LAPORAN AKHIR INVENTORI SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT 1 PRAKATA Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Akhir Kegiatan Tahun 2014 “Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Program CCDP-IFAD Desa Dabong dan Mengkalang, Kabupaten Kubu Raya 2014”, meskipun banyak rintangan dan hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya.Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang tulus kepada semua pihak/personil yang telah berperan di dalam proyek ini, khususnya Kepala Bidang Pesisir Dinas Perikanan Kubu Raya, Kepala Desa Kubu dan Teluk Gelam serta Konsultan Pemberdayaan Kubu Raya dan Masyarakat Desa Kubu dan Teluk Gelam. Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada masyarakat pesisir Kabupaten Kubu Raya secara umum dan masyarakat Desa Kubu dan Teluk Gelam secara khusus dari hasil laopran akhir ini. Oleh karena itu kami berharap semoga laporan akhir ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita semua. Demikian laporan akhir ini kami buat, semoga memberikan faedah. 2 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ............................................................................................................................... 1 DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 2 DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... 3 DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. 4 DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. 5 Bab I Pendahuluan .............................................................................................................. 6 1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 6 1.2. Maksud dan Tujuan .......................................................................................... 7 1.3. Sasaran .............................................................................................................. 8 1.4. Keluaran ............................................................................................................ 8 1.5. Hasil .................................................................................................................. 8 1.6. Lingkup Pekerjaan ............................................................................................. 9 1.7. Pelaporan .......................................................................................................... 10 Bab II Gambaran Umum ...................................................................................................... 11 2.1. Pengertian Potensi Sumberdaya Pesisir ........................................................... 11 2.2. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ...................................................................... 23 2.3. Kondisi Wilayah ................................................................................................. 35 Bab III Inventori Sumberdaya Pesisir ................................................................................... 39 3.1. Metode yang Digunakan ................................................................................... 39 3.2. Hasil Inventory Sumberdaya Pesisir ................................................................. 42 Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi ................................................................................. 57 Daftar Pustaka ...................................................................................................................... 60 Lampiran ............................................................................................................................ 63 3 DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kriteria baku kerusakan mangrove ................................................................................ Jenis data serta sumber data ......................................................................................... Mata pencahariaan penduduk Desa Dabong dan Mengkalang ..................................... Tingkat pendidikan formal penduduk Desa Dabong ...................................................... Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong ........ Jenis buah, sayur dan palawija di Desa Dabong dan Mengkalang ................................. Alat Tangkap Ikan Desa Dabong ..................................................................................... Hasil Tangkapan Nelayan ............................................................................................... Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong ........ 15 39 43 43 46 47 49 51 56 4 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. Mangrove Desa Dabong dan Mengkalang ..................................................................... Berbagai Alat Tangkap Nelayan Desa Dabong ............................................................... Alat Tangkap di Desa Mengkalang ................................................................................. Tambak Budidaya Udang ............................................................................................... Bak Pemeliharaan Kepiting Soka .................................................................................... Metode Pemberian Pakan Udang Windu ...................................................................... 47 50 51 52 53 56 5 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Wawancara dengan Petambak .................................................................................. 63 2. Kegiatan FGD ........................................................................................................... 63 6 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang cukup tinggi dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Hal tersebut dapat dijadikan modal dasar bagi pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Sumberdaya yang dimaksud dapat berupa sumberdaya hayati seperti ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lainnya; sumberdaya non hayati seperti pasir, air laut, mineral dasar laut, ataupun sumberdaya buatan berupa infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan. Sedangkan jasa-jasa lingkungan yang dimaksud umumnya berupa keindahan alam yang dapat dinikmati para wisatawan. Seiring pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan pemutakhiran teknologi telah memberikan kesempatan pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin pesat. Di sisi lain kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sendiri sangat rentan terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebihan dan penanganan yang tidak berkelanjutan seperti konversi wilayah pantai menjadi tambak, pemukiman atau industri, sangat membahayakan kehidupan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil baik ekosistem laut maupun di bagian daratnya. Perubahan ekosistem utama pesisir akan berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan sehingga pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil dengan memperhatikan kaidah keberlanjutan mutlak diperlukan. Pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat serta tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Selama beberapa dekade terakhir ini, kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang relatif cepat tersebut telah memacu hilangnya habitat dan menurunnya 7 keanekaragaman hayati. Hal ini khususnya terbukti terjadi di kawasan pesisir dimana pertumbuhan penduduknya dua kali lebih besar dari rata-rata nasional. Oleh karena itu, dalam upaya konservasi sumberdaya pesisir, pemerintah telah menetapkan beberapa kawasan konservasi yang tersebar di seluruh Indonesia yang dilengkapi dengan dokumen pengelolaannya. Dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, sangatlah dibutuhkan informasi yang aktual dan faktual mengenai status ekosistemnya serta potensi sumberdayanya. Strategi pengelolaan potensi sumberdaya kawasan pesisir dan pulaupulau kecil tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dengan baik dan tepat guna. Dengan adanya strategi pengelolaan kawasan pesisir ini diharapkan terwujud kondisi dan pembangunan pesisir yang berkelanjutan. Inventarisasi potensi sumberdaya pesisir merupakan salah satu upaya awal penentuan pengelolaan kawasan pesisir berbasis masyarakat. Salah satu kawasan pesisir yang memiliki beragam potensi untuk dikembangkan terletak di Desa Dabong dan Mengkalang. Oleh sebab itu, kegiatan ini diharapkan mampu untuk menyediakan data dan informasi mengenai potensi yang berada di dua desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya. 1.2 Maksud dan Tujuan Tujuan kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat ini adalah untuk menginventarisasi berbagai aspek pembangunan, pemanfaatan potensi sumberdaya alam, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan kelompok masyarakat serta sebaran infrastruktur umum yang terdapat di Desa Dabong dan Mengkalang, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya. 8 1.3 Sasaran Sasaran kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat ini adalah terhimpunnya sebaran data-data dasar terkait dengan aspek pembangunan, pemanfaatan potensi sumberdaya alam, kondisi sosial ekonomi masyarakat kelembagaan kelompok masyarakat serta keragaman dan sebaran infrastruktur umum yang terdapat di Desa Dabong dan Mengkalang, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya. 1.4 Keluaran Keluaran kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Desa Dabong dan Mengkalang adalah: Terdokumentasinya secara jelas dan sistematis dat-data hasil inventarisasi terkait dengan aspek pembangunan, pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan kelautan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan kelompok masyarakat serta sebaran infrastruktur umum di Desa Dabong dan Mengkalang, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya; dan Terakomodasinya secara kolektif harapan masyarakat pesisir di Desa Dabong dan Mengkalang, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya melalui ruang peran serta secara optimal dalam proses inventarisasi aspek pembangunan, pemanfaatan potensi sumberdaya alam kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan kelompok masyarakat serta sebaran infrastruktur umum. 1.5 Hasil Terumuskannya berbagai isu-isu utama tentang kondisi dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut pada Desa Dabong dan Mengkalang, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya. 9 1.6 Lingkup Pekerjaan 1. Persiapan a. Kegiatan ini merupakan kegiatan awal yang menyangkut penyiapan tim pokja yang bertanggung jawab dalam proses kegiatan inventarisasi, persiapan jadwal kegiatan inventarisasi, bahan dan perlengkapan, materi inventarisasi serta koordinasi dengan pihak terkait lainnya dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan. b. Mengindetifikasi dan memobilisasi tokoh kunci dari keterwakilan kelompok masyarakat dan stakeholders yang akan ikut serta dalam proses pelaksanaan pekerjaan. 2. Pelaksanaan Kegiatan a. Kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat dilaksanakan dalam 2 (dua) tahapan yaitu tahap inventarisasi dan penajaman substansi yang dilaksanakan oleh Tim Pokja yang ditunjuk dengan SK Ketua PIU, yang selanjutnya hasil kerja TIM POKJA dibahas dalam pertemuan dengan Tim PIU dan DOB. Kemudian pada Tahap kedua hasil rumusan kerja Tim Pokja yang sudah dibahas secara bersama dengan tim PIU dan Tim Komite dilanjutkan dengan ekspose secara terbuka dengan melibatkan peran serta masyarakat sasaran program dan instansi terkait lainnya; b. Topik atau isu utama yang perlu dipertajam dan dikembangkan dalam kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat adalah pengentasan kemiskinan, optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan laut, kelembagaan kelompok masyarakat, sarana infrastruktur publik, sarana pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut; c. Unsur-unsur masyarakat yang dilibatkan dalam proses Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat harus mencerminkan keterwakilan kelompok 10 masyarakat, tokoh masyarakat, perangkat desa, masyarakat serta organisasi masyarakat setempat; d. Narasumber dalam kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat harus mampu menggali dan mendata semaksimal mungkin potensi sumberdaya pesisir dan laut, usulan maupun curahan pendapat yang produktif dari masyarakat untuk selanjutnya disusun rangkumannya dalam bentuk matriks sebaran dan keragamannya sesuai kebutuhan. 1.7 Pelaporan Pelaporan pekerjaan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat disesuaikan dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan 1.8 Latar Belakang 1.9 Maksud dan Tujuan 1.10 Sasaran 1.11 Keluaran 1.12 Hasil 1.13 Lingkup Pekerjaan 1.14 Pelaporan Bab II Gambaran Umum Lokasi Bab III Inventori Sumberdaya Pesisir 2.1 Metode yang Digunakan 2.2 Hasil Inventori Sumberdaya Pesisir Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi Lampiran 11 Bab II Gambaran Umum 2.1. Pengertian Potensi Sumberdaya Pesisir 2.1.1. Sumberdaya Sumberdaya adalah segala sesuatu baik berupa benda yang konkrit maupun benda nyatayang dibutuhlkan manusia untuk melangsungkan hidupnya. Sedangkan sumberdaya alam adalah sumberdaya di alam yang terdiri dari factorfaktor abiotik (fisik) dan factor biotik (hayati) yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya (Anwar dan Juhana, 1987). Sumberdaya alam terbagi dua, yaitu : (1). Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) yaitu sumberdaya yang dapat tersedia kemabali dalam waktu yang cepat sehingga tidak dapat habis. Namun demikian apabila pemanfaatannya tidak terkendali, sumberdaya ini dapat habis atau punah. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti: sumberdaya perikanan (biota), mangrove dan terumbu karang. Selain itu air serta udara juga termasuk dalam kategori ini. (2). Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources) merupakan sumberdaya alam yang pembentukannya berlangsung sangat lambat dalam waktu jutaan atau ratusan juta tahun. Oleh karena itu, jumlahnya relative tetap atau berkurang karena dimanfaatkan dan akhirnya pada saatnya nanti akan habis. Contoh sumberdaya ini yaitu: minyak bumi, gas dan mineral dan bahan tambang lainnya. Selain menyediakan dua sumberdaya tersebut, wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi, seperti: transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, jasa lingkungan, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan permukiman dan tempat pembuangan limbah. 12 2.1.2. Pesisir Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan wilayah peralihan atau daerah pertemuan (interface area) antara ekosistem darat dan laut. Secara biologis wilayah ini sangat produktif dan mengandung potensi pembangunan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kawasan ini mendapat input nutrien dan bahan organik dari daratan melalui aliran sungai dan run-off. Wilayah pesisir menggambarkan dan umumnya selalu dihubungkan dengan daerah antarmuka (interface) atau ruang transisi antara darat dan laut (CicinSain dan Knecht 1998). Wilayah ini didefinisikan sebagai bagian dari darat yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh laut, dan bagian dari laut yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh daratan (USCMSER 1969, diacu dalam United Nation 1995). Dengan demikian, proses-proses interaksi antara darat dan laut di wilayah ini terjadi sangat kuat. Sedangkan menurut World Bank (1993) pengertian wilayah pesisir adalah “suatu daerah antarmuka (interface), dimana darat bertemu laut, meliputi baik lingkungan garis pantai maupun perairan pesisir yang berbatasan. Komponennya dapat termasuk delta sungai, dataran pesisir, lahan-lahan basah (wetland), pantai dan gundukan pasir (dune), laguna, karang dan hutan mangrove”. Untuk tujuan perencanaan, wilayah pesisir merupakan suatu daerah spesial yang memiliki ciri-ciri khusus, antara lain : a). Merupakan suatu daerah dinamis, yang seringkali mengalami perubahan sifat biologis, kimiawi dan geologis; b). Daerah produktifitas tinggi dengan adanya bermacam-macam ekosistem biologis, yang memberikan habitat penting bagi beberapa spesies laut; c). Memiliki keistimewaan wilayah seperti sistem-sistem terumbu karang, hutan mangrove, pantai dan gundukan pasirnya, yang memberikan pertahanan alami khusus guna mengatasi badai, banjir dan erosi; d). Ekosistem-ekosistem pesisir dapat berperan menetralisir dampak polusi yang datang dari darat, seperti lahan basah yang dapat menampung kelebihan nutrien, sedimen dan kotoran manusia; e). Wilayah pantai memunculkan sangat banyak perkampungan dan pemukiman 13 manusia yang memanfaatkan sumberdaya hayati dan non-hayati di lautan, transportasi laut dan rekreasi wisata. Beberapa ekosistem yang berada dikawasan pesisir adalah: A. Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Ekosistem mangrove tumbuh dengan baik didaerah pesisir yang terlindung seperti delta dan estuaria (Bengen 2001). Keberadaan suatu ekosistem pada suatu kawasan tentu saja banyak memberikan fungsi dan manfaat bagi lingkungan secara biotik, dan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Menurut Bengen (2002), ekosistem mangrove memiliki beberapa fungsi bioekologis dan sosioekologis yaitu: Fungsi perlindungan terhadap abrasi laut Fungsi menangkap sedimen Fungsi sebagai daerah penghasil makanan Sebagai spawning ground, nursery ground dan feeding ground Sebagai daerah bersarang burung Habitat alami yang memberikan kesinambungan ekologis Fungsi mencegah terjadinya keasaman tanah Fungsi perlindungan dari bahaya angin laut Fungsi menghambat intrusi air laut Daerah penghasil kayu Daerah penghasil ikan Daerah pariwisata Manfaat lain dari tumbuhan mangrove adalah bahwa bijinya mengandung antioksidan dan bahan aktif untuk melindungi kulit dari sengatan sinar ultraviolet. Dari hasil penelitian hingga praklinis membuktikan bahwa biji 14 mangrove (Xylocarpus granatin) mengandung flavonoid dan tanin. Manfaatnya sangat besar untuk mencegah terjadinya kanker kulit akibat sering terbakar sinar matahari. Ekstrak biji mangrove mengandung Sun Protector Filter (SPF) 22. Sementara itu, Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk tabir surya SPF-nya minimal 15. Maka tabir surya dari mangrove itu lebih dari cukup untuk melindungi kulit dari sengatan matahari (Linawati, 2003). Ekosistem mangrove termasuk ekosistem pesisir dengan tingkat prosuktivitas yang sangat tinggi dan rawan terhadap kerusakan. Penyebab kerusakan ekosistem mangrove dapat di kategorikan kedalam tiga jenis (Kusmana dan Onrizal, 1998): Gangguan Fisik Mekanis, yang meliputi: Abrasi pinggir pantai atau pinggir sungai, sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali, banjir yang menyebabkan melimpahnya air tawar, dan gempa bumi yang disertai dengan tsunami. Ganguan Kimia, yang meliputi: Pencemaran air, tanah dan udara, serta adanya hujan asam. Ganguan Biologi, yang meliputi: Adanya konversi mangrove untuk kegiatan pemukiman, industri, pertambakan, pertanian, pertambangan, sarana angkutan dan penggunaan lahan non kehutanan. Kegiatan penebangan pohon yang tida memperhatikan azas kelestarian hutan, serta adanya invasi Acrostichum aureum (piay) dan adanya jenis semak belukar lanilla. Selain itu semakin berkunya luasan hutan mangrove juga akan makin mempercepat kerusakan ekosistem. Berkurangnya luasan hutan mangrove dapat dikarenakan beberapa hal, yaitu: Alih fungi lahan hutan mangrove menjadi pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan tambak. 15 Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahanperusahaan tertentu serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan. Polusi di perairan estuary, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnya dimana terdapat tumbuhan mangrove. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan abrasi yang tidak terkendali. Berikut ditampilkan kriteria baku kerusakan mangrove sebagai cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam kriteria berikut (Tabel 1): Tabel 1. Kriteria baku kerusakan mangrove No Kriteria Penutupan (%) 1 Sangat Padat Baik 2 Sedang 3 Rusak Jarang Sumber : Kepmen LH No.201 Tahun 2004. >75 50-75 <50 Kerapatan (pohon/Ha) >1.500 1.000-1.500 <1.000 Sebenarnya mangrove memiliki kemampuan memperbaiki habitatnya sendiri dengan mengembangkan strategi establishmen, pertumbuhan dan perkembangan, serta regenerasi. Namun pada kondisi-kondisi tertentu regenerasi alami pada mangrove akan terhambat terutama bila terjadi perubahan kondisi fisik habitat kearah yang tidak normal seperti halnya perubahan hidrologi. Bila kondisi ini yang terbentuk maka tindakan perbaikan habitat secara konvensional (penanaman) sering tidak berhasil meskipun dilakukan secara berulang-ulang (Djamaluddin, 2004). Menurut Permenhut Nomor: P.70/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, bahwa sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah di dalam kawasan hutan pada hutan lindung yang terdeforestasi, hutan produksi, serta Taman Hutan Raya (Tahura) yang dikelola oleh Kabupaten/Kota, dan di luar kawasan hutan pada lahan tegakan 16 mangrove yang telah mengalami degradasi/deforestasi sehingga terganggu fungsi ekologis, sosial dan ekonominya. Disamping itu rehabilitasi dilakukan pula pada kawasan pantai berhutan bakau. Sesuai Keppres No. 32 Tahun 1990 dimana perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping sebagai perlindungan pantai dari pengikisan air laut serta perlindungan usaha budidaya di belakangnya. Rehablitasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Pada kondisi seperti ini ekosistem homeostasis telah berhenti secara permanen, dan proses kedua untuk perbaikan secara alami pasca kerusakan telah terhambat oleh karena beberapa kondisi (Lewis, 1982 dalam Djamaludin, 2004). Untuk banyak kasus seringkali pengelola suatu program rehabilitasi melakukan penanaman mangrove sebagai kegiatan pertamanya. Sebaiknya kegiatan rehabilitasi yang dilakukan berdasarkan diketahuinya penyebab hilangnya ekosistem mangrove di wilayah tersebut, kemudian baru dilakukan penanganan penyebab tersebut dan perbaikan habitat mangrove yang ada. Bibit mangrove ditanam hanya jika mekanisme alami tidak memungkinkan dan apabila secara hidrologi telah memungkinkan (Djamaluddin, 2004). Menurut Lewis (1982) dalam Djamaluddin (2004) semua habitat mangrove dapat memperbaiki kondisi alami dalam waktu 15-20 tahun, jika paling tidak dua kondisi ini terpenuhi: Kondisi normal hidrologi tidak terganggu. Ketersedian biji dan bibit mangrove serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi pada kondisi normal tetapi biji mangrove tidak dapat mendekati daerah rehabilitasi, maka rehabilitasi dapat dilakukan secara 17 konvensional yaitu melalui penanaman. Secara umum rehabilitasi mangrove dapat dilakukan tanpa penanaman, maka rehabilitasi fisik dilakukan dengan terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan lingkungan lainnya yang menghalangi perkembangan mangrove. Jika aliran air terhalangi dan ditemukan adanya tekanan lain maka hal tersebut harus ditangani terlebih dahulu, dan perlu dipastikan ketersediaan bibit alami. Bila bibit alami tidak tersedia maka perlu dilakukan penanaman untuk membantu perbaikan secara alami (Djamaluddin, 2004). Sangat disayangkan banyak kegiatan rehabilitasi mangrove langsung dimulai dengan aktivitas penanaman tanpa mempertimbangkan mengapa perkembangan secara alami tidak terjadi. Seringkali kegiatan seperti ini mengakibatkan terjadinya kegagalan, hal tersebut dapat dilihat pada beberapa proyek yang telah dilakukan Di Indonesia. Ada lima tahap yang penting yang perlu diperhatikan untuk rehabilitasi mangrove, yaitu: Memahami autekologi (ekologi tiap jenis mangrove), pola reproduksi, distribusi benih dan keberhasilan pembentukan bibit. Memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan keberhasilan pembentukan dan pertumbuhan jenis mangrove yang menjadi target. Memperkirakan perubahan lingkungan mangrove asli yang menghalangi pertumbuhan alami mangrove. Disain program rehabilitasi fisik untuk memperbaiki hidrologi yang layak, dan jika memungkinkan digunakan benih alami mangrove untuk melakukan penanaman. Hanya melakukan penanaman bibit, memungut, atau mengolah biji setelah memperhatikan langkah-langkah tersebut diatas. Faktor yang paling penting dalam mendesain suatu kegiatan rehabilitasi mangrove adalah pengenalan hidrologi (frekuensi dan durasi pasang surut) yang berlaku pada suatu komunitas mangrove yang berdekatan dengan area 18 rehabilitasi. Pengumpulan data akan memerlukan biaya yang cukup besar karena akan mengamati batas air pasang surut, serta melakukan survei terhadap mangrove yang tumbuh sehat untuk mendapatkan suatu penampang distribusi spasial, kemiringan, dan morfologi suatu ekosistem mangrove yang kemudian menjadi model kontruksi. Penimbunan dan penggalian kembali bekas galian diperlukan untuk membentuk tingkat kemiringan yang sama serta ketinggian relatif terhadap batas areal yang ditentukan untuk memastikan hidrologinya sudah tepat (Djamaluddin, 2004). Areal dimana penimbunan dilakukan terhadap lahan yang pernah ditumbuhi mangrove, dilakukan pengerukan kembali lahan tersebut untuk mencapai tanah humus mangrove sebelumnya, atau dapat pula disesuaikan dengan ketinggian magrove yang ada disekitarnya. Bentuk lain dari rehabilitasi mangrove yaitu melibatkan penggabungan kembali areal-areal hidrologi yang terpisah ke situasi jangkauan air yang normal (Djamaludin, 2004). Penanaman mangrove hanya diperlukan jika pertumbuhan alami tidak mungkin terjadi akibat kurangnya bibit/kecambah (propagade) taupun kondisi tanah yang kurang mendukung. Ketika penanaman diperlukan, penempatan bibit Rhizophora yang telah matang secara langsung ke dalam hunus dapat mempercepat pertumbuhan mangrove. Proses tersebut tidak dapat dilakukan pada mangrove jenis lainnya karena diperlukan pelepasan kulit biji dari kecambah sebelum pembentukannya, serta diperlukan akar yang menyentuh permukaan tanah secara langsung dengan kotiledon yang terbuka. Kematian bibit pada tahap awal jarang terjadi, namun tingkat keberhasilannya hanya sekitar 50 persen. Meskipun penanaman pada musim panas adalah yang ideal, tetapi bibit mangrove dapat juga ditanam sepanjang tahun dengan hasil yang memuaskan (Djamaluddin, 2004). Illegal logging termasuk yang terjadi pada kawasan hutan mangrove telah menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim di berbagai perjuru dunia, sehingga rehabilitasi ekosistem mangrove dapat juga digunakan sebagai 19 salah satu solusi pengurangan dampak pemanasan global tersebut, terutama di negara-negara kepulauan. Aksi nyata yang dapat dilakukan adalah reforestasi pada ekositem mangrove yang rusak, untuk program jangka panjang diperlukan kejelasan dan manfaat dari adanya ekosistem mangrove terhadap masyarakat setempat. Salah satu program yang dianjurkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah silvofishery yang menerapkan kegiatan yang ramah lingkungan dengan menggabungkan tumbuhan dengan perikanan. Program ini dapat menerapkan sistem empang parit atau empang inti, empang parit merupakan sistem dimana tumbuhan mangrove berada ditengah-tengah kolam dengan dikelilingi oleh parit, sedangkan empang inti merupkan kebalikannya yaitu parit yang dibuat dikelilingi oleh tumbuhan mangrove. Sistem ini sebenarnya dapat memberikan banyak keuntungan antara lain adalah kontruksi kolam akan lebih stabil karena adanya perakaran dan kualitas air akan lebih baik karena tersaring akar. Sistem ini juga akan terbantu oleh proses dekomposisi material organik karena adanya mikrobia pada dasar (debris) dan daun mangrove yang jatuh bersifat alelopaty dapat menurunkan patogen pada ikan. Selain itu sistem silvofishery juga dapat mengurangi intrusi air laut karena berfungsi sebagai greenbelt dan merupakan mitigasi terhadap climate change karena dapat menyerap karbondioksida dari udara. Oleh karena itu masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam mengelola ekosistem mangro ve sekaligus melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim (Primavera, 2000}. B. Ekosistem Lamun Padang lamun memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang penting,dan bersama dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang merupakan habitat pesisir yang sangat produktif, padang lamun bukan hanya merupakan habitat yang memiliki produktivitas primer tinggi (Borum et al, 2006) dan siklus nutrient (Romero et al. 2006).tetapi juga menyediakan habitat untuk kehidupan berbagai macam organisme laut (Duarte, 2002), serta dapat meningkatkan 20 kestabilan substrat melalui perluasan akarnya secara ekstensif (Fonseca and Fisher, l936). Lamun, merupakan satu-satunya tumbuhan sejati yang memiliki adaptasi untuk hidup dan tumbuh di perairan asin yang dangkal, hingga ke kedalaman 60 meter. Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah: Terdapat di perairan pantai yang landai, di daratan lumpur/pasir Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terendam air termasuk daur generatif Mampu hidup di media air asin Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik. Lamun sendiri dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan untuk ikan budidaya dan hewan ternak, sumber pupuk hijau, area marikultur (ikan, teripang, kerang tiram, dan rumput laut), bahan baku kerajinan anyaman, dan sebagainya. Pemanfaatan padang lamun dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi tanpa pengelolaan yang tidak tepat dapat mengurangi fungsi ekosistem ini. C. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang dengan tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang dapat mensekresi kalsium karbonat (Nybakken, 1988). Sedangkan menurut Odum (1971), terumbu karang adalah sebagai bagian ekosistem yang dibangun oleh 21 sejumlah biota, baik hewan maupun tumbuhan yang secara terus-menerus mengikat ion kalsium dan karbonat dari air laut yang menghasilkan kapur, kemudian secara keseluruhan tergabung membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur. Menurut Veron (1986), karang dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu karang hermatipik (karang yang dapat membentuk terumbu) dan karang ahermatipik (karang yang tidak dapat membentuk terumbu). Karang hermatipik dalam prosesnya bersimbiosis dengan alga zooxanthellae dan membutuhkan cahaya matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal sebagai reef building corals, sedangkan karang ahermatipik tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal sebagai non-reef building corals, yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada cahaya matahari. Pertumbuhan karang pembentuk terumbu sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang ada disekitarnya. Cahaya matahari, suhu, salinitas, sirkulasi massa air dan arus serta sedimentasi merupakan faktor fisika-kimia perairan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Nybakken (1988) menyatakan bahwa cahaya merupakan salah satu faktor pembatas yang penting dalam penyebaran terumbu karang. Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Proses fotosintesis tersebut menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida. Kondisi ini menyebabkan distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar yang masuk. Menurut Nybakken (1988), perkembangan terumbu karang yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25 oC. Terumbu karang memiliki kisaran toleransi terhadap suhu antara 36-40 oC. Suhu paling baik bagi pertumbuhan karang berkisar antara 25-30 oC (Sukarno 22 et al, 1983). Perubahan suhu yang drastis dapat mengakibatkan bleaching karena kehilangan zooxanthellae dari jaringan karang yang dapat mematikan hewan karang tersebut. Terumbu karang dapat bertahan sampai suhu minimum 15 oC dan maksimum 36 oC. Suhu juga dapat mempengaruhi tingkah laku makan pada karang. Karang hermatipik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut, yaitu 32-35‰ (Nybakken, 1988). Menurut Birkeland (1997) terumbu karang berkembang dengan baik pada salinitas air laut mendekati 35‰, namun kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pemasukan air tawar. Nybakken (1988) mengutarakan perairan yang menerima pasokan air tawar dari sungai secara terus menerus maka daerah tersebut tidak akan terdapat terumbu karang. Hal yang sama juga diutarakan oleh McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran air dari darat dapat membunuh terumbu karang melalui sedimentasi dan penurunan salinitas air laut. Arus berperan penting dalam transportasi makanan, larva dan dapat membersihkan karang dari endapan sedimen. Arus memiliki pengaruh yang besar terhadap taksonomi dan morfologi dari ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibanding perairan yang tenang. Arus diperlukan untuk ketersediaan aliran makanan dan oksigen serta membersihkan polip karang dari partikel-partikel yang menempel (Sukarno et al. 1983). Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir laut tropis yang memiliki berbagai macam fungsi, baik secara fisik, biologis maupun kimiawi. Secara fisik terumbu karang dapat melindungi pantai dari abrasi dan melindungi ekosistem lamun dari sedimentasi. Fungsi biologis terumbu karang adalah sebagai tempat hidup, mencari makan, berkembang biak, pembesaran anak, berlindung dari predator bagi ikan dan biota-biota laut 23 lainnya. Secara kimiawi terumbu karang dapat berfungsi sebagai penyedia bahan baku untuk industri kosmetik dan farmasi. 2.2. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Wilayah pesisir memiliki ekosistem yang berfungsi sangat vital dalam mendukung kehidupan manusia, diantaranya sebagai : 1) Penyedia sumberdaya alam, seperti: sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (yaitu sumberdaya perikanan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut); dan sumberdaya alam nir-hayati yang tidak dapat pulih (yaitu sumberdaya mineral, minyak bumi dan gas alam); 2) Penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, seperti: air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia; 3) Penyedia jasa-jasa kenyamanan, seperti: tempat rekreasi atau pariwisata; dan 4) Penerima/penampung limbah (Bengen 2004). Wilayah pesisir merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa datang. Sudah sejak lama wilayah pesisir dengan segala potensinya dimanfaatkan oleh manusia, terutama dalam bidang perekonomian. Wilayah ini juga merupakan kawasan tempat berlangsungnya berbagai macam kegiatan pembangunan yang paling intensif. Wilayah pesisir ini, selain potensial untuk kegiatan pembangunan juga rentan terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pembangunan dan perekonomian itu, baik yang berlangsung di wilayah pesisir itu sendiri maupun yang berlangsung di laut ataupun kawasan atasnya (daratan). Berbagai bukti pengrusakan sumberdaya darat dan laut tanpa mempertimbangkan kondisi ekologis dan kelangsungannya (KMNLH dan Bapedalwil I 1999). Padahal sumberdaya pesisir dan lautan merupakan aset pembangunan yang penting dan terbesar bagi Indonesia di masa depan, karena sumberdaya darat seperti hutan dan lahan lainnya sendiri semakin terbatas akibat alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan dan lain-lain. Di samping itu, tekanan pertambahan penduduk terhadap wilayah pesisir dengan berbagai dampaknya semakin besar. Diperkirakan 60% dari populasi penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir dan 80% dari pembangunan industri mengambil tempat di wilayah pesisir ini (Hinrichson 1997, diacu dalam Bengen dan Rizal 2000). 24 Oleh karena itu, konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka perlindungan terhadap wilayah pesisir, merupakan langkah terbaik yang perlu dilakukan sebagai bentuk tatacara pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir ini bagi sebesar-besarnya kesejahteraan hidup manusia. Pemikiran pembangunan berwawasan lingkungan secara terpadu dan berkelanjutan ini dilakukan dengan menekan kerusakan sekecil mungkin yang dapat ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri et al. 1996). Beberapa konsep pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu antara lain: A. Ekowisata Bahari Ekowisata dalam teori dan prakteknya tumbuh dari kritik terhadap kegiatan pariwisata yang dipandang cenderung merusak sumberdaya alam dan nilai-nilai budaya serta tradisi masyarakat yang menjadi objek wisata. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru dengan beragam konsep yang ditawarkan, antara lain pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggung jawab, pariwisata berbasis komunitas, dan Ekowisata. Alasan-alasan penggunaan konsep ini adalah karena dapat mengambarkan kegiatan pariwisata yang termasuk bukan pariwisata berskala besar atau massal dan mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan sumberdaya alam (Dephutbun 2000). Diantara konsep-konsep tersebut, Ekowisata dianggap paling populer, karena dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan dari gerakan konservasi lingkungan dan menerjemahkan prinsip-prinsip ekologi ke dalam praktik pengelolaan kegiatan pariwisata yang berkelanjutan. Di samping itu, didukung pula dengan adanya trend pasar terbaru seperti perjalanan pertualangan (adventure travel) dan gaya hidup “kembali ke alam” (back to nature). Ekowisata Bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Ekowisata merupakan wisata beroirentasi pada 25 lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan (META, 2002 in Yulianda, 2007). Hetzer (1965) dan Ziffer (1989) dalam Bjork (2000) menyatakan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang mengandalkan atau mengutamakan nilai sumberdaya alam (flora, fauna dan proses geologi) dan budaya (lokasi suatu fosil dan arkeologi sebagai bentuk peradaban), praktek pemanfaatannya bersifat tidak konsumtif, dapat menciptakan lapangan kerja dan pendapatan untuk upaya konservasi dan peningkatan ekonomi masyarakat lokal. Ekowisata menurut Wood (2002) menganut beberapa prinsip, antara lain: Meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya. Mengutamakan pendidikan bagi pengunjungnya guna kepentingan konservasi. Menekankan pada kepentingan bisnis yang bertanggungjawab melalui pola kemitraan antara yang membutuhkan dan menerima manfaat konservasi. Menerimaan langsung dari pengelolaan dan konservasi lingkungan serta kawasan yang dilindungi. Menekankan kebutuhan untuk penzonaan wisata lingkup regional dan untuk perencanaan pengelolaan pengunjung kawasan alami. Menekankan pada penggunaan kajian dasar lingkungan dan sosial guna kepentingan program monitoring. Peningkatan manfaat ekonomi maksimum masyarakat, usaha lokal dan negara. Pembangunan pariwisata tidak melebihi batas daya dukung lingkungan sosial. Pembangunan infrastruktur wisata yang harmoni dengan alam, meminimalisir penggunaan bahan bakar dari fosil, melindungi satwa dan tumbuhan lokal, dan menselaraskan lingkungan dan budaya. Ada empat isu konservasi yang berkaitan dengan ekowisata, yaitu: (1) kegiatan wisata yang cenderung massal (mass tourism). Karakteristik sektor wisata umumnya 26 menghasilkan pengaruh yang signifikan dan massal. Di negara-negara sedang berkembang, manfaat ekonomi sektor tourism sangat signifikan sehingga dimensi sosial dan lingkungan seringkali terkorbankan; (2) obyek ekowisata yang spesifik. Sektor wisata umumnya memiliki sarana akomodasi yang terstandarisasi dengan kenyamanan tertentu, misalnya fasilitas parker/dermaga, toilet atau kamar hotel. Keseragaman akomodasi tersebut, sejak masa konstruksi hingga pemanfaatannya, akan cenderung berdampak merugikan bagi ekowisata. Hal tersebut dapat mematikan pengembangan potensi spesifik lokal, juga dapat berlawanan dengan nilai-nilai budaya setempat; (3) pemberdayaan penduduk lokal. Trade-off aliran insentif ekonomi pada sektor tourism umumnya lebih condong ke pemilik modal dibanding ke penduduk lokal. Trade-off tersebut harus mengarah secara proporsional pada kedua belah pihak jika tidak ingin menghancurkan kegiatan ekowisata. Insentif ekonomi bagi penduduk lokal digunakan untuk peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan ketrampilan profesional, serta penguatan struktur sosial; dan (4) faktor-faktor yang tidak terhitung (intangible) di dalam sumberdaya alam masih banyak. Pemangku kepentingans, khususnya penduduk lokal memiliki nilai-nilai budaya dan potensi yang belum terungkap dalam bentuk manfaat bagi konservasi dan ekowisata. Implikasinya, harus dilakukan penelitian dan pengembangan untuk menggali ilmu pengetahuan dan menyebarkan informasi dalam rangka membangun kesadaran publik tentang konservasi dan keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan. Kegiatan ekowisata mulai dikembangkan ketika dirasakan adanya dampak negatif dari kegiatan pariwisata konvensional baik berupa kerusakan lingkungan maupun bergesernya nilai-nilai budaya lokal suatu daerah. Menurut Beeler (2000) Kegiatan ekowisata merupakan bagian dari kegiatan pariwisata berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek pemeliharaan ekologi, masyarakat lokal, serta kepuasan wisatawan. Adanya keterkaitan antara beberapa aspek dalam pengembangan kegiatan ekowisata tersebut menimbulkan adanya kriteria-kriteria tertentu dalam 27 pengembangannya. Arahan peruntukkan dan pemanfaatan pariwisata terutama di daerah pulau-pulau kecil memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002): Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut tidak menyebar/mencapai kawasan wisata. Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung. Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata harus lancar. Pembangunan sarana dan prasarana wisata tidak mengubah kondisi pantai dan daya dukung pulau-pulau kecil, sehingga proses erosi atau sedimentasi dapat dihindari. Lebih jauh Fauzi dan Anna (2005), menyatakan bahwa kebijakan menyangkut pulaupulau kecil pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik bio-geofisik serta sosial ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem perairan laut maupun bagi kehidupan ekosistem daratan (mainland). Maksudnya agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut, dengan maksud: perlindungan sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam. Beberapa kriteria umum dalam penentuan pemanfaatan pariwisata di pulaupulau kecil menurut dimensi pembangunan adalah (Bengen 2002): Dimensi sosial: diterimanya secara sosial, kesehatan masyarakat, rekreasi, budaya, estetika, konflik kepentingan, keamanan, aksesibilitas, penelitian dan pendidikan, dan kepedulian masyarakat. Dimensi ekonomi: nilai ekonomi spesies penting, nilai ekonomi kegiatan perikanan, ancaman terhadap alam, dan keuntungan ekonomi, dan pariwisata. 28 Kriteria dalam dimensi ekologi: keanekaragaman hayati, kealamiahan, ketergantungan, keterwakilan, keunikan, produktivitas, dan vulnerabilitas. Kriteria dalam dimensi regional: tingkat kepentingan regional, dan tingkat kepentingan sub-regiona Kriteria khusus suatu wilayah yang diperlukan untuk menentukan zona kegiatan pariwisata: Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati sehingga membawa kepuasan dan kenangan manis serta memberikan rasa rileksasi dan memulihkan semangat daya produktifnya; Keaslian panorama alam dan keaslian budaya; Keunikan ekosistemnya; Di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin kencang, dan topografi dasar laut yang curam; dan Tersedia sarana dan prasarana yang mudah dijangkau, baik melalui daratmaupun laut (dekat restoran, penjualan cinderamata, penginapan dan air bersih). Kesesuaian pemanfaatan wisata pesisir berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata ekosistem terumbu karang dan pulau-pulau kecil dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat et al. 2009). Berdasarkan kondisi daerah kajian penelitian, setiap kegiatan wisata pesisir di pulau-pulau kecil dibagi dua kategori yakni kategori wisata selam dan wisata snorkeling (kegiatan wisata bahari), dan kategori wisata mangrove dan rekreasi pantai (kegiatan wisata pantai), serta wisata berbasis budaya lokal. 29 Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, biota laut yang eksotik, dan pantai berpasir putih atau bersih. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan obyek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi para penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003). Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori wisata selam dan wisata snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategori kegiatan wisata bahari tersebut adalah: Kondisi kawasan penyelaman yakni menyangkut keadaan permukaan air (gelombang) dan arus. Gelombang besar dan arus yang kuat dapat membawa para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/detik), sesuai sampai sangat sesuai yakni di bawah 0.34 m/detik (Davis and Tisdell 1995). “Kualitas” daerah penyelaman yakni menyangkut jarak pandang yang layak (sesuai) di bawah permukaan air (underwater visibility), dalam hal ini tergantung tingkat kecerahan dan kedalaman perairan, dan tutupan komunitas karang dan life form. Jarak pandang yang layak untuk wisata bahari >10-20 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 meter sangat sesuai untuk melakukan wisata snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m. Di atas kedalaman air tersebut, pengaruh gelombang juga semakin besar dan kemungkinan keberadaan hewan berbahaya sangat besar sehingga dapat mengancam para penyelam dan snorkeler. Davis and Tisdell (1995), alasan orang berpartisipasi dalam melakukan kegiatan Scuba (Self Contained Underwater Breathing Apparatus) Diving adalah karena hasrat untuk mencari pengalaman dan sensasi bawah air, ketertarikan terhadap ekologi 30 perairan laut, sebagai sarana olahraga yang ‘berbeda dan spesial’ dengan olahraga lainnya, pesona bawah laut (formasi geologi) dan kehidupan laut (terumbu karang, hiu, dan spesies ikan lainnya), untuk tujuan hobi fotografi bawah laut, dan petualang dengan resiko tertentu. Dahuri (2003), sumberdaya hayati pesisir dan lautan seperti populasi ikan hias, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai bentang alam pesisir (coastal landscape) unik lainnya, membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan untuk kegiatan wisata bahari. Obyek wisata pesisir di pulau-pulau kecil yang berpotensi besar adalah wilayah pantai dan ekosistem terumbu karang. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, dan tempat permandian air laut yang bersih. Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata pesisir kategori rekreasi pantai, meliputi (Wong 1991; Hutabarat et al. 2009): Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25o) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir). Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan). B. Perikanan Budidaya Kawasan perikanan pesisir merupakan tempat dilakukannya berbagai aktivitas yang berorientasi pada usaha-usaha perikanan, baik usaha perikanan budidaya air payau/pertambakan (brakish water aquaculture), budidaya laut (mariculture), maupun usaha penangkapan ikan (capture fisheries). Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir merupakan bagian dari usaha perikanan darat (inland fisheries). Selain itu, Indonesia memiliki peluang pengembangan usaha perikanan yang sangat besar, namun sayangnya perikanan budidaya khususnya budidaya air payau dan budidaya laut masih diibaratkan sebagai “raksasa ekonomi yang masih tidur” (the sleeping giant of economy). 31 Dahuri et al. (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar kegiatan budidaya perikanan wilayah pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik tambak udang, bandeng ataupun campuran keduanya. Selain itu terdapat beberapa jenis kegiatan budidaya perikanan lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan budidaya ikan dalam keramba (net impondment). Karena air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan, maka pengelolaan terhadap sumber-sumber air alami maupun non alami (tambak, kolam dll) harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dalam kegiatan budidaya perikanan, pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya, termasuk aktivitas lahan atas dan pengaruh kegiatan budidaya tersebut terhadap lingkungan. Kamaluddin (2002) menambahkan bahwa perikanan budidaya juga dapat ditata sebaik mungkin sehingga dapat dijadikan objek wisata, untuk itu budidaya harus dibangun dengan nuansa ekonomi dan wisata yang berwawasan lingkungan. Melalui cara ini terbuka peluang usaha bagi masyarakat dalam kerangka agrowisata. Pengembangan budidaya perikanan ke depan harus mampu mendaya- gunakan potensi yang ada. Dengan demikian, subsektor ini dapat mendorong kegiatan produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya ikan Indonesia secara keseluruhan (Dahuri 2002). Bertolak dari hal di atas, maka menurut Dahuri (2002) kegiatan budidaya perikanan diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri, mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara. Namun demikian, pada saat yang sama kegiatan budidaya perikanan harus tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan dalam rangka mewujudkan kawasan budidaya yang berkelanjutan, berdaya saing dan berkeadilan. 32 C. Perikanan Tangkap Manajemen sumberdaya perikanan adalah suatu kesatuan ilmu manajemen yang ditujukan untuk mengelola sumberdaya ikan pada suatu kawasan, agar populasi ikan itu tidak menjadi punah dalam rangka pemanfaatan secara lestari dan kesinambungan untuk jangka panjang. Selain kita mempelajari aspek-aspek ekologi komunitas ikan, juga tidak kalah pentingnya kita harus mempelajari aspek-aspek sosial ekonomi pada daerah bersangkutan, dan teknologi yang sehari-hari digunakan nelayan dan para pengusaha (Nuitja, 2010). Selanjutnya menurut Nuitja (2010), tujuan manajemen sumberdaya perikanan adalah: Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya ikan secara lestari. Menjaga sumberdaya perikanan tetap hidup dan berkembang serta dapat dimanfaatkan secara lestari. Memelihara dan dapat memperbaiki ekosistem yang sesuai dengan kondisi awal habitat. Pengelolaan yang berkaitan dengan fungsi konservasi yang melekat pada perairan, analisis yang dilakukan mencakup kesesuaian dengan aspek/sifat sarana ramah lingkungan, potensi sumberdaya ikan kawasan, kebutuhan masyarakat, dan perangkat hukum terkait. Kriteria penilaiannya adalah: (a) kesesuaian dengan aspek/sifat alat tangkap ramah lingkungan dapat dilihat dari sifat selektif yang melanggar fungsi kawasan, jaminan terhadap ekosistem, dampak terhadap biodiversity, perlindungan terhadap biota dasar, dan daya cemar terhadap kawasan, (b) kesesuaian dengan aspek potensi sumberdaya ikan kawasan dapat dilihat dari jenis ikan yang ditangkap menggunakan unit penangkapan, daya dukung di lokasi, dan nilai ekonomisnya, (c) kesesuaian dengan aspek kebutuhan masyarakat dapat dilihat dari kepraktisannya, biaya operasi, keefektifan, kekuatan, kemudahan transfer knowlegde, dan tingkat keuntungan dari operasi unit penangkapan tersebut, dan (d) kesesuaian dengan aspek perangkat hukum terkait dapat dilihat 33 dari kesesuaianya dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Kepala Daerah, dan peraturan lainnya yang berlaku di lokasi (Mustaruddin, 2010). Menurut Satria et al. (2009), globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia di laut lepas diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan yaitu: Undang-Undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCOS 1982. Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2002 tentang Usaha Penangkapan Ikan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 tahun 2008 tentang Perikanan Tangkap. Perkembangan terbaru undang-undang tentang perikanan adalah perubahan dari Undang-Undang No. 31 tahun 2004. Undang-undang tersebut berubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. D. Kawasan Konservasi Kawasan konservasi yang dikembangkan di Indonesia sat ini mengacu pada UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan UU tersebut dapat dibuat batasan bahwa kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memelihara proses alami antara unsur hayati dan non hayati yang merupakan sistem penyangga kehidupan. Kawasan konservasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: (1) kawasan pelestarian alam dan (2) kawasan suaka alam. Secara detail pembagian tersebut berdasarkan UU No 5 tahun 1990 bisa dijelaskan sebagai berikut: Kawasan Suaka Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman 34 tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ada dua macam yaitu (1) Cagar Alam dan (2) Suaka Margasatwa yang biasanya lebih ditujukan untuk perlindungan satwa. Kawasan Pelestarian Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam ada tiga yaitu: (1) Taman Nasional; (2) Taman Hutan Raya; dan (3) Taman Wisata Alam. Ketentuan mengenai kawasan konservasi cukup detail dijelaskan dalam UU No 5 Tahun 1990, tetapi beberapa peraturan perundang-undangan lain membuat klasifikasi atau istilah yang berbeda. Undang-undang No 41 tahun 1999 menggunakan istilah ”kawasan hutan konservasi” yang dibagi dalam tiga jenis kawasan yaitu: hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undangundang no 24 Tahun 1994 mengenai Penataan Ruang membagi tiga jenis kawasan yaitu (1) Kawasan lindung; (2) Kawasan budidaya; dan (3) Kawasan dengan peruntukan khusus. Istilah yang juga sering digunakan adalah Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 yang menggunakan istilah ”kawasan lindung” dan membaginya dalam 4 jenis yaitu: Kawasan yang memberikan perlindungan di bawahnya Kawasan perlindungan setempat Kawasan rawan bencana alam Kawasan suaka alam dan cagar budaya. Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut terkadang menjadi kendala tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat terjadi kompromi. 35 2.3. Kondisi Wilayah Desa Dabong termasuk dalam wilayah Kecamatan Kubu yang memiliki luas wilayah 16.600 Ha (166 km2). Dalam kawasan Desa Dabong terdapat kawasan pemukiman Dusun Mekar Jaya, Dusun Selamat Jaya (Sembuluk) dan Dusun Meriam Jaya (pemukiman transmigrasi). Secara administrasi batas wilayah Desa Dabong adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Olak-Olak Kubu Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Seruat III dan Laut Natuna Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kubu Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Padang Tikar. Desa Dabong memiliki hutan lindung yang cukup luas. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 259/kpts-II/2000, sejumlah lahan di kawasan pesisir desa Dabong telah ditetapkan sebagai hutan lindung mangrove, yaitu seluas ± 4.895,5 Ha. Selain difungsikan sebagai hutan lindung, kawasan pesisir Desa Dabong juga dimanfaatkan sebagai kawasan tambak yang dikelola secara tradisional. Desa Mengkalang terletak pada S 00029’19” E 109012’35.28,2”. Desa ini termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya. Desa Mengkalang memiliki luas 32,50 km2. 2.3.1. Keadaan Iklim Desa Dabong dan Mengkalang secara umum memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata 209,4 mm/bulan dan hari hujan sebanyak 22 hari /bulan dan terrendah sebanyak 8 hari/bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan terendah pada bulan Januari. Temperatur udara rata-rata di Desa Dabong berkisar antara 25,5 oC – 27,4 oC. Suhu terendah 21,2 oC terjadi pada bulan Agustus dan tertinggi 33,0 oC pada bulan Juli. Kelembapan udara relatif 82 – 90 % (Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak, 2007). 36 2.3.2. Topografi Desa Dabong dan Mengkalang merupakan kawasan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata sekitar 0 – 2 m dari permukaan laut. Pemukiman penduduk berada pada kawasan pematang, yang komposisi tanahnya adalah pada permukaan hingga kedalaman 1 - 1,5 m berpasir, pada tingkat kedalaman lebih besar komposisi tanah terdiri dari tanah liat. Desa Dabong merupakan merupakan desa terpencil yang terdapat pada kawasan hutan lindung mangrove. Untuk keperluan masyarakat beberapa area tersebut dikonversi menjadi lahan kawasan pesisir yang sebagian besar merupakan tanah rawa asin sehingga areal pertanian tanaman pangan sangat sempit dan jauh dari pemukiman. Desa Dabong tambak udang yang dikelola secara tradisional. 2.3.3. Hidro-oseanografi Berdasarkan data peta Dinas Hidro-Oceanografi dan TNI AL (1993), kawasan ekosistem mangrove di Muara Kubu memiliki kedalaman 1 – 3,7 m terhadap surut rata-rata air laut (arah laut lepas). Hasil analisis data LIPI tahun 1991 dalam Dinas Kelautan dan Perikanan Kalbar (2006), mengemukakan bahwa sifat pasang-surut yang terjadi di Selatan Katulistiwa Kalimantan barat adalah tipe campuran dengan dominasi diurnal, yaitu kejadian pasang surut terjadi dalam satu hari (24 jam) hanya dua kali. Sementara perbedaan tinggi air pasang tertinggi (high water spring/HWS) dan surut terendah (low water spring/LWS) di Desa Dabong berkisar antara 2,58 – 3,06 m. Keadaan pasang tertinggi akan terjadi bila posisi bumi-bulan dan matarahi tepat berada pada satu garis lurus yakni pada bulan baru atau bulan purnama. Keadaan surut terjadi pada kuartal terakhir pada setiap bulannya. Tiupan angin di permukaan laut di dunia ini sebagian besar dapat mengakibatkan terjadinya gelombambang laut. Selain itu gelombang laut dapat diakibatkan oleh pasang surut, gerakan tektonik dan vulkanik. Gelombang laut yang terjadi di sekitar parairan Kalimantan Barat pada umumnya disebabkan oleh angin sehingga tinggi gelombang dan periode gelombang akan bergantug dari 37 kekuatan dan arah angin yang bertiup di sekitar perairan tersebut. Selain itu yang mempengaruhi karakter gelombang adalah kedalaman perairan dan bentuk topografi dasar perairan. Frekuensi tinggi gelombang di wilayah studi khususnya di Selat Padang Tikar atau Muara Kubu berkisar antara 10 – 60 cm dengan arah gelombang datang dari arah 60 o (pagi hari) dan 325o (siang hari). Kondisi gelombang ini sangat mempengaruhi sarana transportasi yang digunakan masyarakat, biasanya menjadi hambatan pada musim-musim tertentu saja. Pola arus di Laut Cina Selatan, Jawa, Laut Flores sampai dekat Laut Banda mengalami perubahan total dua kali setahun sesuai perkembangan musim. Pada bulan Desember – Pebruari, arus musim barat mengalir menuju timur. Di Selat Karimata hingga Laut Flores dapat dijumpai arus dengan kekuatan lebih dari 75 cm/dt. Pada musim pancaroba, arus ke timur ini mulai melemah bahkan mulai berbalik arah hingga di beberapa tempat terjadinya pusar (eddies). Biasanya dalam musim pancaroba ini arus sudah mengalir ke barat di pantai selatan Kalimantan sedangkan di lepas pantai utara Jawa arus masih mengalir ke timur. Pada bulan Juni – Agustus barulah berkembang arus musim timur dan arah arus telah sepenuhnya berbalik arah menuju ke arah barat yang akhirnya menuju L. Cina Selatan. Arah arus di wilayah Selat Padang Tikar pada bulan AgustusNovember arah arus dominan dari Barat Laut dengan kecepatan maksimal pada kondisi pasang tinggi berkisar 0,196 – 0,256 m/dt (Lokasi Padang Tikar). Sedimentasi di muara-muara sungai/ selat seringkali membawa dampak bagi kawasan yang ada. Kadangkala dengan banyaknya sedimen yang mengendap akan membawa pendangkalan bagi alur pelayaran yang akhirnya dapat mengakibatkan terganggunya lalulintas air di kawasan tersebut. Tetapi dengan banyaknya sedimen yang mengendap juga akan membawa dampak yang baik bagi kelangsungan biota pesisir khususnya mangrove, dimana kawasan yang dangkal akan membuat subtrat bagi tanaman mangrove. Sedimen mengendap di muara karena adanya sirkulasi air di muara akibat pasang surut. Akumulasi sedimen akan bertambah karena berkurangnya 38 kecepatan arus atau terjadi akibat penggumpalan akibat proses kimiawi, fisik maupun biologis. Pada umumnya sedimen yang terbawa dari dari daerah hulu DAS akan segera terbawa ke luar apabila kecepatan arus sungai lebih besar dari kecepatan arus akibat pasang surut air laut. Tetapi sebaliknya jika kecepatan arus dari daerah hulu DAS lebih kecil dari kecepatan akibat air pasang, maka sedimen akan stagnan dan tertahan di muara perairan. Di kawasan Muara Dabong jenis sedimen terdiri dari lanau (lumpur), dan pasir. Kondisi ini dipengaruhi oleh Muara Kubu dengan jenis sedimen yang dominan adalah pasir halus dengan kadar bahan organik rata-rata 2,56% dan kadar air 71,92% dengan laju sedimentasi adalah 96,79 mm/thn (debit sedimen 206.870,73 ton/thn). 2.3.4. Tanah Tanah yang tedapat pada Desa Dabong dan Mengkalang terdiri dari tiga jenis dengan masing-masing spesifikasi sebagai berikut: Organosol yaitu tanah yang tersusun dari bahan organic (baik sebagian atau keseluruhan) Alluvial yaitu tanah yang terbentuk dari endapan laut dan sungai berwarna abu-abu hingga coklat. Dataran aluvial sistem alirannya kurang berkembang akibatnya sebagian tempat diisi oleh rawa-rawa. Tekstur tanah halus sampai sedang dan sebagian merupakan tanah gambut/rawa asin. Pada area ini terbentuk adanya akumulasi bahan organic yang cukup tebal. Area ini dijumpai di daerah pedalaman yang terletak di selatan Sungai Kapuas. Bentuk wilayah pada area ini juga datar dengan lereng 0 – 3%. 39 Bab III Inventori Sumberdaya Pesisir 3.1. Metode yang Digunakan 3.1.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Jenis data primer dan sekunder serta sumber data yang akan diambil pada penelitian ini adalah seperti pada Tabel 2 dibawah ini: Tabel 2. Jenis data serta sumber data No Jenis Data A Data Primer 1 Kondisi Umum Wilayah a. Penggunaan wilayah b. Luas c. Spesies alami d. Infrasturtur Umum 2 Potensi Wilayah a. Jenis Flora b. Jenis Fauna c. Kelimpahan Flora dan Fauna d. Spesies yang dikembangkan e. Teknologi budidaya 3 Sosial Ekonomi Masyarakat a. Jenis pekerjaan b. Sarana usaha c. Lama usaha d. Biaya usaha e. Hasil usaha f. Jumlah penerimaan g. Pemasaran B Data Sekunder 1 Administrasi Wilayah 2 Hidro-Aseanografi Wilayah 3 Sosial Ekonomi Penduduk 4 Pengguanaan Lahan 5 Luasan Lahan Metode Sumber Wawancara, observasi lapangan dan FGD Perangkat desa, masyarakat Wawancara, dan FGD Perangkat desa, masyarakat Wawancara, dan FGD Perangkat desa, masyarakat Studi literatur Instansi terkait dan penelitian sebelumnya 40 Data primer adalah data yang diambil langsung pada saat penelitian, melalui observasi, kuisioner, dan wawancara langsung di lokasi penelitian. Data sekunder didapatkan dari beberapa instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut) Kabupaten Kubu Raya, serta referensi yang menunjang dalam penelitian ini. 3.1.2. Metode Pengumpulan Data A. Wawancara Wawancara dilakukan terhadap petambak, masyarakat, tokoh masyarakat dan instansi yang terkait. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat, dilanjutkan dengan wawancara yang lebih mendalam terhadap tokoh-tokoh setempat. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat nelayan, petani, petambak dan ibu rumah tangga, sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran secara terperinci mengenai kondisi kegiatan usaha yang mereka laksanakan. Sedangkan wawancara terhadap tokoh masyarakat diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kondisi wilayah terkait dengan pemanfaattan lahan dan beberapa data desa secara umum. Penentuan responden untuk wawancara menggunakan teknik purpossive sampling method. B. Diskusi Kelompok Terarah atau Focus Group Discussion (FGD) Pengumpulan data dilakukan melalui Diskusi Kelompok Terarah atau Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan di Desa Dabong. Kegiatan FGD ini dilakukan untuk merumuskan data-data yang dibutuhkan, serta untuk memudahkan dalam pelaksanaan pengumpulan datanya sehingga diharapkan data-data/informasi yang dikumpulkan akan lebih lengkap. Adapun kegiatan yang perlu dilakukan, meliputi : Persiapan pelaksanaan FGD, mencakup penentuan waktu dan tempat, penentuan peserta, dan lain-lain. Pelaksanaan kegiatan FGD. 41 Perumusan hasil pembahasan FGD C. Studi Literatur Suatu tahap yang penting dalam pelaksanaan pekerjaan ini adalah melakukan studi literatur mengenai administrasi wilayah, hidro-aseanografi wilayah, sosial ekonomi penduduk, pengguanaan lahan, luasan lahan yang bersumber dari buku teks, hasil penelitian, laporan-laporan dari hasil studi terdahulu, ataupun dari jurnal. Selain itu berbagai data penunjang untuk melengkapi data primer dilakukan dengan penelusuran berbagai pustaka/dokumen dari instansi terkait seperti : Bappeda kabupaten Kubu Raya, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Pusat Statistik (BPS), Kantor Desa Dabong, Kantor Kecamatan Kubu dan lain-lain. 3.1.3. Analisis data Seluruh data-data dan informasi yang diperoleh, kemudian dilakukan pengolahan dan kompilasi sesuai dengan aspek-aspek yang akan dikaji berdasarkan maksud dan tujuan kegiatan, yang penekanannya adalah pada inventory potensi sumberdaya pesisir Desa Dabong. Kompilasi data dapat diarahkan pada potensi sumberdaya yang ada, kelimpahan pemanfaatan serta berbagai masalah yang terdapat didalamnya. Seluruh data-data yang telah dikompilasi, kemudian dilakukan kajian dan analisis terkait dengan variabel yang akan digunakan. Kajian dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. 42 3.2. Hasil Inventory Sumberdaya Pesisir 3.2.1. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat A. Kependudukan Penduduk di Desa Dabong terdistribusi di tiga kawasan pemukiman yaitu Dusun Mekar Jaya, Dusun Selamat Jaya (Sembuluk) dan Dusun Meriam Jaya (pemukiman transmigrasi). Penduduk Desa Dabong berjumlah 2.270 jiwa yang termasuk dalam 525 KK dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.191 jiwa dan Perempuan sebanyak 1.079 jiwa. Penduduk kawasan pesisir Dabong tersebut tersebar di dua pusat pemukiman yaitu Dusun Mekar Jaya (pusat desa) dan Dusun Selamat Jaya (Selumbuk). Lonjakan penduduk di Desa Dabong terjadi setelah adanya program transmigrasi ke Desa Dabong pada tahun 2004, 2005 dan 2008 yaitu dengan penempatan transmigran sebanyak 300 KK atau 946 jiwa. Pemukiman transmigrasi Dusun Meriam Jaya dengan luas kawasan 1.000 Ha dapat menampung 400 KK (baru terisi 300 KK pada penempatan tahun 2004, 2005 dan 2008 masing-masing tahun sebanyak 100 KK). Jumlah penduduk Desa Mengkalang adalah 1.293 Jiwa yang terdiri dari 297 KK. Jumlah penduduk dengan usia produktif sejumlah 997 jiwa atau sebesar 77%. Perbandingan penduduk berdasarkan rasio jenis kelamin hampir sama, dimana penduduk laki-laki sejumlah 624 Jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 69 Jiwa. B. Mata Pencaharian Umumnya mata pencaharian penduduk Desa Dabong dan Mengkalang adalah nelayan dan petani. Pada kawasan pesisir desa sebagian besar penduduknya adalah sebagai nelayan dan pembudidaya ikan/udang. Sedangkan mata pencaharian lain yang digeluti penduduk kawasan Dabong dan Mengkalang adalah bertani/berkebun, swasta (pedagang, bangunan/tukang dll), PNS serta ibu rumah tangga (Tabel 3). kuli 43 Tabel 3. Mata pencahariaan penduduk Desa Dabong dan Mengkalang No Pekerjaan Dabong (jiwa) 1 Nelayan 261 Mengkalang (jiwa) 243 2 Petani 371 165 3 Swasta 308 100 4 PNS 5 2 5 Rumah Tangga 590 - C. Pendidikan Tingkat pendidikan formal masyarakat Desa Dabong tergolong masih rendah. Sebagian besar tingkat pendidikan penduduk adalah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pendidikan formal masyarakat Desa Dabong disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat pendidikan formal penduduk Desa Dabong No Pendidikan Dabong (jiwa) 1 Sekolah Dasar (SD) 59,26 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 10,94 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) 6,02 4 Diploma 2 (D2) 0,14 5 Diploma 3 (D3) 0,18 6 Sarjana (S1) 0,14 7 Magister (S2) 0.05 8 Belum/Tidak Sekolah 23,26 D. Agama Penduduk Agama yang dianut oleh penduduk Desa Dabong ada tiga, yaitu Islam, Budha dan Kristen. Sebagian besar masyarakat Desa Dabong menganut agama islam sebanyak 2.012 jiwa (92,51%), sedangkan lainnya beragama Budha dan Kristen masing-masing sebanyak 110 jiwa (5,06%) dan 53 jiwa (2,44%). 44 Penduduk Desa Mengkalang mayoritas beragama islam yaitu 1.288 jiwa dan sebagian kecil beragama konghuchu (5 orang). E. Sarana Prasarana Desa Desa Dabong Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Desa Dabong masih sangat minim dan terbatas. Fasilitas yang sudah tersedia di tingkat desa hanya Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Terdapat empat Sekolah Dasar yakni SDN 41 di Muara Kubu (terdiri dari 1 orang guru negeri dan 1 orang guru honorer), SDN 024 di Sembuluk (terdiri dari 3 orang guru negeri dan 2 orang guru honorer), SDN 40 di daerah transmigrasi (terdiri dari 1 orang guru negeri dan 5 orang guru honorer) dan SDN 023 di Dabong (terdiri dari 5 orang guru). Selain itu di Desa Dabong juga terdapat satu buah sekolah lanjutan tingkat pertama dengan 5 orang guru. Masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan kejenjang lebih lanjut seperti SLTA dan perguruan tinggi umumnya jarus keluar dari desanya ke daerah lain. Untuk melanjutkan pendidikan tingkat SLTA, biasanya masyarakat pergi ke Desa Kubu (ibukota kecamatan), Desa Batu Ampar atau ke Pontianak dengan jalan tinggal di tempat Keluarga ataupun di rumah kost. Sarana dan fasilitas agama yang ada di Desa Dabong terdiri dari masjid dan vihara. Tercatat terdapat empat (4) buah masjid/mushola, sedangkan vihara terdapat satu (1) buah yang terletak di kawasan Muara Dabong (Dusun Mekar Jaya). Sarana dan prasarana kesehatan yang terdapat di Desa Dabong berupa satu buat Pustu serta satu buah Polindes. Desa Dabong memiliki satu orang mantri kesehatan yang bertugas membantu masyarakat menangani berbagai masalah kesehatan. Terkait dengan masalah persalinan Desa Dabong memiliki satu orang bidan serta empat orang dukun bayi yang telah terlatih untuk menangani persalinan. 45 Terkait dengan aktifitas ekonomi masyarakat, Desa Dabong telah dilengkapi dengan dua buah tempat pendaratan ikan serta satu buah tempat pelelangan ikan. Saranan dan prasarana tersebut dibangun untuk membatu dan memudahkan kegiatan perekonomian masyakat terutama yang berprofesi sebagai nelayan. Desa Mengkalang Desa Mengkalang memiliki satu buah bangunan kantor desa tempat pelaksanaan kegiatan administrasi desa. Untuk mendukung mobilisasi warga, Desa Mengkalang juga telah dilengkapi dengan fasilitas jalan desa serta jembatan beton. Jembatan tersebut sangat bermanfaat untuk menghubungkan wilayah-wilayah Desa Mengkalang yang dibatasi oleh sungai-sungai kecil. Untuk kegiatan pertanian, Desa Mengkalang juga sudah memiliki sarana prasarana irigasi pertanian yang baik. Perekonomian Desa Mengkalang bertumpu pada kegiatan nelayan serta pertanian. Kegiatan perekonomian masyarakat tesebut didukung dengan adanya satu buah steher yang berfungsi sebagai tempat bongkar muat baik komoditi pertanian maupun perikanan. Selain itu steher juga berfungsi untuk sarana tranportasi masyarakat. Khusus untuk komoditi perikanan, Desa Mengkalang telah memiliki satu buah tempat pelelangan ikan (TPI). Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Desa Mengkalang masih sangat minim dan terbatas. Fasilitas yang sudah tersedia di tingkat desa hanya satu buah Sekolah Dasar dan satu buah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Untuk melanjutkan pendidikan tingkat SLTA, biasanya masyarakat pergi ke Desa Kubu (ibukota kecamatan), Desa Batu Ampar atau ke Pontianak dengan jalan tinggal di tempat Keluarga ataupun di rumah kost. Fasilitas kesehatan masyarakat yang terdapat di Desa Mengkalang berupa satu buah Pustu serta satu buah Poskesdes. Fasilitas umum lain yang 46 terdapat di desa ini berupa masjid/surau sebagai tempat ibadah umat islam, lapangan sepak bola serta pemakaman umum. 3.2.2. Potensi Sumberdaya Pesisir a. Ekosistem Mangrove Luas kawasan lindung mangrove di Desa Dabong diperoleh dari peta tematik SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Kalimantan Barat Seluas 9.178.760 hektar. Masyarakat Desa Dabong telah memiliki kesadaran untuk memelihara kawasan hutan mangrove. Telah terdapat kesepakatan masyarakat untuk memberikan hukuman kepada penebang pohon baik yang berasal dari desamaupun luar desa. Hukum atau kesepakatan ini sudah berupa peraturan desa yang telah disepakati bersama. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong No 1 2 3 Peruntukan Kawasan Hutan Mangrove Tambak Kawasan Lindung Mangrove Luas 2312.97 555.35 4895.50 b. Flora Dari hasil pengamatan diketahui bahwa vegetasi mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Desa Dabong didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata yang diikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza. Di pesisir terbuka yang berhubungan dengan laut, komunitas perintis umumnya di dominasi oleh perepat (Sonneratia alba) dan api-api (Avicennia alba). Avicenia tumbuh di atas pasir berlumpur yang kokoh, sedangkan Sonneratia berasosiasi dengan lumpur yang lunak. Di belakang dua asosiasi tersebut di ikuti oleh jenis pohon bakau (Rhizophora apiculata) dengan area penyebaran yang sangat luas. Kearah daratan lebih jauh ditemukan beberapa jenis Tumu (Bruguiera 47 gymnorhiza) dan sedikit nyirih (Xylocarpus granatum & Xylocarpus moluccensis) yang berasosiasi dengan Rhizophora apiculata. Nyirih (Xylocarpus granatum), nyirih batu (Xylocarpus moluccensis) dan Buta-buta (Excoecaria agallocha) sedikit ditemui di pinggiran/pematang sungai. Selanjutnya asosiasi yang ada dan mengarah ke sumber air tawar adalah nipah, jenis ini tumbuh subur di pinggir-pinggir sungai kearah hulu sampai batas pasang surut maksimal (Gambar 1). Gambar 1. Mangrove Desa Dabong dan Mengkalang Tumbuhan yang diperoleh di Desa Dabong dan Mengkalang selain mangrove adalah beberapa pohon buah-buahan, serta beberapa sayur-sayuran. Sayursayuran yang terdapat di desa tersebut umumnya ditanam tiap-tiap rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya. Beberapa jenis sayuran, buah dan palawija yang ditanam di Desa Dabong disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis buah, sayur dan palawija di Desa Dabong dan Mengkalang Buah Sawo Mangga Jeruk Jambu Air Pisang Sayur Terong Kancang Panjang Daun Bawang Kangkung Timun Nanas Cabe Seledri Palawija Padi Jagung Kelapa Singkong 48 Desa Mengkalang memiliki lahan perkebunan serta pertanian yang luas. Daerah pertanian umumnya ditanami jagung serta padi. Sedangkan daerah perkebunan sebagian besar berupa perkebunan kelapa sebagai bahan utama kopra serta perkebunan sawit. c. Fauna Fauna yang terdapat di kawasan Desa Dabong dan Mengkalang umumnya merupakan fauna-fauna khas penghuni mangrove. Fauna yang terdapat di kawasan hutan mangrove meliputi mamalia, reptilia, burung, dan fauna perairan (ikan, krustase, gastropoda, bivalvia, polychaeta, phytoplankton dan zooplankton). Selain fauna khas mangrove ditemukan juga berbagai jenis hewan peliharaan masyarakat berupa ayam kampung, ayam buras, sapi serta kambing. Jenis moluska yang ditemukan dibagi menjadi dua kategori, yaitu siput dan kerang. Jenis-jenis tersebut adalah Siput Unam, Siput timba, Siput bakau, Siput duri, Siput lumpur, Siput kuning, Kerang bulu, Kepah, Ale-ale dan kerang ekor. Jenis-jenis krustase yang terdapat di wilayah hutan mangrove Desa Dabong dan perairan sekitarnya, antara lain Udang Macan, Udang Galah, Udang Getak, Udang Rebon, Udang Teh/Kuning, Udang Wangkang, Udang Peci, Kepiting Bakau. Ikan merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang menjadi mata pencaharian nelayan. Sumber daya ikan di wilayah Desa Dabong memiliki potensi yang tinggi. Memiliki berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Contoh jenis-jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi di wilayah ini, antara lain bawal putih, kakap, kerapu, talang, teri dan angsam. Terdapat juga beberapa jenis ikan yang kurang bernilai ekonomis antara lain ikan ketang dan ikan sembilang yang memiliki kelimpahan cukup besar. Sumberdaya ikan yang cukup banyak ditemukan di Desa Mengkalang adalah Ikan Gabus. Ikan tersebut banyak ditemukan di daerah rawa-rawa serta parit- 49 parit perkebunan. Selain ikan dan kepiting, jenis fauna lain yang banyak ditemukan di Desa Mengkalang adalah ular. Ular banyak ditemukan di wilayah perkebunan kelapa. 3.2.3. Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Pesisir a. Nelayan Aktivitas penangkapan ikan Di Desa Dabong masih merupakan usaha perikanan tangkap tradisional. Alat tangkap yang umum digunakan adalah: jaring udang rebon, pukat, jala, ambai, bubu dan pancing. Untuk operasional penangkapan menggunakan sampan, sampan motor, kapal motor yang memiliki bobot rata-rata dibawah 5 GT. Operasional penangkapan ikan dan udang serta kepiting menggunakan perahu dayung dengan wilayah operasional sekitar 750 m – 4.000 m dari garis pantai, sedangkan motor tempel mencapai 1.000 – 9.000 m dari garis pantai. Alat tangkap andalan dan masih bertahan hingga saat ini adalah jermal, dan sero. Ikan sasaran adalah ikan teri dan udang untuk dijadikan udang ebi. Daftar alat tangkap ikan yang tedapat di Desa Dabong disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Alat Tangkap Ikan Desa Dabong No Jenis Unit dan Alat Tangkap Unit Tangkap 1 Perahu Papan Kecil 2 Kapal Motor (0-10 GT) 3 Kapal Motor (5-10 GT) Alat Tangkap 4 Pukat Plastik 5 Rawai 6 Ambai Togo/Jermal Jumlah 11 6 4 34 14 15 Pemilik jermal pada umumnya adalah WNI keturunan Cina. Pemilik jermal biasanya mempekerjakan warga setempat atau penduduk transmigran untuk mengoprasikan jermalnya pada malam (pengeringan/jemur, sortir dan pembersihan). hari dan pengolahannya 50 Sebagian masyarakat Desa Dabong juga berprofesi sebagai nelayan pancing. Ikan sasaran dari nelayan pancing ini antara lain adalah kerapu, angsam, kakap putih, bawal serta angsam. Alat tangkap lain yang juga banyak dimanfaatkan oleh nelayan Desa Dabong adalah Bubu. Alat tangkap bubu digunakan untuk menangkap kepiting bakau yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Gambar 2). Gambar 2. Berbagai Alat Tangkap Nelayan Desa Dabong Areal penangkapan terbatas pada daerah pesisir atau dengan jarak kurang dari 4 mil laut. Dengan kapasitas alat tangkap dan armada penangkapan yang kecil maka sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan ikan-ikan laut ekonomis penting dengan jangkauan yang lebih luas. Dengan peralatan dan 51 sarana penangkapan ikan yang ada, para nelayan berhasil menangkap ikan dengan berbagai jenis, seperti Tabel 8. Tabel 8. Hasil Tangkapan Nelayan Jumlah (ton) 1 Bawal 2,85 2 Kakap 3,25 3 Kembung 80.10 4 Kerapu 23,95 5 Kurau 1,35 6 Pari 7 Petek/Peperek Sumber: Kantor Desa Dabong, 2011 No Keterangan No 8 9 10 11 12 13 Keterangan Udang Dogol Udang Jerbung Udang Lainnya Tenggiri Teri Lain-lain Jumlah (ton) 3,50 6,70 217,29 13,85 49,89 397,82 Kegiatan nelayan Desa Mengkalang sebagian besar berupa nelayan bubu yang mencari kepiting. Nelayan bubu di daerah Mengkalang saat ini meningkat 50% dari tahun-tahun sebelumnya. Selain itu terdapat juga nelayan pukat lempar yang mencari jenis udang-udangan serta nelayan pancing rawai (Gambar 3). Beberapa jenis ikan yang banyak diperoleh oleh nelayan Desa Mengkalang adalah Ikan Sembilang, Belukang serta Ikan Duri. Ikan tersebut banyak didapat oleh nelayan di daerah sungai. Gambar 3. Alat Tangkap di Desa Mengkalang 52 b. Pertanian Desa Mengkalang memiliki areal pertanian jagung ± 3 Ha. Selain area pertanian Desa Mengkalang juga memiliki area perkebunan kelapa serta kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di Desa Mengkalang sangat luas mencapai 20.000 Ha. Perkebunan sawit tersebut dimiliki oleh pihak swasta yaitu PT. Sintang Raya. Sedangkan pertanian yang terdapat di Desa Dabong rata-rata adalah sayur sayuran yang ditanam masing-masing rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. c. Budidaya Kegiatan budidaya perikanan pada tambak dimulai sejak tahun 1992 dan berkembang pesat sejak tahun 1998. Budidaya perikanan tambak selanjutnya menjadi mata pencaharian alternatif selain nelayan (Gambar 4). Komoditas yang dibudidayakan adalah udang windu atau polikultur dengan bandeng, pola pemeliharaan yang diterapkan adalah dengan sistem tradisional plus yaitu dilakukan penebaran benur dan pemberian pakan. Pada awal masa pemeliharaan udang tidak diberi pakan tambahan, pakan utama dari udang tersebut hanya mengandalkan kesuburan lahan. Pakan tambahan yang diberikan berupa pelet diberikan ketika udang sudah mulai besar yaitu pada bulan kedua. Gambar 4. Tambak Budidaya Udang 53 Kegiatan budidaya perikanan yang juga dikembangkan di Desa Dabong adalah budidaya kepiting soka. Budidaya kepiting soka pada intinya adalah membuat kepiting dengan cangkang lunak. Pada kondisi alami hal ini dikenal dengan istilah molting. Pemeliharaan kepiting soka ini telah dilakukan pada bak-bak permanen maupun semi-permanen disekitar perumahan warga (Gambar 5). Gambar 5. Bak Pemeliharaan Kepiting Soka 3.2.4. Distribusi dan Pemasaran Hasil a. Nelayan Aktivitas nelayan pancing dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni saat cuaca bagus. Pada bulan September hingga November kegiatan memancing dapat dilakukan lagi pada saat kondah (pasang rendah). Saat musim ikan melimpah (Februari-Mei) pendapatan nelayan pancing selama enam hari melaut dapat mencapai Rp. 3.000.000,-, sedangkan pada musim-musim biasa penghasilan nelayan pancing adalah Rp. 250.000,-/setengah hari melaut. Sedangkan pengeluaran nelayan pancing perharinya mencapai Rp. 85.000,- 54 /hari, antara lain untuk bahan bakar sebanyak ± 5 liter dengan harga Rp. 9.000,-/liter dan untuk keperluan lain berupa umpan udang hidup (udang kuning) mencapai ± Rp. 40.000,-/hari. Aktivitas nelayan bubu dilakukan hampir sepanjang tahun. Masing-masing nelayan memiliki ± 60 buah bubu, dimana umur sebuah bubu ± tiga tahun. Nelayan bubu beraktifitas saat air nyorong (aer besar/pasang). Dengan 60 buah bubu tersebut nelyan rata-rata mendapatkan sebanyak 30 ekor kepiting/hari. Penghasilan nelayan bubu saat kepiting melimpah dapat mencapai Rp. 300.000,-/hari, dengan hasil rata-rata tangkapan kepiting ukuran A sebanyak 3 kg dan 4 kg kepiting ukuran B. Sedangkan untuk nelayan yang mencari udang hasilnya tidak menentu, pendapatan perhari sekitar Rp. 100.000,-. b. Pertanian Pertanian masyarakat yang utama di Desa Mengkalang adalah Jagung serta padi. Dalam satu tahun hanya satu kali panen untuk tanaman padi. Sedangkan untuk tanaman jagung dalam tahun tahun dapat dilakukan dua siklus penanaman. Umur panen jagung adalah 100 hari, setelah pemanenan tanaman selanjutnya ditebas dan dibakar. Panen kelapa di Desa Mengkalang dilakukan dengan menunggu kelapa tua jatuh. Selanjutnya kelapa di dikeringkan menjadi kopra. Harga Kopra di Desa Mengkalang yang ditampung oleh tengkulak adalah Rp. 5.500,-/kg. Selain kelapa komoditi perkebunan yang bernilai ekonomi lumayan tinggi adalah buah pinang. Buah pinang dimanfaatkan sebagai pewarna alami pada industry tekstil. Harga buah pinang kering mencapai Rp. 8.000,-. c. Budidaya Kontruksi tambak berupa model empang persegi panjang atau bujur sangkar dan empang parit berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar, dengan jumlah tambak mencapai 127 petak dengan luas tiap petak berkisar 0.3–8.5 55 Ha (rata-rata per petak luasnya 2.19 Ha) total luas kotor lahan tambak yang sudah diusahakan di Desa Dabong adalah 555.35 Ha. Hasil panen per petak tambak bervariasi 400 – 1.500 kg rata-rata panen per petak 577,02 kg/siklus. Tingkat teknologi yang diterapkan umumnya adalah teknologi tradisional plus karena para petambak umumnya telah dibekali pengetahuan dari penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan oleh Diskanlut Provinsi Kalimantan Barat. Pengetahuan juga didapat dari petambak-petambak yang sudah berhasil di luar wilayah ini. Untuk wilayah Desa Dabong pemasaran ikan/udang hasil budidaya di tambak dibawa Ke Rasau Jaya/Pontianak, atau di antar langsung ke cold storage yang banyak terdapat di Kota Pontianak. Komoditas yang banyak di budidayakan adalah jenis udang vaname karena lebih tahan serangan penyakit. Akan tetapi budidaya udang vaname juga membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Udang vaname membutuhkan pakan tambahan berupa pellet. Kebutuhan pellet per siklus pada luasan tambak ± 2 Ha senilai Rp. 8.000.000,-. Tingginya biaya budidaya udang vaname ini menyebabkan beberapa petambak tetap membudidayakan udang windu dengan resiko kegagalan yang lebih besar akibat serangan penyakit di bandingkan dengan udang vaname. Pada pemeliharaannya, kebutuhan tambahan pakan udang windu dapat dipenuhi dengan ikan rucah yang mudah didapat serta murah (Gambar 6). Kebutuhan makanan tambahan untuk udang windu per hari sebesar Rp. 30.000,-. Salah satu upaya petambak untuk menghindari penyakit yang berasal dari sisa pakan segar adalah dengan merebus dahulu ikan rucah sebelum dimasukkan dalam tambak. Kebutuhan bibit udang windu untuk luasan ± 2 Ha sebanyak 15-20 ribu ekor dengan harga Rp. 40.000,-/100 ekor. Pemeliharaan udang windu dilakukan selama 3 - 3,5 bulan dan pemberian pakan tambahan dimulai pada bulan ke dua (2). Biaya untuk pakan tambahan mencapai Rp. 1.800.00,- sampai Rp. 2.250.000,-. Hasil panen udang windu dapat mencapai 200-400 kg per siklus 56 panen. Dimana harga udang windu ukuran A mencapai Rp. 65.000,-/kg, sehingga total penjualan hasil panen dapat mencapai Rp. 13.000.000,- hingga Rp. 26.000.000,-. Gambar 6. Metode Pemberian Pakan Udang Windu Pemeliharaan kepiting soka adalah dengan memanfaatkan kepiting dengan ukuran B yang memiliki nilai jual rendah yaitu sekitar Rp. 25.000,-/kg. Nilai jual kepiting ukuran B tersebut sangat jauh bila dibandingkan dengan ukuran A seharga Rp. 55.000,-/kg. Pembuatan kepiting soka ini berhasil meningkatkan nilai jualnya menjadi Rp. 80.000,-/kg. 3.2.5. Isu dan Permasalahan a. Penurunan luasan hutan mangrove Peningkatan konversi hutan mangrove menjadi kawasan tambak antara tahun 1992-2009 menyebabkan kawasan hutan mangrove semakin sempit. Luasan hutan mangrove dari tahun ketahun disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong No Tutupan Lahan Luas (Ha) 1991 2002 2007 2009 Penurunan Pertambahan luasan Luasan (Ha/Thn) (Ha/Thn) Hutan 2849.01 2432.34 2346.24 2312.97 31.42 mangrove 2 Tambak 328.52 522.08 555.35 32.63 Kawasan 3 lindung 4895.50 4895.50 4895.50 mangrove Sumber : Nugroho (2009), *Peta Kawasan Hutan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 1 57 Data luas hutan mangrove di Desa Dabong terlihat adanya perbedaan yaitu berdasarkan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 dan berdasarkan Nugroho (2009). Luas kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong adalah seluas 4895.50 ha. Yaitu meliputi Area hutan mangrove, tambak dan kawasan pemukiman yang ada di Desa Dabong. Sehingga berdasarkan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 selain area hutan mangrove, tambak dan sebagian besar kawasan pemukiman, lahan garapan, sekolah, masjid dan bahkan pusat pemerintahan Desa Dabong juga masuk dalam kawasan hutan lindung mangrove. Sedangkan luas hutan mangrove tahun 1991 adalah 2.849.01 ha, dan luas hutan mangrove tahun 2007 adalah 2.346.24 ha. Dari luasan hutan mangrove tersebut diketahui bahwa dalam kurun waktu 16 tahun terjadi penurunan luasan 502.77 ha (17.65%) atau 31.42 ha/tahun (1.10 % per tahun). Hal ini menunjukan tingkat kerusakan mangrove di Desa Dabong sangat besar. Tingginya penurunan luas ekosistem mangrove pada tahun 1991 sampai tahun 2007 ini sebagian besar disebabkan oleh adanya konversi hutan mangrove menjadi tambak oleh masyarakat. Luas tambak di Desa Dabong sejak tahun 2009 sampai saat ini tidak terjadi perubahan yaitu 533,35 ha. Hal tersebut terjadi karena adanya upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat terkait. b. Pertanian Permasalahan bidang pertanian yang terdapat di Desa Mengkalang adalah adanya PT. Sintang Raya yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa sawit. PT. Sintang Raya yang telah beroprasi sejak 2006 ini tidak memiliki 1% pun lahan. Perusahaan telah melakukan perampasan lahan di tanah-tanah desa yang telah dikelola oleh masyarakat sejak puluhan tahun. Disamping itu penebangan hutan yang dilakukan PT. Sintang Raya telah menyebabkan terjadinya banjir musiman di empat desa yaitu Desa Mengkalang, Seruat II, Seruat I dan Sungai Slamat. 58 Penanaman tanaman padi serta jagung dilakukan secara bergantian sehingga hasil panen yang dihasilkan kurang maksimal. Tanaman jagung dalam setahun mengalami dua siklus panen, sedangkan padi hanya satu siklus panen. Hal ini dikarenakan tidak adanya tenaga kerja yang dapat diperbantukan di area pertanian. Untuk mengolah tanah pertaniannya masyarakat melakukan secara pribadi. c. Kegiatan Nelayan Kelimpahan ikan di perairan Desa Dabong masih melimpah sepanjang tahun, hanya pada bulan-bulan tertentu saat cuaca kurang bagus nelayan tidak dapat melaut untuk memancing. Terdapat juga beberapa jenis ikan dengan kelimpahan yang cukup tinggi namun nilai jualnya sangat rendah. Ikan dengan nilai ekonomi rendah tersebut antara lain adalah ikan sembilang dengan nilai jual Rp. 10.000,-/kg. Kelimpahan kepiting di kawasan Desa Dabong relative masih tinggi sepanjang tahun. Akan tetapi pada bulan Agustus hingga November banyak ditemukan kepiting yang kosong. Kepiting kosong merupakan istilah untuk kepiting dengan tingkat kepadatan daging yang rendah. Kepiting kosong ini memiliki nilai jual yang rendah. Kepiting kembali berisi pada bulan Desember. Selain permasalahan adanya kepiting kosong, nelayan bubu juga hanya bias mencari kepiting pada saat nyorong (aer besar/pasang). Dalam satu bulan nelayan bubu hanya dapat beraktivitas sebanyak 16-17 hari. d. Kegiatan Budidaya Kegiatan usaha budidaya udang mengalami permasalahan pada tahun 2007 yaitu terjadinya serangan penyakit terhadap kegiatan budidaya udang yang dilaksanakan, dan sejak tahun 2009 kegiatan tambak di desa ini seolah berhenti karena adanya penegakan status kawasan lindung oleh pengelola kawasan. Selanjutnya setelah tahun 2007 beberapa petambak yang tetap melanjutkan kegiatan usahanya dengan komoditas udang windu, ataupun 59 polikultur dengan ikan bandeng. Polikultur udang dengan bandeng dimaksudkan untuk memberikan aerasi secara alami pada tambak, sehingga kebutuhan oksigen dalam tambak dapat terpenuhi. Saat ini hanya tinggal belasan petak dari 127 petak yang masih berproduksi secara rutin. 60 Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1. Desa Dabong memiliki potensi fauna yang sangat besar berupa ikan sembilang dengan kelimpahan yang tinggi dan harga rendah. Saat ini biota tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal hanya sebatas konsumsi masyarakat desa. Selain itu Desa Dabong juga memiliki potensi lahan tambak yang berfungsi sebagai tempat budidaya berbagai jenis udang. Potensi lain yang terdapat di Desa Dabong adalah budidaya pembuatan kepiting soka. 2. Desa Mengkalang memiliki potensi perikanan berupa kelimpahan kepiting yang cukup besar serta potensi sektor pertanian yang besar. Potensi pertanian tersebut meliputi jagung, padi dan kelapa sawit. Rekomendasi yang dapat disampaikan adalah: 1. Perlu adanya suatu tata kelola terkait dengan kepiting bakau sehingga keberadaanya di alam tetap lestari, namun dapat terus dimanfaatkan oleh masyarakat serta upaya budidaya penggemukan kepiting terutama untuk kepiting kosong. 2. Perlu adanya upaya pengolahan hasil perikanan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. 3. Perlu adanya penyuluhan terkait dengan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. 61 Daftar Pustaka Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL-IPB. Bogo Bengen, DG. 2002. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. PKSPL-IPB Bengen DG, Rizal. 2000. Aktivitas Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Wilayah Pesisir. Warta Pesisir dan Lautan (02). PKSPL-IPB. Bogor. Borum, J., Sand-Jensen, K., Binzer, T., Pedersen, O., Greve, T. M (2006). Oxygen movement in seagrasess. In : Larkum, A. W. D., Orth, R.J., Duarte, C. M. (eds.) Seagrasess : Biology, Ecology and Conservation. Springer, The Netherlands. Pp 255-270. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan FPIK-IPB. Bogor. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Paradyna Paramita. Jakarta. Duarte, C. M. (2002). The future of seagrass meadows. Environmental Conservation 29, 192206. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Cetakan ketiga Juli 2010. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hutabarat AA, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani, Adrianto L. 2009. Konservasi Perairan Laut dan Nilai Valuasi Ekonomi. Pusdiklat Kehutanan-Dephut dan SECEMKorea International Cooperation Agency. Cetakan pertama 2009..Bogor Nybakken JW. 1993. Marine Biologi. An Ecological Approach. Third Edition. Harper Collins College Publisher. New York. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelpia: WB Sounders. Primavera JH. 2000. Integrated Mangrove-Aquaculture System in Asia. Aquaculture Department, Southeast Asian Fisheries Development Center, Tigbauan, Philippines Primavera JH. 1998. Mangroves as Nurseries: Shrimp Populations in Mangrove and NonMangrove habitats. Estuarine, Coastal and Shelf Science (1998) 46, 457-464 62 Romero, J., K., Perez, M., Mateo, M. A., Alcoverro, T (2006). In : Larkum A. W. D., Orth, R. J., Duarte, C. M. (eds). Seagrass Biology, Ecology and Conservation. Springer, The Netherlands. Pp 227-254. Shilman Mi. 2012. Kajian Penerapan Silvofishery Untuk Rehabilitasi Ekosistem dDesa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat [Tesis]. Sekolahpascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sukarno, Hutomo M. Moosa MK, Darsono P. 1981. Terumbu Karang di Indonesia, Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Jakarta: Pusat Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Indonesia LON LIPI. Veron JN. 1986. Coral of Australian and The Indo-Pasific . Honolulu. University of Hawai Press. 63 Lampiran Lampiran 1. Wawancara dengan Petambak Lampiran 2. Kegiatan FGD 64