UMUR DEWASA BUKAN 21 TAHUN Drs. H. Masrum, M.H PENGANTAR Burgelijk wetboek voor Indonesie (BW), BAB XV, tentang Kebelum-dewasaan dan Perwalian, bagian 1. pasal 330 menyatakan: bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Dengan pasal ini hampir semua orang, termasuk hakim, akademisi, notaries, polisi, jaksa dan praktisi lainnya mendasarkan pendapat dan mengambil putusan, bahkan menjadikan doktrin, bahwa batasan umur dewasa adalah dua puluh satu tahun. Batasan dewasa yang ditetapkan oleh BW yang disusun pada tahun 1847 dan dimuat dalam Stb nomor 23 tahun 1847 mungkin tepat pada zamannya, tetapi pasti sudah tidak sesuai lagi untuk zaman sekarang. Yang pasti, bahwa dalam masyarakat yang serba terbatas dahulu, dimana masyarakat Indonesia kebanyakan masih buta huruf, radio hanya dimiliki para pejabat dan orang yang benar-benar kaya, tidak ada telephone, tidak mengenal Koran dan keterbatasan-keterbatasan alat komunikasi lainnya, pasti jauh berbeda dengan wawasan dan mental anak-anak sekarang yang sejak bayi telah dilengkapi dengan alat komunikasi canggih, koran, radio, televisi, hendphone, computer, internet dan masih banyak lagi fasilitas lainnya. Fasilitas-fasilitas tersebut telah merubah mental anak kearah pendewasaan secara lebih cepat. Anak berumur 21 tahun yang hidup pada tahun 1847 (saat disusunnya BW) mungkin baru mulai mampu merumuskan kehendaknya secara baik dan mulai menyadari atas akibat dari tindakannya, sehingga Ia baru boleh disebut dewasa dan dianggap cakap bertindak hukum, tetapi pasti tidak demikian jika anak tersebut hidup pada tahun 2013. Apalagi sekarang ini setiap anak Indonesia sudah harus mengikuti wajib belajar 19 tahun. Anak umur 12 tahun sudah lulus Sekolah Menengah Pertama, anak umur 15 tahun sudah lulus Sekolah Menengah Atas dan bahkan banyak anak umur 19 tahun sudah menjadi sarjana (S-1). Apakah realistis dan masih patut orang yang berumur 19 tahun dianggap anak-anak atau anak di bewah umur atau belum dewas? Sampai detik ini doktrin BW diatas ternyata masih menjadi pendirian dan pendapat umum masyarakat Indonesia, sehingga si belum berumur dua puluh satu tahun selalu dipandang sebagai anak dibawah umur, belum dewasa, belum mempunyai kecakapan bertindak hukum, belum memiliki ahliyatul-ada’ dan lain sebagainya, padahal seturut dengan perkembangan zaman, batasan dewasa dua puluh satu tahun tersebut sudah tidak sesuai lagi, out of date dan tidak realistic lagi. apalagi keberadaan BW itu sendiri dalam tata hukum kita masih selalu dipertanyakan. Batasan umur dewasa inilah yang akan kita bahas. CAKAP BERTINDAK HUKUM . Cakap menurut para ahli hukum, antara lain Prof. Subekti dalam bukunya “Hukum Perjanjian” berarti: mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan yang dilakukannya. Satrio dalam bukunya “Penjelasaan Hukum Tentang Batasan Umur”, sebagai laporan hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Nasional Legal Reform Program (NLRP) tahun 2010 menjelaskan, bahwa kecakapan dapat dipahami dari beberapa ketentuan dalam pasal-pasal BW antara lain: pasal 307, pasal 308 dan pasal 383. Jis. Pasal 45 dan 50 UU no. 1 tahun 1974. Jis. Pasal 1330 BW dan pasal 1446 BW, kemudian dapat disimpulkan, bahwa pada azasnya yang dapat melakukan tindakan hukum secara sah dengan akibat hukum yang sempurna adalah mereka yang telah dewasa. Dalam hukum islam dikenal istlah baligh yang menurut Wikipedia Ensiklopedia, baligh merupakan istilah bagi seseorang yang telah mencapai kedewasaan, “baligh” dalam bahasa arab artinya “sampai”. Maksudnya seseorang telah sampai pada tahap atau masa kedewasaan. Prinsip baligh menurut hukum islam adalah bagi laki-laki telah mengalami mimpi basah (mengeluarkan sperma) dan bagi perempuan telah menstruasi. Apabila kedua indicator tersebut tidak diketahui, Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali berpendapat orang dewasa adalah orang yang telah berumur 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan kata lain, batasan dewasa menurut hukum islam bukanlah ditentukan dengan umur seseorang, akan tetapi ditentukan apakah sudah ihtilam bagi laki-lakai dan apakah sudah heidh bagi perempuan yang secara sunnatullah pasti akan dialami oleh orang yang normal. Setelah para ulama seperti imam Syafi’y mengadakan penelitian, maka dihasilkanlah bahwa anak yang telah mengalami kejadian di atas adalah anak yang berumur 15 tahun. Tentu ukuran dewasa dengan batasan umur itu adalah sekedar dalam rangka memberi kepastian hukum dalam menuntukan dewasa bagi anak-anak di zamannya. Jadi batasan dewasa dengan umur sesungguhnya relative atau nisby terkait dengan tempat dan masa tertentu. Dalam terminology ilmu ushul fiqh (kaidah-kaidah hukum islam), kecakapan bertindak diistilahkan dengan ahliyatul ada’, artinya kelayakan seseorang yangucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya dianggap atau direken oleh hukum (syara’). Orang yang memiliki “ahliyatul ada’” dalam kehidupan sehari-hari sering disebut “aqil-baligh”. Aqil berarti telah berakal, yakni telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, mana yang benar dan mana yang salah serta mana yang haq mana yang bathil. Prof. Dr. Abdulwahab Kholaf dalam kitab ushul fiqhnya menyatakan, bahwa seorang manusia jika dihubungkan dengan kecakapan bertindak (ahliyatul ada’), menurut hukum islam dapat terbagi menjadi tiga kemungkinan: 1. Seseorang yang kehilangan kecakapannya sama sekali, seperti anakanak dimasa kekanak-kanakannya dan orang gila, karena mereka belum atau tidak berakal; 2. Seseorang yang tidak sempurna kecakapannya, yaitu anak yang sudah mampu membedakan baik dan buruk (mumayiz), tetapi dia masih remaja (belum dewasa), termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang kurang akalnya; 3. Seseorang yang sempurnya kecakapannya, yaitu orang yang sudah sampai pada masa dewasa dan berakal (aqil-baligh). Selanjutnya Syekh Abdulwahab menambahkan, bahwa dengan demikian pada asasnya kecakapan bertindak itu dasarnya adalah “berakal”. Namun berdasarkan kenyataan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berakalnya seseorang selalu bersumber dan bersandar dari adanya kedewasaannya. Oleh karena itu untuk mendapatkan kepastian hukum, maka harus ditetapkan berapa batas seseorang memasuki masa dewasa, baik dewasa atau balighnya itu ditetapkan melalui indikasi-indikasinya, maupun melalaui usianya. BATASAN UMUR DEWASA DI INDONESIA Selama ini batasan umur dewasa dalam arti seseorang dianggap cakap bertindak menurut hukum yang berlaku di Indonesia sangat beragam, antara lain dapat disebut sebagai berikut: 1. Burgelijk Wetboek (BW): genap 21 tahun atau sudah menikah; 2. Hukum Islam: umur 15 tahun atau sudah mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan (Al-Hadits/mazhab Syafi’i dan Hambali); 3. UU nomor 27 tahun 1948 tentang DPR: 18 tahun; 4. UU nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anngota DPR: 18 tahun/sudah kawin; 5. UU nomor 29 tahun 1954 tentang Pertahanan Negara RI: 18 tahun; 6. UU nomor 19 tahun 1955 tentang Pemilihan Anggota DPRD: 18 tahun/sudah kawin; 7. UU nomor 66 tahun 1956 tentang Wajib Militer: 18 tahun/sudah kawin; 8. UU nomor 9 tahun 1964 tentang Gerakan Sukarelawan Indonesia: 18 tahun; 9. UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: 18 tahun; 10. UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: 18 tahun; 11. UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: 18 tahun; 12. UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ktenagakerjaan: > 18 tahun; 13. UU nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris: 18 tahun atau sudah menikah; 14. UU nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang: 18 tahun; 15. UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik: 17 tahun atau sudah/pernah kawin; 16. UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum: 17 tahun atau sudah/pernah kawin; 17. UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak: 18 tahun. Dari beberapa UU yang telah disebutkan di atas, ternyata yang jeles-jelas menyebutkan batas umur dewasa 21 tahun hanyalah BW. Sedangkan UU yang lainnya telah mengikuti perkembangan dan kenyataan di masyarakat yaitu antara 17 fahun dan 18 tahun. Sejak tahun 1948, dengan terbitnya UU nomor 27 tahun 1948 tentang DPR, sesunggungnya para ahli hukum Indonesia dan pembuat undangundang telah menyadari hal ini, sehingga pada saat itu anak yang berumur 18 tahun telah dianggap cakap bertindak hukum karena telah dewasa, bahkan para ahli hukum Indonesia sejak tahun 2008, dengan terbitnya dua UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu, telah menetapkan batas umur dewasa adalah 17 tahun. Pasal 47 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan secara tegas; “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkaan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya”. Dan pasal 50 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 juga tegas menyatakan; “anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali”. Kedua pasal ini artinya secara tegas telah merubah doktrin BW yang telah berjalan sejak tahun 1847 tersebut tentang batas umur dewasa dari 21 tahun menjadi 18 tahun. Secara agak rinci dapat dijelasakan sejarah perkembangan penggunaan batas umur daalam menentukaan kedewasaan dalam bidang perkawinan dan ketenagakerjaan sebagai berikut: a. Dalam bidang perkawinan Pada saat masih berlaku pasal 29 BW (1847), batasan seseorang boleh melangsungkan pernikahan adalah 18 tahun bagi pria dan 15 tahun bagi wanita. Seorang jejaka yang belum mencapai genap 18 tahun, demikian pula seorang gadis yang berumur belum genap 15 tahun tidak diperbolehkan mengikatkan dirinya atau diikatkan dirinya dalam perkawinan. Kalau begitu maka batas umur dewasa 21 tahun sebagai mana ketentuan dalam pasal 330 BW pasti bukan batas usia untuk perkawinan. Tetapi batas umur dewasa dalam keperdataan lainnya karena tentang batas umur dalam perkawinan menurut BW adalah pasal 29 BW. Kemudian pada tahun 1974, saat mana UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan ternyata usia kawin malah dinaikkan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, sebagaimana bunyi pasal 7 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi: “(!) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”, bahkan dikukuhkan oleh Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai mana tertuang dalam pasal 15 ayat (!) yang berbunyi: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU nomor 1 tahun 1974 yakni seorang suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Namun demikian dalam pelaksanannya ada dua ketentuan yang harus diperhatikan: 1. Seseorang yang belum berumur 21 tahun, untuk dapat melangsungkan perkawinan harus mendapat ijin orang tua atau walinya sebagaimana ketentuan pasal 6 UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Pasal 6 ayat (2) UUP menyatakan “untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua”. 2. Seorang laki-laki yang akan kawin, sedang ia berumur di bawah 19 tahun atau seorang wanita yang hendak kawin, sedang ia berumur di bawah 16 tahun, harus mendapat dispensasi dari Pengadilan (pasal 7 ayat (2) UUP) Keharusan mendapat Ijin kawin dari orang tua atau wali bagi yang hendak kawin sebelum berumur 21 tahun tentu dimaksudkan sebagai ukuran apakah seseorang sudah matang untuk berumah tangga ataukah belum, bukan sebagai patokan kedewasaan seseorang dalam arti memiliki kecakapan bertindak hukum. Si belum berumur 21 tahun sesungguhnya sudah dewasa dan memiliki kecakapan bertindak, tetapi belum matang jiwanya untuk berumah tangga. Oleh karena itu diperlukan ijin orang tua atau walinya bagi mempelai laki-laki yang sudah berumur 19 tahun dan bagi mempelai perempuan yang sudah berumur 16 tahun, tetapi kedua-duanya belum berumur 21 tahun. Lain halnya jika mempelai laki-laki masih berumur di bawah 19 tahun dan mempelai perempuan masih berumur di bawah 16 tahun, maka kepadanya harus mendapat dispensasi dari pengadilan. Pngadilan lah yang berwenang menetapkan apakah seorang yang berumur dibawah 19 tahun atau 16 tahun patut melakukan perkawinan. Adapun dalam soal hak dan kewajiban, maka yang menjadi tolok ukur kedewasaan seseorang telah diatur di dalam pasal 47 ayat (!) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Soal kedewasaan juga telah diatur dalam pasal 50 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi: “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Dengan demikian dapat disimpulkan: 1. Bahwa menurut UU perkawinan, umur 21 tahun merupakan syarat kawin, sebagai ukuran kematangan seseorangf untuk berumah tangga, bukan sebagai ukuran dewasa; 2. Bahwa menurut UU perkawianan, batas usia dewasa adalah 18 tahun, bukan 21 tahun.. b. Dalam Bidang Ketenagakerjaan Batasan umur dewasa dalam bidang ketenagakerjaan untuk pertama kali termuat dalam UU nomor 12 tahun 1948 tentang Tenaga Kerja. Pasal 1 angka 2 UU tersebut menyatakan: “Orang dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 tahun ke atas”. Kemudian umur kedewasaan tersebut oleh UU nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenaga-kerjaan diturunkan dari 18 tahun menjadi 15 tahun sebagai mana termuat dalam pasal 1 angka 20 UU tersebut yang berbunyi “Anak adalaah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun”. Kemudian dalam UU ketenagakerjaan yang terakhir, yakni UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, batas umur dewasa tersebut dikembalikan lagi pada umur 18 tahun, sebagaimana bunyi pasal 1 angka 26 UU tersebut: “ Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Batasan umur 18 tahun bagi tenaga kerja Indonesia tentu harus dimaknai sebagai dewasa dalam arti cakap bertindak secara keperdataan karena orang berumur 18 tahun telah memiliki legal capacity, atau dalam kaidah hukum islam disebut memiliki ahliyatul ada’ karena hakekatnya orang yang berumur 18 tahun adalah orang yang telah akil balig, sehingga si berumur 18 tahun dapat dipastikkan telah cakap bertindak hukum atau mukallaf yang oleh karena itu segala hal ikhwalnya harus ditakar dan dipertanggungjawabkan menurut hukum. Perubahan batasan umur dewasa dari 21 tahun menjadi 18 tahun ternyata didukung dan diikuti oleh beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain: 1. UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pasal 8 ayat (2); 2. UU nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pasal 1 angka 8; 3. UU nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1; 4. UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 1 angka 5; 5. UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penjelasan pasal 6; 6. UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat (1); 7. UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 angka 26; 8. UU nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pasal 4; 9. UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pasal 1 angka 5; 10. UU nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan ke-4 atas UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasila, penjelasan pasal 8 ayat (4); 11. UU nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, pasal 1 ayat (4); 12. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor per- 18/men/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, pasal 10; 13. Keputusan Menteri Kehakiman nomor M.02-IZ.01.10.1995 tentang Visa singgah, Visa kunjungan, Visa tinggal terbatas, Izin masuk, dan Izin kemigrasian, pasal 1; 14. Keputusan Presiden nomor 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan RI, pasal 1 dan pasal 2. 15. UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak, pasal 1 angka 3; Jadi sejak awal kemerdekaan, negara Republik Indonesia telah berketetaapan, bahwa batas usia dewasa 21 tahun itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Bisa dipastikan bahwa orang-orang yang berumur belasan tahun saat ini sudah dapat dianggap sebagai orang dewasa, karena mereka kebanyakan sudah kuat gawai, bahkan sudah mampu pisah rumah dan sudah mampu bertanggung jawab atas segala tindakannya. Oleh karena itu sejak awal kemerdekaan, batasan umur dewasa 21 tahun tersebut sudah tidak diikuti lagi dan telah turun menjadi 18 tahun, bahkan dalam bidang politik, kependudukan dan lalu lintas telah ditetapkan 17 tahun. Mengenai BW dan eksistensinya dalam sistim hukum di Indonesia kiranya perlu di kemukakan adanya kesepakatan dan persetujuan secara bulat para ahli hukum Indonesia, dalam kongres majelis ilmu pengetahuan Indonesia pada tahun 1964 yang telah menerima gagasan bapak Sahardjo, S.H., Menteri Kehakiman RI waktu itu untuk menganggap Burgelijk Wetboek (BW) tidak sebagai undang-undang, tetapi hanya sebagai dokumen yang menggambarkan suatu kelompok hukum tertulis. Dengan demikian seharusnya kita semua juga dapat mempertimbangkan, bahwa batasan umur dewasa bagi orang Indonesia saat ini tidak lagi 21 tahun sebagai mana yang ditentukan dalam pasal 330 BW tersebut, tetapi 18 tahun. Di negeri Belanda, negara asal kelahiran BW, Sesungguhnya batasan umur dewasa 21 tahun juga sudah ditinggalkkan sejak tahun 1992. Hal tersebut dapat diketahui pada catatan kaki pasal 330 BW dalam enggelbrecth. bahwa sebelum BW diberlakukan, umur dewasa dinegeri Belanda adalah 24 tahun, namun dalam NBWBelanda sejak tahun 1992 umur dewasa di negeri Belanda telah berubah menjadi 18 tahun. Sekali lagi penulis berpendapat umur dewasa 21 tahun saat in sudah sangat tidak tepat dan bertentangan dengan kenyataan perkembangan masyarakat. PENDIRIAN PERADILAN AGAMA Peradilan Agama baik di tingkat pertama maupun tingkat banding masih ada yang berpendirian batas umur dewasa 21 tahun, tetapi tidak sedikit yang telah berpendirian 18 tahun, bahkan ada yang tidak mau menggunakan usia sebagai batas umur dewasa. Hal tersebut dapat di baca antara lain dalam beberapa putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama misalnya tentang perkara nafkah anak. Diktum amar putusannya ada yang berbunyi: “ Menghukum Tergugat membayar nafkah anak sebesar Rp … setiap bulan sampai dewasa”. Namun tidak sedikit yang dictum amar putusannya berbunyi: “Menghukum Tergugat membayar nafkah anak sejumlah Rp … sampai dewasa (berumur 21 tahun)”. Bagi pengadilan agama yang dalam dictum amar putusannya tidak menambah kalimat “(berumur 21 tahun)” setelah kalimat “sampai dewasa” seperti di Pengadilan Agama Jakarta Pusat memang dapat diasumsikan tidak tegas, tetapi dianggap tidak perlu karena dimaksudkan untuk memberi kelenturan dalam masalah dewasa ini. Bisa saja suatu saat seorang anak yang ditetapkan dewasanya ditentukan berumur “21 tahun” dibelakang hari melangsungkan perkawinan pada saat berumur jauh dibawah 21tahun, maka kdewasaannya berubah seketika itu juga, atau bisa jadi seseorang setelah berumur 21 tahun tetapi belum dapat dianggap dewasa karena mungkin kurang akal. Pendirian Pengadilan Agama soal batas usian dewasa umur 21 tahun ini juga jelas dapat diketahui dari pertimbangan hukum hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara Hadlonah, wali nikah dan Perwalian. Mereka cenderung berpendirian batas usia dewasa dalam ketiga bidang perkara di atas merujuk pasal 330 BW yaitu umur 21 tahun, sedangkan umur di bawahnya digolongkan usia tamyiz (mampu membedakan yang baik dan buruk). Peradilan Agama berpendirian demikian karena mereka memahami ketentuan pasal 6 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang syarat-syarat perkawinan dan pasal 98 ayat (1) KHI. Menurut hemat saya Pengadilan agama mau memahami pasal 47 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak serta mau memahami pasal 50 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang Perwalian, seharusnya di lingkungan Peradilan Agama tidak perlu terjadi perbedaan soal batas umur dewasa ini karena pasal 47 dan 50 lah yang tepat dijadikan landasan. Pasal 6 UUP yang menyatakan bahwa untuk melangsuangkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua (pasal 6 ayat 2) harus dimaknai sebagai kebijakan pembuat UU untuk memastikan kematangan jiwa seseorang untuk menikah, bukan batas usia baligh menurut hukum. Sedangkan tentang kedewasaan haruslah dipergunakan pasal 47 dan 50, yaitu 18 tahun. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan analisa dan kajian siangkat diatas, maka Penulis menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi kepada pihak berwenang untuk: 1. Bahwa batasan umur dewasa dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebahagian besar sudah tidak lagi menggunakan criteria 21 tahun, tetapi 18 tahun. Oleh karena itu ketentuan pasal 330 BW harus dinyatakan tidak berlaku; 2. Bahwa pada saat ini telah terjadi ketidak-selarasan tentang batas umur dewasa antara peraturan perundangan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu batas usia 18 tahun segera ditetapkan secara seragam sebagai batas usia dewasa orang Indonesia. Wallahu a’lam bis-showab