1 Fenomena Through The Line dan Ambient Media di Tengah Media Periklanan Konvensional Rudi Irawanto Jurusan Seni Dan Desain, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Abstrak Media Iklan dewasa ini telah mengalami perkembangan yang pesat secara teknis dan konseptual. Seorang komunikator iklan berupaya menunjukkan starategi pesan demi meningkatkan perhatian dan sekaligus mempersuasi audien. Iklan lini atas dan lini bawah yang seringkali dipakai sebagai media iklan lambat laun mengalami titik kejenuhan. Seorang komunikator visual akhirnya perlu mengantisipasinya.. Maka peran periklanan trough the line dan Ambient Media dibutuhkan dalam membentuk citra produk atau perusahaan secara efektif Abstract Today advertising media has a rapid technical and conceptual development. Visual communicator always try to show message strategy in order that increasing audiences antention and also persuading audiences to purchase. Above the line and below tha line media are usual media that used for advertising media finally has a saturation. Audiences are boring to watch it anymore. So through the line and ambient media are used to build product images more effectively. Data dari AC Nielsen menunjukkan bahwa tidak lebih 40% pemirsa televisi yang tertarik dengan iklan. Pembelian produk lebih banyak dipengaruhi oleh situasi terakhir di depan rak-rak toko. Fenomena yang semakin mengukuhkan peran media in store sebagai ujung tombak penjualan. Iklan dinilai tidak lagi membumi dan mengambil jarak yang terlampau jauh dengan keinginan konsumen. Konsumen yang pada awal perkembangan pasar dimaknai sebagai pihak yang pasif dan sangat tergantung pada produsen, pada gilirannya semakin otonom. Produsen tidak mampu mengedukasi pasar tanpa menanamkan keterlibatan konsumen dalam proses pemasaran yang tengah dijalankan. 2 Konsep tradisional marketing senanantiasa menempatkan media, khususnya televisi, sebagai sarana handal untuk membangun performa produk atau merek di mata konsumen. Prinsip tersebut mulai bergeser ketika pasar semakin kompetitif sehingga penempatan iklan dalam konteks above the line (media lini atas) maupun below the line (media lini bawah) dipandang tidak lagi relevan. Prinsip “radical marketing” cenderung berfikir “out of the box”, berfikir di luar kerangka yang sudah ada. Prinsip tradisional lebih terfokus pada produk dan benefit (produk as hero) yang ditawarkan, sedangkan konsep radical marketing lebih terfokus pada pelanggan (consumer) sebagai end user langsung. Jabaran konsep radical marketing tidak semata-mata menyajikan konsep pemasaran dengan pendekatan hard selling, tetapi lebih kepada penciptaan persepsi positif dan empati konsumen melalui berbagai lini yang saling terintegrasi. Fenomena pemasaran yang beriringan dengan kejenuhan konsumen terhadap periklanan. Iklan yang terlampau banyak, utamanya pada media televisi, mulai diragukan efektivitasnya. Fenomena yang oleh Ries (2004) dinilai sebagai akhir dari kejayaan periklanan. Iklan telah mencapai titik terendah dalam kontribusinya untuk mendorong penjualan. Era yang oleh Ries disebut sebagai masa kematian periklanan dan kebangkitan peran public relation. Peran public relation dalam mendorong citra perusahaan atau citra merek dinilai lebih handal dibandingkan melalui kampaye periklanan. Kejayaan peran PR dalam kaca mata Ries lebih disebabkan peran komunikasi personal yang lebih baik dan berjalan secara simultan, sebuah kondisi yang sulit digantikan oleh bentuk periklanan konvensional Fenomena pasar yang semakin kompetitif, konsumen yang semakin selektif dan ditunjang oleh semakin miskinnya peran iklan dalam mengangkat penjualan produk, melahirkan beberapa konsep periklanan baru dan prinsip-prinsip pemasaran yang elastis. Periklanan tidak lagi dimaknai sebagai lini yang mengambil jalan berbeda dengan kebijakan marketing secara umum. Marketing tidak lagi berbicara tentang jalur-jalur produksi dan distribusi semata-mata. Pemaduan konsep marketing mix dalam satu jalur yang saling terintegrasi pada gilirannya menempatkan konsumen sebagai target dan sekaligus pijakan awal dalam bentuk-bentuk komunikasi pemasarannya. Bentuk-bentuk periklanan dalam 3 kerangka throght the line dan penggunaan ambient media merupakan salah satu upaya memodifikasi pemasaran yang menempatkan konsumen acuan. PRINSIP “USANG” PERIKLANAN KONVENSIONAL Periklanan secara konvensional dimaknai sebagai tindakan persuasif untuk mempengaruhi audiens. Audiens diposisikan sebagai pihak yang pasif dan tidak otonom, sehingga setiap keputusan pembelian merupakan akibat panjang dari bentuk-bentuk perlakuan ekternal. Posisi konsumen sebagai pihak yang berjarak dengan produk-produk sehingga tindakan promosi diperlukan untuk mempersempit jarak tersebut. Pemberian citra-citra terhadap produk, yang pada gilirannya akan merubah persepsi konsumen merupakan salah satu indikasi keberhasilan proses periklanan yang dilakukan. Perkembanan perekonomian yang diiringin perkembangan oreintasi produk melahirkan teori-teori periklanan baru. Keberadaan produk tidak lagi dilihat sebagai bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan fisik semata-mata, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan psikologis. Konsumen tidak lagi dinilai sebagai sosok yang hanya berbicara pada tataran rasionalitas, tetapi pada perkembangannya lebih mengedepankan sisi emosionalitas (Kartajaya: 2003). Pembelian terhadap produk tidak lepas dari pertimbangan emosionalitas. Dimensi emosionlitas terlepas relasi gender ataupun usia, persepsi yang dapat muncul pada konsumen laki-laki maupun perempuan, atau pada usia muda maupun tua. Teori-teori periklanan baru dibangun untuk menjembatani perkembangan konsumen yang memiliki perubahan orientasi produk. Prinsip-prinsip periklanan konvensional yang cenderung berfikir statis dinilai tidak lagi relevan untuk menjawab kebutuhan konsumen. Jim Aitchison (2004:48) melihat 8 kesalahan periklanan konvensional yang tidak lagi relevan dengan perkembangan fenomena konsumen diabad ke 21. Beberapa teori periklanan konvensional yang dinilai tidak relevan dengan perkembangan persepsi konsumen adalah: 1) Setiap kampanye periklanan harus senantiasa menampilan USP (Unique Selling Proposition) dari produk yang diiklankan. 2) Iklan yang baik senantiasa mengedepankan rational benefit. 3) Iklan bertema humor tidak memiliki daya jual. 4 4) Setiap produk harus mengetengahkan slogan yang mudah diingat. 5) Paparan visual iklan harus menampilan logo produk. 6) Tampilan visual produk harus selalu ditampilkan. 7) Setiap bentuk kampanye iklan harus senantiasa memiliki persamaan satu dengan lainnya. 8) Iklan-iklan kreatif tidak memiliki daya jual. Delapan hal tersebut yang dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan konsumen dewasa ini. Pendapat Aitchison tersebut pada prinsipnya lebih ditujukan untuk membangun preferensi terhadap merek. Contoh-contoh yang dikemukakan lebih banyak berkutat pada produk-produk yang telah memiliki preferensi kuat. Aitchison melihat penggunaan USP (Unique Selling Proposition) tidak lagi populer mengingat konsep USP senantiasa berbicara bila produk tersebut memiliki 3 aspek yaitu genuine, tangible, dan differences. Bila ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi maka sangat sulit menciptakan USP. USP telah tergantikan dengan konsep ESP (Emotional Selling Proposition). Konsep ESP lebih mengetengahkan pendekatan emosional, sisi USP dinilai tidak lagi relevan mengingat seorang konsumen memiliki keterbatasan ingatan terhadap fungsifungsi fisik semua produk. ESP membangun hubungan yang lebih customized dengan konsumen. Pembelian terhadap produk lebih disebabkan oleh ikatan emosional antara produk tersebut dengan konsumen. Fenomena penggunaan ESP dapat ditemui dalam iklan Suzuki Swift. ESP diungkapakan antara lain dengan slogan yang berbunyi It’s Boy Thing. Iklan tersebut tidak menawarkan kelebihan apa-apa, mengingat mobil jenis hatchback tidak hanya Swift, disegmen yang sama terdapat Toyota Yaris. Pendekatan rational benefit sebagai tema kampanye periklanan dinilai tidak lagi relevan dengan fenomena konsumen yang semakin tidak rasional. Atchitson (2004:54) melihat bahwa 90% otak manusia dipenuhi oleh hal-hal yang irrasional, fakta yang memperkuat peran irrational benefit sebagai tema kampanye periklanan. Differensiasi merek hanya dapat diciptakan melalui pembentukan karisma merek. Kharisma merek hanya mampu diciptakan dengan spritual value, yang didalamnya merangkum tidak hanya functional value tetapi juga emotional 5 dan intellectual value (Kartajaya, 2003:72). Spiritual value merupakan salah satu bentuk dari hal-hal yang bersifat irasional. Mahbubani (1997) mencatat ada banyak perbedaan cara berfikir antara Eropa dan Asia. Orang-orang Asia masih menaroh pendekatan spiritual dalam pola fikirnya (Batey, 2002:35). Hal yang sama terkait dalam persoalan humor. Humor merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam cara berfikir di Asia. Humor merupakan salah satu kekuatan yang dinilai mampu menjadi daya tarik penjualan. Fenomena humor mulai menjadi perhatian yang serius dalam konsep periklanan modern. Kenneth Roman (2005:117) mencatat bahwa diantara 30 iklan yang menang dalam festival iklan dalam 10 tahun terakhir, dua pertiga dari iklan tersebut menggunakan humor sebagai daya tariknya. Beberapa iklan dalam konteks through the line banyak mengetengahkan humor sebagai daya tariknya. Periklanan tidak lagi berpijak pada konsep produk as hero, tetapi dibingkai sebagai bentuk differensiasi, yang disalurkan dalam bentuk yang fun. Timoty Foster (2006) menyebut 10 benchmarks (patokan) yang berkaitan dengan slogan yaitu memorable, recall the name, mengandung key benefit, differentiate, mencerminkan brand personality, believable, strategic, competitive, original, dan menimbulkan positive feeling. Konsep Foster tentang slogan dinilai tidak relevan untuk produk-produk yang telah memIliki brand awareness tinggi. Slogan yang memorable tidak selalu mampu meningkatkan persepsi terhadap merek. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah menciptakan sisi emotional benefit. 6 Gambar 1. Iklan situs klinik impotensi. Iklan kreatif yang tidak banyak menampilkan tulisan, terdapat nuansa humor, dan tanpa slogan. Iklan-iklan yang mengedepankan sisi emosional benefit, lebih banyak berbicara secara visual. Elemen logo dalam visualisasi iklan tidak lagi menjadi suatu keharusan. Karakteristik produk dapat dibangun dengan elemen warna yang khas, penggunaan tipografi yang spesifik, komposisi yang unik atau melalui gaya bahasa yang khas. Komposisi warna, tipografi ataupun gaya bahasa, dinilai mampu menggantikan kehadiran logo. Bentuk periklanan yang semakin customized, sehingga tidak mampu diterjemahkan oleh setiap audiens yang melihat. Produk yang berbicara pada sisi emosionalitas tidak memerlukan paparan visual yang berkesan menggurui. Paparan visual yang sederhana tanpa menampilkan produk yang bersangkutan menjadi suatu yang lazim. Iklan-iklan berbicara melalui visualisasi simbolis dengan mengetengahkan teks yang sangat minimal. Prinsip similaritas dalam setiap kampanye periklanan dinilai tidak relevan dengan perkembangan pemahaman konsumen. Prinsip similaritas tidak lagi diwujudkan dalam tampilan visual, tetapi lebih pada ketaatan terhadap persepsi dan citra produk yang bersangkutan. Kondisi tersebut diciptakan dengan menampilkan citra produk secara taat pada beberapa media yang berbeda. Fenomena yang lebih menekankan pada prinsip emotional branding. Prinsip periklanan dengan konsep hard selling, tidak berbicara pada tataran kreatifitas, tetapi lebih berpedoman pada fluktuasi penjualan sesaat. Konsep periklanan yang mengabaikan kreativiats sebagai salah satu elemen penunjang citra produk. Konsekwensi dari hal tersebut adalah keberadaan iklan-iklan kreatif dianggap tidak mampu memberikan dampak marketing yang serius. Perkembangan konsep periklanan yang terintegrasi menunjukkan bahwa iklaniklan kreatif mampu mendongkrak penjualan secara signifikan. Kreativitas periklanan, baik yang disampaikan dengan visualisasi yang tidak lazim ataupun dengan muatan humor yang kental, pada beberapa kasus mampu menimbulkan impact yang positif terhadap produk. 7 FENOMENA PERIKLANAN KREATIF DALAM KONTEKS THROUGH THE LINE DAN AMBIENT MEDIA Konsep through the line pada mulanya merupakan upaya untuk membangun bentuk periklanan yang terintegrasi antara media lini atas dan media lini bawah. Media lini atas (above the line) dan media lini bawah (bellow the line) dinilai tidak mampu memenuhi fungsinya secara optimal. Through the line (pada lini) merupakan bentuk pendekatan holistik dan disinyalir merupakan bentuk masa depan periklanan (Lwin, 2002:93). Para praktisi iklan tidak hanya mengandalkan media massa sebagai media penyampai pesan yang efektif. Gambar 2. Iklan Wonderbra. Aplikasi Through the line pada iklan Wonderbra Ambient media (media lingkungan) merupakan bentuk periklanan yang memanfaatkan lingkungan sekitar media iklan sebagai bagian dalam kegiatan periklanan yang dilakukan. Ambient media selalu berpijak pada unsur kejutan sebagai konsepnya. Konsumen diharapkan memperoleh hal-hal yang baru yang dapat memberikan impact langsung terhadap produk atau merek yang tengah diiklankan. Pada gambar 3 diperlihatkan bahwa merek Nike (atas) memasang setiap logonya pada setiap tempat sampah, sehingga menyerupai keranjang basket ball. Sedangkan pada bagian bawah HSBC membuat sebuah cermin yang ditempeli foto sebuah mobil dengan ukuran yang sebenarnya dan disertai slogan “stop dreaming, start driving.” . 8 Gambar 3. Contoh ambient media dari merek Nike (atas) dan HSBC (bawah) Fenomena through the line dan ambient media merupakan salah satu upaya pengiklan untuk mengurangi kejenuhan terhadap periklanan konvensional. Periklanan konvensional senantisa berada dalam pada dua lini dan terikat pada tempat dan konteks yang “kaku”. Through the line dan ambient media berupaya menguraikan kekakuan pembagian media dan keterikatan pada konteks dengan menciptakan ruang beriklan yang bebas dan kreatif. Prinsip through the line dan ambient media adalah membangun hubungan relasional dengan audiens dengan jalan yang tidak terduga. Unsur impact dan “kejutan” yang muncul merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan periklanan yang dilakukan. Iklan yang disuguhkan diharapkan memberikan pengalaman baru. Pengalaman yang terbentuk tidak semata-mata berperan sebagai entertainment, tetapi juga mampu meningkatan preferensi merek. Media periklanan yang tidak terikat pada lini, menyebabkan eksplorasi media harus senantiasa dilakukan. Keberhasilan through the line dan 9 ambient media tidak semata-mata tergantung pada eksekusi visual, tetapi juga ditujang oleh respon audien dan lingkungan sekitar iklan. Konsep media, lingkungan visual, dan keberadaan audiens aktif menjadi satu kesatuan yang menentukan keberhasilan proses periklanan yang dilakukan. Media komunikasi periklanan berdasarkan tingkat kedekatan dengan konsumen dapat dikategorikan dalam 3 hal, yaitu media in home, ini life experience, dan in retail. Periklanan medern tidak bekerja pada satu aspek media semata-mata. Konsep periklanan yang terintegrasi berupaya mengedukasi konsumen pada setiap kesempatan. Edukasi terhadap sebuah merek tidak melulu dilakukan di rumah (in home), tetapi juga dilakukan pada kegiatan yang sering mereka lakukan (in life experience), dan juga pada saat pembelian (in store). Konsep through the line dan ambient media dapat dilihat sebagai upaya penciptaan experience yang unik bagi pelanggan. Penanaman brand awareness disalurkan melalui pemupukan kedekatan emosional yang customized. Through the line dan ambient media merupakan bentuk periklanan yang tidak bersifat massal. Perilaku konsumen dilihat secara indiviual, sehingga setiap produk diasumsikan memiliki karakter konsumen yang unik yang khas. Pada prinsipnya segmentasi produk yang jelas menjadi penentu utama keberhasilan kampanye iklan yang dijalankan. Pemahaman terhadap sisi psikografik dan behavioristik konsumen merupakan salah satu elemen yang harus dipahami oleh pengiklan. Inti dari through the line dan ambient media adalah penciptaan experience. Penciptaan experience hanya mungkin dilakukan bila produk telah memiliki segmen yang spesifik (segmented) dan pemasar telah memahami karakter konsumen secara menyeluruh. Penciptaan experience dalam konteks marketing dapat dicapai dengan dua tindakan, yaitu brand experience dan costumer interface. Brand experience disalurkan dalam bentuk pencitraan terhadap produk yang bersangkutan, misalnya dalam paparan visualisasi logo, kemasan, interior ruang, style produk dan hal-hal yang sifatnya visual. Costumer interface lebih banyak dilakukan oleh oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa. Inti tidakan costumer interface adalah interaksi langsung dengan pelanggan, menggunakan berbagai media dan dilakukan dalam berbagai kesempatan. 10 Through the line dan ambient media sebagai sebuah wilayah periklanan baru keberadaannya sejalan dengan konsep Costumer Experience Strategi (CES) dalam marketing. Konsep Costumer Experience Strategi meyakini keberhasilan pemasaran melalui penciptaan experience (Experiental marketing) bagi pelanggan. Konsep CES bergerak pada 5 komponen yaitu konsep sense, feel, think, act, dan relate (Schmitt, 2006). Inti dari CES adalah melihat konsumen secara indivual sehingga setiap konsumen dimaknai memiliki sikap dan tindakan yang khas. Antisipasi terhadap sikap dan tidakan tersebut, yang dikemas dalam bentuk pengalaman ketika memperoleh atau mengkonsumsi produk, akan menimbulkan experience terhadap produk yang dipasarkan. Fenomena tersebut pada gilirannya diharapkan menumbuhkan persepsi positif terhadap produk atau layanan jasa yang diberikan produsen. Periklanan dan tindakan marketing lainnya berjalan secara terintegrasi. Penciptaan pengalaman tidak melulu urusan marketing tetapi juga menjadi bagian dalam program periklanan yang dijalankan. Konsep pemasaran terpadu (Integrated Marketing Communication) merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap kejenuhan pasar dan tanggapan negatif terhadap iklan. Iklan yang “tidak biasa” diharapkan mampu mencuri perhatian diatara “hiruk pikuk” iklan yang ada. Pengalaman yang unik terhadap produk dan bentuk periklanan kreatif pada gilirannya akan meningkatkan citra produk secara lebih baik. SEKILAS THROUGH THE LINE DAN AMBIENT MEDIA DI INDONESIA Penggunaan konsep pada lini (through the line) dan media lingkungan (ambient media) di Indonesia belum banyak dijumpai. Salah satu contoh penggunaan ambient media di Indonesia dapat dijumpai pada iklan susu bendera (gambar 4). Iklan yang dikemas sangat kreatif, dengan mamadukan unsur bellow the line (poster) dengan properti real. Keberadaan endorser produk, yaitu Anton Taminsyah sebagai juara catur dunia antar sekolah tahun 2005 dan Diandra, best power forward Kejurnas Libala 2004 divisualisasikan dalam bentuk poster dalam ukuran yang sebenarnya, sedangkan properti lainnya merupakan properti yang real dalam bentuk dan ukuran yang sebenarnya. 11 Gambar 4. Iklan Susu Bendera. Iklan dalam kemasan Ambient Media Ide-ide kreatif dalam periklanan di Indonesia tidak selalu kalah dengan kreativitas periklanan manca negara. Pada beberapa kasus dapat dijumpai modelmodel iklan dan teknik marketing kreatif dengan menggukan media yang tidak biasa. Beberapa iklan keratif di Indonesia diantaranya iklan Mezzo, yang menggunakan media balon udara, gerai Eiger dengan display lingkungan petualang, Softek yang meluncurkan tagline repostioning bersama ADA Band atau JnA Donuts yang menampilkan pesona dapur dalam toko donatnya. Fenomena through the line dan ambient media merupakan hal baru di Indonesia, tetapi bentuk-bentuk kerativitas periklanan sudah mulai lama dijalankan. Persoalan yang sering timbul adalah persepsi masyarakat Indonesia yang beragam, sedangkan keberadaan through the line dan ambient media hanya mungkin dilakukan bila kelas-kelas masyarakat telah memiliki preferesi yang cenderung homogen. Homogenitas perseptual merupakan salah satu faktor yang mampu mendorong kreativitas periklanan. Pada prinsipnya media periklanan keratif bertujuan menciptakan clarity, consistency, dan maximum communications impact. 12 KESIMPULAN Fenomena Through the line dan ambient media hadir untuk menjawab kejenuhan periklanan, sehingga iklan diharapkan mampu tampil secara tidak biasa sehingga mampu menarik perhatian lebih. Impact dan kejutan yang timbul pada gilirannya diharpkan mampu mengangkat persepsi dan citra produk yang diiklankan. Through the line dan ambient media dapat berjalan bila terdapat kerjasama yang ideal antara visualisasi iklan, lingkungan sekitar, dan audiens yang responsif. Keberadaan through the line dan ambient media dapat berjalan dengan baik bila terdapat persepsi positif terhadap karya-karya periklanan kreatif, mengingat iklan-iklan kreatif memiliki potensi mengundang kontroversi. DAFTAR PUSTAKA Aitchison, Jim. 2004. Cutting Edge Advertising How To Create The World’s Best Print for Brand in The 21st Century. Singapore: Pearson Pretice Hall. Batey, Ian. 2003. Asian Branding A Great Way to Fly. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Kartajaya, Hermawan. 2003. Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lwin, May dan Jim Aitchison. 2005. Clueless In Advertising. Jakarta: BIP. Roman, Kenneth. 2005. How to Advertise- Membangun Merek dan Bisnis Dalam Dunia Pemasaran Baru. Jakarta: Elex Media Komputindo.