BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gerakan Sosial (Social Movement) diperkirakan muncul pada abad ke-18 ketika terjadi Revolusi Perancis pada tahun 1789 dimana rakyat berbondongbondong melawan kebijakan raja dan meruntuhkan kekuasaan otoriter. Gerakan sosial muncul bukan saja di negara-negara yang tergolong masih menerapkan sistem politik otoritarian, transisional, dan tingkat ekonomi bangsa yang masih terbelakang dan berkembang, akan tetapi juga terjadi di negara-negara yang selama ini tergolong maju dan demokratis. Peristiwa-peristiwa sosial serupa berlangsung melintasi abad ke-19, khususnya di Amerika Serikat. Studi yang pernah dilakukan adalah mengenai gerakan hak-hak sipil dikalangan kulit hitam di Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an, serta kajian mengenai beberapa gerakan lain, seperti gerakan mahasiswa tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian, dan gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Gerakan sosial yang beragam mulai bermunculan pada abad ke-19 hingga saat ini sehingga mengalami banyak pengembangan. Perkembangan gerakan sosial ini mendorong munculnya kajian-kajian tentang gerakan sosial yang lebih luas. Gerakan sosial yang identik dengan aksi perlawanan dan aksi protes terhadap kebijakan pemerintah (Johnson, 2013); (Engeman, 2014) kini mulai berkembang menjadi gerakan sosial yang bertujuan untuk melakukan perubahan dan menyelesaikan permasalahan di masyarakat. Permasalahan di masyarakat dapat diselesaikan dengan adanya kebijakan dari pemerintah. Hal tersebut mendorong gerakan sosial untuk mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat. Kajian tentang peranan gerakan sosial dalam kebijakan publik telah dilakukan oleh Johnson, Agnone, dan McCharty (2010); serta Honng (2013). Perkembangan gerakan sosial yang sangat cepat mengharuskan gerakan sosial untuk menyusun strategi 1 dalam melakukan aktivitasnya. Kajian tentang strategi gerakan sosial juga telah dilakukan oleh Huseey (2013); Tresch dan Fischer (2014); serta Earl (2015). Kajian lain yang juga telah dilakukan dalam mendukung pengembangan gerakan sosial antara lain: kajian tentang peran gerakan perempuan (Boler, McDonald, Nitsou, 2014); dimensi gerakan sosial (Haugh, 2013); serta dinamika gerakan sosial (Suh, 2014). Pada era demokrasi saat ini, gerakan-gerakan perlawanan masyarakat atau gerakan sosial (social movement) dalam upaya menentang dan mendorong perubahan kebijakan publik, perubahan politik dan sosial secara luas, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global semakin meluas. Pengembangan kajian tentang gerakan sosial tidak hanya dilakukan di kawasan negara Eropa dan Amerika sebagai pelopor gerakan sosial, melainkan juga di negara lain termasuk negara berkembang. Permasalahan sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan di negara-negara berkembang mendorong masyarakatnya untuk mengambil bagian dalam program pembangunan pemerintah. Partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan munculnya beberapa gerakan sosial baik di bidang sosial-masyarakat, politik, gender, maupun lingkungan. Perkembangan gerakan sosial yang ada mendorong munculnya kajiankajian gerakan sosial yang ditujukan untuk pengembangan gerakan sosial. Kajian-kajian gerakan sosial di negara berkembang antara lain tentang gerakan lingkungan dalam teori New Social Movement (Fadaee, 2011); gerakan sosial yang dilakukan oleh perempuan (Ruiz dan Lizarrga, 2015); serta gerakan sosial sebagai bentuk aksi protes (Tillin, 2011). Kajian-kajian yang telah dilakukan di beberapa negara maju juga dilakukan di negara-negara berkembang seperti kajian tentang peranan gerakan sosial dalam kebijakan publik (Chartock, 2011); (Pena, 2015); serta strategi gerakan sosial (Kumar, 2014). Kajian-kajian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa gerakan sosial memiliki posisi yang penting dalam perubahan masyarakat. Perkembangan gerakan sosial juga dialami oleh Indonesia. Gerakan Sosial merupakan salah satu bagian sejarah kemerdekaan Indonesia. 2 Kemerdekaan Indonesia tidak semata-mata tercapai dengan gerakan senjata, melainkan juga karena adanya gerakan sosial yang tumbuh sebagai manifestasi kesadaran sejumlah kaum muda pada masa itu. Tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto pun tidak bisa dilepaskan dari peran gerakan sosial, khususnya gerakan mahasiswa. Gerakan sosial di Indonesia awalnya identik dengan gerakan perlawanan dan gerakan protes, namun saat ini gerakan sosial di Indonesia mulai berkembang dengan munculnya komunitas-komunitas yang peduli pada bidang lingkungan, anak, gender, dan permasalahan lainnya. Gerakan- gerakan sosial yang muncul sebagai sebuah komunitas, asosiasi, ataupun LSM di Indonesia tidak hanya berupa gerakan perlawanan, melainkan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan, seperti gerakan perempuan, gerakan lingkungan, dan lain sebagainya. Menurut Alaine Tourine dan Alberto Melucci (dalam Fadaee, 2011:80) gerakan-gerakan tersebut disebut dengan Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) yang dikembangkan pula dalam Teori Gerakan Sosial Baru (New Social Movement Theory). Perkembangan gerakan sosial baru di Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai komunitas, asosiasi, serta Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM) yang bergerak dalam berbagai bidang. Perkembangan tersebut senada dengan kajian-kajian gerakan sosial baru yang semakin berkembang, antara lain: kajian tentang pola dan pengelolaan jaringan gerakan sosial (Nugroho, 2015); tentang penerapan Teori Mobilisasi Sumber Daya pada gerakan sosial (Rusmin, 2015); tentang peran modal sosial dalam keberhasilan gerakan sosial-lingkungan (Yuanjaya, 2015); serta tentang strategi gerakan lingkungan dengan media sosial (Kurniawan & Rye, 2014). Kajian-kajian tersebut fokus terhadap berbagai isu yang ada di dalam masyarakat, antara lain isu Hak Asasi Manusia (HAM), isu anak, isu pendidikan, isu kesetaraan gender, serta isu lingkungan. Gerakan Sosial Baru berbeda dengan Gerakan Sosial Klasik karena struktur organisasinya yang terdesentralisasi, menggunakan taktik inkonvensional, dan fokusnya pada isu-isu budaya. Hussey (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Political Action Versus Personal Action: 3 Understanding Social Movements’ Pursuit of Change Through Nongovernmental Channel menyatakan bahwa gerakan sosial baru-baru ini tidak hanya mentargetkan perubahan negara dan aksi politik, melainkan lebih kepada gerakan solidaritas, perubahan kultur dan bagaimana menyelesaikan masalah. Tabel 1.1 Perbedaan Gerakan Sosial Klasik dan Gerakan Sosial Baru No. 1. 2. 3. 4. Indikator Ideologi dan Tujuan Gerakan Sosial Klasik Gerakan Sosial Baru Berorientasi pada Berorientasi pada antikapitalisme, revolusi perubahan identitas, kelas, dan perjuangan kelas norme, dan gaya hidup yang mendukung tujuan dari gerakan sosial baru Taktik dan Melakukan aksi politik Berinovasi untuk Pengorganisasian secara langsung, mengkikuti mempengaruhi opini model pengorganisasian publik, memobilisasi opini serikat buruh industri dan publik untuk mendapatkan model politik kepartaian. daya tawar politik Partisipan dan Aktor Partisipan dan aktor berasal Berasal dari berbagai basis dari golongan-golongan sosial yang melintasi tertentu, kaum marginal dan kategori-kategori seperti teralienasi gender, pendidikan, okupasi, dan kelas. Aktornya berasal dari kaum intelektual, kelas menengah, akademisi bahkan mahasiswa. Medan dan Area Terbatas dan hanya fokus Melintasi batas-batas pada isu-isu ekonomi, sosial, region: dari aras lokal dan politik hingga internasional, sehingga terwujud menjadi gerakan transnasional. Fokus gerakan sosial baru adalah isu-isu sosialkultural. Sumber: Feixa, et. al (2009:10) diolah Tabel 1.1 diatas menggambarkan bahwa terdapat beberapa perbedaan antara Gerakan Sosial Klasik dan Gerakan Sosial Baru dengan melihat dari empat karakteristik, yaitu: 1) Ideologi dan tujuan; 2) Taktik dan Pengorganisasian; 4) Partisipan dan Aktor; 4) Medan dan Area. Martin (2001) menyatakan bahwa Teori New Social Movement (Gerakan Sosial Baru) relevan 4 digunakan karena gerakan sosial baru fokus pada perubahan pada kultur masyarakat serta penyelesaian masalah. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan Teori New Social Movement (Gerakan Sosial Baru), karena gerakan sosial yang berkembang pada saat ini adalah gerakan sosial baru dimana fokusnya tidak lagi pada perubahan negara, melainkan perubahan pada masyarakat dan bagaimana gerakan mampu menyelesaikan permasalahan di masyarakat. Salah satu gerakan sosial yang termasuk dalam Gerakan Sosial Baru adalah Gerakan Lingkungan. Gerakan lingkungan di Indonesia mulai masuk dalam agenda dan bagian dari gerakan sosial di Indonesia pada tahun 1970-an (Suharko, 2006:20), kemudian semakin mengalami momentum penguatan pada periode 1980-an. Hingga kini, gerakan lingkungan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Berbagai gerakan lingkungan mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti memilih gerakan lingkungan sebagai obyek penelitian karena gerakan lingkungan termasuk dalam kategori Gerakan Sosial Baru. Fadaee (2010: 80); Kurniawan & Rye (2014:200) menyatakan bahwa isu lingkungan menjadi perhatian di seluruh dunia dan upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan sudah menjadi prioritas lokal, nasional, dan bahkan global.Indonesia menjadi salah satu negara yang juga berupaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Secara keseluruhan, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia: 2014), kualitas lingkungan hidup di Indonesia secara keseluruhan berdasarkan data Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) menunjukkan kecenderungan menurun dari 65,50 pada tahun 2011 menjadi 63,13 pada tahun 2013. Meskipun pemerintah baik pusat maupun daerah telah menerbitkan peraturan tentang pengelolaan lingkungan hidup, nyatanya kualitas lingkungan hidup masih mengalami penurunan. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk melakukan suatu aksi nyata pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa aksi masyarakat dilakukan secara berkelompok melalui gerakan lingkungan baik 5 skala lokal hingga nasional. Munculnya gerakan lingkungan ini menarik peneliti untuk melakukan penelitian terkait dengan proses terbentuknya gerakan lingkungan. Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian pada gerakan lingkungan di Yogyakarta dan Bandung. Berikut ini daftar gerakan lingkungan di Yogyakarta dan Bandung yang akan diteliti: 6 Tabel 1.2 Daftar Gerakan Lingkungan di Indonesia yang akan diteliti No. Karakteristik 1. Ideologi dan Tujuan 2. Taktik dan Pengorganisasian 3. Partisipan dan Aktor KOPHI - Organisasi non profit - Wadah koalisi dari berbagai komunitas pemuda yang peduli terhadap perubahan iklim dan lingkungan hidup - Tidak melalui banyak campaign - Bersifat tanggap isu atau melakukan aksi cepat - Kampanye di media sosial Greeneration Bank Sampah Griya Sapu Lidi - Sebagai wadah untuk mengelola sampah rumah tangga sekitar lingkungan perumahan Gumuk Indah Bank Sampah Paguyuban Sampah Lintas Winongo Sukunan Bersemi - Sebagai wadah - Mewujudkan untuk kebersihan mengelola lingkungan desa sampah rumah - Meningkatkan tangga di sekitar gerakan lingkungan lingkungan yang nyaman kampung Badran - Melakukan kegiatan socio enterpreneur - Memanfaatkan kotoran ternak menjadi premi asuransi - Membuat berbagai kerajinan dari sampah yang dapat di daur ulang - Membuat pupuk kompos dari sampah organik - Membuat - Fokus pada berbagai pengelolaan kerajinan dari sampah secara sampah yang mandiri dapat di daur - Membuat kerajinan ulang dari sampah plastik - Membuat pupuk - Membuat arang kompos dari dari sampah sampah organik sterofoam - Membentuk bank sampah - Masyarakat setempat Masyarakat setempat Masyarakat setempat Bank Liran - Berbasis social - Bersama dengan enterprise masyarakat - Mewujudkan bekerja sama perilaku dalam masyarakat yang memanfaatkan ramah kotoran dan lingkungan limbah urin hewan ternak - Menggunakan basis social enterprise - Memiliki portofolio WAWE (waste, air, water, and energy) dan REACT (research, education, action, campaign and tools) - Mahasiswa dan - Masyarakat masyarakat yang umum yang dipekerjakan bersifat volunteer menjadi karyawan - Warga masyarakat Sukunan 7 4. Medan dan Area - Relawan - Tidak hanya di - Greeneration - Masyarakat yang - Gerakan - Gerakan satu daerah, tetapi memiliki target tinggal di daerah lingkungan lokal lingkungan ada di bebrapa yang luas, bukan rawan bencana yang targetnya lokal yang daerah hanya anakletusan Gunung adalah targetnya adalah - Targetnya seluruh anak, remaja, Merapi dan masyarakat masyarakat kalangan melainkan juga berprofesi setempat setempat masyarakat orang dewasa sebagai peternak dan orang tua untuk cinta lingkungan - Gerakan lingkungan lokal yang targetnya adalah masyarakat setempat Sumber: Fadaee, 2010; Feixa, 2009, diolah 8 Tabel 1.2 diatas menunjukkan daftar enam gerakan lingkungan di Yogyakarta dan Bandung yang akan diteliti. Pada tabel 1.2 tersebut juga menggambarkan bahwa keenam gerakan lingkungan yang dipilih telah memenuhi keempat kriteria Gerakan Sosial Baru sesuai dengan New Social Movement Theory yang diungkapkan oleh Alain Tourine dan Alberto Melucci (dalam Fadaee 2009:10). Pemilihan keenam gerakan lingkungan tersebut disesuaikan dengan data penelitian hibah yang dilakukan oleh Kusumasari, et.al (2015) yang berjudul Analysing The Businness Models of Organizations that Aim to Create Economic, Social, and Environment value. Berdasarkan data dari penelitian Kusumasari, et.al (2015) tersebut, keenam gerakan lingkungan muncul karena dilatarbelakangi oleh degradasi lingkungan yang membuat beberapa masyarakat D.I Yogyakarta dan Bandung tidak nyaman sehingga muncul inisiatif untuk bergabung menjadi kelompok dan melakukan perlindungan terhadap lingkungan. Dalam pelaksanaan program dan kegiatan gerakan lingkungan mengalami permasalahan-permasalahan baik internal maupun eksternal. Beberapa permasalahan yang dialami keenam gerakan lingkungan antara lain: Pertama, permasalahan pendanaan yang dialami oleh KOPHI Yogyakarta serta Bank Liran dimana kedua gerakan lingkungan ini tidak melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah maupun pihak swasta, sehingga dalam pelaksanaan beberapa program dan kegiatan menjadi tersendat. Kedua gerakan lingkungan ini tidak melakukan kerjasama dengan pemerintah ataupun swasta bukan karena keinginan gerakan, melainkan karena syarat-syarat yang diajukan baik pemerintah maupun swasta tidak mampu dipenuhi oleh kedua gerakan lingkungan tersebut karena keterbatasan yang keduanya miliki. Permasalahan kedua adalah kepercayaan masyarakat terhadap program dan kegiatan gerakan lingkungan yang akan dilakukan. Hampir keenam gerakan lingkungan mengalami permasalahan kepercayaan masyarakat, masyarakat yang menjadi target dari gerakan lingkungan ini banyak yang masih memiliki pola pikir tradisional terkait dengan sampah. Beberapa masyarakat masih tidak yakin bahwa sampah dapat memberikan kebermanfaatan, terutama manfaat ekonomi, kemudian masyarakat malas untuk melakukan pengelolaan sampah mandiri yang dinilai lebih repot, terakhir pola pikir masyarakat yang masih percaya bahwa membakar sampah adalah solusi paling tepat untuk mengurangi sampah di masyarakat menjadi salah satu permasalahan yang muncul. Permasalahan ketiga adalah konsistensi 9 anggota gerakan, terutama gerakan lingkungan yang anggotanya bersifat relawan atau sukarela yang dialami oleh KOPHI Yogyakarta, Bank Liran serta Greeneration Indonesia. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan tahapan pembentukan keenam gerakan lingkungan tersebut hingga mampu bertahan sampai saat ini. Selain permasalahan-permasalahan tersebut, keenam gerakan lingkungan yang akan diteliti memiliki kemiripan visi, yaitu membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan dan pelestarian lingkungan di daerahnya. Gerakan lingkungan diatas memiliki tujuan untuk menyelesaikan degradasi dan pencemaran lingkungan, khususnya dalam upaya pengelolaan limbah dan sampah (waste management) serta membangun kesadaran masyarakat untuk lebih mencintai lingkungannya. Tujuan dari keenam gerakan lingkungan tersebut termasuk dalam tujuan pemerintah dalam upaya pembangunan berkelanjutan yang berbasis lingkungan. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang mengharapkan masyarakat turut berpartisipasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada keenam gerakan lingkungan tersebut menarik peneliti untuk melakukan pelitian terhadap tahapan dan bentuk keenam gerakan lingkungan sehingga diharapkan penelitian ini dapat menguraikan sebab permasalahan yang muncul pada keenam gerakan lingkungan tersebut. Peneliti juga akan menggunakan Teori New Social Movement untuk melihat aplikasi teori tersebut pada gerakan lingkungan di D.I Yogyakarta dan Bandung. 1.2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana tahapan dan bentuk gerakan lingkungan di D.I Yogyakarta dan Bandung sesuai dengan Teori New Social Movement? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan Gerakan Lingkungan di D.I Yogyakarta dan Bandung? 10 3. Bagaimana aplikasi Teori New Social Movement pada komuniyas lingkungan di D.I Yogyakarta dan Bandung? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tahapan dan bentuk gerakan lingkungan di D.I Yogyakarta dan Bandung sesuai dengan teori New Social Movement 2. Untuk mengetahui tujuan gerakan lingkungan di D.I Yogyakarta dan Bandung Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan gerakan lingkungan di D.I Yogyakarta dan Bandung 3. Untuk mengetahui aplikasi Teori New Social Movement pada komunitas lingkungan di D.I Yogyakarta dan Bandung 1.4. Manfaat Penelitian 1. Dari sisi akademis, tentu menjadi sumbangsih bagi bidang penelitian ilmiah. Selain itu, penelitian ini juga berusaha untuk memberikan kajian dan argumentasi-argumentasi ilmiah tentang peran dan kontribusi gerakan sosial baru bidang lingkungan dalam kebijakan publik dan masyarakat. 2. Memperluas pengetahuan dan wacana baru bagi pembaca mengenai gerakan sosial baru. 3. Menjadi acuan atau refernasi bagi penelitian-penelitian lebih lanjut 1.5. Penelitian Terdahulu Johnson, Agnone dan McCharty (2015) pernah melakukan penelitian tentang Gerakan Sosial yang berjudul Movement Organization, Synergistic Tactic and Environmental Public Policy. Penelitian ini mengkaji tentang peran dan pengaruh gerakan sosial dalam proses perumusan kebijakan menggunakan faktor politik dan infrastruktur gerakan sosial. Riset tersebut menemukan bahwa gerakan sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap penetapan agenda setting. Beberapa faktor yang mempengaruhi gerakan sosial terhadap penetapan agenda setting antara lain lingkungan politik, infrastruktur organisasi, dan kapasitas organisasi. Penelitian ini memiliki kelebihan dimana dalam penelitian ini menemukan bahwa kelembagaan dan aksi protes memiliki pengaruh dalam perubahan kebijakan atau hukum. Dalam penelitian ini juga diuraikan bahwa gerakan sosial dalam lingkungan politik hanya mampu mendukung pada tahap agenda setting, sedangkan jika dengan tindakan protes bisa merubah hukum atau kebijakan. Meskipun demikian, 11 penelitian ini juga memiliki kelemahan dimana dalam penelitian ini peneliti tidak memperhitungkan lobbying yang dilakukan terhadap legislatif yang kemungkinan dapat menjelaskan hasil dari kebijakan publik. Penelitian tentang peran dan pengaruh gerakan sosial dalam proses perumusan kebijakan juga dilakukan oleh Kai Hong Ng (2013) yang berjudul Social Movement and Policy Capacity in Hongkong: An Alternative Perspective yang dilakukan di Hongkong. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa gerakan sosial baru dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah pada tahapan perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan. Gerakan Sosial dapat mempengaruhi proses kebijakan publik jika dalam pemerintahan terjadi krisis kapasitas kebijakan dan kesempatan politik yang terbuka bagi gerakan sosial. Dalam penelitian tersebut tidak disebutkan contoh gerakan sosial yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan menggunakan teori Gerakan Sosial Baru, sehingga tidak jelas gerakan sosial yang seperti apa yang bisa diklasifikasikan menjadi Gerakan Sosial Baru. Penelitian ini memiliki kelebihan dimana menguraikan dan menjelaskan kerangka kerja yang memungkinkan untuk melakukan analisis new social movement serta menjelaskan peran gerakan sosial baru dalam mempengaruhi pemerintah dalam perumusan dan implementasi kebijakan. Penelitian ini membuktikan bahwa struktur politik (meso-level) memiliki peran yang penting dalam menjelaskan hubungan negara-masyarakat terutama terkait dengan new social movement dan dampaknya dalam kapasitas kebijakan. Meskipun demikian, penelitian ini juga memiliki keterbatasan yang perlu diperhitungkan untuk studi gerakan sosial dimasa depan. Dalam penelitian kasus yang digunakan hanya satu kasus saja, hal tersebut tidak cukup untuk menjelaskan hubungan yang kompleks antara new social movement dengan perumusan dan implementasi kebijakan publik. Selain itu adapula penelitian yang dilakukan oleh Fadaee (2011: 79) yang berjudul Environment Movements in Iran: Application of the New Social Movement Theory in the Non-Europhean Context. Penelitian ini membahas tentang aplikasi teori New Social Movement dalam gerakan lingkungan yang ada di Iran. Riset ini berusaha untuk memberikan wawasan ke dalam kehidupan gerakan sosial di Iran dengan menggunakan teori New Social Movement. Riset ini menghasilkan fakta bahwa tindakan kolektif yang muncul di dalam isuisu lingkungan juga dianggap sebagai gerakan sosial. Selain itu, penelitian ini juga 12 menghasilka karakteristik gerakan lingkungan yang ada di Iran. Penelitian ini menarik karena menguraikan dan menjelaskan aplikasi teori new social movement pada gerakan lingkungan di Iran dimana sejarah Iran dengan Eropa (teori new social movement muncul) memiliki perbedaan. Meskipun demikian penelitian yang dilakukan Fadaee memiliki kelemahan dimana hanya satu saja gerakan yang diteliti, satu gerakan tidak mampu mengeneralisasikan keseluruhan gerakan lingkungan di Iran. Penelitian tentang Gerakan Sosial Baru juga dilakukan oleh Sari (2014) dengan judul Occupy Wall Street sebagai Sebuah Gerakan Sosial Baru. Penelitian ini menggunakan paradigma identitas kolektif untuk menganalisis gerakan sosial Occupy Wall Street. Penelitian ini menghasilkan bahwa gerakan sosial dengan kemampuannya membangun identitas kolektif mampu merangkul semua kalangan. Kemajuan teknologi informasi melalui internet juga mampu mengabarkan, aksi, isu, ide, dan berita terkait gerakan tersebut kepada seluruh dunia. Penelitian ini menarik karena menggambarkan bagaimana kemajuan teknologi dapat membantu gerakan untuk menyebarkan informasi ke seluruh dunia. Meskipun demikian, dalam penelitian ini terlalu tidak menyertakan dampak-dampak apa yang akan diperoleh suatu gerakan jika menggunakan teknologi sebagai suatu alat untuk menyampaikan aksinya. Rusnim (2015) juga melakukan penelitian tentang penerapan teori Gerakan Sosial Baru dengan menggunakan paradigma Mobilisasi Sumber Daya yang berjudul Strategi Merubah Perilaku Masyarakat Bone-Bone: Studi Tentang Mobilisasi Sumber Daya pada Gerakan Sosial di Bone-Bone. Hasil penelitian ini menunjukkan keberhasilan gerakan sosial disebabkan oleh kekuatan aktor. Setiap aktor yang ada dalam kelompok mencari dukungan melalui penggunaan jaringan sehingga bisa mengajak berbagai pihak bergabung dalam gerakan. Gerakan sosial tersebut memfokuskan penggunaan sumber daya untuk merubah pemikiran dan mengontrol langsung tindakan keseharian masyarakat yang mampu menciptakan perubahan. Penelitian ini menarik karena menjelaskan bagaimana aktor dapat mempengaruhi sebuah gerakan, sesuai dengan teori mobilisasi sumber daya pada gerakan sosial. Meskipun demikian dalam penelitian ini tidak menjelaskan faktor lain selain sumber daya yang muncul pada temuan dilapangan, peneliti hanya fokus pada keberadaan aktor. 13 Yuanjaya (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Modal Sosial dalam Gerakan Lingkungan: Studi Kasus di Kampung Gambiran dan Gondolayu Lor, Kota Yogyakarta, membahas tentang gerakan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi degradasi lingkungan khususnya di kawasan kampung bantaran sungai. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika dan capaian gerakan lingkungan serta menganalisa pengaruh modal sosial dalam gerakan lingkungan. Hasilnya menyatakan bahwa modal sosial memberikan pengaruh yang besar terhadap berjalannya suatu gerakan lingkungan. Modal sosial yang dimaksud antara lain adalah kepercayaan secara internal dan eksternal, jaringan sosial, resiprositas (perubahan kondisi, perilaku, dan sosial ekonomi), konsistensi, tindakan proaktif, dana, waktu, loyalitas, serta inisiatif dan inovatif. Penelitian ini menarik karena membandingkan dua gerakan lingkungan yang memiliki keberhasilan yang berbeda. Dalam jurnal yang berjudul The Korean Environmental Movement: Green Politics through Social Movement (Ku, 2010) mengangkat pertanyaan: 1) Mengapa gerakan lingkungan tumbuh begitu cepat di Korea; 2) Bagaimana kondisi struktur dan proses mobilisasi sumberdaya dari “politik hijau melalui gerakan sosial” (green politics through social movement). Jurnal ini mencoba me-review kasus yang terjadi di Korea, Taiwan, China, Jerman, USA, dan Jepang. Kesimpulan dari jurnal tersebut menyatakan bahwa gerakan lingkungan di Korea berkembang karena problem lingkungan dan industrialisasi yang cepat. Itu lebih dari akibat proses sosial dan politik spesifik yang dihubungkan dengan reaksi populer dari permasalahan lingkungan. Kekuatan gerakan-gerakan lingkungan secara sosial mengkonstruksikan problem lingkungan dan membuat keterbukaan dalam struktur kesempatan politik terbaik. Penelitian lain juga dilakukan oleh Hussey (2014) dengan penelitian yang berjudul Political Action versus Personal Action: Understanding Social Movement’ Pursuit of Change Through Nongovernmental Channel. Penelitian tersebut dilakukan di Amerika Serikat pada komunitas “Pregnancy Help” dimana gerakan ini membantu ibu hamil dan melahirkan untuk menggunakan alat modern dan meninggalkan “cara” tradisional. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori gerakan sosial baru. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa gerakan sosial baru tidak hanya menargetkan perubahan negara dan aksi politik, melainkan lebih kepada gerakan solidaritas, perubahan kultur dan bagaimana menyelesaikan 14 masalah. Penelitian ini menarik karena peneliti menguraikan dan menjelaskan mengapa banyak aktivis pro-life yang melawan aborsi melakukan aksinya melalui pendekatan untuk mengubah mindset individu dan atau masyarakat dengan menyediakan layanan persalinan, bukan dengan menuntut adanya perubahan kebijakan atau hukum tentang aborsi. Meskipun demikian, dalam penelitian ini tidak ditunjukkan adanya kelompok pembanding yang melakukan gerakan pro-life yang melakukan aksinya dengan pendekatan politik untuk mengubah suatu kebijakan atau hukum. Penelitian ini akan mengisi gap yang ada, yaitu penelitian ini akan menguraikan dan membahas proses tahapan pembentukan gerakan lingkungan, faktor-faktor yang menentukan keberhasilan gerakan, serta implikasi keberadaan gerakan lingkungan pada implementasi kebijakan lingkungan. Penelitian ini mengambil kasus dari enam gerakan lingkungan yang ada di Indonesia. 15