BAB I - E-Journal UNIS Tangerang

advertisement
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
Sukhebi Mofea
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
Oleh
Sukhebi Mofea*)
Abstrak
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan
seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat hukum terhadap diri masingmasing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban. Pada prinsipnya perkawinan
adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan
kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan
muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad
yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status
sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai
keluarga sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara keduanya. Suatu akad
perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini
dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat
dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad
yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat
serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinanperkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini
sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik,
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kata Kunci : Perkawinan Siri, Hukum Perkawinan
A. PENDAHULUAN
Allah SWT telah membekali dengan
naluri syahwat terhadap kesenangan
dunia. Dari berbagai naluri yang dikaruniakan kepada manusia, naluri
terhadap lawan jenis bisa dikatakan
sebagai syahwat terbesar yang ada
dalam dirinya. Kecenderungan ini sebelumnya juga telah ada dalam AlQur’an ketika Allah menempatkan
kecintaan laki-laki pada wanita dan sebaliknya, mendahului kecintaan manusia kepada yang lainnya. Setiap manusia pasti mendambakan hal yang namanya pernikahan, baik itu pria ataupun
wanita, karena manusia itu diciptakan
untuk berpasang-pasangan dan per-
nikahan itu adalah suatu yang sangat
sakral sehingga orang terkadang harus
berfikir seribu kali dalam mempersiapkan pernikahannya.
Perkawinan juga merupakan bagian
hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan berbagai
macam alasan yang bisa dibenarkan
perkawinan sering dilakukan dalam
berbagai macam model seperti kawin
bawa lari, kawin bawah tangan dan
juga kawin kontrak sehingga muncullah kawin yang skarang paling popular
di masyarakat yakni kawin siri. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini adalah
perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum
Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
66
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
dan tidak dicatatkan di kantor pegawai
pencatatan nikah (KUA).
Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah
menggangu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam. Karena sekedar menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika
suatu perkawinan tidak dicatatkan,
maka suami-istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah
melaksanakan suatu perkawinan yang
sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui
pemerintah, sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Melihat uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan
diangkat adalah:
a. Bagaimana kedudukan Perkawinan
Siri dalam UU No. 1 Tahun 1974
Tetang Perkawinan
b. Bagaimana akibat hukum nikah siri
terhadap kedudukan anak?
B. PEMBAHASAN
Perkawinan Siri dalam UU No. 1
Tahun 1974
Kata ”siri” menurut Aberan, khususnya dalam asas-asas perkawinan
dari segi etimologi yang berasal dari
bahasa Arab sirra, israr yang secara
harfiah mengandung arti rahasia. 1
Kawin siri menurut artinya adalah
nikah yang dilakukan secara sembunyisembunyi atau rahasia. Adapun nikah
siri dalam kitab-kitab fiqih tidak dikenal istilah nikah siri. Istilah ini lebih
popular secara lokal dalam fiqih perkawinan di Indonesia.
Nikah siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan
1
Aberan, Asas-asas Perkawinan Menurut
Islam, Dalam Jurnal Kanun No.38 Tahun
XIV April 2004, (Banda Aceh: FH.
Universitas Kuala, 2004), hlm. 215.
Sukhebi Mofea
yaitu perkawinan yang dilaksanakan
secara sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua
keluarga mempelai, kemudian tidak
mendaftarkan perkawinannya kepada
Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang
muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi
nonmuslim, sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal
dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Perkawinan yang dilakukannya tersebut selama rukun dan
syaratnya terpenuhi sesuai Hukum
agama, maka perkawinannya adalah
sah dan isteri serta hasil keturunannya
berhak atas warisan jika suaminya meninggal dunia, namun perkawinannya
tidak mempunyai kekuatan hukum di
mata negara atau standy in judicio.
Dengan demikian dalam proses
kawin siri yang dilaksanakan adalah
rukun atau wajib nikahnya saja, sedangkan sunah nikah tidak dilaksanakan, khususnya mengenai pengumuman perkawinan atau yang disebut
waliyah/perayaan. Dengan demikian
orang yang mengetahui pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan
tertentu saja.
Perkawinan ini biasanya terungkap
ketika banyak orang mempertanyakan,
ada pasangan berlainan jenis sudah
hidup bersama dalam satu keluarga.
Belakangan baru diketahui bahwa
pasangan bersangkutan menikah, dan
di nikahkan oleh Kiyai atau Ulama atau
orang yang dipandang telah mengetahui hukum-hukum munakahat (pernikahan).
Menurut Dadang Hawari, riwayat
pernikahan siri zaman dahulu berbeda
dengan zaman sekarang, dahulu belum
ada negara dan belum ada administrasi
yang mengaturnya. Namun kini, segala
urusan termasuk pernikahan sudah
diatur dan harus tercatat secara resmi.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
67
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
Di samping itu, bukan hanya untuk
kepentingan negara melainkan juga
demi menjaga kehormatan wanita.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No.
1 Tahun 1974 dinyatakan, bahwa seorang pria hanya boleh memiliki satu
istri dan demikian sebaliknya. Kalaupun pria tersebut hendak menikah lagi
untuk yang kesekian kalinya, dalam
Pasal 4 diatur, bahwa ada syarat bagi si
pria untuk melakukannya, syarat tersebut antara lain harus mendapatkan
izin pengadilan setempat, kemudian si
istri tidak dapat melahirkan keturunan,
tidak bisa melakukan kewajiban sebagai seorang istri, serta memiliki cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. Kalaupun kemudian semua syarat itu terpenuhi, dalam Pasal
5 juga diatur bahwa pernikahan tersebut juga harus mendapat izin sang
istri. Selain itu, ada kepastian bahwa
suami mampu menjamin kebutuhan
istri dan anak mereka, serta suami bisa
berlaku adil kepada istri dan anakanak mereka. Persyaratan inilah yang
harus dipenuhi oleh pria-pria yang
akan menikah lagi. Namun karena
dirasa sulit dan merepotkan, banyak
pria yang demi untuk menikah lagi,
pada akhirnya membuat keterangan
palsu atau menikah kucing-kucingan.
Inilah yang menurut Dadang Hawari
menjadi alasan haramnya nikah siri.
Kedudukan Anak Dari Perkawinan
Siri
Sesuai dengan Pasal 43 Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatakan bahwa :
1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya
2. Kedudukan anak tersebut (1) selanjutnya akan diatur dalam PP.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo,
yang dimaksud dengan hubungan
hukum anak sah dan anak tidak sah
Sukhebi Mofea
terhadap orang tuanya adalah :
“Hubungan hukum itu ialah hubungan
yang ditur oleh hukum, yang mempunyai 2 (dua) segi yakni: pada satu
segi ia merupakan hak dan pada segi
pihak lain merupakan kewajiban.2
Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan (anak sah), mempunyai
hubungan hukum atau hubungan keperdataan terhadap ayah dan ibunya.
Anak luar nikah (anak tidak sah) tidak
mempunyai hubungan hukum atau hubungan keperdataan dengan bapaknya.
Anak itu hanya mempunyai hubungan
hukum atau keperdataan dengan ibunya yang melahirkan, akan tetapi menurut undang-undang aneh sekali, agar
ada hubungan keperdataan antara
anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan ibunya, maka ibu harus
mengakui anaknya.
Tanpa pengakuan, maka tidak ada
hubungan keperdataan antara anak
dan ibunya, yang berarti bahwa menurut undang-undang anak itu tidak
mempunyai ibu dan bukan anak
ibunya”.
Peraturan yang aneh itu bertentangan dengan logika ini berasal dari
Kitab Undang-Undang Perdata Belanda,
yang dinegeri Belanda sudah dihapus
sejak tahun 1947. Di Indonesia, karena
kitab Hukum Perdata Eropa tidak
dianggap sebagai undang-undang dan
ketentuan itu hanya berlaku jika
benar-benar merupakan hukum hidup,
maka Pasal 280 KUHPerdata sekedar
mengenai pengakuan anak oleh ibunya
harus dianggap sudah tidak berlaku.
Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang lahir diluar
kawin hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga
2
Martiman Projohamidjojo, Tanya Jawab
UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991)
hlm. 37
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
68
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
ibunya. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap
ayahnya, baik yang berkenaan dengan
biaya kehidupan dan pendidikannya
maupun warisannya. Bagi mereka yang
tunduk kepada hukum perdata, atas
persetujuan ibu, seorang bapak dapat
melakukan pengakuan anak.3
Masalah pengakuan dan pengesahan anak luar kawin dalam UndangUndang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak diatur sehingga dalam
masalah pengakuan dan pengesahan
masih mengacu pada Kitab UndanngUndang Hukum Perdata Barat. Pengakuan anak merupakan pengakuan yang
dilakukan oleh bapak atas anak yang
lahir di luar perkawinan yang sah
menurut hukum.
Pada dasarnya, pengakuan anak
bisa dilakukan oleh ibu maupun bapak,
tetapi karena berdasarkan UndangUndang No.1 Tahun 1974 Pasal 43
yang pada intinya menyatakan bahwa
anak yang lahir di luar perkawinan
tidak mempunyai hubungan perdata
dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru
seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak. Inti dari Pasal 43 UndangUndang No.1 Tahun 1974 maka dapat
dilihat
adanya
persamaan
antar
Undang-Undang No.1 tahun 1974
dengan konsep Hukum Islam, persamaannya adalah seorang anak luar
kawin secara langsung mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya dan
keluarga ibunya saja.
Akibat dari pengakuan anak di luar
perkawinan oleh bapaknya adalah
bahwa anak yang diakui oleh bapaknya
mempunyai hubungan keperdataan,
artinya anak memperoleh kedudukan
3
Tim Lbh-Apik, Pengakuan Anak Luar
Kawin, terdapat disitus http://www.lbhapik.or.id/fac-39.htm,diakses Tanggal 30
Juli 2001,hlm .1
Sukhebi Mofea
yang lebih tinggi daripada kedudukan
anak di luar perkawinan yang tidak
diakui dan apabila anak diakui oleh
bapaknya, si anak akan mendapat
nama dari bapaknya (nama keluarga).
Pada intinya Undang-Undang No.1
tahun 1974 Tentang Perkawinan memang tidak mengenal istilah pengakuan
dan pengesahan anak luar kawin,
sehingga mengenai ketentuan yang
mengatur tentang pengakuan dan
pengesahan anak luar kawin masih
mengacu pada pasal-pasal di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW) yaitu diatur dalam pasal 281
sampai dengan 286.
Hak-hak Anak Akibat Nikah Siri
Status anak di luar nikah dalam
sistem Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), sistem Hukum Adat, dan sistem
Hukum Islam termasuk dalam sejumlah ketentuan hukum positif seperti
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dipandang kurang memberikan perlindungan hukum, anak di luar nikah
sebagai anak yang lahir dari hubungan
yang tidak diikat dengan perkawinan
yang sah tidak jarang menjadi korban
seperti kasus-kasus pembuangan bayi,
penelantaran bayi, dan lain-lainnya.
Padahal, anak, siapapun dan apapun
statusnya berhak untuk hidup dan
melanjutkan kehidupannya.
Prinsip pengaturan tentang anak
luar kawin dalam hubungan kekeluargaan dengan ayah dan ibunya mendapat pengaruh yang sangat besar dari
asas perkawinan monogami yang
dianut oleh KUHPerdata, sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 yang berbunyi:
“Pada waktu yang sama seorang lelaki
hanya boleh terikat oleh perkawinan
dengan satu orang perempuan saja dan
seorang perempuan hanya dengan satu
seorang lelaki saja” dan asas pengakuan mutlak sebagaimana diatur
dalam Pasal 280 KUH Perdata yang
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
69
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
berbunyi: “Dengan pengakuan terhadap
anak diluar kawin terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dengan
ayah dan ibunya” sehingga hukum perdata barat menganut prinsip bahwa
hubungan keperdataan antara anak
luar kawin dengan orang tua biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya,
baik kepada ayahnya maupun kepada
ibunya. Prinsip tersebut sangat berbeda
dengan konsep yang dianut oleh hukum Islam maupun hukum perkawinan
(Undang-Undang Perkawinan) yang
mana hubungan perdata antara anak
luar kawin dengan pihak ibu terjadi
secara otomatis sejak si anak itu lahir.4
Sebagai akibat dari hubungan
perdata dengan pihak ibu dan keluarga
ibunya, anak tersebut hanya akan
mendapatkan hak waris dari ibu dan
keluarga ibunya saja, termasuk segala
bentuk pemeliharaan sampai anak itu
dewasa hanya menjadi tanggungjawab
ibunya. Sekilas saja ketentuan tersebut
mengandung ketidakadilan bagi si ibu
dan anaknya, karena untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim
ibunya pasti ada peran dari pihak lakilaki sebagai ayah biologisnya.
Lalu karena si ayah tidak mengakui
atau tidak kawin dengan si perempuan
itu, maka hubungan keperdataannya
menjadi terputus dengan si ayah, padahal hubungan hukum tersebut sangat
diperlukan oleh si anak untuk bisa
menuntut hak pemeliharaan yang wajar
seperti halnya anak-anak yang lain
pada umumnya.
Syarat seorang anak luar kawin
untuk bisa mendapatkan hak waris
dari orang tua biologisnya menurut
hukum perdata barat sebagaimana
4
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan
Kedudukan Anak Luar Kawin: Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil
UU
Perkawinan.
(Jakarta:
Prestasi
Pustaka, 2012), hlm. 106-107
Sukhebi Mofea
diatur dalam Pasal 872 KUH Perdata
adalah jika ia telah diakui oleh orang
tua biologisnya karena KUH Perdata
menganut prinsip bahwa hanya mereka
yang mempunyai hubungan keperdataan dengan si pewaris saja yang berhak
mewaris. Hubungan hukum antara
anak luar kawin dengan ayah atau ibunya timbul setelah adanya pengakuan
dari ayah dan ibunya tersebut, dalam
arti bahwa hubungan hukum itu hanya
ada antara anak luar kawin yang telah
mendapat pengakuan dengan ayah
atau ibu yang mengakuinya saja.5
1. Kedudukan Anak Setelah Adanya
Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, bahwa anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah hanya
mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan UndangUndang No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat
(1). Namun, Pasal ini dimaknai berbeda
setelah adanya Putusan MK No
46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan
pada tanggal 17 Februari 2012, yang
pada pokoknya sebagai berikut:
1. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan
dengan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti
5
Ibid., hlm. 146-147.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
70
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya;
2. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”, tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”;
Putusan di atas, didasarkan pada
pertimbangan bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang
dilahirkan di luar perkawinan adalah
mengenai
makna
hukum
(legal
meaning) frasa “yang dilahirkan di luar
perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas
perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah
mungkin seorang perempuan hamil
tanpa terjadinya pertemuan antara
ovum dan spermatozoa baik melalui
hubungan seksual (coitus) maupun
melalui cara lain berdasarkan per-
Sukhebi Mofea
kembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak
yang lahir dari suatu kehamilan karena
hubungan seksual di luar perkawinan
hanya memiliki hubungan dengan
perempuan tersebut sebagai ibunya.
Adalah tidak tepat dan tidak adil pula
jika hukum membebaskan laki-laki
yang melakukan hubungan seksual
yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari
tanggung jawabnya sebagai seorang
bapak dan bersamaan dengan itu
hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.
Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa
seorang anak itu merupakan anak dari
laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang
didahului dengan hubungan seksual
antara seorang perempuan dengan
seorang laki-laki, adalah hubungan
hukum yang di dalamnya terdapat hak
dan kewajiban secara bertimbal balik,
yang subjek hukumnya meliputi anak,
ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian di
atas, hubungan anak dengan seorang
laki-laki sebagai bapak tidak sematamata karena adanya ikatan perkawinan,
akan tetapi dapat juga didasarkan pada
pembuktian adanya hubungan darah
antara anak dengan laki-laki tersebut
sebagai bapak. Dengan demikian,
terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan
hukum. Jika tidak demikian, maka
yang dirugikan adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, padahal
anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luar kehendaknya.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki
kejelasan status ayah seringkali men-
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
71
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
Sukhebi Mofea
dapatkan perlakuan yang tidak adil dan
stigma di tengah-tengah masyarakat.
Hukum harus memberi perlindungan
dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,
termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya” harus
dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”, dan Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya” adalah
bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya.
an Pasal 2 ayat (2), oleh karena itu
nikah siri di anggap tidak sah karena
tidak memenuhi unsure pasal tersebut.
Sedangkan menurut Hukum Islam
Nikah siri itu dikatakan sah jika telah
memenuhi syarat sahnya perkawinan
dan dilaksanakan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Pasal 4 Kompilasi Hukum
Islam. Atau dengan kata lain perkawinan sah menurut hukum Islam
apabila memenuhi syarat dan rukun
nikah. Sebelum adanya putusan MK No
46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil
nikah siri hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan setelah adanya
putusan MK No 46/PUU-VIII/2010,
anak dari hasil nikah siri tidak hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibu
dan keluawarga ibunya, akan tetapi
dapat pula memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya jika mendapat
pengakuan dari ayah biologisnya atau
dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
C. PENUTUP
Tim LBH-Apik, “Pengakuan Anak Luar
Kawin”, terdapat disitus http://
www.lbh-apik.or.id/fac-39.htm,
diakses Tanggal 30 Juli 2001,
hlm .1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan menyatakan
bahwa perkawinan itu dikatakan sah
jika dicatatkan sesuai dengan ketentu-
D. DAFTAR PUSTAKA
Aberan, Asas-asas Perkawinan Menurut
Islam, Dalam Jurnal Kanun
No.38 Tahun XIV April 2004,
(Banda Aceh: FH. Universitas
Kuala, 2004), hlm. 215.
Martiman Projohamidjojo, Tanya Jawab
UU Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaan, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1991) hlm. 37.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
72
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
Sukhebi Mofea
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan
Kedudukan Anak Luar Kawin:
Pasca Keluarnya Putusan MK
Tentang
Uji
Materiil
UU
Perkawinan. (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2012), hlm. 106-107
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
73
Download