Diskusi dimulai dengan pemaparan Sdr. Ahmad Dimyati tentang konsep pendidikan menurut Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, yang dirujuk dari buku beliau The Concept of Education in Islam: A Framework for An Islamic Philosophy of Education”. Dalam pemaparannya, ia menjelaskan bahwa Al-Attas dalam penjabarannya mengenai pendidikan Islam lebih banyak berangkat dari analisa Semantik Arab. Bahasa Arab merupaka bahasa ilmiah (scientific) dilihat dari aspek definitif dalam sistem yang sangat rapi dalam pemaknaannya. Sedangkan bahasa-bahasa yang ada hari ini tidak seteliti bahasa ini; utamanya kata-kata yang menyampaikan makna tentang kebenaran absolut dan obyektif. Berbicara konsep pendidikan, Al-Attas tergolong rapi dan teliti. Hal itu bisa dilihat definisinya yang sangat detail. Dia memulai definisinya dengan menyatakan: “Education is something progressively instilled into man.” Definisi ini mencakup tiga komponen penting; isi (something), proses (instilled), dan penerima pendidikan (man). Dalam definisi ini Al-Attas lebih menekankan isi, bukan proses. Berbicara manusia, menurutnya, ia bukanlah terdiri dari aspek jasad dan hewani belaka, tapi ia juga sebagai manusia rasional, yang mempunyai kapasitas memahami pembicaraan (speech) dan kemampuan memformulasi makna (ma’na). Dengan kapasitasnya ini, manusia telah dianugerahi kemampuan internal untuk menghubungkan antara makna dan pengetahuan (knowledge) yang dalam istilah Islam dikenal dengan ‘aql (intellectus). Dalam mendefinisikan ilmu, al-Attas mengajukan dua denisi sekaligus; (a) tibanya (husul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; dan (b) tibanya jiwa (wusul) kepada makna suatu obyek ilmu. Yang pertama menunjukkan bahwa ilmu itu berasal dari Allah Swt. Sedangkan yang kedua menunjukkan bahwa manusia kreatif mengenali ilmu di alam semesta ini. Tugas manusia dalam pendidikan adalah mengenali ilmu Allah Swt. (re-cognize meaning). Berkaitan dengan ini, Al-Attas menyempurnakan definisi pendidikan menjadi:“Recognition of the proper places of thing in the order of creation, such that it leads to recognition of the proper place of God in the order of being and existence.” Pengenalan manusia terhadap ilmu ini sudah termaktub dalam Al-Quran (QS: 2: 31 dan 7: 172) sebagai pengenalan kembali apa yang telah dahulu ia ketahui. Setelah mengenalnya, maka keperluan yang mendesak baginya adalah aksi atau amal (‘amal). Aksi tidak dapat berjalan tanpa adanya pengakuan (acknowledgment). Menurut Al-Attas, manusia sudah dilengkapi alat kognisi spiritual sebelum ia lahir, yang disebut dengan ma’rifah, sehingga setelah berbentuk fisik ia berkewajiban mengenal kembali apa yang telah disaksikannya dulu dengan dua aspek sekaligus; aspek fisikal dan non-fisikal. Dengan alasan inilah, kemudian, Al-Attas menambah lagi definisi pendidikannya dengan menyatakan: “Recognition and acknowledgement of the proper places of thing in the order of creation, such that it leads to recognition of the proper place of God in the order of being and existence.” Pengakuan (acknowledgement) ini hukumnya wajib dan sekaligus tugas baginya (duty and obligation). Istilah Arab lainnya untuk melaksanakan apa yang dikenal (re-conized) disebut tahqiq, yakni realisasi, afirmasi dan confirmasi, dan aktualisasi. Karena, menurut alasannya, pengenalan saja itu tidak cukup, karena kalau hanya demikian sama saja dengan ta’allum (proses belajar). Istilah Arab paling komprehensif yang mencakup semua aspek yang telah Al-Attas uraikan di atas tidak ada kata lain selain adab. Ia adalah pendidikan bagi fisik (body), pemikiran (mind), dan jiwa (soul). Sedangkan kata ta’lim dan tarbiyah kurang tepat digunakan untuknya. Al-Attas juga tidak setuju kalau tarbiyah-ta’lim-ta’dib dipakai secara bersamaan untuk pendidikan, karena cukup kata ta’dib saja yang mengakomudir pendidikan universal dalam Islam. Selanjutnya Al-Attas membahas problem-problem pendidikan dan solusinya. Menurutnya, manusia ber-adab adalah tujuan utama dari pendidikan Islam. Namun melihat kenyataan sekarang, di mana banyak umat tidak beradab, hal itu disebabkan oleh aspek eksternal dan internal; aspek eksternal disebabkan oleh tantangan religio-kultural dan sosio-politis dari kultur dan kebudayaan Barat; dan aspek internalnya bisa dilihat dari tiga fenomena; kebingungan dan salah dalam memahami ilmu; hilangnya adab di antara mereka; munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak kapabel dan tidak pantas memikul tanggung jawab. Pertama-tama yang harus diatasi adalah hilangannya adab, karena kebingungan dan kesalahan memahami ilmu serta munculnya pemimpin buruk adalah berasal dari hilangnya adab. Ilmu yang benar tidak bisa diperoleh tanpa adab. Namun demikian, pengertian adab dan ta’dib sebagai pendidikan yang sempurna tidak diapresiasi oleh kebanyakan orang Islam di dunia. Ini menunjukkan bahwa konsep ini tidak diserap oleh ummat secara luas, atau kosepnya hanya menyentuh kalangan menengah ke atas dalam bidang pemikiran. Selanjutnya Al-Attas membahas sistem pendidikan dalam Islam. Menurutnya, sistem pendidikan yang sempurna adalah yang merefleksikan sistem yang ada pada manusia. Karena menurutnya, di dalam diri manusia ini ada sistem yang teratur dan rapi. Ia bagaikan miniatur alam semesta yang sudah tersistem. Kemudian Al-Attas mengambil bentuk universitas sebagai institusi tertinggi yang merefleksikan sistem manusia ini. Menurutnya pula, karena universitas itu universal yang membawahi fakultas-fakultas, maka ia harus menggambarkan manusia yang universal pula. Manusia universal ini disebutnya dengan ’manusia sempurna’ (insan kamil). Hanya Islam yang mempunyai figur manusia sempurna seperti Nabi Muhammad Saw. Bagaimana sistem pendidikan manusia sempurna ini? Manusia terdiri dari jiwa (soul) dan raga (body); fisik dan spirit. Dalam sistem dirinya, jiwanyalah yang mengatur raganya, seperti Allah Swt. mengatur alam semesta. Dia merupakan sistem integral, dimana spiritual mempunyai keterkaitan erat (interconnected) dengan fakultas-fakultas fisiknya. Hanya manusia yang mempunyai dua alam ini (alam spirit dan alam fisik), maka dia pula yang hanya mempunyai dua macam ilmu; ilmu yang diberikan dan diperoleh dari Tuhan (husul dan wusul). Ilmu yang pertama disebut fardu ’ayn dan yang kedua fardu kifayah. Ilmu fardu ’ayn terdiri dari Al-Quran, Sunnah, Syari’ah, Tauhid, Tasawwuf, dan sain linguistik. Sedangkan ilmu fardu kifayah terdiri dari Sain Humaniora, Sain Alam, Sain Terapan, dan Sain Teknologi. Berkaitan dengan ilmu fardu kifayah, Al-Attas berpendapat bahwa ilmu ini harus melalui proses islamisasi, yakni pembebasan dari magis, mitos, animistik, tradisi kultur-nasional, dan kontrol sekuler yang menguasai pikiran dan bahasanya. Salah satu caranya adalah pengunaan elemen-elemen dan istilah-istilah kunci harus berdasarkan cara pandang Islam (islamic worldview), utamanya berkenaan dengan Sain Humaniora. Istilah yang digunakannya adalah pengisolasian (isolation) setiap cabang ilmu rasional, intelektual, dan filsafat dari istilah-istilah kunci asing (alien key term). Karena menurutnya, islamisasi bahasa akan mengantarkan kepada islamisasi pemikiran dan keilmuan. Sedangkan de-islamisasi adalah infiltrasi konsepkonsep asing ke dalam pemikiran umat Islam, yang disebabkan kelupaannya terhadap agama dan tugas dari Allah Swt. dan RasulNya, yang akibatnya akan kembali pada dirinya. Sehingga, apabila berbuat de-islamisasi pada dirinya, itulah kezaliman bagi dirinya sendiri. Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi magis, mitos, animis dan faham kebangsaan dan kebudayaan pra-Islam, kemudian dari kendali sekuler atas nalar dan bahasanya.[5] Bagi al-Atas misalnya, islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsurunsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman. Sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah.[6] Mengenai ilmu pengetahuan modern, al-Attas berpendirian relatif jauh lebih terbuka dibandingkan dengan beberapa pemikir lainnya, karena ia menganggap islamisasi ilmu pengetahuan tidaklah berhubungan langsung dengan teoriilmu pengetahuan tertentu, karena sampai tingkat tertentu, temuan ilmu pengetahuan, misalnya toeri gravitasi Newton, adalah bebas nilai. Dalama filsafat ilmu pengetahuan modern, terutama al-Attas mengkritik pandangan mengenai sumber ilmu yang tidak mengakui adanya sumber kebenaran mutlak, seperti Alquran, dan otoritas serta metodenya. Dalam upayanya mengajukan alternatif, al-Attas bergerak lebih jauh dengan menunjukkan secara terperinci dasar-dasar penciptaan epistemology Islam, yang terutama dicapai oleh para filsuf muslim terdahulu. Ini terutama dibahas dalam karya terakhirnya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (mukadimah bagi Metafisika Islam, 1995), yang berupaya mengupas asasasas metafisika dan epistemology Islam dengan bersandar pada para temuan filsuf muslim itu. Jika semua ini telah terumuskan dengan baik, dan diajarkan kepada individu muslim sedemikian hingga ilmu ini cukup dihayati, maka Islamisasi tidak menjadi persoalan lagi karena akan terjadi secara otomatis melalui diri individu itu. Jadi “lokus” islamisasi bukanlah disiplin ilmu, namun individu ilmuannya.[7] tajuk pemikiran hasan al banna dlm pendidikan akhlak masyarakat akk wt tajuk ape?