SANKSI PIDANA PUNGLI OLEH PIHAK SEKOLAH

advertisement
SANKSI PIDANA PUNGLI OLEH PIHAK SEKOLAH (SUATU TINJAUAN
HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM)
Oleh
Nuruz Zaman
NIM : 106045101511
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/ 2011 M
Lembar Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Mei 2011
Nuruz Zaman
Penulis
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “TINDAK PIDANA PUNGLI
OLEH PIHAK SEKOLAH (SUATU TIN'JAUAN HUKUM POSITIF DAN
HUKUM PIDANA ISLAM)” yang merupakan kewajiban bagi Mahasiswa Program
Sarjana (S-1) Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah
satu persyaratan dan merupakan tugas akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana (S1).
Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu Penulis banyak memperoleh bantuan
dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang
tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan
ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Afwan Faizin, M.A, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku dosen
pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dari awal hingga selesainya
penulisan skripsi ini dan terima kasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati
i
serta nasihat-nasihat berharga yang bapak dan ibu berikan, semoga bapak dan ibu
selalu dilindubgi Allah SWT.
5. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis.
6. Kepala dan Seluruh Staff/Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan
Skripsi ini.
7. Lebih khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :
a. Kepada Ayahanda (H. Abdul Hakim) dan Ibunda (Hj. Siti Andalusia), yang
tiada terkira jasanya dalam membantu penulisan Skripsi ini serta memberikan
dukungan moril maupun materil hingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini.
b. Kepada Kakek H. Yusuf Hasyim dan (Alm.) Nenek Hj. Jamaliyah, dan (Alm.)
Kakek Asmawi bin H. M. Nuh dan
c. Kepada (Alm.) Om Nirwan Mahdi, Om Obor Yusuf Putra, Om Yusja Hasyim,
Om Irawan Firdaus, Om Novian Asmar, Om Agam Iriansyah, Bunda Sri
Soraya Setiawati, Om Budi Habura, (Alm.) Tante Aslamiyah, Tante Hairiyah,
(Alm.) Om Sanusi, Tante Jubaidah, Tante Aswati, Tante Atika, Tante
Hikmah, Tante Nurjanah, Om Holid, Tante Holidah, (Alm.) Tante Asmarah,
yang juga memberikan motivasi yang tiada terkira agar Penulis senantiasa
cepat lulus dan menjadi orang sukses. Amien.
d. Kepada kakak Penulis Iqbal Alamsyah dan adik-adik Penulis tercinta
Dzakiyyah dan Muhammad Zaki, serta saudara sepupu penulis juga Ridwan
ii
Effendi, Syarifah Nadia, Fadly Kurniawan, Saiful Bahari, Azka, Lya, Wildan,
Radiv, serta yang masih kecil dan belum sekolah seperti Adrian Hafidz. Tetap
semangat dalam menuntut ilmu dan melanjutkan Pendidikan.
8. Teman-teman PI angkatan 2006 seperti, Wismoyo, Rangga, Mahfuddin, Dayat,
Muchsin, Fandi, Safrowi, Fitroh, Isa, Amir, Eril, Husen, Buldan, Haris, Aris,
Faris, Guruh, Kholid, Yuswandi, Nisa, Attin, Wahyuni, Bunga Intan, dsb.
Kebersamaan dan kesolidan kita selama perkuliahan dan pergaulan yang
terkadang diselingi dengan berbagai aktivitas canda tawa memberikan arti
pentingnya sebuah persahabatan yang tak terlupakan dan menjadi sebuah catatan
sejarah bagi kita semua. Waktu terus berputar, dan masih banyak hal yang mesti
saya lanjutkan selain kuliah di UIN ini. Maaf, saya duluan Lulus, Tetap semangat
kawan-kawan! Doa dan Harapanku senantiasa selalu menyertai kalian semua agar
temen-temen semua cepat lulus dan sama-sama menjadi orang yang sukses.
Amien
9. Seluruh mahasiswa PI Good Luck Dhori, Fahdun, Tamidzi, Mamet, Santi, Hurry,
Fikri, Safar, Ichal, Fitri, Indah, Fahdun, Amin, Edo, dsb. Jadikanlah BEM sebagai
wadah organisasi intra bagi mahasiswa/i PI yang membantu meningkatkan
keilmuan mahasiswa PI disamping ilmu dalam perkuliahan.
10. Seluruh teman-teman KKS, Muhammad Ilyas, Fadhrul Rahman, Fathur Robih,
Muhammad Jamil, Armansyah, Nur Khozin Maki, Muhammad Imad Hamdi,
Nurmalina, Chairul Azhar, Husen Qodri, Fatimah Azzahro, Siti Rihanah, Paridah
Aini Nasution, Sigit Arga Saputra, Tunjung Hapsari, Ajun Effendi, Az Zahra,
Safitri Damayanti, Dwi Wijayanti sukses selalu, dan juga keluarga Pak Wawan.
iii
11. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada seluruh pihak yang tidak
sempat penulis sebutkan satu per satu atas jasa dan partisipasinya dalam
penulisan Skripsi ini saya ucapkan terima kasih. Semoga apa yang kalian berikan
di balas oleh Allah SWT. Amin
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat
membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan
masalah ini. Amin
Jakarta, 03 Agustus 2011
Nuruz Zaman
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................
i
Daftar Isi................................................................................................................
v
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………. 5
C. Tujuan Penelitian……………………………………………… 6
D. Metode Penelitian……………………………………………… 7
E. Tinjauan Pustaka………………………………………………. 9
F. Sistematika Penulisan………………………………………….. 10
BAB II
: PENGERTIAN UMUM TINDAK PIDANA, SANKSI PIDANA
DAN PUNGLI
A. Pengertian Tindak Pidana……………………………………… 12
B. Pengertian Sanksi Pidana……………………………………… 15
C. Pengertian Pungli……………………………………………….27
BAB III
: PENGERTIAN UMUM TENTANG PENIPUAN,
PEMERASAN, DAN PUNGUTAN LIAR
v
A. Penipuan, Pemerasan dan Pungutan Liar Menurut Hukum
Positif…………………………………………………………... 29
B. Penipuan, Pemerasan dan Pungutan Liar Menurut Hukum
Islam…………………………………………………………….45
C. Al-Maksu Sebagai Sebuah Kejahatan Ekonomi di Masa
Nabi SAW………………………………………………………60
BAB IV
: SANKSI PIDANA BAGI PELAKU PENIPUAN, PEMERASAN
DAN PUNGUTAN LIAR
A. Sanksi Pidana Penipuan, Pemerasan, dan Pungutan Liar
Menurut Hukum Positif………………………………………... 62
B. Sanksi Pidana Penipuan, Pemerasan, dan Pungutan Liar
Menururt Hukum Islam………………………………………... 69
C. Perbandingan Sanksi Pidana bagi Pelaku Pungutan Liar oleh
Pihak Sekolah antara Hukum Positif dan Islam………………...78
BAB V
: PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………...................... 85
B. Saran………………………………………................................ 86
DAFTAR PUSTAKA………………………………………...................................89
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan arah kebijakan pemerintah, program pembangunan
pendidikan perlu ditetapkan sebagai elemen sentral pengembangan sumberdaya
manusia. Peningkatan mutu pendidikan merupakan langkah strategis dalam
pengembangan sumberdaya manusia.
Maka, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan pendidikan yang
gratis dan bermutu kepada setiap warga negara sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 31 Ayat dan Amandemen UUD 1945:
(1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.
Amanat konstitusi ini diperkuat lagi dengan penjelasan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang berbunyi pada Pasal 34:
2
(1)Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut
biaya.
(2)Wajib
belajar
merupakan
tanggung
jawab
negara
yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
Untuk itu, pertama-tama, kebutuhan tenaga pendidikan harus tercukupi,
dan kualitas tenaga pendidik perlu terus ditingkatkan baik dari segi kompetensi,
sikap-mental dan etika profesi. Saat ini, pendidikan di Indonesia sangat
memprihatinkan disebabkan faktor ekonomi yang dialami oleh banyak rakyatrakyat yang kurang mampu, dengan demikian pemerintah sangat mengedepankan
pendidikan di negara ini. Untuk mempercepat program wajib belajar 9 tahun
yang direncanakan tuntas pada tahun ajaran 2008-2009 pemerintah berupaya
untuk menyukseskannya dengan berbagai upaya, dengan salah satu progamnya
adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dibiayai Program Kompensasi
Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM).1
Program ini telah dilaksanakan sejak tahun ajaran 2005-2006. Karena,
BOS adalah program nasional dan memiliki misi yang sangat mulia untuk
menuntaskan Wajib Belajar 9 Tahun maka agar pelaksanaan BOS tepat sasaran,
tepat guna dan tepat waktu, maka dengan kegiatan sosialisasi, monitoring dan
1
Pena Pendidikan, Nomor 5, Tahun 1, September 2006, h. 2.
3
evaluasi yang baik serta sanksi yang tegas diharapkan penyimpangan dan
penyelewengan dalam pelaksanaan program dapat dihindari.2
Namun, pada kenyataannya sejak program BOS ini berjalan dari tahun
ajaran 2005-2006, masih banyak praktik-praktik yang terjadi di sekolah-sekolah.
Dari data yang penulis peroleh dari Indonesian Corruption Watch (ICW) yang
dikutip dari http://news.okezone.com. Menurut Koordinator Bidang Monitoring
Pelayanan Publik ICW Ade Irawan, terdapat 61 sekolah yang sebagian besar
merupakan sekolah negeri dari 11 provinsi, termasuk di Jabodetabek, melakukan
pungutan liar terhadap para siswanya3.
Salah satunya dalam kasus Penerimaan Siswa Baru (PSB), pungutan
tersebut rata-rata dilakukan pihak sekolah dengan modus menjual seragam, buku,
perlengkapan seragam, dan lain-lain. Motifnya, biasanya pihak sekolah beralasan
tidak memiliki anggaran untuk menjalankan program sekolah. Sehingga, dengan
segala cara pihak sekolah meminta pungutan terhadap orang tua siswa. Padahal
dana untuk anggaran tersebut telah disediakan oleh pemerintah. Seperti yang
tertera pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi pada Pasal 46 Ayat (2):
2
3
Ibid.
Okezone news, “ICW Laporkan Pungli Sekolah ke Kejagung”, artikel diakses 07 Oktober
2010 dari http://autos.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/08/05/1/133952/1/icw-laporkan-punglisekolah-ke-kejagung.
4
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan
anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008
Tentang Pendanaan Pendidikan pada Pasal 25 Ayat (1):
Pendanaan biaya personalia kantor penyelenggaraan dan/atau pengelolaan
pendidikan oleh pemerintah menjadi tanggung jawab pemerintah dan
dialokasikan dalam anggaran pemerintah.
Dari maraknya punggutan liar pihak sekolah yang membuat orang tua
murid merasa terbebani dengan kondisi tersebut. Karena sebagian besar para
orang tua murid di Indonesia berasal dari keluarga miskin yang tidak mampu
membayar biaya-biaya yang dibebankan sekolah kepada mereka.
Berdasarkan penulusuran penulis yang penulis dapatkan dari beberapa
informasi dari Internet bahwa banyak sekolah-sekolah yang melakukan
punggutan liar terhadap muridnya terlebih pada murid baru pada saat
pelaksanaan PSB. Masalah pungli di sekolah ini merupakan masalah lama yang
sampai pada saat ini belum dapat ditanggulangi secara menyeluruh. Punggutan
5
liar sekolah adalah suatu kenyataan, sehingga sekolah sering dianggap menguras.
Kegiatan ini lalu membengkak menjadi eksploitasi yang amat menguras.4
Bambang Sudibyo (Menteri Pendidikan Nasional Priode 2004-2009)
menilai beberapa penyebab terjadinya punggutan liar di sekolah ini diakibatkan
karena tingkatkan kesejahteraan tenaga pendidik. Karena itu, sambung Bambang,
sudah selayaknya gaji guru dinaikkan.5
Dari beberapa kejadian serta peristiwa yang terjadi dalam tindak pidana
punggutan liar yang dilakukan oleh beberapa pihak sekolah, peran serta guru
untuk tidak melakukan punggutan liar kepada siswa/i sangatlah penting dalam
menjaga moralitas dan martabat individu.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengeksplorasi
lebih jauh mengenai perbuatan-perbuatan punggutan liar yang dikriminalisasi
beserta sanksinya bagi para pelaku pungli di sekolah. Oleh karena itu penulis
menyusun skripsi dengan judul: “SANKSI PIDANA PUNGLI OLEH PIHAK
SEKOLAH (SUATU TIN'JAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM
PIDANA ISLAM)”.
4
5
Syarifudin Al Mandari, Rumahku Sekolahku, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), h. 3.
DetikNews, “Mendiknas Minta Bupati Tindak Pungli di Sekolah”, artikel diakses pada 26
Oktober 2010 dari http://www.detiknews.com/read/2006/08/31/141944/666223/10/mendiknas-mintabupati-tindak-pungli-di-sekolah.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara
sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis
perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan
pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Punggutan liar yang penulis maksud adalah pungutan liar yang terjadi
di sekolah-sekolah.
2. Hukum Islam yang penulis maksud, adalah kajian hukum Islam bidang
jinayah, yaitu hukum pidana Islam yang di antara pembahasannya
adalah tentang penipuan, pemerasan, dan pungutan liar.
3. Hukum positif yang penulis maksud, adalah Undang-undang yang
berhubungan dengan masalah pendidikan dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
Dari pembatasan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam
tentang Pidana Punggutan Liar di sekolah?
2. Apa sanksi bagi pelaku tindak Pidana Punggutan Liar di sekolah
menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam?
7
3. Bagaimana Perbandingan antara Hukum Pidana Positif dan Hukum
Pidana Islam tentang Pungutan Liar di sekolah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun Tujuan dan Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan mengenai pengertian penipuan dan pemerasan.
2. Menjelaskan tentang betapa pentingnya dana BOS kepada siswa/i.
3. Menemukan jenis dan sanksi hukuman bagi pelaku Tindak Pidana
Punggutan Liar di sekolah menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum
Pidana Islam.
Penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan akademisi maupun
masyarakat umum dalam rangka memperkaya wawasan bagi masyarakat luas
khususnya bagi umat Islam di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Dalam membahas masalah-masalah dalam penyusunan skripsi ini,
diperlukan suatu penelitian tidak lain untuk memperoleh data yang berhubungan
dengan masalah yang akan dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara
jelas dan akurat. Ada beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain:
8
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis pergunakan adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang
mempergunakan sumber data sekunder,6 yang mana pada hakekatnya
berarti mengadakan kegiatan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan
hukum tertulis tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Studi Dokumentasi, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang
penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat buku-buku dan undangundang yang terkait dengan pokok masalah yang akan diteliti.
3. Sumber Data
Sumber data yang penulis:
6
Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cet. I,(Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1999), h. 56.
9
a. Data primer, yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan
jawaban terhadap masalah penelitian.7 Buku-buku yang berkaitan
dengan bahan penulisan antara lain UU Nomor 23 Tahun 2003,
PPRI Nomer 48 Tahun 2008, dan buku-buku lain yang berkaitan
dengan pembahasan penulisan.
b. Data skunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini
yaitu kitab-kitab syarah hadis, artikel-artikel dan makalahmakalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam
skripsi ini.
4. Teknik Analisis
Adapun cara yang digunakan penulis dalam menganalisa datanya
adalah dengan teknikcontent analisys, yaitu pengolahan data dengan
menganalisis materi sesuai dengan pembahasan. Dalam hal ini materi
pokoknya adalah pengutan liar yang dilakukan oleh para pihak sekolah.
5. Teknik penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”
7
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 158.
10
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan dan penelusuran yang penulis lakukan, penulis belum
menemukan skripsi yang membahas mengenai punggutan liar ini. Namun, ada
satu skripsi yang sedikit berhubungan dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Lulu Il Maknun (102018224187) yang berjudul “Efektivitas
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Di
SMP al-madzhab Ciheulang-Bogor”. Dalam skripsinya ia membahas tentang
pentingnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam meningkatkan mutu
pendidikan.
Dengan demikian, bisa penulis kemukakan bahwa belum ada penelitian
mengenai punggutan liar di sekolah. Hal ini yang menjadi alasan penulis untuk
meneliti tentang pungutan liar di sekolah secara lebih mendalam dalam skripsi
ini.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini, dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi
menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. untuk lebih
jelasnya pembagian bab-bab sebagai berikut:
Bab I: Pada bab ini, penulis menjelaskan tentang kerangka dasar dengan
memaparkan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan
11
Bab II: pada bab ini, penulis memberikan gambaran kepada pembaca agar
lebih mudah memahami skripsi ini, maka terlebih dahulu penulis memberikan
gambaran tentang tindak pidana dan sanksi pidana serta pengertian pungli, yang
meliputi: pengertian tindak pidana, sanksi pidana yang ditinjau dari perspektif
hukum positif dan hukum Islam, dan pengertian umum mengenai pungutan liar.
Bab III: Pada bab ini memuat uraian teoritis yaitu mengenai pengertian
umum tentang, penipuan, pemerasan dan pungutan liar, agar diketahui oleh
pembaca, bahwa perbuatan pungli itu merupakan suatu tindak pidana penipuan
dan pemerasan.
Bab IV: pada bab ini, penulis memaparkan analisa penelitian ini
mengenai sanksi pidana penipuan, pemerasan dan pungutan liar, agar diketahui
oleh pembaca, bahwa pelaku akan dikenakan sanksi pidana bila terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana telah disebutkan di atas
Bab V: pada bab ini penulis menyimpulkan suatu permasalahanpermasalahan yang ada dan saran-saran.
12
BAB II
PENGERTIAN UMUM TINDAK PIDANA, SANKSI PIDANA DAN PUNGLI
A. Pengertian Tindak Pidana
1. Menurut Hukum Positif
Secara etimologis, kata tindak pidana terdiri dari dua kata, yaitu kata
tindak dan kata pidana. Kata tindak berasal dari bahasa Jawa yang artinya
perbuatan, tingkah laku, kelakuan dan sepak terjang. Sedangkan kata pidana
berarti kejahatan criminal dan pelanggaran.sementara kalau dilihat dari segi
hukum
bararti
hukum
mengenai
perbuatan-perbuatan
kejahatandan
pelanggaran terhadap penguasa.1
Dalam keterangan lain, pengertian yang lebih luas tentang tindak
pidana, ialah untuk menyatakan kongkrit sebagaimana halnya peristiwa
dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, dan gerak
gerik atau sikap jasmani seseoarang.2 Secara traditional, pidana dipandang
sebagai suatu nestapa (derita) yang dikenakan kepada si pembuat karena
melakukan suatu delik (kejahatan).3 Pembentukan undang-undang kita telah
menggunakan perkataaan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita
1
Poerwa Darminto, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
2
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), h. 55.
3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 27.
h. 1074.
13
kenal sebagai “ Tindak Pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit.” Perkataan “feit”
itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagina dari suatu kenyataan atau
“een gedeelte van de werkelijkheid,” sedangkan “strafbaar” berarti dapat
dihukum,, sehingga secara harfiah “strafbaar feit” itu dapat diterjemahakan
sebagai “bagaian darikenyataan yang dapat dihukum,” yang sudah barang
tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat
dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan, ataupun tindakkan.
Oleh karena itu seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa
pembentuk undang-undang kita itu tidak memberikan suatu penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan “strafbaar
feit,” maka timbullah di dalam doktrin pendapat tentang apa sebenarnya yang
dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut. Para sarjana hukum telah
menrumuskan suatu teori yang berbeda-beda di antara mereka, antara lain
ialah:
Pendapat Hazewinkel Suringa sebagaimana yang dikutip oleh
Lamintang dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia” bahwa
kata “strafbaar feit” adalah sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu
saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan
14
dianggap sebagai prilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan
menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di
dalamnya.4
Moeljatno mengatakan bahwa perkataan “strafbaar feit” secara
teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan yang mana disertai suatu sanksi berupa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.5
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum
tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “strafbaar feit”
(tindak pidana) menurut hukum pidana positif adalah perbuatan, gerak-gerik,
tingkah laku, sikap jasmani seseorang yang bertentangan dengan hukum atau
mengadakan suatu pelanggaran terhadap penguasa yang diancam dengan
hukuman, yang dilakukan oleh orang yang bersalah, dan orang itu mempunyai
kemampuan untuk bertanggungjawab atas perbuatan, di mana pelaksanaannya
dilakukan oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjalankannya.
2. Menurut Hukum Islam
Dalam ensiklopedi Hukum Pidana Islam, tindak pidana (jarimah)
diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara yang diancam
4
P.A.F., Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditiya Bakti,
1997), h. 181.
5
Moeljanto , Asas-Asas Hukum Pidana, cet.VII, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 54.
15
oleh Allah SWT dengan hukuman hudud atau takzir.6 Adapun menurut istilah
syar’i, jinayah adalah pebuatan yang dilarang oleh syara, baik perkataan itu
mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda ataupun lain-lainnya.7 Sualaiman
Rasyid dalam bukunya Fiqih Islam memberikan pengertian jinayah adalah
yang meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang, melukai, memotong
anggota badan, menghilangkan aonggota badan, seperti salah satu panca
indera.8
Para Fuqaha sering memakai kata-kata “jinayah” ini untuk “jarimah,”
bahkan kebanyakan Fuqaha memakai kata-kata jinyah hanya untuk perbuatan
yang mengenai jiwa, orang, atau anggota badan, seperti membunuh, melukai,
memukul, menggugurkan kandungan, dan sebagainya. Adapun yang
dimaksud dengan jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang diancam oleh
Allah SWT dengan hukuman had dan takzir.
B. Pengertian Sanksi Pidana
1. Menurut Hukum Positif
Dalam ruang lingkup hukum pidana, istilah sanksi diidentikan dengan
pidana namun pada dasarnya pengertian sanksi lebih luas jangkauannya
6
Alie Yafie dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 87.
7
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 1.
8
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, cet.XXIII, (Bandung: Sinar Baru, 1990), h. 396.
16
dibandingkan dengan istilah pidana. Kata sanksi berasal dari bahasa Belanda
yaitu “sanc tie” yang artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat
kepada perjanjian.9 Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia, Sanksi
berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk memaksa orang untuk
menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Dalam kamus
istilah hukum, sanksi mempunyai arti ancaman hukuman, merupakan suatu
alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah (undang-undang).10 Sanksi pidana
lebih menekankan unsur pembalasan. Ia merpakan penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada seorang pelanggar.11
Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya, sanksi adalah
suatu jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat hukum
(rechtgevolg) daripada pelanggaran suatu kaidah.12
Akibat ini berupa suatu tindakan, dimana hukuman dijatuhkan
berhubung dilanggarnya suatu norma oleh seseorang. Sedangkan sanksi dalam
hukum pidana berupa ancaman dengan hukuman, yang bersifat penderitaan
dan siksaan. Hukuman itu bersifat siksaan bahwa hukuman itu dimaksudkan
9
S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda-Indoneisa, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1990) ,
h. 560.
10
J.C.T. Simorangkir dkk., Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar grafika, 2004), h. 152.
11
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h.32.
12
Satochid Karta Negara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Jakarta: Balai Rektur
Mahasiswa, t.th) h. 42.
17
sebagai hukumanan terhadap pelanggaran, yang dilakukan oleh seseorang
terhadap kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.13
Pada umumnya tujuan sanksi pidana adalah untuk melindungi
kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan
melindungi
kepentingan-kepentingan
masyarakat
dan
negara
dengan
pertimbangan yang serasi dengan kejahatan atau tindakan tercela di satu pihak
dan tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.14 memberi
penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan
akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap
pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap
perbuatan si pelaku.15
Dalam teori mengenai pemidanaan itu sendiri terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
a. Teori Pembalasan (Absolut)
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang
telah melakukan suatu tindak pidana, sehingga pelakunya mutlak
dijatuhkan pidana yang merupakan pembalasana terhadap tindakkan tadi.
13
Ibid,. h. 49.
14
Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan, cet.II, (Jakarta: Kencana,
2009), h. 19.
15
Sholehuddin., h. 32-33.
18
Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahkan
pertimbangan untuk pemidanaanhanya masa lampau, maksudnya masa
terjadinya tindak pidana itu. Masa datang bermaksud memperbaiki
penjahat tidak dipersoalkan. Jadi seorang penjahat mutlak harus
dipidana.16 Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai
sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi
penjahat.
b. Teori Tujuan (Relatif)
Teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah
alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan
pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu
diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu
kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.
Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu tadi, pidana merupakan
suatu yang terpaksa perlu diadakan.17
c. Teori Gabungan
16
S.R. Sianturi dan Mompang L. Pengabean, Hukum Penitensia di Indonesia, (Jakarta:
Alumni Ahaem-petchhaem, 1996), h. 27.
17
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008), h.161-162.
19
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan
dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar penjatuhan pidana. teori gabungan ini dapat dibedakan
menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:18
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi
pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang
perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib
masyarakat.
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak
boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh kalangan ilmu hukum,
tersimpul adanya pandangan, perkembangan teori pemidanaan cenderung
mengalami
perubahan
paradigma.19
Bergesernya
paradigma
dalam
pemidanaan ini dapat dengan mudah dipahami karena adanya perkembangan
masyarakat. Dalam konteks ini dinamika selalu kearah yang lebih baik dan
lebih beradab. Oleh karenanya hukum pidana sebagai norma yang juga
18
19
Ibid., h. 166.
Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, cet.I, (Jakarta:
Djambatan, 2001), h. 31.
20
berlaku dalam masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan
perkembangan masyarakat tersebut.
Perkembangan yang dimaksud, pertama berkenaan dengan aliran yang
berkembang dalam hukum pidana itu sendiri yang melatar belakangi
permunculan konsep pemidanaan dan kedua pergulatan teoritis (konseptual)
mengenai pemidanaan yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang
berbeda satu sama lainnya. Aliran hukum pidana terbagi atas:
a. Aliran Hukum Pidana Klasik (Daad Strafrecht)
Aliran ini lahir sekitar abad ke-18 dan merupakan aliran yang
sangan kental bernuansa legisme. Dilihat dari sejarahnya, aliran klasik
merupakan respons terhadap adanya kesewenang-wenangan penguasa
yang terjadi di Prancis dan Inggris pada abad ke-18.Sebagai respon
terhadap kesewenag-wenangan penguasa, aliran ini menghendaki agar
setiap orang memperoleh kepastian secara hukum, khususnya dalam
hukum pidana. Karena hukum pidana harus dikembangkan sebagai norma
tertulis yang sistematis.20
Dalam
konteks
pemidanaan,
rumusan
yang
pasti
juga
diberlakukan. Dalam aliran klasik, pidana yang dirumuskan dalam
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, cet.III, (Bandung: PT.
Alumni, 2005), h. 25.
21
Undang-Undang bersifat pasti (definite sentence).21 Pidana harus sesuai
dengan yang dirumuskan dalam undang-undang dan hakim tidak
mempunyai kewenangan unutk menjatuhkan pidana lain selain yang telah
ditentukan dalam Undang-undang.
b. Aliran Hukum Pidana Modern (Daader Strafrecht)
Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana
beraliran modern memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:22
1) Titik sentral perhatian hukum pidana dan penegakannya dalam
aliran ini adalah pada diri si pelaku kejahatan. Jadi, ketika
terjadi suatu tindak pidana maka tidaklah selalu otomatis
pelakunya harus dijatuhi sanksi pidana tertentu sesuai dengan
ketentuan hukum. Karena dalam ini harus diselidiki/atau
dibuktikan terlebih dahulu apa yang sesungguhnya menjadi
latar belakang atau motivasi dari pelaku saat melakukan
tindak pidana tersebut.
2) Timbulnya konsep Daader Strafrecht di atas, secara teoritik
adalah
21
akibat
adanya
pengaruh
kuat
dari
paham
Ibid., h. 26.
M. Abduh Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas UII, (Yogyakarta:
2002), h. 20.
22
22
"Determinisme," yaitu paham yang memandang bahwa
manusia dan perbuatannya adalah sama sekali tidak otonom.
Artinya dipengaruhi oleh hal-hal eksternal diluar dirinya.
Dalam perkembangannya Determinisme ini pun kemudian
sampai pada gagasan perlunya mengganti konsep pemberian
sanksi
pidana
yang
cenderung
bersifat
punishment
(hukuman), menjadi penegakan tindakan yang bersifat
treatmen (pembinaan).
3) Apabila aliran pemikiran hukum pidana modern ini dikaitkan
dengan salah satu konsep tentang tujuan hukum pidana, maka
bisa dikatakan bahwa aliran ini sesungguhnya adalah cermin
atau malah penjabaran dari konsep mengenai tujuan
diadakannya
hukum
pidana
kedua
(yaitu
melindungi
kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan dari
setiap individu warga negara). Hal ini terlihat dari konsep
aliran modern ini yang menghendaki aspek kondisional dalam
diri pelaku kejahatan yang menjadi calon terpidana tersebut
pun dapat tetap terjamin perlindungan hak-haknya dari
kemungkinan mengalami kesewenang-wenangan penguasa.
23
Dalam
konteks
tersebut
para
penganut
aliran
modern
mengemukakan pemikiran agar penjatuhan pidana tidak didasarkan pada
pelaku tindak pidana.
c. Aliran Neo-Klasik (Daad-Daader Strefrecht)
Aliran neo-klasik Adalah aliran yang muncul sebagai reaksi atas
aliran klasik. Kritik aliran neo-klasik terhadap pendahulunya ini terlihat
pada pandangan terhadap pidana yang dijatuhkan oleh aliran klasik.
Menurut aliran neo-klasik, pidana yang dijatuhkan/dihasilkan oleh aliran
klasik sangat berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang
saat ini.
Dalam upayanya mengatasi sistem pemidanaan yang berlaku saat
ini, aliran neo-klasik mencoba menawarkan sistem pidana yang lebih
manusiawi. Untuk kebutuhan tersebut aliran klasik merumuskan pidana
dengan sistem pidana minimum dan maksimum. Selain adanya sistem
tersebut, aliran ini juga mengakui asas-asas tentang keadaan yang
meringankan.
2. Menurut Hukum Islam
Secara umum, kata sanksi dalam Pidana Islam disebut dengan istilah
“Al-Uqubah” ُ‫اﻟﻌُﻘُﻮْﺑَﺔ‬, yang berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah adalah
24
pembalasan dengan keburukan.23 Dalam kamus Al-Munawir kata sanksi
berasal dari “hukuman atau sanksi”:
24
ُ‫اﻟﻘِﺼَﺎصُ اﻟﻌُﻘُﻮْﺑَﺔُ وَاﻟﻌِﻘَﺎب‬
Sedangkankan menurut terminolagi yang dikutip dari pendapat Abdul
Qadir Audah, member definisi sanksi (hukuman) didefinisikan sebagai
berikut:
َ ِ‫َاْﻟﻌُُﻘﻮْﺑَُﺔ ھِﻲَ اْﻟﺠَﺰَاءُ اْﻟﻤَُﻘﺮَّرُ ﻟِﻤَﺼَْﻠﺤَﺔِ اْﻟﺠَﻤَﺎﻋَﺔِ ﻋََﻠﻰَ ﻋِﺼْﯿَﺎنِ أﻣْﺮِ اﻟﺸَّﺎرِع‬
25
“Sanksi adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan
masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
syara.”
Berdasarkan kedua pengertian tersebut, jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan Uqubah adalah balasan yang ditetapkan oleh perbuatanperbuatan yang dilarang untuk menjamin kehormatan perintah syar’iyyah
yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan individu dan masyarakat.
23
24
Luis Ma’luf, al-Munjid, cet.X, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1952), h. 541.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, cet.XI, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h. 952.
25
Abdul Qadir Audah, at-Tasryi Al-Zinai al-Islami, cet.II, (Beirut: Muassarah ar-Risalah,
1992), Juz 1, h. 609
25
Ahmad Hanafi mengkatagorikan jarimah kepada tiga macam bentuk,
yaitu:26
a. Jarimah Hudud, adalah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu
hukuman yang telahditentukan macam dan jumlahnya serta menjadi
hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak
mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, dan pengertian hak
tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh
perorangan (yang menjadi korban jarimah), ataupunoleh masyarakat
yang diwakili oleh Negara (sultan).
b. Jarimah Qisas-diyat, adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan
hukuman qisas atau hukuman diyat kepada pelakunya. Baik qisas
maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan
batasannya, dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi,
tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban
bisa memaafkan si pembuat dan apabila dimaafkan, maka hukuman
tersebut menjadi hapus.
c. Jarimah Ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan
satu atau beberapa hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir itu sendiri ialah
memberikan pengajaran (at-ta’dib). Syara tidak menentukan macammacamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya
26
Hanafi, h. 7-8.
26
menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya
sampai kepada yang seberat-beratnya hukuman. Dalam hal ini hakim
diberikan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang
sesuai dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuat juga.
Jadi hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.
Ahmad Fathi Bahasi sebagaiman dikutip oleh Ahmad Ratomi Zain
dalam skripsinya memberikan definisi sanksi (uqubah), adalah balasan
berbentuk ancaman yang ditetapkan oleh syar’i (Allah) untuk mencegah
terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan meninggalkan
yang ia perintah. Menurut A. Djazuli bahwa maksud pokok hukuman (sanksi)
adalah untuk memelihara adalah untuk memelihara dan meciptakan
kemaslahatan manusia dan menjaga hal-hal dari mafsadat, serta memberi
petunjuk dan pelajaran kepada manusia.27 Begitu juga menurut Ahmad
Hanafi, bahwa tujuan dari pada penjatuhan hukuman (sanksi) menurut syariat
Islam adalah pencegahan (ar-radu waz-jazru) dan pengajaran serta pendidikan
(al-islah wat taahdzib).28
Tujuan sanksi pidana adalah pencegahan, maka besarnya hukuman
harus sedemikian rupa cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang
atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat
27
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan), cet.II, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1997), h. 25.
28
Hanafi., h. 1.
27
prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Selain mencegah dan
menakut-nakuti, syariat Islam tidak lalai untuk memberikan perhatian
terhadap diri pembuat. Bahkan memberikan pelajaran dan pengusahaan
kebaikan kepada diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga menjauhkan
manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan
karena kesadaran dalam diri sendiri dan kebenciannya terhadap melakukan
jarimah (kejahatan). Di samping segi kebaikan pribadi pembuat jarimah,
syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk
masyarakat yang baik dan yang dikuasai rasa saling menghormati dan
mencintai antara sesama anggota masyarakat dengan mengetahui batas-batas
hak dan kewajibannya masing-masing.29
C. Pengertian Umum Pungutan Liar30
Istilah Pungli merupakan perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai
perbuatan pungli sebenarnya merupakan suatu gejala sosial yang telah ada di
Indonesia, sejak Indonesia masih dalam masa penjajahan dan bahkan jauh
sebelum itu. Namun penamaan perbuatan itu sebagai perbuatan pungli, secara
nasional baru diperkenalkan pada bulan September 1977, yaitu saat
Kaskopkamtib yang bertindak selaku Kepala Operasi Tertib bersama Menpan
29
30
Ibid., h. 191-192.
Legalitas.org, “Pungutan Liar (Pungli)”, artikel diakses pada 27 Juni 2011 dari
http://www.legalitas.org/?q=node/239
28
dengan gencar melancarkan Operasi Tertib (OPSTIB), yang sasaran utamanya
adalah pungli.
Istilah pungli sebenarnya hanyalah merupakan istilah politik yang
kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh dunia jurnalis. Di dalam dunia hukum
(pidana), istilah ini tidak dijumpai. Belum pernah kita mendengar adanya tindak
pidana pungli atau delik pungli. Jika kita bersikeras menggunakan istilah pungli,
maka secara hukum (pidana), pelaku pungli tidak dapat dihukum. Karena
memang tidak ada ketentuan hukumnya yang mengatur secara tegas perbuatan
pungli tersebut.
Bertolak dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk meluruskan
penggunaan istilah pungli tersebut. Pungli merupakan kependekan dari
"Pungutan Liar". Semua bentuk pungutan yang tidak resmi, yang tidak
mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan
sebagai pungutan liar (pungli). Dalam bekerjanya, pelaku pungli selalu diikuti
dengan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap korban.
Jika kita sepakat dengan konsep pungli seperti diuraikan di atas, maka
sesungguhnya pungli itu tidak lain adalah merupakan pemerasan. pemerasan
dalam dunia hukum pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang, sehingga
termasuk dalam kategori tindak pidana.
29
Rumusan tindak pidana pemerasan dituangkan dalam Pasal 368 ayat (1)
KUHP yang secara tegas menetapkan:
(1) “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang
lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang,
diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.”
29
BAB III
PENGERTIAN UMUM TENTANG, PENIPUAN, PEMERASAN, DAN
PUNGUTAN LIAR
A. Penipuan, Pemerasan dan Pungutan Liar Menurut Hukum Positif
1. Penipuan Menurut Hukum Positif
Penipuan berasal dari kata tipu, yang berarti perbuatan atau perkataan
yang tidak jujur (bohong, palsu dan sebagainya), dengan maksud untuk
menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Penipuan adalah proses, cara,
perbuatan menipu atau perkara penipu (mengecoh).1 Jadi penipuan adalah
cara pelaku penipuan untuk membohongi seseorang korban agar pelaku dapat
mengecoh si korban dan pelaku mendapatkan keuntungan dari si korban
tersebut.
Penipuan berasal dari kata tipu yang mendapat imbuhan “pe” dan
akhiran “an” yang berarti perbuatan menipu, membodohi, atau memperdayai2
untuk memperoleh keuntungan dari orang lain.
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.III, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), Edisi III, h. 1199.
2
h.674.
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama, 2006),
30
Penipuan adalah suatu bentuk dari berkicau. Sifat umum dari
perbuatan berkicau itu adalah bahwa orang dibuat keliru, dan oleh karena itu
ia rela menyerahkan barangnya atau uangnya.3
Penipuan menurut bahasa asli KUHP Belanda adalah “bedrog”,
Tindak pidana penipuan merupakan salah satu kejahatan yang mempunyai
objek terhadap harta benda.4 Kejahatan penipuan (bedrog) dimuat dalam Bab
XXV Buku II KUHP, dari pasal 378 s/d pasal 394. Title asli bab ini adalah
bedrog yang oleh banyak ahli diterjemahkan sebagai penipuan, atau ada juga
yang menerjemahkannya sebagai perbuatan curang.
Perkataan penipuan itu sendiri mempunyai dua pengertian, yakni:5
a. Penipuan dalam arti luas, yaitu semua kejahatan yang dirumuskan
dalam Bab XXV KUHP. Adapun seluruh ketentuan tindak pidana
dalam Bab XXV ini disebut dengan penipuan, oleh karena dalam
semua tindak pidana di sini terdapatnya perbuatan-perbuatan yang
bersifat menipu atau membohongi orang lain.
3
Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana, cet.II, (Bandung: Remadja Karya CV, 1986), h. 81.
4
Pakar Hukum, “Penipuan” artikel
http://pakarhukum.site90.net/penipuan.php.
5
ini
diakses
pada
13
Januari
2011
dari
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, cet.II, (Malang: Banyumedia
Publishing, 2006), h. 115.
31
b. Penipuan dalam arti sempit, ialah bentuk penipuan yang
dirumuskan dalam pasal 378 (bentuk pokoknya) dan 379 (bentuk
khususnya), atau yang biasa disebut dengan oplichting.
Ketentuan dalam pasal 378 ini adalah merumuskan tentang tindak
pidana “oplichtong” yang berarti juga penipuan dalam arti sempit.6 Rumusan
ini adalah bentuk pokoknya, dan ada penipuan dalam arti sempit dalam bentuk
khusus yang meringankan. Karena adanya unsur khusus yang bersifat
meringankan sehingga diancam pidana sebagai penipuan ringan (pasal 379).
Sedangkan penipuan dalam arti sempit tidak ada dalam bentuk diperberat.
Pasal 378 dalam KUHP merumuskan sebagai berikut:7
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu; dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian
kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu
benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun."
Rumusan penipuan tersebut terdiri dari unsur-unsur objektif yang
meliputi:8
6
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, cet.III, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2003), h. 36.
7
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi 2008, cet.XV (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2008), h. 146.
8
Chazawi., h. 116.
32
1) Perbuatan
menggerakkan
(Bewegen).
Menggerakkan
dapat
didefinisikan sebagai perbuatan mempengaruhi atau menanamkan
pengaruh pada orang lain. Objek yang dipengaruhi adalah
kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan adalah berupa
perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara
konkret bila dihubungkan dengan cara melakukannya.
2) Yang digerakkan adalah orang. Pada umumnya orang yang
menyerahkan benda, orang yang memberi hutang dan orang yang
menghapuskan piutang sebagai korban penipuan adalah orang
yang digerakkan itu sendiri. Tetapi hal itu bukan merupakan
keharusan, karena dalam rumusan pasal 378 tidak sedikitpun
menunjukkan bahwa orang yang menyerahkan benda, memberi
hutang maupun menghapuskan piutang adalah harus orang yang
digerakkan.
3) Tujuan perbuatan.
a) Menyerahkan benda: Pengertian benda dalam penipuan
mempunyai arti yang sama dengan benda dalam pencurian dan
penggelapan, yakni sebagai benda yang berwujud dan
bergerak. Pada pencurian, pemerasan, pengancaman, dan
kejahatan terhadap harta benda lainnya, di mana secara tegas
33
disebutnya unsur milik orang lain bagi benda objek kejahatan,
berbeda dengan penipuan di mana tidak menyebutkan secara
tegas adanya unsur yang demikian. Oleh karena itu, dapat
diartikan bahwa pada penipuan benda yang diserahkan dapat
terjadi terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal
ini terkandung maksud pelaku untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain.
b) Memberi hutang dan menghapuskan piutang: Perkataan hutang
di sini tidak sama artinya dengan hutang piutang, melainkan
diartikan sebagai suatu perjanjian atau perikatan. Demikian
juga dengan istilah utang dalam kalimat menghapuskan
piutang mempunyai arti suatu perikatan. Menghapuskan
piutang adalah menghapuskan segala macam perikatan hukum
yang sudah ada, di mana karenanya menghilangkan kewajiban
hukum penipu untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu
pada korban atau orang lain.
4) Upaya-upaya penipuan.
a) Dengan menggunakan nama palsu (valsche naam): Ada dua
pengertian nama palsu. Pertama, diartikan sebagai suatu nama
bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain. Kedua,
34
suatu nama yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau
tidak ada pemiliknya.
b) Menggunakan
martabat/kedudukan
palsu
(valsche
hoedanigheid): Ada beberapa istilah yang sering digunakan
sebagai terjemahan dari perkataan valsche hoedanigheid itu,
ialah: keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan
kedudukan palsu. apun yang dimaksud dengan kedudukan
palsu itu adalah suatu kedudukan yang disebut/digunakan
seseorang, kedudukan mana menciptakan/mempunyai hak-hak
tertentu, padahal sesungguhnya ia tidak mempunyai hak
tertentu itu.
c) Menggunakan
tipu
muslihat
(listige
kunstgreoen)
dan
rangkaian kebohongan (zamenweefsel van verdichtsels):
Kedua cara menggerakkan orang lain ini sama-sama bersifat
menipu atau isinya tidak benar atau palsu, namun dapat
menimbulkan kepercayaan/kesan bagi orang lain bahwa semua
itu seolah-olah benar adanya. Namun ada perbedaan, yaitu:
pada tipu muslihat berupa perbuatan, sedangkan pada
rangkaian kebohongan berupa ucapan/perkataan.
35
Selanjutnya adalah unsur- unsur subyektifyang meliputi:9
1) Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan menggerakan harus
ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain, adalah
berupa unsur kesalahan dalam penipuan. Kesengajaan sebagai
maksud ini selain harus ditujukan pada menguntungkan diri
sendiri, juga ditujukan pada unsur lain di belakangnya, seperti
unsur melawan hukum, menggerakkan, menggunakan nama palsu
dan lain sebagaianya. Kesengajaan dalam maksud ini harus sudah
ada dalam diri si petindak, sebelum atau setidak-tidaknya pada saat
memulai perbuatan menggerakkan.
2) Maksud melawan hukum. Unsur maksud sebagaimana yang
diterangkan di atas, juga ditujukan pada unsur melawan hukum.
Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melakukan perbuatan menggerakkan haruslah berupa maksud yang
melawan hukum. Nunsur maksud dalam rumusan penipuan
ditempatkan sebelum unsur melawan hukum, yang artinya unsur
maksud itu juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum.
2. Pemerasan Menurut Hukum Positif
9
Chazawi., h. 129.
36
Pemerasan berasal dari kata peras yang mendapat imbuhan “pe” dan
akhiran “an” yang berarti perbuatan memeras, mengancam, atau mengambil
keuntungan dari orang lain secara paksa.10
Pemerasan menurut bahasa asli KUHP Belanda adalah “afpersing”.
Tindak pidana ini diatur dalam pasal 368 KUHP yang dirumuskan sebagai
pemerasan dan pengancaman,11 yang diatur di dalam buku ke II bab ke XXIII
KUHP itu sebenarnya terdiri dari dua macam kejahatan, masing-masing yaitu,
masing-masing yaitu apa yang disebut ““afpersing”” atau “pemerasan” dan
“afdreiging” atau “pengancaman”. Akan tetapi karena kedua macam
perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, yaitu mempunyai tujuan
memeras orang lain, maka kedua kejahatan tersebut biasanya disebut dengan
nama yang sama, yaitu “pemerasan”.12
Tindak pidana pemerasan ini sangat mirip dengan pencurian dengan
kekerasan dari pasal 365 KUHP. Bedanya adalah bahwa dalam hal pencuri si
pelaku sendiri yang mengambil barang yang dicuri, sedangkan pemerasan si
10
11
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 885.
Sudrajat., h. 63-64.
Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Yang Ditujukan
Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, (Bandung: Tarsito, tth), h. 164.
37
korban dipaksa setelah dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya
kepada si pemeras.13
Bentuk kejahatan yang disebut “afpersing” itu diatur di dalam pasal
368 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:14
(1) “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.”
(2) “Ketentuan pasal 365 ayat (2), (3), dan (4) berlaku bagi kejahatan
ini.”
Ketentuan dalam 368 (1) di atas mengandung dua unsur:15
a. Unsur objektif, yang meliputi unsur-unsur:
1) Memaksa;
2) Orang lain;
3) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
13
14
Prodjodikoro., h. 27.
Hamzah., h. 143.
Pakar Hukum, “Pemerasan” artikel ini diakses pada 13 Januari 2011 dari
http://pakarhukum.site90.net/pemerasan.php.
15
38
4) Untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang (yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain);
5) Supaya memberi hutang; dan
6) Untuk menghapus piutang.
b. Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur:
1) Dengan maksud; dan
2) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Ketentuan dalam 368 (2) diatas, pasal 365 adalah sanksi hukuman
tindak pidana pencurian, ini berarti bahwa:16
a. Jika kejahatan pemerasan itu dilakukan pada malam hari, di dalam
sebuah tempat kediaman atau dilakukan di atas sebuah pekarangan
tertutup yang di atasnya berdiri sebuah tempat kediaman ataupun
jika kejahatan pemerasan tersebut dilakukan di jalan umum atau di
atas kereta api atau tram yang bergerak;
b. Jika kejahatan pemerasan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara bersama-sama;
16
Syarifah Maulafatu, “Tindak Pidana Pemerasan (Afpersinf) Yang Dilakukan Anak Di
Bawah Umur Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 36.
39
c. Jika kejahatan pemerasan itu untuk dapat masuk ke tempat
kejahatan dilakukan dengan perbuatan-perbuatan membongkar,
merusak, memanjat, memakai kunci-kunci palsu atau memakai
seragam palsu;
d. Jika kejahatan pemerasan itu menyebabkan terjadinya luka berat
pada seseorang.
Maka kejahatan pemerasan tersebut diperberat dengan ancaman
hukumannya dengan hukuman selama-lamanya 15 tahun. Jika kejahatan
tersebut telah menimbulkan luka berat atau suatu kematian, di mana kejahatan
itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama maka diancam
dengan hukuman mati, dengan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman
penjara 20 tahun.
Dari unsur unsur tersebut dapat kita simpulkan bahwa pemerasan
adalah suatu perbuatan di mana si pelaku harus mengadakan suatu upaya
pemaksaan agar si korban mau menyerahakan sendiri objek yang ingin
dikuasai oleh si pemeras. Korban yang didesak oleh perasaan takut dan
terpaksa akan dengan spontan memberikan barang yang awalnya ada pada
penguasaannya. Terlebih apabila cara yang dilakukan menggunaakaan
40
kekerasan yang akan menimbulkan efek takut yang lebih besar kepada
korban.17
3. Pungutan Liar Menurut Hukum Positif
Pungli akronim18 dari pungutan liar. “Pungutan” yang berarti
mengambil, menarik dan “liar” yang berarti tidak resmi, tanpa izin resmi dari
yang berwenang.19 Jadi pungli berarti mengambil sesuatu dengan cara yang
tidak resmi atau menarik sesuatu tanpa izin yang berwenang.
Dalam kasus tindak pidana pungutan liar ini tidak terdapat secara pasti
dalam KUHP, namun dapat disamakan dengan kejahatan jabatan yang diatur
dalam pasal 415 tentang penggelapan yang dilakukan oleh pejabat atau
instansi terkait, 418 dan 419 ayat (1) tentang pejabat yang menerima hadiah.
Pada KUHP bab XXVIII ini yang dirumuskan sebagai kejahatan jabatan.
Pungutan liar yang diatur di dalam buku ke II KUHP itu mengenai kejahatan
jabatan yang juga terdapat unsur penggelapan (verduistering).
17
Retno Kusumastuti, “Tinjauan Yuridis Terhadap Perkara Tindak Pidana Pemerasan Yang
Dilakukan Secara Bersama-Sama (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sragen),” (Skripsi S1 Fakultas
Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009), h. 42.
18
Definisi akronim atau pengertian pemendekan adalah hasil bentuk gabungan dua kata atau
lebih yang memiliki unsur-unsur huruf awal dari suku kata dari beberapa kata yang digabungkan
menjadi satu.
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 908.
41
Bentuk kejahatan yang disebut pungutan liar ini yang dapat disamakan
dalam kejahatan jabatan yang diatur di dalam pasal 415 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut:20
“Seorang pegawai negeri atau orang lain yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat-surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong
sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Ketentuan dalam 415 di atas mengandung dua unsur:
a. Unsur objektif, yang meliputi unsur-unsur:
1) Pegawai negeri;
2) Orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
terus-menerus atau untuk sementara waktu;
3) Menggelapkan uang atau surat-surat berharga;
4) Disimpan karena jabatannya;
5) Membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau
digelapkan oleh orang lain;
20
Hamzah., h. 162.
42
6) Menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan
tersebut.
b. Unsur subyektif, yang meliputi unsur “Dengan sengaja.”
Dalam pasal 418 disebutkan: 21
“Seorang pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi
hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Ketentuan dalam 418 di atas mengandung dua unsur:
a. Unsur objektif, yang meliputi unsur-unsur:
1) Pegawai negeri;
2) Menerima hadiah atau janji;
3) Karena kekuasaan atau kewenangan; dan
4) Berhubungan dengan jabatannya
b. Unsur subyektif, yang meliputi unsur “Menerima.”
Dan dalam pasal 419 ayat (1) disebutkan:22
21
Hamzah., h. 163.
43
“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang
pegawai negeri:
(1) “Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa
hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya.”
Kebanyakan punggutan liar dipungut oleh pejabat atau aparat,
walaupun pungli termasuk ilegal dan digolongkan sebagai KKN, tetapi
kenyataannya hal ini jamak terjadi di Indonesia.23
Dalam kasus tindak pidana pungutan liar ini selain terdapat unsurunsur tindak pidana penggelapan (verduistering) juga terdapat beberapa
unsur-unsur tindak pidana lain yang saling berhubungan dengan kasus tindak
pidana pungutan liar, di antaranya adalah tindak pidana penipuan (bedrog),
pemerasan (afpersing), dan juga tindak pidana korupsi atau yang biasa disebut
dengan Tipikor.
a. Tindak pidana penipuan.
Penipuan dan pungutan liar adalah tindak pidana yang mana
terdapat unsur-unsur yang sama dan saling berhubungan, antara lain
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum dengan rangkaian kebohongan untuk atau agar orang lain
menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya.
22
23
Hamzah., h. 163.
Pungutan Liar, Wikipedia artikel ini diakses pada 10 Februari 2011 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Pungutan_liar.
44
b. Tindak pidana pemerasan.
Penipuan dan pungutan liar adalah tindak pidana yang mana
terdapat unsur-unsur yang sama dan saling berhubungan, antara lain
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum dengan rangkaian kekerasan atau dengan ancaman agar orang
lain menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya.
c. Tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang sangat erat kaitannya dengan
kajahatan jabatan ini, karena rumusan pada pasal 415 pasal
penggelapan dalam KUHP diadopsi oleh UU No. 31 tahun 1999 yang
kemudian diperbaiki oleh UU No. 20 tahun 2001, yang dimuat dalam
pasal 8.24 Dalam UU No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ayat dalam pasal 8 berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terusmenerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.”
24
Chazawi., h. 96.
45
Dari penjelasan Pasal ini, terdapat unsur-unsur yang sama antara
tindak pidana korupsi dan tindak pidana pungutan liar antara lain,
unsur subjektif yang mana “dengan sengaja” dan unsur objetif antara
lain:
1) Pegawai negeri;
2) Orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara
waktu;
3) Yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga;
4) Disimpan karena jabatannya;
5) Membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil oleh
orang lain; dan
6) Membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terdapat
perundang-undangan yang mengatur tentang kedisiplinan pegawai negeri
yaitu Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil. Jika kita mengkaitkan masalah pungutan liar dengan
Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
46
Negeri Sipil, maka akan dapat diketahui bahwa pungutan liar tersebut
memenuhi unsur-unsur pelanggaran terhadap beberapa ketentuan yang ada
pada Bab II tentang Kewajiban dan Larangan, Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap pegawai negeri dilarang:
a. Huruf h:
“Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari
siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa
pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan
jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.”
b. Huruf k:
“Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu
tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah
satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian
bagi pihak yang dilayani.”
c. Huruf r:
“Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam
melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau
pihak lain.”
B. Penipuan, Pemerasan dan Pungutan Liar Menurut Hukum Islam
1. Penipuan Menurut Hukum Islam
Dalam bahasa Arab penipuan disebut sebagai
kata "
. Secara etimologis
" yang artinya menipu, memperdaya. Orang yang menipu disebut
47
sebagai "
"
," sedangkan orang yang tertipu atau terpedaya disebut sebagai
."25
Penipuan
adalah
suatu
perilaku
yang
bersumber
dari
sifat
kemunafikan. Hal ini merupakan suatu tindak pidana yang erat kaitannya
dengan harta.26 Dalam tindak pidana penipuan, kesalahan tidak hanya terdapat
pada si penipu saja, melainkan pada pihak pemilik harta juga bersalah, karena
kebodohannya sehingga ia tertipu.27
Ditinjau dari ruh syariat menipu adalah membohongi. Berperilaku
dusta adalah merupakan ciri munafik. Munafik seperti dinyatakan dalam ayat
al-Quran surah an-Nisa ayat 145:
           
(QS. An-Nisa/4 : 145)
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada
tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak
akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An-Nisa/4 :
145).
25
26
27
Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, h. 326.
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 71.
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h. 120.
48
Dalam hadis Nabi SAW bersabda:28
:
(
)
“Dari Abu Hurairah RA, katanya Nabi SAW bersabda: tanda-tanda
munafik ada tiga: apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia
mungkir, dan apabila dipercaya ia khianat.” (H.R. al-Bukhari)
Hal mengenai penipuan dalam Islam banyak diterangkan dalam
masalah-masalah jual-beli. Islam mengharamkan seluruh jenis penipuan.
Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya. Sebab,
keikhlasan dalam beragama nilainya lebih tinggi dari pada seluruh usaha
duniawi.29 Nabi SAW bersabda:30
:
:
(
)
,
,
Dari Abdullah bin Haris berkata: Saya mendengar Hakim Hizam R.S:
dari Nabi SAW bersabda: “Penjual dan pembeli berhak melakukan
tawar-menawar selama mereka belum berpisah. Jika mereka jujur dan
memjelaskan (ciri-ciri dagangannya), maka mereka akan diberi
barakah dalam perdagangan itu. Tetapi jika mereka berdusta dan
menyembunyikan (cacatnya), maka berkah dagangannya akan
dihapus.”(H.R. Bukhari)
28
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, al-Jami’ Shahih al-Mukhtasar, cet.III,
(Beirut: Dar Ibnu Kasir, 1987), Juz 1, h. 21.
29
Halal dan Haram dalam Islam artikel ini diakses pada 27 Januari 2011 dari
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Qardhawi/Halal/4027/html.
30
Al-Bukhari., Juz 2, h. 743.
49
Rasulullah SAW, sangat melarang yang namanya penipuan, seperti
hadis yang diungkapkan Rasulullah SAW:31
»
.
(
.«
)«
»
“Rasulullah SAW pernah mendapati tumpukkan makanan. Beliau lalu
memasukkan tangannya ke dalam tumpukkan tersebu dan jari-jarinya
menemukkan sesuatu yang basah. Beliau bertanya: apa ini wahai
pemilik makanan? Ia menjawab: makanan itu terkena air hujan, wahai
Rasulullah. Rasulullah SAW lalu bersabda: kenapa kamu tidak
meletakkannya di atas supaya dapat dilihat oleh orang-orang? Barang
siapa menipu, maka ia bukan termasuk golonganku.” (H. R. Muslim)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, bahwa
Rasulullah SAW bersabda:32
:
(
)
Dari Abu Hurairah RA, katanya Nabi SAW bersabda: “Barang siapa
yang mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan dari
golongan kami, dan barang siapa melakukan kecurangan terhadap
kami, maka ia bukan dari golongan kami.” (H.R. Muslim)
Dari hadis di atas dapatlah penulis simpulakan bahwa penipuan dalam
Islam adalah jelas haram hukumnya dan barang siapa menipu bukanlah
termasuk dari golongan Rasulullah SAW dan pasti bukan orang muslim.
31
Abu al-Husain Muslim An-Naysaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail, t.th) Juz. 1, h.
32
Ibid..
69.
50
Dalam jual-beli, ada yang dinamakan dengan jual-beli Najasy yaitu berpurapura membayar lebih mahal dari harga yang seharusnya agar pembeli lain
tertipu. Penipuan model seperti ini bisa saja dilakukan dengan kesepakatan
antara pedagang dengan pembeli yang menipu atau pembeli itu hanya ingin
menipu pembeli yang lain. Seorang penjual wajib pula menjelaskan cacat
yang terdapat pada barang dagangannya kepada pembeli. Karena jika tidak,
dia berarti telah melakukan penipuan atau pemalsuan.33 Larangan ini seperti di
sampaikan oleh Ibnu Umar bahwa Nabi SAW dalam hadisnya melarang jualbeli najasy:34
(
)
:
Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang jual-beli dengan cara
najasy, yaitu pura-pura membayar dengan harga yang lebih mahal
supaya pembeli lain tertipu. (H.R. Bukhari)”
Dalam hal jual-beli pedagang juga dilarang bersumpah. Rasulullah
SAW menganjurkan agar kita tidak mengobral sumpah saat jual-beli karena
akan mengurangi berkah.35 Apalagi jika kita bersumpah palsu, ini akan
menjadi dosa besar, seperti hadis Nabi SAW:36
33
Syekh Abdurrahman As-Sa’di, dkk, Fiqih Jual-Beli, Panduan Praktis Bisnis Syari’ah,
(Jakarta: Senayan Publising, 2008), h. 138-139.
34
35
Al-Bukhari., Juz 2, h. 753.
Aam Amiruddin, Bedah Masalah Kontemporer II: Tanya Jawab Seputar Ibadah &
Muamalah, cet. III, (Bandung: Khazanah Intelektual, 2006), h. 283.
51
:
:
:
"
:
":
(
)
“Dari Abdullah bin ‘Amr r.a., ia berkata: “Sesungghnya seorang
badui (Arab) menemui Nabi SAW, dan bertanya: Wahai Rasulullah,
apa dosa-dosa besar itu?” -lalu perawi (Abdullah) menuturkan isi
hadis berikutnya, dan diantaranya disebutkan- sumpah palsu. Dalam
hadis itu aku bertanya: Apa itu sumpah palsu? Beliau bersabda: yaitu
sumpah yang digunakan untuk mengambil harta seorang muslim,
padahal ia bohong” (H.R. Muslim)
2. Pemerasan Menurut Hukum Islam
Pemerasan ini bisa disebut juga orang yang mengambil barang orang
lain secara paksa. Dalam bahasa Arab orang yang mengambil barang orang
lain secara paksa ini disebut sebagai al-ghasaba. Secara etimologis kata "‫"ﻏﺼﺐ‬
yang artinya memaksa atau merampas. Orang yang dirampas atau dipaksa
disebut sebagai "
."37
Dalam istilah para ahli fikih, ghasab berarti menguasai milik orang lain
secara paksa tanpa alasan yang benar.38 Jadi ghasab adalah mengambil barang
orang lain dengan niat untuk menguasai dengan cara paksa dan zalim.
36
37
38
Al-Bukhari., Juz 6, h. 2535.
Munawwir., h. 1007-1008.
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, cet.I, (Jakarta: Gema Insani Peerss, 2005), h. 497.
52
Allah mengharamkan pelanggaran dan perampasan terhadap semua
jenis harta milik orang lain tanpa alasan yang benar. Ghasab ini sangatlah
diharamkan, Allah sangatlah melarang manusia untuk mengambil hak muslim
lain atau orang lain dengan cara-cara yang tidak benar, hal ini berdasarkan
firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi:
           
(QS. Al- Baqarah/2 : 188)      
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al- Baqarah/2
: 188).
Ghasab termasuk bentuk yang paling besar dari memakan harta orang
secara batil. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:39
":
(
)"
“Dari Sa’id bin Zaid r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan
mengalungkan tanah itu pada hari kiamat dari tujuh lapis bumi.”
(H.R. Muslim)”
Dalam hadis lain Nabi bersabda:40
39
An-Naysaburi., Juz. 5, h. 57.
53
.
(‫ﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
)
. ‫ ﻓﺎﻧﺘﻬﺒﻨﺎﻫﺎ‬.
:
.
.
Dari Tsa’labah bin al-Hakam RA, ia berkata: “Kami menemukan
kambing milik musuh. Lalu kami merampasnya, lalu kami masak
dalam kuali kami. Rasulullah SAW melewati kuali tersebut. beliau
memerintahkan agar membuangnya, maka akupun menumpahkan
isinya, kemudian beliau berkata:“Sesungguhnya merampas itu tidak
halal.” (H.R. Ibnu Majah)
Dan dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda:41
‫ ﻻ ﯾﺤﻞ ﻣﺎل اﻣﺮئ إﻻ‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻــﻠّﻰ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠّﻢ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ ﺣﺮة اﻟﺮﻗﺎﺷﻲ ﻋﻦ ﻋﻤﮫ ﻗﺎل‬
(‫ﺑﻄﯿﺐ ﻧﻔﺲ ﻣﻨﮫ )رواه أﺣﻤﺪ‬
“Dari Abi Hurrah al-Raqasyi dari pamannya berkata: Bahwa Nabi
SAW bersabda: Harta seorang muslim tidak halal bagi muslim
lainnya kecuali dengan kerelaannya. (H.R. Ahmad)”
Dari pemaparan hadis-hadis di atas dapat penulis simpulkan bahwa
merampas hak orang lain itu sangatlah dilarang oleh Rasulullah SAW, karena
perbuatan merampas adalah perbuatan yang sangat dilarang oleh Allah SWT,
dan pelakunya akan dihukum tujuh kali lipat dari harta yang dirampasnya
tersebut. Perbuatan merampas ini haram hukumnya karenanya tidak
dipebolehkan.
Pemerasan juga seperti halnya hirabah (merampok). Hirabah adalah
merampas atau mengambil harta orang lain dengan cara memaksa
40
Muhammad Ibnu Yazid Abu Abdillah Al-Qazwayni, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar alFikri, t.th), Juz 2, h. 1299.
41
Ahmad bin Hambal Abu Abdillah As-Syaibani, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, (Kairo:
Muasasah al-Qurtubah, t.th), juz 5, h. 72.
54
korbannya.42 Perbedaan asasi antara pencurian dan perampokan terletak dari
cara pengambilan harta, yakni dalam pencurian secara diam-diam sedangkan
dalam perampokan secara terang-terangan atau disertai kekerasan.43
Hirabah dalam al-Quran merupakan suatu kejahatan yang gawat. Ia
dilakukan oleh suatu kelompok atau seorang bersenjata yang mungkin akan
menyerang musafir atau orang yang berjalan di jalan raya atau di tempat
manapun, mereka merampas harta korbannya dengan menggunakan kekerasan
bila korbannya lari mencari pertolongan.44
Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa ayat 33 yang berbunyi:
            
            
          
(QS. An-Nisa/5 : 33)
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”
(QS. An-Nisa/5 : 33).
42
43
Zainuddin., Hukum Pidana Islam, h. 69.
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), cet.III, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 86-87.
44
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), cet.I, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 328.
55
Dari ayat ini dapat di jelaskan bahwa orang-orang yang membuat
merusak di muka bumi ini adalah musuh Allah dan rasul-Nya, jadi perbuatan
hirabah (merampok) adalah perbuatan yang dilaknat oleh Allah dan rasulNya.
3. Pungutan Liar Menurut Hukum Islam
Dalam bahasa Arab pungutan liar disebut sebagai al-maksu. Secara
bahasa kata "
" itu bentuk masdar atau infinitive dari kata kerja " -‫ﻣﻜﺲ‬
‫ "ﳝﻜﺲ‬yang mempunyai arti memungut cukai, menurunkan harga dan
menzalimi.45
Maksu (pungutan liar) adalah pajak yang ditagih oleh seseorang secara
tidak legal, biasanya dari pedagang-pedagang kecil.46 Ibnu Manzur juga
mengartikan kata "
" dengan "
" cukai bahkan secara lebih detail dia
mengemukakan “Al-Maksu adalah sejumlah uang (dirham) yang diambil dari
para pedagang di pasar-pasar pada zaman jahiliyah.”
45
46
Munawwir., h. 1352.
Terminologi Zakat Barang Tambang dan Hasil Laut, Pondokzakat.com artikel ini diakses
pada
09
Februari
2011
dari
http://pondokzakat.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=35&Itemid
=2&limitstart=5.
56
Penulis kitab Aunul Ma’bud (syarah Sunan Abu Daud), penulisnya
mengatakan “Dalam al-Qamus al-Muhinth disebutkan bahwa maks adalah
mengurangi atau menzalimi. Maks adalah uang yang diambil dari para
pedagang di pasar pada masa jahiliyyah atau uang yang diambil oleh amil
zakat (untuk dirinya) setelah ia selesai mengambil zakat.”47
Para ulama manyebutkan bahwa maks itu memiliki beberapa bentuk,
yaitu:48
a. Maks yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah yaitu uang pajak
yang diambil dari para penjual pasar.
b. Uang yang diambil oleh amal zakat dari muzakki untuk
kepentingan pribadinya setelah ia mengambil zakat.Uang yang
diambil dari para pedagang yang melewati suatu tempat tertentu.
c. Uang yang diambil tersebut dibebankan kepada barang dagangan
yang dibawa, perkepala orang lewat atau semisalnya.49
.
47
:
Hukum Kerja di Kantor Pajak, ustadzaris.com artikel ini diakses pada 19 Februari 2011 dari
http://ustadzaris.com/hukum-kerja-di-kantor-pajak
48
Ibid.
49
Ibid.
57
"Al Baghawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemungut
maks adalah orang yang meminta uang dari para pedagang jika
mereka lewat di suatu tempat dengan kedok ‘usyur (yaitu zakat)."
Dalam Nailul Author, asy-Syaukani mengatakan:50
“Pemungut maks adalah orang yang mengambil pajak dari
masyarakat tanpa adanya alasan yang dibenarkan.”
Lebih lanjut Ahmad Siharanfuri mengutip uraian pengarang kitab alHasyiyah yang mendefiniskan al-maksu dengan mengambil bentuk isim
fa'ilnya yaitu:51
‫ﻣﻦ ﻳﺄﺧﺬ‬
‫ﻻﻳﻌﻄﻴﻬﺎ ﻛﺎﻣﻼ ﺑﺘﻤﺎﻣﻬﺎ‬
‫ﻣﻦ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ‬
‫ﻣﻦ‬
‫ﻓﻔﻴﻪ ﺮ‬
“Pengawai-pegawai pemungut cukai adalah orang yang mengurangi
hak-hak orang-orang miskin tidak diberikannya secara sempurna
(dikorup). Adapun petugas pemungut zakat dan pungutan sebanyak
1/10 dengan cara benar atau secara sah/resmi dia justru akan
mendapatkan pahala (dengan manjalankan tugas ini), tugas ini
dilakukan oleh anak-anak remaja.”
Sementara itu Muhammad bin Salim bin Sa'id Babasil mendefinisikan
al-maksu sebagai berikut:52
50
Ibid.
Khalil Ahmad As-Siharanfuri, Bazlu al-Majhud fi Hilli Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, tth), Jilid 13, h. 226.
51
58
“Al-Maksu adalah suatu aturan yang ditentukan oleh penguasapenguasa secara zalim, berkaitan dengan harta-harta manusia,
(aturan ini) diatur dengan undang-undang yang sengaja dibuat /
diada-adakan.”
Dari uraian tentang pengertian al-maksu di atas, bisa diketahui bahwa
tradisi pungutan liar atau cukai illegal sudah dikenal sejak zaman jahiliah,
sudah sering terjadi kasus-kasus pemerasan oleh kelompok-kelompok tertentu
kepada para pedagang di pasar-pasar. Biasanya jumlah nominal yang
ditetapkan sebesar 1/10 dari harta yang mereka bawa pada hari itu, sebab hal
ini terjadi secara terus-menerus tanpa alas an yang benar, bahkan terkadang
melibatkan aparat setempat dengan membuat-buat aturan yang mengada-ada
agar terkesan resmi, padahal unsur kezaliman dan pemerasannya tetap
dominan.
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam
kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para
pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang
wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apaapa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barangbarang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun
52
Muhammad bin Salim bin Sa'id Babasil As-Syafi'i, Is'ad ar-Rafiq wa Bughiyyah as-Sadiq
Syarh Matn Sulam at-Taufiq Ila Mahabbatillah 'ala at-Tahqiq, (Indonesia: ttp, Daru Ihya al-Kutub al'Arabiyyah, tth), Jilid 2, h. 57.
59
(barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk
perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali
apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang
mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali)
yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam)
atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan
keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan
sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama)
telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara
untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk
mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam
perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan
disyaratkan saja.”53 Nabi SAW bersabda:54
‫ اﻧﻲ ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﯾﻘﻮل ان ﺻﺎﺣﺐ اﻟﻤﻜﺲ ﻓﻲ‬: ‫ﻋﻦ أﺑﻲ اﻟﺨﯿﺮ ﻗﺎل‬
(‫)رواه أﺣﻤﺪ‬.‫اﻟﻨﺎر‬
“Dari Abu al-Khair berkata: Saya Mendengar Rosulullah bersabda:
Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka.”(H.R. Ahmad)
Nabi SAW bersabda:55
53
Pajak Dalam Islam (Nasehat Untuk Para Pemungut Pajak), suaraquran.com artikel ini
diakses pada 17 Maret2011 dari http://suaraquran.com/pajak-dalam-islam/
54
As-Syaibani., Juz 4, h. 109.
55
Al-Bukhari., Juz. 2, h. 726.
60
‫ ﯾﺄﺗﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎس زﻣﺎن ﻻ ﯾﺒﺎﻟﻲ اﻟﻤﺮء ﻣﺎ‬:َ‫ﻋَﻦْ اَﺑِﻰ ھُﺮَﯾْﺮَةَ ﻋَﻦِ اﻟﻨﱠﺒِﻰﱢ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺎل‬
(‫أﺧﺬ ﻣﻨﮫ أﻣﻦ اﻟﺤﻼل أم ﻣﻦ اﻟﺤﺮام )رواه ﺑﺨﺎرى‬
“Dari Abu Hurairah RA, Dari Nabi SAW, bersabda: bakal datang
kepada manusia suatu masa, dimana tiada yang peduli akan apa yang
diambilnya; apakah dari yang halal ataukah dari yang haram.” (H.R.
Bukhari)
Dari hadis ini Nabi sudah memperkirakan akan datangnya hari dimana
manusia tak lagi mempedulikan dari mana datangnya harta mereka, dan
pungutan liar yang sudah menjadi tradisi ini salah satunya.
Adapun
nas-nas
syar'iyyah
atau
dalil-dalil
syara'
tentang
diharamkannya praktik pengutan liar, cukai illegal atau al-maksu ini antara
lain adalah firman Allah:
          
(QS. An-Nisaa/4 : 29).  …….    
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu…….” (QS. An-Nisaa/4 : 29).
            
(QS. Asy-Syuura/42 : 42)    
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu
mendapat azab yang pedih.” (QS. Asy-Syuura/42 : 42).
61
Dalam ayat ini Allah mengancam kepada orang-orang yang berbuat
zalim di muka bumi, mereka termasuk yang melakukan pungutan-pungutan
liar dan mereka akan disiksan di akhirat nanti dengan azab yang sangat pedih.
C. Al-Maksu Sebagai Sebuah Kejahatan Ekonomi di Masa Nabi SAW
Dalam kitab ringkasan Shahih Muslim, pada hadis nomor 1042, Rasulullah
SAW bersabda:56
:
:
!
:
:
:
:
.
!
:
:
.
56
An-Naysaburi., Juz 5, h. 120.
: .
.
:
.
:
.
62
!
:
(
).
“Dari Buraidah R.A., bahwa Ma’iz bin Malik al-Aslami pergi menemui
Rasulullah SAW seraya berkata, ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah
menzhalimi diriku, karena aku telah berzina, oleh karena itu aku ingin agar
anda berkenan membersihkan diriku.” Namun beliau menolak pengakuannya.
Keesokan harinya, dia datang lagi kepada beliau sambil berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina.” Namun beliau tetap menolak
pengakuannya yang kedua kalinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengutus seseorang untuk menemui kaumnya dengan mengatakan:
“Apakah kalian tahu bahwa pada akalnya Ma’iz ada sesuatu yang tidak beres
yang kalian ingkari?” mereka menjawab, “Kami tidak yakin jika Ma’iz
terganggu pikirannya, setahu kami dia adalah orang yang baik dan masih
sehat akalnya.” Untuk ketiga kalinya, Ma’iz bin Malik datang menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membersihkan dirinya dari
dosa zina yang telah diperbuatnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pun mengirimkan seseorang menemui kaumnya untuk menanyakan
kondisi akal Ma’iz, namun mereka membetahukan kepada beliau bahwa
akalnya sehat dan termasuk orang yang baik. Ketika Ma’iz bin Malik datang
keempat kalinya kepada beliau, maka beliau memerintahkan untuk membuat
lubang ekskusi bagi Ma’iz. Akhirnya beliau memerintahkan untuk
merajamnya, dan hukuman rajam pun dilaksanakan.” Buraidah melanjutkan,
“Suatu ketika ada seorang wanita Ghamidiyah datang menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, diriku telah
berzina, oleh karena itu sucikanlah diriku.” Tetapi untuk pertama kalinya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menghiraukan bahkan menolak
pengakuan wanita tersebut. Keesokan harinya wanita tersebut datang
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata, “Wahai
Rasulullah, kenapa anda menolak pengakuanku? Sepertinya engkau menolak
pengakuanku sebagaimana engkau telah menolak pengakuan Ma’iz. Demi
Allah, sekarang ini aku sedang mengandung bayi dari hasil hubungan gelap
itu.” Mendengar pengakuan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sekiranya kamu ingin tetap bertaubat, maka pulanglah sampai
kamu melahirkan.” Setelah melahirkan, wanita itu datang lagi kepada beliau
sambil menggendong bayinya yang dibungkus dengan kain, dia berkata,
“Inilah bayi yang telah aku lahirkan.” Beliau lalu bersabda: “Kembali dan
susuilah bayimu sampai kamu menyapihnya.” Setelah mamasuki masa
sapihannya, wanita itu datang lagi dengan membawa bayinya, sementara di
tangan bayi tersebut ada sekerat roti, lalu wanita itu berkata, “Wahai Nabi
63
Allah, bayi kecil ini telah aku sapih, dan dia sudah dapat menikmati
makanannya sendiri.” Kemudian beliau memberikan bayi tersebut kepada
seseorang di antara kaum muslimin, dan memerintahkan untuk melaksanakan
hukuman rajam. Akhirnya wanita itu ditanam dalam tanah hingga sebatas
dada. Setelah itu beliau memerintahkan orang-orang supaya melemparinya
dengan batu. Sementara itu, Khalid bin Walid ikut serta melempari kepala
wanita tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah
Khalid, seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut. Ketika mendengar
makian Khalid, Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi Zat yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya
taubat (seperti) itu dilakukan oleh pelaku pungutan liar niscaya dosanya akan
diampuni.” Setelah itu beliau memerintahkan untuk menyalati jenazahnya
dan menguburkannya.” (H.R. Muslim)
Inti dari hadis diatas yang mengenai “sesungguhnya perempuan itu telah
benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh pelaku pungutan
liar niscaya dosanya akan diampuni.” dapat di simpulkan bahwa dahulu pada masa
Nabi SAW terdapat orang-orang yang melakukan pungutan liar, dan hal ini banyak
dilakukan di pasar dan para pemungut ini biasanya mengambil jatah sepersepuluh
dari para pedagang yang lewat yang telah berjualan.
62
BAB IV
SANKSI PIDANA BAGI PELAKU PENIPUAN, PEMERASAN DAN
PUNGGUTAN LIAR
A. Sanksi Pidana Penipuan, Pemerasan, dan Pungutan Liar Menurut
Hukum Positif
1. Sanksi Pidana Penipuan Menurut Hukum Positif
Penipuan seperti yang dijelaskan dalam bab yang sebelumnya adalah
cara pelaku penipuan untuk membohongi seseorang korban agar pelaku dapat
mengecoh si korban dan pelaku mendapatkan keuntungan dari si korban
tersebut.
Dalam pemidanaannya, tindak pidana penipuan telah di jelaskan dalam
pasal 378 KUHP, yaitu:1
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu; dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian
kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu
benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun."
1
Hamzah., h. 146.
63
Pada pasal tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:2
a. Unsur subjektif: dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum
b. Unsur objektif:
1) Barang siapa;
2) Menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut:
a) Menyerahkan suatu benda;
b) Mengadakan suatu perikatan utang;
c) Meniadakan suatu piutang.
3) Dengan memakai:
a) Sebuah nama palsu;
b) Martabat palsu;
c) Tipu muslihat;
d) Rangkaian kata-kata bohong.
2
Lamintang, Delik-Delik Khusus; Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, cet. I,
(Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 142.
64
Dalam pasal ini, jika pelaku telah memenuhi unsur-unsur tersebut
maka akan dijatuhi pidana paling lama selama 4 tahun. Perihal
dicantunkannya ancaman pidana dalan tindak pidana penipuan yaitu
maksimum empat tahun penjara, dengan tujuan agar terhadap tindak pidana
penipuan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dikhawatirkan mempunyai
akibat yang luas di kalangan masyarakat, maka kepada pelaku kejahatan
penipuan perlu sekali dijatuhi suatu sanksi pidana.
Perihal pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
kejahatan penipuan tersebut bukanlah bermaksud agar pelaku menjadi jera
dan tidak mengulangi perbuatan yang selama ini dilakukannya, atau sering
juga disebut semacam pembalasan atau kesalahannya, tetapi bersifat
memberikan suatu pelajaran atau pendidikan agar dikemudian hari apabila
telah habis menjalani masa hukuman tidak akan melakukan perbuatan pidana
penipuan lagi atau mungkin dapat mengurangi akan kebiasaan yang selama ini
sering dilakukan yaitu melakukan tindak pidana penipuan dan masyarakat
umumnya serta para pencari kerja pada khususnya akan merasa tenang dalam
masa penantian lowongan pekerjaan yang dikehendaki.3
2. Sanksi Pidana Pemerasan Menurut Hukum Positif
3
Tinjauan UmumTentang tindak Pidana Penipuan, artikel ini diakses pada 07 Februari 2011
dari
http://www.finddocs.com/view.php?url=http%3A%2F%2Fdigilib.ubaya.ac.id%2Fskripsi%2Fhukum%2FPI_187_2811
089%2FPI_187_Bab%2520II.pdf&searchquery=hukuman+pasal+penipuan+kuhp
65
Pemerasan seperti yang dijelaskan dalam bab yang sebelumnya adalah
cara pelaku memeras, mengancam, atau mengambil keuntungan dari orang
lain secara paksa.
Dalam pemidanaannya, tindak pidana penipuan telah di jelaskan dalam
pasal 368 KUHP, yaitu:4
(1) “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.”
(2) “Ketentuan pasal 365 ayat (2), (3), dan (4) berlaku bagi kejahatan
ini.”
Ketentuan dalam 368 (1) diatas mengandung dua unsur:5
a. Unsur objektif, yang meliputi unsur-unsur:
1) Memaksa;
2) Orang lain;
3) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
4) Untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang (yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain);
4
5
Hamzah., h. 143.
Pakar Hukum, “Pemerasan” artikel ini diakses pada 13 Januari 2011 dari
http://pakarhukum.site90.net/pemerasan.php.
66
5) Supaya memberi hutang; dan
6) Untuk menghapus piutang.
b. Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur:
1) Dengan maksud; dan
2) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dalam pasal ini, jika pelaku telah memenuhi unsur-unsur tersebut
maka akan dijatuhi pidana paling lama selama 9 tahun.
Selanjutnya ketentuan Pasal 368 ayat (2) KUHP tindak pidana
pemerasan diperberat ancaman pidananya apabila: 6
a. Tindak pidana pemerasan itu dilakukan pada waktu malam dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya atau
apabila pemerasan dilakukan di jalan umum atau diatas kereta api
atau trem yang sedang berjalan. Ketentuan ini berdasarkan Pasal
368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-1 KUHP dengan ancaman
pidana selama dua belas tahun penjara.
b. Tindak pidana pemerasan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara bersama-sama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 368 ayat (2)
6
Ibid.
67
jo Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP dengan ancaman pidana dua
belas tahun penjara.
c. Tindak pidana pemerasan, di mana untuk masuk ketempat
melakukan kejahatan dilakukan dengan cara membongkar,
merusak atau memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau jabatan (seragam) palsu. Sesuai dengan ketentuan pasal 368
ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHP dengan pidana penjara
dua belas tahun.
d. Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan terjadinya luka berat,
sebagaimana diatur dalam pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2)
ke-4 KUHP ancaman pidananya sama dengan yang di atas, yaitu
dua belas tahun penjara.
e. Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan matinya orang.
Diatur dalam ketentuan pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (3)
KUHP dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu lima belas
tahun penjara.
f. Tindak pidana pemerasan tersebut telah menimbulkan luka berat
atau kematian serta dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama
dengan
disertai
hal-hal
yang
memberatkan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 365 ayat (1) dan ayat (2)
68
KUHP. Berdasarkan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (4)
KUHP tindak pidana pemerasan ini diancam dengan pidana yang
lebih berat lagi, yaitu dengan pidana mati, pidana seumur hidup
atau pidana selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun
penjara.
3. Sanksi Pidana Pungutan Liar Menurut Hukum Positif
Pungutan liar seperti yang dijelaskan dalam bab yang sebelumnya
adalah cara pelaku mengambil sesuatu dengan cara yang tidak resmi.
Dalam pemidanaannya, tindak pidana pungutan liar telah dijelaskan
dalam pasal 419 ayat (1) KUHP, yaitu:7
“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang
pegawai negeri:
(1) “Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa
hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya,
yang bertentangan dengan kewajibannya.”
Dalam pasal ini, jika pelaku telah memenuhi unsur-unsur tersebut
maka akan dijatuhi pidana paling lama selama 5 tahun.
Dan dalam masalah kedisiplinan yang telah dijelaskan dalam
Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
7
Hamzah., h. 163.
69
Negeri Sipil, jika seorang melanggar kedisiplinan seperti yang dijelaskan pada
bab sebelumnya, maka dapat dijatuhi hukuman sebagaimana tercantum di
dalam pasal 6, yang berbunyi:
(1) Tingkatan hukuman disiplin terdiri dari:
a. Hukuman disiplin ringan;
b. Hukuman disiplin sedang; dan
c. Hukuman disiplin berat.
(2) Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis; dan
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
(3) Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari:
a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu)
tahun;
b. Penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala
untuk paling lama 1 (satu) tahun; dan
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun.
70
(4) Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:
a. Penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk
paling lama 1 (satu) tahun;
b. Pembebasan dari jabatan;
c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
sebagai Pegawai Negeri Sipil; dan
d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri
Sipil.
B. Sanksi Pidana Penipuan, Pemerasan, dan Pungutan Liar Menurut
Hukum Islam
1. Sanksi Pidana Penipuan Menurut Hukum Islam
Dalam kasus penipuan dalam pidana Islam, istilah penipuan ini seperti
yang telah diterangkan pada bab sebelumnya adalah suatu perilaku yang
bersumber dari kemunafikan. Adapun balasan terhadap kelompok munafik
kelak di akhirat disediakan tempat yang paling dalam dan paling keras
siksaannya di dalam neraka.8 Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat
145:
8
Moh. Syamsi Hasan dan Achmad Ma’ruf Asrori, Khotbah Jum’at Sepanjang Masa:
Membangun Kehidupan Dunia Akhirat, (Surabaya: Karya Agung, 2002), h. 365.
71
(QS. An-Nisaa/4 :           
145).
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada
tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak
akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa/4
: 145).
Ayat di atas memberikan penilaian kepada orang munafik lebih
membahayakan daripada orang kafir. Jika merampas atau merampok harta
hukumannya seperti hukuman orang kafir yaitu hukum bunuh, maka hukuman
terhadap orang munafik minimal sama dengan hukuman yang ditentukan
terhadap perampok.9 Nabi bersabda:10
:
:
.
(
)
“Dari Abu Umamah R.A., yaitu al-Haritsi, Bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Barang siapa mengambil hak seorang muslim dengan
sumpahnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka dan
mengharamkannya masuk ke dalam surga.” Kemudian seseorang
bertanya kepada beliau, “Meskipun sumpahnya itu tentang sesuatu
yang sederhana ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “meskipun
sumpahnya itu hanya berupa dahan dari kayu siwak.” (H.R. Muslim)
9
Zainuddin., Hukum Pidana Islam, h. 71.
10
An-Naysaburi., Shahih Muslim, Juz 1, h. 85.
72
Selanjutnya, dari hadis Nabi SAW, dapat kita ketahui bahwa seorang
yang menipu di akhirat kelak akan diancam dijatuhkan ke dalam neraka oleh
Allah dan penipu ini tidak akan diperbolehkan masuk ke dalam surga,
meskipun perbuatan hanya sekedar penipuan kecil.
2. Sanksi Pidana Pemerasan Menurut Hukum Islam
Dalam kasus pemerasan dalam pidana Islam, pengertian pemerasan ini
seperti yang telah diterangkan pada bab sebelumnya adalah orang yang
mengambil barang orang lain secara paksa yang juga disebut dengan ghasab.
Imam al-Nawawi mengklasifikasikan jenis sanksi bagai pelaku ghasab
ini dikaitkan dengan kondisi barang sebagai objek ghasab menjadi tiga
katagori, yaitu:11
a. Sanksi pelaku ghasab bila barang hasil ghasabnya masih utuh.
Pelaku ghasab terhadap harta yang masih utuh seperti kondisi
semula berupa kewajiban mengembalikan harta yang digahsab
tersebut.
b. Sanksi pelaku ghasab bila barang hasil ghasabnya telah lenyap.
Dalam hal sanksi pelaku ghasab yang barangnya telah lenyap ini
terdapat dua macam, yaitu:
11
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih
Jinayah, (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2009), h. 129.
73
1) Barang yang jenis, bentuk dan ukurannya pasti dan jelas. Maka
pelaku wajib mengembalikan barang tersebut secara sama dan
pasti, baik dari sisi jenis, macam, sifat, dan ukurannya
2) Barang yang jenis, bentuk dan ukurannya berbeda-beda. Dalam
hal ini pelaku wajib mengganti uang seharga barang yang di
ghasab tersebut.12
c. Sanksi pelaku ghasab bila barang hasil ghasabnya berkurang.
Bila barang hasil ghasab yang dilakukan pelaku telah berkurang
maka untuk menentukan jenis sanksinya harus diklasifikasikan
menjadi barang berupa makhluk hidup dan benda mati. Dalam hal
pelaku mengghasab makhluk hidup, maka pelaku berkewajiban
mengembalikannya,
di
samping
itu
pelaku
juga
wajib
mengembalikan jumlah kekurangan tersebut dengan nilai nominal
dalam bentuk uang sebagai ganti rugi.
Jika benda yang dighasab berupa benda mati dan berkurang, cacat
atau robek atau piring dan perkakas-perkakas lain yang dighasab
dan akhirnya retak maka pelaku wajib mengembalikan yang masih
12
Ibid., h. 130.
74
utuh dan harus memperhitungkan kekurangan-kekurangan tersebut
untuk diganti.13
Adapun pemerasan yang mirip dengan hirabah (perampokan) balasan
terhadap pelaku pemerasan ini seperti hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas:
:
14
(
).
:
“Ibnu Abbas R.A. menerangkan: Terhadap mereka yang merampok
dan membunuh, mereka harus dibunuh dan disalib. Terhadap mereka
yang membunuh dengan tidak mengambil harta, mereka dibunuh
dengan tidak disalib. Terhadap mereka yang mengambil harta dengan
tidak membunuh, tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang,
dan terhadap mereka yang melakukan teror kepada orang yang lalu
lalang tanpa mengambil harta, mereka diusir dari kampungnya.”
(H.R. al-Baihaqi)
Dari hadist di atas, yang berkaitan dengan masalah pemerasan adalah
pada kalimat
yang artinya
”Terhadap mereka yang mengambil harta dengan tidak membunuh, tangan
dan kaki mereka dipotong secara bersilang”. Jadi menurut hadis ini dapatlah
13
14
Ibid., h. 131.
Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar Baihaqi, Sunan Baihaqi al-Kubra, (Mekah:
Maktabah Dar Badz, 1994), Juz 8, h. 283.
75
kita simpulkan tentang sanksi pidana orang yang melakukan pemerasan
adalah, tangan dan kakinya dipotong secara bersilang.
Namun, ada beberapa pendapat lain, seperti Ibnu Timiyah berkata
dalam al-Ikhtiyarat: barang yang dighasab harus diganti dengan yang sama,
baik yang berbentuk barang takaran, barang timbangan ataupun lainnya, kalau
mungkin. Kalau tidak mungkin ya harganya. Inilah pendapat Abu Musa dan
segolongan ulama. Dan jika harga itu berubah sedangkan barang yang seperti
itu tidak ada, maka harganya ditentukan sesuai harga waktu dighasab, inilah
pendapat yang lebih kuat.15
3. Sanksi Pidana Pungutan Liar Menurut Hukum Islam
Dalam kasus pungutan liar dalam pidana Islam, pengertian pungutan
liar ini seperti yang telah diterangkan pada bab sebelumnya adalah pajak yang
ditagih oleh seseorang secara tidak legal.
Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa pelaku kezaliman akan rugi,
karena kebaikan-kebaikan selama hidup bisa jadi akan dipindahkan kepada
pihak yang teraniaya. Hadis dimaksud dikutip oleh Imam Nawawi dalam
Riyadus Salihin sebagai berikut:16
15
Fadilah Syaikh Faisal bin Abdul Azizi Al-Mubarak, Terjemahan Nailul Authar: Himpunan
Hadist-Hadist Hukum, Penerjemah A.Qadir Hassan dkk, cet.IV, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007), Jilid
4, h. 1935.
16
Al-Bukhari, al-Jami’ Shahih Mukhtasar, jilid 5, h. 2394.
76
)
‫ـ‬
‫ـ‬
:
(
) (‫ﻓﻄﺮﺣﺔ ﻋﻠﻴــﻪ‬
“(Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda, barang siapa
pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya dan merugikan
harga dirinya atau hal-hal lainnya, maka hendaknya segera minta
dihalalkan (diselesaikan) saat ini, sebelum datang sebuah masa yang
dinar dan dirham tidak berharga (laku) lagi. Sebab (kelak di akhirat)
jika pihak yang berbuat zalim itu mempunyai amal-amal salih akan
diambil (dipotong) sesuai dengan seberapa banyak kezaliman yang
pernah dilakukannya terhadap saudaranya. Tetapi jika ternyata pihak
yang berbuat zalim tidak memiliki kebaikan maka dosa-dosa
saudaranya (yang dizalimi) itu akan dibebankan kepada pihak yang
berbuat zalim” (H.R. Bukhari).
Dalam hadis lain Bukhari menyatakan bahwa seorang pejabat yang
tidak jujur tidak akan memperoleh bau surga. Dengan Hadis sebagai berikut:17
(
)
‫ﻢ‬
“Dari Ma’qil RA, katanya: saya akan menceritakan kepada engkau
hadis yang saya dengar dari Rasulullah SAW, dan saya telah
mendengar beliau bersabda: “Seseorang yang telah ditugaskan Tuhan
memerintahi rakyat, kalau dia tidak memimpin rakyat itu dengan jujur,
niscaya dia tiada akan memperoleh bau surga.” (H.R. Bukhari).
Dalam hadis lain dinyatakan bahwa pelaku cukai illegal atau pungutan
liar tidak akan masuk surga. Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:18
17
18
Ibid., Juz 6, h. 2614.
“Khalil Ahmad As-Siharanfuri, Bazlu al-Majhud fi Hilli Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, tth), Jilid 13, h. 226.
77
)
"
‫ــ‬
:
(
‫ﻋ‬
"(Dari 'Uqbah bin Amir, berkata, Rasulullah SAW bersabda: "orang
yang melakukan pungutan liar tidak akan masuk surga." (H.R. Abu
Dawud).
Dengan redaksi yang berbeda, Imam Ahmad meriwayatkan hadis
tentang konsekwensi pelaku punggutan liar ini sebagai berikut:19
‫ـ‬
(
)
"(Dari Yazid bin Abi Habib dari Abul Khair berkata, Maslamah bin
Makhlad, gubernur Mesir mengangkat Ruwaifi' bin Sabit untuk
menjadi petugas pemungut cukai (yang ukurannya 1/10). Maka pada
saat Ruwaifi' berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda
bahwa pelaku pungutan liar ada dalam neraka)." (HR. Ahmad).
Kedua hadis riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad yang menyebut
bahwa pelaku pungli tidak akan masuk surga dan pasti akan ada dalam neraka.
Akibat kezalimannya, dia akan dituntut oleh pihak yang terzalimi kalau ia
mempunyai amal saleh, pahalanya akan diambil dan diberikan kepada pihak
yang terzalimi, tetapi kalau tidak ada amal saleh justru dosa-dosa pihak yang
terzalimi akan dipindahkan kepada pihak yang menzalimi. Inilah makna hadis
al-Bukhari yang dikutip Imam an-Nawawi dalam Riyadus Salihin min Kalami
Sayyid al-Mursalin di atas.
19
h. 143.
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) Jilid 4,
78
Sabda Rasulullah SAW yang diriwayat Imam Muslim, pada saat
menegur Khalid bin Walid ketika terkena percikan darah segar yang mengalir
dari wajah wanita al-Ghamidiah, pelaku zina muhsan yang dihukum rajam.
Pada saat itu beliau bersabda:20
(
) ...
!
...
“… pelan-pelan wahai Khalid, demi Allah yang jiwaku ada dalam
genggamanNya wanita ini telah bertobat yang jika tobat itu dilakukan
oleh pelaku pungutan liar, pasti diampuni…” (HR. Muslim).
Letak kemiripan hadis ini adalah bahwa persoalan pelaku pungutan
liar menurut keduanya hanya sebagai anak kalimat dan sekedar sebagai
perbandingan, sebab pada hadis Muslim, inti persoalannya adalah mengenai
tobatnya seorang wanita al-Ghamidiah pelaku zina muhsan. Hadis ini tidak
sedang membahas persoalan al-maksu. Namun demikian dari hadis ini bisa
diketahui bahwa pelaku pungli jelas berdosa besar sebagaimana hadis riwayat
Abu Dawud dan Ahmad terdadulu yang menyatakan diancam hukuman
neraka para pelaku pungutan liar.
Iman Nawawi Rahimahullah menjelaskan dalam hadist di atas terdapat
beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah “Bahwasanya pajak
(pungutan liar) termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang
20
An-Naysaburi, Juz 5, h. 120.
79
membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia
dengan tuntutan yang banyak sekali diakhirat nanti.21
Itulah nas-nas syar'iyyah yang menyatakan bahwa punggutan liar
cukai illegal atau al-maksu merupakan salah satu bentuk tindak pidana
ekonomi yang jelas akan merugikan pihak lain termasuk pelaku pungli itu
sendiri. Dalil-dalil yang menyatakan bahwa al-maksu merupakan jarimah, ada
yang secara langsung dan ada yang hanya menyebut secara sekilas dikaitkan
dengan persoalan pelanggaran jenis lain, yang menggunakan istilah Sahibu
Maksin.
C. Perbandingan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pungutan Liar Oleh Pihak
Sekolah Antara Hukum Positif Dan Hukum Islam
Pemidanaan atau hukuman merupakat suatu perangkat dalam hukum pidana
sebagai bentuk balasan bagi pelaku tindak kriminal, karena ia merupakan representasi
dari perlawanan masyarakat terhadap para kriminil dan terhadap tindak kejahatan
yang dilakukannya.
Pada kasus pungutan liar yang dilakukan oleh pihak sekolah ini dalam hukum
positif, sanksi pidananya telah dijelaskan dalam pasal 419 ayat (1) KUHP, yaitu:22
21
Hukum Pajak Dan Pemungutannya Dalam Islam, facebook.com artikel ini diakses pada 17
Maret 2011 dari http://www.facebook.com/topic.php?uid=62919588456&topic=17124
22
Hamzah., h. 163.
80
“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pegawai
negeri:
(1) “Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah
atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya.”
Dalam pasal ini, jika pelaku telah memenuhi unsur-unsur tersebut maka akan
dijatuhi pidana paling lama selama 5 tahun. Selanjutnya, selain hukuman pidana
selama 5 tahun juga terdapat hukuman lain sebagaimana yang tercantum dalam
Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil, jika seorang dari pihak sekolah melanggar kedisiplinan yaitu melakukan
pungutan liar terhadap anak didiknya, maka dapat dijatuhi hukuman sebagaimana
tercantum di dalam pasal 6, yang berbunyi:
(1) Tingkatan hukuman disiplin terdiri dari:
a. Hukuman disiplin ringan;
b. Hukuman disiplin sedang; dan
c. Hukuman disiplin berat.
(2) Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis; dan
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
81
(3) Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari:
a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun;
b. Penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala untuk paling
lama 1 (satu) tahun; dan
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun.
(4) Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:
a. Penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling
lama 1 (satu) tahun;
b. Pembebasan dari jabatan;
c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil; dan
d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pemidanaan menurut hukum Islam adalah adanya suatu pembalasan ataupun
pembelajaran yang dikenakan terhadap seseorang apabila melanggar suatu ketentuan
hukum yang telah tertulis dalam nash ataupun yang telah disepakati oleh ulil amri.
Pada kasus pungutan liar yang dilakukan oleh pihak sekolah menurut hukum
Islam merupakan bagian dari suap, karena uang atau barang yang diberikan kepada
pihak sekolah baik yang diminta ataupun tidak oleh pihak sekolah bertujuan agar
82
orang yang memberikan uang atau barang tersebut diberikan kemudahan oleh pihak
sekolah tersebut. Tindakan ini termasuk dalam keriteria korupsi, karena korupsi
adalah suatu tindakan berupa penyelewengan hak, kedudukan, wewenang atau
jabatan yang dilakukan untuk mengutamakan kepentingan dan keuntungan pribadi,
menyalahgunakan (menghianati) amanat rakyat dan bangsa, mempertuntutkan hawa
nafsu serakah dalam rangka memperkaya diri dan mengabaikan kepentingan umum.23
Haramnya pungutan liar yang dilakukan oleh pihak sekolah sama dengan
haramnya suatu hadiah bagi para pekerja atau para pegawai. Dari Sulaiman bin
Yassar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus Abdullah bin
Rawahah ke Khaibar, lalu antara dia dan orang Yahudi Khaibar terjadi perang mulut.
Dia berkata, “mereka mengumpulkan untuknya perhiasan dari nperhiasan wanitawanita mereka, dan mereka berkata, “Ini untukmu, mudahkanlah kami dan
lebihkanlah dalam membagi.” Maka Abdullah bin Rawahah berkata, “wahai orang
yahudi, demi Allah, sesungguhnya kalian termasuk makhluk Allah yang paling benci
kepadaku. Mengapa kalian membawakan kepadaku sesuatu (hadiah) agar aku
memudahkan kalian? Apa yang kalian bawakan kepadaku adalah suap, suap adalah
penghasilan yang tidak halal, dan kami tidak memakannya.” Lalu mereka berkata,
“dengan ini, maka tegaklah langit dan bumi.”24
23
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung:
Angkasa, 2005), h. 48.
24
Syaikh Ahmad bin Ahmad Muhammad Abdullah Ath-Thawil, Benang Tipis Antara Hadiah
& Suap, (Jakarta: Darus Sunah Perss, 2006), h. 137.
83
Bila demikian, maka hadiah disebabkan karena faktor kepemimpinan atau
kekuasaan tidak halal menerimanya dan termasuk penghianatan. Rasulullah SAW
bersabda, “Hadiah bagi para pekerja adalah penghiantan.”25
Dalam hadis tentang penghiantan (ghulul), Rasulullah SAW bersabda:
26
(
)
“Barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu aku
beri gajinya, maka sesuatu yang diambil di luar gajinya itu adalah penipuan
(haram).” (H.R. Abud Daud dan Hakim dari Buraidah).
Dalam hukum Islam, pungutan liar yang dilakukan oleh pihak sekolah ini
sanksi pidananya adalah hukuman takzir. Takzir secara bahasa diambil dari kata
yang sinominnya adalah
dan
yang berarti mencegah.27 Sedangkan takzir menurut
istilah, sebagaimana dikemukakan Al- Mawardi adalah:
28
Takzir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum
ditentukan hukumannya oleh syara’.
25
26
Ibid.
Abu Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Kitab Arabi, t.th), Juz 3, h. 94.
27
“Makalah Ta’zir”, artikel ini diakses pada 29 Maret 2011 dari http://student.sunanampel.ac.id/ryana/2011/01/05/makalah-tazir/
28
Abu Al Hasan Ali ibn Muhammad Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, cet. III, (Mesir:
Musthafa Al Baby Al Halaby, 1973), h. 226.
84
Menurut Wahbah Zuhaili takzir itu “hukuman yang ditetapkan atas perbuatan
maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had atau tidak pula kafarat.”29
Dari Definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hukuman takzir adalah
hukuman jinayah yang tidak dikenakan hukuman had yang belum ditetapkan oleh
syara’ dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri.
Dasar hukum dari di syariatkan hukuman takzir terdapat dalam beberapa hadis
Nabi SAW, antara lain:
)
30
‫ـ‬
(
Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa NAbi SAW
menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (diriwayatkan
Abu Daud, Turmuzi, Naasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).
:
31
(
)
Dari Abu Burdah al-Anshari RA, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak Boleh dijilid di atas sepuluh cambuk, kucuali di dalam
hukuman yang telah ditentukan Allah Ta’ala.” (H.R. Ibnu Hanbal).
Hadis pertama menjelasknan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang
yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan
29
30
31
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 249.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (t.tp: t.p, t.th) Juz 2, h. 590.
As-Syaibani., Juz 4, h. 45.
85
penyelidikan. hadis kedua menjelaskan tentang batas hukuman takzir yang tidak
boleh lebih dari sepuluh kali cambukkan, untuk membedakan dengan hukuman
hudud.
Pungutan liar adalah jarimah takzir yang berkaitan dengan kemaslahatan
umum. Sanksi pidana bagi pelaku pungutan liar yang dilakukan oleh pihak sekolah
dalam hukum Islam ini adalah al-‘azl (pemecatan). Hukuman takzir yang berupa
pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan ini diterapkan terhadap setiap pegawai
yang melakukan jarimah, baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya
maupun dengan hal-hal lain.32
Hukuman pemecatan ini merupakan hukuman pokok bagi pelaku pungutan
liar ini, namun hukumannya tidak hanya dirasakan di dunia saja akan tetapi di akhirat
nanti ia akan memikul apa yang ia pungut di dunia ini, seperti yang disebutkan dalam
al-Imran ayat 161, Allah SWT berfirman:
                ……
(QS. Al-Imran/3 : 161)  
“……… Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu,
Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya
itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia
kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS.
Al-Imran/3 : 161).
32
Muslich., h. 271.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pungutan liar di sekolah ini dalam hukum positif adalah kejahatan jabatan
yang mana telah dijelaskan dalam pasal 418 KUHP, yang mana pungutan liar di
sekolah ini telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu
pegawai negeri, menerima hadiah atau janji, karena kekuasaan atau kewenangan,
dan berhubungan dengan jabatannya. selain itu masalah larangan pungutan liar ini
juga di atur dalam PP No. 30 tahun 1980 dalam Pasal 3 (1) huruf ‘h’, ‘k’, dan ‘r.’
Sedangkan menurut hukum pidana Islam, masalah pungutan liar yang terjadi di
sekolah ini adalah kejahatan yang sama dengan suap, karena uang atau barang
yang diberikan kepada pihak sekolah baik yang diminta ataupun tidak oleh pihak
sekolah bertujuan agar orang yang memberikan uang atau barang tersebut
diberikan kemudahan oleh pihak sekolah tersebut. Haramnya pungutan liar ini
disebutkan dalam hadist Nabi tentang haramnya ghulul.
Sanksi pidana pungutan liar di sekolah dalam hukum positif adalah yang telah
dijelaskan dalam pasal 419 ayat (1) KUHP, yaitu 5 tahun penjara, namun selain
itu ada juga hukuman lain seperti yang tertera dalam PP No. 30 tahun 1980 Pasal
6 ayat (1), (2), (3), dan (4). Pada pasal 6 ayat (1) adalah mengenai tingkatan
hukuman bagi Pegawai Negeri yang melanggar Peraturan Pemerintah No. 30
86
tahun 1980 ini yang terdiri dari hukuman ringan, sedang, dan berat. Ayat (2)
adalah penjelasan mengenai hukuman ringan yang terdiri dari teguran lisan,
teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis. Ayat (3) adalah
penjelasan mengenai hukuman sedang yang terdiri dari penundaan kenaikan gaji
berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun, penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali
kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun, dan penundaan kenaikan
pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun. Ayat (4) adalah penjelasan mengenai
hukuman berat yang terdiri dari penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih
rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun, pembebasan dari jabatan, pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan sanksi pidana pungutan liar di sekolah adalah human takzir yang
berupa pemecatan, Namun selain hukuman di dunia yang berupa pemecatan di
akhirat nanti juga pelaku mendapatkan hukuman yaitu pelaku memikul apa yang
khianatinya di dunia ini, dan pelaku akan mendapatkan balasan dari apa-apa yang
mereka ambil dari perbuatan pungutan liar yang mereka lakukan di dunia ini.
B. Saran
Agar masalah punggutan liar ini tidak terus terjadi ada baiknya pemerintah
juga lebih memperhatikan kesejahteraan dari pada guru-guru atau pihak sekolah,
karena masalah ini berkembang lantaran tingkatkan kesejahteraan tenaga pendidik
87
yang kurang diperhatikan sehingga maraknya pihak-pihak sekolah yang
melakukan praktik-praktik pungutan liar.
Selanjutnya, pemerintah juga harus melakukan pemantauan ke setiap sekolahsekolah yang menerima dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), karena dengan
adanya dana BOS ini, masyarakat menengah ke bawah pasti sangat
mengharapkan tidak adanya lagi pengeluaran-pengeluaran yang akan mereka
keluarkan untuk kebutuhan sekolah anak-anak mereka. Karena, pada intinya dana
BOS ini bertujuan agar memberikan bantuan kepada sekolah dalam rangka
membebaskan iuran kepada peserta didik.
Jadi, pemerintah selain memberikan dana BOS dan meningkatkan
kesejahteraan para tenaga pengajar, juga harus terus mengawasi setiap kegiatankegiatan di sekolah-sekolah agar masalah pungutan liar ini bisa dikurangi dan
pada akhirnya dapat diberantas.
89
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
Al Mandari, Syarifudin, Rumahku Sekolahku, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004).
Al Mawardi, Abu Al Hasan Ali ibn Muhammad, Al Ahkam As Sulthaniyah, cet. III,
(Mesir: Musthafa Al Baby Al Halaby, 1973).
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail, al-Jami’ Shahih al-Mukhtasar,
cet.III, (Beirut: Dar Ibnu Kasir, 1987).
Al-Fauzan, Saleh, Fiqih Sehari-Hari, cet.I, (Jakarta: Gema Insani Peerss, 2005).
Ali, Zainuddin, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006).
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Al-Mubarak, Fadilah Syaikh Faisal bin Abdul Azizi, Terjemahan Nailul Authar:
Himpunan Hadist-Hadist Hukum, Penerjemah A.Qadir Hassan dkk, cet.IV,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007).
Al-Qazwayni, Muhammad Ibnu Yazid Abu Abdillah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut:
Dar al-Fikri, t.th).
Amiruddin, Aam, Bedah Masalah Kontemporer II: Tanya Jawab Seputar Ibadah &
Muamalah, cet. III, (Bandung: Khazanah Intelektual, 2006).
90
Andi, KUHP & KUHAP Edisi Revisi 2008, cet.XV (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008).
An-Naysaburi, Abu al-Husain Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail, t.th).
As-Sa’di, Syekh Abdurrahman, dkk, Fiqih Jual-Beli, Panduan Praktis Bisnis
Syari’ah, (Jakarta: Senayan Publising, 2008).
As-Siharanfuri, Khalil Ahmad, Bazlu al-Majhud fi Hilli Abi Dawud, (Beirut: Dar alKutub al-'Ilmiyyah, tth).
As-Syafi'I, Muhammad bin Salim bin Sa'id Babasil, Is'ad ar-Rafiq wa Bughiyyah asSadiq Syarh Matn Sulam at-Taufiq Ila Mahabbatillah 'ala at-Tahqiq,
(Indonesia: ttp, Daru Ihya al-Kutub al-'Arabiyyah, tth).
As-Syaibani, Ahmad bin Hambal Abu Abdillah, Musnad Imam Ahmad bin Hambal,
(Kairo: Muasasah al-Qurtubah, t.th).
Ath-Thawil, Syaikh Ahmad bin Ahmad Muhammad Abdullah, Benang Tipis Antara
Hadiah & Suap, (Jakarta: Darus Sunah Perss, 2006).
Audah, Abdul Qadir, at-Tasryi Al-Zinai al-Islami, cet.II, (Beirut: Muassarah arRisalah, 1992).
Baihaqi, Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar, Sunan Baihaqi al-Kubra,
(Mekah: Maktabah Dar Badz, 1994).
Bassar, Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Dalam Kitab Undang Undang
Hukum Pidana, cet.II, (Bandung: Remadja Karya CV, 1986).
91
Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Harta Benda, cet.II, (Malang: Banyumedia
Publishing, 2006).
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008).
Darminto, Poerwa, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1976).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.III, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005).
Djazuli, A., Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), cet.III,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000).
Djazuli, A., Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan), cet.II, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1997).
Doi, A. Rahman I., Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), cet.I,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama,
2006).
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005).
92
Hanbal, Ahmad bin, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Dar al-Fikr, tth).
Hasan, Moh. Syamsi dan Achmad Ma’ruf Asrori, Khotbah Jum’at Sepanjang Masa:
Membangun Kehidupan Dunia Akhirat, (Surabaya: Karya Agung, 2002).
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar.
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan
Pemberantasan Buta Aksara.
Irfan, Muhammad Nurul, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif
Fiqih Jinayah, (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI,
2009).
Kholiq, M. Abduh, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas UII,
(Yogyakarta: 2002).
Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Yang Ditujukan
Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,
(Bandung: Tarsito, tth).
Lamintang, Delik-Delik Khusus; Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
cet. I, (Bandung: Sinar Baru, 1989).
Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditiya
Bakti, 1997).
93
Ma’luf, Luis, al-Munjid, cet.X, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1952).
Moeljanto , Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1986).
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, cet.VII, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002).
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, cet.III,
(Bandung: PT. Alumni, 2005).
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, cet.XI,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
Negara, Satochid Karta, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Jakarta: Balai
Rektur Mahasiswa, t.th).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan
Pendidikan.
Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, cet.III, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2003).
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, cet.XXIII, (Bandung: Sinar Baru, 1990).
94
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (t.tp: t.p, t.th).
Saebani, Beni Ahmad, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003).
Sianturi, S.R. dan Mompang L. Pengabean, Hukum Penitensia di Indonesia, (Jakarta:
Alumni Ahaem-petchhaem, 1996).
Simorangkir, J.C.T. dkk., Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar grafika, 2004).
Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cet. I,(Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1999).
Sulaiman, Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Kitab Arabi, t.th).
Thalib, Hambali, Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan, cet.II, (Jakarta:
Kencana, 2009).
Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, cet.I,
(Jakarta: Djambatan, 2001).
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
95
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Wasito, S. Wojo, Kamus Umum Belanda-Indoneisa, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve,
1990).
Yafie, Alie, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: PT. Kharisma Ilmu, 2007).
Yanggo, Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,
(Bandung: Angkasa, 2005).
Sumber dari Internet
DetikNews, “Mendiknas Minta Bupati Tindak Pungli di Sekolah”, artikel diakses
pada
26
Oktober
2010
dari
http://www.detiknews.com/read/2006/08/31/141944/666223/10/mendiknasminta-bupati-tindak-pungli-di-sekolah.
Halal dan Haram dalam Islam, artikel ini diakses pada 27 Januari 2011 dari
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Qardhawi/Halal/4027/html.
Hukum Kerja di Kantor Pajak, ustadzaris.com artikel ini diakses pada 19 Februari
2011 dari http://ustadzaris.com/hukum-kerja-di-kantor-pajak
Hukum Pajak Dan Pemungutannya Dalam Islam, facebook.com artikel ini diakses
pada
17
Maret
2011
dari
http://www.facebook.com/topic.php?uid=62919588456&topic=17124
Legalitas.org, “Pungutan Liar (Pungli)”, artikel diakses pada 27 Juni 2011 dari
http://www.legalitas.org/?q=node/239
96
Makalah Ta’zir, artikel ini diakses pada 29 Maret 2011 dari http://student.sunanampel.ac.id/ryana/2011/01/05/makalah-tazir/
Okezone news, “ICW Laporkan Pungli Sekolah ke Kejagung”, artikel diakses 07
Oktober
2010
dari
http://autos.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/08/05/1/133952/1/icwlaporkan-pungli-sekolah-ke-kejagung.
Pajak Dalam Islam (Nasehat Untuk Para Pemungut Pajak), suaraquran.com artikel ini
diakses pada 17 Maret2011 dari http://suaraquran.com/pajak-dalam-islam/
Pakar Hukum, “Pemerasan” artikel ini diakses pada 13 Januari 2011 dari
http://pakarhukum.site90.net/pemerasan.php.
Pungutan Liar, Wikipedia artikel ini diakses pada 10 Februari 2011 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Pungutan_liar.
Terminologi Zakat Barang Tambang dan Hasil Laut, Pondokzakat.com artikel ini
diakses
pada
09
Februari
2011
dari
http://pondokzakat.com/index.php?option=com_content&view=category&lay
out=blog&id=35&Itemid=2&limitstart=5.
Tinjauan UmumTentang tindak Pidana Penipuan, artikel ini diakses pada 07 Februari
2011
dari
http://www.finddocs.com/view.php?url=http%3A%2F%2Fdigilib.ubaya.ac.id%2Fskripsi%2F
hukum%2FPI_187_2811089%2FPI_187_Bab%2520II.pdf&searchquery=huk
uman+pasal+penipuan+kuhp
Sumber lainnya
Pena Pendidikan, Nomor 5, Tahun 1, September 2006.
97
Retno Kusumastuti, “Tinjauan Yuridis Terhadap Perkara Tindak Pidana Pemerasan
Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama (Studi Kasus di Pengadilan Negeri
Sragen),” (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta,
2009).
Syarifah Maulafatu, “Tindak Pidana Pemerasan (Afpersinf) Yang Dilakukan Anak Di
Bawah Umur Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif” (Skripsi S1 Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006.
Download