas mencoba mengaplikasikan konsep tersebut dalam tingkat praktis. Didalam Islam and Secularism, Sayyidi Naquib menjelaskan bahwa Islamisasi Pengetahuan dalam masa kini melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Yang pertama adalah pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini, khususnya ilmu-ilmu humaniora. Beliau menyebut proses ini dengan Dewesternization of Knowledge. Adapun elemen-elemen yang ‘asing’ harus dipisahkan dan dieliminasi dari ilmu pada umumnya mempunyai lima karakter yang saling berhubungan: 1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia dalam mengarungi kehidupan. Berbicara mengenai rasionalitas dalam konteks peradaban modern Barat, tentu kita tak bisa melupakan salah seorang tokoh utama, seorang filosof kenamaan dari perancis Rene Descartes. Ungkapannya yang sangat populuer 83 yaitu cogito ergo sum ( saya berpikir, maka saya ada)96. Telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur suatu kebenaran. Pemikiran Rene Descartes telah mengilhami gerakan-gerakan rasionalitas, khususnya apa yang dikenal sebagai gerakan “pencerahan’ (aufklarung) di Perancis dan Jerman yang melibatkan tokoh-tokoh besar Barat termasuk Immanel Kant (w. 1804) dan Hegel (w. 1831). Akibat dari penekanan yang kuat terhadap rasionalitas oleh masyarakat Barat modern munculnya paham-paham yang menolak unsur-unsur non-rasional seperti yang banyak terdapat pada agama dan mistisme cenderung ditolak sebagai ilusi dan halusinasi. Wahyu yang pada dasarnya diterima melalui intuisi juga tidak diterima oleh masyarakat Barat. Bahkan Nabi sering dianggap sebagai Psikopat yang mengalami gangguan kejiwaan, khususnya epilepsi97. 2. Mengikuti dengan Setia Validitas Pandangan Dualistis mengenai Realitas dan Kebenaran. Pandangan mengenai hakikat dan kebenaran semata-mata berdasarkan pada alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya. Artinya hanya dibatasi pada dunia yang dilihat. Disamping itu, pandangan hidup Barat berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Tentu ini sangat bertentangan dengan Islam yang 96 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1, h.xvi 97 Konsep Kenabian oleh psikolog modern tidak dianggap sebagai pengalaman normal, melainkan sebagai penyakit mental. Bahkan Danah Zohar dan Ian Marshal, ketika berbicara mengenai kecerdasan spiritual, mengadopsinya sebagai contoh-contoh dari pengalaman parab pasien epilepsi. Untuk lebih lengkapnya lihat Danah Zohar dan Ian Manrshall, SQ: memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dan berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan, (Bandung: Mizan, 2001),h.81 84 memandang dunia berdasarkan kajian metafisis terhadap yang nampak dan tidak nampak, serta tidak mengenal adanya dikotomis terhadap hakikat dan kebenaran. 3. Membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan dunia sekuler. Epistemologi Barat Modern-sekulern semakin bergulir dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (w. 1831) yang terpengaruh oleh Kant. Menurut Hegel, pengetahuan adalah on going process, dimana apa yang aku ketahui dan aku mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau di “negasi” oleh tahapan baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tidak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu tidak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan98. Sedangkan dalam Islam dalam hal-hal yang sudah jelas dan final tidak bersifat temporal dan tidak memerlukan perkembangan dan perubahan. 4. 4. Pembelaan Terhadap Doktrin Humanisme. Humanisme merupakan paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusi mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul sejak zaman Yunani Lama (Yunani Kuno). Paham ini meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan untuk membuat aturan yang mengatur manusia dan alam. Peraturan ini haru berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia, yang tak lain adalah akal. Akal diyakini oleh Humanisme mampu menciptakan peraturanperaturan yang cocok untuk manusia tanpa ada intervensi dari unsur lain selain 98 Faranz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari sosialisme ke Utopis Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)h, 56 85 manusia itu sendiri. Dengan demikian Humanisme meminggirkan atau tidak mengakui peranan Tuhan dalam mengatur kehidupan manusia. Karena ilmu pengetahuan dalam kebudayaan dan peradaban Barat itu justru menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, sebagaiman yang telah dikemukakan diatas. Oleh sebab itu, al-Attas sangat khawatir terhadap masuknya aspek-aspek yang berasal dari pandangan filsafat barat kedalam pikiran elit terdidik umat Islam tersebuit sangat berpengaruh dalam menimbulkan sebuah fenomena yang oleh al-Attas diidentifisikasikan sebagai “deislamisasi pikiran umat Islam” yang begitu merusak dan membahayakan. Al-Attas menegaskan lagi bahwa ilmu yang dikembangkan Barat bukanlah bersifat sejagat tetapi umumnya sifatnya etnosentrik dan Eurosentrik khususnya. Maka ilmu itun tidak boleh digunakan apa adanya disemua tempat dan keadaan, khususnya masyarakat Islam yang mempunyai nilai dan kepercayaan yang berbeda dengan peradaban barat. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Karena ilmu tidaklah netral. Hal ini terjadi, menurut al-Attas karena ilmu sifat (shifah) jiwa yang rasional (al-nafs al-nathiqah) ketika jiwa itu memahami makna suatu objek pengetahuan, yaitu pada saat orang mengetahui dapat meletakkan obyek itu secara benar atau menghubungkannya secara tepat dengan elemen-elemen kunci pandangan hidupnya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan berada dalam otak, apa yang berada dalam luarn otak hanyalah obyek pengetahuan (al-ma’lumat).99 Bukti yang menunjukkan ilmu berada dalam otak adalah mengapa terdapat perbedaan daya tangkap antara seseorang siswa dengan siswa yang lainnya 99 Wan Mohd Nor Wan Da8ud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas h. 330-331 86 dalam merespon pelajaran yang disampaikan oleh guru yang sama dan dengan materi pelajaran yang sama, padahal mereka sama-sama memiliki otak. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya dalam membedah virus yang terkandung dalam ilmu Barat, al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. AlAttas menegaskan bahwa Islamisasi diawali dengan Islamisasi ilmu. Al-Attas menegaskan bahwa Islamisasi diawali dengan bahasa sebagaimana yang dibuktikan oleh al-Qur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Salah satu contoh Islamisasi bahasa yang dilakukan oleh al-qur’an adalah kata karim. Pada masa jahiliyah, kata ini berarti kemulyaan garis keturunan yang dengan kedermawanan, sehingga kata karim merupakan lawan kata darikata bukhl (pelit). Al-qur’an kemudian mengganti bidang semantik karama menjadi kemuliaan berdasarkan taqwa, sehingga menghasilkan suatau medan semantik yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya.100 5. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transendental, atau kehidupan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia101. D. Pengaruh Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas Terhadap Pendidikan Didalam sejarah perjalanan intelektual muslim, kita dapat melacak dan membuktikan bahwa gagasan Islamisasi Ilmu sebenarnya bukanlah suatu hal yang asing bagi umat Islam, sebab pernah dilakukan oleh para intelektual muslim pada saat itu. Pada abad ke III H, misalnya sejarah menunjukkan pesatnya terjadinya pengislamisasian ilmu-ilmu yunani. Intelektual muslim telah memahami masalah 100 101 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan sekulerisme,. h. 63 Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal 44-45 87 dikotomi yang ada pada saat itu dan berusaha bukan saja untuk mengislamikan ilmu asing akan tetapi juga melahirkan ilmu baru melalui penyelidikan. Karya al-Ghazali , Thahafatul al-Falasifah yang sangat monumental dan fenomenal merupakan salah satu contoh unggul tentang usaha Islamisasi ilmu asing pada zaman tersebut. Dalam karyanya itu al-Ghazali menonjolkan 20 ide dalam pandangan Islam 102, yang diadopsi oleh pemikir Islam dari falsafah Yunani dan menyatakan empat, diantaranya tidak bisa diterima, karena bertentangan dengan aqidah Islam yang benar103. Memang secara terminologi beliau tidak menggunakan Islamisasi, namun aktivitas yang beliau lakukan substansinya adalah sama dengan Islamisasi ilmu kontemporer. Sayyed Hosen Nasr, seorang sarjana falsafah dan sejarah sains Islam dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an. Pengaruh gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang disosialisasikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas masih sangat terbatas, hal ini yang juga diujarkan oleh al-Attas dalam sambutannya ketika dilantik sebagai ketua dewan kursi AlGhazali pada tahun 1993. gagasan ini masih terlalu dini untuk dinilai secara terperinci mengenai pengeruh Islamisasi Ilmu pengetahuan terhadap pendidikan dari mereka yang bekerja tanpa ada sokongan bantuan dana dari organisasi-organisasi dan tanpa dorongan dari media masa. Keterbatasan penilaian ini semakin tersa karena umat Islam termasuk dan disebabkan, oleh para eit dan para pemimpin mereka yang berpendidikan, “ masih berada dalam lautan kekagetan dan 102 Pertama, kemestin sebab akibat, kedua, jiwa manusia adalah jauhar (substance) yang berdiri sendiri. Tidak terpatri (muntabi’ah) dalam jisim. Ketiga, jiwa-jiwa itu tidak abadi. Keempat, mustahil jiwa-jiwa itu dikembalikan kepada jasad. (Lihat Ahmad Daudy, segi-segi pemikiran Falsafi dalam Islam, (jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet. Ke-1, h.73 103 A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (yogykarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet ke-1, h.241 88 kebimbangan terhadap diri mereka,”pandangan semacam ini telah bercokol terlebih dahulu sebelum akibat-akibatnya sempat dievaluasi. Namun, terlepas dari keterbatasan yang ada, harus diakui bahwa ide-ide al-Attas telah memancing banyak reaksi, yang diantaranya menghasilkan perkembangan yang signifikan dalam pemikiran dan praktik Islam kontemporer. Dengan menampilkan figur, seperti Shadr Al-Din Al-Syairazi atau Mulla Shadra (w. 1641 M). Falzur Rahman, salah seorang sarjana Islam terkemuka, memberikan kriteria utama yang membuat seseorang itu layak disebut sebagai seorang pemikir besar dan orisinal: Pemikir besar dan orisinal itu adalah yang menemukan gagasan pokok (master idea), yaitu prinsip dasar yang mengandung semua realitas lalu memahaminya sehingga menjadi sesuatu yang baru dan penting. Gagasan pokok itu mengubah dasar-dasar perspektif kita dalam melihat realitas bahkan memberikan solusi yang segar dan jitu terhadap permasalahan-permasalahan lama yang menganggu pikiran manusia.104 Meskipun layak untuk diperhatikan, terdapat beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan mengenai kriteria yang dikemukakan Rahman diatas. Pertama, kriteria itu menepikan manusia-manusia agung yang telah memberkahi permukaan bumi ini, yaitu para nabi. Tidak satupun diantara mereka yang megklaim telah menemukan gagasan pokok, sebab, sebagaimana yang sering dikatakan al-Attas dalam pelbagai kesempatan, sebagian besar gagasan pokok - seperti gagasan mengenai keuniversalan Tuhan dalam agama, nasib manusia, dan prinsip-prinsip 104 Fazlur Rahman, The Philoshopy of Mulla Shadra ( Albany: Newyork: SUNY press, 1975), h. 13 89 moral-pada hakekatnya tidak ditemukan oleh akal manusia yang tidak dipersiapkan. Para nabi sudah tentu bukan sekedar para pemikir seperti yang telah mereka ajarkan sangat banyak menyentuh perkara-perkara mendasar yang selama ini menghantui pemikiran manusia. Berdasarkan hal ini, kriteria lain yang lebih inklusif mengenai seseorang yang bisa disebut sebagai pemikir besar sangat diperlukan.105 Seorang pemikir besar tidak harus menemukan master idea. Sebaliknya, ia harus mampu menemukan kembali dan mengafirmasikan sebuah kebenaran yang terlupakan, terabaikan, atau tersalah pahami, dan menerjemahkan dalam pelbagai aspek pemikiran denga cara yang berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya secara mantap dan konsisten, walaupun dalam melakukan hal ini ia dikelilingi oleh pelbagai kebodohan dan penolakan. Dalam konteks al-Attas, beliau sangat layak dianggap sebagai seorang pemikir besar dan orisinal didunia Islam kontemporer, karena selama ini dia telah menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan oleh sebagian orang dan disalah pahami oleh sebagian yang lain. Kemudian dia megklarifikasikan, menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan lingkungan intelektual dan dinamikan budaya umat Islam kontemporer. Dia juga datang dengan membawa beberapa solusi terhadap pelbagai permasalahan yang berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam digugusan pulau rumpun Melayu. Tidak heran jika Fazlur Rahman memuji al-Attas dan menyebutnya sebagai “pemikir Jenius”. 105 Attas. H. 60 Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al- 90 Gagasan-gagasan dan tulisan-tulisan al-Attas dalam disiplin filsafat islam yang menyentuh pelbagai disiplin ilmu agama, pendidikan dan sains termasuk diantara yang terbaik dan paling kreatif dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer. Dia adalah orang pertama di Dunia Islam kontemporer yang mendefinisikan, mengonseptualsaskan, dan menjabarkan arti, arti dan muatan pendidikan Islam, ide dan metode islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, hakikat dan pendirian universitas Islam, serta formulasi dan sitematisasi metafisika Islam dan filsafat sains dalam bentuk yang sangat sistematis dan filosofis. Semua ide ini merupakan sesuatu yanng fundamental untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama, yang 900 tahun lalu berusaha dicapai al-Ghazali.. Wan Mohd Daud mengatakan adalah kalau dikatakan bahwa kita memerlukan versi terbaru dari peradaban Barat yang sama untuk menghadapi rentetan permasalahan yang disebabkan oleh peradaban modern dan sekuler Barat. Sebaliknya, yang kita perlukan adalah suatu peradaban yang berbeda secara mendasar dari peradaban Barat, yang berakar dalam dan dibimbing oleh ide dan tujuan agama yang benar. Ide dasar dan metode yang dipakai al-Attas sebagai sintesis yang kreatif dari ide-ide besar yang dikenal dan diakkui slema ini. Insya allah, hal ini kedepan akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan Intelektual dan kebudayaan Muslim pada masa sekarang dan yang akan datang. Al-Attas pernah terlibat dalam polemik yang serius dengan beberapa orientalis Belanda yang berpengaruh, seperti profesor G.W.J.Drewes,P.Voorhoeve, dan A. Teeuw mengenai kajian sejarah Islam, filologi dan sejarah kesusastraan 91 Melayu, suatu polemik yang memberikan titik terang dan nuansu baru dalam dunia penelitian dan kajian yang selama ini masih terasa samar-samar Dia adalah orang pertama yang dengan jelas menggagas teori umum mengenai proses Islamisasi di kepulauan Melayu-Indonesia, sebuah teori yang turut membidani lahirnya kesadaran untuk melakukan penafsiran ulang terhadap sejarah Islam di Asia Tenggara106. Selain itu al-Attas juga merupakan sarjana pertama yang menemukan dan meghitung tanggal yang tepat mengenai inskripsi trengganu dan dengan demikian telah berhasil menjawab teka-teki yang selama lebih dari setengah abad membingungkan para orientalis. Ini adalah karya yang sangat penting. Yang telah memberikan sumbangan yang penting dalam penulisan sejarah Islam di Asia Tenggara. Karya-karyanya yang lain juga memberikan catatan yang jelas mengenai asal mula syair, gubahan bahsa dalam kesusastraan bahasa Melayu, dan menetapkan Hamzah Fanshuri sebagai orang pertama yang melahirkan syair Melayu. Komentar al-Attas mengenai pandangan-pandangan Fanshuri dan Al-Raniri merupakan karya kajian manuskrip ( abad ke-16 dan ke-17) pertama yang membahas tasawuf-Melayu. Pada kenyataannya, selain menemukan dan menerbitkan penelitiannya yang sangat cermat mengenai manuskrip Melayu tertua ini, dia juga berhasil memecahkan teka-teki penyusunan kalender melayu-Islam dengan benar.. Al-Attas juga merupakan orang yang bertanggung jawab dalam memformulasikan dan mengonseptualisasikan peranan bahasa Melayu dalam pembangunan bangsa (nation building) dalam sejumlah diskusi dengan para 106 Attas h. 62. Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al- 92 pemimpin politik pada tahun 1968. formulasi dan konseptualisasi ini merupakan salah satu faktor terpenting yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi negara Malaysia. Sebagai dekan fakultas sastra, Universitas Malaya, dia secara pribadi terjun untuk menerapkan dan memobilisasikan fakultas dan organisasiorganisasi mahasiswa kearah penerapan bahasa Melayu secara lebih sistematik sebagai bahasa intelektual dan akademis. Tulisan-tulisan al-Attas berbahasa Melayu mengenai agama Islam memiliki bentuk prosa yang unik dan bisa dijadikan contoh literer bagi sarjana dan penulis malaysia yang berorientasi Islam. Sebagai seorang pemilir, filosof dan konseptor untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa Nasional Malaysia, dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisannya yang berbahasa Melayu diatas bisa dianggap sebagai aplikasi pertama pemakaian bahasa Melayu modern dalam wacana intelektual dan filsafat, hal ini dengan sendirinya menimbulkan gaya bahasa yang baru107. Syed Nasir Ismail, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Dewan Bahasa dan Pustaka, menulis dalam kata pengantarnya untuk buku al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat, bahwasanya al-Attas tidak hanya mengontribusikan bentuk-bentuk baru dan orisinal syair Melayu, tetapi juga telah mempreentasikan pemikiran-pemikiran tinggi dan beradab yang didasarkan pada filsafat.108 Zainal Abidin ibn Ahmad , seorang ahli linguistik bahasa Melayu modern terkenal yang lebih sering dipanggil dengan ZAABA, dalam kata pengantarnya untuk buku yang sama mengatakan bahwa (Rangkaian Ruba’iyat)…. Adalah sebuah karya yang berkaitan dengan pemikiran dan perasan yang muncul dari kesadaran seorang hamba terhadap Tuhannya melalui 107 I Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al- Attas h. 63 108 Al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat, (KL: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1959)h.i 93 pandangan batin dan dzauq (rasa) sebagaimana yang terjadi pada kalangan cendekiawan sufi.109 Menurut Prof. Wan Mohd Nor Daud dalam bukunya Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas mengatakan “Meskipun belum ada kajian yang memadai mengenai sumber pemikiran dan dasar-dasar kebangkitan Islam di Malaysia sejak 1970, banyak yang berpendapat bahwasanya al-Attas merupakan salah seorang tokoh yang memainkan peran penting dalam hal itu. Perlu diketahui bahwa yang terdapat dalam logo ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) dan ASASI (Akademi Sains Islam) adalah kaligrafi buatan alAttas yang sangat imaginatif. Dialah orang yang mengusulkan agar majalah ABIM diberi nama Risalah, yang pada dekade 70-an dan awal 80-an menginspirasikan karakter pergerakan ABIM untuk lebih mementingkan pendidikan daripada politik, penciptaan masyarakata Islam daripada negara atau undang-undang Islam, dan tetap mengadakan rangkaian seminar mengenai pemikiran ilmu-ilmu keislaman yang telah dibawa oleh, diantaranya Imam Syafi’I, Al- Ghazali, Ibnu Khaldun, Syah Waliyyullh dan Muhammad Iqbal. Elemen dan aktivitas ini merupakan dampak yang ditimbulkan dari ide-ide yang dikembangkan oleh Al-Attas, meskipun dia mungkin tidak setuju dengan perincian implementasi gagasannya secara keseluruhan. Disamping itu, perkembangan intelektualitas dan spiritualitas beberapa tokoh politik dan intelektual Malaysia sekarang, seperti Dato’ Seri Anwar Ibrahim, Osman Bakar, Sidek Fadil, Muhammad Affandi Hasan, dan Fuad Hasan bisa dikatakan sangat dipengaruhi ajaran dan tulisan al-Attas. Melaluinyalah kalangan 109 Al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat h.iii 94 terdidik Malaysia diperkenalkan kepada sarjana-sarjana, seperti Ismail Al-Faruqi dan Sayyed Husein Naser110. Menghidupkan kembali konsepsi ilmu menurut perspektif Islam, yng diikuti dengan penyebaran dan penerapannya yang tepat dan efektif, akan memberikan kontribusi yag rill dalam upaya mengembalikan agama Islam sebagai sebuah al-Din yang, sebagaimana disebutkan al-Attas dalam pelbagai tulisannya, tidak hanya sarat dengan muatan-muatan keruhanian, tetapi juga, sebagai akibat dari aspek keruhanian itu, datang sebagai sebuah peradaban yang luhur. Sebagaimana yang sering disampaikannya dalam aktivitas ceramah malam minggu ( Saturday Night Lecture) di ISTAC sejak 1991, peradaban Barat modern perlu meninjau kembali cara-cara dialognya dengan Islam, karena hanya peradaban Islamlah yang bisa menjadi cermin sejati dan berguna bagi Barat, yang dengannya mereka bisa melihat kesalahankesalahan mereka bahkan bisa dijadikan sandaran untuk keluar ranjau-ranjau tragedi, kehampaan, dan penderitaan hidup yang berkepanjangan yang sekarang masih menyelimuti mereka. 110 Al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat h. 65 95 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana yang telah diuraikan pada babbab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Al-Attas adalah seorang ilmuwan muslim kontemporer yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat, metafisika, sejarah sastra dan kaligrafi. 2. Ilmu tidak didefinisikan secara hadd, tetapi hanya didefiniisikan secara rasm, karena ilmu bersifat tidak terbatas (limitless) dan tidak memiliki ciri-ciri yang spesifik. 3. Menurut al-Attas, pada hakikatnya semua ilmu pengetahuan berasal dari Tuhan yang ditafsirkan oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, yaitu melalui. Panca indera, akal sehat, berita yang benar, dan intuisi. Dengan demikian, pengetahuan yang dimiliki oleh manusia merupakan hasil tafsiran terhadap pengetahuan Tuhan. Ilmu tersebut dapat diperoleh melalui dua cara: pertama, sebagai sesuatu yang datang dari Allah swt, bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau objek ilmu kedalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada makna sesuatu atau objek ilmu. 4. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu kedalam dua kelompok, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifat) dan ilmu sains. Ilmu iluminasi merupakan ilmu fardhu ‘ain. 96 Sedangkan ilmu sains teramsuk kelompok ilmu fardhu kifayah. Klasifikasi ini tidaklah statis, tapi dinamis yang dapat disesuaikan dengan kemampuan intelektual dan spiritual serta kebutuhan masyarakat. Disamping itu, klasifikasi ini juga akan membantu mengarahkan pendidikan untuk lebih jujur, praktis, dan lebih bermakna. 5. Tantangan terbesar Umat Islam saat ini adalah tantangan terhadap pengetahuan yang ditransformasikan oleh Barat keseluruh dunia termasuk dunia Islam. Pengetahuan Barat tidak semestinya diterapkan didunia Islam begitu saja, karena pengetahuan itu telah kehilangan maksud yang sebenarnya sebagai akibat dari pemahaman yang tidak adil, ia juga telah menyebabkan kekacauan tiga kerajaan alam; satwa, nabati, dan tambang, bukannya mendatangkan perdamaian dan keadilan. 6. Ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai (netral), tetapi sarat nlai yang dapat dipengaruhi dan disusupi oleh nilai-nilai budaya, agama, psikologis, pengalaman, pandangan dunia pelaku. Oleh karena itu, intuk membersihkan ilmu pengetahuan kontemporer dari nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Ilam yang terkandung dalam ilmu, al-Attas menawarkan strategi yang disebut dengan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Islmaisasi ilmu dalam dalam konsep al-Attas hanya ditujukkan kepada ilmu pengetahuan kontemporer saja, sebab turats Islamyy telah diislamkan oleh para cendekiawan muslim yang memiliki otoritas pada zaman dahulu, seperti; yang telah dilakukan oleh Imam Al-Ghazali terhadap filsafat. 97 7. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang diformulasikan oleh al-Attas merupakan “revolusi episthemologi” sebagai jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam akan tetapi juga budaya dan peradaban Barat. Dalam operasionalisasi gagasan ini melibatkan dua langkah, yaitu; pertama, mengenali dan memisahkan unsur-unsur yang dibentuk oleh budaya dan peradaban Barat, kemudian dippisahkan dan diasingkan dari tubuh pengetahuan modern, khususnya dalam pengetahuan humaniora. Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dari konsep kunci kedalam setiap cabang ilmu pegetahuan mas kini yang relevan. Proses Islamisasi ilmi pengetahuan kontemporer ini tidakah mudah, menurut orangorang yang terlibat didalamnya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap peradaban Islam dan Barat. 8. Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer bukanlah suatu evolusi tetapi pengembalian manusia kepada fitrahnya. Artinya Islamisasi ilmu ini dapat melindungi manusia khususnya umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar dan menyesatkan yang dapat menimbulkan kerusakan terhadap kehidupan umat manusia. B. Saran-saran Sebagai upaya untuk mensukseskan usaha “Mega Proyek” Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Kepada cendekiawan yang berinteraksi dengan filsafat ilmu, penulis menghimbau untuk beroartisipasi dalam menyambut, memahami, dan mengembangkan mega proyek Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer 98 sebagaimana yang telah digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Karena islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer sangat penting sekali, untuk menyelamatkan umat Islam dari nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. 2. Kepada pihak Universitas Islam yang notabene Lembaga Pendidikan Tinggi Islam yang terlibat langsung dalam upaya besar gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, diharapkan mampu menjadi “motor” dalam melakukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Memang saat ini sudah ada upaya kearah itu, seperti mengadakan seminar tentang reintegrasi ilmu agama dan umum, penerbitan buku, dan sebagainya. Akan tetapi usaha tersebut harus lebih ditingkatkan lagi dengan memformulasikan model “Pendidikan Integral” antara ilmu agama dan ilmu umum dalam penyelenggaraan pendidikan di UIN yang mampu menghilangkan nuansa pendidikan dikotomis. 3. Untuk mensukseskan Mega Proyek ini juga tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Political Will, sebab ia melibatkan institusi pendidikan dibawah kendali pemerintah yang berkuasa. Reformasi pendidikan yang selama ini cenderung bernuansa politis sudah saatnya dihilangkan, kemudian lebih diarahkan kepada kebijakan pendidikan yang mendukung pembangunan epistemologis yang sesuai dengan pandangan hidup Islam. Disamping itu, untuk merealisasi program ini membutuhkan banyk tenaga dan waktu, sudah pasti akan menelan biaya yang tidak sedikit, maka bantuan pemerintah dan organisasi-organisasi besar sangat dibutuhkan. 99 DAFTAR PUSTAKA Alatas, Ismail Fajrie, Konsep Ilmu dalam Islam. Jakarta: Diwani Publissing, 2006 Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan, 1994. ________________, Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC, 2001 ________________, Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan, 1995, cet. Ke-2 ________________, Aims and Objectives of Islamics Education. Jeddah: Hodder and Stoughton, King Abdul Azis University, 1979 ________________, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, cet. ke-2. al-Faruqi, Ismail Rajie, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Tauhid. Bandung: Pustaka, 1995, cet. Ke-2. Assegaf, Abdur Rahman, Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004. cet. Ke-1 Bachtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, cet. Ke-2. Barker, Anton dan Zubair, Charris, Ahmad, Metodologi Penelitian Filsafat. Yogya: Kanisius, 1990 Bakar, Osman, Tawhid and Science: Essay on the History and Philosophy of Islamic Science diterj. Yulianto Liputo, Tauhid dan Sains: Essay Tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, cet. Ke-1 Daudy, Ahmad, Segi-segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, cet. Ke-1 Fauzi, Ahmad, Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia, 1991. cet. Ke-2 100 Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1998. cet. Ke 10. Hasbullah, Muflich, Proyek Islamisasi Sains: Dekonstruksi Modernitas dan Rekonstruksi Alternatif Islam. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000. cet. Ke-1 Isha, Manshur, Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001. cet. Ke-1 Keraf, Sony dan Dua, Mikhael, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001, cet. ke-1 Kartanegara, Mulyadi, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Lathief, Yudi dan Ibrahim, Subandi, Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat Pasca Modern. Jurnal ‘Ulumul Qur’an, no.3. Vol. V, 1994 Khuza’I, Rodhiyah: Dialog Epistemologi Muhammad Iqbal dan Charles S. Peirce. Bandung: PT. Refika Aditama, 2007 Keddie, Nikki R, (ed), Scholar, Sains and Sufisme: Muslim Religion Institution in The Middle East Since 1500. Berkeley dan Los Angeles, 1972. Mahdi, Muhsin“ Religious Belief and Scientific Belief”, The American Journal of Islamic Social Science jil. 11, no.2, musim panas 1994 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Mizan, Syaiful, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dalam Jurnal Al-Hikmah no.3. 1991. Mughal dan Rais, Amien, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan. 1990 Mulyanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Ulumul Qur’an. No. 9, Vol II/ 1991. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006 101 Nasser, Seyed Husein, Islam dan Krisis Lingkungan. Terj. Al-Abbas AlJauhari dan Ihsan Ali Fauzi. Jurnal Islamika. No,3. 1994 Nowothny, Helga, Knowledge Without Science. Science Without Knowledge. The Touch of Midas. Mancester University Press, 1984. Nata, Abudin, et, al, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003, cet. Ke-1 Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap Perkembangan Modern. Jakarta: P3M, 1985. Qadir, C.A, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002. Qomar, Mujammil, Epistemologi Pendidikan Islam, Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Surabaya: Erlangga, 2005. Rahman, Fazlur, The Philosophy of Mulla Shadra. Albany, Newyork: Sunny Press, 1975. ____________, “ Some Reflection on the Recontruction of Muslim society in Pakistan”, Islamic Studies, jil.6, no.2, juni 1967. Saefuddin, AM, Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1990 Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, editor dan terj. Ae Priyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998. Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Rauzz Media, 2005, cet. Ke-1 Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992 Sumantri, Jujun.S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cet. Ke-VI Sholeh, A. Khudhori, Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. cet, ke-1 Sholeh, Munawwar, Cita-cita Realita Pendidikan, Pemikiran dan Aksi Pendidikan di Indonesia. Depok: Institut For Public Education, 2007. cet. Ke-1. 102 Suseno, Frans Magnis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme ke Utopis Perselisiham Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001 Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004, cet. Ke-1 _____________, Filsafat Umum. Akal dan Hati, sejak Thales sampai Capra. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002 Usa, Muslih, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Jogjakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1991. Wan Daud, Nor Wan Mohd, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan, 2001, cet. Ke-1 Zubaedy, Islam: Benturan dan Antarperadaban. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007. cet ke-1