Emisi Gas Dinitrogen Oksida pada Padi Gogorancah oleh

advertisement
WIHARDJAKA ET AL.: EMISI GAS DINITROGEN OKSIDA DARI PADI GOGORANCAH
Emisi Gas Dinitrogen Oksida pada Padi Gogorancah oleh Pemberian
Jerami Padi dan Bahan Penghambat Nitrifikasi
A. Wihardjaka1, S. Djalal Tandjung2, B. Hendro Sunarminto3, Eko Sugiharto4
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian
Jakenan, Pati Jawa Tengah
2
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
3
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
4
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
1
ABSTRACT. Nitrous Oxide Emission from Direct Seeded Rice
Due to Application of Rice Straw and Nitrification Inhibitor
Materials. Alternate of wet-dry soil conditions under rainfed
lowland had influenced the source and sink dynamics of
Greenhouse Gas production. Lowland rice soil is considered a
source of nitrous oxide (N 2 O) emission, produced through
nitrification and denitrification processes by microbes. Incorporation
of rice straw into soil and application of nitrification inhibitors are
expected to sustain soil productivity and to increase N fertilizer
efficiency for rice under rainfed lowland. A field experiment was
conducted in a rainfed lowland rice during the 2009/2010 rainy
season, to identify the effect of interaction between rice straw
and nitrification inhibitors application, on N2O emission from a direct
seeded rice cropping. The experiment was arranged in a factorial
randomized block design with three replications. The treatments
were rice straw applications (without rice straw, fresh straw,
composted straw) and inhibitor nitrification materials (without
inhibitor nitrification, neem leaves cake, carbofuran compound).
N2O emission under direct seeded rice crop ranged from 124-485 g
N2O/ha/season. The lowest N2O emission was found in plots treated
with fresh rice straw combined with neem leaves cake (124±6 g
N2O/ha/season), while the highest N2O emission (485±14 g N2O/ha/
season) was found in the control plots. Treatments with fresh
straw or composted straw reduced N2O flux in the direct seeded
rice crop by 33% and 28%, respectively. Applications of neem
leaves cake and carbofuran pesticides suppressed N2O emission
by 30 to 57% and 12 to 48%, respectively. Rice straw incorporation
into rainfed lowland soils could reduce nitrous oxide emission.
Neem leaves cake has a prospect as a nitrification inhibitor material
cheaper, easier, and more effective in decreasing N2O emission
from rained lowland soils.
Keywords: Nitrous oxide emission, rainfed lowland, rice straw,
nitrification inhibitors
ABSTRAK. Kondisi tanah basah-kering silih berganti pada sawah
tadah hujan mempengaruhi dinamika emisi gas rumah kaca. Tanah
sawah merupakan salah satu sumber antropogenik emisi gas rumah
kaca dinitrogen oksida (N 2 O) yang dihasilkan melalui proses
mikrobiologis nitrifikasi-denitrifikasi. Pengaruh pengembalian jerami
padi dan pemberian bahan penghambat nitrifikasi terhadap emisi
N2O untuk mempertahankan produktivitas tanah sawah tadah hujan
dan meningkatkan efisiensi pemupukan N belum banyak dikaji.
Percobaan lapangan dilaksanakan pada Musim Hujan 2009/2010 di
lahan sawah tadah hujan untuk mengetahui interaksi pemberian
jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi terhadap emisi gas
N2O pada pertanaman padi gogorancah di lahan sawah tadah hujan.
Percobaan disusun menggunakan rancangan faktorial acak
kelompok dengan perlakuan jerami padi (tanpa jerami, jerami segar,
jerami melapuk) dan bahan penghambat nitrifikasi (tanpa
penghambat nitrifikasi, tepung biji mimba, senyawa karbofuran)
dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
144
kombinasi jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi nyata
menurunkan emisi N2O dari tanah sawah. Emisi N2O dari pertanaman
padi gogorancah berkisar antara 124-485 g N2O/ha/musim. Emisi
N2O terendah dihasilkan pada petak perlakuan kombinasi pemberian
jerami segar + biji mimba sebesar 124±6 g N2O/ha/musim, sedangkan
emisi N 2 O tertinggi dihasilkan pada petak perlakuan tanpa
penghambat nitrifikasi dan tanpa jerami padi (petak kontrol) dengan
fluks 485±14 g N2O/ha/musim. Pemberian jerami segar dan jerami
lapuk menurunkan fluks N2O dari pertanaman padi gogorancah
masing-masing sebesar 33% dan 28%. Pemberian bahan
penghambat nitrifikasi berupa biji mimba dan karbofuran menekan
emisi N 2 O masing-masing sebesar 30-57% dan 12-48%.
Pembenaman jerami padi ke dalam tanah tadah hujan dapat
menurunkan emisi N 2 O. Biji mimba prospektif sebagai bahan
penghambat nitrifikasi yang murah, mudah, dan efektif menurunkan
emisi N2O dari tanah sawah tadah hujan.
Kata kunci: Emisi N2O, sawah tadah hujan, jerami padi, bahan
penghambat nitrifikasi
T
anah sawah merupakan salah satu sumber
antropogenik utama gas dinitrogen oksida (N2O),
yang berkontribusi terhadap pemanasan global.
Tanah pertanian memberikan kontribusi terhadap emisi
N2O sebesar 0,2-2,1 Tg N2O (Hansen and Bakken 1993).
Konsentrasi N2O di atmosfer dilaporkan mpeningkat
dengan laju 0,25% setiap tahun (Snyder et al. 2009). Gas
N2O mempunyai waktu tinggal di atmosfer relatif lebih
lama dibandingkan dengan CO2 dan metana, dengan
potensi pemanasan global 250-310 kali lebih tinggi
daripada CO2 (Abao et al. 2000).
Gas N2O merupakan hasil samping proses nitrifikasi
dan denitrifikasi di tanah pertanian. Gas N2O dari tanah
dihasilkan oleh mikrobia nitrifikasi selama oksidasi
ammonium menjadi nitrat dan oleh mikrobia
denitrifikasi selama reduksi nitrat. Bakteri nitrifikasi
(Nitrosomonas dan Nitrobacter) yang merupakan bakteri
kemoautotrofik berperan dalam proses nitrifikasidenitrifikasi yang bertanggung jawab terhadap
kehilangan N dari lahan sawah (Minami and Fukushi
1984). Pada kondisi tanah reduktif, bakteri anaerobik
fakultatif denitrifikasi mengubah nitrat menjadi molekul
nitrogen (N2O, N2) (Klemedtson et al. 1988).
Ketersediaan nitrat dalam tanah merupakan salah
satu faktor yang menentukan laju denitrifikasi. Nitrat
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 3 2010
sangat tidak stabil pada kondisi tanah tergenang, yang
dalam beberapa hari setelah penggenangan akan hilang
sebagai N2O dan N2 melalui denitrifikasi (Fagi and
Adiningsih 1989). Proses denitrifikasi menghasilkan gas
N2O dalam suasana anaerob, dan dilaporkan pula proses
tersebut dapat berlangsung dengan adanya O 2 .
Beberapa bakteri denitrifikasi menggunakan O2 dan NO2secara simultan sebagai akseptor elektron (Klemedtson
et al. 1988).
Pemberian bahan pembenah organik pada tanaman
budi daya diduga memacu peningkatan aktivitas
mikrobia denitrifikasi dan emisi N2O (Meijide et al. 2009).
Jerami padi merupakan salah satu bahan pembenah
organik ketersediaannya melimpah padai ekosistem
sawah tadah hujan. Pengelolaan jerami padi pada tanah
sawah tadah hujan dapat mempengaruhi pola dan
volume emisi gas N2O. Menurut Xiong et al. (2007), selain
pupuk N anorganik, pupuk organik adalah sumber
penting pelepasan N2O ke atmosfer. Masukan bahan
organik yang mudah terdegradasi melalui pembenaman
sisa tanaman ke dalam tanah akan meningkatkan jumlah
denitrifier dan laju denitrifikasi, sehingga memberikan
kondisi menguntungkan bagi pembentukan N2O (Granli
and Bockman 1994).
Kehilangan hara N melalui nitrifikasi-denitrifikasi
menyebabkan efisiensi pupuk N rendah (Arafat et al.
1999). Hara N yang hilang melalui denitrifikasi di lahan
sawah berkisar antara 30–40% (De Datta et al. cit Fagi
and Adiningsih 1989), sehingga mempengaruhi
keseimbangan N dalam sistem produksi tanaman
(Hansen and Baken 1993). Penggunaan bahan
penghambat nitrifikasi merupakan salah satu
pendekatan dalam mitigasi pencucian nitrat dan emisi
gas N2O. Beberapa bahan penghambat nitrifikasi
komersial telah tersedia tetapi relatif mahal, antara lain
nitrapyrin, sulfathiazole, dicyandiamide, 2-mercaptobenzothiazole, dan thiourea (Unger et al. 2009). Menurut
Kusmaraswamy et al. cit. Sahrawat (2004), pestisida
golongan karbamat seperti karbofuran (2,3-dihidro-2,2dimetil-7-benzofuranil metilkarbamat) selain untuk
mengendalikan hama tanaman juga dapat berfungsi
sebagai bahan penghambat nitrifikasi.
Beberapa bahan alami dapat berpotensi sebagai
penghambat nitrifikasi, antara lain biji mimba
(Azadirachta indica A Juss). Di Indonesia, biji mimba
umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati
dalam budi daya tanaman pangan, namun belum
banyak dimanfaatkan sebagai sebagai bahan
penghambat nitrifikasi. Biji mimba mengandung
metabolit sekunder berupa polifenol atau lemak tidak
jenuh tertentu yang dapat berfungsi sebagai
penghambat nitrifikasi dan dapat pula meningkatkan
efisiensi pupuk urea (Rao 1994).
Informasi penggunaan bahan alami mimba sebagai
penghambat nitrifikasi dan pengaruhnya terhadap emisi
N2O pada lahan sawah tadah hujan masih terbatas. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji emisi
gas dinitrogen oksida (N2O) dari tanah sawah tadah
hujan melalui interaksi pemberian jerami padi dan
bahan yang berfungsi sebagai penghambat nitrifikasi
pada pertanaman padi gogorancah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di lahan sawah tadah hujan di
Kecamatan Jaken, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada
musim hujan (MH) 2009/2010. Tanah di lokasi penelitian
diklasifikasikan sebagai Vertic Endoaquepts yang
bereaksi agak masam (pH-H2O 5,6) dengan kandungan
N total rendah (0,3 mg/g), C-organik rendah (3,2 mg/g),
dan tipe iklim menurut klasifikasi Oldeman termasuk
E2-E3.
Percobaan menggunakan rancangan faktorial acak
kelompok dengan tiga ulangan. Faktor I berupa jerami
padi yang terdiri atas tiga perlakuan (tanpa jerami, jerami
segar 5 t/ha, jerami melapuk 5 t/ha). Faktor II berupa
pemberian bahan penghambat nitrifikasi yang terdiri
atas tiga perlakuan (tanpa bahan penghambat nitrifikasi,
tepung biji mimba 20 kg/ha, nemasida berbahan aktif
karbofuran 20 kg/ha).
Benih padi Ciherang ditanam dengan cara ditugal,
3-5 butir per lubang, masing-masing pada petakan
berukuran 4 m x 5 m dengan jarak tanam 20 cm x 20
cm. Bahan pembenah organik (perlakuan jerami)
diberikan bersamaan dengan pengolahan tanah dengan
cara dibenamkan, dan lahan diratakan. Bahan
penghambat nitrifikasi ditumbuk dan diayak dengan
ayakan 0,5 mm, diberikan bersamaan dengan
pemberian pupuk nitrogen. Pupuk anorganik diberikan
sesuai dosis anjuran setempat, yaitu 120 kg N, 45 kg P2O5,
dan 60 kg K2O/ha. Pupuk N diberikan tiga tahap yaitu 1/
3 bagian pada saat 25 hari setelah tumbuh (HST), 1/3
bagian pada fase anakan aktif, dan 1/3 bagian pada fase
primordia bunga. Pupuk P diberikan sekaligus pada 25
HST. Pupuk K diberikan dua tahap, yaitu ½ bagian pada
25 HST dan ½ bagian lagi pada fase primordia bunga.
Kandungan hara N, P, K dalam jerami padi dipertimbangkan dalam penghitungan kebutuhan pupuk
anorganik. Pemeliharaan tanaman dilakukan secara
intensif sesuai anjuran spesifik lokasi. Pengendalian
hama dan gulma juga secara intensif sesuai dengan
kondisi di lapangan.
Data yang diamati meliputi fluks gas dinitrogen
oksida, populasi bakteri denitrifikasi (metode Most
Probable Number), respirasi tanah (metode jar), dan
145
WIHARDJAKA ET AL.: EMISI GAS DINITROGEN OKSIDA DARI PADI GOGORANCAH
kandungan nitrat (metode Morgan-Venema). Populasi
bakteri denitrifikasi dan respirasi tanah diamati pada saat
tanaman fase primordia bunga (60 HST). Fluks gas N2O
diukur pada beberapa fase pertumbuhan tanaman (fase
anakan aktif, anakan maksimum, primordia bunga,
keluar malai atau pembungaan, pengisian gabah atau
masak) menggunakan metode sungkup tertutup dan
prosedur análisis fluks N2O menurut Lantin et al. (1995).
Respirasi tanah diukur dengan cara memasukkan
contoh tanah sebanyak 100 g bobot kering mutlak ke
dalam gelas piala volume 1.000 ml. Ke dalam gelas piala
tersebut dimasukkan dua buah gelas piala 20 ml yang
masing-masing berisi 5 ml larutan KOH 0,1N dan 5 ml
H2O. Gelas piala 1.000 ml ditutup rapat dan diinkubasi
selama satu minggu dalam ruang gelap. Setelah inkubasi,
larutan KOH dan H2O masing-masing dititrasi dengan
larutan HCl. Respirasi tanah ditetapkan dengan formula
dalam Anas (1989) sebagai berikut:
dimasukkan ke dalam tabung kultur. Pemipetan dimulai
dari seri pengenceran tertinggi dan diulang tiga kali
sesuai dengan daftar yang akan digunakan. Tabung
kultur ditutup rapat dan diinkubasi selama dua minggu
pada suhu 28 o C. Media kultur yang digunakan
merupakan campuran nutrient broth dengan larutan
KNO3. Tabung yang menunjukkan terbentuknya gas
ditandai oleh terjungkitnya posisi tabung durham
sebagai tabung positif dari seri pengenceran. Jumlah
tabung positif dicocokkan dengan tabel MPN. Populasi
mikroba denitrifikasi dihitung dengan metode MPN
seperti yang tercantum dalam Anas (1989).
Data dianalisis sidik ragam, dilanjutkan dengan uji
beda nyata terkecil (BNT). Hubungan fluks N2O dengan
ketersediaan substrat dan populasi mikroba pada fase
pertumbuhan primordia bunga ditunjukkan oleh
persamaan regresi berganda Yi = βo + β1X1i + β2X2i +
β3X3i + β4X4i di mana Yi = fluk N2O dan peubah bebas
X1= kandungan nitrat, X2 = kandungan C organik, X3 =
populasi mikroba total, X4 = respirasi tanah, βo =
intercept dan β = koefisien regresi. Koefisiensi
determinasi dihitung menggunakan formula dalam
Piegorsch dan Bailer (2005).
R = [(A-B0.N.120] / t
R : respirasi tanah dalam mg C-CO2/g/hari
A : ml HCl contoh tanah
B : ml HCl blanko
N : normalitas HCl
t : lama inkubasi (hari)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode MPN (most probable number) dipakai untuk
menghitung jumlah bakteri nitrifikasi dan bakteri
denitrifikasi. Contoh tanah 10 g dari masing-masing
perlakuan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml
yang mengandung larutan fisiologis, dikocok selama 30
menit, dan dibiarkan beberapa menit. Suspensi tanah
0,1 ml dari seri pengenceran (10-3-10-5) dipipet dan
Tanpa jerami padi
Fluks N2O (ug N2O/m/menit)
4,5
Fluk N2O pada Beberapa Fase Pertumbuhan
Padi Gogorancah
Pola fluk dinitrogen oksida pada tanaman padi
gogorancah tinggi pada awal pertumbuhan tanaman
(fase anakan aktif) dan menurun hingga fase pengisian
Jerami segar
Jerami melapuk
4,0
3,5
3,0
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
25
45
60
75
95
25
45
60
75
95
25
45
60
75
95
Hari setelah tumbuh (HST)
Tanpa bahan penghambat
Biji Mimba
Karbofuran
Gambar 1. Pola emisi dinitrogen oksida dari tanah sawah yang diberi jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi
pada pertanaman padi gogorancah. Jakenan, MH 2009/2010.
146
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 3 2010
gabah atau fase pemasakan (Gambar 1). Fluk N2O awal
pertumbuhan tanaman pada perlakuan tanpa jerami
padi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
pengembalian jerami segar atau jerami melapuk ke
dalam tanah. Tinggi fluk N2O saat awal pertumbuhan
tanaman terkait dengan kondisi kering tanah sawah atau
aerob dan mulai tergenang setelah tanaman berumur
30 HST (Gambar 2).
Interaksi pemberian jerami padi dan bahan
penghambat nitrifikasi nyata mempengaruhi fluk N2O
pada fase anakan aktif (25 HST), fase anakan maksimum
(45 HST), fase primordia bunga (60 HST), fase keluar
malai atau pembungaan (75 HST), dan fase pengisian
gabah (95 HST). Pemberian jerami padi tidak nyata
mempengaruhi fluk N2O pada saat tanaman berumur
60 HST, pemberian bahan penghambat nitrifikasi tidak
nyata pada saat tanaman berumur 60 dan 75 HST. Fluk
N2O pada fase anakan aktif, anakan maksimum,
primordia, berbunga, dan pengisian gabah masingmasing berkisar antara 0,84-4,12; 0,05-0,50; 0,07-0,19;
0,04-0,22; dan 0,03-0,51 ug N2O/m/menit. Fluk N2O
tertinggi umumnya dihasilkan pada perlakuan kontrol
atau tanpa pemberian jerami padi maupun bahan
penghambat nitrifikasi.
Salah satu faktor kunci yang mempengaruhi volume
fluk N2O adalah kandungan air tanah (Xiong et al. 2007).
Kondisi tanah aerob pada awal pertumbuhan tanaman
padi diduga menguntungkan bagi pembentukan N2O
melalui proses nitrifikasi. Pasokan air hujan pada tanah
kering akan meningkatkan emisi N 2 O karena
peningkatan masukan N ke dalam pool N organik tanah
(Verchot et al. 2008). Laju dekomposisi bahan organik
tanah pada kondisi aerob umumnya berlangsung lebih
cepat sehingga jumlah karbon mudah tersedia
berkurang dan kebutuhan akseptor elektron meningkat
selama mineralisasi intensif yang menyebabkan reduksi
NO3- menjadi gas N2O (Gardini et al. 1991).
Emisi N2O dari Tanah Sawah Tadah Hujan
Pemberian jerami padi nyata mempengaruhi emisi N2O
terhadap pertumbuhan hasil gabah. Pemberian bahan
penghambat nitrifikasi nyata mempengaruhi emisi N2O
dan interaksinya dengan jerami padi juga nyata terhadap
pertumbuhan tanaman, tetapi tidak terhadap hasil
gabah. Pemberian bahan penghambat nitrifikasi biji
mimba memberikan hasil gabah relatif lebih rendah
daripada karbofuran (Tabel 1).
Emisi N 2O dari pertanaman padi gogorancah
berkisar antara 124-485 g N2O/ha/musim (Tabel 1). Emisi
N2O dari perlakuan tanpa jerami padi, jerami segar, dan
jerami melapuk masing-masing 316, 212, dan 227 g N2O/
ha/musim. Dibanding tanpa jerami padi, pemberian
jerami segar dan jerami melapuk menurunkan fluks N2O
masing-masing sebesar 33% dan 28%.
Pemberian pupuk N anorganik saja tanpa jerami padi
(perlakuan kontrol) menghasilkan emisi N2O lebih tinggi
daripada kombinasi pupuk N anorganik dan jerami padi
pada takaran N yang sama (perlakuan jerami segar atau
jerami melapuk saja) seperti terlihat dalam Tabel 1. Hara
N dari pupuk anorganik lebih cepat ditransformasi pada
kondisi yang sesuai dibandingkan dengan N hasil
mineralisasi pupuk organik. Selain itu, tanah Vertic
Endoaquept lebih tanggap terhadap pemupukan N
20
Tinggi air (cm)
0
-32 -28 -23 -18 -13 -8 -1 4
9 14 19 24 31 35 40 45 50 55 60 66 71 76 81 86 90 94
-20
-40
-60
-80
-100
-120
Hari setelah tumbuh (HST)
Tinggi genangan air (cm)
Tinggi muka air (cm)
Gambar 2. Tinggi genangan air sawah dan muka air tanah selama pertumbuhan padi gogorancah. Jakenan, MH 2009/2010.
147
WIHARDJAKA ET AL.: EMISI GAS DINITROGEN OKSIDA DARI PADI GOGORANCAH
Tabel 1. Pengaruh pemberian jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi terhadap emisi dinitrogen oksida pada pertanaman padi gogorancah,
MH 2009/2010.
Perlakuan
Bahan penghambat nitrifikasi
Emisi N2O
(g/ha/musim)
Hasil gabah
(t/ha)
Tanpa jerami padi
Tanpa penghambat nitrifikasi
Biji mimba
Karbofuran
Tanpa penghambat nitrifikasi
Biji mimba
Karbofuran
Tanpa penghambat nitrifikasi
Biji mimba
Karbofuran
485 ± 14 a
210 ± 3 cd
253 ± 26 bc
273 ± 7 b
124 ± 6 e
240 ± 27 bc
237 ± 30 bc
166 ± 53 de
277 ± 5 b
6,86 ± 0,58 ab
6,78 ± 0,57 b
7,18 ± 0,68 ab
7,51 ± 0,63 ab
6,99 ± 0,59 ab
7,13 ± 0,39 ab
7,80 ± 0,28 a
7,34 ± 0,53 ab
7,73 ± 0,43 a
Jerami segar
Jerami melapuk
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji beda nyata terkecil (BNT).
anorganik akibat rendahnya kandungan N dalam tanah
(0,3 mg/g), sehingga berpengaruh terhadap volume
emisi N2O meskipun kandungan nitrat dalam tanah di
sekitar perakaran tanaman lebih tinggi dibanding
kombinasi pupuk N dan jerami padi (Gambar 3).
Pemberian bahan penghambat nitrifikasi nyata lebih
rendah dalam menghasilkan emisi N2O dibanding tanpa
pemberian bahan penghambat nitrifikasi. Emisi N2O dari
perlakuan biji mimba nyata lebih rendah dibanding
perlakuan karbofuran. Volume emisi N 2 O pada
perlakuan tanpa bahan penghambat nitrifikasi, biji
mimba, dan karbofuran masing-masing 332, 167, dan
257 g N 2 O/ha/musim. Dibanding tanpa bahan
penghambat nitrifikasi, pemberian biji mimba dan
karbofuran masing-masing dapat menekan emisi N2O
sebesar 50% dan 23 %.
Efektivitas biji mimba relatif lebih tinggi dibandingkan dengan karbofuran dalam menurunkan emisi N2O,
terutama bila diberikan bersamaan dengan jerami padi
yang telah melapuk. Biji mimba potensial sebagai
penghambat nitrifikasi seperti karbofuran dan relatif
lebih ramah lingkungan. Biji mimba yang digunakan
dalam kajian ini mengandung senyawa polifenol (0,13%
tannin), yang diduga dapat menghambat aktivitas bakteri
nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi.
Emisi N 2O terendah dihasilkan dari perlakuan
kombinasi jerami segar + biji mimba sebesar 124 ± 6 g
N2O/ha/musim. Emisi N2O pada perlakuan kombinasi
jerami melapuk + biji mimba tidak berbeda nyata
dengan perlakuan kombinasi jerami segar + biji mimba,
yang berarti efektif menekan emisi N2O dari tanah sawah
tadah hujan. Baik pada petakan tanpa jerami maupun
petakan dengan jerami melapuk, pemberian biji mimba
menghasilkan emisi N 2 O terendah, diikuti oleh
pemberian karbofuran dan tanpa bahan penghambat
nitrifikasi. Pada petakan jerami segar, pemberian
karbofuran memperlihatkan fluks terendah, diikuti oleh
148
perlakuan pemberian biji mimba dan tanpa bahan
penghambat nitrifikasi.
Emisi N2O tertinggi dihasilkan dari petakan tanpa
penghambat nitrifikasi dan tanpa jerami padi atau
kontrol masing-masing dengan fluk 485±14 g N2O/ha/
musim. Tanpa pemberian jerami padi dan bahan
penghambat nitrifikasi, kehilangan N dalam bentuk N2O
tinggi. Fluk N2O tinggi dihasilkan akibat transformasi
pupuk N melalui nitrifikasi dan denitrifikasi tidak
terhambat, sehingga dihasilkan nitrat yang merupakan
substrat bagi bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi dalam
melepaskan gas N2O ke atmosfer.
Menurut Meijide et al. (2009), pemberian pupuk N
ke lahan sawah beririgasi atau sawah dengan curah
hujan tinggi menguntungkan bagi proses denittrifikasi
yang akan meningkatkan emisi N 2O ke atmosfer.
Pemberian bahan penghambat nitrifikasi dapat
menurunkan kehilangan N dalam bentuk N2O, sehingga
pupuk N anorganik dapat dimanfaatkan tanaman padi
secara efisien. Senyawa polifenol, seperti tannin yang
terkandung dalam biji mimba, merupakan salah satu
komponen bahan organik yang hanya mampu
dimanfaatkan oleh jamur, terutama genus Aspergillus
dan Penicillium, sehingga tidak dapat memanfaatkan
atau aktivitasnya terhambat (Rao 1994). Meskipun di
sekitar perakaran tanaman rizosfer tersedia asam amino
dalam jumlah besar, adanya senyawa polifenol akan
menghambat aktivitas beberapa genus bakteri dalam
menghasilkan N2O (Rao 1994).
Perbaikan produktivitas tanah sawah tadah hujan
melalui pemberian bahan pembenah organik seperti
jerami padi berimplikasi terhadap besarnya emisi N2O
dari tanah sawah. Pemberian jerami padi secara in situ
ke dalam tanah sawah umumnya meningkatkan laju
fiksasi nitrogen, laju denitrifikasi, dan emisi N2O (Vallejo
et al. cit. Meijide et al. 2009). Pemberian jerami padi dapat
menekan pelepasan N2O dari dalam tanah ke atmosfer,
Kadar NO3 dalam tanah (ppm)
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 3 2010
Tanpa jerami padi
Jerami segar
Jerami melapuk
Hari setelah tumbuh (HST
Gambar 3. Kandungan nitrat di sekitar perakaran tanaman padi gogorancah yang diberi perlakuan jerami padi dan bahan penghambat
nitrifikasi. Jakenan, MH 2009/2010.
yang berarti mengurangi kehilangan N dalam bentuk
N2O sebagai hasil proses nitrifikasi-denitrifikasi dan
sekaligus meningkatkan efisiensi pupuk N anorganik.
Peningkatan efisiensi pupuk N akan menjamin
ketersediaan N bagi pertumbuhan tanaman padi
(Yoshida 1978). Penurunan emisi N2O terjadi akibat
interaksi jerami padi dengan bahan penghambat
nitrifikasi (biji mimba atau karbofuran).
Pemberian jerami padi dan bahan penghambat
nitrifikasi alami merupakan contoh pengelolaan strategis
sumber daya tersedia dan murah yang dapat
dimanfaatkan untuk memitigasi emisi N2O melalui
pendekatan berbasis budi daya tanaman padi. Jerami
padi dan bahan penghambat nitrifikasi dapat
menurunkan emisi N 2 O, sekaligus memberikan
kontribusi terhadap perbaikan produktivitas tanah dan
serapan N oleh tanaman secara efisien. Meskipun jerami
padi dapat menurunkan emisi N2O, namun penggunaan
jerami padi dalam bentuk segar justru meningkatkan
emisi gas rumah kaca lainnya seperti metana, maka
jerami padi sebaiknya diberikan dalam bentuk kompos
(Minami 1995) atau diproses menjadi bahan pembenah
organik lain dengan nisbah C/N lebih rendah daripada
nisbah C/N dalam jerami padi segar.
Kandungan Nitrat di Sekitar Perakaran Padi
Gogorancah
Gambar 3 menunjukkan fluktuasi kandungan nitrat
dalam tanah di sekitar perakaran tanaman padi
gogorancah. Kandungan nitrat tertinggi terjadi pada fase
pertumbuhan primordia bunga (60 HST), sedangkan
kandungan nitrat relatif lebih rendah pada saat tanaman
berumur 45 dan 75 HST. Kandungan nitrat dalam tanah
saat tanaman berumur 25 HST lebih tinggi daripada 45
dan 75 HST. Kandungan nitrat pada 60 HST di petak yang
diberi jerami segar lebih rendah dibanding petak yang
diberi jerami melapuk.
Pupuk N yang diberikan pada awal pertumbuhan
tanaman padi dengan kondisi tanah kering memungkinkan terjadi proses nitrifikasi NH4+ menjadi NO3-, sehingga
NO3- terakumulasi dalam tanah. Aktivitas mikroba
aerobik akan optimal bilamana 60% air tanah mengisi
ruang pori-pori tanah (Linn and Doran cit Shrestha and
Ladha 1998). Pada fase pertumbuhan anakan aktif, curah
hujan yang cukup membatasi ketersediaan O2 di mana
lebih dari 60% air tanah telah mengisi ruang pori-pori
tanah sehingga dapat menghambat nitrifikasi NH4+
menjadi NO3-, dan NH4+ yang berada dalam tanah
merupakan bentuk N tersedia bagi tanaman padi
(Shrestha and Ladha 1998). Ketersediaan NO3--N tinggi
di sekitar perakaran tanaman pada fase primordia bunga
diduga akibat pasokan N dari pemberian pupuk tahap
ketiga dan pasokan O 2 ke dalam rizosfer yang
mengoptimalkan aktivitas mikroba aerobik dalam
nitrifikasi NH4+ menjadi NO3-. Tingginya kandungan nitrat
dalam tanah berpotensi terjadinya kehilangan N melalui
pencucian dan denitrifikasi (Fagi and Adiningsih 1989).
Peningkatan kandungan NO3- dalam tanah pada saat
panen disebabkan oleh mineralisasi N secara aerobik.
Berkurangnya kelengasan tanah menguntungkan
konversi NH4+-N menjadi NO3--N, sehingga N dalam tanah
terakumulasi dalam bentuk NO3-. Konversi NH4+ menjadi
NO3- dipengaruhi oleh status air tanah, pengolahan
tanah, pertumbuhan gulma, dan pasokan bahan
pembenah organik (Shrestha and Ladha 1998).
149
WIHARDJAKA ET AL.: EMISI GAS DINITROGEN OKSIDA DARI PADI GOGORANCAH
Hubungan antara Kadar Nitrat dalam Tanah dan
Fluk Dinitrogen Oksida
Fluks N2O (ug N2O/g tanah)
Ketersediaan N dalam tanah berpengaruh terhadap
pembentukan dan laju pelepasan gas dinitrogen oksida.
Tingginya produksi N2O tampaknya dipengaruhi oleh
kandungan nitrat di sekitar perakaran tanaman padi.
Hubungan nyata antara produksi N2O dan kadar NO3dalam tanah pada saat fase primordia bunga (60 HST)
ditunjukkan pada Gambar 4. Produksi N2O dari tanah
ditetapkan dengan mengambil contoh gas setelah
contoh tanah diinkubasi selama satu minggu. Kadar
nitrat dalam tanah dimanfaatkan oleh bakteri
denitrifikasi untuk menghasilkan N 2O yang akan
dilepaskan ke atmosfer. Peningkatkan fluk N 2 O
disebabkan oleh tingginya populasi bakteri denitrifikasi
dan ketersediaan substrat berupa nitrat dalam tanah
sawah.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa populasi bakteri
denitrifikasi dan kandungan nitrat memberikan korelasi
positif yang nyata terhadap fluk N2O pada fase primordia
,
,
,
,
,
,
,
Gambar 4. Hubungan fluk dinitrogen oksida dengan kadar nitrat
dalam tanah di sekitar perakaran tanaman padi
gogocancah pada fase primordial bunga. Jakenan, MH
2009/2010.
berbunga. Hubungan fluk N2O dengan populasi bakteri
denitrifikasi pada tanaman mengikuti persamaan Y =
0,0869 + 0,00076X (r = 0,88; p < 0,001), di mana Y = fluk
N2O dan X = populasi bakteri denitrifikasi. Pemberian
bahan penghambat nitrifikasi umumnya menurunkan
populasi bakteri denitrifikasi dan kandungan nitrat
cenderung lebih rendah pada fase primordia bunga
(Tabel 2), yang berpengaruh terhadap penurunan fluk
N2O. Fluk N2O yang lebih tinggi terjadi pada kandungan
nitrat dan populasi bakteri denitrifikasi yang tinggi di
sekitar perakaran tanaman, terutama pada perlakuan
tanpa jerami.
Kandungan nitrat dalam tanah adalah salah satu
faktor kunci yang mempengaruhi proses denitrifikasi dan
emisi N2O dari tanah pertanian (Xiong et al. 2007). Sifat
nitrat yang mobil akan mudah tercuci ke lapisan reduktif
tanah sawah yang oleh bakteri denitrifikasi akan
digunakan dalam menghasilkan gas N2O. Pada fase
primordia bunga, tanaman mengeluarkan eksudat akar
lebih banyak di sekitar perakaran. Eksudat akar tersebut
digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi atau
substrat dalam melakukan aktivitasnya, antara lain
berupa bahan organik dan nitrat. Pelepasan N2O ke
atmosfer antara lain ditentukan oleh kandungan karbon,
kandungan nitrat, aktivitas mikroba, dan populasi
denitrifikasi dalam tanah (Rao 1994).
Bahan penghambat nitrifikasi berpengaruh
terhadap penurunan populasi bakteri denitrifikasi, yang
pada kondisi anaerob berperan dalam pembentukan
dan pelepasan gas N2O dari tanah. Kondisi tanah sawah
yang tergenang selama pertumbuhan tanaman
menciptakan kondisi tanah anaerobik dengan potensial
redoks rendah yang dapat menurunkan kandungan
NO 3-N dan meningkatkan NH 4-N dan kandungan
polifenol dalam tanah (Unger et al. 2009). Peningkatan
kandungan polifenol dalam tanah dapat menghambat
Tabel 2. Pengaruh pemberian jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi terhadap fluk dinitrogen oksida, populasi bakteri denitrifikasi, dan
respirasi tanah pada fase primordia bunga tanaman padi. Jakenan, MH 2009/2010.
Perlakuan
Kontrol
Biji mimba
Karbofuran
Jerami segar
Jerami segar + biji mimba
Jerami segar + karbofuran
Jerami melapuk
Jerami melapuk + biji mimba
Jerami melapuk + karbofuran
SPK = satuan pembentuk koloni
Contoh tanah komposit dari tiga ulangan
150
Fluk dinitrogen oksida
(ug N2O/m/menit)
Populasi bakteri
denitrifikasi
(106 SPK/g tanah)
Respirasi tanah
(mg C-CO2/kg tanah/hari)
0,20
0,19
0,20
0,16
0,18
0,20
0,45
0,13
0,20
13,0
6,0
8,5
7,5
13,0
11,5
22,5
7,0
19,0
7,8
8,7
12,9
10,2
9,0
7,8
9,0
13,5
9,3
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 3 2010
aktivitas bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi meskipun
ketersediaan NO3-N dan populasi bakteri denitrifikasi di
sekitar perakaran tanaman padi relatif tinggi.
Fagi, A.M. dan J. Sri Adiningsih. 1989. Peningkatan efisiensi pupuk
nitrogen pada padi sawah irigasi dan tadah hujan. Prosiding
Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk, Cipayung
21 November 1988. p.19-33.
KESIMPULAN
Gardini, F., L.V. Antisari, M.E. Guerzoni, and P. Sequl. 1991. A
simple gas chromatographic approach to evaluate CO 2
release, N2O evolution, and O2 uptake from soil. Biol. Fertil.
Soils 12(1):1-4.
Pemberian jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi
efektif menekan emisi N2O dari tanah sawah tadah hujan.
Pemberian pupuk nitrogen tanpa bahan penghambat
nitrifikasi menghasilkan emisi N2O nyata lebih tinggi di
tanah sawah tadah hujan. Emisi N2O pada pertanaman
padi gogorancah berkisar antara 124-485 g N2O/ha/
musim. Jerami segar dan jerami melapuk menurunkan
fluks N2O dari pertanaman padi gogorancah masingmasing sebesar 33% dan 28%.
Pemberian bahan penghambat nitrifikasi berupa biji
mimba efektif menekan emisi N2O dan memberikan
hasil gabah relatif tinggi. Biji mimba dan karbofuran
masing-masing dapat menekan emisi N2O sebesar 3057% dan 12-48%.
Emisi N 2O terendah dihasilkan dari perlakuan
kombinasi pemberian jerami segar + biji mimba sebesar
124 ± 6 g N2O/ha/musim, sedangkan emisi N2O tertinggi
dihasilkan dari petakan tanpa penghambat nitrifikasi
dan tanpa jerami padi atau kontrol dengan fluk 485±14
g N2O/a/usim.
Granli, T. and O.C. Bockman. 1994. Nitrous oxide from agriculture.
Norwegian J. Agric. Sci. Suppl. 12:1-159.
Hansen, S. and L.R. Bakken. 1993. N2O, CO2 and O2 concentrations
in soil air influenced by organic and inorganic fertilizers and
soil compaction. J. Agric. Sci. 7:1-10.
Klemedtsson, L., B.H. Svensson, and T. Rosswall. 1988. Relationship
between soil moisture content and nitrous oxide production
during nitrification and denitrification. Biol. Fertil. Soils 6:106111.
Lantin, R.S., J.B. Aduna, and A.M. Javeliana. 1995. Methane
measurements in rice fields. International Rice Research
Institute. Los Banos, Manila, Philippines.
Meijide, A., Lourdes Garcý´a-Torres, Augusto Arce, and Antonio
Vallejo. 2009. Nitrogen oxide emissions affected by organic
fertilization in a non-irrigated Mediterranean barley field.
Agriculture, Ecosystems and Environment 132:106-115.
Minami, K. 1995. The effect of nitrogen fertilizer use and other
practices on methane emission from flooded rice. Fertilizer
Res. 40:71-84.
Minami, K. and S. Fukushi. 1984. Methods for measuring N2O flux
from water surface and N 2 O dissolved in water from
agricultural land. Soil Sci. Plant Nutr. 30(4):495-502.
Piegorsch, W.W. and A.J. Bailer. 2005. Analyzing environmental
data. John Wiley & Sons, Ltd. Chichester.
Rao, N.S.S. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan
tanaman. UI-Press, Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Sdr. Helena
Lina Susilowati, Rina Kartikawati, Miranti Ariyani, dan
Titi Soepiawati yang telah membantu dalam analisis fluks
N2O di laboratorium emisi gas rumah kaca Balai
Penelitian Lingkungan Pertanian di Jakenan, Pati, Jawa
Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Abao Jr, E.B., K.F. Bronson, R. Wassmann, and U. Singh. 2000.
Simultaneous records of methane and nitrous oxide emission
in rice-based cropping systems under rainfed conditions.
Nutrient Cycling in Agroecosystems 58:131-139.
Anas, I. 1989. Bologi tanah dalam praktek. Pusat Antar-Universitas
Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arafat, S.M., A. Abd El-Galil, and M. Abu Seeda. 1999. Improvement
of nitrogen fertilizer efficiency with nitrification inhibitors in
lowland rice. Pakistan Journal of Biolgical Science 2(4):11841187.
Sahrawat, K.L. 2004. Nitrification inhibitors for controlling methane
emission from submerged rice soils. Current Science
87(8):1084-1087.
Shrestha, R.K. and J.K. Ladha. 1998. Nitrogen dynamics in intensive
rainfed lowland rice-based cropping systems and strategies
to improve efficiency. p. 95-108 in J.K. Ladha, L. Wade, A.
Dobermann, W. Reichardt, G.J.D. Kirk, C. Piggin (Eds.). Rainfed
lowland rice: advances in nutrient management research.
International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines.
Snyder, C.S., T.W. Bruulsema, T.L. Jensen, and P.E. Fixen. 2009.
Review of greenhouse gas emissions from crop production
systems and fertilizer management effects. Agriculture,
Ecosystems and Environment 133:247-266.
Unger, I.M., P.P. Motavalli, and R.M. Muzika. 2009. Changes in soil
chemical properties with flooding: a field laboratory approach.
Agriculture, Ecosystems and Environment 131:105-110.
Verchot, L.V., S.B. Junior, V.C. de Oliveira, J.K. Mutegi, J.H. Cattanio,
and E.A. Davidson. 2008. Fluxes of CH4, CO2, NO, and N2O in
an improved fallow agroforestry system in Eastern Amazonia.
Agric. Ecosyst. Environ. 126:113-121.
Xiong, Z.Q., G.X. Xing, and Z.L. Zhu. 2007. Nitrous oxide and
methane emissions as affected by water, soil and nitrogen.
Pedosphere 17(2):146-155.
Yoshida, T. 1978. Microbial metabolism in rice soil. In: Soil and
rice. International Rice Research Institute. Los Banos,
Philippines. pp. 445-463.
151
Download