1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai derajat paling tinggi dibanding makhluk lainnya. Dalam kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya sebagai tuntutan naluriah, maka sebagai jalan keluarnya adalah dilakukannya suatu perkawinan. Perkawinan merupakan suatu lembaga suci, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut maka dibentuklah undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang telah berlaku dan dilaksanakan secara nasional hingga sekarang ini. Dengan adanya undang-undang ini telah memberikan landasan atau dasar dari hukum perkawinan di Indonesia. Di dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini telah mencakup keseluruhan nilai-nilai perkawinan bangsa Indonesia dan juga telah mencakup para pihak yaitu pemerintah, aparatur pemerintah dan masyarakat umum. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini berpegang teguh pada tujuan suatu perkawinan yaitu perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Untuk itu agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian serta 2 mendapatkan keturunan yang baik dan sehat maka harus dicegah adanya perkawinan suami istri yang masih di bawah umur. Guna menjamin kepastian hukum dalam suatu perkawinan dikatakan syah maka harus dilakukan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Salah satunya adalah mengenai usia perkawinan yang biasa disebut pembatasan usia perkawinan. pembatasan usia perkawinan ini menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 yakni “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur minimal sembilan belas (19) tahun dan pihak wanita sudah mencapai minimal enam belas tahun (16) tahun”, dijadikan sebagai syarat perkawinan agar dipatuhi oleh masyarakat. Pembatasan usia perkawinan ini bermaksud agar calon suami istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melakukan perkawinan sehingga dapat mewujudkan tujuan perkawinan tanpa berakhir pada perceraian. “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun”. Jadi seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun disebut sebagai anak. Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Jika anak tidak dicegah dalam melakukan perkawinan, maka jelas akan timbul beberapa masalah dikemudian hari yang pada 3 akhirnya akan memberikan dampak negative bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan Negara. Untuk itulah, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 membatasi dan mencegah adanya perkawinan di bawah umur yang termaktum dalam syarat perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 beserta perangkat peraturan dan pembuatannya telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan pembangunan. Namun dalam prakteknya, belum mampu mendukung pola interaksi yang bergejolak dalam masyarakat yang dapat menimbulkan akibat sampingan bahkan akibat negatifnya sangat berkaitan dengan individu lainnya. Untuk itu, kesadaran dan kepatuhan hukum dari masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan ketertiban hukum terlebih terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang termasuk di dalamnya pencegahan perkawinan di bawah umur. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini telah menampung unsur dan ketentuan agama dan kepercayaannya itu dari agama yang bersangkutan dan juga disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Telah lengkapnya isi, makna dan tujuan undang-undang perkawinan ini seringkali diabaikan oleh sebagian besar warga negara indonesia. Dalam prakteknya belum mampu mendukung pola interaksi masyarakat yang menghadirkan akibat sampingan berupa pelanggaran terhadap norma-norma hukum dan perbuatan yang sifatnya sangat kompleks serta bertali-tali antara satu dengan yang lain. UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 termasuk di dalamnya pencegahan perkawinan di bawah umur yang diarahkan untuk menunjang program pemerintah tentang kependudukan. 4 “Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya UndangUndang perkawianan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita”. Berbagai hukum perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah adalah sebagai berikut : a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipiir dalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang indonesia asli yang beragama islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai perempuan sebagaimana telah diatur di dalam hukum islam dan telah menjadi budaya. b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat. Misalnya orang Batak yang beragama kristen dimana hukum agama dan adat telah menyatu, maka perkawinan harus dilakukan menurut adat serta rangakaian upacara yang dianutnya. c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie Christen Indonesia ( S.1933 No.74 ). Aturan ini telah tidak berlaku lagi semenjak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. d. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia Keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. Aturan ini juga telah tidak dipakai lagi sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka. f. Bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dinamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan di indonesia sering kali diabaikan oleh sebagian besar warga negara Indonesia karena sebagian besar masyarakat memeluk agama islam dan lebih berpedoman pada syariat islam yang nota bene dewasa menurut islam adalah yang telah akhil baliq walaupun umurnya belum memenuhi batas minimal yang ditentukan oleh Undang-Undang 5 Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang di lakukan oleh perempuan di bawah umur dianggap tidak syahnya perkawinan karena telah melanggar undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 yang berbunyi “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.dan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan lebih rincinya terdapat pada pasal 26 c yang menyatakan bahwa “orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak”. Jika ada seseorang yang menikah/menikahi anak yang masih di bawah umur, maka pernikahan itu melanggar hak-hak seorang anak. “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasiwajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Jika anak melakukan perkawinan, jelas hak-hak anak tidak dapat terpenuhi. Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu “hak anak adalah bagian dari hak asasi yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara”. Untuk itulah mengapa tergolong dalam pelanggaran HAM (hak asasi manusia). Dari pengamatan yang ditemui di masyarakat, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi pernikahan anak di bawah umur adalah sebagai berikut : a) Keadaan ekonomi masyarakat yang sulit (kemiskinan) 6 b) Adanya kepercayaan masyarakat terhadap agamanya masing-masing dibanding harus mematuhi undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan c) Adanya unsur-unsur paksaan dari orang tua demi kesejahteraan keluarga d) Adanya dampak dari pembangunan yang sangat pesat yakni pergaulan bebas yang berdampak pada kehamilan di luar nikah. e) Faktor Lingkungan dari pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Namun di sisi lain, perbuatan itu telah melanggar Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 yakni melanggar batas usia minimal perkawinan (mempelai laki-laki minimal 19 tahun dan mempelai perempuan minimal 16 tahun). Berdasarkan paparan serta penjelasan di atas maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR”. 1.2 Rumusan Masalah Pokok masalah perkawinan terhadap anak yang masih di bawah umur adalah melanggar undang-undang antara lain undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Menikah secara dini akan mengakibatkan banyak resiko di kemudian hari terutama seorang anak perempuan yakni belum siapnya tubuh seseorang perempuan di bawah umur untuk melahirkan anak yang beresiko pada kematian, belum siapnya tubuh untuk berhubungan biologis akan beresiko 7 kanker serviks, dan belum matangnya pemikiran serta nalarnya maka akan beresiko perceraian di kemudian hari. Dari gambaran tersebut maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan untuk mengupas perkawinan anak di bawah umur yaitu sebagai berikut : 1.2.1. Apa penyebab perkawinan di bawah umur ? 1.2.2. Bagaimana dampak dari perkawinan anak di bawah umur? 1.2.3. Bagaimana pencegahan perkawinan anak di bawah umur ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai yaitu : 1.3.1. Untuk mengetahui apa penyebab perkawinan anak di bawah umur. 1.3.2. Untuk mengetahui bagaimana dampak dari perkawinan di bawah umur. 1.3.3. Untuk mengetahui bagaimana mencegah perkawinan anak di bawah umur. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Secara Teoritis 1. Menambah ilmu pengetahuan dan menambah wawasan serta daya kritis terhadap berbagai permasalahan yang ada, yaitu : Perkawinan yang dilakukan dengan anak di bawah umur. 2. Sebagai pengembangan teori ilmu Hukum yang telah di terima selama di bangku kuliah, di Fakultas Hukum UNISKA. 3. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penyusunan karya ilmiah. 8 1.4.2. Secara Praktis 1. Bagi pembaca, sebagai upaya penanggulangan atau pencegahan terhadap pernikahan yang dilakukan dengan anak yang masih di bawah umur yang di anggap melanggar Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. 2. Bagi Mahasiswa UNISKA dan sekitarnya, agar dapat memahami isi atau makna dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta Undang-Undang Nomor 23 tentang perlindungan Anak. 3. Bagi masyarakat pada umunya, agar dapat memahami dan mengetahui tentang bahaya dari perkawinan anak di bawah umur. 1.5 Metode Penelitian 1.5.1. Pendekatan Masalah Metode pendekatan yang digunakan dalam mengkaji permasalahan ini adalah normatif, yang berarti suatu metode penelitian yang menitik beratkan pada data kepustakaan, yang dalam hal ini terkait dengan undangundang yang berhubungan dengan perkawinan di bawah umur. Metode ini dipergunakan mengingat permasalahan yang di teliti berkenaan pada hubungan peraturan satu dengan yang lain yang mengatur perilaku kehidupan masyarakat. 1.5.2. Sumber Bahan Hukum 9 Sumber-sumber data dibagi dalam 3 macam yaitu : a. Sumber bahan hukum primer : bahan sumber hukum primer diambil dari undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. b. Sumber bahan hukum sekunder : Bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisis hasil-hasil penelitian para sarjana seperti buku-buku kepustakaan hukum, pendapat para ahli hukum, serta sumbersumber lainnya yang dapat membantu dalam penulisan skripsi ini yakni berkaitan dengan perkawinan anak dibawah umur. c. Sumber bahan hukum tersier : sumber bahan hukum diperoleh dari internet, kamus-kamus hukum yang berkaitan dengan perkawinan anak di bawah umur. 1.5.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen yang dilakukan terhadap data-data hukum untuk mendapatkan tinjauan pustaka berupa tulisan-tulisan maupun pendapat para sarjana mengenai perkawinan anak di bawah umur, sehingga diperoleh informasi yang akurat baik melalui pendapat para ahli, ketentuan formal ataupun data lain yang berkaitan dengan penulisan, yang bersifat logis dan kualitatif. 1.5.4. Teknik Pengolahan Bahan Hukum 10 “Yakni bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier yang berhasil dihimpun kemudian diungkapkan secara deskriptif dalam kajian atau analisis yang bersifat kualitatif, yang logis dan kritis” 1.5.5. Analisa bahan hukum Setelah bahan-bahan hukum sebagai sumber penulisan telah terkumpul, maka bahan penulisan itu akan dipilah-pilah sesuai tema dari penulisan yaitu dengan metode : (1) Deskriptif yaitu menjelaskan hal-hal secara luas sebatas sesuai dengan penulisan yang diperoleh dari data-data yang terkumpul dan menyajikannya secara sistematik dan obyektif sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam masalah yang timbul akibat perkawinan anak di bawah umur. (2) Explantif yaitu menjelaskan secara khusus mengenai perkawinan anak di bawah umur. 1.6 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam memahami isi dan tujuan dari penulisan, maka penulis akan membagi penulisan menjadi 4 bab yakni : 1) BAB I : Pendahuluan, yang meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. 2) BAB II : Tinjauan umum tentang anak dan perkawinan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ( 11 pengertian perkawinan secara etimologis, pengertian perkawinan menurut pendapat para sarjana, pengertian tentang Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, syahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, asas perkawinan, syarat perkawinan, prinsip perkawianan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 serta alasan anak melakukan perkawinan) dan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (meliputi hak anak, kewajiban anak, kewajiban dan tanggungjawab keluarga serta ketentuan perlindungan kepada anak sebagai korban perkawinan di bawah umur ), latarbelakang serta faktor penyebab perkawinan anak di bawah umur. 3) BAB III : pembahasan yaitu menjelaskan mengenai penyebab perkawinan anak di bawah umur, menjelaskan dampak perkawinan anak di bawah umur, serta memaparkan bagaimana cara pencegahan perkawinan anak dibawah umur. 4) BAB IV : penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Anak Di Bawah Umur Pernikahan adalah salah satu kodrat dalam perjalanan hidup manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan menuju pintu perkenalan, akan tetapi menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Disamping itu, pernikahan juga merupakan jalan untuk menghindarkan manusia dari kebiasaan hawa nafsu yang menyesatkan. Pernikahan merupakan salah satu hak asasi seseorang sebagai puncak meraih kebahagiaan hidup. Karena itulah kita perlu mengetahui konsep dari perkawinan melalui beberapa pengertian sebagai berikut : 2.1.1. Pengertian Perkawinan Secara Etimologis 13 Kawin menurut arti asli atau secara etimologis berarti hubungan seksual. Sedangkan menurut hukum berarti akad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual hubungan suami istri antara seorang pria dan wanita. Dan secara harfiah, pengertian “perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”. 2.1.2. Pengertian perkawinan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia nikah mempunyai artihubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri secara resmi. 2.1.3. Pengertian Perkawinan Menurut Para Ahli Menurut Bachtiar, definisi “perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan”. Perkawinan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan manusia di bumi. ”Terruwe, menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu persatuan. Persatuan itu diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh seorang pria pada isterinya, dan wanita pada suaminya”. 14 ”Menurut Goldberg, perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang tahan uji. Perkawinan sebagai kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan bahkan abadi serta pelesatarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhankebutuhan inter-personal”. Perkawinan menurut Subekti adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. 2.1.4. Pengertian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terdapat pengertian perkawinan secara jelas. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya memandang soal perkawinan hanya dari segi hubungan-hubungan keperdataan. Demikian terdapat dalam pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Undang-Undang memandang soal perkawinan dalam hubunganhubungan perdata”. Arti dari pasal ini adalah : suatu perkawinan agar menjadi sah dalam arti mempunyai akibat hukum haruslah diakui oleh undang-undang, hal ini terjadi bila perkawinan dilangsungkan menurut undang-undang. Dengan kata lain perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang 15 ditetapkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan syaratsyarat serta peraturan agama dikesampingkan. Hal ini jelas bertentangan dengan falsafah negara kita yakni Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa diatas segalagalanya. Apabila berkaitan dengan masalah perkawinan yang merupakan perbuatan yang suci yang mempunyai hubungan erat sekali dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tapi juga unsur batin/rohani mempunyai peranan penting. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah merupakan peraturan perundang-undangan yang terpengaruh oleh hukum barat terutama negara Belanda yang telah lama menjajah negara Indonesia. Peraturan ini pada akhirnya masih diberlakukan setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 yang berbunyi : segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama masih belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. 2.1.5. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Yakni pasal 1 pada undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai 16 suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila definisi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu “ ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan uraian di atas kita telaah, maka terdapat lima unsur didalamnya, yaitu: a. Ikatan lahir batin. Bahwa ikatan itu tidak cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri yang dimulai dengan adanya akad atau perjanjian yang dilakukan secara formal, menurut aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian hubungan hukum itu nyata, baik bagi pihakpihak itu sendiri atau bagi pihak ketiga. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan ini diukur dengan agama dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 17 b. Antara seorang pria dengan seorang wanita. Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, dan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi karena unsur unsur yang terkandung adalah azas monogami. c. Sebagai suami istri; Seorang pria dengan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami istri bila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah, bilamana memenuhi syarat-syarat intern maupun extern. Syarat intern adalah yang menyangkut pihakpihak yang melakukan perkawinan yaitu : kecakapan mereka, kesepakatan mereka, dan juga adanya izin dari pihak yang lain yang harus Sedangkan diberikan untuk syarat-syarat extern melangsungkan adalah yang perkawinan. menyangkut formalitas-formalitas pelangsungan perkawinan. d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal Yang dimaksud dengan keluarga di sini ialah suatu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan 18 kewajiban orang tua. Untuk mencapai hal ini, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan. e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani namun juga merupakan unsur batin. Dari rumusan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, jelas bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Dari beberapa pengertian mengenai perkawinan maka penulis berpendapat bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri yang memiliki kekuatan hukum dan diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga sebagai kesatuan yang menjanjikan pelestarian kebudayaan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan inter-personal dan sesuai dengan tujuan dari perkawinan yang telah tercantum dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 1 yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa. 19 2.2. Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa untuk suami istri perlu saling membatu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Dalam pembentukan keluarga yang bahagia itu sangat erat hubungannya dengan keturunan sehingga harus memperhatikan hak-hak anak dan kewajiban orang tua. 2.3. Syahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan “Kata syah berarti sesuai dengan hukum yang berlaku, jika perkawinan itu dilaksanakan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku maka perkawinan itu dianggap tidak syah”. Sehingga dapat disimpulkan dengan menerapkan pada aturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku saat ini yaitu undang-undang nomor 1 tahun 1974 yakni bila perkawinan dilakukan dengan tidak mematuhi undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maka berarti tidak syah menurut hukum undang-undang. 20 Syahnya perkawinan menurut perundang-undangan diatur di dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “perkawinan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sehingga perkawinan yang syah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata aturan hukum yang berlaku dalam agama yang dianutnya. Syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan. Untuk jelasnya, maka akan penulis uraikan tentang syarat-syarat materil dan formil dalam perkawinan secara terperinci, yaitu : a) Syarat Materil Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah : A. Harus ada persetujuan calon mempelai (Pasal 6 ayat (1). Syarat ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga persetujuan dalam dalam perkawinan. Undang-Undang Munculnya syarat Perkawinan, dapat 21 dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, Undang-Undang Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum. B. Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1). Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Ayat (2) menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Dalam hal dimana salah seorang atau kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek 22 dan nenek) dari pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatunya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan bersangkutan tidak menentukan lain. C. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan melarang seseorang yang masih terikat perkawinan lain untuk kawin lagi kecuali yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4. Pasal 3 ayat (2) yang menentukan bahwa: ”Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 menentukan : Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka dia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. D. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8, 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. 23 2. Berhubungan darah garis keturunan ke samping. 3. Berhubungan semenda 4. Berhubungan sesusuan 5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 7. Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan tidak menentukan lain (pasal 10). 8. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 9. b) Syarat Formil Syarat-syarat formil yaitu syarat utama sesuai prosedur hukum, meliputi : 1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. 2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. 3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. 4. Pencatatan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. 24 2.4. Syarat-Syarat Perkawinan Yang Sesuai Dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Syarat-syarat perkawinan yang terdapat dalam pasal 6-12 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yakni 2.4.1. Menurut pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Yakni disebutkan bahwa : a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. c. Dalam hal salah seorang dari kedua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2 )pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan yang dapat menyatakan kehendaknya. 25 e. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orangorang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. f. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 2.4.2. Di dalam pasal 7 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 yakni a. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. b. Dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. c. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undangundang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi 26 tersebut ayat (2) pasal ini dan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6) 2.4.3. Di dalam pasal 8 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yakni Perkawinan yang dilarang antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau bapak tiri. d. Berhubungan susunan, yaitu orang tua susunan,anak susunan, saudara susunan, dan bibi atau paman susunan. e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau paman susunan f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturanlainnya yang berlaku, dilarang kawin. 2.4.4. Di dalam ketentuan pasal 9 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yaitu disebutkan bahwa : Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 pada undang-undang ini. 27 2.4.5. Di dalam pasal 10 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa : Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 2.4.6. Di dalam pasal 11 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa : a. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tertentu. b. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat 1 akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih berlanjut. 2.4.7. Di dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam PerundangUndangan tersendiri. 2.5. Asas-Asas Atau Prinsip Yang Tercantum Dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Beberapa asas-asas atau prinsip yang tercantum dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah sebagai berikut : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.Untuk itulah sepasang suami istri perlu saling membantu dan melengkapi untuk masing-masing saling mengembangkan 28 kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materi. b. Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan,akte resmi yang dimuat dalam pencatatan. c. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melaksanakan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antar calon suami istri yang masih di bawah umur. Selain dari pada itu, perkawinan di bawah umur itu juga berpengaruh dengan laju kelahiran yang tinggi, sehingga untuk meminimalisir hal-hal tersebut, diaturlah batas usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yakni bagi laki-laki minimal 19 (sembilan belas) tahun dan bagi wanita minimal 16 (enam belas) tahun. 29 d. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini menganut asas monogami. Hanya saja, apabila pihak yang bersangkutan menghendaki dan hukum agama yang dianutnya memperbolehkan maka seorang suami dapat beristri lebih dari seorang asalkan dapat memenuhi persyaratan tertentu yang telah diputuskan oleh pengadilan. e. Dikarenakan tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga ynag kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian. f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan sosial, sehingga dalam memutuskan sesuatu dalam rumah tangga hendaklah dirundingkan dahulu oleh suami istri. 2.6. Alasan Seorang Anak Bersedia Melakukan Perkawinan Di Usia Muda. Di dalam skripsi ini, telah disinggung sedikit tentang alasan seorang anak melakukan pernikahan usia muda, namun untuk lebih detilnya alasan-alasan yang mendasari antara lain : a. b. c. d. Keadaan ekonomi keluarga yang sulit. Faktor lingkungan dari pergaulan bebas yakni hamil di luar nikah. Putus sekolah dan sulitnya mencari pekerjaan Adanya tuntutan dari orang tua untuk menikah dengan orang dewasa yang kaya agar dapat mendompleng ekonomi keluarga. 30 e. Adanya anggapan bahwa anak perempuan tidak berpendidikan tinggi dan lebih baik untuk menikah saja. perlu 2.7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. “Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam diri anak melekat Harkat, Martabat, dan hak-hak sebagai manusia sebagai manusia seutuhnya”. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang telah termaktum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak anak. Di pandang dari kehidupan berbangsa bernegara, anak adalah generasi penerus bangsa, penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, berhak mendapat pendidikan serta berhak mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan kriminalitas. Di dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah serta negara. Untuk memberikan perlindungan pada anak secara lebih rinci maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan mendasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya adalah bagian dari pembangunan nasional yang khususnya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, orang tua, keluarga, masyarakat serta pemerintah bertanggungjawab untuk menjaga, 31 memelihara, serta menyediakan fasilitas untuk menjamin tumbuh kembangnya secara optimal. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak anak. Hak anak yang perlu dilindungi antara lain perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang dimaksudkan untuk mewujudkan penerus bangsa yang potensial, tangguh, berakhlak mulia, serta bernilai pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Upaya perlindungan anak dilaksanakan sedini mungkin yakni sejak di dalam kandungan hingga anak tersebut mencapai umur delapan belas tahun. Untuk sudut pandang perlindungan anak yang utuh dalam memberikan perlindungan kepada anak berdasar atas asas sebagai berikut : a. Non diskriminasi b. Kepentingan yang terbaik bagi anak c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak d. Penghargaan terhadap pendapat anak Untuk mengoptimalkan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak perlu peran serta dari lingkungan masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat maupun lembaga pendidikan. 32 2.8. Azas Dan Tujuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Asas dan tujuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang dimuat dalam pasal 2 dan 3 yakni : a. Di dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 yakni disebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan pancasila berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsip dasar hak anak meliputi non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak. b. Di dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 disebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar dapat hidup, tumbuh kembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak indonesia yang berkwalitas, berakhlak mulia dan sejahtera. 2.9. Hak Dan Kewajiban Anak Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Adapun hak dan kewajiban anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang pelindungan anak yakni di dalam pasal 13 ayat : 33 (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman (kekerasan dan penganiayaan), ketidakadilan, serta perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukum. 2.10. Kewajiban Dan Tanggungjawab Keluarga Dan Orang Tua Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam Pasal 26 Ayat (1) Dan (2). Adapun kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orang tua sesuai dengan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yakni dalam pasal 26 ayat : (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk : - Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak - Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya - Mencegah adanya perkawinan pada usia anak-anak (2) Dalam hal ini oarang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 34 dapat beralih pada keluarganya, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.11. Ketentuan Pidana Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Yaitu Pasal 77 Dan 88. Ketentuan-ketentuan pidana yang sesuai dengan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah dimuat dalam pasal 77 dan pasal 88 yang lebih rincinya adalah sebagai berikut : a. Pasal 77 yakni a) Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga menghambat funsi sosialnya, atau b) Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan baik fisik, mental, maupun siaial. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) b. Pasal 88 yakni Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta). 35 2.12. Perlindungan Khusus Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Perkawinan Di Bawah Umur Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Yaitu Dalam Pasal 66 Ayat (10), (2), Dan (3) Adapun perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban perkawinan di bawah umur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam pasal 66 yaitu ayat : (1) perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan tau seksual sebagaimana dimaksud di dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui : a) Penyebarluasan dan perundang-undangan atau yang sosialisasi berkaitan ketentuan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi maupun seksual. b) Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi, dan c) Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat kerja, lembaga swadaya masyrakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak 36 (3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana diatur dalam ayat (1). BAB III PEMBAHASAN 37 Apapun alasannya, perkawinan di bawah umur dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut: 3.1 Penyebab Perkawinan Anak Dibawah Umur 3.1.1. Para sarjana/ahli hukum berpendapat faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan dalam usia muda : 3.1.1.1 Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah: a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya. c. Sifat kuno orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja. 3.1.1.2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean Suryono disebabkan oleh: 38 a. Masalah ekonomi keluarga. b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki- laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya. c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya). 3.1.2. “beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita” yaitu : a. Ekonomi Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. b. Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur. c. Faktor orang tua 39 Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya. d. Media massa Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks. e. Faktor adat Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan. 3.2 Dampak Terhadap Hukum 3.2.1 Pelanggaran terhadap Undang-Undang Yang berlaku Adanya pelanggaran terhadap 3 undang-undang di negara kita yaitu: 1. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 (1) UU No.1 Tahun 1974 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 (2) UU No.1 Tahun 1974 : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 2. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: 1. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak 40 2. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan 3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. 3. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO (pemberantasan tindak pidana perdagangan orang) 3.2.2 Dampak Lain Yang Ditimbulkan Akibat Perkawinan Anak Dibawah Umur A. Dampak biologis Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. “Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan terhadap seorang anak”. B. Dampak Psikologis “Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan”. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. 41 Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajib belajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak. C. Dampak Sosial “Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja”. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan. D. Dampak perilaku seksual menyimpang “Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan-akan menjadi legal”. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancaman pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum 42 terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain. Yang akan berkesinambungan di kemudian hari. 3.3 Pencegahan Perkawinan Anak Di Bawah Umur Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini telah ditampung dengan semaksimal mungkin nilai-nilai perkawinan yang dihayati oleh bangsa Indonesia. Di lain pihak menampung pula unsurunsur, ketentuan-ketentuan hukum dan kepercayaan masyarakat yang berhubungan dengan perkawinan. Terdapat beberapa prinsip atau asas yang yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang bertumpu pada tujuan suatu perkawinan, bahwa perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, sejahtera, dan abadi. Untuk itu suami istri perlu saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya guna mencapai kesejahteraan jasmani dan rohani. Guna menjamin kepastian hukum maka suatu perkawinan adalah syah bilamana dilakukan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan adanya pembatasan usia perkawinan yakni usia calon mempelai pria minimal sembilan belas tahun (19) dan usia calon mempelai wanita minimal enam belas tahun (16). Pembatasan ini dimaksudkan bahwa calon suami istri itu masak jiwa raganya untuk dapat melaksanakan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan. Untuk itu, harus dicegah adanya perkawinan antara suami 43 istri yang masih di bawah umur. Dengan adanya perkembangan dalam pembangunan di berbagai bidang maka dapat menimbulkan maraknya perkawinan anak di bawah umur yang berakibat buruk baik dari segi psikologis ataupun biologis. Segala pembangunan itu timbul, sebagai konsekwensi dari suatu pembangunan yang sedang dan terus dilaksanakan. Sedangkan pembangunan itu sendiri bersifat melakukan perubahan yang terkadang melahirkan berbagai macam permasalahan. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 beserta perangkat peraturan pelaksanaannya telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan pembangunan. Namun dalam kenyataannya belum mampu mendukung pola interaksi yang bergejolak dalam masyarakat yang menghadirkan akibat-akibat negatifnya yang bersifat sangat kompleks. Untuk itu, kesadaran dan kepatuhan hukum sangat bergantung pada pola perilaku masyarakat itu sendiri sejauh mana masyarakat dapat berperan guna mewujudkan ketertiban hukum terlebih terhadap UndangUndang No 1 Tahun 1974 termasuk di dalamnya pencegahan perkawinan di bawah umur yang diarahkan untuk menunjang pembangunan yang minim akan dampak negatif. Dari Uraian di atas, dengan maraknya perkawinan anak di bawah umur maka sudah seharusnya kita semua berbuat untuk menekan laju perkawinan anak di bawah umur. Yaitu diantaranya dengan cara sebagai berikut : a. Penyuluhan Hukum 44 Penyuluham hukum utamanya diajukan kepada orang tua dan anak-anak. Dan kepada anak-anak dilakukan seminar yang menyenangkan dan untuk menyampaikan pesan hukum pada anakanak dilakukan melalui permainan ataupun gambar-gambar yang komunikatif. Di dalam penyuluhan hukum juga menggabungkan akan dampak-dampak negatif dari perkawinan anak di bawah umur baik psikologis maupun biologis. Dengan adanya penyuluhan hukum maka akan tumbuh kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan hukum terlebih tentang aturan usia perkawinan. b. Pemanfaatan Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan Berkembangnya lembaga kemasyarakatan sebagai wadah dari awal pembangunan, Tentu saja bisa turut mengembangkan kesadaran hukum khususnya kesadaran masyarakat untuk menikah di usia yang matang. Lembaga-lembaga yang selama ini telah berhasil menggiatkan masyarakat dalam berbagai sektor, juga bisa kita ajak kerjasama dalam membangun kesadaran akan pentingnya menikah di usia matang. Peran dari lembaga masyarakat tentu harus disiapkan secara matang agar tampilannya menarik misalnya berbentuk simulasi (uji coba) sehingga lebih mudah dipahami oleh masyarakat. c. Membuat Gerakan Untuk Menikah Di Usia Yang Cukup 45 Hal ini merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan dalam skala yang besar. Namun mungkin akan lebih mudah jika dilakukan dengan skala yang kecil secara berkesinambungan misalkan dari diri sendiri, dari lingkungan keluarga, dari lingkungan tempat tinggal yang diharapkan akan menyebar. Menuju pada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 sudah nyata bahwa perkawinan di indonesia harus memenuhi ketentuan batas minimal yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Kendati di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengatakan demikian, namun tidak serta merta dapat ditindak. Banyak sekali terjadi perkawinan di bawah umur namun sangat minim sekali terdengar kriminalitas atas pebuatan tersebut. Walaupun pasal 288 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) telah menyebutkan bahwa barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin. Apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana paling lama 4 tahun, jika mengakibatkan luka-luka berat maka diancam dengan pidana paling lama 8 tahun, dan jika mengakibatkan mati maka akan diancam pidana paling lama 12 tahun. Perkawinan merupakan masalah pribadi yang menyangkut kehormatan keluarga sehingga seringkali penyelesaiannya tidak dapat tuntas. Langkah yang mungkin paling baik dilakukan adalah dengan menekan laju perkawinan anak di bawah umur adalah menekan dan 46 mencegah serta membatalkan perkawinan jenis tersebut. Namun sekali lagi bahwa perkawinan merupakan hal yang sangat pribadi sehingga sulit untuk mengungkapkan. Maka dari itu perlu ada ketegasan baik dari mempelai, keluarga, maupun pegawai pencatat nikah. Dalam pasal 20 dan 21 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini dan disebutkan bahwa pegawai pencatat perkawinan tidak boleh membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum perkawinan. BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 telah mengatur batasan umur dalam perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan anak. Jadi sangat ironis jika terjadi pelanggaran terhadap kedua undang-undang tersebut yang dalam konteks ini adalah perkawinan di bawah umur. Perkawinan di bawah umur kerap kali ditemui dalam masyarakat namun tidak ada 47 tindakan serius dari masyarakat maupun pemerintah. Namun bila terjadi kasus perkawinan anak di bawah umur yang terekspose media barulah masyarakat maupun pemerintah bertindak. 1. Kesimpulan dari pemaparan skripsi di atas mengenai penyebab perkawinan anak di bawah umur terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah: a) Ekonomi Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu b) Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur. c) Faktor orang tua Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya. d) Media massa Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks. e) Faktor adat 48 Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan. 2. Dampak perkawinan anak di bawah umur dapat dipaparkan sebagai berikut : a. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Yang berlaku yakni pelanggaran terhadap 3 undang-undang di negara kita yaitu: 1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 2) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 3) UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO (pemberantasan tindak pidana perdagangan orang) b. Dampak biologis c. Dampak Psikologis d. Dampak Sosial e. Dampak perilaku seksual menyimpang 3. Upaya pencegahan perkawinan anak di bawah umur dapat dilakukan dengan cara : a. Penyuluhan hukum b. Pemanfaatan Lembaga-lembaga kemasyarakatan c. Membuat Gerakan Bersama Untuk Menikah di Usia Matang atau Cukup Umur 4.2. Saran 49 Dari apa yang terurai dalam skripsi ini penulis dapat menyarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Penulis menyarankan bagi para pembaca terutama para orang tua agar lebih memperhatikan pendidikan anaknya dari pada harus memaksa anak tersebut untuk menikah di bawah umur selai dari pada itu, para orang juga harus senantiasa mengawasi pergaulan anaknya dari pergaulan bebas serta mendampingi anaknya dalam menggunakan layanan informasi dan telekomunikasi baik televisi, hanpond, maupun internet. 2. Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang dan dicegah. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO). 50 3. Penulis menyarankan agar upaya pencegahan perkawinan anak di bawah umur lebih digalakkan baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Pengawasan maupun perhatian dari orang tua serta pemahaman orang tua terhadap bahaya perkawinan anak di bawah umur baik yang berdampak hukum maupun psikologis. Sehingga dapat menekan laju perkawinan anak di bawah umur dan menekan segala dampak negatif dari perkawinan anak di bawah umur baik kesehatan, ekonomi, maupun psikologis. 4. Upaya pencegahan perkawinan anak di bawah umur akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta dalam pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat merupakan jururs terampuh. Sementara ini untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur, diharapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban perkawinan tersebut dan Indonesia menjadi lebih optimis dalam menatap masa depannya. 5. Bahwa diatas semuanya, peran dari dari orang tua, keluarga, dan masyarakat adalah aspek yang paling penting untuk melakukan pencegahan atas perkawinan dibawah umur, sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial dapat berlangsung dengan baik, namun satu aspek lain yang perlu dicarikan solusinya adalah bagaimana menuntaskan kemiskinan dan ekonomi dari masyarakat terbelakang, karena 51 biasanya aspek ekonomi inilah yang dijadikan pintu masuk untuk perkawinan dibawah umur terjadi. DAFTAR BACAAN 1. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Bandung, 1982, Cetakan xx 2. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan 3, Balai Pustaka, Jakarta, 1990 3. Departemen Kehakiman Direktorat Jendral Hukum Dan PerundangUndangan Direktorat Penyuluhan Hukum Tentang Perkawinan, 1991 4. Willa Chandrawati Supriadi, Hukum Perkawinan Hindia dan Belanda, Mandar Maju, Bandung, 2002 5. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan 26, Intermasa, jakarta, 1994 52 6. Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak Dibawah Umur, Mandar Maju, Bandung, 2011 7. Abdi Koro, Perlindungan Anak Dibawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda Dan Perkawinan siri, Alumni, Bandung, 2012 8. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1983 9. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990 10. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur, Jakarta, 1990 11. Http : //hukumperkawinandiindonesia.blogspot.com/2012/03/dispensasiperkawinan.html 12. Http : //dahlan forum.wordpress.com/perkawinan di bawah umur/2013 13. Http ; //lib.uin-malang.ac.id/?mod=th-detail&id/2013 14. Http : //www.lbhmawarsaron.or.id/bantuan-hukum/berita/perkawinananak-dibawah-umur/html 15. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dengan Tambahan UndangUndang Perkawinan, cetakan 39, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008 16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Cetakan 1, Bening, Jogjakarta, 2010