II. METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan Spesifikasi alat dan bahan dalam penelitian ini terlampir pada lampiran 2. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta Pusat. Penelitian dilakukan selama bulan Januari – Juni 2014. C. Rancangan Percobaan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-eksperimental yaitu survey deskriptif. Isolat yang digunakan merupakan isolat koleksi Lembaga Eijkman. Isolat diambil dari swab nasofaring pada individu pembawa (carrier) S. pneumoniae pada anak-anak di Lombok, pasien anak-anak dan pasien dewasa pengidap HIV di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Isolat koleksi merupakan isolat murni hasil identifikasi secara mikrobiologis dan molekuler dari penelitian sebelumnya di Lembaga Eijkman dan beberapa isolat sudah diuji sensitivitas antibiotiknya. Hasil uji sensitivitas antibiotik lalu diseleksi untuk mengetahui isolat S. pneumoniae mana saja yang tidak peka terhadap eritromisin untuk dideteksi adanya gen mef(A) dan erm(B) menggunakan teknik Duplex PCR (Polymerase Chain Reaction). Sebanyak 61 isolat diperoleh dari hasil seleksi. D. Variabel dan Parameter Variabel yang akan diamati dalam penelitian ini adalah variasi ketidakpekaan isolat S. pneumoniae yang tidak peka terhadap eritromisin Parameter yang akan diamati adalah produk duplex PCR pada isolat murni S. pneumoniae yang tidak peka terhadap eritromisin E. Cara Kerja 1. Pembuatan subkultur Isolat S. pneumoniae Isolat S. pneumoniae yang tidak peka terhadap eritromisin diseleksi dari isolat murni koleksi milik Lembaga Eijkman. Isolat murni hasil seleksi dibuat subkulturnya sebagai kultur kerja (working culture). Isolat murni hasil diseleksi diinokulasikan menggunakan jarum ose dengan metode streak kuadran di media agar darah domba 5 % + gentamisin atau BA+G (Lampiran 3) untuk melihat adanya aktivitas α-hemolitik yang disebabkan oleh S. pneumoniae. Hasil inokulasi kemudian ditaruh di dalam candle jar untuk memberikan suasana anaerob dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam. Selanjutnya hasil inkubasi diamati dan koloni tunggal S. pneumoniae pada masingmasing cawan diambil dan distreak secara kuadran pada media BA+G untuk mendapatkan kultur S. pneumoniae yang murni. Media kemudian ditaruh di dalam candle jar untuk memberikan suasana anaerob dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam. Hasil inkubasi diamati dan diinokulasikan semua pada media Skim-Milk Tryptone Glucose Glycerol atau STGG (Lampiran 4) pada cryotube 1,8 ml sebagai kultur kerja (working culture) dan disimpan pada suhu -80oC sampai digunakan kembali. Kultur kerja dapat diperbanyak sebagai kultur segar yang dapat digunakan untuk uji sensitivitas antibiotik atau ekstraksi DNA. Isolat dari kultur kerja diambil menggunakan ose dan distreak kontinyu pada media BA+G kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam di dalam candle jar untuk memberikan suasana anaerob. 2. Uji Sensitivitas Antibiotik Uji sensitivitas antibiotik dilakukan untuk memastikan kembali secara mikrobiologis apakah sampel yang digunakan tidak peka terhadap eritromisin. Uji sensitivitas antibiotik dilakukan dengan metode difusi cakram menurut Clinical and Laboratory Standards Institute atau CLSI (2013). Kultur kerja yang sudah diperbanyak diambil secukupnya menggunakan disposable loop dan dilarutkan kedalam tabung yang sudah diisi oleh Mueller-Hinton Broth sebanyak 1 ml. Suspensi kemudian divorteks dan tingkat kekeruhan atau turbiditas suspensi dibandingkan dengan suspensi blangko untuk turbiditas yaitu McFarland Standard no. 0,5. Disposable cotton bud dicelupkan ke dalam suspensi dan ditekan ke dinding tabung secara perlahan agar tidak terlalu pekat, kemudian diusap penuh seperti melakukan streak pada media agar Mueller-Hinton + darah domba 5% (Lampiran 5). Setelah diusap, cakram antibiotik eritromisin 15 µg diletakkan di bagian tengah media MHA+B menggunakan pinset dan diinkubasi 1x24 jam untuk diamati serta diukur zona jernihnya. Hasil zona jernih yang didapatkan dibandingkan dengan data sensitivitas Streptococcus pneumoniae terhadap antibiotik eritromisin menurut CLSI (2013). Semua kerja dilakukan menggunakan prinsip aseptis. 6 3. Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan metode Boil atau Heat Shock. Beberapa koloni dari kultur isolat murni S. pneumoniae yang tidak peka terhadap eritromisin diambil beberapa plug menggunakan ose dan dimasukkan ke dalam tabung vial dan dicampurkan dengan TE buffer sebanyak 500 µL. Tabung vial atau DNA tube kemudian dipanaskan selama 1 menit dengan suhu 100oC. Tabung vial kemudian dimasukkan dalam freezer dengan suhu –20OC selama 5 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 g selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifugasi diambil sebanyak 420-450 µl dan dimasukkan ke dalam tube baru dan disimpan dalam freezer dengan suhu -30 oC untuk digunakan selanjutnya. Konsentrasi DNA hasil ekstraksi dapat diukur konsentrasinya menggunakan spektrofotometer (Nano Drop) dibantu dengan software ND-1000 yang berada di dalam komputer yang terhubung dengan spektrofotometer. Kalibrasi dilakukan sebelum melakukan pengukuran dengan mengukur blanko berisi TE buffer kemudian sampel DNA sebanyak 1,5 µl diukur konsentrasinya. Hasil yang tercantum di komputer dicatat. 4. Deteksi Gen erm(B) dan mef(A) menggunakan Duplex PCR (Polymerase Chain Reaction) Gen erm(B) dan mef(A) dideteksi menggunakan Duplex PCR. Prinsipnya sama dengan PCR biasa namun menggunakan 2 pasang primer sekaligus dalam 1 mastermix. Komposisi PCR mix yang digunakan menurut Ko dan Song (2004) dalam volume 25 µl dengan sedikit modifikasi, terdiri dari 20 ng/µl DNA template, 12,5 µl Go Taq Green 2x (Lampiran 6 ); 8,5 µl ddH2O; 1 µM forward primer serta reverse primer erm(B) dan 1 µM forward primer serta reverse primer mef(A). Primer yang digunakan untuk deteksi gen mef(A) dan erm(B) diacu dari penelitian Ko dan Song (2004). Primer untuk deteksi gen mef(A) adalah primer forward dengan urutan sekuens 5′ -AGT ATC ATT AAT CAC TAG TGC-3′ dan primer reverse dengan urutan sekuens 5′-TTC TTC TGG TAC TAA AAG TGG-3’ untuk menghasilkan amplikon DNA berukuran 348 bp. Primer untuk deteksi gen erm(B) terdiri dari primer forward dengan urutan sekuens 5′-GAA AAG GTA CTC AAC CAA ATA-3′ dan primer reverse dengan urutan sekuens 5′-GTA ACG GTA CTT AAA TTG TTT AC-3’ untuk menghasilkan amplikon DNA berukuran 639 bp. Siklus thermal PCR yang digunakan yaitu denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 50oC selama 30 detik dan polimerisasi awal 72oC selama 1 menit 30 detik sebanyak 35 siklus, dilanjutkan dengan polimerisasi akhir 72oC selama 10 menit dan diakhiri dengan penurunan suhu 25 oC (Ko dan Song, 2004). 7 5. Visualisasi Hasil Deteksi Gen erm(B) dan mef(A) Menggunakan Elektroforesis Gel Hasil amplifikasi gen divisualisasikan menggunakan metode elektroforesis gel. Gel agarosa 1% dibuat dengan cara mencampurkan 1 gr agarosa dan 100 mL TBE buffer. Suspensi tersebut kemudian dioven menggunakan microwave selama 2-3 menit sampai bubuk agarosa larut sempurna. Hasil elektroforesis kemudian didinginkan sambil dihomogenkan perlahan dan ditambahkan 7,5 µL pewarna SYBR Safe. Suspensi kemudian dituang ke dalam tray yang sebelumnya sudah dipasang comb dan ditunggu hingga mengeras selama 25 – 45 menit. Gel yang telah mengeras kemudian dituang ke tank elektroforesis dan direndam oleh TBE 1x hingga seluruh bagian gel terendam sempurna. DNA marker (DNA ladder 100 pb) sebanyak 3 µl dimasukkan ke well pertama dan well selanjutnya diisi dengan kontrol positif dan sampel hasil amplifikasi sebanyak 510 µl. Well terakhir diisi dengan kontrol negatif. Running dilakukan selama 35 menit dengan voltase 80 V. Hasil visualisasi dilihat dengan menggunakan Gel-Doc 1000 yang sudah tersambung pada layar komputer . 6. Metode Analisis Hasil deteksi gen erm(B) dan mef(A) yang didapatkan akan dianalisis menggunakan metode deskriptif dengan cara membandingkan positivitas hasil deteksi gen yang didapatkan dengan hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan. 8