“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016 Sukhebi Mofea AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat hukum terhadap diri masingmasing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban. Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara keduanya. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinanperkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Kata Kunci : Perkawinan Siri, Hukum Perkawinan A. PENDAHULUAN Allah SWT telah membekali dengan naluri syahwat terhadap kesenangan dunia. Dari berbagai naluri yang dikaruniakan kepada manusia, naluri terhadap lawan jenis bisa dikatakan sebagai syahwat terbesar yang ada dalam dirinya. Kecenderungan ini sebelumnya juga telah ada dalam AlQur’an ketika Allah menempatkan kecintaan laki-laki pada wanita dan sebaliknya, mendahului kecintaan manusia kepada yang lainnya. Setiap manusia pasti mendambakan hal yang namanya pernikahan, baik itu pria ataupun wanita, karena manusia itu diciptakan untuk berpasang-pasangan dan per- nikahan itu adalah suatu yang sangat sakral sehingga orang terkadang harus berfikir seribu kali dalam mempersiapkan pernikahannya. Perkawinan juga merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan berbagai macam alasan yang bisa dibenarkan perkawinan sering dilakukan dalam berbagai macam model seperti kawin bawa lari, kawin bawah tangan dan juga kawin kontrak sehingga muncullah kawin yang skarang paling popular di masyarakat yakni kawin siri. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat *) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 66 “Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016 dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatatan nikah (KUA). Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah menggangu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam. Karena sekedar menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu perkawinan tidak dicatatkan, maka suami-istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Melihat uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan diangkat adalah: a. Bagaimana kedudukan Perkawinan Siri dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tetang Perkawinan b. Bagaimana akibat hukum nikah siri terhadap kedudukan anak? B. PEMBAHASAN Perkawinan Siri dalam UU No. 1 Tahun 1974 Kata ”siri” menurut Aberan, khususnya dalam asas-asas perkawinan dari segi etimologi yang berasal dari bahasa Arab sirra, israr yang secara harfiah mengandung arti rahasia. 1 Kawin siri menurut artinya adalah nikah yang dilakukan secara sembunyisembunyi atau rahasia. Adapun nikah siri dalam kitab-kitab fiqih tidak dikenal istilah nikah siri. Istilah ini lebih popular secara lokal dalam fiqih perkawinan di Indonesia. Nikah siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan 1 Aberan, Asas-asas Perkawinan Menurut Islam, Dalam Jurnal Kanun No.38 Tahun XIV April 2004, (Banda Aceh: FH. Universitas Kuala, 2004), hlm. 215. Sukhebi Mofea yaitu perkawinan yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai, kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim, sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan yang dilakukannya tersebut selama rukun dan syaratnya terpenuhi sesuai Hukum agama, maka perkawinannya adalah sah dan isteri serta hasil keturunannya berhak atas warisan jika suaminya meninggal dunia, namun perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum di mata negara atau standy in judicio. Dengan demikian dalam proses kawin siri yang dilaksanakan adalah rukun atau wajib nikahnya saja, sedangkan sunah nikah tidak dilaksanakan, khususnya mengenai pengumuman perkawinan atau yang disebut waliyah/perayaan. Dengan demikian orang yang mengetahui pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan tertentu saja. Perkawinan ini biasanya terungkap ketika banyak orang mempertanyakan, ada pasangan berlainan jenis sudah hidup bersama dalam satu keluarga. Belakangan baru diketahui bahwa pasangan bersangkutan menikah, dan di nikahkan oleh Kiyai atau Ulama atau orang yang dipandang telah mengetahui hukum-hukum munakahat (pernikahan). Menurut Dadang Hawari, riwayat pernikahan siri zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang, dahulu belum ada negara dan belum ada administrasi yang mengaturnya. Namun kini, segala urusan termasuk pernikahan sudah diatur dan harus tercatat secara resmi. Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 67 “Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016 Di samping itu, bukan hanya untuk kepentingan negara melainkan juga demi menjaga kehormatan wanita. Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan, bahwa seorang pria hanya boleh memiliki satu istri dan demikian sebaliknya. Kalaupun pria tersebut hendak menikah lagi untuk yang kesekian kalinya, dalam Pasal 4 diatur, bahwa ada syarat bagi si pria untuk melakukannya, syarat tersebut antara lain harus mendapatkan izin pengadilan setempat, kemudian si istri tidak dapat melahirkan keturunan, tidak bisa melakukan kewajiban sebagai seorang istri, serta memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Kalaupun kemudian semua syarat itu terpenuhi, dalam Pasal 5 juga diatur bahwa pernikahan tersebut juga harus mendapat izin sang istri. Selain itu, ada kepastian bahwa suami mampu menjamin kebutuhan istri dan anak mereka, serta suami bisa berlaku adil kepada istri dan anakanak mereka. Persyaratan inilah yang harus dipenuhi oleh pria-pria yang akan menikah lagi. Namun karena dirasa sulit dan merepotkan, banyak pria yang demi untuk menikah lagi, pada akhirnya membuat keterangan palsu atau menikah kucing-kucingan. Inilah yang menurut Dadang Hawari menjadi alasan haramnya nikah siri. Kedudukan Anak Dari Perkawinan Siri Sesuai dengan Pasal 43 Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatakan bahwa : 1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya 2. Kedudukan anak tersebut (1) selanjutnya akan diatur dalam PP. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, yang dimaksud dengan hubungan hukum anak sah dan anak tidak sah Sukhebi Mofea terhadap orang tuanya adalah : “Hubungan hukum itu ialah hubungan yang ditur oleh hukum, yang mempunyai 2 (dua) segi yakni: pada satu segi ia merupakan hak dan pada segi pihak lain merupakan kewajiban.2 Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan (anak sah), mempunyai hubungan hukum atau hubungan keperdataan terhadap ayah dan ibunya. Anak luar nikah (anak tidak sah) tidak mempunyai hubungan hukum atau hubungan keperdataan dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan hukum atau keperdataan dengan ibunya yang melahirkan, akan tetapi menurut undang-undang aneh sekali, agar ada hubungan keperdataan antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan ibunya, maka ibu harus mengakui anaknya. Tanpa pengakuan, maka tidak ada hubungan keperdataan antara anak dan ibunya, yang berarti bahwa menurut undang-undang anak itu tidak mempunyai ibu dan bukan anak ibunya”. Peraturan yang aneh itu bertentangan dengan logika ini berasal dari Kitab Undang-Undang Perdata Belanda, yang dinegeri Belanda sudah dihapus sejak tahun 1947. Di Indonesia, karena kitab Hukum Perdata Eropa tidak dianggap sebagai undang-undang dan ketentuan itu hanya berlaku jika benar-benar merupakan hukum hidup, maka Pasal 280 KUHPerdata sekedar mengenai pengakuan anak oleh ibunya harus dianggap sudah tidak berlaku. Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang lahir diluar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga 2 Martiman Projohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991) hlm. 37 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 68 “Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016 ibunya. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya maupun warisannya. Bagi mereka yang tunduk kepada hukum perdata, atas persetujuan ibu, seorang bapak dapat melakukan pengakuan anak.3 Masalah pengakuan dan pengesahan anak luar kawin dalam UndangUndang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak diatur sehingga dalam masalah pengakuan dan pengesahan masih mengacu pada Kitab UndanngUndang Hukum Perdata Barat. Pengakuan anak merupakan pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan oleh ibu maupun bapak, tetapi karena berdasarkan UndangUndang No.1 Tahun 1974 Pasal 43 yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak. Inti dari Pasal 43 UndangUndang No.1 Tahun 1974 maka dapat dilihat adanya persamaan antar Undang-Undang No.1 tahun 1974 dengan konsep Hukum Islam, persamaannya adalah seorang anak luar kawin secara langsung mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Akibat dari pengakuan anak di luar perkawinan oleh bapaknya adalah bahwa anak yang diakui oleh bapaknya mempunyai hubungan keperdataan, artinya anak memperoleh kedudukan 3 Tim Lbh-Apik, Pengakuan Anak Luar Kawin, terdapat disitus http://www.lbhapik.or.id/fac-39.htm,diakses Tanggal 30 Juli 2001,hlm .1 Sukhebi Mofea yang lebih tinggi daripada kedudukan anak di luar perkawinan yang tidak diakui dan apabila anak diakui oleh bapaknya, si anak akan mendapat nama dari bapaknya (nama keluarga). Pada intinya Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan memang tidak mengenal istilah pengakuan dan pengesahan anak luar kawin, sehingga mengenai ketentuan yang mengatur tentang pengakuan dan pengesahan anak luar kawin masih mengacu pada pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu diatur dalam pasal 281 sampai dengan 286. Hak-hak Anak Akibat Nikah Siri Status anak di luar nikah dalam sistem Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), sistem Hukum Adat, dan sistem Hukum Islam termasuk dalam sejumlah ketentuan hukum positif seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dipandang kurang memberikan perlindungan hukum, anak di luar nikah sebagai anak yang lahir dari hubungan yang tidak diikat dengan perkawinan yang sah tidak jarang menjadi korban seperti kasus-kasus pembuangan bayi, penelantaran bayi, dan lain-lainnya. Padahal, anak, siapapun dan apapun statusnya berhak untuk hidup dan melanjutkan kehidupannya. Prinsip pengaturan tentang anak luar kawin dalam hubungan kekeluargaan dengan ayah dan ibunya mendapat pengaruh yang sangat besar dari asas perkawinan monogami yang dianut oleh KUHPerdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 yang berbunyi: “Pada waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya dengan satu seorang lelaki saja” dan asas pengakuan mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUH Perdata yang Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 69 “Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016 berbunyi: “Dengan pengakuan terhadap anak diluar kawin terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dengan ayah dan ibunya” sehingga hukum perdata barat menganut prinsip bahwa hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan orang tua biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya, baik kepada ayahnya maupun kepada ibunya. Prinsip tersebut sangat berbeda dengan konsep yang dianut oleh hukum Islam maupun hukum perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) yang mana hubungan perdata antara anak luar kawin dengan pihak ibu terjadi secara otomatis sejak si anak itu lahir.4 Sebagai akibat dari hubungan perdata dengan pihak ibu dan keluarga ibunya, anak tersebut hanya akan mendapatkan hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan sampai anak itu dewasa hanya menjadi tanggungjawab ibunya. Sekilas saja ketentuan tersebut mengandung ketidakadilan bagi si ibu dan anaknya, karena untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak lakilaki sebagai ayah biologisnya. Lalu karena si ayah tidak mengakui atau tidak kawin dengan si perempuan itu, maka hubungan keperdataannya menjadi terputus dengan si ayah, padahal hubungan hukum tersebut sangat diperlukan oleh si anak untuk bisa menuntut hak pemeliharaan yang wajar seperti halnya anak-anak yang lain pada umumnya. Syarat seorang anak luar kawin untuk bisa mendapatkan hak waris dari orang tua biologisnya menurut hukum perdata barat sebagaimana 4 D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin: Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hlm. 106-107 Sukhebi Mofea diatur dalam Pasal 872 KUH Perdata adalah jika ia telah diakui oleh orang tua biologisnya karena KUH Perdata menganut prinsip bahwa hanya mereka yang mempunyai hubungan keperdataan dengan si pewaris saja yang berhak mewaris. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah atau ibunya timbul setelah adanya pengakuan dari ayah dan ibunya tersebut, dalam arti bahwa hubungan hukum itu hanya ada antara anak luar kawin yang telah mendapat pengakuan dengan ayah atau ibu yang mengakuinya saja.5 1. Kedudukan Anak Setelah Adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan UndangUndang No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1). Namun, Pasal ini dimaknai berbeda setelah adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Februari 2012, yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti 5 Ibid., hlm. 146-147. Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 70 “Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016 lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; 2. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”; Putusan di atas, didasarkan pada pertimbangan bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan per- Sukhebi Mofea kembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak sematamata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali men- Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 71 “Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016 Sukhebi Mofea dapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”, dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. an Pasal 2 ayat (2), oleh karena itu nikah siri di anggap tidak sah karena tidak memenuhi unsure pasal tersebut. Sedangkan menurut Hukum Islam Nikah siri itu dikatakan sah jika telah memenuhi syarat sahnya perkawinan dan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan kata lain perkawinan sah menurut hukum Islam apabila memenuhi syarat dan rukun nikah. Sebelum adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan setelah adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluawarga ibunya, akan tetapi dapat pula memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya jika mendapat pengakuan dari ayah biologisnya atau dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. C. PENUTUP Tim LBH-Apik, “Pengakuan Anak Luar Kawin”, terdapat disitus http:// www.lbh-apik.or.id/fac-39.htm, diakses Tanggal 30 Juli 2001, hlm .1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan itu dikatakan sah jika dicatatkan sesuai dengan ketentu- D. DAFTAR PUSTAKA Aberan, Asas-asas Perkawinan Menurut Islam, Dalam Jurnal Kanun No.38 Tahun XIV April 2004, (Banda Aceh: FH. Universitas Kuala, 2004), hlm. 215. Martiman Projohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991) hlm. 37. Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 72 “Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016 Sukhebi Mofea D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin: Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hlm. 106-107 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 73